Konstruksi Diri Habib_Skripsi
-
Upload
radityo-rizqun -
Category
Documents
-
view
35 -
download
3
Transcript of Konstruksi Diri Habib_Skripsi
Konstruksi Diri Habib“Studi fenomenologi tentang konstruksi diri habib di Kota
Surabaya”
(Skripsi)
Disusun Oleh:
MUHAMMAD ILHAM FATHONI
NIM.054564033
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2009
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Studi ini bermaksud untuk mengungkap serta memahami konstruksi diri
habib1 di Surabaya khususnya di seputar kawasan Ampel. Diantaranya, ingin
mengungkap bagaimana konstruksi mereka terhadap jati dirinya sebagai habib,
dan bagaimana proses konstruksi tersebut berlangsung. Selain itu, faktor apa
saja yang mempengaruhi mereka dalam konstruksi terhadap habib. Selanjutnya,
ihwal atas pengungkapan dan pemahaman ini terlahir dari pandangan sosiologis
bahwa agama adalah “konstruksi sosial” atau produk masyarakat tertentu,
tidaklah ujuk-ujuk datang dari langit, turun ke bumi, tetapi dari bumi menuju ke
langit.2
Adanya pengelompokan pada masyarakat Arab ke dalam dua golongan
yakni Al Jami’at Al Khairiyyah3 dan Al Irsyad4 disebabkan oleh ketidakpuasan
1Sebutan atau gelar habib di kalangan Arab-Indonesia dinisbatkan secara khusus terhadap keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Habib. diakses pada tanggal 20 Februari 2009. Pembahasan lebih lanjut mengenai habib akan diulas pada bab berikutnya.
2M.Jacky. Konsep dan Teori Agama dalam Perspektif Sosiologis. Hand Out Kuliah yang disampaikan pada Program “Pertukaran Dosen” untuk matakuliah Sosiologi Agama di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Yogyakarta, 26 Desember 2006.
3 ?Organisasi yang didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905 itu terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal usul, tetapi mayoritas anggota-anggotanya adalah orang Arab. Meski demikian para pendirinya adalah orang Arab sementara orang pribumi hanya sebagai anggota yang sifatnya pasif.
4Berdirinya organisasi itu disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian orang Arab (non sayid) terhadap kalangan sayid dan Jamiat Al Khairiyah. Organisasi ini didirikan pada tahun 1913 dan pada tanggal 11 Agustus 1915 mendapat pengakuan legal Pemerintah.
1
kalangan non sayid (non habib) terhadap kalangan sayid (habib). Itu terjadi
lebih disebabkan adanya perlakuan istimewa dari masyarakat kepada golongan
bergelar habib, dimana gelar itu dilekatkan kepada seseorang yang terlahir dari
keturunan keluarga Nabi Muhammad saw. Atas pemahaman gelar habib yang
ada itulah kemudian seseorang bergelar habib disadari mempunyai previlige
dan status sosial lebih tinggi ditengah-tengah masyarakat. Alhasil, dari
perbedan perlakuan itu potensi munculnya perselisihan antara dua golongan
dalam satu etnis tersebut sesekali tak terelakkan.5
Di lain pihak, kelompok non habib menganggap aktivitas tersebut tidak
berdasar sebab status seseorang hanya dilihat dari ketaqwaannya. Selain itu
menurut mereka menarik garis keturunan melalui anak Nabi Muhammad saw
yang bernama Fatimah Azzahra, bukanlah hal yang dibenarkan dalam kultur
Arab yang menganut budaya patriarki atau menarik garis keturunan dari anak
laki-laki. Atas kondisi tersebut implikasinya adalah dapat menimbulkan
konstruksi masyarakat yang berbeda-beda terhadap sosok habib.6
Habib yang datang ke Indonesia mayoritas adalah keturunan Al Husain
bin Fatimah binti Muhammad. Di Indonesia, habib semuanya memiliki nenek
5Hal tersebut menjadi wajar karena memang agama bukan hanya memainkan peranan bagi terwujudnya integrasi tetapi juga memainkan peranan pemecah belah dalam masyarakat. Clifford Geertz. 1989. Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Hal.viii. Agama bukan hanya dibutuhkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan kodratnya, tetapi juga mempunyai berbagai fungsi dan disfungsi sosial. Warsono. 2004. Agama: Fungsi dan Disfungsi Sosial. Paradigma: Jurnal-jurnal Ilmu Sosial. Volume 2 nomor 1 Janurai 2004. Surabaya: Prodi Sosiologi FIS Unesa. Hal 32.
6Konstruksi masyarakat bermula dari berbagai konstruksi berbagai individu dalam masyarakat yang kemudian melebur, masing-masing individu memiliki konstruksi terhadap suatu hal yang berbeda-beda, karena memang manusia hidup di dalam sistem makna yang complicated (ruwet).Daniel L. Pals. 2001. Seven Theories of Religion: Dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz. Yogyakarta: Qalam
2
moyang yang berasal dari Yaman, khususnya Hadramaut7 dan datang ke
Indonesia untuk mencari nafkah hidup. Umumnya mereka tidak membawa istri-
istri mereka atau mereka anak-anak muda yang masih bujang. Setelah nafkah
tercukupi biasanya mereka kembali ke negera asal untuk memperoleh
pendidikan. Selain itu mereka akan kembali ke Indonesia dan memperistri
wanita-wanita Indonesia.8
Koloni Arab dari Hadramaut diperkirakan telah datang ke Indonesia sejak
abad ke-13. Meskipun sejumlah marga yang di Hadramaut sendiri sudah punah
seperti Basyeiban dan Haneman, namun di Indonesia masih dapat dijumpai. Hal
ini disebabkan keturunan Arab Hadramaut di Indonesia saat ini diperkirakan
jumlahnya lebih besar daripada di tempat leluhurnya.9 Berdasarkan catatan
organisasi yang melakukan pencatatan silsilah para habib ini, Ar-Rabithah10,
ada sekitar 20 juta orang di seluruh dunia yang dapat menyandang gelar ini
(disebut muhibbin) dari 114 marga. Hanya keturunan laki-laki saja yang berhak
menyandang gelar habib. Sedangkan bagi keturunan wanita mendapatkan gelar
berupa Sayyidah, Alawiyyah, Syarifah atau Sharifah.11
7Hadramaut, atau Hedramaut, atau Havermavt (Bahasa Ibrani) adalah ("Hadhrmawt") حضرموت sebuah lembah di negeri Yaman. Ibid Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Hadramaut diakses pada tanggal 20 Februari 2009.
8Deliar Noer. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Hal 66.
9Lihat. http://id.wikipedia.org/wiki/Marga_Arab_Hadramaut diakses pada tanggal 20 Februari 2009.
10Organisasi ini semula berpusat di Hadramaut, daerah hunian baru bagi migran dari Mekkah. Sekarang pusat kegiatan terdapat di Tanah Abang, Jakarta Selatan, karena Indonesia merupakan negara dengan populasi habib terbanyak. Op.Cit. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/ Habib . diakses pada tanggal 20 Februari 2009.
11Lihat. http://id.wikipedia.org/wiki/Sayyid. diakses pada tanggal 20 Februari 2009.
3
Perkembangan awal dua organisasi Al Jami’at Al Khairiyyah dan Al Irsyad
di Indonesia tentu tidak dapat lepas dari sosok seorang ulama yang bernama
Syaikh Ahmad Soorkatti dari Sudan. Kedatangan beliau berawal dari
permintaan pengurus Al Jami’at Al Khairiyyah untuk menjadi pengajar dalam
sekolah tersebut. Beliau segera menjadi seorang tokoh yang menjadi tempat
orang bertanya dan meminta fatwa karena pengetahuannya yang dikenal sangat
luas. Bersama teman-temannya yang juga merupakan pengikut Abduh, Syaikh
Ahmad Soorkati mengajarkan tidak hanya ilmu agama melainkan juga ilmu-
ilmu dunia seperti berhitung, ilmu alam, selain itu beliau juga mengajarkan
persamaan dalam Islam, yang pada gilirannya membuat para sayyid khawatir
akan kedudukan mereka di masyarakat akan tersaingi oleh orang masyayekh.
Akhirnya perpecahan antara dua organisasi tidak dapat dihindari. Hal tersebut
kemudian membuat Syaikh Ahmad Soorkatti menjadi pengajar di Al Irsyad
sebab kehadirannya di Al Jami’at Al Khairiyyah sudah tidak diharapkan lagi,
sebab menurut mereka perpecahan dalam tubuh Al Jami’at Al Khairiyyah
disebabkan oleh Syaikh Ahmad Soorkatti.
Setiap agama lahir dalam sebuah lingkup sejarah dan kemudian
menciptakan tradisi.12 Salah satu bentuk tradisi penghormatan taqbil atau
mencium tangan kepada kalangan habib oleh orang yang bukan berasal dari
golongan habib, khususnya orang non Arab ketika berjumpa meskipun habib
tersebut usianya jauh lebih muda. Dalam hal ini sempat terjadi penolakan dari
kalangan non habib atau orang-orang Al Irsyad yang mengharuskan mereka
12Komaruddin Hidayat. Pluralitas Agama dan Masa Depan Indonesia. Dalam Al-Zastrouw Ng. 2006. Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI. Yogyakarta: LkiS. Hal. 15
4
untuk mencium tangan para habaib ketika bertemu sebagai bentuk
penghormatan, persitiwa tersebut sudah terjadi sejak awal berdirinya dua
organisasi besar itu. Tradisi taqbil diciptakan oleh kelompok habaib untuk
melanggengkan previlige mereka terhadap orang lain yang bukan kelompok
habaib.
Umumnya habib ditabukan menerima zakat, sodaqoh maupun hadiah lain
karena mereka beranggapan bahwa semua bentuk pemberian tersebut
merupakan harta kotor.13 Menurut mereka, orang Arab terutama dari golongan
habib lebih mulia di muka bumi ini. Oleh sebab itu kehormatan bergelar habib
haruslah dijaga dan dilestarikan agar tidak bercampur dengan orang dari
golongan rendah, yaitu orang ajam.14 Sehingga kemurnian nasab Rasulullah
Saw akan terjaga sampai hari kiamat.15 Adanya perasaan menjadi anggota atau
bagian warga yang berstatus tinggi dari golongan habib mengakibatkan adanya
harapan untuk menjaga kemurnian nasab Rasulullah Saw.
Gelar habib bagi para penyandangnya memang menyangkut elitisme
dalam dua hal sekaligus, yakni dalam posisi askriptif (sebagai juriat
Muhammad saw.) dan jenjang religiusitas (sebagai kiai, ulama dan barangkali
“wali”). Kegemaran sejumlah habib mengunjungi kuburan-kuburan tertentu;
melaksanakan seremoni haulan atau mauludan; aktivitas pertemuan berkala
mereka dalam perkumpulan para habib, baik dalam kegiatan umum maupun
13Op.Cit. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Hal.61
14Orang non Arab
15Op.Cit. Deliar Noer. Hal. 69
5
dalam aktivitas politik mereka, menegaskan argumen ini. Dalam khasanah
budaya pesantren, habib adalah sebagai pribadi dengan performance yang
demikian dihargai dan dihormati karena memiliki berbagai kelebihan dan
karamah. Biasanya ia adalah anak seorang kiai bisa juga seorang kiai, atau
paling tidak termasuk sanak kerabat “orang ‘alim” yang punya garis keturunan
langsung sampai kepada Nabi Muhammad saw.16
Para habib biasanya sangat dihormati oleh sebagian masyarakat muslim
Indonesia karena dianggap sebagai tali pengetahuan yang murni sekaligus
karena garis keturunannya yang langsung dari Nabi Muhammad saw. Habaib
(jamak dari habib) di Indonesia sangatlah banyak memberikan pencerahan dan
pengetahuan tentang agama Islam. Sudah tak terhitung jumlah orang yang
akhirnya memeluk agama Islam ditangan habaib. Di Surabaya, khususnya di
kawasan ampel, bermukim sejumlah habaib di kampung Arab Ampel dan
sekitarnya. Di kawasan inilah pusat berkumpulnya serta aktivitas sebagian besar
para habib. Menurut Aminuddin Kasdi17, sejak Raden Rahmat (Sunan Ampel)
menjadikan kawasan Ampel sebagai pusat penyebaran Islam di Surabaya dan
Jawa Timur pada tahun 1420 komunitas Arab di Ampel mulai tinggal secara
berkelompok di kampung tersebut yang selanjutnya kawasan Ampel menjadi
identik dengan kampung Arab. Selanjutnya, eksistensi kampung Ampel
semakin besar ketika Sunan Ampel dikenal sebagai Wali Songo.
16Aliman Syahrani. Habib. Lihat. http://kucapa.blogspot.com/2008/12/h-b-i-b.html. diakses pada tanggal 20 februari 2009.
17Ahli sejarah dari Universitas Negeri Surabaya. Lihat http://www.mail-archive.com/forum-pemba [email protected]/msg20608.html
6
Sejauh ini terdapat beberapa studi yang sudah dilakukan seputar etnis Arab
yang digali dari berbagai fokus esensi permasalahannya. Pertama, skripsi milik
Shinta Yuniar Savitri dari Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Surabaya dengan judul Perlakuan majikan etnis dan
keturunan Arab terhadap pembantu rumah tangga di jalan KH. Mas Mansyur
Surabaya. Penelitian yang dilakukan di sekitar kawasan kelurahan Ampel
Surabaya pada awal bulan Maret 2006 itu berusaha melihat bagaimana
perlakuan majikan etnis dan keturunan Arab terhadap pembantu rumah
tangganya yang berbeda secara etnis. Penelitian itu menggunakan teori
kekerasan terhadap perempuan dan menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan life history berhasil menjelaskan tidak ditemukannya perlakuan
majikan yang menyebabkan pembantu menderita kekerasan secara fisik
maupun seksual. Melainkan hanya sebatas kekerasan psikis seperti dimarahi
atau dibentak ketika pembantu melanggar peraturan majikan. Faktor yang
menyebabkan adanya kekerasan terhadap pembantu perempuan salah satunya
adalah adanya budaya patriarki yang dipegang oleh keluarga majikan Arab,
sehingga posisi pembantu perempuan berada pada posisi subordinat yang kerap
dan rentan menjadi korban kekerasan. Karena di lingkungan keluarga Arab
terdapat aturan yang dibuat khusus untuk pembantu dan harus dipatuhi. Jika
melanggar peraturan yang berlaku biasanya pembantu sekedar diingatkan atau
ditegur, namun ada juga yang sampai dimarahi. Semua tergantung dari masing-
masing majikan.18
18 ?Shinta Yuniar Savitri. 2006. Perlakuan majikan etnis dan keturunan Arab terhadap pembantu rumah tangga di jalan KH.Mas Mansyur Surabaya. Skripsi tidak diterbitkan. Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
7
Kedua, studi yang dilakukan oleh Indah Churrotul Aini dari Fakultas
Syariah Jurusan Ahwalus Syakhsiyah berjudul Persepsi Masyarakat Islam
Keturunan Arab di Kelurahan Ampel Kecamatan Semampir Tentang Konsep
Kafa’ah dalam Perkawinan yang dilakukan pada Tahun 2004. Penelitian
dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan analisis
deduktif induktif itu menyimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Arab di
Kelurahan Ampel menganggap penting akan adanya kekufu’an antara calon
suami dan calon istri dalam suatu perkawinan dalam hal nasab atau keturunan.
Artinya, seorang wanita Arab tidak boleh menikah dengan laki-laki non Arab,
dan wanita Arab dari golongan habib tidak boleh menikah dengan laki-laki non
habib. Persepsi dari ajaran agama dan nenek moyang itu mereka terapkan
dengan alasan untuk menjaga kemurnian nasab, menaati ajaran agama, perintah
orang tua, menjaga kehormatan keluarga, dan mewujudkan keharmonisan
rumah tangga. Selanjutnya, dengan kuatnya persepsi itu implikasinya adalah tak
sedikit wanita Arab merasa kesulitan untuk memperoleh calon suami sesuai
dengan kriteria yang ditentukan dan adanya pemutusan hubungan silaturahmi
atas anak perempuan yang menikah dengan laki-laki non Arab.19
Ketiga, riset yang dilakukan oleh Sutinah dan Sri Endah Kinasih dari
Universitas Airlangga dengan judul Tindak kekerasan terhadap anak
perempuan pada saat pemilihan jodoh di kalangan etnis Arab Surabaya yang
dilakukan pada tahun 2005. Penelitian itu menunjukkan bahwa anak perempuan
19Indah Churrotul Aini. 2004. Persepsi Masyarakat Islam Keturunan Arab di Kelurahan Ampel Kecamatan Semampir Tentang Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan. Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Ahwalus Syakhsiyah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
8
banyak mengalami tindak kekerasan yang berupa fisik, psikis dan ekonomi
dalam pemilihan jodoh apabila anak perempuan tidak memenuhi keinginan
orang tua dan kerabatnya sesuai tradisi yang ada. Atas kondisi itu, melalui
peranan tokoh agama dan tokoh adat sebagai panutan masyarakat Ampel
sebagian masyakarat Arab Ampel sesekali dapat menekan perilaku pemilihan
jodoh keluarga yang berdampak kepada tindak kekerasan pada anak perempuan
dan pembentuan image perempuan pada kelompok marginal yang harus
mengikuti tradisi.20
Berbagai telaah dari studi yang pernah dilakukan peneliti selama ini
tentang etnis Arab, dapat disimpulkan penelitian yang tersedia lebih terfokus
pemaparan kepada seputar pola perkawinan atau hubungan sosialnya dengan
masyarakat etnis lain atau non Arab. Berangkat dari pencarian permasalahan
tersebut ditambah dengan diskusi bersama dengan Sosiolog, fokus studi tentang
permasalahan konstruksi diri habib belum pernah dilakukan sehingga menjadi
layak dipertimbangkan oleh peneliti untuk selanjutnya dikaji lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
Fenomena masyarakat arab khususnya kelompok habib memiliki keunikan
yang belum banyak digali dan dipahami oleh sebagian masyarakat. Konstruksi
masyarakat mengenai habib cenderung seragam (tunggal), tidak dapat
dipungkiri bahwa realitas sejatinya tidaklah tunggal melainkan jamak, sama
halnya dengan realitas tentang habib. Dengan demikian akan menjadi menarik
ketika melihat konstruksi habib yang memiliki kondisi latar belakang yang 20Sutinah, dan Sri Endah Kinasih. 2005. Tindak kekerasan terhadap anak perempuan pada saat pemilihan jodoh di kalangan etnis Arab Surabaya. Lembaga Penelitian Unair.
9
berbeda-beda untuk menemukan keunikan-keunikan yang selama ini jarang
diketahui masyarakat. Berdasarkan uraian permasalahan fenomena habib di
masyarakat yang telah dijelaskan dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana habib mengkonstruksi dirinya?
2. Bagaimana proses konstruksi tersebut berlangsung?
C. Tujuan Penelitian
Dilaksanakannya penelitian ini bertujuan untuk menjawab seputar :
1. Konstruksi diri habib
2. Proses konstruksi tersebut berlangsung
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat
sebesar-besarnya kepada peneliti dan masyarakat umum dalam memahami lebih
jauh seputar tipologi masyarakat Arab Ampel, khususnya dalam
pengonstruksian tentang gelar habib untuk selanjutnya dapat menjadi varian
bahan diskusi Sosiologi Agama.
10
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konstruksi Sosial : Peter L. Berger dan Thomas Luckman
Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman memperkenalkan konsep
konstruksionisme melalui tesisnya tentang konstruksi atas realitas. Teori
konstruksi sosial Berger menyatakan bahwa, realitas kehidupan sehari-hari
memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam
menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi,
sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang
mencerminkan realitas subjektif). Masyarakat merupakan produk manusia dan
11
manusia merupakan produk masyarakat. Baik manusia dan masyarakat saling
berdialektika diantara keduanya. Masyarakat tidak pernah merupakan sebagai
produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk.
Menurut Berger dan Luckman konstruksi sosial adalah pembentukan
pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut
keduanya terbentuk secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan
(sociology of knowledge) untuk menganalisa bagaimana proses terjadinya. Hal
ini memberikan pemahaman bahwa “realitas” dengan “pengetahuan” harus
dipisahkan. Mereka mengakui realitas objektif, dengan membatasi realitas
sebagai “kualitas” yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada
diluar kemauan kita sebab fenomena tersebut tidak bisa ditiadakan. Sedangkan
pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomena adalah riil
adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-
hari.
Realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang baik di
dalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas memiliki makna ketika realitas
sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain
sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif.21
Berger berhutang budi pada guru besarnya, Alfred Schutz, atas kuliah-
kuliahnya mengenai konstruksi realitas secara sosial. Karya schutz membuat
Berger mampu mengembangkan model teoritis lain mengenai bagaimana dunia
21Wilian Dalton. Konstruksi Sosial, Interpretasi Alternatif dan Kedamaian. Lihat. http://wiliandalton.blogspot.com/2008/03/konstruksi-sosial-interpretasi.html. diakses pada tanggal 10 Juni 2009.
12
sosial terbentuk. Menurut Berger realitas sosial eksis dengan sendirinya dan
dalam mode strukturalis dunia sosial tergantung pada manusia yang menjadi
subjeknya. Berger berpendapat bahwa realitas sosial secara objektif memang
ada tetapi maknanya berasal dari dan oleh hubungan subjektif dengan dunia
objektif.22
Berger cenderung tidak melibatkan diri dalam pertentangan antar
paradigma, namun mencari benang merah atau mencari titik temu gagasan Karl
Marx, Emile Durkheim dan Max Weber. Benang merah itu bertemu pada;
historisitas. Selain itu, benang merah tersebut yang kemudian menjadikan
Berger menekuni makna (Alfred Schutz) yang menghasilkan watak ganda
masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan masyarakat
sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus berdialektika (Marx).
Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak
bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala yang manusiawi. Tentang dialektika
(individu adalah produk masyarakat, masyarakat adalah produk manusia)
Berger rupanya meminjam gagasan Marx. Sedang masyarakat sebagai realitas
obyektif –yang mempunyai kekuatan memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial,
adalah sumbangan Durkheim. Schutz rupanya lebih mewarnai dari tokoh
lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan sehari-hari common sense.
Secara umum, dalam masalah internalisasi, termasuk tentang I and Me dan
significant others, Herbet Mead menjadi rujukan Berger.23
22 Margaret M. Poloma. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 299
23Muhammad Arwan Rosyadi. 2008. Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger. Lihat. http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11/teori-konstruksi-sosial-peter-l-berger/. Diakses pa-
13
Mengenai proses dialektik fundamental dari masyarakat, menurut Berger,
hal itu dapat dijelaskan lewat tiga langkah, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi.24 Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara
terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mental.
Sedangkan objektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu, baik
fisik maupun mental─suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya
semula─dalam bentuk suatu fakta (faktisitas) yang eksternal terhadap, dan lain
dari, para produsen itu sendiri. Adapun internalisasi adalah peresapan kembali
realias tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari
struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif.
Melalui internalisasi ini, manusia merupakan produk masyarakat.25
Menurut Berger, membahas masyarakat sebagai usaha membangun dunia,
seperti yang dilakukannya itu sama dengan mengatakan bahwa aktivitas ini
adalah kegiatan yang nomizing. Nomos adalah lawan dari anomie, atau suatu
keadaan tanpa normal. Bilamana anomie merupakan ambruknya aturan-aturan
social, nomos merupakan keteraturan dan ketentuan-ketentuan normatifnya.
Terdapat nomos atau makna bersama bagi masyarakat yang lebih luas di mana
individu berpartisipasi, tetapi sebagaimana yang kita lihat, di sepanjang itu
terdapat pula makna-makna subjektif atau individual.26 Disamping nomos
da tanggal 1 Maret 2009.
24Peter L. Berger, 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES. dalam Al-Zastrouw Ng. 2006. Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI. Yogyakarta: LkiS. Hal. 19
25Al-Zastrouw Ng. 2006. Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI. Yogyakarta: LkiS. Hal. 19
26 Op.Cit.. Margaret M. Poloma. Hal 308.
14
terdapat juga apa yang disebut Berger sebagai kosmos. Kosmos
menransendentir realitas sehari-hari, bergerak dalam dunia luar verifikasi
objektif.27
B. Habib
Habib merupakan salah satu gelar kehormatan yang diberikan kepada para
salaf kaum ’Alawi. Selain habib kita juga mengenal imam, syaikh, dan sayyid.
Ini mengacu dari pendapat Sayyid Muhammad Ahmad Al Syatri dalam bukunya
Sirah al-salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, yang membagi hijrah para salaf
kaum ’Alawi menjadi empat tahap.28
Pada pertengahan abad XI hingga abad XIV, kaum ’Alawi hijrah keluar
dari Hadramaut. Dari proses hijrah ini mereka kemudian mampu mendirikan
berbagai kesultanan atau kerajaan. Seperti kerajaan Alaydrus di Surrat (India),
Kesultanan al-Qadri di kepualauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak
dan Bafaqih di Filipina. Beberapa kesultanan atau kerajaan tersebut masih dapat
kita lihat. L.W.C Van den Berg menyebutkan bahwa para sayyid tersebut
mendapat gelar habib dan anak perempuan mereka bergelar hababah. Gelar
habib ini mulai berlaku pada abad 11 hingga 14 H.29
Mengenai pemberian gelar habib yang diwariskan secara keturunan,
terdapat dalil yang menjadi dasar dalam hal ini, yakni seperti hadist yang
diriwayatkan oleh Aisyah R.a. sebagai berikut,
27 Ibid. Hal 309
28 Zulkifli. 2009. Gelar dalam Islam. Jogjakarta: Pinus book publisher. Hal. 40.
29 Ibid. Zulkifli.
15
“Aisyah menyatakan bahwa pada suatu pagi, Rasulullah keluar dengan mengenakan kain bulu hitam yang berhias. Lalu, datanglah Hasan bin Ali, maka Rasulullah menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Husain lalu beliau masuk bersamanya. Datang juga Fatimah, kemudian beliau menyu-ruhnya masuk. Kemudian datang pula Ali, maka beliau menyuruhnya masuk, lalu beliau membaca ayat 33 surah al-Ahzab, "Sesungguhnya Allah ber-maksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."30
Dalil tersebut menjelaskan tentang bagaimana Ahlul Bait31 memiliki
keistimewaan dibandingkan orang biasa yaitu mereka masih termasuk
keturunan Nabi Muhammad Saw sebagaimana halnya Ali bin Abi Thalib,
Fatimah Azzahra, Hasan dan Husain. Akan tetapi dalam perkembangannya, ada
perbedaan pandangan dalam menyikapi persoalan Ahlul Bait itu dalam
diantaranya dari kelompok Sunni32 dan Syiah33. 30Al-Albani, M. Nashiruddin. 2005. Ringkasan Shahih Muslim Hadist no. 1656. Jakarta: Gema Insani Press.
31Ahlul Bait adalah istilah yang berarti "Orang Rumah" atau keluarga. Dalam tradisi Islam istilah itu mengarah kepada keluarga Muhammad. Terjadi perbedaan dalam penafsiran baik Muslim Syi'ah maupun Sunni. Syi'ah berpendapat bahwa Ahlul Bait mencakup lima orang yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain sebagai anggota Ahlul Bait (di samping Muhammad). Sementara Sunni berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga Muhammad dalam arti luas, meliputi istri-istri dan cucu-cucunya, hingga terkadang ada yang memasukkan mertua-mertua dan menantu-menantunya. Lihat. http://id.wikipedia.org/wiki/Ahlul_Bait. diakses pada tanggal 20 Februari 2009.
32Sunni adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan ±10% menganut aliran Syi'ah. Ahlus Sunnah atau sunni adalah orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan juga para sahabatnya. Oleh karena itu Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sunni. diakses pada tanggal 20 Februari 2009.
33 Syiah ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Muslim Syi'ah mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Ahlul Bait-nya. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta
16
Ihwal di atas dapat dimengerti bahwa gelar atau status tersebut diperoleh
dari keturunan (ascribed status) yakni gelar atau status yang disandang oleh
seseorang karena memiliki garis keturunan dari Nabi Muhammad saw.
Sehingga gelar habib ini bersifat given kepada setiap orang yang memiliki
nasab dengan Nabi Muhammad saw sejak orang itu dilahirkan tanpa ada usaha-
usaha yang harus dilakukan untuk memperoleh gelar tersebut. Oleh sebab itu,
seorang bergelar habib tidak lantas orang tersebut adalah orang yang memiliki
ilmu pengetahuan tentang agama yang luas, atau dikenal sebagai orang yang
alim. Gelar lain untuk habib adalah sayyid, syed, sidi (sayyidi), wan dan bagi
golongan ningrat (kerajaan) disebut syarif/syarifah.34 Hanya saja di Indonesia
istilah habib lebih lazim digunakan dan lebih popular daripada istilah lainnya.
Masyarakat Arab terbagi atas dua golongan, yaitu golongan sayyid dan
golongan bukan sayyid (syekh). Golongan sayyid adalah mereka yang berasal
dari keturunan Arab bangsawan. Mereka ini adalah golongan yang paling mulia
dibanding golongan lain sebab mereka adalah keturunan Nabi Muhammad saw
secara langsung melalui Fatimah Istri Ali Bin Abi Thalib yang mempunyai dua
anak laki-laki yaitu Al Hasan dan Al Husain. Dari dua cucu nabi ini timbullah
keturunan Arab tetapi tanpa melewati garis keturunan dari nabi. Namun
menurut golongan syekh, setiap keturunan Arab yang mengajarkan agama atau
penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah. Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Syiah. diakses pada tanggal 20 Februari 2009.
34Ibid. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/ Habib .
17
menyiarkan agama Islam dimanapun mereka berada adalah keturunan nabi.
Disamping itu mereka terbagi pula menjadi golongan manasib dan bukan
manasib tergantung apakah mereka golongan yang berkuasa atau tidak.
Golongan sayyid menikmati kedudukan yang tinggi dalam masyarakat dan
terutama berhadapan dengan orang Indonesia, mereka menuntut kedudukan
yang lebih tinggi dalam ”kacamata” agama meskipun ibu-ibu mereka bukan
sayyid, bahkan bukan orang Arab.35 Disamping itu, masyarakat setempat
menganggap bahwa orang keturunan Arab merupakan pewaris Nabi dalam
mendakwahkan Islam, sehingga ada kecenderungan dalam diri mereka untuk
menggeneralisir bahwa semua orang Arab itu baik dan alim. Bahkan tidak
jarang terjadi pengkultusan yang berlebihan terhadap orang Arab oleh para
pengikutnya. Hal ini disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa terdapat
keberkahan pada diri orang Arab khususnya dari golongan alawiyyin.36
35Deliar Noer. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Hal.71-72. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia. hal 66.
36Alawiyyin adalah sebutan bagi kaum atau sekelompok orang yang memiliki pertalian darah dengan Rasulullah Saw. Sebutan lain untuk alawiyyin adalah ba'alwi. Ba'Alawi ialah gelar yang diberi kepada mereka yang memiliki keturunan dari Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi. Lihat. http://id.wikipedia.org/-wiki/Alawiyyin diakses pada tanggal 25 April 2009.
18
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Sifat Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain.37 Alasan menggunakan metode ini
dianggap tepat sebab lebih fleksibel dan tidak terlalu kaku ketika menggali dan
memahami data secara mendalam dan menyeluruh mengenai konstruksi diri
habib.
Selanjutnya, penelitian ini mengadaptasi pendekatan fenomenologi yang
berada dalam paradigma38 konstruktivis.39 Paradigma penelitian memiliki
peranan penting─khususnya dalam penelitian kualitatif─sebab menentukan
asumsi-asumsi dasar, teori, metode yang digunakan peneliti. Secara ontologis
paradigma konstruktivis memandang realitas sebagai hasil konstruksi sosial.
Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik
37Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal. 6
38Istilah paradigma pertama kali dimunculkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang terkenal The Structure of Scientific Revolution dengan istilah eksemplar (exemplar). Baca Kuhn, T., 1993, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, diterjemahkan oleh Tjun Surjaman, Bandung: Remaja Rosdakarya.
39Dalam bukunya, Denzin mengklasifikasikan 4 paradigma yakni, positivis, post positivis, konstruktivis, dan kritis. Baca. Denzin, N. and Lincoln, Y., 1990, “Introduction: Entering the Field of Qualitative Research”, Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publication.
19
(khusus) dan lokal yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Kebenaran dibangun
dalam kesepakatan komunitas sebagai hasil negosiasi dan tidak bersifat
universal. Paradigma konstruktivis berasumsi, bahwa setiap manusia
mempunyai construct (bangunan "kebenaran") dan construe (cara memahami
"kebenaran") yang berbeda-beda. Dengan demikian akan menjadi menjadi daya
tarik yang besar bagi suatu penelitian, apabila dapat mengenali construct dan
construe subjek penelitian.40 Fenomenologi diadaptasikan karena landasan
teoretis dari penelitian kualitatif itu bertumpu secara mendasar pada
fenomenologi41, dan fenomenologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
fenomenologi yang dikembangkan oleh Alfred Schutz.
Aliran fenomenologi Schutz mengajarkan bahwa kesadaran individu yang
hadir ditengah-tengah masyarakat merupakan arus kesadaran yang diperoleh
dari proses refleksi atas pengalaman sehari-hari. Artinya ada kesadaran individu
itu diperantarai oleh cara berpikir dan merasa, refleksi lalu diteruskan kepada
orang lain melalui hubungan sosialnya yang bersifat simultan. Menurut Schutz,
fenomenologi sebagai metode dirumuskan sebagai media untuk memeriksa dan
menganalisis kehidupan batiniah individu yang berupa pengalaman mengenai
fenomena atau penampakan sebagaimana adanya, yang lazim disebut arus
kesadaran.42
40Aristiono Nugroho. Paradigma Penelitian. Lihat .http://sosiologipertanahan.blogspot.com/2009/05/paradigma-penelitian.html. diakses pada tanggal 24 Juni 2009
41Op.Cit.. Lexy J. Moleong. Hal. 14
42Toum Campbell. 1994. Teori Social, Yogyakarta: Kanisius. Hal. 233-235.
20
Menurut Schutz, dunia sosial merupakan sesuatu yang intersubjektif dan
pengalaman yang penuh makna (meaningfull). Konsep fenomenologi
menekankan bahwa makna tindakan, identik dengan motif yang mendorong
tindakan seseorang, yang lazim disebut in order to motive. Artinya, untuk
memahami tindakan individu harus dilihat dari motif apa yang mendasari
tindakan tersebut.
Lebih lanjut Schutz menambahkan bahwa dengan motif yang melatar
belakangi suatu tindakan atau because motif, kita bisa melihat makna tindakan
sesuai dengan motif asli yang benar-benar mendasari tindakan yang dilakukan
secara individu.43
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian atau informan yang diambil menggunakan teknik snow
ball. Yakni, menanyakan kepada subjek siapa saja yang menjadi teman
terdekatnya, kemudian kepada teman-teman terdekatnya itu ditanyakan lagi
siapa teman terdekatnya.44
Teknik ini kemudian akan menentukan atau mendapatkan seorang key
informan yang perannya sangat penting dalam menggulirkan “bola salju”
subjek penelitian. Artinya, dari key informan diperoleh subjek secara berturut-
turut dari satu informan menuju informan lain berdasarkan rekomendasi dari
informan-informan yang telah dijumpai sebelumnya. Key informan yang telah
43Malcolm waters, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publication, London, Thousand Oaks, New Delhi.
44George Ritzer. 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Diterjemahkan oleh Alimandan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal. 31
21
ditetapkan peneliti yakni Kelurahan dan Ketua RW setempat, hal ini
dikarenakan kedua pihak tersebut memiliki pengetahuan yang cukup luas
tentang kondisi masyarakat Arab khususnya kelompok habaib di sekitar
lingkungan Ampel.
Subjek penelitian yang diperoleh dalam proses snow ball memiliki latar
belakang kehidupan dan profesi yang beragam. Mengingat posisi peneliti yang
berada di luar komunitas arab khususnya kelompok habaib, maka menjadi
sebuah tantangan tersendiri untuk bisa memperoleh subjek penelitian yang
memiliki latar belakang kehidupan dan profesi yang beragam. Penggunaan
proses snow ball ini sangat membantu peneliti untuk mendapatkan subjek
tersebut, sebab sistem kekerabatan etnis arab yang sangat kuat memudahkan
untuk men-snow ball para subjek, sehingga dari satu subjek sudah bisa
mendapatkan rekomendasi yang tidak sedikit ke subjek lain yang tidak lain
adalah teman, kolega, atau saudara dekat dan saudara jauhnya sendiri.
Karateristik subjek penelitian dalam penelitian ini adalah seorang yang
memiliki nasab dari Rasulullah atau dengan kata lain adalah habib yang
memiliki latar belakang kehidupan dan profesi yang beragam. Oleh sebab itu,
diharapkan dengan keragaman identitas tersebut dapat diperoleh keunikan-
keunikan dari masing-masing subjek sehingga membuat temuan data menjadi
lebih menarik. Alasan pemilihan subjek penelitian tersebut karena sesuai
dengan fokus penelitian yakni tentang konstruksi diri habib. Adapun total
keseluruhan subjek yakni berjumlah lima orang, berikut di bawah ini adalah
tabel karakteristik subjek penelitian:
22
Tabel. 1: Karakteristik Subjek Penelitian
No
Nama Usia Profesi
1 Ahmad bin Agil 23 Pemain Sepak Bola
2 Yahya Assegaf 27 Dokter
3 Ali Al Habsyi 32 Advokat & Politikus
4 Reza Al Jufri 28 Pedagang
5 Umar Abdullah Alaydrus 68 Ulama
C. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian ini adalah di kota Surabaya yang lebih
difokuskan pada pemukiman etnis Arab di Surabaya yakni di Kawasan sekitar
Ampel. Lokasi tersebut merupakan pemukiman terbesar orang Arab di
Surabaya, tak terkecuali para habib dan disana terdapat bermacam etnis selain
Arab yang berinteraksi dengan para habib. Kondisi sosial budaya di kawasan
Ampel yang multikultur membuat studi ini menjadi lebih menarik dalam
mengungkap bagaimana pengonstruksian diri hingga penggunaan gelar habib
dalam interaksi sehari-hari mereka ditengah-tengah masyarakat sekitar sesuai
dengan profesi masing-masing juga tentunya.
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni hingga awal bulan
Desember 2009. Meskipun berada dalam satu kota, namun wilayah tempat
tinggal peneliti dengan lokasi penelitian cukup jauh, yakni di Surabaya Utara
sedangkan peneliti bertempat tinggal di kawasan Surabaya Selatan, hal ini tentu
membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, tuntutan untuk dapat
23
melakukan mobilitas dengan baik agar memperlancar proses penelitian
dilakukan peneliti selama proses penelitian ini.
D. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer terdiri dari dua cara yakni participant as
observer dan indepth interview.
Peneliti sudah melakukan observasi awal ketika Juli 2009 bersama seorang
rekan yang memiliki kenalan orang arab di ampel, oleh rekan tersebut akhirnya
peneliti dikenalkan pada Umar Al Askari yang tak lain adalah kenalannya,
namun beliau bukan termasuk golongan habaib melainkan masyayekh, akhirnya
setelah beliau tidak dapat memberikan kontribusi yang berarti maka peneliti
memutuskan untuk mencari link dengan usaha sendiri.
Pertama yang dilakukan adalah meminta rekomendasi dari Kelurahan
Ampel untuk ditunjukkan wilayah RW yang terdapat banyak habib, dan
sekaligus meminta rekomendasi nama dan alamat ketua RW setempat agar bisa
langsung direkomendasikan oleh ketua RW masing-masing warganya yang
termasuk dalam kelompok habaib. Selain itu peneliti sempat melakukan
observasi dengan berkeliling di kawasan seputar Ampel, dan secara kebetulan
sempat menemukan sebuah praktek dokter yang bernama Yahya Assegaf,
karena mengetahui bahwa nama marga “Assegaf” adalah termasuk dari
kelompok habaib, maka pada suatu kesempatan peneliti mencoba untuk
mendatangi tempat praktek tersebut dan langsung menemui dokter tidak dengan
24
alasan berobat namun menjelaskan maksud dan keperluan yakni untuk meminta
kesediaan di wawancara. Setelah menjelaskan maksud dan keperluan akhirnya
Yahya bersedia, dan dari Yahya diperoleh rekomendasi ke subjek-subjek yang
lain, oleh Yahya peneliti dikenalkan kepada Reza teman sekolahnya dulu, lalu
dari Reza peneliti langsung dikenalkan ke dua subjek sekaligus yakni Ali
temannya dan Habib Umar kakek dari istrinya. Sedangkan rekomendasi dari
Kelurahan dan ketua-ketua RW hanya satu yang berhasil peneliti temui yakni
Ahmad, seorang pemain sepak bola, yang tempat tinggalnya bertetangga
dengan salah satu ketua RW.
Peneliti secara langsung mengutarakan kepada subjek penelitian jika
sedang melakukan penelitian, sebab akan sangat menyulitkan untuk
mendapatkan subjek penelitian jika peneliti tidak menjelaskan secara terus
terang maksud dan keperluannya. Selanjutnya, untuk menghindari adanya bias,
maka selama proses penggalian data peneliti mencoba tidak seperti
menginterogasi atau seperti tanya jawab, melainkan peneliti selalu berusaha
menciptakan suasana yang akrab layaknya berbincang-bincang santai, ketika
memulai pembicaraan peneliti harus beberapa kali ber-basa-basi dahulu untuk
mencairkan suasana dan tidak langsung menuju pada pertanyaan-pertanyaan
inti yang hendak diajukan, hal tersebut dilakukan untuk menciptakan keakraban
karena dengan cara tersebut diharapkan subjek tidak merasa bahwa kehadiran
peneliti adalah sebagai observer dan atau interviewer.
Proses getting in dilakukan peneliti secara perlahan, terlebih ketika di awal
sempat ada stigma jika etnis arab adalah orang yang eksklusif, namun dengan
25
meyakinkan tekad dan keberanian akhirnya peneliti memulai getting in dengan
hati-hati. Setelah di lapangan, stigma tersebut tidak sepenuhnya benar, orang-
orang arab yang ditemui peneliti hampir semuanya sangat terbuka dan welcome,
bahkan cukup akrab ketika berbincang-bincang, hal ini tentu sangat
memudahkan peneliti dalam melakukan getting in. bahkan ketika silaturahim ke
rumah Reza, peneliti sempat diberi makan, hal ini menunjukkan penerimaan
yang cukup baik dari Reza hingga peneliti merasa tidak enak sendiri karena
perlakuan dan jamuan yang terlalu berlebihan menurut peneliti. Minimal
seminggu sekali peneliti mendatangi salah satu subjek penelitian untuk
silaturahim sekaligus berbincang-bincang seputar topik penelitian, dan ketika
bulan Ramadhan intensitas peneliti sedikit berkurang karena rutinitas pada
bulan tersebut tidak begitu tepat, sebab biasanya subjek penelitian memiliki
waktu luang pada pagi hari atau malam hari setelah maghrib, sedangkan jika
pada bulan Ramadhan waktu-waktu tersebut adalah waktu untuk berbuka puasa
dan dilanjutkan dengan shalat tarawih di masjid. Akhirnya setelah beberapa saat
trust dapat tercipta antara peneliti dengan subjek penelitian, oleh sebab itu
peneliti berusaha untuk tetap menjaga sikap baik dengan sunjek penelitian agar
rapport dari subjek penelitian tetap baik.
Selama proses indepth interview berlangsung, peneliti selalu melakukan
probing dari setiap jawaban atau pernyataan dari subjek penelitian. Hal tersebut
menjadi penting sebab dengan dilakukannya probing dapat menghindari adanya
jawaban-jawaban yang sifatnya normatif, sehingga temuan data yang diperoleh
lebih sesuai dengan fokus penelitian. Proses indepth interview dilakukan secara
26
terselubung sehingga kondisi ketika wawancara layaknya berbincang-bincang
dan ketika subjek telah merasa nyaman diajak berbincang, pada saat itulah
sedikit demi sedikit diselipkan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan
fokus penelitian. Umumnya semua subjek sangat senang diajak berbincang-
bincang, sesuai dengan karakter orang arab yang suka bicara.
Seluruh data yang terkumpul dari proses observasi dan interview di
lapangan di catat dalam catatan lapangan (field note) sesegera mungkin setelah
selesai dari lapangan, hal ini ditujukan agar data yang diperoleh tersebut tidak
ada yang terlupakan atau terlewatkan oleh peneliti.
Pengumpulan data sekunder yakni data yang berasal dari literatur-literatur
terkait seperti buku, jurnal, karya ilmiah seperti skripsi, tesis, dan disertasi, dan
sebagainya. Disamping itu, data-data dari internet (cyber) juga ikut disertakan
untuk melengkapi data dalam penelitian ini. Penggunaan dokumentasi berupa
foto dalam penelitian ini juga termasuk dalam data sekunder.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang akan diadaptasikan adalah analisis
fenomenologis yang berfungsi untuk menguraikan ciri-ciri dunianya (kesadaran
sosial individuu.Pen), seperti apa aturan-aturan yang terorganisasikan, dan apa
yang tidak, dan dengan aturan apa objek dan kejadian itu berkaitan.45
Analisis data dalam penelitian ini juga akan dilakukan typification data.
Yakni, mengumpulkan seluruh data yang diperoleh kemudian mengkategorikan
45Op.Cit.. Lexy, J.Moleong. Hal. 16
27
data sesuai dengan jenisnya, setelah itu data direduksi sesuai dengan kebutuhan
serta memfokuskan pada data-data yang dirasa sangat penting. Data yang
terkumpul dan terangkum dalam fieldnote mulai untuk di kategorisasi
berdasarkan tipe data, dipilah antara yang diperlukan dan tidak diperlukan, lalu
akhirnya data mulai di tipifikasi dengan berusaha untuk mengidentifikasi
because motif dan in order to motif dari setiap keterangan yang diberikan
subjek penelitian.
Dalam proses analisis ini juga menemukan konsep-konsep yang muncul
tentang habib, terkait dengan temuan data yang diperoleh, yang kemudian data-
data tersebut berusaha untuk dicermati lebih lanjut dan akhirnya setelah melalui
proses yang berulang-ulang dapat dimunculkan konsep-konsep mengenai habib.
Konsep mengenai habib merupakan sebuah pentipologian habib berdasarkan
hal tertentu. Tipologi habib dihasilkan dari proses analisis ini.
Selain itu, peneliti juga berusaha untuk membedah dan mengungkap
common sense of knowledge dari subjek penelitian untuk kemudian diketahui
dan dipahami makna yang terkandung dibaliknya. Hal ini perlu dilakukan sebab
melalui proses tersebut dapat memudahkan ketika hendak menjelaskan dengan
“kacamata” teori Berger, yang terdiri dari tiga tahap “momen” konstruksi, yakni
Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi. Ketika seluruh proses tersebut
telah dilalui termasuk penggunaan teori sebagai pisau analisis atas temuan data
di lapangan, maka tahap terakhir yang harus dilakukan peneliti adalah
menyajikan seluruh data beserta analisisnya secara naratif.
28
BAB IV
TEMUAN DAN PAPARAN DATA
29
Pada bab ini akan dipaparkan profil masing-masing habib yang meliputi
alasan menekuni profesi yang saat ini dijalani, kehidupan sosial, pengalaman-
pengalaman masa lalu sampai rutinitas sehari-hari sesuai dengan profesinya.
A. Ahmad Bin Agil: Temanku memanggilku “arabpati nggenah”
Lahir 23 tahun yang lalu Ahmad sudah harus kehilangan ayahnya ketika
dia masih kelas 5 SD. Dia merupakan keturunan ke 37 dari Rasulullah dan
sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, dia merupakan anak laki-laki paling
tua karena kakaknya perempuan semua sudah menikah dan adiknya yang paling
kecil laki-laki masih SMA, membuat harapan sang ibu kepadanya cukup besar,
dan Ahmad menjadi sangat dekat dengan ibunya setelah ayahnya meninggal
dunia. Keluarga Ahmad tergolong sederhana, rumahnya tidak terlalu besar,
interior dalam rumanya juga tidak mewah, tidak ada kursi tamu di ruang tamu,
desainnya lesehan diatas karpet, untuk bepergian kemana-mana Ahmad selalu
menggunakan sepeda motor matic warna putih, kondisi tersebut sangat wajar
mengingat hanya ibunya yang menjadi tulang punggung keluarga saat ini
dengan berjualan baju-baju muslimah. Akhirnya untuk meringankan beban
ibunya dia pindah ke Batu untuk tinggal dengan neneknya, dan disana Ahmad
menyelesaikan sekolahnya hingga jenjang SMP bahkan dia sempat belajar di
pondok pesantren Daarut Tauhid Malang ketika itu.
Impian Ahmad sejak kecil adalah menjadi seorang pemain sepakbola
professional, mulanya dia hanya sering bermain bersama tetangganya di jalan
dekat rumahnya lalu setelah lulus dari Sekolah Dasar dia ingin serius berlatih
sepak bola, tepatnya ketika masih SMP dia sudah bergabung dengan Sekolah
30
Sepak Bola (SSB) Avos Van Makumba di Malang. Kemudian setibanya di
Surabaya dia melanjutkan karir sepak bolanya di Bintang Angkasa yang
termasuk dalam klub internal Persebaya, hanya enam bulan Ahmad bermain
disana, tak lama kemudian dia pindah ke klub yang lebih besar yakni
Assyabaab, dan ketika bersama Assyabaab inilah Ahmad mendapatkan berbagai
prestasi salah satunya menjadi juara I kompetisi kelas utama Persebaya pada
tahun 2007 dan menjadi salah satu striker andalan tim. Keinginannya yang
belum tercapai hingga kini adalah ingin bermain di superliga dengan klub
profesional dan menjadi bagian dari tim nasional merah putih. Namun tak
jarang cedera diderita Ahmad sehingga menghambat laju karirnya, seperti
kondisinya belakangan ini yang sedang cedera cukup parah pada otot lututnya,
memaksa dia untuk istirahat dari sepak bola selama kurang lebih empat bulan.
Disamping itu, dari bermain sepak bola, tak jarang Ahmad mendapatkan
penghasilan yang lumayan, minimal bisa untuk belajar mandiri dan sebagian
diberikan kepada ibunya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga
sehari-hari.
“sejak kecil aku sudah suka sama bola, setiap sore pasti maen bola sama temen-temen di jalan, sampe tidur aja aku pasti bawa bola karena saking sukanya. Terus waktu di malang aku ikut di SSB avos van makumba, trus gabung sama bintang angkasa waktu pulang ke surabaya lagi, tapi di bintang angkasa gak lama Cuma enam bulan aja soalnya diminta sama orang assyabaab main disitu sampe sekarang ini. Nah di assyabaab ini aku banyak dapat juara, yang paling berkesan itu waktu assyabaab juara tahun 2007, terus tahun 2008 jadi runner up. Kadang kalau aku dapat rejeki dari main bola aku kasih ke ummi sedikit biar senang, terus sebagian lagi aku simpan. Tapi cita-citaku yang belum kesampaian itu ingin
31
main di liga super sama jadi pemain timnas, semoga aja nanti bisa terwujud, soalnya teman aku sudah banyak yang mulai dikontrak sama klub-klub di liga super. Sudah hampir empat bulan ini aku gak main bola soalnya lagi cedera, kemarin sempat dipijat di sangkal putung langganan sampe suakit minta ampun! Trus rencananya aku mau foto scan di rumah sakit al irsyad sini biar jelas ototnya yang mlengse sebelah mana.”
Selain aktif bermain sepakbola dan futsal, Ahmad juga sedang menempuh
pendidikan di perguruan tinggi tepatnya di Universitas Dr.Soetomo dan
mengambil program ilmu komunikasi, saat ini dia masih semester tiga sebab
terlambat masuk kuliah yang seharusnya dilakukannya sejak tiga tahun yang
lalu, sepak bola-lah yang menyebabkan dia mengesampingkan pendidikan
tinggi. Kuliah merupakan keinginan dari sang ibu dan bukan merupakan
kehendak dari diri Ahmad sendiri. Ibunya sempat menyuruh Ahmad memilih
untuk kuliah, kerja atau bermain sepak bola, namun Ahmad lebih memilih
Sepak bola yang sudah menjadi cita-citanya sejak kecil, oleh sebab itu kuliah
yang dia jalani saat ini merupakan permintaan dari sang ibu, bukan
keinginannya sendiri. Akhirnya demi menyenangkan orang tua tercinta, Ahmad
memenuhi permintaan untuk kuliah, akan tetapi bagi Ahmad Sepak bola
tetaplah prioritas, tak jarang Ahmad menomorduakan kuliah, dan bagi Ahmad
kuliah terkadang hanya digunakan untuk sekedar keluar rumah dan bermain
bersama teman-temannya.
“wah...mestinya sekarang aku juga sudah skripsi kayak antum ya, gara-gara aku konsentrasi sama sepak bola jadi aku gak mikir untuk lanjut kuliah, tapi ummi minta aku kuliah aja biar bisa cari kerja lain nanti selain sepak bola, tapi dalam hati aku sebenernya males kuliah, agak susah bagi waktunya sama
32
main bola, soalnya aku lebih mengutamakan sepak bola daripada kuliah aku, yaahh...pokoknya bikin orang tua senang ajalah, kuliah itu malah aku buat biar bisa keluar rumah aja sambil main sama temen-temen kuliah, daripada di rumah terus bosen ham...”
Penampilan fisik Ahmad nampak sangat sporty dengan tubuh atletisnya
sebagai seorang olahragawan. Dia berpakaian seperti pemuda pada umumnya,
sering memakai celana jeans jika bepergian, kaos oblong, dan jam tangan yang
tak pernah lupa dipakai di tangan kirinya, namun jika dirumah dia lebih suka
memakai sarung. Postur tubuhnya sedang, tingginya sekitar 175 cm, dengan
tinggi tersebut sangat menunjang dalam kegiatan olah raga khususnya sepak
bola yang ditekuninya. Aktifitas sehari-harinya kuliah ketika pagi jam 8.00
hingga siang sekitar jam 12.00, lalu sore harinya biasanya dia berlatih sepak
bola jika ada lapangan yang kosong, karena di Surabaya sulit mendapat
lapangan sepak bola sebab jumlah pemakai dan lapangan tidak seimbang, dan
disamping itu dua minggu sekali dia bermain futsal dengan teman sesama etnis
arab di lapangan Al Irsyad dan terkadang dengan teman-teman kuliahnya di
kampus. Di luar itu, Ahmad menghabiskan waktu dirumah atau berkumpul dan
main dengan temannya sesekali waktu.
“aku kuliah tiap hari senin sampe kamis jam 8 pagi sampe siang sekitar jam 12, terus kalau selasa sama jumat biasanya futsal di al irsyad sama anak-anak arab, kadang kalau habis kuliah juga main futsal sama temen kampus, terus kalau main di lapangan besar biasanya aku gak tentu soalnya nunggu kalau lapangannya lagi kosong, kan di surabaya itu susah nyari lapangan sepak bola, mesti full soalnya banyak yang pakai, jadi yaa terpaksa ngantri kalau mau main.”
33
Penanaman nilai-nilai Islam sudah diterima oleh Ahmad sejak kecil, orang
tuanya mendidik dengan tuntunan agama serta pengalaman sewaktu dia di
pesantren memberikan banyak ilmu tentang agama yang lebih dari cukup.
Setelah memasuki usia remaja, Ahmad dianjurkan oleh keluarganya untuk
berhati-hati dalam menjaga perasaan terhadap lawan jenis, khususnya dengan
perempuan diluar kelompok habaib. Namun demikian, Ahmad sudah beberapa
kali menjalin hubungan dengan perempuan dari kelompok masyayekh, bahkan
terakhir dia sedang menjalin hubungan dengan seorang gadis dari etnis jawa,
akan tetapi Ahmad tidak bercerita pada sang ibu mengenai hal tersebut sebab
respons dari ibunya tentu sudah dapat dibaca oleh Ahmad. Tidak hanya dari
orang tuanya, namun saudara dan kerabat dari sesama kelompok habaib juga
menyayangkan Ahmad jika dirinya mendapatkan perempuan dari kelompok
diluar habaib. Sikap orang tua Ahmad tersebut merupakan cara untuk menjaga
garis nasab keturunan Rasulullah sehingga dengan demikian nasab Beliau tetap
terjaga hingga hari kiamat kelak, oleh sebab itu diharapkan seorang yang
berasal dari kelompok habaib juga menikah dengan kelompoknya sendiri.
Sekalipun Ahmad seorang laki-laki yang bisa saja menikahi perempuan dari
kalangan manapun karena nasab keluarga ditentukan oleh pihak laki-laki,
namun keluarganya sangat menyayangkan jika Ahmad harus berjodoh dengan
perempuan dari luar kelompok habaib.
“ummi aku selalu mengingatkan kalau harus hati-hati jaga perasaan, jangan sampai gampang cinta sama perempuan yang bukan syarifah, soalnya keluargaku dari ummi tidak ada yang menikah dengan orang diluar kelompok ba’alwi, meskipun sudah dikasih tau tapi tetap saja aku gak bisa, sudah
34
tiga kali aku pacaran sama cewek orang masyayekh dua dan terakhir sekarang ini sama cewek orang jawa, anak unair. Dulu waktu aku pacaran sama anak masyayekh aku iseng bilang sama ummi, terus ummi langsung bilang gak mau merestui kalau aku menikah sama perempuan yang bukan syarifah. Nah..kalau sama yang sekarang aku easy going aja, pacar aku sudah aku bilangi resikonya, dan dia ternyata bisa ngerti, tapi sampai sekarang ummi aku gak tau kalau aku lagi pacaran sama anak jawa. Aku takut kalau ummi gak merestui hubungan aku, resikonya gak kecil ham, bisa-bisa dikucilkan atau malah kita sendiri yang ngerasa asing jadi malah mengucilkan diri dari keluarga, saudara-saudara sama teman-teman aku yang tau kalau aku pacaran sama cewek jawa malah bilang “oalah mad..mad..cek emane kamu dapet sama orang dari bangsa lain, perempuan dari bangsamu sendiri kan masih banyak yang belum nikah, kamu kok malah nolong orang lain gak nolong dari bangsamu sendiri”, sebenernya gak masalah kalau aku nikah sama perempuan mana aja asal agamanya baik, soalnya nasabnya tetap ikut aku orang laki-laki, tapi kalau misalnya, afwan, antum nikah sama syarifah gak bisa, soalnya nasabnya nanti ikut kamu, jadi bin ilham, sudah ganti nasab dan gak sama lagi.”
Perasaan Ahmad saat ini berada dalam kebimbangan, dia ingin mentaati
perintah orang tuanya namun di sisi lain dia juga mencintai perempuan yang
saat ini berpacaran dengan dia yang merupakan orang jawa, akan tetapi Ahmad
memiliki sebuah prinsip dalam menjalani hidup dengan freedom atau kebebasan
sesuai dengan apa yang dia suka dan dia inginkan. Sehingga dia tidak ingin
terikat dengan nilai-nilai yang membuat dirinya terpenjara terutama dengan
nilai-nilai kehabiban yang menjadi kultur dalam keluarganya. Ibu adalah orang
yang paling dihormati dan dipatuhi Ahmad selama ini, sekalipun tidak suka
dengan aturan-aturan yang mengikat, namun untuk persoalan berbakti pada Ibu
khususnya dia tidak bisa beralasan banyak untuk melawan. Ahmad selalu
35
mencoba menjalani kehidupan apa adanya seperti orang kebanyakan, dia tidak
memikirkan identitasnya sebagai seorang cucu Rasul, dia berbuat sesuai dengan
yang dia yakini, intinya dia ingin menjadi seorang yang apa adanya dan bebas
tanpa terikat pada nilai-nilai yang mengikat.
“yaa...bingung ham, aku kan dueket banget sama ummi, aku gak mau bikin ummi kecewa, tapi aku juga punya kebebasan untuk milih pasangan yang terbaik dan bener-bener aku cintai yang gak bisa diatur sama orang lain, aku pengen bisa nuruti kemauan ummi tapi aku udah terlanjur pacaran sama cewekku yang sekarang ini, tapi aku gak mau pusing sekarang, yang penting aku jalanin dulu aja...aku orangnya freedom ham, gak mau diatur dan pengen bebas milih yang sesuai dengan keyakinanku tanpa ada pengaruh dari orang lain, tapi selama ini aku selalu nurut kalau sama ummi, selain itu gak ada yang aku patuhi.”
Menjadi seorang habib tidak lantas membuat orang yang bersangkutan
adalah seorang yang paham dengan baik dalam agama dan sikapnya selalu
sesuai dengan ajaran agama, hal tersebut diutarakan Ahmad sebab dia berkaca
pada dirinya sendiri dan teman-teman disekitarnya. Sekalipun dirinya
merupakan keturunan Rasululah namun Ahmad tidak merasa bahwa dirinya
adalah seorang habib karena ilmu agamanya yang sangat terbatas, namun dia
tetap meyakini bahwa dirinya termasuk kelompok ba’alwi yang merupakan
keturunan Rasulullah. Ahmad menjelaskan bahwa seorang habib adalah tokoh
masyarakat yang memiliki ilmu agama luas dan dikenal alim, sekalipun sebagai
keturunan Rasul namun jika tidak memiliki kemampuan tersebut maka tidak
dapat dikatakan sebagai habib.
36
“habib itu tokoh yang disegani dan dihormati masyarakat, karena memiliki ilmu agama yang luas dan sehari-hari selalu menjalankan tuntunan syariah dengan baik. Jadi tidak semua keturunan Rasul atau orang ba’alwi disebut habib semua, tapi hanya orang yang sudah ditokohkan saja yang bisa disebut habib, seperti Amik Ali, Amik Syekh, sama Amik Ghozy atau Amik Umar juga bisa. Beliau semua itu ilmu agamanya luas sekali, dan sering ngadakan pengajian kalau tiap malam jumat dirumahnya. Banyak pejabat-pejabat yang datang kerumah beliau kayak waktu pemilu kemarin silaturahim sama minta doa restu biar lancar. Nah....nek kayak aku gini gak bisa disebut habib, aku bukan habib soalnya bukan tokoh yang ilmu agamanya luas sekalipun aku keturunan Rasul, jadi aku Cuma sebatas cucu Rasul aja, atau orang ba’alwi.”
Gambar 1: Ahmad bin Agil menunjukkan silsilah nasab keluarga
Ahmad menyadari bahwa dirinya bukanlah orang yang memiliki
pengetahuan terhadap agama secara luas dan selalu menjalankan perintah dalam
kesehariannya, tak jarang karena dia harus berlatih atau bertanding sepak bola
dimana waktunya seringkali berbenturan dengan waktu shalat tiba, sehingga dia
harus meninggalkan shalat dan lebih mengutamakan sepak bola karena tuntutan
dari pelatih yang mewajibkan disiplin. Namun demikian, dalam hatinya Ahmad
37
sangat menyesalkan harus meninggalkan shalat karena sudah menjadi sebuah
kewajiban. Disamping itu, Ahmad tak jarang melihat langsung teman-temannya
yang mabuk-mabukan atau nyimeng dan berjudi yang juga merupakan seorang
habib. Bahkan tidak sedikit juga yang sampai masuk bui disebabkan
perbuatannya tersebut.
“...kadang aku kalau shalat masih bolong ham, paling sering itu kalau waktu latihan atau ada pertandingan, biasanya sore sampe malem, kalau pelatih udah bilang jam 3 ya mau gak mau kita harus udah ada di lapangan jam 3 gak boleh telat, akhirnya terpaksa shalat jadi bolong, tapi kadang aku juga masih bisa curi waktu sebelum latihan jadi shalatku sambil pake kaos bola biar praktis. Trus magrib juga gitu kadang belum kelar latihan tapi waktu magrib udah hampir habis, ya bolong juga akhirnya magribku. Jadi sekalipun keturunan Rasul tidak selalu orang itu menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan, objektif aja ham, sama aja kayak orang lain, ada yang baik ada yang nggak, temenku malah ada yang sering mabuk-mabukan sama judi, atau pake narkoba, malah ada yang sampai masuk medaeng, kamu kalau pernah baca koran pasti ada beritanya orang arab masuk penjara gara-gara narkoba. Sering ham aku lihat temen atau orang lain yang juga orang ba’alwi kayak gitu di pinggir-pinggir jalan atau di tempat lain.”
Perlakuan teman-teman Ahmad terhadapnya sama seperti orang lain pada
umumnya, sebab Ahmad tidak pernah menjelaskan kepada temannya bahwa
dirinya adalah keturunan Rasulullah, sekalipun demikian dia merasa seperti
remaja pada umumnya, tidak merasa lebih istimewa atau lebih tinggi
derajatnya. Karena baginya sekalipun seorang yang keturunan Rasul namun
perbuatannya bejat masih lebih baik orang yang bukan keturunan Rasul akan
tetapi sikap dan perbuatannya sesuai dengan tuntunan Islam. Sebagian
38
temannya yang mengetahui bahwa dia adalah keturunan Rasul memperlakukan
dia sedikit berbeda khususnya ketika dia berada di pesantren, dia menjadi lebih
dihormati dan disegani, namun dalam hatinya dia merasa tidak nyaman dengan
perlakuan yang istimewa sebab dia merasa tidak layak diperlakukan seperti itu.
Akan tetapi diluar pesantren dia tak ubahnya seperti orang biasa pada
umumnya, bahkan ketika kuliah kerap kali dia mendapat komentar atau julukan
“arabpati nggenah”(jawa: agak tidak benar), karena sikapnya yang senang
bergurau dan usil terhadap temannya, serta gayanya yang cenderung slengean.
Karena dalam setiap kesempatan Ahmad seringkali membuat suasana menjadi
ceria dengan banyolan-banyolannya yang membuat teman-temannya tertawa
terbahak-bahak.
“aku gak suka cerita atau nyebarluaskan ke teman-teman kalau aku ini keturunan Rasul, cucu Rasul, gak aku gak suka kayak gitu...tapi ada juga temenku yang sengaja ngasih tau ke orang lain kalau dirinya itu habib, cucu Rasul, biar di segani orang karena minta berkahnya sambil mencium tangannya. Meskipun bukan cucu Rasul tapi kalau perbuatannya baik ya itu masih lebih dihormati daripada cucu Rasul tapi kelakuannya gak karuan bejatnya. Tapi dulu waktu aku mondok di darut tauhid malang, ada sebagian temen yang tau kalau aku itu cucu Rasul mereka lebih menghormati aku dan selalu segan sama aku, tapi aku risih malahan kalau diperlakukan gitu soalnya aku gak pantas dianggap seperti itu. Sekarang kalau temen-temen di kampus itu walah gak karuan ham, guyooon thok ae isine tiap hari, pokoknya kalau ada aku pasti temen-temenku gak bakal gak ketawa, soalnya aku suka usil kadang pokoknya suka bikin suasana jadi rame, kata anak-anak aku ini “arabpati nggenah” ada yang bilang gitu, ada yang bilang aku itu anaknya slenge’an. Pokoknya komenternya pasti kayak gitu itu lah..”
39
Sekalipun Ahmad pernah menempuh pendidikan di pondok pesantren,
namun dirinya tidak pernah memiliki keinginan untuk menjadi ustadz, sejak
kecil cita-citanya hanya ingin menjadi seorang pemain sepak bola. Menjadi
cucu Rasulullah tidak membuat Ahmad memiliki keharusan untuk meneruskan
dakwah sebagaimana yang dilakukan oleh Kakeknya tersebut, karena dia
menjalani hidup ini dengan kebebasan tanpa ada pengekangan, dia ingin total
dalam bermain sepak bola sebagaimana teman-temannya yang lebih dulu sukses
berkarir dalam klub-klub profesional, Ahmad mengaku tidak terbebani dengan
statusnya sebagai keturunan Rasulullah, dia merasa biasa saja sebab baginya
tidak ada yang perlu dirisaukan terkait dengan hubungan darah dengan
Rasulullah. Sepak bola merupakan jalan yang dia pilih, selain itu Ahmad tidak
memikirkan latar belakang dirinya yang merupakan cucu Rasul, sebab dia tidak
merasa sebagai seorang habib.
“..buat aku yang penting itu bukan latar belakang sebagai cucu Rasul, tapi yang penting bisa berbuat baik di masyarakat, percuma aja ham kalau ngaku cucu Rasul tapi kelakuannya gak cocok sama gelarnya, temenku ada yang kayak gitu, kalau aku slalu bersikap biasa aja, yang penting aku jalanin profesiku sebaik mungkin, aku tekuni sepak bola sampai profesional dan karirku menanjak, tidak ada keharusan cucu Rasul itu harus jadi ustdaz atau seorang pendakwah, setiap orang punya kebebasan memilih kok akan menjadi apa, profesi apa yang akan digeluti nantinya sesuai keinginannya.”
B. Yahya Assegaf: “habib adalah beban”
Yahya adalah bungsu dari tiga bersaudara, dan di usianya yang kini telah
menginjak 27 tahun dia masih belum berkeluarga. Dia dibesarkan dari keluarga
yang cukup mampu dan ayahnya juga merupakan seorang dokter senior di
40
RSUD Dr.Soetomo yang telah pensiun namun masih bekerja di RS Al Irsyad,
Yahya sering menggunakan mobil ketika bepergian kemana-mana termasuk
ketika hendak pergi bekerja ke tempat prakteknya. Sekilas Yahya Assegaf
terlihat bukan seperti dokter, sosoknya seperti pemuda kebanyakan namun
dengan penampilan yang rapi dan wajah khas orang arab sangat nampak jelas.
Jiwa muda yang dimilikinya sebagai seorang dokter membuat cepat akrab
dalam berinteraksi baik dengan pasien atau orang lain. Pendidikan yang dia
tempuh cukup lancar sejak Sekolah Dasar di SD At Tarbiyah, kemudian SMP
diselesaikan di SMP Negeri 38, dan SMA Negeri 8, hingga di Perguruan Tinggi
di Fakultas Kedokteran Unair.
Gambar 2: Yahya Assegaf ketika di tempat praktek
Sejak kecil impian Yahya memang ingin menjadi dokter, seperti ayahnya,
dan cita-cita tersebut dapat dorongan dan dukungan dari ayahnya. Faktor orang
tua mungkin sedikit banyak mempengaruhi keinginan Yahya memutuskan
untuk mejadi dokter, mungkin karena sejak kecil telah sering melihat aktifitas
41
ayahnya mengobati pasien maka terbentuklah keinginan untuk melakukan hal
yang sama seperti ayahnya. Tidak ada pikiran sedikitpun bagi Yahya untuk
menjadi seorang ahli agama atau ustadz selaku keturunan Rasulullah karena
menurutnya tidak ada keharusan bagi kalangan habaib untuk menjadi seorang
ustadz layaknya orang lain pada umumnya yang bebas menentukan pilihan
hendak menjadi apa. Karena termasuk keluarga yang perekonomiannya
terbilang makmur, maka dari segi finansial untuk kuliah kedokteran juga tidak
ada kendala yang berarti, terlebih lagi ayahnya juga sangat senang dengan
keinginan Yahya untuk melanjutkan profesi yang sama menjadi seorang dokter,
karena kedua kakaknya tidak ada yang menjadi dokter, melainkan berprofesi
sebagai pedagang dan insinyur.
“cita-citaku waktu kecil pengen jadi presiden mas...hahahaha!! gak kok emang sudah dari kecil pengen jadi dokter aku mas, apalagi kan orang tuaku juga dokter, abiku dokter senior di Dr.soetomo tapi sudah lama pensiun, sama orang tua di dukung kok buat kuliah kedokteran biar ada yang ngelanjutno profesi kayak abi, soalnya kakak-kakakku gak ada yang jadi dokter semua, yang satu jadi pedagang trus yang satu lagi jadi insinyur...dulu waktu SD sampe SMA aku juga suka pelajaran IPA sama Matematika, soalnya sama abi dulu waktu kecil kalau pengen jadi dokter harus pinter IPA sama Matematika, makanya aku lebih banyak belajar IPA sama Matematika.”
Selama menempuh pendidikan tersebut Yahya banyak menghabiskan
waktu untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan banyak kawan yang berasal
dari berbagai latar belakang baik sesama etnis arab maupun dengan pribumi,
dan pada kesempatan tersebut banyak diperoleh pengalaman-pengalaman yang
dia alami, dengan pergaulan yang luas dengan banyak teman dari berbagai
42
kalangan menimbulkan pengalaman yang semakin beragam, pengalaman ketika
bersama teman sesama arab dan pengalaman ketika bersama teman selain arab
atau pribumi ternyata tidak memberikan pengalaman yang berbeda. Yahya lebih
banyak bergaul dengan teman sesama etnis arab ketika masih SD, namun sejak
SMP hingga di perguruan tinggi dia lebih banyak berteman dengan orang jawa.
Perlakuan teman-teman Yahya pada dirinya tidak ada yang berbeda,
menyangkut statusnya sebagai seorang habib tidak membuat dirinya
memperoleh perlakuan yang berbeda ketika berinteraksi dengan temannya, dia
bercanda dan berbicara sebagaimana orang lain melakukannya, tidak ada teman
yang memberikan penghormatan lebih pada dirinya terkait dengan statusnya
sebagai seorang keturunan Rasul.
“perlakuan sing yaopo mas...gak ada perlakuan yang beda, podo ae, sama aja lah kayak orang lain, yaa ngobrol biasa sambil guyon-guyon gitu, main-main bareng. Temen sesama arab sama temen dari orang jawa sama aja perasaan, malah waktu SMA sama kuliah itu saya banyak punya temen dari orang jawa malahan, temen arab malah Cuma sedikit, dulu Cuma waktu SD banyak temen arab malah hampir semuanya arab muridnya.”
Beberapa pasien Yahya ada yang memperlakukan dia melebihi porsinya
sebagai dokter tetapi juga sebagai habib yang diyakini memiliki kemampuan
untuk menyembuhkan orang sakit, biasanya pasien yang memperlakukan
dirinya seperti itu adalah orang madura, menyikapi hal tersebut Yahya justru
merasa tidak enak dan sungkan sendiri karena sikap pasien yang baginya sedikit
berlebihan, dia selalu berusaha untuk bersikap profesional layaknya seorang
43
dokter pada umumnya, karena dia mengobati secara medis dan bukan dengan
cara-cara non medis.
“pasien-pasien saya gak ada yang perlakuannya beda kok mas, yaa...ada juga beberapa pasien yang sikapnya menghormati saya lebih dari pasien saya lainnya, biasanya yang kayak gitu itu orang madura, pasien saya yang dari madura ada beberapa kan, nah sikapnya ke saya itu santun sekali gak kayak pasien lainnya kan biasa-biasa aja, mereka (pasien orang madura) itu juga punya kepercayaan kalau saya itu dokter yang bisa nyembuhkan penyakit kayak habib-habib yang dia kenal, padahal saya ngobatinnya pake ilmu medis bukan non medis, tapi mereka itu percaya kalau berobat ke saya itu lebih besar kemungkinan sembuhnya padahal yaa sama aja, saya sampe sungkan sendiri sama pasien yang sikapnya terlalu memperlakukan saya kayak gitu..”
Pada saat yang sama, pengalaman-pengalaman tersebut tanpa disadari
membentuk sebuah pemahaman yang mempengaruhi sikap dan tindakannya
dalam berinteraksi di masyarakat. Pengalaman bisa diperoleh dari pendidikan di
sekolah, dari keluarga, dari teman-teman sepermainan atau dari media lain.
Seperti yang dialami Yahya selama dia sekolah, pelajaran yang paling dia
gemari adalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Matematika, dan dia kerap
mendapat nilai tinggi pada kedua mata pelajaran tersebut, hal ini tentu
mendukung impiannya yang ingin menjadi seorang dokter, sebab dengan cita-
cita tersebut membuatnya lebih serius untuk belajar agar dapat mewujudkan
cita-citanya,Yahya selalu di ingatkan oleh keluarganya jika menjadi dokter
bukanlah hal yang mudah, oleh sebab itu dia meningkatkan intensitas belajar
dan tekadnya agar berhasil. Dalam hal ini, Yahya mencontoh ayahnya yang
berprofesi sebagai dokter, segala kebaikan yang ada pada ayahnya membuat dia
44
terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Saat ini Yahya merasa nyaman
dengan profesi yang ditekuninya, dia sudah bisa mewujudkan impiannya
semasa kecil dulu dengan tidak mudah, karena dia menceritakan masa kuliah
yang sangat lama dan berat ketika di Fakultas Kedokteran (FK) Unair,
kondisinya saat ini merupakan kerja kerasnya sekalipun demikian semua itu
dilakukannya dengan sungguh-sungguh sebab memang Yahya menganggap
bahwa profesi sebagai dokterlah yang sangat ia senangi sedari dulu.
“saya sangat terinsprasi sama abi, selama ini karena sering liat ayah pake baju putih kalau kerja gitu trus liat peralatan-peralatan ayah saya jadi suka dan pengen jadi dokter kalau sudah besar nanti, pekerjaan dokter yang menolong orang yang sakit membuat saya suka, apalagi orang tua juga sangat mendukung saya untuk jadi dokter, meskipun tidak memaksa tapi orang tua berharap saya bisa jadi dokter soalnya kedua kakak saya tidak ada yang jadi dokter, kebetulan juga saya sejak SD suka sama pelajaran IPA sama Matematika, terus dulu abi pernah bilang kalau harus pinter IPA sama Matematika kalau pengen jadi dokter, akhirnya saya lebih giat lagi belajar, sekalipun saya tahu berat sekali sekolah dokter itu, waktu kuliahnya lama banyak tentangannya, tapi setelah bisa ngelewatin itu semua saya bersyukur akhirnya cita-cita saya tercapai, karena profesi inilah yang saya inginkan sejak kecil dan saya merasa nyaman sekali dengan profesi yang saya senangi ini, soalnya kan ada juga kan mas orang yang menjalankan pekerjaan yang tidak sesuai dengan cita-cita atau tidak disenanginya jadinya gak total..”
Gambar 3: Yahya Assegaf (kiri) saat bersama teman-temannya
45
Yahya baru satu tahun menjalani rutinitas sebagai seorang dokter umum,
dia membuka praktek sendiri di Jalan Sultan Iskandar Muda setiap hari mulai
pukul 17.00 hingga 20.00 WIB. Selain itu dia juga membuka praktek bersama
teman kuliahnya dulu di “Panti Nirmala” setiap hari mulai jam 08.00 hingga
jam 12.00 siang di kawasan perak. Belakangan ini dia juga bekerja di Rumah
Sakit Al Irsyad sebagai dokter muda dan jadwalnya disana tidak menentu
namun lebih sering dia bekerja pada shift malam hingga dini hari. Meskipun
masih tergolong baru dalam menjalankan profesi sebagai dokter namun Yahya
sudah dapat menggunakan hasil kerjanya untuk kebutuhan pribadinya, dia
sudah tidak bergantung lagi pada orang tuanya, bahkan belakangan ini dia baru
saja mengontrak rumah kecil-kecilan untuk tempat tinggalnya, padahal
menurutnya masih sedikit pasien yang berobat kepadanya sehingga penghasilan
yang dia terima juga tidak begitu banyak.
“saya lulus baru satu tahun kok mas, sebenarnya udah lulus dua tahun sebelumnya tapi gara-gara mesti ada mata kuliah yang diulang terpaksa molor setahun, terus habis lulus langsung buka praktek disini, saya buka praktek mulai jam 5 sore sampai jam 8 malam, tapi kadang saya dateng jam 6 magrib terus pulang sampe jam 9 malam, selain itu saya juga usaha bareng temen kuliah saya di daerah perak buka praktek
46
bareng mulai senin sampe jumat tiap jam 8 pagi sampe 12 siang, terus baru beberapa bulan ini saya juga kerja di rumah sakit al irsyad, waktu puasaan kemarin itu saya baru mulai masuk sana, kadang saya disana dapet shift malem sampe dini hari, jadi habis dari sini (tempat prakteknya) langsung kesana biasanya, tapi gak mesti juga kadang dapet shift siang tapi paling sering ya dapet jatah malem, soro mas....hehehe”
Gelar habib yang disandang oleh Yahya ternyata membuat dirinya
menjadi terbebani, sebab dia merasa bahwa dirinya masih belum layak disebut
sebagai habib, dan di sisi lain dirinya merasa banyak kekurangan dalam hal
agama, baik dalam hal pemahaman agama maupun kegiatan ibadahnya. Di sisi
lain, Yahya juga harus lebih menjaga sikapnya ketika di masyarakat, karena jika
sikapnya kurang baik maka akan berdampak pada citra habib, selain itu juga dia
jika berbuat dosa maka dosanya akan dua kali lipat daripada orang biasa, oleh
sebab itu sebagai habib membuatnya harus memberikan contoh yang baik bagi
orang lain dan bukan sebaliknya memberikan contoh yang buruk. Bagi Yahya,
seorang habib merupakan seorang yang memiliki pemahaman agama yang luas
dan pengamalan ibadah yang konsisten, sehingga tidak semua orang yang
termasuk keturunan Rasulullah layak disebut sebagai habib, begitu pula
pengakuan atas dirinya sendiri yang masih jauh dari layak disebut sebagai habib
karena terkadang masih melakukan larangan dalam Islam, shalatnya sering di
akhir waktu bahkan sering bolong kalau shubuh karena tertidur, dan
sebagaimana anak muda pada umumnya yang memiliki rasa ingin tahu yang
besar dia juga mengaku jika sesekali melihat film “biru”.
“sebenere yo selain ada sedikit rasa bangga tapi lebih banyak terbebaninya mas...soalnya kita harus lebih baik daripada
47
orang biasa, harus lebih hati-hati jangan sampe berbuat dosa soalnya kalau kita berbuat dosa maka dosanya akan dua kali lipat dibandingkan orang biasa, terus kalau kita gak jaga sikap di masyarakat takutnya ntar bisa berdampak sama nama baik habaib itu sendiri, kan berat mas kayak gitu itu..saya juga ngerasa gak pantes dipanggil habib mas, lha keseharian saya masih jauh dari standar seorang habib yang mestinya shalat tepat waktu, banyak amalan-amalan sunnah, tahajud, wirid, pokoknya menjalankan syariah dengan baiklah. Quraish shihab aja pernah bilang kalau dia itu belum layak dipanggil habib kok, padahal beliau itu alim ulama terkenal, profesor lulusan al azhar, apalagi saya.. saya ini malah kadang shalat bolong, ketiduran sampe gak shubuhan, terus yo kadang liat film-film yang mestine gak ditonton...”
Habib yang dikatakan sebagai sosok orang yang alim biasanya tidak ingin
kehabibannya diekspost pada publik, akan tetapi keberadaannya di masyarakat
sekitar cukup disegani sehingga tak jarang orang-orang minta doa dan berkah
dari habib yang bersangkutan untuk keperluan tertentu atau menyembuhkan
penyakit. Tipe habib seperti ini biasanya tidak mengkomersilkan kehabibannya
dengan mengambil “keuntungan” dari bantuan yang diberikan pada orang-
orang, namun seringkali mendapat pemberian berupa uang maupun barang dari
orang yang telah dibantunya. Di lain pihak, Yahya juga menjelaskan terdapat
habib yang dengan sengaja menjual kehabibannya pada masyarakat dengan
tujuan komersil, sehingga gelar habib yang disandangnya justru digunakan
untuk kepentingan pribadi, seperti mengobati orang sakit atau mendoakan orang
yang mengharapkan berkahnya namun dilakukan dengan orientasi komersil.
Fenomena seperti itu menurutnya dapat merusak citra habib sebab di
masyarakat dapat muncul persepsi kalau habib itu memiliki tujuan komersil
dalam memberikan bantuan. Yahya tidak menyebutkan siapa nama habib
48
tersebut secara langsung, namun dia menyatakan habib yang seperti itu juga ada
di tengah-tengah masyarakat.
“gak semua habib itu ikhlas mas, memang ada yang bener-bener tawadhuk trus gak mau diekspos publik kayak habib syekh alaydrus itu, beliau gak pernah mau didatangi pejabat-pejabat, dia hanya mau didatangi orang yang membutuhkan bantuan untuk didoakan atau menderita sakit, kalau menurut beliau itu aneh-aneh pasti gak akan dilayani dan pasti disuruh pulang. Dan beliau itu gak pernah mematok imbalan dari setiap bantuan yang diberikan ke orang-orang yang datang ke beliau, ya kadang dikasih kadang nggak, tapi beliau membantu tanpa mengharapkan imbalan selama ini. Tapi namanya orang juga ada habib yang sengaja orientasinya komersil mas, habib kayak gini ini menjual kehabibannya ke orang lain untuk mengambil keuntungan materi dan tidak ada keikhlasan dalam membantu, habib yang kayak gitu malah bisa merusak citra habib sendiri di masyarakat mas, padahal gak semua habib yang seperti itu tapi kalau ada yang perbuatannya buruk di mata masyarakat bisa-bisa yang lain ikut kena.”
Sejak Yahya masih kecil oleh keluarganya telah ditanamkan nilai-nilai
tentang kehabibannya, hal ini dilakukan oleh orang tua kepada seluruh anaknya
termasuk juga Yahya, nilai-nilai tentang habib yang ditanamkan antara lain
ialah sebagai orang yang memiliki nasab dari Nabi Muhammad maka
diwajibkan untuk berperilaku lebih baik daripada orang pada umumnya sebab
ketika dirinya berperilaku buruk di masyarakat maka akan membawa dampak
bagi citra habib yang disandang selain itu diyakini kalau habib berbuat dosa
maka dosanya dua kali lipat lebih banyak daripada orang kebanyakan. Selain
itu, dalam hal pemilihan jodoh juga sudah ditanamkan oleh keluarga dalam
rangka menjaga garis nasab tersebut agar tetap murni nasab dari Rasulullah,
sehingga pernikahan yang dilakukan selalu diarahkan pada sesama kelompok
49
habaib. Pada kenyataannya tidak semua menjalankan hal tersebut, justru ada
yang terang-terangan menikah dengan kelompok masyayekh atau bahkan
dengan orang jawa, meskipun keluarga telah mengarahkan untuk memilih jodoh
dari sesama kelompok habaib. Respons keluarga yang anaknya menikah
dengan orang dari kelompok di luar habaib awalnya kurang bisa menerima
namun lama-kelamaan ketika sudah berjalan beberapa waktu dan melihat
anaknya bahagia dan memiliki cucu maka orang tua akhirnya juga bisa
menerima dengan baik. Keluarga Yahya tidak menanamkan nilai-nilai yang
mengarah pada profesi terkait dengan status kehabibannya, orang tuanya
membebaskan Yahya sebab memang tidak ada kewajiban bagi seorang habib
harus menekuni satu profesi tertentu seperti ustadz misalnya.
“sejak kecil saya sudah di didik sama orang tua supaya berbuat baik sesuai syariah, baik ketika berinteraksi dengan orang sesama habaib atau bukan, sama setemua oranglah harus bersikap baik, dan saya juga telah di nasehati kalau saya ini cucu Rasul jadi harus menjaga nama baik kakek saya Nabi Muhammad, soalnya kalau saya berbuat dosa nanti dosa saya akan dua kali lipat. Terus saya juga diarahkan untuk mencari jodoh dari kalangan habaib juga soalnya ada banyak kesamaan budaya jadi biar gak kaget, jadi menikahnya dianjurkan dengan syarifah, tapi itu bukan sebuah paksaan dari keluarga, orang tua saya membebaskan untuk memilih buat semua anaknya tapi selalu diarahkan untuk menikah dengan sesama habaib, orang tua saya cukup demokratis kok, tapi sepupu saya ada yang sampai dikucilkan gara-gara menikah dengan laki-laki jawa, tapi akhirnya setelah punya anak akhirnya keluarganya luluh dan bisa menerima, sebenarnya laki-laki gak masalah mau nikah sama sapa aja soalnya nasabnya kan ikut laki-laki jadi nasab Rasul gak hilang,...”
50
Selama ini Yahya pernah berpacaran dengan orang dari kelompok
masyayekh maupun dengan orang dari etnis jawa, namun semuanya belum
pernah diperkenalkan kepada orang tuanya karena khawatir akan direspons
buruk. Orang tua Yahya sebenarnya tidak terlalu kaku dalam menentukan jodoh
bagi anaknya, Kebebasan penuh diberikan bagi Yahya untuk menentukan
sendiri calon pasangannya namun tetap ada arahan untuk memilih perempuan
yang berasal dari kelompok habaib, namun orang tuanya juga tidak
mengharuskan dia memillih pasangan dari kelompok habaib, dengan orang
mana saja boleh asal agamanya baik dari keluarga yang baik-baik pula.
“selama ini saya malah pacaran sama perempuan masyakeh, tapi orang tua saya gak tahu, sama perempuan jawa juga pernah tapi selama ini saya selalu gak pernah bilang kalau punya pacar sama orang tua saya, meskipun kadang orang tua ngasih rekomendasi cewek sama fotonya dapet dari temennya, tapi saya biasa aja..yang penting prempuan itu agamanya baik dari keluarga baik-baik itu saja udah cukup, makanya saya nyantai aja jalanin ini semua mas”
C. Ali Al Habsyi: Jalan dakwahku di Hukum
Ali merupakan anak kedua dari lima bersaudara, Ali memiliki saudara
kembar yang bernama Alwi, hingga kini Ali masih belum berkeluarga dalam
usia 32 tahun, dia pernah menjabat sebagai mantan ketua Front Pembela Islam
(FPI) selama tiga tahun sejak 2005 dan pada Pemilihan Umum yang lalu sempat
menjadi wakil sekretaris I Partai Hanura Kota Surabaya sekaligus mencalonkan
diri sebagai anggota DPRD namun tidak lolos. Riwayat pendidikannya cukup
beragam, sewaktu kecil dia sempat berpindah Sekolah Dasar dari Surabaya ke
51
Probolinggo tinggal bersama pamannya, begitupun dengan pendidikan tingkat
Menengah Pertama yang dijalani di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di
Probolinggo, selain itu pada saat yang sama dia juga menuntut ilmu di Pondok
Pesantren Riyadhus Shalihin, dan selepas studinya selesai dia kembali lagi ke
Surabaya dan melanjutkan pendidikannya di Kota Pahlawan ini hingga S2
Hukum di Universitas Bhayangkara, dan belakangan ini dia sedang menanti
sertifikat sebagai advokat.
Gambar 4: Ali Al Habsyi saat di rumah
Ali merupakan orang yang memiliki karakter keras dan pemberani, dia
selalu berprinsip untuk berdakwah dimanapun dia berada, karakternya itu sudah
terlihat sejak dia masih kecil, tepatnya ketika sedang duduk di bangku SMP
yakni ketika dia sudah memahami bahwa aurat laki-laki antara lain adalah
diatas lutut sedangkan pada waktu itu sekolahnya menggunakan seragam
dengna celana pendek diatas lutut, Ali sempat tidak mau sekolah kecuali hanya
waktu ujian saja dimana pada waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadhan,
bahkan guru-guru disekolahnya harus membujuknya agar mau masuk sekolah
52
karena Ali tetap pada pendiriannya untuk tidak mau memakai celana pendek
dan sebagai gantinya adalah memakai sarung. Selama menempuh pendidikan
Ali sudah sangat aktif dalam setiap kegiatan organisasi, dan selalu menjadi
ketua OSIS semasa SMP dan SMA, yang kemudian membuat dirinya
memutuskan juga untuk menekuni dunia politik bersama Hanura.
“Buat saya pribadi ajaran Islam harus diterapkan dalam segala aspek kehidupan, jadi waktu saya sudah baligh maka sudah wajib bagi saya untuk menutup aurat terlebih lagi di bulan ramadhan, pada waktu itu saya bahkan tidak mau masuk sekolah kecuali jika sedang ujian, karena saya tidak diperbolehkan guru memakai sarung di sekolah, guru-guru saya sampai datang kerumah berusaha membujuk saya agar mau masuk sekolah lagi, dan tindakan saya itu sempat diikuti oleh beberapa teman saya juga.....”
Cita-citanya sejak kecil sebenarnya ingin menjadi seorang dosen atau
akademisi, sebab menurutnya kondisi ummat dapat lebih baik ketika terdapat
banyak guru atau pendidik yang berkualitas, agar ummat Islam tidak bodoh dan
tertindas jika memiliki ilmu dan pengetahuan yang mencukupi. Dan sejak kecil
dia sudah dididik dengan nilai-nilai agama yang sangat kuat oleh orang tuanya,
khususnya ketika masuk di pesantren, sehingga terbangun dalam dirinya
pengetahuan dan pemahaman agama yang cukup baik. Secara tidak langsung
penanaman nilai-nilai tentang kehabiban juga diserap bersamaan dengan
ditanamkannya nilai-nilai keagamaan ketika masih kecil meliputi keharusan
mencintai Nabi Muhammad, melaksanakan sunnahnya, dan juga dalam
menjaga perilaku di masyarakat serta menjaga kemurnian nasab. Hal tersebut
yang juga mendasari dirinya bergabung dengan FPI Surabaya dan melakukan
53
aksi-aksi perjuangan atas nama Islam, bahkan dirinya sempat berurusan dengan
polisi dan hukum ketika melakukan aksi bersama kelompok lain di Konsulat
Jendral (KonJen) Denmark dan Konsulat Jendral (KonJen) Amerika Serikat di
Surabaya. Ketika dia ditangkap oleh polisi terkait dengan tuduhan tindakan
anarkhis dalam peristiwa demonstrasi karikatur Nabi Muhammad di depan
Konjen Denmark dan Konjen Amerika Serikat, Ali menyatakan bahwa dia
melakukan aksi tersebut sebagai wujud dari pembelaan atas kemuliaan Nabi
Muhammad selaku Imam ummat Islam di seluruh dunia.
Gambar 5 dan 6: Ali Al Habsyi saat memimpin massa demonstrasi karikatur Nabi Muhammad Saw (kiri) dan Ali Al Habsyi ketika hadir dalam sidang di
pengadilan
“...saya bilang sama orang-orang di konjen dan polisi yang berjaga, “kalau Komandan atau Duta Besar yang dihina tentu kalian pasti merasa marah dan tidak terima, apalagi ini adalah Nabi Muhammad pemimpin ummat Islam seluruh dunia!! Saya minta Dubes Denmark pergi dari Indonesia jika tidak mau meminta maaf secara lisan, saya tidak butuh permintaan maaf lewat surat ini. Saya tidak rela Nabi saya dilecehkan dan dihina, saya rela menumpahkan darah untuk beliau bahkan nyawa sekalipun!!” Saya juga membakar surat tersebut yang diberikan sama asisten Dubes. Waktu itu pihak konjen beralasan kalau Dubes sedang pergi ke luar negeri karena sedang ada tugas, tapi saya tidak percaya sama sekali. Saya bersikeras untuk masuk ke dalam konjen menemui Dubes
54
namun tidak berhasil, akhirnya karena kesal saya berusaha mencongkel lambang negara Amerika yang ada di gerbang utama sampai tangan saya berdarah, lalu saya langsung disergap polisi karena tindakan tersebut dianggap pelecehan terhadap simbol negara, saya sempat diproses secara hukum namun tidak sampai di penjarakan”
Pada tahun 2001 Ali mendirikan sebuah pondok dirumahnya yang
bernama “Pondok Gaib” yakni aktifitasnya selain mengaji dan berzikir bersama
secara rutin setiap malam jum’at pukul 23.00 malam dan 02.00 dini hari dan
yang unik adalah aktifitas pencak silat karomah, yakni ilmu bela diri yang
diikuti dengan bacaan zikir tertentu dalam setiap latihannya. Pengikutnya
banyak dari warga sekitar rumahnya khususnya anak-anak muda dan sebagian
mantan preman atau pencuri yang tobat, jumlah pengikutnya kini telah
mencapai sekitar 150 orang. Nama pondok merupakan singkatan dari Gabungan
Insan Beriman (GAIB), dan lama kelamaan warga sekitar juga banyak yang
ingin belajar mengaji di Pondok Gaib namun tidak untuk mempelajari ilmu
pencak silat karomah, akan tetapi ingin mengetahui ilmu agama dan belajar
mengaji, khususnya bagi kalangan bapak-bapak dan ibu-ibu maupun anak-anak
kecil.
“Dulu sebelum berdiri pondok Gaib, saya mendirikan cafe yang bernama barudak, untuk mengumpulkan pemuda-pemuda di sekitar sini, tujuan saya agar dapat lebih dekat dengan mereka dan dapat lebih mudah mengajaknya untuk sedikit-sedikit belajar Islam, karena tak jarang mereka meminta solusi atau nasehat dari saya ketika ada masalah, jadi saya sering dijadikan tempat konsultasi....karena saya prihatin dengan kondisi masyarakat sekitar yang tidak sedikit perbuatannya jauh dari nilai-nilai Islam, maka saya coba untuk mengajak untuk zikir bersama, lalu dibarengi dengan pencak silat
55
karomah yang rutin dilakukan setiap malam jumat jam sebelas malam atau jam dua dini hari biasanya, yang ikut dalam pondok gaib ini kebanyakan preman-preman yang tobat dan ada mantan penjambret, pencuri atau anak-anak muda yang ingin bisa ilmu bela diri dan alhamdulillah sampai sekarang jumlahnya terus bertambah sampai 150an orang....”
Sebagai seorang yang memiliki latar belakang pendidikan hukum dan
sederet pengalaman organisasi, membuat Ali merasa terpanggil untuk membela
ummat melalui jalur politik dan hukum sebab dia melihat jika selama ini
peraturan hukum yang baik tidak diikuti dengan sikap aparat penegak hukum
yang professional, sehingga lebih banyak menyebabkan penzhaliman terhadap
kaum lemah dan menguntungkan orang-orang yang memiliki kekayaan. Cara
yang dia tempuh yakni melalui partai politik dengan “mengendarai” partai
hanura pada tahun 2007 yang pada waktu itu merupakan awal pendirian Dewan
Pimpinan Cabang (DPC) Kota Surabaya, dan dirinya termasuk dalam tim 5
yang bertugas membentuk DPC tersebut. Ketika Ali memutuskan untuk terjun
ke dunia politik praktis yang menjadi pertimbangannya adalah terdapatnya
kemungkinan yang lebih besar untuk menyalurkan aspirasi rakyat kepada
pemerintah jika dibandingkan dengan demonstrasi sebagai bentuk protes atau
penyampaian aspirasi masyarakat, seperti yang sejak lama dia lakukan ketika
mahasiswa turun ke jalan melakukan aksi untuk menyampaikan aspirasi atau
sebagai bentuk protes atas kebijakan pemerintah, Ali akhirnya menyadari
bahwa jika hanya pada tataran arus bawah maka aspirasi itu sulit untuk
didengar sehingga dengan partai politik dia berharap bisa lebih mudah
menyampaikan aspirasi kepada pemerintah.
56
“..saya berharap dengan berada dalam jalur politik praktis dapat lebih dekat dengan pemerintah, karena jika hanya berada pada tataran arus bawah, akan kesulitan untuk menyampaikan aspirasi ummat, dukungan dari warga sekitar juga cukup besar dan akhirnya saya ambil keputusan untuk bergabung dengan Hanura, saya juga termasuk dalam tim 5 yang membentuk DPC Hanura Surabaya, dan menjabat sebagia Wakil sekretaris I”
Tidak sedikit bantuan yang didapatkan oleh Ali ketika melakukan
kampanye baik berupa uang, tenaga maupun tempat. Semua itu berasal dari
para simpatisan yang kebanyakan merupakan jama’ah pengajiannya di Pondok
Gaib atau tetangga-tetangga sekitar yang telah mengenal sosok Ali dalam
kesehariannya yang sering dijadikan tempat untuk meminta bantuan ketika ada
persoalan agama atau hukum. Ali bahkan sangat terbantu dengan adanya para
sukarelawan tersebut, semua itu dilakukan tanpa ada komando dari dirinya akan
tetapi dilakukan secara spontanitas oleh para sukarelawan. Dan dalam
melakukan kampanye Ali selalu mengadakan pengajian bersama atau
istighosah, dia menghindari adanya konser-konser dangdut dalam kampanye
karena tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam Islam, meskipun tidak sedikit
pengikutnya yang meminta untuk mengadakan konser dangdut seperti caleg-
caleg lainnya.
“...sering saya diminta untuk mengadakan konser dangdut waktu kampanye sama warga, tapi saya bilang kalau konser dangdut tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, lalu saya mengajak untuk mengadakan pengajian bersama untuk acara kampanye agar nilai dakwahnya lebih terasa dan bermanfaat bagi masyarakat”
57
Ali memutuskan untuk menjatuhkan pilihan pada hanura sebab hanura
merupakan partai baru yang tidak memiliki cacat di masyarakat, berbeda
dengan partai-partai lain yang sudah lama berkompetisi di panggung politik
yang hampir semua memiliki cacat, termasuk juga partai-partai Islam yang
menurutnya tidak dapat memberikan kontribusi nyata bagi ummat, seperti
dalam kasus aliran sesat ahmadiyah tidak ada partai Islam yang berani
mengambil sikap tegas untuk membubarkan ahmadiyah. Disamping itu, adanya
sosok Wiranto dalam kepemimpinan Hanura juga menjadi alasan tersendiri bagi
Ali untuk bergabung dengan hanura, karena sosok wiranto merupakan tokoh
yang dikenal dekat dengan para ulama dan khususnya dengan para habaib dan
pada waktu pemilu yang lalu wiranto bersedia menandatangani kontrak politik
dengan para habaib untuk membubarkan ahmadiyah.
“alasan saya memilih hanura sebagai kendaraan politik karena hanura adalah partai baru yang tidak memiliki cacat di masyarakat, nama hanura sendiri terasa sangat sakral bagi saya, yakni hati nurani rakyat, sehingga dalam berpolitik hati nuranilah yang berbicara. selain itu sosok wiranto juga menjadi salah satu alasan saya untuk memilih hanura, karena beliau dikenal dekat dengan para habaib dan pada pemilu kemarin bersedia menandatangani kontrak politik dengan para habaib untuk membubarkan Ahmadiyah....”
Setelah Ali ikut terlibat dalam politik praktis dia berharap dapat
memperjuangkan kepentingan ummat namun ternyata di dalam internal partai
maupun dengan partai lain terjadi banyak praktik politik kotor, seperti saling
memfitnah satu sama lain atau adu domba, penggunaan uang sebagai
penjaringan suara dan segala praktik yang tujuannya untuk mengalahkan lawan
58
politiknya dengan cara apapun. Namun Ali berkomitmen untuk tidak ikut dalam
pencalonan dalam Pemilu Legislatif lagi karena trauma dengan praktik politik
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan akhirnya dia memutuskan untuk
lebih mendalami dunia hukum dengan sekolah Advokat agar dapat melakukan
pendampingan bagi ummat yang tidak paham dengan persoalan hukum.
Disamping itu, Ali juga memiliki kegiatan bisnis yakni sebagai distributor kayu
Kalimantan yang dijual lagi ke Jakarta. Dari berbagai latar belakang yang
cukup beragam pada diri Ali, rupanya dia lebih merasa nyaman dan cocok jika
disebut sebagai orang hukum karena lebih sesuai dengan latar belakang
pendidikannya. Sebab hal tersebut sesuai dengan cita-citanya yang ingin
memberikan pendidikan dan pengajaran pada ummat khususnya dalam aspek
peraturan hukum, sedangkan kegiatan yang dilaksanakan di Pondoknya hanya
sebatas pada rasa prihatin terhadap kondisi masyarakat sekitarnya, khususnya
pemuda-pemuda dan anak-anak kecil, yang jauh dari nilai-nilai Islam.
“...setelah mengetahui bahwa politik itu kotor khususnya pada pemilu kemarin, saya jadi merasa trauma untuk kembali berjuang di partai politik, saya sudah tidak mau lagi mencalonkan diri sebagai caleg, karena baik di dalam internal partai maupun dengan partai lain terdapat fitnah memfitnah dan adu domba yang membuat perpecahan, serta praktik kecurangan seperti jual beli suara juga membuat hati saya miris karena semua itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam...akhirnya saya sekarang lebih suka memilih jalur hukum sebagai jalan dakwah, saya merasa sebagai orang yang memiliki latar belakang pendidikan hukum dan oleh karena itu membuat saya lebih yakin untuk menjadi seorang advokat, karena dengan jalur hukum saya juga bisa melakukan pembelaan terhadap kaum lemah dan ummat Islam khususnya
59
yang sering ditindas karena tidak memahami persoalan hukum”
D. Reza Al Jufri: Berdagang sambil berdakwah
Sejak kecil Reza sudah menjadi yatim piatu, tepatnya ketika kelas 5 SD,
oleh sebab itu dia diasuh dan dirawat oleh paman dan bibinya secara bergantian,
sehingga dia sering tinggal di rumah bibi satu ke bibi lainnya, Reza merupakan
keturunan ke 39 dari Rasulullah dan anak tunggal dalam keluarganya. Karena
sejak kecil dia sudah tidak memiliki orang tua maka sudah terbiasa hidup
mandiri dan membantu usaha yang dimiliki saudaranya, dia juga pernah
menjaga wartel milik pamannya semasa SMA, selepas dia pulang sekolah selalu
sesampainya dirumah langsung menjaga wartel hingga maghrib. Kehidupannya
sejak remaja sudah banyak dihabiskan untuk bekerja sambil sekolah, selepas
SMA dia melanjutkan kuliah di STIE Pucetswara di Kota Malang. Saat ini usia
Reza menginjak 28 tahun dan telah menikah sejak tiga tahun yang lalu namun
belum dikaruniai buah hati. Cita-citanya sejak kecil sebenarnya adalah ingin
menjadi seorang arsitek namun justru dia menempuh studi di bidang ilmu
ekonomi.
“...dari kecil saya sudah terbiasa kerja mas, soalnya orang tua saya sudah meninggal semua, jadi saya yatim piatu sejak kecil, paman dan bibi saya yang mengasuh saya selama ini, tapi enaknya saya punya banyak bibi yang saya anggap seperti ibu sendiri, jadi kalau saya tidak punya uang bisa minta ke bibi-bibi saya itu, hahahaha....tapi gak enaknya ya itu mas, saya harus bantu paman saya kerja, ada yang jualan pakaian sama minyak wangi, terus jaga wartel setiap pulang sekolah waktu saya SMA dulu”
60
Penampilan Reza sehari-hari sangat santai, pakaian yang dikenakan di
tubuh kekarnya biasanya kaos dan celana jeans, terkesan informal namun tetap
rapi, sebagai pedagang yang berhubungan dengan banyak orang atau
pelanggannya, dia berusaha untuk menjaga penampilan dan sikap agar
memberikan kepuasan dalam jual beli terutama menyangkut identitasnya
sebagai seorang habib. Tubuhnya sangat kekar dan subur, potongan rambut
yang cepak membuatnya nampak lebih rapi, Reza sangat enak jika diajak
ngobrol dan cepat akrab dengan orang, hal inilah yang menunjukkan karakter
seorang pedagang. Aktifitasnya sehari-hari sejak pagi jam 9.00 hingga jam
17.00 sore yakni berdagang di toko, dan setiap waktu shalat tiba, dhuhur dan
ashar, dia selalu istirahat sekaligus mendirikan shalat. Sepulangnya dari toko
dia hanya menghabiskan waktu di rumah bersama istri dan jika ada jadwal
pengajian setiap kamis malam jumat dia selalu mengikuti pengajian tersebut
untuk membaca burda.
Gambar 7: Reza Al Jufri saat di rumahnya
61
Setelah menyelesaikan kuliahnya Reza langsung pulang ke Surabaya dan
bekerjasama dengan temannya berdagang minyak wangi dan membuka toko
“Pesona Wangi” di Jalan Panggung sekitar Ampel. Akan tetapi akhir-akhir ini
dia tidak berminat melanjutkan usaha minyak wangi yang didirikan bersama
temannya tersebut dan ingin mencoba usaha di bidang lain, sehingga dia sempat
non job atau pengangguran. Reza menjalani profesinya sebagai pedagang
lantaran pengaruh dari masa kecilnya yang banyak dihabiskan membantu
saudara-saudaranya yang memiliki usaha, sehingga dari pengalaman-
pengalamannya itu membuat Reza memiliki ketertarikan dan ditambah dengan
ilmu wirausaha ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Dengan berdagang Reza tidak hanya mencari keuntungan semata, akan
tetapi dia juga berdakwah pada pelanggannya terkait dengan sunnah dalam
memakai wangi-wangian. Sekalipun profesi pedagang adalah yang dia rasa
paling cocok, akan tetapi tetap ada keterkaitan dengan identitasnya sebagai
habib, sehingga bukan hanya berdagang tapi juga sambil berdakwah, selain
mendakwahkan pada pembeli bahwa memakai minyak wangi adalah sunnah
Rasul, Reza juga selalu bersikap jujur dalam menakar jumlah minyak wangi,
dia tidak mau berbuat curang dengan mengurangi takaran, karena selain dosa
hal tersebut dapat mengurangi kepercayaan pelanggan. Para pelanggannya tidak
hanya berasal dari kelompok habaib saja, namun juga dari berbagai kalangan,
bahkan ada satu pondok di daerah Lumajang yang seluruh penghuninya
merupakan pelanggan tetap minyak wanginya. Dalam berdagang Reza tidak
memberikan perlakuan khusus atau diskon khusus pada sesama habib, harga
62
yang dia tetapkan berlaku untuk semua orang, namun seringkali jika sesama
habib akan lebih memilih membeli ke toko milik seorang habib dengan catatan
harganya bersaing dengan toko milik orang lain yang bukan seorang habib.
“saya kalo berdagang gak Cuma asal dagangan laku aja mas, tapi saya secara gak langsung juga mensyiarkan Islam pada setiap pelanggan saya, selalu saya bilang kalau minyak wangi itu sunnah Rasul dan orang yang memakai minyak wangi lebih disukai, meskipun Cuma seperti itu tapi sudah termasuk dakwah, sampaikanlah walau satu ayat....saya juga bersikap jujur dalam jual beli, saya tidak pernah curang waktu mengukur jumlah minyak wangi, sebenarnya kalau saya mau curang bisa saja mas, tapi saya gak mau soalnya bisa membuat kepercayaan pembeli hilang dan rejeki saya gak berkah meskipun untung saya bisa lebih banyak, jadi sebagai habib saya juga wajib membawa identitas itu ke dalam aktifitas saya sebagai seorang pedagang”
Seorang habib menurut pemahaman Reza adalah seorang yang memiliki
keturunan atau nasab dari Rasulullah, atau sering juga disebut dengan kelompok
ba’alwi, sebutan habib hanya ditujukan pada laki-laki, sedangkan untuk
perempuan sebutannya adalah syarifah. Meskipun sosok habib merupakan
keturunan Rasulullah akan tetapi menurut Reza tidak semuanya memiliki ilmu
agama yang luas dan perbuatannya juga tidak selalu sesuai dengan ajaran Islam,
di satu sisi ada habib yang baik dan memiliki ilmu agama yang luas serta taat
dalam menjalankan perintah Islam namun disisi lain juga ada habib yang tidak
paham dengan baik ilmu agama serta masih sering melanggar larangan agama
dalam kesehariannya. Namun demikian, bagi Reza menjadi seorang habib
tetaplah sebuah kebanggaan tersendiri, karena dalam tubuhnya juga mengalir
darah Rasulullah, layaknya seorang keturunan Raja atau Sultan tentu juga akan
63
memiliki rasa bangga tersendiri, terlebih lagi sebagai keturunan Nabi yang
merupakan pemimpin ummat Islam seluruh dunia. Akan tetapi, gelar habib
tidak lantas membuat Reza ‘ujub dengannya, justru di satu sisi Reza juga
merasa ada beban Karena dengan gelar tersebut membuat dirinya harus lebih
berhati-hati dalam bersikap sehari-hari di masyarakat. Reza mengakui bahwa
dirinya masih belum bisa menjadi seorang habib yang sebagaimana mestinya,
yang menjalankan syariah dengan konsisten, dia merasa tidak layak disebut
habib, karena kerap kesulitan menjaga pandangan pada lawan jenis ketika
bertemu di jalan, selain itu dia juga tak jarang mengakhirkan waktu shalat.
“dalam hati saya ada rasa bangga tersendiri mas, jangankan keturunan rasul, kalau mas ilham aja misalnya keturunan raja keraton solo atau sultan brunei, apa mas gak merasa bangga? Pasti kan merasa bangga. Nah itu Cuma raja solo sama sultan brunei, lha ini pemimpinnya ummat Islam sedunia mas, Rasulullah Saw, kekasih Allah. Wajar dong kalo saya merasa bangga. Dalam darah saya ini juga mengalir darah Rasulullah mas. Tapi di satu sisi saya juga merasa terbebani dengan gelar tersebut, karena ada kewajiban buat saya untuk menjaga diri lebih daripada orang lain, karena kalau saya berbuat dosa maka dosa saya dua kali lipat, lah saya ini masih sering sholat di akhir waktu malah kadang ketiduran sampai shalat kelewatan, terus kalau di jalan juga sering lihat perempuan yang cantik sama yang seksi-seksi, itu kan sudah zina mata, sebenarnya susah juga mas konsekuensinya, karena zaman sekarang gak mudah menjaga diri dari dosa. Makanya saya merasa gak layak dipanggil habib kalau lihat kondisi saya yang seperti itu..”
Dalam benaknya tidak pernah terpikir sedikitpun untuk menjadi seorang
ustadz, dia bahkan menolak mentah-mentah ketika di tawari oleh pamannya
untuk menuntut ilmu di pondok pesantren karena dia tidak suka belajar di
64
pesantren dan lebih suka belajar di sekolah umum seperti teman-temannya,
menurutnya menjadi seorang habib tidak lantas memiliki keharusan untuk
menjadi ustadz, karena jika semua habaib harus menjadi ustadz yang
menguasai ilmu agama maka akan tidak seimbang karena tidak ada yang
mempelajari ilmu dunia seperti ilmu ekonomi, kedokteran, hukum dan
sebagainya, setiap orang termasuk juga habib memiliki kebebasan untuk
memilih profesi apa yang hendak ditekuni. Sebab jika hanya menguasai ilmu
agama saja maka habaib dapat dengan mudah dibodohi, dan sudah seharusnya
diantara habib saling melengkapi satu sama lain, ada yang menguasai ilmu
agama dan juga ada yang menguasai ilmu dunia.
“saya dulu pernah disuruh sama paman saya belajar di pesantren, tapi saya gak mau, saya soalnya gak suka mondok, gak bebas trus tiap hari belajar agama terus, kitab kuning terus. Saya lebih suka di sekolah umum, apalagi saya ingin belajar ilmu bisnis lebih serius, jadi saya lebih memilih sekolah ilmu ekonomi daripada mondok, soalnya saya gak pernah bercita-cita jadi ustadz, meskipun saya habib tapi tidak ada keharusan bahwa saya harus mondok dan memperdalam ilmu agama. Malah kalau bisa di kelompok habaib itu harus merata, ada yang ahli agama, tapi lebih di spesialisasikan lagi ada yang ahli ilmu hadist, fiqih, tafsir dan lain-lain. Terus juga ada yang bisa ilmu arsitektur, bisnis, hukum, kesehatan dan macem-macem pokoknya. Kalau seperti itu antara habib satu dengan yang lain bisa saling melengkapi kekurangan masing-masing, kalau semua habaib hanya belajar agama tanpa ada yang ahli dalam ilmu lainnya bisa-bisa mudah dibodohi sama orang lain karena gak tau apa-apa.”
Di kalangan orang jawa atau dengan sesama orang arab, Reza tidak
mengalami perlakuan khusus pada dirinya, namun pada suatu waktu ketika
berinteraksi dengan orang betawi dan madura, ada perlakuan khusus yang dia
65
terima, pengalamannya tersebut terjadi ketika Reza sedang berada di ketapang
Madura, pada waktu itu dia masih duduk di bangku SMP, di sana Reza sedang
ada keperluan tertentu dan kebetulan sedang ada pengajian yang dilakukan oleh
masyarakat sekitar, Reza yang bersama temannya seorang dari madura juga
didatangi oleh salah satu jama’ah pengajian tersebut untuk diminta mengisi
pengajian atau hanya sekedar datang ke pengajian tersebut agar para jama’ah
mendapat berkah dari kedatangan seorang habib, demikian keyakinan jama’ah
tersebut. Namun Reza merasa risih dengan perlakuan tersebut dan bersikeras
tidak mau datang namun akhirnya Reza mau datang dengan syarat dirinya
diperlakukan biasa. Sesampainya di lokasi, para jama’ah berebut mencium
tangan Reza dan bahkan sisa makanan di piringnya menjadi rebutan juga oleh
para jama’ah setelah Reza tidak habis karena diberi empat piring sekaligus, dan
ketika shalat di masjid dia selalu di perhatikan oleh orang-orang disekitarnya.
“dulu waktu saya masih SMP mas, pernah ada pengalaman waktu ada keperluan di madura, di sampang waktu itu. Jadi saya sama teman saya sedang duduk-duduk di pinggir pantai, terus gak jauh dari situ ada warga yang sedang mengadakan pengajian di salah satu rumah. Terus ada dua orang dari jama’ah pengajian tersebut yang mendatangi saya dengan bahasa madura dan meminta untuk mengisi pengajian, saya bingung mas, terus saya suruh saja teman saya tadi yang bisa bahasa madura untuk menolak ajakan orang tadi, tapi dua orang itu sampai memohon agar saya mau datang saja minimal, duduk bersama jama’ah lain agar dapat berkahnya katanya. Akhirnya saya mau datang dengan syarat tidak dikawal dan diperlakukan biasa saja, soalnya sudah ada yang akan mengawal saya waktu itu, terus terang saya risih mas, masih umur segitu gak tau apa-apa, tapi sudah disuruh ngisi pengajian. Terus sampai dilokasi saya diaksih tempat khusus yang ada bantalnya, soalnya semua duduk di atas tikar
66
lesehan, tapi saya dikasih bantal biar empuk disamping seorang ustadz yang memimpin zikir. Semua mencium tangan saya termasuk ustadz disamping saya itu tadi. Saya jadi bingung sendiri. Lalu waktu makan, saya diberi empat piring jenis makanan yang berbeda, sedangkan orang lain hanya satu piring dan satu jenis makanan saja. Saya gak bisa menghabiskan semuanya, terus sisa makanan yang ada di piring itu langsung dibuat rebutan sama orang-orang, katanya berkahnya habib.”
Sejak kecil dalam diri Reza telah di tanamkan nilai-nilai agama, termasuk
tentang identitas habib, oleh keluarganya. Sebagai seorang cucu Rasul, menjaga
sikap dengan hati-hati ketika berinteraksi dengan masyarakat sangat
diperhatikan, sebab dapat merusak citra habib dalam pandangan masyarakat,
disamping itu jika seorang habib melakukan dosa maka dia akan mendapat dosa
dua kali lipat dibandingkan orang biasa, demikian yang diajarkan pada Reza
sejak kecil. Terkait dengan persoalan pemilihan jodoh juga telah diajarkan sejak
awal oleh keluarganya untuk mencari calon pasangan dari kelompok habaib
atau syarifah, namun bagi Reza seorang laki-laki memiliki kebebasan yang
lebih dibandingkan perempuan dalam memilih pasangan karena nasab keluarga
ditentukan oleh pihak laki-laki. Upaya untuk mejaga nasab ini dilakukan
dengan serius dalam keluarganya, sikap keluarga Reza cukup tegas dalam
pemilihan pasangan,disamping itu Reza juga memiliki keinginan tersendiri
untuk melestarikan keturunan Rasul dengan menikahi perempuan yang
termasuk dalam kelompok habaib (syarifah), sekalipun Reza memiliki
kesempatan atau kebebasan untuk menikahi gadis dari etnis atau kelompok
manapun yang dia suka, semua itu dilakukan oleh Reza sebab ingin
67
menyenangkan Rasulullah yang cinta pada anak cucunya yang memperbanyak
keturunan dari nasabnya.
“keluarga saya sudah mendidik sejak kecil untuk tidak takut berbuat yang benar sesuai ajaran Islam, terlebih lagi karena saya adalah cucu Rasul jadi harus lebih baik dalam menjaga kelakuan karena menyangkut nama baik habaib. Terus sudah sejak lama saya di arahkan keluarga untuk menikahi syarifah (perempuan dari kelompok habaib), meskipun saya boleh menikah dengan gadis dari ras atau etnis manapun selama beragama Islam, karena nasab tetap ikut sama saya, anak-anak saya juga tetap mengikuti nasab saya dari Rasul, namun dalam hati saya rasanya sedih kalau nanti waktu yaumul qiyamah saya ditanya Rasul “kenapa kamu tidak menikahi gadis dari cucuku sendiri?” saya melakukan semua ini agar nanti Rasulullah tersenyum waktu melihat saya karena melestarikan anak cucu beliau”
Kecemburuan kelompok masyayekh terhadap ba’alwi sempat
mengakibatkan adanya gesekan antara dua kelompok besar tersebut. Reza
bahkan sempat dua kali membaca selebaran yang menuduh kelompok habaib
adalah ahli bid’ah ketika shalat jum’at di masjid milik kelompok masyayekh,
beberapa saat kemudian setelah berita tersebut tersebar, sebagian orang madura
melakukan pembelaan atas tuduhan yang ditujukan pada habaib yang
merupakan guru-guru mereka juga, mereka menuntut permohonan maaf atas
tuduhan tersebut dan karena emosi yang sangat memuncak sebagian warga ada
yang sampai membawa celurit dan senjata tajam pada waktu itu. Namun pada
akhirnya konflik tersebut dapat mencair ketika perwakilan dari kelompok
masyayekh menyampaikan permohonan maaf kepada kelompok habaib. Reza
sangat menyesalkan kondisi antara dua kelompok tersebut yang kurang begitu
harmonis, sebab dahulu hubungan keduanya tidak ada masalah, bahkan di
68
hadramaut tempat nenek moyangnya hubungan antara kelompok masyayekh
dengan kelompok habaib sangat baik dan dapat hidup dengan rukun.
“pernah saya dua kali baca selebaran waktu shalat jumat isinya itu menuduh kalau para habaib itu ahli bid’ah dan sering mengamalkan perbuatan syirik, mereka menganggap kita seperti itu, saya Cuma bisa ngelus dada mas...kok bisa mereka menuduh sembarangan kayak gitu, terus waktu berita itu tersebar sampai ke orang-orang, ada yang tidak terima sama tuduhan orang masyayekh itu, yang tidak terima itu justru orang-orang madura karena mereka merasa gak terima gurunya dihina seperti itu, sampai ada yang bawa celurit juga waktu itu, mereka menuntut permintaan maaf dari pihak masyayekh, tapi akhirnya bisa diredam setelah ada perwakilan dari pihak masyayekh yang meminta maaf.”
E. Umar Abdullah Alaydrus: Habib ulama
Habib Umar Abdullah Alaydrus lahir dan besar di kampung ampel, beliau
memiliki 6 orang anak, 13 cucu dan 3 cicit. Saat ini usia beliau menginjak 68
tahun. Penampilan khas beliau yakni selalu mengenakan sarung dan peci putih,
terkadang memakai kaos putih atau baju koko. Rambut tipisnya sudah beruban
semua, jalannya pun sudah terlihat sedikit membungkuk karena usia beliau
yang sudah lanjut. Beliau merupakan seorang tokoh masyarakat yang dikenal
dengan pemahaman agama yang luas dan sering menyembuhkan orang sakit
dan atau yang terkena gangguan jin. Tak jarang hampir tiap hari beliau
didatangi oleh orang-orang yang tinggal di sekitar kawasan ampel maupun dari
daerah lain di surabaya atau bahkan dari luar kota dan luar jawa. Secara
perlahan akhirnya beliau dikenal sebagai sosok habib yang dikenal dapat
69
menyembuhkan orang sakit, kesurupan jin, terkena guna-guna (santet) dan
sebagianya.
“sering sekali ya...orang-orang dateng kesini, hampir tiap hari pasti ada, ada yang deket-deket sini ada juga yang dari gresik, madura, dari makassar dulu juga ada..yang sering biasanya minta doa pake air buat nyembuhkan penyakit, macem-macem juga penyakitnya ada yang ringan ada yang sampe stroke atau kanker juga..”
Gambar 8: Habib Umar Abdullah Alaydrus ketika di rumahnya
Sebelum dikenal sebagai sosok habib yang pemahaman agamanya luas,
Habib Umar Abdullah Alaydrus merupakan seorang pedagang meubel sejak
masih bujangan, akibat kondisi kesehatan yang memburuk dan usahanya yang
kurang lancar akhirnya beliau tidak lagi berdagang meubel dan lebih banyak
dirumah tidak bekerja, dan mengandalkan pemberian dari anak-anaknya yang
tidak seberapa. Kemudian entah memperoleh dorongan dari mana tiba-tiba
beliau ingin memperdalam agama, akhirnya beliau mempelajari agama dengan
sungguh-sungguh dan juga mempelajari amalan-amalan sunnah yang memiliki
syarat-syarat tertentu untuk dapat menguasai ilmu tertentu, salah satu contohnya
70
yakni ilmu hizbul bahr yakni disyaratkan harus melakukan taubatan nasuha
dan sodaqoh qoblal amal ketika hendak mempelajari ilmu tersebut, syarat
lainnya minimal harus berusia 40 tahun lalu menurut cerita beliau setiap ilmu
yang hendak dipelajari selalu ada ujian atau cobaannya karena masing-masing
ilmu memiliki malakul (malaikatnya), oleh sebab itu menurut beliau tidak
mudah dalam mempelajari ilmu tersebut karena ujiannya cukup berat. Selama
kurang lebih 20 tahun beliau tidak keluar rumah hanya untuk memperdalam
ilmu agama dan membatasi kehidupannya dengan dunia luar.
“...dulu saya pernah jadi pedagang meubel, sudah lama skali sejak masih bujang, terus 20 tahun yang lalu saya berhenti, habis itu ya ndak kerja apa-apa Cuma dirumah aja, tapi untung masih ada anak-anak saya yang ngasih sedikit-sedikit tiap bulan. Jadi saya dirumah itu banyak belajar agama, baca-baca kitab, mengamalkan amalan-amalan tertentu, kayak hizbul bahr, dan buanyak lagi jenisnya, terus tiap amalan itu punya syarat dan ujian waktu mau menguasainya, karena ada malakulnya setiap amalan ilmu itu, kalau orangnya yang mengamalkan gak kuat bisa sakit.”
Menjadi seorang ulama yang disegani banyak orang bukanlah keinginan
dari beliau, karena sebenarnya profesi utamanya adalah pedagang meubel,
namun karena suatu dan lain hal akhirnya beliau berhenti menjadi pedagang,
dan tidak memiliki pekerjaan dan hanya menghabiskan waktu di rumah
bersama anak istri. Ketika mendalami ilmu agama beliau hanya berharap jika
apa yang dilakukannya itu minimal dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri,
beliau tidak pernah merencanakan untuk menguasai ilmu yang nanti akan
digunakan untuk membantu kesulitan orang lain yang datang padanya, motivasi
71
awal beliau tidak lebih dari sekedar memperdalam ilmu agama agar dapat
mendapatkan berkah dari Allah Swt.
“...saya sama sekali ndak ada keinginan jadi seperti sekarang ini, ini sudah takdir, bukan kehendak saya jadi begini tapi kehendak Allah ta’ala, dulu saya sudah jadi pedagang meubel tapi karena mungkin bukan jalan saya akhirnya kurang berjalan dengan lancar, tapi saya bersyukur jadi apapun karena ini sudah kehendak Allah yang harus diterima, saya mendalami ilmu agama dulu tujuannya bukan agar bisa menolong orang, tapi Cuma sebagai kewajiban kita untuk mempelajari dan memahami Islam biar dapat berkahnya dari Allah juga, terlebih sebagai seorang habib harus memiliki ilmu tentang agama lebih baik daripada orang biasa..”
Gambar 9 dan 10: Buku silsilah nasab habib yang diterbitkan oleh lembaga pencatat habaib Rabithah Alawiyyah
Ketika menyembuhkan dan membantu berbagai keluhan orang, beliau
tidak pernah meminta imbalan kepada mereka, namun tanpa diminta orang-
orang sudah memberikan imbalan baik berupa barang maupun uang sebagai
rasa terima kasihnya, beliau pun selalu menerima pemberian orang-orang yang
datang padanya agar orang yang memberi merasa dihargai pemberiannya, tak
jarang sebagian uang dari pemberian orang tersebut diberikannya kepada orang
72
lain yang membutuhkan, janda atau anak yatim piatu dan fakir miskin. Sebagian
rumahnya pun ada yang direnovasi oleh orang yang dulu pernah disembuhkan
oleh beliau sebagai tanda terima kasih, dan ada juga yang sudah diobati
penyakit parahnya lalu orang tersebut tidak memberikan imbalan atau tanda
terima kasih apapun. Selain orang sakit, keluhan orang yang datang kepada
beliau berkaitan dengan guna-guna dukun yang mengganggu kehidupannya
menjadi tidak normal, beliau menjelaskan bahwa dalam menghadapi kasus
tersebut dirinya tak jarang mendapat serangan balasan dari dukun yang
mengirim guna-guna pada orang yang bersangkutan, karena merasa disaingi
maka diseranglah beliau, namun beliau sudah waspada akan resiko tersebut,
maka dari itu beliau selalu membentengi diri dengan berbagai amalan-amalan
tertentu agar dapat menangkal sihir tersebut, selain itu beliau tak jarang juga
mendatangi langsung dukun yang mempraktikan sihir tersebut agar bertobat dan
menghentikan aktifitasnya, sebagian kemudian mau menuruti nasehat Habib
Umar Alaydrus dan menjadi menurut pada kata-kata beliau, namun juga ada
yang bersikeras untuk melaksanakan sihirnya pada orang lain.
“ooo...saya ndak pernah meminta imbalan kalau membantu, tapi mereka kadang ngasih sendiri tnapa saya minta, kadang di kasih uang, kadang makanan atau malah ini ruangan ini di renovasi sama orang yang dulu saya bantu sembuhkan penyakit kankernya, itu semua tidak saya minta. Tapi ada juga yang kesini orang maluku katanya, sakit jantung terus minta di obati, setelah sembuh ya sudah pulang gak ngasih apa-apa juga pernah, tapi saya gak minta kalau mereka ngasih itu terserah mereka, setiap pemberiannya selalu saya terima biar mereka senang, tapi pemberian itu kadang saya kasihkan janda-janda atau fakir miskin dan yatim piatu yang membutuhkan, tidak semua saya gunakan sendiri....orang yang
73
kesini juga ada yang kena guna-guna dari jin, biasanya dukunnya kalau saya tahu siapa yang mengirim guna-guna itu pasti saya datangi terus saya nasehati saya ajak bertobat, sebagian ada yang nurut dan tobat malah datang ke pengajian saya, tapi juga ada yang ngeyel. Kadang kalau persoalannya sama dukun saya sering kena serang juga, makanya saya terus mengamalkan amalan-amalan khusus biar bisa mengimbangi kekuatan dukun-dukun itu. Ulama-ulama jaman dulu juga gitu, walisongo juga termasuk, dakwahnya gak dengan ceramah aja, tapi juga dengan kesaktiannya.”
Gambar 11: Habib Umar Alaydrus ketika menemui tamu di rumahnya
Dalam mengobati orang-orang yang datang kepadanya, habib umar
alaydrus memakain azimat dari tulisan-tulisan arab dan sebagian dari potongan
ayat al qur’an yang ditulis diatas kertas berukuran 8x5 cm dengan spidol atau
pena, menurutnya seharusnya tinta yang digunakan harus mengandung minyak
za’faran namun menurut beliau khasiatnya tergantung dari si penulisnya bukan
dari za’farannya. Azimat tersebut kemudian dilipat dan diisolasi lalu
disematkan benang wol dan akhirnya dikenakan sebagai kalung bagi yang sakit,
menurut beliau azimat tersebut hanya ditujukan bagi anak-anak kecil saja,
sedangkan bagi orang dewasa pengobatan biasanya dilakukan dengan
74
memberikan air putih dalam botol lalu dibacakan doa-doa kemudian disuruh
minum oleh orang yang bersangkutan.
“saya kalau mengobati juga pakai azimat ya...tapi dari ayat al qur’an, jadi ini bukan syirik, saya tulis sendiri pakai spidol di kertas kecil, seharusnya di kasih minyak za’faran dulu tintanya, tapi itu gak terlalu berpengaruh, yang lebih penting itu orang yang nulis, percuma kalau ditulis pakai za’faran tapi yang nulis ibadahnya gak istiqomah...terus kalau azimat itu dikhususnkan buat anak kecil yang rewel atau sering nangis kalau malem-malem, dipakaikan di kalung dari benang wol terus kertas tadi di isolasi jadi satu sama benang. Kalau orang dewasa beda lagi, tidak saya kasih azimat itu, untuk orang dewasa saya kasih doa-doa saja, biasanya mereka bawa air minum botol aqua, trus setelah saya bacakan doa, saya suruh minum nanti dirumah sambil baca bsamalah sebelumnya.”
Gambar 12 dan 13: Azimat yang digunakan sebagai penyembuh serta peralatan yang digunakan untuk membuat azimat
Menurut beliau ada sebagian orang dari kelompok masyayekh (al irsyad)
yang tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh beliau, yakni menggunakan
azimat dan bacaan doa-doa dalam mengobati orang karena menurut mereka hal
tersebut merupakan kegiatan syirik, namun beliau meyakini apa yang
dilakukannya bukan termasuk perbuatan syirik, karena bagi beliau para auliya’
75
tidak ada yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hal yang termasuk
perbuatan syirik. Bahkan beliau pernah memiliki pengalaman kurang
menyenangkan yakni diludahi oleh orang masyayekh ketika berpapasan di jalan
sebabnya karena tidak suka dengan kelompok habaib dan segala perbuatan
yang dianggap syirik tersebut. Namun ketika beliau diludahi tidak membalas
atau memarahi orang yang meludahi tersebut, sejurus kemudian beliau hanya
pergi meninggalkan orang tersebut dan tak menghiraukan tindakan yang
dilakukan orang tadi.
“...itu bukan syirik ya..para auliya’ saja ndak ada yang bilang kalau itu syirik, tapi orang masyayekh bilang kalau itu syirik, tulisan yang saya pakai itu dari potongan ayat al qur’an, saya juga baca doa-doa waktu mengobati lewat air minum, saya ngobatinnya itu gak pakai cara aneh-aneh...terus saya dulu malah pernah sempet diludahi sama orang masyayekh waktu papasan di jalan mas mansyur, kaget saya, waktu itu gak ada apa-apa tiba-tiba saya langsung diludahi dan dimaki-maki, tapi saya tidak membalas dan langsung meninggalkan orang itu pergi, mungkin mereka gak suka dengan kehabiban kita, seharusnya mereka tidak boleh iri dengan kenyataan, padahal dulu tidak ada problem kayak sekarang, dulu guru-guru kita rukun, saling belajar dan mengajar antara dua kelompok ini”
Beliau menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menyertakan gelar habib
dalam penulisan namanya, termasuk juga di papan nama yang tertempel di
depan pintu rumahnya. Gelar habib tersebut diperoleh dari panggilan orang-
orang lain dan bukan berasal dari orang yang bersangkutan. Kata habib menurut
beliau berasal dari kata habibah (kecintaan) karena Allah sangat mencintai
Rasul, sehingga anak cucunya disebut juga dengan habaib (jamak) atau habib.
Selain itu, sebutan habib hanya dapat ditemukan di Indonesia, karena di negara
76
lain sebutan yang ditujukan bagi keturunan rasullullah tidak sama, di mesir
misalnya disebut dengan syarif, lalu di arab saudi disebut dengan sayyid. Jadi
tidak selalu sebutan untuk keturunan atau anak cucu rasul adalah habib,
bergantung lokasi dan lingkungan seseorang, jika di Asia tenggara atau
indonesia khususnya maka sebutan yang paling lazim adalah habib.
“oohh..itu orang-orang yang nyebut seperti gitu, kita ndak pernah ngaku-ngaku, atau sengaja menambahkan gelar habib di depan nama, seprti yang ada di depan rumah itu Cuma saya tulis nama saya saja tidak saya beri tulisan habib di depannya. Nama habib itu Cuma sebutan di indonesia saja, kalau di negara lain gak sama, di mesir misalnya disebut syarif, terus kalau di arab saudi itu disebut sayyid, kalau di asia tenggara dan indonesia dipanggil habib, jadi beda tempat beda sebutan untuk cucu Rasul. Kalau kata habib itu berasal dari kata habibah yang artinya kecintaan, karena Rasullah adalah kecintaan Allah dan anak keturunannya akhirnya dipanggil habib karena mereka juga termasuk kecintaan Rasulullah.”
Menurut beliau sebagai keturunan rasul sudah menjadi hal yang lumrah
jika lebih dihormati atau dihargai, karena sesuai dengan hadist yang
menyebutkan bahwa wajib mencintai rasul dan anak cucunya. Terlebih lagi jasa
dari para habaib dalam menyebarkan islam di indonesia sangat besar, semua
penyebar islam di indonesia pada awal kedatangannya merupakan dari kalangan
habaib yang tujuannya adalah berdagang di indonesia sambil berdakwah dan
menikah dengan wanita setempat lalu menetap disini. Oleh sebab itu maka
sudah selayaknya para habaib memperoleh penghargaan atau kehormatan di
masyarakat namun sesuai dengan batas keawajaran, penghormatan yang
sewajarnya memiliki nilai ibadah karena ikut mencintai cucu rasulullah.
77
“...mestinya ndak boleh ya iri sama orang lain itu, tapi kadang orang suka iri kalau orang lain ada kelebihan yang ndak dimilikinya, nah kita ini para habaib itu gak minta sama Allah untuk jadi keturunan Rasul, sudah dari sananya ditakdirkan jadi keturunan Rasul, kita gak bisa apa-apa ya Cuma bisa menerima aja, kalau kita dihormati oleh masyarakat itu wajar yaa..soalnya memang jasa para habaib itu besar, yang menyebarkan Islam ke indonesia pertama kali ya para habaib yang dari hadramaut, mereka di sini tujuannya berdagang sambil mensyiarkan Islam, terus menikah sama penduduk setempat dan menetap disini. Selain itu ada hadistnya yang menceritakan bahwa ada seorang arab badui yang dulu belum paham Islam lalu setelah di tarbiyah oleh Rasul akhirnya dia menjadi paham tentang syariah, kemudian si arab badui itu berkata pada Rasul “yaa Rasul, engkau telah mendidikku hingga seperti ini, padahal sebelumnya aku termasuk orang yang tidak mengetahui, apa yang bisa aku lakukan untuk membalas semua kebaikanmu?” lalu Rasul menjawab “cintaliah aku dan keturunanku”. Nah..dari situ kan dijelaskan kalau kita dianjurkan untuk mencintai Rasul dan anak keturunannya, termasuk habaib ini juga..”
Beliau juga menyayangkan adanya sikap penghormatan dari masyarakat
yang berlebihan pada sebagian habib termasuk beliau sendiri, pada suatu
kesempatan beliau pernah menghadiri pengajian lalu ketika selesai menikmati
jamuan makan secara berebut para jamaah berusaha untuk mengambil air
wijikan tangan yang telah digunakan, melihat hal tersebut beliau melarang
karena air tersebut kotor, namun para jamaah memohon pada beliau agar
diizinkan karena berharap berkah dari air bekas wijikan tangan tersebut.
“...yaa pernah waktu pengajian kadang habis selesai makan kan ada air buat wijikan, nah sesudah saya pakai buat membersihkan tangan dari sisa-sisa makanan, langsung dibuat rebutan sama orang-orang yang pengajian disitu, saya larang mereka soalnya itu kotor, tapi mereka tetap tidak mau karena
78
ingin mendapatkan berkah dari saya katanya, akhirnya ya saya biarkan, terserah yang penting saya sudah melarang.”
79
BAB V
ANALISIS DATA
A. Konstruksi Habib: Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi
Sebuah realitas terlahir dari konstruksi masyarakat yang melalui beberapa
tahap. Sama halnya dengan realitas habib yang lahir dari konstruksi
masyarakat, khususnya dari para habaib. Namun demikian, konstruksi diantara
para habaib satu sama lain tidak selalu sama, mereka memiliki construct
(bangunan kebenaran) dalam struktur kognisi mereka yang bergantung pada
penafsiran tentang realitas kehabibannya. Hal ini kemudian berlanjut pada
construe (cara membangun kebenaran) versi mereka yang termanifestasikan
dalam sikap dan tindakannya ketika berinteraksi dengan lingkungan sosial di
sekitarnya. Proses tersebut berlangsung dalam kehidupan sehari-hari mereka,
Berger menyatakan ada tiga “momen” yang harus di lewati dalam proses
konstruksi, yakni Eksternalisasi, Objektivasi dan Internalisasi.
Eksternalisasi. Realitas tentang habib telah dieksternalisasikan sejak awal
kedatangan oleh nenek moyang habaib yang berdagang sekaligus menyebarkan
Islam di Indonesia. Pada awal kedatangan nenek moyang mereka yang berasal
dari Hadramaut, nilai-nilai tentang habib telah dipopulerkan dalam istilah
sayyid pada masa itu, dan pada gilirannya menciptakan sebuah stratifikasi sosial
antara sayyid dengan non sayyid. Di samping itu, kondisi kelompok sayyid
seakan-akan memang nampak lebih superior sebab mayoritas dari mereka
80
mengajarkan Islam kepada penduduk setempat, sehingga membuat
penghormatan penduduk setempat kepada para sayyid menjadi lebih tinggi di
bandingkan kepada non sayyid. Hal tersebut kemudian berlangsung terus
hingga terjadi pewarisan dari generasi ke generasi. Alhasil, semua nilai-nilai
yang dibentuk tentang habib menjadi sebuah tradisi dalam keluarga dan
kelompok mereka yang kemudian terciptalah realitas tentang habib.
Peranan keluarga dalam hal ini cukup sentral, sebab sistem kekerabatan
dalam etnis arab yang terbangun sangat kuat, mendukung terjadinya enkulturasi
atau pewarisan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai tentang habib yang
dieksternalisasikan oleh para habaib secara terus menerus dalam kehidupan
sehari-hari, secara turun temurun, dan diaplikasikan dalam sikap dan tindakan
mereka ketika berinteraksi, serta dalam pernikahan. Eksternalisasi sangat di
pengaruhi oleh kumpulan pengetahuan akal sehat atau stock of knowledge
individu, dimana stock of knowledge ini merupakan akumulasi dari pengetahuan
akal sehat atau common sense of knowledge seseorang. Kemudian, pengalaman
sehari-hari yang dialami oleh para habaib tersebut menyimpan sebuah realitas
atau tradisi yang pada gilirannya nanti membentuk sebuah common sense of
knowledge tanpa mereka sadari atau tidak. Pengalaman-pengalaman bersama
orang tua, saudara, teman sepermainan atau teman sekolah, memberikan sebuah
pengetahuan yang di simpan dalam memori para habaib, dan pengetahuan
tersebut tidak hanya di miliki oleh satu orang habib saja melainkan juga di
miliki secara bersama oleh habaib dan individu-individu lainnya atau
masyarakat. Akhirnya hasil dari eksternalisasi ini lahirlah sebuah realitas
81
objektif yang di ciptakan oleh habaib. Sampai di sini, Masyarakat merupakan
produk manusia.
Objektivasi. Realitas dan atau tradisi yang sengaja telah di ciptakan oleh
para habaib tersebut akhirnya berhadapan dengan para habaib kembali dalam
kehidupan mereka, sehingga muncullah sebuah kesadaran untuk menjalankan
dan mempelajari nilai-nilai tradisi yang telah diwariskan dari generasi
sebelumnya. Realitas objektif yang sengaja di ciptakan membawa konsekuensi
dalam kehidupan penciptanya yakni para habaib. Tidak hanya itu, interaksi
yang terjadi antara habaib dengan lingkungan sosailnya, baik sesama habaib
maupun dengan orang yang bukan habaib, menghasilkan sebuah norma atau
aturan menyangkut apa saja yang seharusnya dilakukan dan tidak seharusnya
dilakukan. Karena realitas objektif ini bersifat memaksa dan berada di luar diri
para habaib maka di perlukan adanya sebuah legitimasi agar aturan tersebut di
taati oleh para habaib. Legitimasi merupakan pengetahuan yang diobjektivasi
secara sosial untuk membenarkan tatanan sosial. Pengetahuan yang berwujud
dalam aturan-aturan ataupun nilai-nilai di pahami secara sosial oleh para habaib
dalam dunia kesadarannya, dan pada gilirannya nanti menjadi sebagai alat
untuk membenarkan suatu realitas sosial yang telah di ciptakan. Realitas
objektif ini tentu tidak dapat lepas dari Fakta Sosial milik Durkheim.
Dengan adanya legitimasi tersebut membuat objektivasi yang sudah
melembaga menjadi masuk akal secara subjektif. Karena legitimasi menyangkut
nilai-nilai moral dan normatif maka dalam hal ini terdapat dua legitimasi
sekaligus dalam realitas habib, yakni legitimasi agama dan legitimasi kultural.
82
Legitimasi dari agama berupa hadits-hadits yang menyatakan bahwa anak cucu
Rasul memiliki keistimewaan sehingga juga harus di cintai dan di hormati
sebagaimana Rasulullah Saw, disamping itu adanya keyakinan bahwa perbuatan
dosa yang dilakukan para habaib maka akan dua kali lipat jika dibandingkan
orang lain juga menjadi legitimasi bahwa seharusnya para habaib memberi
contoh yang lebih baik pada masyarakat. Sedangkan legitimasi kultural
menyangkut sistem kekerabatan yang menjadi tradisi dalam budaya arab
dimana sistem patrilinial menjadi tradisi kekerabatan etnis arab, oleh sebab itu
dalam pemilihan jodoh para habaib─khususnya yang perempuan atau
syarifah─haruslah menikah dengan orang dari kalangan habaib pula. Hal ini di
maksudkan agar nasab Rasulullah Saw tetap terjaga hingga hari kiamat kelak.
Di samping itu, marga milik perempuan akan di tentukan oleh sang suami,
sehingga mencari suami dari kalangan habaib merupakan sebuah keharusan
yang di legitimasi secara kultural. Dalam hal ini laki-laki lebih memiliki
kebebasan, namun bukan berarti tak ada konsekuensi ketika mereka menikah
dengan perempuan yang bukan syarifah, legitimasi kultural terkadang memberi
sanksi pada mereka dengan mengucilkan dalam keluarga, namun hal ini di
kembalikan pada penerimaan keluarga masing-masing. Sampai pada titik ini
terjadi dialektika antara pencipta (manusia) dengan ciptaannya (nilai-nilai
objektif atau fakta sosial).
Internalisasi. Nilai-nilai yang telah di objektivasikan tersebut akhirnya
mulai diserap dalam diri masing-masing habaib. Proses ini melingkupi
penafsiran pada diri habib masing-masing yang menyangkut realitas objektif
83
tersebut. Selanjutnya, antara habib satu dengan yang lain memiliki penafsiran
yang tidak selalu sama, subjektifitas habib dalam menafsiri realitas tersebut
mengakibatkan munculnya internalisasi. Ketika internalisasi berlangsung,
terjadilah pengkonstruksian secara subjektif pada diri habib, dan dari sinilah
lahir realitas subjektif. Dalam proses internalisasi ini tentu tidak dapat di
lepaskan dari teori milik Weber yang menjelaskan tentang makna subjektif atau
dalam bahasanya dikenal dengan istilah verstehen. Bahwasanya dalam diri
individu selalu ada makna subjektif dalam memaknai sesuatu dan melakukan
tindakan tertentu atas pemaknaannya tersebut. Latar belakang masing-masing
habib yang beragam, khususnya profesi maupun kondisi keluarganya, turut
mempengaruhi akan konstruksi habib yang melekat pada dirinya, bergantung
pada proses internalisasi yang dialami mereka.
Nilai yang diserap dari tradisi keluarga tersebut ternyata tidak selalu
berjalan sempurna, faktor lingkungan juga mempengaruhi proses penyerapan
nilai-nilai tersebut dalam diri habaib, sehingga memungkinkan terjadi
penyempurnaan-penyempurnaan yang dilakukan oleh masing-masing habaib
yang pada akhirnya memberikan penafsiran yang berbeda dengan habib-habib
yang lain (makna subjektif) berdasarkan pengalaman-pengalaman sehari-hari
yang dialami selama hidupnya. Dan ketika habaib telah mampu mengambil alih
dunia yang sedang dihuni oleh sesamanya maka mereka tidak hanya mampu
memahami definisi yang di pahami orang lain, akan tetapi juga dapat
mengkonstruksi definisi tersebut secara bersama-sama. Realitas objektif tentang
habib yang di pahami oleh orang lain, pada suatu kesempatan di internalisasi
84
untuk di definisikan atau ditafsiri oleh masing-masing habib, namun pada saat
yang sama mereka juga mampu menafsirkan secara berbeda dengan yang di
pahami oleh orang lain, sehingga para habaib mampu menafsirkan ulang sesuai
dengan yang dia pahami dan sekaligus mampu merubah atau menciptakan
ulang kembali masyarakat. Sampai di sini, manusia merupakan produk
masyarakat.
B. Tipologi Habib: Habib Konservatif, Habib Dinamis Oportunis, dan
Habib Independen
Tipologi habib di dasarkan pada pemaknaan tentang status atau realitas
tentang kehabiban yang disandang oleh masing-masing habib. Dari berbagai
latar belakang yang beragam, diperoleh pemaknaan terhadap status habib yang
berbeda satu sama lain dari masing-masing, secara umum masyarakat mengenal
bahwa seorang habib adalah ulama yang memiliki garis keturunan dari
Rasulullah Saw, namun realitas lain yang tidak dipahami oleh masyarakat
adalah sosok habib yang bukan seorang ulama melainkan berprofesi
sebagaimana orang pada umumnya, sebut saja pedagang, dokter, advokat,
bahkan pemain sepakbola. Hal ini kemudian akan membuat pemaknaan realitas
habib menjadi unik mengikuti latar belakang dan karakter masing-masing
subjek, sehingga konstruksi diri masing-masing habib sangat mungkin memiliki
perbedaan sekaligus persamaan.
85
Sekurang-kurangnya ada tiga tipe habib yang ditipifikasikan dalam
penelitian ini, diantaranya adalah habib konservatif, habib dinamis oportunis,
dan habib independen46 (indie). Adapun pengertian untuk habib konservatif
adalah seorang habib yang memaknai statusnya dan mengkonstruksi dirinya
46 Istilah independen yang mengikuti kata ”habib” disini mengadaptasi dari terminologi ”musik independen” dan ”film independen” yang kurang lebih bermakna film dan musik yang berada di luar genre atau mainstream musik dan film pada umumnya, berangkat dari hal tersebut kemudian istilah independen coba untuk diadaptasikan dalam salah satu tipologi habib yakni habib independen.
KONSTRUKSI DIRI HABIB
Habib Konservatif
Habib Dinamis Oportunis Habib
Independen
Mengkonstruksi diri sebagai ulama atau
tokoh masyarakat dan menjalankan peran sebagai pendakwah
Mengkonstruksi diri sesuai profesi namun masih menjalankan
peran sebagai pendakwah
Mengkonstruksi diri sesuai profesi dan merasa tidak layak
disebut sebagai habib serta bertindak sesuai profesi bukan sebagai
pendakwah
86
sebagai seorang ulama atau tokoh masyarakat. Dalam hal ini, penggolongannya
juga didasarkan pada karakter para habaib yang datang pada awal-awal
bermukim di sekitar Ampel, yakni selain berdagang juga menjalankan fungsi
sebagai pendakwah, namun akhirnya dakwah menjadi prioritas utama mereka
melalui cara-cara yang beragam.
Umar Abdullah Alaydrus termasuk dalam tipologi sebagai habib
konservatif. Hal ini mengacu pada tindakannya sehari-hari, yang
mengkonstruksi dirinya sebagai tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan
agama yang luas, lebih dari itu, bahkan diyakini memiliki kemampuan untuk
menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu, termasuk juga gangguan jin (santet)
yang itu semua dilakukan secara non medis. Disamping itu, dirumahnya juga
rutin pada kamis malam jum’at selalu diadakan pengajian atau semacam
tahlilan, yang menjadi penanda bahwa beliau adalah seorang ulama bagi
masyarakat. Sekalipun pada awalnya berprofesi sebagai pedagang, namun
karena beberapa hal mengakibatkan dirinya berhenti melanjutkan usahanya dan
memilih menjadi seorang ustadz atau ulama. Pola ini memiliki kemiripan
dengan tipikal para sayyid atau leluhur mereka pada awal-awal kedatangannya
di Indonesia yang bertujuan untuk berdagang namun juga menjadi seorang
ustadz dan mendakwahkan Islam pada penduduk setempat dengan cara yang
beragam, diantaranya dengan ceramah atau pengajian, dengan mendirikan
sekolah-sekolah, atau dengan menikahi perempuan setempat. Berangkat dari hal
tersebut maka habib yang bersangkutan memiliki corak konservatif mengikuti
pola para leluhur mereka yang berdakwah pada penduduk setempat.
87
Selanjutnya pengertian dari habib dinamis oportunis adalah seorang habib
yang menjalankan dua peran sekaligus di dalam status kehabibannya, di satu
sisi dia menjalankan fungsi sebagai seorang ulama dan berdakwah layaknya
para ulama, namun disisi lain dia juga menjalankan peran profesi tertentu
sebagaimana masyarakat pada umumnya. Habib yang termasuk dalam tipe ini
memiliki dua dimensi profesi dalam waktu yang hampir bersamaan, dia
mengkonstruksi dirinya lebih cenderung bergantung pada profesinya,
sedangkan identitas habibnya tidak terlalu ditampakkan, kecuali hanya pada
waktu dan tempat tertentu, misalnya saat ceramah atau pengajian.
Ali Al Habsyi merupakan tipe habib dinamis oportunis. Hal ini mengacu
pada sikapnya yang mengkonstruksi diri sesuai dengan profesinya yakni
advokat. Akan tetapi, disisi lain Ali juga memiliki peran sebagai seorang habib
ulama yang melakukan ceramah-ceramah keagamaan dan memimpin zikir atau
pengajian di pondok Gaib asuhannya. Selain itu, Ali juga pernah menempati
posisi sebagai ketua FPI surabaya yang merupakan salah satu gerakan yang
mengatasnamakan Islam dalam setiap aksi dakwahnya. Di lain pihak, selain
berprofesi sebagai advokat, Ali memposisikan dirinya sebagai orang politik
dengan bergabung pada partai Hanura dan menjadi calon anggota legislatif pada
pemilu 2009 yang lalu.
Pemaknaan terhadap realitas kehabibannya berimplikasi pada tindakan
yang terwujud dalam keseharian. Ali terkadang dapat menjalankan dua peran
tersebut secara bergiliran sesuai ruang dan waktu, akan tetapi juga dapat
menggunakan salah satu peran tersebut untuk mendukung dalam menjalankan
88
peran yang lain. Posisinya sebagai habib ulama yang memiliki pondok
dirumahnya yang sering mengadakan zikir atau pengajian ditambah aktifitasnya
ketika di FPI dapat memudahkan dirinya dalam menjalankan perannya sebagai
pengurus partai Hanura ketika kampanya untuk pensuksesan calon anggota
legislatif, sehingga Ali tidak kesulitan untuk menghimpun massa yang tidak lain
berasal dari pengikutnya dari pondok maupun FPI. Begitupun sebaliknya,
ketika Ali menjalankan fungsinya sebagai seorang ketua FPI saat melakukan
aksi, posisinya sebagai orang hukum (baca: advokat) memberikan kontribusi
dalam melancarkan negosiasi ketika berhadapan dengan aparat kepolisian atau
pengadilan. Oleh sebab itu, Ali selalu menggunakan latar belakangnya sebagai
sarjana Hukum untuk melakukan pembelaan atas aksi-aksinya bersama FPI
selama ini sehingga dia tidak dituduh melanggar hukum atau berbuat sesuatu
tanpa ada dasar hukumnya. Sikap dan tindakannya tersebut cenderung
memperlihatkan keoportunisannya dalam mengaplikasikan status kehabibannya
di masyarakat.
Kemudian yang terakhir adalah habib independen, yang memiliki
pengertian sebagai seorang habib yang tidak mengkonstruksi dirinya sebagai
seorang habib karena merasa tidak layak disebut sebagai habib sekalipun
dirinya sebenarnya memiliki nasab sebagai cucu Rasul, namun mereka memilih
untuk tidak memposisikan diri di masyarakat sebagai habib dan berusaha
menkonstruksi dirinya sesuai dengan profesi yang dijalani. Menurut habib
independen, makna habib merupakan gelar yang sepantasnya disematkan pada
seorang yang memiliki pengetahuan agama yang luas dan segala tindakannya
89
sesuai dengan ajaran Islam. Di sisi lain, mereka merasa tidak layak disebut
habib sebab tindakannya masih belum sesuai dengan ajaran Islam dan
pengetahuan agamanya masih terbatas.
Ahmad bin agil, Yahya Assegaf, dan Reza Al Jufri dapat ditempatkan
kedalam tipologi habib independen. Hal ini mengacu pada tipikal mereka yang
mengkonstruksi dirinya bukan sebagai seorang habib dan lebih mengkonstruksi
diri bergantung pada profesi mereka masing-masing. Terminologi independen
yang disematkan pada diri mereka merupakan implikasi dari sikap dan tindakan
mereka sesuai dengan pemaknaannya terhadap realitas kehabiban yang
disandang. Bagi mereka status habib tidaklah terlalu istimewa, sekalipun
mungkin ada sedikit kebanggaan namun justru rasa terbebani lebih besar, oleh
sebab itu mereka lebih mengkonstruksi diri bukan sebagai habib melainkan
seorang yang sesuai dengan profesinya, Ahmad sebagai pemain sepak bola,
Yahya sebagai dokter, dan Reza sebagai pedagang. Apa yang mereka lakukan
berada di luar mainstream konstruksi habib yang identik dengan seorang tokoh
agama yang memiliki pengetahuan agama yang luas dan diyakini memiliki
”kesaktian” tertentu. Mereka bertiga memiliki kesamaan dalam melihat dirinya
yang tidak layak disebut sebagai habib sebab tindakan mereka yang masih
sering tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti shalat yang bolong-bolong, zina
mata dan sebagainya. Di lain pihak, mereka justru menempatkan diri layaknya
orang lain pada umumnya, menjalani aktifitas dan bertindak sebagaimana
mestinya, meskipun rasa terbebani itu akhirnya membuat mereka harus
mengendalikan sikap dan perilakunya di masyarakat, namun pada kenyataannya
90
hal tersebut justru tidak berhasil membuat mereka bertiga bertindak sesuai
dengan statusnya sebagai habib. Ahmad yang memiliki prinsip freedom dalam
menjalani hidupnya dan kerap dijuluki ”arabpati nggenah” oleh teman-
temannya, lalu Yahya yang tak jarang melihat film biru, dan Reza yang sesekali
shalatnya tidak sampai lima waktu dalam sehari, memperlihatkan pola bahwa
mereka memiliki tipikal diluar mainstream habib di masyarakat, sehingga
menjadi layak untuk diletakkan dalam tipe habib independen.
C. Konstruksi Habib berdasarkan tipologi
Habib Konservatif. Proses ini diawali oleh eksternalisasi Umar dari nenek
moyangnya yang diwariskan pada keluarganya. Nilai-nilai kehabiban yang
sudah ditanamkan secara turun temurun dalam keluarga merupakan sebuah
warisan yang sengaja diciptakan oleh para habaib. Begitu pula Umar
mengeksternalisasi nilai habib dari keluarganya, terlebih lagi Umar juga
menjadi seorang tokoh masyarakat maka dia juga turut menciptakan realitas
tersebut atau mengeksternalisasi kepada orang lain.
Umar memperoleh legitimasi dari agama yang digunakan sebagai
pembenaran dalam upayanya menciptakan realitas habib. Legitimasi itu berupa
ayat Al Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan seputar anjuran untuk
menghormati Rasulullah dan anak keturunannya, oleh sebab itu beliau merasa
bahwa penghormatan yang dia terima merupakan sutu hal yang wajar sesuai
dengan perintah dalam Islam. Construct yang dimiliki Umar banyak
dipengaruhi oleh pengetahuan tentang agama, dalil-dalil dia gunakan untuk
mendukung posisinya sebagai seorang habib. Legitimasi ini sangat membantu
91
berlangsungnya proses objektivasi yang merupakan tahap dimana realitas
objektif dibangun.
Umar akhirnya menghadapi realitas objektif yang dia bangun sendiri.
Kemudian proses internalisasi berlanjut ketika penafsiran terhadap realitas
tersebut dilakukan secara subjektif, dimana dapat menimbulkan penafsiran yang
berbeda antara Umar dengan habib yang lain. Dalam hal ini, Umar
menginternalisasi realitas habib sesuai dengan nilai yang diajarkan dalam
agama Islam, sebab dengan pengetahuan agama pula Umar melegitimasi
statusnya sebagai habib. Pada saat yang bersamaan, akhirnya Umar
menciptakan kembali sebuah realitas habib berdasarkan nilai-nilai agama.
Habib Dinamis Oportunis. Melihat proses eksternalisasi yang dilakukan
Ali juga diperoleh dari keluarga mereka. Sejak kecil memang sudah dididik
nilai-nilai Islam bahkan dia sempat menerima pendidikan di pesantren yang
memberikan sedikit banyak pengalaman sebagai seorang habib di lingkup
pesantren selain memperoleh ilmu agama. Faktor keluarga memang sangat
semtral dalam eksternalisasi habib ke dalam diri seseorang, karena nilai tersebut
diwariskan secara turun temurun, layaknya sebuah pewarisan budaya dari
generasi ke generasi. Sekalipun Ali tidak pernah menunjukkan kehabibannya di
masyarakat, namun dengan sendirinya masyarakat yang mengetahui bahwa dia
adalah seorang habib maka akan bersikap menghormati ketika berinteraksi.
Pondok yang dia dirikan dirumahnya secara tidak langsung menjadi penanda
bahwa dirinya memang layak disebut sebagai tokoh masyarakat yang memiliki
pengetahuan agama cukup luas. Sosoknya ketika memimpin FPI
92
memperlihatkan bahwa Ali memang seorang pemimpin yang tidak hanya
memiliki pengetahuan agama namun juga keberanian, sehingga dengan mudah
massa terhimpun ketika kampanye Pemilu Legislatif dan sekaligus memperkuat
posisinya sebagai seorang habib.
Objektivasi terjadi ketika semua pengalaman-pengalaman tersebut
berlangsung secara berulang-ulang dan pada gilirannya terciptalah sebuah
realitas objektif tentang sosok Ali sebagai habib namun juga sebagai tokoh
politik dan hukum. Akhirnya Ali kembali berhadapan dengan realitas yang telah
dibangunnya, dia sering diminta bantuan oleh pengikutnya atau tetangga sekitar
yang sedang kesulitan, baik permasalahan yang menyangkut sengketa hukum
atau persoalan agama, sesuai dengan kapasitasnya sebagai habib dan advokat.
dan tak jarang Ali memberi bantuan uang kepada mereka jika benar-benar
membutuhkan. Begitupun ketika di partai Hanura, Ali yang memperjuangkan
aspirasi ummat namun menghadapi kendala praktik politik yang menurutnya
tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, sehingga membuat gerak politiknya
menjadi terbatas sebab jika dia mengikuti arus maka akan terjadi kontradiksi.
Ali mencoba untuk menginternalisasi realitas habib dalam dirinya dengan
menafsirkan secara subjektif. Dia melakukan hal tersebut sesuai dengan latar
belakangnya sebagai seorang advokat, sebab dia lebih merasa nyaman sebagai
advokat sekalipun memiliki identitas sebagai habib. Pengulangan yang terjadi
dalam pengalaman-pengalaman keseharian membuat konstruksi tersendiri
sesuai dengan pengetahuan akal sehatnya, sehingga pemahaman tentang realitas
93
habib yang dimiliki Ali tidak selalu sama oleh habib lain namum juga tidak
memungkiri memiliki persamaan dengan habib lainnya.
Habib Independen. Eksternalisasi yang dialami oleh Ahmad, Yahya dan
Reza paling utama berasal dari keluarga mereka. Nilai-nilai habib memang
sudah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Kemudian hal
ini dilanjutkan dengan pengalaman-pengalaman selama mereka hidup, baik
pengalaman ketika bersama keluarga maupun teman-temannya. Pada gilirannya
hal ini membentuk sebuah pengetahuan akal sehat yang dimiliki mereka bertiga,
dan akhirnya berpengaruh pada sikap dan tindakan dalam keseharian serta
dalam memahami realitas tentang habib. Ahmad tidak merasa dirinya layak
disebut habib, begitupun Yahya, Reza juga senada dengan mereka berdua.
Pengalaman Ahmad misalnya yang dijuluki temannya “arabpati nggenah”
memberi pengaruh dalam dirinya ketika mengkonstrruksi diri. Mereka merasa
bahwa dirinya belum layak sebab pengetahuan agamanya masih kurang dan
tindakan sehari-harinya masih belum sesuai dengan tuntunan Islam, shalat
masih belum genap atau mata yang masih belum terjaga dari memandang hal-
hal yang diharamkan. Di lain sisi, mereka memiliki construct bahwa seorang
habib adalah tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan agama dengan baik
dan perilakunya sesuai dengan tuntunan Islam.
Setelah realitas objektif tercipta dari hasil eksternalisasi, maka diperlukan
legitimasi sebagai pembenaran untuk memperkuat realitas objektif tersebut.
Legitimasi yang dilakukan oleh Ahmad, Yahya dan Reza bersumber dari agama
dan kultur mereka. Mereka memiliki persamaan bahwa habib merupakan
94
keturunan Rasulullah Saw dan sama-sama meyakini bahwa sebagia cucu Beliau
harus memberi contoh kepada orang lain yang bukan habib, sebab jika mereka
berbuat dosa maka dosa yang diterima dua kali lipat jika dibandingkan dengan
orang lain, mereka memiliki keyakinan demikian. Pada tahap ini terlihat bahwa
realitas habib yang terobjektivasi dihadapi kembali oleh penciptanya, ketika
Yahya mengatakan bahwa habib adalah orang yang alim dan taat dalam
beribadah, namun setelah realitas itu dihadapkan pada dirinya justru Yahya
tidak merasa layak disebut sebagai habib sebab faktor perilaku yang masih
belum sesuai dengan nilai Islam adalah penyebabnya. Hal ini juga terjadi pada
Reza dan Ahmad.
Selanjutnya, mereka mencoba untuk menyerap nilai dalam realitas objektif
tersebut untuk dipahami dan ditafsirkan secara subjektif. Latar belakang Ahmad
sebagai pemain sepak bola yang juga mahasiswa, lalu Yahya sebagai dokter,
dan Reza yang berprofesi sebagai pedagang mempengaruhi penafsiran mereka
terhadap realitas objektif tentang habib, pengalaman bersama lingkungan
sekitar pekerjaan mereka turut mempengaruhi hal tersebut. Mereka berusaha
untuk memahami makna yang diciptakan oleh orang lain namun secara
bersamaan juga berusaha untuk menafsirkan sesuai dengan pemahamannya,
sehingga jika habib dimaknai sebagai seorang yang alim dan merupakan tokoh
masyarakat, maka mereka juga menafsirkan hal yang serupa akan tetapi dalam
mengkonstruksi untuk dirinya tidak demikian, mereka menyatakan jika diri
mereka tidak pantas disebut habib, oleh sebab itu mereka memiliki penafsiran
yang berada diluar realitas objektif tersebut, dan pada gilirannya akan
95
berpengaruh pada sikap dan tindakannya ketika berinteraksi dengan lingkungan
sekitar. Mereka bertindak tidak selalu berdasarkan nilai Islam yang seharusnya
dilakukannya sebagai seorang habib, namun karena merasa tidak layak disebut
habib maka dalam hal ini mereka menyadari bahwa konstruksi dirinya adalah
sesuai dengan profesinya sekalipun keterkaitan dengan status sebagai habib itu
tetap ada.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zastrouw Ng. 2006. Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI. Yogyakarta: LkiS.
96
Aini, Indah Churrotul. 2004. Persepsi Masyarakat Islam Keturunan Arab di Kelurahan Ampel Kecamatan Semampir Tentang Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan. Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Ahwalus Syakhsiyah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Al-Albani, M. Nashiruddin; Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta: Gema Insani Press, 2005. ISBN 979-561-967-5. Hadist no. 1656
Campbell, Toum. 1994. Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Denzin, N. and Lincoln, Y., 1990, “Introduction: Entering the Field of Qualitative Research”, Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publication.
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Jacky, Muhammad.. Konsep dan Teori Agama dalam Perspektif Sosiologis. Hand Out Kuliah yang Disampaikan pada Program “Pertukaran Dosen” untuk matakuliah Sosiologi Agama di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Yogyakarta, 26 Desember 2006.
Kuhn, Thomas. 1993. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. diterjemahkan oleh Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J.. 2006. Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia.
Pals, Daniel L.. 2001. Seven Theories of Religion: Dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz. Yogyakarta: Qalam
Poloma, Margaret M.. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ritzer, George. 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Diterjemahkan oleh Alimandan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
_____________ dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke-6. diterjemahkan oleh Alimandan. Jakarta: Prenada Media
97
Savitri, Shinta Yuniar. 2006. Perlakuan majikan etnis dan keturunan Arab terhadap pembantu rumah tangga di jalan KH.Mas Mansyur Surabaya. Skripsi tidak diterbitkan. Prodi Sosiologi FIS Unesa.
Sutinah, dan Sri Endah Kinasih. 2005. Tindak kekerasan terhadap anak perempuan pada saat pemilihan jodoh di kalangan etnis Arab Surabaya. Lembaga Penelitian Unair.
Warsono. 2004. Agama: Fungsi dan Disfungsi Sosial. Paradigma: Jurnal-jurnal Ilmu Sosial. Volume 2 nomor 1 Janurai 2004. Surabaya: Prodi Sosiologi FIS Unesa.
Waters, Malcolm. 1994. Modern Sociological Theory. London: Sage Publication. Thousand Oaks, New Delhi.
Zulkifli. 2009. Gelar dalam Islam. Jogjakarta: Pinus book publisher
Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/ Habib .
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahlul_Bait
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunni
http://id.wikipedia.org/wiki/Syiah
http://id.wikipedia.org/wiki/Alawiyyin
http://id.wikipedia.org/wiki/Hadramaut
http://id.wikipedia.org/wiki/ Sayyid .
http://kucapa.blogspot.com/2008/12/h-b-i-b.html.
http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg20608.html
http://sosiologipertanahan.blogspot.com/2009/05/paradigma-penelitian.html.
http://wiliandalton.blogspot.com/2008/03/konstruksi-sosial-interpretasi.html.
http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11/teori-konstruksi-sosial-peter-l-berger/
http://cepukndagel.blogspot.com/2008/01/peranan-sosiologi-terhadap-sosiologi.html.
98
99