Konservasi Tingkat Populasi

57
BAB II ISI 2.1 Konsep-konsep dasar bagi populasi berukuran kecil Secara umum, suatu rencana konservasi yang baik untuk spesies terancam punah bertujuan agar sebanyak mungkin individu spesies tersebut dapat dilestarikan dalam habitat yang berkualitas, dan agar seluas mungkin habitat tersebut dapat terlindungi. Griffiths and Schaick (1993) mengemukakan istilah Minimum Valiable Population (MVP) untuk mendefinisikan jumlah individu minimal yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan hidup suatu spesies. MVP merupakan ukuran terkecil dari suatu populasi yang terisolir dalam suatu habitat tertentu, yang memiliki peluang 99% untuk bertahan hidup selama 1000 tahun, di tengah berbagai resiko bencana yang ditimbulkan oleh faktor-faktor tertentu, termasuk demografi, peluang acak perubahan lingkungan, peluang acak genetik, dan bencana alam. Ringkasnya MVP merupakan ukuran populasi terkecil yang diperkirakan memiliki peluang yang sangat tinggi untuk bertahan hidup di masa mendatang. Griffith menekankan bahwa definisi MVP dalam konteks ini tidak mutlak, karena ditentukan berdasarkan tingkat peluang bertahan hidup, serta kerangka waktu yang akan diperkirakan (atau diperhitungkan) oleh sang peneliti. Sebagai contoh, peluang bertahan hidup dapat ditetapkan (dan diperkirakan) pada berbagai nilai, misalnya 95% atau

description

Konservasi tingkat populasi

Transcript of Konservasi Tingkat Populasi

BAB II

ISI

2.1 Konsep-konsep dasar bagi populasi berukuran kecil

Secara umum, suatu rencana konservasi yang baik untuk spesies terancam

punah bertujuan agar sebanyak mungkin individu spesies tersebut dapat

dilestarikan dalam habitat yang berkualitas, dan agar seluas mungkin habitat

tersebut dapat terlindungi. Griffiths and Schaick (1993) mengemukakan istilah

Minimum Valiable Population (MVP) untuk mendefinisikan jumlah individu

minimal yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan hidup suatu spesies.

MVP merupakan ukuran terkecil dari suatu populasi yang terisolir dalam suatu

habitat tertentu, yang memiliki peluang 99% untuk bertahan hidup selama 1000

tahun, di tengah berbagai resiko bencana yang ditimbulkan oleh faktor-faktor

tertentu, termasuk demografi, peluang acak perubahan lingkungan, peluang acak

genetik, dan bencana alam. Ringkasnya MVP merupakan ukuran populasi

terkecil yang diperkirakan memiliki peluang yang sangat tinggi untuk bertahan

hidup di masa mendatang. Griffith menekankan bahwa definisi MVP dalam

konteks ini tidak mutlak, karena ditentukan berdasarkan tingkat peluang bertahan

hidup, serta kerangka waktu yang akan diperkirakan (atau diperhitungkan) oleh

sang peneliti. Sebagai contoh, peluang bertahan hidup dapat ditetapkan (dan

diperkirakan) pada berbagai nilai, misalnya 95% atau 99%. Demikian pula

kerangka waktu, yang dapat disesuaikan dengan rencana perkiraan yang akan

dilakukan, misalnya 100 tahun atau 500 tahun. Dengan demikian, MVP

merupakan pendekatan yang memungkinkan dilakukannya perkiraan secara

kuantitatif mengenai banyaknya jumlah individu yang diperlukan untuk

melestarikan suatu spesies.

Untuk mendapatkan ukuran MVP yang tepat bagi spesies terancam punah

terkait dibutuhkan penelitian terinci tentang demogarafi populasi dan disertai

analisis lingkungan. Setelah menetukan MVP, langkah berikut dalam penelitian

konservasi spesies adalah memperkirakan Minimum Dynamic Area (MDA). MDA

merupakan luasan atau jumlah habitat yang cocok dihuni agar MVP dapat dicapai

atau dipertahankan. MDA dapat dihitung dengan mempelajari luasan daerah

jelajah individu maupun kelompok atau koloni spesies terancam punah tersebut.

Contoh penetuan MVP yang berasal dari pemantauan terhadap 120

populasi “Kambing bertanduk besar” Ovis canadensis di padang pasir barat laut

AS. Sebagian dari 120 populasi tersebut telah ddiikuti selama 70 tahun. Yang

menarik adalah populasi yang berjumlah kurang dari 50 individu punah dalam

waktu 50 tahun, sementara pada saat bersamaan, populasi yang memiliki jumlah

lebih dari 100 individu hampir seluruhnya dapat bertahan (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Hubungan antara ukuran populasi pada kambing bertanduk besar “

Ovis canadensi pada saat awal (N) dengan presentase populasi yang bertahan dari

wakru ke waktu. Hampir seluruh populasi yang memiliki lebih dari 100individu

ternyata bertahan lebih dari 50 tahun. Populasi yang memiliki ukuran atau jumlah

kurang dari 50 individu akhirnya punah dalam 50 tahun. Dalam perhitungan ini

tidak dimasukkan data populasi-populasi berukuran kecil yang dikelola aktif dan

sering menerima tambahan satwa yang dilepas ke dalam Habitat tersebut.

2.2 Masalah pada populasi yang berukuran kecil

Pada umumnya, untuk melindungi sebagian besar spesies diperlukan

populasi yang besar. Spesies dengan ukuran populasi yang kecil akan menghadapi

resiko besar berupa kepunahan. Terdapat tiga sebab mengapa populasi kecil

terancam oleh berkurangnya jumlah individu dan kepunahan lokal, yaitu :

1. Hilangnya keragaman genetik dan timbulnya masalah dalam tekanan

silang, dalam atau perkawinan sedarah (Inbreeding depession) serta

hanyutan genetik (genetic drift).

2. Perubahan demografik, ketika laju kelahiran dan laju kematian akan

mengalami variasi acak dan mengakibatkan perubahan pada struktur dan

komposisi populasi.

3. Perubahan lingkungan, yang dapat disebabkan oleh bermacam ragam

peristiwa termasuk pemangsaan, kompetisi, penyakit, persediaan pangan,

maupun bencana alam yang terjadi sewaktu-waktu, seperti kebakaran,

banjir maupun musim kering berkepanjangan.

Beberapa masalah yang ada pada populasi berukuran kecil, diantaranya

sebagai berikut:

a. Menyusutnya keragaman genetika

Keragaman genetik turut menentukan keberhasilan suatu populasi untuk

dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Individu dengan alela atau

kombinasi alela tertentu mungkin memiliki sifat-sifat yang sesuai dan dibutuhkan

untuk bertahan serta berbiak di dalam kondisi yang baru. Dari satu populasi ke

yang lain, frekuensi keberadaan alela-alela tertentu akan bervariasi, dari yang

langka hingga melimpah. Dalam populasi kecil, frekuensi alela dapat berubah-

ubah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Frekuensi alela dan perubahan

frekuensi ini terjadi secara acak, tergantung pada individu mana yang terbaik dan

menghasilkan keturunan. Proses kehilangan keragaman genetik secara acak, yang

sering terjadi pada populasi-populasi berukuran kecil ini, dikenal sebagai

hanyutan genetik (genetic drift). Proses ini berbeda dengan seleksi alam yang

merupakan tanggapan terhadap faktor tertentu dalam lingkungan. Alela yang

jarang dijumpai dalam populasi kecil akan berpeluang besar untuk hilang pada

generasi berikut. Di sini perlu dipahami pengertian heterozigositas, yang artinya

terdapat dua alela berbeda untuk suatu sifat genetik. Dengan mengasumsikan (atau

mereka-reka) bahwa dalam suatu populasi terisolasi setiap gen akan memiliki dua

alela. Schreiber, dkk (1999) memberikan suatu rumus untuk memperhitungkan

nilai heterozigositas. Rumus yang diajukan Schreiber memperlihatkan proporsi

heterozigositas awal yang bertahan (atau sama dengan tertinggal) pada setiap

generasi (H) dalam suatu populasi dewasa yang berbiak (Ne) sebagai berikut :

H = 1-

Berdasarkan rumus ini, populasi yang terdiri dari 50 individu akan

menunjukkan penurunan heterozigositas sebesar 1% untuk setiap generasi,

disebabkan oleh berkurangnya jumlah alela langka. Setelah 10 generasi populasi

akan memiliki 90% heterozigositas awal. Namun, bila populasi tersebut hanya

terdiri atas 10 individu, maka setelah satu generasi hanya akan tersisa 95% dari

heterozigositas awal, dan setelah 10 generasi hanya akan tersisa 60% dari

heterozigositas awal (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 melalui penghanyutan gen, variasi genetika akan menghilang atau

terkikis secara acak dari waktu ke waktu. Dalam grafik ini ditunjukkan prosentase

rata-rata variasi genetika yang dapat bertahan setelah 10 generasi. Digambarkan

berbagai populasi rekaan yang memiliki berbagai ukuran populasi ( ). Pada

populasi dengan anggota 10 individu, setelah 10 generasi, akan terjadi pengikisan

variasi genetika hingga sekitar 40%. Bila populasi terdiri atas 5 individu, maka

pengikisan mencapai 65%. Bila populasi hanya terdiri satu individu pengikisan

mencapai 95%; dan bila populasi hanya satu individu (seandainya pun ia mampu

melakukan pembuahan terhadap dirinya sendiri) maka pengikisan lebih dari 99%.

Rumus tersebut menunjukkan bahwa hilangnya keragaman genetik secara

nyata dapat terjadi pada populasi-populasi kecil yang terisolasi, terutama yang

hidup di pulau maupun habitat yang terpisah. Di lain pihak, migrasi individu

antarpopulasi serta mutasi gen secara berkala akan cenderung meningkatkan

keragaman genetik dalam populasi sehingga menyeimbangkan dampak hanyutan

genetik. Laju mutasi gen di alam berkisar antara 1 dalam 1000 hingga 1 dalam

10.000 per gen untuk setiap generasi. Frekuensi mutasi demikian masih dapat

menutupi kehilangan alela secara acak dalam populasi yang besar, namun

dampaknya tidak terlalu besar untuk populasi dengan jumlah individu di bawah

100. Untungnya, perpindahan individu antarpopulasi masih dapat membantu

meminimalkan dampak hilangnya keragaman genetik pada populasi yang kecil,

sekalipun perpindahan atau migrasi tersebut jarang terjadi . Sekalipun dalam satu

generasi hanya terjadi perpindahan 1 atau 2 individu ke dalam populasi yang

terdiri atas 100 individu yang terisolasi, maka dampak dari hanyutan genetik akan

berkurang. Bila perpindahan tersebut melibatkan 4 hingga 10 individu untuk

setiap generasi, maka dampak dari hanyutan genetik dapat diabaikan (Mills and

Allendorf, 1994). Aliran genetik pada populasi-populasi tertentu, seperti burung

“finch” di kepulauan Galapagos dan serigala Skandinavia.

Populasi kecil yang mengalami hanyutan genetik lebih rentan terhadap

berbagai efek genetika yang merugikan, misalnya tekanan silang-dalam atau

perkawinan sedarah (Inbreeding depression), tekanan silang-luar (outbreeding

depression), serta berkurangnya kemampuan berevolusi. Faktor-faktor tersebut

dapat mengakibatkan berkurangnya populasi yang mendorong lebih lanjut

pengikisan variasi genetik bagi generasi mendatang. Peluang kepunahan menjadi

lebih besar.

b. Tekanan silang-dalam (inbreeding depression)

Beragam mekanisme terjadi di alam untuk mencegah terjadinya persilangan

antarindividu yang berkerabat dekat. Pada satwa, khususnya yang memiliki

populasi yang besar, individu pada umumnya tidak kawin dengan kerabat dekat

mereka. Mekanisme pengindraan termasuk perilaku dan aroma tubuh akan

mendorong satwa menyebar meninggalkan tempat kelahirannya, sehingga

cenderung tidak kawin dengan kerabat. Pada tumbuhan terdapat berbagai

mekanisme morfologi dan fisiologi yang mendukung penyerbukan di luar (atau

penyerbukan silang) dan mencegah penyerbukan di dalam (atau penyerbukan

sendiri). Bagi populasi berukuran kecil dan tidak memiliki banyak pilihan

terhadap pasangan, persilangan-dalam atau sering juga disebut perkawinan

sedarah (inbreeding) tetap terjadi. Pertukaran gen antara induk dengan

keturunannya, persilangan antarkerabat dekat, maupun penyerbukan sendiri oleh

tumbuhan hermaprodit cenderung memunculkan tekanan silang-dalam. Tekanan

silang-dalam ditandai oleh tingginya angka kematian, sedikitnya jumlah

keturunan, dan munculnya keturunan yang lemah, steril, serta memiliki

keberhasilan reproduksi yang rendah . Tekanan silang-dalam muncul ketika

kedua induk memiliki alela resesif, dan kedua alela resesif yang

padaumumnya bersifat merugikan tersebut melalui proses perkawinan

kemudian bertemu atau bersilang sehingga memunculkan sifat resesif

terkait. Pada kebun binatang dan program penangkaran lainnya tekanan silang-

dalam merupakan masalah tersendiri, khususnya menyangkut populasi berukuran

kecil. Tekanan silang-dalam akan menghasilkan jumlah individu yang lebih

rendah pada generasi berikutnya, sehingga dampak persilangan dalam semakin

diperkuat dari satu generasi ke yang berikut.

c. Hilangnya kelenturan dalam proses evolusi

Hilangnya variasi genetika pada populasi yang berukuran kecil dapat

membatasi kemampuannya untuk menghadapi keadaan yang baru dan perubahan

lingkungan jangka panjang seperti polusi, penyakit baru dan perubahan iklim

global. Alela langka maupun kombinasi alela yang tidak umum (yang pada saat

ini mungkin tidak memberi keuntungan apapun) dapat saja merupakan modal

untuk menghadapi kondisi lingkungan dan perubahannya di masa depan. Populasi

kecil yang tidak memiliki keragaman genetik besar untuk menghadapi perubahan

lingkungan jangka panjang akan lebih mudah terancam kepunahan.

d. Tekanan silang luar (outbreeding depression)

Individu-individu dari spesies yang berbeda jarang berkawin di alam.

Sejumlah mekanisme isolasi baik secara ekologi, perilaku, fisiologis, maupun

morfologis akan mendorong agar perkawinanhanya terjadi antara anggota dari

spesies yang sama. Namun, jika suatu spesies menjadi langka atau habitatnya

menjadi rusak, akan muncul risiko tekanan silang-luar atau sering juga disebut

perkawinan antar jenis dan sub-jenis. Individu-individu yang tidak berhasil

menemukan pasangan dari spesies yang sama akan kawin dengan anggota dari

spesies kerabatnya. Hasilnya adalah keturunan yang lemah, steril, dan berdaya

adaptasi rendah terhadap lingkungannya. Bagaimana hal ini terjadi? Kromosom

dan enzim yang diwarisi dari kedua belah pihak orangtua (induk) yang berbeda,

menimbulkan ketidakcocokan (inkompatibilitas). Ketidakcocokan inilah yang

dikenal sebagai tekanan silang-luar.

Tekanan silang-luar juga dapat terjadi antara subspesies yang berbeda,

atau bahkan pada genotip yang terpisah (divergent genotypes) dalam satu spesies.

Dengan perkataan lain, tekanan silang-luar dapat terjadi pada anggota populasi

yang berbeda dalam satu spesies. Tekanan silang-luar dapat terjadi dalam program

penangkaran atau ketika individu dari populasi yang berbeda disatukan dalam

penangkaran. Hibrida atau keturunan campur yang dihasilkan tidak mewarisi

kombinasi gen yang diperlukan oleh individu untuk bertahan hidup dan

menyesuaikan diri terhadap berbagai faktor lingkungan disekitarnya. Tekanan

silang-luar tidak banyak dideteksi dalam berbagai penelitian satwa dan hanya

ditemukan sesekali pada hibrida yang menonjol. Dengan demikian, tekanan

persilangan-luar kurang diperhatikan bila dibandingkan dengan tekanan silang-

dalam yang dampaknya lebih sering terdokumentasi oleh berbagai program

konservasi.

e. Ukuran populasi yang efektif

Menurut Feisinger (2001) setidaknya diperlukan 50-500 individu untuk

mempertahankan keragaman genetika. Angka tersebut diperoleh dari pengalaman

praktis Franklin dalam membiakkan hewan budidaya (domestikasi) dan dalam

meriset laju mutasi pada lalat buah. Jumlah minimum tersebut diperkirakan cukup

efektif untuk menghindari tekanan silang-dalam dalam jangka pendek, serta cukup

efektif untuk mempertahankan variasi genetika dalam populasi. Kisaran juralah

individu minimal tersebut dikenal sebagai aturan 50/500. Selanjutnya, Hines

(2005) menyatakan bahwa setidaknya dibutuhkan 5.000 individu untuk

mempertahankan variasi genetik yang dibutuhkan proses evolusi dan untuk

menjamin keberadaan populasi tersebut.

Aturan 50/500 terkadang sulit diterapkan, karena asumsi tidak selalu

didukung kenyataan. Dalam aturan 50/500 diasumsikan bahwa suatu populasi

terdiri atas N individu, di mana setiap individu memiliki kemungkinan yang sama

untuk kawin serta menghasilkan keturunan. Dalam kenyataannya, berbagai faktor,

termasuk umur, kesehatan, sterilitas, kekurangan makanan, ukuran tubuh yang

kecil, atau struktur sosial bekerja mencegah perkawinan sehingga banyak individu

yang bersifat steril, tidak memproduksi keturunan. Banyak di antara faktor

tersebut dipengaruhi degradasi dan fragmentasi habitat. Lebih jauh, beragam

spesies makhluk hidup juga memiliki stadium kehidupan tertunda (mengalami

dormansi dari waktu ke waktu). Contohnya adalah tumbuhan, hewan, jamur,

bakteri, dan protista yang memiliki biji, spora, maupun struktur lainnya, yang

terdapat di dalam tanah maupun dalam air. Untuk berkecambah dan tumbuh

mereka harus menunggu waktu yang tepat atau kondisi lingkungan yang lebih

stabil. Akibat banyaknya individu yang tidak mampu berbiak maupun

menghasilkan keturunan pada waktu tertentu hanya sejumlah kecil individu akan

memiliki kemampuan berkembang biak.

Bagian dari populasi yang berhasil berkembang biak disebut Ukuran

Populasi Efektif (Ne atau EPS /Effective Population Size). Dengan demikian,

suatu EPS atau Ukuran Populasi Efektif akan lebih kecil "daripada ukuran

populasi yang sesungguhnya. Mengingat hilangnya variasi genetik dapat lebih

besar dari yang diperkirakan, maka perhitungan terhadap kemampuan suatu

populasi untuk bertahan hidup harus didasarkan pada Ukuran Populasi Efektif ini.

Peluang keberlanjutan populasi bukan diperbitungkan pada ukuran populasi

sesungguhnya, sekalipun ukuran populasi sesungguhnya biasanya jauh lebih besar

dibandingkan EPS. Terdapat tiga penentu yang akan memperkecil EPS suatu

spesies atau populasi, yakni perbandingan jenis kelamin yang tidak seimbang,

variasi kemampuan bereproduksi, serta perubahan dan efek penyusutan populasi.

a) Perbandingan jenis kelamin yang tidak seimbang (unequal sex ratio),

Perbandingan jumlah jantan dan betina yang tidak berimbang dapat terjadi

karena berbagai hal, seperti peluang acak, kematian selektif, maupun

pemanenan hanya jenis kelamin tertentu oleh manusia. Perbandingan jantan

dan betina tidak berimbang dapat menjadi masalah, misalnya pada spesies

angsa yang bersifat monogami (ketika jantan dan betina hidup berpasangan

sepanjanghidup mereka). Bila dalam suatu populasi terdapat 20 jantan dan 6

betina, maka hanya 12 individu (6 jantan dan 6 betina) yang dapat

berpasangan. Dalam hal ini EPS bernilai 12, bukan 26. Pada jenis satwa lain,

hierarki dan struktur sosial (termasuk poligami) dapat menghalangi sebagian

individu untuk berbiak, walaupun secara fisiologis individu-individu tersebut

mampu berbiak. Sebagai contoh, pada singa laut seekor jantan dominan akan

cenderung untuk menguasai sejumlah betina, dan menghalangi jantan lain

untuk berbiak dengan anggota "harem"nya. Pada kelompok anjing liar (wild

dog} di Afrika, betina dominan yang akan menghasilkan semua bayi dalam

kelompoknya. Pada berbagai jenis primata termasuk Monyet seperti berbagai

Macaco dan kera seperti Orangutan yang tidak hidup secara monogami (setia

dan terikat pada satu pasangan), dikenal istilah alpha-male dan beta-male, di

mana alpha-male akan mendapat prioritas untuk membiaki betina dalam

kelompoknya. Pada Merak Jawa Ptivo muticus muticus, jantan dewasa yang

kuat dan dominan akan menguasai teritori yang lebih luas dan mendapatkan

kesempatan kopulasi yang lebih besar dibanding jantan lainnya. Dampak

perbandingan jantan dan betina yang tidak berimbang dapat di gambarkan

dengan rumus umum:

Ne = 4NmNf

Nm+Nf

Nmmerupakan jumlah jantan yang berbiak dalam populasi dan Nf merupakan

jumlah betina berbiak dalam populasi. Pada umumnya, semakin besar

perbandingan jenis kelamin yang berbeda (jantan-betina), maka EPS (Ne/N)

akan bergeser dari keseimbangan. Individu jantan pada gajah Asia merupakan

sasaran dari pemburu gading di suaka perlindungan harimau bernamaPeriyar

Tiger Reserve di India (Ramakhrisnan dkk 1998). Di tahun 1997, terdapat

1.166 individu gajah, 709 di antaranya dewasa yang terdiri atas 704 betina dan

5 jantan. Walaupun populasi tersebut berukuran besar, namun EPS yang

diperoleh hanya berjumlah 20.

b) Variasi kemampuan bereproduksi. Pada banyak spesies, setiap individu

memiliki kemampuan yang berbeda untuk menghasilkan keturunan. Hal

tersebut juga berlaku pada tumbuhan, ketika beberapa individu hanya

menghasilkan beberapa biji, sementara yang lain mampu menghasilkan ribuan

biji. Generasi yang hidup sekarang hanya terdiri atas sedikit individu sehingga

tidak mewariskan keragaman genetik yang memadai bagi generasi mendatang.

Produksi keturunan yang tidak berimbang tersebut akan mengakibatkan

penurunan Ne.

c) Perubahan dan efek penyusutan populasi. Pada beberapa spesies, ukuran

populasi dari satu generasi ke generasi berikutnya dapat berubah drastis. Salah

satu contohnya adalah "checkerspot butterflies", sejenis kupu-kupu di

Califomia, beberapa tumbuhan semusim, dan amfibi. Pada populasi yang

mengalami fluktuasi yang ekstrim, nilai EPS akan lebih dekat dengan jumlah

individu terendah.

Lebih lanjut, nilai EPS akan cenderung ditentukan tahun-tahun ketika

populasi mencapai jumlah terendah. Pada suatu tahun ketika jumlah populasi

menurun tajam, maka pada tahun-tahun berikutnya nilai Ne pun akan turun secara

nyata. Prinsip tersebut dikenal dengan penyempitan populasi (population

bottleneck). Penyempitan terjadi saat ukuran populasi menurun tajam. Bila

individu yang menyimpan alela ini tidak dapat bertahan hidupdan berbiak, maka

alela-alela langka dalam populasi tersebut akan lenyap pula (Frankham dkk 2002;

Briskie 2004). Dengan jumlah alela yang lebih sedikit dan terjadinya penuninan

heterozigositas, maka fitness (daya hidup) dari keseluruhan individu anggota

populasi akan menurun. Efek penyempitan dan penyusutan populasi akan terlihat

nyata pada populasi kecil yang selama beberapa generasi terakhir hanya memiliki

jumlah individu kurang dari 10.

Founder effect adalah salah satu manifestasi penyempitan populasi. Efek

founder terjadi ketika beberapa individu meninggalkan populasi awal dan

membentuk populasi baru. Populasi bam ini memiliki variasi genetik yang lebih

rendah dibanding populasi awal (yang berukuran lebih besar). Penyusutan

populasi tersebut sering terjadi pada penangkaran yang hanya terdiri atas beberapa

individu.

EPS akan bernilai lebih kecil dibandingkan jumlah keseluruhan individu

dalam populasi, dan bahwa EPS dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

fluktuasiukuran populasi, banyaknya individu yang tidak berbiak, dan

perbandingan jenis kelamin yang berbeda. Sebuah ulasan yang diberikan oleh

Frankham (1995) menyatakan bahwa nilai EPS rata-rata adalah 11% dari jumlah

individu dalam populasi. Populasi dari 300 individu terlihat berukuran besar,

namun dengan nilai EPS berjumlah 33 menjadikan populasi tersebut mudah

terancam akibat menurunnya variasi genetik. Dengan demikian, ukuran populasi

yang besar tidak menjamin bahwa populasi tersebut akan terhindar dari

pengikisan variasi genetika, kecuali bila EPS dari populasi tersebut bernilai (atau

berukuran) cukup besar.

f. Variasi demografik

Dalam lingkungan yang stabil, populasi akan cenderung meningkat hingga

mencapai daya dukung lingkungan tersebut. Ketika kemapanan tercapai, angka

kelahiran rata-rata akan seimbang dengan angka kematian rata-rata, sehingga

ukuran populasi menjadi stabil pula. Namun, dalam kenyataannya, individu sering

menghasilkan jumlah keturunan yang tidak sama dengan angka kelahiran rata-

rata. Dapat saja terjadi bahwa reproduksi tidak terjadi sama sekali, atau hanya

menghasilkan keturunan yang lebih sedikit,atau bahkan lebih banyak dari rata-

rata. Demikian pula dengan angka kematian rata-rata pada populasi tersebut

Mengingat individu dapat mati pada usia muda, sementara yang lain dapat

memiliki hidup yang panjang, angka kematian rata-rata hanya dapat diperkirakan

dengan menggunakan data berjumlah yang besar. Bagaimanapun, selama ukuran

populasi cukup besar, angka kelahiran dan kematian rata-rata akan memberikan

informasi yang cukup tepat mengenai populasi tersebut.

Bila populasi berjumlah di bawah 50 individu, maka berbagai kelahiran dan

kematian individu akan membuat populasi turut berfluktuasi secara acak. Bila

populasi cenderung berfluktuasi menurun karena tingkat kematian yang lebih

tinggi (atau karena angka kelahiran yang lebih rendah), maka populasi tersebut

bahkan akan lebih rentan terhadap fluktuasi demografik pada tahun-tahun

berikutnya. Sekalipun populasi naik secara acak, pada akhirnya daya dukung

lingkungan akan membatasi kenaikan tersebut, sehingga dapat menyebabkan

populasi menurun lagi. Ketika suatu populasi menurun akibat kerusakan habitat

atau fragmentasi, maka peran variasi demografi menjadi penting. Variasi

dcmografi mi umumnya terjadi secara acak, sehingga sering juga disebut stokastik

demografik (demographic stochasticity). Peluang acak demografi akan dapat

menurunkan bahkan menyebabkan kepunahan populasi, apalagi bila dalam tahun

itu angka kelahiran rendah dan angka kematian tinggi. Peluang acak tersebut akan

memengaruhi spesies tertentu, terutama yang memiliki tingkat kelahiran dan

kematian yang sangat bervariasi dari satu generasi ke generasi berikut, seperti

tumbuhan semusim atau serangga berumur pendek misalnya, sehingga spesies-

spesies tersebut lebih rentan kepunahan. Kepunahan juga berpotensi terjadi pada

spesies dengan angka kelahiran yang rendah seperti gajah karena pemulihan

populasinya membutuhkan waktu yang lama.

Pada beragam spesies satwa, populasi kecil dapat menjadi tidak stabil

karena struktur sosialnya tidak berfungsi dengan baik ketika

populasimenurundibawah jumlah individu tertentu. Ketidakstabilan populasi kecil

karena hambatan struktur sosial dikenal sebagai efek Allee. Contohnya sering

ditemukan pada burung dan mamalia yang hidup berkelompok sosial. Bila jumlah

mereka telah turun di bawah ambang batas, kawanan mamalia maupun kelompok

burung tersebut akan kesulitan mendapatkan makanan yang cukup dan akan

menemui kesulitan dalam melindungi serta mempertahankan kelompoknya.

Hewan seperti beruang ataupun laba-laba yang hidup dengan sebaran luas, namun

memiliki kepadatan yang rendah, akan kesulitan untuk mendapatkan

pasangannya. Angka kelahiran menurun dan populasi semakin mengecil. Pada

spesies tumbuhan, seiring dengan menurunnya populasi maka jarak antarindividu

akan meningkat. Kunjungan serangga penyerbuk pada individu yang jauh dan

terisolasi menjadi semakin jarang, sehingga, mengakibatkan turunnya jumlah

produksi biji. Kombinasi berbagai faktor termasuk fluktuasi populasi secara acak,

perbandingan jenis kelamin yang tidak berimbang, kekacauan tingkah laku sosial,

dan menurunnya kepadatan populasi akan menyebabkan ketidakstabilan populasi.

Kepunahan lokal pun lebih mungkin terjadi.

g. Variasi lingkungan dan bencana alam

Variasi acak lingkungan fisik dan biologi, yang dikenal sebagai stokastik

lingkungan, juga dapat menyebabkan bervariasinya ukuran populasi suatu spesies.

Misalnya, populasi Kelinci Sumatera Nesolagus netscheri yang sangat terancam

punah dipengaruhi oleh fluktuasi kelimpahan tumbuhan sumber makanannya, dan

jumlah pemangsanya. Sumber pakan kelinci akan dipengaruhi lingkungan fisik.

Curah hujan yang cukup akan menambah jumlah tumbuhan bagi kelinci tersebut,

sedangkan pada tahun-tahun saat musim kering berkepanjangan, jumlah makanan

pun akan sedikit.

Bencana alam seperti banjir, gempa bumi, dan kebakaran secara tiba-tiba

dapat mengakibatkan kematian pada sebagian maupun seluruh populasi dalam

suatu kawasan. Kematian massal mamalia besar yang mencapai 70% hingga 90%

dari suatu populasi dilaporkan oleh Hines (2005) Pada banyak vertebrata, bencana

akan mengancam sekitar 15% populasi dalam setiap generasinya . Bencana alam

yang terjadi dalam kurun waktu tahunan memang tidak banyak, namun dalam

rentang waktu puluhan atau ratusan tahun cukup sering terjadi.

Berdasarkan suatu model populasi yang dikembangkan Feinsinger (2001)

maka khususnya bagi populasi yang berukuran kecil hingga sedang, kepunahan

lebih mungkin diakibatkan oleh variasi lingkungan daripada oleh variasi

demografik acak. Variasi lingkungan bahkan dapat meningkatkan risiko

kepunahan suatu populasi yang tampaknya tumbuh stabil dalam lingkungan yang

stabil. Secara umum, ketika variasi lingkungan diterapkan pada model populasi

maka variasi lingkungan cenderung menyebabkan tingkat pertumbuhan yang

rendah serta ukuran populasi yang kecil, sehingga meningkatkan kemungkinan

punahnya populasi tersebut.

h. Pusaran kepunahan

Terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi ketahanan populasi terhadap

kepunahan, yaitu: variasi lingkungan, variasi demografik, dan variasi genetik.

Ketiga faktor tersebut seling bekerja sama, sehingga penurunan populasi akibat

satu faktor akan mengakibatkan kerentanan populasi terhadap dua faktor lainnya

(Gambar 2.3). Semakin kecil ukuran populasi, maka semakin rentan pula populasi

tersebut terhadap pengaruh ketiga faktor. Ketiga faktor dapat menurunkan

keberhasilan reproduksi, menaifckan tingkat kematian, dan akhirnya mendorong

kepunahan. Kecenderungan populasi keciluntuk menurun mendekati kepunahan

dapat digambarkan seperti sebuah vortex(pusaran), di mana semakin dekat jarak

sebuah obyek dengan pusatnya, maka akan semakin cepat pula terjadi kepunahan.

Bagian pusat suatu extinction vortex (pusaran kepunahan) adalah proses

kepunahan, atau kepunahan spesies dari suatu lokasi. Spesies yang terjebak masuk

ke dalam pusaran kepunahan akan sulit keluar dari ancaman kepunahan.

Saat ukuran suatu populasi mengecil, kemungkinan untuk punah semakin

besar. Populasi mungkin dapat meningkatkan kembali jumlahnya ketika kondisi

berubah menguntungkan, namun perubahan ini langka dan tidak dapat

diprakirakan. Untuk mengendalikan variasi demografik dan variasi lingkungan,

spesies akan membutuhkan program khusus seperti pengelolaan populasi dan

habitat mereka.

2.3 Biologi-populasi terapan

Untuk melindungi dan mengelola suatu spesies langka atau terancam

diperlukan pemahaman tentang hubungan biologis antara spesies tersebut dan

lingkungannya (ekologi), ciri-ciri khasnya (sering disebut natural history, atau

sejarah alam, atau sejarah kehidupan, atau mungkin lebih tepat diterjemahkan

sebagai cara hidup) dan kondisi keberadaan (status) populasinya. Diperlukan pula

pemahaman mengenai berbagai proses yang memengaruhi ukuran dan sebaran

populasi tersebut (biologi populasi). Berbekal informasi demikian, pengelola akan

dapat mengetahui faktor-faktor pembatas yang dapat mendorong spesies tersebut

menujukepunahan serta melakukan usaha yang lebih efektif untukmelestarikan

spesies tersebut.

Dalam merancang dan melaksanakan upaya konservasi pada

tingkatpopulasi secara efektif terdapat berbagai kategori yang perlu diperhatikan .

Sayangnya, untuk sejumlah spesies tidak semua pertanyaan yang penting akan

dapat dijawab.Bagaimanapun, keputusan pengelolaan seringkali harus diambil

sebelum data terkumpul dalam jumlah yang cukup.

Lingkungan: Pada tipe habitat bagaimanakah spesies tersebut ditemukan,

dan berapa luas tiap-tiap areal yang kini tersedia? Bagaimana

lingkungannya berubah? Sebesar apakah pengaruh manusia pada lokasi

tersebut?

Penyebaran: Bagaimana sebaran spesies tersebut, dan bagaimana pola

penggunaan habitatnya? Apakah individunya berkelompok, tersebar acak

atau tersebar teratur? Apakah spesies tersebut berpindah antarhabitat atau

menuju lokasi geografis yang lain, baik secara harian maupun tahunan?

Sebesar apakah pengaruh manusia pada sebaran spesies tersebut?

Interaksi-interaksi biotik: Jenis pakan dan sumber lain apakah yang

diperlukan spesies tersebut? Dan bagaimana cara memperolehnya? Adakah

spesies yang menjadi pesaingnya? Apakah ada pemangsa dan parasit yang

memengaruhi ukuran populasinya? Seberapa jauhkan manusia mengubah

hubungan antarspesies dalam komunitas tersebut?

Morfologi: Bagaimana perawakan spesies tersebut? Bagaimanakah bentuk,

ukuran, warna, dan permukaan tubuh serta fungsinya? Bagaimana hubungan

antara bentuk organ tubuh dan fungsinya? Sebesar apakah ukuran

keturunannya yang baru lahir, dan apakah memiliki perawakan yang

berbeda dengan induknya?

Fisiologi: Seberapa banyak makanan, air, mineral, maupun kebutuhan lain

diperlukan agar suatu individu dapat bertahan hidup, serta tumbuh dan

bereproduksi? Bagaimana ketahanan spesies tersebut dalam menghadapi

kondisi iklim yang ekstrim, seperti panas, dingin, angin, dan hujan?

Kapankah waktunya dan kondisi bagaimanakah yang dibutuhkan spesies

tersebut untuk bereproduksi?

Demografi: Berapakah ukuran populasinya saat ini, berapakah EPS (ukuran

populasi efektifjnya dan bagaimana bila dibandingkan dengan iriasa

lampau? Apakah jumlah tersebut stabil, meningkat atau menurun? Apakah

populasi terdiri dari campuran individu dewasa dan remaja, yang

membuktikan bahwa terjadi perekrutan baru dalam populasi?

Perilaku: Bagaimana perilaku suatu individu memengaruhi keberhasilannya

bertahan lingkungannya? Bagaimana cara individu suatu populasi mencari

pasangan dan menghasilkanketurunan?

Genetika: Seberapa besar terdapat variasi morfologi dan fisiologi? Sebesar

apakah faktor genetika memengaruhi variasi tersebut? Seberapa besar

prosentase gen yang bervariasi?

2.4 Metode untuk mempelajari populasi

Metode untuk mempelajari populasi selama ini terutama berasal dari

pengalaman penelitian tumbuhan dan hewan darat. Organisme renik seperti

protista, bakteri dan jamur belum dipelajari secara terinci. Demikian pula dengan

organisms yang menghuni tanah, perairan tawar, maupun laut yang masih terlalu

sedikit diketahui karakteristik populasinya. Padabagian ini akan dijelaskan

bagaimana ahli biologi konservasi meneliti objek penelitian mereka, dengan

catatan bahwa spesies yang berbeda akan memiliki kebutuhan metode penelitian

yang berbeda pula.

Mengumpulkan Informasi Ekologi

Informasi dasar yang dibutubkan dalam upaya melestarikan spesies dan

habitatnya atau mengetahui status konservasinya dapat diperoleh dari tiga

sumber utama:

1. Pustaka yang diterbitkan, serta Majalah Indeks Artikel: Indeks perpustakaan

termasuk indeks artikel seperti yang diterbitkan oleh BioSys, Biological

Abstracts dan Zoological Record dapat diakses melalui komputer, yang

akan memudahkan penelusuran berbagai buku, artikel ataupun laporan.

Daftar literatur tersebut berisikan berbagai informasi termasuk berbagai

ukuran jenis biota, sebaran populasi, sampai ke spesies tertentu yang diteliti

oleh banyak. Terkadang perpustakaan menyimpan bahan yang saling terkait

dalam tempat yang sama, sehingga pencarian buku lain yang berhuhungan

menjadi mudah. Dengan bantuan internet, kemampuan mengakses database,

buletin dan jurnal elektronik, kelompok diskusi khusus maupun bank data

seperti ISI Web of Science akan meningkat. Informasi yang diperoleh dari

internet sebaiknyadipelajari dengan seksama baik data maupun sumbernya

karena banyak situs yang tidak memiliki kendali untuk menyaring informasi

yang dimuat (di-upload] sehingga tidak seluruh informasi akan obyektif dan

akurat. Bertanya kepada ahli biologi maupun naturalis merupakan cara lain

untuk mengetahui keberadaan suatu literatur. Memeriksa indeks pada

suratkabar, majalah, dan jurnal populer juga merupakan cara yang baik

karena hasil dari penelitian yang penting sering dimuat untuk umum

2. Makalah yang tidak diterbitkan: Sejumlah besar infomasi tentang biologi

konservasi seringkali hanya tersimpan dalam laporan-laporan yang tidak

diterbitkan, baik yang dibuat perorangan seperti ilmuwan, maupun lembaga

seperti badan pemerintah dan organisasi konservasi. Pustaka ini sering

disebut sebagaigrey literature dan kadang-kadang disebut dalam pustaka

yang diterbitkan, atau dikutip oleh ahli-ahli terkemuka dalam perkuliahan

ataupun pembuatan artikel. Informasi bahkan dapat diperoleh dari ucapan

maupun perbincangan secara langsung dengan ahli atau organisasi

konservasi.

3. Kerja lapangan: Cara hidup suatu spesies biasanya hanya dapat dipelajari

melalui pengamatan yang cermat di lapangan. Kerja lapangan diperlukan

karena proporsi spesies yang telah diketahui di dunia ini terhitung sangat

sedikit. Di samping itu, pada lokasi yang berbeda suatu spesies dapat

menunjukkan ekologi yang berbeda pula. Hanya di lapanganlah dapat

ditentukan status konservasi dari suatu spesies, beserta hubungan timbal

balik spesies tersebut dengan lingkungan biologi dan fisiknya. Banyak dari

metode penelitian untuk mempelajari populasi tertentu memerlukan

pendekatan dan keahlian khusus, sehingga diperlukan bimbingan seorang

ahli dan dilengkapi upaya membaca buku-petunjuk khusus atau manual.

Pemantauan Populasi

Untuk mengetahui status konservasi suatu spesies langka perlu dilakukan upaya

sensus di lapangan dan kemudian secara berkala memantau populasi-populasi dari

spesies tersebut. Untuk memperkirakan ukuran populasi, diterapkan metode

sensus dengan mendata semua individu yang ada. Pada saat ini kecanggihan

teknologi pun telah dimanfaatkan untuk memantau populasi tumbuhan dan satwa.

Contohnya adalah pengambilan sampel dengan membatasi gangguan (non

invasive), eontoh rambut, kotoran dan urin dikumpulkan untuk kemudian

dianalisis melalui penelitian biologi molekuler.

2.5 Pengamatan Tingkat Populasi

Pengamatan jangka panjang terhadap suatu spesies yang populasinya

terus-menurun seringkali memotivasi ahli biologi untuk melestarikannya.

Pemantauan juga dapat dilakukan pada karakteristik tertentu dari komunitas

maupun ekosistem,misalnya kerapatan dan biomassa tetumbuhan disekitar aliran

sungai (Feinsinger,2001).

Pemantauan dapat dilakukan terhadap spesies yang sensitif seperti kupu-

kupu,yang digunakan sebagai spesies indikator terhadap kestabilan komunitas

ekologi berjangka panjang (Ginsberg,2002).Studi pemantauan kupu-kupu sebagai

indikator kondisi hutan di Indonesia telah dilakukan di Lambusngo,Sulawesi

Tenggara (Nurul Laksmi Winarni kom.pribadi,lihat Bab 6)

Kesadaran melakukan pemantauan populasi meningkat setelah instansi-

instansi pemerintah dan organisasi konservasi tergerak untuk lebih melindungi

spesies langka dan terancam punah(Pertez-Arteaga dan Gaston,2004). Di

beberapa negara penelitiaan pemantaun tersebut bahkan merupakan bagian dari

upaya pengelolaan yang didukung oleh hukum. Inventerisasi dan survei populasi

merupakan upaya paling umum dilakukan,sedangkan yang belum banyak

dilakukan adalah pemantaun demografi populasi.

Adapun cara yang dapat dilakukan dalam pemantauan dan pengamatan tingkat

populasi adalah

1. Inventarisasi yaitu perhitungan jumlah individu yang terdpat pada suatu

populasi. Inventerisasi merupakan cara yang murah dan mudah . Bila

dilakukan dalam jangka waktu yang berurutan maka pola perubahan suatu

populasi akan meningkat ,stabil atau menurun akan diketahui.

2. Survei populasi dilakukan untuk memperkirakan jumlah individu atau

kepadatan suatu spesies dalam suatu komunitas dan biasanya

menggunakan metode cuplikan berulang (Repeated Sampling).Suatu areal

dapat dibagi menjadi bebrapa bagian dan jumlah individu dalam setiap

bagian dapat dihitung. Hasil perhitungan tersebut kemudia digunakan

untuk memperkirakan ukuran populasi yang sebenarnya.

Survei sendiri biasanya digunakan untuk mendapatkan informasi

mengenai suatu populasi yang sangat besar atau mempunyai sebaran yang

luas. Metode survei juga berguna untuk mempelajari berbagai spesies yang

cryptic atau tidak mudah dilihat.Dalam daur hidupnya,beberapa spesies

memiliki suatu tahapan tersembunyi atau tidak dapat dilihat dengan jelas,

contohnya : tahapan semai berbagai tumbuhan dan berbagai tahapan larva

avertebrata perairan.

Studi Demografi Menunjukkan Pola Pemakaian Ruang

Pada Suatu Spesies

Studi demografi juga dapat menunjukkan pola pemakaian ruang pada

suatu spesies. Informasi penggunaan ruang adalah penting untuk

mengelola dan melestarikan spesies yang masih bertahan dalam berbagai

populasi yang terpisah. Jumlah populasi penyusun suatu

spesies,pergerakan individu antarpopulasi dan kestabilan suatu spesies

pada ruang dan waktunya merupakan bahan perimbangan penting,terutama

untuk spesies yang tersusun dalam metapopulasi. Metapopulasi

merupakan kumpulan populasi yang masih dapat berinteraksi dari waktu

ke waktu,serta sering berfluktuasi karena migrasi .Contoh :

Gambar Inventarisasi Populasi “Hawaian Monk Seal”

Hawaian Monk Sales. Berdasarkan inventarisasi populasi

“Hawaian Monk Seal” Monachus schauinslandi di Atol

Kure,tercatat suatu penurunan besar hampir 100 individu dewasa

pada tahun 1950-an hingga kurang dari 14 individu pada akhir

1960-an.Pada saat bersamaan jumlah anakan juga menurun.

Berdasarkan kecenderungan tersebut,maka satwa ini dinyatakan

sebagai spesies terancam oleh Undang-undang Spesies Terancam

AS (U.S.Endangered Species Act) tahun 1967 dan upaya

konservasi segera dilaksanakan untuk mencegah proses penurunan

populasi tersebut. Setelah pos penjaga pantai ditutup

tahun1979,populasi di Pulau Tern menunjukkan pemulihan,namun

pada tahun 1990 jumlah populasi tersebut kembali menurun tanpa

penyebab yang pasti,sedangkan populasi di Pulau Green meningkat

setelah pos penjaga ditutup tahun 1994.

2.6 Analisis Kelangsungan Hidup Melalui PVA (Population Viability

Analysis)

PVA meupakan tahap lanjut analisis demografik . Tujuan

PVA adalah mempelajari apakah suatu spesies mempunyai

kemampuan untuk bertahan hidup di suatu lingkungan.PVA

merupakan sautu analisis resiko untuk memperkirakan

kemungkinan kepunahan populasi di masa depan. Sebagai alat

bantu yang penting bagi PVA diterapkan berbagai metode statistika

dan matematika.Dengan mengetahui kebutuhan spesies terkait,serta

sumber-sumber yang tersedia dalam lingkunganya,PVA mampu

mengidentifikasi resiko kepunahan bagi suatu spesies. PVA

berguna untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh

fragmentasi dan hilangnya habitat,serta pengaruh degradasi habitat

bagi spesies langka.

Sebagai bagian penting dari PVA .seringkali diperkirakan

dampak upaya pengelolaan seperti perubahan perburuan,maupun

perubahan perburuan,maupun perubahan habitat yang dilindungi.

PVA dapat memberikan model atau simulasi dampak,misalnya :

ketika ukuran suatu populasi diperbesar melalui proses

penambahan individu dari lokasi lain maupun penangkaran. Lebih

lanjut,PVA bermanfaat memantau fluktuasi ukuran populasi dari

suatu spesies,

Contoh PVA yang dilakukan bagi spesies lain di luar indonesia

adalah sebagai berikut :

Gambar Probabilitas Kumulatif Terhadap Kepunahan Gajah

Upaya pelestarian gajah Africa Loxodonta africana telah

diangkat menjadi masalah internasional,karena selain

jumlahnya yang menurun pesat ,spesies ini merupakan lambang

kehidupan liar dunia. Suatu PVA yng dilakukan di Taman

Nasional Tsavo di Kenya,menunjukkan bahwa untuk mencapai

probabilitas sebesar 99% dari populasi yang dapat bertahan

selama 1000 tahun ,maka diperlukan areal perlindungan 2.500

km2 . Dengan kepadatan sebesar 12 individu per 10 km2 ,berarti

diperlukan populasi awal sebesar 3000 satwa. Dengan ukuran

tersebut,populais yang ada dapat bertahan terhadap perburuan

skala kecil.

2.7 Metapopulasi

Seiring dengan berjalanya waktu,suatu spesies dapat punah dari

suatu lokasi,sementara populasi baru dapat terbentuk di lokasi lain

yang sesuai dan berdekatan dengan lokasi semula. Berbagai spesies

yang hidup dalam habitat sementara dapat digolongkan menjadi

metapopulasi. Metapopulasi atau sering disebut sebagai populasi dari

populasi adalah sejumlah populasi yang membentuk suatu mosaik yang

dinamis dan saling berhubungan melalui peristiwa-peristiwa migrasi

maupun penyebab pasif (Hines,2005).Pada spesies tertentu ,setiap

populasi atau anggota metapopulasi dapat disusun oleh suatu atau lebih

populasi inti (core/source) dengan jumlah yang mapan,serta

dikelilingi beberapa populasi satelit (sink) yang berfluktuasi,akibat

peristiwa migrasi. Populasi satelit tersebut dapat menghilang bila

keadaan lingkungan tidak menguntungkan. Namun,populasi satelit juga

dapat terbentuk kembali saat lingkungan berubah menguntungkan dan

ketika kolonisasi terjadi kembali oleh individu-individu yang

bermigrasi dari populasi inti.

Metapopulasi juga dapat dijadikan suatu permodelan (Stastical

modelling) yang baik. Contohnya :

Gambar Pola Metapopulasi

Berbagai pola metapopulasi yang dapat ditemukan di alam .

Ukuran suatu populasi setara dengan ukuran lingkaran yang

mewakilinya. Panah-panah menunjukkan arah dan intensitas migrasi

antar populasi tersebut.

(A). Tiga populasi yang tidak saling terkait

(B). Metapopulasi sederhana yang terdiri atas tiga populasi

yang saling berinteraksi

(C). Metapopulasi dengan satu populasi inti yang besar dan tiga

Populasi satelit

(D). Metapopulasi dengan interaksi yang rumit

Model mata populasi ini memiliki kelebihan ,karena pada

kenyataanya populasi lokal bersifat dinamis dan terdapat

kemungkinan pertukaran maupun perpindahan individu.Berikut ini

adalah 2 contoh yang menunjukkan bahwa pendekatan

metapopulasi dapat berguna untuk mengelola spesies :

1. Pada” California mountai sheep” Ovis canadensis yang

hidup pada gurun di barat daya Kalifornia terjadi

perubahan mosaik populasi. Hewan tersebut terlihat

berpindah antarjajaran pegunungan meninggalkan

daerah yang telah dihuni dan menghuni wilayah baru

yang belum dihuni. Upaya pelestariaan spesies ini dapat

dilakukan dengan melindungi jalur perpindahan dan

wilayah yang berpotensi dihuni olehnya.

2. “Furbish’s lousewort” (Pedicularis furbishiae)

merupaka tumbuhan endemik yang hidup sepanjang

sungai St.John di Maine dan New Brunswick,yang

mengalami banjir berkala (Gamauf,2005).Banjir

seringkali menghancurkan populasi tumbuhan yang

ada,namun banjir juga dapat mengakibatkan

terbentuknya rataan di tepi sungai,habitat yang sesuai

untuk membentuk populasi baru spesies ini. Studi yang

berkenaan dengan satu populasi saja akan menghasilkan

gambaran yang tidak utuh terhadap spesies ini,karena

populasi yang ada berumur pendek dan menghasilkan

biji yang disebarkan melalui air ke lokasi yang baru.

2.8Pembentukan Populasi Baru

Upaya pembentukan populasi baru hanya dapat bekerja efektif bila

faktor penyebab penurunan populasi alamiahnya telah

diketahui,dimusnahkan atau sekurang-kurangnya dikendalikan .

Contohnya :

Dapat dilihat pada penyelamatan burung kakapo.Kakapo adalah

sejenis nuri bertubuh besar yang hidup di hutan dan tidak bisa terbang

serta telah punah dari daratan atau pulau utamanya (Selandia Baru).

Penyebab utama kepunahan yaitu dikarenakan pemangsaan oleh satwa

karnivora yang berasal dari luar habitat alamiahnya seperti kucing

“Weasel” , “Stoat” dan “Ferret” (kerabat musang). Agar pembentukan

populasi baru bagi Kakapo berlangsung dengan baik,maka pemangsa yang

diintroduksi tersebut perlu disingkirkan dari seluruh kawasan,padahal

kawasan puau utama sangat luas. Alternatif kedua,perlu dicari jalan agar

Kakapo dapat terlindung dari predator,terutama mamalia yang

diintroduksi. Kedua alternatif itu ternyata tidak mungkin dilaksanakan

sehingga akhirnya dipilih alternatif ketiga,yaitu menempatkan Kakapo

dalam pulau-pulau kecil yang tidak memilki mangsa.

Upaya pemindahan Kakapo sebenarnya telah dilakukan beberapa

kali,yaitu pada akhir tahun 1890 an namun tidak berhasil. Pada tahun 1975

ditemukan tiga pulau kecil yang relatif aman dari predator mamalia dan

sesuai sebagai habitat Kakapo. Selama 30 tahun terakhir secara

komprehensif dilakukan upaya perlindungan dan pengelolaan Kakapo

dalam habitat alaminya. Tujuan pengelolaan adalah memaksimalkan

kelangsungan telur dan anakan yang dihasilkan secara alami,meningkatkan

frekuensi berbiak pada Kakapo,serta mengelola keanekaragaman genetik

untuk mengatasi masalah-masalah fekunditas dan penetasan yang rendah.

Terdapat tiga pendekatan utama bagi pembentukan populasi baru

tumbuhan maupun hewan yaitu :

1. Program reintroduksi, ,merupakan upaya melepaskan hewan asli

penangkaran ataupun tangkapan ke daerah sebaran asal yang pernah

mengalami kepunahan spesies tersebut. Tujuan utamanya adalah

menciptakan populasi baru di lingkungan asalnya dan memperbaiki

ekosistem yang rusak . Contoh : Pada tahun 1995 dilaksanakn rencana

melepas serigala abu-abu ke Taman Nasional Yellowstone (AS) dengan

tujuan mengembalikan keseimbangan antara pemangsa dan herbivor yang

pernah terbentuk sebelum daerah tersebut dipengaruhi oleh campu tangan

manusia.

2. Program penambahan, Ada tipe lain dari program pelepasan yaitu

(augmentation) atau penambahan. Salah satu dari penambahan adalah

pendekatan headstarting yaitu dengan cara membesarkan hewan dalam

penangkaran hingga melewati masa muda, dan setelah melewati masa

tersebut dilepas dalam alam bebas. Contoh : Di Taman Nasional Alas

Purwo ,bayi penyu yang dipelihara selama masa mudanya dan kemudian

dilepas setelah melewati masa itu.

3. Program Introduksi,yaitu mencakup pemindahan satwa dan tumbuhan ke

daerah di luar sebaran alaminya. Pendekatan demikian perlu dilakukan bila

lokasi alami tempat asal spesies tersebut telah mengalami

kerusakan ,sehingga spesies itu tidak mampu bertahan. Introduksi

mungkin dapat dilakukan bila faktor penyebab penurunan populasi

tersebut tidak dihambat sehingga reintroduksi spesies tidak mungkin lagi

dilakukan.

Persyaratan Program yang Sukses

Suatu pogram harus dapat dijelaskan kepada masyrakat setempat

dagar mereka mendukung atau setidaknya bersedia menerima program

tersebut.Pemberian insentif sebagai bagian program tersebut kepada

masyarakat akan lebih sering membuahkan hasil dibandingkan dengan

aturan hukum secara kaku.

Contohnya : Dalam program reintroduksi serigala di

Wyoming,insentif berupa pembayaran tunai secara langsung kepada

pemilik peternakan yang kehilangan satwanya. Untuk mempertahankan

dukungan masyarakat terhadap program tersebut,sejumlah kecil serigala

yang kerap menyerang ternak masyarakat terpaksa tetap dibunuh.

Jadi agar program reintroduksi,augmentasi dan introduksi dapat

berhasil,perlu dipelajari dan dipertimbangkan organisasi sosial serta

perilaku dari hewan yang akan dilepaskan.

Contohnya : Program reintroduksi yang berhasil memiliki nilai

pendidikan tersendiri. Di Timur Tengah dan Afrika “Arabian Oryx” (Oryx

leucoryx) hasil penanangkaran telah berhasil direintroduksi ke daerah-

daerah padang pasir yang sebelumnya pernah dihuni oleh mereka. Di

Oman,program reintroduks “Oryx” merupakan hal penting karena

merupakan lambang negara,serta menjadi sumber pekerjaan bagi

masyarakat Bedouin setempat sebagai pelaksana program. Namun,setelah

20 tahun berjalan pengelolaan dengan baik,program di Oman terputus

karena semua hewan dibawa kembali ke penangkaran. Hal tersebut

merupakan akibat dari pencuriaan hewan untuk koleksi pribadi.

2.9Strategi dalam Melindungi Populasi

Kebun – kebun binatang

Kebun binatang bertujuan utama pengolahan adalah manampung

dan menangkarkan populasi satwa langka maupun terancam punah untuk

jangka waktu yang panjang. Fokus utama dari kebun binatang dikarenakan

mamalia memilki daya tarik terhadap khalayak ramai da mendatagkan

pemasukan utuk kebun binatan dari situ akan membantu membentuk opini

masyarakat yang menguntungkan bagi konservasi. Saat ini kebun binatang

telah banyak bekerja sama dengan universitas, instansi serta badan

pemerintah untuk memelihara 280.000 individu vertebrata darat, yang

mewakili 8.000 mamalia, burung, reptil,dan ampibi padahal dialam sendiri

spesies yang memiliki jumlaha terbanyak dalah avetebrata namun spesies

– spesies tersebut sulit ditemukan pada kebun binatang. Namun sekarang

upaya konservasi mulai dikembangkan untuk spesie avertebrata seperti

kupu –kupu, kumbang, laba – laba hal tersebut sangatlah penting

mengingat jumlah spesies dari avertebrata sangatlah mendominasi . selain

itu beberapa spesie langka tidak mampu beradaptasi atau berbiak dalam

penankaran, untuk menangani hal tersebut dibutuhkan penanganan khusus

terhadap nutrisi, perilaku dan kondisi kandanfg yang layak. Berbagai

teknik telah banyak dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Namun hewan

penangkaran kadang lupa akan perilakunya untuk hidup dialam. Lebih

lanjut, hewan tersebut dapat mengalami perubahan genetika, fisiologi dan

morfologi yang kurang adaptif terhadap alam bebas kelak(Feinsinger,

dkk.2001).

Akuarium

Dalam menghadapi satwa perairan punah pada dewasa ini para ahli

mamalia beserta ahli terumbu karang mulai megembangkan program

konservasi spesies terancam punah didalam akuarium. Pada saat ini

setidaknya terdapat 60.000 ekor ikan yang dipeliharadalam akuarium

berasal dari alam terutama spesies yang hampir punah kemajuan teknologi

telah bayak membantu dalam pensuksesan konservasi ini. Telah banyak

teknik dalam penangkaran salah satunya mengembangkan pemulihan

populasi (re stocking) , namun untuk spesies avertebtebrata masih terus

dikembangkan. Para petugas akuarium sendiri banyak mendapatkan

bantuan dari paya nelayan yang kadang menemukan ikan paus yang

terdapampar, namun tantangngan masa depan adalah menyeimbangkan

kebutuhan produksi makanan manusia hasil akuakultur dengan

perlindungan keanekaragaman hayati perairan dari ancaman yang terus

meningkat akibat kegiatan manusia sendiri. (Brooks, dkk. 2003).

Kebun Raya

Kebun raya memainkan peran penting dalam riset dan pemberian

pelatihan, terutama konservasi tumbuhan dan holtikultur. Banyak kebun

raya sedang meningkatkan upaya pembudidayaan spesies langka dan

terancam punah. Kebun raya terbesar didunia dimiliki oleh kerajaan

inggris di kew diperkirakan terdapat 25.000 spesies yang dibudidayakan,

atau 10% dari jumlah didunia, 2.700 diantaranya sedang dalam keadaan

genting. Spesime sendiri dalam kebun raya merupakan sumber terbaik

dalam menggali sebaran tumbuhan dan kebutuhan habitatnya. Diindonesia

sendiri sejumlah kebunraya mewakili berbagai flora hutan humida dataran

tinggi(Darnaeda dan Rifai 1997).

Bank Benih

Bank benih merupakan cadangan pentinh bagi koleksi hidup

tanaman budidaya. Biasanya sebelum dikecambahkan kebanyak benih

disimpan dalam kondisi dingin dankering untuk jangka waktu yang

panjang hal tersebut memanfaatkan sifat dormansi dari biji, karena

memungkinkan benih dapat disimpan dan dibekukan dalam ruang yang

kecil. Namun bank benih memiliki kesulitan tersendiri terutama saat listrik

padam, peralata yang rusak dan dana yang dimiliki mulai berkurang. Bank

benih sendiri disambut oleh masyarakat pertanian intenasional sebagai

caya yang sangatlah efektif untuk melestarikan dari keanekaragaman

tanaman hal tersebut dilakukan karena para petani internasional sedang

beralih meninggalkan benih yang tradisional demi mendapatka variasi

yang lebih unggul. Namun disatu sisi bank benih memilki kendala

tersendiri mengenai hal kepemilikan oleh karena hal tersebut perlunya

adanya peraturan khusus. Sebagai salatu upayanya dilakukan negosiasi dan

kesepakatan menggunakan kerangkan Convention on Biological Diversity

(CBD) (Holt, 2003).

2.10 Kategori Pelestarian

Organisasi dunia yang memberikan perhatian khusus mengenai upaya

pelestarian diantaranya IUCN dan WCMC.yang telah membagi status konservasi

menjadi 10 kategori, kategori 3,4, dan 5 (Critically endangered = kritis;

endangered = genting; vulnerable = rentan). Pembuatan ketegori tersebut

membantu menarik perhatian untuk lebih melindungi spesies yang diberikan

spesies tersebut serta memberikan penanganan khusus. Spesies terancan akan

didaftarkan di Red Data Book dan Red List. Sepuluh kategori status konservasi

bafi spesie langka dan terancam adalah:

1. Punah (Extinct)

Suatu spesies (atau subspesies ataupun varietas) yang telah punah atau

tidak ditemukan lagi

2. Punah di alam (Extinct in the wild)

Suatu spesies yang tidak ditemukan diperkebunan, penangkaran, atau

terdapat sebagai populasi yang hidup di luar sebaran aslinya

3. Kritis (Critically endangered)

Suatu spesies yang menghadapi risiko kepunahan sangat tinggi dialam

dalam waktu dekat(10 tahun) dan memiliki resiko kepunahan lebih dari

50%

4. Gentig (Endagered)

Suatu spesies dengan risiko kepunahan yang tinggi dialam dalam waktu

dekat dan berisiko kritis serta memiliki risiko kepunahan 20%

5. Rentan (Vulnerable)

Suatu spesies dengan resiko kepunahan dalam jangka waktu menengah

serta memiliki resiko kepunahan 10%

6. Tergantung dalam upaya konservasi (Conservation Dependent)

Suatu spesies yang tidak ternacam kepunahan, namun keberlangsungan

hidupnya bergantung pada upaya konservasi.

7. Nyaris atau mendekati teracam punah (Near Threatened)

Suatu spesies mendekati kategori rentan, namun untuk saat ini tidak

tergolong terancam punah.

8. Kekhawatiran minimal (Least Concern)

Suatu spesies tidak terancan kepunahan maupun nyari terancam

9. Kurang Data (Data Deficient)

Suatu spesies tanpa data yang cukup lengkap untuk menentukan risiko

kepunahannya.

10. Tidak dievaluasi (Not Evaluated)

Suatu spesies yang belum dievaluasi untuk menentukan tingkat

kepunahannya.

Penentuan kategori ancaman terhadap suatu spesies bergantung pada

ketersediaan satu atau lebih informasi sebagaib berikut:

1. Seberapa jauh jumlah individu dialam tampak menurun

2.Wilayah geografis yang ditempati, dan jumlah populasi spesies tersebut.

3. Jumlah keseluruhan individu yang hidup dan jumlah individu berbiak

4. Perkiraan penurunan jumlah individu, bila populasi cenderung menururn

atau kerusakan habitat terus berlanjut.

5. kemungkinan spesies untuk jangka waktu ataupun generasi tertentu

(Holt, 2003).

Kriteria untuk menentukan berbagai kategori tersebut dapat juga

ditetapkan secara kuantitatif yang dapat menyediakan metode

penggolongan secara baku, sehingga setiap keputusan dapat diselia dan

dievaluasi. Dengan menggnakan berbagai kategori keterancaman tersebut,

IUCN telah mengevaluasi dan merangkum ancaman terhadap 7.000

spesies tumbuhan serta 9.500 spesies satwa yang terdapftar dalam seri Red

Book serta Red List. Agar upaya perlindungan dapat dilakukan dengan

efektif dan efisien adalah sangat penting utuk menggetahui spesies dan

komunitas apa saja yang sedang menghadapi bahaya, serta dimana mereka

berada (Feinsinger, dkk.2001).

2.11 Perlindungan Hukum bagi Spesies

Hukum dan kesepakatan perlu dikembangkan da diterapkan untuk

melindungi spesies terancam punah. Hkum nasional melindunga spesies

tertentu yang berada disetiap negara sementara perjanjian internasional

mengatur perdagangan spesies antar negara.

Hukum perlindungan spesies diberbagai dunia

Pemerinta dan organisasi konservasi berperan penting dalam

melindungi keanekaragaman hayati. Dibanyak negara, masyarakat telah

menyadari bahwa menjaga lingkungan tetap sehat dan melindungi spesies

adalah sejalan dengan upaya menjaga kesehatan masyarakat.

Dinegara eropa, konservasi spesies dilakukan melalui penegakkan

setempat yang bersumber dari perjanjian internasional seperti CITES dan

konservasi Lahan Basah Ramsar. Selanjutnya beberapa negara bahka

memiliki aturan tambahan seperti National Park and Access to the

Countyside Act di inggris ditetapkan sejak tahun 1981 untuk melindungi

habitat yang dihunu oleh spesies terancam punah. Dibeberapa negara

lainnya, pemerintah mendesentralisasikan keputusan pengelolahan sumber

daya alam dan perlindungan suatu kawasan pemerintah daerah, dewan

desa dan organisasi konservasi (Warren dkk, 2001).

UU Perlindungan spesies terancam punah di AS (U.S

Edangered Spesies Act)

Hukum utama bagi konservasi di AS adalah undang – undang

spesies, yang diciptakan oleh kongres AS untuk melindungi ekosistem

yang dihuni oleh spesies kritis dan ternacam punah serta mengembangkan

program konservasi. Sejak tahun 1973, sekitar 1.200 spesies di AS telah

dimasukkan kedalam daftar, diantaranya adalah elang amerika ‘bald eagle”

Haliaeetus leucocephalus dan serigala abu – abu “ Gray wolf” Canis

lupus. ESA menggunakan daftar spesies terancam punah sebagai acuan

(atau spesies indikator) untuk melindungi berbagai habitat terasuk seluruh

ekosistem hayati dan spesies didalamnya. ESA juga mencegah pihak baik

perseorangan, kalangan bisnis, dan pemerintah daerah unutuk mengambil,

merusak dan memperdagangkan spesies yang termasuk daftar yang

dilindungi.

Namun ESA memiliki kesulitan yang dihadapi dalam

melaksanakan rencana pemulihan suatu spesies seringkali bukanlah

disebabkan oleh faktor biologi, tetapi katena alasan politik, administrasi

dan terutama karena alasan keuangan. Guna menyediakan mekanisme

hukum dalam menyatukan kepetingan bisnis dan konservasi, kongres ACP

tahun 1982 merevisi ESA dan memfasilitasi suatu kerangka rancangan

pelestarian habitat (Habitat Conservation Plan atau HPC) yang merupakan

rencana daerah yang memungkinkan pembanguan pada daerah – daerah

tertentu, namun pada saat bersamaan juga melindungi komunitas hayati

ekosistem yang ada didalamnya termasuk spesies yang telah terancam

punah (Lee,1995).

Hukum perlindungan spesies di indonesia

Perlindungan keanekaragam hayati bagi spesies dan ekosistemnya

diindonesia adalah UU No. 5 tahun 1995, spesies yang dilindungi

diindonesia telah didaftarkan sebagai suatu lampiran dalam peraturan

pemerintah No. 77 tahun1999 yang didalamnya terdapat 134 spesies

mamalia, 405 spesies burung, 31 spesies reptil,7 spesies ikan (laut dan

tawar), 20 spesies insecta, 12 spesies bivalvia, 1 spesies crustacea ,

sedangkan untuk tumbuhannya dari genus Rafflesia, 29 spesies anggrek

semua jenis marga kantung semar Nepthentes dan 13 dari spesies marga

Shorea(meranti). Perlindungan spesies dipegang oleh pusat oenelitian

biologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun perlu

adanya daftar yang perlu diperbaiki, agar tidak terlalu panjang dan

mencerminkan prioritas yang tepat. Pertama – tama, perlu disepakati

kriteria yang praktis dan jelas bai perlindungan spesies yang selama ini

lebih mengarah penggabungan aspek keterancaman diamana kriteria ini

mengacu pada status keterancaman ditingkat dunia. Kedua, perlu

adilakukan kembali terhadap kebiasaan memasukkan seluruh spesies dari

anggota dari suatu suku (famili), dan kadang – kadang seluruh spesies

anggota dari satu marga (genus) kedalamm daftar spesies yang dilindungi.

Hal ini akan membuat kerancuan dikarenakan kadang spesies yang tiidak

terancam juga dimasukkan kedalam daftar sehingga perlu adanya

perbaikan. Ketiga, perlu diakui bahwa spesies dilindungi tidal luput dari “

bias”. Dan tantangan berikutnya adalah proses legalisasi yang efektif

untuk membakukan dan menyabarkan daftar tersebut dengan

efektif(Novariano, dkk. 2005).

Perjanjian internasional untuk melindungi spesies dan habitat

Konverensi dan perjanjian internasional sangatlah penting untuk

melindungi keanekaragaman hayati dikarenakan seringkali spesies

seringkali berpindah melintasi perbatasan negara, perdagangan produk

hayati telah mencapai tatanan interasional dan ancaman keanekaragaman

hayati pun sering terjadi pada tingkat internasional. Beberapa badan

internasional United Nation Environment Programme (UNEP), FAO, dan

World Conservation Union (IUCN) memiliki pengaruh dalam

melestarikan keanekaragaman hayati dunia karena badan tersebut

mendorong negara anggotanya untuk menjalankan kesepakatan

internasional, salah satu kesepakatannya adalah Convention on

Internatioal Trade in Endangered Spesies (CITES) yang berpusat di swiss

yang menyusun daftar (yang dikenal dengan Appendix) spesies

perdagangan yang dipantau salah satu pencegahan yang pernah dilakukan

oleh CITES adalah perdagangan internasional (global ban) gading gajah di

afrika yang berawal dari jumlah gajah yang menurun secara drastis.

Kesepakatan lainnya Convention on Conservation of Migratory Spesies of

Wild Animal (CMWA) perjanjian international bagi pelestarian spesies

satwa liar bermigrasi dengan fokus utama beragam jenis burung.

Beberapa perjanjian international (konvensi) penting lainnya yang

melindungi keanekaragaman hayati adalah :

1. Covention on Conservation of Antarctic Marine Living Resource

2. International Convention for Regulation of Whaling

3. International Convetion for thr Protection of Birds and the Benelux

(Belgium/Netherland/ Luxemburg) Convention Concerning Hunting

and Protection of Bird

4. Convention on the Conversation and Management of Highly Migratory

Fish Stocks in Western and Pasific Ocean.

Kelemahan dari berbagai kesepakatan tersebut adalah

pelaksanaannya yang didasarkan pada konsensus, sehingga bila ada salah

satu atau lebih negara tidak setuju dengan butir kesepakatannya maka butir

kesepakatan tersebut tidak adakn dilaksanakan bahkan bila kondisi yang

disepakati terlalu berat, negara peserta bahkan muungkin tidak akan

melaksanakannya seperti pada International Convention for Regulation of

Whaling. Selanjutnya tidak ada mekanisme pemantauan untuk mengetaui

sejauh mana konvesi dilaksanakan oleh negara peserta(Brooks, dkk. 2003).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. MVP merupakan ukuran populasi terkecil yang diperkirakan memiliki

peluang yang sangat tinggi untuk bertahan hidup di masa mendatang.

2. Beberapa masalah yang ada pada populasi berukuran kecil yaitu

menyusustnya keragaman genetika, tekanan silang dalam (inbreeding

depression), hilangnya kelenturan dalam proses evolusi, tekanan silang

luar (outbreeding depression), ukuran populasi yang efektif, variasi

demografik, variasi lingkungan dan bencana alam, dan pusaran

kepunahan.

3. Untuk melindungi dan mengelola suatu spesies langka atau terancam

punah diperlukan pemahaman tentang biologi populasi.

4. Cara untuk mempelajari populasi yaitu dengan cara mengumpulkan

informasi ekologi, dan melakukan pemantauan populasi

5. Adapun cara yang dapat dilakukan dalam pengamatan tingkat populasi

adalah inventerisasi dan survei populasi.Informasi penggunaan ruang

adalah penting untuk mengelola dan melestarikan spesies yang masih

bertahan dalam berbagai populasi yang terpisah

6. PVA mempelajari apakah suatu spesies mempunyai kemampuan untuk

bertahan hidup di suatu lingkungan.PVA merupakan sautu analisis

resiko untuk memperkirakan kemungkinan kepunahan populasi di

masa depan. Sebagai alat bantu yang penting bagi PVA diterapkan

berbagai metode statistika dan matematika

7. Metapopulasi atau sering disebut sebagai populasi dari populasi adalah

sejumlah populasi yang membentuk suatu mosaik yang dinamis dan

saling berhubungan melalui peristiwa-peristiwa migrasi maupun

penyebarab pasif

8. Terdapat tiga pendekatan utama bagi pembentukan populasi baru

tumbuhan maupun hewan yaitu : Reintroduksi,augmentasi dan

introduksi

Suatu pogram konservasi dikatakan sukses apabila dapat dijelaskan

kepada masyrakat setempat dagar mereka mendukung atau setidaknya

bersedia menerima program tersebut

9. Dalam mencegah kepunahan terdapat beberapa strategi yang dapat

dilakukan diantaranta melestarikan spesies yang hampir punah

kedalam suatu area untuk melindunginya diantaranya Kebun – kebun

binatang, Akuarium, Kebun Raya, dan bank benih.

10. Status konservasi terdiri dari 10 kategori yaitu Punah (Extinct), Punah

di alam (Extinct in the wild), Kritis (Critically endangered), Gentig

(Endagered), Rentan (Vulnerable), Tergantung dalam upaya

konservasi (Conservation Dependent), Nyaris atau mendekati teracam

punah (Near Threatened), Kekhawatiran minimal (Least Concern),

Kurang Data (Data Deficient), Tidak dievaluasi (Not Evaluated)

11. Perlindungan berbagai spesies diberbagai dunia sangatlah beragam

diantaranya National Park and Access to the Countyside Act di inggris

ditetapkan sejak tahun 1981, UU Perlindungan spesies terancam punah

di AS, perlindungan spesies diindonesia adalah UU No. 5 tahun 1995,

spesies yang dilindungi diindonesia telah didaftarkan sebagai suatu

lampiran dalam peraturan pemerintah No. 77 tahun1999.

Saran :

1. Diharapkan pada semua orang untuk turut serta aktif berpartisipasi dalam

konservasi fauna dan flora sekitar

2. Berusaha mencegah kepunahan dengan membuat ide-ide kreatif untuk

pelestarian flora dan fauna

Daftar Pustaka

Brooks, A.,M. Zint, & R. De Young. 2003. Landowner’s response to an

Endangered Species Act Listing and implication for encouraging

conservation. Conservation Biology 17 : 1638-1649 (pemilik lahan

biasanya memerlukan informasi lebih banyak sebelum memutuskan

untuk mendukung konservasi).

Buffalo (Bovidae : Bubalus sp.)The Journal of heredity 90 : 165-176.

Feisinger,P. 2001. Desighning Field Studies for Biodiversity Conservation

Biology. Island Press,Washington,D.C. Panduan Untuk

Mengembangkan Program Riset Lapangan Untuk Melestarikan

Spesies dan Komunitas.

Gamauf,A.2005. Bird Specimen-an invaluable resource for genetical

studies and conservation.Zool.Med Leiden 79-3 : 171-172

Ginsberg,J.2002.CITES at 30 or 40. Conservation Biology16 : 1184-1191.

CITES telah memberikan dampak positif terhadap

keanekaragaman hayati,namun terdapat berbagai tantangan

Griffiths, M., and Schaick, C.P.V. 1993. Camera-trapping : A New Tool

For The Study Of Alusive Rain Forest Animals. Tropical

Biodiversity 1:131-135

Haplotypes Characterize Chromosomal Linages of Anoa, The Sulawesi

Dwarf

Hines,J.E.2005. Program PRESENCE. Dalam:USGS-Putuxent Wildlife

Resarch Center,Laurel

Holt, W.V., A.R. Pickard, J.C. Rodger, D.E. Wildt, M.L. Gosling, G.

Cowlishaw, dkk (eds). 2003. Reproductive Science and Integrated

Conservation. Conservation Biology Series, No. 8. Cambrigde

University Press, New York. Perkembangan-perkembangan baru

dalam teknologi biologi-reproduksi telah berkontribusi terhadap

berbagai program penangkaran konservasi.

Lee, R.J. 1999 Market Hunting Pressure in North Sulawesi, Indonesia.

Tropical Biodiversity 6:145-162.

Mills, J. Allendorf, and Jackson, P.1994.Killed For A Cure: A review Of The

Worldwide Trade In Tiger Bone.Cambridge:TRAFFIC

International

Novarino, W.S.N. Kamilah, A. Nugroho, M.N. Janra, M. Silmi & M. Syafri.

2005. Habitat use and density of Malayan Tapi (Tapirus Indicus) in

the Teratak forest reserve, Sumatra, Indonesia. Tapir Conservation

14/2 no. 18:28-30

Schreiber, A., Seibold, I., Notzold, G. And Wink, M. 1999. Cytochrome b

Gene