Konsep Waktu Yuhu

download Konsep Waktu Yuhu

of 22

description

BIOLOGI

Transcript of Konsep Waktu Yuhu

Konsep waktu-suhu merupakan faktor terpenting penentu pertumbuhan serta perkembangan suatu organisme. Waktu merupakan batasan suatu organisme untuk dapat menyesuikan diri terhadap keadaan tertentu. Sedangkan suhu merupakan keseimbangan yang diperoleh dari dalam tubuh atau dari luar lingkungan yang berguna untuk menghadapi cuaca. Korelasi keduanya sangat berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang suatu organisme, organisme yang termasuk dalam konsep waktu suhu ini adalah hewan pikiloterm dan hewan homoikiloterm. Hewan poikiloterm termasuk hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan dari luar, karena suhu bagian dalam lebih tinggi dari pada suhu bagian luar tubuhnya. Sedangkan hewan homoikiloter suhu tubuhnya relatif lebih stabil dari pada hewan poikiloterm. Seperti yang sudah dijelaskan diatas tentang pengertian terhadap suatu organisme suhu juga dapat digunakan sebagai parameter yang menggambarkan derajat panas suatu benda. Semakin tinggi panas suatu benda, maka semakin tinggi pula suhunya. Begitu pula sebaliknnya, panas yang dipancarkan atau dirambatkan oleh suatu benda merupakan bentuk energi yang dibebaskan oleh benda melalui proses transformasi energi. Dengan demikian, secara tidak langsung suhu dapat dipakai sebagai indikator tentang besarnya energi yang dibebaskan oleh benda. Dengan adanya konsep tentang waktu-suhu ini mengingatkan kita tentang terjadinya peledakan ulat bulu yang terjadi didaerah Probolinggo pada tahun 2010. Ini terjadi karena adanya ulat bulu termasuk hewan poikiloterm yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dari luar. Keberadaan ulat bulu selalu ada dan terjadi fluktuasi pola serangan yang berbeda setiap tahunnya.Dalam kaitannya dengan organisme, maka prinsip dasar yang mengakibatkan suhu dapat mengatur pertumbuhan dan penyebaran organisme adalah terletak pada pengaruh fisik suhu terhadap tubuh organisme. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan rusaknya enzim dan protein lain, dapat menguapkan cairan tubuh, dapat merusak vitamin, dapat merusak sel, jaringan dan organ, dapat merusak permeabilitas membran, dan merusak hormon. Sebaliknya, suhu yang terlalu rendah dapat membekukan protoplasma, dapat menghambat kerja enzim, menghambat kerja hormon, dan menghambat metabolisme. pengaruh berbagai suhu terhadap hewan ektoterm mengikuti suatu pola tipikal, walaupun ada perbedaan dari spesies ke spesies yang lain. Pada intinya ada tiga kisaran yang menarik perhatian ialah:Suhu rendah berbahayaSuhu tinggi berbahayaSuhu diantara suhu tinggi dan suhu rendah.Ada pengertian tentang koesein suhu yang diberi symbol dengan huruf Q10 misalnya Q10 = 2.5, berarti tiap-tiap kenaikan suhu 1C menaikkan lau reaksi metabolisme2.5 kali. Jadi mahluk ektoterm memasukkan sumberdaya dan melaksanakan metabolisme henya secara lambat pada suhu yang rendah, tetapi pada suhu yang lebih tinggi metabolisme akan lebih cepat. Untuk pertumbuhannya, hewan ektothermal memerlukan kombinasi antara faktor waktu dan faktor suhu lingkungan. Hewan ektothermal tidak dapat tumbuh dan berkembang bila suhu lingkungannya dibawah batas suhu minimum kendatipun diberikan waktu yang cukup lama. Untuk dapat tumbuh dan berkembang, hewan ektothermal memerlukan suhu lingkungan di atas batas suhu minimumnya maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang. Begitu pula sebaliknya. Adanya keterkaitan antara suhu lingkungan dengan waktu tumbuh dan berkembangnya hewan ektothermal disebut sebagai konsep waktu suhu atau waktu fisiologis (Nova,2012).ulat bulu adalah perubahan ekosistem yang ekstrem pada agroekosistem mangga. Perubahan tersebut dipicu oleh beberapa hal, yakni musim hujan yang panjang pada tahun 20102011 yang menyebabkan kenaikan kelembapan udara. Suhu yang berfluktuasi berdampak terhadap iklim mikro yang mendukung perkembangan ulat bulu. Abu vulkanik akibat letusan Gunung Bromo, penanaman hanya satu varietas mangga, peralihan fungsi hutan menjadi hutan produksi, dan penggunaan input kimia seperti pestisida dan pupuk ikut menjadi pemicu ledakan populasi ulat bulu. Tanaman mangga sebetulnya membutuhkan kehadiran serangga herbivora untuk meningkatkan suhu mikro untuk pertumbuhan tunas baru dan merangsang pembungaan. Daun-daun tanaman mangga yang dimakan serangga akan meningkatkan suhu mikro. A.submarginata adalah serangga herbivora yang semula hanya dikenal sebagai hama daun teh. Namun, pada tingkat populasi yang tinggi pada tanaman mangga, statusnya berubah menjadi serangga hama. Di luar proses jalur migrasinya ke agroekosistem pertanaman mangga, peningkatan populasi ulat bulu diduga juga didukung oleh letupan abu vulkanik Gunung Bromo yang mengakibatkan penurunan keanekaragaman hayati, termasuk artropoda kompetitor dan musuh alaminya (predator, parasitoid, patogen serangga) (Yuliantoro dkk,2012).

A.Hewan Poikiloterm Posisi poros bumi yang tidak tegak terhadap lintasan edarnya atau condong, menyebabkan posisi jatuhnya sinar matahari di muka bumi berubah-ubah dan tidak sama waktunya di setiap tempat. Berdasarkan pada panajngnya penyinaran yang diperoleh pada masing-masing tempat, maka hewan di setiap bagian belahan bumi mendapatkan radiasi cahaya yang akan menimbulkan panas yang tidak sama.Sementara setiap hewan juga memiliki pengaturan dalam penerimaan dan pelepasan panas dari dan ke lingkungan yang berbeda. Panas yang dihasilkan oleh organisme merupakan salah satu produk proses-proses metabolism dalam tubuhnya, dan panas inilah yang merupakan sumber kemampuan organisme untuk mengatur suhu tubuhnya. Penggolongan hewan berdasarkan lingkungnnya ada 2 yaitu hewan yang homeotermal dan kelompok hewan poikilotermal, jika pada suhu lingkungn yang berubah, maka hewan yang homeotermal akan mempertahankan suhu tubuhnya, sehingga akan menjadi kira-kira sama, sedangkan suhu tubuh hewan yang poikilotermal mengikuti perubahan suhu itu.Berdasarkan kemampuannya untuk mempertahankan suhu tubuh, hewan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:Poikiloterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring denganberubahnya suhu lingkungan. Pada hewan-hewan poikiloterm ini panas tubuhnya sangat tergantung pada sumber panas dari lingkungannya. Kemampuan mengatur suhu tubuh pada hewan ektoterm atau poikiloterm sangat terbatas sehingga suhu tubuh bervariasi mengikuti suhu lingkungannya atau disebut juga sebagai penyelaras (konformer).Homeoterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan/tidak berubahsekalipun suhu lingkungannya sangat berubah.B.Konsep waktu-suhuSuhu lingkungan menentukan suhu tubuh bagi hewan poikiloterm atau yang sering disebut hewan berdarah dingin. Dan yang lebih pentingnya lagi suhu menjadi faktor pembatas bagi makhluk hidup terutama hewan poikiloterm. Suhu tubuh menentukan kerja enzim-enzim yang diperlukan oleh tubuh makhluk hidup yang berfungsi membantu proses metabolisme dalam tubuh. Dari sudut pandang ekologi, suhu lingkungan sangat penting terutama bagi hewan poikiloterm untuk aktivitas dan pengaruh terhadap laju perkembangannya.Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan linier. Hewan poikiloterm lama waktu perkembangan akan berbeda pada suhu lingkungan yang berbeda. Jadi setiap lama waktu perkembangan selalu disertai dengan kisaran suhu proses berlangsungnya perkembangan tersebut. Pada hewan poikiloterm, waktu merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang sering dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting . sebagai contoh, suhu ambang terjadi perkembangan sejenis belalang adalah 16C lama waktu yang diperlukan untuk perkembangan telur hingga menetas 17,5 hari, maka jika pada suhu 30C maka lama waktu untuk menetas hanya 5 hari.Konsep waktu suhu ini penting artinya untuk memahami hubungan antara waktu dengan dinamika populasi hewan poikiloterm. Dengan mengetahui konsep waktu-suhu ini kita mampu mengetahui atau memprediksi kapan akan terjadi peledakan populasi, mungkin saja tiap tahun peledakan populasi akan terjadi dan dengan konsep waktu-suhu setidaknya ada tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, seperti dengan memberantas, karena hewan ini merupakan hama dalam pertanian. Dan untuk memberantas hama tersebut harus cepat karena memberantas telur dan pupa berbeda dengan memberantas hewan dewasanya atau dengan kata lain konsep waktu-suhu ini sangan pengting dalam pengendalian hama bagi petani.Suhu lingkungan mempengaruhi suhu tubuh dari hewan-hewan poikiloterm. Bahkan suhu ini menjadi faktor pembatas bagi kebanyakan makhluk hidup. Suhu tubuh menetukan kerja enzim-enzim yang membantu metabolisme di dalam tubuh. Kepentingan suhu ini tidak hanya pada aktivitasnya melainkan pula berkaitan dengan laju perkembangannya. Dalam kisaran yang tidak mematikan, pengaruh paling penting oleh suhu terhadap hewan poikiloterm dari sudut pandang ekologik adalah pengaruh suhu atas perkembangan dan pertumbuhan. Dalam hal ini langsung tampak adanya hubungan linear antara laju perkembangan jika dikaitkan dengan suhu tubuh. Dengan kata lain adanya hubungan yang linear antara laju perkembangan dengan suhu.Pengaruh berbagai suhu terhadap hewan ektoterm atau poikiloterm mengikuti suatu pola yang tipikal, walaupun ada perbedaan dari spesies ke spesies yang lain. Pada intinya ada tiga kisaran suhu yang menarik yaitu:Suhu rendah berbahaya, pada suhu yang ekstrim rendah di bawah batas ambang toleransinya maka hewan ektoterm atau poikiloterm akan mati. Hal ini disebabkan enzim-enzim tidak aktif bekerja sehingga metabolismenya berhenti. Pada suhu yang masih lebih rendah dari suhu optimum, laju metabolismenya dan segala aktivitasnya rendah. Sebagai akibatnya gerakan hewan tersebut menjadi sangat lambat sehingga memudahkan predator atau pemangsa untuk menangkapnya.Suhu tinggi berbahaya, suhu tinggi akan mendenaturasikan protein yang juga menyusun enzim, dengan adanya denaturasi protein ini menyebabkan metabolism dalam tubuh akan terhambat dan menyebabkan aktivitas dari hewan tersebut akan terhenti.Suhu di antara keduanya, pada suhu antara ini laju metabolism dari hewan ektoterm akan meningkat dengan makin naiknya suhu secara eksponensial. Hal ini dinyatakan dengan fisiologi hewan sebagai koefisien suhu, koefisien suhu pada tiap hewan ektoterm relatif sama walaupun ada yang sedikit berbeda.Tidak seperti pada manusia serta pada hewan endotermal pada umumnya, maka hewan-hewan ektotermal tidak dapat dikatakan memerlukan waktu yang lamanya tertentu. Hewan ektotermal perlu gabungan waktu dengan suhu. Gabungan ini sering disebut sebagai waktu-fisiologik. Dapat dikatakan pula bahwa waktu adalah fungsi suhu untuk hewan ektotermal dan waktu dapat berhenti jika suhu turun di bawah harga ambang. Dalam artian bahwa untuk hewan-hewan ektoterm lama waktu perkembangannya akan berbeda-beda pada suhu lingkungan yang berbeda-beda.Sebagai salah satu faktor lingkungan yang utama, suhu memberikan efek yang berbeda-beda pada organisme di bumi ini.Variasi suhu lingkungan alami mempunyai efek dan peranan potensial dalam menentukan terjadinya proses kehidupan, penyebaran serta kelimpahan organisme tersebut. Variasi suhu lingkungan dapat ditinjau dari berbagai segi, yaitu dari sifat sikliknya (harian, musiman), dari kaitannya dengan letak tempatnya di garis lintang bumi (latidunal) atau ketinggian diatas permukaan laut (altitudinal) dan kedalaman (perairan tawar, lautan, tanah). Disamping itu juga dikenal variasi suhu alami dalam sifat kaitan yang lebih akrab dengan organisme (mikroklimatik).Dalam kisaran yang tidak mematikan, pengaruh paling penting oleh suhu terhadap hewan poikiloterm dari sudut pandang ekologi adalah pengaruh suhu atas perkembangan dan pertumbuhan. Dalam hal ini langsung tampak adanya hubungan linear antara laju perkembangan jika diplotkan terhadap suhu tubuh. Tampak pula bahwa penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut pada suhu terendah dapat diabaikan, dan lagi makhluk yang bersangkutan secara tipikal menghabiskan waktu dibawah suhu tinggi non linear.seringkali secara sederhana dianggap bahwa laju perkembangan bertambah secara linear pada suhu di atas ambang perkembangan. Hewan ektoterm atau poikiloterm tidak dapat dikatakan memerlukan waktu yang lamanya tertentu. Yang mereka perlukan adalah gabungan waktu dengan suhu. Gabungan ini sering disebut sebagai waktu-fisiologik. Pentingnya konsep waktu-suhu terletak di dalam kemampuan konsep itu untuk memberikan pengertian tentang waktu terjadinya sesuatu, dan tentang dinamika populasi hewan ektoterm atau hewan poikiloterm Soetjipta (1993).Menurut Soetjipta (1993), malahan sesungguhnya kebanyakkan spesies dan kebanyakkanaktivitas hanya terbatas di kisaran suhu yang lebih sempit. Beberapa makhluk hidup terutama yang sedang di dalam tingkat istirahat, mampu ada dalam suhu sangat rendah dalam waktu yang singkat, sedangkan beberapa mikroorganisme, terutama bakteri, alga, dapat hidup dan berreproduksi di dalam air panas yang suhunya mendekati suhu air mendidih.Apabila dalam suhu rendah, hewan poikiloterm mungkin berubah menjadi tidak aktif, atau bersifat tidur, atau dalam keadaan sedang hibernasi. Umumnya hewan poikiloterm menggunakan periode penangguhan di dalam keadaan dormansi, yaitu keadaan secara nisbi tidak aktif untuk menghemat energy, dan energi tersebut yang dapat dipergunakan dalam waktu penangguhan berikutnya. Dari keadaan tersebut hewan poikiloterm dapat berfungsi kembali bilaman suhu meningkat di atas harga ambang. Adapun harga ambang adalah kuantitas faktor minimum yang menghasilkan pengaruh yang dapat dirasakan oleh hewan tersebut.C.Serangga Salah Satu Hewan PoikilotermSerangga adalah makhluk yang berdarah dingin (poikiloterm), bila suhu lingkungan menurun, proses fisiologisnya menjadi lambat. Namun demikian banyak serangga yang tahan hidup pada suhu yang rendah (dingin) pada periode yang pendek, dan ada juga beberapa jenis diantaranya yang mampu bertahan hidup pada suhu rendah atau sangat rendah dalam waktu yang panjang. Selanjutnya Sumardi & Widyastuti (2000) menyatakan bahwa, serangga merupakan kelompok hewan yang paling luas penyebarannya. Hewan ini dapat hidup dimana-mana mulai dari daerah kering hingga daerah basah, mulai dari daerah panas hingga daerah kutub. Serangga memiliki kisaran suhu tertentu dimana dia dapat hidup. Diluar kisaran suhu tersebut serangga akan mati kedinginan atau kepanasan. Pengaruh suhu ini jelas terlihat pada proses fisiologi serangga. Pada waktu tertentu aktivitas serangga tinggi, akan tetapi pada suhu yang lain akan berkurang (menurun). Pada umunya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C dan suhu maksimum 450C. Pada suhu yang optimum kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian (mortalitas) sebelum batas umur akan sedikit.Ketika serangga dewasa yang sedang memencar menemukan lokasi habitat umum serangga inang. Pada langkah permulaan ini rangsangan yang menarik bukan dari tanaman tetapi rangsangan fisik yang berupa cahaya, suhu, kebasahan, angin, atau juga gravitasi. Langkah kedua, faktor penarik yang menolong adalah warna, ukuran dan bentuk tanaman. Begitu serangga telah menemukan inangnya rangsangan tanaman jarak pendek yang mendorong serangga menjadi menetap pada tanaman tersebut. Langkah ketiga, serangga mencoba mencicipi (respon kimiawi) dan meraba-raba (respon fisik) tanaman untuk mengetahui kesesuaiannya untuk mengetahui kesesuaiannya sebagai pakan. Apabila ternyata tanaman tersebut sesuai, serangga akan merusak makannya karena rangsanagan berbagai senyawa kimiawi tanaman yang sesuai.Langkah keempat, penerimaan inang (Untung, 2006)Serangga berkembang dari telur yang terbentuk di dalam ovarium serangga betina.Kemampuan reproduksi serangga dalam keadaan normal pada umumnya sangat besar. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa serangga cepat berkembang biak. Masa perkembangan serangga di dalam telur dinamakan perkembangan embrionik, dan setelah serangga keluar (manetas) dari telur dinamakan perkembangan pasca embrionik. Pada serangga perkembangan individunya mulai dari telur sampai menjadi individu dewasa menunjukkan perbedaan bentuk.Keadaan ini disebut dengan metamorfosis. Dua macam perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga yaitu metamorfosa sempurna atau holometabola yang melalui tahapan-tahapan atau stadium: telur- larva pupa-dewasa dan metamorfosis bertahap atau hemimetabola yang melalui stadium-stadium: telur-nimfa-dewasa.

Gambar. Perkembangan serangga secara Holometabola (Perkembangan sempurna)

Gambar. Perkembangan serangga secara Hemimetabola (perkembangan bertahap)Serangga umumnya memiliki umur imago yang pendek. Ada yang beberapa hari,akan tetapi ada juga yang sampai beberapa bulan. Misalnya umur imago Nilavarpata lugens (Homoptera; Delphacidae) 10 hari, umur imago kepik Helopeltis theivora (Hemiptera; Miridae) 5-10 hari, umur Agrotis ipsilon (Lepidoptera; Noctuidae) sekitar 20 hari, ngengat Lamprosema indicata (Lepidoptera; Pyralidae) 5-9 hari, dan kumbang betina Sitophillus oryzae (Coleoptera; Curculinoidae) 3-5 bulan.D.Aplikasi dalam pengendalian hamaKehadiran dari hama di lahan pertanian disebabkan adanya ketersedian kebutuhan dari hama tersebut seperti makanan maupun tempat untuk berkembang biak. Selain itu faktor abiotik dari lingkungan pertanian seperti kelembaban dan suhu juga ikut mempengaruhi hadirnya suatu hama di areal pertanian tersebut. Seperti yang telah dietahui bahwa setiap hama yang termasuk dalam hewan poikilotermi memiliki laju perkembangan yang sejalan dengan suhu lingkungan, apabila suhu lingkungan sesuai dengan sehu tubuhnya untuk berkembangbiak maka hama dari hewan poikilotermi akan terus melakukan perkembangbiakan.Pengendalian hama pada saat ini menggunakan obat-obatan kimia yang berbahaya tidak hanya untuk manusia tetapi juga organisme-organisme yang menjadi predator atau antagonis dari hama yang akan dimusnahkan. Selain itu pengggunaan obat-obat kimia akan membuat hama menjadi resisten terhadap obat-obatan dan pada akhirnya hama tidak mati malah akan terus bertambah.Untuk mengurangi dampak dari penggunaan obat-obat kimiawi dalam pengendalian hama pertanian perlu adnya mekanisme ekologi untuk mengurangi dampak dari hama ini. Tujuan-tujuan dari manajemen ekologis ada 4 kategoris yaitu :Mengurangi kecocokan ekosistem terhadap kehidupan hama (contoh hewan poikilotermi dari jenis serangga).Menggangu ketersediaan sumber makanan yang merupakan kebutuhan hama.Mengalihkan populasi hama dari areal pertanianMengurangi dampak dari serangan hamaSatu atau beberapa pendekatan dapat kita gunakan dalam manajemen ekologis untuk menjaga agar populasi hama off balance dan mencegah agar hama mengakibatkan kerugian/kerusakan.Kehadiran atau keberhasilan suatu organisme atau kelompok organisme tergantung kepada komples keadaan. Kadaan yang manapun yang mendekati atau melampaui batas-batas toleransi dinamakan sebagai faktor pembatas. Dengan adanya faktor pembatas ini semakin jelas kemungkinannya apakah suatu organisme akan mampu bertahan dan hidup pada suatu kondisi wilayah tertentu.Jika suatu organisme mempunyai batas toleransi yang lebar untuk suatu faktor yang relatif mantap dan dalam jumlah yang cukup, maka faktor tadi bukan merupakan faktor pembatas. Sebaliknya apabila organisme diketahui hanya mempunyai batas-batas toleransi tertentu untuk suatu faktor yang beragam, maka faktor tadi dapat dinyatakan sebagai faktor pembatas. Beberapa keadaan faktor pembatas, termasuk diantaranya adalah temperatur, cahaya, air, gas atmosfir, mineral, arus dan tekanan, tanah, dan api.Masing-masing dari organisme mempunyai kisaran kepekaan terhadap faktor pembatas.Untuk pengaplikasian waktu-suhu dapat dilakukan Pengendalian mekanis dan fisik. Pengendalian fisik adalah tindakan pengendalian yang dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi atau suhu rendah.Teknik pengendalian ini bertujuan mengurangi populasi hama dengan cara mengganggu fisiologi serangga atau mengubah lingkungan menjadi kurang sesuai bagi hama. Contoh, mengumpulkan kemudian membinasakan kelompok telur dan ulat yang ada di pertanaman. Selain itu, menggenangi lahan pertanaman, terutama pada stadia vegetatif akhir dan pengisian polong untuk mematikan ulat grayak yang berdiam diri di dalam tanah pada siang hari. Tempat pengendalian secara mekanis dan fisik dapat dilakukan melalui proses aklimatisasi (di alam) dan aklimasi (di laboratorium). Aklimatisasi adalah usaha dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi faktor lingkungan di habitat buatan yang baru. Sedangkan aklimasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi faktor lingkungan dalam laboratorium.Penerapan konsep waktu-suhu dapat dilakukan dibidang pertanian dan perkebunan, salah satunya pengendalian hama serangga. Serangga merupakan hewan poikiloterm atau hewan yang berdarah dingin, dimana sebelumnya telah kita ketahui bahwa hewan poikiloterm tidak dapat mengatur suhu tubuh sendiri, sehingga upaya yang dilakukan dengan membuat kondisi lingkungan di luar batas atas atau di bawah kisaran toleransi yang dimiliki hewan tersebut. Untuk penerapan ini dilakukan dilaboratorium karena jika dilakukan dilingkungan sulit terjadi serta banyak predator yang dapat mengganggu. Sehingga untuk penerapan ini lebih tepat dilakukn dilaboratorium (aklimasi).Pentingnya konsep waktu-suhu terletak di dalam kemampuan konsep itu untuk memberi pengertian tentang waktu terjadinya sesuatu dan tentang dinamika populasi hewan ektoterm. Dengan mengetahui waktu-suhu dari hama yang berasal dari hewan poikilotermi misalnya serangga maka dapat diramalkan berapa lama hama tersebut berkembang, mulai dari telur samapai dewasa sehingga dapat dilakukan langkah-langkah pemusnahan ataupun pengendalian hama tersebut.BAB IIANALISISSetelah mempelajari materi mengenai Konsep Waktu-Suhu pada hewan poikiloterm dalam pengendalian hama pertanian, saya kemudian mengajukan bebeapa pertanyaan sebagai berikut:1.Mengapa konsep waktu-suhu perlu diterapkan dalam pengendalian hama pertanian?2.Mengapa harus mengkaji mengenai konsep waktu-suhu dalam pengendalian hama pertanian pada hewan poikiloterm?3.Bagaimana aplikasi konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm dalam pengendalian hama pertanian?Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya mencoba untuk menganalisisnya mengenai aplikasi Konsep Waktu-Suhu pada hewan poikiloterm dalam pengendalian hama pertanian.Saya mengemukakan bahwa:a.Konsep waktu-suhu perlu diterapkan dalam pengendalian hama pertanianPengendalian hama pada saat ini menggunakan obat-obatan kimia yang berbahaya tidak hanya untuk manusia tetapi juga organisme-organisme yang menjadi predator atau antagonis dari hama yang akan dimusnahkan. Selain itu pengggunaan obat-obat kimia akan membuat hama menjadi resisten terhadap obat-obatan dan pada akhirnya hama tidak mati malah akan terus bertambah.b.Tujuan mengkaji mengenai aplikasi konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm dalam pengendalian hama pertanianHewan poikiloterm merupakan hewan yang berdarah dingin, dan untuk mempertahankan hidupnya tergantung dari lingkungan dan salah satu factor lingkungan yang mempengaruhi yaitu suhu.Pada hewan-hewan poikiloterm ini panas tubuhnya sangat tergantung pada sumber panas dari lingkungannya. Kemampuan mengatur suhu tubuh pada hewan ektoterm atau poikiloterm sangat terbatas sehingga suhu tubuh bervariasi mengikuti suhu lingkungannya atau disebut juga sebagai penyelaras (konformer). Suhu lingkungan dapat mempengaruhi pertumbuhan dari hewan poikiloterm yaitu salah satunya serangga. Hal ini terjadi karena dalam kisaran yang tidak mematikan, pengaruh paling penting oleh suhu terhadap hewan poikiloterm dari sudut pandang ekologi adalah pengaruh suhu atas perkembangan dan pertumbuhan. Dalam hal ini langsung tampak adanya hubungan linear antara laju perkembangan jika diplotkan terhadap suhu tubuh. Tampak pula bahwa penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut pada suhu terendah dapat diabaikan, dan lagi makhluk yang bersangkutan secara tipikal menghabiskan waktu dibawah suhu tinggi non linear.seringkali secara sederhana dianggap bahwa laju perkembangan bertambah secara linear pada suhu di atas ambang perkembangan. Hewan ektoterm atau poikiloterm tidak dapat dikatakan memerlukan waktu yang lamanya tertentu. Yang mereka perlukan adalah gabungan waktu dengan suhu. Gabungan ini sering disebut sebagai waktu-fisiologik. Pentingnya konsep waktu-suhu terletak di dalam kemampuan konsep itu untuk memberikan pengertian tentang waktu terjadinya sesuatu, dan tentang dinamika populasi hewan ektoterm atau hewan poikiloterm Soetjipta (1993).c.Aplikasi konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm dalam pengendalian hama pertanianUntuk aplikasi konsep waktu-suhu lebih pada pengendalian hama secara mekanis dan fisik. Kehadiran dari hama di lahan pertanian disebabkan adanya ketersedian kebutuhan dari hama tersebut seperti makanan maupun tempat untuk berkembang biak. Selain itu faktor abiotik dari lingkungan pertanian seperti kelembaban dan suhu juga ikut mempengaruhi hadirnya suatu hama di areal pertanian tersebut. Seperti yang telah dietahui bahwa setiap hama yang termasuk dalam hewan poikilotermi memiliki laju perkembangan yang sejalan dengan suhu lingkungan, apabila suhu lingkungan sesuai dengan sehu tubuhnya untuk berkembangbiak maka hama dari hewan poikilotermi akan terus melakukan perkembangbiakan. Contoh aplikasi konsep waktu-suhu dalam pengendalian hama pada serangga (Myzus persicae Sulz) salah satu hewan poikiloterm. Diketahui serangga memiliki suhu untuk hidup 16C, salah satu jenis serangga yaituMyzus persicae Sulzakan diperlakukan dengan teknik pengendalian hama secara mekanis dan fisik dimana akan dirubah lingkungannya dengan suhu diatas ambang atau normal dari hewan tersebut. Pertumbuhan populasiMyzus persicae Sulzdalam waktu 15 hari tampak meningkat dengan cepat pada keadaan kisaran suhu 15,40C 33,70C dengan rata-rata 28,40C, pertumbuhan populasi menjadi tertekan lebih rendah. Selanjutnya jika berada pada batas atas luar ambang yaitu pada kisaran suhu tinggi 14,30C-41,70C dengan rata-rata.300C pertumbuhan populasi menjadi sangat tertekan. (Suniarhti, 2005).Pada pembahasan tentang aplikasi konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm dalam pengendalian hama pertanian sudah tepat dengan cara pengendalian secara mekanis dan fisik. Karena pengendalian secara mekanis dan fisik ini lebih cenderung pada pengaturan suhu dan waktu pada hewan poikiloterm yang sebagian besar merupakan hama dalam pertanian. Dimana kita ketahui hidup hewan poikiloterm tergantung pada lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya. Dan waktu siklus hidup dari hewan poikiloterm pendek. Sehingga dengan menggunakan konsep waktu-suhu secara langsung merupakan pengendalian hama secara mekanis dan fisik.BAB IIIPENUTUP

A.KesimpulanDari sudut pandang ekologi, suhu lingkungan sangat penting terutama bagi hewan poikiloterm untuk aktivitas dan pengaruh terhadap laju perkembangannya.Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terhadapat hubungan linier. Hewan poikiloterm lama waktu perkembangan akan berbeda pada suhu lingkungan yang berbeda.Jadi setiap lama waktu perkembangan selalu disertai dengan kisaran suhu proses berlangsungnya perkembangan tersebut. Pada hewan poikiloterm, waktu merupakan fungsi dari suhu lingkungan Pengaplikasian waktu-suhu dapat dilakukan Pengendalian mekanis dan fisik. Pengendalian fisik adalah tindakan pengendalian yang dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi atau suhu rendah.Teknik pengendalian ini bertujuan mengurangi populasi hama dengan cara mengganggu fisiologi serangga atau mengubah lingkungan menjadi kurang sesuai bagi hamaDAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muhammad. 2011. (online)http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2011/04/25/alternatif-teknologi-pengendalian-ulat-grayak-pada-kedelai-dengan-berbagai-jenis-insektisida-biorasional/. Diakses tanggal 5 Februari 2012.Dharmawan, Agus, dkk. 2005.Ekologi Hewan. Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press).Suniarhti, Nenet, dkk. 2005. (online)http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/bahan_ajar_ilmu_hama_tumbuhan.pdf. diakses tanggal 3 Februari 2012.Untung, Kasumbogo. 2006.Pengantar Pengelolahan Hama Terpadu Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Madah University Press.Soetjipta. 1993.Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.Yodha, Adtya Mahatva. 2010. Konsep Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). (Online) (http://aditmahatva.wordpress.com/xmlrpc.php), diakses tanggal 10 Februari 2012).1.

Hewan poikiloterm merupakan hewan yang memiliki suhu tubuh selalu berubah seiring berubahnya suhu di suatu lingkungan. Hewan ini panas tubuhnya sangat bergantung pada sumber panas lingkungannya. Pada hewan poikiloterm waktu merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu suhu sangat penting. Konsep waktu-suhu disini merupakan dinamika dimana perubahan kondisi suhu lingkungan mempengaruhi aktivitas dari hewan dan perubahan suhu mempercepat atau memperlambat waktu yang dibutuhkan hewan untuk beraktivitas.

Melihat permasalahan yang terjadi di Probolinggo, dapat diketahui bahwa konsep waktu suhu berperan di dalamnya.

Apabila suhu yang sesuai dengan lingkunganya, maka ulat tersebut cocok dan berkembang biak dengan sempurna. Menurut Pracaya (2008), suhu optimum ulat bulu berkisar 25 - 45C, dengan membutuhkan waktu 26 sampai 60 hari. Dan cpada saat itu cuaca di Probolinggo dalam keadaan hujan terus menerus. Hal ini dapat memicu perkembangan ulat bulu karena pada saat suhu dibawah optimum, maka akan mempercepat ulat bulu untuk berkembang. Karena suhu yang ada masih sesuai atau bahkan sesuai sekali dengan yang dibutuhkan si ulat bulu.

Dengan demikian pengendalian konsep waktu suhu sangat penting. Dengan demikian untuk mengaplikasikan waktu suhu dapat digunakan dengan cara pengendalian fisik dan mekanis. Terutama pada fisik, yakni mengendalikan dengan menggunakan suhu tinggi dan rendah. Dengan pengendalian ini setidaknya akan mengganggu fisiologis ulat dengan mengubah lingkungan menjadi kurang sesuai bagi ulat tersebut.http://arykusumadewi.blogspot.com/2013_04_01_archive.html

Fenomena Ledakan Populasi Ulat Bulu di Indonesia :Pendekatan Sistem EkologiRudi HartonoTahun 2011 menjadi sejarah terjadinya ledakan populasi ulat bulu di Indonesia, dimulai dari wilayah Jawa timur [Probolinggo], Yogyakarta Wonorejo, Magelang, Bali hingga pusat ibukota Jakarta dan kota-kota lainnya. Mengapa hal tersebut terjadi? Dan alasan-alasan logis apa saja yang mendukung hal tersebut terjadi? Penulis akan mencoba mengupasnya dalam paper ini melalui pendekatan sistem ekologi.Keseimbangan PopulasiPopulasi serangga di alam dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti kompetensi intraspesifik, kanibalisme, dan territorial serta dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik yang berkaitan dengan organisme lain dan faktor abiotik. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap populasi serangga dapat bersifat saling ketergantungan [density-dependen] atau tidak saling ketergantungan [density-independen]. Perubahan populasi serangga diakibatkan oleh natalitas, mortalitas dan migrasi serangga itu sendiri [Schowalter, 1996].Untung [2006] mengatakan bahwa populasi serangga hama di alam terus mengalami populasi yang naik turun dari waktu ke waktu dan menggolongkan pertumbuhan populasi menjadi 5 tingkat. Tingkat I merupakan periode peningkatan populasi yang tumbuh secara sigmoid terdiri atas 3 tahap yaitu pembentukan populasi, pertumbuhan cepat secara eksponensial dan pertumbuhan menuju ke keseimbangan. Tingkat II merupakan pencapaian aras keseimbangan populasi dimana populasi hama telah mencapai stabilitas numerik. Tingkat III merupakan tahap oskilasi [penyimpangan populasi sekitar aras keseimbangan secara simetris] dan fluktuasi populasi [penyimpangan populasinya tidak simetris]. Tingkat IV merupakan peride penurunan populasi atau pertumbuhan negative akibat mekanisme umban balik oleh sebab tertentu tidak berfungsi. Tingkat V merupakan periode akhir populasi yang terjadi apabila periode IV terus berlanjut.Tingkat III merupakan kondisi dimana fungsi kontrol secara alami baik lingkungan fisik maupun non fisik sangat berperan. Fluktuasi yang terjadi dapat menyebabkan peledakan hama apabila musuh alami baik parasitoid, predator, ataupun patogen sebagai faktor pembatas tidak lagi berperan. Sudah kita sepakati bahwa setiap organisme yang hidup memiliki kemampuan untuk berkembang akan tetapi memiliki faktor-faktor pembatas dalam perkembangannya. Rantai makanan merupakan salah satu regulasi alam yang menyebabkan keseimbangan populasi serangga dalam suatu ekosistem terjadi. Serangga herbivor menempati urutan kedua dalam rantai makanan yang panjang, tatkala salah satu unsur dari rantai makanan terputus, maka salah satu organisme akan mengalami ketidakseimbangan lagi dan mengalami perkembangan populasi yang tinggi [peledakan].Hubungan yang terjadi antara faktor biotic dan abiotik pada suatu populasi serangga terjadi di seluruh fase kehidupan serangga. Hal ini yang akan memberikan pemahaman pada kita bahwa salah satu fase hidup suatu serangga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mempertahankan eksistensinya sehingga pada salah satu fase hidup saja terpengaruhi akan menyebabkan ketidak seimbangan populasinya. Misalnya ledakan populasi larva ulat bulu yang tengah trend saat ini, ada beberapa alasan mengapa hal tersebut terjadi. Akan tetapi perubahan ekosistem baik secara mikro maupun makro menjadi titik tolak secara ekologi yang akan kita bahas.PerubahanEkosistem SeranggaAkibatPerubahan Iklim, Sistem Pertanian dan Bencana AlamIsu perubahan iklim [global warming] akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca oleh aktifitas manusia seperti kegiatan industri, transportasi bahkan sektor pertanian dengan pemanfaatan hutan untuk sektor pertanian yang mengurangi reduksi gas karbon di udara menyebabkan perubahan suhu dan berdampak secara luas terhadap iklim diseluruh dunia.Kenaikan suhu dalam 10 tahun di enam belas kota/lokasi wilayah Indonesia yang dianalisis ternyata 6 kota mengalami kenaikan mencapai di atas 1 derajat celsius seperti di Pulau Bawean, Jawa Timur (1,150C); Waingapu, Nusa Tenggara Timur (1,110C); Kupang, NTT (1,350C); Jayapura (1,220C), Wamena (1,380C), dan Merauke (1,150C)ketiganya di Provinsi Papua [Rizaldi Boer, 2011].Selain merubah ekosistem serangga di alam, diyakini perubahan suhu secara global akan berdampak negatif pada banyak hal. Sejumlah penyakit akan mewabah dalam skala luas, cuaca semakin sulit diprediksi, intensitas badai dan puting beliung akan meningkat, terjadinya penggurunan, terjadi kenaikan permukaan laut, hingga munculnya ancaman ketahanan pangan akibat pola tanam yang berubah-ubah [Soetamto, 2011].Prof. Ir. H.M. Sarjan , M.Agr.CP., Ph.D. mengatakan bahwa dampak perubahan iklim global seperti terjadinya hujan terus menerus selama dua tahun terakhir ini akan menyebabkan meningkatnya kelembaban lingkungan. Apalagi setelah hujan terus menerus diselingi oleh kondisi panas beberapa hari, hal ini akan sangat disukai oleh berbagai serangga hama termasuk beberapa hama ordo Lepidoptera.Sektor pertanian yang menjadi salah satu ekosistem mikro serangga pun mengalami perubahanakibat perubahan iklim. Kondisi iklim yang berubah menyebabkan musim tanam mengalami pergeseran. Ada yang bergeser maju, tetapi ada pula yang justru mundur. Hal ini disesuaikan dengan ketersediaan air pada saat musim hujan (5 bulan) sebanyak 80 persen dari kebutuhan nasional, sedangkan pada saat kemarau (7 bulan) hanya 20 persen dari kebutuhan. Kegiatan pertanian sebagai penyedia ekosistem bagi serangga hama memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan hama. Tidak hanya terjadi pergeseran waktu tanam, iklim yang berubah juga merubah pola dan komoditas tanaman sehingga ekosistem serangga pun berubah. Antisipasi protektif terhadap tanaman budidaya yang dilakukan petani seiring dengan banyak munculnya hama dan penyakit dengan aplikasi pestisida juga mempengaruhi kondisi ekosistem serangga.Sistem pertanian yang dilaksanakan juga memberi peran dalam perubahan ekosistem serangga. Misalnya saja kegiatan pembukaan lahan baru yang menyebabkan ekosistem serangga berubah pada suatu areal tertentu sehingga membuat serangga bermigrasi dan bahkan justru memicu pertumbuhan hama yang meningkat seperti terjadi pada kasus Kumbang kentang Colorado (Leptinotarsa deceilineata Say.) yang sebelumnya serangga tersebut hidup diberbagai tanaman famili Solanaceae liar di hutan- hutan, populasi masih rendah. Begitu hutan dibuka dan diubah menjadi kebun kentang maka populasinya meningkat dengan cepat dan menjadi hama kentang yang sangat merugikan. Selain itu pola tanam juga merubah ekosistem hama, Pergantian dari pola tanam monokultur menjadi tumpang sari atau pergiliran tanaman dari tanaman pangan menjadi sayuran akan memutuskan siklus hidup hama yang berada diekosistem tersebut terutama untuk hama oligopag atau monofag dibandingkan dengan penanaman secara monokultur dan dilakukan secara terus menerus.Beberapa bencana seperti kebakaran hutan, banjir, angin topan secara logis menyebabkan perubahan ekosistem serangga akan tetapi lebih kepada penyebab penurunan/pemusnahan jenis serangga secara keseluruhan sehingga terbentuk ekosistem yang baru dimana tidak adanya serangga untuk beberapa waktu sebelum serangga dari tempat lain kembali masuk ke ekosistem tersebut. Jika serangga mempunyai kemampuan untuk menghindar dari bencana maka serangga akan masuk ke ekosistem baru dengan melakukan migrasi ekosistem tersebut.Ekosistem yang Berubah dan Pengaruhnya Terhadap Populasi HamaAda beberapa faktor yang berkaitan erat antara perubahan ekosistem terhadap populasi hama. Karena ekosistem merupakan tempat serangga makan, meletakan telur, tumbuh dan berkembang biak, perubahannya akan berdampak dua sisi yakni peningkatan populasi atau penurunan populasi.Sebagian besar aspek bencana alam lebih cenderung terhadap penurunan populasi akan tetapi faktor iklim dan sistem pertanian lebih cenderung mendukung untuk perkembangan hama menjadi semakin meningkat.Untung [2006] mengatakan bahwa faktor ekosistem merupakan pengendali populasi yang bergantung pada kemampuan hayati atau potensi biotic dan hambatan lingkungan. Sutton dan Hormon [1973] mengemukakan konsep mekanisme umpan balik negatif sebagai kemampuan serangga untuk mempertahankan kedudukan keseimbangannya di alam. Pada kondisi hambatan lingkungan yang berkurang potensi biotic serangga untuk meningkatkan reproduksi dan survival individu tinggi sehingga populasi akan lebih. Sebaliknya pada kondisi hambatan lingkungan yang meningkat potensi biotic serangga untuk meningkatkan reproduksi dan survival individu rendah sehingga populasi menjadi rendah. Kondisi tengah dari proses umpan balik negatif ini merupakan kedudukan keseimbangan populasi.Susniahti, dkk [2005] mengatakan bahwa Pada ekosistem alami makanan serangga terbatas dan musuh alami berperan aktif selain hambatan lingkungan, sehingga populasi serangga rendah. Sebaliknya pada ekosistem pertanian, terutama yang monokultur makanan serangga relatif tidak terbatas sehingga populasi bertambah dengan cepat tanpa dapat diimbangi oleh musuh alaminya. Tanaman monokultur padi pada areal yang sangat luas akan mengubah populasi herbagai hama pasti bertambah dengan cepat.Jika berdasarkan pada pemanfaatan ekosistem oleh serangga, maka ada beberapa hal yang diduga menyebabkan peledakan populasi hama akibat perubahan ekosistem.1.Faktor ketersediaan makanan dan kualitas makananUntung [2006] mengatakan bahwa pada pertanamansatu komoditasyang terus menerus tidak memutuskan siklus hidup hama. Karena makanan yang banyak tersedia, maka populasi hama akan meningkat.Pada kondisi tanaman yang bukan semusim tentunya ketersediaan makanan bagi hamanya dapat sepanjang waktu apalagi jika hama tersebut hanya memakan daunnya saja. Berbeda dengan hama yang memakan buah, tentu hama tersebut akan bersifat musiman saat periode tanaman tengah mulai membentuk buah. Selanjutnya keragaman tanaman dalam satu hamparan mempengaruhi populasi hama tertentu pada suatu lokasi. Tanaman yang seragam akan menyebabkan salah satu hama menjadi dominan dengan tingkat kerusakan yang tinggi berbeda dengan komposisi tanaman yang beragam maka akan menyebabkan populasi serangga di ekosistem tersebut akan beragam dengan jumlah yang sedikit. Peledakan populasi biasanya terjadi pada pertanaman yang dibudidayakan secara monokultur.Serangga penghisap madu/nectar tanaman rupanya memberikan respon positif dari jenis makanan yang dimakannya terhadap kemampuan bertelur/fecunditas serangga. Tidak hanya serangga parasitoid, serangga lain pun yang memakan tanaman berprotein tinggi rupaya berpengaruh terhadap lama pendeknya perkembangan hama, tinggi rendahnya berat/bobot larva dan pupa serta tinggi rendahnya jumlah telur yang dihasilkan bahkan prosentase telur menetas dan sex rationya. Penelitian-penelitian terbaru justru menunjukkan pada sumber makanan yang banyak mengandung protein mampu meningkatkan sistem ketahanan hama terhadap residu pestisida. Pada kandungan protein yang tinggi biasanya hama akan tumbuh dengan cepat dengan fecunditas yang tinggi, telur yang menetas pun tinggi dan ratio kelamin betina yang tinggi juga.Data di lapangan menunjukkan bahwa ulat bulu yang menyerang tanaman menurut pengamatan Supata [2011] di lapangan, ulat bulu ini lebih memilih menyerang daun mangga manalagi dibanding varietas pohon mangga lain. Supata menilai bahwa pemilihan inang oleh ulat bulu ini dilakukan oleh ulat bulu dewasa [ngengat] saat meletakkan telur pada celah kulit pohon mangga atau di bawah daun.Hal ini sangat berkaitan erat dengan nutrisi dan morfologis dari tanaman mangga simanalagi yang sesuai untuk perkembangan ulat bulu sehingga dipilih menjadi inangnya.Beberapa ahli mengatakan bahwa serangga memiliki daya adaptasi yang luas terhadap kondisi makanan. Pada kondisi tertentu dimana inang utamanya tidak ada maka serangga tersebut mampu memakan inang lain [inang alternatif]. Karena berkaitan dengan nutrisi yang diperlukan, maka semakin sedikit nutrisi yang ditemukan pada tanaman maka serangga tersebut akan memakannya lebih banyak dibandingkan dengan pada saat serangga tersebut makan diinang aslinya yang cocok sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih parah meskipun populasi hamanya tidak begitu banyak. Dari sisi teknik budidaya tanpa kegiatan penyiangan terhadap gulma yang menjadi inang alternatif suatu hama maka tujuan rotasi tanaman untuk memutus siklus hama juga tidak tercapai karena hama mampu hidup sementara di inang alternatif. Kondisi pemupukan yang banyak mengandung unsur N, menarik hama untuk memakannya dan memberi dampak positif bagi perkembangan hama misalnya hama menjadi sehat, besar, dan juga berdampak pada semakin cepat siklus hidupnya dari larva untuk menjadi imago.Aspek makanan baik ketersediaan maupun kualitasnya menjadi penting perananannya dalam peledakan populasi suatu hama didasari oleh ide bahwa hama merupakan mahluk hidup yang phitofag yakni pemakan tanaman. Dengan ketersediaan makanan yang melimpah sepanjang tahun dan kualitas makanan yang sesuai maka hama akan berkembang dengan baik dan memiliki keturunan yang baik juga [tingkat survival] tinggi. Semakin tinggi survival hama maka semakin banyak keturunan yang dihasilkan dan dengan semakin banyak keturunan yang dihasilkan maka semakin banyak populasi suatu hama. Untuk kasus fenomena ulat bulu ini, kita ketahui potensi menghasilkan telur adalah 30-700 butir per serangga betina. Kondisi makanan yang mendukung bagi serangga betina ini akan menyebabkan telur yang dihasilkannya akan lebih banyak dengan prosentase telur yang menetas pun akan lebih banyak dan juga jumlah ratio kelamin betina yang muncul akan lebih banyak juga. Hal inilah yang menjadi dasar terjadinya peledakan suatu hama jika dilihat dari sudut pandang pengaruh faktor makanan.2.Faktor kondisi fisikKondisi fisik seperti suhu, kelembaban, cahaya, dan curah hujan memiliki peranan yang penting juga disamping faktor makanan. Sudah banyak penelitian yang menunjukan bahwa kondisi fisik ini mempengaruhi perkembangan hidup suatu hama pada masing-masing stadia perkembangan hama. Jika kita lihat satu faktor saja misalnya suhu, pengaruhnya terhadap serangga sangatlah banyak. Hasil beberapa penelitian yang dikutip dari beberapa sumber menunjukkan minimal ada 13 pengaruh suhu terhadap perkembangan serangga yakni sebagai berikut :1.Kecepatan perkembangan serangga; contohHemiptarsenus zilahisebessiyang mampu berkembang dengan cepat sesuai dengan peningkatan suhu. Pada suhu 35oC yang merupakan suhu optimumseranggaini mampu berkembang hanya dalam waktu 6.1 hari [jantan] dan 6.4 hari [betina], pada suhu > 35oC kecepatan berkembang menurun lagi dan selanjutnya tidak mampu berkembang pada suhu 40oC.2.Siklus hidup serangga; contohEretmocerus mundusMercet dari telur hingga menjadi serangga dewasa membutuhkan waktu 44 hari pada suhu 14oC dan 16 hari pada suhu 25oC.3.Lama hidup serangga dewasa; pada contohEretmocerus mundusMercet Serangga betina hidup selama 11.3 hari pada suhu 14oC dan 9.1 hari pada suhu 25oC sedangkan serangga jantan hidup selama 5.7 hari pada suhu 14oC dan 4.5 hari pada suhu 25oC. Contoh lainOoencyrtus nezaraeyang hidup semakin pendek sejalan dengan meningkatnya suhu (suhu 15oC 175.67hari, suhu 20oC 76.53 hari, suhu 25oC 40.42 hari dan suhu 30oC 29.16 hari). Contoh selanjutnya padaD. abbreviatesimago serangga ini mampu bertahan hidup lebih dari 30 hari pada suhu 6, 9, dan 12oC sementara pada suhu 0 dan 3oC hanya mampu bertahan hidup selama 10.7 dan 26.5 hari.4.Periode pre oviposition serangga betina; pada contohEretmocerus mundusMercet, periode pre oviposition serangga betina pada suhu 14oC selama 2.8 hari dan pada suhu 25oC selama 1.6 hari.5.Kemampuan bertelur rata-rata serangga betina; pada contohEretmocerus mundusMercet kemampuan bertelur pada suhu 14oC 20 telur/serangga betina dan pada suhu 25oC 27.4 telur/serangga betina. Contoh lain pada serangga dewasaD. abbreviatesjumlah telur yang dihasilkan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu antara 15-27oC dengan persamaan linear y=7.4x-109.5.6.Sex ratio serangga; pada contohEretmocerus mundusMercet Jenis kelamin serangga betina dari telur yang dipelihara pada suhu 14oC sebesar 41.7% dan pada suhu 25oC sebesar 60.6%7.Kematangan telur; contoh kasusOoencyrtus nezaraejumlah telur matang terbesar pada suhu 20oC dalam waktu 10 hari dan telur tidak matang pada suhu 35oC8.Waktu peletakan telur; contoh pada serangga dewasaD. abbreviatuspada suhu 12oC tidak mampu meletakan telur.9.Kebernasan telur yang dihasilkan; pada contoh serangga dewasa parasitoidD. abbreviatessetelah dipelihara pada suhu 12oC selama 2 minggu saat dikembalikan pada suhu 30oC yang merupakan kondisi optimum untuk bertelur telur yang dihasilkannya tidak bernas.10.Tingkat mortalitas telur; contoh padaD. abbreviatestingkat mortalitas telur 95% terjadi pada suhu 0-12oC selama