Konsep Pengembangan Wilayah Pantai Jawa Timur

76
SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN WILAYAH PESISIR & LAUTAN JAWA TIMUR Oleh: Dr Ir Sahri Muhammad, M.S. Prof Dr.Ir. Soemarno, M.S. INTISARI Hingga sekarang pembangunan di Jawa Timur telah banyak menjangkau daerah pesisir. Peningkatan penduduk, kebutuhan ekspor dan konsumsi hasil laut menyebabkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut meningkat cepat. Produksi ikan laut Jawa Timur pada tahun 1999 adalah 288.816 ton yang berarti telah melampaui potensi sebesar 287.987 ton hasil maksimum yang boleh ditangkap (MSY). Keadaan tersebut mengisyaratkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan laut telah memasuki tahapan yang kritis. Selama ini sebagian besar masyarakat pesisir belum memperoleh manfaat yang besar dari pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu, pembangunan desa-desa di kawasan pesisir Jawa Timur perlu semakin lebih memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan setempat. Di pihak lain, status sumberdaya di wilayah pesisir Jawa Timur juga menunjukkan kondisi lingkungan dengan tingkat pencemaran yang makin meningkat, sumberdaya habitat hutan mangrove dan terumbu karang yang menunjukkan tingkat kerusakan yang makin serius. Propinsi Jawa Timur memiliki tidak kurang dari 79 pulau-pulau kecil yang terpusat di wilayah Madura Kepulauan. Jumlah tersebut merupakan 0,44% jumlah pulau di Indonesia yang mencapai 17.000 buah. Secara ekologi, pulau-pulau kecil sangat rentan, sebagian belum didiami penduduk, dan memiliki keanekaragaman hayati yang perlu dilindungi. Wilayah perairan laut Jawa Timur dapat dibagi menjadi lima tipikal wilayah sumberdaya, yaitu (a) Wilayah Utara yang merupakan perairan Laut Jawa, dengan tipikal sumberdaya ikan 1

description

PEMBERDAYAAN PESISIR

Transcript of Konsep Pengembangan Wilayah Pantai Jawa Timur

SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

PAGE 2

SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

WILAYAH PESISIR & LAUTAN JAWA TIMUR

Oleh:Dr Ir Sahri Muhammad, M.S.

Prof Dr.Ir. Soemarno, M.S.

Intisari

Hingga sekarang pembangunan di Jawa Timur telah banyak menjangkau daerah pesisir. Peningkatan penduduk, kebutuhan ekspor dan konsumsi hasil laut menyebabkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut meningkat cepat. Produksi ikan laut Jawa Timur pada tahun 1999 adalah 288.816 ton yang berarti telah melampaui potensi sebesar 287.987 ton hasil maksimum yang boleh ditangkap (MSY). Keadaan tersebut mengisyaratkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan laut telah memasuki tahapan yang kritis.

Selama ini sebagian besar masyarakat pesisir belum memperoleh manfaat yang besar dari pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu, pembangunan desa-desa di kawasan pesisir Jawa Timur perlu semakin lebih memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan setempat. Di pihak lain, status sumberdaya di wilayah pesisir Jawa Timur juga menunjukkan kondisi lingkungan dengan tingkat pencemaran yang makin meningkat, sumberdaya habitat hutan mangrove dan terumbu karang yang menunjukkan tingkat kerusakan yang makin serius.

Propinsi Jawa Timur memiliki tidak kurang dari 79 pulau-pulau kecil yang terpusat di wilayah Madura Kepulauan. Jumlah tersebut merupakan 0,44% jumlah pulau di Indonesia yang mencapai 17.000 buah. Secara ekologi, pulau-pulau kecil sangat rentan, sebagian belum didiami penduduk, dan memiliki keanekaragaman hayati yang perlu dilindungi.

Wilayah perairan laut Jawa Timur dapat dibagi menjadi lima tipikal wilayah sumberdaya, yaitu (a) Wilayah Utara yang merupakan perairan Laut Jawa, dengan tipikal sumberdaya ikan yang didominasi ikan layang (Decapterus spp.)dan ikan kuningan (Upenius spp.); (b) Wilayah Madura Kepulauan, dengan tipikal sumberdaya ikan karang, (c) Wilayah Selat Madura dengan tipikal ikan kurisi (Nemeptherus spp.), (d) Wilayah Laut Muncar dengan tipikal mono-species ikan lemuru (Sardinella spp.) dan (e) Wilayah Selatan dengan tipikal sumberdaya ikan tongkol dan tuna (Thunnus spp.). Pengawasan laut yang relatif lemah membuat kesulitan dalam mengatasi pelanggaran dalam pengaturan penangkapan ikan.

Keadaan seperti di atas membutuhkan penanganan daerah pesisir dan laut yang lebih baik, khususnya mencakup aspek wawasan, strategi, keterpaduan, penegakan hukum, pengelolaan dan pengendalian sumberdaya serta penguatan kelembagaan, sehingga pemanfaatan sumberdaya diharapkan dapat menjadi produk unggulan dalam pembangunan secara berkelanjutan.

Adapun beberapa kegiatan prioritas untuk mengatasi masalah di atas meliputi :

A. Perencanaan dan Pengembangan Terpadu Coastal Zones.

B. Pemantauan dan Perlindungan Lingkungan Coastal Zones.

C. Pengelolaan Sumberdaya Secara Berkelanjutan.

D. Pemberdayaan dan Penguatan Kelembagaan Masyarakat.

E. Pembangunan Kepulauan Kecil Secara Berkelanjutan.

F. Keamanan dan Pemanfaatan Sumberdaya Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE).

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumberdaya laut dan pesisir di Jawa Timur telah memberikan penghasilan kepada masyarakat, khususnya mereka yang tinggal dan atau berusaha di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan cara memanfaatan dan menjual produk laut yang bernilai tinggi. Bertambahnya jumlah penduduk dan permintaan pasar hasil laut telah memacu peningkatan dan tekanan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berlebihan.

Selama 30 tahun PJP I telah banyak dilakukan penelitian untuk melakukan evaluasi potensi dan prospek pengembangan sumberdaya laut Jawa Timur. Banyak penelitian dan program pengembangan, khususnya yang memperoleh dukungan dana internasional, seperti World Bank, ADB, dan FAO. Pada periode lima tahun terakhir, 1995 2000 beberapa program penelitian untuk penataan wilayah pesisir dan kelautan yang mendapat dukungan lembaga internasional seperti CORMEP (Coral Reef Rehabilitation and Management Project) oleh Word Bank dan MREP (The Marine Resouce Evaluation and Planning Project) oleh ADB, disamping dukungan anggaran APBN dan APBD untuk pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pesisir Jawa Timur.

Sekalipun telah banyak lembaga-lembaga pemerintah dan LSM yang menangani masalah laut dan pesisir, namun masih banyak pula permasalahan yang timbul dari kegiatan praktek-praktek pembangunan yang kurang memahami arti pembangunan berkelanjutan. Beberapa permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan Jawa Timur dapat diketengahkan sebagai berikut :

1. Penambangan batu karang yang merusak, diperkirakan tinggal 15%, yang menghancurkan terumbu karang dan lingkungannya;

2. Penggunan potasium sianida (KCN) yang mengakibatkan beberapa jenis ikan karang musnah;

3. Penggunaan alat tangkap ikan yang menguras sumberdaya yang mengakibatkan pemanfaatan ikan laut secara berlebih (over fishing);

4. Konversi hutan mangrove di Jawa Timur, diperkirakan tinggal 10-15%, menjadi wilayah pertambakan tanpa memperhatikan kaidah pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan;

5. Peningkatan sedimen limbah dan bahan kimia beracun di wilayah pesisir, sebagai akibat modernisasi pertanian dan industri yang tidak ramah lingkungan.

6. Belum tersedianya suatu mekanisme dan sistem perencanaan dan pemantauan serta pendataan yang benar dan akurat, sehingga cadangan sumberdaya ikan di laut telah terkuras tanpa kendali;

7. Rendahnya penghasilan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, banyak nelayan yang masih miskin, baik karena struktur sosial yang tidak adil (kemiskinan struktural), kukltural maupun karena lingkusan pesisir yang kumuh karena belum tersedianya perencanaan dan pengembangan wilayah pesisir secara terpadu dan berkesinambungan.

1.2. Perencanaan Strategis

Atas dasar permasalahan pengelolaan tersebut diatas, maka visi, misi, dan tujuan penyelesaian permasalahan pengelolaan kawasan perairan laut dan pesisir di Jawa Timur dirumuskan sebagai berikut :

1.2.1. Visi

Wilayah laut dan pesisir beserta segenap sumberdaya dan jasa-jasa yang terkandung di dalamnya, merupakan sumber penghidupan dan sumber pembangunan yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dalam mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera, maju dan mandiri.

1.2.2. Misi

Atas dasar visi tersebut, untuk mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera, maju dan mandiri,maka misi pengelolaan terpadu sumberdaya pesisr dan laut disusun sebagai berikut :

(1) penataan & perencanaan terpadu;

(2) memperkuat kelembagaan;

(3) memperkuat pemantauan dan keterlibatan masyarakat;

(4) meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

(5) pembangunan wilayah kepulauan terpencil

(6) menjamin pengelolaan dan pengamanan wilayah dan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan;

1.2.3. Tujuan

Tujuan pengelolaan terpadu sumberdaya dan lingkungan coastal zones di Jawa Timur adalah sebagai berikut :

(1) keterpaduan dalam pembuatan perencanaan pengelolaan coastal zone;

(2) memperkuat kemampuan institusi;

(3) pengendalian sumberdaya perikanan pada tingkat MSY;

(4) pemberdayaan masyarakat;

(5) pemanfaatan pulau kecil sebatas keperluan masyarakat lokal; dan

(6) optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan wilayah ZEE Selatan Jawa Timur.

II. POTENSI COASTAL ZONE JAWA TIMUR

Coastal zone Jawa Timur mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat pedesaan pantai dan pembangunan ekonomi wilayah secara keseluruhan. Wilayah ini mengandung berbagai sumberdaya dan potensi ekonomi seperti aneka jenis ikan, obyek wisata dan potensi geografis yang mendukung jalur lalulintas angkutan laut. Selain daripada itu wilayah perairan pantai ini secara ekologis sangat kompleks dan rumit serta peka terhadap berbagai macam gangguan alam dan gangguan oleh manusia.

Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki kawasan laut hampir empat kali luas daratannya dengan garis pantai kurang lebih 2.916 km. Propinsi Iawa Timur memiliki kawasan pesisir dan lautan yang luas beserta kandungan kekayaan sumberdaya hayati laut yang melimpah, seperti ikan, rumput laut, hutan mangrove, terumbu karang, dan biota lainnya. Sumberdaya hayati laut ini merupakan sumber pangan masa depan yang wajib dikembangkan dan dilestarikan agar dapat tetap menjadi penunjang utama bagi kesejahteraan masyarakat.

Usaha peningkatan pendayagunaan sumberdaya hayati laut berperan ganda. Selain meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat nelayan, penyediaan pangan khusus protein hewani, dan juga dapat meningkatkan pendapatan negara. Berbagai permasalahan dapat muncul oleh pemanfaatan pesisir dan lautan yang mengabaikan prinsip-prinsip linkungan. Laut sering diperlakukan sebagai penampung sampah, limbah industri dan limpasan bahan kimia pertanian. Ekaploitasi wilayah pesisir dan laut kian meluas, sehingga mempunyai dampak negatif terhadap sumberdaya hayati laut.

Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai sifat yang kompleks, dinamis, dan unik karena pengaruh dari dua ekosistem, yaitu ekosistem lautan dan daratan. Di lain pihak wilayah pesisir merupakan wilayah tempat berbagai kegiatan sosial dan ekonomi, antara lain, pemukiman, industri, perhubungan, dan areal produksi pertambakan. Sebagai suatu kawasan yang penting, keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir hanya dimungkinkan dapat dicapai jika pengelolaan pesisir didasarkan pendekatan pengelolaan lingkungan secara ramah dan terpadu.

Pendekatan tersebut memerlukan pemahaman terhadap karakteristik dari struktur, fungsi, dan dinamika lingkungan wilayah pesisir. Pendekatan harus diarahkan pada pencapaian keseimbangan antara potensi dan daya dukung sumberdaya alam, dipadukan dengan kebutuhan sosial dan mengakomodasikan kegiatan kehidupan yang ada.

Pada hakekatnya pembangunan perikanan merupakan kegiatan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan nelayan melalui pengelolaan sumberdaya alam dengan faktor produksi berupa tenaga kerja manusia, teknologi dan modal. Oleh karena itu pembangunan perikanan diarahkan untuk mendapatkan hasil guna dan daya guna yang optimal secara berkelanjutan yang berarti mengandung muatan teknologi, ekonomis, ekologis dan sosiokultural. Aspek teknologi menunjang adanya efisiensi dan produktifitas, aspek eknomis menghendaki adanya niali tambah yang selalu meningkat. Sementara itu aspek ekologis mensyaratkan pembangunan sekaligus memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sedangkan aspek sosiokultural menunjang pemerataan yang menekankan pada pengembangan sumberdaya manusia (SDM) dan kelembagaannya yang mengakomodasikan sepenuhnya kebutuhan dan keterlibatan masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.

Nelayan Jawa Timur berdasarkan pada jangkauan daerah penangkapannya dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) nelayan yang bekerja di pantai; 2) lepas pantai, dan 3) laut lepas (samudera). Daerah-daerah penangkapan ini pada kenyataannnya tidak dapat dipisahkan secara tegas. Pengelompokan ini berkaitan erat dengan kedalaman perairan, yang kemudian mempengaruhi jenis ikan yang diburu pada masing-masing unit kerja, alat tangkap yang dipakai, armada penangkapan dan modal kerja yang diperlukan. Disampin itu daerah-daerah penangkapan ini, sampai saat ini masih didominasi oleh usaha nelayan skala kecil.

Wilayah pesisir dan lautan merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources), sehingga berlaku rejim open acces management artinya, siapa saja boleh memanfaatkan wilayah ini untuk berbagai kepentingan. Setiap pengguna ingin memanfaatkan secara maksimal dan sukar dilakukan pengendalian. Sifat dari kepemilikan bersama ini juga menyebabkan pengguna (users) menjadi kurang peduli terhadap status sumberdaya, dan cendrung menggunakan cara-cara yang disktruktif demi keuntungan jangka pendek. Sehingga sering kali terjadi kehancuran ekosistem sebagai akibat dari tragedi bersama (tragedy of the mommon).

Dengan karakteristik wilayah pesisir dan lautan seperti di atas, maka jelas bahwa pemanfaatan wilayah pesisir dan laut secara optimal berkesinambungan hanya dapat terwujud jika pengelolaannya dilakukan secara teradu, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainabble development principles) dan pendekatan pembangunan secara berhati-hati (precauntionary approarch). Secara spesifik permasalahan wilayah pesisir dan lautan adalah sebagai berikut:

(1)Kerusakan fisik ekosistem wilayah pesisir dan laut umumnya terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Hilangnya mangrove dan rusaknya sebagian terumbu karang telah mengakibatkan terjadinya erosi pantai. Erosi ini diperburuk lagi oleh perencanaan dan pengembangan wilayah yang tidak tepat;

(2)Over-eksploitasi sumberdaya hayati laut. Banyaknya sumberdaya alam wilayah opesisir dan lautan telah mengalami over-eksploitasi. Beberapa stok sumberdaya ikan telah mengalami kondisi tangkap lebih (over fishing). Kondisi over fishing ini bukan hanya disebabkan oleh tingkat penangkapan yang melampaui potensi sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena kualitas lingkungan laut sebagai habitat ikan mengalami penurunan atau kerusakan oleh pencemaran dan degradasi fisik hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang yang merupakan tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan (nursery ground) sebagian besar biota laut;

(3)Pencemaran. Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut pada saat ini telah berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut biasanya berasal dari kegiatan di darat (land based pollotion sources), yaitu: kegiatan industri, kegiatan rumah tangga dan kegiatan pertanian. Bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah tdari ketiga sumber tersebut berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen, dan sampah;

(4)Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM). Sejumlah faktor yang menjadi pembatas dari aspek sumberdaya manusia adalah kurangnya pendekatan terpadu dan interdisipliner dalam pendidikan dan latihan. Tidak adanya program yang khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Pengembangan tenaga ahli dan tenaga teknis, pengembangan masyarakat pesisir sebagi subyek dan obyek dari pembangunan sangat lemah. Sementara itu banyak maslaha yang khas dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut yang belam dapat dipecahkan karena keterbatasan sumberdaya masian. Hal ini disebabkan secara tradisional pendidikan, pelatihan dan kursus-kursus diarahkan untuk pembangunan yang berbasis di darat;

(5)Kemiskinan masyarakat pesisir. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat pesisir masih diliit kemiskinan. Berbagai fomena keruskan lingkungan pesisir dan laut bukan hanya disebabkan oleh industrialisasi, tetapi juga seringkali diakibatkan oleh penduduk miskin yang karena terpaksa (ketiadaan alternatif mata pencaharian) haurs mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan laut yang secara ekologis rentan (seperti terumbu karang, daerah asuhan dan pemijahan ikan) atau dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan racun untuk menangkap ikan;

(6)Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku pembanugan (stake holder) kawasan pesisir. Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku pembangunan dan sekaligus pengelola di kawasan pesisir, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Kurangnya koordinasi antar pelaku pengelola terlihat dalam berbagai kegiatan pembangunan pembangunan di kawasan pesisir masih dilakukan secara sektoral oleh masing-masing pihak;

(7)Koflik penggunaan ruang. Konflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan laut sering terjadi karena belum adanya tata ruang untuk kawasan ini yang dapat dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan. Beberapa kegiatan yang berpotensi menimbulkan koflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan laut adalah pertanian dan kegiatan di daerah hulu lainnya, aquakultur, perikanan laut, pemukiman, pertambangan dan energi, perhubungan dan pariwisata. Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karean tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan;

(8)Lemahnya penegakan hukum. Hukum pengelolaan wilayah pesisir dan laut meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan adanya undang-undang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan seharusnya maslaha perbaikan lingkungan pesisir menjadi fokus utama dalam pengelolaan suatu kawasan atau wilayah pesisir. Tetapi pada kenyataannya kerusakan wilayah pesisir dan degradasi habitat selalu terjadi dan terus berlangsung. Hal ini karena lemahnya penegakan hukum (law enforcement);

2.1. Potensi Pengembangan

2.1.1. Nilai Sosial-ekonomi

Kehutanan. Hutan mangrove tersebar di berbagai titik lokasi pantai. Nilai ekonomi dan nilai ekologi dari hutan mangrove ini telah banyak dirasakan oleh masyarakat sekitarnya dan secara tidak langsung juga oleh perekonomian wilayah. Dalam rangka untuk melestarikan hutan mangrove ini harus dilaksanakan berbagai program khusus seperti penghijauan kawasan hutan mangrove yang telah rusak.

Perikanan tangkap dan aqua-kultur. Hasil tangkapan ikan di perairan pantai ini berfluktuasi dari tahun ke tahun. Sedangkan produksi perikanan tambak, termasuk udang, menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Obyek wisata. Beberapa obyek wisata pantai mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Sebagian potensi wisata pantai dan wisata bahari masih belum dikembangkan.

Pemukiman nelayan. Perkampungan di kawasan pantai dihuni oleh para nelayan penangkap ikan, petani tambak, dan pendatang.

Industri. Sejumlah aktivitas industri kecil dan rumahtangga berlokasi di kawasan pantai. Nilai keunggulan lokasi pantai ini adalah kemudahan akses terhadap angkutan laut dan ketersediaan bahan baku ikan dalam jumlah besar.

2.1.2. Nilai Ekosistem Pantai

Ekosistem pantai (Tambak ikan dan udang, Pesisir, estuartia, terumbu karang, mangrove, hamparan pasir pantai, dan lainnya) menyediakan habitat bagi organisme yang berhubungan dengan laut, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan, tempat bersarang dan bereproduksi, atau keperluan lainnya. Hutan mangrove dan estuaria mempunyai signifikansi ekologis yang spesifik sebagai spawning grounds, nursing, dan feeding grounds bagi berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Terumbu karang mengkonsentrasikan hara untuk mendukung ekosistem produktif dan produksi ikan yang tinggi di perairan sekitarnya. Dune, hutan mangrove dan terumbu karang juga menjadi penyangga alamiah terhadap gelombang laut, erosi dan badai. Kondisi ekologis zone pantai juga sangat penting bagi kegiatan wisata. Sektor ekonomi ini sangat tergantung pada lingkungan alami yang tidak terganggu.

2.1.3. Beberapa problem dan issue pembangunan kawasan pantai

Problem utama dalam pembangunan wilayah pantai adalah kerusakan sumberdaya pantai oleh destruksi, over-eksploitasi, dan penggunaan yang tidak ekonomis; serta problematik yang berhubungan dengan aktivitas pembangunan di sepanjang kawasan pantai yang mengakibatkan berbagai dampak buruk terhadap sumberdaya pantai. Sumberdaya pantai, seperti hutan mangrove, pesisir, terumbu karang, dan perairan pantai, mengalami kemerosotan kualitas atau degradasi dan memerlukan penanganan yang serius. Sebagian hutan mangrove dikonversi dan sebagian lainnya mengalami degradasi akibat over-eksploitasi. Statistik menunjukkan bahwa luas hutan mangrove ini menunjukkan kecenderungan yang menurun dari tahun ke tahun. Kawasan hutan mangrove ini dibuka untuk pemukiman, lokasi industri, budidaya tambak, dan lainnya. Aktivitas-aktivitas ini secara tidak langsung juga berdampak pada penurunan produksi perikanan tangkap dan budidaya. Selain itu, meningkatnya kebutuhan kayu bakar juga mendorong over-eksploitasi hutan mangrove, aktivitas penanaman kembali sangat terbatas. Dalam situasi seperti ini habitata dasar dan fungsi ekologisnya akan hilang dan kehilangan ini seringkali nilainya lebih besar dibandingkan dengan nilai yang dihasilkan oleh aktivitas substitutenya.

Terumbu karang di beberapa lokasi menunjukkan gangguan akibat siltasi dan sedimentasi atau penurunan kualitas air laut akibat aktivitas aktivitas yang membuang limbah ke perairan pantai. Beberapa spesies karang yang eksotik dipanen untuk pasar akuarium. Kunjungan wisata ke ekosistem terumbu karang ini juga dapat berdampak buruk kalau melampaui batas kongestinya. Perkembangan perkampungan nelayan, indutri, wisata pantai, pelabuhan dan dermaga di sepanjang pantai secara langsung dan tidak langsung juga mempu nyai sumbangan terhadap penurunan kualitas ekosistem pantai. Pencemaran terutama dapat disebabkan oleh pembuangan limbah domestik cair dan padat dari daratan.

2.1.4. Beberapa prinsip pengelolaan

Pengelolaan dan pengembangan sumberdaya PESISIR-pantai mengandung makna mengembangkan, mengorganisir, dan mengendalikan penggunaan sumberdaya pantai untuk memenuhi kebutuhan pembangunan.

(a). Coastal Zone adalah unik dan mempunyai kebutuhan khusus untuk managemen dan perencanaan. Bentuk-bentuk pengelolaan tradisional berbasis-lahan dan berbasis-laut harus dimodifikasi menjasdi bentuk pengelolaan yang efektif bagi daerah transisi antara laut dan darat.

(b). Air merupakan gaya integrator utama dalam sistem sumberdaya pesisir-pantai. Setiap aspek dari kegiatan pengelolaan pantai berhubungan dengan air, sehingga memerlukan tatanan kelembagaan yang spesifik dan rumit.

(c). Penggunaan lahan dan air di zone pantai harus dilakukan secara terpadu.

(d). Pembangunan sumberdaya pesisir-pantai secara berkelanjutan merupakan tujuan utama dari pengelolaan pantai. Sumberdaya renewable harus dikelola untuk menyediakan benefit sosial-ekonomi yang optimum.

(e).Manfaat ganda dari sumberdaya pesisir-pantai yang renewable diperoleh dengan jalan perencanaan & manajemen yang baik.

(f). Fokus dari pengelolaan pesisir-pantai adalah pada sumberdaya common-property.

2.1.5. Wilayah Pedesaan Pantai dengan Sistem Perikanan Tangkap

Hakekat pembangunan adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu strategi pembangunan selama ini bertumpu kepada Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan stabilitas nasional. Berbagai sarana fisik penunjang perekonomian telah berhasil dibangun dan diharapkan akan mampu mendorong akselari pencapaian tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik secara menyeluruh.

Beberapa aktivitas pembangunan yang dapat berdampak buruk terhadap eko-sistem pantai adalah sbb:

Tipe Ekosistem:

Aktivitas pembangunan Ra-waDeltaEstu-ariaBa-kauPeter-nakanSea-grassTrbu karngPesi-sirPulau kecil

Pertanian/perikanan --=-

Kehutanan-----

Aqua-kultur dan Marikultur----

Penangakapan ikan-----

Pengerukan--=---

Pelabuhan--=---

Pelayaran ----

Pembangkit listrik----

Industri---=---

Pertambangan---=----

Minyak & gas bumi-------

Pemukiman--------

Pembuangan limbah-------

Pemanfaatan air--

Manajemen garis pantai------

Penggunaan sumberdaya pantai-------

Keterangan: Marago et al. (1983). - : dampak besar; = : dampak sangat besar

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dapat dipahami bahwa permasalahan yang ada di wilayah pedesaan pantai sangat rumit, melibatkan banyak faktor yang saling kait-mengkait satu sama lain. Wilayah pedesaan pantai dipandang sebagai suatu sistem yang secara struktural terdiri atas lima komponen (sub-sistem) yang saling berinteraksi secara dinamis . Perilaku interaksi dari subsistem-subsistem ini bersifat dinamis dan menghasilkan output-output tertentu. Output-output inilah yang pada hakekatnya merupakan tujuan dan sasaran dari upaya- upaya pembinaan/pengembangan wilayah pedesaan pantai. Dua macam sasaran akhir dari upaya-upaya pembinaan yang seringkali dikemukakan adalah kesejahteraan masyarakat nelayan dan kelestarian sumberdaya perairan pantai. Sistem Pedasaan Pantai, khususnya di wilayah Jawa Timur memepunyai lima macam komponen utama (subsistem), yaitu : (1). Komponen sumberdaya perairan pantai dan lingkungan hidup pedesaan pantai; (2). Komponen sumberdaya Manusia (Nelayan); (3). Komponen Sosial- budaya dan Kelembagaan pedesaan; (4). Komponen Perekonomian Pedesaan; dan (5). Komponen Sarana dan Prasarana Fisik.

Perilaku komponen-komponen tersebut di atas, baik secara sendirian maupun interaksinya dengan komponen lain, hingga batas-batas tertentu dapat dikendalikan/ dikelola oleh "manusia" untuk mendapatkan output yang diinginkan. Upaya pengelolaan ini dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu (i) dengan memanipulasi input-input pengolaan, baik yang berupa input material/teknologi, input kebijakan; (ii) dengan merekayasa kelembagaan yang mengatur interaksi antar komponen tersebut sehingga perilakunya dapat lebih baik memanfaatkan input yang ada, dan (iii) kombinasi antara (i) dan (ii).

A. Sub-sistem Perairan Pantai dan Pesisir

Dalam sistem wilayah pedesaan pantai, sumberdaya perairan pantai dan lingkungan hidup pedesaan mempunyai peranan ganda, yaitu sebagai produsen input bagi sub-sistem ekonomi, produsen jasa amenitas bagi manusia, dan sebagai tempat pembuangan limbah. Dalam ketiga hal ini potensi dan kemampuan sumberdaya alam ditentukan oleh karakteristik dan kualitas.

B. Sub-sistem Ekonomi Wilayah Pedesaan

Perkembangan suatu wilayah ditentukan oleh kemampuannya menghasilakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan domistiknya dan/atau dipasarkan keluar daerah dengan keuntungan kompetitif. Sehubungan dengan hal ini maka kegiatan ekonomi dapat dibedakan menjadi kegiatansektor bisnis yang menghasilakan produk untuk pasar domistik.

Di wilayah pedesaan pantai umumnya kegiatan ekonomi di sektor basis sangat dominan, produk-produk dari kegiatan ekonomi di sektor ini berupa komoditi primer dan sekunder dari perikanan tangkap yang dipasarkan ke luar daerah. Dengan demikian pembinaan pada sektor ini diharapkan dapat mengangkat sub-sistem perekonomian secara kesluruhan. Permasalahan yang sering di jumpai adalah rendahnya keunggulan kompetitif produk dipasaran bebas, dan rendahnya nilai tambah yang dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan pantai.

Tiga ciri penting dari kegiatan ekonomi sektor basis di pedesaan pantai adalah (i) kegiatan penangkapan memperlakukan yang mahal dan biaya operasi yang banyak, (ii) operasi penangkapan memerlukan tenaga kerja yang banyak dan koperatif, dan (iii) hasil tangkapan harus dipasarkan ke luar daerah dalam bentuk segar dan/atau olahan. Ketiga ciri ini akan menentukan perilaku sektor basis dan pada akhirnya akan berdampak pada bentuk kelembagaan non-formal yang berkembang di pedesaan pantai.

C. Sub-sistem Kelembagaan Sosial

Sebagaimana disinggung sebelumnya, diwilayah pedesaan pantai telah berkem-bang kelembagaan non-formal yang spesifik sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang ada. Suatu teladan bentuk kelembagaan non-formal ini dapat ditemukan dalam hal penangkapan dengan purse-seine atau penangkapan dengan payang. Kelembagaan armada penangkapan ini ditandapi oleh eratnya hubungan antara nelayan pendega, juragan laut, juragan darat, pengolah ikan dan pedagang ikan (dari dalam atau luar daerah). Kelembagaan operasional penagkapan ini ternyata berdampak pada kelembagaan bagi hasil yang berlaku, dan selanjutnya akan menentukan distribusi pendapatan dalam masyarakat pedesaan pantai.

Hingga batas-batas tertentu kelembagaan seperti di atas bersama dengan kelembagaan-kelembagaan lainnya akan menentukan peluang- peluang transformasi struktural di wilayah pedesaan pantai. Besarnya peluang tersebut ditentukan oleh kesiapan kelembagaan yang ada (formal dan non-formal) untuk mengakomodasikan gaya- gaya perubahan yang berasal dari dari dalam dan luar. Selanjutnya tingkat kesiapan tersebut oleh (i) efektifitas mekanisme kerja kelembagaan untuk menggalang partisipasi segenap masyarakat secara proporsional sesuai dengan kepentingannya.

D. Sub-sistem Sarana dan Prasarana Fisik

Sub-sistem ini secara langsung berkaitan dengan sub-sistem kelembagaan sosial (formal dan non-formal). Secara fungsional sub-sistem ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (i) sarana dan prasaran ekonomi, (ii) sarana dan prasarana penunjang aktivitas kehidupan manusia.

Sarana dan prasarana produksi menjadi salah satu prasyarat penting dalam menentukan perilaku sub-sistem ekonomi. Pada kenyataannya tingkat penguasaan sarana produksi ini akan menentukan posisi dalam kelembagaan bagi hasil dalam penangkapan.

E. Sub-sistem Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia di wilayah pedesaan pantai menjadi subyek/pelaku yang mengendalikan sebagian besar perilaku sistem wilayah, dan sekaligus menjadi objek/sasaran dari perilaku tersbut. Sebagai subyek, manusia lebih berperan sebagai produsen, sehingga kualitas ditentukan oleh (i) peubah-peubah skill managerial, dan (ii) peubah-peubah skill ketebaga-kerjaan. Sebagai objek manusia lebih berperan sebagai konsumen, yang kualitasnya ditentukan oleh tingkat pemenuhan kebutuhan fisik minum. Hal ini selanjutnya ditentukan oleh (i) produktivitas tenagakerja, dan (ii) perilaku komsumtifnya. Tampaknya pola perilaku monsumtif di kalangan masyarakat pedesaan pantai menjadi salah satu ciri budaya yang serius dalam rangka pola pembinaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat pedesaan pantai.

III. COASTAL ECOSYSTEM

3.1. Ekosistem Perikanan Pantai (Sistem Penangkapan)

3.1.1. Makna Ekonomis dan Ekologis Wilayah Pantai/Pesisir

Panjang pantai di Jawa Timur sekitar 1600 km, dimana 850 km ditumbuhi mangrove, 450 km berupa hutan belukar, dan sekitar 300 km berupa tempat pemukiman nelayan. Pantai utara hingga ke timur keadaannya melandai, sedangkan pantai selatan umumnya terjal. Kedalaman laut Jawa antara 20-90 m dengan dasar perairan umumnya lumpur berpasir. Samudera Indonesia mempunyai kedalaman lebih 1000 m pada jarak 50 meter dari pantai, dasar lautnya berbatu dan berkarang dan pantainya banyak mempunyai teluk.

Perairan selat Madura bagian barat kedalamannya 20-90 meter, dan sebelah timur mencapai kedalaman 140 meter dan dasar lautnya berlumpur. Perairan selat Bali mempunyai kedalaman 20-545 m dan dasarnya terdiri lumpur, pasir dan karang-karang.

A. Perkembangan Produksi.

Salah satu tujuan pokok pembangunan perikanan adalah meningkatkan produksi perikanan dan produktifitas usaha perikanan dan meningkatkan kebutuhan bahan pangan yang lebih merata dalam rangka perbaikan gizi dan menciptakan lingkungan yang sehat. Pembangunan perikanan pada hakekatnya adalah memanfaatkan sumberdaya yang ada tanpa merusak sumberdaya perikanan itu sendiri. Oleh karena itu inventarisasi dan identifikasi jenis dan potensi sumberdaya alam sangat diperlukan. Dengan memperhatikan data produksi perikanan tahun 1990 maka tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang sudah dikelola secara keseluruhan baru mencapai sekitar 40%.

Sumberdaya perairan laut ternyata masih belum sepenuhya dimanfaatkan ; karenanya pengelolaan perairan laut diutamakan pada daerah-daerah pantai selatan terutama peningkatan pemanfaatan ZEE dan perairan kepulauan Madura. Pada cabang usaha penangkapan , diversiifikasi komoditas diarahkan untuk menghasilkan jenis-jenis ikan yang disukai pasar manca negara antara lain jenis ikan tuna, cakalang maupun udang barang (Lobster), yang dihasilkan dikawasan laut selatan Jawa Timur. Seiring dengan pengembangan kegiatan penangkapan ikan tuna dan cakalang, maka kebutuhan ikan bandeng umpan menjadi semakin meningkat.

B. Penangkapan Ikan di laut

Penangkapan ikan di laut diarahkan pada pemilihan daerah penangkapan baru yang masih potensial yaitu Selat Madura, serta rintisan pemindahan nelayan dari daerah padat tangkap ke daerah yang potensial semisal dengan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas armada perikanan di Pantai Selatan.

C. Budidaya Laut

Budidaya laut diarahkan pada rintisan pengembangan terhadap komoditi hasil perikanan yang sesuai dengan selera pasar dan sebagai pemasok kebutuhan dalam negeri maupun pasar luar negeri. Dari berbagai jenis rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis seperti Gracilaria sp, Gelidium sp, Hypnea sp, dan Euchema sp. Di Selat Madura, Jawa Timur memiliki perairan laut yang potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut. Potensi tersebut tersebar di sepanjang Pantai Madura Kepulauan dan Bawean Kepulauan. Potensi perairan laut yang tersebar terdapat di Kabupaten Sumenep yaitu Kecamatan Dungkek, Gapura, Giligenting, Seronggi Raas, Sapekan dan Pulau Kangean sekitar 750 Ha.

3.1.2. Kondisi Sistem Perikanan Pantai

Usaha penangkapan ikan di laut dilakukan di perairan pantai Pacitan-Trenggalek-Tulungagung, umumnya nelayan mendaratkan ikannya di wilayah sendiri, dan kemudian pemasarannya sampai Jawa Tengah. Ada sekitar 50 jenis ikan yang dapat ditangkap nelayan di perairan selat Madura, Jawa Timur, di antaranya adalah Jenis Ikan Tongkol kembung, Tembang, Layang, Lemuru, dan Teri. Biasanya musim ikan terjadi selama bulan September hingga Desember.

A. Aspek Sosial-Ekonomi Nelayan Pendega

Tingkat pendidikan pendega sangat heterogen. Pendidikan pendega yang umum dijumpai pada seluruh wilayah umumnya lulusan SD dan SLP. Namun tingkat pendidikan di wilayah Lekok (Pasuruan) dan di Tlanakan (Pamekasan) pendidikan sangat rendah banyak yang buta huruf ataupun tidak lulus SD.

B. Mata Pencaharian Utama dan Sambilan Keluarga Pendega

Nelayan pendega pada umumnya menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan dan umumnya tidak mempunyai pekerjaan sambilan. Kegiatan isteri umumnya pada urusan rumah tangga dan jarang sekali para isteri pendega yang bekerja. Begitu pula kegiatan anak pada umumnya tidak dilibatkan dalam membantu ekonomi keluarga. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka usaha peningkatan keluarga pendega, dapat juga ditempuh melalui usaha memberikan kegiatan produktif pada isteri pendega.

C. Pemilikan Lahan Pertanian

Umumnya keluarga pendega tidak memiliki lahan pertanian, baik berupa sawah, tegal maupun tambak. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketergantungan keluarga pendega pada sektor perikanan sangat tinggi.

D. Curahan Hari Kerja dan Pendapatan dari Sektor Penangkapan Ikan

Pendapatan nelayan pendega berfluktuasi menurut keadaan musim ikan. Pada musim paceklik pendega sangat rendah sebaliknya pada musim raya ikan pendapatan pendega cukup tinggi. Keadaan ini menuntut adanya usaha tradisi menabung pada musim raya ikan. Ditinjau dari segi lokasi penelitian, tidak tampak adanya variasi pendapatan antar wilayah penelitian. Namun ditinjau dari segi alat tangkap yang digunakan tampaknya purse seine yang pendapatannya tertinggi dibandingkan dengan pendapatan dari alat tangkap lainnya. Sedangkan jenis alat tangkap lainnya ditinjau dari segi pendapatan pendega tidak tampak menyolok perbedaannya.

E. Pendapatan Pendega Berdasarkan Sumbernya

Pendapatan pendega umumnya sebagian besar (+ 90%) bersumber dari sektor perikanan (usaha penangkapan ikan), sedangkan sisanya umumnya adalah hasil kekayaan (istrinya) yang umumnya pedagangan kecil (baik dagang ikan atau hasil pertanian) dari berburuh baik dari buruh industri pengolahan ikan atau komoditi lainnya.

F. Penyuluhan Teknologi dan Perkreditan

Penyuluhan teknologi dan perkreditan untuk pengembangan ekonomi keluarga pendega menunjukkan hasil beragam dan menghadapi banyak kendala. Tampaknya penyuluhan teknologi dan perkreditan pada pendega jarang dilakukan. Berdasarkan hasil observasi di lapang menunjukkan bahwa tampaknya pendega bukan merupakan sasaran penyuluhan. Disamping itu terbatasnya jumlah dan kemampuan penyuluh menjadi pembatas tidak efektifnya pelaksanaan penyuluhan.

Berdasarkan kenyataan bahwa pendega merupakan golongan nelayan yang berstatus ekonomi paling rendah, maka di masa datang per tahun pendega menjadi salah satu sasaran penyuluhan untuk pengembangan usahanya. Sementara ini pendega belum banyak mengembangkan usahanya, akibatnya kehidupannya sangat tergantung pada pemilik perahu (juragan) yang diikutinya. Kalau keadaan ini dibiarkan terus berlangsung, maka dimasa datang pendega menjadi kelompok yang tertinggal.

G. Respon Pendega terhadap Pengembangan Usaha

Respon pendega terhadap usaha pengembangan pertanian, peternakan dan pembuatan jaring sangat rendah. Hal ini disebabkan pendega umumnya tidak memiliki lahan pertanian, sedangkan responya terhadap pengembangan usaha pembuatan jaring yang rendah disebabkan segi permintaannya sangat sedikit.

Respon pendega yang cukup tinggi terhadap usaha pengembangan pengolahan ikan untuk keluarganya umumnya rendah. Sedangkan respon terhadap pengembangan usaha penangkapan ikan secara berkelompok umumnya pendega cukup respon.

3.1.3. Proses-proses degradasi

Dinamika ekosistem pantai secara langsung dan tidak langsung sangat dikendalikan oleh aktivitas sosial-ekonomi masyarakat nelayan, baik aktivitas penangkapan di laut , aktivitas penunjang di daratan, maupun aktivitas lain dalam kehidupan sehari-hari di pemukiman penduduk. Kegiatan-kegiatan manusia ini bersama-sama dengan proses alamiah akan menimbulkan proses-proses degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup pantai yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat keragaan ekosistem pantai.

Beberapa proses degradasi ekosistem pantai yang penting adalah:

(1). Penangkapan ikan di perairan pantai yang terus meningkat kepadatannya, sehingga pada saat sekarang ini (terutama di perairan pantai utara Jawa Timur dan Selat Madura) telah megarah kepada eksploitasi yang berlebihan. Pada saat-saat tertentu penagkapan ikan diperkiurakan telah mendekati atau melampaui batas Maximum Sustainable Yield (MSY). Hal seperti ini dikhawatirkan dapat mengganggu dinamika populasi ikan-ikan di perairan pantai.

(2). Kegiatan masyarakat sehari-hari di pemukiman nelayan akan menghasilkan berbagai jenis limbah, baik limbah domestik maupoun limbah proses produksi/pengolahan ikan. Limbah ini semuanya pada akhirnya akan dibuang ke perairan pantai yang pada gilirannya juga akan menurunkan kualitas air, terutama di sekitar pemukiman nelayan yang padat.

(3).Kegiatan industri dan aktivitas produktif lain yang memerlukan lahan dan meng-hasilkan limbah.

3.1.4. Kebijakan Pembangunan/Pengelolaan perikanan pantai

Proses pembangunan ekonomi diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan struktur kelembagaan disuatu wilayah, serta perubahan perilaku kultural dari masyarakatnya. Peningkatan rataan pendapatan setiap kapita biasanya dibarengi dengan berkurangnya pangsa relatif (pendapatan dan kesempatan kerja) dari sektor primer, dan meningkatanya pangsa reltif dari sektor sekumder dan tersier. Dilingkungan pedesaan pantai dapat diantisipasi bahwa perubahan strukturakl dan kultural tersebut diatas akan terjadi dalam proporsi yang berbeda-beda. Perubahan kultural akan ditentukan oleh ciri budaya yang telah ada, terutama dalam hal perilaku masyarakat pedesaan pantai sebagai konsumen. Apabila pendapatan meningkat maka diantisipasi akan terjadi pergeseran perilaku ke arah pola konsuntif yang ditandai oleh semakin besarnya proporsi konsumsi non-pangan, termasuk kosumsi jasa amenitas dalam makna yang positif maupun yang negatif. Dengan demikian permintaan terhadap produk-produk sekunder dan tersier dari luar daerah dapat manjadi semakin besar. Semakin besarnya kebutuhan penurunan investasi masyarakat di sektor produktif sehingga akan muncul fenomena involusi.

Upaya-upaya yang disarankan untuk memutuskan siklus involusi tersebut adalah (i) pemindahan sebagai tenaga kerja dari sektor primer dan sektor-sektor sekunder dan tersier untuk lebih memperbesar produktivitas tenagakerja, (ii) pembinaan kelembagaan (terutama non-formal) yang dapat mendorong gairah menabung dan perilaku produktif lainya dikalangan masyarakat pantai, (iii) pembinaan prilaku masyarakat untuk tidak terlalu mengarah kepada prilaku konsuntif. Upaya pembanguan ekonomi pedesaan pantai melalui keterkaitan antara sektor primer (penangkapan) dan sektor-sektor sekunder (industri pengolahan hasil perikanan). Dengan demikian kebijakan pembinaan pantai harus bertumpu "kedua unsur pokok", yaitu (i). industrialisasi pedesaan untuk mengolah hasil-hasil ikan tangkapan, dan (ii). inovasi teknologi penangkapan untuk memperbesar hasil tangkapan.

Akan tetapi dua unsur pokok ini saja masih belum bisa menjamin keberhasilan pemabanguan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat pedesaan pantai. Tiga macam "unsur penunjang" yang dipersyaratkan adalah :

(i).pembenahan kelambagaan perkreditan dan bagi hasil,

(ii).renovasi sistem pemasaran yang mampu mengalokasikan nilai tambah yang lebih besar kepada masyarakat pedesaan pantai, dan

(iii).Pembinaan perilaku masyarakat dan kelembagaan sosial yang ada untuk dapat menjaga keseimbangan antara perilaku konsuntif dan produktif.

(1).Industrialisasi Pedesaan Pantai

Proses industrialisasi pedesaan yang mengarah kepada kemajuan masyarakat pada mulanya merupakan masalah psikis atau mental (Alfian, 1991). Masyarakat pedesaan pantai akan dapat menjadi maju dan sejahtera hidupnya apabila mempunyai sikap mental yang mampu mendorong kje arah kemajuan tersebut. Dengan demikian beberapa macam sikap mental dan prilaku kultural tertentu di kalangan masyarakat pedesaan pantai yang dapat menjadi kendala bagi keberhasilan proses industrialisasi perlu dibina dan dibenahi sehingga sesuai dengan kebijakan dan strategi pembanguanan yang telah direncanakan.

Pada tingkat mampu proses industrialisasi pedesaan ini diharapkan oleh diversifi-kasi sumber pendapatan masyarakat dari berbagai aktivitas pengolahanhasil perikanan dan perdagangan produk-produk olahan. Dampak sosial ekonomis yang diharapkan ialah terbukanya lapangan kerja baru dan perluasan kesempatan kerja yang ada, memperbesar pendapatan masyarakat, perbaikan kualitas manusia dan taraf hidup masyarakat pedesaan secara kualitas manuasia dan tarah hidup masyarakat pedesaan secara keseluruhan. Proses-proses transformasi tersebut beserta dampak sosial-ekonominya hanya mungkin terjadi kalau didukung oleh tersedianya bahan baku yang memadahi. Dengan demiian inovasi dan teknologi penangkapan merupakan prasyarat pokok bagi berkembangnya industri pengolahan di pedesaan pantai.

(2).Inovasi Teknologi Penangkapan

Inovasi teknologi penangkapan ikan pada dasarnya mengarah pada perbaikan efisiensi teknis dan ekonomis. Nelayan sebagai pelaku perbaikan teknologi ini akan semakin maju apabila mempunayai sikap mental kebaharian yang terampil, yaitu mengejar dan memburu ikan kemanapun daerah penangkapan bergerak dan berubah. Dengan demikian beberapa sikap menta; perilaku kultural bahari merupakan sebuah karharusan. Kultural bahari saat ini masih mengahadapi kultural tertentu (misalnya one-day fishing) yang dapat menjadi kendala dalam proses inovasi teknologi penangkapan ikan perlu dibina sejalan dengan strategi dan sasaran inovasi tersebut.

Pada tahap selanjutnya, proses inovasi teknologi ini diharapkan mampu melakukan tranformasi teknologi penangkapan ikan yang tradisional menjadi modern yang ditandai dengan penerapan teknologi yang efisien dan mampu mengatasi hambatan gelombang laut dan dapat menjelajahi kelutan Nusantara dan zone ekonomi eksklusif. Dengan demikian inovasi teknologi di sini mencakup teknologi perkapalan, mesin, alat penangkapan (jaring dan pancing) alat pembantu penangkapan antara lain seperti penggunaan lampu listrik, fish-finder dan sarana komunikasi modern. Kesemuanya itu jelas membutuhkan bukan hanya sekedar mental bahari, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan penggunaan teknologi tertentu. Dampak sosial ekonomi yang diharapkan adalah terbukanya lapangan kerja baru dan perluasan kesempatan kerja yang ada, meningkatkan pendapatan nelayan pendaga, perbaikan kualitas manusia dan taraf hidup keluarga nelayan secara keseluruhan.

Proses tranformasi tersebut pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses industrialisasi pedesaan pantai secara keseluruhan. Dalam proses inovasi teknologi penangkapan ikan terkait erat dengan tersedianya input dan sarana pembantu lainya, yang biasanya ased modal. Pada saat ini hampir di seluruh pedesaan pantai yang diteliti telah berkembang suatu sistem penyediaan modal maupun kredit bagi-hasil yang beroprasi secara informal, yaitu untuk "memotori" perubahan dan inovasi teknologi penangkapan ikan yang telah ada sampai sekarang. Sistem permodalan bagi hasil tersbut ternyata telah menjadi unsur penunjang inovasi teknologi penangkapan memerlukan unsur penunjang permodalan dan pemasaran yang "built in" seperti kelembagaan perkreditan bagi hasil jika mental kebaharian telah tumbuh yang memungkinkan kehidupan sebagian terbesar di laut.

(3). Pembenahan Kelembagaan Perkreditan dan Bagihasil

Upaya pengkapan kelembagaan perkreditan di wilayah pedesaan pantai harus diarahkan pada empat sasaran pokok, yaitu (i) kemantapan koperasi nelayan (KUD nalayam), (ii) pengembangan usaha penangkapan ikan oleh nelayan kecil, (iii) pengembangan usaha pasca tangkap (industri pengolahan) ikan yang berskala kecil oleh masyarakat pedesaan pantai, dan (iv) pembinaan kegiatan menabung di kalangan nelayan.

Berdasarkan pengalaman adanya ketidak-berhasilan kredit motor/perahu pada masa lalu, maka sistem perkreditan dengan model "angsuran kredit" patut dibenahi dan bila dipandang perlu dapat ditinggalkan. Pembenahan sistem kredit bagi nelayan dalam rangka usaha penangkapan ikan perlu diarahkan pada "sistem bagi hasil" antara sekelompok nelayan dengan lembaga pemberi kredit. Model ini akan menciptakan usaha nelayan berkongsi dengan sistem bagihasil.

3.2. EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

3.2.1. Makna Ekonomis dan Ekologis

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh pada tanah aluvial di pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon Avicenia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Exoecaria, Xyloccarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Dengan demikian, ekosistem bakau ialah ekosistem pantai yang komponen tumbuhannya ialah hutan, beserta fauna dan habitatnya yang khas. Lokasi ekosistem bakau ini umumnya adalah pantai-pantai dengan teluk dangkal, estuari, delta, bagian terlindung dari tanjung, selat yang terlindung dari ombak serta tempat-tempat lain yang serupa. Tanahnya bervariasi dari lumpur, lempung, gambut dan pasir.

Ekosistem hutan bakau sangat unik dan sangat potensial. Secara ekonomis, hutan bakau merupakan penghasil berbagai bahan baku industri, kayu bakar, arang, bahan penyamak, mendukung upaya budidaya perikanan, dan lain-lain. Secara ekologis hutan bakau mempunyai fungsi penting karena menjadi tempat lindung bagi banyak jenis flora maupun fauna. Hal ini sering membawa pada pertentangan kepentingan dalam pemanfaatannya. Di Indonesia, dan Jawa Timur khususnya, sesungguhnya pertentangan ini dapat terhindarkan apabila semua pihak dapat menyadari peran lindung hutan bakau tersebut sesunggunya juga mencakup perlindungan terhadap kualitas lingkungan yang menjamin kelestarian usaha-usaha produksi seperti hasil hutan, tambak dan perikanan pada umumnya. Secara rinci peran lindung hutan bakau adalah sebagai berikut:

(a).Bersifat khas dan strategis untuk menyangga kelestarian kehidupan biota darat dan perairan baik laut maupun tawar.

(b). Sebagai penyangga produktivitas wilayah usaha perairan pantai dan laut.

(c).Berperanan besar untuk melindungi pantai dan menghambat lepasnya butir-butir tanah ke lautan bebas serta mempercepat pengendapan pantai.

Secara teoritis daya regenerasi hutan bakau cukup kuat, sehingga sering dapat dengan lebih mudah dipulihkan apabila mengalami kerusakan, terutama bila dibandingkan dengan kawasan ekologis lainnya seperti terumbu karang. Namun demikian, apabila sampai muncul kerusakan di kawasan hutan bakau hal yang mungkin sulit dikembalikan adalah hilangnya beberapa jenis flora maupun fauna langka dari kawasan hutan yang rusak tersebut. Selain dari itu, sesuai dengan perannya seperti tersebut di atas, kerusakan hutan bakau umumnya berpengaruh luas terhadap ekosistem lainnya yang terkait dengannya.

3.2.2. Hutan Mangrove dan Proses Degradasinya

Pada dasarnya kondisi ekosistem pantai di Jawa Timur dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan atas ciri-ciri fisik pantainya. Kelompok pertama umumnya berada di kawasan pantai selatan Jawa Timur yang mempunyai pantai terjal, berbatu dengan ombak yang besar menghantam pantai setiap saat. Kelompok kedua umumnya berada di sepanjang pantai utara Jawa timur yang relatif landai, berlumpur dengan ombak yang relatif tenang dan arus air lambat. Kondisi fisik seperti inilah yang menjadi alasan mengapa kawasan bakau lebih banyak di pantai utara dibandingkan pantai selatan Jawa Timur.

Berdasarkan atas nilai indeks sensitivitas lingkungan yang ditetapkan oleh Kantor Menteri Lingkungan Hidup (Anonymous, 1987), dengan kriteria fisik seperti tersebut, pantai utara dapat dianggap lebih sensitif terhadap pengaruh faktor pencemaran dibandingkan pantai selatan. Pada hal justru pantai utara Jawa Timur yang mempunyai perkembangan sosial-ekonomi pesat. Dari sini dapat dipahami mengapa banyak kawasan bakau di pantai utara Jawa Timur yang telah rusak, dan berubah fungsi seiring dengan pesatnya perkembangan sosial- ekonomi. Data tahun 1991 yang berhasil dikumpulkan oleh Marsoedi, et al., menunjukkan bahwa dari kurang lebih 859 km hutan bakau sepanjang pantai Jawa Timur, 230 ha dinyatakan rusak berat dan dari 700 ha rusak ringan. Selanjutnya dari hasil survei kasar, dengan pemilihan tempat secara acak, di kawasan pantai utara Jawa Timur tidak dijumpai hutan bakau (Sumitro, 1992). Hasil pengamatan visual menunjukkan pohon-pohon bakau pada umumnya hanya terdapat pada galengan tambak atau saluran irigasi atau dalam bentuk gerumbul-gerumbul kecil di sekitar pemukiman penduduk. Hasil penelitian Fandeli (1992) juga menunjukkan hal yang serupa. hasil pengamatannya di kawasan pantai Probolinggo dan sekitarnya menunjukkan bahwa umumnya hutan mangrove merupakan jalur sempit sejajar dengan jalan raya Surabaya-Banyuwangi yang terputus-putus di berbagai tempat oleh karena pemukiman atau peruntukkan lainnya. Lebar areal hutan paling panjang adalah 175m, dan umumnya berkisar antara 50-60 m. Secara umum kawasan hutan bakau tersebut tidak lagi sebagai hutan lindung melainkan telah bergeser ke fungsi produksi. Hal ini tentu tidak bersesuaian lagi dengan status mereka yang merupakan kawasan hutan lindung milik perum perhutani. Hal serupa juga di jumpai di kawasan Blambangan-Banyuwangi (Soebiantoro, 1992). Tampaknya kawasan pantai utara Jawa Timur sudah tidak lagi mempunyai kawasan hutan bakau perawan kecuali di kawasan-kawasan konservasi seperti Baluran.

Usaha penanaman kembali pohon bakau ternyata telah banyak dilakukan di sepanjang pantai utara dan pantai madura termasuk madura kepulauan (Marsoedi, et al., 1991). Umumnya penghijauan dilakukan oleh instansi di bawah departemen kehutanan, termasuk Perhutani, dan Badan Konservasi Sumberdaya Alam Daerah (BKSDA). Lokasi penghijauan meliputi beberapa daerah di kabupaten-kabupaten Banyuwangi, Jember, Situbondo, Malang, Blitar, Pacitan, Trenggalek, Sumenep dan Bangkalan. Namun demikian, usaha penanaman kembali sering tidak bertujuan untuk menghutankan kembali kawasan bakau, tetapi sekedar menghijaukan kawasan bakau, dan sering dikaitkan dengan kepentingan pertambakan baik yang modern maupun tradisional. Menurut hasil sigi di Jawa Timur, total usaha penghijauan di luar usaha konservasi dan pengamanan hutan bakau tersebut telah dilakukan pada kawasan bakau seluas kurang lebih 1250 ha (Marsoedi, et al., 1991).

Hasil penelitian Marsoedi et al. (1991) tersebut juga menanpakan secara jelas sekali besarnya pengaruh laju tekanan pemukiman penduduk, pertumbuhan budidaya tambak, perindustrian dan lain-lain kegiatan ekonomi terhadap laju penyusutan kawasan bakau ini di sepanjang pantai utara Jawa Timur dan Madura. Sayangnya, data rinci dalam skala yang lebih teliti mengenai laju perluasan wilayah tambak dan penyusutan hutan bakau di Jawa Timur sampai saat ini amat sulit didapatkan, meskipun dari hasil kuwesener dan wawancara terhadap instansi terkait seperti, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, dan Pemerintah Daerah (BAPPEDA) setempat, mereka umumnya mengkategorikan masalah penyusutan luasan hutan bakau dan usaha penghijauan kembali kawasan bakau sebagai masalah yang mendesak untuk ditangani.

Data hasil inventarisasi kasar yang telah dilakukan di beberapa kawasan pantai Jawa Timur, (Sumitro, 1992) menunjukkan ada dua puluh tujuh jenis tumbuhan bakau. Umumnya dari genus Rhizophora, Avicenia, Exoecaria, dan Acanthus. Selain itu juga dapat dengan mudah terlihat, di kawasan pantai utara yang landai, adanya kemunculan lahan atau daratan baru seiiring dengan laju sedimentasi di daerah estuari. Suksesi ekosistem bakau di lahan baru ini terlihat sering terganggu oleh aktivitas perambahan untuk tujuan-tujuan pertambakan atau ladang pembuatan garam. Seperti halnya laju penyusutan hutan bakau, data akurat mengenai laju pertambahan daratan baru serta aktivitas perambahan oleh penduduk tidak pernah ada.

3.2.3. PERMUDAAN BUATAN TANAMAN BAKAU (Rhizophora mucronata L.)

Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik dengan berbagai macam fungsi dengan formasi khas daerah tropika dan terdapat di pantai rendah yang tenang serta berlumpur sedikit berpasir dengan pengaruh pasang surut air laut. Hutan mangrove juga berperanan penting sebagai penunjang ekosistem wilayah pesisir terutama bagi kesejahteraan masyarakatnya. Fungsi mangrove dilihat dari fungsi fisik, mampu berperan menahan gempuran ombak dan angin, serta intrusi air laut ke daratan dan fungsi kimia berperan menghasilkan bahan organik melalui dekomposisi orga nisme tanah mangrove. Sedang secara ekologis mampu menunjang kehidupan organisme-organisme yang secara langsung maupun tidak langsung hidupnya tergantung dari mangrove, karena mangrove mampu sebagai jembatan antara daratan dan lautan. Nybakken (1988) menyatakan bahwa ekosistem mangrove meru pakan suatu kawasan ekosistem rumit karena terkait dengan ekosistem darat dan ekosistem lepas pantai di luarnya. Secara ekonomis mampu menunjang kesejahteraan masyarakat sekitar pantai disebabkan mangrove bisa dimanfaatkan dalam hal kayu dan non kayunya. Sayangnya mangrove terma suk kawasan yang labil sehingga dikenal sebagai "fragile ecosystem" bila terjadi perubahan pengaruh pe-nunjang pertumbuhan dan perkem-bangannya. Sehingga banyak kawasan -kawasan yang rusak akibat eksploitasi yang berlebihan tanpa mengetahui keseimbangan antara perkembangan regenerasi dan pemanenan. Maka sebagai usaha pelestariannya adalah dengan peremajaan atau penanaman kembali atau yang dikenal dibidang kehutanan dengan istilah permudaan buatan bagi hutan mangrove.

Permudaan buatan adalah suatu kegiatan dalam usaha memperoleh hasil yang dikehendaki dengan penggu naan jenis bibit yang sesuai zone pertumbuhan dan jarak tanam yang dikehendaki. Sedang di satu sisi bahwa pelaksanaan permudaan buatan sering kali mengalami kegagalan. Untuk itu, diperlukan adanya suatu penelitian dari usaha permudaan buatan tersebut dengan pengukur beberapa variabel yang terkait. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui prosentase tumbuh dan keberhasilan permudaan buatan jenis R. mucronata L.

Menurut hasil kajian Arifin Arief dan Agus Sugianto (1998), luas areal penelitian 30,81 ha dengan jarak tanam 3 x 2 m merupakan hasil penanaman sejak 12 Januari 1996 pada daerah bertopografi datar sedikit bergelombang dan beriklim tipe E klasifikasi Schmidt-Ferguson. Curah hujan daerah pene litian rata-rata mencapai 1000-1500 mm dengan jenis tanah regusol dan gromosol kelabu, dengan bahan endapan pasir dan liat. Didalam pemilihan biji dipilih pada buah yang telah mengalami perubahan warna kuning pada bagian antara biji dengan hipokotil serta sesuai dari zone pertumbuhannya.

Diameter yang didapatkan secara rata-rata di seluruh petak ukur adalah 1,73 cm dan terbesar adalah 2,21 pada petak ukur 6 dengan ketebalan sedi-mentasi 10,02 cm. Salinitas pada petak ukur didapatkan rata-rata sebesar 2,83 persen, hal ini disebabkan terjadinya curah hujan yang selalu berubah. Untuk salinitas sebenarnya tidak dibutuhkan terlalu tinggi bagi pertumbuhan tanaman tetapi bila terjadi salinitas yang tinggi, maka tanaman akan beradaptasi karena sifatnya yang halophyt. Proses ini melalui perakaran disekresikan serta disalurkan ke bagian-bagian tubuh tanaman terutama bagian daun-daun tua, karenanya pada daun tua ditemui kadar garam yang relatif tinggi. Sesuai Soeroyo (1993) bahwa mangrove mampu memin dahkan garam dengan cara menyim pannya dalam daun yang lebih tua, karenanya konsentrasi kadar garam pada daun tua lebih tinggi.

Kemiringan permukaan tanah ternyata mempengaruhi lamanya dan perluasan genangan. Pasang surut pada daerah genangan membawa serasah dan tebal sedimentasi yang berdampak bisa tumbuh dan berkem bangnya mangrove. Faktor physio graphy berpengaruh terhadap zonasi terutama dalam hal salinitas air dan serasah (Anonimous, 1995). Kemi-ringan lahan sangat berpengaruh juga terhadap ketebalan sedimentasi yang terbawa air pasang dan aliran sungai. Pada petak ukur didapatkan genang an airsetinggi 21,72 yang berpengaruh terhadap pertumbuhan permudaan buatan dengan rata-rata diameter 1,73 cm dan tinggi semai tanaman rata-rata 43,16 cm. Sehingga kawasan mang-rove dengan empang parit yang mampu menahan genangan ketika terjadi surut, mampu membuat tanah selalu dalam kondisi lunak. Terdapat korelasi antara jenis tegakandengan pasang surut dan lamanya genangan air (Soemodihardjo, 1979), sebab semakin ke atas daratan arus pasang surut semakin kecil dan kandungan lumpur dengan bahan organik tanah yang tinggi (Marsono dan Setyono, 1993). Dimana kondisi lunak akan merangsang organisme tanah untuk membuat lubang-lubang tanah sebagai penunjang aerasi udara bagi perna-fasan akar-akar mangrove. Lubang-lubang ini membawa oksigen ke bagaian akar tegakan mangrove (Ewuisie, 1980). Kondisi tanah dengan analisis fisik secara mekanik diperoleh tanah bersifat lempung liat berpasir (33,3 %) serta banyak ditemui orga nisme jenis kepiting, grifil dan cacing pantai yang beraktifitas membuat lubang-lubang tanah. Jenis tanah ini secara umum sangat disukai oleh organisme tanah pantai disebabkan sangat mudah untuk ditem bus.Disamping itu, bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman sendiri jenis organisme ini sangat menunjang karena proses dekomposisi dan hasil endapan serta seresah terjadi pada jenis tanah ini. Organisme tanah yang disebut makrobentos sangat berpe-ranan dalam proses penghancuran seresah dan dekomposisi. Makro-bentos mampu mencerna daun segar dan memproduksi hingga membantu eksport unsur hara (Sukardjo, 1993).Hasil proses ini akan mengha silkan bahan organik tanah sebagai penunjang pertumbuhan dan perkem bangan mangrove permudaan buatan. Daun mangrove yang mulai membu suk mengandung 3,1 persen protein dan setelah 12 bulan meningkat sampai 21 persen (Heald, 1971). Berarti bisa dipastikan bahwa hasil prosentase pertumbuhan diperoleh rata-rata sebesar 82,57 salah satu sebab adanya proses tersebut. Sehingga R. mucronata sangat sesuai tumbuh dan berkembang pada daerah zone dengan keadaan di atas yang bersifat salinitas, tanah dan pasang surut serta sedimentasi yang terjadi.

Menurut Arief dan Sugianto (1998), Rhizophora mucronata L. mampu mengalami pertumbuhan dan perkembangan sebesar 83 persen dalam suasana lingkungan dengan salinitas sebesar 5,1 persen, sedimentasi setebal 11,5 cm dan tinggi genangan 29 cm.

3.2.4. Pengelolaan Bakau SEBAGAI HABITAT KEPITING

Beberapa tindakan pengelolaan yang diperlukan a.l.

(a). Pengendalian pembukaan tambak udang, penebangan kayu bakau, dan lainnya

(b). Menjaga topografi dan karakter substrat hutan bakau dan saluran suplai air tawar

(c).Menjaga pola alamiah temporer dan spatial dari salinitas air permukaan dan ground-water

(d).Mempertahankan pola alamiah dan siklus aktivitas pasang surut dan run-off air hujan / air tawar

(e).Menjaga keseimbangan alamiah antara abrasi, erosi, dan sedimentasi.

Pengelolaan hutan bakau harus diarahkan agar segala pendayagunaann sosio-ekonomisnya tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan serta kelestarian fungsi dan kemampuannya sehingga tetap dapat menjamin kemanfaatannya bagi generasi mendatang. Hal ini berarti pula bersesuaian dengan deklarasi World Conservation Startegy (WCS) tahun 1979, dan Strategi Konservasi Alam Indonesia, Agenda no. 21 Global Biodiversity Strategy (GBS) tahun 1992, dan Strategi Nasional Pengelolaan keanekaragaman hayati.

Setiap upaya pengelolaan seharusnya mempunyai makna:

a. Perlindungan terhadap proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan dalam ekosistem bakau.

b. Pelestarian sumberdaya bakau dan keanekaragaman sumber plasma nutfah yang terkandung di dalamnya.

c. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya bakau dan lingkungannya.

d. Konsistensi pengelolaan dan penanganan keanekaragaman hayati dan masalah ekologis hutan bakau.

e. Mencermati aliran perdagangan flora maupun fauna langka di hutan bakau.

Suatu hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum kelemahan menejemen hutan bakau menyangkut banyak hal, meliputi sistem silvikultur, sumberdaya manusia, perencanaan pengorganisasian/pelembagaan, pelaksanaan program kerja, dan pengawasannya. Ciri dari kelemahan menejemen tersebut antara lain adalah data luasan kawasan hutan bakau yang tidak akurat. Di Jawa Timur data luasan hutan bakau tersebut sering bervariasi menyolok antar instansi terkait satu dengan lainnya. Hal ini tentu amat menyulitkan dalam pelaksanaan tata ruang, pemanfaatan maupun rehabilitasinya. Selain dalam hal menejemen, permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan bakau di Jatim diduga juga berhubungan dengan terjadinya degradasi hutan bakau akibat pencurian kayu, perambahan yang tidak terkendali serta pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Permasalahan terakhir ini lebih terkait dengan kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan bakau yang belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan bakau secara lestari. Dari sini terlihat bahwa pengelolaan hutan bakau secara lestari harus terkait dengan pendidikan kesadaran berkonservasi, peningkatan lapangan kerja, kesempatan kerja, peningkatan akses untuk memperoleh informasi, modal kerja dan sarana produksi bagi penduduk di sekitar kawasan bakau.

3.3. EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN PENGELOLAANNYA

3.3.1. Pendahuluan

Beranekaragam tipe ekosistem khas dijumpai di wilayah pesisir-pantai Pasir putih dan sekitarnya, seperti hutan mangrove, terumbu karang, rumput laut, estuarin, delta dan rawa pantai non bakau. Selain menyediakan berbagai sumberdaya alam, tatanan lingkungan ini berfungsi sebagai penyangga kehidupan.

Terumbu karang merupakan ekosistem khas, yang didalamnya terkandung keanekaragaman biota laut yang unik dan menarik. Produktivitas dan kekayaan jenis terumbu karang boleh dikata sebanding dengan hutan hujan tropika (Anonimous, 1992). Sebagai salah satu ekosistem di dunia yang secara ekologis paling produktif dan beragam, serta seringkali merupakan daerah yang paling cantik bentuknya. Hal lain yang menarik perhatian dari ekosistem terumbu karang terutama adalah besarnya kelimpahan dan keragaman biota yang berasosiasi.

Sebagai ekosistem perairan yang memiliki produktivitas tinggi, terumbu karang juga merupakan habitat dari berbagai jenis organisme laut. Terumbu karang berfungsi sebegai pelindung fisik, tempat tinggal, mencari makan, berpijah dan berkembang biak berbagai biota laut. Diperkirakan sekitar 260 jenis ikan hias hidup di perairan terumbu karang, dan sepertiga seluruh jenis ikan kehidupannya bergantung pada lestarinya terumbu karang. Disisi lain terumbu karang dapat dijadikan sebagai bahan bangunan, bahan baku industri pupuk dan farmasi.

Di perairan laut Indonsia diperkirakan luas terumbu karang mencapai 6.800 km2, membentang sepanjang 17.500 km (Anonimous, 1992). Sebagian sudah ditetapkan menjadi taman nasional luat, antara lain di daerah Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Bunaken Sulawesi Utara yang terkenal sebagai Taman Nasional Laut, disamping itu juga perairan laut Madura Kepulauan terdapat terumbu karang yang lamam dikenal oleh nelayan dan merupakan daerah perburuan /penangkapan ikan-ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, seperti ikan kerapu, kakap dan ikan hias.

Dalam dekade terakhir ini terumbu karang baik langsung maupun tidak langsung telah dimanfaatkan oleh manusia secara optimal tanpa kendali, antara lain usaha penangkapan ikan karang baik sebagai ikan hias maupun sebagai konsumsi secara besar-besaran yang menggunakan racun "potassium cyanida (KCN)", pengambilan karang untuk bahan bangunan dan tidak kalah pesatnya pemanfaatan daerah terumbu karang sebagai taman laut dijadikan objek wisata bahari. Menurut Salm (1984) hasil tangkapan ikan di perairan terumbu karang dan sekitarnya dapat mencapai 5.000 kg/nelayan/tahun.

Penelitian tentang kondisi ekologi terumbu karang di Indonesia tergolong masih sedikit, pada hal perairan laut Indonesia demikian luasnya dan sangat kaya akan sumberdaya terumbu karangnya. Sementara itu eksploitasi terhadap terumbu karang untuk berbagai tujuan terus berlangsung tanpa memperhatikan keadaan ekologisnya. Hal ini apabila terjadi terus menerus akan mengakibatkan kepunahan terumbu karang yang ada. Sebagai salah satu ekosistem yang secara ekologis merupakan habitat berbagai jenis organisme laut, maka sangatlah perlu dijaga kelisteriannya.

Berdasarkan pemikiran di atas upaya konservasi dan pengelolaan terumbu karang sebagai sumberdaya sangat penting dan berdimensi ganda, pendekatan bioekologi terumbu karang serta alternatif pemanfaatan sumberdaya ikan-ikan karang melalui paket teknologi alat tangkap long line pot dan usaha budidaya laut harus dilakukan secara terintegrasi.

3.3.2. Pertimbangan Konservasi

Konservasi dan pengelolaan terumbu karang secara lestari dan berkembang sangat penting artinya. Oleh karena itu ekosistem terumbu karang yang sangat produktif dapat mendukung kehidupan nelayan setempat. Jika habitat terumbu karang dapat berfungsi secara optimal, maka produksi ikan-ikan karang akan dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan dan akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat, untuk masa kini dan masa yang akan datang. Konservasi dan pengelolaan terumbu karang haruslah secara menyeluruh baik ekosistem terumbu karang itu sendiri maupun sumberdaya ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang, serta melibatkan masyarakat pengguna dengan memperbaiki terumbu karang yang telah rusak melaui pembuatan terumbu karang buatan. Disamping itu mencari alternatif pemanfaatan sumberdaya ikan-ikan karang melalui paket teknologi alat tangkap yang ramah lingkungan serta pengalihan usaha ke budidaya laut, yang layak dan memberikan prosfek yang cerah untuk meningkatkan pendapatan khususnya nelayan setempat.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia saat ini adalah 14 % dalam kondisi kritis, 46 % telah mengalami kerusakan, 33 % kondisi masih bagus dan kira-kira hanya 7 % yang kondisinya sangat bagus. Bertambahnya berbagai aktivitas manusia yang berorientasi di daerah terumbu karang akan menambah tekanan dan sebagai dampaknya adalah turunnya kualitas terumbu karang. Jika kegiatan yang berhubungan dengan terumbu karang tidak segera dilakukan dengan baik maka prosentas terumbu karang dengan kriteria kritis akan bertambah dengan cepat (Anonymous, 1992). Di beberapa bagian perairan laut saat ini berlansung perusakan terumbu karang sudah pada tingkat yang menghawatirkan, sebagai akibat pengeksploitasiannya yang tidak terkendali, antara lain Teluk Ambon (Yusron dan Syahaetua, 1987) dan di pantai Lombok Barat, Nusa Tenggara (Sutarna dkk., 1987) serta Kepulauan Seribu. Keadaan serupa terjadi pula pada daerah terumbu karang di perairan Pasir Putih Selat Madura, terutama pengambilan karang sebagai hiasan dan bahan bangunan serta usaha penangkapan berbagai jenis ikan hias yang menggunakan bahan racun pada kadar tertentu dengan tujuan agar supaya ikan tertangkap dalam keadaan pingsan. Hal ini jelas akan berpengaruh terhadap ekosistem teumbu karang yang ada disekitarnya.

Terumbu karang berfungsi sebagai daerah perlindungan, tempat berkembang biak, mencari makan dan berpijah bagi berbagai jenis biota laut, mempunyai kestabilan, aneka-ragam spesies dan ekosistem beradaptasi secara baik melalui simbiose internal dan intra komunitas. Akan tetapi tidak kebal terhadap gangguan aktivitas manusia dan mudah sekali diserang oleh faktor-faktor perusak (ekosistem yang fragile) (Odum, 1971). Di sisi lain terumbu karang sebagai sumberdaya dieksploitasi sebagai bahan bangunan, bahan baku industri pupuk dan farmasi tanpa memperhatikan prinsip-prinsip ekologi.

Adanya kerusakan terumbu karang akan mengakibatkan pula perubahan keragaman organisme penghuni terumbu karang Menurut Risk (1972) di perairan terumbu karang terdapat indikasi adanya hubungan antara keragaman spesies ikan dengan kompleksitas substrat. Daerah yang mempunyai keragaman spesies karang yang lebih banyak akan lebih bervariasi populasi ikannya. Makin kompleks populasi karang akan memberikan pula relung (niche) ekologi yang lebih banyak bagi ikan-ikan karang. Mengingat terumbu karang mempunyai arti penting baik ditinjau dari segi ekologi sebagai penyangga kehidupan maupun segi potensi ekonomi berupa usaha perikanan, industri dan pariwisata, perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

3.3.3. Ekosistem Terumbu Karang

A. Daerah Penyebaran Terumbu Karang

Luas daerah terumbu karang di dunia sedikitnya mencapai 600,000 km2, yang tersebar di daerah antara 30o LU dan 30o LS, dengan beberapa kekecualian, terutama mendominasi perairan dangkal daerah tropis. Kekecualian tersebut terdapat di daerah lintang tinggi yang mendapat aliran arus hangat, sebagai contoh yaitu dijumpainya terumbu karang di perairan Indo-Pasifik pada daerah 35o LU, di dekat Kepulauan Jepang, dan pada 32o LS, di Laut Tasmania (Sheppard, 1983 dalam Berwick, 1983; White, 1987). Oleh karena itu terumbu karang digolongkan sebagai salah satu ekosistem khas yang terdapat di daerah tropis dan sering digunakan untuk menentukan batas lingkungan perairan laut tropis (Odum, 1971); Nybakken, 1983).

Walaupun begitu di daerah tropis tidak akan terdapat terumbu karang bila suhu air laut, salinitas dan penetrasi cahayanya berada pada kondisi kritis bagi kehidupan terumbu karang. Sebagai contoh di daerah pantai Samudra Hindia bagian utara, Teluk Persia bagian utara dan pantai di sekitar Hongkong tidak dijumpai terumbu karang karena merupakan daerah- daerah yang memiliki kekeruhan, suhu dan pengenceran oleh air tawar yang melampaui batas toleransi bagi pembentukan dan pertumbuhan terumbu karang. Demikian juga halnya di daerah pantai tropis yang mendapat aliran arus dingin, seperti pantai Barat Afrika dan sebagian besar pantai Barat Amerika Utara dan Selatan (Sheppard, 1983 dalam Berwick, 1983).

Penyebaran geografis terumbu karang dipengaruhi oleh suhu dan hampir semuanya hanya ditemukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20o C (Barnes, 1980; Ditlev, 1980; Nybakken, 1983; Berwick, 1983). Menurut Berwick (1983) dan Nybakken (1983), tidak ada terumbu karang yang berkembang pada perairan yang suhu minimum tahunannya di bawah 18o C. Perkembangan optimal untuk terumbu karang adalah pada perairan yang suhu rata-rata tahunannya (23o - 25o) C, sedangkan suhu maksimum yang dapat ditoleransi oleh terumbu karang adalah (36o - 40o) C (Nybakken, 1983). Menurut Berwick (1983) suhu optimum bagi terumbu karang berkisar antara (25o - 29o) C, sedangkan suhu maksimumnya berkisar antara (35o - 38o) C, tergantung pada jenisnya.

Penetrasi cahaya matahari memainkan peranan penting dalam pembentukan terumbu karang, karena cahaya matahari menentukan berlangsungnya proses fotosintesa bagi alga yang bersimbiosa di dalam jaringan karang (Berwick, 1983). Oleh karena itu distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar matahari yang masuk. Barnes (1980) menyatakan bahwa terumbu karang dapat hidup sampai kedalaman 60 m, menurut Ditlev (1980) pada perairan yang jernih di se-kitar samudera terumbu karang dapat mencapai kedalaman lebih dari 80 m, menurut Vaughan dalam Sukarno (1981) kedalam maksimum untuk terumbu karang adalah 45 m. Nybakken (1983) menyatakan bahwa terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari (50 - 70) m dan kebanyakan terumbu karanmg tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang.

Terumbu karang, terutama karang hermatipik merupakan organisme laut sejati dan kebanyakan spesies sangat sensitif terhadap perubahan salinitas yang lebih tinggi atau lebih rendah dari salinitas normal air laut ( 30 - 35 ) o/oo Nybakken, 198; Berwick, 1983). Faktor-faktor pembatas bagi kehidupan, distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang adalah suhu, cahaya matahari, salinitas, kejernihan air, arus (pergerakan) air, dan substrat (Barnes, 1980; Nybakken, 1983; Bewick, 1983). Untuk hidupnya terumbu karang memerlukan air laut yang bersih dan jernih, apabila terjadi kekeruhan pada air laut akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari sehingga laju pertumbuhan dan produksi terumbu karang (Berwick, 1983). Arus diperlukan oleh terumbu karang, tersedianya aliran suplai makanan berupa plankton dan oksigen serta terhindarnya karang dari timbunan endapan (Sukarno, 1981). Selanjutnya dinyatakan bahwa substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk membentuk koloni baru.

B. Bahan Pembentuk Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan endapan (deposit) padat kalsium (CaCO3), yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous alga) dan organisme-organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat (CaCO3) yang berperan dalam pembentukan terumbu karang modern, karang batu (Scleractinia) merupakan penyusunan yang paling penting (Barnes, 1980). Walaupun penyusun utama ekosistem terumbu karang adalah karang batu, tetapi peran karang lunak juga tidak kalah penting dalam penyusunan fisik terumbu karang (Manuputty, 1986).

Karang terdiri dari dua kelompok, yaitu karang her-matipik dan karang ahermatipik. Karang hermatipik adalah karang yang mengahsilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan di daerah tropis. Sedangkan karang ahermatipik adalah karang yang tidak menghasilkan terumbu dan kelompok karang ini tersebar luas di seluruh dunia. Yang menjadi perbedaan utamaantara karang hermatipik dengan karang ahermatipik adalah adanya simbiose mutualisme antara karang dengan zooxanthellae, yaitu sejenis alga unisular ( dinof- lagellata unisular), seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di dalam jaringan karang. Karang hermatipik bersimbiose dengan alga tersebut, sedangkan karang ahermatipik tidak (Ditlev, 1980; Nybakken, 1983).

Menurut Barnes (1980) terdapat lebih dari 60 genera karang yang bersimbiose dengan zooxanthellae. Asosiasi simbiotik antara zooxanthellae dengan karang demikian eratnya hingga sangat menentukan metabolisme hewan terse- but, kemampuannya untuk membentuk kerangka dan sebaran vertikalnya. Selain itu zooxanthellae juga terdapat dalam berbagai jenis inverteb- rata di terumbu karang sehingga memberikan petunjuk bahwa peranan alga tersebut sangat penting dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken, 1983; Nontji, 1984). Oleh karena itu karang hermatipik mempunyai sifat yang unik, yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan, sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototropik positif. Kebutuhan akan cahaya matahari tidak diragukan lagi adalah untuk zooxanthellae (Nybakken, 1983; Suharsono, 1984). Goreau (1961, dalam Nybakken, 1983) menyatakan bahwa zooxanthellae meningkatkan laju proses kalsifikasi (pembentuk kapur) yang dilakukan oleh karang dan laju pertumbuhan koloni karang. Namun mekanisme zooxan-thellae meningkatkan laju pertumbuhan kerangka karang sampai saat ini belum diketahui secara jelas. Tetapi Barnes (1980) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berukut :

Ca(HCO3)2 CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2Fotosintesa oleh alga yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira- kira 10 kali lebih cepat dari pada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae (Ditlev, 1980).

C. Klasifikasi, menurut Ditlev (1980) adalah :

Filum : Cnidaria

Kelas : Anthozoa

Sub kelas : Zooantharia

Ordo : Scleractinia

Sub ordo : Atrocoeniina

Famili : Pocilloporiidae, Acroporidae

Sub ordo : Agariciidae, Thamnasteriidae,

Fungiidae,Siderastredae,

Poritidae

Sub ordo : Faviina

Famili : Faviidae, Trachyphyllidae,

Merulinidae, Oculinidae,

Mussidae, Meandrinidae,

Pectinidae.

Sub ordo : Caryophylliina, Famili : Caryophylliidae

Sub ordo : Dendrophylliina, Famili : Dendrophylliidae

Sub kelas : Octocorallia

Ordo : Stolonifera, Famili : Tubiporidae

Ordo : Coenothecalia, Famili : Helioporidae

Kelas : Hydrazoa

Ordo : Milleporina, Famili : Milleporidae

Ordo : Stylasterina, Famili : Stylasteridae

D. Anatomi Terumbu Karang

Karang dapat hidup berkoloni maupun soliter, Individu karang (koral) disebut polyp, yang terdiri dari bagian yang lunak dan bagian yang keras berbentuk kerangka kapur. Organ mulutnya terletak di bagian atas yang sekaligus berfungsi sebagai anus. Makanan yang masuk dicerna oleh filamen mesentry dan sisa makanan dikeluarkan melalui mulut. Jaringan tubuh terumbu karang terdiri dari ektoderm, mesoglea dan endoderm. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai cilia, kantung lendir (mucus) dan sejumlah nematokis (nematocyst). Mesoglea adalah jaringan yang terletak antara ektoderm dan endoderm, bentuknya seperti agar-agar (jelly). Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi zooxanthellae (Nybakken, 1982; Suharsono, 1984), tetapi menurut Barnes (1980) zooxanthellae yang bersimbiose berada di dalam jaringan gastroderm. Umumnya ukuran diameter polyp karang yang berbentuk koloni 1 - 3 mm, sedangkan beberapa jenis yang soliter ada yang mencapai 25 cm.

Rangka karang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan disekresikan oleh epidermis yang berada di pertengahan bawah polyp. Proses sekresi ini menghasilkan rangka cawan (skeletal cup), dimana polyp karang menetap. Cawan tersebut dinamakan calyx, dinding yang mengelilingi cawan disebut theca dan lantai cawan disebut lempeng basal (basal plate). Pada bagian lantai terdapat dinding septa yang terbuat dari kapur tipis (radiating cacareous septa). Disamping memberikan tempat hidup bagi polyp karang, cangkang (terutama sklerosepta/septa) juga memberikan perlindungan. Bila berkontraksi, polyp memjadi kecil dan berada dalam cangkang sehingga menyulitkan predator yang akan memangsanya (Barnes, 1980). Karang merupakan hewan karnivora, seperti pada sebagian besar anggota filumnya. Karang memiliki tentakel yang dipenuhi oleh kapsul-kapsul berduri (nematoksis) yang dipergunakan untuk menyengat dan menangkap mangsa (Nybakken, 1983). Menurut Barnes (1980) karang memangsa ikan-ikan kecil sampai zooplankton, tergantung dari ukuran polyp karang. Umumnya berkontraksi.

Selain mendapatkan makanan dari luar tubuhnya karang juga mendapatkan bahan makanan dari alga zooxanthellae yang bersimbiose dengannya. Hal ini dibuktikan oleh Frazisket (1969, dalam Nybakken, 1983), bila karang tidak menperoleh makanan, zooxanthellae menyediakan makanan.

E. Tipe Terumbu Karang

Bentuk umum struktur terumbu karang dapat digolongkan tiga tipe yaitu atol, terumbu penghalang (barrier reef) dan terumbu tepi (fringing reef). Atol merupakan terumbu yang berbentuk cincin yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan. Terumbu penghalang dan terumbu tepi keduanya berdekatan dengan daratan, terumbu penghalang dibatasi oleh jarak lebih besar dan perairan lebih dalam dibandingkan dengan terumbu tepi (Nontji, 1987).

Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman dan produktivitas biologinya. banyaknya lubang dan celah di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi berbagai jenis ikan dan invertebrata yang ada di perairan terumbu karang maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Biota yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkat trophik. Masing- masing kompoenen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat antara satu dengan yang lain (Sukarno, 1981).

F. Ekologi Ikan-Ikan Karang

Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman produktivitas biologinya. Banyaknya lubang dan celah di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan biota yang ada di perairan terumbu karang maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Biota yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kelompok biota dari berbagai tingkat tropik. Masing-masing komponen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat satu dengan yang lain (Nybakken, 1988). Dari gambaran di atas tampak jelas bahwa ikan-ikan tersebut memberikan andil besar terhadap ekosistem terumbu karang.

Jenis-jenis ikan ekonomis penting tertentu memiliki asosiasi dengan ekosistem terumbu karang. Hasil perikanan dari perairan terumbu karang dan perairan dangkal di sekitar berkisar antara 2.5 - 5 ton/km2/tahun dengan potensi perikanan karang seluruhnya mencapai 2.7 juta metrik ton/tahun (Berwick, 1983) atau diduga sekitar 9 -12 % dari total hasil perikanan dunia yang bernilai 70 juta ton/tahun (White, 1987 dalam Aktani 1988). Menurut Salm (1984) hasil tangkapan ikan di perairan terumbu karang dan sekitarnya dapat mencapai 5.000 kg/nelayan/tahun.

Kekayaan jenis ikan karang sebanding dengan jenis karang yang ada. Dapat dikatakan bahwa daerah pusat indo Pasifik, Kepulauan Filipina dan Indonesia yang kaya akan keragaman jenis karangnya mempunyai sejumlah besar spesies ikan dan jumlah tersebut menurun pada daerah yang semakin jauh dari kepulauan. Salah satu pendapat menerangkan bahwa diversitas spesies ikan karang yang tinggi disebabkan oleh banyaknya variasi habitat yang terdapat di terumbu karang. Pendapat lain menyatakan bahwa ikan-ikan tersebut memang memiliki relung (niche) ekologi yang lebih sempit sehingga lebih banyak spesies yang hanya bergerak (berakomodasi) di dalam area tertentu. Maka sebagai akibatnya ikan-ikan karan terbatas dan terlokalisasi di area tertentu pada terumbu karang( Nybakken, 1988).

Fisiografi dasar perairan adalah faktor utama yang menentukan distribusi dan kelimpahan ikan-ikan karang. Oleh karena itu keberadaan ikan-ikan karang juga sangat dipengaruhi oleh kondisi atau kesehatan terumbu karang, yang biasanya ditujukan oleh prosentase penutupan karang hidup (life coverage). Perbedaan habitat terumbu karang dapat mendukung adanya perbedaan kumpulan ikan-ikan. Oleh karena itu interaksi intra dan inter spesies berperan penting dalam penentuan perwilayahan (spacing, sehingga banyak ikan-ikan yang menempati wilayah tertentu.

Dua kelompok ikan yang secara aktif memangsa koloni karang, yaitu jenis yang memakan karang (famili Tetra-odontidae, Monocanthidae, Balistidae, chaetodontidae) dan jenis omnivora yang mencabut polyp karang untuk mendapatkan algae yang berlindung di dalaam rangka karang (famili Acnthuridae, Scaridae). Ikan yang omnivora jumlahnya mencapai 50 70 %, hampir meliputi semua ikan di terumbu karang (famili Tetra-odontidae, Monocanthidae, Balistidae, chaetodontidae). Kelompok ke dua sekitar 15 % adalah ikan herbivora dan pem-angsa karang. Hanya beberapa spesies saja yang planktivora (Clupeidae, Atherinidae) dan karnivora.

Piskovora Besar

(hiu, kerapu, karangida, barakuda

Pemangsa ikan kecil

Piskovora perairan

(kerapu, seranida

tengah (karangida) -

kecil, karangida)

Pemangsa karang

(ikan buntal,

ikan kakatua)

Pemangsa invertebrata

Pemangsa invertebrata

bentik (ikan kepe-kepe - Karang perairan tengah (ikan

kerapu kecil)

betok laut, klupeida

-

Zooplankton

-

Herbivora

ikan pakol,ikan Pemangsa detritus Invertebrata

bibir, belosoh (belanak) bentik

-

Algae bentik Detritus

Fitoplankton

Gambar 3.3. Hubungan trofik pada ikan-ikan karang (Sumber: Connel, 1977

dalam Nybakken, 1988)

3.4. RUMPUT LAUT

3.4.1. Pendahuluan

Inventarisasi rumput laut di beberapa tempat di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Diantara jenis-jenis rumput laut yang terdapat di Indonesia, Heyne pada tahun 1922 mencatat 21 jenis rumput laut yang bermanfaat. Daftar jenis-jenis rumput laut tersebut telah ditambah dan diperluas oleh Zaneveld pada tahun 1955 dengan memasukkan jenis-jenis yang ekonomis dari kawasan Asia Tenggara. Dari berbagai jenis rumput laut yang bermanfaat di Indonesia, Kelas Rhodophyceae dapat menghasilkan agar-agar dan karaginan.

Indonesia dan Filipina merupakan negara penghasil Eucheuma terbesar dengan produksi sebesar 85 % dari jumlah total tanaman tersebut di dunia. Produksi tersebut didapatkan dari hasil budidaya yang dimulai pada tahun delapan puluhan (Risjani, 1999). Pada saat ini produksi dan nilai ekspor Eucheuma dari Indonesia ke beberapa negara naik seiring dengan fluktuasi nilai dolar Amerika. Negara produsen Gracilaria yang terbesar adalah Chili dengan produksi mencapai sekitar 47 ribu ton berat kering per tahun, sedangkan Indonesia menghasilkan sekitar 2 ribu ton berat kering per tahun pada kurun waktu lima tahun terakhir.

Eucheuma alvarezii atau yang disebut dalam dunia perdagangan dengan Eucheuma cottonii adalah rumput laut yang mempunyai banyak kegunaan, mengandung karaginan yang banyak dibutuhkan oleh dunia industri. Seiring dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997 yang lalu, dan dengan menurunnya nilai rupiah terhadap beberapa mata uang asing telah membuat terpuruknya beberapa usaha komoditas tertentu. Sebaliknya komoditas yang mempunyai pasaran ekspor seperti Eucheuma alvarezii, dalam kenyataannya menambah nilai ekspor dan devisa negara.

Rumput laut tumbuh hampir di seluruh hidrosfir sampai batas kedalaman kurang dari 300 meter, suatu kedalaman dimana masih dapat ditembus oleh cahaya matahari. Cahaya matahari adalah faktor utama yang sangat dibutuhkan oleh tanaman laut guna melakukan fotosintesa. Rumput laut hidup sebagai filobentos dengan menancapkan atau melekatkan dirinya pada substrat pasir, karang, fragmen karang mati, kulit kerang, batu ataupun kayu. Faktor-faktor oseanografis (fisika, kimiawi, dan dinamika) dan macam-macam substrat sangatlah menentukan terhadap pertumbuhan rumput laut. Iklim dan letak geografis menentukan pula jenis-jenis rumput laut yang tumbuh.

Rhodophyceae mengandung bahan yang disebut agar-agar dan karaginan. Zat-zat tersebut adalah fikol