Konsep Pendidikan Ibnu Sina

download Konsep Pendidikan Ibnu Sina

of 22

Transcript of Konsep Pendidikan Ibnu Sina

PEMBAHASAN Dalam sejarah pemikiran islam, Ibnu Sina di kenal sebagai intelektual muslim yang banyak mendapat gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota yang termasyhur dikalangan orangorang Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan polotik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.Adapun Ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afganistan. Namun demikian, ia ada yang menyebutkan sebagai berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 M, wilayah Afganistanini termasuk daerah Persia. Tampilnya Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibnu Sina melalui pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari ialah membaca al-quran. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal al-quran dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Ibnu Sina terbagi menjadi 2, yaitu: 1. ilmu yang tak kekal 2. ilmu yang kekal ilmu yang kekal dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan ilmu yang teoritis.[2] Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidik Ibnu Sina diantaranya: Mahmud al-Massah (ahli matematika) Abi Muhammad Ismail ibn al Husyaini (ahli fiqh) Abi Abdillah an-Natili (ahli manthiq dan falsafah) Selanjutnya dengan cara otodidak, ibnu sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam, hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini

didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini sebagian para penerjemah menduga bahwa ibnu sian mempelajari ilmu kedokteran dari Ali abi Sahl al-Masity dan Abi mansur al-Hasan ibn Nuh alQamary. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh keluasan teori dan praktek.Upaya memperdalam dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahhuan dilanjutkan ibnu sina pada saat ia memperoleh kesempatan menggunakan perpustakaan milik Nuh bin Mansyur yang pada saat itu menjadi sultan di Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa ibnu sina yang berhasil mengobati penyakit Sultan tersebut hingga sembuh.Dengan menenggelamkan diri dalam membaca buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan tersebut, Ibnu Sina berhasil mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada satupun cabang i9lmu pengetahuan yang tieda dipelajari. Hampir setahun lamanya ia membaca dan menelaah buku-buku yang terdapat perpustakaan tersebut, sampai datang musibah yang memutuskan semua harapannya, yaitu terjadinya kebakaran pada perpustakaan tersebut hingga memusnahkan buku-buku yang ada di dalamnya.Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samawi yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakaan itu mengatakan demikian. semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiripun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya. Ketika usia ku menginjak usia 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu. ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.Dalam bidang karir dan pekerjaan yang pertama kali ia lakukan adalah seperti orang tuanya, yaitu membantu tugas-tugas pangeran Nuh bin Mansur. Ia misalnya diminta menyusun kumpulan pemikiran filsafat oleh Abu al-Husain al- Arudi. Untuk ini ia menyusun buku al-majmu. Setelah ia menulis buku al-Hasbil wa al-Manshul dan al-Birr wa al-Ism atas permintaan Abu Bakar al-barqy al-Hawarizmy.Selanjutnya ketika Ibnu Sina berusia 22 tahum ayahnya meninggal dunia, dan kemudian terjadi kemelut politik di tubuh pemerintahan Nuh bin Mansur dan Abd Malik saling berebut kekuasaan, yang dimenangkan Abdul Malik. Selanjutnya dalam keadaan pemerintahan yang belum stabil itu datang pula serbuan dari kesultanan Mahmud Al-Ghaznawi, sehingga seluruh wilayah kerajaan tsamani yang berpusat di Bukhara jatuh ketangan penyerbu itu.Dalam keadaan situasi politik yang kurang menguntungkan itu, Ibnu Sina memutuskan diri untuk pergi meninggalkan daerah asalnya. Ia pergi ke karkang yang termasuk ibu kota Al-Khawarizm. Di kota ini, ibnu sina berkenalan dengan sejumlah pakar seperti Abu Al-Khair Al-Khamar, Abu Sahl Isa bin yahya Al-Masity Al-Jurjani, Bu Ar-Rayhan Al-Biruni dan Abu Nashr Al- Iraqi. Setelah itu ibnu sina melanjutkan perjalanan ke Nasa, Abiwarud, Syaqan, Jajarin dan terus ke

Jurjan. Ibnu sina berkesempatan untuk menyelesaikan beberapa karya tulisnya seperti kitab As-Syifa, An-Najab dan Al-Qanun fi Al-thibb.Setelah itu ibnu sina terserang penyakit Colic dan karena keinginannya untuk sembuh demikian kuat, sehingga ia pernah minta obat sampai delapan kali dalam sehari. Sekalipun jiwanya terancam karena penyakitnya, ia masih tetap aktif menghadiri sidang-sidang majelis ilmu di Isfhana. Ibnu sina juga dikenal sebagai seorang ulama yang amat produktif. Buku-buku karangannya hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengatahuan, diantaranya: ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan satra arab.Karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-Thibb. Dalam bidang filsafat As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi Asam al-alum al-aqliyah. Bidang logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab Lisan Al-Arab. Adapun dalam bidang agama dibagi menjadi 4 cabang, yakni: 1. Ilmu Akhlak 2. Ilmu cara mengatur rumah tangga 3. Ilmu tata negara 4. Ilmu tentang kenabian Dalam ilmu politik ini juga termasuk ilmu pendidikan, karena ilmu pendidikan merupakan ilmu yang berada pada garis terdepan dalam menyiapkan kader-kader yang siap untuki melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. 1. Konsep Pendidikan Ibnu Sina 1. Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, ibnu sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah raga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (saadat).

Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti di harapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya hayalnya. Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional.Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil (manusia yang sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi diinya secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengenbangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat. 2. Kurikulum Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai satu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isisnya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu Kurikulim disini berfungsi sebagai alat mempertemukan kedua pihak sehingga anak didik dapat mewujudkan bakatnya secara optimal dean belajar menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam masyarakatnya .Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian Pelajaran olahraga tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan berfungsinya organ tubuh secara optimal. Sedangkan pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya dengan pendidikan kebersihan diarahkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan. Dan dengan pendidikan seni suara dan kesenian diarahkan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya sebagaimana telah disinggung di atas.Mengenai mata pelajaran olahraga, Ibnu Sina memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya. Dalam hubungan ini Ibnu Sina menjelaskan ketentuan dalam berolahraga yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja diantara anak didik yang perlu diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja diantara anak didik

yang perlu dilatih olah raga lebih banyak lagi. Ibnu Sina lebih lanjut memperinci tentang mana saja olahraga yang memerlukan dukungan fisik yang kuat serta keahlian dan mana saja olahraga yang tergolong ringa, cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sabagainya. Menurutnya semua jenis olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan anak didik.Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukan kedalam kurikulum adalah olahraga kekuatan, gulat meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.Mengenai pelajaran kebesihan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pelajaran hidup berusia dimulai dai sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak bangun kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.Selanjutnya kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-quran, pelajaran agama, pelajaran syair dan pelajaran olah raga.Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-quran, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama islam seperti pelajaran Tfasi Al-Quran, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya Al-quran. Selain itu pelajara membaca dan menghafal Al-Quran juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa arab, karena dengan menguasai Al-Quran berarti ia telah menguasai kosa kata bahasa arab atau bahasa Al-quran.dengan demikian penetapan pelajaran membaca Alquran tampak bersifat startegis dan mendasar, baik dilihat daru segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari segi pembentukan ilmuwan muslim, sebagaimana yang diperlihatkan Ibnu Sina sendiri. Sudah menjadi alat kebiasaan umat islam mendahulukan pelajaran Al-Quran dari yang lain-lain.khawatir kalau anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum sampai membaca/ menghafal al-quran. Akhirnya anak-anak tidak mengenal al-quran sama sekali . Selanjutnya kurikiulum untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu sian menganjurkan kepada para pendidikagar memilihkan jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya. Kedua, bahwa startegi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada dimasyarakat.

Ketiga, strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam, ilmu dan keterampialan ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata lain, ia menghendaki agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahliaan menempuh sebagaimana cara yang ia lakukan. Dengan meliha cirri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa konsep kurikulum Ibnu Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum yang dikehendaki masyarakat modern saat ini. Konsep kurikulum untuk anak 3 sampai5 tahun misalnya, tampak masih cocok untuk diterapkan dimasa sekarang, sepeti pada kurikulum Taman Kanak-Kanak. 1. Metode Pengajaran Konsep metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran Ibnu Sina selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak didik. Berdasarkan pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan tidak akan kehilangan daya relevansinya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi magang, dan penugasan.Yang dimaksud dengan metode talqin dalam cara kerjanya digunakan untuk mengajarkan membaca al-quran, dimulai dengan cara memperdengerkan bacaan al-quran kepada anak didik sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan disuruh mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang hingga hafal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran dengan modul.Selanjutnya mengenai metode demontrasi menurut Ibnu Sina dapat digunakan dalam cara mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muriodnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyyah sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.Berkenaan dengan metode pembiasaan dan teladan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dmengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan denganm perkembangan jiwa si anak, sebagaimana hal ini telah disinggung pada uraian diatas.

Selanjutnya metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan pada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematic untuk dibahas dan dipecahkan bersama.Berkenaan dengan metode magang, Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktek. Yaitu satu hari diruang kelas untuk mempelajari teori dan hari berikutnya mempraktekan teori tersebut dirumah sakit atau balai kesehatan. Selanjutnya berkenaan dengan metode penugasan adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam bahasa arab pengajaran dengan penugasan ini dikenal dnegan istilah at-taiim bi almarasil ( pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul ).Dalam keseluruhan urasian mengenai metode pengajaran tersebut diatas terdaoat empat cirri penting, yakni: 1. uraian tentang berbagai metode tersebut memperlihatkan adanya keinginan yang besar dari ibnu sina terhadap keberhasilan pengajaran. 2. setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam presfektif kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta tingkat usia peserta didik. 3. metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik. 4. metode yang ditawarkan ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingka perguruan tinggi. Cirri-ciri metode tersebut hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan dengan tuntutan zaman. 2. Konsep Guru. Konsep guru yang idtawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akh;ak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan suci murni. Lebih lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya darikaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam

membingbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak dll. Berkenaan dengan tugas pendidikan, maka tugas seorang guru tidaklah mudah. Sebab pada hakekatnya tugas pendidikan yang utama adalah membentuk perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan yang baik dan sifat-sifat yang baik menjadi factor utama guna mencapai kebahagiaan anak, oleh karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik, contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan kesan buruk dalam jiwa anak yang menirunya Jika diamati secara seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam pendapatnya itu Ibnu Sina selain menekankan unsure kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia dapat membina mental dan akhlak anak. 3. Konsep Hukuman dalam Pengajaran Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukumanm dapat dilakukan dengan cara yang amat hatihati. Ibnu Sina menyadari sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan hukuman. Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan ada control secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan pendidikan.[8] Ibnu Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh dilakukan. Sikap humanistic ini sangat sejalan dengan alam demokrasi yang menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan sebagainya.

PENDAHULAN Kandungan materi pelajaran dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan yang masih bersifat dikotomis; yakni pemilahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum (sekular), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral. Kehadiran pendidikan Islam, baik ditinjau secara kelembagaan maupun nilai-nilai yang ingin dicapainya-masih sebatas memenuhi tuntutan bersifat formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang bersifat substansial, yakni tuntutan untuk melahirkan manusia-manusia aktif penggerak sejarah. Walaupun dalam beberapa hal terdapat perubahan ke arah yang lebih bak, perubahan yang terjadi masih sangat lamban, sementara gerak perubahan masyarakat berjalan cepat, bahkan bisa dikatakan revolusioner, maka di sini pendidikan Islam terlihat selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca tidak jelas. Dalam perkembangannya pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisonalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek dokriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh dasarnya.Dalam telaah sosiologis, pendidikan Islam sebagai sebuah pranata selalu mengalami interaksi dengan pranata sosial lainnya. Ketika berhubungan dengan nilai-nilai dan pranata sosial lain di luar dirinya, pendidikan islam menampilkan respon yang tidak sama. Nilai-nilai itu misalnya adalah modernisasi, perubahan pola kehidupan dari masyarakat agraris ke masysrakat industrial, atau bahkan post-industrial, dominasi ekonomi kapitalis yang dalam beberapa hal membentuk pola pikir masyarakat yang juga kapitalistik dan

konsumtif. Berdasarkan penggambaran dua jenis pendidikan di atas, maka respon yang dilahirkan terhadap penetrasi nilai-nilai kontingen ini bisa diwujudkan ke dalam dua respon: asimilasi dan alienasi. Respon yang bersifat asimilatif mengandalkan terjadinya persentuhan dan penerimaan yang lebih terbuka dari nilai-nilai dasar pendidikan Islam dengan nilai kontingen, baik yang tradisonal maupun modern. Karena sifatnya yang asimilatif, kategori respon ini agak mengkhawatirkan, karena bisa saja nilai-nilai baru yang berpenetrasi ke dalam masyarakat di mana pendidikan Islam itu berlangsung akan lebih dominan daripada nilai-nilai dasar Islamnya. Sebaliknya, respon yang bersifat alternatif akan menjadikan Islam sebagai sebuah entitas yang terkurung dalam satu ruang asing yang terpisah dari entitas dunia lain. Sistem pendidikan Islam yang memberikan wibawa terlampau besar kepada tradisi (terutama teks tradisional) dari guru, serta lebih membina hafalan daripada daya pemikiran kritis; walaupun sejak zaman reformasi Islam, lebih lagi pada dasawarsa terakhir, dunia Islam menyaksikan berbagai usaha melepaskannya, sikap tradisionalis tersebut sampai sekarang masih menguasai dunia pendidikan Muslim.Tentu saja semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim yang disebutkan tidak tampil secara merata pada semua periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun pada umumnya bebannya masih terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara teoritis, pendidikan Islam tidak akan pernah mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberalisasi, dan humanisasi. Baik respon dalam bentuk asimilasi maupun alienasi sama-sama mengandung kelemahan. Dominasi nilai-nilai kontingen dalam asimilasi akan menjadikan pendidikan islam kokoh secara metodologis, memberikan perhatian yang memadai kepada humanisasi dan liberasi, tetapi menaruh penghargaan yang kecil terhadap persoalan transendensi. Sementara respon dalam bentuk asimilasi, karena kuatnya berpegang kepada nilai-nilai inheren pendidikan Islam dan cenderung menolak nilai kontingen, menjadikannya kuat dalam dimensi transendental, tetapi lemah dalam metodologi, liberalisasi dan humanisasi. Perubahan masyarakat yang terpenting pada awal abad ke-21 ini, ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi yang sedemikian cepat. Dengan itu dunia menjadi kecil dan mudah dijangkau. Apa yang terjadi di belahan bumi paling ujung

dapat segera diketahui oleh masyarakat yang berada di ujung lain. Dalam konteks ekonomi politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae disebut the end of the nation state . Dari sisi politik, dapat dikatakan bahwa masyarakat global dewasa ini sangat dekat dengan isu-isu popular, seperti keterbukaan, hak asasi manusia, dan demokratisasi. Demikian pula, dari sudut ekonomi, perdagangan, dan pasar internasional.

PEMBAHASAN

Dalam kerangka struktur berpikir masyarakat agama, proses globalisasi dianggap berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai agama. Kenyataan tersebut tidak lagi dapat dibiarkan oleh masyarakat agama. Karenanya, esponrespon konstruktif dari kalangan pemikir dan aktivitas agama terhadap fenomena di atas menjadi sebuah keharusan. Dalam alur seperti ini, sebenarnya yang terjadi adalah dialog positif antara prima facie norma-norma agama dengan realitas empirik yang selalu berkembang. Meskipun demikian, penting untuk dicatat, bahwa pertemuan (encounter) masyarakat agama dengan realitas empirik tidak selalu mengambil bentuk wacana ialogis yang konstruktif. Alih-alih yang muncul adalah mitos-mitos ketakutan yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta-merta menyebabkan posisi agama berada di pinggiran. Sebagaimana ditulis oleh Ernest Gellner, One of the best known and most widely held ideas in the social sciences is the secularization thesis: in industrial and industrializing societies, in influence of religion diminishes. There is a number of versions of this theory: the scientific basis of the new technology undermines faith, or the erosion of social units deprives religion of its organizational base, or doctrinally centralized, unitarian, rationalized religion eventually cuts its own throat5. Kekhawatiran-kekhawatiran di atas sepenuhnya dapat dipahami. Meskipun demikian, hendaknya masyarakat agama tidak kehilangan penglihatan yang lebih luas. Sebanding dengan berkembangnya proses globalisasi, revitalisasi agama juga kembali mewarnai diskursus keagamaan sejak dasawarsa 1980-an. Sejak periode itu, pendulum kehidupan sosial-politik Amerika Serikat-untuk menyebut contoh kasus sebuah negara yang sering dipandang sebagai sekular bergerak ke kanan.fenomena ini menandai bangkitnya kesadaran kolektif akan arti penting agama dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik negara itu Antara lain karena berkembangnya pandangan tentang saling berkaitnya antara nilai-nilai agama dengan masalah yang menyangkut kamaslahatan umum, maka sosiolog seperti Robert N. Bellah meskipun tidak meletakkannya dalam konteks agama Katolik

maupun Protestan melihatnya dalam perspektif civil religion.7 Dalam nada yang sama, Jose Casanova melihat peran penting agama dalam kehidupan sosial politik di Spanyol, Polandia, Brazil, dan Amerika Serikat. Itu semua diekspresikannya dalam konteks bahwa agama itu bukan persoalan pribadi (private), tetapi justru persoalan publik (public). Karenanya, agama adalah sesuatu yang seharusnya deprivatized. 8 Peran Pendidikan Islam Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia. 9 Dalam konteks itu, hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis, lebih-lebih Islam, hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya hadir di mana-mana, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri itu, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia baik yang bersifat sosial budaya, ekonomi, maupun politik.10

Sementara itu, secara sosiologis, tak jarang agama menjadi

faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa kehadiran agama selalu disertai dengan dua muka (janus face). Pada satu sisi, secara inheren agama memiliki identitas yang bersifat exclusive, particularist, dan primordial. Akan tetapi, pada waktu yang sama juga kaya akan identitas yang bersifat inclusive, universalist dan transcending. Jadi ada dua hal yang harus dilihat dari gambaran tersebut di atas. Yaitu, memahami posisi agama dan meletakkannya dalam situasi yang lebih riil agama secara empirik dihubungkan dengan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Dan dalam konteks yang terakhir ini, sering ditemukan ketegangan antara kedua wilayah tersebut agama dan persoalan kemasyarakatan. Untuk meletakkan hubungan antara keduanya dalam situasi yang lebih empirik, sejumlah pemikir dan aktivitas sosial politik telah berusaha membangun paradigma yang dipandang memungkinkan. Tentu konstruksi pemikiran yang ditawarkan antara lain dipengaruhi dan dibentuk oleh asal-usul teologis dan sosiologis ataupun

spacio-temporal serta particularitas yang melingkup mereka. Tapi, terlepas dari variasi konstruksi pemikiran yang ditawarkan, pada dasarnya ada tiga aliran besar dalam hal ini. Pertama, perspektif makanik-holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua, pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah (domains) yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga, pandangan tengah yang mencoba mengintegrasikan pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antara agama dengan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan perspektif mekanik holistik yang seringkali melakukan generalisasi, bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah kemasyarakatan. Secara garis besar, aliran ketiga ini berpendapat bahwa agama dan persoalan kemasyarakatan merupakan wilayah yang berbeda. Tapi, karena imbasan nilainilai agama dalam persoalan masyarakat dapat terwujud dalam bentuk yang tidak mekanik-holistik dan institusional, di dalam realitas sulit ditemukan bukti-bukti yang tegas (brute fact) bahwa antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Untuk itu, hubungan antara dua wilayah yang berbeda itu akan selalu ada dalam kadar dan intensitas yang tidak sama serta dalam pola dan bentuk yang tidak selalu mekanistik, formalistik atau legalistik. Seringkali konstruksi polanya mengambil bentuk inspiratif dan substantif. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka sudah sewajarnyalah untuk dapat memahami hakikat pendidikan Islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam. Al-Quran meletakkan kedudukan manusia sebagai Khalifah Allah di bumi (Al-Baqarah: 30). Esensi makna Khalifah adalah orang yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin alam. Dalam hal ini manusia bertugas untuk memelihara dan memanfaatkan alam guna mendatangkan kemaslahatan bagi manusia. Agar manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah secara maksimal, maka sudah

semestinyalah manusia itu memiliki potensi yang menopangnya untuk terwujudnya jabatan khalifah tersebut. Potensi tersebut meliputi potensi jasmani dan rohani. Potensi jasmani adalah meliputi seluruh organ jasmaniah yang berwujud nyata. Sedangkan potensi rohaniah bersifat spiritual yang terdiri dari fitroh, roh, kemauan bebas dan akal. 16 Manusia itu memiliki potensi yang meliputi badan, akal dan roh.17

Ketiga-tiganya persis

segitiga yang sama panjang sisinya. Selanjutnya, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa potensi spiritual manusia meliputi dimensi: akidah, akal, akhlak, perasaan (hati), keindahan, dan dimensi sosial. Selain dari itu al-Quran menjelaskan juga tentang potensi rohaniah lainnya, yakni al-Qalb, Aqlu An Ruh, an-Nafs. Dengan bermodalkan potensi yang dimilikinya itulah manusia merealisasi fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi yang bertugas untuk memakmurkannya. Di sisi lain, di samping manusia berfungsi sebagai khalifah, juga bertugas untuk mengabdi kepada Allah (Az-Zariyat, 56). Dengan demikian manusia itu mempunyai fungsi ganda, sebagai khalifah dan sekaligus sebagai abd. Fungsi sebagai khalifah tertuju kepada pemegang amanah Allah untuk penguasaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pelestarian alam raya yang berujung kepada pemakmurannya. Fungsi abd bertuju kepada penghambaan diri semata-mata hanya kepada Allah. ntuk terciptanya kedua fungsi tersebut yang terintegrasi dalam diri pribadi muslim, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka suatu permasalahan pokok yang sangat perlu mendapat perhatian adalah penyusunan rancangan program pendidikan yang dijabarkan dalam kurikulum. Pengertian kurikulum adalah segala kegiatan dan pengalaman pendidikan yang dirancang dan diselenggarakannya oleh lembaga pendidikan bagi peserta didiknya, baik di dalam maupun di luar sekolah dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Berpedoman ruang lingkup

pendidikan Islam yang ingin dicapai, maka kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal, yaitu: 1. Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah) 2. Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia) 3. Tercapainya tujuan hablum minalalam (hubungan dengan alam). Para ahli pendidikan Islam seperti al-Abrasyi, an-Nahlawi, al-jamali, as-Syaibani, al-Ainani, masing-masing mereka tersebut telah merinci tujuan akhir pendidikan Islam yang pada prinsipnya tetap berorientasi kepada ketiga komponen tersebut. Ketiga permasalahan pokok pendidikan Islam di Indonesia itu melahirkan beberapa problema lainnya seperti struktural, kulktural dan sumber daya manusia. Pertama, secara struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam negeri berada langsung di bawah kontrol dan kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Problema yang timbul adalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatasnya upaya pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost per siswa atau mahasiswa. Berkenaan dengan masalah struktural ini juga lembaga pendidikan Islam dihadapkan pula dengan persoalan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Bagaimana kebijakan Departemen Agama tentang hal ini. Di satu sisi masalah pendidikan termasuk salah satu dari bagian yang pengelolaannya di serahkan ke daerah, sedangkan masalah agama tetap berada pengelolaannya di pusat. Sehubungan dengan itu perlu dikaji secara cermat dan arif yang melahirkan kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga endidikan Islam dan juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman. Kedua kultural, lembaga pendidikan Islam, terutama pesant5ren dan madrasah banyak yang menganggapnya sebagai lembaga pendidikan kelas dua. Sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat muslim untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang menganggap lembaga pendidikan Islam tersebut sebagai lembaga pendidikan kelas dua dapat dilihat dari outputnya, gurunya, sarana dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan yang baik, serta yang memiliki kedudukan/jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan Islam seperti di atas.

Ketiganya sumber daya manusia, para pengelola dan pelaksana pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari guru dan tenaga administrasi perlu ditingkatkan. Tenaga guru dari segi jumlah dan profesional masih kurang. Guru bidang studi umum (Matematika, IPA, Biologi, Kimia dan lain-lain) masih belum mencukupi. Hal ini sangat berdampak terhadap output-nya. Hakikat yang sesungguhnya dari pendidikan Islam itu, adalah pendidikan yang memperhatikan pengembangan seluruh aspek manusia dalam suatu kesatuan yang utuh tanpa kompartementalisasi, tanpa terjadi dikhotomi. Pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, seperti yang pernah dilakukan oleh sebagian umat Islam, tentulah tidak sesuai dengan konsep pendidikan. Pemisahan yang seperti itu, dijadikan landasan pemikiran oleh Konferensi Dunia tentang pendidikan Islam untuk diraih. And that them exists at present a regrettable dichotomy in education the Muslim World, one system, namely, religious education being completely divorced from the secular sciences and secular education being equally divorced from religion, although such compartmentalization was contrary to the true Islamic concept of education and made it impossible for the products of either system to represent Islam as a comprehensive and integrated vision of life.20

Melihat masa depan yang akan datang yang penuh dengan tantangan sudah barang tentu tidak bisa menyesuaikan permasalahan jika pendidikan Islam tersebut masih terikat dikhotomi. Berkenaan dengan itu perlu diprogramkan upaya pencapainya, mobilisasi pendidikan Islam tersebut, misalnya melakukan rancangan kurikulum, baik merancang keterkaitan ilmu agama dan umum maupun merancang nilai-nilai Islami pada setiap pelajaran; personifikasi pendidik di lembaga pendidikan sekolah Islam, sangat dituntut memiliki jiwa keislaman yang tinggi dan; lembaga pendidikan Islam dapat erealisasikan konsep kurikulum pendidikan Islam seutuhnya. Era Globalisasi Globalisasi adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan Jepang melakukan ekspansi besar-besaran; kemudian berusaha mendominir dunia dengan kekuatan teknologi, ilmu pengetahuan, politik, budaya, militer dan ekonomi.

Pengaruh mereka di segala bidang terhadap negara-negara berkembang yang baru terlepas dari belenggu penjajahan berdampak positif dan negatif sekaligus. Berdampak positif, karena pada beberapa segi ikut mendorong negara-negara baru berkembang untuk maju secara teknis, serta menjadi lebih sejahtera secara material. Sedangkan dampak negatifnya antara lain berupa: (1) munculnya teknokrasi dan tirani yang sangat berkuasa dan; (2) didukung oleh alat-alat teknik modern dan persenjataan yang canggih. Ternyata kini bahwa ilmu pengetahuan, mesin-mesin, pesawat hiper modern dan persenjataan itu sering disalahgunakan; yaitu dijadikan mekanisme operasionalistik yang menjarah dan menghancurkan. Sebagai akibatnya timbul banyak perang, penderitaan dan malapetaka di dunia. Negara-negara maju itu pada banyak segi, terutama di bidang teknis, ilmu pengetahuan dan manajerial memiliki segugus besar kelebihan dan kelimpahan, berupa: science, teknik canggih, industri dan produksi yang berlimpah. Karena itu semua kelimpahan tadi perlu didistribusikan keluar, dan dijadikan barang dagangan yang menguntungkan. Oleh sebab itu mereka memerlukan lahan pasar lebih luas lagi untuk menjual kelebihan hasil produksinya. Maka langkah niaga mereka yang semula bersifat spontan, damai, ramah, humaniter dan fasifistis, kemudian berubah menjadi agersif, ekspansif, eksploitatif, menjarah dan imperialistik. Tidak lama kemudian mereka menjadi kekuatan neo-kolonialisme (militer-politik-ekonomi) yang cepat mengembangkan sayap kekuasaannya ke negara-negara yang lemah sistem perekonomiannya. Sehubungan dengan nafsu ekspansi mereka itu, teknik dan ilmu pengetahuan yang dijadikan alat politik dan alat ekonomi perlu disamarkan. Misalnya dalam bentuk: misi bantuan pengembangan, program pembangunan daerah miskin, misi perdamaian, dana pampasan, tugas kemanusiaan, program kerjasama pendidikan, misi kebudayaan dan lain-lain. Maka berkaitan dengan derasnya arus globalisasi yang ditunggangi aksi-aksi kolonial tersembunyi perlu lebih meningkatkaqn kewaspadaan nasional, di samping memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

Globalisasi melibatkan pasar kapitalis dan seperangkar relasi sosial dan aliran komoditas, kapital, teknologi, ide-ide, bentuk kultur, dan penduduk yang melewati batas nasional via jaringan masyarakat global, transmutasi teknologi dan kapital bekerja sama menciptakan dunia baru yang mengglobal dan saling berhubung. Revoluasi teknologi yang menghasilkan jaringan komunikasi komputer, transportasi, dan pertukaran merupakan pra-anggapan (presumpposition) dari ekonomi global, bersama dengan perluasan dari sistem pasar kapitalis dunia yang menarik lebih banyak area dunia dan ruang produksi, perdagangan dan konsumsi ke dalam orbitnya.Meskipun ekonomi kapitalis masih penting untuk mamahami globalisasi, teknosainslah (techno-science) yang memberikan infrastrukturnya. Jadi, kuncinya terletak dalam hubungan dalektis antara tekno-sains dengan ekonomi kapitalis, atau tekno-kapitalisme (techno-capitalism). Globalisasi dapat dianalisa secara kultural, ekonomi, politik, dan atau instusional. Dalam masing-masing kasus, perbedaan kuncinya adalah apakah seseorang melihat

meningkatnya homogenitas atau heterogenitas. Pada titik ekstrem, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode dan praktik bersama (homogenitas), atau sebagai proses di mana banyak input kultural lokal dan global saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang mengarah ke pencangkokan kultur (heterogenitas). Trend menuju homogenitas sering kali diasosiasikan dengan imperialisme kultural atau dengan kata lain, bertambahnya pengaruh internasional terhadap kultur tertentu. Ada banyak variasi imperialisme kuktural termasuk yang menekankan peran yang dimainkan oleh kultur Amerika meskipun dia tak menggunakan istilah inperialisme kultural, menentang ide tersebut melalui konsepnya yang sangat terkenal, glocalization, di mana dunia global dilihat berinteraksi dengan dunia lokal untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda, yakni glocal. Globalitas berarti bahwa mulai sekarang tak ada kejadian di planet kita yang hanya pada situasi lokal terbatas; semua temuan, kemenangan dan bencana mempengaruhi seluruh dunia . Globalitas adalah proses baru setidaknya keran tiga alasan.

Pertama, pengaruhnya atas ruang geografis jauh lebih ekstensif. Kedua, pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil; pengaruhnya terus berlanjut dari waktu ke waktu. Ketiga, ada densitas (density) yang lebih besar untuk jaringan transnasional, hubungan dan arus pekerjaan jaringan. Michael juga mendaftar sejumlah hal lainnya yang mencolok yang berkaitan dengan globalitas ketika membandingkannyan dengan manifestasi lain dari

transnasionalitas antara lain: (1) kehidupan sehari-hari dan interaksi lintas batas negara semakin terpengaruh; (2) ada persepsi diri tentang transnasionalitas ini dalam bidangbidang seperti media massa, konsumsi, dan pariwisata (tourism); (3) komunitas, tenaga kerja, kapital semakin tak bertempat (placeless); (4) bertambahnya kesadaran tentang bahaya global dan tindakan yang harus diambil untuk menanganinya; (5) meningkatnya persepsi transtruktural dalam kehidupan kita; (6) industri-industri kultur global beredar pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan; (7) peningkatan dalam jumlah dan kekuatan aktor-aktor, institusi, dan kesepakatan transnasional. Ada dua event yang hampir bersamaan munculnya pada saat bangsa Indonesia memasuki milenium ketiga. Pertama globalisasi, diakibatkan kemajuan ilmu dan teknologi terutama komunikasi dan transportasi sehingga dunia semakin menjadi tanpa batas. Dalam budaya global ini ditandai dalam bidang ekonomi perdagangan akan menuju terbentuknya pasar bebas, baik dalam kawasan ASEAN, Asia Pasifik bahkan akan meliputi seluruh dunia. Dalam bidang politik akan tumbuh semangat demokratisasi. Dalam bidang budaya akan terjadi pertukaran budaya antarbangsa yang berlangsung begitu cepat yang saling

mempengaruhi, dalam bidang sosial akan muncul semangat konsumeris yang tinggi disebabkan pabrik-pabrik yang memproduksi kebutuhan konsumeris akan berupaya memproduk barang-barang baru yang akan bertukar dengan cepat pada setiap saat dan merangsang manusia untuk memilikinya.

Event kedua adalah reformasi, dalam era reformasi ini diharapkan akan muncul Indonesia baru. Wajah baru Indonesia ini akan memunculkan perbedaan yang kontras dengan wajah lamanya. Wajah baru Indonesia itu adalah wajah baru yang akan memunculkan masyarakat madai, yakni masyarakat berperadaban dengan menekankan kepada demokratisasi dan hak-hak asasi manusia, serta hidup dalam berkeadilan. Kesimpulan

Berdasarkan berbagai hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam halhal berikut ini: 1. Pendidikan Agama sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi, serta media untuk menguak rahasia alam raya dan manusia. 2. Pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi muslim sepenuhnya,

mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta dengan cara mengembangkan aspek struktural, kultural dan berupaya meningkatkan sumber daya manusia guna mencapai taraf hidup yang paripurna. 3. Era globalisasi memunculkan era kompetisi yang berbicara keunggulan, hanya manusia unggul yang akan survive di dalam kehidupan yang penuh persaingan, karena itu salah satu persoalan yang muncul bagaimana upaya untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Membentuk manusia unggul partisipatoris, yakni manusia yang ikut serta secara aktif dalam persaingan yang sehat untuk mencari yang terbaik. Keunggulan partisipatoris dengan sendirinya berkewajiban untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi manusia yang akan digunakan dalam kehidupan yang penuh persaingan juga semakin tajam.