Konsep Pelayanan Kedokeran Keluarga Dalam Era SJSN (IDI)

download Konsep Pelayanan Kedokeran Keluarga Dalam Era SJSN (IDI)

of 67

Transcript of Konsep Pelayanan Kedokeran Keluarga Dalam Era SJSN (IDI)

MEMBANGUN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN NASIONAL BERBASIS PELAYANAN KEDOKTERAN KELUARGA DALAM ERA SJSN

RINGKASAN EKSEKUTIF MEMBANGUN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN NASIONAL BERBASIS PELAYANAN KEDOKTERAN KELUARGA DALAM ERA SJSN

Banyak negara di dunia berhasil menata kembali sistem kesehatannya dengan menerapkan Primary Health Care (PHC) sebagai orientasi pembangunan kesehatannya. Deklarasi Alma Ata menjadi tonggak sejarah peradaban manusia. Pasca deklarasi tersebut kesehatan menjadi gerakan politik universal. Kesehatan diakui sebagai hak asasi manusia tanpa memandang status sosial ekonomi, ras, kewarganegaraan, agama, dan gender. Di Indonesia terjadi marginalisasi terhadap pelayanan kesehatan primer. Konsep PHC diinterpretasikan terbatas sebagai 1) Fisik puskesmas, 2) Program puskesmas, 3) Pelayanan strata pertama di sarana pemerintah, dan 4) Pendekatan upaya kesehatan berbasis masyarakat seperti posyandu, bidan desa, dan desa siaga. Hal ini menyebabkan PHC sebagai sebuah konsep dan strategi pembangunan kesehatan dikerdilkan menjadi sekedar pelayanan atau program kesehatan pemerintah untuk masyarakat kecil. Di sisi lain pelayanan kesehatan swasta (praktik dokter, klinik, rumah sakit) seolah di luar naungan konsep PHC. Pelayanan swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak ini dibiarkan bebas mengikuti mekanisme pasar. Model layanan yang sarat kuratif berdampak besar dalam membangun mind-set masyarakat untuk berorientasi kuratif, dan mendorong tumbuhnya komersialisasi layanan kesehatan termasuk di fasilitas kesehatan milik pemerintah. Pendidikan tenaga kesehatan juga berperan dalam pengkerdilan ini karena sistem pendidikan dan sistem pelayanan belum link and match atau masih berjalan sendiri-sendiri. Sampai saat ini model pendidikan tenaga kesehatan belum disesuaikan dengan konsep PHC. Mereka dididik di rumah sakit yang fungsinya semacam bengkel dan menjadi ahli mengobati organ tertentu bukan mengobati orang yang menderita penyakit; hasilnya adalah dokter dengan mind-set kuratif. Konsep PHC pada dasarnya adalah pendekatan atau strategi untuk membangun sistem kesehatan nasional yang mememayungi seluruh upaya kesehatan. Suatu sistem pelayanan kesehatan yang mengadopsi konsep PHC akan memiliki 22 karakteristik yang terbagi dalam dua kelompok: 1)karakteristik dari sistem pelayanan dan 2) karakteristik yang menjadi atribut yang melekat pada praktik dokter di strata primer. Sistem pelayanan kesehatan yang memiliki sebagian besar dari 22 karakteristik ini, dapat dikatakan sebagai sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pelayanan primer. Penguatan pelayanan kesehatan primer berkorelasi erat dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Kecacatan dan kematian secara dini dapat dicegah dan dideteksi. Peningkatan cakupan layanan primer dapat meningkatkan kepuasan pasien dan menurunkan biaya kesehatan karena angka rujukan menjadi lebih kecil. Studi di negara berkembang menunjukkan orientasi pada pelayanan spesialistik justru menimbulkan ketidakmerataan pelayanan kesehatan. Terbukti bahwa sistem kesehatan di negara berkembang yang berorientasi pada pelayanan primer, pelayanan bisa lebih merata, lebih mudah diakses dan lebih pro pada yang miskin. Menindaklanjuti UU SJSN no. 40 tahun 2004, telah disahkan UU no. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dalam undang-undang tersebut, bagaimana pelaksanaan jaminan kesehatan belum dijelaskan dan akan diatur dalam peraturan tersendiri. Penyedia layanan kesehatan akan berperan sebagai ujung tombak pelaksanaan jaminan kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu aturan mengenai pelaksanaan jaminan kesehatan, terutama yang mengatur mengenai penyedia layanan kesehatan atau pemberi pelayanan kesehatan.

Role Model Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Upaya Kota Bontang untuk menata ulang sistem pelayanan kesehatannya dengan menerapkan konsep PHC adalah sebuah contoh sukses. Sistem kesehatan Kota Bontang telah memiliki fondasi yang kuat untuk menjadi sebuah sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pelayanan primer dalam rangka mencapai universal coverage. Di era SJSN dan BPJS ini kesiapan pelayanan primer menjadi agenda yang tak terelakkan, oleh karena itu pengembangan role model pelayanan primer yang ditunjang oleh pembiayaan dari jaminan sosial menjadi mutlak untuk dipersiapkan. Puskesmas saat ini menanggung beban berat dengan menjalankan fungsi ganda sebagai penyelenggara upaya kesehatan masyarakat (public goods) dan upaya kesehatan perorangan (private goods). Dalam SKN 2004, disebutkan bahwa ketika SJSN sudah berlaku, maka akan terjadi perubahan fungsi puskesmas. Puskesmas akan fokus untuk menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara upaya kesehatan masyarakat. Sedangkan upaya kesehatan perorangan akan diserahkan kepada swasta melalui konsep pelayanan kedokteran keluarga, kecuali di daerah sangat terpencil yang masih akan terpadu dengan puskesmas. Namun, pada SKN 2009 konsep tersebut belum tampak demikian sehingga perlu dilakukan koreksi atau amandemen. Selanjutnya SKN tersebut bisa diangkat menjadi peraturan pemerintah (PP). Konsep Pelayanan Kedokteran Keluarga ini kemudian yang dimodifikasi dengan membangun jejaring pemberi pelayanan kesehatan primer dengan pendekatan pelayanan kedokteran keluarga dalam bentuk Klinik. Klinik kedokteran keluarga adalah konsep jejaring klinik dimana terdapat satu klinik induk dengan pelayanan lengkap dikelilingi oleh beberapa klinik pendukung sebagai satelit. Klinik-klinik tersebut tidak sekedar berjejaring tetapi menjadi klinik dengan kepemilikan bersama. Ada mekanisme rujukan dari dari klinik satelit ke klinik induk dengan fasilitas yang lebih lengkap. Setiap klinik satelit tetap memiliki instalasi obat dan fasilitas penunjang sederhana, namun untuk jenis pelayanan tertentu dibantu oleh klinik induk yang memiliki apotik lebih lengkap, fasilitas laboratorium, radiologi, ekg, usg, dan lain sebagainya sesuai dengan standar fasilitas pemberi pelayanan kesehatan primer. Sinergisitas tenaga kesehatan mewujudkan pelayanan kesehatan yang holistik sudah harus dikembangkan pada Klinik tersebut. Dokter tetap menjadi nahkoda pelayanan kesehatan, namun bukan pemilik tunggal dari pelayanan kesehatan. Selama ini dokter merasa sebagai pemilik tunggal atau penguasa dari pelayanan kesehatan, sehingga wajar jika masyarakat juga menimpakan seluruh kesalahan pelayanan kesehatan kepada dokter. Untuk itu perlu dipersiapkan strategi peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam kerangka tim pelayanan kedokteran keluarga melalui pelatihan dan bimbingan teknis secara terstruktur. Kepemilikan dalam kerangka bisnis layanan kesehatan yang memaksimalkan keuntungan akan menimbulkan ketegangan dan ketidak harmonisan karena berlandaskan besarnya modal yang dikuasai dan menempatkan profesional kesehatan dalam konteks antara buruh dan majikan serta pasien sebagai objek bisnis. Oleh karena itu perlu didorong kepemilikan bersama terhadap entitas pelayanan dan jejaringnya sehingga kolektifitas kesejawatan dapat terbangun dan imbal balik bagi profesi kesehatan bisa lebih berkeadilan. Konsep kepemilikan bersama ini bisa saja difasilitasi oleh pihak ketiga baik koperasi maupun lembaga keuangan lainnya yang bisa mengakomodir semangat kolektifitas kesejawatan profesi kesehatan. Proporsi kepemilikan, distribusi tanggung jawab dan prosentase bagi hasil pelayanan dapat ditentukan kemudian dengan hitungan tersendiri. Seluruh rakyat Indonesia berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama. Demi keadilan dan meratanya pemberian pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, maka rekrutmen dan seleksi PPK harus dilakukan secara seksama di tingkat Nasional. Pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan SJSN selayaknya bersifat efektif dan efisien, untuk menjaga kesehatan rakyat Indonesia dengan biaya kesehatan yang rasional. Pelayanan kesehatan yang holistik, komprehensif, dan berkesinambungan adalah karakteristik yang harus dimiliki oleh PPK.

PPK yang telah lolos seleksi dapat di tempatkan di daerah yang ditentukan oleh tim seleksi dari BPJS. Sesuai dengan UU No. 24 tahun 2011 mengenai BPJS, bentuk kerja sama antara BPJS dan PPK merupakan sistem kontrak. Untuk memperoleh hasil optimal dalam mengembangkan kesehatan pada masyarakat yang menjadi tanggungannya, dibutuhkan waktu yang tidak singkat. Jangka waktu 2 tahun adalah jangka waktu minimal untuk kontrak. Kontrak dengan PPK dapat diperpanjang dengan menilai kinerja PPK. Terkait dengan pelaksanaan jaminan kesehatan yang bertahap, pada pelaksanaan tahap awal, PPK yang tidak termasuk dalam sistem tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan pelayanan kesehatan bagi para peserta jaminan kesehatan. Pembiayaan PPK Mengenai pembiayaan PPK, yang dihitung adalah kebutuhan pembiayaan per entitas atau institusi pelayanan bukan per dokter. Berbeda dengan pembiayaan RS yang hitungannya berbasis pada paket pelayanan sebagaimana tertuang dalam INA-CBGs. Pembiayaan PPK meliputi biaya administrasi, sarana dan prasarana, obat dan perbekalan kesehatan, serta kompensasi tim dokter. Hitungan jasa medik konsultasi, pemeriksaan, maupun tindakan dalam rangka pengobatan baiknya hanya untuk kepentingan penjamin, dalam hal ini BPJS. Kompensasi atau pendapatan dokter berdasarkan jumlah tindakan tidak dianjurkan karena bisa mengganggu profesionalisme dokter dalam bekerja. Pendapatan dokter baiknya ditetapkan berbasis jam kerja dan kemanfaatan yang diberikan. Namun perlu ada standar mengenai jumlah jam pelayanan atau jumlah pasien dan jumlah tindakan yang ditangani oleh seorang dokter setiap harinya. Setiap PPK juga harus memiliki SOP dalam setiap layanan dan dalam penyelenggaraannya mengacu pada standar penyelenggaraan PPK. Secara umum mekanisme pembayaran layanan kesehatan masih didominasi oleh pembayaran out of pocket dengan konsep fee for service. Hal ini mendorong pemberian layanan yang berlebihan, terjadi pemborosan sumber daya dan menimbulkan ketidakpastian biaya pelayanan bagi pasien serta ketidakpastian kompensasi atau pendapatan bagi dokter. Pelayanan kesehatan menjadi komoditas yang mahal, sehingga membebani pemerintah dan juga masyarakat. Dahulu biaya berobat menjadi penghalang bagi akses terhadap layanan kesehatan, dengan adanya jaminan kesehatan nasional biaya berobat tidak lagi menjadi penghalang, namun mahalnya biaya pengobatan berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi keluarga bahkan nasional bila harus diikuti oleh premi asuransi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kompensasi Dokter dan Jasa Medik Secara umum pembenahan sistem kompensasi dan jasa medik dokter merupakan bagian dari upaya untuk menghargai profesi dokter secara layak dan berkeadilan, berkeadilan tidak hanya bagi dokter tapi juga bagi pasien dan pemerintah yang secara gotong royong menanggung biaya kesehatan. Sehingga dengan demikian pelayanan kesehatan yang diberikan tidak lagi terganggu oleh perilaku kejar setoran karena rendahnya tingkat kesejahteraan profesi dokter. Adanya kebijakan pelayanan kesehatan gratis melalui jaminan kesehatan daerah di banyak tempat di Indonesia seringkali diikuti dengan kebijakan dokter murah atau menghargai dokter di bawah standar nilai keekonomian atas jasa pelayanan yang diberikan. Kompensasi atau pendapatan dari kerja utama (40 jam/minggu) menjadi tidak mencukupi untuk hidup layak. Hal ini menyebabkan dokter harus kerja rangkap dan menambah jam kerja untuk mencukupi penghasilan. Akibatnya kualitas pelayanan berkurang, kepuasan pasien menurun dan angka rujukan ke pelayanan sekunder dan tersier meningkat. Soal kepantasan pendapatan seorang dokter sebetulnya siapa yang berhak menentukan? Apa yang menjadi dasar rasionalisasinya? Angka pendapatan dokter harus bisa memenuhi kebutuhan untuk hidup layak. Terbukti bahwa pendapatan dari kerja utama dokter (40 jam/minggu) tidak cukup untuk bisa hidup layak. Semestinya dokter dihargai sebagai dokter, mengapresiasi kerja kemanusiannya sesuai dengan etika dan kompetensinya dengan kompensasi yang layak.

Kompensasi adalah penghargaan berbentuk finansial (uang) dan nonfinansial (bukan uang) yang langsung dan tidak langsung diberikan kepada seseorang sebagai imbalan untuk suatu pelayanan atau pekerjaan dengan mempertimbangkan nilai dari pelayanan atau pekerjaaan serta kontribusi personal dan kinerja dalam melaksanakan pelayanan atau pekerjaan tersebut. Kompensasi langsung biasanya berbentuk gaji, sedang kompensasi tidak langsung berbentuk manfaat atau imbalan tambahan yang punya nilai ekonomi. Bila kedepan menggunakan sistem kapitasi maka kompensasi dokter dan tenaga kesehatan lainnya tidak dimasukkan dalam hitungan kapitasi tetapi sudah ditetapkan sebelumnya. Kompensasi tersebut sudah harus menjadi pendapatan utama dokter yang mencukupi sehingga dokter bisa fokus bekerja tanpa harus mencari nafkah dengan pekerjaan yang akan mengganggu aktifitas utamanya sebagai Dokter Pelayanan primer (DPP). Hasil penelitian IDI berkaitan dengan DPU sebagai kelompok profesional dengan pendidikan yang lama dan biaya pendidikan yang mahal masih lebih rendah dibandingkan para profesional yang bekerja di sektor lain, misalnya Bank. Kompensasi atau pendapatan setahun dari menjalankan profesi kedokteran sebagai DPP secara fulltime bisa dibagi menjadi 3 komponen kompensasi DPP. 1) Kompensasi Dasar, 2) Kompensasi peran, tanggungjawab & beban kerja, 3) Insentif mendukung pencapaian target nasional. Untuk menjamin suatu sistem kompensasi dokter dan jasa medik memenuhi asas keadilan dan asas transparansi, maka sistem tersebut harus dilandasi oleh prinsip dasar sebagai berikut: 1. Produktifitas dokter dan jasa medik merupakan bagian integral dari sistem kompensasi dokter. 2. Kompensasi dokter seyogyanya setara dengan kerja dokter, yaitu sumber daya yang dicurahkan dokter untuk melayani pasiennya. 3. Ada keseimbangan kompensasi antar dokter dan antar spesialisasi untuk menjamin meratanya persebaran dokter yang bekerja di strata pertama, kedua dan ketiga. 4. Ada keseimbangan kompensasi dokter antar wilayah (urban, rural, daerah terpencil dan pulau terluar NKRI) yang dapat mendukung pemerataan distribusi dokter di indonesia. 5. Kompensasi dokter maupun jasa medik sejogjanya dinyatakan dalam nilai relatif dan dalam rentang (range) bukan satu nilai (fix), agar dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. Rentang kompensasi ini seyogjanya mencerminkan kompensasi mayoritas dokter (70-80%). 6. Metode untuk menentukan kompensasi dokter seyogjanya tidak rumit, mudah diterapkan dan transparan, serta nilai nominalnya seyogjanya wajar, masuk akal dan berkeadilan bagi pasien dan dokter IDI telah melakukan survei kompensasi dokter untuk menghitung pendapatan dokter dari kerja utama dan kerja tambahan. Dalam analisis, nilai ekstrem dikeluarkan dan dibandingkan dengan pendapatan per kapita nasional. Hasilnya DPU sekitar 10-14 kali dan DSp sekitar 30-44 kali. Dengan asumsi nilai dollar lebih stabil maka total pendapatan dikonversi ke dollar. Dalam analisis dicoba membandingkan pendapatan dokter dengan UMR maupun kondisi ekonomi kabupaten/kota. Tapi hasilnya tidak pas untuk profesi dokter, karena dokter yang bekerja di daerah miskin akan memperoleh pendapatan yang kecil pula. Oleh karena itu penerapan Indeks Geografik Praktik (IGP) lebih pas. Sudah dihitung dan didapatkan IGP daerah urban dengan angka 1, IGP daerah rural dengan angka 1,25 , dan daerah terpencil dengan angka 1,5. Saat ini digunakan formula kompensasi dokter per bulan berikut ini: Kompensasi DPU = 10-14 x Pendapatan per kapita nasional x kurs 1USD x IGP 12 bulan Dengan pendapatan per kapita nasional saat ini sebesar 3.500,- dan kurs dollar di angka Rp. 9000,-, serta IGP dengan angka 1, maka didapatkan kisaran kompensasi DPU sebesar Rp. 25.500.000,hingga35.700.000,-.

IKATAN DOKTER INDONESIA 2012

NASKAH AKADEMIKMEMBANGUN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN NASIONAL BERBASIS PELAYANAN KEDOKTERAN KELUARGA DALAM ERA SJSN

Jl. Dr GW Sam Ratulangie 39, Jakarta Pusat

Ikatan Dokter Indonesia

Daftar Isi1.Tim Penyusun

Error! Bookmark not defined.2 4 7 10 16 22 25 29 34 36

2. Pendahuluan 3. Primary Health Care 4. Role Model Pemberi Pelayanan 5. Kondisi Obyektif Pelayanan Kesehatan Saat Ini 6. Konsep Penyedia Pelayanan Kesehatan Primer Era SJSN 7. Rekruitmen dan Seleksi Penyedia Layanan 8. Kolaborasi dan Kooperasi Penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Primer 9. Pendapatan dan Kesejahteraan Dokter Praktik Umum pada BPJS 10. Dukungan Sistem Kesehatan Nasional 11. Kesimpulan

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

1

Ikatan Dokter Indonesia

Tim Penyusun- Pengarah: Prof. DR. Dr. Farid Anfasa Moeloek, Sp.OG (K) - Koordinator: Dr. Zaenal Abidin, MH.Kes - Perwakilan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia: - Dr. E Sutarto, MPH - Dr. Gatot Soetono, MPH - Dr. Kadarsyah, MS - Perwakilan Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia: - Dr. Dhanasari Vidiawati, MSc.CM-FM - DR. Dr. Herqutanto, MPH, MARS - Dr. Judilherry Justam - Perwakilan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia: - Dr. Abraham Andi Padlan Patarai, M.Kes - Dr. Dyah Agustina Waluyo - Dr. Mahesa Paranadipa, MH.Kes - Dr. Abd. Halik Malik

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

2

Ikatan Dokter Indonesia

1. Pendahuluan

Keberhasilan pembangunan suatu negara dapat dilihat dari Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut Biro Pusat Statistik, IPM Indonesia pada tahun 2010 adalah 0.7271 , yang menurut UNDP termasuk dalam 10 negara di Asia yang mengalami kenaikan melesat dalam 10 tahun terakhir. IPM mencerminkan 3 aspek penting

dalam pembangunan, yaitu kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Ketiga aspek tersebut memiliki keterkaitan erat antara satu dengan yang lain. Dengan kesehatan yang tidak baik, pendidikan tidak dapat berjalan dengan baik. Tanpa kesehatan dan pendidikan yang baik, maka kondisi ekonomi pun akan sulit untuk membaik. Laporan United Nation Development Program (UNDP) pada akhir 2011 menyatakan bahwa IPM Indonesia (disana tercatat sebagai 0.616) berada pada ranking 124 dunia. Diantara negara Asean, urutan pada daftar IPM dari yang tertinggi untuk Singapore 26, Brunei Darussalam 34, Malaysia 64, Thailand 103, Philippines 112, Vietnam 128, Cambodia 139, Myanmar 149, dan Laos tidak tercatat. Peningkatan IPM Indonesia dari kategori medium harus segera ditingkatkan mejadi kategori tinggi. Pada kategori sangat tinggi terdapat 47 negara dengan IPM tertinggi 0.943 hingga 0.793.2 Oleh karena itu dengan kesadaran akan pentingnya pemeliharaan kesehatan penduduk, maka kebutuhan suatu jaminan sosial untuk menjaga kesehatan seluruh warga negara Indonesia1

. TABEL IPM PROPINSI DAN NASIONAL 2006-2010. HTTP://WWW.BPS.GO.ID/TAB_SUB/VIEW.PHP? TABEL=1&DAFTAR =1&ID_SUBYEK=26&NOTAB=2 2 .HUMAN DEVELOPMENT INDEX AND ITS COMPONENTS IN 2011. HTTP://HDR.UNDP.ORG/EN/MEDIA/HDR_2011_ EN_TABLE1.PDF

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

3

Ikatan Dokter Indonesia

telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Menindaklanjuti undang-undang mengenai SJSN, disahkan UU no. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dalam undang-undang tersebut, bagaimana jaminan kesehatan tersebut dilaksanakan, tidak banyak dijelaskan. Penyedia

layanan kesehatan akan berperan sebagai ujung tombak pelaksanaan jaminan kesehatan. Oleh karena itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang merupakan organisasi profesi seluruh dokter di Indonesia berkepentingan mengajukan usulan mengenai pelaksanaan jaminan kesehatan, terutama yang mengatur penyedia layanan kesehatan baik dari segi kuantitas maupun kualitas pelayanan.

2. Primary Health Care

Akses ke pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia dan negara bertanggung jawab untuk itu. Di banyak negara di dunia termasuk di Indonesia, pelayanan kesehatan tumbuh menjadi industri yang tidak terkendali dan menjadi tidak manusiawi, yang oleh WHO disebut sebagai the pervassive commercialization of healthcare in unregulated health systems . Hal ini ditandai dengan maraknya komersialisasi pada pelayanan dan pendidikan kedokteran yang dipicu oleh sistem pembiayaan yang belum baik. Banyak negara di Uni Eropa dan Amerika Latin serta beberapa negara Asia berhasil menata kembali sistem kesehatannya dengan menerapkan Primary Health Care (PHC) sebagai strategi

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

4

Ikatan Dokter Indonesia

pembangunan kesehatan. Deklarasi Alma Ata menjadi tonggak sejarah peradaban manusia karena sejak itu kesehatan menjadi gerakan politik universal dan kesehatan diakui sebagai hak asasi manusia tanpa memandang status sosial-ekonomi, ras, kewarganegaraan, agama, gender. Deklarasi Alma Ata (1978) adalah penegasan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia yang patut diperjuangkan, serta mengingatkan bahwa kesehatan berperan sebagai alat

pembangunan sosial bukan sekedar hasil dari kemajuan ekonomi. Kesadaran ini melahirkan konsep PHC yang intinya 1) menggalang potensi pemerintah-swasta-masyarakat lintas sektor, mengingat kesehatan adalah tanggung jawab bersama; 2) menyeimbangkan layanan kuratif dan preventif dan menolak dominasi elit dokter yang cenderung mengutamakan pelayanan rumah sakit dan peralatan canggih yang mahal; 3) memanfaatkan teknologi secara tepat guna pada setiap tingkat pelayanan.3 Sebagai strategi pembangunan kesehatan dalam mewujudkan Health For All (HFA), Deklarasi Alma Ata mencakup banyak hal seperti kesehatan sebagai hak asasi, tanggung jawab individu dan masyarakat, peranan dan tanggung jawab negara, pembangunan sosial-ekonomi, dan konsep PHC. Kesepuluh butir Deklarasi Alma Ata sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu upaya kesehatan perorangan (UKP), upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan wilayah (UKW) yang dipayungi oleh kebijakan publik untuk mensinergikan ketiganya dalam mencapai HFA. UKP dalam PHC dioperasionalkan dalam sistem pelayanan kesehatan berstruktur piramida yang mengutamakan pelayanan strata pertama pada masyarakat. Strata ini merupakan kontak pertama3

masyarakat dengan sistem pelayanan kesehatan. Upaya

kesehatan personal

. DECLARATION OF ALMA ATA. HTTP://WWW.WHO.INT/HPR/NPH/DOCS/DECLARATION_ALMAATA.PDF

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

5

Ikatan Dokter Indonesia

diharapkan mampu menatalaksana 90-95% masalah kesehatan individu dan keluarga. Pelayanan strata kedua dan ketiga atau pelayanan rujukan disiapkan untuk mengatasi masalah kesehatan yang tidak dapat diselesaikan di strata pertama. Dalam perkembangan puskesmas di Indonesia, ketika tahun 1970- an Indonesia mulai menguji coba puskesmas yang semula terbagi atas beberapa kegiatan pelayanan kesehatan seperti balai pengobatan, balai kesehatan ibu dan anak, dan sebagainya, yang disatukan dalam satu tempat yang disebut sebagai pusat kesehatan masyarakat, yang sampai saat ini puskesmas

berkembang menjadi 9313 buah pada tahun 2012. Semula puskesmas ditargetkan untuk mensukseskan basic-six program, yang kemudian berkembang menjadi basic-seven pada tahun 80-an dan pada tahun 90-an berkembang menjadi program dengan 18 upaya pokok puskesmas. Pada tahun 2000-an muncul kesadaran akan pengutamaan basic-six kembali, setelah

Health for All tahun 2000 tidak tercapai. Sayangnya seringkali puskesmas

diinterpretasikan terbatas sebagai 1) fisik puskesmas, 2) program puskesmas, 3) pelayanan strata pertama di sarana pemerintah, 4) pendekatan upaya kesehatan berbasis masyarakat seperti posyandu, bidan desa, dan desa siaga. Puskesmas disemua tempat diberi beban dan upaya yang seragam yang belum tentu cocok pada semua kondisi geografi dan penduduk. PHC yang seharusnya merupakan perwujudan konsep dan strategi pembangunan kesehatan hanya menjadi sekedar pelayanan atau program kesehatan pemerintah untuk masyarakat bawah. Terbatasnya kemampuan pemerintah, membuat PHC identik dengan program murahan, untuk orang miskin, tidak berkualitas dan tidak efisien yang akhirnya tidak menarik bagi kalangan yang mampu membayar.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

6

Ikatan Dokter Indonesia

Hasil sensus penduduk tahun 2011 yang menunjukkan bahwa terdapat keseimbangan penyebaran penduduk di perkotaan (49,79%) dan di pedesaan, memberi arahan bahwa PHC perkotaan seharusnya tidak lagi harus seragam dengan PHC di pedesaan. Telah tiba saatnya ada pemisahan tanggung jawab dan fungsi akan UKP dan UKM pada PHC di perkotaan. Tuntutan masyarakat perkotaan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas sudah tidak dapat dipungkiri. Begitu pula kepadatan penduduk yang menuntut cepat dan tepatnya pelayanan kesehatan masyarakat. Dengan dipisahkan UKP dan UKM maka masingmasing institusi dapat memfokuskan pekerjaannya semaksimal mungkin.

3. Role Model Pemberi Pelayanan Kesehatan

Pada tahun 2007-2009, Kota Bontang telah menguji coba pemisahan pelayanan UKM dan UKP untuk efektifitas pelayanan. Pelayanan UKM fokus diberikan oleh Puskesmas sementara pelayanan UKP diberikan kepada entitas pemberi pelayanan kesehatan dengan pendekatan pelayanan kedokteran keluarga. Konsep pelayanan kedokteran keluarga ini kemudian yang dimodifikasi dengan membangun jejaring pemberi pelayanan kesehatan primer dengan pendekatan pelayanan kedokteran keluarga dalam bentuk klinik. Dalam uji coba Pelayanan Kedokteran Keluarga di kota Bontang tersebut, terdapat 5 karakteristik yang diidentifikasi memberi kontribusi sangat besar untuk menerapkan sistem pelayanan yang berorientasi pada pelayanan primer, yaitu:

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

7

Ikatan Dokter Indonesia

a. Kota Bontang telah memiliki Perda Nomor 6 tahun 2010 tentang Sistem Kesehatan Daerah yang menempatkan kedudukan kedokteran keluarga sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan. b. Kota Bontang telah memiliki Perda Nomor 11 tahun 2009 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Daerah yang memberikan jaminan kesehatan pada penduduk yang kurang mampu. Sehingga dapat dikatakan hampir seluruh penduduk Kota Bontang telah ada yang menanggung biaya kesehatannya baik melalui Jamkesmas, Askes, Jamsostek, Jamkesda mapun dikelola sendiri oleh perusahaan. c. Kota Bontang telah melakukan reorientasi fungsi puskesmas dengan tujuan menghilangkan tumpang tindih fungsi UKP dan UKM yang selama ini terjadi. Puskesmas difungsikan sepenuhnya untuk melaksanakan UKM, sedang fungsi pengobatan yang tadinya ada di puskesmas dialihkan ke praktik dokter keluarga (PDK). Penataan ulang fungsi puskesmas ini sejalan dengan mulai diterapkannya sistem jaminan kesehatan nasional. d. Jumlah pelayanan kedokteran keluarga di kota Bontang jauh lebih besar ketimbang jumlah DSp. Kondisi ini mencerminkan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pelayanan primer. e. Rasio DPP terhadap penduduk sudah mendekati 1:2500 berarti ketersediaan

DPP sangat mendukung untuk menerapkan sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pelayanan primer.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

8

Ikatan Dokter Indonesia

Selain 5 karakteristik yang memberikan kondisi kondusif, terdapat juga 4 karakteristik yang diidentifikasi mulai kondusif untuk penerapan sistem pelayanan yang

berorientasi pada pelayanan kesehatan primer, yaitu: a. Telah ada cukup banyak dokter pelayanan primer (DPP) dalam bentuk pelayanan kedokteran keluarga yang berada di tengah masyarakat. b. Telah ada upaya untuk mengatur persebaran lokasi praktik DPP di tengah masyarakat berdasarkan wilayah administrasi (kecamatan). Seyogianya upaya ini diperluas untuk menata juga sarana kesehatan primer milik swasta. c. Telah cukup banyak populasi masyarakat yang berkunjung ke DSp ( dokter spesialis) melalui rujukan dari DPP. Populasi ini adalah masyarakat yang dijamin oleh Askes, Jamsostek dan Jamkesda. d. Telah cukup banyak populasi masyarakat yang hubungan dengan DPPnya sudah berdasarkan kontraktual antara penjaminnya (Askes, Jamsostek dan Jamkesda) dengan DPP. Implikasi dari kondisi ini akan menguntungkan dalam hal kesinambungan pemeliharaan kesehatan peserta. Selain karakteristik yang memberikan kontribusi dan kondusif terhadap

pelaksanaan pelayanan kedokteran keluarga di Kota Bontang, masih ditemui 12 karakteristik yang tidak mendukung, yaitu: a. Belum adanya regulasi yang mewajibkan warga mendaftarkan ke sarana kesehatan primer yang berada di domisilinya. b. Belum adanya regulasi yang membatasi akses masyarakat atau self-refferal ke DSp.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

9

Ikatan Dokter Indonesia

c. Sebagian besar DPP masih merangkap pekerjaan, sehingga sebagian besar waktu belum dicurahkan untuk memberi pelayanan kepada warga yang menjadi tanggungjawabnya. d. Belum ada regulasi yang mengharuskan DSp berpraktik hanya di rumah sakit. Meskipun pada kenyataannya sebagan besar DSp sudah berpraktik di rumah sakit. e. Masih dominannya pembayaran secara fee-for-service pada praktik DPP f. Masih dominannya pembayaran secara fee-for-service pada praktik DSp g. Adanya kesenjangan pendapatan yang sangat besar antara DPP dengan DSp. h. Belum berperannya IDI Kota Bontang dalam menjaga mutu pelayanan, mengatur persebaran dokter dan menegosiasikan kompensasi DPP. i. DPP belum bisa memberikan pelayanan yang menjadi kompetensi karena keterbatasan perangkat kerja di tempat praktiknya. j. Belum terjadinya koordinasinya yang baik antara DPP dan DSp dalam menangani masalah kesehatan pasien, karena mereka belum didukung dengan tata-cara yang mengatur hubungan ini. k. DPP tidak mempunyai akses ke rekam medik keluarga, karena sistem rekam medik dan sistem informasi kesehatan belum standar l. DPP tidak mempunyai akses ke data komunitas pasiennya, sehingga pelayanan kepada pasien belum berorientasi pada komunitas.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

10

Ikatan Dokter Indonesia

4. Kondisi Obyektif Pelayanan Kesehatan Saat Ini

4.1. Jaminan KesehatanJaminan kesehatan dalam satu negara yang meliputi seluruh penduduk sering disebut sebagai universal health coverage. Jaminan tersebut tidak selalu berupa single payer system (pembayar tunggal) dalam pelayanan kesehatan di suatu negara. Pada saat ini selain ada PT ASKES

Kementerian Kesehatan sebagai penyelenggara jaminan kesehatan juga

untuk PNS, PT Jamsostek untuk pekerja, Asabri untuk ABRI, Asuransi Perusahaan untuk karyawan masing-masing dari perusahaan-perusahaan besar dan perusahaan asuransi swasta dengan nasabah umum. Pada tahun 2010, jaminan kesehatan dibawah PT Askes berjumlah 23,260,376 (10%) jiwa, PT Jamsostek 7,225,200 (3%) jiwa dan Jamkesmas

76,400,000 (32%) jiwa dengan 71 % penyelenggara jaminan adalah kementerian kesehatan RI.4 Data yang diperoleh dari buku profil kesehatan Indonesia 2010, dari 236,034,478 penduduk Indonesia, Jamkesda telah mejamin 31.905.006 (13,5%) penduduk, Asuransi

Perusahaan tempat bekerja menjamin kesehatan 15,351,352 (6,5%) penduduk, dan Asuransi swasta lain menjamin 2,856,539 (1,21%) penduduk.5

4

. PROFIL JAMINAN KESEHATAN SOSIAL TAHUN 20120. HTTP://WWW.JAMSOSINDONESIA.COM/CSTATISTIC/VIEW/JAMINAN-KESEHATAN-SOSIAL_15

. PROFIL KESEHATAN INDONESIA 2010. KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

11

Ikatan Dokter Indonesia

Dengan data bahwa 10 % penduduk Indonesia dikategorikan sebagai orang kaya, maka 25 juta penduduk telah terjamin kesehatannya oleh pembiayaan out of pocket atau asuransi di luar jaminan kesehatan (SJSN) . Masih menjadi pertanyaan adalah jaminan kesehatan sekitar 50 juta penduduk Indonesia yang tidak terjaring dalam seluruh skema pembiayaan jaminan kesehatan di atas. Diharapkan seluruh penduduk akan terjaring dalam sistem jaminan sosial nasional begitu diberlakukannya pada tanggal 1 Januari 2014 nanti.

4.2. Kunjungan peserta jamkesmasKunjungan peserta jamkesmas pada layanan rawat jalan tingkat pertama pada tahun 2011 adalah 31,49 juta orang (41,4% dari 76 juta penduduk yang tercakup dalam skema jamkesmas) dengan 4,74 juta kunjungan rawat jalan tingkat lanjut (15.5% dari kunjungan rawat jalan tingkat pertama). Walau belum ditemukan data banyaknya pasien dari jumlah kunjungan peserta jamkesmas di layanan kesehatan pertama dan lanjutan, namun dapat diprediksi bahwa lebih dari 50 % penduduk yang terjamin dalam jamkesmas tidak menggunakan fasilitas pelayanan kesehatannya. Yang masih jadi pertimbangan adalah sistem pelayanan jamkesmas belum terserap dengan baik dan efisien.

4.3. Puskesmas, pemanfaatan, rasio dokter dan rasio puskesmas terhadap pendudukTercatat pada tahun 2010 jumlah puskesmas di Indonesia adalah 9313 puskesmas, dan 2920 diantaranya puskesmas dengan rawat inap. Jumlah dokter praktik umum yang bekerja di puskesmas adalah 10.891 orang dokter, dengan 4.490 dokter gigi, 52.903 orang perawat dan 33.155 orang bidan. Di luar jumlah tersebut, jumlah bidan di desa adalah 30.946 orang, jumlah apoteker 863 orang dan jumlah sarjana kesehatan masyarakat adalah 259 orang.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

12

Ikatan Dokter Indonesia

Menurut

BPS,

Statistik

Kesejahteraan

Rakyat

2007,

persentase

penduduk

yang

memanfaatkan puskesmas untuk berobat jalan rata-rata 40,45 %, dengan variasi > 60 % adalah provinsi Papua Barat, NTT, Sulawesi Barat, Papua dan Sulawesi Tenggara. Dengan kelompok dibawah < 30 % terdapat 7 provinsi yaitu Sumatera Selatan, Lampung, D.I. Yogjakarta, Jawa Timur, Banten, Bali dan Sumatera Utara.6 Dokter praktik umum yang teregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia hingga akhir tahun 2011 adalah 73.585 orang.7 Berdasarkan pendataan BPS potensi desa/kelurahan pada tahun 2008, rasio dokter per 100.000 penduduk yang ditargetkan 40 dokter, hanya dicapai oleh provinsi Papua Barat dan Sulawesi Utara. Propinsi yang memiliki rasio 30-40 dokter per 100.000 penduduk adalah Provinsi D.I. Yogjakarta, DKI Jakarta, Bali, Bengkulu dan Kepulauan Riau. Sedangkan sisanya dibawah 30 dokter per 100.000 penduduk. Bahkan 18 provinsi memiliki < 20 dokter per 100.000 penduduk.8 Data di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar dokter praktik umum di Indonesia tidak bekerja sebagai dokter puskesmas, namun pemanfaatan puskesmas yang tinggi adalah ditempat dimana rasio dokter per penduduk yang mencapai 1 dokter per 2500 penduduk. Dari data pada Profil Kesehatan Indonesia 2010 tertulis bahwa rasio keberadaan puskesmas dibanding 100.000 penduduk pada tahun 2010 beragam. Rasio puskesmas tertinggi adalah di Papua Barat yaitu sebesar 13.94 dan rasio terendah di Banten 2,04. Provinsi yang memiliki rasio keberadaan puskesmas < 3 dibanding 100.000 penduduk6

PETA KESEHATAN INDONESIA 2008. KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. HTTP://WWW.DEPKES.GO.ID/ DOWNLOADS/PUBLIKASI/PETA%20KESEHATAN%20INDONESIA%202008.PDF7

PENERBITAN SURAT TANDA REGISTRASI UNTUK DOKTER DAN DOKTER GIGI SAMPAI DENGAN BULAN DESEMBER 2010. HTTP://INAMC.OR.ID/DOWNLOAD/JUMLAH%20STR.PDF8

PETA KESEHATAN INDONESIA 2008. KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. HTTP://WWW.DEPKES.GO.ID/ DOWNLOADS/PUBLIKASI/PETA%20KESEHATAN%20INDONESIA%202008.PDF

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

13

Ikatan Dokter Indonesia

adalah Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. pemikiran bahwa kebijakan BPJS perlu memperhatikan

9

Data ini mendorong keberadaan

keberagaman

puskesmas di setiap daerah.

4.4. Rumah Sakit dan dokter di RSJumlah RS di Indonesia pada tahun 2012 adalah 1923 dengan 23,3 % diantaranya RS khusus sedangkan sisanya RS Umum. Dari 1923 RS tersebut 40.6 % diantaranya adalah milik pemerintah, 35,8 % milik swasta berbasis non profit, dan sisanya (23.6%) swasta dengan bertujuan profit. Dokter praktik umum yang bekerja di rumah sakit saat ini adalah 13.584 orang dokter, dengan rincian 7% di RS tipe A, 30% di RS tipe B, 31% di RS tipe C dan sisanya 32% di RS tipe D dan non klas. Data tersebut secara kuantitas lebih besar dari pada jumlah dokter spesialis generalis yang bekerja di RS. Pada data yang sama tertulis bahwa dokter spesialis anak 2675 orang (19% dari jumlah DPU di RS), dokter spesialis obgyn 3108 orang (22.8% dari jumlah DPU di RS), dokter spesialis penyakit dalam 2788 orang (20.5% dari jumlah DPU di RS), dan dokter spesialis bedah 2414 orang (17.78% dari jumlah DPU di RS). Rata-rata, DPU tersebar terbanyak di rs klas B.10

Dengan

memperhatikan data bahwa pada setiap rumah sakit klas A dan klas B terdapat sekitar 17 DPU, di rumah sakit klas C terdapat sekitar 7 DPU, dan di klas D dan non klas terdapat sekitar 3 DPU, serta jumlahnya lebih banyak dari dokter spesialis yang ada, maka dokter praktik umum (DPU) yang bekerja di rumah sakit, yang juga merupakan ujung tombak pelayanan kedokteran di RS perlu diperhatikan keberadaannya.

9

PROFIL KESEHATAN INDONESIA 2010. KEMETERIAN KESEHATAN INDONESIA. REKAPITULASI TENAGA RUMAH SAKIT. HTTP://202.70.136.52/RSONLINE/REPORT/REPORT_BY_PENYELENGGARA.PHP

10

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

14

Ikatan Dokter Indonesia

Data yang tersebut di atas menggambarkan keberagaman kondisi layanan kesehatan di Indonesia dari segi kuantitas. Untuk kualitas, Puskesmas dan Rumah Sakit baik pemerintah maupun swasta seluruh Indonesia sedang susul menyusul untuk mendapatkan ISO 9001 untuk pelayanan umum, termasuk pelayanan kesehatan, selain berusaha meraih sertifikat JCI (Joint Commission International) bagi rumah sakit-rumah sakit besar. Pada bagian

Indonesia yang lain, hingga Februari 2012, sebanyak 60 persen dari 328 puskesmas dan 15 rumah sakit di Papua tidak memiliki tenaga dokter.11

Sayangnya pendataan jumlah klinik dan dokter praktik swasta belum dapat diakses dengan mudah. Sehingga belum diketahui pasti berapa jumlahnya saat ini. Dalam suatu pidatonya, Menteri Kesehatan RI di pembukaan Expo Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, pada bulan April 2012 mengatakan sekitar 12000 klinik dan dokter praktik yang akan dioptimalkan pemanfaatannya dalam jaminan kesehatan 2014. Namun belum ada publikasi yang menyatakan jumlah fasilitas pelayanan primer selain puskesmas yang sekarang ada serta penyebarannya.

11

VEN. PAPUA BUTUHKAN 60 PERSEN LAGI TENAGA DOKTER. BINTANG PAPUA HARIAN UMUM. SENIN, 27 FEBRUARI 20:12 22:20. HTTP://BINTANGPAPUA.COM/PORT-NUMBAY/20252-PAPUABUTUHKAN-60-PERSEN-LAGI-TENAGA-DOKTER

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

15

Ikatan Dokter Indonesia

5. Konsep Penyedia Pelayanan Kesehatan Primer Era SJSN

Pada Pasal 11 UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dituliskan bahwa BPJS akan membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah; dan BPJS membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan. Dalam penjelasan pasal tertera bahwa Pemerintah menetapkan standar tarif setelah mendapatkan masukan dari BPJS bersama dengan asosiasi fasilitas kesehatan, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah. Besaran tarif di suatu wilayah (regional) tertentu dapat berbeda dengan tarif di wilayah (regional) lainnya sesuai dengan tingkat kemahalan harga setempat, sehingga diperoleh pembayaran fasilitas kesehatan yang efektif dan efisien. Fasilitas kesehatan yang dimaksud adalah berbagai institusi pelayanan kesehatan baik primer, sekunder, tersier, yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta, yang

menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan dengan karakteristik tertentu. Pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan SJSN selayaknya bersifat efektif dan efisien, untuk menjaga kesehatan rakyat Indonesia dengan biaya kesehatan yang rasional. WHO dalam

World Health Report tahun 2008, mengemukakan karakteristik yang seharusnya dimiliki olehlayanan kesehatan primer, yaitu efektif dan aman, fokus pada pelayanan orang per orang,

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

16

Ikatan Dokter Indonesia

komprehensif dan terintegrasi, serta berkesinambungan.12 Dokter dan petugas penyedia layanan kesehatan lainnya harus memiliki kompetensi untuk menyelenggarakan layanan kesehatan primer sesuai dengan karakteristik tersebut yaitu: 1. Pelayanan yang komprehensif dengan pendekatan holistik a. Preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif b. Memandang manusia sebagai manusia seutuhnya 2. Pelayanan yang kontinyu a. Mempunyai rekam medis yang diisi dengan cermat b. Menjalin kerjasama dengan profesi dan instansi lain untuk kepentingan pasien agar proses konsultasi dan rujukan berjalan lancar 3. Pelayanan yang mengutamakan pencegahan a. Mendiagnosis dan mengobati penyakit sedini mungkin b. Mengkonsultasikan atau merujuk pasien pada waktunya c. Mencegah kecacatan 4. Pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif a. Kerjasama profesional dengan semua pengandil agar dicapai pelayanan bermutu dan kesembuhan optimal b. Memanfaatkan penyembuhan. 5. Penanganan personal pasien sebagai bagian integral dari keluarga potensi pasien dan keluarganya seoptimal mungkin untuk

12

.WORLD HEALTH ORGANIZATION. WORLD HEALTH REPORT 2008: PRIMARY CARE NOW MORE THAN EVER. SWITZERLAND: WHO; 2008. HAL.43-52.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

17

Ikatan Dokter Indonesia

6. Pelayanan

yang

mempertimbangkan

faktor

keluarga,

lingkungan kerja, dan

lingkungan tempat tinggal. a. Selalu mempertimbangkan pengaruh keluarga, komunitas, masyarakat dan

lingkungannya yang dapat mempengaruhi penyakitnya. b. Memanfaatkan keluarga, komunitas, dan lingkungannya untuk membantu penyembuhan penyakitnya. 7. Pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan hukum 8. Pelayanan yang sadar biaya dan sadar mutu 9. Pelayanan yang dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan yang merupakan perwujudan dari adanya : a. Rekam medis yang lengkap dan akurat yang dapat dibaca orang lain b. Standar Pelayanan Medis c. Penggunaan evidence-based medicine untuk pengambilan keputusan d. Kesadaran akan keterbatasan kemampuan dan kewenangan e. Kesadaran untuk mengikuti perkembangan ilmu melalui belajar sepanjang hayat dan pengembangan profesi berkelanjutan.13

Konsep mengenai sinergisitas tenaga kesehatan mewujudkan pelayanan kesehatan yang terjamin sudah harus dikembangkan. Dokter tetap harus menjadi nakhoda pelayanan kesehatan, namun bukan pemilik tunggal dari pelayanan kesehatan. Selama ini dokter merasa sebagai pemilik tunggal/penguasa dari pelayanan kesehatan, sehingga wajar jika masyarakat juga menimpakan seluruh kesalahan pelayanan kesehatan kepada dokter.13

. STANDAR KOMPETENSI DOKTER.KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA 2006

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

18

Ikatan Dokter Indonesia

Pada konsep tersebut entitas pelayanan harus menjadi kepemilikan bersama seluruh tenaga kesehatan yang terlibat, dimana tetap meletakkan dokter sebagai leader of health care

team, dimana jika tenaga kesehatan lain tidak ada seorang dokter harus mampu mengerjakansemua bentuk pelayanan. Namun juga ketika dokter tidak ada, dokter telah mengatur

pendelegasian kewenangannya kepada tenaga kesehatan lain yang dijamin dapat memberikan pelayanan. Untuk kasus darurat, tenaga kesehatan lain mampu memberikan pelayanan darurat demi keselamatan pasien, namun proses rujukan tetap diupayakan dapat dilakukan dengan efektif dan menjaga keselamatan. Kepemilikan dalam kerangka bisnis layanan kesehatan yang memaksimalkan keuntungan akan menimbulkan ketegangan dan ketidak harmonisan karena berlandaskan besarnya modal yang dikuasai dan menempatkan profesional kesehatan (dokter, dokter gigi, apoteker, bidan, perawat) dalam konteks hubungan antara buruh dan majikan serta pasien sebagai objek bisnis. Oleh karena itu perlu didorong kepemilikan bersama terhadap entitas pelayanan dan jejaringnya sehingga kolektifitas kesejawatan dapat terbangun dan imbal jasa bagi profesi kesehatan bisa lebih berkeadilan. Konsep kepemilikan bersama ini bisa saja difasilitasi oleh pihak ketiga baik koperasi maupun lembaga keuangan lainnya yang bisa mengakomodir semangat kolektifitas kesejawatan profesi kesehatan. Proporsi kepemilikan, distribusi tanggung jawab dan prosentase bagi hasil pelayanan dapat ditentukan kemudian dengan hitungan tersendiri.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

19

Ikatan Dokter Indonesia

Model Klinik primer utama dan Klinik Satelit Dalam Satu Jejaring

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

20

Ikatan Dokter Indonesia

Model Klinik Primer utama dan Klinik Primer Satelit Dalam Satu Kota

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

21

Ikatan Dokter Indonesia

5. Rekrutmen dan Seleksi Penyedia LayananSeluruh rakyat Indonesia berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama pada saat dimanapun berada. Demi keadilan dan kesamarataan pemberian pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, maka rekrutmen dan seleksi penyedia layanan kesehatan harus dilakukan secara seksama di tingkat Nasional. BPJS dipercaya memiliki peta kebutuhan fasilitas kesehatan yang bukan hanya membagi berdasarkan jumlah penduduk namun juga keadaan geografis dan faktor sosial budaya. Terdapat 3 jenis kondisi wilayah, yaitu daerah perkotaan (urban), daerah pedesaan (rural) dan daerah terpencil (remote). Dengan penyebaran informasi yang luas untuk membuka kesempatan bagi seluruh entitas pelayanan kesehatan primer dan sekunder untuk menjadi penyedia pelayanan kesehatan dalam SJSN, maka BPJS akan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan yang terbaik sesuai dengan standar dan kebutuhan masyarakat.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

22

Ikatan Dokter Indonesia

Fasilitas pelayanan kesehatan yang berminat untuk bekerjasama dengan BPJS dalam SJSN akan mendaftarkan diri ke cabang BPJS setempat yang kemudian di verifikasi dan di saring oleh lembaga verifikator independen sesuai dengan standar kompetensi tenaga kesehatan, jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan yang tersedia, sarana dan prasarana, serta kepemilikan dari fasilitas tersebut. Bila entitas pelayanan kesehatan yang sesuai standar (hasil verifikasi), berjumlah di bawah kebutuhan, maka BPJS dan pemerintah daerah setempat berkewajiban memfasilitasi peningkatan kualitas dan kuantitas entitas pelayanan kesehatan lainnya demi memenuhi akses kesehatan masyarakat yang merata. Besar kemungkinan BPJ dan pemda mendorong pembentukan/pembangunan entitas pelayanan kesehatan pada daerah yang belum ada fasilitasnya. Dengan demikian fasilitas pelayanan kesehatan yang akan menjalin kerjasama dengan BPJS harus melalui rangkaian proses pendaftaran dan penerimaan termasuk adanya proses kualifikasi dan verifikasi fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan di dalamnya. Seleksi dengan borang penilaian yang akan ditentukan oleh tim seleksi independen, dengan melibatkan organisasi profesi yang terkait, borang penilaian akan diverifikasi dan dilakukan visitasi untuk menilai kebenaran dari pengisian borang tersebut. Keseluruhan proses seleksi merupakan upaya BPJS dalam menjaga kualitas pelayanan serta mempertahankan prinsip pelayanan sesuai dengan undang-undang. Kriteria seleksi dapat sedikit berbeda untuk setiap kondisi wilayah, dengan mempertimbangkan kebutuhan setiap wilayah dan indeks geografi setempat. Kesulitan akses dengan fasilitas rujukan menyebabkan klinik primer satelit dituntut setara dengan klinik madya atau klinik primer utama.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

23

Ikatan Dokter Indonesia

Penyedia layanan kesehatan yang telah lolos seleksi dapat ditempatkan di daerah yang sesuai dengan kualifikasinya, ditentukan oleh tim seleksi dari BPJS. Sesuai dengan UU No. 24 tahun 2011 mengenai BPJS, bentuk kerja sama antara BPJS dan penyedia layanan kesehatan merupakan sistem kontrak.14 Untuk memperoleh hasil optimal dalam mengembangkan kesehatan pada masyarakat yang menjadi tanggungannya, dibutuhkan waktu yang tidak singkat. Jangka waktu 2 tahun adalah jangka waktu minimal untuk kontrak. Kontrak dengan penyedia layanan kesehatan dapat diperpanjang dengan menilai kinerja penyedia layanan kesehatan. Terkait dengan pelaksanaan jaminan kesehatan yang bertahap,15 pada pelaksanaan tahap awal, penyedia layanan kesehatan yang tidak termasuk dalam sistem tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan pelayanan kesehatan bagi para peserta jaminan kesehatan. Penyedia layanan kesehatan yang telah terpilih kemudian akan menjalani proses persiapan (serupa dengan pra jabatan pada pegawai negeri sipil) sebelum menjalankan pelayanan kesehatan dalam SJSN. Program persiapan disesuaikan dengan daerah tujuan pelayanan. Pada daerah terpencil dan perbatasan, program persiapan termasuk ketrampilan klinik tambahan yang sering diperlukan semata untuk keselamatan pasien, misalnya menolong persalinan/partus dengan penyulit, advance life support dengan peralatan yang tersedia, penggunaan alat telekomunikasi khusus dan sebagainya. Penyedia layanan primer di perkotaan diperhitungkan untuk menampung 5000

penduduk, yang dapat bertambah dengan ketentuan penambahan kapitasi untuk setiap 2500,

14

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL. JAKARTA: DEPARTEMEN DALAM NEGERI RI; 2011. DIUNDUH DARI HTTP://WWW.DEPDAGRI.GO.ID/MEDIA/DOCUMENTS/2012/01/06/U/U/ UU_NO.24-2011.PDF IBID

15

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

24

Ikatan Dokter Indonesia

akan menambah tenaga kesehatan minimum 1 orang dokter dan 1 orang perawat. Sedangkan untuk penambahan 500 anggota perempuan usia reproduksi membutuhkan penambahan 1 tenaga bidan. Klinik primer satelit di pedesaan dan di daerah terpencil memiliki kapitasi

penduduk yang lebih sedikit sesuai dengan kesulitan geografis. Sehingga BPJS memiliki risiko harus menambah kesediaan entitas pelayanan dengan makin sulitnya keadaan geografis. Setiap 3-5 entitas klinik primer satelit (tergantung index geografi) mempunyai 1 klinik primer utama yang menjadi rujukan berbagai kebutuhan pemeriksaan dan penatalaksanaan yang masih dalam wewenang layanan primer (rujukan horizontal). Tambahan tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan klinik primer utama adalah tersedianya dokter gigi, apoteker, radiolog, laboran. Beberapa klinik primer satelit yang berada dalam jaringan kerja yang sama dapat bekerjasama untuk menyediakan sarana dan prasarana yang tepat guna dan digunakan bersama. Standar sarana prasarana yang akan di tetapkan BPJS untuk layanan primer akan terbagi menjadi sarana prasarana yang mutlak harus dimiliki suatu tempat pelayanan, dan sarana prasarana yang harus dimiliki bersama dalam 1 kelompok jaringan kerja, misalnya incinerator sampah medis, USG, Rontgen, dan sebagainya.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

25

Ikatan Dokter Indonesia

6. Kolaborasi dan kooperasi penyelenggaraan fasilitas pelayanan primerSesuai dengan uraian sebelumnya yang menjelaskan bahwa BPJS akan melakukan kontrak dengan fasilitas pelayanan kesehatan, maka untuk fasilitas pelayanan kesehatan primer diharapkan merupakan kepemilikan dari para dokter yang berpraktik di tempat tersebut atau dokter bersama dengan profesional kesehatan lain yang berpraktik di fasilitas tersebut. Jenis kerjasama kepemilikan bersama dapat berbentuk koperasi, dalam hal ini Koperasi IDI atau bentuk lainnya dengan catatan dapat mengakomodir semangat kesejawatan. Menurut Mubyarto dan Boediono (1983), perkembangan koperasi di republik ini ditandai dengan tiga tahap. Tahap pertama, koperasi masih merupakan alat semata-mata untuk melindungi kepentingan para anggota dari tekanan dan penghisapan oleh kekuasaankekuasaan dari luar. Tahap kedua, koperasi sudah merupakan alat untuk menaikkan pendapatan anggota dan membagikan pendapatan secara adil dan merata. Tahap ketiga, koperasi sudah merupakan bagian penting dalam sistem ekonomi nasional sebagai realisasi dan pengisian Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (1). Pasal 33 Ayat (1) menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Ini merupakan pegangan yang harus selalu dipakai sebagai dasar dan menjiwai tingkah laku dan hubungan ekonomi para pelaku ekonomi. Ini berarti bahwa sektor pemerintah, sektor swasta maupun sektor koperasi sendiri, harus selalu menggunakan asas tersebut dalam menjalankan usahanya.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

26

Ikatan Dokter Indonesia

Beberapa klinik primer satelit yang berada dalam satu jaringan kerja dengan klinik primer utama dapat berkolaborasi dalam naungan koperasi untuk dapat menyediakan sarana dan alatalat canggih yang tepat guna yang dapat dimiliki dan digunakan secara bersama-sama. Kolaborasi yang merupakan unit-unit koperasi dalam tiap kelompok jaringan kerja dapat bergabung dengan unit koperasi jaringan kerja yang lain untuk membentuk primer koperasi di setiap kabupaten atau kota, yang kemudian bergabung dalam pusat koperasi yang ada di setiap provinsi. Koperasi yang ada di setiap provinsi akan bergabung menjadi suatu induk koperasi yang besar dan kuat, yang merupakan bentuk kerjasama kolaborasi yang sangat baik antar sejawat pemberi pelayanan kesehatan primer dalam sistem jaminan sosial nasional. Bentuk koperasi dalam menjalin kerjasama ini diharapkan akan memudahkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk dapat mengembangkan sarana dan prasarananya, tanpa terlalu tergantung dengan kondisi pengelolaan koperasi itu sendiri. Namun apabila pengelolaan koperasi dilaksanakan dengan baik dan transparan, maka seluruh anggota yang merupakan klinik pelayanan primer akan mudah untuk cepat ditingkatkan dan dijaga kualitasnya. Peningkatan klinik primer satelit menjadi klinik primer utama, selain meningkat karena ketersediaan sarana dan prasarana yang meningkat, namun juga dinilai dari meningkatnya kemampuan dokter dan tenaga kesehatan secara klinis. Sehingga peningkatan karier juga menentukan pendapatan masing-masing tenaga kesehatan termasuk dokter.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

27

Ikatan Dokter Indonesia

Induk Koperasi

Pusat Koperasi (Provinsi)

Pusat Koperasi (Provinsi)

Pusat Koperasi (Provinsi)

Primer Koperasi (Kota/ Kabupaten)

Primer Koperasi (Kota/ Kabupaten)

Primer Koperasi (Kota/ Kabupaten)

Primer Koperasi (Kota/ Kabupaten)

Primer Koperasi (Kota/ Kabupaten)

Primer Koperasi (Kota/ Kabupaten)

Unit Usaha: Klinik

Unit Usaha: Klinik

Unit Usaha: Klinik

Unit Usaha: Klinik

Unit Usaha: Klinik

Unit Usaha: Klinik

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

28

Ikatan Dokter Indonesia

7. Pendapatan dan kesejahteraan dokter praktik umum pada BPJSMasalah kesejahteraan menjadi salah satu isu yang membuat para lulusan dokter baru enggan untuk berprofesi sebagai dokter praktik umum dan lebih memilih untuk menjadi dokter spesialis. Profesi dokter praktik umum seringkali dianggap lebih rendah dari dokter spesialis, sehingga terdapat ketimpangan penghasilan antara dokter praktik umum dengan dokter spesialis. Terkadang seorang dokter praktik umum harus praktik di banyak tempat agar mendapatkan penghasilan yang memadai. Bahkan seringkali dokter mencari penghasilan sampingan seperti berjualan baju dan sepatu untuk membelikan anaknya susu. Kompensasi adalah penghargaan berbentuk finansial (uang) dan nonfinansial (bukan uang) yang langsung dan tidak langsung diberikan kepada seseorang sebagai imbalan untuk suatu pelayanan atau pekerjaan dengan mempertimbangkan nilai dari pelayanan atau pekerjaaan serta kontribusi personal dan kinerja dalam melaksanakan pelayanan atau

pekerjaan tersebut. Kompensasi langsung biasanya berbentuk gaji, sedang kompensasi tidak langsung berbentuk manfaat atau imbalan tambahan yang punya nilai ekonomi. Kompensasi yang diterima dokter sebagai pendapatan total harus bisa memenuhi kebutuhan untuk hidup layak. Selama ini terbukti bahwa pendapatan dari kerja utama dokter (40 jam/minggu) tidak cukup untuk bisa hidup layak. Semestinya dokter dihargai sebagai tenaga profesional, mengapresiasi kerja kemanusiannya sesuai dengan etika dan kompetensinya dengan kompensasi yang layak.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

29

Ikatan Dokter Indonesia

Kompensasi tersebut sudah harus menjadi pendapatan utama dokter yang mencukupi sehingga dokter bisa fokus bekerja tanpa harus mencari nafkah dengan pekerjaan yang akan mengganggu aktifitas utamanya sebagai Dokter Pelayanan Primer (DPP). Kompensasi atau pendapatan setahun dari menjalankan profesi kedokteran sebagai DPP secara fulltime bisa dibagi menjadi 3 komponen kompensasi DPP : 1) Kompensasi Dasar, 2) Kompensasi peran, tanggungjawab dan beban kerja, 3) Insentif mendukung pencapaian target nasional. 1. Kompensasi Dasar Sama untuk semua dokter di satu wilayah Mempertimbangkan: Dokter sebagai tenaga strategis Pendidikan dokter Kebutuhan hidup layak

30-40% kompensasi setahun

Salary basedAdministratif: Acuan kompensasi basik Indeks Geografi Praktik Dokter

2. Kompensasi peran, tanggungjawab & beban kerja Setiap dokter mendapat kompensasi berbeda, tergantung peran, tanggung jawab dan beban kerja masing-masing Tujuan: memotivasi DPP untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi serta pelayanannya

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

30

Ikatan Dokter Indonesia

Mempertimbangkan: Portofolio setiap DPP Jumlah dan risiko peserta

50-60% kompensasi setahun

Capitation basedAdministratif: Acuan kapitasi berdasarkan nilai portofolio Acuan kapitasi berdasarkan risiko peserta

3. Insentif mendukung pencapaian target nasional Setiap dokter mendapat kompensasi berbeda, tergantung perannya mendukung pencapaian target nasional. Tujuan: memotivasi DPP untuk berpraktik di seluruh wilayah NKRI Memotivasi upaya promotif-preventif

5-10% kompensasi setahun

Fee For Service based reimbursementAdministratif: Acuan Indeks Geografi Praktik Dokter Acuan sistem poin dan tatacara penagihan

Untuk menjamin suatu sistem kompensasi dokter dan jasa medik memenuhi asas keadilan dan asas transparansi, maka sistem tersebut harus dilandasi oleh prinsip dasar sebagai berikut:

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

31

Ikatan Dokter Indonesia

7. Produktifitas dokter dan jasa medik merupakan bagian integral dari sistem kompensasi dokter 8. Kompensasi dokter seyogyanya setara dengan kerja dokter, yaitu sumber daya yang dicurahkan dokter untuk melayani pasiennya. 9. Ada keseimbangan kompensasi antar dokter dan antar spesialisasi untuk menjamin meratanya persebaran dokter yang bekerja di strata pertama, kedua dan ketiga. 10. Ada keseimbangan kompensasi dokter antar wilayah (urban, rural, daerah terpencil dan pulau terluar NKRI) yang dapat mendukung pemerataan distribusi dokter di indonesia. 11. Kompensasi dokter maupun jasa medik seyogianya dinyatakan dalam nilai relatif dan dalam rentang (range) bukan satu nilai (fix), agar dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. Rentang kompensasi ini seyogjanya mencerminkan kompensasi mayoritas dokter (70-80%). 12. Metode untuk menentukan kompensasi dokter seyogjanya tidak rumit, mudah diterapkan dan transparan, serta nilai nominalnya seyogjanya wajar, masuk akal dan berkeadilan bagi pasien dan dokter.

Pendapatan bersih dokter berasal dari pendapatan pokok (sesuai dengan formula jasa medik dokter praktik umum yang disusun oleh IDI), ditambah kapitasi sebagai pendapatan fungsional, serta remunerasi atau pendapatan lain berdasarkan portofolio dokter dalam pekerjaannya.

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

32

Ikatan Dokter Indonesia

Pendapatan pokok adalah berdasarkan survei kompensasi dokter untuk menghitung pendapatan dokter dari kerja utama dan kerja tambahan. Dalam analisis, nilai ekstrem dikeluarkan (terutama pendapatan spesialis) dan dibandingkan dengan pendapatan /kapita nasional (angka dari BPS). Hasilnya DPU sekitar 10-14 kali dan DSp sekitar 30-44 kali. Dengan asumsi nilai dollar lebih stabil maka total pendapatan dikonversi ke dollar. Dalam analisis dicoba membandingkan pendapatan dokter dengan UMR maupun kondisi ekonomi kab/kota. Tapi hasilnya tidak pas untuk profesi dokter, karena dokter yang bekerja di daerah miskin akan memperoleh pendapatan yang kecil pula. Oleh karena itu penerapan Indeks Geografik Praktik (IGP) lebih pas. Sudah dihitung dan didapatkan IGP daerah urban dengan angka 1, IGP daerah

rural dengan angka 1,25 , dan daerah terpencil dengan angka 1,5. Saat ini digunakan formulakompensasi dokter per bulan berikut ini: Kompensasi DPU = 10-14 x Pendapatan per kapita nasional x kurs 1 USD x IGP 12 bulan Sesuai dengan BPS pada akhir 2011 pendapatan perkapita nasional Indonesia telah mencapai US $3.500 maka pendapatan pokok Dokter Praktik umum yang berada pada perkotaan adalah sekitar Rp 27.125.000 Rp 37.975.000,-. Guna mendorong dokter mau mengabdi di daerah terpencil, selain dikalikan dengan Index Geografik Praktik (IGP) masih perlu ditambahkan dengan insentif khusus daerah terpencil yang berasal dari dana pemerintah pusat dan/atau daerah. Dalam rangka memelihara serta meningkatkan motivasi dan kualitas pelayanan dokter dan tenaga kesehatan, maka diusulkan adanya kompensasi peran, tanggung jawab dan beban

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

33

Ikatan Dokter Indonesia

kerja. Lima puluh persen kompensasi dalam setahun berasal dari jumlah kapitasi dan portofolio hasil kerja. Sebagai upaya memotivasi dokter untuk berpraktik di seluruh wilayah NKRI dan memotivasi upaya promotif-preventif, maka diusulkan adanya insentif mendukung pencapaian target-target nasional sebesar 5 10 persen kompensasi setahun yang berasal dari pemerintah daerah setempat. Dalam sistem pelayanan BPJS nanti diusulkan untuk menggunakan sistem kapitasi. Agar memenuhi asas efektivitas dan keadilan maka kompensasi yang diberikan terbagi atas kapitasi jasa dokter dan tenaga kesehatan lainnya, dan kapitasi operasional yang mencakup biaya pelayanan pasien dan operasional entitas layanan dokter keluarga.16

Selain itu diharapkan terdapat keterbukaan/transparansi antara BPJS dan Penyelenggara Pelayanan Kesehatan sebagai sesama eksponen utama keberhasilan SJSN bidang kesehatan, berapa besar porsi dana yang dialokasikan untuk mendukung pelayanan kesehatan yang berhasil dan berdaya guna dalam segala aspeknya.

8. Dukungan Sistem Kesehatan NasionalPelaksanaan jaminan sosial bidang kesehatan harus didukung dengan sistem kesehatan yang baik. Sistem Kesehatan Nasional (SKN) sebagai acuan pembangunan kesehatan Nasional, saat ini merupakan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes). Agar memiliki law enforcement16

. PB IDI. PANDUAN KOMPENSASI DOKTER DAN JASA MEDIK. 2008

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

34

Ikatan Dokter Indonesia

yang lebih kuat, terutama untuk pelaksanaannya di daerah, SKN harus memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi, setidaknya dalam bentuk peraturan pemerintah (PP). Puskesmas saat ini menanggung beban berat dengan menjalankan dual fungsi sebagai penyelenggara upaya kesehatan masyarakat (public goods) dan upaya kesehatan perorangan (private goods) 17,18. Dalam SKN 2004, disebutkan bahwa ketika SJSN sudah berlaku, maka akan terjadi perubahan fungsi puskesmas. Setelah berlaku SJSN, maka puskesmas akan fokus untuk menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara upaya kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan perorangan akan diserahkan kepada masyarakat dan swasta dengan konsep pelayanan kedokteran keluarga, kecuali di daerah sangat terpencil yang masih akan dipadukan dengan puskesmas.19. Namun pada SKN 2009, disebutkan bahwa puskesmas kembali memegang tanggung jawab sebagai penyelenggara upaya kesehatan masyarakat dan perorangan. Untuk itu, perlu dilakukan revisi terhadap SKN 2009 dan mengembalikan puskesmas pada tugas dan fungsi pokoknya.

17

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 128/MENKES/SK/II/2004 TENTANG KEBIJAKAN DASAR PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT. JAKARTA: DEPARTEMEN KESEHATAN RI; 2004. DIUNDUH DARI HTTP://DINKESSULSEL.GO.ID/.../SK%20 KEBIJAKAN%20DASAR%20PUSKESMAS.PDF KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM KESEHATAN NASIONAL. JAKARTA: DEPARTEMEN KESEHATAN RI; 2009. DIUNDUH DARI HTTP:// WWW.DEPKES.GO.ID/DOWNLOADS/SKN%20FINAL.PDF KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 131/MENKES/SK/II/2004 TENTANG SISTEM KESEHATAN NASIONAL. JAKARTA: DEPARTEMEN KESEHATAN RI; 2004. DIUNDUH DARI HTTP://WWW.DEPKES.GO.ID/DOWNLOADS/SKN+.PDF

18

19

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

35

Ikatan Dokter Indonesia

KesimpulanNaskah akademik ini dibuat oleh Tim IDI sebagai masukan bagi Tim pengembangan pelaksanaan sistem jaminan kesehatan nasional, terutama yang berkaitan dengan dokter sebagai penyedia layanan kesehatan. Beberapa kesimpulan yang dapat diambil adalah: 1. Perlu dilakukan rekrutmen dan seleksi bagi entitas pelayanan kesehatan yang berminat untuk bergabung memberikan layanan kesehatan dengan BPJS, dimana entitas pelayanan kesehatan tersebut bernaung didalam koperasi. 2. Bentuk penyedia layanan kesehatan minimal dan optimal sebagai tim kerja yang terdiri dari tenaga kesehatan dan tenaga ahli lain yang mendukung. 3. Sistem Kesehatan a. Perlu dilakukan perubahan dan peningkatan kedudukan SKN 2009 dari Peraturan Menteri menjadi Peraturan Pemerintah agar mempunyai daya ikat lebih kuat. b. Pemisahan penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat dan perorangan, disesuaikan dengan kategori daerah c. 4. Menjalankan sistem rujukan dan optimalisasi fungsi pelayanan kesehatan primer

Sistem Pendanaan a. Pendapatan yang rendah bagi dokter dan tenaga kesehatan lain yang bekerja memberikan pelayanan kesehatan primer, hanya akan menghasilkan klinik pelayanan primer yang hanya terampil merujuk pasien, bukan memberikan pelayanan medik, sehingga peranannya sebagai gate keeper tidak terpenuhi. b. Menjamin kesejahteraan tenaga kesehatan dan tenaga ahli lainnya. c. Mengalokasikan dana penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat. dana untuk pelatihan tenaga kesehatan.

d. Mengalokasikan

Naskah Akademik membangun SKN berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

36

Ikatan Dokter Indonesia

LESSON LEARNED UJICOBA PELAYANAN DOKTER KELUARGA DI BONTANG MODAL UNTUK MEMBANGUN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN NASIONALI. PENDAHULUANAkses ke pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia dan negara bertanggung jawab mengaturnya. Namun di tengah dunia yang berubah cepat dan sering tidak menentu, pelayanan kesehatan tumbuh menjadi industri yang kompleks seakan tidak terkendali dan tidak manusiawi. Banyak negara mengalami hal yang disebut WHO sebagai the pervassive commercialization of healthcare in unregulated health systems ini. Simak indikasi kondisi yang setiap hari terpampang di seputar kita: Sarana kesehatan milik pemerintah, yayasan, lembaga keagamaan telah meninggalkan misi mulianya kemanusiaan. Mereka bergabung dengan investor swasta dan berlomba mengkomersialisasikan sarana kesehatannya semua ingin memaksimalkan profitnya. Biaya pendidikan dokter yang mahal menjadi beban saat ia lulus, sehingga ketika mulai praktik, targetnya sederhana: mengembalikan investasinya. Tempat praktik dibatasi tetapi waktu praktiknya tidak, jadi ia bisa praktik 7 x 13 jam atau 91 jam/minggu bak kerja rodi. Hospital-centrism telah menyuburkan komersialisasi layanan tersier seakan layanan primer, mahal, tidak diperlukan, dan membodohi pasien. Obat memberi kontribusi 40-60% pada pemasukan rumah sakit dan klinik, menjadikan provider bagaikan pegawai industri farmasi. Sekitar 70% pengeluaran kesehatan masih dalam bentuk out-of-pocket dan fee-for-service menjadikan hubungan dokter-pasien rawan konflik kepentingan akibat informasi yang asimetri. Pasien disandera dan keluarga jatuh miskin akibat sakit menjadi berita sehari-hari, meskipun sudah ada Askeskin.

Kondisi carut-marut ini sebenarnya tidak hanya dialami oleh Indonesia. Banyak negara mengalami hal serupa. Banyak negara di Uni Eropa dan Amerika Latin serta beberapa negara Asia berhasil menata kembali sistem kesehatannya dengan menerapkan Primary Health Care (PHC) sebagai strategi pembangunan kesehatan. Fakta selama 3 dekade ini membuktikan bahwa nilai dan prinsip yang terkandung dalam Deklarasi Alma Ata dan PHC tetap layak sebagai strategi pembangunan kesehatan untuk mencapai target Millenium Development Goals. Kota Bontang yang terletak di provinsi Kalimantan Timur dengan populasi 130.000 juga terimbas dengan berbagai permasalahan di atas. Sebagai salah kota dengan pertumbuhan ekonominya yang tinggi dan tingkat kemakmurannya merata, Pemerintah Kota Bontang berniat menata sistem pelayanan kesehatan agar seluruh warganya mempunyai akses sistem pelayanan kesehatan yang baik Lesson learned ujicoba PDK di Kota Bontang Page 1

Ikatan Dokter Indonesia

(universal coverage). Salah satu strategi yang dipilih adalah menerapkan konsep PHC ke sistem pelayanan kesehatan Kota Bontang. Penataan ulang ini diawali dengan melaksanakan ujicoba pelayanan dokter keluarga. Dengan langkah ini ditargetkan pelayanan kesehatan bagi warga Kota Bontang secara bertahap beralih ke sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pelayanan primer.

2. Deklarasi Alma Ata dan Primary Health Care Deklarasi Alma Ata menjadi tonggak sejarah peradaban manusia karena sejak itu kesehatan menjadi gerakan politik universal dan kesehatan diakui sebagai hak asasi manusia tanpa memandang status sosial-ekonomi, ras, kewarganegaraan, agama, gender. Untuk memahami Deklarasi Alma Ata kita harus melihat kondisi dunia setelah perang dunia kedua berakhir dan pandangan jauh ke depan (visionary) para tokohnya tentang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Jiwa dari deklarasi Alma Ata adalah pengakuan atas adanya ketidakadilan sosial, pemahaman tentang kesehatan sebagai fenomena sosial, dan penempatan kesehatan sebagai alat untuk pembangunan sosial bukan sekedar hasil dari kemajuan ekonomi. Kesadaran ini melahirkan konsep PHC yang intinya 1) menggalang potensi pemerintah-swasta-masyarakat lintas sektor (kesehatan, pendidikan, perumahan, gizi, sanitasi dll), mengingat kesehatan adalah tanggung jawab bersama; 2) menyeimbangkan layanan kuratif dan preventif dan menolak dominasi elit dokter yang cenderung mengutamakan pelayanan rumah sakit dan peralatan canggih yang mahal; 3) memanfaatkan teknologi secara tepat guna pada setiap tingkat pelayanan, mengingat perkembangan teknologi lebih berorientasi ke penyakit dan organ tubuh. Yang terakhir ini, bila tidak dikendalikan akan merugikan masyarakat. Sebagai strategi pembangunan kesehatan dalam mewujudkan Health For All (HFA), Deklarasi Alma Ata mencakup banyak hal seperti kesehatan sebagai hak asasi, tanggung jawab individu dan masyarakat, peranan dan tanggung jawab negara, pembangunan sosial-ekonomi, dan konsep PHC. Kesepuluh butir Deklarasi Alma Ata sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu upaya kesehatan perorangan (UKP), upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan wilayah (UKW) yang dipayungi oleh kebijakan publik untuk mensinergikan ketiganya dalam mencapai HFA (lihat gambar). UKP dioperasionalnya dalam sistem pelayanan kesehatan yang berstruktur piramida yang mengutamakan adanya pelayanan strata pertama di tengah masyarakat. Strata ini merupakan kontak pertama masyarakat dengan sistem pelayanan kesehatan yang sebenarnya mampu menyelesaikan 90-95% masalah kesehatan individu dan keluarga. Pelayanan strata kedua dan ketiga atau Lesson learned ujicoba PDK di Kota Bontang Page 2

Ikatan Dokter Indonesia

pelayanan rujukan disiapkan untuk mengatasi masalah kesehatan yang tidak dapat diselesaikan di strata pertama.

Gambar 1. Deklarasi Alma Ata dari perspektif ekosistem terbagi dalam 3 kelompok UKP (Upaya Kesehatan Perorangan), UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat dan UKW (Upaya Kesehatan Wilayah).

Karena sifatnya yang komprehensif Deklarasi Alma Ata, termasuk konsep PHC, menjadi multitafsir serta menimbulkan mispersepsi dan mis-interpretasi dalam penerapannya. Tarik menarik antara unsur kesehatan masyarakat dan kedokteran cukup alot karena Deklarasi Alma Ata tidak disertai indikator yang jelas. Ada negara yang menganggap HFA telah tercapai dengan memiliki lingkungan hidup yang baik dan fasilitas kesehatan modern, ada pula yang menganggapnya sebatas 8 program kesehatan dasar. Padahal, PHC yang dimaksud dalam Deklarasi Alma Ata adalah sebuah pendekatan atau strategi pembangunan kesehatan yang berimplikasi pada sosio-politik-ekonomi. Misinterpretasi ini menyebabkan banyak negara mengabaikan prasyarat konsep PHC seperti perlunya desentralisasi, perubahan sistem pendidikan tenaga kesehatan, pengalokasian dana kesehatan yang cukup, dan penyelarasan kebijakan publik. Lesson learned ujicoba PDK di Kota Bontang Page 3

Ikatan Dokter Indonesia

II. MARJINALISASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMERDi Indonesia konsep PHC diinterpretasikan sebagai 1) fisik puskesmas, 2) program puskesmas, 3) pelayanan strata pertama di sarana pemerintah, 4) pendekatan upaya kesehatan berbasis masyarakat seperti posyandu, bidan desa, dan desa siaga. Hal ini menyebabkan PHC sebagai suatu konsep dan strategi pembangunan kesehatan dikerdilkan menjadi sekedar pelayanan/program kesehatan pemerintah untuk masyarakat bawah. Terbatasnya kemampuan pemerintah membuat PHC identik dengan program murahan, untuk orang miskin, tidak berkualitas, dan tidak efisien yang akhirnya tidak menarik. Di sisi lain pelayanan swasta (praktik dokter, klinik, rumah sakit) seakan di luar naungan konsep PHC. Pelayanan swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak ini dibiarkan bebas mengikuti mekanisme pasar menawarkan layanan yang sarat kuratif berdampak besar dalam membangun mind-set masyarakat untuk berorientasi kuratif, dan mendorong tumbuhnya komersialisasi layanan kesehatan termasuk di sarana kesehatan pemerintah. Keadaan ini defacto membentuk 2 sistem pelayanan: 1) Puskesmas yang berjumlah sekitar 7.000-an dan jajarannya dinaungi Dirjen Binkesmas, 2) Layanan kuratif oleh sekitar 30.000-an klinik dan 1300-an rumah sakit milik pemerintah dan swasta yang dinaungi Dirjen Yanmedik. Kedua sistem ini berjalan sendiri-sendiri sampai ke tingkat paling bawah dengan pelayanan yang didominasi oleh kuratif dan pembiayaan yang diwarnai oleh fee for services. (Lihat gambar)

Gambar 2. Prinsip PHC tidak menaungi seluruh sarana kesehatan Lesson learned ujicoba PDK di Kota Bontang Page 4

Ikatan Dokter Indonesia

Pengkerdilan atau mis-interpretasi konsep PHC ini dipengaruhi oleh besarnya peranan pemerintah pusat (sentralisasi) pada era orde baru yang dengan hasil oil-boom tahun 1970-1980an membangun puskesmas di setiap kecamatan dengan pendekatan top-down berikut paket/program yang seragam yang mengabaikan kondisi geografi serta kearifan lokal masyarakat Indonesia yang heterogen. Negara donor dimotori oleh World Bank juga berperan besar dalam pengkerdilan ini dengan cara membiayai program vertikal seperti malaria, TB, nutrisi, HIV/AIDS. Program vertikal ini (selective PHC) tidak berorientasi pada pembangunan sistem, lebih banyak potong kompas dan bersifat temporer, sehingga pembangunan sistem pelayanan kesehatan yang komprehensif menurut konsep PHC terabaikan. Pendidikan tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat, dll) juga berperan dalam pengkerdilan ini karena pendidikan dan sistem pelayanan belum link and match atau masih berjalan sendiri-sendiri. Sampai saat ini pola pendidikan tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat, dll) belum diubah dan belum diselaraskan dengan konsep PHC. Mereka dididik di rumah sakit yang fungsinya semacam bengkel mengobati penyakit atau organ yang sakit; oleh pendidik yang telah terfragmentasi keahliannya ahli mengobati organ tertentu bukan mengobati orang yang menderita penyakit; hasilnya adalah dokter dengan mind-set kuratif. Padahal kita membutuhkan dokter generalis yang dapat menyelesaikan 90-95% masalah kesehatan di masyarakat. Era desentralisasi yang dimulai tahun1998 seharusnya memberi titik terang untuk penerapan konsep PHC, tetapi ternyata mis-interpretasi konsep PHC masih berjalan hingga kini. Hal ini dapat disimak antara lain dari struktur Depkes, SKN 2009, Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang Kesehatan (RPJPK), keinginan pimpinan daerah untuk membangun rumah sakit mewah, sampai ke pernyataan Presiden akan memimpin reformasi pertama bidang kesehatan dengan membangun rumah sakit kelas dunia (KOMPAS 3 September 2009), yang menunjukkan kentalnya orientasi kuratif di Indonesia. Padahal negara maju yang menganut pasar bebas sekalipun kini merancang ulang sistem kesehatannya untuk berbasis konsep PHC. Pada tahun 2000 dideklarasikan Millenium Development Goals (MDG) yang harus dicapai tahun 2015. Gerakan ini dianggap sebagai langkah mewujudkan HFA, mengingat 5 dari 8 target MDG merupakan indikator kesehatan yang sebenarnya dapat diselesaikan oleh pelayanan kesehatan strata pertama. Untuk mencapai target MDG, salah satu langkah yang realistis adalah memobilisasi seluruh pelayanan strata pertama, milik pemerintah maupun milik swasta, dan menggalang partisipasi masyarakat dalam naungan sistem yang berbasis konsep PHC. Target MDG tidak dapat dicapai dengan membangun rumah sakit kelas dunia yang hanya memuaskan segelintir investor, perusahaan farmasi, elit dokter, dan melayani sekelompok kecil masyarakat.

Lesson learned ujicoba PDK di Kota Bontang

Page 5

Ikatan Dokter Indonesia

III. SISTEM PELAYANAN KESEHATAN NASIONAL YANG BERORIENTASI PADA PELAYANAN PRIMERSKN adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya bangsa secara terpadu dan saling dukung guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Upaya tersebut antara lain adalah upaya kesehatan yang terdiri dari upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP) yang saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (SKN 2004). Kesehatan Perorangan (UKP) atau pelayanan kedokteran merupakan subsistem dari SKN. Hubungan antara UKP dengan upaya-upaya lainnya serta objektif SKN digambarkan sebagai berikut (Gambar 2).

Gambar 3. Hubungan antar upaya dalam suatu sistem kesehatan Gambar di atas menunjukkan bahwa berbagai upaya: SDM kesehatan; farmasi, alat kesehatan dan makanan; manajemen dan informasi kesehatan; pemberdayaan masyarakat, serta pembiayaan kesehatan disiapkan dan diarahkan untuk mendukung UKP, UKM dan UKW. Segala upaya ini akan berjalan dengan efisien dan efektif bila UKP, UKM dan UKW ditata agar tidak tumpang tindih dan dapat saling mendukung.

Lesson learned ujicoba PDK di Kota Bontang

Page 6

Ikatan Dokter Indonesia

Dengan memahami UKP sebagai Sistem Pelayanan Kedokteran Nasional (SPKN), maka UKP dapat dideskripsikan sebagai: a) pelayanan kedokteran untuk seluruh masyarakat (universal coverage), baik yang tinggal di perkotaan (urban, pedesaan (rural) maupun daerah terpencil dan pulau terluar NKRI; b) yang disajikan melalui jaringan sarana kesehatan pemerintah, swasta dan masyarakat; dengan c) pembiayaan oleh pemerintah (untuk gakin), pemberi kerja, dan individu melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial; d) dalam rangka memenuhi hak azazi dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan bangsa. Konsep Primary Health Care (PHC) pada dasarnya adalah pendekatan atau strategi untuk membangun sistem kesehatan nasional yang mememayungi seluruh upaya kesehatan. SPKN sebagai bagian dari SKN dengan deskripsi di atas dan mengadopsi konsep PHC divisualisasikan melalui gambar berikut ini.

Gambar 4. Seluruh sarana kesehatan yang terbagi dalam 3 strata dinaungi oleh konsep PHC. Akses seluruh masyarakat, miskin dan mampu, ke SPKN melalui sarana pelayanan primer

Lesson learned ujicoba PDK di Kota Bontang

Page 7

Ikatan Dokter Indonesia

Suatu sistem pelayanan kesehatan yang mengadopsi konsep PHC akan memiliki 22 karakteristik yang terbagi dalam dua kelompok: 1)karakteristik dari sistem pelayanan dan 2) karakteristik yang menjadi atribut dan melekat pada praktik dokter di strata primer. Sistem pelayanan kesehatan memiliki sebagian besar karakteristik di bawah ini, dapat dikatakan sebagai sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pelayanan primer. A. Karakteristik sistem pelayanan: 1. Tipe sistem pelayanan kesehatan (berorientasi pada pelayanan primer atau berorientasi pada pelayanan spesialis) 2. Siapa dokter yang menjadi penyelengara pelayanan primer 3. Model pembiayaan kesehatan 4. Akses ke sistem pelayanan kesehatan 5. Ada pembatasan akses ke DSp 6. Persentase dokter yang DSp 7. Rasio DPP dengan populasi 8. Menerapkan rayonisasi sarana pelayanan primer menurut area geografik 9. Tempat DPP biasanya berpraktik 10.DPP merawat pasien di RS 11.DSp hanya boleh praktik di RS 12.Metode pembayaran ke DPP 13.Metode pembayaran ke DSp 14.Rasio rata-rata kompensasi/ pendapatan DPP dengan DSp 15.Pemisahan fungsi UKP dan UKM 16.Peran organisasi profesi dokter B. Karakteristik praktik dokter: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kontak pertama (First contact) Pemeliharaan kesehatan sinambung (Longitudinality) Pelayanan yang bersifat komprehensif (Comprehensiveness Koordinasi pelayanan primer dan sekunder Fokus pada keluarga (Family centeredness) Orientasi pada komunitas (Community orientation)

Kajian dan pengalaman berbagai negara telah membuktikan bahwa ke 22 karakteristik ini dapat digunakan untuk menilai apakah suatu sistem pelayanan berorientasi pada pelayanan primer atau berorientasi pada pelayanan spesialis. Setiap karakteristik ini dengan skala yang berbeda memberi kontribusi pada kondusif tidaknya upaya menerapkan sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pelayanan primer. No KARAKTERISTIK Karakteristik Sistem Pelayanan Lesson learned ujicoba PDK di Kota Bontang Page 8 PENILAIAN

Ikatan Dokter Indonesia

1

Tipe sistem pelayanan kesehatan (berorientasi pada pelayanan primer atau berorientasi pada pelayanan spesialis)

PHC dapat dipahami sebagai strategi untuk menata sistem pelayanan kesehatan agar semua orang mendapat pelayanan kesehatan (universal coverage) dan mengatur agar setiap orang masuk ke sistem pelayanan (entry point) melalui satu pintu, yaitu sarana pelayanan primer atau Dokter Pelyanan Primer (DPP). Dengan strategi ini sumber daya dan lokasi praktik diatur agar persebaran dokter merata di tengah masyarakat, tidak terkonsentrasi di suatu wilayah geografi. Kebijakan 1 puskesmas 1 kecamatan adalah penerapan awal dari konsep PHC yang menggabungkan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) di bawah satu atap dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah tanpa kontribusi swasta. Padahal UKP adalah private good yang seharusnya dibiayai oleh yang menerima manfaat. Dengan hadirnya program jaminan kesehatan maka UKP yang bersifat private good akan dibiayai melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial, baik UKP di sarana pemerintah maupun swasta. Eligibilitas DPP dan persebarannya yang merata DPP ditengah masyarakat menjadi suatu keharusan agar peserta program jaminan terlayani dengan baik. PENILAIAN: High: Bila ada regulasi yang dilandasi konsep PHC untuk menata sumber daya dan sarana kesehatan untuk menjamin persebaran dokter yang merata di tengah masyarakat. Berarti ada kondisi yang kondusif untuk menerapkan sistem pelayanan yang berorientasi pada pelayanan primer Moderate: Bila ada indikasi konsep PHC tercantum dalam regulasi, tapi belum cukup untuk mendukung penerapan sistem pelayanan yang berorientasi pada pelayanan kesehatan primer Low: Belum ada regulasi yang berorientasi pada pelayanan kesehatan primer Dokter Pelayanan Primer (DPP) adalah dokter yang pertama kali dikunjungi seseorang bila ia mempunyai masalah kesehatan sehari-hari. Umumnya mereka datang dengan gejala yang belum jelas dan diagnosanya belum pasti. Oleh karena itu DPP dituntut mempunyai kompetensi yang luas tentang berbagai disiplin ilmu kedokteran namun tidak sedalam dokter spesialis di bidang ilmu tersebut. Yang masuk dalam kategori DPP adalah dokter umum (General Practitioner, Inggris) dan dokter keluarga (Family Physisican, Belanda). Di beberapa negara dokter internis dan dokter anak (bukan yang subspesialis), dan dokter obstetri-ginekologi dikategorikan dalam DPP. Page 9

2

Siapa dokter yang menjadi penyelengara pelayanan primer

Lesson learned ujicoba PDK di Kota Bontang

Ikatan Dokter Indonesia

PENILAIAN: High: Bila dalam regulasi sistem pelayanan, ada batasan yang jelas tentang siapa yang dikategorikan sebagai DPP dan penerapannya di lapangan sejalan dengan batasan tersebut. Berarti ada regulasi yang kondusif untuk mendukung penerapan sistem pelayanan yang berorientasi pada pelayanan primer. Moderate: Bila batasannya ada tapi penerapannya berbeda Low: Tidak ada batasan yang jelas dan semua dokter dan nakes lain (perawat dan bidan) boleh membuka praktik melayani masyarakat secara langsung. Pada umumnya masyarakat membiayai pelayanan kesehatan melalui 3 cara: 1) secara langsung saat pelayanan diberikan sebesar tarif yang berlaku (out-ofpocket dan fe-for-service); 2) dapat pula secara tidak langsung dengan membayar premi asuransi (prepayment), atau 3) melalui pajak yang dipungut pemerintah (NHS Inggris). Pembiayaan model 1 sangat merugikan masyarakat, karena 1) bisa menjadi penghalang (barier) akses ke pelayanan kesehatan; 2) bisa membangkrutkan pasien dan keluarganya (financial catastrophic); 3) meningkatkan biaya kesehatan. Dengan adanya UU-SJSN tahun 2004, maka model pembiayaan ke depan akan mengacu kepada mekanisme asuransi kesehatan sosial. 3 Model pembiayaan kesehatan PENILAIAN: High: Akses ke DPP akan kondusif bila sebagian besar masyarakat (> 70%) telah terjamin pembiayaannya melalui program jaminan kesehatan nasional. Berarti secara nasional berlaku paket pelayanan esensial yang seragam untuk seluruh wilayah. Kondisi ini sangat mendukung berkembangnya DPP yang menjadi ujung tombak program jaminan kesehatan. Moderate: Bila sebagian besar masyarakat ada yang menanggung biaya kesehatan tapi melalui berbagai cara, antara lain: out-of=pocket dan fee-for-service, asuransi kesehatan komersial atau dikelola sendiri oleh perusahaan. Kondisi ini belum cukup kondusif untuk tumbuhnya DPP. Low: bila lebih dari 70% dari masyarakat membiayai kesehatan secara out-of-pocket dan fee-for-servirce. Kondisi ini sama sekali tidak kondusif untuk tumbuhnya DPP. Universal coverage berarti seluruh penduduk mempunyai akses ke sistem pelayanan kesehatan. Akses ini diawali dengan kewajiban setiap menduduk untuk mendaftarkan Page 10

4

Akses ke sistem pelayanan kesehatan

Lesson learned ujicoba PDK di Kota Bontang

Ikatan Dokter Indonesia

diri ke sarana pelayanan primer atau DPP (home clinic) yang ada di wilayah domisilinya Selanjutnya ia akan mendatangi home clinic tersebut bila suatu saat membutuhkan layanan kesehatan. Penataan ini yang dikenal sebagai gatekeeping system/refferal system. Implikasi dari penerpan gatekeeping system atau refferal system ini adalah diperlukan rasio yang seimbang dan persebaran DPP yang merata untuk menjamin akses penduduk ke pelayanan kesehatan primer PENILAIAN: High: Bila ada regulasi yang mewajibkan setiap warga memilih sarana kesehatan primer atau DPP (dokter keluarga) sebagai home clinic yang ia akan datangi dikala membutuhkan pelayanan kesehatan. Berarti kondisinya sangat kondusif untuk menerapkan sistem pelayanan yang berorientasi pada pelayanan primer. Moderate: Bila ada regulasi tapi belum cukup kondusif Low: Bila tidak ada kewajiban warga untuk memilih dan berobat ke seorang dokter keluarga Dokter spesialis (DSp) adalah dokter yang mempunyai kompetensi mendalam di satu disiplin ilmu kedokteran, tidak melebar seperti DPP. DSp disiapkan untuk menangani penyakit khusus atau kondisi yang sudah jelas batasannya. Oleh karena itu kunjungan lan