KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

112
KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN (Analisa Tafsir dengan Metode Tematik) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan llmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memproleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.kom I) Oleh: MUHAMMAD HIZBULLAH NIM: 1111051000171 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M

Transcript of KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

Page 1: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

(Analisa Tafsir dengan Metode Tematik)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan llmu Komunikasi Untuk Memenuhi

Persyaratan Memproleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.kom I)

Oleh:

MUHAMMAD HIZBULLAH

NIM: 1111051000171

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1435 H/2014 M

Page 2: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN
Page 3: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN
Page 4: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN
Page 5: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

i

ABSTRAK

Muhammad Hizbullah

1111051000171

Konsep Maúizhah Hasanah Dalam Al-Qur’an

Al-Mau’izhah hasanah merupakan cara berdakwah atau bertabligh yang

disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjeratkan mereka;

memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang

mengesankan sasaran dakwah bahwa peranan juru dakwah adalah sebagai teman

dekat yang menyayanginya, dan sebagai yang mencari segala hal yang bermanfaat

baginya dan membahagiakannya.

Berdasarkan konteks diatas, bagaimana konsep mau’izhah hasanah dalam

al-Qur’an? Apakah kriteria da’i mau’izhah hasanah? Siapakah mad’u mau’izhah

hasanah? Sejauh mana dampak dan keuntungan menggunakan konsep mau’izhah

hasanah?

Mau’izhah hasanah maksudnya adalah petunjuk-petunjuk ke arah

kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat diterima, berkenan di hati, menyentuh

perasaan, lurus pikiran, menghindari sikap kasar dan tidak mencari atau menyebut

kesalahan audiens. Pesan yang disampaikan dengan santun dan dialog,

memanusiakan manusia sesuai dengan fitrahnya yang suci agar mau berbuat baik.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research (penelitian

kepustakaan), yaitu sebuah penelitian yang menggunakan buku-buku, tafsir,

dokumen, majalah, dan surat kabar sebagai bahan acuan. Sedangkan metode

pembahasan yang digunakan, adalah metode deskritptif dan tafsir mawdhu’i.

Metode deskriptif dipakai untuk menghimpun data dan fakta sehingga

tergambar unsur-unsur yang membentuk konsep mau’izhah hasanah dalam al-

Qur’an. Sedangkan metode mawdu’i digunakan untuk mencari nash-nash al-

Qur’an terkait sehingga diproleh sebuah kesimpulan yang terang bagaimana

mau’izhah hasanah terbentuk.

Konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an adalah konsep dakwah yang

bisa menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani dengan

halus. Tidak memaksa, tidak menyakiti, bukan dengan bentakan dan kekerasan

tanpa ada maksud yang jelas. seorang da’i mau’izhah hasanah harus berbuat dan

beramal sesuai dengan apa yang diucapkannya; ceramah harus dilakukan dengan

cara yang ramah, kasih sayang di samping itu juga seorang penasihat (da’i) harus

usianya lebih dewasa dengan objek dakwah dan memiliki kapasitas hikmah (ilmu)

yang memadai. Sementar Mad’u mau’izhah hasanah adalah dari kalangan awam

atau orang kebanyakan, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Kelembutan

dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang bingung,

menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak kebaikan.

Jadi mau’izhah hasanah adalah konsep berdakwah dengan penuh

kelembutan, ketenangan, dan penuh kasih sayang. Begitu juga da’i yang

menggunakan mau’izhah hasanah harus berbekal ilmu, penyayang dan santun.

sedangkan mad’unya dari kalangan awam atau tidak secanggih golongan yang

diseru dengan hikmah. Dengan itu, Sehingga pesan dakwah dan kebaikan akan

lebih cepat tersampaikan dan membangkitkan perasaan ketuhanan dalam jiwa

sehingga menimbulkan rasa takut dan tunduk.

Page 6: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

ii

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt.

Yang senantiasa memberikan nikmat iman, islam, serta nikmat sehat, kesempatan,

yang tiada henti kepada penulis. Dengan nikmat tersebut, penulis mendapatkan

kemudahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan syarat

untuk meraih gelar sarjana dalam bidang ilmu komunikasi dan penyiaran islam

(KPI). Meski penulis dalam prosesnya, menyadari banyak kendala yang dihadapi.

Namun atas berkat dan izin Allah SWT, penulis mampu menyelesaikannya

dengan penuh rasa syukur yang amat mendalam.

Shalawat serta salam tidak lupa pula terucap kepada baginda Nabi

Muhammad Saw, yang menjadi panutan umat, dengannya ilmu pengetahuan

terungkap. Nabi yang telah menerangi jalan kehidupan dari kegelapan menuju

jalan penuh terang benderang. Seorang da’i dan tokoh orator sejati yang visi dan

misinya tetap dikenang hingga akhirat nanti. Semoga shalawat selalu tercurah

kepada beliau, para sahabat, tabi’iin dan para pengikutnya hingga hari akhir nanti.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan

mendapatkan bimbingan, bantuan, dan dorongan semangat dari semua pihak yang

telah membantu guna penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis pada

kesempatan ini ingin mengucapkan beribu terima kasih yang sebesar-besanya,

semoga Allah membalas budi baik bapak, ibu, dan saudara Amiin. Kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA., selaku Rektor yang mendapat

amanah Ilmiah dari Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

iii

2. Bapak Dr. Arief Subhan, M.A sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan

Ilmu Komunikasi, Bapak Dr. Suparto, M.Ed, MA.Selaku Wakil Dekan

Bidang Akademik, Bapak Dr. Jumrani, M.Si. Selaku pembantu Dekan

Bidang Administrasi dan keuangan, dan juga Bapak Drs. Wahidin Saputra,

MA. Selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.

3. Bapak Drs. Rahmat Baihaky, MA. selaku ketua jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam, dan ibu Dra. Umi Musyarofah, M.A selaku Sekretaris

Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

4. Bapak Dr. Ahmad Ilyas Ismail, M.A selaku dosen pembimbing yang tak

kenal lelah serta senantiasa sabar meluangkan waktunya untuk membantu,

menempa dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Kepada seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan

Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

ilmu, pengalaman, serta keteladanan dalam menajalani dan memaknai

kehidupan ini.

6. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi Penyiaran Islam, dan karyawan Perpustakaan Utama UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan kepada

penulis untuk mencari referensi dalam penyelesain skripsi ini.

7. Kepada ayahanda dan ibunda tercinta, yang kasih sayang, doa, cinta serta

motivasinya yang tiada henti penulis terima, hingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini dengan penuh semangat dan untuk terus

menuntut ilmu sampai nanti.

Page 8: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

iv

8. Kakaku tercinta, Zuhrah, Ramdhan, Saifullah dan adik tercinta Syamsul

Lutfi yang tak kenal lelah memberi semangat moril dan materil serta

mendoakan penulis untuk terus berkarya, memberi mamfaat, belajar dan

mencari jati diri dalam mencapai kesuksesan dunia akhirat.

9. Teman-teman seperjuangan KPI E 2011, dan seluruh KPI semester akhir

yang selalu membantu dan saling menasihati dan tetap menjaga

kekompakan.

Penulis mendoakan semoga bantuan, dukungan, bimbingan dan perhatian

yang telah diberikan oleh semua pihak akan mendapatkan keridhaan, balasan

yang terbaik di sisi Allah Swt. Dengan pahala yang berlipat ganda serta

limpahan rahmat, hidayah, serta berkahny-Nya. Amiin Ya Rabbal Alamin.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sepenuhnya dapat

menenteramkan kegelisahan intelektual serta menyirami dahaga ilmiah, untuk

itu penulis sangat berlapang dada menerima masukan-masukan dan kritik

yang sipatnya membangun guna menuju kesempurnaan. Semoga skripsi ini

menjadi menjadi Khazanah /tolls serta dapat memberikan kontribusi positif,

memperluas wawasan keilmuan serta menambah Khazanah perpustakaan.

Page 9: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 9

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...........................10

D. Tinjauan Pustaka .................................................................11

E. Metode Penelitian ................................................................12

F. Sistematika Penulisan ..........................................................15

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Mau’izhah Hasanah ..........................................18

1. Pengertian Nasihat ........................................................26

2. Kriteria-Kriteria Seorang Penasihat ..............................27

B. Mau’izhah Hasanah dalam Bentuk Tabsyir .......................28

C. Mau’izhah Hasanah dalam Bentuk Tandzir .......................34

D. Pendekatan Dakwah dalam Bentuk Mau’izhah Hasanah....39

BAB III DESKRIPSI TENTANG AYAT-AYAT MAU’IZHAH

A. Ayat-ayat Tentang Mau’izhah hasanah .............................44

1. Ayat dalam Bentuk Al-mau’izhah ...............................45

2. Ayat dalam Bentuk Wa’azha & Yu’izhu.......................47

B. Klasifikasi Ayat ................................................................48

Page 10: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

vi

1. Ayat-Ayat Makiyah & Madaniah ................................48

2. Ciri khas Makiah & Madaniah .....................................50

C. Pengelompokan Makiyah Madaniah Ayat Mau’izah..........52

D. Asbabu An-Nuzul ...............................................................53

BAB 1V KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

A. Makna dan Ruang Lingkup Mau’izhah Hasanah ...................58

B. Kriteria Da’i Mau’izhah Hasanah ..........................................64

C. Siapakah Mad’u Mauizah Hasanah? ......................................69

D. Manfaat dan Keuntungan Menggunakan Mau’izhah ..............73

BAB V. PENUTUP

A. Simpulan ...................................................................................77

B. Saran-Saran ...............................................................................80

DAFTAR PUSTAKA

Page 11: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Mau’izhah hasanah merupakan cara berdakwah atau bertabligh yang

disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjeratkan mereka;

memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang

mengesankan sasaran dakwah bahwa peranan juru dakwah adalah sebagai

teman dekat yang menyayanginya, dan sebagai yang mencari segala hal yang

bermanfaat baginya dan membahagiakannya. 1

Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau’izhah al-Hasanah merupakan salah

satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan

memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka

mau berbuat baik.2

Mau’izhah hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan yang

mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita

gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiyat) yang bisa dijadikan

pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia akhirat.3

Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh

seorang da’i yang mengajak kepada perbuatan ma’ruf dan melarang orang lain

berbuat munkar haruslah memiliki ilmu tentang hal yang ma’ruf dan yang

mungkar dan dapat membedakan antara keduanya dan harus memiliki ilmu

tentang keadaan orang yang diperintah dan yang dilarang.dan yang dimaksud

1Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera,

1997), h. 48 2Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah Fi ingkar al-Mungkar (Kuwait: Dar al-Dakwah,

1989), h.260 3 M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 16

Page 12: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

2

dengan ilmu adalah apa-apa yang dibawa Rasulullah dari apa-apa yang Allah

utuskan kepadanya.jadi, berdakwah tanpa didasari ilmu menyalahi praktik

Nabi Saw.4

Sebagaimana firman Allah:

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang

mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,

Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik".

(QS Yusuf :102)

Di antara cara mentarbiah yang ada di dalam Al-Qur’an adalah:

tarbiah dengan talqin (dikte), cerita, teladan yang baik, pengilmuan,

praktikum, pembiasaan, amal nyata, logika, penyadaran hati, menggugah

rasa, bercermin dari peristiwa masa lalu, bukti yang mematahkan argumen

pembantah (mukjizat), dialog, permisalan, penggunaan hikmah,

pengakuan realitas, penggunaan alat indra, pikiran dan analisis, saling

berwasiat dengan benar dan sabar, amar ma’ruf nahi mungkar, siraman

ruhiah, pembersihan hati, ikhlas, cinta, harap dan cemas, Qishas (balasan

setimpal), ta’zir (hukuman berdasarkan ijtihad hakim), tobat, ampunan,

amal shalih, kesucian dan kemuliaan, dan seterusnya.- di riwayatkan dari

al-Irbadh bin Sariyah RA yang berkata “Rasulullah Saw menasihati kami

dengan nasihat yang dalam dan menggetarkan hati. Kami bertanya, “ya

Rasullah sepertinya ini nasihat orang yang hendak berpisah maka berilah

kami wasiat.” Nabi bersabda, “aku berwasiat, hendaklah kalian bertakwa

4 M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 144

Page 13: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

3

kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memimpin kalian

adalah seorang budak habsy. Sesungguhnya, siapa diantara kalian yang

hidup (berumur panjang) maka akan melihat banyak perselisihan. Karena

itulah berpegang teguhlah terhadap sunnahku dan sunnah para khalifah ar-

Ryasidin yang ditunjuk sesudahku, pertahankanlah dengan gigi taringmu

(bersungguh-sungguh), dan berhati-hatilah terhadap hal-hal baru karena

semua bid’ah sesat.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).5

“demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan

nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati

supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-ashr :1-3)

Kata Tawashauw terambil dari kata washa, washiah yang secara

umum diartikan menyuruh secara baik. Beberapa pakar bahasa lebih jauh

menyatakan bahwa kata ini berasal dari ardhun waashiah, yang berarti

tanah yang dipenuhi tumbuhan. Hatta mereka lebih jauh menasihati adalah

tampil kepada orang lain dengan kata-kata halus agar yang bersangkutan

bersedia melakukan sesuatu pekerjaan yang diharapkan darinya secara

berkesinambungan. Dalam ayat ini ada dua hal yang diminta untuk

diwasiatkan yaitu (al-haqq dan Ashabr).

Al-haq dari segi bahasa berarti sesuatu yang mantap tidak berubah

apapun yang terjadi. Allah adalah al-haqq karena tidak mengalami

perubahan. Nilai-nilai agama juga al-haqq. Seperti Nabi mengatakan:

5 Taufik al-Wa’iy, Dakwah Ke Jalan Allah, (Jakarta: Rabbani Press, 2010), h. 336-338

Page 14: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

4

agama itu adalah nasihat. Allah swt. adalah al-haq karena itu sebagian

para pakar tafsir, memahami kata al-haq dalam ayat ini dengan arti yakni

bahwa manusia hendaknya saling ingat mengingatkan tentang keberadaan,

kekuasaan Allah,keesaan Allah serta sifat-sifat lain-Nya. Hal-hal yang

diwasiatkan dalam al-Qur’an antara lain adalah:

a. Pelaksanaan agama, bersatu padu, tidak bercerai berai.

b. Bertakwa kepada-Nya. (QS An-Nisa:13)

c. Berbuat baik kepada orang tua khususnya kepada ibu. (QS.

Lukman:14)

d. Beberapa perincian ajaran agama seperti: pembagian harta

warisan (QS An-Nisa:11), shalat dan zakat.

e. Sepuluh hal yang disebutkan dalam surat al-An’am ayat 151-

153 yaitu: 1. Jangan memepersekutukan-Nya, 2. Berbuat baik

kepada ibu bapak, 3. Jangan membunuh anak, 4. Jangan

mendekati zina, 5. Jangan membunuh kecuali dengan cara yang

sah dan dibenarkan, 6. Jangan menyalahkan harta anak yatim,

7-8. Menyempurnakan timbangan dan takaran, 9. Percakapan

atau sikap hendaklah secara benar dan adil, 10. Memenuhi

perjanjian yang dikuatkan atas nama Allah.

Dalam surah ini pada urutan yang terakhir terdapat kata-kata

watawa shau bishabr dan saling menasihati dalam kesabaran. Menurut

Imam Al-Ghazali lebih dari 70 kali Allah menguraikan masalah sabar

dalam Al-Qur’an.6

6 M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 247-248

Page 15: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

5

Nasihat yang baik, lanjut Quthub, adalah nasihat yang diberikan

dengan penuh kasih sayang, seperti nasihat luqman kepada anaknya (Q.S.

Luqman:13). Nasihat luqman adalah nasihat yang bebas dari celaan,

karena pelakunya adalah orang yang mendapat hikmah. Nasihat luqman

juga tulus dan terlepas dari unsur subjektivitas, karena ia merupakan

nasihat orang tua kepada anaknya. Nasihat yang baik kelihatannya ada

kaitannya dengan sifat hikmah. Bila nasihat luqman dijadikan sebagai

contoh, maka nasihat yang baik itu kelihatannya hanya dapat dilakukan

oleh orang yang arif dan bijaksana (orang yang mendapat hikmah).7

Prinsip-prinsip metode ini diarahkan terhadap mad’u yang

kapasitas intelektual dan pemikiran serta pengalaman spiritualnya

tergolong kelompok awam. Dalam hal ini peranan juru dakwah, adalah

sebagai pembimbing, teman dekat yang setia, menyayangi dan

memberikan segala hal yang bermanfaat, serta membahagiakan mad’u-

nya. Cara berdakwah model ini memang lebih spesifik ditujukan kepada

manusia jenis kedua, yaitu keumuman manusia. Mereka adalah orang-

orang yang tidak mencapai taraf kemampuan manusia jenis pertama.

Secara potensial, mereka memiliki fitrah terhadap kebenaran, tetapi

mereka selalu ragu-ragu antara mengikuti kebatilan yang selama ini

tumbuh di sekelilingnya atau mengikuti kebenaran yang disampaikan

kepada mereka.8 Menurut Muhammad Husain Yusuf

9:

7A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah

Harakah, ( Jakarta: Penamadani, 2008).h. 250 8Asep Muhiddin, Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,

2002), h. 166 9 Husain Yusuf, op.cit, hlm. 49-50

Page 16: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

6

“mereka membutuhkan pelajaran yang baik (al-mau’izhah al-

hasanah), ucapan yang mengena (qaul baligh), serta penjelasan yang

berguna , berupa sugesti (targhib) untuk mengikuti kebenaran, penjelasan

tentang kebaikan mengikuti kebenaran, serta ancaman (tarhib) mengikuti

kebatilan, serta penjelasan atas dosa dan nista yang terdapat dalam

kebatilan. Begitu pula seterusnya sampai benar-benar jelas kepada

mereka jalan yang lurus dan cahaya yang terang , serta dapat

menghilangkan keraguan mereka untuk masuk ke dalam barisan orang-

orang mukmin di bawah panji Nabi dan rasul yang paling mulia.”

Dengan demikian, dakwah dengan pendekatan mau’izah hasanah

ini, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut:

1. Tutur kata lembut sehingga akan terkesan di hati.

2. Menghindari sikap sinis dan kasar.

3. Tidak menyebut-nyebut kesalahan atau bersikap

menghakimi orang yang diajak bicara (mukhatab).10

Komunikasi yang efektif dalam dakwah, menurut Ahmad Mubarok

apabila dilihat dari sudut psikologi dakwah, maka dakwah yang efektif itu

memiliki lima ciri yaitu:

1. jika dakwah memberikan pengertian kepada masyarakat

(mad’u) tentang apa yang didakwahkan.

2. Jika masyarakat (mad’u) merasa terhibur oleh dakwah

yang diterima.

3. Jika dakwah berhasil meningkatkan hubungan baik

antara da’i dan masyarakat mad’u.

4. Jika dakwah dapat mengubah masyarakat mad’u.

5. Jika dakwah berhasil memancing respons masyarakat

berupa tindakan.

10

Asep Muhiddin, Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,

2002), h.167

Page 17: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

7

Komunikasi yang efektif hanya jika dan jika hanya (only if) ia

menyerap sinar dan ke-Maha Muliaan dan ke-Mahatauan Allah Swt.

Dalam dirinya. Dalam teori komunikasi modern sifat mulia itu disebut

trusttworthiness dan sifat tahu itu disebut expertness. Terkait dengan hal

tersebut, berbagai penelitian membuktikan bahwa orang cenderung

mengikuti pendapat atau keyakinan orang yang dianggapnya jujur

(percaya dan meiliki keahlian). Orang yang berakhlak rendah, yang tidak

memiliki integritas pribadi, sulit untuk menjadi komunikator yang

berpengaruh. Begitu pula orang yang jahil yang tidak memiliki gairah

terhadap ilmu, yang pengetahuannya lebih di bawah rata-rata orang yang

banyak, sukar untuk mengubah atau mengarahkan perilaku orang lain.11

“mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di

dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan

berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan

yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS. An-Nisa:63)

Bertolak dari pandangan bahwa khalayak itu aktif dan memiliki

potensi mengingkari fitrah dan kehanifannya, maka khalayak itu harus

diajak agar kembali kepada fitrahnya, yaitu al-khayr, amar ma’ruf, dan

nahy munkar, dengan beriman, berilmu dan beramal saleh. Telah

dijelaskan bahwa pesan dakwah harus menarik perhatian dan memenuhi

kebutuhan dan kepentingan khalayak sebagai manusia atau sebagai

makhluk monodualis (individu dan sosial), maka pesan harus

direncanakan.- dalam perencanaan pesan dan metode dakwah, para pakar

11

Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 173

Page 18: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

8

selalu mengambil rujukan utama kepada firman Tuhan (QS, An-Nahl:125

yang artinya:

“serulah(manusia) kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang

baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya

Tuhanmu. Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat

dijalan-Nya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat

petunjuk”.

Dalam ayat tersebut, dikandung makna perlunya memerhatikan

kondisi dan situasi mad’u atau khalayak, sehingga mereka merasa tidak

dipaksa. Demikian juga pesan disampaikan dengan santun dan berdialog

dengan cara yang baik. Suasana dialogis harus bersifat manusiawi. Pada

prinsifnya dakwah itu harus memanusiakan manusia, sesuai dengan

fitrahnya yang suci. Hal ini wajib menjadi pegangan dalam merumuskan

pesan dan menetapkan metode dakwah.12

Lebih daripada itu, sesungguhnya kelemah-lembutan, pelan-pelan,

dan sikap penuh kasih dan sayang dalam hargai manusia konteks dakwah

dapat membuat seorang merasa dihargai kemanusiaanya dan

membangkitkan perasaan seperti itu pula dalam dirinya. Ia akan sangat

tersentuh, karena rasa cinta dan sayang yang diperlihatkan juru dakwah

dapat membangkitkan semangatnya untuk menjadi mukmin baik.13

Seperti yang telah disinggung di depan dakwah dengan mau’izah

hasanah adalah dakwah dengan penuh kelambutan tutur kata yang sopan,

tidak memaksa dan menyentuh hati mad’u. Dengan itu fungsi dakwah

akan cepat tersampaikan kepada mad’u.

12

Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer sebuah studi Komunikasi, (Yogyakarta: Graha

Ilmu,2011), h. 246-247 13

Muhammad Husain Fadhlullah, Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur’an, (Jakarta:

Lentera, 1997), h. 49

Page 19: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

9

Efektifitas suatu kegiatan dakwah memang berhubungan dengan

bagaimana mengkomunikasikan pesan dakwah itu kepada mad’u,

persuasif atau tidak. Dakwah persuasif adalah proses mempengaruhi

mad’u dengan pendekatan psikologis, sehingga mad’u mengikuti ajakan

da’i tetapi merasa sedang melakukan sesuatu atas kehendak sendiri.

Konsep itu telah ada dalam mau’izhah hasanah dengan itu fungsinya akan

cepat meyakinkan mad’u.

Keberhasilan suatu dakwah dimungkin oleh berbagai hal:

1. Kemungkinan pertama karena pesan dakwah yang disampaikan

oleh da’i memang relevan dengan kebutuhan masyarakat, yang

merupakan suatu keniscayaan yang tak mungkin ditolak,

sehingga mereka menerima pesan dakwah itu dengan antusias.

2. Kemungkinan kedua karena faktor pesona da’i, yakni da’i

tersebut memiliki daya tarik personal yang menyebabkan

masyarakat mudah menerima pesan dakwahnya, meski kualitas

dakwahnya boleh jadi sederhana saja.

3. Kemungkinan ketiga karena kondisi psikologis masyarakat

yang sedang haus siraman rohani, dan mereka terlanjur

memeliki persepsi positif kepada setiap da’i, sehingga pesan

dakwah yang sebenarnya kurang jelas ditafsirkan sendiri oleh

masyarakat dengan penafsiran yang jelas.

4. Kemungkinan keempat, adalah karena kemasan yang menarik.

Masyarakat yang semula acuh tak acuh terhadap agama dan

juga terhadap da’i setelah melihat paket dakwah yang diberi

Page 20: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

10

kemasan lain (misalnya kesenian, stimulasi, atau dalam

program-progam pengembangan masyarakat) maka paket

dakwah itu berhasil menjadi stimulasi yang mengglitik persepsi

masyarakat, dan akhirnya mereka merespon secara positif.14

Mengingat pentingnya penelitian ini, maka penulis merasa perlu meneliti

bagaimana konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an. Karena dakwah diera

modern ini mutlak dibutuhkan, sebagaimana kata Quthub, yang dikutip oleh

A.Ilyas Ismail dalam bukunya Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,

mengatakan, Semua manusia tegas Quthub membutuhkan dakwah disadari

maupun tidak. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa manusia moderen tidak

mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang medasar baik sebagai

individu, keluarga, maupun masyarakat. Peradaban modern menurut Quthub,

terbukti tidak sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan fundamental di atas.

Bahkan pohon peradaban moderen kini mulai gonjang-ganjing.

Keberadaannya sama dengan keadaan menjelang diutusnya Nabi Muhammad

saw yang kemudian berhasil membangun dan menyatukan peradaban umat

manusia. Jika demikian, maka betapa besar kebutuhan manusia kepada risalah

ini (risalah islam) untuk sekali lagi membebaskan dan menyelamatkan

manusia dari kehancuran. Jika demikian, maka dakwah menurut sayyid

Quthub bukan hanya menjadi kebutuhan umat islam, tetapi merupakan

kebutuhan kemanusiaan.15

14

Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1999), h. 161-162 15

Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub: Rekonstruksi Pemikiran Dakwah

Harakah, ( Jakarta: PENAMADANI, 2008), h. 134-135

Page 21: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

11

Atas dasar itu dakwah yang menyentuh, mendidik tidak memaksa adalah

merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dewasa ini dengan konsep

metode mau’izhah hasanah.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

Masalah mau’izhah hasanah atau nasihat yang baik merupakan masalah

yang cukup luas dan penting dalam kehidupan bermasyarakat untuk

menunjang eksistensi dakwah islam, dan di dalam al-Qur’an banyak sekali

yang menjelaskan mengenai mau’izhah hasanah dalam berbagai bentuk dan

derivasi. Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas dan tidak berujung,

maka penulis perlu membatasi permasalahan skripsi ini, yakni dengan

mengambil sebagian surat yang ada dalam al-Qur’an. dari kata-kata mau’izhah

terdapat dalam:

1. Surat al-Baqarah: 66,

2. An-Nahl: 125,

3. An-Nur: 32

Sedangkan dari kata wa’aza terdapat dalam:

1. Surat, al-Baqarah: 232,

2. An-Nisa: 63, 66,

kemudian dari ya’izhuhu terdapat dalam:

1. Surat luqman: 13,

2. An-Nur: 17 dan

3. Al-A’raf: 164

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah melalui surat dan

ayat ini akan diproleh:

Page 22: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

12

1. Siapakah da’i mau’izhah hasanah?

2. Siapakah mad’unya?

3. Bagaimana konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an?

4. Bagaimanakah dampak keuntungan menggunakan mau’izhah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara umum

1. Untuk mengetahui konsep dakwah yang baik dan benar serta

menyentuh hati menurut al-Qur’an.

2. Untuk mengetahui bagaimana menyesuaikan antara da’i dan mad’u

menurut konsep dakwah mau’izah hasanah.supaya pesan dakwah bisa

menyentuh dan tersampaikan ke masyarakat.

b. Secara khusus

1. Mengetahui korelasi antara konsep mau’izah hasanah dalam al-

Qur’an dengan dakwah yang dibutuhkan.

2. Memberikan wawasan kepada publik tentang pentingnya konsep

mau’izah hasanah dalam berdakwah.

3. Untuk meyakinkan publik bahwa konsep dakwah yang menyentuh

hati, tidak memaksa dan mengumbar aib-aib sangat menjadi

prioritas utama dalam berdakwah.

Manfaat Penelitian

a. Segi teoritis

1. Penelitian ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan dan

wawasan bagi dunia dakwah, khususnya pagi para aktivis

Page 23: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

13

dakwah, bagaimana konsep dakwah yang diterapkan dan

bagaimana orientasi dakwah yang sebenarnya? berorientasi

kepada sasaran khalayak dan ummah (to client or market

oriented) dengan pendekatan “bil mauizah hasanah”

2. Dapat mengetahui Konsep dan metodologi dakwah mau’izhah

hasanah yaitu dakwah yang menyentuh hati, tidak memaksa,

dan nasihat yang baik penuh kasih sayang, serta jauh dari caci

maki menurut konsep al-Qur’an

b. Segi praktis

1. Penelitian ini berguna bagi penelitian selanjutnya, terutama

menjadi rujukan dan pegangan bagi siapapun yang ingin

mengkaji tentang dunia dakwah.

2. Para da’i dapat menerapkan konsep dakwah yang

sesungguhnya, yang menyentuh hati, tidak memaksa, dan

menjadikan mad’u sebagai teman yang harus dinasihati.

D. Tinjauan Pustaka

Sebagai bahan telaah dari penelitian ini, penulis merujuk pada beberapa

buku dan tulisan, serta skripsi yang telah ditulis para ahli yang kompeten di

bidang komunikasi dan masalah keagamaan, seperti berikut ini:

1. Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudu’i atas pelbagai Persoalan

umat. Yang membahas tentang segala permasalahan umat

dengan menyajikannya dalam bentuk-bentuk topik, tema biar

mudah di baca oleh masyarakat sesuai seleranya serta

Page 24: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

14

mengambil kadar yang dinginkan dari meja yang telah ditata

dalam buku itu. Penulis Quraish Shihab.

2. Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran

Dakwah Harakah yang membahas tentang Sayyid Quthub

sebagai tokoh Dakwah harakah yang mampu merubah dunia

dakwah islam di kancah dunia international. Penulis DR

A.Ilyas Ismail,MA.

3. Dakwah Kolaboratif Tarmidzi Taher, yang membahas tentang

dakwah-dakwah yang dikembang tarmidzi taher melalui

metodenya yang multidimensi, sangat menghargai pluralism,

dengan pendekatan dialog antar agama, toleran, bersahabat,

harmonis dan berkepribadian. Sebagaimana yang ditulis oleh

Nurul Badruttamam.

Dengan begitu, penulis hendak merangkum gagasan-gagasan yang terserak

tentang dakwah dalam sebuah skripsi secara utuh dan konfeherensif dengan

judul konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an (Analisa Tafsir dengan

Metode Tematik), saya rasa skripsi yang membahas tentang dakwah sudah

banyak dalam berbagai bentuk, baik metodologi, maupun macam-macam

dakwah, namun sedikit sekali yang membahas tentang tafsir dakwah, konsep

dakwah dalam metode tematik. Yakni dakwah dengan menghadirkan tema-

tema yang aktual dalam al-Qur’an seputar dakwah dan yang berkaitan

dengannya, bagaimana da’i, mad’u dan konsep yang menyentuh hati (

mau’izhah hasanah) dalam al-Qur’an.

Page 25: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

15

“Di skripsi penulis itulah yang akan dibahas khususnya tentang konsep

mauidzah hasanah bahwa konsep mauizah hasanah adalah konsep berdakwah

yang menyentuh hati, jauh dari sikap egois, agitasi emosional, dan apologi

menurut al-Quran serta para pakar tafsir.

E. Metode Penelitian

Dalam mengupaya menghimpun data, lazimnya karya akademik, penulis

menggunakan jenis penelitian library research (penelitian kepustakaan), yaitu

sebuah penelitian yang menggunakan buku-buku, dokumen, majalah, dan

surat kabar sebagai bahan acuan. Sedangkan metode pembahasan yang penulis

gunakan, adalah metode deskritptif16

dan tafsir mawdhu’i. Metode deskriptif

dipakai untuk menghimpun data dan fakta sehingga tergambar unsur-unsur

yang membentuk konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an. Sedangkan

metode mawdu’i digunakan untuk mencari nash-nash al-Qur’an terkait

sehingga diproleh sebuah kesimpulan yang terang bagaimana mau’izhah

hasanah terbentuk. Adapun langkah atau cara kerja tafsir mawdu’i adalah

sebagai berikut:17

1. Membahas atau menetapkan masalah dalam al-Qur’an yang akan dikaji

secara mawdu’i. Namun karena keterbatasan waktu dan kemampuan

penulis, maka penulis mencari garis besarnya saja yang mengenai konsep

mau’izhah hasanah.

2. Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait

16

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999).

Cet-3, h. 35 17

Al-Hayy al-Farmawy, metode tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1996), cet-2, h. 48

Page 26: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

16

3. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dimasing-masing

suratnya.

4. Menyusun tema bahasannya dalam kerangka yang pas dan sistematis.

5. Melengkapi pembahasan dengan hadits bila dipandang perlu, sehingga

pembahasan menjadi semakin sempurna dan jelas.

6. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan

cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,

sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara.

Tahap-tahap penelitian yang akan dilalui penulis dalam memplajari dan

menghasilkan konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an adalah sebagai

berikut:

1. Menetapkan masalah tentang konsep mau’izhah hasanah

2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan masalah

mau’izhah hasanah atau kata yang serupa dengannya.

3. Mengkaji sebab latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang

berkaitan dengan etika komunikasi lisan karena dengan memahami

asbabunnuzul suatu ayat akan sangat membantu penulis untuk

memahami makna yang tersembunyi dibaliknya.

4. Menyusun pembahasan dengan kerangka yang sempurna.

5. Melengkapi pembahasan ini akan dilengkapi dengan hadits-hadits

Nabi yang bersangkutan. Dari hasil penelitian tersebut dapat

ditemukan pandangan al-Qur’an terhadap konsep mau’izhah hasanah.

Tafsir mawdu’i menurut pengertian istilah para ulama adalah:

“menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang

Page 27: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

17

sama. Setelah itu kalau mungkin disusun berdasarkan kronologis turunnya

dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah selanjutnya adalah

menguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali.

Hasilnya diukur dengan timbangan teori-teori akurat sehingga si mufassir

dapat menyajikan tema secara utuh dan akurat. Bersamaan dengan itu,

dikemukakan pula tujuannya yang menyeluruh dengan ungkapan yang

mudah dipahami sehingga bagian-bagian yang terdalam sekalipun dapat

diselami.”18

Dalam buku Baqir Hakim, Allamah Baqir Shadr mengemukakan bahwa

ada tiga arti dari kata Maudhu’iy:

1. Objektivitas, adalah sikap amanah dan konsistensi serta sikap berpegang

teguh pada ketentuan-ketentuan ilmiah yang berlandaskan kepada realitas

peristiwa dalam membahas setiap perkara dan kejadian yang sama, tanpa

terpengaruh sedikitpun dengan perasaan dan pendirian peribadinya, serta

tidak memihak dalam menentukan hukum-hukum serta hasil-hasil yang

diperoleh dari pembahasannya.

2. Memiliki makna memulai pembahasan dari tema yang merupakan peristiwa

nyata yang dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Quran, untuk mengetahui

pendirian (Mawqif) dari peristiwa nyata tersebut. Karena itulah, seorang

mufassir yang menggunakan Metode Tafsir Maudhu’iy (Tematik) harus

memusatkan perhatiannya pada tema-tema yang berkaitan dengan

kehidupan, akidah, sosial dan fenomena-fenomena alam, di samping ia juga

harus menguasai permasalahan-permaslahan seputar tema-tema tersebut

18

Al-Hayy al-Farmawy, metode tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1996), cet-2,h. 43-44

Page 28: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

18

yang di dapatkan melalui pemikiran manusia, mengetahui solusi

permasalahan tersebut yang disambungkan oleh pemikiran manusia, serta

mengetahui apa-apa yang tercatat dalam sejarah sebagai pertanyaan dan

poin-poin yang belum dijabarkan. Setelah itu barulah seorang mufassir

memulai Tanya jawabnya dengan Al-Quran, saat mufassir bertanya dan Al-

Quran menjawab. Dengan demikian diharapkan mufassir dapat mengetahui

sikap Al-Quran terhadap tema yang ditanyakan.

3. Terkadang istilah Maudhu’iy dimaksudkan untuk menyebutkan apa-apa

yang dinisbatkan kepada suatu tema. Saat seorang mufassir memilih tema

tertentu, kemudian mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan

dengan tema tersebut dan menafsirkannya, serta berusaha menyimpulkan

pandangan Al-Quran dari ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut.19

Metode Tafsir Maudu`iy (Tematik) merupakan salah satu cara menafsirkan

Al-Quran dengan menggunakan metode mengumpulkan atau menyusun ayat-

ayat Al-Quran menjadi sebuah tema atau judul. Pencetus metode tafsir ini

adalah Syeikh Mahmud Syaltut (Grand Syeikh Al-Azhar). Pada Januari 1960,

beliau menyusun kitab tafsir Al-Quran Al-Karim. Dalam tafsir tersebut, beliau

membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat,

kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat

tersebut.20

Ada dua jenis data dalam pembuatan skripsi ini, yaitu data primer dan

skunder. Data primer adalah sumber kepustakaan yang berasal dari sumber

utama yang digunakan dalam pembahasan ini, yaitu al-Qur’an al-Karim dan

19

M. Baqir Hakim, Ulumul Quran, (Jakarta: Al-Huda, 2006), hal. 508-509 20

Abu Nizhan, Buku Pintar Al-Quran, (Jakarta: Qultum Media, 2008), hal. 52

Page 29: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

19

hadits jika dibutuhkan. Sedangkan data skunder adalah data pendukung berupa

buku-buku, kitab-kitab tafsir, artikel-artikel, makalah dan lain-lain yang

berkaitan dengan pembahasan ini.

Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “pedoman

penulisan skripsi Fakultas dakwah dan Ilmu Komuniksai ” yang disusun oleh

tim fak dakwah dan komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.21

F. Sistematika Penulisan

Untuk memproleh gambaran yang utuh dan dalam rangka mempermudah

pemahaman, skripsi ini penulis bagi kedalam bab-bab sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan nencakup latar belakang masalah, batasan masalah,

rumusan masalah, tujuan dan mamfaat penelitian, metodologi penelitian,

serta tinjauan pustaka dan sistematika penulisan, yang dijelaskan dalam

point perpoint.

BAB II GAMBARAN UMUM / TINJAUAN TEORITIS

Membahas tentang gambaran umum tentang mau’izhah hasanah

meliputi: Pengertian Maui’zhah hasanah baik secara bahasa maupun

istilah, pengertian nasihat dan kriteria seorang penasihat, menjelaskan

makna mau’izhah hasanah dalam bentuk Tabsyir dan Tandzir, dan

pendekatan dakwah mau’izhah hasanah.

BAB III SEKITAR DESKRIPSI TENTANG AYAT-AYAT

MAU’IZHAH HASANAH

21

Lihat panduan penulisan skripsi Fak Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang disusun oleh

Dr. Arief Subhan, MA, Dra. Lili.L. Prihatini, Msi, dan Drs. Jumroni, Msi. Tahun 2011

Page 30: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

20

Membahas masalah konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an

meliputi:

a. Ayat-Ayat Tentang Mau’izhah Hasanah

1. Ayat dalam Bentuk Al-Mau’izhah

2. Ayat dalam Bentuk Kata Wa’azha dan Yu’izhu

b. Klasifikasi Ayat

1. Ayat-Ayat Makiyah

2. Ayat-Ayat Madaniyah

c. Asbab An-Nuzul

BAB IV KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

A. Makna dan ruang lingkup mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an

B. Kriteria Da’i Mau’izhah Hasanah

C. Siapakah Mad’u Mau’izhah Hasanah

D. Manfaat dan Keuntungan Menggunakan Mau’izhah Hasanah

BAB V PENUTUP

Terdiri dari kesimpulan yang didasarkan pada keseluruhan uraian

dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, dan juga

memuat saran-saran yang diperlukan. Bab ini berusaha menjawab

pertanyaan yang dibuat pada perumusan masalah sehingga para pembaca

dapat mengetahui jawaban dari masalah tersebut. Selain itu juga, bab ini

memberikan saran kepada para pembaca agar mereka mempunyai motivasi

untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembahasan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Page 31: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

21

Berisi tentang buku-buku, artikel, media online yang menjadi

sumber rujukan dalam menyempurnakan skripsi ini.

Page 32: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

22

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Mau’izhah Hasanah

Terminologi mau‟izah hasanah dalam perspektif dakwah sangat populer,

bahkan dalam acara-acara seremonial keagamaan (baca dakwah atau tabligh)

seperti Maulid Nabi dan isra‟ Mi‟raj, istilah mau‟izah hasanah mendapat porsi

khusus dengan sebutan “acara yang ditunggu-tunggu” yang merupakan inti

acara dan biasanya menjadi salah satu target keberhasilan sebuah acara.

Namun demikian agar tidak menjadi kesalah pahaman, maka akan dijelaskan

pengertian mau‟izah hasanah.

Secara bahasa, mau‟izah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau‟izah dan

hasanah. Kata mau‟izah berasal dari kata wa‟adza ya‟idzu-wa‟dzan-idzatan

yang berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan, sementara

hasanah merupakan kebalikan dari sayyi‟ah yang artinya kebaikan lawannya

kejelekan.1

Sebagian ahli tafsir seperti yang diungkapkan oleh Fadhlullah Muhammad

Husaen mengatakan, bahwa al-wa‟zat al-hasanat ialah berpaling dari yang

jelek atau perbuatan buruk – melalui anjuran (targhib) dan larangan (tarhib).1

Menurut at-Tabataba‟i yang dimaksud dengan metode al-Mau‟idzat adalah

suatu penjelasan atau keterangan yang dapat melunakkan jiwa dan

menggetarkan hati.2

1 M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 15

2 Fadhlullah Muhammad Husayn, uslub ad-Da‟wat fi al-Qur‟an, alih bahasa oleh tarmana

Ahmad Qasim dengan judul metodologi Dakwah dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: PT Lentera

Basritama, 1997), h. 48 3Al-„Allamah as-Sayyed Muhammad Husyain at-Tabataba‟i, al-mazan fi tafsir al-Qur‟an,

( Beirut: Muassasah al-A‟lami li al-Matbu‟at, 1972), h. 371

Page 33: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

23

Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat antara lain;

1. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh

hasanuddin adalah sebagai berikut:

“al-Mau‟izah hasanah adalah (perkataan-perkataan) yang tidak

tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan

menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan Qur‟an.”3

2. Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau‟izhah al-Hasanah merupakan

salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan

Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah

lembut agar mereka mau berbuat baik.4

Menurut beberapa komentar ahli bahasa dan pakar tafsir,5 beberapa

deskripsi pengertian Al-Mau‟izhah hasanah, adalah sebagai berikut.

1. Pelajaran dan nasihat yang baik, berpaling dari hal perbuatan melalui

tarhib dan targhib (dorongan dan motivasi); penjelasan, keterangan,

gaya bahasa. Peringatan, petutur, teladan, pengarahan, dan pencegahan

dengan cara halus.

2. Bi al-mau‟izhah al-hasanah adalah melalui pelajaran, keterangan,

petutur, peringatan, pengarahan dengan gaya bahasa yang

mengesankan atau menyentuh dan terpatri dalam nurani.

3. Dengan bahasa dan makna simbol, alamat, tanda, janji, penuntun,

petunjuk, dan dalil-dalil yang memuaskan melalui al-qaul al-rafiq

(ucapan lembut dengan penuh kasih sayang);

4Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 37

5Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah Fi ingkar al-Mungkar, (Kuwait: Dar al-

Dakwah, 1989), h.260 6Dalam kitab-kitab tafsir, antara lain: tafsir Al-Maraghi, At-Tafsir Al-Munir karya

muhammad nawawi, tafsir Al-Munir karya wahbah Al-juhaili, dan jalalain. Lihat pula Muhammad

Husain Fadhlullah dalam Uslub Ad-Da‟wah fi Al-Qur‟an (metode dakwah) dalam Al-Qur‟an.

Page 34: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

24

4. Dengan kelembutan hati menyentuh jiwa dan memperbaiki

peningkatan amal;

5. Melalui suatu nasihat, bimbingan dan arahan untuk kemaslahatan.

Dilakukan dengan baik dan penuh tanggung jawab, akrab dan

komunikatif, mudah dicerna, dan terkesan di hati sanubari mad‟u;

6. Suatu ungkapan dengan penuh kasih sayang yang dapat terpatri dalam

kalbu, penuh kelembutan sehingga terkesan dalam jiwa, tidak melalui

cara pelarangan dan pencegahan, mengejek, melecehkan, menyudutkan

atau menyalahkan, dapat meluluhkan hati yang keras menjinakkan

kalbu yang liar;

7. Dengan tutur kata yang lembut, pelan-pelan bertahap, dan sikap kasih

sayang- dalam konteks dakwah-, dapat membuat seseorang merasa

dihargai rasa kemanusiaanya sehingga akan mendapat respon positif

dari mad‟u.

Mau‟izhah hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan yang

mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita

gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiyat) yang bisa dijadikan

pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia akhirat.6

Mau‟izhah hasanah atau nasihat yang baik, maksudnya adalah

memberikan nasihat kepada orang lain dengan cara yang baik, yaitu

petunjuk-petunjuk ke arah kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat

diterima, berkenan di hati, menyentuh perasaan, lurus pikiran,

menghindari sikap kasar dan tidak mencari atau menyebut kesalahan

7 M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 16

Page 35: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

25

audiens sehingga pihak objek dakwah dengan rela hati dan atas

kesadarannya dapat mengikuti ajaran yang disampaikan oleh pihak subjek

dakwah. Jadi, dakwah bukan propaganda.7

Manurut Ali Musthafa Yakub, sebagaimana yang dikutip oleh Samsul

Munir Amin menyatakan, bahwa “mau‟izah hasanah adalah ucapan yang

berisi nasihat-nasihat baik dan bermanfaat bagi orang yang

mendengarkannya, atau argumen-argumen yang memuaskan sehingga

pihak audiensi dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh subjek

dakwah.” Seorang da‟i sebagai subjek dakwah harus mampu

menyesuaikan pesan dakwahnya sesuai dengan tingkat berpikir dan

lingkup pengalaman dari objek dakwahnya, agar tujuan dakwah sebagai

ikhtiar untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran islam ke dalam

kehidupan pribadi atau masyarakat dapat terwujud.8

Dari beberapa definisi diatas, mau‟izah hasanah tersebut bisa di

klasifikasikan dalam beberapa bentuk:

a. Nasihat atau petuah9

b. Bimbingan, pengajaran (pendidikan)

c. Kisah-kisah

d. Kabar gembira dan peringatan ( al-Basyir dan al-Nadzir)

e. Wasiat (pesan-pesan positif)

8 Siti Muriah, Metode Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta:Mitra Pustaka, 2000), h. 43-44

9 Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 100

10Nasihat biasanya dilakukan oleh orang yang levelnya lebih tinggi kepada yang lebih

rendah, baik tingkatan umur, maupun pengaruh, misalnya nasihat orang tua kepada anaknya,

perhatikan QS. Lukman(13):13 yang artinya” dan (ingatlah) ketika lukman berkata kepada

anaknya, yaitu memberikan mau‟izhah atau nasihat kepadanya; hai anakku, janganlah kamu

mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezhaliman yang amat

besa”

Page 36: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

26

Menurut K.H. Mahfudz kata tersebut mengandung arti:

1. Di dengar orang, lebih banyak lebih baik suara panggilannya.

2. Diturut orang, lebih banyak lebih baik maksud tujuannya

sehingga menjadi lebih besar kuantitas manusia yang kembali

ke jalan Tuhannya, yaitu jalan Allah Swt.

Sedangkan menurut pendapat Imam Abdullah bin Ahmad an-

Nashafi , kata tersebut mengandung arti:

Al-Mau‟izhatul hasanah yaitu perkataan yang tidak tersembunyi

bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan

mengehendaki manfaat kepada mereka atau dengan al-Qur‟an.

Jadi kalau kita telusuri kesimpulan dari mau‟izhah hasanah, akan

mengandung arti kata-kata yang masuk kedalam qalbu dengan

penuh kasih sayang dan kedalam perasaan dengan penuh

kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan

orang lain sebab kelemah lembutan dalam menasihati seringkali

dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan qalbu yang liar,

ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan

ancaman.10

Menurut pakar bahasa, nasehat (al-wa‟zh atau mau‟izhah)

mengandung arti teguran atau peringatan. Ashfahani, dengan mengutip

pendapat Imam Khalil, menyatakan bahwa nasihat adalah memberikan

peringatan (al-tadzkir) dengan kebaikan yang dapat menyentuh hati. Jadi

11

M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 16-17

Page 37: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

27

makna terpenting dari nasihat adalah mengingatkan (tadzkir) dan membuat

peringatan (dzikra) kepada umat manusia.

Sesuai dengan makna nasihat diatas, maka nasihat yang baik

menurut Quthub, adalah nasehat yang dapat masuk ke dalam jiwa manusia

serta dapat menyejukkan hati, bukan nasihat yang dapat memerahkan

telinga karena penuh kecaman dan caci maki yang tidak pada tempatnya.

Nasihat yang baik lanjut Quthub, bukan pula dengan membuka dan

membeberkan aib dan kesalahan-kesalahan orang lain yang terjadi karena

tidak mengerti atau karena motif yang tidak baik. Nasihat yang baik adalah

nasihat yang lemah lembut yang dapat melunakkan hati yang keras dan

menyejukkan hati yang gersang. Nasihat seperti ini, menurut Quthub, jauh

lebih baik dibanding caci-maki, celaan dan hujatan.11

Cara mau‟izhah hasanah sebagaimana kata Quthub dalam

Tafsirnya Fizhilalilqur‟an, ketika menafsirkan surat an-Nahl ayat 125,

mengatakan:

“Cara Mau‟izhah hasanah „nasihat yang baik‟ harus bisa

menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani

dengan halus. Bukan dengan bentakan dan kekerasan tanpa ada maksud

yang jelas. Begitu pula tidak dengan cara membeberkan kesalahan-

kesalahan yang kadang terjadi tanpa disadari atau lantaran ingin

bermaksud baik. Karena kelembutan dalam memberikan nasihat akan

lebih banyak menunjukkan hati yang bingung, menjinakkan hati yang

12

A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah

Harakah, ( Jakarta: Penamadani, 2008), h. 250

Page 38: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

28

membenci, dan memberikan banyak kebaikan ketimbang bentakan,

gertakan, dan celaan.”12

Mau‟izhah hasanah, baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan

yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari

yang menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat hasanah, kalau tidak, ia

adalah yang buruk, yang seharusnya dihindari. Di sisi lain, karena

mau‟izhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang

baik, dan ini dapat mengundang emosi baik dari yang menyampaikan,

lebih-lebih yang menerimanya, maka mau‟izhah adalah sangat perlu untuk

mengingatkan kebaikannya itu.13

Cara mau‟izhah hasanah memiliki keitimewaan dan kelebihan

yang banyak diantaranya:

1. Ungkapan dan lafalnya adalah lembut serta sesuai dengan keadaan.

Karena itu, mau‟izhah hasanah harus dengan ungkapan yang lembut

dan sesuai kondisi (keadaan).

2. Banyak dan macam-macam bentuknya sehingga para da‟i dapat

memilih bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang

dihadapinya.

3. Besar pengaruhnya terhadap jiwa orang-orang yang diseru dan hal ini

tampak dalam perkara sebagai berikut:

a. Biasanya, orang-orang menerima nasihat dan cepat

menyambutnya.

13

Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, dibawah naungan al-Qur‟a, (Jakarta: Gema

Insani, 2003), cet ke-1, jilid 7,h. 224 14

Quraih Shibab, TafsirAl-Misbah, pesan, dan Kesan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:

Lentera Hati, 2007), cet ke-VII, vol 7, h. 392-393

Page 39: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

29

b. Menanamkan rasa cinta dan kasih sayang dihati orang-orang yang

diseru.

c. Membatasi (menahan) kemungkaran dan memutus penyebarannya,

dimana orang-orang merasa malu apabila tidak menyambut dari

orang yang menasihati dengan nasihat yang baik, maka

minimalnya mereka tidak menampakkan keingkarannya.14

Syekh Muhammad Abduh, mengatakan bahwa umat yang dihadapi

seorang pendakwah secara garis besar membagi 3 golongan yang masing-

masing harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda pula:

1. Golongan cerdik cendikiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir

secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka harus

dipanggil atau diseru diberi nasihat dengan hikmah, yaitu dengan

alasan-alasan, dengan dalil-dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh

kekuatan doa mereka.

2. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir

secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang

tinggi-tinggi, mereka ini diseru/ diberi nasihat dengan cara “mau‟izhah

hasanah” dengan anjuran dan didikan yang baik-baik dengan ajaran-

ajaran yang mudah dipahami.

3. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan

tersebut, belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak sesuai

juga bila dinasihati seperti golongan orang awam, mereka suka

membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam batas tertentu, tidak

14

Syekh Muhammad Abu Al-Fath Al-bayanuniy, Ilmu Dakwah Prinsip dan Kode Etik,

Berdakwah Menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, (Jakarta Timur: Akademika Pressindo, 2010), h.

331-332

Page 40: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

30

sanggup mendalam benar. Mereka ini diseru/ dinasihati dengan cara

“mujadalah billati hia ahsan” yakni dengan cara bertukar pikiran, guna

mendorong supaya berpikir secara sehat satu dan lainnya dengan cara

yang lebih baik. Kesemuanya disimpulkan dalam kalimat.15

Perkataan (Qaulan) sebagai simbol komunikasi penyejuk hati dan

penumbuhan kesadaran jiwa dalam Al-Qur‟an ditemukan sebanyak 11 variasi

dalam berbagai ayat antara lain:

1. Qaulan ma‟rufan terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 235, An-Nisa‟ ayat

5 dan 8 serta surat Al-ahzab ayat 32

2. Qaulan sadidan, terdapat dalam surat An-Nisa‟ ayat 9 dan Al-Ahzab ayat

70

3. Qaulan Balighan, terdapat dalam surat An-Nisa‟ ayat 63

4. Qaulan karimah, terdapat dalam surat Al-Isra‟ ayat 23

5. Qaulan maysuran, terdapat dalam surat Al-Isra‟ ayat 28

6. Qaulan Azhiman, terdapat dalam surat Al-Isra‟ ayat 40

7. Qaulan Layyinan, terdapat dalam surat Thaha ayat 44

8. Qaulan min abbin rahim, terdapat dalam surat Yasin ayat 58

9. Qaulan Tsaqilan, terdapat dalam surat al-Munzammil ayat 5

10. Qaulan Ahsan (ahsan Qaula), terdapat dalam surat Lukman ayat 33

11. Qaulan Salaman, terdapat dalam surat Alfurqan ayat 63

15

M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006),cet ke-2, edisi revisi, h. 252-253

Page 41: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

31

Semua bentuk perkataan tersebut terpakai dan digunakan dalam kegiatan

dakwah termasuk dakwah dengan menerapkan prinsip metode mauziah al-

hasanah.16

An-Nisaburi menafsirkan mau‟izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang

memuaskan (ad-dalâ‟il al-iqna‟iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan

pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang telah diterima. Al-

Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan mau‟izhah hasanah sebagai seruan-

seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni„ah) dan

ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-„ibâr al-nâafi„ah). An-Nawawi al-

Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-

zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan

mau‟izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan

ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan

kemaksiatan).

Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong mau‟izhah

hasanah ada dua: Pertama, menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal.

Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti an-

Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ‟il (bukti-bukti),

muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan

fungsi akal untuk memahami. Kedua, menggunakan ungkapan yang tertuju

pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan aspek

kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata

16

Itdafriyenny, “Metode Dakwah“Mau‟izhah Hasanah dan Turunannya dalam Al-Qur‟an

dan Hadits” diakses tanggal 28 nopember 2013 dari

http://itdafriyenny.wordpress.com/2012/11/09/metode-dakwah-mauizhan-al-hasanah-dan-

turunannya-dalam-perspektif-al-quran-dan-hadis/

Page 42: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

32

dalâ‟il iqnâ„iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan). Al-Baidhawi dan al-

Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni„ah (ungkapan-ungkapan

yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ„) jelas tidak akan

terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas

berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil.

Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhîb dan

tarhîb, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin.17

Dari makna di atas mau‟izhah hasanah mengandung beberapa hal:

1. Nasihat

Kata nasihat berasal dari bahasa arab, dari kata kerja “Nashaha” yang

berarti khalasa yaitu murni dan bersih dari segala kotoran, juga berarti

“khata” yaitu menjahit. Dan dikatakan bahwa kata nasihat berasal dari kata

ه وب له ث صح ارج ,apabila dia menjahitnya (orang itu menjahit pakaiannya) ن

maka mereka mengumpamakan perbuatan penasihat yang selalu

menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya dengan jalan

memperbaiki pakaiannya yang robek.

Sebagian ahli ilmu berkata tutur Munir dalam bukunya metode dakwah

mengatakan:

“Nasihat adalah perhatian hati terhadap yang dinasihati siapapun dia.

Nasihat adalah salah satu cara dari al-mau‟izhah al-Hasanah yang

bertujuan mengingatkan bahwa segala perbuatan pasti ada sangsi dan

akibat. Al-Asfahani memberikan pemahaman terhadap term tersebut

dengan makna al-mau‟izhah merupakan tindakan mengingatkan seseorang

17

Ivanmarzamaya, “Tafsir Surat an-Nahl ayat 125” diakses tanggal 29 Nov. 13 dari

http://ivanmirazaarmaya.blogspot.com/2013/01/kajian-tafsir-surat-nahl-ayat-125.html

Page 43: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

33

dengan baik dan lemah lembut agar dapat melunakkan hatinya. Dan

apabila ditarik suatu pemahaman bahwa al-Mau‟izhah hasanah

merupakan salah satu manhaj dalam dakwah untuk mengajak ke jalan

Allah dengan cara memberikan nasihat.”

Secara terminologi nasihat adalah memerintah atau melarang atau

menganjurkan yang dibarengi dengan motivasi dan ancaman. Pengertian

nasihat dalam kamus bahasa indonesia balai pustaka adalah memberikan

petunjuk kepada jalan yang benar. Juga berarti mengatakan sesuatu yang

benar dengan cara melunakkan hati. Nasihat harus berkesan dalam jiwa

atau mengikat jiwa dengan keimanan dan petunjuk.18

“Dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:

"Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka

tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan

Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan

kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan

lebih menguatkan (iman mereka),” (QS. an-Nisa:66)

18

Munir, metode Dakwah, h. 242-243

Page 44: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

34

2. Kriteria Seorang Penasihat

Da‟i yang menghendaki mau‟izhah hasanah yang tepat sasaran, kata al-

Qahtany, harus memerhatikan lima hal ini. Pertama, memerhatikan

dengan seksama jenis kemungkaran yang berkembang sesuai dengan

konteks waktu dan tempat. Kedua, mengukur skala prioritas kemungkaran

yang mesti lebih dahulu ditangani sesuai derajat kerusakannya di

masyarakat. Ketiga, memikirkan efek yang ditimbulkan lebih jauh oleh

kemungkaran ini dari segi psikis, sosial, kesehatan hingga finansial.

Keempat, menghadirkan argumentasi agama terkait dengan efek

kemungkaran tersebut, bisa dari ayat al-Qur‟an, hadis Nabi, perkataan

sahabat atau nasihat ulama. Kelima, jika mau, nasihat-nasihat ini dapat

didokumentasikan dalam bentuk tulisan bertema yang mengupas bahaya

suatu kemungkaran dalam hidup manusia serta memotivasi mereka untuk

bertobat. Adapun jika mau‟izhah hasanah tersebut dimaksudkan untuk

memotivasi amal shaleh, maka langkah-langkahnya berikut ini. Pertama,

merenungkan secara mendalam keistimewaan dan efek kebaikan amalan

tersebut dalam kehidupan sosial. Kedua, menghadirkan argumentasi yang

berisi amal shaleh tersebut. Ketiga, jika mau dibuat dokumentasi bertema

seperti diatas.19

B. Mau’izhah Hasanah dalam Bentuk Tabsyir

Tabsyir secara bahasa berasal dari kata basyara yang mempunyai

arti memperhatikan, merasa senang. Menurut Quraish Shihab basyara

19

A.Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filsafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan

Peradaban Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 205-206

Page 45: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

35

berarti penampakan dengan baik dan indah. Maka basyar dalam bahasa

Arab sering diartikan kulit, karena kulitlah yang membuat keliatan indah ,

demikian pula tabsyir diterjemahkan dengan berita gembira karena disebut

basyar, karena bagian yang terbesar yang bisa dilihat adalah kulitnya serta

yang bisa membuat kelihatan indah.

Adapun Tabsyir dalam istilah dakwah adalah penyampaian dakwah

yang berisi kabar-kabar yang menggembirakan bagi orang yang mengikuti

dakwah.20

Hemat penulis dakwah tabsyir mutlak dibutuhkan, dakwah dengan

penuh kesantunan dan membawa pesan bahagia, gambaran syurga dan

buah kenikmatan janji Tuhannya, akan lebih menyentuh relung hati

sanubari mad‟u. Ia merasa dipihakkan dan dinomorkan dalam pesan

dakwah yang disampaikan da‟i, hingga ia mempunyai motivasi yang tinggi

dan tanpa lelah untuk selalu mencari beribadah dan beramal shaleh serta

meraih ridha Tuhannya Dzat pemberi kebahagiaan. Dengan itu sosialisasi

dakwah akan cepat sampai tanpa paksaan dan bujukan.

Di dalam Al-Qur‟an, kata tabsyir banyak disebutkan menurut

Muhammad Abdul Baqi‟ kata-kata tabsyir atau mubasyir disebutkan

sebanyak 18 kali. Dari sekian banyak kata tabsyir diartikan dengan “kabar

gembira atau berita pahala, hanya saja bentuk kabar gembiranya beragam,

antara lain kabar gembira dengan syariat islam, kabar gembira dengan

kedatangan rasul, kabar gembira tentang akan turunnya Al-Qur‟an dan

kabar gembira tentang syurga. Dalam kontek dakwah, sesungguhnya

20

M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 256-257

Page 46: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

36

bentuk kabar gembira tidak harus menggunakan kata tabsyir, tetapi apa

saja yang bisa membawa rasa gembira bagi orang yang mendengarnya

sehingga bisa dijadikan motivasi untuk meningkatkan motivasi dan

beramal shaleh.21

Basyira atau kabar gembira adalah informasi mengenai pahala,

imbalan, berkah, manfaat, faidah, kebaikan atau yang menjalankan ajaran

islam (perintah Allah swt). Simbol utama pahala bagi pelaku kebaikan itu

adalah syurga sebuah tempat di alam akhirat yang digambarkan penuh

kenikmatan dan kesenangan. Informasi berupa reward tersebut berpungsi

sebagai dorongan rangsangan (stimulus), atau motivasi agar komunikan

(mad‟u) untuk melaksanakannya. 22

Contoh kabar baik itu sebagaimana Firman Allah swt.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh,

mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan

mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;

mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka

dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi

orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS al-Bayyinah: 7-8)

21

M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 257 22

Asep Syamsul M.Romli, Komunikasi Dakwah, Pendekatan Praktis, (T.tp.: T. Pn.,

2013), h. 15

Page 47: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

37

“Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka

Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin

Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi

petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-

Baqarah: 97)

“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan

kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,

dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-

penghuni neraka.” (QS. al-Baqarah: 119)

Itulah sekian contoh kalimat tabsyir dalam al-Qur‟an, sebagai

pemberi semangat dan motivasi bagi mad‟u, untuk lebih meningkatkan

ibadah dan kedekatannya kepada Tuhan.

Contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 119 di atas Rasulullah

sebagai juru dakwah sebagai pemberi kabar gembira. Sebagaimana kata

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Ibnu „Abbas, dari Nabi SAW.

Sebagaimana yang dikutip ibnu Katsir dalam tafsirnya, berkata:

“Telah diturunkan kepadaku ayat: sesungguhnya kami telah

mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita

gembira dan pemberi peringatan.” Beliau Saw bersabda: (yaitu) berita

gembira berupa surga dan peringatan dari api neraka.”23

Kegiatan dakwah sesungguhnya mempunyai orientasi yang jelas,

yaitu mengajak, mengarahkan orang untuk mengikuti jalan yang benar,

baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Karena target yang amat

panjang ini akan selalu mendapatkan kesulitan-kesulitan yang bisa

23

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh; penerjemah, M.

„Abdul Ghoffar; Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2009), h.239

Page 48: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

38

menimbulkan sifat psimis dan keputus asaan, maka konsep tabsyir ini

diharapkan bisa membantu menghilangkan sifat-sifat di atas. Adapun

tujuan-tujuan tabsyir antara lain.

a. Menguatkan atau memperkokoh keimanan

b. Memberikan harapan

c. Menumbuhkan semangat untuk beramal

d. Menghilangkan sifat keragu-raguan

Tujuan-tujuan di atas diharapkan menjadi sebuah motivasi di

dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama.24

Dan untuk mengaplikasikan metode tabsyir ini, setiap juru dakwah

bebas memiliki karakter mereka masing-masing, sehingga metode dalam

penyampaian dakwah pun akan berbeda-beda, yang perlu ditekankan

adalah bentuk tabsyir yang dilakukan tidak boleh menyimpang dari hal-hal

yang telah di tetapkan oleh syari‟at, atau terlalu berlebihan sehingga tujuan

penyampaian materi tidak tercapai, semisal membuat lawak yang terlalu

berlebihan, sehingga para penyimak hanya mengingat kelucuannya saja

dan mengabaikan isi ceramahnya.

Dakwah sejatinya memberi motivasi kepada mad‟u seperti dengan

metode tabsyir ini, supaya pesan dakwah lebih cepat diserap di jadikan

pegangan dalam kehidupannya. Adapun motivasi tersebut oleh Sa‟id bin

Ali al-Qahtani25

dibagi menjadi dua:

Pertama, pemberian motivasi dengan janji, kedua, pemberian

motivasi dengan menyebutkan bermacam-macam ketaatan.

24

M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-2, h. 259 25

Said bin Ali al-Qahtani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press,

1994), h. 362

Page 49: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

39

Pemberian motivasi dengan janji

Bagian ini mempunyai gambaran yang beraneka ragam, antara

lain:

a. Memberikan motivasi dengan janji dunia

Misalnya, jika seseorang beriman dan istiqomah dalam ketaatan atau

ketakwaannya kepada Allah, ia akan mendapat keberuntungan dan berkah

di dunia ini sebelum ia mendapatkannya lagi nanti di akhirat, bahkan

keberuntungan di akhirat, jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang

diterima di dunia. Semua janji tentang keberuntungan di dunia ini dapat

kita ringkas sebagai berikut;

- Janji berupa kehidupan yang baik, yakni selamat dari segala

yang dibenci Allah. Dalam firman-Nya Allah menjanjikan

kebaikan kepada orang-orang yang beramal shaleh yang

disertai dengan ikhlas.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki

maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya

akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan

Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan

pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-

Nahl: 97)

- Janji berupa pemberian kekuasaan di atas bumi (QS al-Nur: 55)

Page 50: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

40

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di

antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia

sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,

sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka

berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang

telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar

(keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman

sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan

sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah

(janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS al-Nur: 55)

b. Menyebutkan Motivasi dengan menyebutkan bermacam-macam ketaatan

Motivasi ini dimaksudkan untuk mengajak manusia agar berlomba-

lomba berbuat bermacam-macam ketaatan. Seorang da‟i harus

memperhatikan hal ini, yaitu senantiasa mendorong agar orang-orang mau

mengerjakan shalat, zakat haji, sodaqah, jihad, silaturrahim dan lain

sebagainya. Demikian pula para da‟i harus menjelaskan bahwa ketaatan

kepada Allah sesungguhnya merupakan fitrah manusia, karena manusia

diciptakan oleh Allah sesungguhnya merupakan fitrah manusia, karena

manusia diciptakan oleh Allah untuk taat kepada-Nya. Di dalam al-Qur‟an

surah al-Dzariyat ayat 56 disebutkan: tidak Aku (Allah) ciptakan jin dan

manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. al-

Dzariyat: 56)

Page 51: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

41

kata beribadah oleh para tafsir antara lain mempunyai arti taat atau

loyalitas,26

dengan demikian taat kepada Allah adalah sebagai kebutuhan

manusia yang harus dilakukan setiap saat.

C. Mauizhah Hasanah dalam Bentuk Tandzir

Kata Tandzir atau indzar secara bahasa berasal dari kata na-dza-ra,

menurut Ahmad bin Faris adalah suatu kata yang menunjukkan untuk

penakutan (Takhwif).27

Adapun Tandzir menurut istilah dakwah adalah penyampaian

dakwah dimana isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya

kehidupan akhirat dengan segala konsekuensinya.28

Menurut M. Munir

dalam bukunya metode dakwah mengatakan tandzir adalah ungkapan yang

mengandung unsur peringatan kepada orang yang tidak beriman atau

kepada orang yang melakukan perbuatan dosa atau hanya untuk tindakan

preventif agar tidak terjerumus pada perbuatan dosa dengan bentuk

ancaman berupa siksaan di hari kiamat.29

Hemat penulis tandzir atau peringatan berupa kalimat atau kata

ancaman sangat mendorong efektifitas dakwah, mengingat kondisi mad‟u

yang semakin hari semakin jauh dari Tuhan dan agamanya perlu sesekali

seorang da‟i memberi kalimat penegasan akan dampak dari suatu

kerusakan, dosa, yang di perbuat. Mengingat manusia itu sering lalai dan

26

Muhammad Ali al-Shabuni, rawa‟iul bayan tafsir al-Ayat al-Hakam, (Beirut: da fikri,

tt.), h. 27 27

Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu‟zam al-maqayis fi al-Lughah, (Beirut:dar fikr, 1994),

h. 1021 28

Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metoda Dakwah Nabi, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,

1997), h. 49 29

M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 263

Page 52: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

42

lupa dengan kemewahan, kegembiraan yang berlebihan, untuk itu sistem

atau metode tandzir menjadi hal yang sangat dibutuhkan.

Namun disamping itu seorang da‟i tetap berada dalam koridor dan

batas-batas yang telah ditetapkan agama. Tidak boleh memaksa, menakut-

nakuti dengan bahasa kecaman dan paksaan, hal itu dilarang dalam agama

islam.

Islam melarang keras pemaksaan agama itu,. Hal ini, menurut

Quthub, karena masalah agama (Aqidah) adalah masalah menerima atau

menolak setelah adanya penjelasan (al-bayan) dan pemahaman, dan sama

sekali bukan masalah pemaksaan. Itu sebabnya, islam datang dengan

mengetuk pikiran dan kognisi manusia serta semua potensi kesadaran yang

dimiliki. Ia berbicara kepada akal dan kesadaran manusia yang aktif,

sebagaimana ia juga berbicara pada fitrah yang merupakan hakikat primer

manusia, tanpa sedikitpun menggunakan unsur paksaan. Kepercayaan

agama itu tidak dapat masuk ke dalam jiwa manusia dengan cara

pemaksaan. Pemaksaan agama itu menurut Qutub, selain dilarang, juga

tidak ada artinya apa-apa.30

Namun perlu dipahami pula bahwa kebebasan

agama itu, menurut Quthub, tidak mengandung arti bahwa setiap orang

bebas mempertuhankan hawa nafsunya, atau merelakan dirinya

diperbudak oleh orang lain. Hal ini, karena prinsip yang harus ditegakkan

menurut ajaran islam ialah prinsip ketundukan dan kepatuhan manusia

kepada Allah semata, Tuhan yang maha kuasa. Setelah tegaknya prinsip

tersebut, maka setiap orang bebas menganut kepercayaan apapun. Dengan

30

A.Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah

Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2008), cet-2, h. 237

Page 53: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

43

begitu, ketundukan dan kepatuhan manusia benar-benar hanya kepada

Allah Swt (wa yakun al-din kulluh li Allah, Q.S. al-Baqarah:192). 31

Di dalam al-Qur‟an, Istilah Tandzir biasanya dilawankan dengan

kata Tabsyir (QS. al- Baqara: 119, al-Maidah: 19).

“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran;

sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak

akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni

neraka.” (QS. al-Baqarah:119).

“Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami,

menjelaskan (syari'at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman)

Rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "tidak ada datang kepada Kami

baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi

peringatan". Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita

gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala

sesuatu.” (QS. al-Maidah:19)

Menurut Musthafa Malaikah dalam hasil penelitiannya tentang

manhaj dakwah yusuf al-Qardhawi, bahwa sebagai seorang da‟i

hendaknya beramal dengan seimbang antara rasa harap dan takut dan

seimbang dalam menyampaikan kabar gembira dan ancaman, karena

dalam agama islam terdapat konsep “tawazun dan tawasuth” atau

keseimbangan dan pertengahan. Jangan sampai seorang da‟i melebihkan

dengan peringatan memberikan rasa takut kepada umatnya sehingga justru

31

A.Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah

Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2008), cet-2, h. 238

Page 54: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

44

akan mengakibatkan seseorang merasa putus asa dari rahmat Allah,

padahal Allah berfirman:

“...jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada

berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".

(QS Yusuf:87).

Sebaliknya, juga para da‟i tidak seyiogianya terlalu, berlebihan

dalam memberikan kabar gembira, sehingga seseorang merasa aman dan

tenang dari murka Allah, padahal juga berfirman:

“...tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang

merugi.” (QS. al-A‟raf:99)

Sikap berlebih-lebihan dalam islam dianggap sebagai sifat yang

tidak terpuji, maka berkaitan dengan pemberian tabsyir dan tandzir pun

harus diterapkan secara proporsional, sehingga kedua konsep itu mampu

memberikan arah yang jelas bagi umat.32

Imam Ibnu al-Qayyim Rahimahullah ketika menjelaskan surat An-

Nahl:125, menjelaskan makna mau‟izhah hasanah, beliau berkata, “ia

adalah perintah dan larangan yang disertai dengan motivasi dan

ancaman.33

Hal ini serupa dengan apa yang dinyatakan oleh syaikh as-

Sa‟di Rahimahullah dalam tafsirnya. Jika kita meneliti ayat tersebut,

niscaya kita akan memahami urutan dalam berdakwah. Diantara yang

didakwahi ada orang yang bodoh yang tidak mengetahui kebenaran, orang

32

M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 264-265 33

At-Tafsir al-Qayyim, Ibnul Qayyim, hal. 244

Page 55: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

45

ini –seperti telah dijelaskan sebelumnya- didakwahi dengan hikmah, yaitu

menjelaskan kebenaran dari Al-kitab dan as-Sunnah. Adapun orang yang

mengetahui kebenaran, akan tetapi tidak mengamalkannya, disebabkan

kelalaian, maka pantas baginya adalah dinasihati, dan diingatkan dengan

adanya pahala dan siksa, sehingga hatinya menjadi luluh untuk melakukan

kebaikan secara terus menerus.

Syaikh abdul Aziz bin Bazz Rahimahullah berkata, “jika orang

yang didakwahi agak berpaling, maka dia pantas dinasihati dengan ayat-

ayat Al-Qur‟an dan as-Sunnah, yang didalamnya mengandung motivasi.34

Nasihat itu dilakukan dengan mengungkapkan ayat, hadits, dan segala

macam permisalan yang ada dalam Al-Qur‟an, demikian pula dengan

mengungkapkan pahala, siksa, dan akibat yang bisa meluluhkan orang

yang didakwahi, dan bisa menjadikannya selalu mengingat Allah.35

Nadzira atau peringatan adalah kabar buruk berupa informasi

tentang ancaman, balasan bagi pelaku keburukan, kejahatan atau perilaku

yang bertentangan dengan ajaran islam- pelanggaran atas larangan Allah

Swt, informasi buruk “punishmant” tersebut berisi pesan agar komunikan

atau melanggar ajaran islam.36

Tabsyir dan tandzir merupakan salah satu dari beberapa

pendekatan dakwah yang dikenalkan al-Qur‟an. Karena hakikat mad‟u

adalah manusia sendiri, yang mempunyai sifat dan karakter manusiawi,

yaitu sosok makhluk yang mencintai kesenangan material, ingin

34

Fadhl ad-Dakwah, Abdul Aziz bin Bazz, hal. 23 35

Fawwaz bin Hulayyil bin Rabah as-Suhaimi; Penerjemah, Beni Sarbeni;, Begini

seharusnya Berdakwah: Kunci Sukses Dakwah Salaf, (Jakarta: Darul Haq, 2008), h. 150-151 36

Asep Syamsul M.Romli, Komunikasi Dakwah, Pendekatan Praktis, (T.tp.: T. Pn.,

2013), h. 16

Page 56: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

46

mempunyai masa depan yang bahagia, senang terhadap penghargaan,

ingin terhindar dari mala petaka dan bencana, uslub dakwah yang

diintrodusur al-Qur‟an, di temukan nada atau pendekatannya, memang

sesuai dengan sifat dan karakter manusiawi, yakni tabsyir dan tandzir.

Dalam beberapa kitab tafsir37

, ketika menjelaskan ayat yang

memuat kalimat tabsyir dan tandzir, hampir semua mufassir memberikan

penjelasan bahwa pendekatan melalui tabsyir dilakukan dengan ilustrasi

pahala, penghargaan, dan dengan janji mendapatkan kehidupan syurga

bagi seorang yang menerima positif atau beriman dan menjalankan amal

shaleh. Adapun pendekatan melalui tandzir dilakukan melalui ilustrasi

sanksi, akibat buruk, dan atau mendapat ancaman suatu kehidupan pahit,

gersang, dan sangat menyedihkan, yaitu suatu kehidupan an-nar.38

D. Pendekatan Dakwah Mau’izhah Hasanah

Pendekatan dakwah mau‟izhah hasanah secara praktikal terdiri dari dua

bentuk, pengajaran (ta‟lim) dan pembinaan (ta‟dib). Dakwah mau‟izhah

hasanah dalam bentuk ta‟lim dilakukan dengan menjelaskan keyakinan

tauhid disertai pengamalan implikasinya dari hukum syari‟at yang lima,

wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah dengan penekanan tertentu sesuai

dengan kondisi mad‟u dari bersikap gemampang (al-Tahawun) terhadap

salah satunya. Contoh dari bentuk dakwah dengan pendekatan mau‟izhah

37

Antara lain dapat dilihat dalam kitab At-Tafsir Al-Munir, jilid 11-12, karya wahbah al-

Juhayly, Dar Al-Fakr, Beirut 1991, h. 12 38

Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur‟an, ( Bandung: Pustaka Setia,

2002), h. 79-80

Page 57: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

47

hasanah melalui ta‟lim dalam al-Qur‟an misalnya dapat di telaah lewat

firman Tuhan QS. al-Baqarah/2:222-223.39

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah

suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita

di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka

suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat

yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-

orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

(QS Al-Baqarah:222)

Sebagaimana kata At-Thabari dalam tafsirnya ketika menafsirkan surat al-

Baqarah ayat 222 berkaitan dengan seorang yang bertanya masalah haidh,

dan kaitannya dengan dakwah ta‟lim beliau berkata:

“bahwa mereka menanyakan kepada Rasulullah tentang haidh

sebagaimana yang kami riwayatkan, karena sebelum ada hukum dari Allah

mereka tidak menempatkan orang haidh dalam rumah, tidak memberi

makan dalam satu nampan, tidak menggaulinya, maka Allah

memberitahukan kepada mereka dengan ayat ini, bahwa yang wajib bagi

mereka ketika masih haidh adalah dilarang menggaulinya saja sedangkan

yang lainnya di perbolehkan, memberinya makan, minum, dan tidur

bersama dalam satu ranjang.40

39

A.Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filasafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan

Peradaban Islam, (Jakarta;Kencana, 2011), h. 204-205 40

Abu Ja‟far Muhammadbin Jarir Ath-Thabari, Ahsan Askan terjemah, besus hidayat ed.,

Tafsir At-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.645

Page 58: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

48

Rasulullah dalam ayat itu sebagai juru dakwah menjelaskan, seputar

masalah tauhid dan hukum serta pengamalannya dalam syariat. Begitulah

sejatinya para da‟i juga dituntut mengembangkan dakwah mau‟izhah

hasanah dengan ta‟lim supaya mad‟u yang menjadi sasaran dakwah dalam

menentukan hukum dan syariat tidak bingung dan nglantur.

Syaikh Ali Mahfuzh mengatakan sebaik-baik dakwah adalah tarbiyah.

Sekaligus menjawab keragu-raguan tentang poso tarbiyah dan dakwah.

Dapat ditegaskan bahwa tarbiyah dan ta‟lim turunan dari metode dakwah

serta induk dari tarbiyah adalah dakwah.

Adapun pendekatan dakwah mau‟izhah hasanah melalui pembinaan

yaitu dilakukan dengan penanaman moral dan etika (budi pekerti mulia)

seperti kesabaran, keberanian, menepati janji, welas asih, hingga

kehormatan diri, serta menjelaskan efek dan manfaatnya dalam kehidupan

bermsyarakat, di samping menjauhkan mereka dari perangai-perangai

tercela yang dapat menghancurkan kehidupan seperti emosional, khianat

pengecut, cengeng dan bakhil.41

Tahap penerangan dan propaganda atau tahap perkenalan ide, jika tidak

diiringi dengan tahap pembentukan dan pembinaan (takwin) atau

pemilihan pendukung dan pembela seperti golongan Anshar dan

Hawariyun, dan mempersiapkan pasukan atau laskar serta mengatur taktik

barisan dari kalangan orang-orang yang diseru (mad‟u), kemungkinan

akan menjadikan segala usaha yang telah dikorbankan pada tahap

41

A.Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filasafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan

Peradaban Islam, (Jakarta;Kencana, 2011), h. 205

Page 59: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

49

penerangan dan pengenalan ide dakwah akan menjadi sia-sia, bahkan akan

hilang tanpa bekas.

Kesadaran rohani yang telah muncul dalam tahap penerangan dan

pengenalan (ta‟rif) tidak boleh dibiarkan musnah dan padam, tetapi harus

dipelihara dan diarahkan ke dalam jiwa agar bergerak dan berusaha

membuat perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan yang sejati dalam

diri sendiri. Medan pertama untuk pembentukan dan pembinaan serta

perubahan ini dimulai dalam diri sendiri.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga

mereka merobah keadan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-

Ra‟du: 11)

Banyak dikalangan kaum muslimin yang diseru sekarang ini akan

dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu masyarakat yang jauh dari jiwa

islam, menjadikan suatu masyarakat yang akan dikuasai oleh adat istiadat

dan tradisi yang telah hancur, yang telah meresap dan bersatu dalam diri

dan kehidupan mereka. Jadi bagi seorang da‟i yang menyeru manusia ke

jalan Allah, memanggil manusia untuk hidup secara islami, harus

memperhatikan dengan serius dan berusaha dengan sungguh-sungguh

dalam membersihkan diri mereka dari segala tradisi islam yang suci,

akhlak islam dan membentuk hidup manusia menurut karakter islam, serta

mengembalikan kehidupan mereka menurut cara-cara kehidupan yang

islami.

Firman Allah yang artinya:

Page 60: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

50

“Sibhgah Allah. Dan siapakah yang lebih baik dari shibghahnya dari

pada Allah? Dan hanya kepada-Nya kami menyembah.” (Al-

Baqarah:138).

Perubahan ini harus dimulai dari diri pribadi yang telah disirami dengan

aqidah tauhid, mengesakan dan merasakan manisnya iman serta dapat

diaktualisasikan dalam seluruh anggota tubuhnya dalam seluruh aspek

kehidupannya. Renungkanlah betapa indahnya ungkapan yang telah

dikatakan oleh Hasan Al-Hudhaibi dalam masalah ini, ia berkata:

“tegakkan Daulah Islamiyah di dalam hatimu, agar dia tegak di atas

bumimu”42

Sistem dakwah memiliki fungsi mengubah lingkungan secara lebih

terinci, yang memiliki fungsi meletakkan dasar eksistensi masyarakat

islam, menanamkan nilai-nilai keadilan, persamaan, persatuan,

perdamaian, kebaikan dan keindahan, sebagai inti penggerak

perkembangan masyarakat; membebaskan individu dan masyarakat dari

sistem kehidupan zhalim (tirani, totaliter) menuju sistem yang adil;

menyampaikan kritik sosial atas penyimpangan yang berlaku dalam

masyarakat, dalam rangka mengemban tugas nahi mungkar, dan memberi

alternatif konsepsi atas kemacetan sistem, dalam rangka melaksanakan

amar ma‟ruf, meletakkan sistem sebagai inti penggerak jalannya sejarah;

memberikan dasar orientasi keislaman kegiatan ilmiah dan teknologi;

merealisasi sistem budaya yang berakar pada dimensi spritual yang

merupakan dasar akspresi akidah; meningkatkan kesadaran masyarakat

untuk menegakkan hukum; mengintegrasikan kelompok-kelompok kecil

42

Syaikh Musthafa Masyhur, Fiqh Dakwah, (Jakarta: Al-I‟tisham Cahaya Umat, 2012),

h. 22-23

Page 61: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

51

menjadi suatu kesatuan umat; merealisasi keadilan dalam bidang ekonomi,

dengan mempertemukan golongan aghniya dengan golongan ekonomi

lemah dan memberikan kerangka dasar keselarasan hubungan manusia

dengan alam lingkungannya.43

Pengajaran adalah kesempatan untuk pertanyaan yang bermacam-

macam yang mencakup seluruh isi dan berkaitan dengan tema. Juga

kesempatan bagi da‟i dan mad‟u. Bagi mad‟u pengajaran adalah sarana

yang baik agar mad‟u mengetahui keikhlasan da‟i, kebenaran dakwahnya,

takaran ilmunya, serta keahlian dan daya penguasaanya. Bagi da‟i

pengajaran dapat menjadi kesempatan baginya untuk menerangkan

fikrahnya, menyingkap pendapat orang yang ada dihadapannya, serta

mengukur seberapa kepuasannya. Demikian juga ia mampu dengan

perlahan menghilangkan syubhat, keraguan, dan kebimbangan yang ada

pada mad‟u.

Pengajaran adalah sarana efektif untuk ta‟aruf (perkenalan),

memperkuat komunikasi, memperdalam ukhuwwah antar berbagai

pemikiran yang berbeda, berlangsungnya hubungan saling memberi, juga

kesempatan untuk mutaba‟ah (mengikuti, memantau) kondisi mad‟u

karena jumlah yang terbatas. Hal tersebut memungkinkannya untuk

menanyakan tentang orang yang tidak ada, menanyakan keadaanya,

memberikan pesan tertentu, memberikan bantuan jika memungkinkan,

43

Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h.68

Page 62: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

52

memberikan kelonggaran jika diperlukan, serta dapat bersama-sama dalam

suka dan duka.44

44

Taufik al-Wa‟iy, Dakwah Ke Jalan Allah, (Jakarta: Rabbani Press, 2010), h. 406-407

Page 63: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

53

BAB III

DESKRIPSI TENTANG AYAT-AYAT MAU’IZHAH HASANAH

1. Ayat-Ayat Tentang Mau’izhah Hasanah

Mau‟izhah hasanah merupakan salah satu prinsip metode dakwah yang

digariskan oleh Allah Swt dalam surat an-Nahl ayat 125. Sedangkan

pemakaian kata-kata mauizhah dalam berbagai versi ditemukan dalam

beberapa surat dan ayat, sekurang-kurangnya 25x dalam berbagai bentuk.

Penjelasan oleh para mufassir tentang mau‟izhah hasanah memiliki

keragaman dan turunannya yang banyak. Turunan yang dimaksud adalah

ketika konsepsi mau‟izhah atau prinsip mau‟izhah diaflikasikan menjadi

sebuah metode, maka akan didapatkan beragam teknik yang dapat

dipergunakan oleh da’i dalam menjalankan misi dakwahnya.1

Metode pembelajaran atau mauizhah al-hasanah memiliki berbagai variasi

seperti dijelaskan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang dijadikan

sebagai bentuk turunan dari mauizhah itu sendiri. Muhammad Fuad al-Baqiq2

memaparkan kata-kata mauizhah ditemukan sebanyak 9x dalam berbagai surat

antara lain : Qs. Al-Baqarah ayat 66 dan 275, Ali Imran:138, al-Maidah: 46,

al-A’raf:57, 145. al-Nahal: 125, dan Al-Nur: 34, dan Yunus: 57

Kemudian dalam bentuk asal waaza ditemukan sebanyak 10x terdapat

dalam surat Al-Baqarah ayat 232, Anisa’ 63 dan 66, as-Shura 136, Shaf 16

1 Itdafriyenny, “METODE DAKWAH “MAUIZHAN AL-HASANAH DAN

TURUNANNYA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS” diakses tanggal 28

nopember 2013 dari http://itdafriyenny.wordpress.com/2012/11/09/metode-dakwah-mauizhan-al-

hasanah-dan-turunannya-dalam-perspektif-al-quran-dan-hadis/ 2 Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’, al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Qur‟an al-Karim,

(Qahirah: Dar al-Hadis,1998), h.153-154

Page 64: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

54

dan 53, al-Waqiah 47, al-Mujadalah 3, at-Thalaq 2 dan QS Hud: 20. Dalam

bentuk fi’il mudhari “yaizhu” ditemukan sebanyak 9x seperti dalam surat al-

Baqarah ayat 231, an-Nisa 58, an-Nahal 90, al-Hajji 30 dan 32, an-Nur 17,

Luqman 13 dan at-Talaq ayat 5 dan Al-A’raf: 164. Kata-kata yaizhuhu

diartikan sebagai kegiatan memberikan pembelajaran. Kegiatan yang

bernuansa edukatif dalam al-Qur’an ditemukan berbagai variasi atas bentuk

yang akan dinaha pada bahasa berikut ini.

Kata mau‟izhah juga adalah perubahan kata dari dari akar kata dasar

wa‟az, artinya memberi nasihat, memberi peringatan kepada seseorang yang

bisa membawanya taubat kepada Allah. Kata wa‟aza dengan segala bentuknya

terulang dalam al-Qur’an 25 kali, dalam bentuk mau’izat 9 kali.3

A. Ayat dalam bentuk kata mau’izhah

a. QS Al-Baqarah: 66

“Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang

dimasa itu, dan bagi mereka yang datang Kemudian, serta menjadi

pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” ( QS. Al-Baqarah:66 ).

b. QS Ali-Imran 138

“(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk

serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” ( QS AL-Imran: 138).

c. QS Al-Maidah: 46

3 Lihat Ibnu Mandzur, lisan al-Arab, jilid 9, h. 346-347

Page 65: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

55

“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi Nabi Bani Israil) dengan Isa

putera Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu: Taurat. dan

Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang didalamnya (ada)

petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang

sebelumnya, Yaitu kitab Taurat. dan menjadi petunjuk serta pengajaran

untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Maidah:46)

d. QS An-Nahl: 125

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran

yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya

Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari

jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat

petunjuk.

e. QS An-Nur: 34

“Dan Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang

memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang

terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang

bertakwa.” (QS An-Nur:34)

Page 66: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

56

B. Ayat dalam Bentuk Kata Waaza dan Yu’izhu

a. Baqarah ayat 232

“Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara

kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih

suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah:

232).

b. Anisa’ 63 dan 66,

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di

dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan

berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan

yang berbekas pada jiwa mereka.” ( QS An-Nisa: 63)

“...kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka,

tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih

menguatkan (iman mereka),” (QS An-Nisa: 66)

c. As-Shura 136,

“mereka menjawab: "Adalah sama saja bagi Kami, Apakah kamu

memberi nasehat atau tidak memberi nasehat,” (QS As-Shuara: 136)

d. Al-Waqiah 47,

Page 67: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

57

“Dan mereka selalu mengatakan: "Apakah bila Kami mati dan menjadi

tanah dan tulang belulang, Apakah Sesungguhnya Kami akan benar-benar

dibangkitkan kembali?” (QS Al-Waqi’ah: 47)

e. Al-Mujadalah: 3,

“...Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha

mengetahui apa yang kamu kerjakan: (QS Al-Ma’idah: 3)

f. At-Thalaq:2.

“...Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman

kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada

Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. (QS

At-Thalaq: 2)

1. Klasifikasi Ayat-Ayat Makiyah dan Madaniyah

A. Pengertian Makkiyah dan Madaniyah

Al-ja’bari mengatakan, “untuk mengetahui Makiyah dan Madaniyah ada

dua cara; sima‟i (pendengaran) dan qiyasi (analogi). Sudah tentu sima‟i

pegangannya berita pendengaran, sedang qiyasi berpegang pada penalaran.

Baik berita pendengaran maupun penalaran, keduanya merupakan metode

pengetahuan yang valid dan metode penelitian ilmiah.4

4Syaikh Manna Al-Qaththan; Penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni,Lc. Editor: Abduh

Zulfidar Akaha, Muhammad Ihsan, Cet. 13, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 2012), h. 73

Page 68: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

58

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ahli ilmu-ilmu al-Qur’an

tentang bahasan al-Makki wa al-Madani. Secara garis besar, perbedaan

mereka itu dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok yakni:

Pertama, sebagian mereka memformulasikan makiyah dengan surat-surat

dan ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Makkah dan sekitarnya;

sedangkan madani mereka gunakan untuk menjuluki surat dan ayat-ayat al-

Qur’an yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya.

Kedua, ada ulama yang mendefinisikan al-Makki dengan surat dan ayat-

ayat al-Qur’an yang titik berat khithah (arah pembicaraanya) lebih ditujukan

kepada penduduk makkah; sedangkan al-madani adalah surat-surat dan ayat-

ayat al-Qur’an yang titik tekan arah pembicaraanya (khitabnya) lebih

ditujukan kepada penduduk madinah.

Ketiga, dan inilah yang disebut-sebut sebagai pendapat yang paling

masyhur dari ketiga pendapat yang ada yaitu pendapat para ulama yang

mendefinisikan al-makki sebagai sebutan untuk surat-surat dan ayat-ayat al-

Qur’an yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad Saw hijrah ke madinah,

tanpa peduli apakah ayat itu turun di Makkah atau tempat lain. Sedangkan apa

yang disebut al-Madani ialah kelompok surat dan ayat al-Qur’an yang

diturunkan sesudah hijrah ke madinah walaupun turunnya di Makkah.

Ketiga pendapat di atas tampak berangkat dari persepsi yang berbeda-

beda. Pendapat pertama lebih menekankan pemikirannya kepada tempat

tinggal Nabi semata-mata, sementara pendapat kedua lebih menitik beratkan

kepada penduduk yang dijadikan obyek pembicaraan al-Qur’an; dan pendapat

Page 69: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

59

ketiga lebih mengutamakan peristiwa sejarah yang amat besar yakni waktu

sebelum dan sesudah Nabi Muhammad Saw hijrah dari Makkah ke Madinah.

Pendapat terakhir inilah agaknya yang lebih kuat. Alasannya, selain karena

didasarkan pada peristiwa besar dan bersejarah yakni kepindahan (hijrah) Nabi

Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah, juga terutama disebabkan standard

ini dapat mengakomodir tempat kediaman Nabi Muhammad Saw seperti yang

dijadikan titik tolak oleh kelompok pertama; dan juga sekaligus menampung

kelompok kedua yang lebih mengandalkan pendapatnya pada perbedaan

penduduk makkah yang kebanyakan non muslim serta penduduk madinah

yang pada umumnya telah memeluk agama islam.5

B. Ciri Khas Makiyah dan Madaniyah

Setelah para ulama meneliti surat-surat Makiyah dan Madaniyah,

mereka membuat kesimpulan analogis bagi keduanya, yang dapat

menjelaskan ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang

dibicarakan oleh masing-masing ayat yang Makiyah dan Madaniyah.

Kemudian, lahirlah kaidah-kaidah kunci untuk mendapatkan ciri-ciri

tersebut.

Penetapan Makiyah dan Ciri khas temanya

1. Setiap surat yang didalamnya mengandung “ayat-ayat sajdah”

adalah Makkiyah.

2. Setiap surat yang mengandung lafazh kalla, adalah Makkiyah.

Lafazh ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari al-

5 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an 3, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004),

h. 194-195

Page 70: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

60

Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam

surat.

3. Setiap surat yang mengandung ya ayyuhan-nas dan tidak

mengandung ya ayyuhal-ladzina amanu, adalah Makkiyah,

kecuali surat Al-Hajj yang pada akhir suratnya terdapat ya

ayyuhal-ladzina amanurka‟u wasjudu. Namun demikian,

sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah

ayat Makkiyah.

4. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi dan umat

terdahulu adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah.

5. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan iblis adalah

Makkiyah kecuali, surat al-Baqarah.

6. Setiap surat yang dibuka dengan hurup-hurup muqhata‟ah atau

hija‟i, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain-

lainnya, adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah dan Ali

Imran. Adapun Surat Ra;d masih diperselisihkan.

Penetapan Madaniyah dan Ciri Khas temanya

1. Setiap surat yang berisi kewajiban atau sanksi hukum.

2. Setiap surat yang di dalamnya di sebutkan orang-orang

munafik, kecuali surat Al-Ankabut, ia adalah Makkiyah.

3. Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab.

Ini dari segi karakteristik secara umum. Adapun dari segi tema

dan gaya bahasanya, adalah sebagai berikut:

Page 71: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

61

1. Menjelaskan masalah ibadah, muamalah, had,

kekeluargaan, warisan, jihad, dan hubungan sosial,

hubungan internasional, baik di waktu damai maupun di

waktu perang, kaidah hukum, dan masalah perundang-

undangan

2. Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan

Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk islam,

penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-

kitab Allah, permusuhan mereka terhdap kebenaran dan

perselisihan mereka setelah keterangan datang kepada

mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.

3. Menyingkap perilaku munafik, menganalisis kejiwaanya,

membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya

bagi agama.

4. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya

bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan

dan syariatnya.6

C. Pengelompokan Surat dan Ayat Makkiyah dan Madaniyah Tentang

Mau’izhah Hasanah

Menurut perkiraan sebagian Ulama, di antaranya Syaikh

Muhammad al-Khudhari Bek, surat dan ayat al-Qur’an yang tergolong ke

dalam kelompok makkiyah berjumlah sekitar 13/30% dari keseluruhan al-

6Syaikh Manna Al-Qaththan; Penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni,Lc. Editor: Abduh

Zulfidar Akaha, Muhammad Ihsan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

2012), cet. 13, h. 75-77

Page 72: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

62

Qur’an; sementara jumlah surat dan ayat yang digolongkan ke dalam

kelompok madaniyah hanya berjumlah sekitar 11/30%. Jadi kelompok

surat Makiyah lebih banyak jumlahnya daripada kelompok surat

madaniyah.

Yang tergolong ke dalam kelompok surat madaniyah ialah al-

Bqarah (2) Ali Imran (3) An-Nisa (4) al-Maidah (5) al-Anfal (6) at-Taubah

(7) an-Nur (8) al-Ahzab (9) al-Qital (10) al-Fath (11) al-Hujarat (12) al-

Fath (13) al-Mujadalah (14) al-Hasyr (15) al-Mumtahanah (16) as-Shaffat

(17) al-Jumuah (18) al-Munafikun (19) at-Tagahabun (20) at-Tahalaq (21)

at-Tahrim dan (22) an-Nashr. Kecuali yang telah disebutkan ini semuanya

ke dalam kelompok surat makkiyah.7

Adapun surat dan ayat-ayat kata-kata maui‟zhah dan dalam bentuk

kata wa‟aza adalah sebagai berikut:

a. Ayat dan Surat Makkiyah dari kata ma’uizhah dan wa’aza

dalam al-Qur’an adalah Surat an-Nahl: 125, Asyuara: 136 dan

Surat Al-Waqi’ah: 47

b. Sedangkan ayat dan surat Madaniyah dari kata mau’izhah

hasanah dan wa’aza adalah surat al-Baqrah: 66, 232, Ali Imran:

138, Al-Maidah:46, an-Nur: 34, al-Mujadalah: 3, at-Thalaq: 2.

3. ASBAB AN- NUZUL

Menurut bahasa “sabab Al-Nuzul” berarti turunnya ayat-ayat al-

Qur’an. Al-Qur’an diturunkan Allah SWT. Kepada Muhammad SAW. Secara

7 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an 3, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004),

h. 196-197

Page 73: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

63

beangsur-angsur dalam masa lebih kurang 23 tahun. Subhi Al-Shalih

memberikan definisi Sabab Al-Nuzul sebagai berikut:

“sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat

yang menagandung sebab itu , atau memberi jawaban terhadap sebab itu,

atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut.”

Definisi ini memberikan pengertian bahwa sebab turun suatu ayat

adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu

ayat-ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal hal yang

berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap

pertanyaan tertentu.8

Manna’ al-Qaththan mendefinisikan, sababun nuzul ialah sesuatu

yang dengan keadaan sesuatu itu al-Qur’an diturunkan pada waktu sesuatu itu

terjadi seperti suatu peristiwa atau pertanyaan.

Mengacu pada kedua definisi diatas, dapatlah diformulasikan bahwa

sabab nuzul ialah sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan sebagian atau

beberapa ayat al-Qur’an diturunkan. Yang dimaksud dengan sesuatu itu

sendiri adakalanya berbentuk pertanyaan dan kejadian, tetapi bisa juga

berwujud alasan logis (illat) dan hal-hal lain yang relevan serta mendorong

turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an.9

Manfaat Mengetahui Asbab An-Nuzul

Pengetahuan mengenai Asbab an-nuzul mempunyai banyak faedah,

yang terpenting diantaranya yaitu:

8Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur‟an 1, untuk Fakultas Tarbiyah komponen

MKDK, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), h. 89-90 9 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004),

h. 101-102

Page 74: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

64

1. Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum, dan perhatian

syari’at terhadap kemaslahatan umum dalam menghadapi segala

peristiwa sebagai Rahmat bagi umat.

2. Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang

terjadi, jika hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi

mereka yang berpendapat al-„Ibrah „umum al-Lafzhi la

bikhushsush as-sababi (yang menjadi pegangan adalah lafazh

umum, bukan sebab khusus).

3. Apabila lafazh yang diturunkan itu bersifat umum dan ada dalil

yang menunjukkan pengkhususannya, maka adanya asbabunnuzul

akan membatasi takhsish (pengkhususan) itu hanya terhadap yang

selain bentuk sebab.10

a. QS Surat An-Nahl: 125

Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang

turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah

Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam

Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.11

Al-Qurthubi

menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah

kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah)

10

Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

2012), h. 96-97 11

Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi, (Mesir: Mawaqi’ At-Tafasir , tt), hal.

440/ 1

Page 75: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

65

dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya

riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.12

Ayat ini turun di Makkah saat diperintahkan agar berdamai dengan

Quraisy. Allah juga memerintah beliau agar berdakwah menyeru kepada

Agama Allah dan syari’at-Nya dengan lemah lembut, tidak kasar atau

keras demikiannlah seharusnya kaum muslim memberikan nasihat tentang

hari kiamat. Yang merupakan hikmah bagi bagi para pelaku kemaksiatan

dari kalangan ahli tauhid, dan mengahapus perintah perang terhadap

orang-orang kafir.

Telah dikatakan pula, “siapa saja kalangan orang-orang kafir yang bisa

diharapkan keimananya dengan cara hikmah maka dia harus melakukan

tanpa ada pertempuran.”13

b. QS Al-Baqarah: 66

Hari sabtu adalah hari yang ditetapkan Allah bagi-bagi orang-orang

yahudi sesuai usul mereka sebagai hari ibadah yang bebas dari aktivitas

duniawi. Mereka dilarang mengail ikan pada hari itu. Tetapi, sebagian

mereka melanggar dengan cara yang licik. Mereka tidak mengail, tetapi

membendung ikan dengan menggali kolam sehingga air bersama ikan

masuk ke kolam itu. Peristiwa ini sementara tafsir terjadi di salah satu desa

kota Aylah yang kini dikenal dengan Teluk Aqabah. Kemudian setelah

hari sabtu berlalu, mereka mengailnya. Allah murka terhadap mereka,

maka Allah berfirman kepada mereka, “jadilah kamu kera yang hina

12

Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur‟an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin

Muhammad Salamah, (Madinah: Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’,1420 H), jilid iv, h.613 13

Syaikh Imam Al-Qurthubi; Penerjemah, Asmuni; editor, Mukhlis B. Mukti, Tafsir Al-

Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 498

Page 76: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

66

terkutuk.” Perintah ini bukan perintah kepada Bani Isra’il untuk mereka

laksanakan, tetapi ini adalah taskhir, yakni perintah menghasilkan

terjadinya sesuatu. Anda ingat firman-Nya: sesungguhnya perintah-Nya

apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, „jadilah!‟,

maka terjadilah ia” (QS. Yasin {36}: 82).

Tidak jelas, apakah bentuk rupa mereka yang diubah menjadi kera atau

hati dan pikiran mereka saja. Namun yang jelas, kisah ini dikenal

dikalangan mereka, khususnya para pemuka agama mereka sebagaimana

diisyaratkan oleh kata “sesungguhnya kalian telah mengetahui.” Dalam

ayat lain dijelaskan bahwa ada diantara mereka yang dijadikan kera dan

babi (baca QS. Al-Maidah {5}: 60).

Apa yang terjadi terhadap para pembangkang itu merupakan

peringatan yang sangat berharga untuk dihindari oleh mereka yang tidak

ditimpa sanksi tersebut, baik yang hidup ketika itu maupun generasi

selanjutnya. Hal ini juga sekaligus ia merupakan pelajaran bagi orang-

orang bertakwa.14

c. QS Al-Baqarah: 232

Salah seorang sahabat Nabi saw yang bernama Ma’qal bin yasar

menentang pernikahan anaknya dengan mantan suaminya yang bernama

Asim bin Adi. Orang ini, Asim, telah menalaknya tetapi, setelah berakhir

masa iddahnya, keduanya ingin mengikatkan tali pernikahannya kembali

dengan sebuah pernikahan baru.

14

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan dan Kesan Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati,

2002), vol, 1, h. 221-22

Page 77: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

67

Dengan latar belakang inilah ayat tersebut diwahyukan dan

mencegahnya (Ma’qal) dari penentangannya atas pernikahan tersebut.

Juga di riwayatkan dalam riwayat lain bahwa ayat tersebut diwahyukan

tatkala Jabir bin Abdullah menentang pernikahan sepupunya dengan

mantan suaminya. Barang kali, di zaman jahiliah, hak ini diberikan kepada

banyak saudara dekat.

Jelas dalam hukum fiqih kita, saudara laki-laki dan sudara sepupu

tidak memiliki perwalian (wilayat) atas saudara-saudara perempuan atau

para sepupunya, tetapi seperti yang kita akan jelaskan dalam pembahasan

ini, makna dari ayat di atas merupakan sebuah aturan umum mengenai

perwalian dan selain dari mereka yang tak satupun dari orang-orang ini

dibolehkan menentang pernikahan semacam itu: termasuk ayahnya,

ibunya, sepupunya, ataupun orang-orang yang tidak ada kaitan saudara).15

D. QS An-Nahl: 90

Asbabu an-Nuzul ayat ini terdapat melalui hadits dari Al-Hafizh

Ya’la meriwayatkan dari Abdul Malik bin Umair, dia berkata, (520) yang

artinya:

“Berita kedatangan, Nabi saw. Sampai kepada Aksam din shaifi.

Dia bermaksud menemuinya. Namun kaumnya melarang aktsam. Dengan

berkata, Engkau pemuka kami tidak rela jika jika kamu berendah diri

kepadanya. Aktsam berkata, kalau begitu, agar ada orang yang

menemuinya guna menyampaikan siapa aku dan mengetahui siapa dia.

Maka dia mengutus dua orang untuk menemui Nabi saw. Keduanya

berkata, kami utusan aktsam bin Shaifi. Dia bertanya, siapa engkau dan

apa engkau? Nabi menjawab, siapa aku? Aku adalah Muhammad bin

Abdullah. Dan apa aku? Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian Nabi saw membaca ayat „sesungguhnya Allah menyuruh kamu

berlaku adil dan berbuat kebajikan‟. Mereka berkata, Ulangilah ucapan

15

Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim utama, Tafsir Nurul Qur‟an, Sebuah Tafsir

Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2008), h. 239-240

Page 78: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

68

itu untuk kami, maka beliau mengulang-ulangnya hingga mereka hafal.

Dua orang utusan kembali kepada aktsam dan berkata, „ dia menolak

untuk memerinci nasabnya sampai ke atas. Lalu kami menanyakannya

tentang nasabnya. Ternyata dia bernasabkan orang bersih dan

terpandang. Dia pun menyampaikan beberapa kalimat yang kami hafal.‟

Tatkala Aktsam mendengar kalimat-kalimat tersebut, dia berkata, „ aku

berpendapat bahwa dia menyuruh manusia berakhlak mulia dan melarang

berkahlak tercela. Karena itu, jadilah kalian sebagai pelopor dalam

masalah ini, jangan menjadi pengekor. “ (HR al-Hfizh Abu Ya’la).

Page 79: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

69

BAB IV

KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

A. Makna dan Ruang Lingkup Mau’izhah Hasanah

Berdasarkan 6 surat dan ayat yang penulis kutip mengenai makna

mau‟izah hasanah dalam al-Qur‟an, baik dalam bentuk kata al-ma‟izhatu yang

terdapat dalam surat an-Nahl: 125, al-Baqarah: 66, an-Nur: 34, maupun dalam

bentuk kata wa‟aza atau yu‟izhu yang terdapat dalam surat an-Nisa: 63, al-

Baqarah 232, al-A‟raf: 164 dan luqman: 13, semua bentuk kata itu, menurut

seluruh mufassir sepakat mendefinisikan kata-kata mau‟izhah hasanah dengan

kata-kata yang mengandung nasihat yang bagus, tidak menyakiti dan

menakut-nakuti. Akan tetapi Imam As-suyuti dalam tafsirnya jalalain

menafsirkan mau‟izhah hasanah lebih menekankan kepada nasihat atau

perkataan yang halus.1 Sementara At-Thabari lebih menekankan kepada

peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di

dalam kitab-Nya dan Allah telah mengingatkan mereka dengan hujah tersebut

tentang apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak tersebar dalam

surat ini, dan Allah mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat tersebut)

tentang berbagai kenikmatan-Nya).2

Sedangkan menurut Quraish Shihab, Kata-kata al-mau‟izhatu dalam

Tafsirnya mengatakan, al-Mau‟izhatu terambil dari kata wa‟azha yang berarti

Nasihat. Mau‟izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar

kepada kebaikan. Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. adapun

1Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, Tafsir

Jalalain, (Kairo: Dar ul-Hadîts, Kairo, tt), h, 363 2 Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari,Jami‟ul Bayan Fi Ta‟wil Al-

Qur‟an, (Mesir: Muassatur Risalah, 1420 H), jilid 17, h.321

Page 80: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

70

Mau‟izhah, maka ia baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang

disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang

menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat hasanah. Kalau tidak, ia adalah yang

buruk, yang seharusnya dihindari. Di sisi lain, karena mau‟izhah biasanya

bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat

mengundang emosi baik dari yang menyampaikan, lebih-lebih yang

menerimanya, maka mau‟izhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan

kebaikannya itu.3

Sementara Quthub dalam tafsirnya bahwa nasihat yang baik atau

mau‟izhah hasanah yakni lebih menekankan kepada dakwah yang bisa

menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani dengan

halus. Bukan dengan bentakan dan kekerasan tanpa ada maksud yang jelas.

Begitu pula tidak dengan cara membeberkan kesalahan-kesalahan yang

kadang terjadi tanpa disadari atau lantaran ingin bermaksud baik. Karena

kelembutan dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati

yang bingung, menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak

kebaikan ketimbang bentakan, gertakan, dan celaan.4

Dalam sebuah nasihat yang baik (mau‟izhah hasanah), dikatakan bahwa

seorang juru dakwah harus berbuat dan beramal sesuai dengan apa yang

diucapkannya;

3Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002), volume 7, h. 392-393 4 Sayyid Quthub, Tafsir Fi zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet ke 2,

jilid-7, h. 224

Page 81: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

71

a. ceramah harus dilakukan dengan cara yang ramah, baik yang

menyangkut isi, bentuk, maupun ungkapan-ungkapan yang

digunakan.

b. Kepada para pemeluknya, Islam menawarkan gizi mental

(dengan kebijaksanaan) serta pengayaan spritual (nasihat yang

baik) seraya menganjurkan metode-metode logis manakala

menghadapi lawan dialog.

c. Kemurahan hati dan kebaikan merupakan dua metode dasar

dalam semua jenis seruan kampanye jika dilakukan pada saat

yang tepat dan ditempat yang semestinya.5

Berbeda dengan Ibnu Katsir, ketika menafsirkan surat al-

Baqarah:66 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Mau‟izhah

adalah peringatan keras. Jadi makna ayat ini adalah kami jadikan siksaan

dan hukuman sebagai balasan atas pelanggaran mereka terhadap larangan-

larangan Allah dan perbuatan mereka membuat berbagai tipu muslihat.

Oleh karena itu, hendaklah orang-orang yang bertakwa menjauhi tindakan

seperti itu agar hal yang sama tidak menimpa mereka.” Sebagaimana yang

di riwayatkan oleh Abu „Abdillah bin Baththah, dari Abu hurairah Ra,

bahwa Rasulullah bersabda:

“janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh kaum Yahudi,

dengan cara menghalalkan apa yang di haramkan Allah melalui tipu

muslihat yang amat rendah”. (Isnad hadits ini jayyid (baik)).6

5Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim utama, Tafsir Nurul Qur‟an, Sebuah Tafsir

Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2008), h. 721-722 6Abdullah bin Muhammadbin Abdurrahman bin Ishaq Ali Syaikh; penerjemah, M.

„Abdul Ghaffar; editor isi, M. Yusuf Harun...(et al.), Tfasir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam

Syafi‟i, 2009), jilid 1, h. 151

Page 82: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

72

Selain al-Qur‟an menggunakan kata dalam bentuk al-mau‟izhatu,

al-Qur‟an juga menggunakan Kata ya‟izhuhu dalam bentuk mudhari‟.

Meski demikian Quraish Shihab menjelaskan atau memaknakan nasihat

tetap dengan kata-kata yang menyentuh hati mad‟u. Akan tetapi dalam

bentuk yai‟zuhu beliau lebih menekankan kepada makna ucapan yang

mengandung peringatan dan ancaman. Sebagaimana ketika beliau

menafsirkan surat luqman:13. Penyebutan kata ini sesudah kata dia

berkata untuk memberi gambaran tentang bagaimana perkataan itu beliau

sampaikan, yakni tidak membentak, tetapi penuh kasih sayang

sebagaimana dipahami dari panggilan mesranya kepada anak. Kata ini

juga mengsiyaratkan bahwa nasihat itu dilakukannya dari saat ke saat,

sebagaimana dari bentuk kata kerja masa kini dan datang pada kata

ya‟izuhu .

Sementara ulama yang memahami kata wa‟zh dalam arti ucapan

yang mengandung peringatan dan ancaman, berpendapat bahwa kata

tersebut mengisyaratkan bahwa anak luqman itu adalah seorang musyrik,

sehingga sang ayah menyandang hikmah itu terus menerus menasihatinya

sampai akhirnya sang anak mengakui tauhid. Hemat penulis sebagaimana

tutur Quraish Shihab, pendapat yang antara lain dikemukakan oleh Thahir

Ibnu Asyur ini adalah sekedar dugaan yang tidak memiliki dasar yang

kuat. Nasihat dan ancaman tidak harus dikaitkan dengan kemusyrikan. Di

sisi lain, bersangka baik terhadap anak luqman jauh lebih baik dari pada

bersangka buruk.

Page 83: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

73

Kata bunayya dalam surat luqman: 13 tersebut adalah patron yang

menggambarkan kemungilan. Asalnya adalah ibny, dari kata ibn yakni

anak lelaki. Pemungilan tersebut mengisyaratkan kasih sayang. Dari sini

kita dapat berkata bahwa ayat di atas memberi isyarat bahwa mendidik

hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didik.

Luqman memulai nasihatnya dengan menekankan perlunya

menghindari syirik/mempersekutukan Allah. Larangan ini sekaligus

mengandung pengajaran tentang wujud dan keesaan Tuhan. Bahwa

redaksi pesannya berbentuk larangan, jangan mempersekutukan Allah

untuk menekan perlunya meninggalkan sesuatu yang buruk sebelum

melaksanakan yang baik. Memang “At-takhliyah muqaddamun al at-

tahliyah” (menyingkirkan keburukan lebih utama dari pada menyandang

perhiasan).7

Di riwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari al-Qasimbin Mukhaimirah

bahwa Rasulullah Saw. Bersabda yang artinya:

“Luqman Hakim berkata kepada anaknya ketika menasihatinya,

hati anakku, janganlah kamu bertopeng karena pada malam hari

menakutkan dan pada siang hari dicela.”

Perkataan luqman kepada Anaknya

Hai anakku, kebijakan itu mendudukan kaum miskin di majlis para

raja. Hai anakku, jika kamu mendatangi suatu perkumpulan manusia,

lepaskanlah kepada mereka panah islam, yaitu salam. Kemudian duduklah

di sisi mereka. Janganah kamu berbicara hingga mereka selesai bicara.

Jika mereka tercurah ke dalam dzikrullah, tahanlah panahmu bersama

7Abdullah bin Muhammadbin Abdurrahman bin Ishaq Ali Syaikh; penerjemah, M.

„Abdul Ghaffar; editor isi, M. Yusuf Harun...(et al.), Tfasir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam

Syafi‟i, 2009), jilid 1, h.126-127

Page 84: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

74

mereka. Jika mereka tercurah kepada selain itu maka pindahlah dari

mereka ke kaum yang lain.8

Pelajaran merupakan salah satu cara untuk menyeru kepada

kebenaran dan tak ada seorang pun yang tidak membutuhkannya. Salah

satu nama lain al-Qur‟an adalah pelajaran (al-mau‟izhah). Surah Yunus,

ayat 57, menegaskan, “hai manusia, sesungguhnya telah datang

kepadamu pelajaran dari Tuhanmu...” dalam kitab-kitab hadits, ada bab

khusus yang membahas tentang pelajaran.

Sebagian ayat-ayat al-Qur‟an menyatakan bahwa Rasulullah saw

adakalanya meminta Jibril supaya memberi pelajaran kepadanya. Ali bin

Abi Thalib ra adakalanya pula meminta sebagian dari sahabat-sahabat

beliau supaya memberi pelajaran kepadanya karena mendengarkan

pelajaran itu akan berdampak bagi orang yang mendengarkan apabila ia

tidak tahu. (Murthada Muthahhari, Dah Guftar, hal. 224). Selanjutnya

untuk memperkenalkan Luqman dan tingkat keilmuan serta

kebijaksanaanya, ayat ini menunjukkan nasihat pertama dari luqman.

Nasihat yang tercantum dalam al-Qur‟an itu merupakan nasihat paling

utama kepada putranya.

Nasihat Luqman ini mengajarkan bahwa manusia itu harus

berpegang teguh pada idiologi yang paling mendasar, yaitu idiologi tauhid

dan memiliki nilai Tauhid dalam segala aspek dan dimensi kehidupan.

Segala gerak yang bersifat destruktif dan melawan Allah SWT berakar

dari mempersekutukan Allah SWT. Kesukaan kepada uang, memuja tahta,

8Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, penerjemah, Syihabuddin, Kemudahan dari Allah:

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), jilid 3, h. 794-795

Page 85: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

75

nafsu birahi dan semacamnya termasuk cabang-cabang dari

mempersekutukan Allah, memenuhi perintah-Nya, berlepas diri dari

selain-Nya dan menghancurkan segala berhala di dalam wilayah

kekuasaanya.9

Sementara At-Thabari dalam tafsirnya mengatakan makna dari

wa‟izhhum yakni berilah pelajaran kepada mereka dengan menakut-nakuti

mereka akan siksa Allah yang akan datang menimpa mereka, dan siksa itu

akan turun di rumah-rumah mereka. Juga memperingatkan mereka dari

perbuatan buruk yang dilakukannya dari keraguan terhadap perintah Allah

dan Rasul-Nya.10

Kata-kata wa‟izhhum juga di artikan oleh Al-Qurthubi

dengan pelajaran yang membuat mereka takut.11

Dalam surat an-Nisa:63 yang dikutipnya mengatakan, kata

wa‟izhhum di susul dengan kata qaulan Baligan, menunjukkan bahwa

pelajaran itu harus berbekas dan masuk ke relung hati mad‟u yang menjadi

obyek dakwah.

Kata baligan terdiri dari huruf-huruf Ba, Lam, dan gain. Pakar

bahasa menyatakan bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf

tersebut mengandung arti sampainya sesuatu ke sesuatu yang lain. Ia juga

bermakna “cukup”, karena kecukupan mengandung arti sampainya sesuatu

kepada batas yang dibutuhkan. Seorang yang pandai menyusun kata

sehingga mampu menyampaikan pesannya dengan baik lagi cukup

9Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim utama, Tafsir Nurul Qur‟an, Sebuah Tafsir

Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2008), h. 279-280 10

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, penerjemah, Akhmad

Affandi; Editor, Besus Hidayat Amin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 7, h. 284-285 11

Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, penerjemah, Ahmad Rijali Kadir; Editor,

Mukhlis B. Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid, 5, h. 626

Page 86: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

76

dinamai balig. Muballigh adalah seorang yang menyampaikan suatu berita

yang cukup kepada orang lain. Pakar-pakar sastra menekankan perlunya

dipenuhi beberapa kriteria sehingga pesan yang disampaikan dapat disebut

baligan, yaitu:

1. Tertampungya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan.

2. Kalimatnya tidak bertele-tele tetapi tidak pula singkat sehingga

mengaburkan pesan. Artinya kalimat tersebut cukup, tidak berlebih

atau berkurang.

3. Kosakata yang merangkai kalimat tidak asing bagi pendengaran dan

pengetahuan lawan bicara, mudah diucapkan serta tidak “berat”

terdengar.

4. Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan sikap lawan bicara.

Lawan bicara atau orang kedua tersebut boleh jadi telah meyakini

sebelumnya atau belum memiliki ide sedikitpun tentang apa yang akan

disampaikan.

5. Kesesuaian dengan tata bahasa.

Ayat an-Nisa itu mengibaratkan hati mereka sebagai wadah ucapan,

sebagaimana dipahami dari kata fi anfusihim. Wadah tersebut harus

diperhatikan, sehingga apa yang dimasukkan ke dalamnya sesuai, bukan

saja dalam kuantitasnya, tetapi juga dengan sifat wadah itu. Ada jiwa yang

harus diasah dengan ucapan-ucapan halus, dan ada juga yang harus

dihentakkan dengan kalimat-kalimat keras atau ancaman yang

Page 87: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

77

menakutkan. Walhasil, disamping ucapan yang disampaikan, cara

penyampaian dan dan waktunyapun harus diperhatikan.12

Sementara Al-Qurthubi dalam tafsirnya menafsirkan kata wakul lahum

fi anfusihim Qaulan Baligan, dengan larangan kepada mereka dengan cara

yang baik saat berbisik lagi sendiri. Al-Hasan berkata, “katakan pada

mereka jika kalian menampakkan apa yang ada dalam hati kalian, maka

aku akan memerangi kalian, dan balagha al qaul balaghatan dan rajulun

baligh yaitu ia berbicara dengan apa yang ada dalam hatinya.13

B. Kriteria Da’i Mau’izhah Hasanah

Pembicaraan mengenai siapa da‟i mau‟izhah hasanah, secara spesifik

tidak disebutkan dalam al-Qur‟an, sebagaimana 6 surat dan ayat yang

penulis kutip di awal, kecuali surat lukman:13. Namun al-Qur‟an berbicara

mengenai kriteria seorang da‟i mau‟izhah hasanah menurut al-Qur‟an

yakni, Bagaimana da‟i seharusnya memberikan nasihat yang baik, tidak

menyakiti, dan tidak menyebut-nyebut kesalahan mad‟u. Serta bagaimana

cara menggugah hati sanubari mad‟u sehingga pesan dan kesan dakwah

tersampaikan.

Pelaku da‟i mau‟izhah hasanah sebagaimana yang dijelaskan

sementara mufassir dalam al-Qur‟an di atas, ketika menafsirkan al-Qur‟an

surat an-Nahl, dikatakan bahwa seorang juru dakwah harus berbuat dan

beramal sesuai dengan apa yang diucapkannya; ceramah harus dilakukan

12

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), vol, 2, h. 468-469 13

Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, penerjemah, Ahmad Rijali Kadir; Editor,

Mukhlis B. Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid, 5, h. 626-627

Page 88: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

78

dengan cara yang ramah, baik yang menyangkut isi, bentuk, maupun

ungkapan-ungkapan yang digunakan.

Di samping itu da‟i mau‟izhah hasanah adalah dari golongan orang

tua, sebagaimana nampak dalam surat luqman: 13, bahwa lukman menjadi

da‟i yang mengajak anaknya untuk menuju ke jalan Allah. Oleh karena itu

seorang penasihat biasanya orang yang lebih tua dan memiliki hikmah dan

ilmu. Sebagaimana yang disandang sang ayah (lukman) yaitu hikmah

hingga terus menasihati anaknya sampai akhirnya anaknya mengakui

tauhid.

Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh

seorang da‟i termasuk da‟i mau‟izhah hasanah yang mengajak kepada

perbuatan ma‟ruf dan melarang orang lain berbuat mungkar haruslah

memiliki ilmu tentang hal yang ma‟ruf dan yang mungkar dan dapat

membedakan antara keduanya dan harus memiliki ilmu tentang keadaan

orang yang diperintah dan yang dilarang. Dan yang dimaksud dengan ilmu

itu adalah apa-apa yang dibawa Rasulullah dari apa-apa yang Allah

utuskan kepadanya. Jadi berdakwah tanpa didasari ilmu menyalahi praktek

Nabi saw.,

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang

mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,

Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik".

(QS. Yusuf: 108).

Page 89: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

79

Pentingnya seorang da‟i berbekal ilmu yang benar berdasarkan nash

al-Qur‟an memiliki kualitas akademik tentang islam, konsisten antara amal

dan ilmunya, santun dan lapang dada dan lain-lain sangat mendukung

dalam memberikan pesona kepada mad‟u, karena bagaimana seorang da‟i

berdakwah menyeru kepada manusia kepada dien Allah sedangkan da‟i

tidak mengetahui jalan menuju-Nya tidak mengetahui Syariat-Nya.14

Namun dewasa ini banyak kita saksikan, berdasar al-Qur‟an di atas.

Banyak da‟i yang memberikan nasihat tidak sesuai dengan makna dan

ruang lingkup dari nasihat itu sendiri. Banyak kita saksikan khususnya di

televisi misalnya, yang memberi nasihat kadang tidak sesuai dengan

kapasitas ilmu yang dimilikinya serta masih jauh dari kebenaran dan

sering kepada penyimpangan dan penyelewengan. Hal ini memberi

dampak negatif bagi pesan dakwah itu sendiri. seharusnya da‟i pemberi

mau‟izhah apalagi dalam skup yang lebih luas dalam hal ini televisi

seharusnya lebih memperhatikan konten ketimbang entertain, sebab

bagaimana bisa tersampaikan pesan dakwah kalau yang mendakwahi tidak

memiliki jalan menuju syariat-Nya sebagaimana kata Ibnu Taimiyah

diatas.

Seorang da‟i adalah seorang pejuang yang mengembangkan kasih

sayang kepada segala sesuatu. Dia tidak akan menggunakan cara-cara

yang keliru untuk menyampaikan dakwahnya, misalnya menggunakan

kekerasan, kekuatan, dan paksaan. Karena untuk meneguhkan iman dalam

hati seorang tidak perlu menggunakan cara-cara yang keliru seperti yang

14

Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-2, h. 243-244

Page 90: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

80

kami sebutkan diatas. Untuk menerangkan keimanan dapat tumbuh subur

di hati setiap orang yang mendengar nasihat baiknya.

Hendaknya setiap da‟i mampu menggunakan cara-cara yang menarik

simpatik di hati para pendengarnya. Hendaknya ia menjadi suri teladan

yang baik bagi umatnya, agar umatnya menghargai kepribadian para da‟i.

Tetapi kalau ada da‟i yang menggunakan cara kekerasan dan paksaan,

maka para pendengarnya tidak akan merasa terpanggil untuk mengikuti

tuntunannya.

Sikap kasih sayang kepada umat yang diperankan oleh pribadi

Rasulullah saw. Menjadikan dakwah beliau dapat diterima orang banyak

dalam waktu yang sungguh sangat singkat. Dalam salah satu sabdanya

beliau menyebutkan, “Aku bagi kalian adalah seorang ayah.”15

Komunitas muslim adalah suatu komunitas yang ditegakkan di atas

sendi-sendi moral iman, islam dan takwa yang dipahami secara utuh, benar

dan menyeluruh. Komunitas ini tidaklah eksklusif karena ia berfungsi

sebagai komunitas teladan ditengah-tengah masyarakat yang plural baik

dari segi budaya, etnis, dan agama, yang sering kali manusia lupa bahwa

ada sendi-sendi agama yang mengatur kehidupan. Di saat manusia lengah,

lupa bahkan mungkin saja melakukan penyimpangan maka saat itu pulalah

ada kewajiban saling menasihati. Namun tentunya ada cara-cara yang baik

bagaimana seseorang menasihati orang lain agar nasihat itu sampai ke

dalam dada si pendengar nasihat.16

15

Ibnu Ibrahim, Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup, (Jakarta:

Republika, 2011), h. 314-315 16

Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke 2, h. 242

Page 91: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

81

“perumpamanaanku dengan umatku bagi seorang laki-laki yang

menyalahkan api, kemudian ada sejumlah serangga yang mendekat

kepada api itu, tetapi orang itu mengusir serangga-serangga itu dari api,

agar tidak terjatuh ke dalam api, demikian juga senantiasa berusaha

menyelamatkan kalian dari api neraka, tetapi kalian berusaha

menolakku.”17

Cara yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. Untuk menyampaikan

dakwahnya adalah sangat luwes dan santai, sehingga siapapun yang

menempuh cara-cara yang dilakukan oleh beliau saw., untuk mengajak

orang lain kepada kebenaran, pasti akan sukses. Sebaliknya, jika cara yang

ditempuh bertentangan maka ia akan gagal.

Demikian pula, hendaknya setiap da‟i mempunyai jiwa yang penuh

kasih sayang kepada semua orang, agar mereka dapat menyelamatkan

orang-orang itu di dunia dan akhirat. Adapun contoh yang paling baik bagi

kita adalah pribadi Rasulullah Saw. Sepanjang hidupnya Nabi saw. Terus

menerus berdakwah untuk mengajak manusia beriman kepada Allah,

meskipun beliau menghadapi berbagai tantangan dan perlakuan yang tidak

manusiawi. Adakalanya beliau saw. Dijerat lehernya dengan sehelai kain

oleh musuhnya, adakalanya pula beliau saw. Dilumuri dengan kotoran

binatang, adakalanya pula jalan beliau saw. Dijerat lehernya dengan

sehelai kain oleh musuhnya. Adakalanya pula beliau saw. Dipenuhi

dengan duri-duri, meskipun beliau selalu berusaha mengajak mereka ke

jalan yang benar, agar mereka masuk ke dalam syurga.

Ingatlah, ketika beliau saw. Berdakwah di kota Thaif, maka beliau

saw. Disakiti oleh sejumlah penduduknya dengan kedua kaki dan wajah

beliau saw. Terluka. Ketika itu beliau hanya ditemani oleh zaid bin

17

Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Al-Fadhail, 17-19, Al-Bukhari, Ar-Riqaqu 26

Page 92: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

82

haritsah ra, sehingga malaikat penjaga gunung menawari jasanya akan

menjatuhkan gunung kota thaif kepada mereka yang telah melukai pribadi

Rasulullah Saw., tetapi tawaran baik dari malaikat itu ditolak oleh beliau

seperti yang disebutkan dalam sabda beliau berikut ini,

Áku masih berharap semoga Allah mengeluarkan anak cucu dari

mereka yang mau menyembah Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu

baginya. (HR Bukhari).

Ingatlah ketika wajah beliau Saw. Terluka di medan perang, sehingga

darah beliau Saw. Menetes ke bumi, pada saat seperti itu beliau Saw.

Masih berdoa sebagai berikut,

“Ya Allah, berilah ampun apa yang telah dilakukan oleh umatku

terhadap diriku, karena mereka tidak mengerti.”(HR Bukhari).

Doa Nabi di atas adalah untuk menyelamatkan umatnya dari siksa

Allah. Hal ini bisa terjadi karena besarnya rasa kasih sayang beliau Saw.

Terhadap umatnya.18

Begitulah sejatinya para juru dakwah dengan cara mau‟izhah hasanah

menyebarkan pesan-pesan dakwah, yaitu dengan penuh kasih sayang,

kelembutan, pengayoman, dan tidak memaksa. Dengan itu nilai dakwah

akan cepat tersampaikan dan tersentuh di hati masyarakat yang

mendengar.

C. Siapakah Mad’u Mau’izhah Hasanah?

Mengingat bermacam-macam tipe manusia yang dihadapi da‟i dan

berbagai jenis antara dia dengan mereka serta berbagai kondisi psikologi

mereka, setiap da‟i yang mengharapkan sejuk dalam aktivitas dakwahnya

18

Ibnu Ibrahim, Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup, (Jakarta:

Republika, 2011), h. 317-318

Page 93: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

83

harus memperhatikan kondisi psikologis mad‟u. Kalau kita perhatikan

perbedaan gaya dakwah nabi sebelum dan sesudah hijrah, sewaktu di

Makkah ataupun di madinah tampaknya salah satunya disebabkan oleh

berbedanya kondisi psikologis kelompok-kelompok yang didakwahi.

Muhammad Natsir dalam “Fiqh Dakwah” nya sebagaimana yang dikutip

oleh M. Munir dalam bukunya metode dakwah, mengemukakan pendapat

yang berkaitan dengan dengan kondisi psikologis mad‟u ini bahwa: pokok

persoalan bagi seorang pembawa dakwah ialah bagaimana menentukan

cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu

dalam suatu keadaan dan suasana tertentu. Seorang da‟i harus

memperhatikan kedudukan sosial penerima dakwah. Jika seorang da‟i

mencium adanya sikap memusuhi islam dalam diri penerima dakwah,

maka dengan alasan apapun dia tidak boleh memperburuk situasi. Dia

mesti berusaha sebisa-bisanya untuk menghilangkan sikap permusuhan

tersebut.19

Bila diperhatikan pemaknaan mau‟izhah hasanah dalam ayat-ayat al-

Qur‟an maka tekanan tertuju kepada peringatan yang baik dan dapat

menyentuh hati sanubari seseorang, sehingga pada akhirnya audiens

terdorong untuk berbuat baik.20

Mad‟u mau‟izhah hasanah sebagaimana kata Quraish shihab ketika

menjelaskan al-Qur‟an surat al-Baqarah:232, bahwa mad‟u mau‟izhah

hasanah adalah orang-orang beriman kepada Allah dan hari akhir. Ketika

menunjuk nasihat ditemukan lagi kata itu, tetapi kali ini berbentuk jamak

19

M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 58-59 20

Salmadanis, Metode Dakwah dalam Perspektif Al-Qur‟an, Disertasi Doktor, Pasca

sarjana UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta, 2002), h. 186-187

Page 94: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

84

(dzalikum). Penggunaan bentuk jamak ini mengisyaratkan, lanjut beliau,

bahwa petunjuk-petunjuk tersebut akan memberi manfaat untuk banyak

orang. Memberi ketenangan dan kebahagiaan untuk seluruh anggota

keluarga bahkan untuk masyarakat seluruhnya.21

Di samping itu mad‟u mau‟izhah hasanah juga bisa dilihat dalam al-

Qur‟an surat lukman, yakni sasaran dakwah tertuju kepada keluarga

terdekat, dalam hal ini anak. Lukman (da‟i) dan anak (mad‟u). Anak

sebagai mad‟u dalam ayat tersebut mendapat nasihat hingga anak

mengakui tauhid.

Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni mengelompokkan mad‟u dalam

dua rumpun besar, yaitu: a) rumpun muslimun atau mukminun atau umat

istijabah (umat yang telah menerima dakwah), dan b) Non muslim atau

ummat dakwah (umat yang perlu sampai kepada mereka dakwah islam)).

Umat istijabah dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: a) Sabiqun bi al-khairat

(orang-orang shalih dan bertakwa), b) Dzalimun Linafsih (orang fasik dan

ahli maksiat), c) Muqtashid (mad‟u yang labil keimanannya). Sedangkan

ummat da‟wah dibagi dalam empat kelompok, yaitu: a) Atheis, b)

Musyrikun, c)Ahli Kitab, d) Munafiqun. Said bin Ali bin Wahf al-

Qahthani melakukan pembagian yang hampir sama dengan al-Bayanuni,

yaitu membagi mad‟u dengan kategori muslim dan non muslim. Mad‟u

dari rumpun muslim dibagi dua, yaitu: a) muslim yang cerdas dan siap

menerima kebenaran, dan b) Muslim yang siap menerima kebenaran,

tetapi mereka sering lalai dan kalah dengan hawa nafsu. Sedangkan non

21

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta:

Lentera hati, 2002), vol 1, h. 502

Page 95: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

85

muslim, pembagiannya sama dengan al-Bayanuni, tetapi beliau tidak

memasukkan Munafik dalam kelompok non muslim. Sedangkan

berdasarkan klasifikasi, masyarakat dapat dihampiri dengan dua

pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan kondisi sosial budaya, yang terbagi dalam masyarakat

kota dan desa;

b. Pendekatan tingkat pemikiran, terbagi dalam dua kelompok, yaitu:

kelompok masyarakat maju (industri), dan kelompok masyarakat

terbelakang.22

Seruan dengan mau„izhah hasanah ini tertuju pada orang-orang yang

kemampuan berpikirnya tidak secanggih golongan yang diseru dengan

hikmah, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Demikian menurut al-

Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi. Atas

dasar itu dalam al-Qur‟an di awal, mad‟u mau‟izhah hasanah bisa dilihat

sperti anak, yang lebih bawah ilmunya dengan sang ayah dalam hal itu

lukman. Akan tetapi si anak ini, masih bisa mempunyai fitrah dan hati

yang bersih untuk bisa mencerna mana yang benar dan mana yang salah.

Berdasarkan ungkapan dari Abu al-Fath al-Bayanuni di atas sejalan

juga yang di jelaskan al-Qur‟an sebagaimana tutur al-Biqai ketika

menjelaskan sasaran dakwah (mad‟u) dalam al-A‟raf:164 yakni mad‟u

atau sasaran dakwah adalah qauman. da‟i yang harus menyampaikan

dakwah kepada siapapun, tanpa kecuali, meskipun kepada mereka yang

jelas-jelas menentang ajaran Allah swt., sehingga layak menerima azab-

22

M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 106-108

Page 96: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

86

Nya. Justru menurut al-Biqai, kesiapan untuk berdakwah kepada setiap

kalangan tanpa kecuali dan tanpa memilih-milih sasaran dakwah

menunjukkan keikhlasan dakwah seseorang dan optimisme serta

komitmennya terhadap ajaran Allah swt. Agar tersebar ke setiap jengkal

bumi Allah swt.

Pengertian yang dikemukakan oleh al-Qur‟an di atas dapat

dikategorikan bahwa metode maw‟izhah al-hasanah merupakan cerminan

dengan pendekatan intruksional, yang pada umumnya ditujukan kepada

masyarakat awam. Komunitas ini pada umumnya, baik tangkapan maupun

daya fikirannya masih sangat sederhana, sehingga dakwah yang diberikan

kepadanya dititik beratkan dalam bentuk bahasa yang relevan dengan

kondisinya, bersifat intruksional dan dalam bentuk mengembirakan serta

memberi informasi yang mereka jera melakukannya.

Pengertian di atas mengantarkan kepada dua kesimpulan yaitu:

pertama, maw‟izhah al-hasanah dikategorikan sebagai penerangan dan

penyiaran ajaran Islam kepada masyarakat dengan mempergunakan

argumentasi yang mudah dan dapat memuaskan orang umum, dan kedua;

mau‟izahah al-hasanah dikategorikan sebagai pemberian bimbingan dan

penyuluhan yang berkaitan dengan kepuasan hati dan jiwa. Bila kedua

kategori ini dikembangkan, maka pemberian penerangan dan penyiaran

tersebut tertuju kepada masyarakat luas tentang ajaran Islam. Dalam hal

ini diperlukan terlebih dahulu mempelajari masyarakat yang dihadapi,

misalnya sosiologi dakwah, antropologi dakwah, peta dakwah dan kultur

(peradaban) yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan

Page 97: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

87

bermasyarakat. Untuk itu dibutuhkan adanya manajemen sebagai alat

mempermudah menghadapi masyarakat, ilmu komunikasi massa, baik

melalui media cetak, maupun media elektronik sebagai media

mempercepat jalannya dakwah kepada audiens. Sedangkan pemberian

bimbingan dan penyuluhan masyarakat, nampaknya lebih tertuju kepada

pribadi-pribadi yang bersifat langsung. Dalam hal ini dimungkinkan

adanya pengembangan dan pencerahan masyarakat melalui pribadi

tersebut.

Sudah menjadi fitrah manusia suka kepada yang menyenangkan

dan benci kepada yang menakutkan, maka selayaknya bagi para da‟i untuk

memulai dakwahnya dengan memberi harapan yang menarik, mempesona

dan menggembirakan sebelum memberikan ancaman. Muslim

meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Musa ra. Ia berkata bahwa

Rasulullah Saw. Bersabda “serulah manusia! Berilah kabar gembira dan

janganlah membuat orang lari”. Seorang da‟i seharusnya lebih dahulu

memberikan targhib (kabar gembira) sebelum tarhib (ancaman),

mendorong, beramal dan menyebutkan faedahnya sebelum menakut-

nakuti dengan bahaya riya. Memberi tahu keutamaan menyebarkan Ilmu

dan memotivasi untuk melaksanakan shalat pada waktunya sebelum

memberikan peringatan tentang besarnya dosa meninggalkan shalat. Kita

memang tidak dapat menafikan manfaat tarhib, karena beragamnya tabiat

manusia. Akan tetapi, memberi kabar gembira terlebih dahulu sebelum

peringatan itu bisa membuat hati menerima dengan baik dan lega.

Pemeberian motivasi ini bisa menumbuhkan harapan dan optimisme

Page 98: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

88

seseorang inilah sebagai tarhib (ancaman) diberikan mana kala ada

perlawanan dan pembangkangan guna menyadarkan dan

mengembalikannya ke jalan yang benar. Kita perhatikan Firman Allah QS

Al-Hijr:49-50:

“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya Aku-lah

yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa Sesungguhnya

azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.”23

D. Dampak dan Keutamaan Menggunakan Mau’izhah Masanah

Berdasarkan al-Qur‟an di atas dampak dari mau‟izhah hasanah

sebagaimana singgung Sayyid Quthub di awal bahwa kelembutan dalam

memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang bingung,

menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak kebaikan

ketimbang bentakan, gertakan, dan celaan.24

Di samping itu dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah: 232 ditegaskan

dengan kata-kata zalikum adzkalakum wa‟athar (lebih baik dan lebih suci)

maksudnya Iman kepada Allah dan hari kemudian inilah yang menjadikan

nasihat ini dapat sampai kedalam hati, ketika hati berhubungan dengan

alam yang lebih luas daripada dunia ini, dan ketika ia menghadapkan diri

kepada Allah dan ridha-Nya mengenai apa saja yang ia lakukan dan ia

tinggalkan. Perasaan dan kesadaran bahwa Allah menghendaki apa yang

lebih suci dan lebih bersih dari pada keadaanya sekarang, akan mendorong

23

Jum‟ah Amin Abdul Aziz, Fiqh Dakwah, (Solo: Era Inter Media, 2000), h. 393 24

Sayyid Quthub, penerjemah, As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Tafsir Fi

zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet ke 2, jilid-7, h. 224

Page 99: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

89

si mukmin itu untuk mematuhi Allah dan meraih kesucian dan kebersihan

untuk dirinya dan masyarakat sekelilingnya. Karena merasakan sentuhan

hati bahwa yang memilihkan jalan untuknya adalah Allah yang

mengetahui apa yang tidak diketahui oleh manusia, maka ia akan segera

menyambut dan menerima semua aturan Allah dengan ridha dan pasrah.25

Kata-kata ma‟ziratan ila rabbikum... dalam al-A‟raf: 164 itu

memberikan penjelasan akan dampak dari nasihat yang diberikan. Lanjut

At-Qurthubi maksudnya adalah mereka ingin mengatakan bahwa nasihat

ini, agar kalian bertakwa kepada Allah dan tidak lagi melakukan perbuatan

yang fasik. Pendapat ini dinisbatkkan oleh at-Thabari kepada ibnu Al-

Kalbi.26

Keutamaan metode ini terletak pada pemakaian ungkapan yang lemah

lembut yang dapat menggugah hati para pendengarnya. Metode ini juga

mempunyai bentuk yang bermacam-macam sehingga memungkinkan

seorang da‟i untuk memilih suatu bentuk sesuai dengan situasi dan kondisi

mad‟u. Metode ini juga mampu memberikan implikasi yang sangat dalam

di dalam jiwa para mad‟u, dengan menanamkan kecintaan dan kedekatan

dengan para mad‟u, di samping dapat memerangi kemungkaran dan

mencegah penyebarannya, karena seseorang akan merasa malu jika

mereka tidak mendengar atau menerima apa yang dinasehatkan kepada

mereka, paling tidak mereka malu untuk memperlihatkan perbuatan

mungkar mereka. Di samping itu juga metode ini sering dilakukan oleh

25

Sayyid Quthub, penerjemah, As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Tafsir Fi

zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet ke 2, jilid-7,Jilid1, h. 301 26

Atabik Luthfi, Tafsir Da‟awi, tadabbur ayat-ayat dakwah untuk para da‟i, (Jakarta: al-

I‟thisam, 2011), h. 96-97

Page 100: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

90

Rasulullah Saw. Ketika berhadapan dengan orang Quraish. 27

seperti yang

di riwayatkan oleh Anas ra. Ia berkata “ketika kami duduk bersama

Rasulullah di masjid tiba-tiba datanglah seorang badui berdiri lalu kencing

di dalam masjid. Hal ini membuat para sahabat menjadi jengkel dan

marah. Namun Rasulullah saw. Berkata kepada para sahabatnya

“janganlah engkau memarahinya, biarkanlah ia menyelesaikan hajatnya,

lalu para sahabat meninggalkan orang tersebut, kemudian Rasulullah saw.

Memanggilnya dan berkata kepadanya: “sesungguhnya masjid ini

didirikan bukan untuk dikencingi atau dikotori, namun ia didirikan untuk

mengingat Allah, shalat dan membaca al-Qur‟an.28

Jadi, dakwah al-Mauidzat al-Hasanat adalah metode yang dilakukan

agar dakwah dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan

kedalam perasaan dengan penuh kelembutan tidak berupa larangan

terhadap sesuatu yang tidak harus dilarang, tidak menjelek-jelekkan atau

membongkar kesalahan. Sebab, kelemah-lembutan dalam menasihati (al-

Maui‟zhat) sering kali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan

kalbu yang liar. Bahkan, ia lebih mudah melahirkan kebaikan ketimbang

larangan dan ancaman.29

Menyampaikan dakwah dengan ruhani yang dalam, menjadikan

“Perilaku dan tutur katanya akan dijadikan suri teladan yang baik bagi

orang lain dan sebagai tanda bahwa ruhaninya adalah sehat. Setiap kali ia

27

Muhammad Abu al-Futuh. Al-Madkhal ila Ilm ad-Da‟wat, ( Beirut: Muassasah al-

Risalah, 1991), h. 14 28

Lihat, „Abd al-Hamid Muhammad Muhyiddin, sirat an-Nabawi, (Kairo: Maktabat

Muhammad „Ali Sabih, 1983), h. 43 29

Faizah, “konsep Dakwah Dalam Mencegah Konflik” Tesis Pasca Sarjana, (Jakarta:

Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h.50-51, t.d

Page 101: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

91

melihat mendengar, atau memegang sesuatu, maka ia selalu ingat kepada

Allah, sehingga Allah menjadi sumber hidup baginya. Setiap kali ia

mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menambah ilmu baginya dan ia

akan selalu diberi petunjuk oleh-Nya, sehingga ia akan mendapatkan jalan

keluar bagi setiap kesulitannya dan ia akan menjadi tuntunan hidup bagi

kaumnya, sehingga semua orang menjadikan pribadinya sebagai tuntunan

hidup bagi mereka. Jika seorang da‟i sangat dalam keruhaniannya, maka ia

akan sukses dalam dakwahnya kepada orang lain, seperti Rasulullah

menyebutkan dalam sabda beliau berikut ini, keyakinan itu semuanya

termasuk keimanan.” Arti keyakinan adalah kesiapan seseorang untuk

menerima bukti-bukti kebenaran, sehingga ia akan mengisi otaknya

dengan berpikir dan mencari Ilham. Ia akan mengisi perilakunya dengan

berbagai macam amal saleh dan ibadah, sehingga hatinya menjadi

cemerlang yang terang setiap kali melihat kebenaran yang datangnya dari

Allah.30

Berikut ini contoh dakwah terbaik yang pernah dicontohkan Rasulullah

Saw., seperti dilaporkan oleh Abu Umamah sebagai berikut, “Ada seorang

pemuda Quraisy datang kepada Nabi Saw. Seraya berkata, “Ya Rasulullah,

berilah aku ijin untuk berzinah.‟ Maka para sahabat murka kepadanya

sambil berkata, „Janganlah berkata seburuk itu kepada Rasulullah.‟ Tetapi

beliau Saw. Menyuruhnya mendekat kepada beliau. Kemudian beliau

bertanya, apakah kamu rela jika ada seorang berzinah dengan ibumu?‟

jawab pemuda itu, „Tidak.‟tanya Beliau, „Apakah kamu rela jika ada

30

Ibnu Ibrahim, Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup, (Jakarta:

Republika, 2011), h. 337-338

Page 102: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

92

seorang berzinah dengan putrimu?‟ jawab pemuda itu, „Tidak‟. ‟tanya

Beliau, „Apakah kamu rela jika ada seorang berzinah dengan saudara

perempuanmu? Jawab pemuda itu, „Tidak.‟ Tanya Rasulullah, „Apakah

apakah kamu rela jika ada seorang laki-laki yang berzinah dengan saudara

ayahmu?‟ jawab pemuda itu, „Tidak.‟ ‟tanya Beliau, „Apakah kamu rela

jika ada seorang berzinah dengan saudara perempuan ibumu? Jawab

pemuda itu, „Tidak.‟ Kemudian beliau Saw. Meletakkan tangan beliau

Saw. Di atas telapak tangan pemuda itu seraya berdoa. Ya Allah,

ampunilah dosa pemuda ini, sucikan hatinya, dan lindungilah

kemaluannyadari perbuatan keji.‟ Kemudian kata Abu Umamah, „setelah

mendapat berbagai pertanyaan dari beliau Saw. Seperti itu, maka pemuda

itu segera pergi dan ia menjadi pemuda yang paling suci dari sejumlah

pemuda yang ada di kota Madinah.31

31

Ibnu Ibrahim, Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup, (Jakarta:

Republika, 2011), h.337

Page 103: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

93

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa al-Qur’an ketika

berbicara mengenai konsep mau’izhah hasanah, diartikan dengan konsep

metode berdakwah dengan penuh kelembutan, kasih sayang, tidak

memaksa, dan tidak menyakiti hati para mad’u. Dengan berdakwah yang

menyentuh hati, di mungkinkan mad’u akan cepat dengan sendirinya

menyadari pentingnya kebaikan untuk dilaksanakan dan keburukan untuk

ditinggalkan.

Dari arti yang diberikan oleh beberapa ahli tafsir tersebut, kata

mau’izhat dapat dikelompokkan, pertama bahwa mau’izhat itu lebih dekat

sebagai dalil; kedua, mau’izhat itu pelajaran yang berkaitan dengan

kepuasan hati dan jiwa. Kalau dikaitkan dengan dakwah, dapat

disimpulkan bahwa mau’izhat adalah pekerjaan (materi dakwah) yang

disampaikan dengan dalil-dalil atau argumentasi-argumentasi yang tepat

yang dapat memuaskan orang atau audien yang dihadapi sehingga jiwanya

menjadi tenang.

Dari pemahaman di atas, mau’izhat ketika dikaitkan sebagai

metode dakwah adalah merupakan sebuah metode dengan menggunakan

dalil-dalil, argumentasi yang tepat sehingga orang yang diseru (obyek

dakwah) menjadi puas menerima seruan atau materi dakwah dengan

penuh rasa kasih sayang.

Page 104: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

94

Sementara da’i mau’izhah hasanah menurut al-Qur’an adalah

seorang juru dakwah yang berbuat dan beramal sesuai dengan apa yang

diucapkannya; ceramah dilakukan dengan cara yang ramah, baik yang

menyangkut isi, bentuk, maupun ungkapan-ungkapan yang digunakan.

Pelaku da’i mau’izhah hasanah adalah tergolong usianya lebih tua dari

yang di dakwahi sebagaimana menurut al-Quran surat luqman: 13. Yakni

seseorang yang lebih tua/ayah dan memiliki kapasitas ilmu dan hikmah

yang memadai.

Sedangkan mad’u metode ini adalah orang-orang awam atau

golongan kebanyakan. Materi yang akan disampaikan kepada mereka

harus sesuai dengan daya tangkap mereka. Di hadapan mereka tidak sesuai

apabila kata yang mempunyai arti logis, mengucapkan istilah-istilah asing.

Karena bukanlah suatu metode, jika sesuatu itu dikerjakan bukan

melalui tahapan dan perencanaan yang jelas. Hal ini terlihat pada ayat-ayat

al-Qur’an, misalnya;

1) Dilihat dari ancaman-ancaman yang diinformasikan terhadap

pelakunya seperti kera (QS. al-Baqarah; 66).

2) Dilihat dari gejala-gejala negatif yang ditimbulkan, seperti pelaku

riba ( QS al-Baqarah; 275).

3) Dilihat dari cara melaksanakannya, misalnya pelaku kisas (QS. al-

Maidah; 46).

4) Dilihat dari segi prioritas melaksanakannya, yaitu mendahulukan

yang terpenting dari yang penting (QS. al-A’raf; 145)

Page 105: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

95

5) Dilihat dari segi kehati-hatian dalam memberikan materi, seperti

melalui targhib wa al-tarhib (QS. Yunus; 57)

6) Dilihat dari keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat (QS.

Hud; 120)

7) Dilihat dari segi bahasa yang dipakai (QS. al-Nahl; 125)

8) Dilihat dari segi penjelas (bayan) (QS. al-Nur;34)

9) Dilihat dari segi kondisi sosial yang mengintari seperti cara

menghadapi orang kafir dan munafik (QS. al-Nisa’;63)

Memperhatikan pendapat di atas cakupan makna yang terkandung

dari kalimat maw’izhah meliputi: memberikan argumentasi dengan gaya

bahasa yang relevan dengan latar belakang keadaan umat, yaitu audiens

dihadapi dengan argumentasi yang dapat menghantarnya kepada ajaran

Islam dengan memakai bahasa lemah lembut, lugas, sejuk dan mudah

merasuk kedalam jiwanya.

Term maw’izhah dalam bentuk nasehat adalah membangkitkan

perasaan ketuhanan yang dikembangkan dalam jiwa objek dakwah,

sehingga menimbulkan rasa takut dan ketundukan kepada Allah. Selain itu

membangkitkan keteguhan hati agar senantiasa berpegang kepada

pemikiran yang sehat, membangkitkan rasa persatuan untuk berpegang

kepada kesatuan jama’ah. Nasehat dapat terjadi melalui berbagai sarana

antara lain; melalui kematian, musibah, bencana alam, melalui sakit,

melalui peringatan-peringatan lain dan sebagainya.

Setelah memperhatikan ayat-ayat dan penafsiran dikalangan

ilmuan, dengan pertimbangan asbab al-nuzul ayat dan makna yang

Page 106: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

96

dicakupinya, dapat ditarik kesimpulan bahwa model dakwah maw’izhah

al-hasanah, meliputi :

1. Menggunakan bahasa sesuai dengan bahasa umat yang dihadapi,

2. Memberi nasehat dan wasiat secara bertahab dan berencana,

3. Memberi khabar gembira serta memberi informasi yang membuat mereka

jera melakukannya, dengan menempuh targhib wa al-tarhib

4. Memberikan teladan yang baik

B. Saran-saran

Setelah membahas secara panjang lebar “Konsep Mau’izhah

hasanah dalam al-Qur’an”, penulis akhirnya menyarankan beberapa hal

kepada semua pihak yang terkait, guna mendukung konsep metodologi

dakwah yang lebih efektif ke depannya. Di antaranya adalah:

1. Terdapat banyak ayat dalam al-Qur’an yang belum

terklasifikasikan. Maka, kajian-kajian seperti ini perlu dilakukan

secara konkrit dan lebih luas lagi, agar kita sebagai juru dakwah

dapat lebih memahami konsep berdakwah yang lebih luas lagi,

supaya sasaran dan pesan dakwah lebih cepat tersampaikan kepada

para mad’u.

2. Ayat-ayat mau’izhah hasanah yang di bahas pada skripsi ini adalah

ayat-ayat yang menjelaskan seputar cara berdakwah dengan konsep

mauizah hasanah, yakni berdakwah dengan kasih sayang,

menyentuh hati, tidak memaksa namun diberi alasan logis, serta

menentramkan jiwa. Oleh karena itu diharapkan kepada semua

umat khususnya para wakil dan juru bicara Allah, untuk

Page 107: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

97

melaksanakan dan mengamalkan konsep berdakwah ini dengan

penuh semangat dan taat, insya Allah bermamfaat dan meraih

berkah dunia akhirat. Aminn

3. Ayat-ayat yang penulis bahas mengenai mau’izhah juga tidak lepas

dari unsur da’i dan mad’u , untuk itu seorang da’i hendaklah

menyampaikan sesuai dengan kadar kemampuan para mad’u,

begitu juga dengan mad’u hendaklah menggunakan akal sehat dan

hati nurani untuk mencerna dan menghayati pesan-pesan Allah

melalui wakil-Nya di atas muka bumi ini, dengan itu perpaduan

antara da’i dan mad’u insya Allah akan membentuk komunitas

dakwah IlaAllah dan membumikan dakwah Allah di atas jagat

bumi ini, hingga tercapailah kedamaian, ketentraman dalam hidup.

4. Semoga dengan adanya pembahasan mengenai konsep tata cara

berdakwah mau’izhah hasanah menurut al-Qur’an ini, bisa lebih

membuka hati para da’i dan mad’u untuk lebih memfokuskan

makna dakwah dan cara berdakwah sebenarnya. Serta semoga

semakin banyak kajian dakwah yang lebih mengkhususkan kepada

penafsiran, karena terbukti sedikit sekali buku yang membahas

tentang tafsir dakwah, bagaimana berdakwah menurut al-Qur’an

dan pandangan para ulama-ulama salaf dan khalaf serta

kontemporer. Supaya lebih merata pesan dakwah dan kebajikan

yang tersampaikan.

Page 108: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

98

Terakhir, penulis berharap semoga penelitian ini mampu menjadi setitik sumber

pengetahuan yang bermamfaat, khusus bagi penulis sendiri, dan umumnya kepada

kaum muslimin.

Page 109: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bilali, Abdul Hamid. Fiqh al-Dakwah Fi ingkar al-Mungkar. Kuwait: Dar al-

Dakwah. 1989.

Al-Farmawy, Al-Hayy. metode tafsir Mawdhu’iy, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada. 1996.

Al-Wa’iy, Taufik. Dakwah Ke Jalan Allah. Jakarta: Rabbani Press, 2010.

Arifin, Arifin. Dakwah Kontemporer sebuah studi Komunikasi. Yogyakarta:

Graha Ilmu.2011.

Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah. 2009.

At-Tabataba’i, Al-‘Allamah as-Sayyed Muhammad Husyain. al-mazan fi tafsir al-

Qur’an. Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Matbu’at, 1972.

Al-bayanuniy, Syekh Muhammad Abu Al-Fath. Ilmu Dakwah prinsip dan kode

etik, berdakwah menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jakarta Timur: Akademika

Pressindo. 2010.

Alu Syaikh; Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin ishak. Tafsir Ibnu

Katsir. Penerjemah. M. ‘Abdul Ghoffar. Jakarta: Pustaka Imam Asy-

Syafi’i. 2009.

Al-Qahtani, Said bin Ali. Dakwah Islam Dakwah Bijak. Jakarta: Gema Insani

Press. 1994.

Al-Shabuni, Muhammad Ali. rawa’iul bayan tafsir al-Ayat al-Hakam. Beirut: da

fikri. Tt.

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir At-Thabari. Penerjemah

Ahsan Askan. besus hidayat ed. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008.

Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Penerjemah Aunur

Rafiq El-Mazni,Lc. Editor: Abduh Zulfidar Akaha. Muhammad Ihsan.

Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2012, cet. Ke- 13.

Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi. Mesir: Mawaqi’ At-Tafasir, tt

Ibn Umar Ibn Katsir, Abu Al-Fida, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim. Tahqiq oleh

Samy bin Muhammad Salamah. Madinah: Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa

Tawji’,1420 H, jilid iv.

Al-Qurthubi, Syaikh Imam,Tafsir Al-Qurtubi. Penerjemah, Asmuni; editor,

Mukhlis B. Mukti. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008.

Page 110: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

As-Suyuthi, Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli,

Tafsir Jalalain. Kairo: Dar ul-Hadîts, Kairo. Tt.

Ath Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid. Jami’ul Bayan Fi Ta’wil

Al-Qur’an. Mesir: Muassatur Risalah. 1420 H.

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu

Katsir. Penerjemah Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press. 2000.s

Abdul Aziz, Jum’ah Amin. Fiqh Dakwah. Solo: Era Inter Media. 2000.

Al-Futuh, Muhammad Abu. Al-Madkhal ila Ilm ad-Da’wat. Beirut: Muassasah al-

Risalah. 1991.

As-Suhaimi, Fawwaz bin Hulayyil bin Rabah. Penerjemah, Beni Sarbeni;, Begini

seharusnya Berdakwah: Kunci Sukses Dakwah Salaf. Jakarta: Darul Haq,

2008.

Abdul Baqi’, Muhammad Fuad. al-Mu’jam al-Mufahras li al-Qur’an al-Karim.

Qahirah: Dar al-Hadis. 1998.

Baqir Hakim, M. Ulumul Quran. Jakarta: Al-Huda. 2006.

Fadlullah, Muhammad Husain. Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an. Jakarta:

Lentera, 1997.

Faqih Imani, Allamah Kamal, dan Tim utama. Tafsir Nurul Qur’an, Sebuah Tafsir

Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur’an. Jakarta: Al-Huda, 2008.

Faizah, konsep Dakwah Dalam Mencegah Konflik. Tesis Pasca Sarjana. Jakarta:

Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah. 2004.

Fadhlullah, Muhammad Husain. Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur’an. Jakarta:

Lentera. 1997.

Husayn, Fadhlullah Muhammad. uslub ad-Da’wat fi al-Qur’an. alih bahasa oleh

tarmana Ahmad Qasim dengan judul metodologi Dakwah dalam Al-

Qur’an. Jakarta: PT Lentera Basritama, 1997.

Hasanuddin, Hukum Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1996.

Hafidhuddin, Didin. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani. 1998.

Ismail, Ahmad Ilyas. Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran

Dakwah Harakah. Jakarta: Penamadani, 2008.

Ilaihi, Wahyu, Komunikasi Dakwah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.

Page 111: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

Ibrahim, Ibnu. Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup.

Jakarta: Republika. 2011.

Ismail, Ahmad Ilyas & Hotman, Prio. Filsafat Dakwah, Rekayasa Membangun

Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana. 2011.

Ibrahim, Ibnu. Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup.

Jakarta: Republika. 2011.

Luthfi, Athabik. Tafsir Da’awi, tadabbur ayat-ayat dakwah untuk para da’i,

Jakarta: al-I’thisam. 2011.

Munir, M. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2006.

Muhiddin, Asep. Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka

Setia. 2002.

Mubarok, Achmad. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1999.

Muriah, Siti. Metode Dakwah Kontemporer. Yogyakarta:Mitra Pustaka. 2000.

Masyhur, Syaikh Musthafa. Fiqh Dakwah. Jakarta: Al-I’tisham Cahaya Umat.

2012.

Machfoed, A. Ilmu Dakwah dan Penerapannya. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.

Nizhan, Abu. Buku Pintar Al-Quran. Cianjur: Qultum Media. 2008.

Quthub, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. dibawah naungan al-Qur’a. Jakarta:

Gema Insani. 2003.

Romli, Asep Syamsul M. Komunikasi Dakwah, Pendekatan Praktis. (T.tp.: T. Pn.,

2013.

Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya,

1999.

Shihab, Quraish. TafsirAal-Misbah, pesan, dan Kesan Keserasian Al-Qur’an.

Jakarta: Lentera Hati. 2007, cet ke-VII, vol 7.

Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3. Jakarta: Pustaka Pirdaus,

2004.

Syadali, Ahmad & Rofi’i Ahmad. Ulumul Qur’an 1, untuk Fakultas Tarbiyah

komponen MKDK. Bandung: CV Pustaka Setia. 1997.

Page 112: KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN

Salmadanis, Metode Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an. Disertasi Doktor,

Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: Perpustakaan Utama

UIN Jakarta. 2002.

Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metoda Dakwah Nabi. Jakarta: PT. Pustaka

Firdaus. 1997.

Zakaria, Ahmad bin Faris bin. Mu’zam al-maqayis fi al-Lughah. Beirut:dar fikr.

1994.

Sumber Internet

http://itdafriyenny.wordpress.com/2012/11/09/metode-dakwah-mauizhan-al-hasanah-dan-

turunannya-dalam-perspektif-al-quran-dan-hadis/

http://ivanmirazaarmaya.blogspot.com/2013/01/kajian-tafsir-surat-nahl-ayat-

125.html