Pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna
KONSEP MANUSIA SEMPURNA Perspektif Seyyed Hossein...
Transcript of KONSEP MANUSIA SEMPURNA Perspektif Seyyed Hossein...
KONSEP MANUSIA SEMPURNA
Perspektif Seyyed Hossein Nasr
Skripsi
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin
Oleh:
Nama: Zubaidillah
NIM: 1113033100027
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018 M
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
KONSEP MANUSIA SEMPURNA
Perspektif Seyyed Hossein Nasr
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
Oleh:
Zubaidillah
NIM: 1113033100027
Dosen Pembimbing
Kusen, Ph.D, MA
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018 M
iv
Abstrak
Zubaidillah (1113033100027)
KONSEP MANUSIA SEMPURNA: “Perspektif Seyyed Hossein Nasr”
Manusia sebagai salah satu makhluk yang ada di alam jagad raya ini
memang tidak pernah hilang kemenarikannya untuk dibicarakan. Mulai dari
keragaman dimensi serta aspek-aspek fundamental sebagai perolehan dalam
dirinya yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lain, menjadikannya sebagai
makhluk yang unik dan menarik. Dengan menggunakan salah satu dari keragaman
dimensi yang ia miliki, ia mampu berhubungan dengan yang sakral, serta dengan
akalnya sebagai salah satu aspek fundamental dalam dirinya mampu berkembang
dan berinovasi sesuai kemauan yang diinginkan. Dari sini tampak terlihat bahwa
manusia memiliki kehendak bebas dalam menggunakan kemampuan yang ia
miliki seperti akal, ilmu pengetahuan, dan lain-lainnya sebagai produk dari
kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Karena itu, agar kemampuan yang
mereka miliki tidak berkehendak bebas tanpa batas, maka perlu adanya kendali
dan kontrol supaya kemampuan tersebut tidak menjadi liar dan membabi buta baik
terhadap alam dalam bentuk eksploitasi, atau bahkan sampai pada pembantaian
terhadap manusia.
Kesadaran manusia mengenai yang sakral melalui salah satu dimensi
dalam dirinya penting untuk hadir di sini agar kemampuan yang dimiliki oleh
manusia dapat berjalan sinergis dengan kepentingan kelestarian alam dan
kemaslahatan umat manusia. Karena dengan kesadaran yang demikian, manusia
mampu mengendalikan kemampuan yang ia miliki. Bahwa segala sesuatu yang
ada di alam semesta ini adalah berawal dan berhubungan dengan yang sakral,
termasuk alam semesta dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia itu
sendiri. Dengan demikian, melalui kemampuan yang ia miliki, manusia tidak akan
membiarkannya menjadi liar dan bebas tanpa kendali; dalam artian melakukan
eksploitasi besar-besaran terhadap alam serta pembantaian terhadap manusia,
melainkan untuk menjelaskan dan menunjukkan bahwa alam semesta dengan
segala keragamannya adalah bagian dari Yang Maha Sempurna. Dengan demikian
pula, manusia melalui kemampuan yang ia miliki akan menjadikannya sebagai
alat untuk kepentingan kelestarian alam dan kemaslahatan umat manusia demi
terlaksananya rahmat Tuhan bagi seluruh alam.
v
KATA PENGANTAR
Bismillāhirraḥmānirraḥīm.
Alḥamdulillāh. Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan alam semesta
dengan manusia sebagai tujuan akhir dalam bentuk kesempurnaannya yang lebih
kecil, karena telah terpancar sifat-sifat dan asmā’ Tuhan dalam diri kemanusiaannya.
Atas kasih sayang dan pengetahuan yang telah Engkau berikan, peneliti dapat
menyelesaikan tugasnya dalam bentuk skripsi dengan judul; KONSEP MANUSIA
SEMPURNA: “Perspektif Seyyed Hossein Nasr”.
Ṣhalawat dan salam peneliti haturkan kepada Nabi Muḥammad saw., serta
seluruh sahabat dan keluarganya. Nabi sebagai teladan bagi umat manusia yang
paling sempurna telah menuntun manusia dari kebodohan menjadi bersinar penuh
pengetahuan dan berahlak mulia. Semoga kita semua tergolong menjadi umat-Nya,
sehingga kita semua dapat berkumpul dalam Majlis-Nya yang penuh dengan
kebahagiaan dalam keabadian.
Penelitian ini dilakukan sebagai syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S. Ag.) pada program Strata Satu (S1) di jurusan Aqidah dan Filsafat Islam,
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peneliti menyadari mulai dari awal hingga akhir pada penyusunan penelitian kali ini,
bukan merupakan hasil dari semangat peneliti sendiri secara utuh. Melainkan juga
atas dasar adanya ‘pancaran’ motivasi dari luar yang mendukung baik secara material
atau non-material. Sehingga penelitian ini dapat terselesaikan oleh peneliti dengan
vi
baik. Oleh karena itu, patut kiranya peneliti sampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran
dekanatnya.
2. Ibu Dr. Tien Rahmatin, MA, selaku Ketua Jurusan Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam serta Bapak Dr. Abdul Hakim Wahid, MA, selaku Sekretaris
Jurusan Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam pada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Kusen Ph.D, selaku Dosen Pembimbing peneliti dalam menyusun
skripsi. Terima kasih dari peneliti yang sebesar-besarnya kepada beliau yang
telah banyak memberikan ilmu pengetahuan, saran, masukan, kritik dan
waktunya untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini tanpa
lelah. Semoga dengan kebaikan bapak tadi menjadi nasihat yang mulia untuk
peneliti. Semoga Allah memberikan kebaikan untuk bapak. Āmīn ya Rabbal
‘Ālamīn.
4. Para Guru Besar yang mengajar di tingkat Strata Satu (S1). Kepada para
Dosen Fakultas Ushuluddin yang meluangkan waktunya untuk konsultasi
penelitian ini, peneliti ucapkan terima kasih yang tidak bisa menyebutkan
satu-persatu. Terima kasih pula kepada seluruh Staf dan Karyawan Fakultas
Ushuluddin, segenap Staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan
Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
vii
memudahkan peneliti dalam mencari referensi terbaik semasa perkuliahan
hingga proses penyeleseian skripsi ini.
5. Teruntuk orang yang sudah mencintai tanpa alasan, yaitu kedua orang tua
peneliti. Ayahanda Ism’ail Ali dan Ibunda Zuriyah (al-marhumah), atas cinta
dan kasih sayang serta doanya penelitian ini terselesaikan. Terima kasih juga
kepada paman Nurokhim dan bibik Umi Husnul Khotimah, pakde M. Askan
dan bude Salamah, dan pakde A. Sulkhan dan bude Sumah, karena mereka
selalu mengingatkan peneliti untuk tetap terus belajar.
6. Kepada seluruh keluarga di rumah terutama kakak saya Aḥmad Sahal yang
selalu memberikan suport (dalam bentuk transferan) sehingga peneliti tetap
terus semangat untuk belajar. Terima kasih juga kepada kakak Musholin dan
mbak Iik; serta Aldi, Adit, Aurel. Juga kepada Muḥammad Junaidi dan Petty
Mei, Khuzaini Rozak (Kadrak) dan mbak Shofa, Ali Ghazi dan Nunung,
Adibatusyarifah, Anang Dien, Wawan, dan Istiqamah.
7. Terima kasih dari hati kepada Sheila Ayu Lutfiandi yang selalu mengingatkan
peneliti untuk segera menyusun skripsi (skripsi-skripsi...?). Kepada teman-
teman seperjuangan dari kecil; Aḥmad Ghazali, Lugis, Sulis, Wawan, Dedi,
Bakar, Heri, Shoden, Agung, Wahib, Merry, Della, Eni, Santi, Dini, dan
teman-teman lainya yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.
8. Ucapan dan rasa terima kasih juga peneliti sampaikan kepada teman saya
Aḥmad Syafi’i karena telah meminjamkan komputernya kepada peneliti
sehingga dapat segera terselesaikan penyusunan skripsi ini. Kepada teman-
viii
teman di Nirmala; Syukur, kakak Izoem, kakak Kafid, kakak Edi, Mubin,
bang Aan (bewok), dan teman-teman Nirmala lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu. Kepada seluruh teman-teman di Forum Kajian
Piramida Circle; Dayat, Tanwir, Basit, Agung, Ova, Afrizal (Bedel), Khalil,
Rivani, Rahma, dan teman-teman Piramid lainnya. Kepada seluruh teman-
teman dari Forum Mahasiswa Lamongan (Formala); Khanif, Eka, Fu’ad, dan
teman-teman Formala lainnya yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.
Dan juga kepada seluruh teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan
2013; Tomo, Dedi, Nana, Aulia, dan teman-teman lain yang ikut membantu
berdiskusi dengan peneliti.
9. Akhirnya, peneliti berharap agar apa yang telah ditulis dapat bermanfaat bagi
semua kalangan pada umumnya dan dapat memperluas khazanah keilmuan
dan falsafah Islam. Peneliti menyadari skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan sebagaimana judul pada penelitian ini. Kritik dan saran yang
sifatnya membangun dan mengembangkan skripsi ini sangat diharapkan.
Sebagai penutup, peneliti berharap semoga Allah Swt selalu membimbing
langkah kita menuju jalan yang benar dan lurus. Āmīn ya Rabbal ‘Ālamīn!
Jakarta, 27 November 2018
(Zubaidillah)
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
Indonesia
a
b
t
ts
j
ḥ
kh
d
dz
r
z
s
sy
ṣ
ḍ
Inggris
a
b
t
th
j
ḥ
kh
d
dh
r
z
s
sh
ṣ
ḍ
Arab
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
ه
ء
ي
ة
Indonesia
ṭ
ẓ
‘
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
y
h
Inggris
ṭ
ẓ
‘
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
y
h
Vokal Panjang
Arab
أ
إي
أو
Indonesia
ā
ī
ū
Inggris
ā
ī
ū
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ........i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ......................................... .......ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. ......iii
ABSTRAK ........................................................................................................ ......iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... .......v
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... ......ix
DAFTAR ISI ..................................................................................................... .......x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. .......1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... .......1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................................. .......9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. .......9
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... .....10
E. Metode Penelitian ................................................................................... .....12
F. Sistematika Penulisan ............................................................................ .....14
BAB II BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR .............................................. .....17
A. Latar Kehidupan .................................................................................... .....17
B. Latar Intelektual ..................................................................................... .....24
C. Beberapa Karyanya ................................................................................ .....28
BAB III KONSEP UMUM MANUSIA SEMPURNA ...................................... .....31
A. Pengertian Manusia Sempurna .............................................................. .....31
B. Manusia Sempurna Menurut Ajaran Islam ............................................ .....35
C. Manusia Sempurna Menurut Beberapa Failasuf Islam .......................... .....38
C.1. Manusia Sempurna Menurut Ikhwān al-Shafā ............................ .....38
C.2. Manusia Sempurna Menurut Ibn Bājjah ...................................... .....42
D. Manusia Sempurna Menurut Beberapa Tokoh Tasawuf ....................... .....46
D.1. Manusia Sempurna Menurut Ibn ‘Arabī ..................................... .....46
D.2. Manusia Sempurna Menurut Jalāl al-Dīn Rūmī .......................... .....51
BAB IV MANUSIA SEMPURNA MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR .....55
A. Konsep Dasar Manusia Sempurna ......................................................... .....55
A.1. Manusia Sempurna Sebagai Bagian dari Alam Semesta ............. .....58
A.2. Manusia Sempurna Sebagai Perantara Pesan-pesan Ilahi ........... .....60
A.3. Manusia Sempurna Sebagai Perwujudan Kehidupan Spiritual .... .....62
B. Upaya Mencapai Tingkatan Manusia Sempurna ................................... .....63
C. Kriteria Manusia: Sebagai Kritik dan Relevansi dalam Dunia Modern . .....71
C.1. Manusia Pontifikal dan Manusia Promethean ............................. .....72
C.2. Manusia Tradisional dan Manusia Modern ................................. .....77
C.3. Relevansi Konsep Manusia Sempurna dalam Dunia Modern ..... .....80
BAB V PENUTUP ............................................................................................ .....88
A. Kesimpulan ............................................................................................ .....88
B. Saran dan Masukkan ............................................................................... .....89
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ .....90
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu persoalan manusia adalah tentang hakikat manusia itu sendiri,
yaitu manusia yang tidak mengetahui hakikat siapa dirinya. Ketika manusia tidak
mengerti hakikat dirinya sendiri, maka ia tidak akan mengenal siapa Tuhannya.
Apabila manusia tidak mengenal Tuhannya, maka ia akan celaka. Sebaliknya,
apabila manusia mengenal Tuhannya maka ia akan selamat. Mengapa demikian?,
karena Tuhan adalah sumber keselamatan. Ketika manusia mengharap
keselamatan pada selain Tuhan, maka celakalah ia. Sementara bagi manusia yang
mengharap keselamatan pada Tuhan, maka ia akan memperoleh apa yang
diharapkannya tersebut. Tuhan adalah tempat bergantung, bersandar, dan menaruh
seluruh harapan bagi umat manusia, karena Dia adalah Yang Maha Esa dan Maha
Kuasa.1 Tanpa adanya kesadaran manusia mengenai hal tersebut, ia akan celaka;
karena ia telah melupakan siapa diri dan Tuhannya, dan dari mana ia berasal. Oleh
karena itu, manusia haruslah mengetahui dirinya sendiri dengan tujuan untuk
mengetahui Tuhannya agar ia menjadi orang yang selamat. Sebagaimana
dijelaskan dalam salah satu hadis yang berbunyi: “man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa
rabbah” (barang siapa mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya).2
Di era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini,
telah banyak manusia yang lupa pada hakikat dirinya. Manusia yang telah
1H. Ali Akbar. Tuhan dan Mnusia. Terj. Lukman Saksono. (Jakarta: Pustakakarya
Grafikatama. 1989). h. 227-228
2Seyyed Hossein Nasr. Traditional Islam in the Modern World. (Kuala Lumpur:
Foundation for Traditional Studies, Malaysia. 1988). h. 103
2
melupakan Tuhan dan dirinya sendiri sebagai pengemban amanah Tuhan di muka
bumi (khalīfah). Hal ini dapat ditemukan pada golongan yang menganggap diri
mereka “Ateis,” tidak lagi ber-Tuhan dengan slogan “God is Dead” (Tuhan telah
mati). Anggapan demikian tentunya menjadikan mereka sebagai manusia yang
bebas tanpa kendali dan kontrol; seperti anggapan bahwa perintah dan larangan
Tuhan tidak lagi menjadi rintangan, dunia terbuka untuk kebebasan dan ekspresi
manusia.3 Mereka bebas mengembangkan dan mengekspresikan segala potensi
yang mereka miliki tanpa adanya batas pada kebebasannya; seperti kemampuan,
ilmu pengetahuan, teknologi, serta potensi lainnya yang mereka miliki. Tidak
adanya kendali dan kontrol pada potensi yang mereka kembangkan tentu akan
menjadikannya sebagai sesuatu yang justru sangat berbahaya.
Manusia yang telah kehilangan sifat dasar primordial mereka sebagai
makhluk pilihan dan khalīfah Tuhan ini juga dapat dilihat melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan, serta akibat perkembangan
yang mereka lakukan terhadap alam atau bahkan terhadap sesama manusia itu
sendiri. Ini adalah tindakan yang cenderung dilakukan oleh Manusia Modern
dengan menganggap diri mereka sebagai Manusia Promethean sebagaimana
Seyyed Hossein Nasr telah menggambarkannya. Manusia Promethean adalah
manusia yang tidak patuh dan memberontak terhadap Langit, sehingga
menjadikannya ingkar terhadap nikmat Tuhan.4 Akibat dari keingkarannya,
menjadikan ilmu pengetahuan yang mereka miliki tidak lagi berhubungan dengan
yang sakral dan cenderung mendominasi serta merusak baik secara ekologis
3Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Cet. XII. (Jakarta: Rajawali Pers. 2014). h. 146
4Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. (New York: SUNY Press. 1989). h.
162-163
3
maupun sosiologis.5 Manusia Modern dibekali oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan kecanggihan baik pada peralatan yang mereka
gunakan atau metode yang mereka terapkan. Seolah apa yang mereka lakukan
dengan kecanggihan teknologi yang mereka miliki, tidak lagi menemukan
kesulitan pada setiap pekerjaan mereka, bahkan untuk menggali sampai dasar
bumi. Penggalian pada tambang yang ada dalam perut bumi sudah menjadi hal
biasa untuk mereka kerjakan; seperti penggalian batu-bara, perak, emas, minyak,
dan bahkan uranium yang belakangan ini diketahui uranium adalah bahan dasar
untuk membuat nuklir.6
Problematika di atas menunjukan bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi tanpa adanya kontrol yang mengendalikan,
menjadikan mereka semakin liar dan bebas untuk bertindak. Di satu sisi teknologi
menjadi penjara bagi manusia, namun pada sisi lain teknologi tersebut dipenjara
oleh kepentingan manusia. Perkembangan mereka tidak lagi berkepentingan untuk
kemaslahatan umat, melainkan malah menghancurkan kemaslahatan itu sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tadinya bertujuan untuk
mempermudah setiap urusan manusia, kini berbalik malah menjadi belenggu bagi
manusia sendiri.7
Oleh karena itu, konsep manusia sempurna hadir di sini sebagai alternatif
untuk mengembalikan posisi dan kesadaran manusia pada sifat dasar primordial
5Seyyed Hossein Nasr. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. (London:
Mandala Books. 1976). h. 17-18 6Iqfadhilah. “Pengertian dan sejarah penemuan uranium, serta fungsinya”. Artikel
diakses pada 07 April 2018 dari http://share-all-time.blogspot.co.id/2014/12/pengertian-dan-
sejarah-penemuan-uranium.html 7Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. h. 223
4
mereka sebagai pengemban amanah (khalīfah) Tuhan di muka bumi demi
terlaksananya rahmat Tuhan bagi seluruh alam. Supaya ia tidak menjadi Manusia
Promethean yang memberontak melawan Langit dan merebut peran ke-Tuhanan
untuk dirinya sendiri; dengan anggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah produk
dari manusia sendiri dan tidak berhubungan dengan Tuhan sebagaimana anggapan
para Manusia Modern.8 Atau menjadi manusia dengan kecenderungan bebas nilai
serta hilang kontrol terhadap ilmu pengetahuan dan kemampuan yang mereka
miliki, yang mengakibatkan kecenderungan bertindak eksploitatif terhadap alam
dan bahkan pembantaian terhadap sesamanya. Melainkan untuk mengantarkan
manusia pada janji Tuhan sebagaimana dalam al-Quran pada surat al-Īnsyiqāq
ayat 6 yang artinya; “Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras
menuju Tuhanmu, maka kamu akan menemui-Nya”.9
Konsep manusia sempurna ini mengingatkan peneliti pada gagasan dari
salah satu tokoh sufistik ternama yaitu ibn „Arabī. Dengannya ia gambarkan
manusia sempurna adalah apa yang dapat ditemui pada diri Nabi Muḥammad
sebagai al-Insān al-Kāmil. Tokoh ini mengatakan bahwa tujuan akhir dari
diciptakannya alam semesta oleh Tuhan adalah manusia itu sendiri.10
Bagi ibn
„Arabī manusia adalah ruh dari alam semesta yang tanpa adanya ruh tersebut alam
semesta akan musnah. Dalam opini ini, bagi ibn „Arabī manusia memiliki dua
aspek di dalam dirinya, yaitu aspek eksternal dan aspek internal. Aspek eksternal
adalah aspek yang menyerupai alam semesta dalam keseluruhannya, sementara
8Seyyed Hossein Nasr. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. h. 17-18
9Departemen Agama RI. “Mushaf Al-Qur’an Terjemah”. Terj. Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Al-Qur‟an. Edisi t. 2002. (Depok: al-Huda Kelompok Gema Insani. 2005). h. 590 10
William C. Chittick (ed.). Imaginal Worlds: Ibn al-‘Arabī and the Problem of
Religious Diversity. (New York: State University. 1994). h. 23, 34-35
5
aspek internal adalah aspek ilahiah, yang keduannya menjadi satu-kesatuan
absolut yang disebut dengan manusia. Ketika aspek internal ini telah mencapai
puncaknya pada diri manusia, ia akan menjadi cerminan sifat dan asmā’ Tuhan
yang paling sempurna.11
Selain itu, konsep manusia sempurna ini juga digagas oleh tokoh sufistik
ternama lainnya yaitu Jalāl al-Dīn Rūmī.12
Rūmī mengatakan bahwasannya
manusia adalah mikrokosmos, dan manusia adalah puncak dari evolusi, puncak
dari penciptaan Tuhan. Pencapaian pada puncak dari evolusi inilah yang
menjadikan manusia sebagai makhluk yang lebih sempurna dari pada makhluk-
makhluk lainnya. Sementara kesempurnaan manusia yang paling puncak
digambarkan oleh Rūmī pada diri Nabi Muḥammad sebagai al-Insān al-Kāmil.
Hal ini dapat dikaitkan dengan doktrin nur-Muḥammad yang di dalamnya
terkandung ide tentang Muḥammad adalah sebagai gagasan pertama Tuhan
sebelum diwujudkannya sebagai penciptaan alam semesta dengan manusia
sebagai tujuan akhirnya. Lalu kemudian Rūmī mengatakan ulang bahwa justru
mansuia adalah makrokosmos, setelah tahu bahwa manusia adalah tujuan akhir
dari penciptaan yang sempurna, dari kesempurnaan itulah manusia menjadi
makrokosmos karena gagasan mengenai alam semesta juga terkandung dalam diri
manusia itu sendiri.13
Hal ini juga dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut:
“Outwardly we are ruled by these stars, but our inward nature
has become the ruler of the skies.
11
Husaini. The Pantheistic Monism of Ibn ‘Arabī. (Lahore: SH. Muḥammad Ashraf
Publishers, Pakistan. 1992). h. 104-108 12
Seyyed Hossein Nasr. Sufi Essays. Cet. I. (London: George Allen and Unwin LTD.
1972). h. 14 13
Mulyadhi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf. (Jakarta: Penerbit Erlangga.
2006). h. 72-73
6
Therefore, while in form thou art microcosm, in reality thou art
the macrocosm”.14
(Secara luar (fisik) kita dikuasai oleh bintang-bintang ini, tetapi
batin kita menjadi penguasa dari langit.
Karenanya, sementara dalam bentuk engkau adalah
mikrokosmos, dalam kenyataan engkau adalah makrokosmos.)
Demikian halnya Seyyed Hossein Nasr dalam membahas konsep
manusia sempurna yang menjadi topik pembahasan utama pada penelitian kali ini.
Nasr mengawali pembahasannya mengenai manusia sempurna dengan mengambil
pemaparan dari gagasan para tokoh sebelumnya. Gagasannya mengenai manusia
sempurna sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh ibn „Arabī dan Rūmī.
Hal ini menunjukan bahwasannya dalam menjelaskan konsepsi tersebut Nasr
cenderung mengikuti pandangan sufistik tentang doktrin al-Insān al-Kāmil.
Baginya, manusia sempurna adalah cerminan dari sifat-sifat dan asmā’ Tuhan
serta seluruh isi alam semesta dalam bentuk yang lebih kecil (mikrokosmo), dan
puncak dari kesempurnaan manusia dapat ditemui pada diri Nabi Muḥammad
sebagai al-Insān al-Kāmil.15
Ketertarikan peneliti untuk membahas pemikiran Nasr mengenai
konsepsi ini tidak semata-mata hanya ingin menjelaskan mengenai konsep
manusia sempurna tersebut sabagaimana para pendahulu telah melakukannya.
Melainkan lebih kepada pengembalian posisi dan kesadaran manusia pada kodrat
primordialnya. Argumen ini ia bangun berdasarkan hadis yang berbunyi: “man
‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah” (barang siapa mengenal dirinya, maka akan
14
Seyyed Hossein Nasr. “The Nature of Man”. dalam William C. Chittick (ed.). The
Essential Seyyed Hossein Nasr. (Canada: World Wisdom. 2007). h. 65 15
Seyyed Hossein Nasr. “The Nature of Man”. dalam William C. Chittick (ed.). The
Essential Seyyed Hossein Nasr. h. 65
7
mengenal Tuhannya).16
Pengembalian posisi dan kesadaran pada sifat dasar
primordial ini bertujuan agar manusia tidak semestinya meninggalkan dimensi
spiritual dalam dirinya, yang membuatnya cenderung amoral serta bebas nilai
sebagaimana penggambaran Nasr pada peradaban modern sebagai masyarakat
Misosophy17
(kebalikakan dari cinta pada kebijaksanaan; benci kebijaksanaan).
Alasan lain yang menarik bagi peneliti adalah ketika Nasr menjelaskan
konsep manusia sempurna, ia membaginya menjadi beberapa tipe dalam
kaitannya dengan dunia modern. Tipe-tipe ini di antaranya adalah “Pontifikal”
yang berkebalikan dari “Promethean”,18
dan “Manusia Tradisional” yang
bekebalikan dari “Manusia Modern”. Manusia dengan tipe Pontifikal adalah
manusia yang sadar pada amanah Tuhan di muka bumi ini; ia merupakan
jembatan antara Langit dan bumi, ia adalah manusia dengan anggapan bahwa
segala sesuatu adalah berhubungan dengan yang sakral, termasuk ilmu
pengetahuan. Dalam pandangan Nasr, Manusia Pontifikal dapat ditemui pada
Manusia Tradisional; Manusia Tradisional memiliki anggapan bahwa ilmu adalah
berhubungan dengan Tuhan, termasuk alam semesta adalah bagian dari dirinya
yang merupakan jembatan menuju kedekatannya dengan Tuhan. Berbeda dari
Manusia Pontifikal, Manusia Promethean adalah manusia yang menentang dan
memberontak melawan Langit serta mencoba untuk merebut peran ke-Tuhanan
untuk dirinya sendiri. Manusia Promethean menganggap bahwa ilmu pengetahuan
adalah produk dari manusia sendiri, dan alam semesta bukan bagian dari dirinya;
16Seyyed Hossein Nasr. Traditional Islam in the Modern World. h. 103
17Seyyed Hossein Nasr. Islam and the Plight of Modern Man. (London: Longman
Group. 1975). h. 122-123 18
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 160
8
Manusia Promethean ini dicirikan Nasr sebagai Manusia Modern19
yang
kehilangan kontrol pada ilmu pengetahuan, dan akibatnya alam dianggap sebagai
objek eksploitasi demi memenuhi kebutuhannya sendiri.
Selanjutnya, alasan lain yang tidak kalah menarik adalah tokoh yang
sedang dikaji pemikirannya pada kali ini, yaitu Seyyed Hossein Nasr. Nasr adalah
salah satu pemikir Islam yang hidup di era modern ini. Gagasannya mengenai
Manusia Pontifikal dan Manusia Tradisional sebagai perlawanan terhadap
kecenderungan Manusia Promethean dan Manusia Modern menjadi relevan
mengingat Nasr adalah pemikir yang masih hidup dan mengetahui permasalahan
yang sedang terjadi di zaman modern ini, khususnya di akhir abad ke-20 M. dan
awal abad ke-21 M. Manusia Pontifikal dan Manusia Tradisional digambarkan
Nasr sebagai manusia yang dapat menjadi cerminan sifat dan asmā’ Tuhan serta
seluruh alam semesta dalam bentuk lebih kecil. Sementara Manusia Promethean
dan Manusia Modern adalah manusia yang digambarkan oleh Nasr sebagai
manusia yang telah kehilangan nilai-nilai spiritual, amoral, dan manusia yang
bebas nilai serta cenderung dekaden dan bobrok. Bahkan terhadap alam sendiri
tidak lagi dianggap sebagai bagian dari dirinya, dan lebih cenderung menganggap
alam sebagai objek eksploitasinya demi memenuhi nafsu keserakahannya. Maka
dari itu kritik Nasr terhadap peradaban modern atau manusia yang bertipekan
Promethean sangatlah tajam dilontarkan.20
Gagasan ini menjadi relevan dalam
menjawab tantangan perkembangan zaman, agar para manusia yang menjadi
19
Seyyed Hossein Nasr. Islam and the Plight of Modern Man. h. 29, 122-124 20
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 182-183
9
generasi mendatang memahami sifat dasar primordial mereka dan tidak mengikuti
jejak peradaban modern yang cenderung dekaden dan bobrok.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar pembahasan pada judul penelitian kali ini tidak melebar dan lebih
mengkrucut pada fokus pembahasan utamanya, peneliti memberikan batasan
seputar pada “Manusia Sempurna Menurut Seyyed Hossein Nasr”.
Adapun untuk rumusan masalahnya, peneliti fokuskan pada kajian
utamanya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep manusia sempurna dalam pandangan Seyyed
Hossein Nasr?
2. Apakah yang harus dilakukan manusia untuk mencapai
kesempurnaannya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan utama dari penelitian kali ini adalah mendeskripsikan “KONSEP
MANUSIA SEMPURNA: Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, sekaligus
menjelaskan bagaimanakah proses manusia dalam mencapai kesempurnaannya.
Tujuan selanjutnya adalah untuk menjelaskan tipe manusia yang tergolong dan
tidak tergolong dalam kriteria manusia sempurna, dalam kaitannya dengan dunia
modern.
Manfaat diadakanya penelitian terhadap judul “KONSEP MANUSIA
SEMPURNA: Perspektif Seyyed Hossein Nasr” terdapat dua hal. Pertama, khusus
untuk peneliti sendiri dapat memberikan acuan karya ilmiah tentang pemikiran
10
Seyyed Hossein Nasr mengenai manusia sempurna. Kedua, untuk pembaca yang
dari penelitian ini dapat lebih memeperluas dan memperdalam pengetahuan
tentang keterkaitan antara manusia dengan Tuhan, alam. Tentunya dari penelitian
kali ini dapat digunakan sebagai bahan acuan atau tinjauan ketika dilakukan
pengkajian atau penelitian ulang terhadap persoalan manusia, alam, dan Tuhan.
D. Tinjauan Pustaka
Agar dalam penelitian kali ini tidak terjadi kesamaan baik secara judul
atau kontennya, maka peneliti meninjau beberapa judul dari beberapa skripsi atau
beberapa karya ilmiah yang sudah ditulis sebelumnya. Hal ini dilakukan agar
penelitian kali ini dapat dilakukan secara sah oleh peneliti mengingat belum
adanya penelitian yang dilakukan secara langsung pada judul penelitian kali ini.
Oleh karena itu peneliti memasukkan enam (6) judul skripsi yang
sebelumnya telah diteliti. Hal ini dilakukan sebagai bahan tinjauan agar penelitian
terhadap judul skripsi “KONSEP MANUSIA SEMPURNA: Perspektif Seyyed
Hossein Nasr” dapat dilakukan dengan lancar.
Adapun keenam judul skripsi atau bahan tinjauan tersebut diantaranya
adalah: yang pertama penulisnya adalah Zainuri, dengan judul skripsi “Konsep
Manusia Menurut Ki Ageng Suryomentaram” (2012). Penulis yang kedua adalah
Hairus Saleh, dengan judul skripsi “Falsafah Manusia (Studi Komparatif Antara
Abdurahman Wahid dan Murtadha Muthahhari” (2014). Kedua judul skripsi
tersebut dijadikan oleh peneliti sebagai bahan tinjauan mengingat pembahasan
yang dilakukan oleh peneliti kali ini adalah tidak lepas dari gagasan mengenai
11
manusia. Namun dari kedua judul skripsi di atas bukan merupakan suatu
kesamaan mengenai pembahasan dengan yang dilakukan pada penelitian kali ini,
yang mana judul dari penelitian kali ini adalah “KONSEP MANUSIA
SEMPURNA: Perspektif Seyyed Hossein Nasr”.
Dan untuk penulis yang ketiga adalah Abdul Qudus, dengan judul skipsi
“Respon Tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Lingkungan: Telaah atas
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr” (2012). Penulis yang keempat adalah Agung
Hidayat, dengan judul skripsi “Musik Sufistik Perspektif Seyyed Hossein Nasr”
(2017). Sedangkan penulis yang kelima adalah Afsa Ruby Babullah, dengan judul
skripsi “Tasawuf Sebagai Metode Terapi Krisis Manusia Modern: Analisis Atas
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr” (2012). Alasan peneliti memasukkan judul
sekripsi ketiga sampai kelima ini adalah, karena pada ketiga judul skripsi tersebut
memiliki kesamaan tokoh pemikir dengan judul penelitian yang dilakukan kali ini.
Namun, terdapat perbedaan yang jelas antara ketiga judul tersebut dari judul
penelitian kali ini. Karena pada penelitian kali ini, memang tokohnya sama,
namun pembahasannya berbeda, mengingat pembahasan pada penelitian kali ini
adalah “KONSEP MANUSIA SEMPURNA: Perspektif Seyyed Hossein Nasr”
yang berbeda sama sekali dari ketiga judul di atas.
Untuk penulis yang terakhir (keenam) adalah Anis Lutfi Masykur,
dengan judul skripsi “Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr” (2017). Judul
terakhir ini dimasukkan peneliti karena, pada pembahasannya memiliki kesamaan,
yaitu “Konsep Manusia”. Namun, “Konsep Manusia” pada skripsinya Anis Lutfi
Masykur berbeda dari “Konsep Manusia Sempurna” yang sedang diteliti kali ini.
12
Karena “Konsep Manusia” yang ditulis Anis Lutfi Masykur adalah dalam
kerangka umumnya menurut Seyyed Hossein Nasr. Sedangkan penelitian kali ini
adalah “KONSEP MANUSIA SEMPURNA: Perspektif Seyyed Hossein Nasr”,
yang secara khusus membahas mengenai manusia sempurna.
Analogi yang tepat untuk menunjukan perbedaan secara fundamental
pada penelitian kali ini dari penelitian yang telah dilakukan oleh Anis Lutfi
Masykur adalah layaknya suatu cermin. Konsep manusia dalam pandangan Nasr
adalah sebatas layaknya cermin yang mencerminkan, dengan kata lain tidak
menentukan atau menjadi maksimal dalam bagaimanakah mestinya menjadi
cermin yang dapat mencerminkan dengan baik dan sempurna. Sementara berbeda
dari itu, konsep manusia sempurna dalam perspektif Nasr di sini adalah layaknya
cermin yang berusaha menentukan secara maksimal dalam bagaimanakah
mestinya menjadi cermin yang dapat mencerminkan dengan baik dan sempurna.
Dengan kata lain, ia adalah cermin yang bening tidak berdebu, tidak bertirai, dan
tidak ada kotoran sedikitpun yang menempel padanya, sehingga setiap yang
bercermin dapat tergambar dengan baik dan sempurna dalam cerminannya.
Dengan ini, penelitian yang dilakukan untuk menulis skripsi dengan
judul “KONSEP MANUSIA SEMPURNA: Perspektif Seyyed Hossein Nasr”
sangatlah dapat dilakukan oleh peneliti. Karena judul pada penelitian kali ini
belumlah pernah dilakukan penelitian sebelumnya.
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian kali ini adalah metode analitis
dan deskriptif. Analitis digunakan oleh peneliti agar dapat mengkaji dan
13
memahami permasalahan pada tema ini secara mendalam, serta dapat menuliskan
secara sistematis sehingga dapat mengena pada inti permasalahan. Sementara
deskriptif di sini digunakan agar peneliti mampu menjelaskan atau memberikan
gambaran secara gamblang mengenai judul pada penelitian ini.
Dalam penelitian kali ini, peneliti menggunakan teknik library research
(studi kepustakaan). Teknik ini berupaya untuk mengumpulkan data-data terkait
permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini dari berbagai macam sumber dan
literatur, baik sumber primer maupun sekunder. Mengenai data primer yang
dipakai oleh peneliti akan diambil dari dua (2) judul buku yang berbeda, keduanya
membahas mengenai poin utama dalam judul pada penelitian ini. Pertama adalah
“The Essential Seyyed Hossein Nasr“ yang dieditori oleh William C. Chittick
(ed.), dan buku yang kedua adalah “Knowledge and the Sacred”.
Adapun untuk sumber sekundernya peneliti akan menggunakan beberapa
buku yang berkaitan dengan pembahasan pada penelitian kali ini. Seperti buku
yang berjudul “Man and Nature, Traditional Islam in the Modern World, Islam
and the Plight of Modern Man”, dan beberapa buku lain dari karya tulis Nasr yang
berkaitan dengan pembahasan kali ini. Beberapa buku lain yang dalam
pembahasannya berkaitan dengan tema penelitian kali ini juga dimasukkan oleh
peneliti sebagai sumber pendukungnya. Seperti buku “The Philosophy of Seyyed
Hossein Nasr, Sufi Essays, Science and Civilization in Islam”, dan beberapa buku
lain yang berhubungan dengan pembahasan kali ini.
Pembahasannya di sini terdiri dari beberapa poin utama sebagai variabel
yang melengkapi sehingga membentuk suatu pemahaman yang utuh pada judul
14
penelitian kali ini. Beberapa di antaranya adalah mengenai biografi Seyyed
Hossein Nasr yang merupakan tokoh utama pada judul penelitian ini. Di dalamnya
nanti akan mengupas mengenai “mengapakah sosok Seyyed Hossein Nasr yang
ditunjuk sebagai penggagas konsep manusia sempurna (al-Insān al-Kāmil)” pada
penelitian kali ini.
Selanjutnya adalah konsep manusia sempurna dalam gagasan umum
seperti para tokoh pendahulu Nasr. Tujuannnya, untuk di wilayah manusia dalam
gagasan para pendahulu Nasr, adalah sebagai pembanding, pengaruh, dan
keterkaitan terhadap pemikiran Nasr. Setelah itu akan dikupas secara tuntas
gagasan mengenai “KONSEP MANUSIA SEMPURNA: Perspektif Seyyed
Hossein Nasr” berikut unsur-unsur penting di dalamnya serta contoh-contoh
mengenai bagaimanakah manusia sempurna itu semestinya.
Teknik penulisan pada penelitian ini berdasarkan pada Pedoman
Akademik tahun 2013/2014 Program Strata 1 UIN Syafi Hidayatullah Jakarta,
yang diterbitkan oleh Biro Administrasi dan Akademik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan pada penelitian ini
mengacu pada sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan oleh
HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin).
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian kali ini diawali dengan
menguraikan dari bab I hingga bab V. Dimulai dari bab I yang berisikan
pendahuluan seperti latar belakang masalah yang akan menjelaskan secara umum
15
keseluruhan bab yang akan diajukan. Dilanjutkan dengan bab II yang akan
mendeskripsikan tokoh Seyyed Hossein Nasr secara lengkap. Dimulai dengan
biografi Seyyed Hossein Nasr, hingga membahas beberapa karya otentik dari
Nasr. Di dalamnya akan dijelaskan secara umum mengenai siapakah Seyyed
Hossein Nasr itu, yang mana tokoh ini diketahui masih hidup di masa sekarang
dan menjadi penggiat aktif di bidang falsafah. Oleh karena itu di dalam
pembahasan bab II mengurai panjang mengenai aspek historis serta perjalanan
latar intelektual dari Seyyed Hossein Nasr.
Bab III berisi kerangka umum mengenai “Konsep Manusia Sempurna”
sebagai landasan awal dalam merumuskan “KONSEP MANUSIA SEMPURNA:
Perspektif Seyyed Hossein Nasr”. Setiap pembagian sub judulnya tersebut terdiri
dari beberapa variabel. Pertama membahas mengenai pengertian manusia
sempurna secara etimologi dan juga secara terminologinya. Setelah itu akan
diuraikan gagasan mengenai manusia sempurna dalam ajaran Islam, selanjutnya
gagasan tentang manusia sempurna dalam pandangan para tokoh pendahulu Nasr.
Karenanya, pada pembahasan utamanya nanti akan terlihat perbandingan,
pengaruh, dan keterkaitan antara konsep manusia sempurna dalam pemikiran para
pendahulu dengan pemikiran Nasr.
Pada pembahasan intinya dimasukkan kedalam bab IV. Yakni bab
mengenenai “Manusia Sempurna Menurut Seyyed Hossein Nasr”. Jika dalam bab
II peneliti hanya menjelaskan mengenai biografi umum Seyyed Hossein Nasr, dan
bab III Peneliti mengurai konsep umum mengenai manusia sempurna, maka
dalam pembahasan inti peneliti akan menganalisa sekaligus mendeskripikan
16
kajian terhadap judul yang diangkat secara lebih mendalam, yaitu “KONSEP
MANUSIA SEMPURNA: Perspektif Seyyed Hossein Nasr”. Perbedaan yang
mendasar dalam bab IV adalah tinjaun yang dideskripsikan bersifat khusus dalam
perspektif Seyyed Hossein Nasr. Analisa terhadap bab IV dipertajam melalui
pengambilan langsung dari sumbera slinya “The Essential Seyyed Hossein Nasr”
dan “Knowledge and the Sacred”.
Kesimpulan serta saran dan masukan akan dihadirkan dalam bab terakhir,
yaitu bab V. Kesimpulan dihadirkan untuk memberikan jawaban pada pertanyaan
yang ada pada rumusan masalah sebagaimana telah dirumuskan sebelumnya.
Selain itu, tujuan lain dari kesimpulan ini dihadirkan adalah untuk memberikan
sikap kritis terhadap pandangan Nasr mengenai manusia sempurna. Adapun saran
dan masukan dihadirkan di sini untuk tidak memandang gagasan Nasr mengenai
manusia sekedar dari apa yang ada pada penelitian ini. Karena tidak mungkin
melakukan pengisolasian terhadap pemikiran Nasr mengenai manusia yang
menyangkut segala bidang, seperti keterkaitan antara manusia dengan Tuhan,
alam, dan ilmu pengetahuan yang ditinjau dari segi teologis, kosmologis, dan
epistemologis.
17
BAB II
BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR
A. Latar Kehidupan
Sebagaimana telah umum diketahui bahwa Seyyed Hossein Nasr adalah
salah satu tokoh pemikir Islam yang paling terkemuka pada masa kini.1 Hal ini
dapat ditemui pada pemikirannya yang mencakup segala bidang. Kepiawaiannya
dalam menulis dan menyampaikan gagasan-gagasannya, dan yang lebih utama,
kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam setiap gagasannya tersebut
sangatlah sesuai dengan permasalahan dan keadaan masa kini. Dalam hal ini,
masalah yang dimaksud dengan masa kini adalah, tegas Nasr, masalah yang ada
pada peradaban modern yang cenderung bobrok. Oleh karena itu, peneliti
sangatlah tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih mendalam mengenai
pemikirannya tersebut.
Bagi peneliti yang menarik adalah saat ia membahas suatu permasalahan
tidaklah lepas dari permasalahan yang lain. Maka dari itu, apa yang dilakukan
oleh Nasr dalam mengkaji suatu permasalahan sangatlah runtut dan komperehen
terkait antara gagasan yang satu dengan gagasan yang lain. Cirikhas inilah yang
menjadi corak pemikiran Nasr yang nantinya akan tampak pada pembahasan
utamanya. Oleh karena itu, pembahasan mengenai biografi Seyyed Hossein Nasr
hadir di sini sebagai pengupasan terhadap tokoh yang sedang dikaji pemikirannya
pada pembahasan kali ini. Dengan demikian di dalamnya akan membahas
1Seyyed Hossein Nasr. “Reply to Leonard Lewisohn” dalam Lewis Edwin Hahn, Dkk.
(ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. (United States of America: TheLibrary of Living
Philosophers. 2001). 680
18
persoalan seputar pada “latar kehidupan, latar intelektual, dan beberapa karyanya”
sangatlah penting untuk dituliskan dalam bab tersendiri. Hal ini dilakukan agar
analisa terhadap pemikiran Seyyed Hssein Nasr lebih mudah untuk dilakukan.
Seyyed Hossein Nasr lahir di kota Teheran yang ada di negara Iran pada
tahun 1933.2 Ia dilahirkan dalam suatu keluarga yang diketahui adalah keluarga
yang terpelajar di kota Teheran. Hal ini dapat dilihat melalui ayahnya yang
bernama Seyyed Valīallāh yang lahir pada tahun 1871 adalah seorang profesor
pada salah satu universitas di Teheran. Valīallāh merupakan seorang ulama
terkenal di Iran dan juga seorang guru dan dokter pada masa dinasti Pahlavi, Reza
Shah. Yang mana pada kebijakan rancangan besarnya (dinasti Pahlavi, Reza
Shah), membawa Iran kedalam dunia modern. Gelar Seyyed (sādāt) adalah gelar
yang secara pertalian keturunan diruntut pada Nabi melalui ayahnya.3
Latar belakang keluarga Nasr adalah penganut aliran Syi‟ah tradisional
yang memang menjadi aliran teologi Islam yang banyak dianut oleh penduduk
Iran. Dominasi paham Syi‟ah di Iran bertahan sampai sekarang, walaupun telah
terjadi revolusi. Hal ini disebabkan karena paham Syi‟ah telah lama hidup di Iran
yang banyak didukung oleh para ulama terkenal dan berpengaruh.4
Pada masa kecilnya, yaitu ketika ia masih berusia sekitar sepuluh tahun,
ia telah bertemu dengan beberapa sarjanawan yang penting pada waktu itu. Para
sarjana tersebut sedang berdiskusi dan berdebat mengenai suatu permasalahan
2William C. Chittick (ed.). The Essential Seyyed Hossein Nasr. h. ix
3Lewis Edwin Hahn, Dkk. (ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. h. 3-4.
4Maftukhin. Filsafat Islam. cet. I. (Yogyakarta: Penerbit Teras. 2012). h. 199-200
19
yang mengambil tempat di rumahnya. Nasr juga menyaksikan dan mendengarkan,
bahwa permasalahan yang diperdebatkan adalah seputar mengenai persoalan
falsafah Barat. Namun yang paling penting, sebagaimana yang ia katakan, adalah
pembicaraan dengan ayahnya yang menghabiskan waktu berjam-jam dalam
membicarakan persoalan tentang isu-isu falsafis dan teologis. Baginya itu adalah
aspek esensial mengenai pendidikan falsafah yang ia peroleh untuk pertama
kalinya. Dari situ dapat dilihat bahwa sejak berusia kanak-kanak, Nasr memiliki
kecenderungan kuat pada kegiatan intelektual.5
Sejak awal Nasr memang sudah memperoleh pendidikan. Sebagaimana
telah ditemukan dalam beberapa catatan bahwa ia telah memperoleh beberapa
pendidikan tradisional di Iran. Pendidikan tradisional ini diperoleh melalui dua
jalan, yaitu secara formal dan informal. Pendidikan tradisional formalnya ia mulai
ketika ia berusia lima tahun di Nearby School dan kemudian berlanjut ke
Shahabad Avenue. Dua tahun kemudian ia dan keluarganya pindah ke rumah
barunya yang berada di sebelah utara dekat dengan Shahreza Avenue. Di sana ia
masuk di sekolah Zoroastrian School yang diketahui sebagai sekolah yang
berkualitas.6
Sedangkan pendidikan informalnya ia dapat dari keluarganya, terutama
dari ayahnya. Obsesi Valiāllah sangat besar terhadap Hossein Nasr agar menjadi
orang yang memperjuangkan kaum tradisional dan nilai-nilai ke-Timuran.7
Namun sayangnya, pendidikan yang ia peroleh dari ayahnya itu tidak berlansung
5William C. Chittick (ed.). The Essential Seyyed Hossein Nasr. h. ix-x
6Lewis Edwin Hahn, Dkk. (ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. h. 9
7Lewis Edwin Hahn, Dkk. (ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. h. 9
20
lama. Karena ketika Nasr berusia tigabelas tahun ayahnya jatuh dalam sebuah
kecelakaan yang membuatnya tidak dapat diselamatkan. Dan akhirnya hal ini
menjadikan suatu keputusan agar Nasr dikirim ke Amerika untuk belajar pada
tahun 1945.8
Sesampainya Nasr di Amerika, ia mendaftar dan bergabung pada salah
satu sekolah di sana, tepatnya di New York City yaitu Peddie Scholl di New
Jersey. Ia sangat cepat dalam belajar dan menguasai bahasa Inggris, dan kemudian
ia lulus dalam jangkah waktu empat tahun sebagai pemidato di hari kelulusan
dengan menunjukan bakat luar biasa pada bidang matematika dan sains. Nasr
melanjutkan ke Massacheusetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 1950.
Di institusi ini ia memperoleh pendidikan tentang ilmu-ilmu fisika dan
matematika teoritis di bawah bimbingan Bertrand Russel yang dikenal sebagai
seorang failasuf modern. Ia juga pernah bergabung pada kelompok kecil dalam
diskusi yang secara langsung bertemu dengan Bertrand Russel, serta sempat
mempertanyakan mengenai struktur alam fisik yang kata Bertrand Russel susunan
alam fisik adalah terdiri dari sebagaimana struktur matematik.9
Nasr banyak memperoleh pengetahuan tentang falsafah modern. Selain
bertemu dengan Bertrand Russel, Nasr juga bertemu dengan seorang ahli
metafisika bernama Giorgio De Santillana. Dari kedua ini Nasr banyak mendapat
informasi dan pengetahuan tentang falsafah Timur, khususnya yang berhubungan
dengan metafisika. Ia diperkenalkan dengan tradisi keberagamaan di Timur,
8William C. Chittick (ed.). The Essential Seyyed Hossein Nasr. h. x
9Lewis Edwin Hahn, Dkk. (ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. h. 15- 16
21
misalnya tentang Hinduisme. Selain itu Nasr juga diperkenalkan dengan
pemikiran-pemikiran para peneliti Timur, diantaranya yang sangat berpengaruh
adalah pemikiran Frithjof Schuon tentang perenialisme. Selain itu ia juga
berkenalan dengan pemikiran Rene Guenon, Ananda K. Coomaraswamy, Titus
Burchardt, dan Martin Lings.10
Pada tahun 1954, Nasr lulus dari MIT dengan waktu yang cukup singkat.
Ia tidak perlu waktu lama untuk menemukan tulisan-tulisan dari Ananda
Coomaraswamy dan Frithjof Schuon mengingat tulisan-tulisan itu adalah yang
digunakan sebagai sumber penelitiannya. Pada tahun 1956 Nasr berhasil meraih
gelar Master (MA) di Harvard dalam bidang geologi dan geofisika. Belum puas
dengan hasil tersebut, ia merencanakan untuk menulis disertasi tentang sejarah
ilmu pengetahuan dengan tetap melanjutkan studinya di Harvard University.
Dalam menyusun disertasinya Nasr dibimbing oleh George Sarton. Akan tetapi
sebelum disertasi ini selesai ditulisnya, George Sarton meninggal dunia, sehingga
Nasr mendapatkan bimbingan berikutnya oleh tiga orang professor, yaitu Bernard
Cohen, Hammilton A. R. Gibb dan Harry Wolfson. Disertasi ini selesai dengan
judul “Conceptions of Nature in Islamic Thought”11
yang kemudian
dipublikasikan oleh Harvard University Press dengan judul “An Introduction to
Islamic Cosmological Doctrines” pada tahun 1964.12
Dengan selesainya disertasi ini Nasr mendapat gelar Philosophy of
Doctor (Ph.D) dalam usia yang cukup muda yaitu 25 tahun tepatnya pada tahun
10
Lewis Edwin Hahn, Dkk. (ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. h. 17-19 11
Lewis Edwin Hahn, Dkk. (ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. h. 29 12
William C. Chittick (ed.). The Essential Seyyed Hossein Nasr. h. xi
22
1958. Dan kemudian pada tahun ini pula ia kembali ke Iran, dan menjadi salah
satu master dalam bidang kearifan Islam tradisional di sana. Tidak lama kemudian
ia menikah dan mempunyai keluarga. Istrinya bernama Soussan Daneshavary, ia
merupakan seorang perempuan yang berasal dari salah satu keluarga terpandang.
Pernikahan mereka dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan, yaitu
bernama Seyyed Vali Reza dan Laili.13
Nasr memulai karirnya sebagai profesor pada Fakulty of Letters Teheran
University dalam bidang falsafah dan sejarah sains yang selang waktunya tidak
lama setelah kepulangannya dari Amerika. Posisi ini ia tempati sampai tahun 1979
pada saat terjadi revolusi Iran.14
Pada saat bersamaan Nasr juga menjadi orang
yang pertama kali menjabat sebagai direktur pada Imperial Iranian Academy of
Philosophy, yaitu sebuah lembaga yang didirikan oleh Shah Reza Pahlevi dengan
tujuan untuk memajukan pendidikan dan kajian falsafah di Iran. Di sini Nasr
semakin aktif dalam kegiatan falsafahnya.15
Kegiatan filosofisnya, yang lebih khusus pada persoalan pemikiran ke-
Islaman tidak hanya berlangsung di negara Iran saja. Melainkan ia sering pergi
keluar negeri untuk memberikan kuliah atau seminar mengenai pemikiran-
pemikiran Islam dan ke-Timuran. Petualangannya ini ia mulai untuk pertama
kalinya saat ia mengunjungi suatu kongres di Pakistan pada acara Pakistan
Philosophical Congress. Dari situ Nasr mengenal beberapa filosof dan pemikir
13
Lewis Edwin Hahn, Dkk. (ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. h. 31 14
Lewis Edwin Hahn, Dkk. (ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. h. 31 15
Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003).
h.317
23
dari Pakistan, seperti Miān Muḥammad Sarīf yang pada waktu itu sedang sibuk
mengedit dua bagian buku dari “A History of Muslim Philosophy”, dan ia juga
berkontribusi pada buku tersebut dengan memasukkan beberapa esainya. Nasr
juga bertemu dengan Allāhbakhsh K. Brohi yang merupakan seorang intelektual
dan politikus di Pakistan.16
Sebagai seorang intelektual dan akademisi kredibilitas Nasr semakin
dikenal dalam dunia pendidikan. Khususnya pada suatu lembaga perguruan tinggi
dan kampus. Hal ini menjadikannya sering diundang untuk memberikan seminar
atau kuliah di luar negeri. Seperti saat ia memberikan kuliah tamu di Harvard
Amerika pada tahun 1962-1965. Kuliah tamu juga ia berikan pada Universitas
Amerika di Beirut (American University of Beirut) tahun 1964-1965, dan ia juga
menjadi direkur pada lembaga Aga Khan (Aga Khan Chair of Islamic Studies)
untuk kajian ke-Islaman pada universitas yang sama. Ia juga memberikan kuliah
tamu pada Universitas Chicago pada tahun 1966 atas seponsor Rockefeller
Foundation, dan di Giffort Lectures lembaga yang didirikan oleh Universitas
Edinburg tahun 1889.17
Pada tahun 1979 terjadilah revolusi Iran yang membuat Nasr dan
keluarganya harus terasingkan dari Iran dan membuat mereka harus bermigrasi ke
Barat. Mereka meninggalkan Iran pada tanggal 6 Januari 1979 bersama dengan
anak perempuannya dan sekaligus mencarikan sekolah untuk anak perempuannya
di London. Nasr pun menetap di salah satu universitas di Amerika Serikat dan
16
Lewis Edwin Hahn, Dkk. (ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. h. 56 17
Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam. h. 317-318
24
menjadi profesor studi Islam di George Washington University dan Temple
University di Philadelphia.18
Revolusi Iran tidak berlangsung lama, dan pada bulan Februari 1979
revolusi tersebut telah selesai. Nasr telah menghabiskan waktu selama dua bulan
di London selama revolusi itu berlansung, dan tidak lama kemudian ia kembali ke
Iran. Sekembalinya ke Iran, ia mendapati rumahnya telah dijarah, perpustakan dan
catatan-catatan ilmiahnya dirusak dan disita. Namun hal itu tidak menjadikannya
sebagi jalan buntu dalam kegiatan intelektual dan akademisnya. Ia mulai lagi
mengumpulkan sisa-sisa manuskrip dan catatan-catatannya yang masih ada, dan
mulai menulis lagi yang pada waktu itu ia memulai dengan membahas tentang
Mullā Sadrā dengan kerangka teks yang ia terima dari Kevorkian Lectures on
Islamic art.19
B. Latar Intelektual
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa kegiatan Seyyed Hossein
Nasr dalam dunia intelektual dan akademis dapat ditemui ketika ia untuk pertama
kalinya ke Amerika. Yaitu ketika ia sekolah di Peddie New Jersey. Ia sangat cepat
dalam belajar bahasa Inggris dan juga menunjukan talenta yang luar biasa dalam
bidang matematika dan sains. Sehingga ia lulus dengan waktu yang relatif lebih
cepat yaitu empat tahun dan menjadi pemidato saat lulusan (valedictorian).20
18
Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam.h. 319 19
Lewis Edwin Hahn, Dkk. (ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. h. 72-73 20
William C. Chittick (ed.). The Essential Seyyed Hossein Nasr. h. x
25
Kredibilitas Nasr sebagai intelektual dan akademisi semakin terlihat
setelah ia lulus dari MIT dan Harvard, yaitu sekembalinya ia dari Amerika ke
tanah airnya Iran. Karir intelektualnya ini mulai muncul saat ia menjadi profesor
dalam bidang falsafah dan sejarah sains pada Faculty of Letters at Teheran
University. Nasr membaca teks-teks falsafah Islam dalam waktu yang cukup
lama, lapis demi lapis cara dengan ketiga para master yang terkemuka dari abad
keduapuluh; Sayyid Muḥammad Kāzim „Assār, Allāmah Tabātabāī, dan Sayyid
Abu‟l-Hasan Qazwīnī. Nasr juga memiliki banyak kontak dengan beberapa master
dalam bidang falsafah dan sufisme.21
Selain menjadi profesor di universitas Teheran, Nasr juga menjadi orang
yang pertama kali menjabat sebagai direktur di Iranian Academy of Philoshophy
yang didirikan oleh Shah Reza Pahlevi. Lembaga ini bertujuan untuk memajukan
pendidikan dan kajian falsafah. Nasr berhasil dalam mengemban tugas ini
sehingga ia diberi gelar kebangsawanan oleh Reza Pahlavi.22
Selain itu Nasr juga bergabung dengan lembaga Husayniah Irsyad yang
didirikan oleh Ali Syari‟ati pada tahun 1967. Namun ketidaksepemahaman dan
ketidaksenangan di kemudian hari ada dalam benak Nasr terhadap Ali Syari‟ati.
Hal ini membuat Nasr keluar dari lembaga tersebut. Dalam lembaga tersebut
Syari‟ati lebih mengutamakan kepentingan politik dari pada keilmuannya. Lagi
pula, bagi Nasr Syari‟ati sangat keras dalam mengkritik dan menyerang ulama
tradisional. Selain itu, dalam pandangan Nasr Syari‟ati adalah salah seorang
21
William C. Chittick (ed.). The Essential Seyyed Hossein Nasr. h. xi 22
Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam. h. 317
26
penganut teologi liberal yang cenderung pada pemikiran Barat terutama Marxian.
Hal ini menjadi sesuatu yang sangat berbahaya bagi Nasr karena meninggalkan
dimensi-dimensi spiritual dalam Islam.23
Pada tahun 1979 saat terjadi revolusi Iran yang digerakkan oleh
Khumaini, memaksa Nasr untuk mengasingkan diri ke Amerika bersama dengan
keluarganya karena dituduh telah mendukung Shah Reza Pahlavi. Namun yang
perlu untuk dicatat di sini adalah, hal itu sama sekali tidak menjadikan kredibilitas
intelektual dan akademis Nasr menurun. Sebagaimana telah dibahas dalam subbab
sebelumnya, ia mulai lagi mengumpulkan sisa-sisa manuskrip dan catatan-
catatannya yang masih tersisa, dan mulai menulis lagi yang pada waktu itu ia
memulai dengan membahas tentang Mullā Sadrā dengan kerangka teks yang ia
terima dari Kevorkian Lectures on Islamic art. Kredibilitas intelektual Nasr pasca
terjadinya revolusi Iran malah semakin berkembang. Hal ini dapat peneliti
temukan ketika membaca buku yang berjudul Wacana Baru Falsafah Islam yang
ditulis oleh Khudori Soleh, didalamnya mengatakan:
“Ia menguasai beberapa kajian keilmuan, antara lain, sejarah Timur dan
Barat, falsafah dan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, kajian-kajian teologis
Islam dan Kristen baik yang klasik maupun kontemporer, dan
perkembangan studi Islam baik mistisisme, spiritualitas, seni, maupun
budaya. Krena itu Nasr diangkat menjadi Guru Besar Studi Islam di
George Woshington University dan Guru Besar Studi Islam dan Agama-
agama pada Temple University Philadelphia”.24
Kegiatan Nasr dalam dunia intelektual akademis memang sangatlah aktif.
Hal ini dapat dijumpai pada pembahasan sebelumya yaitu seperti memberikan
23
Maftukhin. Filsafat Islam. h. 201-202 24
Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam. h. 319
27
kuliah, seminar-seminar dan bahkan menulis. Kegiatan menulis inilah yang
menjadi salah satu kegiatan akademis yang digemari oleh Nasr karena ia dapat
menyampaikan gagasan-gagasan dan ide-idenya. Ia aktif menulis artikel untuk
jurnal-jurnal ilmiah di berbagai negara. Antara lain Journal Milla wa Milla
(Melbourne, Australia), Journal Iran (yang terbit di London), Studies in
Comparative Religion (London, Inggris), Religious Studies (Cambridge, Inggris),
The Islamic Quartlly (London, Inggris), Hamdarad Islamicus, dan Word
Spirituality.25
Dalam suatu catatan tersendiri, dikatakan bahwa Nasr pernah datang ke
Indonesia pada bulan Juni 1993. Kedatangannya ini bertempat di suatu kampus
yang ada di daerah Jakarta Selatan, yaitu Universitas Paramadina atas undangan
Yayasan Wakaf Paramadina yang bekerjasama dengan penerbit Mizan. Pada
kesempatannya, ia memberikan ceramah tentang beberapa topik yang berbeda. Di
antaranya adalah tentang “Seni Islam”, yang sekaligus mempublikasikan bukunya
yang telah diterjemahkan dengan judul Spiritualitas dan Seni Islam melalui
penerbit Mizan yang ada di kota Bandung. Topik ceramah yang selanjutnya
disampaikan adalah mengenai “Spiritualitas, Krisis Dunia Modern dan Agama
Masa Depan”, serta “Falsafah Perenial”. Ketiga topik utama tersebut adalah topik
yang disampaikan oleh Nasr saat kunjungannya ke Indonesia pada Universitas
Paramadina.26
25
Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam. h. 320 26
Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam. h. 318-319
28
C. Beberapa Karyanya
Sebagai seorang intelektual dan akademisi dalam bidang pemikiran ke-
Islaman dan ke-Timuran, Seyyed Hossein Nasr tentunya sering kali mengikuti
kegiatan-kegiatan akademis baik dalam bentuk berdiskusi, memberikan kuliah
atau seminar, dan menulis. Mengingat ia adalah salah satu pemikir Islam kekinian
yang memiliki gagasan dan ide-ide menarik, serta yang lebih utama dari gagasan
tersebut adalah kebenaran yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana telah
dibahas sebelumnya bahwa salah satu kegiatan akademis yang digemari oleh Nasr
adalah menulis. Hal ini tentu saja akan menjadikan adanya sebuah karya dari
Nasr. Maka dari itu peneliti akan memasukan beberapa karya dari Seyyed Hossein
Nasr.
Sebelum peneliti membahas secara keseluruhan dari apa yang telah
ditemukan oleh peneliti mengenai karya-karya Nasr, peneliti ingin menyampaikan
terlebih dahulu bahwasannya sejauh ini peneliti baru menemukan karya-karya
Nasr yang ditulis dalam bahasa Inggris. Sebagaimana penelitian pada judul kali
ini mengenai “manusia sempurna” peneliti juga mengambil sumber utamanya
yang ditulis dalam bahasa Inggris. Beberapa sumber ini merupakan gagasan dan
ide hasil karya tulis Nasr yang dikumpulkan oleh beberapa editor. Seperti dalam
buku dengan judul “Teh Essential Seyyed Hossein Nasr” yang di dalamnya adalah
berisikan gagasan dan ide Nasr, namun editornya adalah William C. Chittick.
Selanjutnya adalah “The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr” yang dieditori
Lewis Edwin Hahm dkk. Di dalamnya juga terdapat tulisan dan gagasan dari Nasr
yang ditulis dalam bahasa Inggris..
29
Adapun karya-karya lain dari Nasr yang ada di tangan peneliti saat ini
masih ada sembilan (9) buku dengan judul yang berbeda. Pertama adalah buku
yang berjudul “Ideals and Realities of Islam” diterbitkan oleh George Allen dan
Unwin Ltd., London pada tahun 1966. Kedua adalah buku dengan judul “Man and
Nature” yang diterbitkan oleh Mandala Book, London pada tahun 1968. Buku
yang ketiga adalah buku yang berjudul “Science an Civilization in Islam” dan
diterbitkan oleh New American Library, New York pada tahun 1970. Buku
keempat adalah buku dengan judul “Sufi Essays” yang diterbitkan oleh George
Allen dan Unwin Ltd., London 1972. Kelima adalah buku yang berjudul “Islam
and the Plight of Modern Man” yang diterbitkan oleh Longman Group, London
pada tahun 1975. Keenam adalah buku yang berjudul “Traditional Islam in the
Modern World” yang diterbitkan oleh Foundation for Traditional Studies, Kuala
Lumpur pada tahun 1987. Buku ketujuh adalah buku yang berjudul “Knowledge
and the Sacred” yang diterbitkan oleh State University of New York Press, New
York pada tahun 1989. Kedelapan adalah buku yang berjudul “The Need for
Sacred Science” yang diterbitkan oleh Curzon Press Ltd., United Kingdom pada
tahun 1993. Buku terakhir, yaitu buku yang kesembilan adalah buku dengan judul
“A Young Muslim’s Guide to the Modern World” yang diterbitkan oleh KAZI
Publication, Inc, Chicago pada tahun 1994. Kesembilan buku dengan judul yang
berbeda tersebut adalah buku-buku karya Nasr yang saat ini ada di tangan peneliti.
Semua buku yang telah disebutkan di atas, bukanlah merupakan
keseluruhan dari pada karya Seyyed Hossein Nasr. Karena sebagaimana telah
disebutkan sebelumya bahwa buku-buku tersebut di atas hanyalah beberapa judul
30
buku yang saat ini ada di tangan peneliti. Apabila kita merujuk pada buku yang
berjudul “A Young Muslim’s Guide to the Modern World” kita akan mendapati
lebih banyak lagi mengenai karya Nasr. Sebagaimana dalam lembaran di bagian
awal dari buku tersebut telah dicatatkan dari pada buku-buku karyanya Nasr, lebih
tepatnya, yaitu pada halaman iv. Adapun dari pada catatan-catatan buku karya
Nasr dalam buku tersebut yang belum disebutkan di sini diantaranya adalah: “1.
Three Muslim Sages, 2. Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 3. Al-
Biruni: An Annotated Bibliography, 4. An Annotated Bibliography of Islamic
Science (3 vols.), 5. Islamic Science: An Illustrated Study, 6. Persia: Bridge of
Turquoise, 7. The Transcendent Theosophy of Sadr al-Din Shirazi, 8. Islamic Life
and Thought, 9. Muḥammad: Man of Allah, 10. Islamic Art and Spirituality, 11.
Isma’ili Contribution to Islamic Culture (ed.), 12. Philosophy, Literature and Fine
Arts: Islamic Education Series (ed.), 13. Shi’ism: Doctrines, Thought, Spirituality
(ed.), 14. Expectation of the Millenium (ed.), 15. Islamic Spirituality: Volume I,
Foundations (ed.), 16. Islamic Spirituality: Volume II, Manifestation (ed.), 17.
The Essential Writings of Frithjof Schuon (ed.)”.27
27
Seyyed Hossein Nasr. A Young Muslim’s Guide to the Modern World. (Chicago:
KAZI Publication, Inc. 1994). h. ix
31
BAB III
KONSEP UMUM MANUSIA SEMPURNA
A. Pengertian Manusia Sempurna
Sejuh apa yang telah ditemukan oleh peneliti pada penjelasan mengenai
manusia sempurna, istilah kata yang sering digunakan adalah sebagai berikut;
Perfect Man, al-Insān al-Kāmil, dan Universal Man. Istilah kata tersebut secara
bahasa dan penyebutannya memang berbeda, namun pada dasarnya keseluruhan
dari istilah kata tersebut memiliki maksud dan tujuan yang sama, yaitu untuk
menjelaskan konsep manusia sempurna.1 Maka dari itu, tidak perlu adanya
perdebatan mengenai istilah kata yang paling tepat di antara ketiganya dalam
penggunaannya untuk menjelaskan mengenai manusia sempurna. Dengan kata
lain, ketika peneliti menyebutkan salah satu dari istilah kata tersebut (Perfect
Man, al-Insān al-Kāmil, atau Universal Man), tidak lain hanyalah bertujuan untuk
menjelaskan mengenai manusia sempurna sebagaimana telah menjadi topik utama
pada penelitian kali ini. Karena yang disebut al-Insān al-Kāmil adalah sama
dengan Perfect Man, juga sebaliknya, yang disebut Perfect Man adalah al-Insān
al-Kāmil, yaitu “manusia sempurna”.2
Secara bahasa (etimologi), pengertian manusia sempurna sebagaimana
ketiga istilah kata di atas memiliki makna sebagai berikut; dengan mengambil
salah satu darinya yang bertujuan untuk menjelaskan ketiganya, yaitu al-Insān al-
Kāmil. Istilah kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata
1Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. Cet. I.
(Jakarta: Penerbit Paramadina. 1995). h. 126 2William C. Chittick (ed.). Ibn ‘Arabī: Heir to the Prophets. (Oxford: Oneworld
Publication, England. 2005). h. 12-13
32
dasar; kata dasar pertamanya adalah “al-Insān” yang memiliki arti dalam bahasa
Indonesianya adalah “manusia”, dan “al-Kāmil” yang memiliki arti kata dalam
bahasa Indonesianya adalah “sempurna”. Jadi, yang dimaksud dengan “al-Insān
al-Kāmil” dalam bahasa Arab adalah untuk menjelaskan mengenai “manusia
sempurna” yang dalam arti bahasa Indonesianya.3 Sama halnya dengan istilah
kata “Perfect Man” yang berasal dari bahasa Inggris dan terdiri dari dua kata dasar
pula; yaitu “Perfect” dengan arti Indonesianya “sempurna”, dan “Man” dengan
arti Indonesianya “manusia”. Istilah kata Perfect Man dipahami menjadi satu
kesatuan dalam istilah kata dengan satu makna utamanya, yaitu “manusia
sempurna”.4
Dari istilah kata tersebut, mengarahkan pada konsep manusia sempurna
secara keseluruhan. Maksudnya di sini adalah manusia yang telah diakui secara
keseluruhan dengan menyebutkannya sebagai manusia universal (Universal Man).
Ini adalah manusia universal yang digambarkan pada diri Adam sebagai prototipe
dari seluruh gambaran manusia. Gambaran manusia pada Adam adalah gambaran
manusia yang masih ada dalam level kosmik sebelum kejatuhannya ke bumi.5
Adam inilah yang natinya akan menjadi pembahasan pada poin selanjutnya
sebagai bentuk awal pengambaran Islam mengenai manusia sempurna.
Gagasan mengenai manusia sempurna ini pertamakali disampaikan oleh
ibn „Arabī. Ia menyebutnya dengan konsep atau doktrin tentang al-Insān al-Kāmil
3Abu Khalid. Kamus Arab al-Huda: Arab-Indonesia. (Surabaya: Fajar Mulya. Tt.). h.
32 dan 528-529 4Jhon M. Echols & Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 1976). h. 371, dan 425 5Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. h. 127
33
(manusia sempurna). Ungkapan al-Insān al-Kāmil memang pernah dipakai
sebelum ibn „Arabī, tetapi secara luas diduga bahwa tokoh inilah yang pertama
menggunakan ungkapan ini sebagai istilah teknis untuk menjelaskan konsepsi
manusia sempurna. Tokoh ini mengatakan bahwa alam adalah cerminan Tuhan,
dan cermin tersebut adalah beragam dalam kaitannya dengan kualitas cermin
tersebut. Keragaman kualitas cermin ini menunjukan adanya cermin yang mampu
mencerminkan Tuhan dengan baik, dan cermin yang tidak dapat mencerminkan
Tuhan dengan baik. Tergantung kualitas cermin tersebut; semakin bening dan
bersih cermin tersebut, akan semakin jelas cerminan yang ada di hadapannya.
Bagi ibn „Arabī cermin yang paling sempurna bagi Tuhan adalah manusia
sempurna; karena ia memantulkan semua asmā’ dan sifat-sifat Tuhan, sementara
makhluk lainnya hanya memantulkan sebagian dari asmā’ dan sifat-sifat itu.6
Dalam memahami konsep “manusia sempurna” tidaklah cukup dengan
hanya melihatnya secara lengkap baik secara bentuk atau sikap dan prilakunya.
Dengan ini peneliti menghubungkan pada apa yang dikatakan oleh Muthahhari
bahwasanya “pegertian „sempurna‟ tidak dapat dilihat sebagai suatu bentuk
kelengkapan”. Muthahhari mengataan bahwa antara “sempurna” dan “lengkap”
memilki perbedaan meskipun keduanya saling memiliki keterkaitan. Ia
menggambarkan layaknya bangunan, jika bangunan memiliki satu kekurangan
tiang atau pilar di dalamnya, bangunan demikian dianggap tidak “lengkap”, tetapi
suatu bangunan mungkin saja dianggap lengkap meskipun telah ada yang lebih
lengkap darinya satu atau dua tingkat di atasnya, inilah yang dinamakan
6Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. h. 126
34
“sempurna” olehnya. Muthahhari mengatakan bahwasannya “lengkap” adalah
perkembangan secara horisontal, sementara “sempurna” adalah perkembangan
secara vertikal. Dari itu, pengertian mengenai kesempurnaan yang bertingkat ini,
menunjukkan bahwasannya ada tingkatan kesempurnaan paling tinggi; jika ada
manusia sempurna, pasti ada yang lebih sempurna darinya, dan kesempurnaan itu
tidak lain hanyalah Yang Maha Sempurna.7
Sejalan dengan penjelasan Muthahhari bahwasannya yang sempurna
adalah perkembangannya secara vertikal, berarti konsep mengenai manusia
sempurna adalah manusia yang meningkat kualitas dan dedikasinya secara
vertikal. Apabila peningkatan dan perkembangan manusia secara horisontal
adalah dikatakan sebagai manusia yang memiliki hubungan dengan manusia atau
makhluk lainnya, maka, perkembangan dan peningkatan secara vertikal adalah
peningkatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Lalu, apakah yang
disebut dengan peningkatan dan perkembangan secara vertikal pada diri manusia?
Muthahhari mengatakan bahwa dalam al-Quran menggambarkan manusia adalah
sebagai makhluk pilihan Tuhan; sebagai khalīfah-Nya di muka bumi ini dan
menjadi makhluk semi-samawi dan semi-duniawi, dan di dalam dirinya
tertanamkan sifat mengakui akan ke-Tuhanan. Manusia menjadi makhluk yang
bebas dan dapat dipercaya mengenai tanggung jawabnya terhadap diri sendiri atau
alam semesta, serta karunia akan keunggulannya dari langit dan bumi.8 Manusia
7Anis Lutfi Masykur. ”Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr”. (Skripsi Program
Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2017). h. 57 8Murtadha Muthahhari. Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama. Terj. Mizan
Team. Cet. V. (Bandung: Mizan. 1990). h. 121
35
dengan kesadaran akan sifat dasar inilah yang disebut Muthahhari sebagai
manusia sempurna dengan perkembangannya secara vertikal.
B. Manusia Sempurna Menurut Ajaran Islam
Manusia dalam pandangan Islam selalu dikaitkan dengan kisahnya
tersendiri yang berbeda dari makhluk lain di muka bumi. Ia tidak hanya
digambarkan sebagai hewan berkelas tinggi, tetapi lebih dari itu, manusia
memiliki keluhuran dalam dirinya yang sukar untuk didefinisikan dengan kata-
kata. Dalam al-Quran, manusia berulang kali diangkat derajatnya bahkan melebihi
alam surga, bumi, serta malaikat. Pada saat yang sama, manusia dijatuhkan
derajatnya bahkan sampai pada tingkatan yang lebih rendah dari binatang buas,
bahkan setan terkutuk. Manusia dikaruniai dengan kemampuan sehingga dapat
digunakan untuk menaklukan alam, namun mereka juga dapat merosot menjadi
yang paling rendah dari segala yang rendah. Maka dari itu, manusia sendirilah
yang dapat menentukan nasib akhir mereka tersebut.9
Lalu, bagaimanakah penggambaran Islam mengenai manusia yang
sempurna tersebut?
“Menurut ajaran Islam, seorang manusia yang hidup di bawah naungan
pokok ajaran dan bimbingan Allah sesuai dengan perintah-Nya,
dinyatakan sebagai Adam. Kehendak Allah bahwa manusia secara
keseluruhan selayaknya mengikuti petunjuk Allah agar dapat mencapai
tempat dan kondisi yang dekat dengan Allah dan menyatu dengan Allah,
Penciptanya”.10
9Murtadha Muthahhari. Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama. h. 117
10H. Ali Akbar. Tuhan dan Mnusia. h. 138-139
36
Pokok-pokok ajaran Islam mengatakan bahwa Adam mewakili manusia
yang beradab. Manusia akan mencapai keadaan beradab apabila ia secara mental,
moral, dan spiritual ada dalam keadaan yang baik tanpa memperdulikan keadaan
hidupnya. Dengan kata lain, manusia beradab adalah manusia yang tidak
mementingkan urusan keduniawiaan seperti harta, tahta, dan lain sebagainya
sehingga membuatnya lalai akan petunjuk yang mengarahkannya pada kedekatan
dengan Tuhan. Manusia yang seperti ini akan mencapai setatus layaknya Adam
dan menjadi anak-cucu Adam dengan memiliki mental, moral, dan spiritual yang
baik sebagaimana penggambaran Adam sebagai manusia yang beradab dalam
ajaran Islam.11
Dalam hal ini, Muthahhari melihat segi-segi positif manusia yang terdiri
dari beberapa bagian. Di antara segi positif yang dimiliki oleh manusia adalah
bahwa ia adalah makhluk sempurna Tuhan; ia adalah khalīfah Tuhan di muka
bumi, ia berbeda dari makhluk lain dengan kapasitas inteligensinya yang tinggi.
Manusia juga mempunyai kecenderungan untuk dekat dengan Tuhan, menyadari
akan kehadiran Tuhan dalam sanubari mereka. Akibatnya, segala keraguan dan
keingkaran pada Tuhan akan muncul ketika manusia menyimpang dari
fitrahnya.12
Penunjukan manusia sebagai pemimpin di muka bumi adalah beban
yang diberikan oleh Allah, dan bukan kehendak manusia itu sendiri, melainkan
kehendak Sang Pencipta alam semesta. Dengan penyerahannya sebagai pemimpin
di muka bumi ini, maunsia harus tunduk pada perjanjian atas penyerahan
kepemimpinannya itu yang dipercayakan padanya, dengan demikian manusia
11
H. Ali Akbar. Tuhan dan Mnusia. h. 139 12
Murtadha Muthahhari. Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama. h. 117-118
37
mengemban amanah Tuhan di mana makhluk-makhluk lain meskipun tubuhnya
lebih besar dari manusia enggan untuk menerimanya.13
Manusia dengan fitrahnya mengandung unsur surgawi dalam dirinya,
yang berbeda dari unsur badani sebagaimana yang dimiliki oleh makhluk bumi
pada umumnya seperti tumbuhan, binatang, dan benda-benda materil lainnya.
Unsur-unsur itu merupakan kesenyawaan antara alam nyata (fisika) dan
metafisika, antara rasa dan non-rasa (materi), antara jiwa dan raga. Penciptaan
manusia pun benar-benar telah diperinci, yang mana hal tersebut bukanlah suatu
kebetulan. Karenanya manusia merupakan makhluk pilihan yang bersifat bebas
dan merdeka. Manusia diberikan kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkahi
dengan risalah yang diturunkan melalui nabi, dan dikaruniai rasa tanggung jawab.
Manusia diperintahkan untuk mencari nafkah dengan inisiatif dan usaha mereka
sendiri, dan mereka pun bebas memilih kesenangan atau kesengsaraan.14
Manusia dikaruniai dengan martabat yang mulia, dan pada kenyataannya
manusia diciptakan oleh Tuhan berbeda dari makhluk-makhluk lainnya. Manusia
dapat menghargai diri mereka sendiri ketika mereka dapat merasakan kemuliaan
martabat tersebut, yang melepaskan diri mereka dari kepicikan atas segala
kerendahan budi, nafsu, dan penghambaan pada keduniawiaan seperti harta,
jabatan dan lain sebagainya. Manusia memiliki kesadaran akan nilai-nilai, moral,
etika, dan mereka dengan fitrahnya sadar akan perbedaan mana yang baik dan
mana yang buruk. Jiwa mereka tidak akan pernah damai kecuali hanya dengan
13
Muḥammad Imarah. Karakteristik Metode Islam. Terj. Saifullah Kamalie. (Jakarta:
Media Da‟wa. 1994). h. 45 14
Murtadha Muthahhari. Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama. h. 118-118
38
mengingat Allah, karena keinginan yang ada dalam benak mereka tidaklah
terbatas dan menyebabkan mereka tidak pernah puas dengan apa yang mereka
peroleh. Sementara di lain sisi, mereka diangkat ke arah yang lebih tinggi untuk
dapat lebih dekat dengan Yang Maha Kuasa.15
Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan agar mereka tunduk kepada-
Nya, dan patuh kepada setiap perintah dan larangan-Nya yang menjadi tanggung
jawab setiap manusia. Manusia tidak akan dapat memahami dirinya sendiri
kecuali dengan sujudnya kepada Tuhan dan selalu ingat akan-Nya. Apabila
mereka melupakan Tuhan, berarti mereka telah melupakan dirinya sendiri, dan
dengan ini mereka tidak akan pernah tahu siapa diri mereka, untuk apa mereka
ada dan hidup di bumi ini, serta apa yang seharusnya mereka perbuat. Manusia
tidak hanya terpenuhi dengan kebutuhan-kebutuhan duniawi saja, yang dengannya
kebutuhan-kebutuhan bendawi bukanlah satu-satunya yang mereka cari; tetapi
lebih dari itu, mereka selalu berusaha untuk memperoleh sesuatu yang lebih luhur
dalam hidup mereka. Dengan kata lain, manusia tidak mengejar suatu tujuan
tertentu kecuali mengharap keriḍaan Tuhan.16
C. Manusia Sempurna Menurut Beberapa Failasuf Islam
C.1. Manusia Sempurna Menurut Ikhwān al-Shafā
Ikhwān as Shafā adalah sekelompok persaudaraan yang diketahui hidup
pada masa kaum Ismī‟īlī (Ismā‟īliyyah), dan Ikhwān al-Shafā dianggap sebagai
bagian dari mereka. Kehidupan mereka teridentifikasi pada abad sekitar 10 atau
15
Murtadha Muthahhari. Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama. h. 119-120 16
Murtadha Muthahhari. Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama. h. 120-121
39
11 Masehi. Namun mengenai identitas mereka secara jelas belumlah diketahui.
Tepatnya, yaitu identitas setiap anggota yang ada dalam persaudaraan tersebut
tidaklah disebutkan dalam beberapa risalah yang merupakan karya mereka.
Karena bagi mereka ini adalah cara kerahasiaan yang mereka upayakan agar
identitas mereka tidak diketahui oleh orang lain hingga sekarang.17
Dalam pandangan Ikhwān al-Shafā, manusia adalah mikrokosmos.
Dengan kemampuan yang ia miliki, manusia dapat memahami dirinya sebagai
replika dari alam semesta, menganggap alam sebagai bagian dari dirinya. Ia
menjadikan alam sebagai pengetahuan dari Tuhan untuk dipahami sebagai
jelmaan dalam bentuk dirinya yang lebih kecil. Sementara alam adalah ciptaan
Tuhan; dalam alam terdapat Jiwa Universal yang terpancari oleh Akal Tuhan
sehingga teratur dengan rapi pada setiap gerakannya, sehingga menunjukan bahwa
alam adalah cermin bagi Tuhan. Jiwa manusia adalah bagian dari Jiwa Universal.
Oleh karenanya manusia sempurna adalah manusia yang bersikap sesuai dengan
cerminan aslinya, cermin asli adalah cermin Yang Pertama, yaitu Tuhan.18
“Manusia sebagai makhluk yang memiliki bentuk paling sempurna,
raganya dibuat dari bagian-bagian seluruh alam. Bahkan paling
menyerupai alam secara keseluruhan. Memiliki jiwa menyerupai jiwa
universal. Serta mekanisme daya-dayanya pun menyerupai semesta...
Secara keseluruhan, tidak ada satupun karakteristik hewan, barang
tambang, tumbuhan, rukun, orbit, bintang, rasi, atau makhluk apapun yang
tidak dimiliki oleh manusia. Sementara sifat-sifat manusia hanya dimiliki
oleh manusia. Atas dasar itulah para failasuf menilai manusia bersifat
mandiri. Jadi, dengan keajaiban struktur tubuh manusia, fungsi-fungsi
jiwanya yang unik, dan semua karakter yang dimilikinya, ciptaan, ilmu,
17
Ian Richard Netton. “Ikhwān al-Shafā”. dalam Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman
(ed.). Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Terj. Tim Penerjemah Mizan. Vol. I. (Bandung: Mizan.
2003). h. 274-275 18
Tanwirun Nadzir. “Konsep Mikrokosmos Perspektif Ikhwān al-Shafā”. (Skripsi
Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2016). h. 78
40
budi pekerti, pendapat, metode, serta efeknya yang bersifat jasmani dan
ruhani, mereka menyebut manusia sebagai miniatur alam”.19
Segala sesuatu yang ada dalam diri manusia memiliki kesamaan dengan
alam, baik secara materil atau non-materil. Seperti tubuh manusia digambarkan
sebagai miniatur dari alam yang tidak serupa, segala sesuatu yang ada pada alam
menjadi bagian dalam diri manusia; seperti barang tambang, tumbuhan, binatang
yang menjadi bagian dalam diri manusia. Selain kesamaan yang secara materil,
Ikhwān al-Shafā juga menjelaskan kesamaan antara manusia dengan alam yang
secara non-materil. Pada persoalan kesamaan mengenai yang non-materil, Ikhwān
al-Shafā menjelaskan jiwa dalam diri manusia yang memiliki tiga fakultas. Ketiga
fakultas tersebut di antaranya adalah: pertama adalah jiwa tumbuhan yang terbagi
dalam tiga daya; makan, tumbuh, dan reproduksi; kedua adalah jiwa hewan
dengan dua daya yaitu penggerak dan sensasi (persepsi dan emosi); terakhir
adalah jiwa manusia dengan daya yang menyebabkan berpikir dan berbicara
sehingga membedakanya dari makhluk lain.20
Oleh karena itu manusia adalah
makhluk paling sempurna dan lengkap; meskipun tubuhnya terdiri dari berbagai
bagian alam semesta, di mana bagian-bagian ini adalah sesuatu yang paling mirip
dengan seluruh alam semesta.21
Dalam pandangan Ikhwān al-Shafā alam adalah sesuatu yang diciptakan
untuk dijadikan sebagai pengetahuan bagi manusia. Namun hal itu tidaklah muda
bagi manusia; mengingat alam yang begitu luas, sementara usia manusia yang
19
Tanwirun Nadzir. “Konsep Mikrokosmos Perspektif Ikhwān al-Shafā”. h. 73 20
Sirajuddin Zar. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Cet. V. (Jakarta: Rajawali
Pers. 2012). h. 153 21
Tanwirun Nadzir. “Konsep Mikrokosmos Perspektif Ikhwān al-Shafā”. h.73-74
41
relatif pendek tidaklah mungkin untuk mengetahui alam secara keseluruhan. Oleh
karenanya, manusia diciptakan sebagai miniatur alam dengan segala bagian-
bagian dari alam terkandung dalam dirinya, sehingga ia lebih muda untuk
memahami alam semesta dengan kemampuan yang ia miliki. Dengan
menggambarkan manusia adalah sebagai miniatur alam, Ikhwān al-Shafā
mengarahkan pengetahuan manusia agar mengetahui bahwa alam adalah bagian
dari dirinya dan merupakan pancaran dari Akal Tuhan. Dengan Akal-Nya Tuhan
memancarkannya kepada Jiwa Universal yang menggerakan alam semesta melalui
„jiwa sederhana‟ pada setiap bagian tubuh yang ada pada alam semesta, sehingga
tetap teratur dalam setiap gerakannya.22
Jiwa Universal digambarkan Ikhwān al-Shafā sebagai jiwa alam semesta
secara keseluruhan. Kepada Jiwa Universal inilah Tuhan memancarkan Akal-Nya
sehingga terlaksanakan semua kehendak Tuhan bagi alam semesta. Jiwa Universal
ini memiliki kekuatan „tabiat universal‟ yang menjadi pengerak dan pengatur bagi
seluruh alam semesta melalui „jiwa sederhana‟.23
Dari Jiwa Universal memancar
keseluruh jiwa-jiwa yang ada seperti „jiwa sederhana‟, sementara jiwa manusia
sendiri adalah bagian dari Jiwa Universal tersebut. Jelas bahwa jiwa manusia
merupakan bagian dari Jiwa Universal yang merupakan bagian dari pancaran
Tuhan. Oleh karena itu manusia mestinya bersikap sesuai dengan cerminan
aslinya, dan cerminan tersebut adalah cerminan Yang Pertama, yaitu Tuhan.24
22
Mulyadhi Kartanegara (ed. ). Rasa’il Ikhwān al-Shafā. Buku Keenam. Terj. Ghazi
Salom. (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Depag RI. 2007). h. 209 23
Mulyadhi Kartanegara (ed. ). Rasa’il Ikhwān al-Shafā. h. 209 24
Tanwirun Nadzir. “Konsep Mikrokosmos Perspektif Ikhwān al-Shafā”. h. 78
42
C.2. Manusia Sempurna Menurut Ibn Bājjah
Ibn Bājjah dikenal sebagai salah satu pemikir atau failasuf Islam dengan
nama lengkap Abū Bakr Muḥammad ibn Yaḥya al-Tujībī al-Andalusī al-Saraqustī
yang lahir di kota Saragosa negara Sepanyol. Ia dikenal dengan sebutan Avempace
atau Avenpace dalam versi Latinnya, dan ia juga dikenal dengan sebutan al-Sā‟igh
mengingat ia adalah keturunan dari orang Yahudi, tetapi pada umumnya ia lebih
dikenal sebagai ibn Bājjah.25
Dalam catatan yang dibukukan oleh M. M. Sharif
ibn Bājjah adalah seorang pemikir dengan konsen pada persoalan mengenai
falsafah (materi dan form), psikologi, akal dan pengetahuan, falsafah politik,
etika, mistik, dan telah menghasilkan beberapa karya monumental.26
Dan salah
satu karya ibn Bājjah yang terkenal sejauh apa yang diketahui oleh peneliti adalah
Tadbīr al-Mutawaḥḥid.
Dalam pandangan ibn Bājjah, manusia sempurna adalah manusia
penyendiri. Maksud dari manusia penyendiri di sini adalah, ia yang dengan
pengaturan, tindakan, prilaku, sikap, dan pemikiranya sesuai dengan kehendak
dan tujuannya yang ia inginkan tanpa adanya campur tangan dari orang lain.
Konsepsi mengenai manusia penyendiri ini dapat ditemui dalam karyanya yang
terkenal, karyanya ini ia sebut dengan Tadbīr al-Mutawaḥḥid. Ketika membaca
karya tersebut akan mendapati gambaran ibn Bājjah mengenai manusia penyendiri
yang ia jelaskan sebagai manusia dengan kebahagiaan karena manusia tersebut
25
Ma‟an Ziyadah. “The Theory of Motion of Ibn Bājjah‟s Philosophy”. (Dissertasion to
the Faculty of Graduate Studies and Research of the Requeirements for the Degree of Ph. D. of
McGill University, Montreal. 1973). h. 2 26
Muḥammad Saghir Hasan al-Ma‟sumi. “Ibn Bājjah”. dalam M. M. Sharif (ed.). A
History of Muslim Philosophy. Vol. I. (Kempten: Allgauer Heimatverlag, Bayern, Germany.
1963). h. 511-525
43
dapat ber-Tadbīr al-Mutawaḥḥid.27
Lalu, apakah yang disebut dengan ber-Tadbīr
al-Mutawaḥḥid itu? Dalam menjawab pertanyaan ini, peneliti menjelaskannya
sesuai dengan apa yang dilakukan oleh ibn Bājjah dalam menjelaskan
konsepsinya mengenai Tadbīr al-Mutawaḥḥid.
“The term Tadbīr (regime) says Ibn Bājjah is used with different meanings.
The most common meaning, in general, is to indicate the arrangement of
actions in relation to an intended end. Thus it does not refer to a person
who performs one single action by which he intends a certain and”.28
(Istilah Tadbīr menurut ibn Bājjah digunakan dengan makna yang
berbeda. Makna yang sering digunakan, atau secara umumnya, adalah
untuk menujukan pengaturan dari tindakan-tindakan yang berhubungan
dengan tujuan akhir yang diniatkan. Karenanya ia tidak merujuk pada
seseorang yang melakukan sebuah tindakan yang dengannya dia
meniatkan sebuah tujuan tertentu.)
Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa istilah Tadbīr adalah suatu
bentuk pengaturan-pengaturan atas prilaku manusia yang berhubungan dengan
tujuan akhir yang diinginkan. Sementara istilah al-Mutawaḥḥid, ibn Bājjah
menjelaskan sebagai berikut;
“Al-Mutawaḥḥid may be translated as the man who remains alone, by
himself, apart of others; the solitary person who does not associate himself
with other people. It is also epithet applied to God, The One, The Sole
One, He whose attribute is unity in essence, and who has no like nor
equal. The Arabic verb, Tawahhada means, to be or to become alone, with
none to share or participate with him; and Tawahhada bil ‘Amr means to
be unique in a certain affair. Similarly Tawahhada bil Ra’yi means to be
or to become alone without any to participate with him in his opinion”.29
(Al-Mutawaḥḥid dapat diartikan sebagai seorang manusia yang tinggal
sendiri, dengan dirinya sendiri, terpisah dari yang lain; seorang
penyendiri yang tidak menyamakan dirinya dengan orang lain. Hal itu
27
Ma‟an Ziyadah. “Translation and Commentary on Tadbīr al-Mutawaḥḥid”. (Theses
to the Faculty of Graduate Studies and Research of the Requeirements for the Degree of Master of
McGill University, Montreal. 1969). h. 14-20 28
Ma‟an Ziyadah. “Translation and Commentary on Tadbīr al-Mutawaḥḥid”. h. 20 29
Ma‟an Ziyadah. “Translation and Commentary on Tadbīr al-Mutawaḥḥid”. h. 14-15
44
juga merupakan predikat yang diterapkan kepada Tuhan, Yang Satu, Yang
Satu-satu-Nya, Dia yang sifat-Nya itu bersatu dengan Dzat-Nya, dan Dia
yang tidak memiliki sesuatu yang menyamai-Nya. Kata kerja dalam
Bahasa Arab, Tawaḥḥada berarti, menyendiri atau menjadi sendiri, tanpa
seseorang untuk berbagi atau bekerja sama dengannya; dan Tawaḥḥada
bil ‘Āmr berarti berbeda dalam suatu urusan tertentu. Begitu juga dengan
Tawaḥḥada bil Ra’yi berarti sendiri atau menjadi sendiri tanpa
persamaan dengan dirinya dalam persoalan pendapatnya.)
Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa istilah al-Mutawaḥḥid
adalah suatu sikap atau prilaku yang mengambil tidakan untuk menyendiri,
dengan dirinya sendiri tanpa adanya peranan dari orang lain baik pada persoalan
prilaku atau pemikiran. Oleh karena itu, Tadbīr al-Mutawaḥḥid adalah suatu
pengaturan atas prilaku dan sikap yang mengambil tindakan untuk menyendiri,
dengan dirinya sendiri hingga sampai pada tindakan di mana peranan orang lain
tidak ada sama sekali. Namun yang perlu ditekankan di sini adalah, bukan berarti
manusia yang benar-benar sendiri tanpa berhubungan dengan orang lain, karena
manusia sendiri adalah makhluk sosial. Arti menyendiri di sini adalah
pengasingan secara prilaku, sikap, dan pemikiran dari kemungkinan yang merusak
dan menghancurkan tujuan utamanya karena adanya peran dari orang lain atau
masyarakat dengan perbuatan dan sikap yang tidak baik.30
Bagi ibn Bājjah, yang
mampu untuk ber-Tadbīr al-Mutawaḥḥid hanyalah manusia, sementara makhluk
lain tidak dapat melakukannya. Hal ini dikarenakan dalam diri manusia
terkandung keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya; keistimewaan
inilah yang dapat membuat manusia untuk ber-Tadbīr, dan secara umum
keistimewaan ini juga yang membuat manusia menjadi khalīfah.
30
Sirajuddin Zar. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. h. 200-201
45
Keistimewaan-keistimewaan dalam diri manusia sebagaimana penjelasan
ibn Bājjah dalam artikel kedelapan dari Tesis Ma‟an Ziyadah yang peneliti
sertakan dalam bentuk terjemahan adalah sebagai berikut;
Tindakan manusia yang berhubungan dengan Mutawaḥḥid dan yang bisa
dia lakukan terdiri dari tiga jenis, seperti yang telah kami sebutkan
(artikel sebelumnya dalam Tesis Ma’an Ziyadah). Beberapa dari
tindakan-tindakan tersebut berhubungan dengan forma korporeal, yang
lain dengan forma spiritual khusus karena memiliki hubungan yang khas;
dan beberapa berhubungan dengan forma universal yakni sesuatu yang
intelijibel.31
Marilah kita teliti hubungan antara forma-forma manusia dan subjek
(substratum) yang ada dalam manusia dan daya-dayanya. Jelas bahwa
manusia adalah subjek dari spesies dalam cara bahwa ia digambarkan
dengan spesies tersebut karena memiliki eksistensi dan daya (rasional).32
Maka, selaras dengan fakta bahwa manusia berbeda dari semua substansi
yang lain, dalam bentuknya yang berbeda dari semua bentuk dari benda-
benda mati lainnya. Ia lebih menyerupai bentuk dari benda-benda langit,
karena benda-benda langit memahami diri mereka sendiri dan substratum
yang mereka kualifikasi/sifati dan yang merupakan substratum mereka
dalam makna lain (yang akan ia gambarkan di bawah).33
Faktanya, manusia memiliki sifat yang menyebabkan suatu
kebingungan/membingungkan, karena sifatnya -sebagaimana terlihat-
adalah seperti perantara di antara badan langit yang abadi dan benda-
benda mati. Bagaimanapun, ini adalah sifat alami dari manusia untuk jadi
perantara, karena dalam alam/secara alami, perbedaan antara satu genus
dari yang lain adalah selalu menjadi suatu perantara....Faktanya, nampak
bahwa manusia merupakan salah satu dari keajaiban alam.34
Kutipan di atas semakin memperjelas posisi istimewa manusia. Ia
sebagai makhluk dengan sifat yang berbeda dari benda-benda langit dan bumi,
sekaligus sebagai perantara di antara keduanya. Manusia merupakan makhluk
istimewa dan ajaib; ini salah satu sebab mengapa ia diberi titah menjadi khalīfah
31
Ma‟an Ziyadah. “Translation and Commentary on Tadbīr al-Mutawaḥḥid”. h. 138 32
Ma‟an Ziyadah. “Translation and Commentary on Tadbīr al-Mutawaḥḥid”. h. 141 33
Ma‟an Ziyadah. “Translation and Commentary on Tadbīr al-Mutawaḥḥid”. h. 142 34
Ma‟an Ziyadah. “Translation and Commentary on Tadbīr al-Mutawaḥḥid”. h. 144
46
dalam Islam, dan hanya manusia yang mampu menyusun sebuah Tadbīr demi
mencapai kebahagiaan yang ia niatkan. Ibn Bājjah mengatakan, apabila para
failasuf tidak melakukan hal demikian mereka tidak akan mungkin dapat
berhubungan dengan Akal Fa‟al; karena pemikiran mereka akan merosot dan
tidak akan pernah mencapai Akal Mustafad, yakni akal yang dapat berhubungan
dengan Akal Fa‟al. Melalui keistimewaan yang ia miliki manusia dapat
menyendiri, dengan dirinya sendiri, dan meniru sifat ke-aḥad-an Allah. Dengan
keistimewaanya pula manusia dapat ber-Tadbīr, mengatur setiap tindakan dan
prilaku yang ia kerjakan demi tercapainya tujuan. Ber-Tadbīr dalam arti
mengatur, dihubungkan ibn Bājjah dengan Allah sebagai Sang Pengatur alam
semesta, sehingga tidak tampak sedikitpun kecacatan pada setiap pengaturan-Nya.
Dengan pandangannya yang seperti ini, ibn Bājjah dapat dikelompokan sebagai
failasuf yang mengutamakan amal untuk mencapai derajat manusia sempurna.35
D. Manusia Sempurna Menurut Beberapa Tokoh Tasawuf
D.1. Manusia Sempurna Menurut Ibn ‘Arabī
Ibn „Arabī adalah seorang sufi yang berasal dari keturunan suku Arab
kuno Tayy dan berasal dari kota Andalusia. Ia lahir bertepatan pada tanggal 28
Juli 1165 M, di Mursia, Spanyol bagian Tenggara. Nama lengkapnya adalah
Muḥammad ibn „Alī ibn Muḥammad ibn al-„Arabī al-Tā‟ī al-Hātimī. Ia lebih
dikenal dengan ibn al‟-Arabi (dengan al-), atau ibn „Arabī (tanpa al-) yang untuk
membedakannya dari ibn al-„Arabī lainnya. Ia juga lebih dikenal sebagai Muhyi
35
Sirajuddin Zar. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. h. 200-202
47
ad-Din (The Revivifier of the Religion)36
atau sang “Penghidup Agama”
sebagaimana William C. Chittick telah menyebutnya, atau al-Syaykh al-Akbar
(Syaikh Terbesar). Namun bagi Kautsar Azhari Noer, gelar kedua inilah yang
lebih dikenal dari pada gelar pertama.37
Dalam menggambarkan konsep manusia sempurna menurut ibn „Arabī,
peneliti memulainya dengan kutipan sebagai berikut;
“...God made man the soul of the Universe. All the species of the Universe
are the limbs of the body of which the soul (Man) is the controller. If Man
leaves the Universe, it shall perish38
...-...The cosmos, however, discloses
the full range of the divine names only when considered as a whole, along
with perfect human beings. Without the prophets and the friends of God,
the world would be dead, like a body without a spirit, and it would
disintegrate and disappear. If Perfect Man were to leave the cosmos, the
cosmos would die...”39
(...Tuhan telah menciptakan manusia sebagai jiwa dari alam semesta.
Seluruh sepesies dari alam semesta adalah cabang-cabang tubuh dari
yang mana jiwa (Manausia) adalah pengendalinya. Apabila Manusia
meninggalkan alam semesta, ia akan musnah...-...Alam semesta,
bagaimanapun, mengungkapkan cakupan yang utuh mengenai nama-nama
ilahi hanya ketika mempertimbangkan sebagai suatu keutuhan, bersama
dengan badan manusia yang sempurna. Tanpa para nabi dan para
sahabat dari Tuhan, dunia akan mati, seperti suatu tubuh tanpa adanya
suatu ruh, dan itu akan hancur dan menghilang. Apabila Manusia
Sempurna harus meninggalkan alam semesta, alam semesta akan mati...)
Ibn „Arabī menjelaskan bahwa tujuan dari diciptakannya alam semesta
adalah manusia itu sendiri. Maksudnya di sini adalah bahwa tanpa adanya tujuan
Tuhan untuk menciptakan manusia, alam semesta tidak akan pernah ada. Dengan
demikian maksud ibn „Arabī adalah, untuk menunjukan bahwa manusia adalah
tujuan dari diciptakannya alam semesta. Dalam pandangan ibn „Arabī, manusia
36
William C. Chittick (ed.). Ibn ‘Arabī: Heir to the Prophets. h. 4 37
Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. h. 17 38
Husaini. The Pantheistic Monism of Ibn ‘Arabī. h. 105 39
William C. Chittick (ed.). Ibn ‘Arabī: Heir to the Prophets. h. 31-32
48
adalah jiwa (soul) bagi alam semesta yang ia gambarkan sebagai manusia
sempurna (al-Insān al-Kāmil), di mana Adam menjadi perwakilan dari
kesempurnaan manusia secara keseluruhan, dan kesempurnaan tersebut adalah
berpuncak pada diri Nabi Muḥammad sebagai khalīfah Tuhan di muka bumi.40
Konsepsi manusia sempurna (al-Insān al-Kāmil) dalam pandangan ibn
„Arabī diklasifikasikan menjadi dua bagian. Di antara bagian tersebut adalah
manusia sempurna secara universal, dan selanjutnya adalah manusia sempurna
yang secara partikular atau individual. Berawal dari konsepsi mengenai manusia
sempurna secara universal, ibn „Arabī menjelaskan bahwasannya manusia
sempurna adalah manusia yang mencerminkan sifat-sifat dan asmā’ Tuhan.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa tujuan dari diciptakannya alam
semesta adalah manusia itu sendiri. Dengan ini yang dimaksudkan adalah, bahwa
setiap yang ada dalam alam raya tidaklah dapat mencerminkan sifat dan asmā’
Tuhan secara sempurna kecuali manusia. Oleh karenanya, tujuan diciptakannya
manusia adalah sebagai pengejewantahan sifat dan asmā’ Tuhan tersebut, dan
menjadi makhluk pilihan dan khalīfah Tuhan di muka bumi.41
Sejalan dengan penunjukan manusia sebagai pengejewantahan sifat dan
asmā’ Tuhan, ibn „Arabī mendasarkan pada sebuah Hadis Imago Dei yang di
dalamnya mengatakan bahwa “sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam
menurut bentuk-Nya”. Hadis Imago Dei yang disebut juga dengan Hadis Biblikal
karena memang ada dalam Bibel ini, ditafsirkan sebagai yang menyatakan bahwa
40
William C. Chittick (ed.). Imaginal Worlds: Ibn al-‘Arabī and the Problem of
Religious Diversity. h. 34-35 41
Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. h. 126
49
manusia diciptakan dalam bentuk Allah. Dan karenanya, manusia ditafsirkan
sebagai makhluk yang diciptakan menurut bentuk dari semua nama-Nya. Namun
Adam di sini bukanlah yang dipahami sebagai bapak dari seluruh umat manusia
dalam konteks historisnya, tetapi Adam sebagai perwakilan manusia secara
universal, atau hakikat manusia.42
Sementara penjelasan mengenai manusia sempurna secara partikular, ibn
„Arabī membuat dikotomi di dalamnya. Bagi ibn „Arabī, di dalam diri manusia
terdapat dua aspek utama; yaitu aspek internal dan eksternal. Aspek internal
adalah bagian dalam diri manusia yang berhubungan dengan Ilahiah, sementara
aspek intrnal adalah aspek dalam diri manusia yang berhubungan dengan dunia;
salah satu dari kedua aspek tersebut dapat mendominasi manusia sehingga
membentuk karakter manusia itu sendiri.43
Dalam hal ini, bagi ibn „Arabī terdapat
perbedaan antara manusia sempurna (al-Insān al-Kāmil) dari manusia binatang
(al-Insān al-Ḥayawan). Hal ini dapat dihubungkan pada sisi lain di mana ibn
„Arabī juga mengklasifikasikan pula antara “hamba Tuan” dan “hamba Nalar”.
Maksud dan tujuan dari ibn „Arabī adalah untuk menunjukkan bahwasannya tidak
semua manusia dapat menjadi manusia sempurna (al-Insān al-Kāmil), karena
manusia sempurna yang disebut oleh ibn „Arabī adalah manusia-manusia tertentu;
yaitu manusia-manusia pilihan seperti nabi dan para wali Allah.44
Sebagaimana dikotomi di atas, bahwa dalam pandangan ibn „Arabī
manusia sempurna adalah sama dengan hamba tuan, sementara manusia binatang
42
Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. h. 127 43
Husaini. The Pantheistic Monism of Ibn ‘Arabī. h. 105-107 44
Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. h. 133-136
50
adalah yang disebut dengan hamba nalar. Hamba tuan adalah gambaran dari
manusia yang tersingkap dari tabir akan Tuhan melalui daya intuitifnya, yaitu
manusia yang dapat melihat Tuhan melalui tajallī-Nya, bukan melihat Tuhan
melalui rasio atau akalnya. Manusia yang seperti ini adalah manusia yang
dianggap oleh ibn „Arabī telah menteladani diri Nabi Muḥammad (al-Insān al-
Kāmil) sebagai khalīfah Allah di bumi. Sementara hamba nalar adalah manusia
yang mengetahui Tuhan melalui nalar pikiran atau akal, ia menundukan Tuhan di
bawah hukum nalar. Dengan demikian ia telah mereduksi Tuhan menjadi sesuatu
yang rasional belaka. Bagi ibn „Arabī, manusia seperti ini adalah manusia yang
tidak dapat keluar dari belenggu akal, manusia yang tunduk dan menjadi abdi
akal, bukan pada Tuhan-nya.45
Ibn „Arabī dalam mendefinisikan manusia sangatlah berbeda dari
definisi-definisi lain. Bagi ibn „Arabī yang membedakan manusia dari makhluk-
makhluk lain bukanlah karena manusia memiliki akal, tetapi yang membedakan
manusia dari makhluk lain adalah sifat Ilahi yang ada dalam diri manusia tersebut.
Dalam pandangan ibn „Arabī, kemampuan berfikir tidak hanya dimiliki oleh
makhluk manusia saja, tetapi makhluk lain seperti yang ada di alam ini juga
memiliki kemampuan tersebut. Maka dari itu, ketika melihat manusia sebagai
hewan yang berakal, adalah suatu bentuk kekeliruan.46
Karena masih terdapat
dimensi lain dalam diri manusia yang tidak kalah penting dari akal, yaitu dimensi
ruhaniah.
45
Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. h. 136 46
Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. h. 135
51
D.2. Manusia Sempurna Menurut Jalāl al-Dīn Rūmī
Jalāl al-Dīn Rūmī adalah seorang sufi yang lahir di Balkh pada tanggal
30 September 1207, dan dikenal oleh para pengikutnya dengan julukan Maulānā.
Ia adalah anak dari Bahā‟uddīn Walad47
yang merupakan seorang teolog
terkemuka dengan kecenderungan mistik. Ayahnya Rūmī ini adalah seorang
keturunan dari Abu Bakar khalīfah pertama Islam sepeninggal Nabi
Muḥammad.48
Dari sini tampak terlihat bahwa Rūmī adalah seorang sufi yang
memang berasal dari keturunan yang sangat penting dan berpengaruh, khususnya
dalam Islam dan mistik Islam. Rūmī telah menghasilkan sebuah karya yang
menjadi magnum opus-nya, dan ia menamai magnum opus tersebut dengan
Mathnawi49
yang sangat terkenal di masa setelahnya khususnya di kalangan para
akademisi. Lalu, bagaimanakah konsepsi manusia sempurna menurut Jalāl al-Dīn
Rūmī?
Sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh ibn „Arabī, Rūmī
mengatakan bahwa manusia sempurna adalah sebagai tujuan dari diciptakannya
alam semesta. Rūmī memberikan penggambaran mengenai tujuan dari
diciptakannya manusia di dunia ini dengan analogi yang lebih muda untuk
dipahami baik oleh para awam atau para intelektual. Analogi yang digunakan
Rūmī untuk menjelaskan tujuan diciptakannya manusia ini, ia tuliskan dalam
bentuk puisi, yang oleh peneliti sertakan dalam kutipan sebagai berikut;
47
Annemarie Schimmel. Dimensi Mistik Dalam Islam. Terj. Sapardi Joko Damono, dkk.
Cet. III. (Jakarta: Pustaka Firdaus2009). h. 396 48
A. J. Arberry. Discourses of Rūmī. (Selangor: Thinker‟s Library, Malaysia. 1996). h. 1 49
Khalīfah Abdul Hakim. “Jalāl al-Dīn Rūmī” dalam M. M. Sharif. A History of Muslim
Philosophy. Vol. II. (Kempten: Allgauer Heimatverlag, Germany. 1966). h. 820
52
“Externally, the branch is the origin of the fruit; intrinsically the branch
came into existence for the sake of the fruit”.50
(Dari luar, cabang adalah asal dari buah; tetapi dari dalam cabang
muncul dalam penampakan demi alasan dari buah.)
Dalam puisi tersebut, sebagaimana penjelasan Mulyadhi Kartanegara
yang mengatakan bahwa kondisi manusia diperumpamakan oleh Rūmī dengan
buah. Walaupun buah itu tumbuh setelah dahan dan ranting pohon yang ada di
selah-selah dedaunan, tetapi pohon itu tumbuh untuk menghasilkan buah tersebut.
Mulyadhi melanjutkan, kalau bukan untuk mengharap buah, betapa petani
menanam sebuah pohon? Sesungguhnya seorang petani menanam pohon adalah
untuk mengharapkan buah dari pohon tersebut. Karena tanpa adanya buah yang
dihasilkan dari pohon tersebut, maka itu adalah pohon yang sia-sia. Hal ini dapat
dihubungkan pada ilmu, di mana pohon itu adalah ilmu tersebut yang tidak
memiliki manfaat sama sekali dalam bentuk pengamalan.51
Dalam hal ini, Rūmī menggambarkan Adam sebagai prototipe atau
perwakilan dari seluruh manusia sempurna, Adam diciptakan sesuai dengan
bayangan-Nya, Adam adalah makhluk pilihan sebagai khalīfah Tuhan dengan
berpengetahuan. Melalui karunia pengetahuan tersebut, seluruh nama-nama telah
diajarkan padanya. Adam adalah makhluk paling sempurna dari pada makhluk-
makhluk lainnya, dan makhluk-makhluk lain seperti iblis, malaikat, dan yang
lainnya diperintahkan untuk bersujud padanya. Manusia diberikan kebebasan
untuk memilih antara menikmati atau menderita dalam kepatuhan atau bahkan
50
Seyyed Hossein Nasr. “The Nature of Man” dalam William C. Chittick (ed.). The
Essential Seyyed Hossein Nasr. h. 65 51
Mulyadhi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf. h. 72
53
menentang terhadap ketentuan Tuhan. Manusia diberikan kepercayaan, di mana
langit dan bumi enggan untuk mengembannya; kepercayaan yang penuh dengan
penafsiran, kepercayaan yang dianggap sebagai tanggung jawab untuk bebas
berkehendak atau berkuasa secara individu. Akan tetapi, dalam pandangan sufi ini
manusia sering kali rindu akan rumahnya, rindu pada asal-musal mereka, yaitu
rindu pada Sang Pencipta.52
“We were in heaven, we were the companions of angles---
When will we return there again?”53
(Kita dahulu ada di sorga, kita adalah teman-teman dari para malaikat---
Kapankah kita akan kembali ke sana lagi?
Bahkan situasi ini digambarkan sebagaimana seruling yang telah
dipotong dari rumpunnya; manusia adalah seruling tersebut, ia rindu akan
rumpunannya, ia ingin kembali kerumahnya untuk menceritakan tentang rahasia
Ilahi dan kebahagiaan abadi pada setiap telinga yang mau mendengarnya.54
Selain
itu, penggambaran mengenai situasi ini telah terjewantahkan pula dalam
penjelasan Rumi mengenai evolusi manusia; evolusi yang meningkat, evolusi
berpuncak pada kesempurnaan diri, yaitu Penyatuan diri dengan Sang Pencipta.
Sebelum Darwin keluar dengan teori evolusinya mengenai manusia,55
pada waktu
yang lebih awal, Rūmī telah menggambarkan mengenai evolusi manusia dari
mulai manusia pada tingkat mineral menuju tingkatan manusia sempurna, yaitu
penyatuan diri dalam Kesatuan dengan Tuhan-nya. Dalam hal ini Rūmī
52
Annemarie Schimmel. Mystical Dimensions of Islam. (Bandung: Mizan with
permission from the University of North Carolina Press. 1975). h. 188-189 53
Annemarie Schimmel. Mystical Dimensions of Islam. h. 189 54
Annemarie Schimmel. Dimensi Mistik Dalam Islam. h. 403 55
George Ritzer & Douglas J. Goodman (ed.). Teori Sosiologi Modern. Terj.
Alimandan. Cet. IV. (Jakarta: Kencana. 2004). h. 49-50
54
menggambarkan posisi manusia di mana manusia dalam pandangan Rūmī
memiliki posisi yang sangat istimewa. Penggambaran ini berhubungan dengan
asal-muasal manusia itu sendiri, tentang dari mana asal manusia, dan kemana
manusia itu akan kembali. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut;
“Aku mati sebagai mineral dan menjadi tanaman,
Aku mati sebagai tanaman dan muncul sebagai hewan,
Aku mati sebagai hewan dan aku adalah Manusia.
Mengapa aku harus takut? Kapan pula aku berkurang karena mati?
Namun sekali lagi aku akan mati sebagai Manusia, untuk membumbung,
Dengan restu dari para malaikat; namun bahkan dari kemalaikatan
Aku akan lewat terus; semua kecuali Tuhan akan binasa.
Bila aku telah mengorbankan jiwa-malaikatku,
Aku akan menjelma sesuatu yang tidak terpikirkan.
O biarkanlah aku tak-berada! Karena Tak-Berada
Memaklumkan dalam nada-nada “Kepadanya kami akan kembali!”56
Evolusi manusia dari tingkatan paling renda menuju pada tingkatan yang
lebih tinggi dalam diri manusia tergambar sangat jelas dalam syair puisi di atas.
Penggambaran Rūmī menunjukan bahwasannya manusia bergerak menuju pada
tingkatan yang lebih sempurna dalam hidupnya. Pergerakan yang mengarah pada
sesuatu yang tidak terfikirkan, sesuatu yang “Tak-Berada”, pergerakan pada suatu
tempat bagi manusia yang memaklumkan nada-nada “kepada-Nya kami akan
kembali”.
56
Annemarie Schimmel. Dimensi Mistik Dalam Islam. Terj. h. 408-409
55
BAB IV
MANUSIA SEMPURNA MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR
A. Konsep Dasar Manusia Sempurna
Sebelum membahas lebih mendalam mengenai permasalahan kali ini,
peneliti ingin menyampaikan terlebih dahulu istilah kata yang sering digunakan
Seyyed Hossein Nasr dalam menjelaskan konsep manusia sempurna. Dalam hal
ini, Nasr sering kali menggunakan kata Universal Man, Perfect Man, dan al-Insān
al-Kāmil.1 Ketiga istilah kata tersebut adalah istilah kata yang sering digunakan
Nasr dalam menjelaskan konsep manusia sempurna.2
Dalam pandangan Nasr manusia sempurna adalah manusia yang dapat
mencerminkan sifat-sifat dan asmā‟ Tuhan serta seluruh alam semesta dalam
bentuknya yang lebih kecil (mikrokosmos). Menurut Nasr ini adalah gambaran
manusia yang dapat mengemban amanah Tuhan sebagai wakil-Nya (khalīfah) di
muka bumi, dan menjadi jembatan penghubung antara Langit dan bumi.
Gambaran inilah yang disebut dengan manusia sempurna (al-Insān al-Kāmil).
Gagasan tersebut adalah pandangan sufistik yang bersumber pada tasawuf falsafi.
Gagasan ini mencontohkan diri Nabi Muḥammad adalah sebagai puncak dari
evolusi manusia sempurna (Universal Man).3 Hal ini dapat ditemukan dalam
kutipan sebagai berikut;
“The Islamic conseption of man is summarized in the doctrine of al-Insān
al-Kāmil, the universal or perfect man, a doctrine whose essence and full
manifestation is to be found in the Prophet of Islam and whose doctrinal
1Seyyed Hossein Nasr. “The Nature of Man”. dalam William C. Chittick (ed.). The
Essential Seyyed Hossein Nasr. h. 65 2Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 166
3Seyyed Hossein Nasr. “The Nature of Man”. dalam William C. Chittick (ed.). The
Essential Seyyed Hossein Nasr. h. 65
56
exposition and formulation was left to later sages and saints such as ibn
„Arabī and Jalāl al-Dīn Rūmī”.4
(Konsepsi Islam mengenai manusia terangkum dalam doktrin al-Insān al-
Kāmil, manusia unifersal atau manusia sempurna, suatu doktrin yang
secara esensial dan perwujudan penuhnya dapat ditemukan dalam diri
Nabi Islam dan yang penjelasan dan perumusan doktrinalnya
“diungkapkan secara kemudian” oleh para bijak dan para wali seperti Ibn
al-„Arabī dan Jalāl al-Dīn Rūmī.)
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa gagasan sufistik sangat kuat
pengaruhnya pada pemikiran Nasr, terutama dari ibn „Arabī dan Jalāl al-Dīn
Rūmī. Pada mulanya, gagasan Nasr mengenai manusia yang merujuk pada ibn
„Arabī adalah mengenai sifat dasar manusia yang dibagi menjadi beberapa
kategori; pertama, manusia yang bersifat hewani; yakni manusia yang masih
mencerminkan sifat-sifat hewani dalam dirinya. Sifat hewani ini adalah sifat-sifat
manusia yang cenderung mengarahkan pada hasrat-hasrat dan nafsu duniawi,
yang memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seperti makan, harta,
kekuasaan, dan keturunan.5 Tentu sifat ini memang sifat alami manusia karena ia
memang memiliki tubuh jasmani, namun, apabila sifat ini mendominasi diri
manusia, ia akan menjadi lebih buruk dari binatang. Akibatnya, manusia tersebut
akan kehilangan dimensi spiritualnya, dan ia akan menjadi hamba nalar yang
cenderung menggunakan akalnya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan
duniawiahnya. Jenis manusia yang seperti ini adalah manusia yang dikritik dan
disebut oleh Nasr sebagai lawan dari manusia sempurna.
Berbeda dari manusia yang bersifat hewani, sebagaimana telah
disampaikan oleh ibn „Arabī, sifat kedua yang dimiliki oleh manusia tidaklah
4Seyyed Hossein Nasr. “The Nature of Man”. dalam William C. Chittick (ed.). The
Essential Seyyed Hossein Nasr. h. 65 5Husaini. The Pantheistic Monism of Ibn „Arabī. h. 105-106
57
terlalu mementingkan urusan duniawi, ini adalah sifat Ilahiah dalam diri manusia.
Manusia memiliki akal dan hati nurani yang membedakannya dari hewan dan
makhluk lainnya di dunia, melalui sifat inilah ia bisa lebih mulia derajatnya dari
malaikat. Karenanya, ia akan menjadi hamba Tuhan; yaitu manusia yang
mengemban amanah Tuhan (khalīfah) di muka bumi, manusia yang terbuka dari
hijab penutup tajallī Tuhan pada setiap manifestasi-Nya. Manusia yang seperti ini
bukanlah disebut dengan hamba nalar; yaitu manusia yang tidak dapat keluar dari
belenggu dan menjadi budak akal, yang mereduksi Tuhan di bawah hukum nalar,
melainkan manusia yang tunduk dan patuh pada Tuhannya. Manusia-manusia
yang seperti ini adalah manusia pilihan, seperti para nabi dan wali Allah sebagai
manusia sempurna. Di dalam diri manusia yang seperti inilah benih al-Insān al-
Kāmil terkandung.6
Gambaran manusia seperti di atas adalah jenis manusia yang
mencerminkan sifat-sifat dan asmā‟ Tuhan dalam dirinya. Ini akan terjadi apabila
sifat ruhaniah manusia dikembangkan dan menjadi dominan, bahkan
mengalahkan sifat-sifat duniawi dalam diri manusia. Ketika sifat ruhaniah dalam
diri manusia menjadi dominan, selain mencerminkan sifat-sifat dan asmā‟ Tuhan
dalam dirinya, dengan sendirinya ia akan menjadi pengemban amanah Tuhan
sebagai wakil-Nya (khalīfah) di muka bumi. Hal ini dapat dilihat melalui
fungsinya sebagai manusia sempurna. Sebagaimana telah dikatakan oleh Nasr
dalam salah satu penelitian bahwa manusia sempurna (al-Insān al-Kāmil) adalah
memiliki tiga fungsi dasar; pertama adalah realitas manusia sebagai bagian dari
6Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-„Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. h. 133, 136
58
alam semesta, kedua adalah sebagai medium atau perantara bagi pesan-pesan
Ilahi, dan yang ketiga adalah sebagai perwujudan sempurna bagi kehidupan
spiritual.7 Ketika manusia dalam peranannya telah memenuhi kesemua itu, maka
ia disebut sebagai manusia sempurna (al-Insān al-Kāmil). Adapun ketiga fungsi
dasar tersebut akan semakin terlihat pada poin-poin yang akan diuraikan
selanjutnya sebagai penyempurna pada teori dasar mengenai manusia sempurna.
A.1. Manusia Sempurna Sebagai Bagian dari Alam Semesta
Gagasan mengenai manusia sempurna sebagai bagian dari alam semesta
ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Jalāl al-Dīn Rūmī sebagaimana Nasr
mencatat dalam salah satu karyanya yang berjudul “The Essential Seyyed Hossein
Nasr”. Bahwa manusia merupakan mikrokosmos, dan ia adalah puncak dari
evolusi, puncak akhir dari penciptaan Tuhan. Ini dapat dikaitkan dengan doktrin
nur-Muḥammad;8 yaitu suatu ide tentang Muḥammad adalah gagasan Tuhan
untuk yang pertama kali dalam kesendirian-Nya sebelum adanya penciptaan lain,
dengan diwujudkannya sebagai penciptaan alam semesta dengan manusia sebagai
tujuan akhirnya. Lalu kemudian Rūmī mengatakan ulang bahwa justru manusia
adalah makrokosmos, setelah tahu bahwa manusia adalah tujuan akhir dari
penciptaan yang sempurna, dari kesempurnaan itulah manusia menjadi
makrokosmos karena gagasan mengenai alam semesta juga terkandung dalam diri
manusia itu sendiri.9
7Anis Lutfi Masykur. ”Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr”. h. 60-61
8Annemarie Schimmel. Mystical Dimensions of Islam. h. 224
9Mulyadhi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf. h. 72-72
59
“Outwardly we are ruled by these stars, but our inward nature has
become the ruler of the skies.
Therefore, while in form thou art microcosm, in reality thou art the
macrocosm.
Externally, the branch is the origin of the fruit; intrinsically the
branch came into existence for the sake of the fruit, (Rūmī)”10
(Secara luar (fisik) kita dikuasai oleh bintang-bintang ini, tetapi batin
kita menjadi penguasa dari langit.
Karenanya, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos,
dalam kenyataan engkau adalah makrokosmos.
Dari luar, cabang adalah asal dari buah, tetapi dari dalam cabang
muncul dalam penampakan demi alasan dari buah.)
Doktrin al-Insān al-Kāmil seraya menjadi ilham dalam pemikiran Nasr
untuk menunjukan posisi manusia yang sebenarnya di muka bumi ini. Pada
dasarnya manusia adalah jembatan antara langit dan bumi. Selain itu manusia
adalah ruh dari alam semesta, karena ia menjadi tujuan akhir dari kesempurnaan
penciptaan. Secara keseluruhan dalam diri manusia terkandung unsur-unsur
kosmik;11
yang mana ketika ia berjalan di bumi ia adalah makhluk bumi, dan
secara batiniah ia adalah makhluk surgawi, penguasa dari langit, yang sedang
diturunkan ke bumi sebagaimana konsepsi mengenai Adam sebagai manusia
pertama dalam ajaran agama Islam.
Apabila hal ini telah tercapai, maka unsur-unsur jasmani dalam diri
manusia menjadi mulia. Karena manusia pada tingkatan ini, selain mencapai
tingkat kemuliaan sebagai pengemban amanah Tuhan di muka bumi, juga
terpancar sifat-sifat dan asmā‟ Tuhan. Oleh karena itu pula, secara alami di dalam
10
Seyyed Hossein Nasr. “The Nature of Man”. dalam William C. Chittick (ed.). The
Essential Seyyed Hossein Nasr. h. 65 11
Pierre Lory: “Know the World to Know Yourself”. dan Seyyed Hossein Nasr: “Reply
to Pierre Lory”. dalam Lewis Edwin Hahn, Dkk. (ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. h.
721, 732
60
tubuhnya juga terkandung segala sesuatu mengenai alam semesta.12
Hal ini bisa
diartikan sebagaimana pengertian evolutif mengenai manusia: yakni manusia
adalah makhluk yang memiliki kemampuan-kemampuan dari makhluk yang
secara hirarki ada di bawahnya, yaitu seperti tumbuhan dan binatang;13
ini juga
bisa diartikan bahwa dalam diri manusia terkandung unsur-unsur kosmik; seperti
api, air, udara, dan tanah. Dengan begitu, manusia akan menganggap bahwa alam
adalah bagian dari dirinya, begitu pula sebaliknya bahwa ia adalah bagian dari
alam, dan dengan ini pula ia akan merawat dan menjaga kelestarian alam.
A.2. Manusia Sempurna Sebagai Perantara Pesan-pesan Ilahi
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa manusia sempurna adalah
manusia yang mampu menjadi pengemban amanah Tuhan (khalīfah) di muka
bumi. Dengan ini, selain manusia sebagai bagian dari alam semesta, ia juga
merupakan perantara bagi ajaran-ajaran Tuhan dengan menjadikan pesan-pesan
Tuhan sebagai sumber dari pengetahuan dan tindakan. Karenanya, manusia
disebut sebagai wakil (khalīfah) Tuhan di muka bumi. Tujuan dari manusia
sebagai perantara dari ajaran-ajaran Tuhan adalah demi tersampainya rahmat
Tuhan bagi seluruh alam.
Ketika manusia menyampaikan ajaran Tuhan di muka bumi, hal ini tidak
akan lepas dari ilmu pengetahuan dan tindakan manusia. Karena pengajaran
Tuhan terhadap manusia merupakan bentuk ilmu pengetahuan dan tindakan yang
dimiliki oleh manusia itu sendiri. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang dimiliki
12
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 166-167 13
Mulyadhi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf. h. 73
61
oleh manusia tidak lain adalah bentuk pengajaran dari Tuhan. Sementara tindakan
yang ia lakukan adalah berlandaskan ilmu pengetahuan yang ia miliki.14
Dengan
ilmu pengetahuan yang demikian, penampakan alam semesta akan dipandang
sebagai bagian dari bentuk pengajaran Tuhan terhadap dirinya. Pandangan ini
menghubungkan pada suatu gagasan bahwa alam semesta adalah wujud dari
penampakan Tuhan melalui pancaran-Nya, dan manusia sendiri adalah bagian dari
alam semesta. Hal ini dapat dilihat sebagaimana pembahasan sebelumnya bahwa
manusia adalah bagian dari alam semesta dan juga sebaliknya, bahkan manusia
dipandang memiliki posisi yang istimewa, yaitu sebagai ruh dari alam semesta
karena manusia menjadi tujuan akhir dari kesempurnaan penciptaan. Ungkapan
tersebut menandakan bahwa seluruh isi alam semesta termasuk manusia, adalah
bersumber dari Yang Satu.15
Melalui ilmu pengetahuan dan tindakan manusia, pengajaran Tuhan akan
tersampaikan. Manusia melalui ilmu pengetahuan dan tindakannya
menyampaikan ajaran dengan menyatukan kembali seluruh isi alam semesta pada
Kesatuan (tawḥīd) di mana itu adalah Sumber dari segala yang ada (Source of the
cosmos).16
Inilah tujuan dan pesan dari ajaran tersebut; bahwa karena memang
segala sesuatu mengenai jagad raya termasuk ilmu pengetahuan dan manusia
adalah bersumber dari Yang Satu, maka harus dikembalikan pada keselarasan dan
keharmonisan dalam Kesatuan (tawḥīd) tersebut. Dengan tercapainya penyatuan
tersebut, maka tersemailah rahmat Tuhan bagi seluruh alam.
14
Seyyed Hossein Nasr. Ideal and Realities of Islam. (London: George Allen & Unwin
LTD. 1975). h. 41 15
Seyyed Hossein Nasr. “The Nature of Man”. dalam William C. Chittick (ed.). The
Essential Seyyed Hossein Nasr. h. 65 16
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 183
62
A.3. Manusia Sempurna Sebagai Perwujudan Kehidupan Spiritual
Manusia sempurna selain dilihat sebagai bagian dari alam semesta dan
wakil Tuhan di muka bumi, ia juga sebagai perwujudan dari kehidupan spiritual
dengan menjadi jembatan yang menghubungkan antara Langit dan bumi. Manusia
pada posisi ini adalah manusia yang menganggap bahwa segala sesuatu yang ada
di alam semesta, termasuk ilmu pengetahuan dan manusia sendiri adalah
bersumber dari Yang Satu. Ini adalah gagasan sufistik mengenai konsep tawḥīd,
bahwa segala yang ada di alam semesta ini adalah bentuk penampakan Tuhan
(sees God everywhere).17
Ketika segala sesuatunya adalah bersumber dari Yang
Satu, dan merupakan penampakan dari pada-Nya, maka segala sesuatu yang ada
di jagad raya ini adalah bentuk Kesatuan. Manusia pada posisi ini, terhadap Langit
dan bumi, keduanya dipersatukan dalam Kesatuan (tawḥīd) sehingga alam
semesta dengan segala keselarasan dan keharmonisannya terbentuk kembali.
Kehidupan spiritual akan tercapai apabila segala sesuatu dari alam
semesta dapat dipersatukan kembali dalam keselarasan dan keharmonisan.
Penyatuan ini tidak mengambil bentuk secara fisik, tetapi secara metafisik dalam
diri manusia. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, dalam diri manusia
terkandung unsur kosmik, selain itu manusia juga memiliki ilmu pengetahuan
sebagai bentuk pengajaran dari Tuhan. Segala yang terkandung dalam diri
manusia tersebut akan menjadi mulia apabila kandungan tersebut bersatu dengan
keselarasan dam keharmonisan pada Kesatuan. Dengan kata lain, maksud dari
kandungan dalam diri manusia yang mulia karena telah bersatu pada Kesatuan
17
Seyyed Hossein Nasr. Sufi Essays. h. 43
63
adalah; pertama, kandungan kosmik dalam dirinya merupakan pancaran dari
Tuhan, dan ilmu pengetahuan yang ia miliki adalah bentuk pengajaran Tuhan
untuk memahami bahwa segala sesuatu yang ada pada alam semesta ini adalah
bentuk dari penampakan Tuhan melalui pancaran-Nya.18
Ketika manusia telah mencapai pada taraf ini, ia akan disebut sebagai
manusia yang mampu menjadi perwujudan dari kehidupan spiritual. Manusia pada
taraf ini telah mencapai tingkatan bahwa mengenai segala sesuatu yang ada di
alam semesta ini merupakan suatu bentuk Kesatuan (tawḥīd). Antara Langit dan
bumi dipersatukan kembali, sehingga terbentuklah Kesatuan yang selaras dan
harmonis. Oleh karena itu, manusia pada tingkatan ini disebut sebagai manusia
sempurna, karena selain terpancar sifat-sifat dan asmā‟ Tuhan, juga terpancar
esensi dari alam semesta secara keseluruhan dalam bentuk kemanusiaannya yang
lebih kecil.19
B. Upaya Mencapai Tingkatan Manusia Sempurna
Dalam hal ini Nasr menjelaskan mengenai bagaimana semestinya
menjadi manusia. Manusia yang dapat mengemban amanah dan menjadi wakil
Tuhan di muka bumi (khalīfah), sehingga segala sifat dan asmā‟ Tuhan dapat
terpancar dalam dirinya, karena manusia diciptakan “dalam bentuk Tuhan” dan
menjadi instrumen dari “penampakan-Nya”.20
Dalam pandangan Nasr manusia
memiliki dua dimensi dalam dirinya; dimensi horisontal dan dimensi vertikal,
18
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 166, 168-169, 183 19
Seyyed Hossein Nasr. Sufi Essays. h. 43 20
Seyyed Hossein Nasr. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. h. 96
64
yang menjadi sifat dasar primordialnya. Hal ini sejalan dengan apa yang telah
disampaikan oleh ibn „Arabī bahwa manusia memiliki dua aspek secara
fundamental di dalam dirinya; aspek duniawiah dan ruhaniah. Dimensi horisontal
adalah yang menghubungkan manusia dengan makhluk lain dan cenderung
mengarahkan pada aspek keduniawiaan, sementara dimensi vertikal adalah sifat
ruhaniah manusia yang cenderung mengarahkan pada aspek ke-Ilahiaan.21
Bagi Nasr, manusia mestinya menyadari akan sifat dasar primordialnya
tersebut, dengan tujuan untuk lebih mengedepankan dimensi ruhaniah di dalam
dirinya. Melalui kesadaran inilah manusia mestinya dapat melakukan evolusi atau
perubahan dalam diri sendiri menjadi yang lebih baik; yaitu melakukan perubahan
dari sifat hewani dan keluar dari padanya menjadi manusia yang lebih
mengutamakan sifat ke-Ilahiaan. Karena dengan melakukan perubahan demikian,
yang lebih mengutamakan sifat ke-Ilahiaan dari pada sifat keduniawiaan, akan
membawa manusia pada puncak kesempurnaannya.
“To know himself, man must come to know tha face of God, the reality that
determines him from on high....... Man can know himself only by realizing
his theomorphic nature”.22
(Untuk mengetahui dirinya sendiri, manusia harus hadir untuk memahami
penampakan dari Tuhan, realitas yang menentukan dirinya dari yang
tinggi...... Manusia dapat memahami dirinya sendiri hanya dengan
menyadari sifat dasar theomorfisnya.)
Kesadaran akan diri sendiri yang memiliki dimensi ruhaniah ini,
membawa manusia pada kesadaran mengenai Sang Pencipta. Nasr menerangkan
bahwasannya manusia dalam mencapai puncak kesempurnaannya haruslah
21
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 175-176 22
Seyyed Hossein Nasr. “The Nature of Man”. dalam William C. Chittick (ed.). The
Essential Seyyed Hossein Nasr. h. 71
65
diawali dengan menyadari diri sendiri akan sifat primordialnya sebagai manusia
yang memiliki dimensi spiritual dalam dirinya (ruh). Gagasan ini ia hubungkan
dengan apa yang telah disampaikan dalam al-Quran yang mengatakan; “I
breathed into him from My Spirit”23
dan hadis Nabi, “He who knows himself
knoweth his Lord”,24
adalah sebagai landasan atau langkah awal manusia dalam
mencapai puncak evolusi kesempurnaannya. Dengan demikian, setelah
tercapainya hal tersebut manusia tidak akan menjadi manusia yang cederung
mengedepankan kebutuhan-kebutuhan duniawi.
Hal ini dapat dikaitkan dengan penjelasan Nasr mengenai proses
penciptaan manusia itu sendiri. Pada awalnya, manusia adalah berasal dari ruh
Ilahi, dan itu adalah jalan manusia mengalami penyatuan dengan Tuhan atau
penghidupan dalam Tuhan yang dalam istilah kesufian disebut dengan al-fana‟
dan al-baqa‟ (pencapaian kesatuan tertinggi). Kemudian manusia dilahirkan
dalam bentuk Logos, ia adalah prototipe dari manusia secara keseluruhan, yang
mana Islam telah menyebutkannya sebagai Universal Man. Lalu, manusia
diciptakan dalam level kosmik, ini adalah konsepsi mengenai Adam sebagai
makhluk mikrokosmos yang memiliki tubuh bercahaya sebagai penghuni surga
sebelum kejatuhannya ke bumi. Sementara yang terakhir adalah manusia yang
sudah tidak pada level kosmik lagi, melainkan manusia yang sudah bersifat
teresterial, yaitu makhluk bumi, yang memiliki jasad dan fisik sebagaimana
manusia yang ada di bumi ini.25
Melalui fase-fase tersebut manusia dapat melihat
23
Seyyed Hossein Nasr. A Young Muslim‟s Guide to the Modern World. h. 30 24
Seyyed Hossein Nasr. Traditional Islam in the Modern World. h. 103 25
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 170
66
dari mana asal-muasalnya, dan dengannya ia dapat menyadari siapa dirinya, dan
kemana semestinya ia harus pergi.
Setelah tahu bahwa proses terjadinya manusia adalah seperti yang di atas,
maka dalam proses pencapaian kesempurnaan diri akan semakin terlihat pada
kaitannya dengan apa yang telah disampaikan oleh Rūmī pada pembahasan
sebelumnya. Rūmī menggambarkan bahwasannya manusia adalah sebagaimana
seruling yang dahulunya adalah bambu yang telah dipotong dari rumpunannya
(Nyanyian Rumpun Bambu).26
Manusia ini adalah seruling tersebut, dan manusia
di sini adalah setelah kejatuhannya dari surga dan menjadi makhluk bumi. Setelah
manusia menjadi makhluk bumi dan mengenal semua yang ada di bumi, yaitu
yang ia lalui selama perjalanan dan petualangan hidupnya di bumi, ia akan
merasakan ketidakpuasan pada apa yang ia temukan selama perjalan dan
petualangannya tersebut, ia merasa ada yang kurang dalam dirinya, merasa ada
sesuatu yang telah hilang dari dirinya, yaitu kerinduan akan rumah dari asal-
muasalnya, layaknya bambu yang merindukan rumah yaitu rumpunannya. Dari
sini ia akan berusaha untuk kembali menemukan apa yang dirasanya telah hilang
tersebut, dan ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan jalan agar
ia dapat kembali ke rumah di mana itu adalah tempat asal-muasalnya. Hal ini
semakin jelas dengan perkatan Rūmī sebagai berikut;
“We were in heaven, we were the companions of angles---
When will we return there again?”27
(Kita dahulu ada di sorga, kita adalah teman-teman dari para malaikat---
Kapankah kita akan kembali ke sana lagi?)
26
Annemarie Schimmel. Dimensi Mistik Dalam Islam. h. 403 27
Annemarie Schimmel. Mystical Dimensions of Islam. h. 189
67
“Aku mati sebagai mineral dan menjadi tanaman,
Aku mati sebagai tanaman dan muncul sebagai hewan,
Aku mati sebagai hewan dan aku adalah Manusia.
Mengapa aku harus takut? Kapan pula aku berkurang karena mati?
Namun sekali lagi aku akan mati sebagai Manusia, untuk membumbung,
Dengan restu dari para malaikat; namun bahkan dari kemalaikatan
Aku akan lewat terus; semua kecuali Tuhan akan binasa.
Bila aku telah mengorbankan jiwa-malaikatku,
Aku akan menjelma sesuatu yang tidak terpikirkan.
O biarkanlah aku tak-berada! Karena Tak-Berada
Memaklumkan dalam nada-nada “Kepadanya kami akan kembali!”28
Evolusi manusia dari tingkatan yang paling renda menuju pada tingkatan
yang lebih tinggi sebagaimana dalam puisi di atas, memberikan penggambaran
bahwasannya manusia berproses untuk mencapai kesempurnaan dalam dirinya.
Manusia bergerak menuju pada tingkatan yang lebih sempurna dalam hidupnya.
Yaitu pergerakan yang mengarah pada sesuatu yang tidak terfikirkan, sesuatu
yang “Tak-Berada,” yaitu pergerakan menuju suatu tempat bagi manusia yang
memaklumkan nada-nada “kepada-Nya kami akan kembali”. Kemudian Nasr
melanjutkan dengan;
“Man is fully man only when he realizes who he is and in doing so fulfills
not only his own destiny and reaches his entelechy but also illuminates the
world about him. Journeying from the earth to his celestial abode, which
he has left inwardly, man becomes the channel of grace for the earth, and
the bridge which joins to Heaven. Realization of the truth by pontifical
man is not only the goal and end of the human state but also the means
whereby Heaven and earth are reunited in marriage, and the Unity, which
is the Source of the cosmos and the harmony which pervades it, is
reestablished. To be fully man is to rediscover that primordial Unity from
which all the heavens and earths originate and yet from which nothing
ever „really‟ departs”.29
(Yang seutuhnya manusia hanyalah ketika ia merealisasikan siapa dirinya
dan dalam perbuatannya juga memenuhi tidak hanya nasib dan mencapai
28
Annemarie Schimmel. Dimensi Mistik Dalam Islam. h. 408-409 29
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 183
68
daya hidupnya (entelechy) saja tetapi juga menyinari dunianya tentang
dia. Perjalanan dari bumi menuju tempat tinggal sorga (langitnya), yang
ia meninggalkannya dalam batin, manusia menjadi penyalur dari
keanggunan untuk bumi, dan ia menjadi jembatan yang menghubungkan
pada Langit. Realisasi dari kebenaran melalui manusia pontifikal
bukanlah hanya sebagai akhir dan tujuan dari keadaan manusia tetapi
juga bermaksud yang dengan cara Langit dan bumi disatukan kembali
dalam perkawinan, dan Kesatuan, yang mana adalah Sumber dari alam
semesta dengan keharmonisan yang meliputinya, terbentuk kembali. Untuk
menjadi manusia yang seutuhnya adalah menemukan kembali bahwa
Kesatuan primordial yang darinya segala tentang langit dan bumi berasal
dan namun tidak ada yang benar-benar berangkat.)
Bagi Nasr manusia dalam upaya mencapai kesempurnaannya haruslah
bersih dari segala sesuatu yang dapat menjadi belenggu bagi dirinya. Belenggu ini
mengambil bentuk seperti sifat duniawiah yang cenderung dominan pada urusan
dunia.30
Semakin dominan sifat duniawiah dalam diri manusia, membuatnya
semakin susah terpancari sifat-sifat dan asmā‟ Tuhan dalam dirinya karena
semakin sempitnya ruang yang ada dalam diri manusia tersebut. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh ibn „Arabī; “semakin bening dan bersih suatu
cermin, semakin jelas dan sempurna gambar yang dipantulkannya”.31
Adapun jalan yang ditawarkan oleh Nasr sebagai alternatif untuk
mencapai tingkat kesempurnaan diri adalah Ṭarīqah. Baginya, Ṭarīqah adalah
jalan yang ditempuh oleh para sufi, yang dapat membebaskan dan mengobati
manusia dari penjara kemunafikan, serta membawanya pada kesatuan yang suci.
Dengan kata lain, tujuan dari sufisme ini adalah untuk mengintegrasikan manusia
pada keluasan dan kedalaman eksistensinya secara keseluruhan, yang menjadi
penggambaran dari Manusia Universal (al-Insān al-Kāmil).32
Jalan inilah yang
30
Seyyed Hossein Nasr. Sufi Essays. h. 43 31
Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-„Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. h. 126 32
Seyyed Hossein Nasr. Sufi Essays. h. 43
69
menjadi penekanan Nasr agar manusia dapat mencapai kesempurnaannya secara
utuh, dan karenanya manusia mampu menjadi perwujudan dari kehidupan
spiritual dengan mengembalikan segala sesuatu yang ada di alam semesta pada
Kesatuan yang selaras dan harmonis.
“In fact the whole programme of Sufism, of spiritual way or Ṭarīqah, is to
free man from the prison of multiplicity, to cure him from hypocrisy and to
make him whole, for it is only in being whole that man can become holy”.33
(Dalam fakta bahwa secara keseluruhan program Sufisme, mengenai jalan
spiritual atau Ṭarīqah, adalah untuk membebaskan manusia dari penjara
keserbaragaman, untuk menyembuhkannya dari kemunafikan dan
membuatnya utuh, untuknya hanya dalam kesatuan tubuh bahwa manusia
dapat menjadi suci.)
Pada saat pembebasannya dari luka kemunafikan tersebut, manusia harus
melewati beberapa tahapan yang sudah menjadi ketentuan dalam perjalanannya
untuk mencapai kesempurnaan. Tentunya perjalanan ini tidak mudah, manusia
harus melalui beberapa tahapan dan ketentuan, dan melalui semua itulah ia
berproses menuju pada yang utama. Dengannya, manusia dapat keluar dari
dominasi sifat keduniawiaan dan berubah menjadi manusia yang secara tingkat
kederajatnnya menjadi lebih baik. Sebagaimana kutipan berikut;
“...Bahkan sayuran buncis menjadi lambang situasi manusia: (M 3: 4158)
ditaruh di dalam air mendidih, sayuran itu akan mengeluh dan mencoba
meloncat dari dalam panci. Tetapi penyair memberitahu kepadanya bahwa
karena ia tumbuh oleh hujan dan sinar matahari karunia Ilahi, sekarang ia
harus belajar menderita dalam api kemurkaan Ilahi agar supaya menjadi
dewasa...”34
Nasr menjelaskan bahwasannya Ṭarīqah adalah jalan spiritual dengan
kandungan dimensi esoterik yang halus dan sulit dalam menempuhnya, serta di
33
Seyyed Hossein Nasr. Sufi Essays. h. 43 34
Annemarie Schimmel. Dimensi Mistik Dalam Islam. h. 407-408
70
dalamnya mengandung prinsip-prinsip esensial dari Islam. Dengan kata lain,
kandungan prinsip-prinsip esensial Islam dalam Ṭarīqah yang dimaksudkan ialah
sesuai dengan ketentuan Syarī‟ah yang menjadi dasar hukum-hukum Islam. Tanpa
adanya partisipasi dari Syarī‟ah, kehidupan dari Ṭarīqah tidak akan
dimungkinkan. Karena Ṭarīqah adalah jalan yang harus ditempuh, sementara
Syarī‟ah adalah hukum dan aturan-aturan Ilahi yang harus ditaati dalam
menempuh perjalanan tersebut. Jadi, dalam hal ini keduanya adalah satu-kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka mencapai puncak kesempurnaan
manusia.35
Bagi Nasr manusia mestinya dapat melihat kembali pada sifat dasar
primordialnya, yang mana sifat dasar tersebut dapat mengarahkan manusia pada
kesadaran dimensi spiritual yang ada dalam dirinya. Dari sini manusia akan
mampu melihat dari mana asal-muasalnya, melalui fase penciptaan dirinya di
mana ia pada mulanya adalah berawal dari ruh Ilahi, dan karenanya ia mampu
mengalami penyatuan dengan Tuhan. Dengan demikian, manusia harus
melakukan evolusi dari tingkatan yang rendah menuju pada tingkatan yang lebih
tinggi sehingga terintegrasi secara keseluruhan pada keluasan dan kedalaman
eksistensinya sebagai manusia sempurna, sebagaimana itu adalah program
sufisme yang menempuh perjalanan kehidupan spiritual.36
Keluasan dan kedalaman eksistensinya ini mengambil bentuk bahwa ia
mampu menjadi manusia sempurna sebagaimana ketiga fungsi dasar yang telah
35
Seyyed Hossein Nasr. Ideal and Realities of Islam. h. 121 36
Seyyed Hossein Nasr. Sufi Essays. h. 43
71
dibahas dalam sub bab sebelumnya. Ketiga fungsi dasar sebagai manusia
sempurna tersebut adalah; pertama, manusia sempurna sebagai bagian dari alam
semesta, kedua ia adalah medium atau perantara bagi pesan-pesan pengajaran
Tuhan, dan yang ketiga adalah ia sebagai perwujudan dari kehidupan spiritual.
Hal tersebut tentunya adalah sebagai salah satu alternatif agar tidak terjerumus
layaknya Manusia Modern yang cenderung menjadi abdi nalar, yaitu cerminan
dari manusia yang bersifat hewani sebagaimana penggambaran ibn „Arabī pada
pembahasan sebelumnya, yang mengakibatkan desakralisasi baik secara
epistemologi atau kosmologinya.
C. Kriteria Manusia: Sebagai Kritik dan Relevansi dalam Dunia Modern
Kritik terhadap peradaban Barat Modern adalah hal yang umum
dilakukan, entah itu kritik secara apologetik, atau kritik yang memang
berdasarkan fakta-fakta yang jelas. Dapat dikatakan bahwa salah satu mata rantai
dari pemikiran Seyyed Hossein Nasr adalah kritiknya terhadap peradaban Barat
Modern. Lalu apa hubungan antara kritik terhadap peradaban Barat Modern
tersebut dengan pandangan Nasr mengenai manusia sempurna? Satu yang paling
jelas adalah; apabila peradaban Barat Modern adalah sesuatu yang diciptakan oleh
manusia-manusia dengan karakter tertentu, berarti secara langsung pemikiran
Nasr tentang manusia adalah kritiknya terhadap manusia yang memiliki karakter-
karakter tersebut.37
Karena itu, terdapat kecenderungan Nasr untuk membuat
dikotomi antara jenis manusia yang masuk dalam kriteria manusia sempurna
37
Seyyed Hossein Nasr. Islam and the Plight of Modern Man. h. 130-132
72
dengan manusia yang tidak masuk dalam kriteria manusia sempurna. Oleh karena
itu, pembahasan dalam sub bab kali ini disesuaikan dengan dikotomi tersebut;
yaitu antara Manusia Pontifikal sebagai lawan dari Manusia Promethean, dan
Manusia Tradisional sebagai lawan dari Manusia Modern.
Apabila dalam pembahasan sebelumnya dipaparkan mengenai tipe-tipe
manusia yang masuk dan tidak masuk dalam kriteria manusia sempurna, maka
dalam poin terakhir akan dipaparkan kaitan antara gagasan-gagasan tadi dengan
kenyataan yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan peradaban modern. Poin
ini secara khusus menguraikan relevansi konsep manusia sempurna dalam dunia
modern. Peradaban modern, yang dikenal sebagai dunia modern, adalah
peradaban yang mencerminkan betapa rusaknya akibat yang ditimbulkan dari tipe
Manusia Promethean dan Manusia Modern. Penderitaan manusia pada dunia
modern, menurt Nasr disebabkan oleh pandangan teologi dari Manusia Modern
yang menganggap diri mereka sebagai Manusia Promethean, juga falsafah yang
diturunkan dari pandangan ini, serta pengetahuan saintifik yang berjalan
beriringan dengan falsafah modern.38
C.1. Manusia Pontifikal dan Manusia Promethean
Dalam paragraf sebelumnya telah disampaikan bahwa Nasr membuat dua
tipe atau kriteria manusia, yaitu Manusia Pontifikal dan Manusia Promethean.
Pertama, kategori ini memisahkan dua bentuk teologi yang berbeda, kedua,
kategori ini juga memiliki perbedaan secara epistemologi, ketiga, kategori ini
memiliki kosmologi yang berbeda dan merupakan akibat dari dua pembedaan
38
Seyyed Hossein Nasr. Islam and the Plight of Modern Man. h. 122-128
73
sebelumnya. Secara teologi, Manusia Pontifikal adalah tipe manusia yang
diciptakan oleh Tuhan dan menjadi wali Tuhan di muka bumi,39
yang mana hal itu
adalah cerminan dari konsepsi Islam mengenai manusia adalah khalīfah Allah.
Manusia yang menjadi khalīfah adalah manusia yang menyampaikan ajaran-
ajaran Tuhan agar terlaksana di muka bumi ini, demi tersebarnya rahmat bagi
seluruh alam.
“The consept of man as pontiff, pontifex, or bridge between Heaven and
earth, which is the traditional view of the Anthropos, lies at the antipode of
the modern conception of man which envisages him as the Promethean
earthly creature who has rebelled against Heaven and tried to
misappropriate the role of the Divinity for himself”.40
(Konsep tentang manuisia sebagai pontiff, pontifex, atau jembatan antara
Langit dan bumi, yang merupakan pandangan tradisional tentang
Anthropos, berada pada kutub yang bertentangan dengan konsep modern
mengenai manusia yang menggambarkannya sebagai makhluk duniawi
Promethean yang telah memberontak melawan Langit dan mencoba untuk
merebut peran ke-Tuhanan untuk dirinya sendiri.)
Sementara berbeda dari tipe Pontifikal, manuisa Promethean adalah yang
digambarkan Nasr seperti sosok yang ada dalam mitos Yunani, yaitu
Prometheus.41
Ini adalah konsepsi mengenai manusia yang berpaling dari Tuhan
dan menjadi lawan dari Tuhan. Manusia Promethean merasa bahwa dunia ini
adalah tempat tinggal asal dan akhirnya, ini adalah satu-satunya dunia bagi
mereka, dengan kata lain tidak mengakui adanya dunia setelah kematian.
Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya, Manusia Promethean ini bisa
dikaitkan dengan tipe manusia yang bersifat hewaniah atau manusia yang hanya
39
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 160-161 40
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 160 41
Seyyed Hossein Nasr. “The Nature of Man”. dalam William C. Chittick (ed.). The
Essential Seyyed Hossein Nasr. h. 147-148
74
mementingkan urusan duniawinya saja. Salah satu perwujudan dari tipe Manusia
Promethean ini adalah semboyan Nietzsche dengan ungkapan “God is Dead,”42
slogan ini sebenarnya merupakan pernyataan filosofis, tetapi aspek teologisnya
dapat dilihat dari pemujaan manusia kepada tuhan-tuhan lain yang ada di dunia
ini; seperti harta, kehormatan, dan lainnya. Hal yang sama juga dapat ditemui
dalam ideologi ateisme dan ideologi anti-Tuhan lainnya seperti Marxisme.
Mereka beranggapan bahwa semakin mereka membangkang dan jauh dari Tuhan,
maka akan semakin tinggi kekuasaan dan kedudukan yang mereka miliki.43
Dalam Knowledge and the Sacred, Nasr mengawali pembahasan tentang
desakralisasi pengetahuan,44
efek dari desakralisasi ini menyebar ke semua isi dari
kehidupan manusia; dari mulai ideologi, gaya hidup, kebudayaan, dan peradaban
manusia. Karenanya, pembagian dua tipe ini berkaitan dengan perbedaan
epistemologis pada keduanya. Tipe Promethean adalah pihak yang menganggap
bahwa segala macam ilmu pengetahuan tidak berhubungan sama sekali dengan
yang sakral. Akibatnya, banyak pengetahuan yang dulunya berkaitan dengan
sesuatu yang sakral kini diubah menjadi sesuatu yang murni duniawi atau tidak
berhubungan dengan yang sakral. Sebagai contoh ilmu Matematika, yang dulunya
merupakan ilmu pengetahuan sekaligus bentuk dari kontemplasi dalam ritual
kaum Pythagorean (itulah kenapa asal mula makna dari teori adalah kontemplasi
ke-Tuhanan), kini sekedar hanya menjadi ilmu perhitungan secara kuantitas
42
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 182 43
Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-„Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. h. 142 44
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 1
75
belaka.45
Akibat dari pandangan tentang pengetahuan seperti ini jelas tampak
terlihat dalam gagasan “bebas-nilai” yang dijunjung tinggi oleh para ilmuwan
modern; dan lebih parahnya lagi, ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan
telah menjadi liar dan bebas dari berbagai macam kontrol, baik kontrol dari agama
atau moralitas yang membuat mereka semakin bebas berkehandak dengan ilmu
pengetahuan yang mereka miliki.
Setelah dibahas perbedaan secara teologi dan epistemologi, peneliti akan
menjelaskan akibat kosmologis dari perbedaan tipe ini. Karena tipe Promethean
memandang bahwa eksistensi manusia dan alam semesta itu tidak berkaitan
dengan Tuhan, maka ini akan berdampak pada sikap mereka terhadap lingkungan
hidup mereka, yaitu bumi. Nasr mengkritik kecenderungan bebas nilai dalam ilmu
pengetahuan positivistik tadi karena efeknya yang buruk terhadap alam. Ketika
manusia tidak lagi mlihat alam sebagai bagian dari diri dan Tuhannya, maka alam
semesta akan dipandang hanya sebagai alat yang fungsinya untuk memenuhi
segala kebutuhan mereka. Hal ini pada akhirnya berujung pada eksploitasi tanpa
batas terhadap alam. Dalam bukunya Man and Nature, Nasr memaparkan secara
rinci mengenai segala macam kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh
pandangan manusia tipe Promethean ini.46
Lalu, apakah yang dilawankan Nasr dengan Manusia Promethean tadi?
Sudah jelas bahwa bagi Nasr lawan dari manusia Promethean adalah Manusia
45
Seyyed Hossein Nasr. Science and Civilization in Islam. (New York: The New
American Library, America. 1970). h. 146-147, 250 46
Seyyed Hossein Nasr. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. h. 118,
137
76
Pontifikal. Manusia Pontifikal sadar bahwa ia adalah utusan dari Tuhan untuk
memelihara dunia ini, karenanya ia juga sadar bahwa segala sesuatu adalah
berhubungan dengan yang sakral, termasuk ilmu pengetahuan. Tujuan dari
pengetahuan yang berhubungan dengan yang sakral adalah membuat manusia
menjadi semakin dekat dengan Tuhan, agar manusia menyadari bahwa ia adalah
utusan dari Tuhan. Manusia Pontifikal, dengan pengetahuan seperti itu tidak akan
menganggap bahwa alam ini hanyalah alat untuk memenuhi kebutuhan
jasmaninya saja. Namun yang lebih penting adalah, alam dianggap sebagai
jembatan menuju kedekatannya dengan Tuhan, karena itu ia akan menganggap
alam sebagai bagian dari dirinya, dan bukan sebagai objek eksploitasinya.
Manusia Pontifikal ini adalah manusia yang secara perwujudannya dapat ditemui
pada Manusia Tradisional sebagai manusia yang dapat mencerminkan sifat-sifat
dan asmā‟ Tuhan dalam bentuk kemanusiaannya yang sempurna (al-Insān al-
Kāmil).47
Gambaran mengenai Manusia Pontifikal ini hadir supaya manusia tidak
menjadi manusia yang bebas nilai dan hilang kontrol terhadap ilmu pengetahuan
dan kemampuan yang mereka miliki. Selain itu, konsepsi ini juga bertujuan agar
mereka tidak menjadi Manusia Promethean yang memberontak melawan Langit
dan merebut peran ke-Tuhanan untuk dirinya sendiri dengan anggapan bahwa
ilmu pengetahuan adalah produk dari manusia sendiri, yang mengakibatkan
mereka cenderung eksploitatif terhadap alam dan bahkan pembantaian terhadap
sesamanya. Tetapi tujuan dari penggambaran ini adalah untuk mengarahkan
47
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 166-168
77
mereka supaya menjadi Manusia Tradisional sebagai perwujudan dari Manusia
Pontifikal yang menjadi jembatan antara Langit dan bumi;48
dengan anggapan
bahwa ilmu adalah berhubungan dengan Tuhan, dan alam adalah bagian dari
dirinya yang harus dirawat dan dijaga demi tercapainya kedekatan dengan Sang
Pencipta. Dengan begini, rahmat Tuhan bagi seluruh alam akan terlaksanakan.
Inilah tipe manusia yang digambarkan Nasr sebagai manusia sempurna (al-Insān
al-Kāmil), tipe manusia yang dapat mengemban amanah Tuhan sebagai makhluk
pilihan di muka bumi.49
C.2. Manusia Tradisional dan Manusia Modern
Setelah dipaparkan beberapa gagasan Nasr mengenai manusia sempurna
dan manusia tidak sempurna, serta Pontifikal dan Promethean, di sini gagasan
Nasr akan terlihat lebih jelas dalam kaitannya dengan kenyataan dunia modern.
Dunia modern adalah dunia yang digambarkan Nasr sebagai dunia yang dekaden
dan bobrok, baik secara moral, teologi, pengetahuan, dan falsafah. Nampaknya
kritik Nasr terhadap dunia modern ini bukanlah isapan jempol belaka. Banyak
pemikir dari kalangan Barat modern yang sama-sama mengkritik kecenderungan
bobrok dari modernitas (kebanyakan adalah para tokoh sosiolog seperti Marxis
dan berbagai variannya).50
Hal ini membuktikan bahwa kebobrokan dunia modern
adalah sebuah fakta yang diakui. Hampir semua karya Nasr dapat dikaitkan
sebagai kumpulan kritik yang diarahkan kepada modernitas dan produk-
produknya.
48
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 160-161 49
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 160-161 50
George Ritzer & Douglas J. Goodman (ed.). Teori Sosiologi Modern. h. 176-180
78
Dunia modern terdiri dari sekumpulan masyarakat modern yang
digambarkan Nasr sebagai masyarakat dengan kecenderungan bebas nilai.
Konsepsi mengenai al-Insān al-Kāmil tidaklah terjewantahkan sama sekali dalam
diri mereka.51
Maka dari itu masyarakat modern adalah sekumpulan manusia-
manusia yang telah kehilangan dan terabaikan dari kebutuhan dasar spiritual;
sehingga mereka tidak menemukan ketentraman dan ketenangan batin,
menjadikannya sebagai manusia yang telah hilang keseimbangan. Masyarakat
modern sejak zaman Renaisans lebih cenderung pada urusan-urusan keduniawiaan
yang bersifat materil,52
kontrol agama dan moralitas tidak lagi menjadi
pertimbangan bagi mereka, dan tentunya hal ini akan berakibat pada setiap
tindakan yang mereka lakukan. Kecenderungan bebas nilai menjadikan mereka
memiliki anggapan bahwa ilmu pengetahuan tidaklah memiliki hubungan dengan
yang sakral, dan alam semesta bukanlah bagian dari dirinya, membuat mereka
semakin bebas mengembangkan kemampuan mereka untuk mengeksploitasi lebih
jauh terhadap alam. Ini adalah orang-orang yang peneliti sebutkan sebagai
manusia tidak ideal dalam pandangan Nasr, dan secara keras ia melontarkan kritik
terhadapnya.
Kritik Nasr terhadap modernitas adalah kecenderungan positivistiknya
yang telah dibahas secara sekilas dalam pembahasan sebelumnya. Dilepasnya
kaitan antara dunia ilmu pengetahuan dari dimensi sakral membuat ilmu menjadi
sesuatu yang justru berbahaya bagi peradaban manusia secara umum. Terjadinya
bom-atom, riset-riset sains yang tidak ramah lingkungan, berdirinya pabrik-pabrik
51
Seyyed Hossein Nasr. Islam and the Plight of Modern Man. h. 4, 122-124 52
Seyyed Hossein Nasr. Science and Civilization in Islam. h. 27
79
yang merusak secara ekologis dan sosiologis (kritik dari para sosiolog modern),
media-media yang menyebarkan gagasan-gagasan amoral, dan seterusnya.
Kecenderungan bebas nilai membuat hal-hal seperti ilmu pengetahuan menjadi
amoral, begitu juga dengan sastra-sastra yang mengumbar kenikmatan duniawi,
yang disebut Nasr sebagai hasil dari usaha “art for art‟s sake”.53
Ini adalah
karakter peradaban modern, dan karakter dari manusia-manusia yang dari hari-
kehari semakin kehilangan atmosfer sakral yang dulu ada pada masa tradisional.
Poin lain yang menarik dan relevan adalah pembagian Nasr antara
Philosophy dan Misosophy. Nasr mengatakan bahwa falsafah yang dianut oleh
para pemikir Barat modern, yang dicirikan dengan sifat-sifat dekaden dan bobrok
seperti di atas, tidak lagi pantas disebut sebagai falsafah. Falsafah adalah
kecintaan terhadap kebijaksanaan, tetapi ketika melihat fakta-fakta kebobrokan
modernitas tadi, Nasr menyimpulkan bahwa semua kehancuran tersebut tidak bisa
dikaitkan sebagai bentuk kecintaan terhadap kebijaksanaan. Inilah yang ia katakan
sebagai Misosophy,54
sebagai lawan dari Philosophy. Sebagaimana telah
diterangkan sebelumnya, jelas yang dimaksud Philosophy adalah apa yang
disampaikan oleh al-Kindi,55
yaitu ilmu mengenai Yang Pertama, yaitu Tuhan;
karenanya falsafah juga diartikan, dan barang kali inilah yang paling tepat, yakni
ilmu untuk menuju kedekatan dengan Tuhan.
Manusia Modern adalah sekumpulan manusia yang menyebabkan segala
kekacauan yang terjadi di masa modern ini. Dimulai dari manusia yang secara
53
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 255 54
Seyyed Hossein Nasr. Islam and the Plight of Modern Man. h. 29 55
Maftukhin. Filsafat Islam. h. 87
80
teologi menentang adanya Tuhan dan menganggap Tuhan adalah omong kosong
(ideologi Ateisme “God is Dead”), secara epistemologi menganggap ilmu
pengetahuan adalah produk dari manusia sendiri dan tidak memiliki hubungan
dengan yang sakral (desakralisasi ilmu pengetahuan), dan yang secara ekologis
berpaling dari amanat Tuhan untuk merawat dan menjaga kelestarian alam
semesta (Man and Nature, the Nature of Man). Ini adalah lawan dari Manusia
Tradisional dengan sifat yang sangat berbeda; yaitu manusia yang digambarkan
oleh Nasr sebagai “Manusia Sempurna” (Universal Man, Perfect Man, al-Insān
al-Kāmil, dan Manusia Pontifikal).
Manusia Tradisional adalah manusia-manusia yang memiliki pandangan
bahwa ilmu pengetahuan adalah berhubungan dengan yang sakral, sehingga ilmu
pengetahuan yang mereka miliki tidak hilang kendali dan membahayakan bagi
lingkungan mereka. Manusia Tradisional sadar bahwa alam adalah jembatanya
menuju kedekatannya dengan Tuhan, bukan sekedar alat untuk memenuhi
kebutuhan nafsu yang mengakibatkan eksploitasi terhadap alam. Kesadaran inilah
yang akan membawa manusia dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan;
sebagai manusia sempurna (al-Insān al-Kāmil) yang dapat mencerminkan sifat
dan asmā‟ Tuhan dalam dirinya.56
C.3. Relevansi Konsep Manusia Sempurna dalam Dunia Modern
Dunia modern, oleh rasionalis yang materialis dianggap sebagai puncak
dari peradaban dan kebudayaan umat manusia melalui ilmu pengetahuan dan
56
Seyyed Hossein Nasr. The Need for a Sacred Science. (United Kingdom: Curzon
Press, British. 1993). h. 16
81
teknologi. Karena dengan akalnya yang tajam Manusia Modern mampu
mengembankan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengagumkan. Bahkan
mereka menganggap bahwa manusia zaman dahulu hanyalah sekumpulan
manusia dengan kerendahan peradaban dan kebudayaan, karena terlalu diliputi
oleh kehidupan yang takhayul, irasional, dan terbelenggu oleh kepercayaan yang
dogmatis. Dari sini tampak terlihat kebebasan kehendak manusia dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi memiliki batasan.
Namun, sampai saat ini perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak memiliki
batasan tersebut masih dianggap sebagai „pengawal kemajuan‟ umat manusia,
meskipun perkembangan dan kemajuan itu sendiri telah banyak diserang karena
banyak membawa berbagai ketimpangan dan pencemaran, baik secara fisik,
biologis, sosial, dan budaya.57
Sebagaimana uraian di atas menunjukkan bahwa perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan selain membawa dampak positif, juga membawa
dampak negatif. Meskipun di awal melakukan perkembangan itu adalah bertujuan
untuk kemaslahatan dan kemajuan umat manusia. Berangkat dari dampak negatif
inilah peneliti ingin menguraikan bahwa tidak selamanya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi itu selalu menjadi „pengawal kemajuan‟ umat
manusia.
Oleh karenanya, peneliti ingin mengkaji lebih mendalam keterkaitan
antara konsep manusia sempurna dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi melalui fakta yang terjadi; lebih tepatnya, mengarahkan kepada
57
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. h. 237-238
82
“bagaimana semestinya menjadi manusia dengan ilmu pengetahuan yang
dimiliki?” Hal ini bertujuan agar mampu mebawa konsep manusia sempurna
menjadi relevan dalam dunia modern melalui sinergitas antara kepentingan
kemaslahatan umat manusia dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Maka dari itu, perlu kiranya di sini menghadirkan fakta-fakta dan
kejadian yang ditimbulkan oleh dampak negatif dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern yang bebas tanpa batasan tersebut. Adapaun
penguraiaanya akan disesuaikan dengan gagasan Nasr mengenai Manusia Modern
melalui ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan dalam tinjauan teologis,
epistemologis, dan kosmologis sebagai akibat dari kedua tinjauan sebelumnya.
Berawal dari tinjauan teologis, Manusia Modern memiliki anggapan
bahwa peranan Tuhan tidak lagi memiliki andil dalam segala tindakan manusia.
Manusia bebas melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Aturan dan ketentuan
Tuhan tidak lagi menjadi ukuran bagi setiap tindakan manusia. Segala sesuatu
yang ada di muka bumi ini termasuk ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
manusia tidaklah memiliki hubungan dengan yang sakral. Dunia ini adalah tempat
tinggal asal dan akhirnya, dalam artian tidak ada lagi kehidupan setelah kematian.
Bahkan mereka memiliki anggapan bahwa “Tuhan telah mati” (God is Dead).58
Teologi mereka tidak lagi mengarah pada Tuhan yang sesungguhnya, melainkan
lebih kepada tuhan-tuhan yang ada di dunia ini; harta, kehormatan, dan lain
sebagainya. Dengan anggapan demikian, tentu segala sesuatu yang ada di dunia
ini tidak lagi memiliki hubungan dengan yang sakral.
58
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 181-182
83
Sebagaimana anggapan di atas, membawa dampak pula pada ilmu
pengetahuan. Mereka menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah produk dari
manusia sendiri dan bukan dari Tuhan, inilah yang disebut Nasr dengan
desakralisasi ilmu pengetahuan.59
Tentu hal ini akan berakibat fatal dalam
kegunaannya nanti pada ilmu pengetahuan tersebut. Dilepasnya kaitan antara
dimensi sakral dari ilmu pengetahuan, menjadikan ilmu itu semakin liar dan bebas
mengeksplorasi apapun karena tidak adanya kontrol yang mengendalikan. Tidak
adanya kontrol dan kendali terhadap ilmu pengetahuan akan menjadi sangat
berbahaya baik bagi alam ataupun manusia sendiri. Sebagai contoh; terjadinya
bom-atom, riset-riset sains yang tidak ramah lingkungan, berdirinya pabrik-pabrik
yang merusak secara ekologis dan sosiologi, serta media-media dengan
penyebaran gagasan-gagasan amoral yang tidak mendidik. Ini adalah perwujudan
dari Manusia Modern yang menganggap diri mereka sebagai Manusia Promethean
dengan kecenderungan pada kerusakan.60
Akibat dari ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan banyak
menyebabkan kerusakan dan kehancuran di muka bumi baik secara ekologis
maupun sosiologis. Bagi Nasr penderitaan masyarakat modern adalah akibat dari
pandangan teologi mereka dengan menganggap diri mereka sebagai Manusia
Promethean, juga falsafah yang diturunkan dari pandangan ini, serta pandangan
saintifik yang berjalan beriringan dengan falsafah modern. Dilepasnya hubungan
antara dunia ilmu pengetahuan dari dimensi sakral membuat ilmu menjadi sesuatu
yang sangat berbahaya.
59
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 1 60
Seyyed Hossein Nasr. “Renaissance Humanism”. dalam William C. Chittick (ed.). The
Essential Seyyed Hossein Nasr. h. 147-149
84
Di sini menjadi perlu kiranya untuk menghadirkan beberapa kejadian
sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan terhadap alam yang tanpa
adanya kontrol dan kendali. Manusia dengan kecanggihan baik pada peralatan
yang mereka gunakan atau metode yang mereka terapkan, tidak lagi menemukan
kesulitan pada setiap pekerjaan mereka, bahkan untuk menggali sampai dasar
bumi. Salah satunya adalah penggalian pada tambang yang ada dalam perut bumi,
sudah menjadi hal biasa untuk mereka kerjakan. Seperti penggalian batu-bara,
perak, emas, minyak, dan bahkan uranium yang diketahui uranium adalah bahan
dasar untuk membuat nuklir.61
Penggalian pada tambang yang ada dalam perut
bumi adalah tindakan eksploitatif terhadap alam dengan kecenderungan negatif
secara ekologis. Sekumpulan barang tambang tersebut adalah sekumpulan
tambang yang tidak dapat untuk diperbaharui.
Selain itu, dampak dari penggalian yang mereka lakukan cenderung
berakibat negatif lainya. Saat penggalian dilakukan, dan proses pengolahan
terhadap barang tambang hasil galian juga dilakukan, tentu akan menghasilkan
suatu pembuangan limba. Limba ini, apabila tidak tepat lokasi pembuangannya
akan berakibat fatal pada dataran tanah, karena tercemari dan terkontaminasi
sehingga mengakibatkan dataran tanah menjadi tidak subur. Tentu dampak negatif
ini akan sangat merugikan bagi petani. Selain itu, dampak negatif lain juga tidak
mungkin tidak terjadi seperti tanah longsor, gempa bumi, dan kejadian bencana
alam lainnya dikarenakan lempengan yang ada di bawah lapisan luar bumi telah
kopong dan tidak berisi sebagai akibat dari penggalian yang dilakukan.
61
Iqfadhilah. “Pengertian dan sejarah penemuan uranium, serta fungsi nya”. Artikel
diakses pada 07 April 2018 dari http://share-all-time.blogspot.co.id/2014/12/pengertian-dan-
sejarah-penemuan-uranium.html
85
Kosongnya bagian bawah dari lapisan luar inilah yang memiliki kemungkinan dan
potensi besar terjadinya bencana alam sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Realitas nyata dan dapat kita temukan di Indonesia adalah kasus Lumpur Panas
Lapindo yang diketahui sebagai akibat dari penggalian barang tambang.62
Tidak cukup hanya sampai di situ, lebih parahnya lagi adalah uranium
yang digunakan sebagai bahan nuklir. Nuklir adalah salah satu peralatan perang
yang digunakan oleh para militer untuk mempertahankan daerah kekuasaan
mereka dalam bernegara. Negara-negara maju dan kaya tentu memiliki peralatan
seperti ini yang mereka pergunakan untuk mempertahankan kekuasaan mereka;
dalam arti mempertahankan daerah kekuasaan mereka adalah mempertahankan
diri mereka dari orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Tentunya
anggapan sebagai mempertahankan diri dari musuh adalah dengan melawannya
melalui pertempuran atau peperangan yang tidak luput dari adanya korban baik
dalam bentuk finansial atau bahkan sampai pada nyawa manusia itu sendiri. Ini
bukan lagi bentuk eksploitasi terhadap alam, melainkan lebih parah dari itu, yaitu
pembantaian dan membabi-buta terhadap manusia.
“Kemajuan teknik tidak saja membuktikan kekuatan serta daya manusia
untuk menguasai alam, kemudian teknik itu tidak saja membebaskan
manusia, tetapi juga memperlemah serta memperbudaknya, kemajuan itu
memekanisasikan manusia dan menimbulkan gambaran serta persamaan
manusia dengan mesin”.63
Hal ini menunjukan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tanpa adanya kontrol yang mengendalikan, menjadikan mereka semakin
liar dan bebas untuk bertindak. Dilepaskannya kaitan antara ilmu pengetahuan
62
https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo. “Banjir Lumpur Panas
Sidoarjo” dalam Wikipedia Ensiklopedia Bebas. Artikel diakses pada 07 April 2018 63
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. h. 233
86
dari yang sakral menjadikan ilmu sebagai sesuatu yang berbahaya baik pada alam
atau manusia itu sendiri. Ini adalah salah satu produk dari perkembangan ilmu
pengetahuan oleh Manusia Modern. Di satu sisi teknologi menjadi penjara bagi
manusia, namun pada sisi lain teknologi tersebut dipenjara oleh kepentingan
manusia. Perkembangan mereka tidak lagi berkepentingan untuk kemaslahatan
umat, melainkan malah menghancurkan kemaslahatan itu sendiri. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang tadinya bertujuan untuk mempermudah
setiap urusan manusia, kini berbalik malah menjadi belenggu bagi manusia.64
Lalu, bagaimanakah seharusnya agar tidak menjadi Manusia Promethean
dengan pengetahuan yang cenderung merusak sebagaimana itu adalah cerminan
dari Manusia Modern? Nasr menjelaskan konsepsi mengenai Manusia Pontifikal,
ini adalah manusia yang digolongkan sebagai manusia yang masuk dalam kriteria
manusia sempurna. Manusia Pontifikal sadar bahwa ia adalah utusan Tuhan di
muka bumi; ia adalah jembatan antara Langit dan bumi, ia sadar bahwa ilmu
pengetahuan adalah bagian dari apa yang telah diajarkan oleh Tuhan, ia adalah
penyampai ajaran-ajaran Tuhan agar terlaksana di muka bumi sehingga tersebar
rahmat Tuhan bagi seluruh alam.
Manusia seharusnya kembali mengingat sifat dasar mereka ini, bahwa
mereka juga memiliki sifat ruhaniah dalam dirinya sebagai bagian dari Tuhan.
Nasr menerangkan bahwasannya manusia dalam mencapai puncak
kesempurnaannya haruslah dengan menyadari diri sendiri akan sifat
primordialnya sebagai manusia yang memiliki dimensi spiritual yang memiliki
64
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. h. 223
87
hubungan dengan yang sakral. Bahwa segala sesuatunya, termasuk ilmu
pengetahuan dan alam adalah bagian dari Tuhan. Dengan begitu manusia akan
sadar mengenai kegunaan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, dan dengan
demikian mereka akan sadar apa yang harus dilakukan terhadap alam; bahwa
dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki mampu menunjukkan dan
menjelaskan penampakan alam semesta yang begitu dahsyatnya merupakan
bagian dari kesempurnaan wujud Tuhan Yang Maha Sempurna. Oleh karenanya,
manusia dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki tidak akan lagi menjadi
manusia yang bobrok dan cenderung merusak terhadap alam sebagaimana itu
adalah gambaran dari Manusia Modern dengan menyebut diri mereka sebagai
Manusia Promethean.65
65
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. h. 170-171
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa manusia sempurna adalah
manusia yang mampu mencerminkan sifat-sifat dan asmā’ Tuhan serta seluruh isi
alam semesta dalam bentuknya yang lebih kecil (mikrokosmos). Dengan ini ia
menjadi makhluk pilihan (khalīfah) Tuhan yang dapat mengemban amanah Tuhan
untuk menjaga kelestarian alam, serta menjadi jembatan penghubung antara
Langit dan Bumi, dengan menteladani diri Nabi Muḥammad sebagai al-Insān al-
Kāmil. Karenanya, ia akan terlihat melalui tiga fungsi dasar utamanya sebagai
manusia sempurna: pertama adalah realitas manusia sebagai bagian dari alam
semesta, kedua adalah sebagai medium atau perantara bagi pesan-pesan Ilahi, dan
yang ketiga adalah sebagai perwujudan sempurna bagi kehidupan spiritual.
Supaya manusia dapat mencapai kesempurnaannya, manusia harus sadar
pada sifat dasar primordialnya. Bahwasannya dalam dirinya mengandung sesuatu
yang berhubungan dengan yang sakral dan berasal dari Tuhan (ruh). Sifat dasar
primordial inilah yang dapat membuat manusia sadar akan asal-muasal dirinya,
serta tahu apa yang harus dilakukan sehingga mampu menjadi manusia sempurna.
Oleh karena ia memiliki hubungan dengan yang sakral, maka termasuk
kemampuan dan ilmu pengetahuan yang ia miliki juga memiliki hubungan
tersebut. Karenanya, ia akan menjadi Manusia Pontifikal sebagai lawan dari
Manusia Promethean dan Manusia Tradisional yang berbeda dari Manusia
Modern. Manusia Tradisional sebagai cerminan dari Manusia Pontifikal dianggap
89
sebagai manusia yang mampu menjadi pengemban amanah Tuhan di muka bumi.
Sementara Manusia Modern sebagai cerminan dari Manusia Promethean adalah
manusia yang memberontak dan melawan langit sehingga konsepsi manusia
sempurna tidak dapat ditemui dalam diri mereka.
B. Saran dan Masukkan
Sampai pada titik akhir telah dijelaskan sekilas mengenai pemikiran
Seyyed Hossein Nasr yang mencakup segala bidang. Nasr berbicara secara rinci
mengenai falsafah, sufisme, ilmu pengetahuan, peradaban, kesenian, dari fisika
sampai metafisika. Nasr memang pemikir yang dapat dikutip dari segala sisi.
Intinya, pemikiran Nasr yang begitu luas tersebut memiliki kerangka yang begitu
sistematis sehingga tidak mungkin mengisolasi satu gagasan Nasr dengan
gagasan-gagasannya yang lain.
Maka dari itu, dalam membangun keutuhan pemahaman mengenai
kerangka pemikiran Nasr yang sistematis tersebut sangatlah dibutuhkan adanya
kritik dan saran dari luar yang dapat membantu peneliti lebih dalam
mengembangkan kajian terhadap pemikiran Seyyed Hossein Nasr. Tentunya, akan
menjadi sangat bermanfaat apabila dilakukan penelitian ulang terhadap pemikiran
Nasr yang mencakup segala bidang tersebut. Karena memang banyak hal darinya
yang dapat ditelaah dan diteliti oleh para akademisi. Semua ini tidaklah lepas dari
dedikasi dan sumbangsi Seyyed Hossein Nasr pada keilmuan di zaman
kontemporer ini.
90
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, H. Ali. Tuhan dan Mnusia. Terj. Lukman Saksono. Jakarta: Pustakakarya
Grafikatama. 1989
Arberry, A. J. Discourses of Rūmī. Selangor: Thinker’s Library, Malaysia. 1996
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Cet. XII. Jakarta: Rajawali Pers. 2014
C. Chittick, William (ed.). The Essential Seyyed Hossein Nasr. Canada: World
Wisdom. 2007
_____________________. Imaginal Worlds: Ibn al-‘Arabī and the Problem of
Religious Diversity. New York: State University. 1994
_____________________. Ibn ‘Arabi: Heir to the Prophets. Oxford: Oneworld
Publication, England. 2005
Departemen Agama RI. “Mushaf Al-Qur’an Terjemah”. Terj. Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an. Edisi t. 2002. Depok: al-Huda
Kelompok Gema Insani. 2005
Echols, Jhon M. & Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 1976
Hahn, Lewis Edwin, Dkk. (ed.). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. United
States of America: TheLibrary of Living Philosophers. 2001
https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo. “Banjir Lumpur
Panas Sidoarjo” dalam Wikipedia Ensiklopedia Bebas. Artikel diakses
pada 07 April 2018
Husaini. The Pantheistic Monism of Ibn ‘Arabī. Lahore: SH. Muhammad Ashraf
Publishers, Pakistan. 1992
Iqfadhilah. “Pengertian dan sejarah penemuan uranium, serta fungsinya”. Artikel
diakses pada 07 April 2018 dari http://share-all-
time.blogspot.co.id/2014/12/pengertian-dan-sejarah-penemuan-
uranium.html
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Penerbit Erlangga.
2006
__________________(ed.). Rasa’il Ikhwān al-Shafā. Buku Keenam. Terj. Ghazi
Salom. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Depag RI. 2007
Khalid, Abu. Kamus Arab al-Huda: Arab-Indonesia. Surabaya: Fajar Mulya. Tt.
Lutfi Masykur, Anis. ”Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr”. Skripsi Program
Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2017
91
Maftukhin. Filsafat Islam. Cet. I. Yogyakarta: Penerbit Teras. 2012
Muthahhari, Murtadha. Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama. Terj.
Mizan Team. Cet. V. Bandung: Mizan. 1990
Nadzir, Tanwirun. “Konsep Mikrokosmos Perspektif Ikhwān al-Shafā”. Skripsi
Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2016
Nasr, Seyyed Hossein. A Young Muslim’s Guide to the Modern World. Chicago:
KAZI Publication, Inc. 1994
__________________. Ideal and Realities of Islam. London: George Allen &
Unwin LTD. 1975
_________________. Islam and the Plight of Modern Man. London: Longman
Group. 1975
_________________. Knowledge and the Sacred. New York: SUNY Press. 1989
_________________. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man.
London: Mandala Books. 1976
_________________. Science and Civilization in Islam. New York: The New
American Library, America. 1970
_________________. Sufi Essays. Cet. I. London: George Allen and Unwin
LTD. 1972
_________________. The Need for a Sacred Science. United Kingdom: Curzon
Press, British. 1993
_________________. Traditional Islam in the Modern World. Kuala Lumpur:
Foundation for Traditional Studies, Malaysia. 1988
_________________ & Oliver Leaman (ed.). Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.
Terj. Tim Penerjemah Mizan. Vol. I. Bandung: Mizan. 2003
Nasuhi, Hamid dkk (Tim Penulis). “Pedoman Penulisan Skripsi” dalam Pedoman
Akademik Program Strata 1 2013/2014. Jakarta: Biro Administrasi
Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2013
Noer, Kautsar Azhari. Ibn Al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. Cet. I.
Jakarta: Penerbit Paramadina. 1995
Ritzer, George & Douglas J. Goodman (ed.). Teori Sosiologi Modern. Terj.
Alimandan. Cet. IV. Jakarta: Kencana. 2004
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam. Bandung: Mizan with
permission from the University of North Carolina Press. 1975
92
__________________. Dimensi Mistik Dalam Islam. Terj. Sapardi Joko Damono,
dkk. Cet. III. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2009
Sharif, M. M. (ed.). A History of Muslim Philosophy. Vol. I. Kempten: Allgauer
Heimatverlag, Bayern, Germany. 1963
___________ (ed.). A History of Muslim Philosophy. Vol. II. Kempten: Allgauer
Heimatverlag, Bayern, Germany. 1966
Soleh, Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Cet. V. Jakarta: Rajawali
Pers. 2012
Ziyadah, Ma’an. “Translation and Commentary on Tadbir al-Mutawahhid”.
Theses to the Faculty of Graduate Studies and Research of the
Requeirements for the Degree of Master of McGill University,
Montreal. 1969
_____________. “The Theory of Motion of Ibn Bājjah’s Philosophy”.
Dissertasion to the Faculty of Graduate Studies and Research of the
Requeirements for the Degree of Ph. D. of McGill University,
Montreal. 1973