Konsep Kegawatdaruratan

25
TUGAS ILMIAH DOKTER MUDA KONSEP KEGAWATDARURATAN OLEH: TRI WAHYUDI IMAN DANTARA 105070107121009 PEMBIMBING: Dr. Taufiq Agus Siswagama, Sp. An LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015

description

konsep

Transcript of Konsep Kegawatdaruratan

Page 1: Konsep Kegawatdaruratan

TUGAS ILMIAH DOKTER MUDA

KONSEP KEGAWATDARURATAN

OLEH:

TRI WAHYUDI IMAN DANTARA

105070107121009

PEMBIMBING:

Dr. Taufiq Agus Siswagama, Sp. An

LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2015

Page 2: Konsep Kegawatdaruratan

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.............................................................. 2

1.3 Tujuan Penulisan................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3

2.1 Definisi Kegawatdaruratan Medis........................................ 3

2.2 Indikasi Kegawatdaruratan Medis....................................... 3

2.2.1 Henti Jantung............................................................. 4

2.2.2 Henti Nafas................................................................. 5

2.3 Bantuan Hidup Dasar.......................................................... 5

2.4 Layanan Kegawatdaruratan Medis...................................... 10

2.5 Triase.................................................................................. 11

BAB III PENUTUP..................................................................................... 15

3.1 Kesimpulan.......................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 16

Page 3: Konsep Kegawatdaruratan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegawatdaruratan atau dapat pula disebut sebagai emergensi adalah

suatu situasi yang mendesak yang beresiko terhadap kesehatan, kehidupan,

kesejahteraan atau lingkungan. Suatu insiden dapat menjadi suatu

kegawatdaruratan apabila merupakan suatu insiden yang mendesak dan

mengancam nyawa, kesehatan, kesejahteraan, ataupun lingkungan; insiden

yang sebelumnya menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, kecacatan,

merusak kesejahteraan, ataupun merusak lingkungan; atau insiden yang memiliki

probabilitas yang tinggi untuk menyebabkan bahaya langsung ke kehidupan,

kesehatan, kesejahteraan ataupun lingkungan (Wikipedia, 2015).

Kegawatdaruratan medis adalah insiden cedera atau sakit yang akut dan

menimbulkan resiko langsung terhadap kehidupan atau kesehatan jangka

panjang seseorang (Caroline, 2013). Keadaan darurat tersebut memerlukan

bantuan orang lain yang idealnya memiliki kualisifikasi dalam melakukan

pertolongan, hal ini membutuhkan keterlibatan dari berbagai pelayanan

multilevel, baik dari pemberi pertolongan pertama, teknisi sampai ke layanan

kesehatan gawat darurat.

Kegawatdaruratan medis merupakan keadaan yang harus mendapat

intervensi segera. Dalam merespon kegawatdaruratan telah dibentuk Emergency

Medical Service (EMS) atau disebut pula layanan kegawatdaruratan medis.

Tujuan utama dari layanan ini adalah memberikan pengobatan kepada pasien

yang membutuhkan perawatan medis mendesak, dengan tujuan menstabilkan

kondisi saat itu, dan menyediakan transpor effisien dan efektif bagi pasien

1

Page 4: Konsep Kegawatdaruratan

menuju layanan pengobatan definitif (Cooper S et al., 2004). Layanan

kegawatdaruratan medis di tiap-tiap negara dan daerah menyediakan layanan

yang beragam dengan metode yang beragam pula, hal ini ditentukan oleh

kebijakan pemerintah negara masing-masing dengan metode pendekatan yang

berbeda pula tergantung dari kondisi dari negara tersebut. Secara umum, semua

layanan kegawatdaruratan medis menyediakan layanan bantuan hidup dasar

(Suserud B, 2005).

Bantuan hidup dasar (BHD) merupakan suatu tindakan medis yang

dilakukan pada pasien dengan sakit yang mengancam nyawa atau cedera

sampai pasien tersebut mendapatkan pelayanan kesehatan penuh di rumah

sakit. Pemberian BHD bertujuan untuk menyediakan sirkulasi darah yang

adekuat serta pernafasan melalui pembebasan jalan nafas (AHA, 2010). Untuk

mengaktifkan EMS dan memberikan BHD diperlukan pengetahuan yang cukup

mengenai konsep kegawatdaruratan maka dari itu pada tulisan ilmiah kali ini

akan membahas lebih lanjut mengenai konsep kegawat daruratan khususnya di

Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep kegawatdaruratan?

2. Apa tanda-tanda kegawatdaruratan?

3. Apa yang harus dilakukan bila menemukan tanda-tanda

kegawatdaruratan?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari pustaka ilmiah ini adalah untuk memahami dan

menyamakan konsep mengenai kegawatdaruratan agar dapat diketahui dan

ditangani dengan cepat dan tepat untuk menghindari perburukan keadaan bagi

masyarakat awam umumnya serta bagi tenaga kesehatan khususnya.

2

Page 5: Konsep Kegawatdaruratan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kegawatdaruratan Medis

Kegawatdaruratan medis dapat diartikan menjadi suatu keadaan cedera

atau sakit akut yang membutuhkan intervensi segera untuk menyelamatkan

nyawa atau mencegah kecacatan serta rasa sakit pada pasien. Pasien gawat

darurat merupakan pasien yang memerlukan pertolongan segera dengan tepat

dan cepat untuk mencegah terjadinya kematian atau kecacatan. Dalam

penanganannya dibutuhkan bantuan oleh penolong yang profesional, yang

berarti memiliki kualisifikasi dalam melakukan pertolongan. Derajat

kegawatdaruratan serta kualitas dari penanganan yang diberikan membutuhkan

keterlibatan dari berbagai tingkatan pelayanan, baik dari penolong pertama,

teknisi kesehatan kegawatdaruratan serta dokter kegawatdaruratannya itu

sendiri. Respon terhadap keadaan kegawatdaruratan medis bergantung kuat

pada situasinya, keterlibatan pasien itu sendiri serta ketersediaan sumber daya

untuk menolong Hal tersebut beragam tergantung dimana peristiwa

kegawatdaruratan itu terjadi, di luar atau di dalam rumah sakit. (Caroline, 2013).

Dalam kajian lebih lanjut AHA, 2005 menggunakan empat poin the chain

of survival atau disebut juga empat rantai kehidupan. Rantai kehidupan ini

merupakan aksi serial yang dilakukan untuk mengurangi kematian yang

diakibatkan oleh henti nafas dan henti jantung. Rantai kehidupan ini meliputi

empat tahap yaitu early access, early cardiapulmonary resuscitation (CPR), early

defibrillation, dan early advanced life support (ALS) (Bossaert LL, 1997).

2.2. Indikasi Kegawatdaruratan Medis

Menurut AHA, 2010, indikasi dilakukannya BHD adalah henti nafas

(ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari

3

Page 6: Konsep Kegawatdaruratan

pasien) dan henti jantung (ditandai dengan tidak terabanya nadi karotis).

Berdasarkan survei kesehatan rumah sakit (SKRT) tahun 2013 (Depkes, 2013)

serangan jantung merupakan urutan kedua yang menyebabkan kematian

mendadak, kecelakaan terkait serangan jantung merupakan urutan kertiga

penyebab kematian di Indonesia.

2.2.1. Henti Jantung

Henti jantung adalah berhentinya secara tiba-tiba sirkulasi darah yang

efektif dikarenakan gagalnya jantung untuk berkontraksi secara efektif tidak

berkontraksi sama sekali (Jameson et al., 2005). Berhentinya sirkulasi darah

mencegah hantaran oksigen dan glukosa ke seluruh tubuh. Kurangnya oksigen

dan glukosa pada otak menyebabkan penurunan kesadaran yang akan

menghasilkan gangguan atau hilangnya nafas. Kerusakan otak akan terjadi

apabila henti jantung tidak segera ditangani lebih dari lima menit (Holzer M &

Behringer W, 2005).

Secara umum penyebab henti jantung dapat kelompokan menjadi dua

bagian yaitu oenyebab dari luar jantung (ekstra-kardiak) ataupun dari jantungnya

sendiri (kardiak). Penyebab yang berasal dari jantung antara lain: penyakit

jantung iskemik (seperti infark miokard, stenokardia), aritmia yang dari berbagai

asal dan karakternya, kelainan elektrolit, kelainan katup, tamponade kardiak,

tromboemboli arteri pulmonar, ruptur aneurisma aorta sedangkan penyebab yang

berasal dari ekstra-kardiak antara lain obstruksu jalan nafas, gagal nafas akut,

syok, henti jantung reflektor, emboli dari berbagai asalnya, overdosis obat-

obatan, serta keracunan (AHA, 2005). AHA, 2010 memberi singkatan 5H dan 5T

untuk mengingat penyebab henti jantung yaitu: 5H: hipovolemi, hipoksia, ion

hidrogen (asidosis), hipo/hiperkalemia, dan hipotermia. 5T: tension

pneumothorax, tamponade cardiac, toksin, thrombosis pulmonary, dan

thrombosis coronary.

4

Page 7: Konsep Kegawatdaruratan

2.2.2. Henti Nafas

Henti nafas merupakan berhentinya pernafasan normal akibat kegagalan

paru-paru untuk berfungsi secara efektif. Henti nafas berbeda dengan henti

jantung namun dapat diakibatkan oleh henti jantung, dimana otot jantung gagal

berkontraksi dan dapat juga dihasilkan dari nafas apneu yang lama kemudian

melambat dan berhenti. Henti nafas mencegah hantaran oksigen ke seluruh

tubuh. Kekurangan oksigen di otak menyebabkan penurunan kesadaran.

Kerusakan otak akan menyebabkan henti nafas bila tidak ditangani lebih dari tiga

menit, dan kematian akan terjadi jika tidak ditangani segera lebih dari lima menit

(AHA, 2010). Penyebab henti nafas antara lain distrofi muskular, amyotophic

lateral sclerosis (ALS), cedera medula spinalis, stroke, cedera dada, cedera paru

akut, skoliosis, syok hipovolemik, syok hemoragik, dan beberapa penyakit

lainnya.

2.3. Bantuan Hidup Dasar

Bantuan hidup dasar (BHD) merupakan bantuan medis yang diberikan

pada korban atau pasien dengan sakit atau cedera yang mengancam jiwa

sampai korban atau pasien tersebut mendapatkan pelayanan medis penuh di

rumah sakit. Aspek pokok BHD mengikuti algoritma medis the chain of survival,

meliputi: immediate recognition dari henti jantung, activation dari sistem respon

kegawatdaruratan, secara dini melakukan CPR, rapid defibrillation dengan alat

bantu defibrilator, efektif advanced life support, serta perawatan terintegrasi

paska henti jantung.

5

Page 8: Konsep Kegawatdaruratan

Gambar 1. The Chain of Survival

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa indikasi dilakukannya BHD adalah

henti nafas dan henti jantung. Menurut AHA, 2010 adapun tujuan dilakukannya

BHD adalah mempertahankan dan mengembalikan fungsi oksigenasi organ-

organ vital, mempertahankan hidup dan mencegah kematian, mencegah

komplikasi yang bisa timbul akibat kecelakaan, mencegah tindakan yang dapat

membahayakan korban, melindungi orang yang tidak sadar, mencegah

berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi, memberikan bantuan eksternal

terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau

henti nafas melalui CPR.

Pada AHA, 2010 terdapat beberapa perubahan pokok dari AHA tahun

2005. Perubahan-perubahan pokok tersebut antara lain:

Penyederhanaan BHD dewasa yang universal (Gambar 2)

Pengenalan langsung dan aktivasi EMS berdasarkan tanda-tanda dari

tidak sadar dengan tanpa pernafasan atau tidak normalnya pernafasan

(sebagai contoh: megap-megap)

Menghilangkan algoritma evaluasi pernafasan “look, listen, and feel”.

Menekankan pada CPR yang berkualitas (kompresi dada yang dalam dan

rata adekuat, memungkinkan rekoil dada setelah masing-masing

kompresi, meminimalisasikan interupsi dalam kompresi dan menghindari

ventilasi yang berlebihan).

6

Page 9: Konsep Kegawatdaruratan

Penolong sendiri langsung melakukan CPR sebelum melakukan nafas

bantuan (mengutamakan C-A-B dibanding A-B-C).

Rata-rata kompresi harus paling sedikit 100 kali/menit (dibandingkan

mencapai 100 kali/menit)

Kompresi dalam untuk dewasa telah diubah dari kisaran 1,5 inchi

samapai 2 inchi menjadi setidaknya 2 inchi (5 cm).

Perubahan-perubahan tersebut didesain untuk menyederhanakan

pelatihan penolong dan memusatkan pada kebutuhan kompresi dada pada

korban dengan henti jantung.

Gambar 2. Algoritma BHD dewasa yang telah disederhanakan

Langkah-langkah melakukan BHD resuitasi jantung paru dan otak (RJPO)

adalah sebagai berikut:

7

Page 10: Konsep Kegawatdaruratan

1. Evaluasi respon dari korban

2. Mengaktifkan EMS/kode biru

3. Memposisikan korban di tempat yang aman dan beralas keras

4. Evaluasi nadi atau tanda-tanda sirkulasi (evaluasi < 10 detik)

5. Lakukan pijat jantung dan nafas buatan dengan perbandingan 30:2; 30

kali kompresi dada disela dengan 2 kali tiupan nafas

6. Bantuan nafas

7. Evaluasi nadi atau tanda-tanda sirkulasi. Jika nadi tetap tidak terabi ulangi

5 siklus kemudian evaluasi lagi sampai nadi teraba.

8. Evaluasi jalan nafas dan pernafasan.

9. Posisi pemulihan (recovery position). Dilakukan pada korban tidak sadar

dengan adanya nadi, nafas, dan tanda-tanda sirkulasi. Bila tidak

didapatkan tanda-tanda trauma, tempatkan korban pada posisi

pemulihan. Posisi ini menjaga jalan nafas tetep terbuka.

BHD-RJPO dapat dilakukan dengan 1 penolong atau lebih. Di Indonesia

umumnya dilakukan oleh 1 atau 2 penolong. RJPO dengan 2 penolong, satu

penolong melakukan kompresi dada, yang lain melakukan bantuan nafas. Tujuan

melakukan dengan 2 penolong untuk mengurangi keletihan penolong dan

kompresi dada yang tidak adekuat. BHD-RJPO dilakukan sampai tim kode biru

datang, pasien sudah teraba nadi karotis dan bernafas baik, penolong sudah

lelah, atau tanda-tanda kematian muncul seperti lebam mayat atau lebih dari 30

menit tidak ada respon (AHA, 2010)

8

Page 11: Konsep Kegawatdaruratan

Tabel 1. Ringkasan komponen pokok BHD pada dewasa, anak-anak, dan bayi.

Gambar 3. Algoritma Advance Cardiac Life Support (ACLS).

9

Page 12: Konsep Kegawatdaruratan

2.4. Layanan Kegawatdaruratan Medis

Layanan kegawatdaruratan medis memiliki kebijakan yang beragam di

tiap-tiap negara. Hal tersebut tergantung pada demografi (meliputi kepadatan

penduduk distribusi populasi), geografi, kesiapan komunitas, transportasi,

komunikasi (meliputi perangkat lunak maupun perangkat keras), dan fasilitas

layanan kesehatan (meliputi rumah sakit pemerintah/swasta, layanan kesehatan

primer) (Dirjen Bina Pelayanan Medik, 2005).

Dalam bahasan internasional, layanan kegawatdaruratan medis memiliki

prinsip dasar pertolongan pertama, yaitu: mempertahankan kehidupan,

mencegah cedera lebih lanjut, dan menyokong pemulihan (recovery). Bahasan

ini gambarkan lebih lanjut dalam the star of life atau disebut bintang kehidupan.

Gambar 4. The Star of Life

The Star of Life (gambar 4) memiliki enam lengan yang masing-masing

mewakili satu dari enam poin yang ada, yang mana digunakan untuk

10

Page 13: Konsep Kegawatdaruratan

menggambarkan langkah-langkah perawatan pra-rumah sakit kualitas tinggi.

Langkah-langkah tersebut adalah meliputi early detection, early reporting, early

response, good on-scene care, care in transit, dan transit to definitive care.

Di Indonesia sistem kegawatdaruratan yang digunakan adalah sistem

penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT). SPGDT adalah sebuah sistem

penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari unsur pelayanan pra

Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit, serta antar Rumah Sakit yang terjalin

dalam suatu sistem. Layanan ini berpedoman pada respon cepat yang

menekankan pada time saving is life and limb saving yang melibatkan pelayanan

mulai dari masyarakat awam umum, khusus, petugas medis, pelayanan

ambulans gawat darurat, dan sistem komunikasi. Tujuan dari sistem pelayanan

ini adalah agar korban atau pasien tetap hidup dan mengurangi angka kecacatan

pada pasien gawat darurat (Saanin S, 2006).

SPGDT adalah suatu sistem berupa koordinasi dari sektor kesehatan

yang didukung oleh sektor lain dan kegiatan kelompok profesional pada keadaan

kegawatdaruratan medis sehari-hari dan pelayanan kegawatdaruratan medis

saat kejadian bencana. SPGDT dibagi menjadi dua yaitu sehari-hari dan

bencana. SPGDT sehari-hari meliputi pra rumah sakit (komunitas, pusat

keamanan publik, layanan panggilan darurat, layanan ambulan, layanan

kesehatan primer), di rumah sakit (lembaga kegawatdaruratan, HCU/ICU, ruang

operasi, forensik), dan antar rumah sakit (rumah sakit pemerintah, rumah sakit

swasta, rumah sakit polisi atau militer). SPGDT bencana meliputi pra bencana

(pencegahan, pembatasan, dan persiapan), di kejadian bencana (respon akut),

dan pasca bencana (pemulihan, rekonstruksi, rehabilitasi) (Dirjen Bina Pelayanan

Medik, 2005).

2.5. Triase

11

Page 14: Konsep Kegawatdaruratan

Triase adalah suatu proses penentuan prioritas perawatan pasien

berdasarkan tingkat keparahan kondisi pasien tersebut. Perlunya triase untuk

menentukan perawatan yang efisien terutama pada kondisi dimana sumber daya

tidak mencukupi untuk menangani semua pasien dengan segera (Iserson KV &

Moskop, 2007). Pada proses triase lebih lanjut, pasien cedera diurutkan ke

dalam beberapa kategori. Secara konvensional terdapat lima klasifikasi dengan

sesuai warna dan nomor, pembagian ini secara khusus dapat berbeda-beda di

tiap negara. Umumnya pembagian warnanya antara lain (Mehta S, 2006):

Hitam/expectant. Penanda pada pasien cedera dengan prognosis buruk,

dalam beberapa jan atau hari akan berujung kematian. Terapi yang

diberikan berupa terapi paliatif seperti pereda nyeri untuk mengurangi

kesakitan.

Merah/immediate. Pasien membutuhkan operasi atau intervensi yang

menyelamatkan nyawa dengan segera, dan memiliki prioritas utama

untuk di operasi atau dirujuk ke fasilitas lebih lanjut.

Kuning/observation: Pasien dengan kondisi stabil untuk sementara waktu

namun membutuhkan pengawasan oleh orang yang terlatih dan akan

membutuhkan perawatan rumah sakit.

Hijau/Wait. Pasien yang akan membutuhkan perawatan dokter dalam

beberapa jam atau hari namun tidak segera, dapat pula dipulangkan ke

rumah dan datang kembali di lain hari.

Putih/Dismiss: Pasien dengan cedera minor. Pertolongan pertama dan

perawatan di rumah sudah mencukupi dan tidak membutuhkan perawatan

dokter.

Pembagian diatas umumnya ditemukan di Unit Gawat Darurat (UGD) di

Indonesia. Triase dapat pula dilakukan di lapangan. Triase lapangan dilakukan

dalam kondisi terjadi bencana. Tujuan triase lapangan pada umumnya untuk

12

Page 15: Konsep Kegawatdaruratan

memilah dan mengkategorikan, terapi depat dengan sarana minimal, dan

melakukan rujukan yang tepat (Dirjen Bina Pelayanan Medik, 2005).

Gambar 5. Sistem Triase ESI

Namun beberapa studi mengemukakan triase klasik sudah tidak cocok

lagi diterapkan di rumah sakit modern. Sistem triase tersebut sebenarnya

mengadaptasi sistem triase bencana, dengan membuat kategori cepat dengan

pasien warna hitam, merah, kuning, dan hijau. Hitam adalah pasien meninggal,

merah adalah pasien gawat (dengan gangguan jalan nafas, pernafasan, atau

sirkulasi), kuning adalah pasien darurat, dan sisanya hijau. Sistem ini dirasa tidak

13

Page 16: Konsep Kegawatdaruratan

cocok lagi diterapkan di IGD rumah sakit modern yang perlu mempertimbangkan

evidence-based medicine atau kedokteran berbasis bukti salah satunya adalah

emergency severity index (ESI) yang digunakan di Amerika Serikat Ada

beberapa alasan mengapa ESI cocok diterapkan di sebagian IGD rumah sakit

Indonesia: perawat triase lebih mudah melihat kondisi dan keparahan

dibandingkan bekerja sama dengan dokter menegakkan diagnosis; perawat

triase bersama dokter jaga akan lebih mudah melihat keparahan kondisi dan

mempertimbangkan sumber daya apa saja yang akan digunakan untuk

menangani pasien tersebut; adanya response time yang beragam, sistem triase

ESI mempergunakan skala nyeri 1-10 sama dengan yang secara umum dipakai

di Indonesia (Datusanantyo, 2013).

14

Page 17: Konsep Kegawatdaruratan

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Konsep kegawatdaruratan merupakan bahasan yang beragam. Secara

umum kegawatdaruratan medis dapat diartikan sebagai suatu keadaan

yang mengancam nyawa yang membutuhkan intervensi segera untuk

menyelamatkan nyawa atau mencegah kecacatan pada pasien.

Di Indonesia, intervensi yang dilakukan pada kegawatdaruratan medis

adalah bantuan hidup dasar (BHD) sesuai dengan pedoman AHA tahun

2010.

Indikasi dilakukannya BHD adalah henti jantung dan henti nafas.

Layanan kegawatdaruratan medis beragam di tiap negara tergantung

pada demografi, geografi, kesiapan komunitas, transportasi, komunikasi,

dan fasilitas layanan kesehatan di negara tersebut.

Sistem penanggulangan kegawatdaruratan yang digunakan di Indonesia

adalah SPGDT.

15

Page 18: Konsep Kegawatdaruratan

DAFTAR PUSTAKA

AHA. 2005. 2005 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary

resuscitaion and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 112 (24

Suppl): IV-19-34. Desember 2005.

AHA. 2010. 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary

resuscitaion and Emergency Cardiovascular Care. Circulation.

Bossaert LL. 1997. Fibrilation and defibrilation of the heart. British journal of

anaesthesia. 79 (2): 203-213

Caroline, Nancy. 2013. Emergency Care in the Streets (Edisi ke-7). Jones and

Bartlett Learning. Hal. 96-97.

Cooper S, Barrett B, Black S et al,. 2004. The emerging role of the emergency

care practitioner. Emergency Medicine Journal. 21 (5): 614-618

Datusanantyo, RA. 2013. Emergency Severity Index (ESI): Salah Satu Sistem

Triase Berbasis Bukti. RAD Journal. 10: 7

Depkes. 2013 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia.

Dirjen Bina Pelayanan Medik. 2005. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat

Terpadu (SPGDT). Seri PPGD: Penanggulangan Penderita Gawat

Darurat/General Emergensy Life Support (GELS). Jakarta. Depkes-RI

Holzer M, Behringer W. 2005. Therapeutic hypothermia after cardiac arrest.

Current Opinion in Anesthesiology. 18 (2): 163-168

 Iserson KV, Moskop JC. 2007. Triage in medicine, part I: Concept, history, and

types. Annals of Emergency Medicine. 49 (3): 275–81

Jameson JN, Dennis LK, Harrison TR, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL et al.

2005. Harrison’s principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill

Medical Publishing Division.

16

Page 19: Konsep Kegawatdaruratan

Khalid, U & Juma, AA. 2010. Paradigm shift: ‘ABC’ to “CAB’ for cardiac arrests.

Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine.

18: 59

McLay LA & Mayorga ME. 2010. Evaluating emergency medical service

peformance measures. Health Care Manag Sci. 13: 124-136

Mehta S (April 2006). Disaster and mass casualty management in a hospital:

How well are we prepared?. J Postgrad Med. 52 (2).

Pitt E & Pusponegoro A. 2005. Prehospital care in Indonesia. Emergency

Medicine Journal. 22: 144-147

Saanin, Syaiful. 2006. Dinkes Prop Sumbar.

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/SPDGT11.pdf. (Online).

Diakses pada tanggal 19 Febuari 2015, pukul 22:51

Suserud B. 2005. A new profession in the pre-hospital care field: the ambulance

nurse. Nursing in Critical Care. 10 (6): 269-271

Wikipedia, 2015. “Emergency”. http://en.wikipedia.org/wiki/Emergency. (Online).

Diakses pada tanggal 19 Febuari 2005, pukul 18:19 WIB.

17