KONSEP HIDUP SEJAHTERA PERSPEKTIF AL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39353...i...

110
i KONSEP HIDUP SEJAHTERA PERSPEKTIF AL-QURAN (Studi Komparatif Penafsiran M. Quraish Shihab dan Hamka) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Asep Hilmi NIM: 1111034000031 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H./2018 M

Transcript of KONSEP HIDUP SEJAHTERA PERSPEKTIF AL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39353...i...

i

KONSEP HIDUP SEJAHTERA PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Studi Komparatif Penafsiran M. Quraish Shihab dan Hamka)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Asep Hilmi

NIM: 1111034000031

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H./2018 M

ii

iii

iv

v

ABSTRAK

Asep Hilmi

Konsep Hidup Sejahtera Perspektif Al-Qur’an

(Studi Komparatif Penafsiran M. QuraishShihab dan Hamka)

Hidup sejahtera adalah suatu kondisi orang-orang yang terlibat di dalamnya

berada dalam keadaan sehat, damai dan makmur. Dalam arti yang lebih luas hidup

sejahtera dapat diartikan terbebasnya seseorang dari jeratan kemiskinan,

kebodohan dan rasa takut sehingga dia memperoleh kehidupan yang aman dan

tenteram secara lahiriah maupun batiniah. Skripsi ini khusus mengangkat tema

tentang kesejahteraan perspektif al-Qur’an. Penulis mengambil dua pendapat dari

ahli tafsir yaitu M. Quraish Shihab dan Hamka.

Kajian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini adalah berupaya menelusuri

bagaimana penafsiran M. QuraishShihab dan Hamka terhadap ayat-ayat yang

menjelaskan tentang hidup sejahtera, dan juga melihat bagaimana perbedaan pola

penafsiran yang dikemukakan oleh kedua tokoh tersebut?

Dari beberapa penjelasan yang diungkapkan, dapat diketahui bahwa aspek-

aspek yang sering dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kesejahteraan

masyarakat diantaranya pembentukan mental (tauhid), konsumsi, dan hilangnya

rasa takut dan segala bentuk kegelisahan, sebagaimana yang disebutkan Allah

Swt. dalam Q.SQuraisy/106: 3-4. Selanjutnya dalam ekonomi Islam, kebahagiaan

hidup justru diberikan oleh Allah Swt. kepada siapa saja (laki-laki dan

perempuan) yang mau melakukan amal kebaikan disertai dengan keimanan

kepada Allah Swt. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt. Dalam Q.SAn-

nahl/16: 97.

Hasil penelitian yang didapatkan, secara garis besar adalah bahwa hidup

sejahtera menurut M. QuraishShihab dan Hamka ialah hidup yang bisa

menyeimbangkan kebutuhan antara dunia dan akhirat, percaya sepenuhnya

terhadap ar-RaziqAllah Swt., serta menyadari keagungan, kebesaran, dan

kekuasaan Allah meliputi alam raya ini. Untuk mencapai hal tersebut, M.

QuraishShihab dan Hamka menyarankan beberapa cara, diantaranya adalah

dengan berusaha memaksimalkan kemampuan untuk beramal saleh dan berfaedah,

menggunakan waktu dengan baik, dalam arti tidak menyia-nyiakan selagi ada

kesempatan, dan menjaga harta dengan baik, tidak bakhil dan tidak boros,

melainkan bersikap ditengah-tengah dan sewajarnya. Serta iman yang dibarengi

dengan ilmu pengetahuan, karena keduanya dapat mengangkat derajat terlepas

dari pangkat, kedudukan, kekayaan, dan kepuasan yang sifatnya duniawi semata.

vi

KATA PENGANTAR

بسم اهلل الرحمن الرحيم

Puji dan syukur bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang mengajarkan kepada

manusia apa yang ia tidak tau, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi

dengan judul Konsep Hidup Sejahtera perspektif Al-Qur’an (Studi

Komparatif Penafsiran M. Quraish Shihab dan Hamka). Sholawat serta salam

semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., begitu juga kepada

keluarga dan para sahabat.

Bagi penulis, skripsi ini merupakan sebuah proses menuju kelulusan.

Layaknya sebuah proses liku-liku perjalanan dalam menyelesaikan proses ini

tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak. Untuk itu, tak dapat dipungkiri

sebuah rasa bahagia ini sepenuhnya bukan karena jerih payah penulis sendiri.

Sudah sepatutnya penulis ingin menyampaikan rasa “terima kasih” dan

penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran

skripsi ini. Bantuan dan dukungan mereka, sedikit banyak telah meringankan

beban penulis selama menyusun skripsi ini. Meskipun tidak semua pihak dapat

disebutkan satu persatu, setidaknya penulis merasa perlu menyebutkan sejumlah

nama yang membekas di hati penulis, yaitu:

1. Ibu Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA., selaku pembimbing Skripsi saya

yang sejak semula dengan ketulusan hati dan tidak bosan-bosan

memberikan perhatian dan dorongan yang luas untuk menyelesaikan tugas

akhir ini.

vii

2. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA., selaku penasihat akademik yang terus

mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini, dan juga

yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam proses penulisan.

3. Ibu Lilik Umi Kaltsum, MA., dan Ibu Banun Binaningrum, M.Pd., selaku

ketua dan sekretaris jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, yang telah

memberikan beberapa masukan yang sangat bermakna.

4. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA,

selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Segenap jajaran dosen dan guru besar Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Bapak Eva

Nugraha, M.Ag., Bapak M. Anwar Syarifuddin, S.Ag., MA., Bapak Ahsin

Sakho M. Asyrofuddin, Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., Bapak Said

Agil Husain al-Munawar, MA., Bapak Kusmana, S.Ag., MA, yang

senantiasa memberikan ilmu serta wejangan yang tiada tara manfaatnya.

6. Staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan

Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang banyak membantu dalam

menyediakan referensi yang dibutuhkan penulis.

7. Keluarga penulis, Bapak Endang Wahyudin dan Ibu Aap Hafsah, Beserta

Kakak-kakak ku dan adikku, yang senantiasa memberikan doa dan

senyumnya dalam menyemangati penulis.

8. Teman-teman seperjuangan, Eka Saputra, Arif Aprian, Ahmad Toib,

Jamiludin, Saiful, Niken Anjani, Ifa Nur Rofiqoh, Rifqi dan Semua teman-

teman sektor 11 yang telah memberikan semangat.

viii

Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia sempurna.

Namun begitu, semua tulisan yang ada di dalam skripsi ini adalah tanggung jawab

penulis. Untuk semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi

ini penulis ucapkan terima kasih.

Ciputat, 04 Februari 2018

Asep Hilmi

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL .................................................................................................. i

SURAT PERNYATAAN ...................................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ iii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iv

ABSTRAK .............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................xi

BAB I

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................................. 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 10

D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 10

E. Metodologi Penelitian ................................................................................... 11

F. Sistematika Penulisan ................................................................................... 14

BAB II

DEFINISI KESEJAHTERAAN DAN RIWAYAT TAFSIR...........................16

A. Kata Sejahtera dalam al-Qur’an.................................................................... 16

B. Biografi M.QuraishShihab dan Hamka ........................................................ 22

C. Riwayat Tafsir al-Misbah dan al-Azhar ....................................................... 28

x

BAB III

PRINSIP-PRINSIP HIDUP SEJAHTERA........................................................35

A. Terpenuhinya Kebutuhan Materi .................................................................. 38

B. Terpenuhinya Kebutuhan Rohani ................................................................. 42

C. Beriman dan Bertakwa ................................................................................. 51

D. Tersedianya Sumber Penghidupan ............................................................... 53

BAB IV

SARANA UNTUK MENCAPAI HIDUP SEJAHTERA.................................62

A. Menuntut Ilmu .............................................................................................. 64

B. Berusaha dan Bekerja Keras ......................................................................... 67

C. Disiplin ......................................................................................................... 75

D. Tidak Boros dan Mubazzir .......................................................................... 81

E. Menabung . ................................................................................................... 88

BAB V

PENUTUP.............................................................................................................91

A. Kesimpulan ................................................................................................... 91

B. Saran ............................................................................................................. 93

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 94

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada

Romanisasi Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama kali

diterbitkan pada tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan

LibraryCongress (LC).

I. Konsonan Tunggal

Huruf

Arab Nama Huruf Latin Keterangan

Alīf .......... Tidak dilambangkan ا

Bā′ B Be ة

Tā′ T Te د

Tsā′ Ts Te dan Es ث

Jā′ J Je ج

Hā′ Ḥ Ha titik bawah ح

Khā′ Kh Ka dan ha خ

Dal D De د

Dzal Dz De dan zet ذ

Rā′ R Er ر

Zai Z Zet ز

Sīn S Es ش

Syīn Sy Es dan ye ش

Ṣād Ṣ Es titik bawah ص

Ḍād Ḍ De titik bawah ض

Ṭā′ Ṭ Te titik bawah ط

Ḍā′ Ẓ Zet titik bawah ظ

xii

ʻAyn ...ʻ... Koma terbalik (di atas) ع

Gayn Gh Ge غ

Fā′ F Ef ف

Qāf Q Qi ق

Kāf K Ka ك

Lām L El ل

Mīm M Em و

Nūn N En

Waw W We و

Hā′ H Ha

Hamzah ...′... Apostrof ء

Yā′ Y Ye

II. Konsonan rangkap karena tasydīd ditulis rangkap

Ditulis mutaʻddidah يتعددح

Ditulis ʻiddah عدح

III. Tā′ marbūṭāh di akhir kata

1. Bila dimatikan ditulis h:

ditulis Hibah هجخ

ditulis jizyah جسيخ

xiii

(Ketentuan ini tidak diperlukan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap

ke dalam bahasa Indonesia seperti zakat, sholat, dan sebagainya, kecuali

dikehendaki lafal aslinya).

2. Bila dihidupkan karena berangkaian dengan kata lain ditulis t:

ditulis niʻmatullah عخ للا

ditulis zakat al-fiṭri زكبح انفطر

IV. Vokal pendek

Fatḥah Ditulis a contoh ضرة ditulis ḍaraba

Kasrah Ditulis i contoh فهى ditulis fahima

Ḍammah Ditulis u contoh كتت ditulis kutiba

V. Vokal panjang

1. Fatḥah + alif ditulis ā (garis di atas)

ditulis Jāhiliyyah جبههيخ

2. Fatḥah + alif maqṣurah ditulis ā (garis di atas)

ditulis yasʻā يسع

3. Kasrah + ya mati ditulis ī (garis di atas)

Ditulis Majīd يجيد

4. Ḍammah + waw mati ditulis ū (garis di atas)

ditulis Farūd فرود

xiv

VI. Vokal rangkap

1. Fatḥah + ya mati ditulis ai

Ditulis Bainakum ثيكى

2. Fatḥah + waw mati ditulis au

ditulis Qaul قىل

VII. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisah dengan

apostrof

Ditulis a′antum أأتى

Ditulis u′iddah أعدح

Ditulis la′insyakartum نئ شكرتى

VIII. Kata sandang alif dan lam

1. Bila diikuti huruf qamariyyah ditulis al

Ditulis al-Qur′ān انقرءا

Ditulis al-Qiyās انقيبش

2. Bila diikuti huruf syamsiyyah ditulis sama dengan huruf qamariyyah

Ditulis al-Syams انشص

ءانسآ Ditulis al-samā′

IX. Huruf besar

Huruf besar dalam tulisan latin digunakan sesuai dengan Ejaan Yang

Disempurnakan (EYD).

xv

X. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut

penulisannya

Ditulis dzawī al-furūḍ ذوي انفروض

Ditulis ahlal-sunnah أهم انسخ

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Quran merupakan Kitab suci umat Islam.Sebagai kitab suci al-Quran

diharapkan mampu memberi jawaban atas segala problem kehidupan manusia.

Al-Quran sebagai pegangan hidup akan menunjukkan manusia ke jalan yang

benar serta menguntungkan baik di dunia maupun di ahirat. Allah SWT telah

mengutus Rasulnya untuk membawa risalah ini ditengah tengah umatnya.

Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan ayat ayatnya, menyampaikan

maksud dan isinya serta menjadi tempat bertanya perihal hukum dan masalah

masalah sosial kemanusiaan.Adapun masalah kemiskinan merupakan satu di

antara masalah sosial lainnya.

Islam dalam usaha memecahkan problematika kehidupan manusia,

justru bertitik tolak pada ajarannya tentang manusia dan kehidupan ini

(aqidah). Islam memandang bahwa manusia dengan kehidupannya memiliki

keterikatan dengan hukum dan tata aturan dari pencipta alam semesta ini.

Islam tidak hanya mengurus maslah moral dan ibadah saja melainkan suatu

sistema yang padu di mana hukum dan tata aturannya terkait satu sama lain.

Hal ini mendorong manusia agar dapat hidup sejahtera, bahagia didunia dan

ahirat.1

1ʻAbdul ʻAzīz Al-Badrī. Tjetjep Suhandi, Terj,.Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam.

(Jakarta:Gema Insani Press 1993). Cet. 2 h. 10

2

Salah satu ayat yang menjelaskan pola kehidupan muslim dalam

mencapai Kesejahteraan adalah Q.S al-Qashah/28: 77, pada ayat ini Allah

SWT., menjelaskan tentang peringatan Nya kepada Qarun, Nama asli Qorun

adalah Qarun bin Yashhab bin Qahisy. Ia masih saudara sepupu Nabi Musa

AS. Nama lengkap Nabi Musa adalah Musa bin Imran bin Qahisy. Qarun

hidup di jaman Nabi Musa dengan bergelimang harta. Akan tetapi ia sombong

dengan apa yang telah tuhan berikan. Sehingga tuhan memperingatinya dalam

Q.S. al-Qashash/28: 77.

Artinya:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu

(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan

bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah

(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,

kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat

kerusakan.”

Peringatan ini dipahami sebagai anjuran untuk manusia supaya

berkehidupan dengan serba keseimbangan. Kesimpulan yang dapat dipahami

dari ayat tersebut adalah:2

1. Harta merupakan ujian

2. Pilar peradaban islam ada 4 yaitu :

a. amal saleh yang semata mata mengharapkan ahirat.

2Muhammad Amin Suma. Tafsir ayat Ekonomi, Teks, Terjemah dan Tafsir. (Jakarta :

Amzah. 2013)Cet. 1H. 66

3

b. pemakmuran dunia yang dilakukan semata mata untuk kebaikan, bukan

untuk kerusakan.

c. berbuat baik kepada sesama meliputi, kebaikan material, moral.

d. menjauhkan diri dari berbuat kerusakan, kemaksiatan dan kekacauan.

Allah lah yang menjadi segala sumber kebaikan dan rezki.

Makna Lā tansā naṣībaka min al-dunyā dipahami oleh al-Qurtūbī seperti

yang dijelaskan oleh Ibn Umar yaitu: berbuatlah untuk duniamu seakan akan

kamu akan hidup selama-lamanya dan berbuatlah untuk ahiratmu seakan-akan

kamu akan mati esok hari.3 Sedangkan dalam tafsir at-Thabarī dijelaskan

bahwa makana Lā tansā naṣībaka min al-dunyā adalah: “Janganlah engkau

tinggalkan bagian dan keberuntunganmu dari dunia. Hendaklah engkau

mengambil bagianmu untuk ahirat, dengan melakukan sesuatu yang dapat

menyelamatkanmu dari hukum Allah”4

Didalam penafsirannya, beliau menyertakan beberapa kutipan hadis yeng

menjelaskan makna potongan ayat tersebut yang rupanya dijelaskan oleh Nabi.

Dari sekian banyak hadis yang dicantumkan, saya tidak menjumpai makna

yang merujuk penyeimbangan urusan dunia dan ahirat.5

3Al-Qurtūbī, Muhyidin MasRida Ter,.Al-Jamī′ li Ahkam al-Qurʻan (Jakarta: Pustaka

Azzama. 2009) Cet. 1 h. 800. 4Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari. Ahsan Askan, dkk. Ter,. Jamīʻ al Bayān

an Taʻwil ayi al-Qurʻan (Jakrta : Pustaka Azzam, 2009). Cet 1. H. 355-359. 5Diantara hadis yang menjelaskan makan Lā tansā naṣībaka min al-dunyā adalah: dari

al-harits dari al-hasan, dari Waraqa dari Ibn Abu Juraij, dari Ibn Abu Najih dari Mujahid

tentang ayat “Lā tansā naṣībaka min al-dunyā” Maksudnya adalah beramal di dunia dengan

taat kepada Allah. Atau hadis dari Ibn Waqi dari Qotadah tentang Lā tansā naṣībaka min al-

dunyāmaksudnya adalah mencari yang halal.

4

Sedangkan menurut M. Quraish Shihab ada tiga hal penting yang harus

dipahami dalam ayat ini. Di antara nya adalah sebagai berikut:6

1. Islam tidak mengenal istilah amal dunia dana amal ahirat yang dipahami

secara terpisah. “semua amal dapat menjadi amal dunia_walau shalat dan

sedekah_bila ia tidak tulus, dan sebaliknya.

2. Pada ayat ini menegaskan ahirat sebagai tujuan namun dunia merupakan

sarana untuk menacapai tujuan tersebut. Jadi posisi dunia bukanlah

sebagai tujuan melainkan hanya sekedar saran untuk dapat mencapai

tujuan tersebut.

3. Redaksi kalimat yang menunjuk pada ahirat bersifat aktif sedangkan

kalimat yang menunjuk dunia pada ayat tersebut bersifat pasif. Hal ini

menjadi perhatian penting dalam pemahaman ayat. Karena dalam ayat

lain allah swt pun sudah banyak berbicara mengenai perbedaan

kenikmatan dunia dan ahirat.

Tiga hal tersebut menunjukan bahwa dunia menjadi ladang bagi ahirat

dan dapat diapahami pula kehidupan akhirat adalah hasil yang akan kita dapat

tergantung bagaimana kita hidup di dunia. Quraish Shibab menggunakan

istilah yang disampaikan oleh Ibn as-Syūr dalam pemahaman ayat

tersebut,“Allah tidak mengecammu jika engkau mengambil bagianmu dari

kenikmatan dunia.selama bagian itu tidak atas resiko kehilangan bagian

kenikmatan ukhrowi”.7

6Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah: Pesan kesan dan keserasian al-Quran” (Jakarta:

Lentera Hati 2002) cet I, h. 406. 7Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah, h. 404.

5

Penafsiran lain tentang ayat ini, dikemukakan oleh Hamka dalam tafsir

Al-Azhar bahwa harta benda itu adalah anugerah dari Allah. Dengan adanya

harta itu janganlah engkau sampai lupa bahwa sesudah ini engkau akan mati.

Sesudah dunia ini engkau akan pulang ke akhirat. Harta benda dunia ini,

sedikit atau pun banyak hanya semata-mata akan tinggal di dunia. Kalau kita

mati kelak, tidak sebuah jua pun yang akan dibawa ke akhirat. Sebab itu

pergunakanlah harta ini untuk membina hidupmu yang di akhirat itu kelak.

Berbuat baiklah, nafkahkanlah rezeki yang dianugerahkan Allah itu kepada

jalan kebajikan. Niscaya jika engkau mati kelak bekas amal mu untuk akhirat

itu akan engkau dapati berlipat ganda di sisi Allah. Begitu pula untuk dunia

janganlah pula dilupakan. Tinggallah dalam rumah yang baik, pakailah

kendaraan yang baik dan moga-moga semuanya itu diberi puncak kebahagiaan

dengan isteri yang setia.

Ada beberapa tafsir yang dikemukakan oleh ulama’terkait ayat tersebut

(al-Qashash/28: 77). Ada yang mengatakan bahwa nasib di dunia itu ialah

semata-mata menyediakan kain kafan. Karena itulah hanya barang dunia yang

akan engkau bawa ke kubur. Tetapi Ibnu Arabi memberikan tafsir yang lebih

sesuai dengan Roh Islam: “Jangan lupa bahagianmu di dunia, yaitu harta yang

halal.”8

Pada ayat yang lain Allah menjelaskan tentang pemberian rizki pada

mahluknya, yaitu dalam surat Huud/11: 6, sebagai berikut:

8Hamka, “tafsir al-Azhar”(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) juz 20, h. 128.

6

Artinya:

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-

lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam

binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam

kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”

Menurut Quraisy Shihab ayat ini menunjukan jaminan atas rizki setiap

mahluk, hanya saja penggunaan kata dabbah pada ayat ini ditafsirinya dengan

sesuatu yang bergerak. Artinya Ayat ini "menjamin" siapa yang aktif bergerak

mencari rizki, bukan yang diam menanti. Dari penjelasan ini dapat dipahami

bahwa salah satu alasan yang menjadi faktor penyebab kemiskinan adalah sifat

malas atau enggan berusaha. Lantaran Tuhan telah menjamin rezeki setiap

mahluk, maka bergerak (berusaha) untuk mendapatkan rizkiNya merupakan

syarat mutlak.

Sedangkan menurut Hamka ayat ini menjelaskan bahwa yang melata diatas

bumi tidak usah khawatir akan kekurangan rezeki, sebab Allah telah

menyediakan nya. Kalimat daabbatin, dapat dirtikan melata. Yaitu segala yang

berjalan, merangkak, merayap, menjalar. Sebab itu masuklah di dalamnya

sekalian manusia, sekalian binatang berkaki empat, yang berkaki banyak

sampai berates ratus kaki, demikian juga serangga, katak, burung2, cacing,

ikan-ikan, udang, belalang, lipas, kapuyuk, kepinding, nyamuk dan lain-lain.

Semuanya itu terkumpul dalam kata daabbatin. Dan semuanya sudah ada

ketentuan rezekinya oleh Tuhan, dan sudah tersedia makanan yang akan di

7

makannya. Atas Allah lah rezekinya, artinya Allah telah mewajibkan ke atas

diri-Nya sendiri buat menyediakan rezeki itu. Dan rezeki itu diberikan dengan

teratur sekali. Seluruh isi bumi ini adalah persediaan yang cukup bagi makanan

seluruh makhluk yang hidup disini.9

Ada beberapa ayat lain yang menjelaskan mengenai konsep hidup

sejahtera diantaranya QS. al-A’raf ayat 31 dan 96

Artinya:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki)

mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-

lebihan.”

Artinya:

Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,

pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan

bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami

siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Di antara aspek yang sering digunakan sebagai indikator ukuran

kesejahteraan adalah pendapatan, populasi, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,

konsumsi, perumahan, dan sosial budaya. Jika kita menggunakan indikator

tersebut, maka akan timbul pertanyaan apakah pemenuhan indicator tersebut

menjamin seseorang mendapatkan kesejahteraan?. Apabila iya, mengapa

9Hamka, “tafsir al-Azhar”(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) juz 12, h. 16.

8

beberapa orang sudah memiliki rumah mewah, kendaraan, deposito dan

berbagai bentuk properti lainnya harus merasa gelisah, takut, bahkan ada yang

mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Berdasarkan fakta di atas, tampaknya

ada yang kurang dalam mengukur kesejahteraan masyarakat. Dalam ekonomi

Islam, kebahagiaan diberikan oleh Allah kepada siapapun (pria dan wanita)

yang ingin melakukan perbuatan baik bersama dengan iman kepada Allah.

Seperti yang disebutkan oleh Allah dalam Surat An-Nahl/16: 97, sedangkan

tiga indikator untuk mengukur kesejahteraan dan kebahagiaan dalam Islam

adalah tauhid, konsumsi, dan hilangnya segala bentuk ketakutan dan

kecemasan. Hal itu seperti yang disebutkan Konsep Kesejahteraan dalam Islam

Allah dalam Q.S Quraisy / 106: 3-4.10

Namun sebagai orang Islam, adanya pandangan yang berbeda dengan

orang-orang yang berpegang pada ekonomi konvensional dalam hal

kesejahteraan adalah suatu hal yang lazim, karena itu sangatlah menarik untuk

membahas dan mengkaji konsep kesejahteraan dalam Islam, sebagaimana yang

telah diketahui bahwa ada tiga klasifikasi status social berdasarkan pendekatan

zakat, kelompok Ashnaf Tsamaniyah, kelompok menengah, dan kelompok

kaya (wajib zakat).11

Berkanaan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba menjelaskan

tentang kesejahteraan hidup di dunia melalui pendekatan tematik, dengan judul

10

Amirus Sodiq, “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam” Equilibrium III, no. 2,

(Desember 2015): h. 381. Diakses pada 20 Januari 2018 dari

http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/download/1268/1127 11

Sodiq, “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam”: h. 383.

9

“Konsep Hidup Sejahtera Perspektif Al-Qur’an : Studi Komperatif

Penafsiran Hamka Dan M. Quraish Shihab”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari beberapa penjelasan yang dipaparkan pada latar belakang di atas,

ada beberapa permasalahan yang muncul sebagai problematika dalam

kehidupan manusia, diantaranya yang pertama adalah tentang apa arti dari

hidup sejahtera. Kedua, sebagai orang Islam tentu ada beberapa upaya

bagaimana memecahkan problematika kehidupan yang tidak sejahtera?.

Dengan demikian kata kunci yang penulis gunakan dalam mencari ayat terkait

kesejahteraan adalah falaha dan roghodan.

Maka dari beberapa masalah di atas, penulis hanya akan membatasi

pembahasan sebagai berikut:

1. Penulis hanya fokus pada penafsiran bukan ke ranah sosiologi.

2. penulis hanya akan mengulas penafsiran dari M. Quraish Shihab dan

Hamka terkait hidup sejahtera perspektif al-Qur’an.

3. Penulis hanya fokus dalam penggunaan metode maudhu’i pada

penulisan skripsi ini.

Berdasarkan dari pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, dapat

dirumuskan dalam sebuah pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana penafsiran M. Quraish Shihab dan Hamka terhadap ayat-

ayat yang menjelaskan tentang hidup sejahtera

10

2. Apa perbedaan penafsiran yang dikemukakan oleh kedua tokoh

tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami konsep hidup sejahtera

menurut Hamka dan M. Quraish Shihab serta menjelaskan korelasi antara

keduanya yang sama sama menggunakan corak adab al-Ijtima dalam

memahami al-Quran.

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah memberikan pengetahuan

kepada setiap pembaca dalam memahami maksud ayat-ayat yang berkenaan

dengan konsep hidup sejahtera yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab dan

Hamka serta memahami perbedaan dari setiap pendapat dari kedua tokoh

tersebut.

D. Tinjauan Pustaka

Dari penelusuran pustaka yang penulis lakukan, ada beberapa skripsi

yang membahas tentang hidup sejahtera, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, “Analisa Pemberdayaan Zakat dalam Mensejahterakan

Perekonomian Mustahik Pada Lembaga Amil Zakat Sejahtera Umat” karya

Raditya Ramadhan, jurusan Perbankan Syari’ah. Skripsi ini menjelaskan

tentang: Zakat yang bertujuan tentang mensejahterakan terutama dalam hal ini

adalah lembaga amil zakat. Banyak dari mustahik yang hanya mengetahui

11

bahwasannya dana zakat adalah pemberian Cuma-Cuma untuk kebutuhan

sehari-hari.12

Kedua, “Konsep Keluarga Bahagia Sejahtera (Studi Komparasi antara

Santri Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta dan Mahasiswa indekos”.

Menjelaskan tentang studi komparasi konsep bahagia sejahtera antara santri

pondok pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta dengan Mahasiswa indekos

dengan menggunakan studi lapangan.13

Ketiga, Kajian tentang kemiskninan ditemukan dalam penelitian

diantaranya yaitu “Kemiskinan Perspektif M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-

Misbah” sebuah skripsi yang disusun oleh Lasminah Fakultas Ushuluddin

IAIN Semarang tahun 2013 ini menjelaskan tentang pendapat M.Quraish

Shihab dalam tafsir al-Misbah tentang makna kemiskinan dan solusi yang

ditawarkan. bahwa baik orang miskin maupun kaya dapat saling bantu

membantu dalam pengentasan kemiskinan dan hidup sejahtera.14

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Kepustakaan (Library Reseach)

yaitu metode pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan

12

Raditya ramdhan “Analisa Pemberdayaan Zakat dalam Mensejahterakan

Perekonomian Mustahik Pada Lembaga Amil Zakat Sejahtera Umat” (UIN Syahid Jakarta,

Jurusan perbankan Syari’ah, 2015) 13

Muhammad Nur Ihwan Ali, “Konsep Keluarga Bahagia Sejahtera,” (Tesis Magister

Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015). 14

Lasminah, “Kemiskinan perspektif Muhamad Quraish Shihab dalam Tafsir al-

Misbah,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negri Walisongo semarang,

2013).

12

terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan yang

ada sehingga diperoleh data yang diperlukan yang berhubungan dengan

masalah yang dipecahkan.15

2. Data Penelitian

Dalam tulisan ini, ada dua jenis data penelitian, yaitu data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data yang secara langsung berkaitan

dan menjadi rujukan utama dalam penulisan skripsi ini, diantaranya

adalah kitab tafsir al-Misbah karya M. Quraisy Shihab dan tafsir al-Azhar

karya Hamka. Sedangkan data skundernya adalah sumber-sumber lain

yang berkaitan dengan karya tulis ini, yang menjadi data pendukung serta

relevan dengan judul skripsi yang penulis ambil.

3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara mendokumentasikan dalam

bentuk catatan-catatn dari sumber data diatas untuk kemudian disusun

terkait pembahasan pembahasan terkait tema yang dimaksud.

4. Teknik analisis data

Setelah data terkumpul proses selanjutnya adalah melakukan

pembahsan atau analisis data. Dalam hal ini penulis menggunakan dua

metode. Pertama, deskriptif yaitu penelitian dengan tujuan untuk

15

M. Nazir. Metode Penelitian (Jakrta : Pt. Ghalia Indonesia, 2003)h.27.

13

menjelaskan atau mendeskripsikan suatu keadaan, peristiwa, objek atau

orang dan segala sesuatu yang terkait dengan variable-variabel yang bisa

dijelaskan. Kedua, komparatif yaitu membandingkan pandangan dan

perubahan pandangan kedua mufasir yang meliputi: metodologi,

epistimologi dan argumentasi.16

5. Pendekatan penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan historis, yaitu

pendekatan yang menekankan perhatian pada ruang dan waktu.

Pendekatan yang melacak sosio-historis kedua tokoh untuk mengetahui

biografi, pertumbuhan, keilmuan dan perkembangan pemikiran yang

dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi, konteks dan budaya yang berbeda.

6. Metode Penulisan

Metode penulisan skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Thesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh

CeQDA (Cebter for Quality Development and Assurance) Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

16

Wahyu Naldi, “Penafsiran terhadap ayat larangan tentang memilih pemimpin non

Muslim dalam al-Quran” studi komperasi antara Quraish Shihab dan Sayyid Quthb. (Skripsi

S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013).

14

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan singkat tentang

penulisan ini, penulis membagi dalam lima bab, yang mana masing masing bab

berisi persoalan persoalan tertentu dengan tetap berkaitan antar bab yang satu

dengan bab lainnya, adapun sistematikanya tersusun sebagai berikut.

BAB I, berisi pendahuluan yang merupakan gambaran umum terkait

karya tulis ini yang didalamnya terdiri dari sub bab yaitu latar belakang

masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

tinjauan pustaka dan metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II, membahas tentang berbagai hal yang merupakan landasan teori

dari penelitian ini. Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang gambaran

umum tentang kesejahteraan dalam perspektif al-Qur’an, diantaranya mengulas

definisi hidup sejahtera, biografi singkat M. Quraish Shihab dan Hamka serta

Riwayat Tafsir al-Misbah dan Tafsir al-Azhar.

BAB III, dalam bab ini akan memaparkan tentang prinsip-prinsip hidup

sejahtera di dunia. Yaitu ulasan tentang terpenuhinya kebutuhan materi,

terpenuhinya kebutuhan rohani, perintah untuk beriman dan bertaqwa, serta

jaminan rezeki yang disediakan oleh Allah SWT.

BAB IV, dalam bab ini penulis akan menganalisa tentang bagaimana

cara untuk mencapai hidup sejahtera, diantaranya adalah Menuntut Ilmu,

Anjuran untuk Berusaha dan Bekerja, Disiplin Waktu, Anjuran tidak Boros

dan tidak Berlebihan, serta Perintah untuk Menabung

15

BAB V, bab ini merupakan penutup dari skripsi ini, yang meliputi

kesimpulan dan saran, kesimpulan dimaksudkan untuk menarik kesimpulan

dari pembahasan yang dikaji dalam skripsi. Sedang saran merupakan tindak

lanjut dari hasil penulisan skripsi ini.

16

BAB II

DEFINISI KESEJAHTERAAN DAN RIWAYAT TAFSIR

A. Kata Sejahtera dalam al-Quran

Menurut Kamus Bahasa Indonesia mentakrifkan sejahtera sebagai aman,

sentosa, dan makmur serta bebas dari pada segala macam kesusahan, gangguan,

kesukaran dan lain-lain.1 atau dapat diartikan sebagai kata atau ungkapan yang

menunjuk kepada keadaan yang baik, atau suatu kondisi di mana orang-orang yang

terlibat di dalamnya berada dalam keadaan sehat, damai dan makmur. Amirus Sodiq

384 Jurnal Ekonomi Syariah dalam arti yang lebih luas kesejahteraan adalah

terbebasnya seseorang dari jeratan kemiskinan, kebodohan dan rasa takut sehingga

dia memperoleh kehidupan yang aman dan tenteram secara lahiriah maupun

batiniah.2

Adapun dari sudut pandang Islam, tepatnya pada ayat al-Quran sebenarnya

banyak sekali kata ayat al-Qur‟an yang mengandung arti sejahtera seperti Sa’ada

(bahagia), faza (gembira), falaha (sentosa), roghodan (suka/senang) disini kata yang

benar-benar mewakili arti sejahtera adalah al-falah dan roghodhan. Al-falah dapat

diartikan sebagai mendapat keuntungan, kebahagian dan kejayaan bukan sahaja di

1 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h.

27. 2Amirus Sodiq, “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam” Equilibrium III, no. 2, (Desember

2015): h. 383. Diakses pada 20 Januari 2018 dari

http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/download/1268/1127

17

dunia tetapi kejayaan yang dicapai di akhirat.3 Sedang roghodan dapat diartikan

sebagai kepuasaan hati, kesenangan terhadap apa yang digemari, dalam kamus besar

bahasa indonesia senang/kesenangan dapat diartikan sebagai perihal senang;

kepuasan; keenakan; kebahagiaan; kelegaan; kegemaran; kesukaan; hobi.

al-Quran telah meletakkan mekanisme-mekanisme yang tertentu bagi mencapai

al-falah ini. Secara mudahnya, mekanisme yang dikenal pasti sebagai formula untuk

mencapai kejayaan atau sejehateraan hidup adalah dengan menghayati unsur-unsur

murni seperti keimanan yang tinggi, amal soleh, taqwa, al-amr bi al-ma`ruf wa al-

nahy `an al-munkar, akhlak yang terpuji dan nilai-nilai luhur yang tercermin dalam

setiap perlakuan manusia. Firman Allah SWT dalam Q.S al-Mukminun/23: 1-6

sebagai berikut:

Artinya:

“1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, 2. (yaitu)

orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, 3. dan orang-orang

yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,

4. dan orang-orang yang menunaikan zakat, 5. dan orang-orang yang

menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak

yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada

terceIa.

3 Al-Fairuzabadi, Qamus al-Muhit (Bairut: Dar al-Fikr, 1983, Juz 4), h. 230.

18

Islam datang sebagai agama terakhir yang bertujuan untuk mengantarkan

pemeluknya menuju kepada kebahagiaan hidup yang hakiki, oleh karena itu Islam

sangat memperhatikan kebahagiaan manusia baik itu kebahagiaan dunia maupun

akhirat, dengan kata lain Islam (dengan segala aturannya) sangat mengharapkan umat

manusia untuk memperoleh kesejahteraan materi dan spiritual.4

Al-Qur‟an telah menyinggung kesejahteraan dalam Q.S Quraisy/106: 3-4:

Artinya:

3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini

(Ka'bah). 4. yang telah memberi makanan kepada mereka untuk

menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

Berdasarkan ayat di atas, maka kita dapat melihat bahwa indikasi kesejahteraan

dalam Al-Qur‟an ada tiga macam, yaitu menyembah Tuhan (pemilik) Ka‟bah,

menghilangkan lapar dan menghilangkan rasa takut.

Pertama, untuk kesejahteraan adalah ketergantungan penuh manusia kepada

Tuhan pemilik Ka‟bah, hal ini merupakan representasi dari pembangunan mental,

dan menunjukkan bahwa jika seluruh kesejahteraan yang berpijak pada aspek materi

telah terpenuhi, hal itu tidak menjamin bahwa pemiliknya akan mengalami

kebahagiaan, sering terdengar jika ada orang yang memiliki rumah mewah,

kendaraan banyak, harta yang melimpah namun hatinya selalu gelisah dan tidak

pernah tenang bahkan tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,

4 Faried Makruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera dan Bahagia (Bandung: PT al-Ma‟arif,

1983), h. 20.

19

padahal seluruh kebutuhan materinya telah terpenuhi. Karena itulah ketergantungan

manusia kepada Tuhannya yang diaplikasikan dalam penghambaan (ibadah) kepada-

Nya secara ikhlas merupakan peranan utama kesejahteraan (kebahagiaan yang

hakiki).

Kedua, yaitu hilangnya rasa lapar (kebutuhan konsumsi), ayat di atas

menyebutkan bahwa Dialah Allah yang memberi mereka makan untuk

menghilangkan rasa lapar, statemen tersebut menunjukkan bahwa dalam ekonomi

Islam terpenuhinya kebutuhan konsumsi manusia yang merupakan salah satu indikasi

kesejahteraan hendaknya bersifat secukupnya (hanya untuk menghilangkan rasa

lapar) dan tidak boleh berlebih-lebihan apalagi sampai melakukan penimbunan demi

mengeruk kekayaan yang maksimal, terlebih lagi jika harus menggunakan cara-cara

yang dilarang oleh agama, tentu hal ini tidak sesuai anjuran Allah dalam surat

Quraisy di atas, jika hal itu bisa dipenuhi, maka adanya korupsi, penipuan,

pemerasan, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya, tidak akan pernah disaksikan.

Ketiga, adalah hilangnya rasa takut, yang merupakan representasi dari

terciptanya rasa aman, nyaman, dan damai. Jika berbagai macam kriminalitas seperti

perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, pencurian, dan kejahatan-kejahatan lain

banyak terjadi di tengah masyarakat, hal itu menunjukkan bahwa masyarakat tidak

mendapatkan ketenangan, kenyamanan dan kedamaian dalam kehidupan, atau dengan

kata lain masyarakat belum mendapatkan kesejahteraan.5

5Muhyiddn Athiyyah, al-Kasyaf al-Iqtishadi li Ayati al-Qur’an (Riyadh: Dar al-Ilmi li Kutub

Islamiyah, 1992), h. 67.

20

Ayat lain yang menjadi rujukan bagi kesejahteraan terdapat dalam Al-Qur‟an

Q.S An-nisaa‟/04: 9.

Artinya:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka

khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah

mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan

Perkataan yang benar.”

Berpijak pada ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa kekhawatiran terhadap

generasi yang lemah adalah representasi dari kemiskinan, yang merupakan lawan dari

kesejahteraan, ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk menghindari

kemiskinan dengan bekerja keras sebagai wujud ikhtiyar dan bertawakal kepada

Allah, sebagaimana hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi

“Sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang melakukan amal perbuatan atau

pekerjaan dengan tekun dan sungguh-sungguh (profesional)” (Qardhawi, 1995: 256).

Pada ayat diatas Allah menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan

generasi penerusnya (anak keturunannya) agar tidak terjatuh dalam kondisi

kemiskinan, hal itu bisa dilakukan dengan mempersiapkan atau mendidik generasi

penerusnya (anak keturunannya) dengan pendidikan yang berkualitas dan

berorientasi pada kesejahteraan moral dan material, sehingga kelak menjadi

21

SDM yang terampil dan berakhlakul karimah, mengingat anak adalah asset yang

termahal bagi orang tua6

Dengandemikiandapatdisimpulkanbahwa hidup sejahtera dapat diperoleh

dengan membentuk mental menjadi mental yang hanya bergantung kepada Sang

Khalik (bertaqwa kepada Allah Swt.), dan juga berbicara dengan jujur dan benar,

serta Allah Swt. Juga menganjurkan untuk menyiapkan generasi penerus yang kuat,

baik kuat dalam hal ketaqwaannya kepada Allah Swt. Maupun kuat dalam hal

ekonomi.7

Oleh karena itu siapa saja yang mau melakukan amal kebaikan dan beriman

kepada Allah Swt. Maka Allah telah berjanji akan memberikan balasan berupa

kehidupan yang baik di dunia dan pahala di akhirat yang lebih baik dari apa yang

telah dikerjakannya. Kehidupan yang baik dapat diartikan sebagai kehidupan yang

aman, nyaman, damai, tenteram, rizki yang lapang, dan terbebas dari berbagai macam

beban dan kesulitan yang dihadapinya, sebagaimana yang tersebut dalam Q.S Ath-

Thalaq/65: 2-3 sebagai berikut:

Artinya:

2. ...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan

baginya jalan keluar.

6Muhammad Fahruddin Ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi asy-Syahrir bi Tafsir al-Kabir Wa

Mafatih al-Ghaib Vol. 9 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 206. 7 Wahbah Zuhaili, al-Fiqih al-Islami Wa Adillatuhu Vol. 8 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), h.

8.

22

3. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan

Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan

mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan

yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan

bagi tiap-tiap sesuatu.

B. Biografi M. Quraish Shihab Dan Hamka

1. Biografi M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi

Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah keluarga keturunan

Arab yang terpelajar, dan menjadi ulama sekaligus guru besar tafsir di IAIN

Alauddin, Ujung Pandang.

Sebagai seorang yang berfikiran maju,

Abdurrahman percaya bahwa pendidikan merupakan agen perubahan. Sejak

kecil, M. Quraish Shihab telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap

Al-Qur‟an. Pada umur 6-7 tahun, ia harus mengikuti pengajian Al-Qur‟an

yang diadakan ayahnya sendiri. Pada waktu itu, selain menyuruh membaca Al-

Qur‟an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam Al-

Qur‟an. Di sinilah mulai tumbuh benih- benih kecintaan Quraish Shihab

kepada Al-Qur‟an.8

Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung Pandang.

Ia melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang sambil belajar agama di

Pesantren Dar Al-Hadits Al-Fiqhiyah. Pada tahun 1958, ketika berusia 14

8Badiatul Raziqin, dkk, 101 Jejak Tokoh-tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-

Nusantara, 2009), h. 269.

23

tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi, dan di terima di

kelas dua Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah ia diterima sebagai mahasiswa di

Universitas Al-azhar dengan mengambil jurusan tafsir dan hadis, fakultas

Ushuluddin hingga menyelesaikan Lc pada tahun 1967. Kemudian ia

melanjutkan studinya di jurusan dan universitas yang sama hingga meraih

gelar doktor, untuk sementara ia kembali ke Ujung Pandang. Dalam kurun

waktu kurang lebih sebelas tahun (1969-1980) ia terjun keberbagai aktivitas

sambil menimba pengalaman empirik, baik dalam bidang kegiatan akademik

di IAIN Alauddin maupun diberbagai institusi pemerintah setempat. Ia terpilih

sebagai pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu ia juga terlibat

dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta wilayah Timur

Indonesia dan di serahi tugas sebagai koordinator wilayah. Beberapa

penelitian yang telah dilakukannya, diantaranya ia meneliti tentang “Penerapan

Kerukunan Hidup Beragama di Timur Indonesia” (1975) dan “Masalah Wakaf

di Sulawesi Selatan” (1978)9

Pengabdiannya dibidang pendidikan mengantarkannya menjadi Rektor

IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1992-1998. Kiprahnya tak

terbatas di lapangan akademis. Beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama

Indonesia Pusat) tahun 1985-1998, anggota MPR-RI 1982-1987 dan 1987-

9Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2005), h. 362.

24

2002. Pada tahun 1998, beliau dipercaya menjadi Menteri Agama RI,10

Di

tengah aktifitas sosial dan keagamaan tersebut, H.M. Quraish Shihab juga

tercatat sebagai penulis yang sangat produktif.

Buku yang ia tulis antara lain berisi kajian di sekitar epistemology Al-

Qur‟an hingga menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks

masyarakat Indonesia kontemporer. Beberapa karya tulis yang telah

dihasilkannya antara lain: disertasinya: Durar li al-Biqa’I (1982),

Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat (1992), Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudlu’I atas Berbagai

Persoalan Umat (1996), Studi Kritis Tafsir Al-Manar (1994), Mu’jizat Al-

Qur’an Ditinjau dari Aspek Bahasa (1997), Tafsir al-Misbah11

2. Biografi Hamka

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena

Hamka lahir di tepi danau maninjau, di suatu desa bernama Tanah Sirah,

termasuk daerah nagari sungai Batang, Sumatera Barat. Beliau dilahirkan Pada

hari ahad petang malam senin tanggal13, masuk 14 Muharram 1362 H, atau

tanggal 16 Februari 1908 Masehi, dan beliau wafat umur 73 tahun pada hari

Jumat jam 10.41.08 tanggal 24 Juli 1981 M bertepatan dengan 22 Ramadhan

10M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), h. 8. 11Tim Wartawan Panjimas, Perjalanan Terakhir Buya Hamka (Jakarta: Panji Masyarakat,

1981), h. 1.

25

1401 H, beliau menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit pusat

Pertamina.12

Ayahnya ialah ulama Islam terkenal Dr H Abdul Karim bin Muhammad

Amrullah bin tuanku Abdullah Saleh, sedangkan Ibunya bernama Siti Shafiyah

Tanjung binti Haji Zakaria yang mempunyai gelar Bagindo Nan Batuah.Dikala

mudanya terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat.Dalam

perkawinannya ini Shafiyah di karuniai empat orang anak yaitu: Hamka, Abdul

Kudus, Asman dan Abdul Muthi. Nama Hamka yang diambil oleh ayahnya

untuk mengenang anak gurunya, Syaikh Ahmad Khatib di Mekkah, yang

bernama Abdul Malik pula. Abdul Malik bin Syaikh Ahmad Khatib ini pada

masa pemerintahan Syarif Husain pernah menjadi duta besar kerajaan

Hasyimiyah di Mesir.13

Syaikh Abdul Karim Amrullah ayahnya, memiliki jiwa modernis

sebagai pelopor dalam gerakan Islam, mengakibatkan Hamka kecil sedikit

sekali mendapatkan kasih sayang ayahnya. Sebagai ulama modernis, sang ayah

sangat diperlukan oleh masyarakat sehingga harus sering meninggalkan

rumah dan jarang bertemu dengan Hamka. Pada usia empat tahun (1912),

perawatan Hamka kecil diserahkan kepada andung dan engkunya (nenek dan

kakeknya).14

12Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Jilid I, h. 7. 13 Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Hamka (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 1. 14 Nasir Tamara, Hamka di Mata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 51.

26

Dalam usia 6 tahun (1914) Hamka dibawa ayahnya ke Padang Panjang,

sewaktu berusia 7 tahun dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar

mengaji dengan ayahnya sendiri hingga khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun

1923 dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah Diniyah School dan

Sumatera Thawalib di Padang Panjang yang di pimpin oleh ayahnya sendiri.

Pendidikan yang ia dapat dari keluarganya sendiri tidak begitu menyerap

kepada Hamka, hal ini dekarenakan Hamka deperlakukan dengan disiplin

yang keras, metode ini yang membuat Hamka merasa tertekan dalam menuruti

pelajaran Pada usia tujuh sampai sepuluh tahun, Hamka terkenal dengan

sebutan anak nakal. Masyarakat sangat mengenalnya, selain sebagai seorang

anak ulama ia juga”anak yang nakal”. Hamka suka mengganggu temannya ia

juga suka menonton film di panggung secara sembunyi-sembunyi, yaitu

dengan mengintip tanpa membayar. Hamka sebagai anak yang nakal

dibenarkan oleh A.R Sutan Mansur, orang yang sangat berpengaruh dalam

pertumbuhan pribadi Hamka sebagai seorang Muballigh. Haji Rasul tidak

merasa puas dengan sistem pendidikan yang tidak menyediakan pendidikan

agama Islam di sekolah.Oleh karena itu Hamka dimasukkan belajar agama

pada sore hari ke sekolah Diniyah yang berada di Pasar Usang, Padang

Panjang, yang didirikan oleh Zainuddin Lebay El-Yunisi. Meskipun Hamka

telah dimasukkan belajar agama pada sore hari, ternyata Haji Rasul belum

merasa puas.Untuk merealisasikan hasrat membentuk anaknya menjadi seorang

ulama maka Hamka di masukkan ayahnya ke Madrasah Thawalib yang

27

didirikannya sendiri. Sekolah ini pada mulanya merupakan lembaga

pendidikan tradisional yang dikenal dengan nama Surau Jembatan Besi

sebelum diperbaharui tahun 1918. Perguruan Thawalib dan Diniyah

memberikan pengaruh besar kepada Hamka dalam hal ilmu pengetahuan.

Sekolah yang mula-mula memakai sistem klasikal dalam belajarnya di Padang

Panjang waktu itu. Namun buku-buku yang dipakai masih buku-buku lama

dengan cara penghapalan dan menurut istilah Hamka sangat memeningkan

kepalanya. Keadaan seperti ini membuat Hamka bosan, menghabiskan

waktunya di perpustakaan umum milik Zainuddin Lebay El-Yunisi dan

Bagindo Sinaro. Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah

tinggi, hanya sampai kelas tiga di sekolah desa, lalu sekolah agama yang ia

jalani di Padang Panjang dan Parabek juga tak lama, hanya selama tiga tahun.

Walaupun pernah duduk dikelas VII, akan tetapi ia tidak mempunyai ijazah.

Dari sekolah yang pernah diikutinya tak satupun sekolah yang dapat

diselesaikannya. Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa Hamka sampai

akhir hayatnya tidak pernah tamat sekolah, oleh sebab itulah dia tidak pernah

mendapat diploma atau ijazah dari sekolah yang diikutinya. Kegagalan Hamka

di sekolah, ternyata tidaklah menghalanginya untuk maju, beliau berusaha

menyerap ilmu pengetahuan sebanyak mungkin, baik melalui kursus-kursus

ataupun dengan belajar sendiri. Karena bakat dan Sebagai seseorang yang

berfikiran maju, Hamka menyampaikan ide-ide cemerlang tidak saja melalui

28

ceramah, pidato, tetapi juga melalui berbagai macam karyanya dalam bentuk

tulisan.15

Hamka mulai mengarang sejak usia 17 tahun, karyanya cukup banyak

baik berupa buku maupun majalah. Orientasi pemikirannya meliputi berbagai

macam disiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat, pemikiran pendidikan

Islam, sejarah Islam, fiqh, sastra dan tafsir. Diantara karya-karyanya tersebut

yang penulis ketahui adalah: Kepentingan melakukan tabligh (1929), Hikmat

Isra' dan Mikraj, Arkanul Islam (1932), Mati Mengandung Malu (Salinan Al-

Manfaluthi) 1934, Di Dalam Lembah Kehidupan (1939), 1001 Soal Hidup

(Kumpulan Karangan dari Pedoman Masyarakat,dibukukan 1950), Kedudukan

Perempuan Dalam Islam,(1973), Agama dan Perempuan (1939), Islam dan

Kebatinan (1972), Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi Islam (1968), dan

masih banyak lagi tulisan-tulisan Hamka.16

C. Riwayat Tafsir al-Misbah dan Tafsir Al-Azhar

1. Sekilas tentang Tafsir Al-Mishbah

Tafsir Al-Mishbah merupakan tafsir Al-Quran lengkap 30 juz ditulis oleh

ahli tafsir terkemuka Indonesia: Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Ke-Indonesiaan

penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk

15 Nasir Tamara, Hamka di Mata Hati Umat, h. 32. 16 Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, h. 35.

29

memperkaya khasanah pemahaman dan penghayatan kita terhadap rahasia

makna ayat-ayat Allah.

Tafsir al-Misbah ini lahir dari keinginan Quraish Shihab untuk

menjelaskan Al-Qur‟an, karena banyak kaum muslimin yang membaca surat-

surat tertentu dari Al-Qur‟an seperti, Surat Yasin, al- Waqi‟ah, ar-Rahman, dan

lain sebagainya namun mereka masih kesulitan dalam memahami makna yang

tertulis dalam terjemahannya. Kesalahpahaman tentang kandungan atau pesan

surah akan semakin menjadi-jadi bila membaca beberapa buku yang

menjelaskan keutamaan surah-surah al-Qur‟an atas dasar hadis-hadis lemah,

misalnya ada yang mengatakan, bahwa membaca surah al-Waqi‟ah,

mengundang kehadiran rezeki. Kitab ini juga membantu kalangan kaum pelajar

dan mereka yang berkecimpung dalam studi Islam, yang masih sering timbul

dugaan keracuan sistematika penyusunan ayat-ayat dan surah-surah al-Qur‟an.

Apalagi jika mereka membandingkannya dengan karya-karya ilmiah, banyak

yang tidak mengetahui bahwa sistematika penyusuna ayat-ayat dan surah-surah

yang sangat unik mengandung unsur pendidikan yang amat menyentuh serta

keinginannya untuk memperjelas makna-makna yang dikandung oleh sesuatu

ayat, dan menunjukan betapa serasi hubungan antara kata dan kalimat-kalimat

yang satu dengan yang lainnya dalam al-Qur‟an.

Disisi lain, buku tafsir ini juga sebagai tanggapan terhadap kritikan

masyarakat yang menilai karya Muhammad Quraish Shihab sebelumnya

“Tafsir al-Qur‟an al-Karim” dianggap bertele-tele dalam uraian tentang

30

pengertian kosa kata atau kaedah-kaedah yang disajikan. Maka, tafsir al-

Mishbah ini tidak lagi menguraikan pengertian penekananya dari kitab tafsir

sebelumnya.

Adapun metode tafsir Al-Mishbah adalah, Pertama Menyuguhkan

bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah, atau tema pokok

surah. M. Quraish Shihab memulai setiap pembahasan dengan menjelaskan

nama surah, latar belakang penamaan surah tersebut, serta tema pokok dalam

pembahasan surah tersebut. Kedua, Mengemukakan ayat-ayat al-Qur‟an

Setelah menjelaskan surah yang akan dibahas, baru disajikan satu, dua atau

lebih ayat dari apa yang telah dijelaskan. Ketiga Memberikan terjemahan

Setelah menyuguhkan beberapa ayat, maka Quraish Shihab akan memberikan

terjemahan ayat-ayat tersebut, kadangkala dilakukan penyisipan-penyisipan

kata atau kalimat, karena menurutnya, daya bahasa al-Qur‟an lebih cendrung

kepada I’jaz (penyingkatan) daripada Ithnab (memperpanjang kata). Keempat

Menjelaskan kosa kata Apabila ada kosa kata yang berkaitan dengan

penekanan kandungan terhadap ayat-ayat, maka kosa kata itu akan dijelaskan

seperlunya. Kelima Mengemukakan Asbab al-Nuzul Jika ayat tersebut

mempunyai Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turunya ayat).

Quraish Shihab membagi tafsir al-Misbah kedalam 15 volume, dengan

sistematika sebagai berikut:

31

NO VOLUME SURAH

1 Volume I Surah al-Fatehah dan al-Baqarah

2 Volume II Surah Ali-Imran dan an-Nisa

3 Volume III Surah al-Maidah

4 Volume IV Surah al-An‟am

5 Volume V Surah al-„Araf, al-Anfal dan at-Taubah

6 Volume VI Surat Yunus, Hud dan ar-Ra‟d

7 Volume VII Surah Ibrahim, al-Hijir, an-Nahl dan al-Isra‟

8 Volume VIII Surah al-Kahf, Maryam, Thahaa dan al-Anbiya

9 Volume IX al-Hajj, al-Mu‟minun, an-Nuur dan al- Furqan

10 Volume X Surah asy-Syu‟ara, an-Naml, al-Qashash dan al- Ankabut

11 Volume XI Surah ar-Rum, Luqman, as-Sajadah, al-Ahzab, Saba‟,

Fathir dan Yasin

12 Volume XII Surah Ash-Shaffat, Shaad, az-Zumar, al-Mu‟min,

Fushilat, asy-Syuura dan az-Zukhruf

13 Volume XIII

Surah ad-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf, Muhammad, al-

Fath, al-Hujarat, Qaaf, Adz- Dzaariyaat, ath-Thuur, an-

Najm, al-Qamar, ar- Rahman dan al-Waqi‟ah

14 Volume XIV

Surah al-Hadid, al-Mujadilah, al-hasyr, al-Mumtahanah,

al-Shaff, al-Jumu‟ah, al-Munafiqun, at-Taghabun, ath-

Thalaq, al-Tahrim, al-Mulk, al- Qalam, al-Haqqah, al-

Ma‟arij, Nuh, al-Jin, al- Muzzamil, al-Muddatsir, al-

Qiyamah, al-Insan dan al-Mursalat

15 Volume XV Juz „Amma

Corak tafsir dari tafsir al-Misbah adalah tafsir al-Adabi al-Ijtima`i. Corak

tafsir ini terkonsentrasi pada pengungkapan balaghah dan kemukjizatan al-

32

Qur‟an, menjelaskan makna dan kandungan sesuai hukum alam, memperbaiki

tatanan kemasyarakatan umat, dan lain-lain.

2. Sekilas tentang Tafsir al-Azhar

Tafsir al-Azhar adalah salah satu karya karya Buya Hamka dari sekian

banyak karya karyanya. Tafsir al-Azhar berasal dari ceramah atau kuliah

Subuh yang disampaikan oleh Hamka di Masjid Agung al-Azhar sejak tahun

1959. Hamka menulis ini tiap-tiap pagi waktu subuh sejak akhir tahun 1958,

namun sampai Januari 1964 belum juga tamat. Diberi nama Tafsir al-Azhar,

sebab tafsir ini timbul didalam Masjid Agung al-Azhar, yang nama itu

diberikan oleh Rektor Universitas al-Azhar Mesir, Syeikh Mahmud Syaltut.

Riwayat penulisan Tafsir al-Azhar memang sangat menarik. Hamka sendiri

mengakui dalam pendahuluan penulisan tafsirnya ini sebagai hikmah Ilahi.

Pada awalnya tafsir ini ia tulis dalam majalah Gema Islam sejak Januari 1962

sampai Januari 1964. Namun baru dapat dinukil satu setengah juz saja, dari juz

18 sampai juz 19. Kegiatan Hamka dalam menafsirkan al Qur‟an di Masjid

Agung al-Azhar terpaksa dihentikan dengan tertangkapnya Hamka oleh

penguasa Orde Lama. Ia ditangkap pada hari Senin, 27 Januari 1964, tidak

beberapa lama setelah menyampaikan kuliah Subuh kepada sekitar seratus

jama‟ah wanita di Masjid Agung al-Azhar.17

17Diakses pada 06 Desember 2017 dari http://repository.uin-

suska.ac.id/6329/3/BAB%20II.pdf

33

Dengan tumbangnya Orde Lama dan munculnya Orde Baru, Hamka

memperoleh kembali kebebasannya. Ia dibebaskan pada tanggal 21 Januari

1966 setelah mendekam dalam tahanan sekitar dua tahun. Kesempatan bebas

dari tahanan ini digunakan sebaiknya oleh Hamka untuk melakukan perbaikan

dan penyempurnaan penulisan Tafsir al-Azhar, yang telah digarapnya di

sejumlah tempat tahanan.

Metode penafsiran yang digunakan dalam kitab Tafsir al-Azhar ini adalah

metode tahlili18

(metode analisis). Dimana urutan penafsiran sesuai dengan

urutan surah dan ayat yang tercantum dalam al Qur‟an. Meskipun

menggunakan metode tahlili, dalam Tafsir al-Azhar tampaknya Hamka tidak

banyak memberikan penekanan pada penjelasan makna kosa kata. Hamka

banyak memberi penekanan pada pemahaman ayat-ayat al Qur‟an secara

menyeluruh. Penjelasan kosa kata kalaupun ada, jarang dijumpai. Dalam

menguraikan penafsiran, sistematika yang digunakan Hamka yaitu khusus pada

awal surah, sebelum menguraikan penafsiran terlebih dahulu beliau menulis

pendahuluan yang isinya sekitar penjelasan mengenai surah tersebut antara lain

arti nama surah, sebeb surah tersebut diberi nama demikian, asbabun nuzul

ayat termasuk mengenai kontradiksi berbagai pendapat para ulama menyangkut

sebab turun surah tersebut. Barulah beliau menafsirkan ayat-ayat tersebut

18Metode tahlili adalah suatu metode tafsir yang digunakan oleh mufassir untuk menjelaskan

arti dan maksud ayat-ayat al Qur‟an dari berbagai aspek dengan menguraikan ayat demi ayat sesuai

dengan susunan ayat-ayat yang tedapat dalam mushaf al Qur‟an, melalui pembahsan kosa kata asbab

an-nuzul, 14 munasabah ayat, dan menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat-ayat sesuai dengan

kecendrungan serta keahlian mufassir.

34

memberikan judul pada pokok bahasan sesuai dengan kelompok ayat yang

ditulis sebelumnya.

Tafsir al-Azhar ini pada umumnya mengaitkan penafsiran al- Qur‟an

dengan kehidupan sosial, dalam rangka mengatasi masalah atau penyakit

masyarakat, dan mendorong mereka ke arah kebaikan dan kemajuan. Ketika

mendapat kesempatan untuk mengupas isu-isu yang ada pada masyarakat,

Hamka akan mempergunakan kesempatan itu untuk menyampaikan petunjuk-

petunjuk al Qur‟an dalam rangka mengobati masalah dan penyakit masyarakat.

Selain itu, dalam tafsir al-Azhar, Hamka juga mengemukakan bahasan tentang

fiqih akan tetapi lebih kepada menjelaskan makna ayat yang ditafsirkan, dan

untuk menunjang tujuan pokok yang ingin dicapainya, yaitu menyampaikan

petunjuk-petunjuk al Qur‟an yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Ini bisa

dirujuk ketika Hamka menjelaskan makna nazar dalam menafsirkan surah al-

Insan ayat ketujuh.19

19Lihat Tafsir al-Azhar, jilid 29, hal. 279-282.

35

BAB III

PRINSIP-PRINSIP HIDUP SEJAHTERA

Islam datang sebagai agama terakhir yang bertujuan untuk mengantarkan

pemeluknya menuju kepada kebahagiaan hidup yang hakiki, oleh karena itu Islam

sangat memperhatikan kebahagiaan manusia baik itu kebahagiaan dunia maupun

akhirat, dengan kata lain Islam (dengan segala aturannya) sangat mengharapkan umat

manusia untuk memperoleh kesejahteraan materi dan spiritual.

Hidup sejahtera merupakan dambaan setiap umat manusia. Sebab, tujuan,

hidup di dunia adalah mendapatkan kebahagiaan. Dr. „Aidh Abdullah al-Qarni dalam

bukunya yang berjudul berbahagialah, menjelaskan bahwa sesungguhnya dari dalam

jiwa akan terjadi perubahan. Barang siapa yang merasa ridha, maka keridhaan yang

akan dia dapatkan. Barangsiapa yang termakan kebencian, maka kebencian akan

menggerogoti dirinya. Barang siapa yang optimis akan mendapat kebaikan, maka dia

akan mendapatkannya dan barangsiapa selalu khawatir akan tertimpa keburukan, maka

ia akan menemukannya.1

Hidup sejahtera secara spesifik tidak dijelaskan pada ayat tertentu dalam al-

Qur‟an, tapi adanya tuntunan Ilahi (al-Qur‟an dan Hadits) yang dijadikan dasar atau

pedoman dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Didalam sebuah hadits disebutkan

1„Aidh Abdullah al-Qarni, Berbahagialah, terjemahan oleh Samson Rahman (Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 2004), h. 9

36

bahwa pada hakikatnya hidup sejahtera itu mempunyai beberapa kriteria, sebagai

berikut:

1. Menjalankan Amal kebajikan/sedekah, hal ini sesuai dengan hadits yang

diriwayatkan oleh Bukhori sebagai berikut:

أ ث ي د ح ب يالن ل ا:ق ال ىق س و ك ل ص.م:ع ب ع ف ن ي ف و ي د ي ب ل م ع ي :ف ل ا؟ق د ي ل ن إ ا:ف و ال .ق ة ق د ص م ل س ل ى ي ال ب ر أ ي ؟ف ل ع ف ي ل ن إ ف او ل اامللهوف.ق ة اج ال فيعنيذا :ل ا؟ق ل ع ف ي ل و أ ع ط ت س ي ل ن إ ف او ال .ق ق د ص ت ي و و س ف ن خرجوالبخاري(ة)أق د ص و ل و ن إ ف ر الش ن ع ك س م ي :ف ال ؟ق ل ع ف ي ل ن إ ف :ال ق و أ ف و ر ع م ال :ب ال ق و أ

(Abu Musa R.a berkata bahwa Nabi SAW. bersabda, “Tiap muslim wajib

bersedekah”. Sahabat bertanya: “Jika tidak dapat?” jawab Nabi: “Bekerja dengan

tangannya yang berguna bagi diri dan bersedekah”. Sahabat bertanya lagi, “Jika

tidak dapat?” jawab Nabi, “membantu (menolong) orang yang membutuhkan.”

Sahabat bertanya lagi “Jika tidak dapat?. Jawab Nabi, “Menganjurkan kebaikan.”

Sahabat bertanya lagi “Jika tidak dapat? Nabi menjawab, Menahan diri dari

kejahatan, maka itu sedekah untuk dirinya sendiri.” – riwayat al-Buhkhori)

Hadits tersebut mempunyai beberapa isi kandungan, bahwa anjuran untuk beramal

bertujuan agar seorang muslim dapat menutupi kebutuhannya dan bersedekah.

Sehingga dirinya terhindar dari perbuatan meminta-minta. Bahkan sebaliknya orang

lain akan mengambil manfaat dari sebab usaha dan sdekahnya. Dikatakan pula

bahwa sedekah akan mendatangkan al-Bir, yaitu kumpulan berbagai kebaikan (Q.S

al-Baqarah/2: 77), dan al-Bir itu akan mengantarkan orang ke surga.2

2. Dorongan mencari rezeki yang halal, hal ini sesuai dengan hadits yang

diriwayatkan Bukhori sebagai berikut:

2Ayat Dimyati, Hadits Arba’in: Masalah Aqidah, Syari’ah dan Akhlaq (Bandung: Penerbit

Marja, 2001), h. 44-45

37

أ ح د ي ث اللص.مل و س ر ال :ق ال ق و ن ع الل ي ض ر ة ر ي ر ى ب ةع م ك د ح حيتطبا ن ل ل أ س ي ن أ ن ر ي خ ه ر ه ىظ ل حز خاري(البخرجووأومينعو)أافيعطيد ح أ

(Abu Hurairah R.a berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Jika seorang pergi mencari

kayu bakar, lalu diangkat seikat kayu di atas punggungnya (yakni untuk dijual di

pasar) maka itu lebih baik baginya dari pada minta kepada orang lain, baik diberi

atau ditolak.” – Bukhori Muslim)

Kandungan hadits tersebut adalah bahwa sebaik-baik nikmat Allah atas hambanya

adalah dilapangkan rizqi dan diluaskan harta. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa

sebaik-baik harta seseorang adalah memelihara dirinya dari kehinaan karena

meminta-minta, memelihara air mukanya, mengenali hak-hak dirinya,

mengusahakan agar dirinya tetap mencapai kemulyaan, menjadikan orang lain

berada pada bantuannya. Dianjurkan pula untuk bekerja keras mencari rezeki

melalui jalan yang disyariatkan, agar mencapai derajat kemulyaan yang diharapkan

(Adab al-Nabawi: 284-285). Dan yang terakhir dijelaskan pula bahwa bentuk kerja

keras untuk menghindari perbuatan meminta-minta adalah pergi mencari kayu

bakar ke hutan kemudian dijual ke pasar dengan dipikul sendiri.3

Dari kedua hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa bekerja keras (amal yang

sholeh) sebagai realisasi dari Iman merupakan syarat daripada terpenuhinya

kesejahteraan, karena salah satu dari indikasi kesejahteraan adalah terpenuhinya

kebutuhan hidup, sehingga kebutuhan hidup hanya bisa dipenuhi apabila dikerjakan

dengan sungguh-sungguh yang tentunya sesuai dengan tuntunan al-Qur‟an dan Hadits.

3Dimyati, Hadits Arba’in, h. 65-66

38

A. Terpenuhinya Kebutuhan Materi

Salah satu prinsip kesejahteraan hidup di dunia adalah terpenuhinya kebutuhan

materi. Manusiawi apabila masyarakat menginginkan hidup berkecukupan demi

kelangsungan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan di dunia. Allah SWT berfirman

dalam QS al-Baqarah/2: 58

Artinya:

“Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini

(Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak

dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud,

dan Katakanlah: "Bebaskanlah Kami dari dosa", niscaya Kami ampuni

kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian

Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik".

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut pada

kalimat kulu minha haitsu syi’tum raghadan/makanlah dari hasil buminya, yang

banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, mengisyaratkan betapa subur tanah negeri

itu dan betapa banyak dan terpencar hasil-hasilnya, sehingga mereka dipersilahkan

menikmati hasilnya yang banyak itu di mana saja. Memang demikian itu halnya baitul

Maqdis dan daerah-daerah sekitarnya hingga saat ini.4

4M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur,an (Jakarta: Lentera

Hati, 2007), h. 206

39

Kata al-muhsinin adalah jamak dari kata muhsin, dan ihsan adalah kata jadiannya.

Menurut al-Harrali – sebagaimana dikutip al-Biqo‟i – kata ini mengandung arti puncak

kebaikan amal perbuatan. Terhadap hamba ia tercapai saat seseorang memandang

dirinya pada diri orang lain sehingga ia memberi untuknya apa yang seharusnya dia

beri untuk dirinya; sedangkan ihsan antara diri dengan Allah adalah leburnya dirinya

sehingga dia hanya “melihat” Allah Swt. karena itu pula ihsan antara hamba dengan

sesama manusia adalah bahwa dia tidak melihat lagi dirinya, dan hanya melihat orang

itu. Siapa yang melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain dan tidak melihat

dirinya pada saat beribadah kepada Allah maka dia itulah yang dinamai muhsin, dan

ketika itu dia telah mencapai puncak dalam segala amalnya.5

Untuk itu, demi terpenuhinya kebutuhan materi maka seseorang harus bekerja.

Dalam Islam, kerja memililki nilai yang sangat besar. Rukun Islam zakat dan haji tak

mungkin ditunaikan bila tak memiliki harta. Dan harta tak akan dipunyai seseorang

apabila ia tidak bekerja. Bekerja hukumnya menjadi wajib, kecuali karena alasan

tertentu yang dibenarkan syariat. Agar kerja seseorang memiliki kualitas amal yang

terbaik, maka ia harus memiliki etos kerja yang benar. Allah SWT berfirman dalam QS

at-taubah/9: 105

Artinya:

5Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 206

40

dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-

orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan

kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu

diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.

Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah bahwa, kata waquli’malu

diartikan katakanlah bekerjalah kamu karena Allah semata dengan aneka amal shaleh

dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk orang lain atau masyarakat umum.

Fasayara Allah, yang artinya maka Allah akan melihat, yakni menilai dan memberi

ganjaran amal perbuatan kamu. Dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan

melihat dan menilainya juga, kemudian menyesuaikan perlakuan mereka dengan amal-

amal kamu itu dan selanjutnya kamu akan dikembalikan kepada Allah melalui

kematian. Firman-Nya: “Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata.”, lalu

diberitahukan kepada kamu sanksi dan ganjaran atas apa yang telah kamu kerjakan,baik

yang nampak ke permukaan maupun yang kamu sembunyikan dalam hati.6 Setelah

penyampaian harapan tentang pengampunan Allah SWT, ayat tersebut melanjutkan

dengan perintah untuk beramal yang shaleh.

Ayat ini menurut M. Quraish Shihab bertujuan untuk mendorong umat manusia

agar mawas diri dan mengawasi amal-amal mereka, dengan cara mengingatkan mereka

bahwa setiap amal yang baik dan buruk memiliki hakikat yang tidak dapat

disembunyikan, dan mempunyai saksi-saksi yang mengetahui dan melihat hakikatnya,

yaitu Rasul saw, dan saksi-saksi dari umat muslim setelah Allah SWT. Setelah itu,

Allah akan membuka tabir yang menutupi mata mereka yang mengerjakan amal-amal

6M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. V

(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 711.

41

tersebut pada hari kiamat, sehingga mereka pun mengetahui dan melihat hakikat amal

mereka sendiri.

Sedangkan menurut Hamka, ayat ke-105 dari Surat at-Taubah dapat diketahui

bahwa Allah menyuruh manusia untuk bekerja menurut bakat dan bawaan, yaitu

manusia diperintahkan untuk bekerja sesuai tenaga dan kemampuannya. Artinya

manusia tidak perlu mengerjakan pekerjaan yang bukan pekerjaannya, supaya umur

tidak habis dengan percuma. Dengan demikian, manusia dianjurkan untuk tidak

bermalas-malas dan menghabiskan waktu tanpa ada manfaat. Juga dengan tegas ayat

ini menyuruh manusia mempertinggi produksi, dan tiap-tiap kita mestilah produktif,

mengeluarkan hasil, dan tahu di mana tempat kita masing-masing. Tidak ada pekerjaan

yang hina, asal halal, dan asal tidak melepaskan diri dari pada ikatan dengan Tuhan.7

Dari uraian tafsir tersebut, dapat dikatakan bahwa umat manusia diperintahkan

oleh Allah untuk selalu melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan

untuk orang lain. Karena semua amal akan dilihat oleh Allah, Rasul, serta para

mukminin, dan akan diperlihatkan oleh Allah di hari kiamat kelak, kemudian akan

mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya ketika dimuka bumi. Jika amal

perbuatan yang baik akan mendapat pahala, dan jika perbuatannya jelek akan mendapat

siksa.

Oleh karena itu, kesejahteraan seseorang akan terpenuhi jika kebutuhan mereka

tercukupi, kesejahteraan sendiri mempunyai beberapa aspek yang menjadi

indikatornya, di mana salah satunya adalah terpenuhinya kebutuhan seseorang yang

7Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ XI (PT. Pustaka Panjimas, 1999), h. 40

42

bersifat materi, Al-Ghazali menyebutnya dengan istilah al-mashlahah yang diharapkan

oleh manusia tidak bisa dipisahkan dengan unsur harta, karena harta merupakan salah

satu unsur utama dalam memenuhi kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan dan papan.

Al-Ghazali juga menegaskan bahwa harta hanyalah wasilah yang berfungsi sebagai

perantara dalam memenuhi kebutuhan, dengan demikian harta bukanlah tujuan final

atau sasaran utama manusia di muka bumi ini, melainkan hanya sebagai sarana bagi

seorang muslim dalam menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi di mana

seseorang wajib memanfaatkan hartanya dalam rangka mengembangkan segenap

potensi manusia dan meningkatkan sisi kemanusiaan manusia di segala bidang, baik

pembangunan moral meupun material, untuk kemanfaatan seluruh manusia.8

B. Terpenuhinya Kebutuhan Rohani

Tidak dapat dipungkiri setelah semua kebutuhan materi terpenuhi, manusia akan

mencari ketenangan batin demi terpenuhinya kebutuhan rohani. Kebutuhan Rohani

adalah kebutuhan yang sifatnya tidak nyata, dimana hanya pribadi yang bersangkutan

yang bisa merasakan secara langsung. Kebutuhan rohani adalah kebutuhan yang secara

bathiniyah sangat diperlukan oleh manusia untuk mencapai kepuasan batin. Salah satu

jalan untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan beribada kepada Tuhan, Sang

8Amirus Sodiq, “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam” Equilibrium III, no. 2, (Desember 2015):

h. 389. Diakses pada 20 Januari 2018 dari

http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/download/1268/1127

43

Maha pencipta segala sesuatu. Allah Swt. berfirman dalam Q.S ar-Ro‟du/13: 28

sebagai berikut:

Artinya:

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan

mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi

tenteram.

Dalam tafsir al-Misbah vol. 6 Dijelaskan bahwa Thabathaba‟i menggaris bawahi

kata tathmainnu/menjadi tenteram adalah penjelasan tentang kata sebelumnya yaitu

beriman. Iman bukan hanya sekedar pengetahuan tentang objek iman, karena

pengetahuan tentang sesuatu, belum mengantar kepada keyakinan dan ketentraman

hati. Dengan kata lain Ilmu tidak menciptkan Iman. Bahkan bisa saja pengetahuan itu

melahirkan kecemasan atau bahkan pengingkaran dari yang bersangkutan seperti yng

diisyaratkan oleh Q.S an-Naml/27:14:9

Artinya:

dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka)

Padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa

kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.

9M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mibah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. VI

(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 600

44

Namun, ada juga pengetahuan yang melahirkan iman, yaitu pengetahuan yang

disertai dengan kesadaran akan kebesaran Allah SWT, serta kelemahan dan kebutuhan

makhluk kepda-Nya. Maka ketika pengetahuan dan kesadarn itu bergabung dalam jiwa

seseorang, akan lahir ketenangan dan ketentraman.10

Kata tathmainnu menggunakan bentuk kata kerja masa kini. Penggunaannya di

sini bukan bertujuan menggambarkan terjadinya ketentraman itu pada masa tertentu,

tetapi yang dimaksud adalah kesinambungan dan kemantapannya. Ayat ini ada

kaitannya dengan ayat lain yaitu Q.S al-Anfal/8:2 yang menggambarkan keadan

mereka ketika mendengar ayat-ayat yang mengandung ancaman. Sedang pada surat ar-

Ro‟du menjelaskan tentang ketentraman menyebut nama Allah yang rahmat-Nya

mengalahkan amarah-Nya, yang rahmat-Nya mencakup segala sesuatu. Quraish Shihab

juga memberikan jawaban lain terhadap dugaan pertentangan kedua ayat tersebut,

ketika menafsirkan Q.S al-Anfal itu, yakni rasa takut dan gentar yang dirasakan oleh

orang-orang yang beriman adalah tahap pertama dari gejolak jiwa ketika itu merasa

sangat takut akibat membayangkan ancaman dan siksa Allah, sedang Q.S ar-Ro‟du

menggambarkan gejolak hati mereka setelah rasa gentar itu berlalu, yakni ketika

mereka mengingat rahmat dan kasih sayang Allah. Kedua kondisi psikologis tersebut

ditampung dalam Q.S az-Zumar/39: 23:11

10

Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 600 11

Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 601-602

45

Artinya:

Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang

serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit

orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit

dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan

kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang

disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.

Dalam ayat tersebut kata thuba berasal dari kata thoba artinya yang baik,

menyenangkan, dan menggembirakan. Kata ini merupakan kata sifat dari suatu kata

yang tidak disebut misalnya kehidupan. Kehidupan betapapun mewahnya tidak akan

baik jika tidak disertai ketentraman hati, sedang ketentraman hati baru dapat dirasakan

bil hati yakin dan percaya bahwa ada sumber yang tidak terkalahkan yang selalu

mendampingi dan memenuhin harapan.12

Sedangkan menurut Hamka dalam Tafsir nya al-Azhar dijelaskan bahwa Iman

adalah sebab kenapa Tuhan harus senantiasa diingat, atau zikir. Pusat ingatan atau

tujuan ingatan yang ada di hati disebabkan oleh Kemantapan Iman. Dan ingatan kepada

Tuhan itu menimbulkan ketentrman, dan dengan sendirinya hilanglah segala macam

kegelisahan, fikiran kusut, putusasa, ketakutan, kecemasan, keragu-raguan dan

dukacita. Ketentraman hati adalah pokok kesehatan rohani dan jasmani, sedangkan

ragu dan gelisah adalah pangkal segala penyakit. Orang lain tidak akan mampu

12

Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 602

46

menolong orang yang meracuni hatinya dengan kegelisahan. Jika demikian dibiarkan

berkelanjutan dan tidak segera diobati dengan iman, yaitu iman yang menimbulkan

dzikir dan dzikir menimbulkan thuma’ninah, maka celakalah yang akan menimpa. Hati

yang telah sakit akan bertambah sakit. Dan puncak segala penyakit hati ialah kufur

akan nikmat Allah.13

Lebih lanjut dijelaskan bahwa di dalam al-Qur‟an telah dibagi-bagi tingkat

pengalaman nafsu menjadi tiga tingkatan:

1. An-nafsul ammarah bissu’, bisa dilihat dalam QS. Yusuf/12: 53. Yaitu nafsu

yang selalu menyuruh dan mendorong supaya berbut jahat. Hal ini apabila

terjadi terus menerus akan menimbulkan an-nafsul lawwamah

2. An-nafsul lawwamah, bisa dilihat dalam QS. Al-Qiyamah/75: 2. Yaitu

tekanan batin dan penyesalan karena telah terlanjur melakukan kejahatan.

Kelak karena pengalaman-pengalaman diri, karena menuruti an-nafsul

ammarah bissu’ yang menimbulkan sesal, maka dapatlah dia mencapai an-

nafsul muthmainnah.

3. An-nafsul Muthmainnah, bisa dilihat dalam QS. Al-Fajr/89: 27. Yaitu nafsu

yang telah mencapai ketentramannya, setelah menempuh berbagai

pengalaman.14

13

Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XIII-XIV (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1999), h. 93 14

Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 93

47

Di sinilah perlunya iman dan dzikir, sehingga berpadulah kehendak hati yang

bersih dengan dorongan nafsu, guna mencapai ridha Allah SWT. dengan ketentraman

itu.

Untuk itu, demi terpenuhinya kebutuhan rohani sebagai prinsip hidup sejahtera

maka ibadah harus dibarengi dengan keimanan dan ketaqwaan. Hal ini sesuai dengan

Firman Allah QS al-Baqarah/2: 25

Artinya:

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat

baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-

sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-

surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami

dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di

dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya

Dalam tafsir al-Misbah diceritakan oleh Shihab bahwa ayat ini menjelaskan

tentang gambaran orang-orang beriman dan ganjaran yang akan mereka peroleh. Ayat

ini memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan berita gembira kepada

mereka yang benar-benar tulus mengimani Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Rasul

Allah, Hari akhir dan Qodlo‟ dan Qodar yang dibuktikan dengan amal saleh.15

Mereka

15

Amal adalah segala hasil penggunaan manusia, yakni daya tubuh, daya pikir, daya kalbu, dan

daya hidup. Daya-daya itu bila digunakandalam bentuk yang saleh, yakni bermanfaat dan disertai dengan

48

dianugerahi aneka rezeki, antara lain berupa buah-buahan dan pasangan-pasangan yang

telah berulang kali disucikan.16

Untuk memberi kebahagiaan yang lebih mantap dan menghilangkan rasa cemas

yang boleh jadi muncul dalam benak ketika menduga bahwa kenikmatan itu tidak

abadi, ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa mereka tinggal di sana kekal selama-

lamanya. 17

Kemudian secara Tegas Hamka mengatakan bahwa keras kepala nerakalah

ancamannya, dan kepatuhan dijanjikan masuk surga. Dalam ayat ini Hamka

menguraikan pendapat beberapa ahli tafsir, diantaranya adalah Jalaluddin as-Sayuthi

yang menjelaskan bahwa buah-buahan yang dihidangkan di surga itu serupa dengan

buah-buahan yang Allah karuniakan di dunia, namun hanya rupa yang sama, rasa dan

kelezatannya sungguh sangat berbeda.18

Kita akan selalu dihadapkan dengan ayat-ayat janji gembira dari Allah, bagi

hamba Allah kelak di surga-Nya. Kepercayaan akan adanya surga dan neraka termasuk

dalam iman terhadap hari akhir. Perdebatan tentang keberadaan surga dan neraka

apakah sudah ada sekarang ini ataukah masih nanti adalah bagian dari ilmu filsafat.

iman yang benar dari pelakunya maka pelakunya beramal saleh. Lebih jelasnya bisa dilihat dalam M.

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. I (Jakarta: Lentera Hati,

2007), h. 129 16

Buah-buahan yang dihadiahkan di surga adalah buah-buahan yang dari segi bentuk dan

rupanya serupa yang ada di dunia, tetapi sebenarnya tidak sama rasa dan nikmatnya. Tampaknya, agar

mereka tidak ragu memakannya, karena sesuatu yang belum pernah dicoba boleh jadi meimbulkan tanda

tanya di dalam benak yang mengakibatkan seseorang enggan mencicipinya. Sedangkan pasangan-

pasangan yang dimaksudkan adalah pria buat wanita dan wanita buat pria, sehingga penyucian itu

mencakup segala yang mengotori jasmani dan jiwa pria yang antara lain seperti dengki, cemburu,

kebohongan, keculasan, penghianatan dan lain-lainShihab, Tafsir al-Misbah, h. 130 17

Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 130 18

Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ I (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1986), h. 143

49

Yang perlu kita perhatikan ialah syarat masuk surga yang telah diterangkan tadi yaitu

iman dan amal saleh. Artinya kepercayaan didalam hati terhadap Tuhan lalu dibuktikan

dengan amal perbuatan. Karena pada hakikatnya tidak mungkin terjadi pertentangan

antara iman dan amal, tidak mungkin hanya ada iman tanpa adanya gerak amal untuk

membuktikannya, dan tidak mungkin pula ada gerak amal, padahal tidak ada

dorongan/hasrat dari dalam hati.19

Akhirnya, apabila seorang hamba sudah melaksanakan tugasnya yaitu beribadah

dengan dibarengi keimanan yang kuat maka sakinah akan didapatkan. Hal demikian

bertujuan untuk mencapai kemenangan dan kebahagiaan. Sebagaimana janji Allah

dalam QS al-Fath/48: 420

Artinya:

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang

mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka

(yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan

adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,

Menurut M. Quraish Shihab, ayat di atas menjelaskan bahwa diturunkannya

sakinah kepada kaum mukminin merupakan salah satu faktor utama dari diraihnya

kemenangan. Sakinah itu adalah ketenangan di hati mereka, sehingga tidak terjadi

kebingungan diantara kaum beriman, tidak juga perselisihan diantara mereka dan

19

Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ I, h. 144 20

Al-Hadi, Agar Hati Selalu Tenang, h. 39

50

dengan demikian mereka bersatu padu tidak terombang ambing oleh setan dan isu-isu

negatif yang disebarluaskan oleh kaum musyrikin dan munafikin. Hal tersebut

merupakan salah satu faktor penting guna meraih kemenangan.21

Selanjutnya Hamka mengungkapkan bahwa meskipun pada awalnya banyak

diantara orang-orang beriman ragu, namun akhirnya secara beransur tapi pasti

keimanan mereka tumbuh kembali, sesudah mereka saksikan sendiri bahwa beberapa

orang sahabat Nabi Muhammad Saw. diantaranya Abu Bakar tidak berkocak sedikitpun

karena hal kecil yang ditemui nabi ketika mengikat perjanjian Hudaibiyah.22

“Dan bagi Allah lah tentara-tentara di langit dan di bumi.” Kalimat Allah yang

sedikit ini memeberi peringatan kepada kita salah satu bagian dari ilmu perang.

Bahwasanya tentara lah yang akan menentukan menang atau kalah nya peperangan

bukanlah semata-mata tentara manusia yang terbilang banyak yang ada di muka bumi,

melainkan tentara yang datang dari langit. Jenderal-jenderal perang di zaman modern

memperhitungkan bahwa disamping banyaknya tentara yang siap berperang ada faktor

lain yang menjadi penentu kemenangan dalam bertarung diantaranya adalah medan dan

cuaca. Hal ini dapat dilihat dari kekalahan Napoleon ketika menyerbu tanah Rusia.

Penyebabkan kekalahannya tidak lain adalah bukan karena kurangnya jumlah tentara,

tetapi karena musim dingin pada saat penyerbuan tersebut. Para tentaranya banyak

yang gugur karena pada dasarnya orang Perancis tidak tahan menderita dingin.23

21

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. XIII

(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 178 22

Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXVI (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999), h. 131 23

Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXVI, h. 131

51

C. Beriman dan Bertaqwa

Iman termasuk pondasi menegakkan Agama Islam, untuk dalam setiap ibadah

baik mahdloh maupun ghoiru mahdloh, iman merupakan bagian terpenting demi

terwujudnya amalan-amalan manusia termasuk adalah terciptanya kehidupan yang

sejahtera. Berikut beberapa ayat al-Qur‟an yang menjelaskan tentang Iman dan taqwa.

- QS. Luqman/31: 22

Artinya:

dan Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia

orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang

kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya kepada Allah-lah kesudahan

segala urusan.

Shihab berpendapat bahwa ayat ini merupakan perumpamaan keadaan seseorang

yang beriman. Betapapun sulitnya keadaan, walau ibarat menghadap ke suatu jurang

yang amat curam, dia tidak akan jatuh binasa karena dia berpegang dengan kukuh pada

seutas tali yang juga amat kukuh. bahkan seandainya ia terjerumus masuk ke dalam

jurang itu, ia masih dapat naik atau ditolong, karena ia tetap berpegang pada tali yang

mengubungkannya dengan sesuatu yang di atas, bagaikan timba yang dipegang

ujungnya, yaitu timba yang diturunkan guna mengambil air lalu ditarik ke atas.

Demikian juga seorang mukmin yang terjerumus ke dalam kesulitan. Memang dia

52

turun atau terjatuh, tetapi sebentar lagi dia akan ke atas membawa air kehidupan yang

bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.24

Pendapat lain dikemukakan Hamka dalam tafsirnya Al-Azahar. Pada ayat yang

artinya “dan barang siapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah.” Menurut

Hamka penyerjan wajah pada hakikatnya adalah penyerahan diri, penyerahan jiwa raga.

Disebut wajah, yang berarti muka. Karena pada dasarnya muka lah yang menentukan

pribadi manusia. Diumpamakan apabila sesorang dipotong kepalanya, dan hanya

menyisakan bagian leher sampai tubuhnya, maka tidak akan diketahui siapa orang

tersebut. Tetapi apabila potongan leher kebawah samapi tubuhya hilang dan hanya

menyisakan kepala, maka dengan jelas identitas orang tersebut dapat diketahui.

Menghadapkan wajah atau menyerahkan wajah kepada Allah berarti menyerahkan diri,

artinya beramal dengan ihlas karena Allah, mengerjakan semua yang diperintahkan-

Nya sesuai dengan syari‟atnya serta menjauhi segala hal-hal yang dilarang-Nya. Arti

ayat “Dan dia pun berbuat kebajikan.” Maksudnya adalah segala amal itu dijaga dan

dipelihara supaya baik dan ditingkatkan supaya lebih baik lagi. Selanjutnya “Maka

sesungguhnya dia telah berpegang dengan tali yang teguh.”dalam bahasa yang lebih

sederhana dapat dikatakan: “Dia telah ada pegangan hidup.” Dia tidak usah bimbang

dan ragu lagi. Karena dia sudah mendapatkan jalan yang benar, dia akan selamat dalam

perjalanan itu.25

24

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. XI

(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 146 25

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXI (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999), h. 140-141

53

Di akhir ayat 22 tersebut dijelaskan bahwa akhirnya semua akan kembali kepada

Allah. Dengan syarat seseorang berada pada jalan yang benar, melaksanakan tuntunan

Allah dengan ihlas, serta menjaga diri dari segala perbuatan yang dilarang oleh Allah.

D. Tersedianya Sumber Penghidupan.

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang

memberi rezekinya. Dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat

penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS.

Hud/11: 6)

Dari ayat diatas sungguh jelas, bahwa tidak ada sesuatu makhluk pun yang luput

dari pantauan Allah SWT hingga ia bisa mendapatkan rezeki yang sudah ada dan

menjadi bagiannya tanpa Allah kurangi sedikitpun. Allah SWT berfirman dalam QS al-

Jatsiyah/45: 13.

Artinya:

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di

bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi

kaum yang berfikir.”

Berdasarkan ayat tersebut kita dapat memahami bahwa Allah menyediakan

sumber penghidupan di bumi untuk kepentingan manusia. M. Quraish Shihab

menjelaskan bahwa penundukkan untuk kemaslahatan langit dan bumi dipahami dalam

54

arti semua bagian-bagian alam yang terjangkau dan berjalan atas dasar satu sistem yang

pasti, kait berkait dan dalam bentuk konsisten. Allah menetapkan hal tersebut dan dari

saat ke saat mengilhami manusia tentang pengetahuan fenomena alam yang dapat

mereka manfaatkan untuk kemaslahatan dan kenyamanan hidup manusia.26

Lebih lanjut Hamka menguraikan betapa ayat ini sangat mengharukan,

dijelaskan dalam tafsir al-Azhar Allah menyediakan untuk makhlukya terutama

manusia segala apa yang ada di langit, baik yang dapat dilihat secara nyata oleh

manusia seperti adanya awan dan mega, kabut dan embunnya, matahari serta bulan.

Maupun langit dalam arti yang ghoib-ghoib, dengan malaikat-malaikatya. Untuk itu

hendaknya kita pergunakanlah sebaik mungkin segala apa yang yang Allah

anugerahkan. Sebagai contoh adanya sinar matahari hendaknya kita manfaatkan untuk

keadaan mencari rezeki, dan lain sebagainya.27

Di bumi pun demikian, semua disediakan untuk kepentingan manusia,

tumbuhan, buah-buahan, sayuran, dan aneka macam tanaman. Demikian juga binatang

ternakdan binatang liar, ikan di air asin di air tawar, emas dan perak dari tambang,

minyak tanah dari bumi, batu permata dar pegunungan. Sungguh semua itu oleh Allah

yang Maha Kaya disediakan untuk manusia. “Sesungguhnya yang demikian menjadi

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Hal ini menjadi renungan bagi setiap manusia

26

Segala apa yang ada dilangit adalah bintang-bintang dan planet-planet, sedang segala apa yang

ada di bumi adalah tanah yang subur, udara, air dan lain-lain, semuanya merupakan rahmat yang semata-

mata bersumber dari Allah SWT. maka, yang demikian itu merupakan tanda dan bukti-bukti yang sangat

jelas tentang keesaan serta kekuasaan Allah. Untuk itu sebagi manusia yang diciptakan mempunyai akal

hendaknya merenungkan hal tersebut. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan

Keserasian al-Qur’an vol. XIII (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 41 27

Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ XXV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1999), h. 124

55

bahwa tugas apa yang harus diselesaikan sebagai makhluk yang amat penting di alam

ini?. Demikianlah penutup dari pandangan Hamka.

Islam datang ke muka bumi ini dengan membawa seperangkat hukum-hukum

yang berfungsi mengatur kehidupan manusia. Sebagian dari sistem tata aturan itu

adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok

tiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, papan, serta pekerjaan yang dapat

memenuhi kebutuhan mendesak seperti pernikahan, dan alat-alat transportasi yang

berfungsi memenuhi kebutuhan di lokasi yang jauh. Semua itu dapat dipenuhi tiap

individu dengan “bekerja”. Jika Islam menetapkan adanya keharusan “kerja” dalam

segala bentuknya, itu adalah sebab dasar yang memungkinkan manusia memiliki harta.

Hal ini sebagaimana Firman Allah Swt Q.S Al-Mulk/67: 15.28

Jaminan Allah untuk

memenuhi segala apa yang dibutuhkan manusia sudah digambarkan dalam firman-Nya

dalam QS al-Mulk/67: 21:

Artinya:

atau siapakah Dia yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezki-

Nya? sebenarnya mereka terus menerus dalam kesombongan dan

menjauhkan diri?

Ayat 21 dari surat al-Mulk ini merupakan lanjutan dari ayat 20 yang menampik

adanya satu sumber selain Allah yang dapat memberi bantuan, kini dilanjutkan dengan

menampik adanya sumber rezeki – baik material maupun spiritual – selain Allah SWT.

28

Abdul Aziz Al-Badri, Al-Islam Dlaaminun Lil Haajaat Al-Asaasiyah, terjemahan oleh Tjetjep

Suhandi dan Muhammad Toh Idris (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 25

56

Allah berfirman: atau siapakah ini yang memberi kamu secara terus menerus atau dari

saat ke saat rezeki baik material maupun spiritual jika Dia yang Rahman itu menahan

sebab-sebab perolehan rezeki-Nya atas kamu? Pasti tidak ada selain-Nya.29

Sependapat dengan Shihab, Hamka juga mengungkapkan bahwa ayat ini masih

berkaitan dengan ayat sebelumnya, QS al-Mulk/67: 20. Bahwa manusia merasa aman

hidup di dunia, mereka lupa bahwa Allah lah yang menjaga dan mengawalnya.

Semakin lama mereka menikmati kehidupan dunia, semakin jauh pula mereka dari

jalan Allah dan justru terperosok ke jalan hawanafsu. Apalagi apabila Tuhan memberi

lebih bnyak lagi rezeki kepadanya, seperti kekayaan, kemewahan, kedudukan,

ketenaran, dan segala hal yang diinginkannya terpenuhi, tidak lah ada rasa syukur dan

terima kasih kepada Tuhan. Tidakkah mereka ingat bahwa ar-Raziq nya Tuhanlah yang

memberikan semua itu. Apabila Allah telah menahan dan menghambat rezeki seperti

yang dilakukannya terhadap Qorun (dikisahkan dalam surat al-Qashash juz 20) maka

tidak akan ada seorangpun yang dapat menggantinya?.30

Meskipun ayat ini diturunkan empat belas abad yang lalu, namun sampai saat ini,

golongan orang-orang tersebut di atas masih banyak terdapat dalam masyarakat,

mereka adalah golongan orang-orang yang diperbudak oleh harta benda. Untuk itulah,

setelah merenungkan ayat-ayat ini, yang mengisahkan perangai-perangai manusia

29

Shihab. Tafsir al-Misbah, h. 362 30

Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ XXIX (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1983), h. 27

57

dalam menghadapi kebenaran, datanglah wahyu Ilahi sebagai pertanyaan untuk

mengajak isi hati dalam menimbang-nimbang antara nilai kejujuran dan kecurangan.31

Allah SWT berfirman dalam QS Fussilat/41: 39

Artinya:

dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau Lihat bumi kering dan

gersang, Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak

dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, pastilah dapat

menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala

sesuatu.

Ayat di atas menguraikan bukti-bukti kekuasaan-Nya di bumi. Allah berfirman:

dan diantara ayat-ayat yakni tanda-tanda keesaan dan kekuasaan-Nya adalah engkau

melihat dengan pandangan mata atau fikiran – melihat bumi kering tandus, gersang dan

mati, maka apabila telah kami turunkan air di atasnya, dari langit atau dari ketinggian

gunung niscaya engkau – siapapun engkau – selalu melihat tanda-tanda kehidupan

padanya yaitu ia bergerak dan mengembang permukaannya, meninggi akibat air dan

udara. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat pula menghidupkan

apa saja yang mati termasuk manusia; sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala

sesuatu.32

31

Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ XXIX, h. 28 32

M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. XII

(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 421

58

Coba kita lihat di daerah-daerah tandus di Afrika, sebanyak 25 juta jiwa melayang

akibat kekeringan. Bahkan bantuan yang berupa 1,5 juta sapi, kambing dan domba

yang diberikan kepada penduduk dilaporkan banyak yang mati karena kekeringan. PBB

sendiri telah memprediksi sekitar 20 juta orang lainnya akan menghadapi bencana

kelaparan akibat kekeringan di wilayah-wilayah seperti Kenya, Somalia dan Ethiopia.

Menurut Wakil Direktur Kemanusiaan “Oxfam”, Jeremy Loveless bahwa hujan adalah

harapan terakhir dari banyak orang. Subhanallah, bukanlah jauh-jauh sebelumnya Allah

telah menjelaskan hal itu kepada umat manusia bahwa air adalah sumber kehidupan

manusia di muka bumi ini, kalau tidak ada air maka tidak ada kehidupan.

Secara rinci ayat ini menerangkan bahwa unsur-unsur kosmos dan lapisan tanah

yang mati apabila disiram oleh air hujan akan larut bersama air hujan. Dengan

demikian, tanah itu akan mudah bergerak hingga mencapai benih dan akar berbagai

macam tumbuhan, bumi menjadi tampak hidup dan bertambah besar.33

Firman-Nya: “Dan setengah daripada ayat-ayat-Nya.” (diakhir ayat 39)

maksudnya yaitu setengah dari pada tanda-tanda Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan;

selanjutnya “Engkau lihatlah bumi itu menjadi layu.” Khasyi’atun kita artikan layu,

yaitu merendahkan diri laksanakan orang yang lemah, gemulai, tidak berdaya dan tidak

berhasrat dan tidak bertenaga, karena kering tidak ada air. “Maka apabila kita turunkan

air kepadanya, jadilah dia bergerak dan subur.” Karena negeri kita ini kaya dengan

tumbuh-tumbuhan, dapatlah kita lihat bagaimana keadaan bumi jika sudah lama

kemarau, benar-benar bumi menjadi layu dan tidak bergairah, namun apabila turun

33

Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 422

59

hujan, walaupun hanya hitungan menit bumi akan mengalami perubahan, menjadi

gembira, bergerak, menghijau dan tegak dengan suburnya. Akhirnya kita akan

mengetahui bahwa: “Sesungguhnya yang menghidupkannya itu, Dia pulalah yang

menghidupkan yang telah mati.” Artinya begitulah perumpamaan bagi Tuhan untuk

menghidupkan kembali barang yang telah mati dalam alam seluruhnya ini.34

Kemudian Hamka mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan berlaku atas segala

sesuatu. Misalnya air itu sendiri telah ditentukan Tuhan dia memenuhi tempat yang

rendah, sampai tempat yang rendah itu penuh, barulah kemudian mengalir menuju

tempat yang kosong. Dengan siklus yang demikian air bisa mendaki ke tempat yang

lebih tinggi lantaran desakan dari bawah, maka air itu bisa mendaki dan akan mendatar

kembali apabila telah sampai di tempat yang sama tingginya dengan tempat asal

datangnya. Lantaran itu, maka Maha Kuasa atas segala sesuatu ialah menurut hukum

alam juga, dan masuk diakal. Kalau belum masuk diakal, air mendaki ke tempat yang

tinggi padahal biasanya terjun ke tempat yang rendah, bukan dia berbuat yang ganjil,

melainkan kita lah yang belum mengetahi rahasianya.35

Kalau saja orang-orang Afrika memahami Al Qur‟an, tentunya mereka akan

berharap kepada Allah swt. Kalau saja seorang Loveless membaca al Qur‟an, dia akan

tahu bahwa Allah-lah Yang menurunkan air hujan agar bumi bisa hidup, darinya akan

tumbuh pohon-pohon yang berbuahDengan air itulah Allah menghidupkan bumi dan

34

Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXIV (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1999), 246 35

Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXIV, h. 246

60

menghidupkan seluruh makhluq yang hidup di dalamnya, sebagaimana yang telah

dijanjikan oleh dalam beberapa firmnNya di atas.

Selanjutnya Allah Ta’ala melapangkan rezeki bagi sebagian hamba-hamba-Nya

dan menyempitkannya bagi sebagian yang lainnya, untuk suatu hikmah yang Allah

ketahuinya. Allah SWT. Berfirman dalam QS. Al-„Ankabut/29: 62:

Artinya:

Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-

hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui segala sesuatu.

Setiap makhluk telah dijamin Allah rezeki mereka. Yang memperoleh sesuatu

secara tidak sah atau haram dan memanfaatkannya pun telah disediakan oleh Allah

rezekinya yang halal, tetapi ia enggan mengusahakannya atau tidak puas dengan

perolehannya. Uraian tentang penyempitan rezeki pada ayat d atas diungkap dengan

kata wa yaqdiru lahu/penyempitan baginya. Di sini ada kata lahu yang berbeda dengan

uraian serupa pada QS. Ar-Ra‟du/13: 26 dan QS. Al-Qashash/28: 82 yang tidak

memakai kata lahu. Itu menurut Ibn „Asyur karena ayat ini memberi petunjuk khusus

kepada kaum mukminin yang sedang mendapat cobaan dalam hal harta benda mereka

akibat dianiaya oleh kaum musyrikin. Di sisi lain, pengganti nama pada kata

lahu/baginya ada ulama‟ yang memahaminya menunjuk pada yang dilapangkan

rezekinya, sehingga ayat di atas berbicara tentang perbedaan rezeki seseorang dari satu

saat ke saat yang lain, dan ada juga yang memahami kembali kepada hamba-hamba-

61

Nya semua, dan dengan demikian ayat ini berbicara tentang perbedaan rezeki antara

seseorang dengan orang lain.36

Kemudian Hamka menegaskan makna dari akhir ayat ini bahwa tidak ada

siapapun yang sanggup menghargai jasa seseorang yang akan sama penghargaannya

atas jasa orang yang berjuang menegakkan jalan kebenaran dengan penghargaan yang

diberikan Allah! Sebab bagi Allah jelas, semua tidak ada yang tersembunyi. Sedang

bagi manusia perbuatan yang baik itu kerapkali lupa. Dan kalau ingat pun,

penghargaannya tidak juga akan sepadan.37

Selain dari itu kesehatan juga termasuk salah itu indikator kesejahteraan hidup di

dunia, hal tersebut merupakan faktor terpenting demi terwujudnya kebutuhan materi.

Namun demikian, dari sisi keberagamaan seseorang, sakit bukan termasuk hambatan

dalam mencapai kesejahteraan hidup. Karena pada hakikatnya sakit merupakan ujian

yang diberikan oleh Allah SWT. untuk mengukur seberapa besar kadar kesabaran

seseorang dalam rangka memperkuat iman. Hal terpenting yang perlu digarisbawahi

adalah bahwa kebahagiaan hidup justru diberikan oleh Allah Swt. kepada siapapun

yang mau melakukan amal kebaikan disertai dengan keimanan kepada Allah Swt.

Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt. Dalam Q.S An-nahl/16: 97, sedangkan

tiga indikator untuk mengukur kesejahteraan dan kebahagiaan adalah pembentukan

mental (tauhid), konsumsi, dan hilangnya rasa takut dan segala bentuk kegelisahan,

sebagaimana yang disebutkan Allah Swt. Dalam Q.S Quraisy/106: 3-4.

36

M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. X

(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 534-535 37

Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ XVII (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1983), h. 199

62

BAB IV

SARANA UNTUK MENCAPAI HIDUP SEJAHTERA

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umat dan anggota masyarakatnya,

terpenuhi segala kebutuhan hidupnya, sehingga mereka dapat menikmati kehidupan

yang nyaman dan sejahtera, secara garis besar Abdul Aziz al- Badri dalam bukunya

yang berjudul Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam, menggariskan beberapa

langkah menuju hidup bahagia diantaranya sebagai berikut:1

Tidak menimbun harta sekalipun harta tersebut telah dikeluarkan zakatnya. Hal

ini bisa dilihat pada firman Allah QS At-Taubah/9: 34.2

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-

orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta

orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari

jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak

menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka,

(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.

Harta benda hendaknya tersebar atu dalam arti lain dapat dimanfaatkan oleh

seluruh masyarakat, bukan hanya untuk kelompok tertentu. Hal ini sejalan

dengan firman Allah QS al- Hasyr/59:7.3

1Abdul azis al-Badri, Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam, terj. Oleh Tjetjep Suhandi dan

Muhammad Toha Idris (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 53-69 2Ancaman yang tertera dalam ayat tersebut ditujukan terhadap dua hal, pertama, tindakan

penimbunan harta. Kedua, tidak dibelanjakannya harta itu di jalan Allah SWT. Lihat al-Badri, Hidup

Sejahtera dalam Naungan Islam, h. 53-54

63

Artinya:

apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari

harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk

Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan

orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di

antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul

kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka

tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat

keras hukumannya.

Adanya peran pemerintah dalam upya mensejahterakan kehidupan masyarakat

seperti pemerinta mengeluarkan dana khusus milik negara, baik berupa barang

tetap maupun barang bergerak.

Islam menetapkan adanya hukum waris, sebgai cara untuk memecah kekayaan

dan membaginya kepada orang-orng yang berhak menerima warisan, sesuai

dengan hukum syara‟.

Menjauhi sifat kikir, baik terhadap dirinya maupun orang lain.

Menjadikan sebab-sebab pemilikan harta berdasarkan hukum syara‟, dengan

beberapa cara.

Ada beberapa point yang menjadi pembahasan penulis terkait tema yang

berkaitan dengan sarana untuk mencapai hidup sejahtera. Diantaranya adalah sebagai

berikut:

3Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyebab jauhnya manusia dari kehidupan yang

makmur dan sejahtera. Dengan kata lain bahwa adanya pendistribuan harta kekayaan yang timpang

yang tidak sampai kepada anggota masyarakat lain dan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya,

maka kesejahteraan dalam hidup tidak akan tercapai. Lebih lanjut baca al-Badri, Hidup Sejahtera

dalam Naungan Islam, h. 58

64

A. Menuntut Ilmu

Sebagai umat beragama tentu kita memahami dengan baik bahwasanya harta,

tahta, pangkat, ketenaran dan sesuatu yang lain yang sifatnya nafsu belaka adalah

bukan suatu hal yang menjadikan kita terbaik di mata Allah, karena hanya Iman dan

orang-orang yang berilmu pengetahuan lah yang memnyui derajat tertinggi di mata

Allah. Hal demikian sesuai dengan firmannya dalam QS. al-mujadalah/58: 11:

Artinya:

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-

lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi

kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka

berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di

antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.

dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dalam tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab menjelaskan adanya dua pesan

dalam dalam surat al-Mujadalah ayat 11 tersebut. Pesan pertama, merupakan ayat

tentang tuntunan akhlak, yaitu bagaimana menjalin hubungan harmonis dalam suatu

majlis. Ada riwayat yang menyatakan bahwa ayat di atas turun pada hari Jumat.

Ketika itu Rasul Saw. berada di suatu tempat yang sempit, dan telah menjadi

kebiasaan beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam

perang Badr, karea besarnya jasa mereka. Nah, ketika majlis tengah berlangsung,

beberapa orang diantara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam

kepada Nabi Saw. Nabi pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada

65

hadirin, yang juga dijawab, namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu

terus saja berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munaikin untuk memecah belah

dengan berkata: “Katanya Muhammad berlaku adil, tapi ternyata tidak.” Nabi yang

mendengar kritik itu bersabda: “Allah merahmati siapa yang member kelapangan

bagi saudaranya.” Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan ayat di atas pun

turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu.4

Pesan kedua dari ayat tersebut adalah tentang derajat orang yang beriman dan

berilmu pengerahuan5. Memang, ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa

Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka

memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari yang sekedar beriman. Tidak

disebutnya kata meninggikan itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang

dimilikinya itulah yang berperan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya,

bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.6

Tentu saja yang dimaksud dengan alladzina utu al-„ilm/yang diberi

pengetahuan adalah mreka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan

pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok

besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal saleh, dan yang kedua beriman

dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi

4Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 78 5Ilmu yang dimaksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang

bermanfaat. Dalam QS Fathir/35: 27-28 Allah menguraikan sekian banyak makhluk Ilahi, dan

fenomena alam, lalu ayat tersebut ditutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan kagum kepada

Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Ini menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan al-

Qur‟an bukan hanya ilmu agama. Di sisi lain itu juga menunjukkan bahwa ilmu haruslah menghasilkan khasyyah yakni rasa takut dan kagum kepada Allah, yang pada gilirannya mendorong

yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk.

Rasul Saw. seringkali berdo‟a: “Allahumma inni a‟udzubika min „il (in) la yanfa‟ (aku berlindung

kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat). Baca Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 80 6Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 79

66

lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan

pengajarannya kepada pihak lain secara lisan, atau tulisan maupun dengan

keteladaan.7

Firman Allah: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara

kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”menurut Hamka ayat ini

mengandung dua tafsir. Pertama, jika seseorang disuruh melapangkan majlis, yang

berarti melapangkan hati, bahkan jika dia disuruh berdiri sekalipun lalu memberikan

tempatnya pada orang yang patut didudukkan di muka, janganlah dia berkecil hati.

Melainkan hendaklah dia berlapang dada. Karena orang yang berlapang dada itulah

yang kelak akan diangkat Allah imannya dan ilmunya, sehingga derajatnya

bertambah naik. Kedua, memang ada orang yang diangkat derajatnyaa lebih tinggi

daripada orang kebanyakan, pertama karena imannya, kedua karena ilmunya. Iman

memberi cahaya kepada jiwa, yang disebut dengan moral. Sedang ilmu pengetahuan

memberi sinar pada mata. Iman dan ilmu membuat seseorang menjadi agung

meskipun tidak ada pangkat ataupun kedudukan yang disandangnya. Sebab cahaya

itu datang dari dalam dirinya sendiri, bukan disepuhkan dari luar.8

Terlepas dari kedua tafsir tersebut ujung ayat ini ada pelajaran pokok hidup

yang paling utama yaitu iman dan pokok pengiringnya adalah ilmu. Iman tidak

disertai ilmu dapat membawa dirinya mengerjakan pekerjaan yang disangka

menyembah Allah, padahal mendurhakai Allah. Sebaliknya seorang yanga hanya

berilmu tanpa iman, maka ilmunya itu dapat membahayakan bagi diri sendiri

maupun orang lain. Ilmu manusia tentang tenaga atom misalnya, alangkah penting

7Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 80 8Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVIII (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000), h. 31

67

ilmu itu apabila disertai iman, karena akan membawa faedah yang sangat besar bagi

seluruh perikemanusiaan. Tetapi ilmu itupun dapat dipergunakan orang untuk

memusanahkan sesama manusia, karena jiwanya tidak dikontrol oleh iman kepada

Allah. 9

B. Berusaha dan Bekerja Keras

Seruan selanjutnya anjuran untuk beramal. Amal yang dimaksud tidak hanya

berdo‟a, membaca wirid dan juga bermunajat, lebih dari itu amal yang dimaksud

adalah berzakat. Tuhan memperhatikan amal kita, untuk itu hendaknya dalam

beramal tidak perlu kita umumkan kepada orang lain, karena penghargaan dari Allah

lebih tinggi nilai dibanding dengan pujian dari sesama manusia. 10

- Qs al-Jumu‟ah/62: 10

Artinya:

apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;

dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya

kamu beruntung.

Menurut pendapat M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah ayat diatas

menegaskan: lalu apabila telah ditunaikan sholat, maka jika kamu mau, maka

bertebaranlah di muka bumi untuk tujuan papun yang dibenarkan Allah dan carilah

dengan bersungguh-sungguh sebagian dari karunia Allah, karena karunia Allah

sangat banyak dan tidak mungkin kamu dapat mengambil seluruhnya, dan ingatlah

9Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVIII, h. 31 10Hamka, Tafsir al-Azhar juzu‟ XI, h. 41

68

Allah banyak-banyak jangan sampai kesungguhan kamu mencari karunia-Nya itu

melengahkan kamu. Berdzikirlah dari saat ke saat dan di setiap tempat dengan hati

atau bersama lidah kamu supaya kamu beruntung memperoleh apa yang kamu

dambakan.11

Dalam tafsirnya sudah jelas bahwa Quraish Shihab menegaskan bahwa seruan

untuk mencari rezeki adalah sebuah keharusan. Karena sungguh tiada dapat dihitung

karunia Allah yang yang ditebar di muka bumi ini demi kesejahteraan setiap

makhluknya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwasanya jangan sampai

kita melupakan kewajiban kita sebagai hamba yang dituntut untuk selalu

menjalankan ibadah kepadaa Allah Swt, seperti sholat, dzikir dan lain sebagainya.

Sedangkan Dr. Hamka dalam tafsir al-Azhar menegaskan bahwa apabila sholat

jum‟at itu telah selesai dikerjakan, umat yang tadinya disuruh segera menunaikan

sholat dan menghentikan segala macam kegiatan termasuk jual beli, diperbolehkan

melanjutkan aktivitasnya kembali.12

Dengan demikian, jelas bahwa dalam agama Islam, bukanlah hari istirahat buat

seluruhnya, melainkan hari untuk beribadat bersama, yaitu sholat Jum‟at. Jika waktu

Jum‟at telah datang hentikan segala kegiatan, bila waktu Jum‟at telah selesai,

lanjtkanlah kegiatan kembali. Bertebaranlah di muka bumi itu, “Dan carilah karunia

Allah” karena karunia Allah itu ada di mana-mana asal manusia mau berusaha dan

11M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. XIV

(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 230 12Perintah bertebaranlah di muka bumi, sesudahnya tadi dilarang karena berkumpul melakukan

sholat jumat, menurut hukum ilmu ushul fiqih, diartkan bahwa larangan telah dicabut. Misalnya orang

dilarang berburu selama mengerjakan umroh dan haji. Namun bila mana telah selesai mengerjakan

umroh dan haji orang tersebut sudah diperbolehkan berburu. Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVIII

(Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000), h. 197

69

bekerja. Karunia dari bertani, beternak, berniaga, jual-beli dan lain sebagainya yang

tentunya dicari dsesuai dengan syari‟at da tuntunan al-Qur‟an.13

Hal selanjutnya yang perlu kita fahami bahwa rezeki itu juga perlu dicari

sebagaimana Allah menyatakan dengan kalimat “makhluk bergerak” bukan hanya

menanti dan berdiam diri. Hal ini tentu terkecuali apabila ada ujian dari Allah yang

berupa kekurangan makanan dan buah-buahan.14

Berikut sesuai dengan firman Allah

QS. Ar-Ra‟du/13: 11 dan QS. Al-Baqarah/2: 155

Artinya:

bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran,

di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.

Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga

mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila

Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada

yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka

selain Dia.

Firman Allah tersebut secara panjang lebar M. Quraish Shihab uraikan dalam

bukunya Secercah Cahaya Ilahi. Dalam buku tersebut antara lain banyak

dikemukakan bahwa paling tidak ada dua ayat dalam al-Qur‟an yang sering

diungkap dalam konteks perubahan sosial. Satu ayat yang lain adalah QS. Al-

Anfal/8: 53. Kedua ayat tersebut berbicara tentang perubahan, tetapi ayat pertaman

13Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVIII, h. 197 14https://muslim.or.id/25097-mengapa-ada-yang-mati-kelaparan-padahal-rezeki-sudah-

dijamin.html

70

berbicara tentang nikmat, sedang ayat kedua berbicara tentang perubahan

apapun.15

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut kedua ayat di atas:

Pertama, ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan

individu. Ini difahami dari penggunaan kata qoum/masyarakat pada kedua ayat

tersebut. Kedua, penggunaan kata qoum, juga menunjukkan bahwa hukum

kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras,

dan agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan dan di mana mereka berada.

Selanjutnya karena ayat tersebut berbicara tentang kaum, maka ini berarti

sunnatullah yang dibicarakan ini berkaitan dengan kehidupan duniawi bukan

ukhrowi. Ketiga, kedua ayat tersebut juga berbicara tentang dua pelaku perubahan.

Pelaku yang pertama adalah Allah swt. Sedang pelaku kedua adalah manusia.16

Keempat, kedua ayat ini juga menekankan bahwa perubahan yang dilakukan Allah,

haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut

sisi dalam mereka.17

Artinya:

15Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 568 16Pelaku pertama yaitu Allah swt adalah yang mengubah nikamt yang dianugerahkan-Nya

kepada suatu masyarakat atau apa saja yang dialami oleh suatu masyarakat, atau katakanlah sisi

luar/lahiriah masyarakat. Sedang pelaku kedua adalah manusia, dalam hal ini masyarakat yang

melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau dalam istilah kedua ayat ma bi anfusihim/apa yang

terdapat dalam diri mereka. Perubahan yang terjadi akibat campur tangan Allah atau yang diistilahkan oleh ayat mabi qoumin menyangkut banyak hal, seperti kekayaan dan kemiskinan,

kesehatan dan penyakit, kemuliaan atau kehinaan, persatuan atau perpecahan, dan lain-lain yang

berkaitan dengan masyarakat secara umum, bukan secara individu. baca Shihab, Tafsir al-Misbah, h.

569 17Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 569

71

dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit

ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan

berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

Menurut Shihab ujian18

atau cobaan yang sedang dihadapi itu sangatlah

sedikit jika dibandingkan dengan besarnya imbalan atau ganjaran yang

dianugerajkan Allah Swt. Kenapa Shihab mengatakan bahwa ujian itu sedikit?,

karena betapapun besarnya ujian/cobaan, ia dapat terjadi lebih besar dari pada yang

telah terjadi. Bukankah ketika mengalami musibah, ucapan yang sering terdengar

adalah “Untung hanya begitu atau untung hanya segitu...”. ia sedikit, karena

cobaan dan ujian yang besar adalah kegagalan menghadapi cobaan khususnya

dalam kehidupan beragama.

Ujian itu sedikit, kadarnya sedikit bila dibandingkan dengan potensi yang

telah dianugerahkan Allah Swt. kepada kita. Karena Allah tidak mungkin memberi

ujian melebihi batas kemampuan manusia.

Patut dicamkan bahwa ayat sebelum ini mengajarkan sholat dan sabar. Jika

demikian, yang diajarkan itu harus diamalkan sebelum datangnya ujian Allah ini.

Demikian pula ketika ujian berlangsung. Itu sebabnya Rasul Saw. sebagimana

diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui sahabt Nabi, Huzaifah Ibnu al-Yaman ra.,

bahwa: “Bila beliau dihadapkan pada satu kesulitan/ujian, beliau melaksanakan

sholat”. Karena itu pula ayat di atas ditutup dengan perintah berikanlah berita

gembira kepada orang-orang sabar.19

18Ujian yang dimaksud dalam pandangan M. Quraish Shihab adalah sedikit dari rasa takut,

yakni keresahan hati menyangkut sesuatu yang buruk, atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang

diduga kan terjadi. Sedikit rasa lapar, yakni keinginan melupan untuk makan karena perut kososng,

tetapi tidak menemukan makanan yang dibutuhkan, serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 342 19Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 342

72

Untuk itu, manusia harus berjuang, karena hidup adalah pergulatan antara

kebenaran dan kebatilan. Manusia dalam hidupnya pasti menghadapi setan dan

pengikut-pengikutnya. Allah memerintahkan untuk berjuang menghadapi mereka.

Tentu saja dalam pergulatan pertarungan pasti ada korban, pihak yang benar atau

yang salah. Aneka macam korban itu, bisa berupa harta, jiwa dan buah-buahan,

baik buah-buahan dalam arti sebenarnya maupun buah-buahan dalam arti buah dari

apa yang dicita-citakan. Tetapi korban itu sedikit, bahkan itulah yang menjadi

bahan bakar memperlancar jalannya kehidupan, serta mempercepat pencapaian

tujuan. Jika demikian jangan menggeretu menghadapi ujian.20

Begitulah solusi

yang ditawrkan M. Quraish Shihab dalam menghadapi ujian, dalam rangka

memperkuat pondasi dalam mencapai kehidupan yang sejahtera dalam tataran al-

Qur‟an.

Ujian adalah hak Allah sama seperti rezeki. Hikmah dari ujian akan

menjadikan suatu ummat itu bertambah kuat bukannya melemah. Ia tergantung

bagaimana sikap yang diambil terhadap ujian yang menimpanya.

“Dan Ingatlah Allah sebanyak-banyaknya.” Artinya ke manapun dan di

manapun kita serta dalam keadaan apapun selalu ingat keberadaan Allah, karena

dengan itu kita dapat mengendalikan diri sehingga tidak terperosok kepada

perbuatan yang tidak diridhoi oleh Allah Swt. “Supaya kamu beroleh

keberuntungan.” (akhir ayat 10). Keberuntungan yang paling utama adalah segala

apa yang diusahakan mendapat berkah dari Allah Swt. kalau mendapatkan rezeki

tentunya rezeki yang halal. Disamping keberuntungan berupa materi, yang lebih

20Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 343

73

penting adalah keberuntungan karena hilangnya kekacauan fikiran karena

perbuatan yang tidak halal.21

- QS al-Mulk/67: 15

Artinya

Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah

di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan

hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.

Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa Ayat tersebut

menguraikan lebih lanjut rububiyyat, yakni betapa besar kuasa dan wewenang Allah

mengatur alam raya ini. Melalui ayat ini Allah menegaskan sekali lagi kuasaNya

sekaligus Luth, yakni kemahalemahlembutan-Nya dalam pengaturan makhluk

termasuk manusia, agar mereka mensyukuri nikmat-Nya. Allah berfirman: Dialah

sendiri yang menjadikan buat kenyamanan hidup kamu bumi yang kamu huni ini

sehingga ia menjadi mudah sekali untuk melakukan aneka aktivitas baik berjalan,

bertani, berniaga, dan lain-lain, Maka – silahkan kapan saja kamu mau – berjalanlah

di penjuru-penjurunya bahkan pegunungan-pegunungannya dan makanlahsebagian

dari rezeki-Nya – karena tidak mungkin kamu dapat menghabiskannya karena

rezekiNya melimpah melebihi kebutuhan kamu, dan mengabdilah kepada-Nya

sebagai tanda Syukur atas limpahan karunia-Nya itu. Dan hanya kepada-Nya lah

kebangkitan kamumasing-masing untuk mempertanggungjawabkan amalan-amalan

kamu.22

21Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVII, h. 198 22Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 356

74

Secara garis besar, ayat di atas dapat difahami sebagai ayat yang mengajak atau

mendorong umat manusia secara umum dan kaum muslimin khususnya agar

memanfaatkan bumi sebaik mungkin dan menggunakannya untuk kenyamanan

hidup mereka tanpa melupakan generasi sesudahnya. Dalam konteks ini Imam an-

Nawawi (w. 1277 M) dalam mukadimah kitabnya al-Majmu‟ menyatakan bahwa:

umat Islam hendaknya mampu memenuhi dan memproduksi semua kebutuhannya –

walaupun jarum – agar mereka tidak mengandalkan pihak lain.23

Pendapat lain dikemukakan oleh Hamka dalam tafsir al-Azhar, dalam

pandangan Hamka surat al-Mulk ayat 15 ini menjelaskan bahwa sebagai manusia

yang dikirim Allah ke muka bumi, maka dari muka bumi itu disediakan kelengkapan

hidup. Tidaklah Allah membiarkan manusia bermalas-malas, menganggur dan tidak

berusaha. Muka bumi adalah tempat yang lebih rendah dibawah telapak kaki kita.

Kita akan mendapat hasil dari muka bumi ini menurut kesanggupan tenaga dan ilmu.

Zaman modern disebut zaman tehnologi. Kepintaran dan kecerdasan manusia telah

membuka banyak rahasia yang tersembunyi. Manusia ditakdirkan Tuhan bertabi‟at

suka kepada kemajuan. Cuma satu hal tidak boleh dilupakan, yaitu bahwa sesudah

hidup kita akan mati. Dan mati itu adalah kembali kepada Tuhan, kembali ke tempat

asal, untuk mempertanggungjawabkan apa yang pernah kita perbuat di dunia ini.24

Dipertegas oleh Hamka bahwa ayat ini merupakan pegangan hidup orang Islam

dalam menghadapi perkembangan zaman dan tehnologi. Kemajuan manusia

membongkar rahasia bumi tidaklah akan membawa kecemasan bilamana orang

selalu ingat bahwa dibelakang hidup yang sekarang ini ada lagi hidup yang kekal

23Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 357 24Hamka, Tafsir al-Azhar juz XXIX (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999), h. 19

75

dan tempat perhitungan. Manusia tidak akan celaka dan tidak akan mencekik dirinya

sendiri dengan bekas kemajuan akalnya asal dia ingat selalu bahwa akhir hidupnya

ialah kembali kepada Tuhan. Dengan ingat bahwa hidup akan kembali kepada Tuhan

itu maka hasil tehnologi manusia ditntukan tujuannya oleh cita-cita manusia sendiri

hendak berbuat baik.25

C. Disiplin

Baik atau buruk, untung atau rugi hasil suatu pekerjaan, tergantung dari usaha

pelakunya. Hal ini bisa kita lihat dalam Firman Allah SWT dalam QS al-„Ashr/103:

1-3 sebagai berikut:

Artinya:

Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan

saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati supaya bersikap

sabar.

Dalam surat tersebut, paling tidak ada beberapa hal yang saling berkaitan,

hubungannya dengan disiplin kerja, yaitu waktu, amal (usaha), kerugian (hasil

usaha). Seolah-olah surat Al-Quran tersebut ingin menegaskan bahwa waktu yang

Allah luangkan, harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Apabila tidak, yang

bersangkutan sendiri yang akan rugi. Pendek kata, surat tersebut mengajarkan kita

berdisiplin kerja dan berdisiplin waktu.

Dalam tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa tiga ayat dari

surat al-„Asr tersebut memperingatkan betapa pentingnya waktu dan bagaimana

25Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 19-20

76

seharusnya waktu itu diisi dengan sebaik mungkin.26

dapat juga dikatakan bahwa

pada surah ini Allah bersumpah demi waktu dan dengan menggunakan kata „asr –

bukan selainnya – untuk menyatakan bahwa: Demi waktu (masa) di mana manusia

mencapai hasil setelah ia memeras tenaganyan, sesungguhnya ia merugi – apapun

hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia beriman dan beramal saleh. Kerugian

tersebut mungkin tiak akan dirasakan pada waktu dini, tetapi pasti akan disadarinya

pada waktu Ashar kehidupannya menjelang matahari hayatnya terbenam. Itulah

agaknya rahasia mengapa Tuhan memilih kata „Asr untuk menunjuk kepada waktu

secara umum.27

Lebih lanjut Shihab berpendapat bahwa waktu adalah modal utama manusia,

apabila tidak didisi dengan kegiatan positif, maka ia akan berlalu begitu saja. Ia akan

hilang dan ketika itu jangankan keuntungan diperoleh, modalpun telah hilang. 28

Kata al-Insan/manusia terambil dari akar kata yang dapat berarti gerak atau

dinamisme, lupa, merasa bahagia (senang). Ketiga arti ini menggambarkan sebagian

dari sifat serta ciri khas manusia. Ia bergerak bahkan seyogyanya memiliki

dinamisme, ia juga memiliki sifat lupa atau seyogyanya melupakan kesalahan-

kesalahan orang lain serta ia pun merasa bahagia atau senang bila bertemu dengan

jenisnya atau seyogyanya selalu memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada diri

sendiri dan makhluk-makhluk lainnya. Sedang kata khusr mempunyai banyak arti,

26M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. XV

(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 496 27Para ulama‟ sepakat mengartikan kata „ashr pada ayat pertama surat al-„Ashr dengan waktu,

hanya saja ada perbedaan pendapat tentang waktu yang dimaksud. Ada yang berpendapat bahwa ia adaah waktu atau masa dimana langkah dan gerak tertampung didalamnya. Ada lagi yang

menentukan waktu tertentu yakni waktu di mana sholat ashar dapat dilaksanakan. Pendapat ketiga

ialah waktu atau masa kehadiran Nabi Muhammad Saw dalam pentas kehidupan ini. Lebih lanjut

baca Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 497 28Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 498

77

antara lain rugi, sesat, celaka, lemah, tipuan dan sebagainya yang kesemuanya

mengarah kepada makna –makna yang negatif. Kata tersebut dalam ayat ini

berbentuk nakiroh (indefinit). Bentuk indefinit memberikan arti keragaman dan

kebesaran yakni kerugian serta kesesatan, kecelakaan, dan sebagainya. Kata khusr

apabila digabung dengan kata la fi yang mengandung makna wadah atau tempat.

Maka dengan kata tersebut tergambar bahwa seluruh totalitas manusia berada di

dalam satu wadah kerugian.29

Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi maka kita merugi,

bahkan kalaupun diisi tetapi dengan hal-hal yang negatif maka manusiapun diliputi

oleh kerugian.

Untuk itu erat kaitannya antara disiplin waktu guna mencapai hidup sejahtera

sesuai dengan tuntutan al-Qur‟an, dimana seorang yang dapat memanfaatkan waktu

yang telah disiapkan oleh Allah dengan melakukan hal-hal yang positif, bermanfaat

dan juga bernilai ibadah maka kerugian tidak akan menghampri kita, yang ada hanya

kedamaian dan keberuntungan serta kebahagian yang akan kita raih.

Pendapat lain datang dari Hamka yang mgambil pendapat dari sebagian besar

ulama‟ bahwa “Demi masa!” masa yang dimaksud adalah waktu-waktu yang kita

lalui dalam menjalani kehidupan. Berputarlah dunia ini dan berbagai masa

dilaluinya, suka dan duka, naik dan turun, masa muda dan masa tua, ada masa hidup

kemudian mati. Oleh Allah masa diambil menjadi sumpah, supaya kita ingat bahwa

hidup di dunia ini adalah melalui masa, dan apabila kita pergi (mati) habislah masa

kita di dunia. Dan masa itu terus dipakai oleh manusia yang tinggal secara silih

berganti. Masa itu dijadikan sumpah untuk mmeperigatkan pula agar kita tidak

29Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 498

78

menyia-nyiakan dan mengabaikannya, karena sejarah kemanusiaan ditentukan oleh

edaran masa.30

Selanjutnya surat al-„Asr ayat 2 menjelaskan tentang kerugian manusia, yang

menyia-nyiakan waktu selagi masih ada. Namun penjelasan ini tidak berhenti pada

ayat ini, ayat selanjutnya menjelaskan bahwa manusia yang tidak akan mengalami

kerugian ialah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang mempunyai

kepercayaan bahwa hidupnya ini adalah atas kehendak Allah Yang Mahakuasa.

Manusia datang ke dunia ini memang sementara waktu, namun masa yang sementara

itu dapat diisi dengan baik karena ada kepercayaan, ada tempat berlindung. Iman

menyebabkan manusia insaf dari mana datangnya. Iman menimbulkan keinsafan

tentang guna kehidupan ini, yaitu untuk berbakti kepada Sang Maha Pencipta, dan

berbagi kepada sesama manusia. Iman menimbulkan keyakinan bahwasanya sesudah

hidup di dunia ada kehidupan yang lebih kekal, yaitu hidup di akhirat.31

Manusia kedua yang tidak akan merugi ialah mereka yang beramal soleh, yaitu

orang yang bekerja yang baik dan berfaedah. Sebagai seorang mukmin kita percaya

bahwa di sisi Allah amalan yang kita tiggalkan itulah kekayaan yang akan kita

hadapkan kehadirat Ilahi. Sebab itu tidaklah akan rugi masa hidup kita.32

Selain dari itu, Islam juga memerintahkan umatnya untuk selalu konsisten

terhadap peraturan Allah yang telah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah

dalam QS Huud/11: 112, sebagai berikut:

30Hamka, Juz „Amma Tafsir al-Azhar (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 285 31Hamka, Juz „Amma Tafsir al-Azhar, h. 285 32Hamka, Juz „Amma Tafsir al-Azhar, h. 286

79

Artinya:

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan

kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah

kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu

kerjakan.

M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa kata fastaqim

terambil dari kata qama yang berarti mantap, terlaksana, berkonsentrasi serta

konsisten. Sementara ulama‟ memahaminya terambil dari kata berdiri karena

manusia akan mampu melakukan sekian banyak hal yang tidak dapat

dilaksanakannya dalam keadaan selain berdiri. Dengan demikian, kata istaqim

adalah perintah untuk menegakkan sesuatu sehingga ia menjadi sempurna dan

seluruh yang diharapkan darinya wujud dalam bentuk sesempurna mungkin, tidak

disentuh oleh kekurangan atau keburukan dan kesalahan.33

Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk konsisten melaksanakan

dan menegakkan tuntutan wahyu-wahyu Ilahi sebaik mungkin sehingga terlaksana

secara sempurna sebagaimana mestinya. Tuntutan wahyu itu bermacam-macam. Ia

mencakup seluruh persoalan agama, dan kehidupan dunia maupun akhirat. Dengan

demikian perintah tersebut mencakup perbaikan kehidupan duniawi dan ukhrowi,

pribadi, masyarakat dan lingkungan. Karena itu, perintah ini sungguh sangat berat.

Itu sebabnya sahabat Nabi Ibn „Abbas ra. Berkomentar, “tidak ada ayat yang turun

kepada Nabi Muhammad Saw. lebih berat dari ayat ini.”dan agaknya itu pula

sebabnya sehingga Nabi Saw. bersabda bahwa surat Huud menjadikan beliau

beruban.34

33M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. VI

(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 359 34Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 360

80

Pendapat selanjutnya dikemukakan oleh Hamka dalam tafsirnya al-Azhar pada

point “istiqomah”. Ayat 112 dari surat Huud ini menurut pandangnnya tidak hanya

berkaitan dengan bagaimana cara mengatur waktu/disiplin waktu, tetapi juga erat

kaitannya dengan sifat teguh pendirian. Menurutnya, di dalam ayat ini termaktub

kata istaqim, yang berasal dari kata istiqomah, yang dalam bahasa Indonesia berarti

tegak lurus. Yaitu teguh pada pendirian, tidak mengencong atau menyeleweng ke

kiri-kanan, dan tidak pernah mundur dan tetap. Dalam ayat ini Nabi kita Muhammad

saw. diperintahkan untuk teguh memegang pendiriannya, jangan tergoncang oleh

apapun. Kalo dicermati lebih dalam lagi, ayat 112 ini menjelaskan betapa masih

banyak manusia yang masih ragu, hal ini bisa dihilangkan dengan kita mempercayai

ajaran ke-Tauhid.an yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.35

lebih lanjut Hamka

mengemukakan bahwa pada ayat ini Rasulullah tidak hanya dituntut untuk teguh

pendirian pada diri sendiri tetapi juga dituntut untuk mengajak para pengikutnya

yang telah memeluk Islam (dalam istilah Hamka Tobat dari kemusyrikan) mengikuti

jejak langkah beliau. Karena apabila mereka telah istiqomah, telah teguh memegang

disiplin iman, maka orang-orang Syak dan ragu-ragu itu pati kian goyah

pendiriannya yang salah dan kan memilih ikut ke jalan yang benar. Sebagaimana

firman-Nya di akhir ayat: “Dan janganlah kamu sekalian melampaui batas.”36

Dari ayat di atas menunjukkan bahwa, disiplin bukan hanya tepat waktu saja,

tetapi juga patuh pada peraturan-peraturan yang ada. Melaksanakan yang

diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya.

35Hamka, Tafsir al-Azhar juz XII (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999), h. 138 36Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 139

81

D. Tidak boros dan Mubazzir

Al-Qur‟an memiliki cara yang indah untuk menggiring manusia agar tidak

terjebak dalam sifat boros. Dengan bertahap Allah ingin menjelaskan bahwa sifat

boros hanya akan merugikan manusia. Pada awalnya Allah menyarankan untuk

memikirkan pemasukan dan pengeluaran. Ingatlah bahwa kita juga memiliki

kewajiban untuk menafkahi keluarga dan kebutuhan yang lainnya. Allah berfirman

QS al-Isra‟/17: 29:

Artinya:

dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan

janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela

dan menyesal.

Ayat ini menurut Quraish Shihab merupakan salah satu ayat yang menjelaskan

salah satu hikmah yang sangat luhur, yakni kebajikan yang merupakan pertengahan

antara dua ekstrim. Keberanian adalah pertengahan antara kecerobohan dan sifat

pengecut. Kedermawanan adalah pertengahan antara pemborosan dan kekikiran.

Demikian seterusnya.37

Untuk itu pada ayat ini kita dituntut untuk hidup dalam

keseimbangan dan keadilan. Tidak terlalu kikir juga boros, karena yang

tengah/sedang-sedang saja merupakan hal yang sangat bijak.

Kata maluman dan mahsuran adalah dampak dari kekikiran dan pemborosan.

Dimana jika kita berbuat kikir maka dampaknya adalah tercela baik oleh diri sendiri

37M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. VII

(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 462

82

maupun orang lain, sedangkan jika kita berbuat boros maka dampaknya adalah tidak

memiliki kemampuan, karena telah kehabisan harta.38

Senada dengan pendapat Shihab, Hamka dalam tafsir al-Azhar menjelaskan

bahwa ayat al-Qur‟an dalam ayat ini membuat perumpamaan orang yang bakhil itu

dengan orang yang membelenggukan kedua tangannya ke kuduknya. Sehingga susah

untuk digunakan untuk membuka pura uangnya. Orang yang boros “tak berkunci”

diumpamakan orang yang tangannyalepas selepas-lepasnya saja, tidak ada

perhitungan. Keduanya itu tercelalah di mata Tuhan. Hal tersebut juga dijelaskan

dalam QS. Al-Furqon/25: 67 sebagai berikut:

Artinya:

dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak

berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di

tengah-tengah antara yang demikian.

Keduanya itu, antara bakhil dan boros tercela dan membawa celaka bagi diri

sendiri. Bakhil menimbulkan kebencian orang dan menyakiti diri sendiri dan

membawa tersisihnya dari masyarakat. Sedang boros adalah menjadi alamat bahwa

hidup orang ini tak menentu. Kekayaan yang didapat tidak ada berkahnya. Karena

itu lah diakhir ayat dikatakan apabila engkau bakhil dan boros “Niscaya engkau akan

menjadi tercela lagi menyesal”. 39

Lebih lanjut Hamka menyatakan bahwa orang yang bakhil akan tercela dalam

pergaulan hidupnya, karena tanpa disadarinya dia telah diperbudak oleh hartanya

sendiri. Sedang orang yang ceroboh, boros dan menghambur-hamburkan hartanya

38Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 462 39Hamka, Tafsir al-Azhar juz XV (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999), h. 52

83

akhirnya akan menyesal sendirinya apabila harta benda itu telah punah dan tidak

tersisa sedikitpun karena keluarnya tidak pernah ada perhitungan.40

Pada tahap selanjutnya, Allah mulai memberi peringatan bahwa Dia tidak

menyukai orang-orang yang boros. Allah berfirman QS. Al-Isro‟/17: 31, sebagai

berikut:

Artinya:

dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.

kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.

Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.

Salah satu keburukan masyarakat jahiliah adalah membunuh anak-anak

perempuan antara lain karena faktor kemiskinan. Nah, setelah menjelaskan bahwa

Allah menganugerahkan kepada semua hamba-Nya rezeki sesuai kebutuhan masing-

masing, maka ayat ini melarang pembunuhan itu.41

Larangan ayat ini ditujukan kepada umum. Ini dipahami dari bentuk jamak

yang digunakan pada kata wa la Taqtulu. Agaknya hal tersebut mengisyaratkan

bahwa keburukan yang dilarang di sini dan ayat-ayat yang menggunakan bentuk

jamak itu, adalah keburukan yang telah tersebar di dalam masyarakat Jahiliah, atau

penggunaan bentuk jamak itu untuk mengisyaratkan bahwa apa yang dipesankannya

merupakan tanggungjawab kolektif, berbedan dengan bentuk tunggal. Bentuk

tunggal memberikan penekanan pada perorangan, serta merupakan tanggungjawab

40Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 52 41Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 463

84

pribadi demi pribadi.42

Penggalan ayat ini juga dipahami sebagai sanggahan bagi

mereka yang menjadi kemiskinan apa pun sebabnya sebagai dalih untuk membunuh

anak.

Jelaslah bahwa wahyu Ilahi adalah diperuntukkan bagi seluruh manusia. Bukan

orang Arab saja. Karena takut miskin, memang banyak orang yang tidak suka

mendapat anak banyak. Orang Arab sama dengan orang Tionghoa, mendasarkan

keluarga pada perbapaan (ptriarchat). Sebab itu mereka lebih suka anak laki-laki

dibanding dengan anak perempuan. Tetapi orang Minangkabau (Indonesia)

mendasarkan keluarga pada peribuan. Mereka lebih suka anak perempuan dibanding

anak lelaki. Di dalam kehidupan kota di zaman industrialisasi ini, kehadiran anak

justru menjadi beban yang berat, beberapa diantaranya orang yang rendah segi

ekonomi rela menjual anaknya. Orang-orang kaya ada yang mengadakan operasi

pada rahim untuk mencegah kehamilan. Maka al-Qur‟an memberikan ajaran kepada

seluruh manusia agar jangan membunuh anak hanya karena takut miskin. Kesukaran

hidup dapat diatasi, baik secara sendiri-sendiri atau bersama. Islam menyediakan

cara bagaimana seharusnya sebagai orang kaya untuk mendermakan hartanya kepada

yang miskin, yaitu dengan jalan Zakat. Zakat yang merupakan rukun Islam yang ke

tiga telah diatur syariatnya dalam kitab fiqih. Disini Amil (pengelola zakat) dapat

mengambil harta si kaya dan memberikannya kepada si miskin yang tentunya sesuai

dengan syariat Islam. Ibnu Hazmi, mujtahid Andalusia berkata: “kalau di dalam

sebuah kampung kedapatan orang yang mati kelaparan, maka seisi kampung itu

dikenakan hukuman diat”.43

42Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 464 43Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 55

85

Hingga pada peringatan terakhir, Allah menyebut orang yang boros dan suka

menghamburkan harta sebagai orang kawan setan. QS. Al-Isro‟/17: 26-27

Artinya:

26. dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,

kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah

kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.

27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan

dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

Kata atu bermakna pemberian sempurna. Pemberian yang dimaksud

bukan hanya terbatas pada hal-hal materi tetapi juga immateri. Al-Qur‟an secara

tegas menggunakan kata tersebut dalam konteks pemberian hikmah (hal ini bisa

dilihat dalam QS. Al-Baqarah/2: 269). Mayoritas ulama‟ menilai perintah di sini

sebagai anjuran. Sedang kata tabdzir/pemborosan dipahami oleh ulama‟ dalam

arti pengeluaran yang bukan haq, karena itu jika seseorang menafkahkan atau

membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau haq, maka dia bukanlah

seorang pemboros. Sayyidina Abu Bakar ra menyerahkan semua hartanya

kepada Nabi Saw. dalam rangka berjihad dijalan Allah. Sayyidina Utsman ra

membelanjakan separuh hartnya. Nafkah mereka diterima Rasulullah Saw dan

beliau tidak menilai mereka sebagai para pemboros. Sebaliknya membasuh

wajah lebih dari tiga kali dalam berwudhu , dinilai sebagai pemborosan – walau

ketika itu yang bersangkutan berwudhu dari sungai yang mengalir. Jika

86

demikian, pemborosan lebih banyak berkaitan dengan tempat bukannya dengan

kuantitas.44

Kemudian ada perumpamaan pemboros dengan setan, maksudnya adalah

persaudaraan setan dengan pemboros adalah persamaan sifat-sifatnya, serta

keserasian antar keduanya. Mereka berdua sama-sama melakukan hal yang

batil, tidak pada tempatnya. Hal yang demikian jelas jauh dari sifat adil, jika

begitu maka kesejahteraan akan lebih sulit untuk diraih, jangankan di dunia di

akhirat pun demikian.

Penyifatan setan dengan kaafir/sangat ingkar merupakan peringatan keras

kepada para pemboros yang menjadi teman setan itu, bahwa persaudaraan dan

kebersamaan mereka dengan setan dapat mengantar kepada kekufuran. Betapa

tidak, bukankah teman saling pengaruh mempengaruhi, atau teman sering kali

meniru dan meneladani temannya.45

Sedangkan menurut Hamka kata boros berasal dari arti kalimat

“mubazzir” atau “tabzir”. Dalam hal ini Hamka merujuk pada beberapa

pendapat tokoh Islam. Seperti Imam Syafi‟i yang mengatakan bahwa mubazzir

ialah membelanjakan harta tidak pada jalannya. Selanjutnya Imam Malik

berkata bahwa mubazzir ialah mengambil harta dari jalannya yang pantas tapi

mengeluarkannya dengan jalan yang tidak pantas. Para mujahid juga berkata:

“walaupun seluruh hartanya dihabiskannya untuk jalan yang benar, tidaklah dia

mubazzir. Tetapi walaupun hanya segantang padi dikeluarkannya, padahal tidak

pada jalan yang benar, itu sudah mubazzir.” Pendapat lain datang dari Qatadah

44Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 458-459 45Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 460

87

yang berkata: “tandzil ialah menafkahkan harta pada jalan maksiat kepada

Allah, pada jalan yang tidak benar dan merusak.”46

Singkatnya Hamka

mngartika mubazzir adalah apabila sesuatu/harta atau apapun yang kita

keluarkan tidak pada jalan yang benar, seperti contoh sederhana menanak nasi

secukupnya dan tidak berlebih yang akan menyebankan basi dan terbuang.

Ayat selanjutnya: “karena sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu

adalah kawan-kawan dari syaitan” (akhir ayat 27). Dijelaskan dalam ayat ini

bahwasanya orang yang pemboros adalah kawan syaitan. Biasanya kawan yang

dekat atau teman setia itu besar pengaruhnya kepada orang yang ditemaninya.

Orang yang telah dikawani oleh syaitan maka hilanglah pedoman dan tujuan

hidupnya. Sebab ia telah disesatkan oleh kawan-kawannya itu, sehingga ia telah

lalai mejalankan perinta Allah dan justru menggantinya dengan perbuatan

maksiat. Diujung ayat diperingatkan kejahatan syaitan itu: “Dan adalah Syaitan

itu, terhadap Tuhannya, tidak mengenal terima kasih.”47

Jelaslah, jika seseorang telah menghambur-hamburkan harta yang tidak

ada manfaatnya, maka pengaruh syaitan telah masuk ke dalam dirinya. Oleh

karena sifat syaitan itu tidak mengenal terima kasih, menolak dan melupakan

nikmat yang diberikan Allah. Apabila demikian maka sifat dan perngai syaitan

telah masuk dan mempengaruhi dirinya sehingga tindak tanduk hidupnya tidak

lagi mengenal terima kasih kepada yang Maha Pemberi Rezeki (ar-Razaq).

Begitu pula dengan harta benda yang disimpan saja dan tidak diambil

manfaatnya, maka sama halnya dengan menyimpan batu yang tidak berharga.

46Hamka, Tafsir al-Azhar juz, h. 49 47Hamka, Tafsir al-Azhar juz, h. 50

88

Misalnya ada seseorang yang butuh bantuan tapi kita enggan membantunya dan

memilih untuk berfoya-foya dengan harta kita maka jelaslah kawan karib yaitu

syaitan telah menjadi panutan kita. Maka tidak lain dosalah yang kita dapatkan,

padahal tadinya nyaris membawa pahala. Itupun dapat dikatakan mubazzir.48

E. Menabung

Allah SWT. berfirman dalam Q.S Yusuf/12: 47-49

Artinya:

47.Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya)

sebagaimana biasa; Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan

dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.

48. kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang Amat sulit, yang

menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun

sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.

49. kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi

hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur."

Ayat tersebut oleh M. Quraish Shihab dijelaskan dalam tafsir al-Misabah

bahwasanya Thabathaba‟i memahami ayat tersebut tidak sesederhana pandangan

ulama-ulama‟ lainnya yang mana mereka hanya memahaminya sebagai gambaran

tentang apa yang akan terjadi pada dua kali tujuh tahun depan. Memang, redaksi

penjelasan Nabi Yusuf as. Ulama‟ itu menilai bahwa mimpi tersebut adalah isyarat

kepada Raja untuk mengambil langah-langkah guna menyelamatkan masyarakat dari

krisis pangan. Yaitu hendaklah dia menggemukan tujuh ekor sapi agar dimakan oleh

48Hamka, Tafsir al-Azhar juz, h. 50

89

tujuh ekor sapi kurus dan menyimpan sebagian besar dari bahan pangan yng telah

dituai tetap dalam bulirnya agar tetap segar dan tidak rusak oleh faktor cuaca dan

sebagainya. Dengan demikian, Nabi Yusuf as. menyampaikan apa yang akan terjadi

dan bagaimana menghadapinya, yaitu hendaklah bersungguh-sungguh menanam

serta menyimpan sebagian besar hasil panen.49

Selanjutnya menurut Hamka dalam Tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa terang

sekali Nabi Yusuf menta‟birkan mimpi raja itu. Tujuh tahun lamanya tahun yang

baik dan subur, hujan akan banyak turun, di Mesir air sungai Nil akan melimpah-

limpah membawa bunga tanah. Untuk itu kesuburan tanah mesti disambut dengan

kerja keras supaya hasilnya lenih berlimpah ruah, kalau nanti datang masa menuai,

janganlah diurutkan semua buah gandum itu dari tangkainya, supaya lama tahannya.

Ambil sekedar untuk dimakan, dan yang melekat pada tangkainya itu simpanlah

baik-baik.50

“Kemudia akan datang sesudah yang demikian itu.” (awal ayat 48), artinya

bahwa sesudah ujuh tahun yang cukup hujan dan tanah yang subur akan datang masa

kemarau yang panjang, air sungai Nil tidak lagi melimpah ruah, pepohonan dan

tanaman sulit menghijau karena tanah kering maka binatang ternk akan menjadi

kurus-kurus pula. Maka dengan sedemikian rupa keadaan di tahun-tahun yang sulit

mendapatkan bahan pangan (gandum yang menyusut/gugur sebelum berbuah, kita

dapat makan persediaan yang kita simpan pada waku sebelumnya (ditahun yang

subur). Itulah sebabnya kenapa ada berita yang berbentuk perintah menyediakan

hasil tujuh tahun yang subur, untuk persediaan di musim panceklik (musim kemarau)

49M. Quraish Sihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 6 (Jakata:

Lentera Hati, 2007), h. 472 50Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XII (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1999), h. 241

90

yang tujuh tahun lamanya, hal demikian yang menjadi sebab kenapa dianjurkan

untuk memanen buah sekedarnya untuk dimakan, dan yang lain ditinggalkan

ditangkainya supaya bisa tahan lama.51

Yang kamu simpan itulah yang akan menyelamatkan kamu dari bahaya

kelaparan di musim panceklik tersebut.

Dan selanjutnya pula diayat 49 dikatakan bahwa setelah tujuh tahun masa sulit

terlewati akan datang setahun setelahnya hujan yang menyuburkan/menghidupkan

tanah kembali, sehingga gandum dapat ditanam dan dipanen kembali, bahkan

gandum tidak hanya untuk dimakan teapi juga dijadikan tepung dan dijadikan

berbagai bentuk makanan yang lain.52

Demikianlah Yusuf telah menta‟birkan mimpi raja dengan jelas. Dalam

menta‟birkan mimpi diapun menyertakan pula nasihat agar orang bekerja keras,

tidak malas-malas an supaya hasil bumi berlimpah ruah dan dapat dijadikan sumber

pangan serta simpanan.53

Hemat penulis dari kedua penjelasan tersebut hendaknya kita dalam

mengumpulkan rezeki itu harus sungguh-sungguh dan disertai niat yang tulus karena

Allah supaya hasil yang diharapkan cukup dan berkah untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari. Dan selain itu hendaknya hasil tersebut tidak hanya untuk memenuhi

kebutuhan saat ini saja. Lebih daripada itu supaya sebagian besarnya

ditabung/disimpan untuk suatu kebutuhan yang akan datang.

51Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 241 52Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 242 53Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 242

91

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tafsir al-Misbah dan tafsir al-Azhar merupakan dua tafsir yang sangat umum

dikalangan masyarakat Indonesia. Selain karena bahasa dalam tafsir tersebut sangat

lugas dan mudah difahami, juga karena kedua tafsir tersebut dikarang oleh M.

Quraish Shihab dan Hamka, yaitu ulama yang masyhur yang pengaruhnya sangat

luar biasa baik dikalangan ulama’, akademisi, maupun masyarakat biasa pada

umumnya.

Berdasarkan dari pertanyaan permasalahan yang tertulis pada bab sebelumnya

dapat disimpulkan bahwa Hidup sejahtera dalam pandangan M. Quraish Shihab dan

Hamka ialah hidup yang bisa menyeimbangkan kebutuhan antara dunia dan akhirat,

percaya sepenuhnya terhadap ar-Raziq Allah Swt., serta menyadari keagungan,

kebesaran, dan kekuasaan Allah meliputi alam raya ini. Adapun cara untuk

mencapainya adalah dengan berusaha memaksimalkan kemampuan untuk beramal

saleh dan berfaedah. Dapat menggunakan waktu dengan baik, dalam arti tidak

menyia-nyiakan selagi ada kesempatan. Menjaga harta dengan baik, tidak bakhil dan

tidak boros, melainkan bersikap ditengah-tengah dan sewajarnya. Serta iman yang

dibarengi dengan ilmu pengetahuan, karena keduanya dapat mengangkat derajat

terlepas dari pangkat, kedudukan, kekayaaan, dan kepuasan yang sifatnya duniawi

semata.

92

Selanjutnya perbedaan penafisran di antara kedua tokoh tersebut adalah bahwa

M. Quraish Shihab cenderung dimulai dengan menganalisa arti perkata, yang

kemudian diberi penjelasan dan gambaran sesuai dengan kehidupan yang sekarang

ini. Sedangkan Hamka dalam beberapa ayat selain memberi penjelasan, beliau juga

mengambil beberapa pendapat/tafsir ulama’ yang kemudian diambil kesimpulannya.

Serta dalam mengambil contoh/i’tibar Hamka lebih banyak mengambil contoh

kehidupan pada zaman Rasulullah Saw.

B. SARAN

Dalam penulisan skripsi yang berkaitan dengan hidup sejahtera perspektif

al-Qur’an ini, akan lebih bermakna apabila ada sumbangan dan saran untuk

menganalisa tafsir-tafsir yang berkaitan dengan sosial masyarakat.

1. Perlu adanya penelitian yang lebih mendalam lagi mengenai pengalaman,

metode tafsir, serta latar belakang sosial budaya kedua mufassir, supaya

kita dapat mengetahui karakter dan corak pemikiran masing-masing tokoh.

2. Diperlukan pemeliharaan dalam mengkaji tafsir yang berhubungan dengan

sosial kemasyarakatan. Karena al-Qur’an adalah pedoman hidup, supaya

hidup di dunia ini bermakna dan tidak sia-sia maka harus sesuai dengan

tuntunan al-Qu’an. Untuk itulah ayat-ayat mengenai mu’amalah hendaknya

lebih banyak dikaji.

93

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Nur Ihwan. “Konsep Keluarga Bahagia Sejahtera,” (Tesis

Magister Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015).

Athiyyah, MuhyiddIn. al-Kasyaf al-Iqtishadi li Ayati al-Qur‟an. Riyadh: Dar al-

Ilmi li Kutub Islamiyah, 1992.

Badan Litbang dan Kementrian Agama, Tafsir Al-Quran Tematik Maqasidusy

Syari‟ah; Memahami Tujuan Utama Syariah. Jakarta: Lajnah Pentashihan

Mushaf al-Quran, 2013.

al-Badrī, ʻAbdul ʻAzīz Dan Tjetjep Suhandi. Hidup Sejahtera dalam Naungan

Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1993.

_____________. Al-Islam Dlaaminun Lil Haajaat Al-Asaasiyah, terjemahan oleh

Tjetjep Suhandi dan Muhammad Toh Idris. Jakarta: Gema Insani Press,

1999.

Dimyati, Ayat . Hadits Arba‟in: Masalah Aqidah, Syari‟ah dan Akhlaq, Bandung:

Penerbit Marja, 2001.

al-Fairuzabadi. Qamus al-Muhit. Bairut: Dar al-Fikr, 1983.

al-Hadi, H.C Zen Muhammad. Agar Hati Selalu Tenang. Jakarta: PT. Zaytuna

Ufuk Abadi, 2013.

Hamka Tafsir al-Azhar Juzu‟ XIII-XIV. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1999.

_______. Juz „Amma Tafsir al-Azhar. Jakarta: Gema Insani, 2015.

_______. Kenang-kenangan Hidup. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ I. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1986.

_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ IX. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982.

_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ XII. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999.

_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ XV. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999.

_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ XXI. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999.

_______. Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXIV. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1999.

_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ XXIX. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1983.

_______. Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXV. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1999.

_______. Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVI. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999.

_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ XXVII. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999.

94

_______. Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVIII. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000.

Lasminah, “Kemiskinan perspektif Muhamad Quraish Shihab dalam Tafsir al-

Misbah,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negri

Walisongo semarang, 2013).

Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaruan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja

Grafindo.

Noor , Faried Makruf. Menuju Keluarga Sejahtera dan Bahagia. Bandung: PT al-

Ma‟arif, 1983.

al-Qarni, „Aidh Abdullah. Berbahagialah, terjemahan oleh Samson Rahman.

Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004.

al-Qurtūbī, Muhyidin MasRida. .Al-Jamī′ li Ahkam al-Qurʻan. Jakarta: Pustaka

Azzama, 2009.

Ramdhan, Raditya. “Analisa Pemberdayaan Zakat dalam Mensejahterakan

Perekonomian Mustahik Pada Lembaga Amil Zakat Sejahtera Umat” (UIN

Syahid Jakarta, Jurusan perbankan Syari‟ah, 2015)

ar-Razi, Muhammad Fahruddin. Tafsir al-Fakhr ar-Razi asy-Syahrir bi Tafsir al-

Kabir Wa Mafatih al-Ghaib Vol. 9. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Raziqin, Badiatul, dkk. 101 Jejak Tokoh-tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta:

e- Nusantara, 2009.

Rusydi. Pribadi dan Martabat Buya Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

Salim, H. Hadiyah. Dua Macam Kehidupan yang Berbeda antara Dunia dan

Akhirat. Bandung: Angkasa, 1995.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur‟an. Bandung: Mizan, 1994.

________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur‟an, vol. I. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

________, M.Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-

Qur‟an, vol. V. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

________, M. Quraisy. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur‟an, vol. VII. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur‟an, vol. VIII. Jakarta: Lentera Hati, 2004.

________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur‟an, vol. IX. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur‟an, vol. X. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

95

________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur‟an, vol. XII. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur‟an, vol. XIII. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur‟an, vol. XIV. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

________, M. Quraisy. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur‟an, vol. VI. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Sodiq, Amirus. “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam” Equilibrium vol. III, no. 2,

(Desember 2015).

Suma, Muhammad Amin. Tafsir ayat Ekonomi, Teks, Terjemah dan Tafsir.

Jakarta: Amzah. 2013.

Tamara, Nasir. Hamka di Mata Hati Umat. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

al-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. Ahsan Askan, dkk. Jamīʻ al Bayān

an Taʻwil ayi al-Qurʻan. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Tim Wartawan Panjimas, Perjalanan Terakhir Buya Hamka. Jakarta: Panji

Masyarakat, 1981.

W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka, 1999.

Wahyu Naldi, “Penafsiran terhadap ayat larangan tentang memilih pemimpin

non Muslim dalam al-Quran” studi komperasi antara Quraish Shihab dan

Sayyid Quthb. (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2013).

Zuhaili, Wahbah. al-Fiqih al-Islami Wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr, 1985.