Konsep Ekologis Berbasis Sosial Budaya.pdf

18
Konsep ekologis berbasis sosial budaya (ethno-ecology) sebagai identitas masyarakat Hubula di lembah Palim,Papua Ye, wam, he, eka, agatma werek Batu ye (manifestasi dari para leluhur dan mitos asal usul), babi, perempuan dewasa dan uang, semuanya dapat ditemukan dalam tanah Yulia Sugandi 1 Abstrak Tulisan ini berdasarkan pada penelitian etnografi dalam menelusuri makna tanah ulayat dalam kerangka lanskap (landscape) bagi masyarakat Hubula di lembah Palim, Papua. Tanah ulayat menjadi arena pergulatan antara konsep Hubula tentang kesuburan hidup menghadapi konsep kemajuan modern yang dibawa oleh agen perubahan sosial. Konsep ekologis berbasiskan sosial budaya (ethno-ecology) yang mengetengahkan relasi identitas dan tak terpisahkan ( inalienable) antara Hubula dengan tanah ulayatnya berinteraksi dengan pola relasi komoditas dalam aplikasi program pembangunan yang berakibat pada alienasi antara Hubula dengan realitas kolektif kosmologisnya. Upaya sebaliknya dilakukan dengan ethnodevelopment yang meniadakan inferiority complex, guna memberikan ruang bagi perubahan sosial yang bermartabat. Kata kunci: ethno-ecology , relasi identitas, tanah ulayat dalam lanskap, komodifikasi, inferiority complex, ethnodevelopment Pembangunan sebagai alat negosiasi identitas Konsep pembangunan dan modernisasi di Dunia Ketiga kerap digunakan dalam proses negosiasi identitas. Tradisi lokal terus menerus berinteraksi dengan proses globalisasi berikut nilai- nilai dan praktek modern. Menjadi bagian dari masyarakat yang 'maju' merupakan idaman banyak pihak. Standar tahap kemajuan suatu masyarakat mengacu pada model universal. Proses pembangunan dilaksanakan guna mendorong perubahan sosial ke arah pencapaian yang ditetapkan dalam model universal tersebut. Dalam hal ini, pembangunan kerap dipresentasikan dalam kerangka 1 Penulis adalah alumni Deutscher Akademischer Austausch Dienst (DAAD). Artikel ini merupakan ekstraksi dari disertasi Doktoral penulis berjudul The Notion of Collective Dignity among Hubula in Palim Valley, Papua (Martabat Kolektif masyarakat Hubula di lembah Palim, Papua) yang telah diuji pada tahun 2013 di Institut Etnologi, Universitas Muenster, Jerman. 1

Transcript of Konsep Ekologis Berbasis Sosial Budaya.pdf

  • Konsep ekologis berbasis sosial budaya (ethno-ecology) sebagai identitas masyarakat Hubula di lembah Palim,Papua

    Ye, wam, he, eka, agatma werekBatu ye (manifestasi dari para leluhur dan mitos asal usul), babi, perempuan dewasa dan uang,

    semuanya dapat ditemukan dalam tanah

    Yulia Sugandi1

    Abstrak

    Tulisan ini berdasarkan pada penelitian etnografi dalam menelusuri makna tanah ulayat dalam kerangka lanskap (landscape) bagi masyarakat Hubula di lembah Palim, Papua. Tanah ulayat menjadi arena pergulatan antara konsep Hubula tentang kesuburan hidup menghadapi konsep kemajuan modern yang dibawa oleh agen perubahan sosial. Konsep ekologis berbasiskan sosial budaya (ethno-ecology) yang mengetengahkan relasi identitas dan tak terpisahkan (inalienable) antara Hubula dengan tanah ulayatnya berinteraksi dengan pola relasi komoditas dalam aplikasi program pembangunan yang berakibat pada alienasi antara Hubula dengan realitas kolektif kosmologisnya. Upaya sebaliknya dilakukan dengan ethnodevelopment yang meniadakan inferiority complex, guna memberikan ruang bagi perubahan sosial yang bermartabat.

    Kata kunci: ethno-ecology, relasi identitas, tanah ulayat dalam lanskap, komodifikasi, inferiority complex, ethnodevelopment

    Pembangunan sebagai alat negosiasi identitas

    Konsep pembangunan dan modernisasi di Dunia Ketiga kerap digunakan dalam proses negosiasi identitas. Tradisi lokal terus menerus berinteraksi dengan proses globalisasi berikut nilai-nilai dan praktek modern. Menjadi bagian dari masyarakat yang 'maju' merupakan idaman banyak pihak. Standar tahap kemajuan suatu masyarakat mengacu pada model universal. Proses pembangunan dilaksanakan guna mendorong perubahan sosial ke arah pencapaian yang ditetapkan dalam model universal tersebut. Dalam hal ini, pembangunan kerap dipresentasikan dalam kerangka

    1 Penulis adalah alumni Deutscher Akademischer Austausch Dienst (DAAD). Artikel ini merupakan ekstraksi dari disertasi Doktoral penulis berjudul The Notion of Collective Dignity among Hubula in Palim Valley, Papua (Martabat Kolektif masyarakat Hubula di lembah Palim, Papua) yang telah diuji pada tahun 2013 di Institut Etnologi, Universitas Muenster, Jerman.

    1

  • pertumbuhan ekonomi dan modernitas (Lewis 2005: 473-474). Semakin tinggi angka pertumbuhan ekonomi dan semakin modern suatu masyarakat, maka semakin tinggi pula status 'kemajuannya'. Pergulatan status taraf kemajuan dalam proses pembangunan diwarnai oleh dinamika kekuasaan antara agen perubahan sosial. Pembangunan merupakan simbol sekaligus alat ampuh dari hegemoni barat yang secara lahiriah didefinisikan sebagai asmiliasi, tapi dalam prakteknya bertujuan sebagai dominasi (Herzfeld 2001: 152). Kemajuan masyarakat apa pun didefinisikan secara seragam oleh paradigma Barat tanpa mengindahkan keragaman latar belakang budaya. Model universal yang diterapkan dalam kebijakan pembangunan menciptakan kesenjangan persepsi antara negara dan masyarakat. Konstruksi realitas lokal tidak senantiasa sejalan dengan parameter pembangunan. Proses pembangunan menjadi makin terlepas dari masyarakat setempat karena diarahkan oleh lembaga-lembaga dan para ahli pembangunan yang menerapkan bahasa industri pembangunan dan negara donor ketimbang memahami bahasa dan nilai-nilai lokal (cf. Van Esterik 1995: 256-257). Konteks lokal yang tidak sesuai dengan standar kemajuan modern di atas kerap mendapat status marjinal dan 'terbelakang'.

    Ada beberapa hal signifikan yang patut diperhatikan dalam penerapan model universal guna mengukur standar kemajuan suatu masyarakat sebagai keberhasilan program pembangunan. Pertama, model universal mengarah kepada standar ilmu ekonomi baku, di mana 'manusia ekonomis yang ideal' adalah individual yang berorientasi pada keuntungan yang terlepas dari relasi sosial (cf. Gudeman 1986: vii, 29). Kedua, keseragaman standar kemajuan mencerminkan proses evolusi satu arah (a unilineal evolutionary process) yang dipercepat dengan mengadopsi teknologi,model dan metode Barat (cf. Cernea 1996: 15-16). Kedua hal ini berbeda dengan pandangan antropologi, karena antropolog memperhatikan dampak perubahan sosial, bukan hanya yang terkait dengan perikehidupan, namun lebih kepada persepsi tentang dunia.Antropolog diharapkan mengungkapkan keanekaragaman budaya yang berlimpah serta menekankan pada nilai-nilai dan pengetahuan lokal. Sejalan dengan Cernea (1996: 15-16), bahwa antropologi dan sosiologi pembangunan sepatutnya menolak keras tiga model pembangunan yang dianggap sebagai model reduksionis dari perubahan sosial (the econocentric, the technocentric, and the commodocentric), serta sebaliknya menyediakan alternatif dan aksi terpadu. Pembangunan bukan mengenai komoditas. Bukan pula tentang teknologi atau informasi semata. Pembangunan dalam kerangka alternatif ini adalah tentang masyarakat, lembaganya, pengetahuannya, serta bentuk organisasi sosialnya. Pembangunan bukan tentang akumulasi modal, tapi lebih kepada penemuan dalam pelbagai relasi masyarakat (Gudeman 2001: 158).

    Model alternatif dalam melihat perubahan sosial mencanangkan bahwa identitas masyarakat terbangun dari jaringan yang ditempa melalui praktek dan konsep bersama, seperti hubungan

    2

  • kekerabatan (kinship), pertemanan dan tempat tinggal. Identitas individu tercerminkan dalam relasi dan nilai-nilai yang dibagi dengan pihak-pihak lain. Hal ini merujuk pada model budaya. Gudeman (1986) berpendapat bahwa proses-proses utama dalam melangsungkan kehidupan adalah berlandaskan model budaya yang berbeda dengan model ekonomi, karena model budaya lebih merupakan praksis kebudayaan yang meliputi kepercayaan dan praktek yang membentuk dunia seseorang. Ekonomi sebagai proses budaya memaparkan makna-makna setempat dari obyek yang digunakan oleh masyarakat dalam modus kehidupan tertentu. Secara tersirat hal ini membebaskan masyarakat untuk membuat model ekonomi mereka sendiri.

    Sillitoe (2002: 9) menjabarkan bahwa pelekatan nilai identitas kolektif berdasarkan konstruksi budaya ekonomi lokal erat kaitannya dengan konsep ilmu pengetahuan pribumi, di mana konteks pembangunan terhubung dengan pengetahuan yang dimiliki secara kolektif oleh penduduk setempat berisikan pemahaman tentang dunia yang terbentuk secara budaya tentang pemahaman yang tertanam dalam seseorang sejak dia lahir yang membentuk pola interaksinya dengan lingkungan. Hal tersebut berbasiskan pada masyarakat, tertanam dan dikondisikan oleh tradisi lokal. Pembangunan mempertemukan tradisi lokal dan modenisasi yang dibawa dari luar. Sahlins (2005: 34-35) menyatakan bahwa tradisi tidak statis dalam hal ini dan bertentangan dengan 'modernitas'. Dewasa ini, 'tradisional' paling banyak dirujuk pada suatu modus perubahan budaya yang merupakan karakteristik dari perluasan pinggiran dari aturan kapitalis global. Tradisi lokal secara terus menerus berinteraksi dengan proses globalisasi beserta nilai-nilai dan praktek modern. Tulisan ini bermaksud mendeskripsikan perubahan sosial dari model budaya, khususnya konsep ekologis yang terbentuk di kalangan masyarakat Hubula di lembah Palim, Papua. Lebih jauh tulisan akan menelusuri pergulatan tradisi lokal Hubula yang berkaitan dengan ekologis ini menghadapi arus pembangunan yang dibawa dari luar.

    Stigmatisasi, inferiority complex dan modernisasiHubula, sebagai bagian dari masyarakat Papua secara keseluruhan memiliki tingkat

    keamanan manusia yang rendah sebagaimana yang dideskripsikan oleh badan pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Ini mengindikasikan rendahnya akses terhadap hak-hak dasar, terutama yang berkaitan dengan penyebab ketidakamanan dalam kerangka pembangunan manusia seperti ekonomi, keuangan, pangan, kesehatan, lingkungan, keamanan pribadi, jender, masyarakat dan politik. Unsur budaya tidak disebutkan secara eksplisit dalam parameter tersebut di atas. Dalam hal ini, Hubula sebagai bagian dari masyarakat pribumi dari pegunungan Papua kerap disebut sebagai kelompok garis keras yang menentang pemerintah Indonesia. Banyak areal di wilayah pegunungan ini dilabelkan sebagai 'daerah merah' yang dianggap oleh aparat keamanan

    3

  • sebagai basis Organisasi Papua Merdeka. Dengan alasan tersebut, akses ke wilayah tersebut terbatas termasuk bagi para peneliti dan jurnalis.Stigmatisasi masyarakat pegunungan Papua ini diperkuat oleh beberapa stereotipe negatif yang klasik. Hubula dikatakan sebagai masyarakat yang terisolasi dan terpencil (Koentjaraningrat et al. 1993), primitif (Soepangat 1986: 144-145), orang jaman batu atau Stone Age people (Dekker and Neely 1996), kanibal (Hitt 1962, Meiselas 2003: 38-39), gemar berperang (Meiselas 2003: 62; cf. Schoorl 2001: 66), serta tidak mampu untuk hidup secara damai dan harmonis (Schoorl 2001: 79-83).

    Stigmatisasi ini berdasarkan pada persepsi yang meletakkan Hubula dalam posisi inferior, yang mengantar mereka ke arah marjinalisasi dan pemaksaan pendekatan teknis oleh agen pembangunan yang mengedepankan teknologi modern ketimbang pengetahuan dan nilai-nilai yang dimiliki Hubula dalam proses perubahan sosial. Secara implisit, pendekatan teknis murni ini (purely technicist approach) tidak mengindahkan hak-hak budaya masyarakat Hubula.Kondisi yang terjadi dalam proses perubahan sosial di kalangan Hubula ini mengilustrasikan argumen Sahlins (1990: 79) bahwa agen pembangunan menggunakan rasa superioritas dan teknologi untuk mempermalukan masyarakat pribumi dalam melalui perubahan sosial. Peristilahan macam budaya, keterbelakangan, pembangunan, kemajuan dan modernisasi digunakan dengan nada mempermalukan. Para penggiat pembangunan menganggap bahwa aksi mempermalukan tersebut merupakan langkah penting dalam pembangunan ekonomi, dan suatu prekondisi yang diperlukan untuk mencapai ekonomi 'lepas landas'. Aksi mempermalukan memutus siklus reproduksi dan ekspansi dalam pembangunan dengan jalan meyakinkan kelompok masyarakat tentang ketidakberhagaan budaya mereka dan menumbuhkan rasa rendah diri menyeluruh (global inferiority complex) yang mendorong mereka untuk secara aktif berubah (1992a: 24)2. Ungkapan yang sering diutarakan Hubula yang menggambarkan pergulatan mereka dalam proses perubahan sosial adalah pagar hidup telah terbongkar (eyuu...leget misalaga yire). 'Pagar' digambarkan Hubula sebagai parameter identitas kelompok (in-group dan out-group). Hubula yang keluar dari jalur leluhur dianggap 'di luar pagar' (leget itigma) sedangkan yang mengikuti jalur leluhur dianggap 'di dalam pagar' (leget akmake). Dinamika persinggungan antara jalur leluhur dengan agen perubahan sosial dari luar lembah Palim menghasilkan kondisi 'pagar' di atas.

    Jalur leluhur sebagai landasan ekologis Strategi yang digunakan dalam perang, teknik memancing, keterampilan berorasi serta pola

    pertukaran disebut jalur (path). Namun demikian, jalur juga meliputi hubungan yang terjalin, pola relasi dan asosiasi antara orang, kelompok dan unit politik yang diciptakan oleh aksi tertentu di

    2 Sebagaimana dikutip dalam Robbins 2005: 4, 10-11.

    4

  • masa lalu. Hal ini juga secara implisit mencakup kemungkinan dan kewajiban guna mengikuti jalur pertukaran dalam pernikahan, kerja sama dan kompetisi (Parmentier 1987: 109). Aplikasi ide ini ke dalam konteks Hubula memungkinkan kita melihat bahwa jalur leluhur (the ancestors path) yang berdasarkan pengalaman hidup mereka, membentuk latar belakang sejarah obyek dan tempat yang dianggap sakral dan tabu. Mitos Hubula berfungsi sebagai model bagi perilaku, dan Hubula melihat sejarah dan mitos sebagai kerangka acuan bagi aksi di masa depan (cf. Itlay et al.1993: 21). Oleh karena itu, maka dalam rangka memahami struktur masyarakat Hubula kita hendaknya menyadari bahwa landasan jalur bagi aksi diletakkan oleh cerita leluhur yang meliputi moiety, mitos dan perang tradisional.

    Figur 01. Zone teritorial Hubula secara fungsional (Yayasan Bina Adat Walesi 2003)

    Landasan ekologis Hubula secara sosial budaya meliputi pengharagaan holistik Hubula terhadap pelbagai elemen yang ada di lingkungan tanah ulayat. Ini termasuk menghargai relasi dengan tanah, sumber daya alam dan binatang dalam konsep eksploitasi dan ekonomi : (a) seluruh tumbuhan dan binatang memiliki hak sama dengan manusia dalam menduduki tanah (ika oka sue hageo aroma ewe apuni), (b) hanya berburu binatang di zone yang diizinkan, (c) tempat di dataran paling tinggi merupakan habitat para leluhur dan ruh penunggu tanah (hunkepu) sehingga menjadikannya sebagai zone bebas ekploitasi, (d) makin rendah ketinggian, makin terbuka untuk eksplotasi dan peranan gender, (e) Menghormati yang bersemayam di dunia ruh (mokatma), misalnya makhluk yang menanam, memelihara dan melindungi pohon (oi yare). Ikatan yang kuat terjalin bukan hanya antara Hubula, para ruh, binatang, tanaman serta para penghuni lainnya, namun juga antara Hubula dengan tanah ulayat itu sendiri.Ketidakterpisahan Hubula dengan tanah diungkapkan dengan relasi kekerabatan (kinship) langit adalah bapak, sementara tanah adalah ibu

    5

  • (pogot ninopase nen agat ninagosa), serta identifikasi diri Hubula adalah sebagai manusia dari Palim (akhuni palim meke). Siapa saja yang menjual tanah ulayat dianggap bertindak tidak hormat terhadap ibu sendiri dan melanggar aturan adat leluhur. Oleh sebab ini, maka tanah ulayat secara prinsip tidak terpisahkan dari Hubula.

    Hubula tidak mengenal status tanah tidak bertuan karena mereka percaya bahwa seluruh alam di lembah Palim termasuk gunung, lembah, sungai, tanah, hutan, batu dan lain sebagainya, milik akenak werek (secara harfiah berarti tanahku berada). Status akenak werek meliputi segenap teritorial Hubula termasuk zone ekologis. Mitos tentang sejarah eksplotasi tanah ulayat dan lahirnya status akenak werek adalah sebagai berikut: Pada saat itu ada satu dari wita dan waya datang dari arah selatan dan menempati satu lokasi dan mengklaim bahwa itu tanahnya dengan cara menyalakan api dan merokok. Selanjutnya membuat kebun, dan selanjutnya orang lain membuat perkampungan dan membuka lahan. Pada saat pertama ditempat, mereka potong babi dan percikkan tanah dan bilang bahwa tanah ini saya yang punya. Selanjutnya setelah lama satu klen berkembang menjadi lebih banyak dan tinggal di lokasi tersebut.

    Setiap batas wilayah memiliki cerita leluhur tersendiri. Menurut tetua Hubula, setiap tempat, setiap pojok, setiap sudut di lembah Palim mengandung cerita leluhur yang perlu dilestarikan. Narasi ini tampak dalam sepanjang tanah serta lingkungan sekitarnya di lembah Palim. Narasi leluhur merupakan representasi emik dari topografi lembah Palim sekaligus eko-kosmologis antara Hubula dengan tanahnya. Para leluhur yang digambarkan dalam narasi adalah pemilik tanah, lembah, sungai, batu, hutan dan segenap yang dihasilkannya (akenak werek) , sementara keturunannya dengan pasangan moiety nya merupakan penjaga yang memelihara tanah leluhur. Setiap anggota garis keturunan akenak were memahami batas-batas teritorial yang diwarisi dari generasi ke generasi. Pewarisan ini bersifat permanen, tidak dapat diganggu gugat, tidak dapat diambil alih atau tukar ganti. Para pemimpin honai adat mewakili akenak werek sehingga hanya lelaku dewasa Hubula yang telah diinisiasi yang juga anggota dari honai adat adalah penjaga/wali tanah ulayat.

    Ekologis berbasis sosial budaya (ethno-ecology) di lembah Palim mengilustrasikan ketidakterpisahan antara identitas Hubula dengan tanahnya, serta penyatuan dunia material dan non material leluhur. Tanah bermitos di mana Hubula dan makhluk hidup lainnya di lembah Palim menunjukkan bahwa para leluhur berdaulat secara kosmologis di sana, dilokalisasikan dalam tanah melalui pemercikan darah dari kurban babi. Kurban babi memegang peranan penting di kalangan Hubula. Tanah leluhur dilegitimasi melalui percikan darah babi (wam mep) sebagai bagian upaya menghadirkan leluhur (yerebo). Setiap upacara adat Hubula guna menegaskan status tanah leluhur membutuhkan kehadiran leluhur tersebut. Percikan darah babi menunjukkan hadiah pengorbanan

    6

  • (sacrificial gift) demi akses terhadap kesuburan, tanah serta produktivitasnya.

    Tanah ulayat pembentuk kesuburan hidup bersama Jalur leluhur melekat pada obyek sakral, tanah leluhur dan sumber daya alam yang ada di

    lembah Palim, sehingga pengelolaannya senantiasa merujuk pada narasi leluhur. Ini termasuk memprioritaskan para leluhur melalui upacara adat dan menghormati segenap obyek dan wilayah sakral. Relasi antara Hubula dengan para leluhurnya dan ruh diproyeksikan terhadap relasi ekologisnya serta digunakan sebagai parameter dalam nilai ekonomi dari tanah beserta hasil alam. Ekonomi merupakan bagian kecil dari sebuah siklus yang lebih panjang, di mana segala yang dihasilkan dari tanah leluhur dikembalikan pada para leluhur.Hal ini terlihat pula dari upacara adat yang dilakukan selama masa cocok tanam.

    Berdasarkan alasan ini, maka relasi antara Hubula dengan tanah leluhurnya bukan relasi kepemilikan, melainkan relasi identitas. upacara adat yang dilakukan Hubula menegaskan penilaian mereka terhadap relasinya dengan para leluhur yang melebihi kepentingan ekonomi: tanah bukanlah properti dan tidak seharusnya diperlakukan sebagai komoditas. Pemaknaan cerita atau 'jalur' leluhur bagi Hubula diterjemahkan ke dalam ruang lingkup yang lebih kecil yakni rumah tangga. Hubungan antara Hubula dengan cerita para leluhurnya terlihat dari pelbagai bentuk obyek yang terdapat di tempat tinggal baik sebagai artefak atau obyek sakral maupun makhluk hidup. Hubula memaknai nilai tempat tinggal secara keseluruhan melalui upaya memelihara 'jalur' leluhur.

    Para leluhur memegang otoritas utama yang mempengaruhi ruang hidup dan kesejahteraan para mahluk yang bertempat tinggal di atas tanah ulayat Hubula. Ini merupakan argumen mendasar yang membuat tanah beserta sumber daya alam di lembah Palim sebagai wilayah kediaman leluhur. Relasi Hubula dengan para peluhurnya diproyeksikan terhadap tanah, serta direfeleksikan dalam tata cara pengelolaannya. Evans-Pritchard (1956) menunjuk pada unsur penebusan dalam upacara pengorbanan masyarakat Nuer untuk mendapatkan perlindungan dari para leluhur. Namun demikian, dalam konteks Hubula, upacara adat ini bertujuan untuk mendapatkan perlindungan sekaligus mencegah amarah dari para leluhur. Melanggar jalur leluhur dalam pengelolaan tanah ulayat beserta hasil alamnya akan mendatangkan kemarahan para leluhur yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya tingak kesuburan hidup. Dapat dikatakan bahwa ksejahteraan (well being) Hubula dan segenap mahluk di lembah Palim tergantung pada keseimbangan kosmologis, terutama relasi dengan para leluhur. Hubula senantiasa memposisikan diri di bawah kekuasaan para leluhur , dan melalui upacara adat mereka memelihara hubungan hutang budi yang tak kunjung habis terhadap leluhur atas kesuburan yang didapat dari mereka. Relasi yang harmonis dengan para leluhur dan ruh menghasilkan perlindungan, dukungan dan kelangsungan kesuburan; sebaliknya,

    7

  • relasi yang tidak harmonis dengan para leluhur akan mengantarkan mereka pada ketidakberuntungan dan ketidaksuburan. Para leluhur dapat melindungi atau mengancam kesejahteraan Hubula. Tanah merupakan milik leluhur dan kesuburan Hubula serta akses terhadap tanah tergantung pada relasi dengan para leluhur. Para penerus garis keturunan memelihara hubungan tersebut di atas melalui upacara adat dan relasi baru yang terbangun di masa kini sepatutnya bertujuan untuk memperkuat relasi awal yang dibangun leluhur.Dalam hal ini, posisi subordinat Hubula terhadap para leluhur pemilik tanah ulayat menegaskan argumen De Coppet (1981) dan Williams (1986) bahwa masyarakat mengasosiasikan tanah bermitos (mythical land) bukan sebagai pemilik atau warga penghuni, akan tetapi sebagai organik atau komponen spiritual dari tanah dan kekuatan yang terkandung di dalamnya dimana 'tanah bermitos memiliki penduduknya' dan bukan sebaliknya.3

    Figur 02. Penyembuh tradisional (ubule) saat melalukan upacara adat penyembuhan terhadap seorang pasien yang terganggu akibat kemarahan akenak werek

    3 Abramson (2000: 8-9) mengutip De Coppet (1981) dan Williams (1986). Penduduk Indonesia timur juga merupakan bagian dari tanah atau 'para pemilik' wilayah alam. Cf Visser (1989: 12, 28) dan Platenkamp (1988: 112, 115).

    8

  • Figur 03. Akenak werek berhak secara tunggal terhadap produksi tanah yang dapat dilihat dari persembahan berupa pemercikan darah babi di awal periode cocok tanam, pemeliharaan babi adat sepanjang

    periode cocok tanam serta petatas hasil panen pertama yang ditaruh di atas tanah.

    Tanah ulayat sebagai bagian dari lanskap

    Pepatah Hubula 'memegang erat hidup yang baik dengan tangan kita' (niniki hano rogo fago dogosak) mencerminkan pandangan hidup berdasarkan pada 'ibu' atau tanah ulayat yang menghasilkan petatas (hipere), yang memungkinkan untuk memelihara babi (wam) yang pada saatnya digunakan sebagai mas kawin. Pengantin perempuan kemudian melahirkan anak-anak yang akan melindungi jalur leluhur dan menjaga tanah ulayat. Seluruh elemen ini dalam siklus ini saling terkait, tak terpisahkan dan saling ketergantungan, di mana ancaman terhadap satu elemen akan mempengaruhi seluruh elemen yang ada. Pentingnya tanah ulayat jelas terlihat sebagaimana diungkapkan Hubula, tanpa tanah ulayat tidak akan ada petatas atau bahkan ruang untuk melindungi jalur leluhur. Tanpa tanah ulayat, tidak akan ada babi atau Hubula, atau kehidupan. Ritus peralihan Hubula (rites of passage ) memerlukan partisipasi para pemimpin honai adat, pengorbanan babi adat serta jenis petatas tradisional seperti helalekue lama, arugulek, musaneken, hulok, hoboak, and bogoreken4.

    4 There are some other traditional sweet potatoes that are used to feed the pigs, including opem, ouluk, duak, musan, mikmak. The differences between new and old (traditional) sweet potato cultivars include the persistent stem after harvest. Stems of old sweet potato cultivars do not dry out quickly after harvest and keep on producing new shoots until they are utilized as new planting material or fed to the pigs. The stems of new cultivars usually do not produce new shoots after harvest (Widyastuti, et.al. 2002: 152, 154-155).

    9

  • Strathern menekankan pentingnya peranan babi bagi masyarakat Maring di Papua Nugini dalam produksi dan ritual pertukaran yang bertujuan mendapatkan dukungan dari para leluhur (Strathern 1983: 79). Di lain pihak, Hubula melihat ketergantungan antara tanah ulayat, Hubula, petatas dan babi sebagai simbol perwujudan dari totalitas kosmos. Tanah ulayat diletakkan dalam kerangka lanskap ketimbang unsur terpisah. Lanskap juga sekaligus merupakan peta tofografi, suatu penafsiran kosmologis (cosmological exegesis), suatu lanskap klen (clanscape), serta suatu entitas ritual dan politik (Barnard and Spencer 2002: 323). Lanskap tidak pernah pasif. Masyarakat terlibat pembentukan di dalamnya. Lanskap merupakan bagian di mana identitas diciptakan dan diperebutkan, baik oleh individu, kelompok maupun negara. Oleh karena bekerja dalam persimpangan sejarah dan politik,relasi sosial dan persepsi budaya, lanskap merupakan konsep yang menciptakan ketegangan (Barnard and Spencer 2002: 324). Lanskap di mana Hubula hidup dan bekerja di lembaah Palim adalah sebagai berikut:

    Figur 04. Siklus Hubula dalam membangun perikehidupan yang berkesinambungan

    Perang tradisional sebagai landasan ontologis struktur sosial Tanah bagi masyarakat Melanesia bukan semata aset ekonomi namun salah satu aspek

    fundamental bagi organisasi sosial politik yang menyokong kelanjutan eksistensi masyarakat setempat (Silitoe 2000: 86-88).Tanah ulayat Hubula berkaitan erat dengan upacara adat Hubula yang terhubung dengan sejarah perang tradisional, obyek sakral/simbol leluhur, pemimpin adat penjaga jalur leluhur (kanekela) serta pengorbanan babi. Dalam periode masa lalu, perang tradisional Hubula telah digambarkan sebagai aksi kekerasan yang berfungsi membentuk karakter Hubula serta merupakan landasan kebanggaan bersama (cf. Heider 1970; Koentjaraningrat 1993). Namun demikian, pandangan ini tidak mencakup fakta bahwa melalui upacara adat, perang tradisional adalah media pertukaran kekerasan (an exchange of violence) secara kosmologis antara

    10

    Sweet potatoes (hipere) Pig (wam)

    HubulaLand (agat)

  • identitas leluhur (intra ancestral identities) di mana pada saat yang sama membentuk landasan struktur sosial Hubula. Perang tradisional yang diupacara adatkan ini merupakan mekanisme internal yang berlaku eksklusif bagi Hubula di lembah Palim guna mencapai tingkat kesuburan yang dikehendaki. Perang tradisional Hubula menghasilkan simbol leluhur (ancestral emblem) yang mendasari kategori sosial yang membentuk empat aspek masyarakat Hubula. Aspek pertama, yakni lahirnya obyek sakral berupa simbol leluhur. Pertukaran kekerasan yang terjadi dalam perang tradisional dimulai dengan pengambilan simbol leluhur dari korban dari pihak musuh yang gugur dalam pertempuran yang dinamakan apwarek. Dalam saat yang sama, kaneke dibuat sebagai tanda penghargaan yang diberikan kepada leluhur yang gugur dalam medan pertempuran.

    Kedua simbol leluhur di atas adalah obyek sakral bagi Hubula yang juga melandasi pembentukan aspek kedua, yakni unit ritual (kanekela) beserta pemimpinnya (yaman, metek and apisan), yang sekaligus berstatus sebagai penjaga jalur leluhur dan tanah ulayat serta bertugas melegitimasi upacara adat Hubula melalui pengorbanan babi. Setiap kanekela dipimpin oleh tiga kelompok pemimpin kanekela yang terbentuk dari sejarah perang tradisional: sang penjaga (yaman), sang pengatur (metek) dan sang pemerintah (apisan). Ketiga posisi ini berdasarkan kronologis leluhur yang yang gugur dalam sejarah perang tradisional. Leluhur pertama yang gugur menjadi yang tertua (yaman), yang kedua menjadi metek dan ketiga menjadi apisan. Apabila ada korban gugur yang keempat biasanya dikategorikan sebagai yaman. Dan begitu seterusnya. Kepemimpinan tradisional ini mencerminkan keterlibatan para leluhur selaku pemilik tanah ulayat (akenak werek) lebih dari pada campur tangan perseorangan.

    Aspek ketiga adalah pola relasi yang terbentuk dari hasil aliansi dalam perang tradisional adalah hutang sosial atau balas budi (social debt) yang menentukan relasi kekerabatan yang nyata dan semu di antara anggota kanekela, preferensi dalam pernikahan dan akses terhadap tanah ulayat beserta hasil alamnya. Di saat yang sama lahir pula status 'musuh abadi' (silimeke), kelompok lawan saat perang tradisional di mana 'pihak lain' permanen didefinisikan. Sejatinya, batas dengan kelompok luar (out-group) tidak dapat dirubah. Baik relasi hutang sosial maupun musuh abadi menghasilkan pola pertukaran yang unik.

    Aspek keempat, kejelasan identitas leluhur sebagaimana terwujud dalam benda-benda sakral merupakan landasan (ero; akar) dari struktur sosial Hubula serta unsur penting dalam mencapai kesuburan. Beberapa mantera yang diucapkan pada saat upacara adat Hubula adalah berdasarkan harane (secara harfiah diartikan sebagai suara raja), suatu permohonan terhadap para leluhur yang merancang startegi dalam pertempuran (wim awok ikerekmeke). Kejelasan sejarah pertempuran tertentu (misalnya siapa taun perang yang merencanakan pertempuran dan siapa yang mengugurkan lawan) menentukan keaslian mantera tersebut. Keempat aspek tersebut di atas membentuk argumen

    11

  • bahwa perang tradisional Hubula merupakan landasan ontologis struktur sosial Hubula yang berperan terhadap pencapaian kesuburan bersama. Para pemimpin honai adat di atas (kanekela) terus berupaya melalui upacara adat guna memperkuat relasi yang terwujud dalam simbol leluhur dan menjinakkan leluhur lawan. Para pemimpin kanekela (yaman, metek and apisan) adalah jembatan leluhur antara peradaban dan wilayah ruh yang diciptakan melalui pengorbanan babi. Bagi Hubula, pengorbanan babi dengan puncak upacara adat yakni pemercikan darah babi di atas tanah ulayat membawa inti sari kehidupan bagi seluruh makhluk di tanah leluhur di lembah Palim.

    Pada dasarnya, keempat aspek tersebut di atas memperlihatkan bahwa seluruh pola relasi Hubula, baik secara kosmologis, sosio-budaya dan ekologis, maupun relasi sosial di antara anggota masyarakat Hubula berakar dari sejarah perang tradisional. Secara singkat, konflik dalam bentuk perang tradisional berkaitan dengan konsep kesuburan hidup sebagaimana terwujudkan dalam kondisi tanah ulayat, produktivitas kebun dan kemakmuran manusia dan babi peliharaan.

    Figur 05. Pemercikan darah babi di atas tanah ulayat setelah 'melepaskan' tanah ulayat pada Perusahaan Air Minum (PAM). upacara adat yang dilakukan menegaskan leluhur sebagai pemilik tunggal tanah ulayat

    (akenak werek) serta ikatan tak terpisahkan antara Hubula, tanah ulayat dan para leluhur.

    Alienasi tanah ulayat: relasi identitas versus komodifikasi

    Kerangka hukum tentang tanah ulayat di Indonesia melihat tanah sebagai entitas terpisah dari masyarakat pribumi. Sebagaimana yang dijabarkan dalam Peraturan Dasar Agraria (Basic Agrarian Act, atau BAA) tahun 1870 yang dirumuskan oleh pemerintah kolonial Belanda, hutan merupakan lahan tidak produktif atau tanah tak bertuan (no man's land) dan dikuasai oleh negara. Peraturan ini mengizinkan warga asing untuk mencicil tanah dari pemerintah dalam jangka waktu

    12

  • lama dalam rangka investasi praktis dan menyewa menyewa tanah dari masyarakat pribumi. Kebijakan ini dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia dalam Hukum Pokok Agaria 1960. UU No.44/1999 tentang kehutanan mempertimbangkan hutan adat sebagai bagian dari kepemilikan hutan secara nasional, hanya mengakui sebagai hutan yang dimiliki privat atas nama individu.

    Meskipun Hukum Pokok Agraria di atas secara eksplisit memaparkan bahwa relasi antara masyarakat dengan tanah ulayatnya bukanlah relasi kepemilikan atau properti, namun tetap mengakui kepemilikan individu. Undang-Undang Republik Indonesia No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Pasal 2 ayat 4 menyatakan Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

    Verifikasi legal status tanah ulayat berdasarkan pada kesaksian lisan dari para pemimpin dan tetua adat, dan banyak tanah ulayat belum terdaftar di kantor pemerintah karena persepsi pada umumnya bahwa hukum adat telah ada sebelum kedatangan pemerintah. Meskipun TAP MPR No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia atau HAM, pasal 41 menyatakan bahwa Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman, akan tetapi pada kenyataannya hak-hak adat terhadap tanah ulayat kerap tersubordinasi oleh sertifikat kepemilikan secara legal.

    Aplikasi legal terhadap tanah ulayat berarti bahwa pemerintah memiliki otoritas untuk mengaturnya. Pada bulan December 1956, Frits Veldkamp, kepala administratif dari pemerintah kolonial Belanda (Hoofd van Plaatselijk Bestuur or HPB) yang pertama tiba di lembah Palim berasama dengan 15 orang lainnya, kebanyakan berasal dari daerah pesisir Papua. Berlandaskan argumen tanah tak bertuan, mereka menerapkan program pembangunan seperti pembukaan landasan pacu pesawat terbang yang pertama (cikal bakal bandara udara kota Wamena). Pada periode berikutnya, pemerintah Indonesia mendefinisikan tanah ulayat Hubula sebagai milik negara. Hal tersebut dapat dilihat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kota Wamena dalam mengatasi urusan pertanahan. Salam satu penyebab konflik pertanahan di lembah Palim, menurut BPN adalah kurangnya kesadaran hukum masyarakat dalam mendaftarkan tanah secara legal. Namun demikian, persepsi ini hanya menyentuh segi kepemilikan namun tidak mengakomodir tanah ulayat dalam konteks identitas.

    Pendaftaran tanah ulayat secara legal dapat berdampak negatif. Stewart and Strathern (1999: 190) mendeskripsikan perlawanan di Mount Hagen terhadap usulan untuk mendaftarkan tanah adat, dengan anggapan bahwa mengurangi penggunaan tanah atas nama perseorangan akan membuka kemungkinan adanya alienasi terhadap tanah. Studi kasus dari Sinakma di lembah Palim,

    13

  • mengilustrasikan hal tersebut. Kasus ini berkisar tentang konflik yang dihasilkan dari pengaplikasian aturan hukum pemerintah, yang mengarah pada proses alienasi tanah ulayat Hubula kepada pihak luar, serta transfer berikutnya kepada para pihak lainnya. Pada tahun 1962, perwakilan dari badan misionaris Protestan dari Amerika yakni Christian and Missionary Alliance (CAMA) membuat kontrak dengan pemerintah kolonial Belanda untuk menyewa tanah ulayat Hubula yang dianggap sebagai tanah tak bertuan dan telah dikompensasi dengan sejumlah kulit kerang (cowry shells). Pada tahun 1963, seiring dengan penyerahan New Guinea dari pihak Belanda pada Indonesia, tanah tersebut diakuisisi oleh pemerintah Indonesia. Sejak saat itu, kepemilikan tanah ulayat termaksud berpindah-pindah kepemilikan, mulai dari Dinas Peternakan, pemerintah Kabupaten, dan perusahaan listrik negara. Kepemilikan tanah ini juga merambah ruang lingkup perseorangan dengan adanya klaim dari beberapa kelompok klen Hubula sampai dengan konflik horisontal antar anggota masyakarat (Hubula dan non Hubula). Kompleksitas status kepemilikan menjadi rumit dengan peralihan dari banyak pihak tanpa didukung dokumen legal yang layak serta kesenjangan persepsi antara pemerintah dan Hubula tentang status tanah ulayat.

    Komoditas digunakan sebagai kompensasi terhadap tanah ulayat Hubula. Sebelum Hubula diperkenalkan dengan uang tunai, pelbagai komoditas lain digunakan seperti alat pertanian dan kulit kerang. Pada perkembangan selanjutnya, kompensasi ini menghasilkan individualisasi dan komodifikasi, bahkan konflik yang memakan korban jiwa. Sebagai contoh terlihat dari kasus yang terjadi tahun 1960an di utara lembah Palim, saat misionaris Katolik dari Belanda memberikan kompensasi dalam bentuk alat pertanian dan kulit kerang untuk sebidang tanah ulayat di bagian utara lembah Palim. Bangunan sekolah dibangun di atas tanah ulayat tersebut yang sejatinya adalah wilayah jalur leluhur yang sakral. Oknum Hubula yang menerima kompensasi tersebut di atas melakukan serah terima secara diam-diam tanpa memberitahukan anggota masyarakat Hubula lainnya. Meskipun pembangunan sekolah mendapat sambutan tidak hangat dari masyarakat Hubula sekitar, namun misionaris yang bertugas melanjutkan proses pembangunan karena merasa telah berhak atas tanah setelah pemberian kompensasi. Kemarahan anggota masyakarat memuncak dan berakhir dengan terbunuhnya guru sekolah berasal dari Fak Fak yang dipekerjakan oleh misionaris Belanda.

    Program pembangunan berjalan seiring dengan alienasi tanah ulayah di lembah Palim. Selain kompensasi berupa komoditas, pemerintah kolonial Belanda dan misionaris merasa berhak atas tanah ulayat karena telah melaksanakan program pembangunan. Di lain pihak, pemerintah Indonesia menggunkan program pembangunan yang ditetapkan dari pusat, sebagai salah satu solusi penyelesaian sengketa tanah ulayat. Pendirian kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1988 di lembah Palim bertujuan untuk mengatasi konflik sengketa tanah ulayat akibat

    14

  • klaim dari Hubula terhadap tanah ulayat yang digunakan sebagai bandara udara Wamena. Misi pembangunan dengan teknologi tepat guna yang diemban LIPI beserta para ahli tekniknya dianggap sebagai kompensasi atas tanah ulayat. Para ahli teknik yang dikerahkan dalam misi ini berfokus pada pencapaian hasil yang dapat diterapkan ketimbang memperhatikan proses-proses budaya itu sendiri (cultural processes). Pembangunan yang dilakukan dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi dan modernisasi ini juga bertujuan untuk membuat penduduk Wamena guna mengakui keberadaan dan otoritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Proses alienasi tanah ulayat berlanjut dengan komodifikasi berupa kompensasi tanah ulayat dengan uang tunai dan dalam beberapa kasus, deskaralisasi jalur leluhur. Beberapa studi kasus menunjukkan bahwa mengkorelasikan tanah ulayat dengan uang tunai menghasilkan dinamika internal antara anggota masyarakat Hubula. Banyak tanah ulayat yang telah 'dilepas' dengan kompensasi uang tunai, mengalami sengketa berkelanjutan karena banyak pihak datang silih berganti mengaku sebagai yang berhak atas tanah ulayat tersebut dan mengklaim kompensasi. Selain dari meningkatnya individualisasi yang mengarah pada 'manusia ekonomis yang ideal' terlepas dari relasi sosial (lihat bagian awal tulisan ini), kesenjangan persepsi tentang nilai tanah ulayat terjadi antara kelompok Hubula dari generasi yang berbeda. Nilai ekonomi berpola konsumtif berbenturan dengan nilai idealis-spiritual dari tanah ulayat. Namun demikian, dalam beberapa kasus, logika ekonomi-hadiah (gift economy) berjalan bersama dengan logika komoditas (commodity economy).Sebagai contoh adalah kasus 'pelepasan' tanah ulayat berikut sumber mata air di Napua bagi proyek Perusahaan Air Minum (PAM). Dari kaca mata pihak luar memandang bahwa persoalan tanah ulayat itu sudah selesai ketika kompensasi berupa uang tunai diserahakan pada Hubula yang mengakui sebagai akenak werek. Akan tetapi, upacara adat yang dilakukan termasuk pemercikan darah babi di atas tanah tanah ulayat tersebut menegaskan ketidakterpisahan (inalienability) antara Hubula dan para leluhur. Dus, kemungkinan terjadinya siklus klaim kompensasi atas tanah ulayat ini masih terbuka selama belum ditemukan mekanisme penyelesaian yang tepat.

    Dialog antara konsep kesuburan hidup dengan kemajuan modern? Konsep ekologis berbasis sosial budaya Hubula meletakkan tanah ulayat dalam konteks

    lanskap. Kesuburan hidup yang berakar dari relasi antara Hubula dengan para leluhur dan dunia immaterial merupakan landasan dari ekologis sosial budaya Hubula. Jalur leluhur yang terdapat dalam lanskap tanah ulayat memiliki peranan penting dalam mencapai kesuburan hidup Hubula. Penggunaan tanah ulayat beserta sumber daya alam di lembah Palim berdasarkan prinsip-prinsip ekologis sosial budaya yang memprioritaskan relasi kosmologis yang harmonis dari pada

    15

  • komodifikasi. Sejak pertemuan dengan pihak luar, Hubula telah menyaksikan pergulatan kekuasaaan antara otoritas negara dan lembaga agama di lembah Palim. Paradigma baru yang ditawarkan oleh pemerintah dan gereja mencakup penggantian pandangan tradisional Hubula yang menyeluruh dengan konsep kemajuan modern yang menyangkal jalur leluhur. Hal ini mendorong adanya pelbagai kampanye dalam bentuk program pembangunan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bagi Hubula, tanah ulayat adalah kunci menuju reproduksi sosial, dan, menggunakan istilah Robbins dan Akin (1999), telah ditunggalkan (singularised) atau dilindungi dari komodifikasi. Konsep kepemilikan (ownership) yang dibawa oleh baik pemerintah dan misionaris bertentangan langsung dengan ideologi Hubula tentang perwalian (guardianship) atau penjaga tanah ulayat. Hubula mempertahankan kesuburan hidup bersama melalui pemercikan darah babi di atas tanah ulayat. Daya tahan Hubula dalam menghadapi modernisasi bertujuan untuk melindungi relasi identitas tak terpisahkan antara mereka dengan tanah ulayat dan para leluhurnya. Beberapa studi kasus yang dimuat dalam tulisan ini menunjukkan biaya kemanusiaan yang timbul akibat konflik yang dihasilkan oleh ketidakseimbangan paradigma antara Hubula dan pelbagai agen perubahan sosial. Dialog antara paradigma di atas patut di pertimbangkan tanpa mengikutsertakan inferiority complex.

    BibliografiAbramson, A.2000 Mythical Land, Legal Boundaries: Wondering about Landscape and Other Tactics. In: A. Abramson

    and D. Theodosspoulos (eds.), Land, law and Environment, pp.1-30. London: Pluto.

    Barnard, A. and J. Spencer (eds.) 2002 Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology. New York: Routledge.

    Cernea, M.M. 1996 Social Organization and Development Anthropology: the 1995 Malinowski Award Lecture.

    Washington D.C: World Bank.

    Dekker, J. and L. Neely 1996 Torches of Joy: a Stone Age Tribes Encounter with the Gospel. Seattle: YWAM Publishing.Evans-Pritchard, E.E.1956 Nuer Religion. Oxford: Clarendon Press.

    Gudeman, S.1986 Economic as Culture - Models and Metaphors of Livelihood. London: Routledge and Kegan

    Paul.2001 The Anthropology of Economy: Community, Market and Culture. Malden, MA: Blackwell.

    Heider, K.G.1970 The Dugum Dani - a Papuan Culture in the Highlands of West New Guinea. Chicago: Aldine.

    16

  • Herzfeld, M.2001 Anthropology: Theoretical Practice in Culture and Society. Oxford: Blackwell.

    Hitt, R.T. 1962 Cannibal Valley. New York: Harper & Row.Itlay, S. and B. Hilapok1993 Kepribadian dan Kebudayaan Orang Balim. In: A.S. Susanto-Sunario (ed.), Kebudayaan Jayawijaya

    dalam Pembangunan Bangsa, pp. 20-40. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

    Koentjaraningrat and V. Simorangkir (eds.)1993 Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Departemen Sosial, Dewan Nasional Indonesia

    untuk Kesejahteraan Sosial dan PT Gramedia Pustaka.

    Lewis, D.2005 Anthropology and Development: the Uneasy Relationship. In: Carrier,J.G. (ed.), A Handbook of

    Economic Anthropology, pp. 472-486. Cheltenham: Edward Elgar.

    Meiselas, S. 2003 Encounters with the Dani. Gttingen: Steidl Publishers.

    Parmentier, R.J. 1987 The Sacred Remains - Myth, History and Polity in Belau. Chicago: University of Chicago

    Press.

    Platenkamp, J.D.M. 1988 Tobelo: Ideas and Values of a North Moluccan Society. Leiden: Repro Psychologie.Robbins, J. and

    Robbins, J. and D. Akin (eds.)1999 Money and Modernity - State and Local Currencies in Melanesia. Pittsburgh: University of

    Pittsburgh Press .

    Sahlins, M.2005 The Economics of Develop-man in the Pacific. In: J. Robbins and H. Wardlow (eds.), The

    Making of Global and Local Modernities in Melanesia- Humiliation, Transformation and the Nature of Culture Change, pp.23-42.Aldershot : Ashgate.

    Schoorl, P.2001 Belanda di Irian Jaya - Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962. Jakarta: KITLV and Garba

    Budaya.

    Sillitoe, P.2002 Participant Observation to Participatory Development- Making Anthropology Work. In: P. Sillitoe et

    al. (eds.),Participating in Development: Approaches to Indigenous Knowledge, pp. 1-23. London: Routledge.

    Soepangat, S.1986 Indonesian School as Modernizer: a Case Study of the Orang Lembah Baliem Enculturation. PhD

    Dissertation, Florida State University.

    Strathern, A.1983 Pigs and Politics in Papua New Guinea. Bikmaus 4(4): 73-79.

    Visser, L.E.1989 My Rice Field is my Child - Social and Territorial Aspects of Swidden Cultivation in Sahu,

    17

  • Eastern Indonesia. Dordrecht: Foris.

    Wardlow H. (eds.)2005 The Making of Global and Local Modernities in Melanesia- Humiliation, Transformation and the

    Nature of Culture Change. Aldershot : Ashgate.Widyastuti, C.A., et.al.2002 Dani Women's Knowledge On and its Contribution to Maintenance of Sweet Potato in Baliem

    Valley. In: R. Rao and D. Campilan (eds.), Exploring the Complementarities of In Situ and Ex Situ Conservation Strategies for Asian Sweetpotato Generic Resources, pp. 150-158. Serdang, Malaysia: International Plant Genetic Resources Institute Regional Office for Asia, the Pacific and Oceania (IPGRI-APO). [Proceedings of the 3rd International Workshop of the Asian Network for Sweetpotato Genetic Resources (ANSWER), Denpasar, Bali, Indonesia, 2-4 October 2001.]

    18