Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

16
KONSEP DAN TEORI SENGKETA ADMINISTRASI DENGAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA Dibuat untuk memenuhi nilai Ujian Tengah Semester (UTS) pada mata kuliah Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara pada Semester Genap Tahun Akademik 2009 2010 Disusun Oleh: Dyah Ayu Paramita 1101 1006 0071 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN 2010

description

Ini adalah makalah mengenai Sengketa Administrasi (secara umum) dan Sengketa Tata Usaha Negara (berdasarkan Undang-Undang) di Indonesia

Transcript of Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

Page 1: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

KONSEP DAN TEORI SENGKETA ADMINISTRASI DENGAN

SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA

Dibuat untuk memenuhi nilai Ujian Tengah Semester (UTS) pada mata

kuliah Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara

pada Semester Genap Tahun Akademik 2009 – 2010

Disusun Oleh:

Dyah Ayu Paramita

1101 1006 0071

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2010

Page 2: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

2

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

BAB I

PENDAHULUAN

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan sebuah

lembaga Yudikatif di Indonesia yang berlandaskan atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tata Usaha

Negara.

Sebagai sebuah lembaga peradilan, Pengadilan Tata Usaha

Negara tidak lepas dari kontroversi dan juga perdebatan, baik yang keluar

dari pemikiran akademisi, masyarakat, maupun pemerintah itu sendiri. Hal

ini disebabkan oleh adanya suatu kesenjangan yang cukup signifikan atas

fungsi dan konsep awal sebuah Peradilan Administrasi dengan

pelaksanaan dan landasan hukum yang diberikan kepada Pengadilan

Tata Usaha Negara di dalam kenyataannya.

Pengadilan Tata Usaha Negara sendiri memiliki sejarah panjang

dalam pembentukannya, yakni dimulai dengan Arrest Hooge Raad 1919

yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1919, di mana peristilahan

onrecht (melawan hukum) adalah dibedakan artinya dengan onwet

(melawan hukum tertulis atau perundang-undangan), hal ini menimbulkan

ketidaksesuaian dengan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata di mana tindakan yang onrecht (melawan hukum) tersebut adalah

sama dengan onwet (melawan hukum tertulis atau perundang-undangan).

Melalui Arrest Hooge Raad 1919 ini, maka perbuatan melawan hukum

diperluas menjadi, selain melawan peraturan perundang-undangan

tertulis, juga melawan kesusilaan, keseksamaan, kewajiban hukum, dan

norma-norma hukum umum yang berlaku di dalam masyarakat.

Page 3: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

3

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

Beberapa tahun berselang, terdapat sebuah kejadian lagi yang

cukup memiliki peran penting dalam terbentuknya Pengadilan

Administrasi, yakni Arrest Hooge Raad 1924, atau yang dikenal dengan

nama Ostermaan Arrest, yang dikeluarkan pada tanggal 20 November

1924 dan disebut sebagai “Revolusi November”1. Inti dari Ostermaan

Arrest ini adalah prinsip ganti rugi administratif, yakni upaya hukum

terhadap kebijakan pemerintah yang menimbulkan kerugian terhadap

masyarakat (baik secara individual maupun sebagai sebuah badan), yakni

dengan cara mengeluarkan kebijakan baru yang sedapat mungkin

menghilangkan kerugian yang telah diderita oleh masyarakat. Kisah di

balik Ostermaan Arrest ini adalah tindakan pejabat yang mengeluarkan

kebijakan untuk menahan shipping dari pihak Ostermaan, di mana isi dari

shipping tersebut adalah bahan pokok pada akhirnya membusuk karena

penahanan shipping tersebut; maka Hooge Raad pun menyatakan bahwa

tindakan yang dilakukan oleh pejabat tersebut memang benar

berdasarkan Undang-Undang, namun menimbulkan kerugian pada orang

lain (dalam hal ini Ostermaan), dan oleh sebab itu maka diberikan putusan

di mana pejabat yang bersangkutan diminta untuk membuat kebijakan

baru untuk menghapuskan kerugian dari Ostermaan tersebut.

Baik dalam Arrest HR 1919 maupun Arrest HR 1924, keduanya

dilakukan melalui Pengadilan Umum Perdata.

Melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang

No. 4 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan

bahwa di dalam ranah yudikatif terdapat suatu pengadilan yakni

Pengadilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang ini kemudian

ditindaklanjuti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

yang merupakan Undang-Undang mengenai Pengadilan Tata Usaha

Negara yang pertama di Indonesia, yang kemudian dilengkapi dengan

1 Prins, W.F., R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara,

Pradnya Paramita, Jakarta: 1983, hlm. 131.

Page 4: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

4

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata

Cara Pelaksanaannya dalam Pengadilan Tata Usaha Negara. Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 itu sendiripun telah mengalami 2 (dua) kali

perubahan, yakni pada tahun 2004 melalui Undang-Undang Nomor 9 dan

pada tahun 2009 melalui Undang-Undang Nomor 51.

Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa peraturan

perundang-undangan yang telah saya sebutkan di atas memiliki

kesenjangan yang cukup signifikan terhadap konsep dari Pengadilan

Administrasi itu sendiri. Selain dari bentuk dan cakupan Peradilannya,

bentuk dari sengketa administrasi yang memiliki cakupan yang sangat

luas pun memiliki kesenjangan yang cukup signifikan dengan sengketa

Tata Usaha Negara sebagaimana yang dijelaskan di dalam peraturan

perundang-undangan.

Penyempitan makna dari sengketa Tata Usaha Negara di dalam

peraturan perundang-undangan yang positif tersebut di atas, dan upaya

perluasan kembali dengan adanya RUU Administrasi Pemerintahan dan

RUU Pelayanan Publik merupakan beberapa hal utama yang akan

menjadi pembahasan di dalam tulisan ini.

Page 5: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

5

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

BAB II

SENGKETA DALAM RANAH ADMINISTRASI

Di dunia, dikenal perbedaan terhadap pertimbangan di dalam ranah

Peradilan Administrasi, di mana dikenal Sistem Administratief Beroep,

yang digunakan di Belanda, di mana yang berwenang untuk memeriksa

dan memutus suatu perkara atau sengketa di dalam bidang Administrasi

adalah Instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi atau instansi lain di luar

instansi yang telah mengeluarkan kebijakan yang “bermasalah” tersebut.2

Dengan sistem ini, maka instansi (yang memiliki wewenang untuk

memeriksa dan memutus perkara administrasi) tersebut tidak saja

memeriksa segi rechtmatigheid, tetapi juga segi doelmatigheidnya. Dan

instansi ini pun memiliki wewenang untuk mengganti, merubah, ataupun

mengeluarkan kebijakan baru atas Keputusan Administrasi pertama yang

dipersengketakan tersebut.

Berbeda dengan Sistem Administratief Rechtspraak, di mana yang

berwenang memeriksa dan memutus suatu sengketa administratif adalah

Hakim. Dan karena Hakim di sini berdiri sebagai suatu perwakilan dari

lembaga lain, maka yang dapat diperiksa atau diteliti hanya segi

rechtmatigheid saja. Dan Hakim pun tidak memiliki wewenang untuk

membuat kebijakan baru dalam rangka menghapuskan kerugian, namun

hanya dapat mengeluarkan hukuman dalam bentuk denda, atau

rekomendasi untuk membuat perubahan dan/atau penghapusan kebijakan

yang lama, atau rekomendasi untuk membuat kebijakan yang baru.3

Sengketa administrasi itu sendiri merupakan sengketa hukum

kongkrit yang pada dasarnya terletak di bidang Hukum Administrasi

Negara. Sengketa administrasi terbagi ke dalam 2 (dua) jenis, yakni

2 S.F. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta: 1988, hlm.6.

3 Ibid, hlm. 7.

Page 6: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

6

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

Sengketa Intern (atau yang dikenal dengan Sengketa Kepegawaian, di

mana kedua pihak yang bersengketa adalah pegawai atau pejabat

administrasi Negara) dan Sengketa Ekstern (di mana yang bersengketa

adalah antara anggota masyarakat dengan pejabat atau badan

administrasi Negara).

Oleh sebab itu dikenal 2 (dua) bentuk Peradilan Administrasi, yakni:

a. Peradilan Semu Administrasi (Quasi Administratief Rechtspraak)

b. Peradilan Murni Administrasi (Administratief Rechtspraak)

Kedua bentuk Peradilan Administrasi ini dikenal dan berlaku di

Indonesia, sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.

Bentuk yang pertama, yang kita kenal dengan sebutan Peradilan

Semu Administrasi, merupakan perkembangan dari sistem Administratief

Beroep yang berlaku di Belanda, dan secara paralel berlaku pula di dalam

Pemerintahan Hindia-Belanda (Indonesia sebelum merdeka) dengan

adanya azas konkordansi.

Bentuk ini memang memiliki kelemahan dalam hal kepastian

landasan hukumnya, di mana penyelesaian sengketa dilakukan di dalam

lingkungan sendiri, yang di dalam hal ini adalah kekuasaan lingkungan

eksekutif (karena pejabat dan badan administrasi berada di dalam

lingkungan eksekutif), atau melalui lembaga ad-hoc yang tidak permanen.

Namun bentuk ini juga memiliki kelebihan, terutama dalam hal

cakupannya dan wewenangnya untuk menyelesaikan sengketa (masalah).

Salah satu contohnya, bahwa Peradilan Semu Administrasi dapat bertidak

seperti Consumer Care bagi sebuah perusahaan swasta. Di mana fungsi

pelayanan publik yang dimiliki oleh setiap Pejabat dan Badan Administrasi

dapat menjadi dasar penggugatan sengketa administrasi.

Page 7: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

7

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

Tindakan-tindakan Pejabat Administrasi sehubungan dengan

wewenangnya untuk mengeluarkan kebijakan memiliki potensi merugikan

masyarakat, beberapa di antaranya yakni: kebijakan yang sifatnya onjuist,

tidak tepat, atau tidak betul; dan juga perbuatan atau kebijakan dari

Pejabat Administrasi yang melanggar Undang-Undang atau melanggar

hukum. Hal ini merupakan sebuah tindakan detournement de pouvoir4,

ultra vires, atau penyalahgunaan kewenangan administratif yang

dipercayakan kepadanya.5

Maka konsep dasar dari Peradilan Semu Administrasi kemudian

adalah mengembalikan keadilan ke tempatnya, mengingat sengketa

administrasi merupakan sengketa yang subjek hukumnya memiliki

hubungan yang vertikal, di mana penggugat adalah pihak yang secara

hukum berada di bawah tergugat.

Sedangkan bentuk kedua, yakni Peradilan Murni Administrasi, yakni

apa yang kita kenal dengan Pengadilan Administrasi sebagai suatu

lembaga tersendiri di ranah kekuasaan yudikatif.

Sistem, prosedur, dan struktur kelembagaan yang ada di dalam

Peradilan Murni Administrasi adalah sama seperti Peradilan pada

umumnya. Yakni dengan adanya prosedural dan birokrasi yang

menyerupai pada Peradilan Perdata, adanya Hakim dan panitera, dan

sebagainya. Yang membedakan adalah objek dan subjek di dalam

sengketa administrasi itu sendiri. Di mana objeknya adalah Ketetapan

Administrasi, dan subjeknya adalah anggota masyarakat yang mengalami

kerugian atas dikeluarkannya Ketetapan yang bersangkutan (baik sebagai

individu maupun sebagai badan) sebagai Penggugat, dan Pejabat atau

Badan Administrasi Negara sebagai Tergugat.

4 Prins, W.F., op.cit, hlm. 135.

5 S.F. Marbun, op.cit, hlm. 12-13.

Page 8: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

8

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

Untuk mengenali Sengketa Administrasi, maka kita harus terlebih

dahulu mengenal apa yang menjadi permasalahan di dalam Sengketa

Administrasi, yakni Keputusan Administrasi/Tata Usaha Negara.

Berdasarkan Pasal 1 (10) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009,

Sengketa Tata Usaha Negara yakni:

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Sedangkan Pasal 1 (9) Undang-Undang yang sama menjelaskan

mengenai objek Sengketa Tata Usaha Negara, yakni Keputusan Tata

Usaha Negara yang dijelaskan sebagai berikut:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”

Van Vollenhoven menyatakan bahwa Keputusan Administrasi

adalah tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan,

dilakukan oleh suatu badan Pemerintah berdasarkan wewenangnya yang

luar biasa.6

Sedangkan Prajudi menyatakan bahwa Keputusan Administrasi

pada dasarnya harus atas dasar permintaan, baik dari instansi maupun

orang perseorangan, dan keputusan yang dikeluarkan tanpa adanya suatu

permintaan adalah batal demi hukum.7

Beliau juga menyatakan bahwa setiap Keputusan Administasi

mengandung penetapan (beschikking), dan keputusan yang sering

6 Prins, W.F., op.cit, hlm. 42.

7 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1981,

hlm. 95.

Page 9: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

9

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

menimbulkan sengketa di antaranya yakni yang berbentuk dispensasi,

izin, lisensi, dan konsesi.8

Sedangkan Soehardjo menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha

Negara merupakan keputusan dalam ruang lingkup hukum publik

berdasarkan suatu kewenangan yang terletak dalam Hukum Administrasi

Negara, dan harus bersifat individual dan kongkrit.9

8 Ibid, hlm. 98.

9 Soehardjo Ss., S.H., Hukum Administrasi Negara: Pokok-pokok Pengertian serta

Perkambangannya di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang: 1991, hlm. 41-42.

Page 10: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

10

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

BAB III

PERADILAN TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA

Kedua penjelasan mengenai apa yang dimaksud sengketa maupun

berkenaan mengenai objeknya, yang termuat di dalam Peraturan

Perundang-undangan yang positif di Indonesia, telah mempersempit

makna dari beschikking tersebut sendiri.

Kemudian terdapat beberapa Keputusan Tata Usaha Negara yang

tidak dapat diperkarakan sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 sebagai pengganti dari Pasal 2

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni:

“Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; 2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat

umum; 3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; 4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;

7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.”

Pembatasan-pembatasan yang termuat di dalam Undang-Undang

Peradilan Tata Usaha Negara yang berlaku di Indonesia tersebut, seakan-

akan menjadikan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai suatu bentuk

perlindungan terdapat pejabat dan tindakannya sendiri.

Dewasa ini terdapat wacana mengenai pengesahan Rancangan

Undang-Undang Pelayanan Publik dan Rancangan Undang-Undang

Administrasi Pemerintahan, yang diharapkan kemudian dapat kembali

Page 11: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

11

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

memberikan harapan bagi warga masyarakat untuk melakukan tuntutan

haknya.

Namun isi, baik secara esensi maupun secara praktis, dari kedua

Rancangan Undang-Undang tersebut akan menjadi komplikasi apabila

Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tidak mengalami

perubahan.

Beberapa isi dari Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik

yang cukup menarik perhatian yakni pada BAB VII mengenai

Penyelesaian Sengketa Pelayanan Publik, Pasal 40 – 42, yakni:

Pasal 40 (1) Masyarakat dapat menggugat atau menuntut Penyelenggara atau Aparat

melalui Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal sebagai berikut: a. tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang

pelayanan publik atau tidak memberikan pelayanan yang semestinya menurut standar pelayanan;

b. melalaikan atau melanggar kewajiban dan atau larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; dan

c. menyalahgunakan dan atau melampaui kewenangan yang dimiliki oleh Aparat.

(2) Gugatan atau tuntutan masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (1), dilakukan oleh:

a. perseorangan atau badan hukum yang bersangkutan; b. masyarakat yang terdiri dari para penerima jasa yang mempunyai

kepentingan yang sama; c. lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk

badan hukum dan dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikan organisasi adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat di bidang pelayanan publik.

Pasal 41 (1) Penyelenggara dapat menjadi subyek hukum yang diwakili oleh pejabat yang

bertanggungjawab di dalam organisasi Penyelenggara. (2) Penuntutan dilakukan terhadap Aparat yang bertanggungjawab dalam

penyelenggaraan pelayanan publik dan atau Aparat yang terlibat langsung, baik secara sendiri atau bersama-sama.

Pasal 42 (1) Dalam hal pelayanan publik yang diberikan oleh Penyelenggara dan atau

Aparat menimbulkan kerugian perdata atau bersifat melawan hukum, gugatan diajukan melalui Peradilan Umum.

(2) Dalam hal pelayanan publik yang diberikan oleh Penyelenggara dan atau Aparat mengandung unsur perbuatan pidana, tuntutan diajukan melalui Peradilan Umum.

Sebagaimana dapat disimak bahwa di dalam Pasal 40, Pengadilan

Tata Usaha Negara dapat menuntut “Penyelenggara”, yang di dalam

Page 12: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

12

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

Pasal 1 (2) RUU yang sama dijelaskan sebagai “Penyelenggara

pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah

penyelenggara negara, korporasi penyelenggara pelayanan publik, dan

lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah”. Korporasi,

sebagaimana saya garisbawahi di sini, akan menjadi sebuah benturan

besar dengan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara di mana

yang dapat menjadi tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah

Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.

Namun Rancangan Undang-Undang ini memiliki jiwa yang sesuai

dengan azas-azas pemerintahan yang baik, melalui pendekatan “fungsi

pelayanan publik”.

Rancangan Undang-Undang yang lainnya, yakni Rancangan

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yang hendak memfasilitasi

beschikking yang tidak tertulis, beleids regel, dan kebijakan-kebijakan

aparatur pemerintahan lainnya yang tidak terfasilitasi dalam Undang-

Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan menggunakan istilah:

“Keputusan Pemerintahan”.

Pasal 1 (4) Rancangan Undang-Undang ini menyatakan bahwa:

“Keputusan Pemerintahan adalah keputusan tertulis dan/atau tidak tertulis

yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam lapangan

Hukum Administrasi Negara”

Di dalam Pasal 3 Rancangan Undang-Undang ini pun

mencantumkan mengenai 8 (delapan) azas pemerintahan yang baik, yang

merupakam landasan bagi warga Negara untuk mengajukan tuntutan

haknya.

Di dalam Pasal 6 mengenai Diskresi, terlihat bahwa Kebijakan

Pejabat Pemerintah yang didasarkan atas freies ermessen harus pula

dapat dipertanggungjawabkan, yang mana merupakan suatu tantangan

yang besar apabila dihadapkan kepada Undang-Undang Peradilan Tata

Usaha Negara.

Page 13: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

13

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

Dan di dalam Pasal 20 Rancangan Undang-Undang ini dapat dilihat

pula bahwa suatu Keputusan Pemerintahan harus memenuhi syarat formil

dan materiil, dan dapat berupa suatu Keputusan baik tertulis (di atas

kertas maupun elektronik), lisan, ataupun tindakan lainnya.

Dan mengenai Upaya Administrasi, Rancangan Undang-Undang ini

kembali mengemukakan Peradilan Semu Administrasi, yakni penyelesaian

yang diselenggarakan melalui jenjang jabatan, sebagaimana disebutkan di

dalam Pasal 37, yakni:

(1) Keputusan Pemerintahan dapat diajukan Upaya Administratif dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diumumkannya keputusan tersebut oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan. Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada atasan dari Badan atau Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan Keputusan Pemerintahan dan/atau kepada Badan atau Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan Keputusan Pemerintahan.

(2) Keputusan terhadap Upaya Administratif dibuat oleh atasan dari Pejabat Badan atau Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan Keputusan Pemerintahan.

(3) Dalam hal atasan dari Badan atau Pejabat Pemerintahan menilai Upaya Administratif yang diajukan cukup alasan, maka atasan dari Badan atau Pejabat Pemerintahan wajib mengeluarkan Keputusan Upaya Administratif yang membatalkan dan/atau memperbaiki Keputusan Pemerintahan dimaksud.

(4) Dalam hal atasan dari Badan atau Pejabat Pemerintahan menilai Upaya Administratif yang diajukan tidak cukup alasan, maka dibuat Keputusan Upaya Administratif yang berupa penolakan.

(5) Keputusan Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (1) ayat (4) dikeluarkan oleh: a. Badan atau Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan Keputusan

Pemerintahan, kecuali Undang-undang menetapkan lain; b. Kepala Daerah apabila Keputusan Pemerintahan dikeluarkan oleh Pejabat

Daerah. c. Presiden apabila Keputusan Pemerintahan dikeluarkan oleh menteri atau

pejabat setingkat menteri atau kepala lembaga pemerintah (6) Keputusan Upaya Administratif yang berupa penolakan harus memuat alasan

penolakan dan memberikan penjelasan mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak.

(7) Keputusan Upaya Administratif yang menimbulkan akibat keuangan harus menetapkan pihak yang menanggung biaya.

(8) Pengajuan Upaya Administratif tidak dibebani biaya

Dan Pengadilan Tata Usaha Negara, merupakan usaha banding

dari Keputusan Upaya Administratif yang telah diselenggarakan di dalam

lembaga sebelumnya, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 39 dari

Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.

Page 14: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

14

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

BAB IV

KESIMPULAN

Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selama ini

telah dianggap sebagai suatu jawaban atas jaminan keadilan dan

pemerintahan yang baik, di dalam pelaksanaannya, tidak dapat

memfasilitasi banyak aspek yang signifikan, di antaranya pengujian

doelmatigheid dari suatu keputusan administrasi dan keputusan

administrasi yang didasarkan atas freies ermessen.

Hal ini menjadi sebuah ironi, terutama dengan tidak terfasilitasinya

pengawasan masyarakat atas pemerintahan, dengan adanya berbagai

pembatasan atas apa yang dapat dan apa yang tidak dapat disengketakan

di dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, walaupun sengketa tersebut

telah benar adanya di dalam ranah eksekutif sebagai penyelenggara

administrasi pemerintahan.

Oleh sebab itu dengan keluarnya wacana pengesahan Rancangan

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yang di dalam Ketentuan

Peralihan, Pasal 44 (4) menyebutkan bahwa “Keputusan Pemerintahan

berkekuatan hukum yang sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara

berdasarkan Undang-Undang ini.”; memberikan nafas baru bagi

penegakkan hukum di bidang Tata Usaha Negara. Keputusan

Pemerintahan di dalam Rancangan Undang-Undang ini tidak menunjuk

kepada bentuk spesifik, namun kepada segala bentuk kebijakan baik

tertulis maupun tidak tertulis yang dikaluarkan oleh pemerintah dalam

menyelenggarakan administrasi pemerintahan.

Kemudian sehubungan dengan wacana Rancangan Undang-

Undang Pelayanan Publik, yang mana memperluas kompetensi dari

Pengadilan Tata Usaha Negara itu sendiri, yang sebelumnya hanya dapat

Page 15: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

15

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

memproses perkara yang menggugat Pejabat atau Badan Tata Usaha

Negara (yang di dalam hal ini sudah pasti pemerintah), menjadi juga dapat

memproses perkara yang menggugat korporasi, sehubungan dengan

fungsinya dalam pelayanan publik.

Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa apabila kedua Rancangan

Undang-Undang ini disahkan, masalah tidak akan berakhir begitu saja.

Karena polemik sehubungan dengan peraturan perundang-undangan

mana yang akan berlaku? Sedangkan isi secara esensi maupun secara

bunyi dari peraturan perundang-undangan tersebut tidak di dalam suatu

harmoni.

Di dalam azas hukum, kita mengenal lex posterior derogate legi

priori, yakni hukum yang baru diutamakan dibandingkan hukum yang

lama, namun azas ini tidak dapat serta merta menjadi pembenar bagi

perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan kedua

Rancangan Undang-Undang tersebut di atas apabila sampai disahkan.

Namun sebagai suatu kepastian, keberadaan kedua Rancangan

Undang-Undang ini, memberi tempat bagi sengketa administrasi (secara

umum) ke dalam dunia hukum Indonesia.

Page 16: Konsep dan Teori Sengketa Administrasi dengan Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia

16

Dyah Ayu Paramita | 110110060071

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR

S.F. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta: 1988

Soehardjo Ss., S.H., Hukum Administrasi Negara: Pokok-pokok Pengertian serta Perkambangannya di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang: 1991

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1981

Prins, W.F., R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Pradnya Paramita, Jakarta: 1983

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelakanaannya dalam Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

ARTIKEL / JURNAL / DAN SEBAGAINYA

Rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik

Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan