“KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH · PDF filedata yang dipublikasikan berupa laporan...
Transcript of “KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH · PDF filedata yang dipublikasikan berupa laporan...
“KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH DALAM FASILITAS
PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH (FPJPS)”
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (SE.Sy)
Oleh :
Fitrianingsih
NIM : 106046101620
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Konsep dan Mekanisme Akad Mudharabah dalam Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS)” telah diujikan dalam sidang
Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 September 2010 M / 15 Syawal 1431 H. Skripsi
tersebut telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Syariah (SE.Sy) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Syariah)
Jakarta, 24 September 2010 M
15 Syawal 1431 H Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
Ketua : Dr. Euis Amalia, M.Ag NIP. 197107011998032002
(_____________)
Sekretaris : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH NIP. 197407252001121001
(_____________)
Pembimbing I : Dr. Hasanudin, M.Ag NIP. 196103041955031001
(_____________)
Pembimbing II : Djaka Badranaya, ME NIP. 19770530200711008
(_____________)
Penguji I : Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA NIP. 196011071985051001
(_____________)
Penguji II : Dra. Isnawati Rais, MA NIP. 195710271985032001
(_____________)
LEMBAR PERNYATAAN :
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang belaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
MSeptemberHRamadhanJakarta
20102143123,
Fitrianingsih
iii
ABSTRAKSI
Fitrianingsih, 106046101620, “Konsep dan Mekanisme Akad Mudharabah dalam Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah”, Program Strata I, Program Studi Muamalat, Konsentrasi Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Perkembangan Bank Syariah saat ini telah mengalami pertumbuhan yang pesat sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia. Seiring dengan pertumbuhannya tersebut, resiko bisnis pun sering terjadi, termasuk resiko likuiditas. Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat memberikan bantuan likuiditas kepada bank tersebut, kebijakan tersebut diambil dengan tujuan untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada sektor perbankan. Bagi perbankan syariah kebijakan bantuan likuiditas tersebut dinamakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS).
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dan menggunakan pendekatan dokumen (content analisys) yaitu melakukan pengumpulan data dan informasi melalui pengujian arsip dan dokumen. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan membuat list pertanyaan yang diajukan kepada pihak Bank Indonesia (BI) yang telah ditunjuk oleh pihak BI itu sendiri yaitu Analisis Bank Madya Direktorat Perbankan Syariah. Sedangkan data sekunder diperoleh dari data yang dipublikasikan berupa laporan keuangan dan laporan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
Selain membahas tentang mekanisme dan prosedural pembiayaan FPJPS, penelitian ini juga membahas mengenai kesesuaian akad mudharabah yang diterapkan dalam FPJPS dengan menggunakan analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat dua hal yang kontradiktif dengan ketentuan pembiayaan mudharabah dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000, khususnya terkait dengan perhitungan imbalan FPJPS yang memberi indikasi bahwa mekanisme akad mudharabah dalam FPJPS kurang sesuai dengan prinsip syariah.
Penulis menyarankan agar Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengeluarkan kebijakan bantuan likuiditas untuk bank syariah yakni agar melakukan pengkajian lagi secara lebih mendalam khususnya mengenai pengawasan dan birokrasi dalam pemberian FPJPS ketika suatu saat digunakan agar tidak bertentangan dengan prisip syariah.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan rahmat, taufik, dan hidayahnya tanpa
jemu. Sesungguhnya, hanya karena kemurahan hati-Nya lah sehingga akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan Rasulullah saw beserta seluruh keluarga, sahabat, dan
juga ummatnya.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari terdapat banyak kendala
yang menghambat langkah penulis untuk merampungkan skripsi ini. Namun, berkat
bimbingan, arahan, dan motivasi dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., sebagai Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Euis Amalia, M.Ag., sebagai Ketua Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam)
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H., sebagai Pembimbing Akademik Penulis.
4. Dr. Hasanudin, M.Ag., dan Djaka Badranaya, M.E., sebagai Dosen Pembimbing
Skripsi penulis yang telah memberi arahan, saran, dan ilmunya hingga penulisan
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
vi
5. Segenap pihak Bank Indonesia, khususnya Bapak Dwiyanto selaku Analisis Bank
Madya DPBS dan Bapak M. Zein Ibrahim yang telah bersedia meluangkan waktu
di tengah kesibukannya untuk membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan ilmu yang tidak ternilai, hingga
penulis menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Segenap staff akademik dan staff perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Orang tua tercinta H. Ruslan dan Hj. Sayu Sa’adi yang selalu membimbing dan
men-support penulis baik moril maupun materiil tanpa pernah mengeluh dan
berputus asa.
9. Saudara dan saudari penulis; Mas Yanto, Mas Heri, Mas Udi, Mas Enjir, Mba
Nelly, Mba Widi, Mba Rahmi, Mba Erly dan adikku Aty, yang turut memberikan
kontribusi dan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Sahabat – sahabat terbaik penulis; Ikrimah, Annisa Auditasari, Evi Tamala yang
sama-sama berjuang dengan penulis dalam susah dan senang selama proses
perkuliahan hingga akhir, serta yang spesial untuk Ricka, Yovita, Ophiey, Ika,
Novita & Ratna yang selalu memberi dukungan dan mengingatkan penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman Mahasiswa jurusan Perbankan Syariah kelas B angkatan 2006,
khususnya Diyanti, Asril, Fajar, Egrie, Anya, Yanie, Ade, Giska, Arie, yang
selalu membantu dan menemani penulis selama masa perkuliahan berlangsung.
vii
12. Dan akhirnya, semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi
ini namun tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.
Semoga segala kebaikan yang tulus dari semua pihak dapat diterima oleh
Allah SWT serta mendapatkan pahala yang berlipat dari-Nya.
Kiranya skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun kritik dan saran dari
para pembaca sangat diharapkan untuk kesempurnaannya. Besar harapan penulis agar
skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi kontribusi bagi penulis dan masyarakat
seluruhnya.
MSeptemberHRamadhanJakarta
20102143123,
Penulis
viii
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………. ix
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... xii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka............................................................................. 8
E. Definisi Operasional........................................................................ 12
F. Metode Penelitian........................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan..................................................................... 16
BAB II LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar Mudharabah
1. Pengertian…………………………………………………….. 19
2. Landasan Syariah…………………………………………….. 22
3. Rukun dan Syarat……………………………………………. 25
4. Jenis – jenis Mudharabah…………………………………….. 31
x
5. Prinsip Kontrak dan Skema Mudharabah…………………… 32
6. Kerugian dan Berakhirnya Akad Mudharabah……………… 37
B. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS)
1. Pengertian FPJPS..................................................................... 38
2. Konsep Dasar FPJPS............................................................... 39
3. Pengaturan FPJPS.................................................................... 40
4. Karakteristik FPJPS................................................................. 41
5. Perkembangan FPJPS sampai saat ini...................................... 42
BAB III PROFIL SINGKAT BANK INDONESIA
A. Gambaran Umum Bank Indonesia sebagai Lembaga Keuangan yang
Menaungi Kebijakan FPJPS........................................................... 47
B. Sejarah Lahirnya Kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
Syariah (FPJPS)............................................................................... 56
BAB IV KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH DALAM
FPJPS
A. Ketentuan Umum Akad Mudharabah Berdasarkan Fatwa No: 07/DSN-
MUI/IV/2000.................................................................................. 63
B. Ketentuan Umum Akad Mudharabah dalam Kebijakan FPJPS…. 67
xi
C. Analisa Penerapan Akad Mudharabah Berdasarkan Fatwa No:
07/DSN-MUI/IV/2000 dalam Kebijakan FPJPS
1. Penetapan Bagi Hasil oleh Bank Indonesia Sebesar 90%........ 70
2. Penggunaan Akad Mudharabah yang Pada Dasarnya Akad ini
Bersifat Amanah (yad al-amanah)............................................ 75
3. Kedudukan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor
11/24/PBI/2009………………………………………………. 82
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................... 91
B. Saran................................................................................................ 93
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... xiv
LAMPIRAN – LAMPIRAN
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema Pembiayaan Mudharabah ……………………………….. 36
Gambar 3.1 Independensi BI dalam Skema Ketatanegaraan…………………. 55
Gambar 4.1 Kedudukan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara setelah Amandemen UUD 1945…………………………………………. 87
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Rasio Keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah… 48
Tabel 2.2 Penempatan pada Bank Indonesia – Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah…………………………………………………….. 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan bank syariah di Indonesia secara formal baru di mulai tahun
1992 dan secara serius mulai dikembangkan pada tahun 1998 yaitu sejak mulai
berdirinya Bank Muamalat Indonesia tahun 1991 sebagai bank syariah pertama di
tanah air, yang memulai kegiatan operasinya pada bulan Mei 1992. Dan dengan
diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah
nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong
pertumbuhannya secara lebih cepat lagi.
Perbankan Indonesia sendiri dalam menjalankan fungsinya berasaskan prinsip
kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah
peningkatan taraf hidup rakyat banyak.1 Ditinjau dari segi fungsi intermediasi
perbankan syariah menunjukkan kinerja yang mengagumkan yang hampir
mendekati angka 100 persen, dengan kata lain hampir 100 persen dana pihak
1 Ikhtisar Pebankan, Institusi Perbankan di Indonesia, Artikel diakses pada tanggal 18 Februari 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Lembaga+Perbankan/
2
ketiga yang ada di bank syariah disalurkan kembali ke masyarakat.2
Perkembangan Bank Syariah tersebut tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran
Bank Indonesia.
Bank Indonesia memiliki tugas utama untuk menjaga stabilitas moneter dan
stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Untuk mencapai
tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai fungsi sebagai lender of the last
resort (LLR), yaitu bantuan likuiditas untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek karena adanya mismatch yang disebabkan oleh resiko kredit atau
resiko pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, resiko manajemen ataupun resiko
pasar. Keadaan mismatch ini dapat terlihat dari posisi bank sebagai peserta
kliring. Bagi suatu bank, kalau hak tagihnya lebih kecil dari kewajiban
membayarnya menurut dokumen yang dimasukkan proses kiliring dikatakan
mengalami kalah kliring.3
Bagi bank syariah, keadaan mismatch dalam kondisi normal dapat pula
terjadi, mengingat resiko usaha yang selalu ada, baik resiko likuiditas maupun
resiko kredit.4 Kebijakan bantuan LLR pada bank syariah ini dikenal Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Syariah, yang untuk selanjutnya disebut FPJPS adalah
2 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah Sebagai Solusi Perekonomian Nasional, Pidato Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Perbankan Syariah, Disampaikan dalam Sidang Senat terbuka UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009
3 Modul SPN 02 – Sistem Kliring di Indonesia, diakses pada tanggal 20 Februari 2010 dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/AF3FDCB9-F4BD-4278-8B40-A02633F72D5E/836/SistemKliringBankIndonesia1.pdf
4 Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 178
3
fasilitas pendanaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank
yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek,
dan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No: 11/24/PBI/2009. Akad yang
digunakan dalam FPJPS tersebut adalah akad mudharabah dengan penerapan
prinsip bagi hasil.
Ketentuan mengenai akad mudharabah sendiri diatur dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional dan belum diatur secara rinci dalam hukum positif. Walaupun
ketiadaan aturan hukum secara positif dipandang sebagai suatu kelemahan, tetapi
sebagai umat Islam yang berpegang teguh kepada dalil naqli maupun dalil aqli,
penggunaan akad mudharabah tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan, tidak
hanya terkait antara sesama manusia saja tetapi antara manusia dengan sang
pencipta. Maka, dalam menerapkan akad mudharabah, rukun dan syarat
mudharabah mutlak harus terpenuhi di setiap transaksi. Ketentuan tersebut secara
khusus terkait dengan pemenuhan rukun, penetapan syarat-syarat pihak, ketentuan
modal, ketentuan nisbah bagi hasil/keuntungan, serta aspek trustee (kepercayaan)
dalam akad tersebut, yang menjadikan akad mudharabah bersifat amanah.
Apabila salah satu rukun maupun syarat tersebut tidak terpenuhi, berakibat pada
batalnya akad mudharabah tersebut.
Terkait dengan penggunaan akad mudharabah dalam FPJPS, terdapat
ketentuan yang bersifat kontradiktif antara Peraturan Bank Indonesia No:
11/24/PBI/2009 dan ketentuan akad mudharabah dalam literatur fiqh. Ketentuan
4
mudharabah menyebutkan bahwa keuntungan proporsional bagi setiap pihak
harus diketahui dan dinyatakan dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-
tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
Dalam perhitungan Imbalan FPJPS menyebutkan bahwa besarnya nisbah bagi
hasil akad mudharabah bagi Bank Indonesia, ditetapkan sebesar 90% (sembilan
puluhpersen). Secara tersirat menyatakan bahwa nisbah bagi hasil ditetapkan
secara langsung oleh pihak BI tanpa ada negosiasi terlebih dahulu dengan pihak
bank umum syariah. Jadi, angka besaran nisbah ini tidak muncul sebagai hasil
tawar-menawar antara shahib al-maal dengan mudharib.
Selain itu, perhitungan imbalan fasilitas FPJPS besarnya dihitung berdasarkan
nilai nominal, tingkat realisasi imbalan, nisbah bagi hasil Bank Indonesia, dan
jumlah penggunaan fasilitas tersebut.5 Perhitungan tersebut memberi indikasi
adanya keuntungan yang dipastikan bagi salah satu pihak yang merupakan hal
ribawi, karena nisbah tersebut dihitung dari nilai nominal FPJPS.
Perlu dicatat bahwa skim mudharabah ini memiliki resiko tinggi karena
pemilik modal menyerahkan seluruh modal kepada mudharib yang menjalankan
seluruh usaha dan manajemen.6 Dan ketika terjadi kerugian yang bukan
merupakan kelalaian mudharib, pemilik modal tidak berhak menuntut ganti rugi.
5 Gemala Dewi, Aspek – aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 115
6 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 173
5
Penggunaan akad mudharabah dalam kebijakan FPJPS tersebut juga sangat
beresiko tinggi, mengingat kondisi perbankan yang illiquid. Sehingga resiko
modal tidak kembali sangat besar. Selain itu, berkaca pada kegagalan Bank
Indonesia sendiri dalam perannya sebagai LLR dalam kebijakan BLBI yang
diterapkan pada krisis 1998 yang penuh dengan penyelewengan menjadi sebuah
perhatian penting. Hal tersebut dikarenakan kebijakan yang mendasari pemberian
BLBI bersifat temporer, individual, subjektif dan lemah dari segi pengawasan.7
Dengan melihat dasar itulah, penulis merasa tertarik untuk melakukan
penelitian, memberikan gambaran apa dan bagaimana konsep dan mekanisme
akad mudharabah dalam kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah
(FPJPS) serta kesesuaian penerapannya dengan prinsip syariah yang didasarkan
pada Fatwa Dewan Syariah. Sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul
“KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH DALAM
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH”.
7 Marwan Batubara, dkk., Skandal BLBI: Ramai – ramai Merampok Negara, (Jakarta: Haekal
Media Center, 2008), h. 223
6
B. Pembatasan dan Perumusan Permasalahan
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan mengenai kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia
terhadap Bank Syariah di Indonesia sangat luas, mengingat semakin pesatnya
perkembangan Bank Syariah di Indonesia sejak berdirinya Bank Muamalat
Indonesia (BMI) pada tahun 1992. Untuk itu, pembahasan hanya akan dibatasi
pada kebijakan Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of the last
resort, analisa penerapan akad mudharabah pada kebijakan Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) berdasarkan ketentuan umum
terhadap transaksi mudharabah menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
07/DSN-MUI/IV/2000.
2. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa
pokok-pokok permasalahan yang dibahas adalah sebagai berikut:
a) Bagaimana konsep dan mekanisme pembiayaan mudharabah yang
diberikan Bank Indonesia kepada Bank Syariah dalam FPJPS ?
b) Bagaimana ketentuan umum transaksi mudharabah menurut Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 ?
c) Apakah konsep dan mekanisme pembiayaan mudharabah dalam FPJPS
telah sesuai dengan ketentuan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
07/DSN-MUI/IV/2000 ?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penulisan
Dengan mengacu pada permasalahan diatas maka hasil penelitian
bertujuan sebagai berikut:
a) Untuk mengetahui konsep dan mekanisme akad mudharabah yang
diterapkan dalam Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS).
b) Untuk mengetahui ketentuan umum transaksi mudharabah berdasarkan
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000.
c) Untuk mengetahui kesesuaian penerapan akad mudharabah dalam
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) dengan ketentuan
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000.
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, semoga dapat memberikan manfaat
antara lain :
a) Penulis ; penelitian ini merupakan studi awal dan menambah wawasan
tentang konsep dan mekanisme akad mudharabah dalam FPJPS serta
ketentuan akad mudharabah menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
07/DSN-MUI/IV/2000 dan relevansinya dengan kebijakan FPJPS.
b) Fakultas ; menambah khazanah kepustakaan Ekonomi Islam dan sebagai
sumber referensi bagi mahasiswa, staf pengajar dan lainnya.
8
c) Masyarakat ; memberi pengetahuan dan pemahaman tentang fatwa
mudharabah sebagai landasan transaksi ekonomi syariah sekaligus sebagai
masukan, saran, serta perbandingan bagi para praktisi dan akademisi
dalam penelitian selanjutnya.
D. Tinjauan Pustaka
Setelah membuka daftar skripsi tahun sebelumnya maka dapat disimpulkan
belum ada skripsi sebelumnya yang membahas mengenai konsep dan mekanisme
akad mudharabah dalam Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS).
Skripsi sebelumnya yang membahas mengenai akad mudharabah dan kebijakan
Bank Indonesia yang terdaftar dalam pustaka skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta adalah :
1. Suhendar, 104053002033, Jurusan Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah
dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
“Implementasi Prinsip Mudharabah Muthalaqah dalam Sistem Pengelolaan
Produk Simpanan Qurban pada BMT Al-Fath Kedaung - Pamulang”.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian tersebut
menghasilkan fokus pembahasan mengenai implementasi akad mudharabah
al-muthlaqah yang tergambar dari prosedur dan sistem pengelolaan dana
simpanan qurban pada BMT AL-FATH IKMI. Pengelolaan dana tersebut
dilakukan dengan menggabungkan dana simpanan qurban dengan tabungan
9
lainnya yang menggunakan prinsip mudharabah al-muthlaqah, kemudian
dana tersebut disalurkan kembali pada masyarakat untuk usaha dalam jangka
waktu tertentu. Nisbah bagi hasil antara penabung dengan BMT AL-FATH
IKMI adalah 20% : 80%.
2. Siti Nur Lailatul Mahmudah, 203046101762, Jurusan Perbankan Syariah,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
“Fungsi Jaminan dalam Pembiayaan Mudharabah (Studi Pada LKS Berkah
Madani Kelapa Dua)”. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian deskriptif. Penelitian tersebut menghasilkan fokus pembahasan
mengenai penyertaan jaminan dalam akad mudharabah. Walaupun konteks
asli secara fikih akad mudharabah ditetapkan tanpa adanya jaminan, tetapi
penyertaan jaminan tersebut berfungsi sebagai salah satu langkah untuk
melindungi dana masyarakat agar tidak hilang begitu saja akibat keteledoran
mudharib.
3. Zulpadli, 101046122326, Jurusan Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
“Aplikasi Pembiayaan Mudharabah pada BMT Al-Mansur”. Metode analisa
data yang digunakan adalah metode deskriptif. Fokus penelitian tersebut
membahas mengenai aplikasi akad mudharabah pada operasional pembiayaan
yang dilakukan oleh BMT Al-Mansur yang notabene 99% merupakan produk
pembiayaan mudharabah. Penelitian tersebut menghasilkan bahwa kelayakan
10
pembiayaan yang dilakukan menggunakan analisa 5C (Character, Capacity,
Capital, Condition, Collateral), sedangkan masalah yang sering terjadi adalah
penyelewengan dana pembiayaan yang dilakukan oleh nasabah, seperti
penggunaan dana pembiayaan yang seharusnya bagi kepentingan produksi
justru digunakan untuk kepentingan konsumtif.
4. Nurlaila, 9946117151, Jurusan Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
“Mudharabah dalam perspektif Imam Mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal)”. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian kepustakaan atau Library Research. Fokus
penelitian tersebut menghasilkan bahwa para imam mazhab (Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal)
menghalalkan kerjasama mudharabah, karena dalam kerjasama mudharabah
ini ada azas manfaat serta sangat membantu pihak-pihak yang tidak mampu,
dengan kata lain mempererat hubungan antara si kaya dengan si miskin,
sekaligus menyatukan capital dengan labour (skill dan entrepreneurship)
yang selama ini terpisah dalam sistem konvensional.
5. Ahmad Mulyadi, 9946117164, Jurusan Perbankan Syariah, Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Otoritas Bank Indonesia sebagai
Pengawas Bank Syariah”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
11
deskriptif. Fokus penelitian ini membahas tentang otoritas Bank Indonesia
sebagai pengawas Bank Syariah menurut hukum Islam yang meliputi
landasan dasar otoritas Bank Indonesia sebagai pengawas bank-bank syariah,
dan pandangan hukum Islam tentang pengawasan bank syariah oleh Bank
Indonesia.
6. Cahyadin Ibnu Waqos, Jurusan perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
“Konsep Bank Sentral dalam Ekonomi Islam”. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kepustakaan atau Library Research. Fokus penelitian
tersebut menghasilkan bahwa salah satu fungsi yang utama dari Bank Sentral
adalah menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, menjaga
stabilitas harga-harga, dan sebagai bank bagi bank-bank syari’ah yang ada.
dan juga Bank Sentral Islam bertindak sebagai lender of last resort. Dimana
Bank Sentral Islam akan bertindak sebagai pusat penyedia cadangan terakhir
bagi bank-bank umum.
Sedangkan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya adalah :
a. Objek penelitian yang dilakukan berada di Bank Indonesia sebagai lembaga
otoritas keuangan yang menaungi kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek Syariah (FPJPS).
12
b. Penelitian menggunakan ketentuan umum Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
tentang Mudharabah No: 07/DSN-MUI/IV/2000.
c. Analisa konsep dan mekanisme akad mudharabah yang dipraktekkan dalam
kebijakan FPJPS berdasarkan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional tentang
Mudharabah No: 07/DSN-MUI/IV/2000.
E. Definisi Operasional
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah pengertian akad
adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang
memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan
Prinsip Syariah.
Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling
menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk
diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti
setengah atau sepertiga dengan syarat – syarat yang telah ditentukan.8
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 11/24/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009. FPJPS adalah fasilitas
pembiayaan dari Bank Indonesia kepada bank syariah yang hanya dapat
digunakan untuk mengatasi kesulitan. FPJPS mempunyai tujuan yaitu sebagai
8 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 136
13
penyedia plafon pendanaan yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi
kesulitan pendanaan jangka pendek.9
Konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rancangan.10
Sedangkan Mekanisme adalah cara kerja suatu organisasi.11 Pemaparan teori
tersebut dalam suatu penelitian berguna untuk membantu dalam memberikan
pengarahan pada penelitian. Dengan kata lain, agar penelitian lebih terarah dan
terfokus pada teori-teori yang akan dimunculkan. Pada penelitian kali ini
bahasannya terfokus pada Konsep dan Mekanisme Akad Mudharabah dalam
FPJPS.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan metodologi
kualitatif. Metodologi kualitatif menurut pengertiannya adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
9 Gemala Dewi, Aspek – aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 114
10 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 432
11 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 570
14
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.12 Penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif yang
dimaksudkan untuk menggali data dan informasi baik tentang proses dan
mekanisme.13 Selain itu, penelitian ini merupakan paduan dari penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan, karena diawali dengan telaah bahan
pustaka dan literatur.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data yaitu data
kualitatif berupa kata-kata atau gambar bukan angka-angka, kalaupun ada
angka-angka sifatnya hanya sebagai penunjang14. Data kualitatif ini
merupakan data yang pada umumnya sukar diukur atau menunjukkan kualitas
tertentu.15 Menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur
analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Ada dua sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
12 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2006), h. 6
13 Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 35
14 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2002), h. 51.
15 Taliziduhu Ndraha, Research Teori Metodologi Administrasi, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), h. 60
15
a) Sumber Data Primer
Merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data. Data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara
dengan pihak Bank Indonesia yang berkompeten dan ahli mengenai konsep
dan mekanisme akad mudharabah dalam kebijakan Fasilitas Pembiayaan
Jangka Pendek pada Bank Syariah (FPJPS).
b) Sumber Data Sekunder
Merupakan sumber data yang tidak langsung diberikan data kepada
pengumpul data. Data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan
seperti buku-buku, majalah, artikel atau literatur lain yang relevan dengan
pembahasan dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, maka
teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :
a) Penelitian kepustakaan (library research)
Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan
mempelajari data-data atau bahan-bahan dari berbagai daftar kesusastraan
yang ada. Dengan cara membaca, mempelajari, mencatat, dan merangkum
teori-teori yang ada kaitannya dengan masalah pokok pembahasan melalui
buku-buku, skripsi terdahulu, majalah, surat kabar, artikel, buletin, brosur,
16
internet dan media lainnya yang berhubungan dengan pembahasan
penelitian ini.
b) Penelitian Lapangan (field research)
Penulis melakukan peninjauan langsung ke lokasi, dalam hal ini Bank
Indonesia sebagai otoritas bank sentral yang mengeluarkan kebijakan
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) dengan menerapkan
akad mudharabah, sehingga dapat melakukan observasi langsung
kegiatan-kegiatan yang terjadi disana. Penulis juga menggunakan teknik
wawancara atau interview dengan narasumber yang cakap dan
berkompeten pada bidangnya untuk memberikan keterangan dari masalah
yang sedang dibahas.
4. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah
menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah
sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, yang meliputi Latar Belakang Masalah, Pembatasan
dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
17
Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian serta Sistematika
Penulisan.
BAB II Tinjauan Umum Akad Mudharabah, Fatwa Dewan Syariah
Nasional, dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah
(FPJPS), bab ini membahas tentang pengertian, landasan syariah,
rukun dan syarat, jenis-jenis, prinsip kontrak, skema, dan pendapat
ulama tentang mudharabah, dan tinjauan umum mengenai fatwa yang
meliputi pengertian, dasar hukum, kedudukan, dan syarat fatwa, serta
mengenai kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah
(FPJPS) dalam literatur syariah meliputi pengertian dan konsep dasar
FPJPS, pengaturan FPJPS, karakteristik FPJPS, perkembangan
FPJPS sampai saat ini dan praktek fasilitas pendanaan likuiditas oleh
Bank Sentral di Negara lain.
BAB III Gambaran Umum Terhadap Bank Indonesia sebagai Lembaga
Otoritas yang Menaungi Kebijakan FPJPS, bab ini membahas
sekilas tentang profil singkat Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas
jasa keuangan yang menaungi kebijakan FPJPS dan sejarah lahirnya
kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS).
BAB IV Konsep dan Mekanisme Akad Mudharabah dalam Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS), merupakan bagian
pembahasan mengenai analisa penerapan akad mudharabah dalam
18
FPJPS mulai dari ketentuan umum akad mudharabah berdasarkan
Fatwa No: 07/DSN-MUI/IV/2000, ketentuan umum akad mudharabah
dalam kebijakan FPJPS, serta analisa penerapan akad mudharabah
berdasarkan Fatwa No: 07/DSN-MUI/IV/2000 dalam kebijakan
FPJPS.
BAB V Penutup
Merupakan bagian terakhir penulisan yang akan menunjukkan pokok-
pokok penting dari keseluruhan pembahasan ini. Bagian ini
menunjukkan jawaban ringkas dari permasalahan yang dibahas pada
bagian permasalahan di atas yang berisi kesimpulan dan saran.
19
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar Mudharabah
1. Pengertian
Mudharabah berasal dari akronim, “Ad-dhorbu fi’l ardhi”, bepergian
untuk berdagangan. Sinonim kata ini ialah qiradh, yang berasal dari kata Al-
Qardhu atau potongan, karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk
diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya, dan sering pula
disebut dengan kata muamalah. Menurut Imam Syafi’i, Qiradh menurut logat,
artinya seseorang pergi berdagang. Menurut istilah harta yang diserahkan
kepada seseorang supaya diperdagangkan, sedang keuntungan dibagi
(bersyarikat) antara keduanya.1
Secara terminologi, ulama fikih mendefinisikan mudharabah atau qiradh
dengan, “Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang)
untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut
kesepakatan bersama.” Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan tersebut,
kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisi ini
1Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, terjemahan Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: Al-Ma’arif,
1987), h. 31
20
menunjukkan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (ahli dagang) tersebut
adalah berbentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.2
Menurut Nabil A. Saleh, hampir seluruh aliran hukum dalam hukum
Islam mengartikan mudharabah dalam pengertian:
"A contract between at least two parties whereby one party, called the investor
(rabb Al-mal) enturst money to the other party called the agent-manager
(mudharib) who is to trade with it in an agreed manner and then return to the
investor the principal and a preagreed share of the profit and keep for him self
what remains of such profits."3
Menurut Abdur Rahman L. Doi, mudharabah dalam terminologi hukum
adalah suatu kontrak di mana suatu kekayaan (property) atau persediaan (stock)
tertentu (Ras Al-mal) ditawarkan oleh pemiliknya atau pengurusnya (Rabb Al-
mal) kepada pihak lain untuk membentuk suatu kemitraan (joint partnership)
yang diantara kedua pihak dalam kemitraan itu akan berbagi keuntungan. Pihak
yang lain berhak untuk memperoleh keuntungan karena kerjanya mengelola
kekayaan itu. Orang ini disebut mudharib. Perjanjian ini adalah suatu contract of
co-partnership.4
2 Abdul Azis Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 1196.
3 Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Temprint, 1999), h. 29
4 Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Temprint, 1999), h. 29
21
Mazhab Hanafi, mudharabah adalah 'Akad atas suatu syarikat dalam
keuntungan dengan modal harta dari satu pihak dan dengan pekerjaan (usaha)
dari pihak yang lain'. Mazhab Maliki, mudharabah adalah 'Suatu pemberian
modal (taukil) untuk berdagang dengan mata uang tunai yang diserahkan
(kepada pengelola) dengan mendapatkan sebagian dari keuntungan jika
diketahui jumlah dan keuntungan'. Mazhab Syafi'i, mudharabah adalah 'Suatu
akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk
mengusahakannya dan keuntungannya dibagi antara mereka berdua'. Mazhab
Hambali, mudharabah adalah 'Penyerahan suatu modal tertentu dan jelas
jumlahnya atau semaknanya kepada orang yang mengusahakannya dengan
mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya'.5
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000,
pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada
pihak lain untuk usaha yang produktif.
Jadi definisi yang representatif sebagai jalan tengah kelengkapan definisi
dari beberapa ahli maupun mazhab menurut hemat penulis, mudharabah adalah
suatu akad (kontrak) kerjasama antara pemilik modal dengan pengelola dimana
keuntungan dari usaha tersebut akan dibagi menurut kesepakatan bersama.
5 Muhamad, Tehnik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 47
22
2. Landasan Syariah
Akad seperti ini dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling
membantu antara pemilik modal dan seorang ahli dalam memutar uang.6 Secara
umum landasan dasar syariah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk
melakukan usaha. Hal ini tampak dari ayat – ayat dan hadis berikut ini:
a. Al – Qur’an
1. Firman Allah QS. al-Muzzammil [73]: 20:
وءاخرون يضربون في األرض يبتغون من فضل اهللا
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS. 73:20)
2. Firman Allah QS. al-Jumuah [62]: 10:
فإذا قضيت الصالة فانتشروا في األرض وابتغوا من فضل اهللا واذآروا اهللا آثيرا لعلكم تفلحون
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. 62:10)
3. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 198:
ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضال من ربكم“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (QS. 2:198)
6 Abdul Azis Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 1196.
23
b. Al – Hadis
1. Hadis Nabi riwayat Thabrani:
آان سيدنا : روى ابن عباس رضي اهللا عنهما أنه قال العباس بن عبد المطلب اذا دفع المال مضاربة اشترط على صاحبه أن اليسلك به بحرا والينزل به واديا واليشترى به دابة ذات آبد رطبة فان فعل ذلك ضمن فبلغ
عليه وسلم فأجازهاهللاهللا صلى شرطه رسول “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak, jika menyalahi peraturan lersebut yang bersangkutan bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW, dan rasulullah pun membolehkannya.” (HR. Thabrani)
2. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah
قال رسول اهللا : عن صالح ابن صهيب عن ابيه قال صلى اهللا عليه وسلم ثالث فيهن البرآة البيع إلى أجل
رواه (والمقارضة وخلط البر بالشعير للبيت ال للبيع )ابن ماجه عن صهيب
Dari Shalih bin Suhaib r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, "Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung unluk keperluan rumah, bukan untuk dijual". (HR. Ibnu Majah no 2280, Kitab At-Tijarat)
24
3. Hadis Nabi
الضرر والضرار
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR. Ibnu
Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).
c. Ijma
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib)
harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari
mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838).7
d. Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musaqah (menyuruh seseorang
untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada
pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat
mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang
mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya
mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua
7 Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh).
25
golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka
memenuhi kebutuhan mereka.8
e. Kaidah Fiqh
األصل فى المعامالت اإلباحة إال أن يدل الدليل على تحريمها
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
3. Rukun dan Syarat
Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun mudharabah tersebut hanyalah ijab
(ungkapan penyerahan modal dari pemiliknya) dan kabul (ungkapan menerima
modal dan persetujuan mengelola modal dari pedagang). Jumhur ulama
mengatakan bahwa rukun mudharabah adalah:
a. عاقدان (kedua pihak yang mengadakan persetujuan) b. صيغة (ucapan pernyataan) c. مال (harta sebagai modal) d. عمل (kerja) e. ربح (keuntungan) Untuk masing-masing rukun tersebut di atas terdapat syarat – syarat yang harus
dipenuhi:
8 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), h. 226
26
a. Kedua pihak yang mengadakan persetujuan
Yang terkait dengan orang yang melakukan transaksi haruslah orang yang
cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
b. Ucapan pernyataan
Ucapan (sighat) yaitu penawaran dan penerimaan (ijab dan kabul) harus
diucapkan oleh kedua pihak guna menunjukkan kemauan mereka untuk
menyempurnakan kontrak. Sighat tersebut harus sesuai dengan hal – hal
berikut:
1) Secara eksplisit dan implisit menunjukkan tujuan kontrak.
2) Sighat dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat
yang diajukan dalam penawaran. Atau, salah satu pihak meninggalkan
tempat berlangsungnya negosiasi kontrak tersebut, sebelum kesepakatan
disempurnakan.
3) Kontrak boleh dilakukan secara lisan atau verbal, bisa juga secara tertulis
dan ditandatangani. Akademi Fiqih Islam dari Organisasi Konferensi
Islam (OKI) membolehkan pula pelaksanaan kontrak melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern
seperti faksimili atau komputer.9
c. Harta sebagai modal
Yang terkait dengan modal, disyaratkan:
9 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta: Tazkia Institute, 1999), h. 174
27
1) Berbentuk uang
2) Jelas jumlahnya
3) Tunai
4) Diserahkan sepenuhnya kepada mudharib. Karena pada hakikatnya, bila
modal tidak diserahkan oleh shahibul maal, maka perjanjian
mudharabah tidak sah.10
Jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama tidak diperbolehkan, karena
sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian juga halnya dengan
utang. Utang tidak dapat dijadikan modal mudharabah. Tetapi, jika modal
tersebut berupa al-wadiah, yaitu titipan pemilik modal kepada pedagang,
maka wadiah itu boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila sebagian
modal itu tetap dipegang oleh pemilik modal, dalam arti tidak diserahkan
seluruhnya, menurut ulama Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i hal itu tidak
diperbolehkan. Namun, ulama Mazhab Hanbali menyatakan bahwa sebagian
modal tersebut boleh berada di tangan pemilik modal, asalkan tidak
mengganggu kelancaran usaha tersebut.11
d. Kerja
10 Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, (Jakarta: PT. Temprint, 1999), h. 32
11 Abdul Azis Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1197
28
Mengenai kerja atau jenis usaha pengelolaan ini sebagian ulama, khususnya
Syafi’i dan Maliki, mensyaratkan bahwa usaha itu hanya berupa usaha
dagang (commercial). Tetapi Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja
selain berdagang, termasuk kegiatan kerajinan atau industri.12
Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil)
modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal
berikut:
1) Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan
penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
Namun mazhab Hanbali mengizinkan partisipasi penyedia dana dalam
pekerjaan itu.
2) Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian
rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu
keuntungan.
3) Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam
tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus
mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
4) Pengelola harus mematuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh penyedia
dana jika syarat-syarat itu tidak bertolak belakang dengan isi kontrak
mudharabah.
12 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 104
29
e. Keuntungan
Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.
Keuntungan adalah tujuan akhir mudharabah. Keuntungan terikat oleh
syarat-syarat berikut:
1) Keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu tidak
diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi pada
pihak lain.
2) Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu
berkontrak dan proporsi tersebut harus dari keuntungan. Yang
dinyatakan dengan prosentase nisbah. Misalnya 60% dari keuntungan
untuk pemodal dan 40% dari keuntungan untuk pengelola. Karena itu
Mudharabah menjadi tidak sah jika keuntungannya dibagi dengan,
menentukan jumlah tertentu dari keuntungan seperti Rp 100.000,00 atau
Rp 150.000,00 atau menentukan salah satu pihak mendapat jumlah yang
tidak jelas dari keuntungan.
3) Kalau jangka waktu akad mudharabah relatif lama, tiga tahun ke atas
maka, nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke
waktu.
4) Kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya apa saja yang
ditanggung pengelola. Kesepakatan ini penting karena biaya akan
mempengaruhi nilai keuntungan.
30
Terkait dengan hukum yang menyangkut keuntungan, ada tiga hal yang
menjadi pembahasan, yaitu:
1) Pengakuan Keuntungan
Harus ditentukan suatu waktu untuk menilai keuntungan yang dicapai
dalam suatu mudharabah. Menurut Akademi Fiqih Islam OKI,
“Keuntungan dapat dibayarkan (due) ketika diakui, dan dimiliki dengan
pernyataan atau revaluasi, dan hanya bisa dibayarkan pada waktu
dibagikan.”13
2) Hak terhadap Keuntungan
Mazhab Hanafi dan sebagian mazhab Syafi'i mengatakan bahwa
keuntungan harus diakui seandainya keuntungan usaha sudah diperoleh
(walaupun belum dibagikan). Sedangkan mazhab Maliki dan sebagian
mazhab Hambali menyebutkan bahwa keuntungan hanya dapat diakui
hanya ketika dibagikan secara tunai kepada kedua pihak.
3) Distribusi Keuntungan
Distibusi atau pembagian keuntungan umumnya dilakukan dengan
mengembalikan lebih dahulu modal yang ditanamkan shahibul maal.
Meskipun demikian kebanyakan ulama menyetujui bila kedua pihak
sepakat membagi keuntungan tanpa mengembalikan modal. Tentu saja
13 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), h. 178
31
hal tersebut berlaku sepanjang kerja sama mudharabah masih
berlangsung.
Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan menahan untung. Bila
keuntungan telah dibagikan, setelah itu mengalami kerugian, sebagian
ulama berpendapat bahwa pengelola diminta untuk menutupi kerugian
tersebut dari keuntungan yang telah dibagikan kepadanya.14
4. Jenis – Jenis Mudharabah
Secara umum mudharabah terbagi kepada dua jenis, yaitu: mudharabah
muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
a. Mudharabah Muthlaqah
Transaksi yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja
sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam
pembahasan fiqih ulama Salaf ash Shalih sering kali dicontohkan dengan
ungkapan if' al ma syi'ta (lakukan sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib
yang memberi kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah
14 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), h. 178.
32
Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted
mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah
muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat
usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum
si shahibul maal memasuki dunia usaha.15
5. Prinsip Kontrak dan Skema Mudharabah
Prinsip Kontrak
"Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak
ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak
diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah."16 Besarnya nisbah
ditentukan berdasarkan kesepakatan masing- masing pihak yang
berkontrak. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil tawar-
menawar antara shahib al-maal dengan mudharib. Dalam pembiayaan
mudharabah (bagi hasil) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kedua
belah pihak, yaitu: (1) nisbah bagi hasil yang disepakati; (2) tingkat keuntungan
bisnis aktual yang didapat.17
15 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), h. 151
16 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 194.
17 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 109
33
Ada dua faktor yang mempengaruhi bagi hasil, yaitu faktor langsung dan faktor
tidak langsung.
Faktor Langsung
Diantara faktor-faktor langsung (direct factors) yang mempengaruhi
perhitungan bagi hasil adalah invesment rate, jumlah dana yang tersedia dan
nisbah bagi hasil.
a. Invesment rate merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dari
total dana. Jika bank menentukan invesment rate sebesar 80 persen, hal ini
berarti 20 persen dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas.
b. Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana
dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana
tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metode yaitu rata-
rata saldo minimum bulanan dan rata-rata total saldo harian. Invesment rate
dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan,
akan menghasilkan jumlah dana aktual yang digunakan.18
c. Nisbah (profit sharing ratio)
Salah satu ciri mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan
disetujui pada awal perjanjian. Besaran nisbah bisa berbeda antara satu
pihak dengan pihak lain yang berkontrak.
18 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002), h. 106
34
Faktor tidak Langsung
Faktor-faktor tidak langsung yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil adalah:
a. Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah
1) Shahibul Maal dan Mudharib akan melakukan share baik dalam
pendapatan maupun biaya. Pendapatan yang dibagihasilkan merupakan
pendapatan yang diterima setelah dikurangi biaya-biaya;
2) Jika semua biaya ditanggung bank, hal ini disebut revenue
sharing.
b. Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting). Bagi hasil secara tidak
langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapkan,
terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.
Terkait dengan cara menentukan nisbah bagi hasil yang merupakan
aspek yang disepakati bersama antara dua belah pihak yang melakukan
transaksi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a. Data usaha;19
b. Kemampuan angsuran;20
c. Hasil usaha yang dijalankan atau tingkat return aktual bisnis;21
d. Tingkat return yang diharapkan;22
19 Dilihat dari keterangan perusahaan.
20 Dilihat dari Cash Flow.
21 Dilihat dari Laporan Keuangan.
35
e. Nisbah pembiayaan;
f. dan Distribusi pembagian hasil;
Penentuan nisbah bagi hasil pada produk pendanaan di Bank Syariah
biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: jenis produk simpanan,
perkiraan pendapatan investasi dan biaya operasional bank. Pertama-tama
dihitung besarnya tingkat pendapatan investasi yang dapat dibagikan kepada
nasabah. Ekspektasi pendapatan ini dihitung oleh bank syariah dengan melihat
performa kegiatan ekonomi di sektor-sektor yang menjadi tujuan investasi,
misalnya di sektor properti, perdagangan, pertanian, telekomunikasi atau sektor
transportasi. Setiap sektor ekonomi memiliki karakteristik dan performa yang
berbeda-beda, sehingga akan memberikan return investasi yang berbeda-beda
juga.
Sebagaimana layaknya seorang investment manager, bank syariah akan
menggunakan berbagai indikator ekonomi dan keuangan yang dapat
mencerminkan kinerja dari sektoral tersebut untuk menghitung
ekspektasi/proyeksi return investasi. Termasuk juga indikator historis (track
record) dari aktivitas investasi bank syariah yang telah dilakukan, yang
tercermin dari nilai rata-rata dari seluruh jenis pembiayaan iB yang selama ini
telah diberikan ke sektor riil. Dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat
22 Dengan pembiayaan yang diberikan tersebut bisa meningkatkan return atau tidak.
36
diperoleh besarnya pendapatan investasi dalam bentuk equivalent rate yang
akan dibagikan kepada nasabah.23
Skema Mudharabah24
Gambar 2.1. Skema Pembiayaan Mudharabah
6. Kerugian dan Berakhirnya Akad Mudharabah
23 Menghitung Bagi Hasil iB, diakses pada tanggal 25 Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/D6B8DE61-4B67-4C34-BCB3-4959A394CE1C/17636/Menghitung_Bagi_Hasil_iB.pdf
24 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, (Jakarta: Tazkia Institute, 1999), h. 153
37
Kerugian dalam mudharabah adalah ketidakmampuan mudharib
dalam membayar cicilan pokok senilai pembiayaan yang telah diterimanya
atau jumlah seluruh cicilan lebih kecil dari pembiayaan yang telah
diterimanya. Kerugian ditanggung oleh pemilik modal, kecuali akibat:
a. Nasabah melanggar syarat yang telah disepakati;
b. Nasabah lalai dalam menjalankan modalnya;25
Pemilik modal tidak boleh mensyaratkan kepada mudharib untuk
menanggung kerugian yang akan terjadi, karena ia adalah orang yang
mendapatkan amanah (amin) sedangkan orang yang mendapatkan amanah tidak
menanggung atas suatu kerugian. Dan apabila terjadi kesepakatan yang
demikian, maka akad qiradh menjadi rusak (fasid) karena menyalahi aturan
dalam qiradh.26
Akad mudharabah dinyatakan berakhir atau batal dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Masing-masing pihak menyatakan batal, atau pekerja dilarang untuk
bertindak hukum terhadap modal yang diberikan, atau pemilik modal
menarik modalnya.
b. Salah seorang yang berakad meninggal dunia.
25 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah,
(Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 74
26 Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani, Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 2004), h. 98
38
c. Salah seorang yang berakad gila, karena orang gila tidak cakap lagi
bertindak hukum.
d. Pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam), menurut Imam Abu
Hanifah, akad mudharabah batal.27
e. Modal habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola oleh mudharib.
B. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS)
1. Pengertian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS)
FPJPS adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia kepada bank
syariah yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan. FPJPS
mempunyai tujuan sebagai penyediaan plafond pendanaan yang hanya dapat
digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek. Kesulitan
jangka pendek adalah keadaan yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk
yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana masuk yang lebih kecil
dibandingkan dengan arus dana keluar. FPJPS hanya dapat diberikan maksimum
sebesar kewajiban yang tidak dapat diselesaikan oleh bank syariah pada saat
penyelesaian akhir.28
27 Abdul Azis Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 1198.
28 Wirdyaningsih, et.al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h. 152
39
2. Konsep Dasar Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS)
Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim
keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LLR).
LLR atau lender of the last resort inilah yang menjadi konsep dasar dari
penetapan FPJPS. Konsep dasar FPJPS ini merupakan konsep LLR (Lender of
The Last Resort).
Lender of the last resort (LLR) dapat didefinisikan sebagai fasilitas
likuiditas yang diberikan secara diskresioner kepada suatu lembaga keuangan
(atau pasar secara keseluruhan) oleh bank sentral sebagai respon terhadap suatu
gejolak yang mengganggu, yang menimbulkan peningkatan permintaan yang
berlebihan terhadap likuiditas yang tidak dapat dipenuhi dari sumber alternatif
(Freixas et al., 1999). Konsep LLR bermula pada awal abad ke 19 oleh Henry
Thornton (1802) yang mengemukakan elemen-elemen dasar praktik bank sentral
yang baik dalam kaitannya dengan pemberian pinjaman darurat. Kemudian,
Walter Bagehot (1873), yang lebih dikenal sebagai peletak teori LLR modern
mengembangkan karya Thornton (meskipun sama sekali tidak merujuk
namanya). Bagehot mengemukakan tiga prinsip pemberian LLR yakni: (i) beri
pinjaman jika didukung dengan agunan yang memadai (hanya untuk bank
solven); (ii) beri pinjaman dengan suku bunga pinalti (hanya untuk bank
40
illikuid); dan (iii) umumkan kesediaan untuk meminjamkan tanpa batas (untuk
meyakinkan kredibilitas).29
Penetapan kebijakan LLR di Indonesia sendiri diatur dengan Undang-
Undang30, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas LLR baik untuk kondisi
normal maupun untuk mencegah krisis sistemik. Sesuai pasal 11 ayat 1 dan 2
Undang-Undang tersebut LLR untuk kondisi normal diberikan kepada Bank
untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek dalam bentuk kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari yang wajib dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi
dan mudah dicairkan yang nilai minimalnya sebesar jumlah kredit atau
pembiayaan yang diterimanya.
3. Pengaturan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS)
Pengaturan mengenai Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah
(FPJPS) tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/24/PBI/2009
Pengganti Peraturan Bank Indonesia No. 7/23/PBI/2005 tentang perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia No. 5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan
jangka Pendek bagi Bank Syariah.
29 Sukarela Batunanggar, Jaring Pengaman Keuangan : Kajian Literatur dan Praktiknya di
Indonesia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, diakses pada 18 Februari 2010 dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/E9161ADE-FA45-47E6-B8DC-540D9FC6BBD4/8042/03jpk.pdf
30 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 2004
41
4. Karakteristik Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS)
Karakteristik FPJPS sebagai berikut :
a. Merupakan pelaksanaan fungsi Bank Indonesia sebagai The Lender of Last
Resort;
b. Diberikannya FPJPS bagi bank syariah atau unit usaha syariah Bank
Konvensional yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek karena
system kliring dan/atau karena pemakaian fasilitas pendanaan dalam rangka
Real Time Gross Settlement (RTGTS) Bank Indonesia;
c. Bank syariah atau unit usaha syariah Bank Konvensional pemohon harus
memenuhi tingkat kesehatan secara keseluruhan “Cukup Sehat” (CS)
sekurang-kurangnya dalam 3 (tiga) bulan terakhir dan “Sehat” (S) dalam
permodalan;
d. Bersifat likuid dengan kualitas agunan yang tinggi, mudah dicairkan dan
tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan tercatat di bank Indonesia;
e. Agunan yang dapat dijaminkan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(SWBI) dan surat berharga lainnya atau tagihan lainnya;
f. Besarnya imbalan FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai nominal investasi,
tingkat realisasi imbalan, nisbah bagi hasil Bank Indonesia, dan jumlah
penggunaan fasilitas tersebut.
g. Mekanisme Operasional FPJPS; Penggunaan FPJPS dilakukan dengan
alasan karena apabila saldo negatif tersebut tidak dapat ditutup sampai
42
dengan pukul 09.00 WIB hari kerja berikutnya, maka bank tersebut dapat
dikenakan sanksi penghentian sementara dari kliring local Bank Indonesia.
Rumus perhitungan besarnya imbalan FPJPS adalah sebagai berikut :
X = P x R x k x t/360
Keterangan :
X = Besarnya imbalan yang diterima Bank Indonesia
P = Jumlah nominal FPJPS
R = Realisasi tingkat imbalan sebelum didistribusikan pada bulan terakhir
atas deposito mudharabah 1 bulan bank penerima FPJPS dalam hal deposito
mudharobah 3 bulan tidak tersedia.
k = Nisbah bagi hasil Bank Indonesia.
t = Jumlah hari kalender penggunaan FPJPS.
5. Perkembangan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS)
sampai saat ini
Sebagai sebuah negara yang perekonomiannya terbuka, Indonesia tak
luput dari imbas krisis keuangan yang berawal dari Amerika Serikat, yang
menerpa negara-negara lainnya, dan kemudian meluas menjadi krisis ekonomi
secara global yang dirasakan sejak semester kedua tahun 2008. International
Monetary Fund (IMF) memperkirakan terjadinya perlambatan pertumbuhan
ekonomi dunia dari 3,9% pada 2008 menjadi 2,2% pada tahun 2009.
Perlambatan ini tentu saja mempengaruhi kinerja ekspor nasional, yang pada
43
akhirnya berdampak kepada laju pertumbuhan ekonomi nasional. Kasus yang
masih hangat di benak kita akibat krisis global tersebut adalah pemberian FPJP
(Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek) bagi Bank Century.
Eksposure pembiayaan perbankan syariah yang masih lebih diarahkan
kepada aktivitas perekonomian domestik, sehingga belum memiliki tingkat
integritas yang tinggi dengan sistem keuangan global dan belum memiliki
tingkat sofistikasi yang tinggi adalah dua faktor yang “menyelamatkan” bank
syariah dari dampak langsung guncangan ekonomi global.31
Eksposure pembiayaan perbankan syariah tersebut yang menjadi salah
satu indikator yang menjadi alasan belum digunakannya Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Syariah (FPJPS) oleh Bank Syariah hingga saat ini, bahkan
ketika terjadi krisis finansial global.
Indikator lain yang menjadi alasan belum digunakannya Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) adalah pertumbuhan Bank Syariah
di Indonesia yang cukup baik, yang tergambar dalam Tabel Rasio32 Keuangan
Bank Syariah dan Bank Umum Syariah serta Penempatan pada Bank Indonesia
31 Bank Syariah: Lebih Tahan Krisis Global, diakses pada tanggal 20 Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2FA608A9-DDFE-4551-884D-D0B9D5965572/17639/Perbankan_Syariah_Lebih_Tahan_Krisis_Global.pdf
32 Dalam mengadakan interpretasi dan analisa laporan finansiil suatu perusahaan, seorang penganalisa finansiil memerlukan adanya ukuran atau “yard-stick” tertentu. Ukuran yang sering digunakan dalam analisa finansiil adalah “rasio”. Pengertian rasio itu sebenarnya hanyalah alat yang dinyatakan dalam “arithmetical terms” yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara dua macam data finansiil.
44
di bawah ini, yang menjadi faktor untuk menganalisis tingkat kesehatan Bank
Syariah.33
Dari tabel tersebut, dapat diketahui Bank Umum Syariah memiliki posisi
modal yang baik, yang dilihat dari rasio CAR (Capital Adiquacy Ratio) yang
melebihi angka 8%.
Selain itu dari Financing to Deposit Ratio (FDR) sebagai perbandingan
antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak ketiga yang
berhasil dikerahkan oleh bank, menunjukkan bahwa tingkat likuiditas bank
syariah di Indonesia cukup likuid yang ditandai dengan nilai FDR tidak melebihi
angka 110%. Karena berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.26/5/BPPP
besarnya Financing to Deposit Ratio tidak boleh melebihi 110%.34
33 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005),
h. 54.
34 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 55.
47
BAB III
PROFIL SINGKAT BANK INDONESIA
A. Gambaran Umum Bank Indonesia sebagai Lembaga Otoritas yang
Menaungi Kebijakan
1. Status dan Kedudukan Bank Indonesia1
:: Lembaga Negara yang Independen
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. dimulai ketika sebuah
undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan
berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009. Undang-undang ini memberikan status
dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah
dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-
undang ini.
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan
melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan
1Status dan Kedudukan Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Status+dan+Kedudukan/
48
tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau
mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia
dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih
efektif dan efisien.
:: Sebagai Badan Hukum
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum
perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank
Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan
pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai
dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia
dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.
2. Dewan Gubernur Bank Indonesia2
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Bank Indonesia dipimpin oleh
Dewan Gubernur. Dewan ini terdiri atas seorang Gubernur sebagai pemimpin,
dibantu oleh seorang Deputi Gubernur Senior sebagai wakil, dan sekurang-
kurangnya empat atau sebanyak-banyaknya tujuh Deputi Gubernur. Masa jabatan
2 Dewan Gubernur Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Dewan+Gubernur/
49
Gubernur dan Deputi Gubernur selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali dalam
jabatan yang sama untuk sebanyak-banyaknya 1 kali masa jabatan berikutnya.
Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur diusulkan dan
diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Calon Deputi Gubernur
diusulkan oleh Presiden berdasarkan rekomendasi dari Gubernur Bank Indonesia.
(vide Pasal 41 UU No.3 Tahun 2004 yang mengubah UU No.23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia). Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak dapat
diberhentikan oleh Presiden, kecuali bila mengundurkan diri, terbukti melakukan
tindak pidana kejahatan, tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
dinyatakan pailit atau tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur, atau
berhalangan tetap.
:: Pengambilan Keputusan
Sebagai suatu forum pengambilan keputusan tertinggi, Rapat Dewan
Gubernur diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan untuk
menetapkan kebijakan umum di bidang moneter, serta sekurang-kurangnya sekali
dalam seminggu untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan moneter
atau menetapkan kebijakan lain yang bersifat prinsipil dan strategis. Pengambilan
keputusan dilakukan dalam Rapat Dewan Gubernur, atas dasar prinsip
musyawarah demi mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai, Gubernur
menetapkan keputusan akhir.
50
3. Misi, Visi, dan Sasaran Strategis Bank Indonesia3
:: Misi
Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan
moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan
nasional jangka panjang yang berkesinambungan.
:: Visi
Menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya (kredibel) secara nasional
maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta
pencapaian inflasi yang rendah dan stabil.
:: Nilai-Nilai Strategis
Kompetensi - Integritas - Transparansi - Akuntabilitas - Kebersamaan (KITA -
Kompak)
:: Sasaran Strategis
Untuk mewujudkan Misi, Visi dan Nilai-nilai Strategis tersebut, Bank Indonesia
menetapkan sasaran strategis jangka menengah panjang, yaitu :
1. Terpeliharanya Kestabilan Moneter
2. Terpeliharanya Stabilitas Sistem Keuangan
3. Terpeliharanya kondisi keuangan Bank Indonesia yang sehat dan akuntabel
4. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen moneter
3 Misi, Visi dan Sasaran Strategis Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Misi+dan+Visi/
51
5. Memelihara SSK : (i) melalui efektifitas pengaturan dan pengawasan bank,
surveillance sektor keuangan, dan manajemen krisis serta (ii) mendorong
fungsi intermediasi
6. Memelihara keamanan dan efisiensi sistem pembayaran
7. Meningkatkan kapabilitas organisasi, SDM dan sistem informasi
8. Memperkuat institusi melalui good governance, efektivitas komunikasi dan
kerangka hukum
9. Mengoptimalkan pencapaian dan manfaat inisiatif Bank Indonesia
4. Tujuan dan Tugas Bank Indonesia4
:: Tujuan Tunggal
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan
tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai
rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap
barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua
tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.
Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang
harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan
4 Tujuan dan Tugas Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/
52
demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat
diukur dengan mudah.
:: Tiga Pilar Utama
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang
merupakan tiga bidang tugasnya, yaitu:
a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
c. Mengatur dan mengawasi bank.
Ketiga bidang tugas tersebut perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.
5. Sekilas Perjalanan Sejarah Bank Indonesia5
1828: De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank
sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang.
1953: Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank
Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral,
dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan system pembayaran.
Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya
5 Sekilas Perjalanan Sejarah Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/86CE0C47-626D-49A6-989C-125F12C9F938/18316/07_sejarah_rev.pdf
53
dengan pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan De
Javasche Bank sebelumnya.
1968: Undang-Undang Bank Sentral mengatur kedudukan dan tugas Bank
Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang melakukan
fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank Indonesia juga
bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong
kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna
meningkatkan taraf hidup rakyat.
1999: Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU No. 23/1999
yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah.
2004: Undang-Undang Bank Indonesia diamandemen dengan fokus pada aspek
penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia,
termasuk penguatan governance.
2008: Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (PerPPU) No.2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya
menjaga stabilitas sistem keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk
meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam menghadapi krisis global
melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan Jangka
Pendek dari Bank Indonesia.
54
6. Peran BI terhadap Bank Syariah
Berdasarkan UU Perbankan yang diubah, yang ditindaklanjuti dengan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR dan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/KEP/DIR, maka pengawasan umum
terhadap Bank Syariah dilakukan oleh Bank Indonesia, sama seperti Bank
Konvensional pada umumnya. Bank Indonesia bertindak mengawasi bank syariah
selaku pemegang otoritas dan pengawas bank. Di samping itu, secara internal
bank syariah diawasi pula oleh Dewan Komisaris, Dewan Pengawas, atau
Pengawas Bank yang bersangkutan.6
Berlakunya UU No. 10 Tahun 1998 menunjukkan komitmen Bank Indonesia
dalam pengakuan dan pengembangan akan keberadaan bank syariah dan bank
konvensional di tanah air. Tidak lama setelah itu, Bank Indonesia membentuk
komite pengarah, komite ahli, dan komite kerja pengembangan perbankan
syariah. Komite-komite inilah yang merumuskan Cetak Biru pengembangan
perbankan syariah di Indonesia sampai pada tahun 2011 yang kemudian menjadi
program kerja di Biro Perbankan Syariah yang sekarang menjadi Direktorat
Perbankan Syariah.7 Adapun tahapan dalam realisasi Blue Print BI 2002-2011
adalah:
6 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002), h. 57 7 Miftakhussurur, Kebijakan Perbankan Bank Indonesia dalam Upaya Meningkatkan Aset
Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. 1, No. 2, Juni 2007, h. 50-51
55
a. Tahap pertama (2002-2004), dalam tahap ini inisiatif-inisiatif difokuskan
untuk meletakkan landasan yang kuat bagi pertumbuhan perbankan syariah
yang sehat dan berkelanjutan.
b. Tahap kedua (2004-2008), dalam tahap ini, fokus sasaran yang ingin dicapai
adalah memperkuat struktur industri perbankan syariah.
c. Tahap ketiga (2008-2011), pada tahap ini, semua stakeholder perbankan
syariah harus berupaya untuk meningkatkan standar kinerja keuangan dan
kualitas pelayanan bank syariah setingkat dengan bank-bank syariah
internasional.
7. Posisi Bank Indonesia dalam Skema Ketata-Negaraan Indonesia
Gambar 3.1. Independensi Bank Indonesia dalam Skema Ketatanegaraan
Presiden UU UU
PBI
KEPALA
LPND
BADAN NEGARA
SETINGKAT KEMENTRIAN:
BANK
MENTERI NEGARA
MENTERI DEPARTEME
N DEPKEU
MENTERI KOORDINAT
OR
PEMERINTAH PUSAT
56
Keterangan Gambar/Skema :8 Kedudukan Bank Indonesia adalah sebagai Badan Negara setingkat kementrian, Bank Indonesia dipimpin oleh seorang pejabat setingkat Menteri yang disebut Gubernur BI. Hubungan Presiden (pemerintah) dengan Bank Indonesia adalah hubungan koordinatif dan bukan merupakan hubungan sub-ordinatif yang bersifat komando. Bank Indonesia bersifat independen dalam menetapkan kebijakan moneter. Bank Indonesia berada di luar struktur cabinet pemerintahan (Presiden) dan bersifat mandiri, namun secara teoritis tetap merupakan bagian dalam lingkup kerja lembaga eksekutif. Garis putus-putus dari Presiden ke BI dalam gambar tersebut menunjukkan tidak adanya garis komando langsung (no chain of command) dari kedua lembaga tersebut, melainkan hanya hubungan kooordinatif dalam kebijakan keuangan Negara yang menyangkut moneter. Jadi, dalam perspektif Hukum Tata Negara, secara structural terlihat tidak berdiri sendiri tetapi tetap dalam lingkup kerja eksekutif, namun sebenarnya BI berwenang sepenuhnya melaksanakan kebijakan moneter. Dengan demikian BI tetap dikatakan sebagai Bank Sentral yang independen (otonom secara structural khusus dalam fungsi kebijakan moneter). Gubernur BI bukan bagian dari cabinet pemerintah, namun wajib hadir dalam rapat kabinet bila diminta dalam pembahasan yang berakitan dengan kebijakan perekonomian yang menyangkut moneter. Harus ditegaskan bahwa kekuasaan eksekutif (presiden) dalam bidang moneter telah di delegasikan otoritasnya kepada institusi Bank Sentral. Dalam hal ketentuan normatif perundang-undangan, kedudukan PBI (Peraturan BI) tidak sejajar dengan PP, sebagai konsekuensi tidak sejajarnya kedudukan Gubernur BI dan Presiden. PBI dapat lahir dari UU maupun PP.
B. SEJARAH LAHIRNYA KEBIJAKAN FASILITAS PENDANAAN
JANGKA PENDEK SYARIAH (FPJPS)
Kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah pertama kali ditetapkan
dalam PBI No: 5/3/PBI/2003 dengan istilah Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek
8 Hendra Nurtjahjo, dkk., Eksistensi Bank Sentral dalam Konstitusi Berbagai Negara,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002), h. 90
57
Bagi Bank Syariah. Alasan dari penetapan kebijakan tersebut adalah bahwa dalam
menjalankan kegiatan usahanya bank syariah dapat menghadapi resiko kesulitan
pendanaan jangka pendek disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih
kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dan bahwa untuk mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek tersebut, Bank Indonesia sebagai the lender of last
resort dapat memberikan pembiayaan kepada Bank Syariah yang dijamin dengan
agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Selain itu, kebijakan FPJPS juga
ditetapkan setelah berkaca pada krisis perbankan pada tahun 1997-1998 yang
melanda Indonesia dan khususnya berdampak pada beberapa bank yang kollaps
dan akhirnya harus di likuiditas.
Sebelum terjadinya krisis perbankan pada tahun 1997, berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Bank Indonesia No. 13 Tahun 1968 untuk menghadapi bank-
bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek akibat terjadinya
mismatch dalam pengelolaan dana maupun untuk kesulitan permodalan, Bank
Indonesia dapat menyediakan bantuan berupa Kredit Likuiditas Darurat. Pasal 32
ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 menyebutkan bahwa Bank
Indonesia dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapinya dalam keadaan darurat.
Selanjutnya, dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, disebutkan bahwa
sebagai Lender of The Last Resort Bank Indonesia dapat memberikan kredit
58
likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang
dihadapinya dalam keadaan darurat.
Setelah terjadi krisis, pemerintah dan Bank Indonesia mengalami
kekhawatiran apabila fungsi Lender of The Last Resort tersebut digunakan untuk
menanggulangi kesulitan keuangan yang sistemik. Oleh karena itu, perumusan
Lender of The Last Resort dalam pembaharuan undang-undang Bank Indonesia,
yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 dalam Pasal 11 menjadi amat terbatas.
Ketentuan Pasal 11 ini mengatur sebagai berikut.
Ayat (1): Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh)
hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang
bersangkutan.
Ayat (2): Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank penerima
dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya
minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.
Ayat (3): Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
Setelah beberapa waktu berjalan, pemerintah menyadari bahwa ketentuan
pasal 11 tersebut dapat mengulang kembali kondisi krisis karena tidak cukup
tersedianya fungsi Lender of The Last Resort yang dapat merespon situasi krisis,
59
sementara bercermin pada pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau
BLBI yang ditujukan untuk menanggulangi krisis tetapi kemudian banyak
dipermasalahkan, antara lain karena belum terdapat kejelasan landasan hukum
yang menegaskan bahwa kesulitan keuangan yang bersifat sistemik dapat
diberikan pembiayaan darurat oleh Bank Indonesia yang dananya menjadi beban
pemerintah.9 Oleh karena itu, dalam amandemen Undang-Undang Bank
Indonesia No. 3 Tahun 2004, ketentuan pasal 11 tersebut dilengkapi dengan ayat
(4) dan (5) sebagai berikut.
Ayat (4) : Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang
berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan
sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat
yang pendanaannya menjadi beban pemerintah.
Ayat (5) : Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan
keuangan yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan
sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
diatur dalam Undang-Undang tersendiri yang ditetapkan selambat-lambatnya
akhir tahun 2004.
Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2
Tahun 2008 tanggal 13 Oktober 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, dilakukan perubahan pada
9 Kusumaningtuti SS., Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 71
60
Pasal 11 ayat (2) yang menghilangkan kata-kata dan mudah dicairkan, dan pada
Pasal 11 ayat (5) yang menghilangkan kata-kata yang ditetapkan selambat-
lambatnya akhir tahun 2004.10
Dengan demikian, seluruh bunyi Pasal 11 Ayat (2) menjadi: ”Pelaksanaan
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang
berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan
yang diterimanya”. Dan seluruh bunyi Pasal 11 ayat (5) menjadi : ”Ketentuan dan
tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan bank yang
berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber
pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur
dalam Undang-Undang tersendiri”.11
Latar belakang perubahan tersebut dikemukakan dalam Penjelasan Umum
Perpu No. 2 Tahun 2008 tersebut, yaitu: ”Adanya krisis keuangan akhir-akhir ini
di Amerika Serikat yang merupakan krisis terbesar sejak krisis tahun 1929 telah
memaksa pemerintah Amerika Serikat memberikan dana talangan atau bantuan
likuiditas kepada industri keuangan yang bermasalah sebesar USD 700 miliar.
Krisis keuangan ini dipicu dari masalah pembiayaan kredit properti (subprime
10 Kusumaningtuti SS., Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 72 11 Undang-Undang Jaring Pengaman Keuangan yang dimaksud Pasal 11 ayat (5) hingga tahun
2008 ini belum terbentuk sehingga kata-kata yang ditetapkan selambat-lambatnya akhir tahun 2004 tidak sesuai lagi dan perlu dihilangkan.
61
mortage) yang dilakukan kurang hati-hati. Dampak krisis keuangan ini berimbas
pada berbagai negara termasuk Indonesia karena sistem global saling
interdepensi. Pemerintah Indonesia sudah, tengah dan akan terus melakukan
berbagai langkah antisipasif dan mengambil langkah-langkah responsif dalam
membendung dampak krisis keuangan Amerika Serikat sehingga stabilitas
keuangan tetap terpelihara”.
Hal tersebut pulalah yang menjadi dasar untuk mengatur kembali ketentuan
mengenai Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum Syariah melalui
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009. Latar belakang penetapan
Peraturan Bank Indonesia tersebut dikemukakan dalam Penjelasan Umum
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009, yaitu: ”Salah satu pengaruh
dari krisis keuangan global tersebut adalah meningkatnya potensi keraguan
masyarakat terhadap sistem perbankan termasuk perbankan syariah yang ditandai
antara lain dengan meningkatnya kepanikan masyarakat dalam menyikapi krisis.
Sementara itu, kepercayaan masyarakat merupakan salah satu prasyarat utama
yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan yang stabil. Dengan
memperhatikan hal-hal tersebut di atas diperlukan langkah-langkah tertentu dalam
mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan upaya untuk menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan syariah.”
Selain itu, latar belakang diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/24/PBI/2009 adalah untuk memberikan landasan hukum yang lebih jelas
62
antara lain mengenai persyaratan dan tata cara permohonan Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Syariah (FPJPS) bagi Bank Umum Syariah termasuk pengaturan
pelunasan dan eksekusi agunan serta pengawasannya.12
12 http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/pbi_112409.htm diakses pada tanggal 25
Juli 2010.
63
BAB IV
KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH DALAM FPJPS
A. Ketentuan Umum Akad Mudharabah Berdasarkan Fatwa No: 07/DSN-
MUI/IV/2000
• Ketentuan Pembiayaan
1. Pembiayaan untuk suatu usaha yang produktif
2. Shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek
(usaha), sedangkan pengusaha bertindak sebagai mudharib atau pengelola
usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kedua belah pihak.
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati
bersama dan sesuai dengan syariah; dan shahibul maal (pemilik dana) tidak
ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak
untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai
bukan piutang.
6. Shahibul maal menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali
jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, dan
menyalahi perjanjian.
64
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun
agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, shahibul maal dapat meminta
jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan
apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah
disepakati bersama dalam akad. Hal ini disebut dengan istilah jaminan
khianat, diperbolehkan oleh ulama mazhab Maliki dan Islamic Fiqh Academy,
begitu juga dengan jaminan dari pihak ketiga.1
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian
keuntungan diatur oleh shahibul maal dengan memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang dana tidak melakukan kewajiban atau melakukan
pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau
biaya yang telah dikeluarkan.
• Rukun dan Syarat Pembiayaan2
1. Shahibul maal dan mudharib harus cakap hukum
2. Pernyataan ijab dan kabul dengan memperhatikan:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan
kontrak (akad).
b. Penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat kontrak.
1Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 352
2 Zainul Arifin, Produk Bank Syariah, (Jakarta: Pelatihan Dasar Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2007), h. 39
65
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau asset yang diberikan oleh shahibul maal
kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat:
a. Harus diketahui jumlah dan jenisnya
b. Dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika dalam bentuk asset,
harus dinilai pada waktu akad
c. Tidak berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik
secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari
modal, dengan syarat yang harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan untuk
satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan
dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk
prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah
harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan
pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan
dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib) sebagai perimbangan modal yang
disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan:
66
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan
penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian
rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu
keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya
yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan
yang berlaku dalam aktifitas itu.
• Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan
1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan kontrak sebuah kejadian di
masa depan yang belum terjadi.
3. Pada dasarnya dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya
akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. Jika memang modal
tersebut habis bukan karena kelalaian pihak mudharib, maka ia tidak memiliki
tanggung jawab untuk menggantinya. Karena pada hakekatnya, mudharib
merupakan wakil/pengganti dari pemilik dana dalam mengelola modal
tersebut, mudharib tidak berkewajiban mengganti jika bukan karena
kelalaian.3
3 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 352
67
4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
B. Ketentuan Umum Akad Mudharabah dalam Kebijakan FPJPS
Dalam Bab II (Persyaratan dan Tata Cara Permohonan FPJPS) PBI No.
11/24/PBI/2009, Pasal 3 disebutkan bahwa ”FPJPS yang diterima oleh Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berdasarkan akad Mudharabah”.
Akad mudharabah tersebut dijelaskan berdasarkan Bab I (Ketentuan Umum) PBI
No. 11/24/PBI/2009, bahwa mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana
dengan pengelola dana untuk memelihara likuiditas Bank.
1. Pemenuhan rukun dan syarat mudharabah dalam FPJPS:
a. Yang bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana) adalah Bank
Indonesia.4
b. Yang bertindak sebagai mudharib (pengelola) adalah Bank Umum
Syariah, yang selanjutnya disebut Bank, yang mengalami kesulitan
pendanaan jangka pendek.5
4 Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
5 Kesulitan pendanaan jangka pendek adalah suatu kondisi yang dialami Bank yaitu arus dana masuk lebih kecil dibandingkan denga arus dana ke luar yang dapat menimbulkan tidak terpenuhinya kewajiban GWM dalam mata uang rupiah pada Bank.
68
c. Pernyataan ijab dan kabul di nyatakan dalam pasal 10 ayat (2) PBI No.
11/24/PBI/2009;
”Persetujuan pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJPS antara Bank Indonesia
dengan Bank penerima FPJPS”.
d. Modal yang diberikan dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 2 ayat (4),
dan Pasal 10 ayat (4) PBI No. 11/24/PBI/2009, yang masing-masing
disebutkan;
Pasal 2 ayat (3); ”Plafon FPJPS diberikan berdasarkan perkiraan jumlah
likuiditas sampai Bank memenuhi GWM dalam mata uang rupiah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku”.
Pasal 2 ayat (4); ”Pencairan FPJPS dilakukan sebesar kebutuhan Bank
untuk memenuhi kewajiban GWM dalam mata uang rupiah”.6
Pasal 10 ayat (4); ”Realisasi pemberian FPJPS oleh Bank Indonesia
dilakukan melalui rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada
Bank Indonesia”.
e. Keuntungan mudharabah disebutkan dalam Bab III (Perhitungan Imbalan)
PBI No. 11/24/PBI/2009;
6 Persentase giro wajib minimum (GWM) di Bank Indonesia dalam Rupiah ditetapkan sebesar
5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah; Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 56
69
(1) Bank Indonesia memperoleh imbalan atas setiap FPJPS yang diterima
oleh Bank.
(2) Besarnya imbalan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan jumlah pokok FPJPS, tingkat realisasi imbalan,
nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia dan jumlah hari kalender
penggunaan FPJPS.
(3) Besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh
persen).
f. Kegiatan usaha oleh pengelola tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) PBI No.
11/24/PBI/2009;
”Bank Umum Syariah, yang selanjutnya disebut Bank adalah bank
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran”.
2. Ketentuan lain pembiayaan mudharabah dalam FPJPS:
a. Pembiayaan mudharabah dalam FPJPS tersebut disyaratkan ada
penyertaan jaminan/agunan di dalamnya. Yang tertuang secara jelas dalam
Bab II (Persyaratan dan Tata Cara Permohonan FPJPS) Pasal 4 PBI No.
11/24/PBI/2009;
”FPJPS wajib dijamin oleh Bank dengan agunan yang berkualitas tinggi
yang nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini”.
70
Yang untuk selanjutnya mengenai agunan pembiayaan mudharabah dalam
FPJPS secara terperinci diatur dalam pasal 5, pasal 6, pasal 7, dan pasal 8
PBI No. 11/24/PBI/2009.
b. Pembiayaan mudharabah dalam FPJPS dibatasi pada periode tertentu,
yang tertuang dalam Pasal 12 PBI No. 11/24/PBI/2009;
(1) Jangka waktu setiap FPJPS paling lama 14 (empat belas) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJPS keseluruhan paling
lama 90 (sembilan puluh) hari.
C. Analisa Penerapan Akad Mudharabah Berdasarkan Fatwa No: 07/DSN-
MUI/IV/2000 dalam Kebijakan FPJPS.
1. Penetapan Bagi Hasil oleh Bank Indonesia sebesar 90%.
Salah satu ketentuan dalam Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah yang
menjadi perhatian adalah terkait dengan penetapan Bagi Hasil oleh Bank
Indonesia selaku pemilik modal (shahibul maal). Dalam pasal 15 ayat (3)
disebutkan “Besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh persen)”.
Dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut:7
X = P x R x k x t/360
7 Surat Edaran Bank Indonesia Tentang Tata Cara Pemberian FPJPS Bagi Bank Syariah No.
6/9/DPM.
71
Dimana:
X = Besarnya nilai imbalan yang diterima Bank Indonesia
P = Jumlah nominal FPJPS
R = Realisasi tingkat imbalan sebelum didistribusikan pada bulan terakhir atas
deposito mudharabah 3 (tiga) bulan atau deposito mudharabah 1 (satu) bulan
dari Bank Syariah atau UUS penerima FPJPS dalam hal deposito mudharabah
tiga (tiga) bulan tidak tersedia.
k = Nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia
t = Jumlah hari kalender penggunaan FPJPS
Contoh 1 perhitungan imbalan:
P = Rp.200.000.000.000,00
R = 10%
k = 90%
t = 1
Maka besarnya nilai imbalan :
= Rp.200.000.000.000,00 x 10% x 90% x 1/360
= Rp.50.000.000
Contoh 2 perhitungan imbalan :
Dalam hal pengajuan FPJPS pada hari jumat maka jangka waktu penggunaan
FPJPS dihitung 1 (satu) hari namun perhitungan imbalan FPJPS dihitung 3 (tiga)
hari.
P = Rp.200.000.000.000,00
72
R = 10%
k = 90%
t = 3
Maka besarnya nilai imbalan :
= Rp.200.000.000.000,00 x 10% x 90% x 3/360
= Rp.150.000.000
Dan untuk setiap perpanjangan FPJPS, nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia (k)
akan ditambah sebesar 2,25%, dengan nilai maksimum k menjadi sebesar 99%.
Dengan demikian, maka pada saat:
a. Perpanjangan FPJPS pertama, nisbah bagi hasil menjadi sebesar 92,25%;
b. Perpanjangan FPJPS kedua, nisbah bagi hasil menjadi 94,50%;
c. Perpanjangan FPJPS ketiga, nisbah bagi hasil menjadi 96,75%;
d. Perpanjangan FPJPS keempat dan seterusnya, nisbah bagi hasil menjadi
sebesar 99%.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa Bank Syariah yang
mengajukan FPJPS harus menerima ketentuan bahwa bagi hasil bagi Bank
Indonesia ditetapkan sebesar 90%. Dengan kata lain tidak ada tawar menawar
antara kedua belah pihak, yaitu Bank Indonesia sebagai shahibul maal dan Bank
Syariah yang mengajukan FPJPS sebagai mudharib. Sedangkan dalam ketentuan
Mudharabah berdasarkan Fatwa No: 07/DSN-MUI/IV/2000 disebutkan bahwa
Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari
modal, dengan syarat yang harus dipenuhi: Bagian keuntungan proporsional bagi
73
setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan
harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan.
Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. Maka, berdasarkan komparasi
antara dua ketentuan tersebut, memberi kesan bahwa Bank Indonesia menetapkan
secara sepihak perihal tentang prosentase nisbah bagi Bank Indonesia sebesar
90%.
Analisis
Konsep dasar pemberian FPJPS tersebut adalah Jaring Pengaman Keuangan
(financial safety net). Jaring Pengaman Keuangan merupakan salah satu pilar
utama stabilitas sistem keuangan. Jaring pengaman keuangan (JPK) mencegah
bank run, meminimalkan kemungkinan terjadinya krisis keuangan, dan
mengurangi frekuensi dan dampak kontraksi ekonomi. Secara lebih sempit, JPK
biasanya dibatasi pada lender of last resort.
Walter Bagehot (1873), yang lebih dikenal sebagai peletak teori LLR,
mengemukakan tiga prinsip pemberian LLR yakni: (i) beri pinjaman jika
didukung dengan agunan yang memadai (hanya untuk bank solven); (ii) beri
pinjaman dengan suku bunga pinalti (hanya untuk bank illikuid); dan (iii)
umumkan kesediaan untuk meminjamkan tanpa batas (untuk meyakinkan
kredibilitas).
Pemberian fasilitas dalam bentuk bantuan likuiditas dari BI dalam fungsinya
sebagai LLR tersebut, mengandung unsur hukuman atau penalty, agar bank tidak
mudah menggunakan fasilitas ini, untuk menjaga timbulnya moral hazard.
74
Bagi bank, penggunaan kebijakan ini adalah langkah terakhir untuk mengatasi
masalah likuiditas akibat mismatch, karena dalam kondisi normal hal ini
dipandang sebagai tindakan yang menunjukkan kelemahan bank yang
bersangkutan kepada bank-bank lain, bahwa bank tersebut tidak dipercaya
meminjam dana jangka pendek dari sesama bank.8 Maka ditetapkanlah suku
bunga yang tinggi dibanding pasar, seperti pada kebijakan Fasilitas Diskonto.
Penetapan imbalan yang tinggi tersebut berlaku pula bagi kebijakan FPJPS
yang diperuntukkan bagi bank umum syariah, yang notabene merupakan
kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia sebagai lender of the last resort.
Penetapan nisbah bagi hasil sebesar 90% (Sembilan puluh persen) sejalan dengan
konsep awal kebijakan LLR yang ditetapkan oleh Walter Bagehot, guna menjaga
timbulnya moral hazard.
Selain itu, penetapan nisbah bagi hasil sebesar 90% bagi Bank Indonesia
merupakan sebuah equal treatment dengan industri perbankan secara umum,
nisbah 90% ini hitung-hitungan secara matematika nya akan sama dengan
kompensasi yang dikenakan kepada industri perbankan konvensional kalau dia
dapat FPJP.9 Bank Indonesia mengenakan biaya bunga atas FPJP yang digunakan
Bank dengan tingkat bunga ditetapkan sebesar BI-Rate ditambah 100 (seratus)
8 J. Soedradjad Djiwandono, “Permasalahan BLBI” diakses pada tanggal 18 Februari 2010
dari http://www.pacific.net.id/pakar/sj/permasalahan_blbi1.html 9 Wawancara pribadi dengan Bapak Dwiyanto, Analisis Bank Madya Direktorat Perbankan
Syariah – BI, Jakarta, pada tanggal 20 Juli 2010.
75
basis poin.10 Pengenaan biaya bunga FPJP dilakukan dengan rumus sebagai
berikut:
360)()()( WaktuJangkaxFPJPBungaSukuxFPJPJumlah
Akan tetapi, jika diperhatikan dengan seksama dari proses perhitungan
imbalan FPJPS, nilai P dari contoh perhitungan tersebut adalah Jumlah nominal
FPJPS. Esensi dari perhitungan bagi hasil, prosentase nisbah tersebut seharusnya
tidak dikalikan dengan pokoknya, tetapi dari besarnya keuntungan ataupun
proyeksi keuntungan. Maka, dengan kata lain, perhitungan imbalan tersebut sama
dengan pengenaan biaya bunga pada FPJP. Selain itu, perhitungan imbalan
tersebut telah melanggar kaidah dalam akad mudharabah sendiri yaitu tidak boleh
menentukan keuntungan yang dipastikan.
2. Penggunaan Akad Mudharabah yang Pada Dasarnya Akad ini Bersifat
Amanah (yad al-amanah).
Dalam Fatwa No: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Mudharabah disebutkan
bahwa “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah,
dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari
kesalahan disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan”.
10 Ringkasan Perturan Perundang-undangan Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 10/39/DPM tanggal 14 November 2008 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.
76
Pada penjelasan Fatwa No. 07/DSN-MUI/IV/2000 disebutkan:
“Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya
akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan yang
disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan. Jika memang modal tersebut
habis bukan karena kelalaian pihak mudharib, maka ia tidak memiliki tanggung
jawab untuk menggantinya. Karena pada hakikatnya, mudharib merupakan
wakil/pengganti dari pemilik dana dalam mengelola modal tersebut, mudahrib
tidak berkewajiban mengganti jika bukan karena kelalaian”.
Dalam hal bank umum syariah yang mengajukan FPJPS, resiko modal
pembiayaan tidak kembali menjadi lebih besar, karena sejak awal telah diketahui
bahwa kondisi bank tersebut dalam status illiquid, yang menjadi indikator bahwa
bank tersebut dalam kondisi tidak baik. Disamping itu, skim mudharabah ini
merupakan skim pembiayaan yang beresiko tinggi karena pemilik modal
menyerahkan seluruh modal kepada mudharib yang menjalankan seluruh usaha
dan manajemen.11 Di antara resiko tersebut adalah:12
a. Side streaming, mudharib menggunakan dana itu bukan seperti yang
disebut dalam kontrak;
b. Lalai dan kesalahan yang disengaja;
c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur;
11 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.
173 12 Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 98
77
Analisis
Bank Indonesia memiliki misi dan sasaran di sektor perbankan. Misi Bank
Indonesia adalah untuk mewujudkan iklim yang kondusif untuk pengembangan
perbankan yang sehat dalam rangka mendorong pembangunan nasional. Sistem
perbankan yang sehat ditandai oleh keberadaan lembaga-lembaga perbankan yang
mampu berfungsi secara efisien, sehat dan berkembang secara wajar, mampu
menghadapi persaingan yang semakin bersifat global, mampu melindungi secara
baik dana yang dititipkan masyarakat kepadanya, serta mampu menyalurkan dana
masyarakat di bidang-bidang usaha produktif dalam rangka pencapaian
kesejahteraan masyarakat.
Misi tersebut di atas secara operasional dijabarkan dalam sasaran yang akan
dicapai Bank Indonesia, yang salah satu diantaranya sasaran mikro ditujukan
untuk mewujudkan iklim pengembangan individual yang sehat, yang ditandai
dengan individual bank yang secara nyata memberikan perhatian terhadap
kepentingan semua pihak yang terkait dengan bank, khususnya jaminan akan hak-
hak masyarakat yang mempercayakan dananya untuk disimpan di bank.13
Berdasarkan pemaparan tentang sasaran tersebut, maka ditetapkanlah
kebijakan bantuan likuiditas oleh Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai LLR,
yang bagi bank umum syariah dalam bentuk FPJPS, sebagai sarana untuk
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan.
13 Harisman, Tugas Bank Indonesia dalam Pengawasan dan Pembinaan Perbankan Syariah
di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 20, Agustus – September 2002, h. 23.
78
Hal yang kontradiktif dengan Fatwa No. 07/DSN-MUI/IV/2000 adalah
mengenai hal biaya ganti rugi dan skim pembiayaan mudharabah yang beresiko
tinggi.
Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya
akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan yang
disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan. Dalam kebijakan FPJPS yang
merupakan bantuan likuiditas Bank Indonesia dalam perannya sebagai Bank
Sentral yang di Indonesia diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 1999. Sumber dana yang diberikan dalam bantuan likuiditas oleh Bank
Indonesia berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yang
disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Pasal 11.
Ayat (1):
Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada Bank
untuk mengatasi kesulitan jangka pendek Bank yang bersangkutan.
Ayat (4):
Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik
dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank
Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya
menjadi beban Pemerintah.
79
Ayat (5):
Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan
Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan
sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
diatur dalam undang-undang tersendiri.
Sedangkan terkait dengan pembiayaan mudharabah yang memiliki resiko
tinggi, dalam ketentuan FPJPS sendiri yang tertuang dalam PBI No.
11/24/PBI/2009, disebutkan bahwa FPJPS wajib dijamin oleh Bank dengan
agunan yang berkualitas tinggi berupa surat berharga dan aset pembiayaan
kolektibilitas lancar yang nilainya memadai.14 Nilai asset yang dijadikan agunan
diatus secara terperinci dalam PBI No. 11/24/PBI/2009 pasal 6 ayat (1) dan ayat
(2).15
Maka dengan adanya syarat agunan tersebut dapat meng-cover resiko dari
pembiayaan yang diberikan dalam FPJPS, dimana dalam hal Bank Syariah tidak
melunasi FPJPS yang telah jatuh waktu dan tidak melakukan perpanjangan
FPJPS, maka Bank Indonesia dapat melakukan eksekusi terhadap agunan FPJPS.
14 Ikhtisar PBI No. 11/24/PBI/2009, diakses dari
http://www.bi.go.id/web/id/Perturan/Perbankan/pbi_112409.htm, pada tanggal 25 Juli 2010. 15 Nilai agunan ditetapkan paling kurang 100% (seratus persen) dari plafon FPJPS.
80
Contoh Eksekusi Agunan:16
1) Pada tanggal 5 Agustus 2003, Bank Syariah A mengajukan permohonan
FPJPS sebagai berikut:
• Penitipan dalam SWBI sebesar Rp. 12.000.000.000.000,00 dalam waktu
28 hari (tanggal 1 s.d. 29 Agustus 2003);
• Jumlah permohonan FPJPS = Rp.3.000.000.000,00
• Jumlah SWBI yang diagunkan hanya sebesar Rp.5.000.000.000,00
2) Pada tanggal 6 Agustus 2003, FPJPS jatuh waktu namun Bank Syariah A
tidak mampu membayar imbalan FPJPS dan nominal FPJPS serta tidak
memperpanjang FPJPS maka agunan dieksekusi dengan perhitungan sebagai
berikut:
• Jumlah agunan dieksekusi adalah sebesar Rp.5.000.000.000,00.
• Asumsi imbalan FPJPS sebesar Rp.50.000.000,00.
• Kelebihan nilai eksekusi sebesar Rp.1.950.000.000,00
(Rp.5.000.000.000,00 – Rp.3.000.000.000,00 – Rp50.000.000,00) akan
dikembalikan kepada Bank Syariah A selambat-lambatnya pada hari kerja.
Dalam ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Mudharabah disebutkan tentang masalah jaminan, yaitu:
16 Surat Edaran Bank Indonesia Tentang Tata Cara Pemberian FPJPS Bagi Bank Syariah No.
6/9/DPM.
81
“Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun
agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari
mudharib atau pihak. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib
terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama
dalam akad”.
Ketika akad mudaharabah dipraktekkan dalam Lembaga Keuangan Syariah,
jaminan tersebut diperuntukkan untuk menjaga kepercayaan nasabah yang
menitipkan dananya, karena notabene dana yang dijadikan modal pembiayaan
mudharabah tersebut merupakan dana pihak ketiga yang harus dijaga oleh
Lembaga Keuangan Syariah yang bersangkutan.
Dalam hal agunan/jaminan yang dikenakan dalam FPJPS, alasan dari
penetapan tersebut selain agar tidak terjadi penyelewengan, diperuntukkan pula
sebagai sebuah hukuman penalty, dan memberi pembelajaran bagi bank yang
bersangkutan dan bank lain agar tidak dengan mudah meminta bantuan likuiditas
dari Bank Indonesia.
Kembali kepada alasan, bahwa penggunaan kebijakan ini adalah langkah
terakhir untuk mangatasi masalah likuiditas akibat mismatch, karena dalam
kondisi normal hal ini dipandang sebagai tindakan yang menunjukkan kelemahan
bank yang bersangkutan kepada bank-bank lain, bahwa bank tersebut tidak
dipercaya meminjam dana jangka pendek dari sesama bank.17
17 J. Soedradjad Djiwandono, “Permasalahan BLBI” diakses pada tanggal 18 Februari 2010
dari http://www.pacific.net.id/pakar/sj/permasalahan_blbi1.html
82
Tindak pengawasan juga secara tegas disebutkan dalam ketentuan FPJPS. Pada
BAB V (PENGAWASAN) PBI No. 11/24/PBI/2009 disebutkan:
Pasal 17
(1) Bank wajib menyampaikan rencana tindak perbaikan (action plan) untuk
mengatasi kesulita likuiditas paling lambat 5 (lima) hari setelah pencairan
FPJPS.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai
penggunaan FPJPS dan kondisi likuiditas Bank pada setiap akhir hari kerja.
Pasal 18
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan khusus atas penggunaan FPJPS terhadap
Bank penerima FPJPS
Pasal 19
Bank Indonesia menetapkan Bank penerima FPJPS dalam status pengawasan
khusus.
3. Kedudukan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/24/PBI/2009
Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama
Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas
sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Stabilitas sistem keuangan
adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi
83
dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan
ekonomi.18
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup
kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:19
1) Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain
melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka.
2) Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga
keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga
perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi.
Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang
dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat
menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian.
3) Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada
salah satu peserta dalam sistem pembayaran, maka akan timbul risiko
potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran.
18 Definisi Stabilitas Sistem Keuangan, diakses dari
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Ikhtisar/Definisi+SSK/ pada tanggal 18 Juli 2010.
19 Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan, diakses dari http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Peran+Bank+Indonesia/Peran+BI/ pada tanggal 18 Juli 2010
84
Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular
(contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik.
4) Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat
mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan.
5) Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan
melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LLR).
Selain kelima peran Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan, Bank
Indonesia sebagai otoritas pengawas dan pembina bank memiliki kewenangan
dasar pengawasan bank yang mencakup empat aspek, yaitu:20
1) Power to licence, kewenangan dalam mengatur perizinan bank, adalah
kewenangan dasar yang pertama dan merupakan proses pengawasan yang
paling awal, karena hal ini memungkinkan dapat ditetapkannya persayaratan
operasi suatu bank.
2) Power to regulate, memungkinkan otoritas pengawas mengatur kegiatan
operasi bank berupa ketentuan dan peraturan sehingga dapat mendorong
terciptanya sistem perbankan yang sehat sekaligus dapat memenuhi harapan
masyarakat atas kecukupan dan kualitas pelayanan jasa perbankan.
3) Power to control, merupakan kewenangan dasar yang diperlukan oleh setiap
otoritas pengawas bank, agar dalam melaksanakan kegiatan pengawasan dapat
20 Harisman, Tugas Bank Indonesia dalam Pengawasan dan Pembinaan Perbankan Syariah
di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 20, Agustus – September 2002, h.23-24.
85
dengan jelas mengetahui batasan-batasan wewenang dalam melakukan
pengawasan bank.
4) Power to impose sanction, kewenangan untuk menetapkan dan menjatuhkan
sanksi kepada setiap bank yang kurang atau tidak memenuhi hal-hal yang
telah diatur dalam ketiga aspek dimaksud.
Berdasarkan peran dan kewenangan tersebut maka Bank Indonesia
mengeluarkan PBI No. 11/24/PBI/2009. Penetapan Peraturan Bank Indonesia
tersebut secara tegas dikemukakan dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 3 Tahun
2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
1) Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari
kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank yang
bersangkutan.
2) Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh Bank penerima
dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya
minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.
3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
4) Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak
sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem
86
keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat
yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah.
5) Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan
Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan
sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara diatur dalam undang-undang tersendiri, yang ditetapkan selambat-
lambatnya akhir tahun 2004.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang tersebut, Bank Indonesia
mempunyai hak mutlak untuk menetapkan peraturan terkait dengan pembiayaan
jangka pendek dalam bentuk Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah.
Indonesia menganut asas hukum yang menyebutkan bahwa peraturan
perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi akan mengesampingkan
ketentuan atau norma mengenai hal yang sama yang dimuat dalam peraturan
perundang-undangan yang tingkatnya lebih rendah. Atau sebaliknya, ketentuan
atau norma hukum yang berada pada peraturan yang lebih rendah tidak dapat
meniadakan dengan hal yang sama yang diatur oleh peraturan perundang-
undangan yang tingkatnya lebih tinggi.21
Menurut ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah:
21 Kusumaningtuti SS., Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 55
87
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
(3) peraturan pemerintah;
(4) peraturan presiden;
(5) peraturan daerah;
Kedudukan Bank Indonesia dalam perubahan ke-4 UUD 1945, yang
selanjutnya diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 D adalah sebagai berikut:
Negara memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang. Sementara itu, independensi Bank Indonesia telah diberikan semenjak disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999. Pemberian independensi bank sentral ini tidak terlepas dari letter of intent IMF pada Januari 1998, yang memberikan rekomendasi untuk independensi Bank Indonesia.
Gambar 4.1. Kedudukan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara setelah Amandemen UUD 1945
Rakyat memegang kekuasaan tertinggi
Gubernur Bank Sentral (menjadi lembaga yang
lebih independen)
Lembaga Tinggi Negara (DPR, DPA,
BPK, MA)
Lembaga
Kepresidenan
Menteri
(Pembantu Presiden)
Pejabat Negara
Setingkat Menteri
BPPN
Letter of Intent
IMF
88
Maka, berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan, Bank
Indonesia sebagai bank sentral berhak menetapkan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah
dengan segala ketentuan di dalamnya, yang memiliki kekuatan hukum
berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Karena Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009 merupakan pelaksana dari Undang-Undang
Bank Indonesia.
Dalam ketentuan pembiayaan mudharabah menurut Fatwa No. 07/DSN-
MUI/IV/2000 menyebutkan bahwa, “Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan,
dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan
fatwa DSN”. Ketentuan tersebut secara implisit menyatakan bahwa mengenai
mekanisme praktek di lapangan, LKS dalam hal ini shahibul maal dapat
menentukan kriteria khusus secara tersendiri. Maka Bank Indonesia pun
mempunyai kewenangan tersebut.
Dalam Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:
اهللا رسول أن عنه تعالى اهللا رضي المزنى عوف بن عمرو عن صلحا اال المسلمين بين جائز الصلح ׃قال وسلم عليه اهللا صلى إال شروطهم على والمسلمون حراما أحل أو حالال حرم) وصححه الترمذى رواه( حراما احل أو حالال حرم شرطا
“Dari Amru bin ‘Auf al-Muzani, r.a., (katanya): Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
89
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Beliau menilainya Shahih)22
Berdasarkan hadis ini, terdapat kebebasan untuk melakukan transaksi ataupun
menetapkan beberapa syarat dalam transaksi, sepanjang syarat tersebut tidak
bertentangan dengan nash syar’i.23 Perlu diingat, walaupun Bank Indonesia
mempunyai kewenangan mutlak, hal yang paling penting untuk diperhatikan
adalah Bank Indonesia harus tetap menjunjung tinggi esensi dari suatu kaidah
yang menyatakan bahwa “aturan ulil amri harus ditaati sepanjang tidak
melanggar syariah” yang berarti tidak menghalalkan sesuatu yang haram,
ataupun mengharamkan sesuatu yang halal. Ketentuan akad mudharabah dalam
FPJPS khususnya terkait dengan penetapan perhitungan imbalan yang dihitung
dari nilai nominal FPJPS ataupun dengan alasan equal treatment dengan imbalan
FPJP bank konvensional, hal tersebut menjadi sesuatu yang menghalalkan sesuatu
yang haram, dan mengharamkan sesuatu yang halal dalam penggunaan akad
mudharabah yang tidak sesuai dengan kaidah syariah.
Dan meskipun tidak ada Fatwa Khusus yang mengatur mengenai kebijakan
bantuan likuiditas dari Bank Sentral kepada Bank Umum Syariah, Fatwa No.
07/DSN-MUI/IV/2000 harus tetap digunakan sebagai rujukan dalam menetapkan
akad mudharabah pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009.
Karena, peraturan Bank Indonesia tersebut tidak bisa dilepaskan dari ketentuan
22 As-Shan’ani, Subulus Salam III, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 207
23 Penjelasan Fatwa No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
90
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.24
Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan secara tegas bahwa:
“Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.”
“Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah.”
Maka, dalam penyusunan ketentuan perbankan syariah secara umum termasuk
FPJPS, karena terkait dengan aspek syariah, Bank Indonesia harus secara utuh
mengikuti ketentuan Fatwa No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Mudharabah, baik
secara subsatansi ataupun implementasi di lapangan.
24 Tersebut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009.
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mekanisme pembiayaan jangka pendek dalam FPJPS bagi bank syariah,
Bank Indonesia bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana,
sedangkan bank syariah bertindak sebagai mudharib, dimana BI
memperoleh kompensasi dalam bentuk imbalan dari FPJPS yang
diberikan. Pembiayaan FPJPS hanya diberikan sebesar kebutuhan dana
untuk memenuhi likuiditas selama 14 hari ke depan, dan dapat
diperpanjang berturut-turut dengan kangka waktu keseluruhan paling lama
90 hari serta wajib dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi.
Penetapan kebijakan FPJPS tersebut adalah terkait dengan fungsi Bank
Indonesia sebagai Lender of The Last Resort dan independensi bank
sentral yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia.
2. Mekanisme pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan untuk suatu
usaha yang produktif, dimana salah satu pihak bertindak sebagai shahibul
maal, sedangkan pihak lain sebagai pengelola atau mudharib, yang
keduanya harus cakap hukum. Penyerahan modal dilakukan secara tunai.
Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan dan mekanisme pembagian
keuntungan harus disepakati bersama dalam kontrak. Jaminan dapat
92
diminta oleh shahibul maal agar mudharib tidak melakukan
penyimpangan. Dan karena mudharib berperan sebagai wakil dari
shahibul maal, maka mudharib tidak boleh menanggung kerugian apapun
kecuali diakibatkan kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran
kesepakatan.
3. Dengan melakukan perbandingan antara PBI No. 11/24/PBI/2009, Fatwa
Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000, dan Undang-Undang
Bank Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai
kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah kurang sesuai
dengan prinsip syariah, pelanggaran prinsip syariah tersebut khususnya
terkait dengan perhitungan imbalan FPJPS, yang memberi indikasi adanya
penentuan keuntungan yang dipastikan dalam akad mudharabah. Selain
itu, penggunaan akad mudharabah tersebut kurang tepat, karena walaupun
mudharabah merupakan skim pembiayaan yang ideal, tetapi secara
implikasinya tidak ada seorang pun yang ingin memperoleh kerugian.
B. Saran
1. Bagi Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas yang menaungi kebijakan
FPJPS agar mengkaji lagi secara lebih mendalam mengenai konsep, serta
tepat atau tidaknya kebijakan FPJPS tersebut bagi bank syariah,
mengingat hingga saat ini belum pernah digunakan, jadi tidak hanya
93
sekedar mengekor pada kebijakan FPJP bagi bank konvensional yang
sudah ditetapkan lebih dulu.
2. Bank Indonesia harus meningkatkan sistem pengawasan dan birokrasi
yang tinggi ketika suatu saat FPJPS tersebut digunakan, agar
penyimpangan dalam kebijakan BLBI dan bantuan FPJP bagi Bank
Century yang menjadi perdebatan di masyarakat tidak terulang lagi.
3. Sebagai salah satu kebijakan bagi Bank Syariah, Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Syariah harus selalu mengedepankan aspek
kesyariahannya dan mentaati ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI). Maka, Bank Indonesia harus melakukan pengkajian ulang dan
perbaikan mengenai ketentuan akad mudharabah dalam FPJPS,
khususnya dalam hal penetapan imbalan ataupun penggunaan akad
mudharabah itu sendiri bagi kebijakan FPJPS.
4. Dalam hal ini penulis menyarankan untuk mengganti akad dalam
kebijakan FPJPS dari akad mudharabah ke akad qardh. Mengingat
minimal waktu penggunaan fasilitas tersebut adalah satu hari, sehingga
penggunaan akad mudharabah menjadi kurang sesuai karena tidak ada
pengendapan dana. Tetapi, penggunaan akad qardh tersebut harus dikaji
kembali terkait dengan diharuskannya pemberian imbalan bagi Bank
Indonesia. Semoga hal tersebut dapat menjadi objek penelitian bagi
penelitian selanjutnya.
xiv
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an al Karim. Al Hadits. Buku Al-Gharyani, Ash-Shadiq Abdurrahman, Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer,
Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 2004 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani, 2005. , Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, Jakarta:
Tazkia Institute, 1999. , Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Jakarta:
Tazkia Institute, 1999. Arifin, Zainul Produk Bank Syariah, Jakarta: Pelatihan Dasar Perbankan Syariah
Bank Indonesia, 2007. Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Dahlan, Abdul Azis, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996. Danim, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2002. Dewi, Gemala, Aspek – aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah
di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. Farihah, Ipah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2006.
xv
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Karim, Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004. Kusumaningtuti SS., Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Batubara, Marwan, dkk., Skandal BLBI: Ramai – ramai Merampok Negara, Jakarta:
Haekal Media Center, 2008. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006. Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN,
2005. , Tehnik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, Yogyakarta: UII
Press, 2001. , Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002. , Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank
Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2004. Ndraha, Taliziduhu, Research Teori Metodologi Administrasi, Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1985. Nurtjahjo, Hendra, dkk., Eksistensi Bank Sentral dalam Konstitusi Berbagai Negara,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.II,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Riyanto, Bambang, Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Edisi 4, Yogyakarta:
BPFE – Yogyakarta, 2001.
xvi
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 13, terjemahan Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: Al-Ma’arif, 1987.
Semiawan, Conny R., Catatan Kecil Tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Jakarta: Kencana, 2007. Sjahdeini, Sutan Remi, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, Jakarta: PT. Temprint, 1999. Soehandjono, Bank Indonesia dalam Kasus BLBI, Jakarta: Bank dan Perbankan,
2003. Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, Bandung:
Pustaka Setia, 2001. Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2002. Widyo Gunadi, et.al., Membangun Karakteristik Sebuah Bank Sentral, Jakarta: Tim
Penulis Buku Budaya Kerja Bank Indonesia, 2005. Wirdyaningsih, et.al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2005. Jurnal dan Artikel Amin, A. Riawan, Perbankan Syariah Sebagai Solusi Perekonomian Nasional,
Pidato Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Perbankan Syariah, Disampaikan dalam Sidang Senat terbuka UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009
Harisman, Tugas Bank Indonesia dalam Pengawasan dan Pembinaan Perbankan
Syariah di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 20, Agustus – September 2002.
xvii
Miftakhussurur, Kebijakan Perbankan Bank Indonesia dalam Upaya Meningkatkan Aset Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. 1, No. 2, Juni 2007.
Shomad, Abdul, Akad Mudharabah dalam Perbankan Syariah, Yuridika, Vol. 16,
No. 4, Juli – Agustus 2001. Website Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank
Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional, PBI No: 8/3/PBI/2006, diakses pada tanggal 18 Februari 2010 dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/E6079AE4-EF24-4E32-9F50-1ED0A20413F8/11854/pbi8306.pdf
, Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek Syariah Pengganti Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/23/PBI/2005 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah, PBI Nomor 11/24/PBI/2009, diakses pada tanggal 18 Februari 2010 dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/E6079AE4-EF24-4E32-9F50-1ED0A20413F8/11854/pbi112409.pdf
Bank Syariah: Lebih Tahan Krisis Global, diakses pada tanggal 20 Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2FA608A9-DDFE-4551-884D-D0B9D5965572/17639/Perbankan_Syariah_Lebih_Tahan_Krisis_Global.pdf
Batunanggar, Sukarela, Jaring Pengaman Keuangan : Kajian Literatur dan
Praktiknya di Indonesia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, diakses pada 18 Februari 2010 dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/E9161ADE-FA45-47E6-B8DC-540D9FC6BBD4/8042/03jpk.pdf
xviii
Definisi Stabilitas Sistem Keuangan, diakses dari http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Ikhtisar/Definisi+SSK/ pada tanggal 18 Juli 2010.
Dewan Gubernur Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Dewan+Gubernur/ http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/pbi_112409.htm diakses pada
tanggal 25 Juli 2010. Ikhtisar PBI No. 11/24/PBI/2009, diakses dari
http://www.bi.go.id/web/id/Perturan/Perbankan/pbi_112409.htm, pada tanggal 25 Juli 2010.
Ikhtisar Pebankan, Institusi Perbankan di Indonesia, Artikel diakses pada tanggal 18
Februari 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Lembaga+Perbankan/
Djiwandono, J. Soedradjad, “Permasalahan BLBI”, diakses pada tanggal 18 Februari
2010 dari http://www.pacific.net.id/pakar/sj/permasalahan_blbi1.html , “Permasalahan BLBI”, diakses pada tanggal 18 Februari
2010 dari http://www.pacific.net.id/pakar/sj/permasalahan_blbi2.html Laporan Pengawasan Perbankan Desember 2004,
http://www.bi.go.id/pdf/LaporanPengawasanPerbankan_Des_2004.pdf. diakses pada tanggal 20 Februari 2010
Menghitung Bagi Hasil iB, diakses pada tanggal 25 Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/D6B8DE61-4B67-4C34-BCB3-4959A394CE1C/17636/Menghitung_Bagi_Hasil_iB.pdf
Misi, Visi dan Sasaran Strategis Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010
dari http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Misi+dan+Visi/
xix
Modul SPN 02 – Sistem Kliring di Indonesia, diakses pada tanggal 20 Februari 2010 dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/AF3FDCB9-F4BD-4278-8B40-A02633F72D5E/836/SistemKliringBankIndonesia1.pdf
Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan, diakses dari
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Peran+Bank+Indonesia/Peran+BI/ pada tanggal 18 Juli 2010
Sekilas Perjalanan Sejarah Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/86CE0C47-626D-49A6-989C-125F12C9F938/18316/07_sejarah_rev.pdf
Status dan Kedudukan Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Status+dan+Kedudukan/
Tujuan dan Tugas Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/
Peraturan – peraturan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh). Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 Tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka
Pendek Bagi Bank Syariah. Penjelasan Fatwa No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah
(Qiradh). Ringkasan Peraturan Perundang-undangan Bank Indonesia, Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 10/39/DPM tanggal 14 November 2008 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.
xx
Surat Edaran Bank Indonesia Tentang Tata Cara Pemberian FPJPS Bagi Bank Syariah No. 6/9/DPM.
Undang – undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang – undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
Undang – undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah. Undang – undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
Skripsi Fauziyah, Umi, Analisis Perhitungan Bagi Hasil Pada Pembiayaan Mudharabah
Berdasarkan Fatwa DSN di BMT Khonsa Cilacap, Skripsi S1, Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta, 2006
Wawancara Wawancara pribadi dengan Bapak Dwiyanto, Analisis Bank Madya Direktorat
Perbankan Syariah – BI, Jakarta, pada tanggal 20 Juli 2010.
TRANSKIP WAWANCARA
Nama : Dwiyanto
Jabatan : Analisis Bank Madya
Waktu : 15 Juli 2010, pukul 07.38 – 08.16 WIB
Tempat Wawancara : Direktorat Perbankan Syariah (DPBS) Gedung A Lnt. 21
Bank Indonesia, Jakarta
1. Apa yang di maksud dengan Fasilitas Pendanaan Jangka pendek Syariah?
Jawab
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah, yang untuk selanjutnya
disebut FPJPS adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank
Syariah yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan
Jangka Pendek;
2. Apa yang menjadi latar belakang ditetapkannya kebijakan Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Syariah tersebut? Dan kapan?
Jawab
a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank Syariah menghadapi
risiko kesulitan pendanaan jangka pendek yang disebabkan oleh terjadinya
arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar;
b. bahwa untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut, Bank
Indonesia sebagai the lender of last resort dapat memberikan pembiayaan
kepada Bank Syariah yang dijamin dengan agunan berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan;
3. Bagaimana proses penetapan kebijakan FPJPS tersebut hingga menjadi Peraturan
Bank Indonesia No: 11/24/PBI/2009?
Jawab
Peraturan Bank Indonesia ini merupakan implementasi dari undang – undang.
Semua aturan BI itu bukan aturan dari direktorat, tetapi aturan dari lembaga yang
ditandatangani oleh Gubernur BI, dan ini punya kekuatan hukum, ini sama
dengan perturan perundang-undangan yang lain, sehingga ini kan diundangkan di
lembaran Negara. Yang dari sisi gradasi hukum kedudukannya di bawah Undang-
Undang BI. Jadi kalau ada UUD, kemudian ada UU, kemudian ada peraturan
pemerintah, dan lain sebagainya itu sama. Ini adalah pelaksana dari UU BI, PBI
FPJPSnya yaa … tapi ga semua PBI itu merupakan pelaksana dari UU BI, juga
ada UU perbankan, UU Perbankan Syariah, itu semua mengamanatkan adanya
beberapa ketentuan pelaksanaan dalam bentuk peraturan Bank Indonesia.
4. Dalam penetapan FPJPS hingga menjadi Peraturan Bank Indonesia No:
11/24/PBI/2009 tersebut, Apakah ada pihak-pihak lain seperti MUI misalnya,
yang terlibat dalam proses tersebut?
Jawab
Dalam penyusunan ketentuan perbankan syariah secara umum termasuk FPJPS,
karena terkait dengan aspek syariah, maka tentunya ada koordinasi dengan DSN
MUI yang terkait dengan akad-akad yang digunakan dalam ketentuan FPJPS.
Khususnya dalam implikasi dan implementasinya dari aspek syariahnya kita
minta pendapat dari Dewan Syariah Nasional. Tetapi bukan pada masalah
substansinya.
5. Mengapa dalam FPJPS tersebut akad yang digunakan adalah Mudharabah yang
notabene merupakan skim pembiayaan yang memiliki resiko tinggi?
Jawab
Pak Dwiyanto :
Ada macam-macam akad Murabahah, Mudharabah, ada Musyarakah, Salam,
Istishna. Akad-akad tersebut masing-masing bukan asal dipilih dalam
penerapannya, tergantung kondisinya. Artinya kalau kita mau jual beli tentu tidak
bisa dengan mudharabah. Maka, pertimbangannya itu bukan karena resiko,
kemudian harusnya tidak karena resikonya tinggi … pilihannya bukan karena
hanya resiko, tapi yang lebih substansial adalah apakah akad-akad yang banyak
itu implemented ga diterapkan dengan skim nya, itu yang lebih esensial. Jadi,
jangan dikomentari karena resikonya lebih besar kemudian tidak dipilih, jangan
begitu. Itu adalah hal yang dalam prinsip syariah justru yang membuat produk-
produk syariah variatif, dia akan di implementasikan dengan karakteristik
transaksinya… nah untuk pembiayaan FPJPS sesuai dengan judulnya ya,
pembiayaan jangka pendek, itukan short liquidity, pinjaman dalam bentuk uang
untuk mengatasi kesulitan likuiditas. BI merupakan Bank Sentral yang beda
dengan lembaga bisnis yang perbankan secara umum. Jadi ada aspek-aspek yang
memang lebih kepada, istilahnya otoritas. Jadi tujuan dari transaksi BI ini
melakukan FPJPS dengan Bank itu beda dengan bank misalnya memberikan
pembiayaan kepada nasabahnya. Nah, disisi lain ketentuan mengenai Fasilitas
Pembiayaan itu berlaku untuk semua Bank, ada bank umum syariah, ada juga
bank umum konvensional. Nah BI itu melihat institusi perbankan itu equal
treatment. Jadi kalau bank konvensional dia dapat FPJP dia harus membayar
bunga sebesar rate yang ditetapkan, maka bank syariah kalau dia akan dapat
FPJPS, dia harus juga memberikan kompensasi kepada BI. Nah untuk
memberikan kompensasi kepada BI itu bentuknya apa… dari sekian tadi akad,
seperti yang Mbak bilang qardh, jelas tidak bisa kan? Kenapa? Karena tidak ada
kompensasinya, nanti kalau dikasih Qardh semua bank akan ngambil uangnya di
BI. Disisi lain BI kalau mau memberikan FPJP kepada bank konvensional,
memberikan kompensasi dalam bentuk bunga, nah itukan harus equal treatment
Mbak… nah, itu intinya disitu… Sehingga pilihan akad dari sekian alternatif akad
yang ada, itu yang lebih tepat, yang bisa diimplementasikan untuk industri
perbankan syariah… yaa akadnya mudharabah.
6. Pasal 15 Ayat 3 Peraturan Bank Indonesia No: 11/24/PBI/2009 menyebutkan
bahwa besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh persen), apa yang menjadi
latar belakang penetapan nisbah 90% tersebut? Dan apakah besarnya itu tetap
dalam arti tidak ada tawar menawar?
Jawab
Membayangkan tawar menawar, ini kan sebenarnya, akad itu kan kesepakatan
yaa … Mbak Fitri pernah belanja di supermarket kan? Nah disitu ada jual beli
barang… baju katakan… ada harganya kan…misalkan katakan yang di SOGO lah
15 ribu, harganya segitu… Mbak Fitri bilang “wah mahal banget, ini harusnya 5
ribu”.
Terserah, bagi penjual dia bilang “Kalau anda suka, anda cocok beli saja.” Apa itu
salah secara syariah? Ngga ada itu yang salah …
Sama dengan di akad mudharabah. Dalam bermudharabah BI menerapkan
nisbahnya 90%, tentunya 90% itu sudah ada analisanya yaa … Bahwa dengan
kembali kepada equal treatment dengan industri perbankan secara umum, nisbah
90% ini hitung-hitungan secara matematika nya akan sama dengan kompensasi
yang dikenakan kepada industri perbankan konvensional kalau dia dapat FPJP.
Sehingga tidak ada arbitrase disitu, gitu Mbak… Jadi kalau nanti ada bank syariah
yang “koq mahal 90%?” yaa….jangan diambil, gitu saja… kan logikanya seperti
itu. Nah, kalau gitu kan kesepakatan, seperti orang belanja di Supermarket saja,
bagi BI sebagai lender of the last resort nya sudah menetapkan seperti ini. Jadi,
esensi jual beli maupun mudharabah itu kan sebenarnya akad, kesepakatan dua
belah pihak, kalau tidak ada kesepakatan kan tidak akan terjadi transaksi,
esensinya disitu.
7. Sepengetahuan saya, FPJPS tersebut belum pernah digunakan oleh Bank Syariah,
apakah benar? Dan mengapa?
Jawab
Hhmmmm…. Dari kalimatnya saja tadi dapat difahami bahwa FPJPS itu fungsi
Central Bank sebagai Lender of The Last Resort, jadi dalam kondisi yang paling
akhir, ini dalam konteks kesulitan likuiditas saja. Kalau dia mengalami kesulitan
likuiditas tentunya dia akan mengakses pasar, bisa ga dia cari likuiditas di pasar,
maksudnya ke pasar interbank, ke pasar yang lain gitu ya. Kalau dia sudah
kemana-mana ngga ada, baru dia ke BI. Jadi,
Pertama; Bank nya mengalami kesulitan
Kedua; dia kesulitan untuk mencari pasar dalam menutupi likuiditas
Baru nanti the last, itu kalau dia udah ga bisa, dia baru masuk ke BI, namanya the
last resort. Makanya itu bukan pilihan pertama sebenarnya, tapi sudah pilihan
yang paling akhir. Pertama, kalau kondisi perbankan syariahnya bagus, yaa ga
kan pernah ada orang yang minta likuiditas ke BI. Konteks FPJPS itu jangan di
anggap seperti pinjaman, kalau dulu di BI ada kredit program, memberikan kredit
kepada Bank untuk pengembangan bisnisnya, bukan… ini adalah untuk
mengatasi kesulitan likuiditas, jadi kalau ditanya mengapa tidak terjadi, yaa
memang karena mereka belum butuh, pertanyaannya gitu kan, kalau ga butuh
ngapain pinjem ke BI. Karena kan kalau dia mengambil FPJPS, pertama dia kan
akan kena tadi ada nisbahnya 90% segala macam. Karena konteks FPJPS itu tadi
seperti yang saya bilang di depan, pembiayaan kalau dia mengalami kesulitan
likuiditas. Jadi, jangan didoakan dapat, itu nanti Bank nya kasian. Kalau yang
dapat itu bank bermasalah. Bank Century dapat karena dia bermasalah.
8. Saya pernah baca sebuah artikel yang menulis kenapa Bank Syariah belum
menggunakan dana pembiayaan BI melalui FPJPS, terkait dengan masih kecilnya
pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Syariah, khususnya sektor riil…
Bagaimana Pak?
Jawab
Ngga ada hubungannya, Bank Syariah tidak memberikan pembiayaan pun dia
bisa mengalami kesulitan likuiditas kok, Bank yang pembiayaannya besar dia bisa
saja tidak mengalami kesulitan likuiditas, tergantung bagian manajemen
likuiditasnya. Karena manajemen likuiditas itu tidak semata-mata tergantung pada
pembiayaannya. Kalau dalam perbankan itu, untuk mengukur, menghitung
likuiditas itu ada macam-macam caranya. Bukan karena pembiayaannya yang
kecil, bukan karena itu. Tetapi kalau sebagai indikasi awal bisa, jadi kalau kita
bicara, jadi ngomongnya jangan pembiyaan saja, jadi kaya FDR, LDR. Jadi, kalau
FDR tinggi, atau LDR tinggi itu akan berbeda dengan FDR atau LDR yang
rendah dalam konteks likuiditas. Tahu ga apa yang dimaksud dengan FDR,
Financing to Deposit Ratio, jadi jumlah pembiayaan dibagi dengan Dana Pihak
Ketiga nya. Jadi kalau nilainya semakin besar itu artinya semakin besar dana
masyarakat yang dihimpun bank syariah itu nanti disalurkan kepada masyarakat,
kalau konteksnya seperti itu, berarti kalau namanya pembiayaan itu kan uang
kembalinya itu kan tidak gampang ditagih, nah…kalau dana-dana pihak ketiga
tersebut nantinya pada cepat nariknya, itu kan bisa menjadi mismatch kan, itu
baru ngomong kesulitan likuiditas. Jadi kalau manajemen likuiditas seperti itu,
jadi kalau semakin tinggi FDR, itu resiko likuiditasnya semakin besar sehingga
potensi dia untuk mengakses FPJPS nya akan lebih besar, itu aja. Bukan karena
pembiayaannya kecil, bukan hanya itu.
Jakarta, 20 Juli 2010
Dwiyanto Analisis Bank Madya
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 07/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)
بسم اهللا الرحمن الرحيم
Dewan Syari’ah Nasional setelah
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana lembaga keuangan syari’ah (LKS), pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak;
b. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang mudharabah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat : 1. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
يآ أيها الذين آمنوا التأكلوا أموالكم بينكم بالباطـل إال أن تكـون كماض منرت نة عارتج...
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
2. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
…ياأيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
3. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:
..هبق اهللا رتليو ،هتانأم منتالذى اؤ دؤا فليضعب كمضعب فإن أمن...
“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
4. Hadis Nabi riwayat Thabrani:
07 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
Dewan Syariah Nasional MUI
2
كان سيدنا العباس بن عبد المطلب إذا دفع المال مضاربة اشـترط ن ال يسلك به بحرا، وال ينزل به واديا، وال يشتري على صاحبه أ
به دابة ذات كبد رطبة، فإن فعل ذلك ضمن، فبلغ شرطه رسـول هازفأج لمسآله وه وليلى اهللا عرواه الطرباين ىف األوسط عن (اهللا ص
).ابن عباس “Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
5. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
لمسآله وه وليلى اهللا عص بيكة: لقا أن النرالب هنثالث في : ـعيالبرواه ابن (إلى أجل، والمقارضة، وخلط البر بالشعير للبيت ال للبيع
)ماجه عن صهيب “Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual
beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
6. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
و أحل حرامـا الصلح جائز بين المسلمني إال صلحا حرم حالال أ .والمسلمون على شروطهم إال شرطا حرم حالال أو أحل حراما
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
7. Hadis Nabi:
ارالضرو رررواه ابن ماجه والدارقطين وغريمها عن أيب سعيد ( الض )اخلدري
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).
07 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
Dewan Syariah Nasional MUI
3
8. Ijma. Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838).
9. Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
10. Kaidah fiqh:
.األصل فى المعامالت اإلباحة إال أن يدل دليل على تحريمها “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Selasa, tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H./4 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)
Pertama : Ketentuan Pembiayaan:
1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
07 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
Dewan Syariah Nasional MUI
4
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
07 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
Dewan Syariah Nasional MUI
5
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Ketiga : Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.
3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1420 H. 4 April 2000 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
Prof. KH. Ali Yafie Drs. H.A. Nazri Adlani
TRANSKIP WAWANCARA
Nama : Dwiyanto
Jabatan : Analisis Bank Madya
Waktu : 15 Juli 2010, pukul 07.38 – 08.16 WIB
Tempat Wawancara : Direktorat Perbankan Syariah (DPBS) Gedung A Lnt. 21
Bank Indonesia, Jakarta
1. Apa yang di maksud dengan Fasilitas Pendanaan Jangka pendek Syariah?
Jawab
Pak Dwiyanto :
Sudah pernah baca PBI nya belum…? Nah,,, itukan ada definisinya disitu. Jadi,
kalau mau tau tentang FPJPS baca aja PBI nya. Mungkin dari PBI nya itu ada hal
yang mau ditanyakan, silahkan… karena disitukan sudah dijelaskan gitu,
pengertiannya apa, kemudian latar belakangnya.
2. Apa yang menjadi latar belakang ditetapkannya kebijakan Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Syariah tersebut? Dan kapan?
Jawab
Pak Dwiyanto :
Yaah tadi yang saya cerita… (tertawa). Baca aja di PBI nya, yang menimbang itu,
itulah latar belakang dari suatu aturan itu adanya di yang menimbang. Kalau mau
saya bacain Mbak…? PBI FPJPS itu sebenarnya sudah ada sejak tahun 2003,
pernah baca ga yang tahun 2003?
Fitrianingsih :
iya pernah … yang tahun 2003, 2005, dan yang paling baru tahun 2009.
Pak Dwiyanto :
Nah itu jadi satu rangkaian, yang tahun 2009 itu penyempurnaan. Jadi disini
disebutkan bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank Syariah
menghadapi risiko kesulitan pendanaan jangka pendek yang disebabkan oleh
terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana
keluar dan bahwa untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut,
Bank Indonesia sebagai the lender of last resort dapat memberikan pembiayaan
kepada Bank Syariah yang dijamin dengan agunan berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan. Ini latar belakangnya.
3. Bagaimana proses penetapan kebijakan FPJPS tersebut hingga menjadi Peraturan
Bank Indonesia No: 11/24/PBI/2009?
Jawab
Pak Dwiyanto :
Proses penetapan kebijakan maksudnya apa yaa…? Saya tidak mengerti dengan
pertanyaannya…
Fitrianingsih :
Apakah ini kebijakan DPBS sendiri atau …
Pak Dwiyanto :
Ooh ngga … ini kan BI ya, bukan DPBS … jadi PBI itu yang tanda tangan
gubernur BI … bukan DPBS. Tapi ini implementasi dari undang – undang.
Semua aturan BI itu bukan aturan dari direktorat, tetapi aturan dari lembaga, dan
ini punya kekuatan hukum, ini sama dengan perturan perundang-undangan yang
lain, sehingga ini kan diundangkan di lembaran Negara.
Fitrianingsih :
Jadi kedudukannya dengan kata lain sama dengan undang-undang BI sendiri?
Pak Dwiyanto :
Bukan sama, tetapi apa istilahnya yaa … kalau dari sisi gradasi hukum itu
dibawahnya. Jadi kalau ada UUD, kemudian ada UU, kemudian ada perturan
pemerintah, dan lain sebagainya itu sama. Ini adalah pelaksana dari UU BI, PBI
FPJPSnya yaa … tapi ga semua PBI itu merupakan pelaksana dari UU BI, juga
ada UU perbankan, UU Perbankan Syariah, itu semua mengamanatkan adanya
beberapa ketentuan pelaksanaan dalam bentuk peraturan Bank Indonesia.
4. Dalam penetapan FPJPS hingga menjadi Peraturan Bank Indonesia No:
11/24/PBI/2009 tersebut, Apakah ada pihak-pihak lain seperti MUI misalnya,
yang terlibat dalam proses tersebut?
Jawab
Pak Dwiyanto :
Yaa…kalau turut ikut campur itu maksudnya gimana yaa …? Tapi gini, dalam
penyusunan ketentuan perbankan syariah secara umum termasuk FPJPS, karena
terkait dengan aspek syariah, maka tentunya ada koordinasi dengan DSN MUI
yaa … khususnya yang terkait dengan akad-akad yang digunakan dalam
ketentuan FPJPS. Tapi bukan berarti turut ikut campur itu maksudnya dia yang
mengatur-ngatur, itu tidak … tapi dalam implikasi dari aspek syariahnya kita
minta pendapat dari Dewan Syariah Nasional.
Fitrianingsih :
Jadi hanya sekedar meminta persetujuan akadnya sesuai atau tidak?
Pak Dwiyanto :
Yaa…sebenarnya yaa… untuk bicara akad, bukan hanya sekedar akadnya kan,
implementasinya kaya apa segala macam tapi lebih banyak kepada aspek syariah,
bukan masalah substansi nya.
5. Mengapa dalam FPJPS tersebut akad yang digunakan adalah Mudharabah yang
notabene merupakan skim pembiayaan yang memiliki resiko tinggi?
Jawab
Pak Dwiyanto :
Mbak Fitri kan di muamalat yaa …? Faham kan masing-masing akad tadi, ada
Murabahah, Mudharabah, ada Musyarakah, Salam, Istishna, macam-macam,
faham ga? Yaa itukan masing-masing bukan asal dipilihkan, tergantung
kondisinya. Artinya kalau kita mau jual beli tentunya bisa ga dengan
mudharabah?
Fitrianingsih :
Ngga bisa Pak…
Pak Dwiyanto :
(Tertawa) Makanya … jadi jangan asal dipilih, pertimbangannya itu bukan karena
resiko, kemudian harusnya tidak karena resikonya tinggi … pilihannya bukan
karena hanya resiko, tapi yang lebih substansial adalah apakah akad-akad yang
banyak itu implemented ga diterapkan dengan skim nya, itu yang lebih esensial.
Jadi, jangan dikomentari karena resikonya lebih besar kemudian tidak dipilih,
jangan begitu, jadi sekarang kalau FPJPS pakai akad murabahah bisa ga…?
Fitrianingsih :
Ngga Pak…
Pak Dwiyanto :
Laah makanya … jadi, (tertawa) … itu adalah hal yang dalam prinsip syariah
justru yang membuat produk-produk syariah variatif, dia akan di implementasikan
dengan karakteristik transaksinya… nah untuk pembiayaan FPJPS sesuai dengan
judulnya ya, pembiayaan jangka pendek, itukan short liquidity, pinjaman dalam
bentuk uang untuk mengatasi kesulitan likuiditas, sekarang pertanyaanya akad
apa yang bisa digunakan? Sekarang saya tanya mbak Fitri deh … untuk industri
perbankan syariah kalau dia akan memberikan pinjaman dalam bentuk uang, akad
apa yang bisa?
Fitrianingsih :
Kalau maksud saya karena itu kan dalam kesulitan likuiditas, kenapa ngga pake,
contohnya akan Qardh Pak…
Pak Dwiyanto :
Yaa… ok… qardh, terus apa lagi?
Fitrianingsih :
Terus bisa juga dengan Ijarah Pak….
Pak Dwiyanto :
Ijarah? Apanya yang Ijarah?
Fitrianingsih :
Jadi maksudnya seluruh asset Bank tersebut di beli oleh BI, dan nanti BI
menyewakan kepada bank syariah tersebut…
Pak Dwiyanto :
Ok… terus apa lagi? Nah… apa yang kira-kira bisa?
Fitrianingsih :
Yaa akad mudharabah pak…
Pak Dwiyanto :
Yaa… makanya… jadi tidak semua… Jadi BI itu sentral bank yaa… itu beda
dengan lembaga bisnis yang perbankan secara umum kan? Jadi ada aspek-aspek
yang memang lebih kepada, istilahnya otoritas. Jadi tujuan dari transaksi BI ini
melakukan FPJPS dengan Bank itu beda dengan bank misalnya memberikan
pembiayaan kepada nasabahnya. Nah, disisi lain ketentuan mengenai Fasilitas
Pembiayaan itu berlaku untuk semua Bank, ada bank umum syariah, ada juga
bank umum konvensional. Nah BI itu melihat institusi perbankan itu equal
treatment. Jadi kalau bank konvensional dia dapat FPJP dia harus membayar
bunga sebesar rate yang ditetapkan, maka bank syariah kalau dia akan dapat
FPJPS, dia harus juga memberikan kompensasi kepada BI …. Yaa kan? Nah
untuk memberikan kompensasi kepada BI itu bentuknya apa… dari sekian tadi
akad, kalau qardh jelas tidak bisa kan? Kenapa?
Fitrianingsih :
Karena tidak ada kompensasi…
Pak Dwiyanto :
Betul, karena tidak ada kompensasinya, nanti kalau dikasih Qardh semua bank
akan ngambil uangnya di BI… (tertawa)… apa mau begitu. Disisi lain BI kalau
mau memberikan FPJP kepada bank konvensional, memberikan kompensasi
dalam bentuk bunga, nah itukan harus equal treatment Mbak… nah, itu intinya
disitu… Sehingga pilihan akad dari sekian alternatif akad yang ada, itu yang lebih
tepat, yang bisa diimplementasikan untuk industri perbankan syariah… yaa
akadnya mudharabah … gitu.
6. Pasal 15 Ayat 3 Peraturan Bank Indonesia No: 11/24/PBI/2009 menyebutkan
bahwa besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluhpersen), apa yang menjadi
latar belakang penetapan nisbah 90% tersebut? Dan apakah besarnya itu tetap
dalam arti tidak ada tawar menawar?
Jawab
Pak Dwiyanto :
Membayangkan tawar menawar, ini kan sebenarnya, akad itu kan kesepakatan
yaa … Mbak Fitri pernah belanja di supermarket kan? Nah disitu ada jual beli
barang… baju katakan… ada harganya kan…misalkan katakan yang di SOGO lah
15 ribu, harganya segitu… Mbak Fitri bilang “wah mahal banget, ini harusnya 5
ribu”…(tertawa)
Terserah, bagi penjual dia bilang “Kalau anda suka, anda cocok beli saja.” Apa itu
salah secara syariah? Ngga ada itu yang salah …
Sama dengan di akad mudharabah. Dalam bermudharabah BI menerapkan
nisbahnya 90%, tentunya 90% itu sudah ada analisanya yaa … Bahwa dengan
kembali kepada equal treatment dengan industri perbankan secara umum, nisbah
90% ini hitung-hitungan secara matematika nya akan sama dengan kompensasi
yang dikenakan kepada industri perbankan konvensional kalau dia dapat FPJP.
Sehingga tidak ada arbitrase disitu, gitu Mbak… Jadi kalau nanti ada bank syariah
yang “koq mahal 90%?” yaa….jangan diambil, gitu saja… kan logikanya seperti
itu. Nah, kalau gitu kan kesepakatan, bagi BI sebagai lender of the last resort nya
sudah menetapkan seperti ini.
Fitrianingsih :
Tetapi, kalau dari DSN MUI nya tidak ada perbedaan pendapat mengenai nisbah
90% ini?
Pak Dwiyanto :
Loh…apa ada yang salah secara syariahnya? Justru itu tadi saya bilang, ketentuan
FPJPS ini sejak awal dari aspek syariahnya sudah didiskusikan, sudah
dikonsultasikan dengan DSN MUI, dengan Pak Ma’ruf dan teman-temannnya
gitu. Jadi yang namanya semua aturan PBI yang berhubungan dengan institusi
lain, khususnya terkait dengan aspek syariah yaa ini sudah diomongin. Jadi,
penerapan nisbah itu tidak ada masalah, seperti yang tadi saya ilustrasikan loh,
orang jual beli kenapa ditetapkan harga seperti itu, yaa Mbak nya kalau mau beli
silahkan, ngga yaa ga apa-apa, atau kalau mau di nego yaa silahkan, tetapi tidak
semua harga bisa di nego kan. Tapi esensi jual beli maupun mudharabah itu kan
sebenarnya akad, kesepakatan dua belah pihak, kalau tidak ada kesepakatan kan
tidak akan terjadi transaksi, esensinya disitu…
7. Sepengetahuan saya, FPJPS tersebut belum pernah digunakan oleh Bank Syariah,
apakah benar? Dan mengapa?
Jawab
Pak Dwiyanto :
Hhmmmm…. Dari kalimatnya saja tadi dapat difahami bahwa FPJPS itu fungsi
Central Bank sebagai Lender of The Last Resort, jadi dalam kondisi yang paling
akhir, ini dalam konteks kesulitan likuiditas saja. Kalau dia mengalami kesulitan
likuiditas tentunya dia akan mengakses pasar, bisa ga dia cari likuiditas di pasar,
maksudnya ke pasar interbank, ke pasar yang lain gitu ya. Kalau dia sudah
kemana-mana ngga ada, baru dia ke BI. Jadi,
Pertama; Bank nya mengalami kesulitan
Kedua; dia kesulitan untuk mencari pasar dalam menutupi likuiditas
Baru nanti the last, itu kalau dia udah ga bisa, dia baru masuk ke BI, namanya the
last resort. Makanya itu bukan pilihan pertama sebenarnya, tapi sudah pilihan
yang paling akhir. Pertama, kalau kondisi perbankan syariahnya bagus, yaa ga
kan pernah ada orang yang minta likuiditas ke BI. Ini beda dengan pinjaman loh
Mbak. Konteks FPJPS itu jangan di anggap seperti pinjaman, kalau dulu di BI ada
kredit program, memberikan kredit kepada Bank untuk pengembangan bisnisnya,
bukan… ini adalah untuk mengatasi kesulitan likuiditas, jadi kalau ditanya
mengapa tidak terjadi, yaa memang karena mereka belum butuh, pertanyaannya
gitu kan, kalau ga butuh ngapain pinjem ke BI. Karena kan kalau dia mengambil
FPJPS, pertama dia kan akan kena tadi ada nisbahnya 90% segala macam. Mba
Fitri sudah tau kan, yang namanya angka 90 itu besarkan… Tetapi bukan berarti
angka 90 itu akan lebih besar dari 80 kan… belum tentu… tergantung kepada
pengali nya lagi. Baca itu ketentuan mengenai perhitungan nisbah imbalan bagi
hasilnya. Sama dengan Mba Fitri nabung di Bank Syariah 50, di Bank lain di
aksih nisbah 30, bukan berarti yang 50 itu hasilnya lebih besar loh, kan
tergantung return bank nya, gitu. Jadi angka 90 itu berarti “wah mahal banget
yaa???” Belum tentu… Kalau yang namanya nisbah itu kan masih ada pengalinya
lagi, kalau pengalinya kecil yaa jadi kecil, kalau pengalinya besar yaa jadi besar,
beda dengan suku bunga loh yaa… Kalau suku bunga diomongin 9% dengan 12%
itu sudah fix, yaa angkanya dikalikan dengan nominalnya.
Kalau FPJPS nisbah kan ga seperti itu, Mbak Fitri pasti tau, lebih tau dengan
aspek fikihnya, karena menghitung bagi hasilkan tidak hanya sekedar dikalikan
dengan nominal. Jadi kalau ditanya kenapa sampai sekarang belum ada, yaa
karena industrinya belum membutuhkan. Karena konteks FPJPS itu tadi seprti
yang saya bilang di depan, pembiayaan kalau dia mengalami kesulitan likuiditas.
Jadi, jangan didoakan dapat, itu nanti Bank nya kasian … (tertawa)
Jadi, kalau yang dapat itukan bank bermasalahkan… Bank Century dapat karena
dia bermasalah, gitu.
8. Saya pernah baca sebuah artikel yang menulis kenapa Bank Syariah belum
menggunakan dana pembiayaan BI melalui FPJPS, terkait dengan masih kecilnya
pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Syariah, khususnya sektor riil…
Bagaimana Pak?
Jawab
Pak Dwiyanto :
Ngga ada hubungannya, Bank Syariah tidak memberikan pembiayaan pun dia
bisa mengalami kesulitan likuiditas kok, Bank yang pembiayaannya besar dia bisa
saja tidak mengalami kesulitan likuiditas, tergantung bagian manajemen
likuiditasnya. Karena manajemen likuiditas itu tidak semata-mata tergantung pada
pembiayaannya. Kalau dalam perbankan itu, untuk mengukur, menghitung
likuiditas itu ada macam-macam caranya. Bukan karena pembiayaannya yang
kecil, bukan karena itu. Tetapi kalau sebagai indikasi awal bisa, jadi kalau kita
bicara, jadi ngomongnya jangan pembiyaan aja Mbak… jadi kaya FDR, LDR.
Jadi, kalau FDR tinggi, atau LDR tinggi itu akan berbeda dengan FDR atau LDR
yang rendah dalam konteks likuiditas. Tahu ga apa yang dimaksud dengan FDR,
Financing to Deposit Ratio, jadi jumlah pembiayaan dibagi dengan Dana Pihak
Ketiga nya. Jadi kalau nilainya semakin besar itu artinya semakin besar dana
masyarakat yang dihimpun bank syariah itu nanti disalurkan kepada masyarakat,
kalau konteksnya seperti itu, berarti kalau namanya pembiayaan itu kan uang
kembalinya itu kan tidak gampang ditagih, nah…kalau dana-dana pihak ketiga
tersebut nantinya pada cepat nariknya, itu kan bisa menjadi mismatch kan, itu
baru ngomong kesulitan likuiditas. Jadi kalau manajemen likuiditas seperti itu,
jadi kalau semakin tinggi FDR, itu resiko likuiditasnya semakin besar sehingga
potensi dia untuk mengakses FPJPS nya akan lebih besar, itu aja. Bukan karena
pembiayaannya kecil, bukan hanya itu.
Jakarta, 20 Juli 2010
Dwiyanto Analisis Bank Madya
KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH DALAM
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH (FPJPS)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh:
FITRIANINGSIH NIM. 106046101620
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Hasanudin, MAg. Djaka Badranaya, ME. NIP. 196103041955031001 NIP. 19770530200711008
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Pendistribusian Kekayaan Negara Dalam Perspektif Ekonomi Islam, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Nopember 2006. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam)
Jakarta, 1 Desember 2006 Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA, MM NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Dr. Euis Amalia, M.Ag (......................................) NIP. 197107011998032002 Sekretaris : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH (......................................) NIP. 197407252001121001 Pembimbing I : Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA (......................................) NIP. 1956090061982031004 Pembimbing I : Drs. H. Hamid Farihi, MA (......................................) NIP. 195811191986031001 Penguji I : A.M. Hasan Ali, MA (......................................)
NIP. 150370226
Penguji II : H. Irfan Humaidi, S.Ag, MM (......................................)
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/24/PBI/2009
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH
BAGI BANK UMUM SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa perkembangan perekonomian nasional dapat berfluktuasi
karena dipengaruhi oleh berbagai hal, termasuk ekonomi global;
b. bahwa dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami
penurunan dapat menimbulkan krisis keuangan nasional;
c. bahwa krisis keuangan nasional dapat meningkatkan risiko
likuiditas pada perbankan syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur
kembali ketentuan mengenai fasilitas pendanaan jangka pendek
bagi Bank Umum Syariah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang ...
-2-
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK
UMUM SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009;
2. Bank Umum Syariah, yang selanjutnya disebut Bank adalah
bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran;
3. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disebut GWM adalah
simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam
bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai GWM bagi
Bank;
4. Fasilitas ...
-3-
4. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah, yang untuk
selanjutnya disebut FPJPS adalah fasilitas pendanaan
berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank
yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek;
5. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah suatu kondisi yang
dialami Bank yaitu arus dana masuk lebih kecil dibandingkan
dengan arus dana keluar yang dapat menimbulkan tidak
terpenuhinya kewajiban GWM dalam mata uang rupiah pada
Bank;
6. Sertifikat Bank Indonesia Syariah, yang untuk selanjutnya
disebut SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah
berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia;
7. Surat Berharga Syariah Negara, yang selanjutnya disebut SBSN
adalah surat berharga negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara;
8. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
9. Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana dengan
pengelola dana untuk memelihara likuiditas Bank.
BAB II ...
-4-
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJPS
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek
dapat memperoleh FPJPS dengan memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diajukan apabila Bank memiliki rasio kewajiban penyediaan
modal minimum (capital adequacy ratio) positif.
(3) Plafon FPJPS diberikan berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan
likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM dalam mata
uang rupiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Pencairan FPJPS dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk
memenuhi kewajiban GWM dalam mata uang rupiah.
Pasal 3
FPJPS yang diterima oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) berdasarkan akad Mudharabah.
Pasal 4
FPJPS wajib dijamin oleh Bank dengan agunan yang berkualitas
tinggi yang nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 5
(1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 berupa:
a.surat berharga ...
-5-
a. surat berharga;
b. aset Pembiayaan.
(2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a:
a. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan/atau Bank Indonesia yang meliputi SBSN
dan SBIS;
b. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum
lainnya yang pada saat permohonan FPJPS memiliki
peringkat paling kurang peringkat investasi (investment
grade), aktif diperdagangkan, dan sisa jangka waktu surat
berharga paling kurang 90 (sembilan puluh) hari.
(3) Aset Pembiayaan yang dapat dijadikan agunan FPJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. kolektibilitas lancar selama 3 (tiga) bulan terakhir;
b. bukan merupakan Pembiayaan konsumsi kecuali
Pembiayaan pemilikan rumah;
c. bukan merupakan Pembiayaan kepada pihak terkait Bank;
d. aset Pembiayaan memiliki agunan;
e. saldo pokok Pembiayaan tidak melebihi plafon Pembiayaan
dan batas maksimum penyaluran dana pada saat diberikan;
dan
f. memiliki akad Pembiayaan dan pengikatan agunan yang
memiliki kekuatan hukum.
(4) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJPS dalam hal:
a. Bank ...
-6-
a. Bank tidak memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a; atau
b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a namun tidak mencukupi untuk menjadi
agunan FPJPS.
(5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJPS dalam hal Bank
tidak memiliki surat berharga atau surat berharga yang dimiliki
oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS.
Pasal 6
(1) Nilai aset yang digunakan sebagai agunan FPJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam hal agunan berupa SBIS, nilai agunan ditetapkan
paling kurang sebesar 100% (seratus persen) dari plafon
FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai nominal surat
berharga tersebut;
b. dalam hal agunan berupa SBSN, nilai agunan ditetapkan
paling kurang sebesar 105% (seratus lima persen) dari
plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat
berharga tersebut.
c. dalam hal agunan berupa surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, nilai agunan
ditetapkan sesuai dengan jenis surat berharga paling kurang
sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon
FPJPS, yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat
berharga.
d. dalam ...
-7-
d. dalam hal agunan berupa aset Pembiayaan, nilai agunan
tersebut ditetapkan paling kurang sebesar 150% (seratus
lima puluh persen) dari plafon FPJPS, yang dihitung
berdasarkan saldo pokok aset Pembiayaan.
(2) Ketentuan mengenai nilai nominal dan nilai pasar sebagaimana
tersebut pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c akan diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Agunan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak
sedang dijaminkan kepada pihak lain dan/atau Bank Indonesia,
yang dinyatakan dalam surat pernyataan Direksi Bank kepada
Bank Indonesia.
(2) Bank yang telah memperoleh FPJPS dilarang untuk
memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan surat
berharga yang masih dalam status sebagai agunan FPJPS.
(3) Bank wajib mengganti dan/atau menambahkan agunan FPJPS
apabila tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Bank wajib melakukan penilaian terhadap agunan FPJPS secara
berkala yang penentuan periode penilaiannya diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(5) Dalam hal terjadi penurunan nilai agunan FPJPS setelah
dilakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan/atau terjadi penurunan kolektibilitas aset Pembiayaan yang
diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), Bank
wajib ...
-8-
wajib menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS.
(6) Untuk keperluan perpanjangan FPJPS, Bank dapat menjaminkan
kembali aset yang sedang menjadi agunan FPJPS.
Pasal 8
(1) Pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJPS
ditatausahakan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai bentuk pengikatan agunan diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Bank yang memerlukan FPJPS wajib mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. surat pernyataan Direksi Bank yang menyatakan bahwa
Bank mengalami kesulitan likuiditas;
b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan likuiditas;
c. daftar aset yang menjadi agunan beserta dokumen
pendukung;
d. surat pernyataan bahwa seluruh aset yang akan menjadi
agunan FPJPS tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain,
tidak di bawah sitaan, tidak tersangkut dalam suatu perkara
atau ...
-9-
atau sengketa, dan memenuhi seluruh persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
e. surat kesanggupan Direksi Bank untuk membayar segala
kewajiban terkait FPJPS pada saat jatuh tempo.
(3) Bank wajib meyakini kebenaran data dan dokumen yang
disampaikan termasuk namun tidak terbatas pada kualitas
pembiayaan dan agunan yang menyertainya.
(4) Tatacara permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan apabila:
a. Bank memenuhi persyaratan permohonan FPJPS;
b. Bank memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen
permohonan FPJPS;
c. Berdasarkan analisis Bank Indonesia diperkirakan bahwa
Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan
perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke depan.
(2) Persetujuan pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJPS antara Bank
Indonesia dengan Bank penerima FPJPS.
(3) Perjanjian pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilampiri dengan perjanjian pengikatan agunan FPJPS.
(4) Realisasi pemberian FPJPS oleh Bank Indonesia dilakukan
melalui rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank
Indonesia.
(5) Ketentuan ...
-10-
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian FPJPS
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
Bank Indonesia dapat menolak permohonan FPJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 yang tidak sesuai dengan ketentuan,
persyaratan dan tatacara yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
Pasal 12
(1) Jangka waktu setiap FPJPS paling lama adalah 14 (empat belas)
hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJPS
keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
Pasal 13
Perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
hanya dapat dilakukan apabila:
a. imbalan atas FPJPS yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu;
b. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM rupiah
berdasarkan perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke
depan;
c. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7.
Pasal 14 ...
-11-
Pasal 14
Dalam rangka perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (2), Bank dapat mengajukan tambahan nilai FPJPS yang
dibutuhkan untuk menutup kewajiban yang tidak dapat diselesaikan
oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sepanjang:
a. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7; dan
b. penggunaan FPJPS belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari
berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
BAB III
PERHITUNGAN IMBALAN
Pasal 15
(1) Bank Indonesia memperoleh imbalan atas setiap FPJPS yang
diterima oleh Bank.
(2) Besarnya imbalan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan jumlah pokok FPJPS, tingkat realisasi
imbalan, nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia dan jumlah hari
kalender penggunaan FPJPS.
(3) Besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh
persen).
BAB IV ...
-12-
BAB IV
PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN
Pasal 16
(1) Pada saat FPJPS jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet
rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia
sebesar nilai FPJPS dan imbalan FPJPS.
(2) Dalam hal FPJPS jatuh tempo dan saldo giro rupiah Bank yang
bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk
membayar pokok dan imbalan FPJPS dan Bank tidak lagi
memenuhi persyaratan untuk memperoleh perpanjangan FPJPS,
maka agunan FPJPS dieksekusi.
(3) Bank Indonesia tetap mengenakan imbalan sampai dengan
eksekusi agunan selesai dilaksanakan.
(4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan
imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh Bank, maka Bank wajib
membayar kekurangannya kepada Bank Indonesia.
(5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok dan
imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh Bank, maka Bank
Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank.
(6) Eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V ...
-13-
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 17
(1) Bank wajib menyampaikan rencana tindak perbaikan (action
plan) untuk mengatasi kesulitan likuiditas paling lambat 5 (lima)
hari kerja setelah pencairan FPJPS.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia
mengenai penggunaan FPJPS dan kondisi likuiditas Bank pada
setiap akhir hari kerja.
Pasal 18
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan khusus atas penggunaan
FPJPS terhadap Bank penerima FPJPS.
Pasal 19
Bank Indonesia menetapkan Bank penerima FPJPS dalam status
pengawasan khusus.
BAB VI
BIAYA PEMBERIAN FPJPS
Pasal 20
Biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pengikatan perjanjian,
pengikatan dan eksekusi agunan serta biaya lainnya yang mungkin
timbul dalam rangka pemberian FPJPS menjadi beban Bank.
BAB VII ...
-14-
BAB VII
SANKSI
Pasal 21
Dalam hal Bank tidak melunasi FPJPS dan/atau melakukan
pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
dan/atau berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 18
diketahui adanya penyimpangan penggunaan FPJPS, maka Bank dapat
dikenakan sanksi berupa:
a. tidak dapat menerima FPJPS dalam jangka waktu tertentu; dan
b. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah antara lain berupa teguran tertulis, larangan untuk turut
serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu
dan/atau pemberhentian pengurus Bank.
Pasal 22
Apabila pengurus Bank, pemegang saham pengendali dan pejabat
eksekutif Bank dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah
yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau memberikan keterangan
atau dokumen yang diwajibkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
secara tidak benar, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dikenakan juga sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal
63 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
BAB VIII ...
-15-
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJPS diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 24
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka :
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 tanggal 4
Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi
Bank Syariah; dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/23/PBI/2005 tanggal 3
Agustus 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 25
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar ...
-16-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 102
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/24/PBI/2009
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH
BAGI BANK UMUM SYARIAH
I. UMUM
Dampak dari krisis keuangan global yang berlangsung saat ini berimbas
pada berbagai negara termasuk Indonesia. Hal tersebut secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi stabilitas sistem keuangan Indonesia termasuk
sistem perbankan.
Salah satu pengaruh dari krisis keuangan global tersebut adalah
meningkatnya potensi keraguan masyarakat terhadap sistem perbankan termasuk
perbankan syariah yang ditandai antara lain dengan meningkatnya kepanikan
masyarakat dalam menyikapi krisis. Sementara itu, kepercayaan masyarakat
merupakan salah satu prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem
perbankan yang stabil.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas diperlukan langkah-langkah
tertentu dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan upaya untuk
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009, Bank Indonesia dapat memberikan Pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang
dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi termasuk aset Pembiayaan lancar.
Sejalan ...
-2- Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan
dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada bank dengan
maksud agar kelangsungan kegiatan usaha Bank Umum Syariah dapat
terpelihara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Apabila terdapat unit usaha syariah yang mengalami Kesulitan
Pendanaan Jangka Pendek, maka unit usaha syariah wajib meminta
tambahan dana dari bank umum konvensional yang menjadi induknya.
Ayat (2)
Rasio kewajiban penyediaan modal minimum yang digunakan adalah
berdasarkan perhitungan Bank Indonesia.
Ayat (3)
Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan pada
proyeksi arus kas paling lama 14 hari kalender ke depan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kewajiban GWM” adalah berdasarkan
perhitungan Bank Indonesia.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4 ...
-3- Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat berharga syariah yang diterbitkan
oleh badan hukum lainnya” adalah obligasi syariah korporasi
(sukuk korporasi).
Peringkat tersebut berdasarkan hasil penilaian lembaga
pemeringkat yang diakui Bank Indonesia sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai lembaga pemeringkat
dan peringkat yang diakui Bank Indonesia.
Ayat (3)
Huruf a
Kolektibilitas lancar adalah kualitas lancar sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait
sebagaimana ...
-4- sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit
(BMPK) Bank Umum.
Huruf d
Adanya agunan disini dimaksudkan untuk memberi tambahan
keyakinan mengenai kualitas Pembiayaan yang dijadikan agunan
FPJPS.
Huruf e
Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) Bank Umum.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Apabila Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan
FPJPS maka Bank dapat menggunakan aset Pembiayaan untuk
menambah kekurangan nilai agunan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
-5- Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penggantian atau penambahan agunan FPJPS dimaksudkan agar nilai
aset agunan FPJPS sesuai dengan ketentuan Pasal 6.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang
berlaku” adalah antara lain peraturan yang mengatur gadai atau
fidusia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dokumen-dokumen atas aset yang menjadi
agunan FPJPS” adalah antara lain akad Pembiayaan antara Bank
dengan nasabah, bukti pengikatan agunan dan kepemilikan atas aset
yang menjadi agunan Pembiayaan Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
-6- Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” adalah antara
lain akad Pembiayaan antara Bank dengan nasabah dan
perjanjian pengikatan agunan atas Pembiayaan tersebut dan
dokumen lain yang dapat membuktikan terpenuhinya persyaratan
agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 ...
-7- Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”hari pada ayat ini” adalah hari kalender.
Apabila saat jatuh tempo FPJPS bertepatan pada hari Sabtu, Minggu
atau hari libur, maka pendebetan saldo rekening giro Bank pada Bank
Indonesia dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”hari” pada ayat ini adalah hari kalender.
Huruf c
Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJPS, agunan yang telah
diagunkan Bank untuk menjamin FPJPS yang diterima Bank
sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga Bank perlu menyesuaikan
jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan FPJPS.
Pasal 14
Tambahan nilai FPJPS yang diajukan akan diakumulasikan terhadap nilai
FPJPS yang belum dilunasi.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
-8- Ayat (2)
Rumus perhitungan besarnya imbalan FPJPS adalah sebagai berikut:
X = P x R x k x t/360
Dimana :
X : Besarnya imbalan yang diterima Bank Indonesia.
P : Jumlah pokok FPJPS.
R : Realisasi tingkat imbalan sebelum distribusi pada Bank
penerima FPJPS.
k : Nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia
t : Jumlah hari kalender penggunaan FPJPS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan jatuh tempo adalah berakhirnya jangka waktu
FPJPS dan tidak terdapat perpanjangan atas FPJPS dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17 ...
-9- Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima FPJPS dapat dilakukan pada
periode diterimanya atau setelah jatuh tempo FPJPS.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Yang dimaksud biaya dalam pasal ini antara lain adalah biaya notaris untuk
pengikatan perjanjian dan pengikatan agunan dalam rangka pemberian
FPJPS serta biaya-biaya lainnya yang timbul karena eksekusi agunan
FPJPS.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25 ...
-10-
Pasal 25
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5028
DPbS
Tabel 2.1 Rasio Keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Tabel Rasio Keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
(Financial Ratios of Islamic Commercial Bank and Islamic Business Unit)
Rasio (Ratio) 2005 2006 2007 Mar-08 Jun-08 Sep-08 Dec-08 Mar-09 Jun-09 Sep-09 Dec-09 Feb-10 Mar-10
1 CAR 1) 12.41%
13.73%
10.67%
11.54% 10.51%
10.59%
12.81%
13.87% 12.47%
11.50%
10.77% 11.43%
11.07%
2 ROA 1.35%
1.55%
2.07%
2.59% 2.32% 2.21% 1.42%
2.44% 2.16% 1.38% 1.48% 1.76% 2.13%
3 ROE 1) 27.58%
28.45%
40.38%
54.06% 49.39%
45.94%
38.79%
34.14% 29.51%
28.33%
26.09% 23.95%
32.02%
4 NPF 2.82%
4.75%
4.05%
4.17% 4.23% 4.12% 1.42%
5.14% 4.39% 5.72% 4.01% 4.75% 4.53%
5 FDR 97.75%
98.90%
99.76%
100.26% 103.18%
112.25%
103.65%
103.33% 100.22%
98.11%
89.70% 90.96%
95.07%
6 BOPO 78.91%
76.77%
76.54%
76.28% 72.94%
73.60%
81.75%
67.61% 73.56%
84.05%
84.39% 79.73%
76.27%
1) Hanya data Bank Umum Syari ah (Islamic Commercial Bank only)
Sumber : Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics), Maret 2010, Bank Indonesia35
35Statistik Perbankan Syariah diakses pada tanggal 23 Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Perbankan/Statistik+Perbankan+Syariah/sps_0310.htm
45
46
Tabel 2.2 Penempatan pada Bank Indonesia – Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Tabel Penempatan pada Bank Indonesia - Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Deposit in Bank Indonesia - Islamic Commercial Bank and Islamic Business 2005 2006 2007 Mar-08 Jun-08 Sep-08 Dec-08 Mar-09 Jun- Sep-09 Dec-09 Feb-10 Mar-10 Gi ro Wadi ah (Wadiah Demand Deposits) SWBI/SBI Syari ah (Bank Indonesia Wadiah Certificate/Bank Indonesia Islamic Certificate) Lai nnya (Others)
464
2,395
321
1,282
2,357
2
1,840
2,599
101
2,713
2,135
12
2,449
1,751
306
2,506
366
56
2,363
2,545
280
2,700
2,704
553
2,265
1,819
2,44
2,131
2,635
1,779
2,694
3,076
4,623
2,933
2,972
3,932
2,883
2,425
3,327
Total 3,18 3,64 4,540 4,860 4,506 2,92 5,18 5,958 6,53 6,545 10,393 9,837 8,635
Sumber : Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics), Maret 2010, Bank Indonesia36
36Statistik Perbankan Syariah diakses pada tanggal 23 Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Perbankan/Statistik+Perbankan+Syariah/sps_0310.htm
46
Tabel 2.2 Penempatan pada Bank Indonesia – Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
47