Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

download Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

of 29

Transcript of Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    1/29

      1

     

    Perihal : Konsekuensi Hukum Pemenuhan Ketentuan-Ketentuan Yang Dipersyaratkan

    Dalam Pelaksanaan Proyek Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Terhadap

    Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Suretybond

    Berkenaan dengan pemberian Legal Opinion  dimaksud, kami telah memeriksa

    beberapa peraturan perundang-undangan, dokumen dan mencermati informasi yang

    terkait dengan masalah tersebut antara lain:

    1.  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

    2.  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara;

    3.  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

    4.  Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden

    No.54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah

    5.  Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 124/PMK.10/2008 Tentang Penyelenggaraan

    Lini Usaha Asuransi Kredit Dan Suretyship

    6.  Peraturan Menteri PU-PR RI No. 31/PRT/M/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas

    Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan

    Pedoman Pengadaan Pekerjaan Umum Konstruksi Dan Jasa Konsultasi;

    7.  Permeneg BUMN No.01/MBU/2011 Dan Perubahannya No.09/MBU/2012 Tentang

    Penetapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (GOOD CORPORATE

    GOVERNANCE) Pada Badan Usaha Milik Negara;

    8.  Putusan Mahkamah Agung No. 023.K/N/1999 tanggal 16 Agustus 1999;

    9.  Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, S.H Buku berjudul Hukum Pertanggungan,

    diterbitkan oleh Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,

    Yogyakarta, halaman 53

    Sehubungan Pemberian Legal Opinion  dan Rekomendasi Perihal dimaksud, dan

    setelah meneliti, memeriksa, mempelajari, dan mereview berdasarkan Peraturan

    perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas, dengan ini kami kemukakan melalui

    uraian-uraian sebagai berikut :

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    2/29

      2

    I.  FAKTA

    1. 

    II.  DASAR HUKUM

    A.  Tentang Surat Jaminan Suretyship (Suretybond)

    1.  Bahwa sehubungan dengan Jaminan Suretyship, berdasarkan Ayat 3, 4, 5 dan 6

    Pasal 1 PMK No. 124/PMK.10/2008 Tentang Penyelenggaraan Lini Usaha

    Asuransi Kredit Dan Suretyship menerangkan antara lain sebagai berikut:

    Ayat 3

    “ Suretyship adalah lini usaha Asuransi Umum yamg memberikan jaminan atas

    kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok

    antara Principal dan Obligee”.

    Ayat 4

    “ Surety adalah Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan produk asuransi

     pada lini usaha suretyship”

    Ayat 5

    “ Principal  adalah pihak dalam perjanjian Suretyship yang harus memenuhi

    kewajiban kepada obligee berdasarkan Perjanjian pokok”

    Ayat 6

    “ Obligee  adalah pihak dalam Suretyship yang berhak menerima pemenuhan

    kewajiban dari Principal berdasarkan Perjanjian Pokok”.

    2.  Bahwa berdasarkan Pasal 67 Ayat (1) Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang

    perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang

    Pengadaan barang/jasa Pemerintah berbunyi: 

    “ Penyedia Barang/Jasa menyerahkan Jaminan kepada Pengguna

    Barang/Jasa untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dipersyaratkan

    dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak Pengadaan Barang/Jasa “.

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    3/29

      3

    3.  Bahwa keberadaan suatu Surat Jaminan yang dipersyaratkan dalam Kontrak,

    digunakan untuk menjamin terpenuhinya kewajiban Penyedia Barang/Jasa,

    ketentuan tersebut sebagaimana di atur Pasal (35) Perpres No. 4 Tahun 2015

    Tentang perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010

    Tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah yang berbunyi:

    “ Surat Jaminan yang selanjutnya disebut Jaminan, adalah  jaminan tertulis

     yang bersifat mudah dicairkan dan tidak bersyarat (unconditional),

     yang dikeluarkan oleh Bank Umum/Perusahaan Penjaminan/Perusahaan

    Asuransi  yang diserahkan oleh Penyedia Barang/Jasa kepada

    PPK/Kelompok Kerja ULP untuk menjamin terpenuhinya kewajiban

    Penyedia Barang/Jasa ”.

    4.  Bahwa melalui bukunya Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, S.H

    menyatakan bahwa Surety Bond merupakan bentuk perjanjian 3 (tiga) pihak

    sebab perjanjian pemberian jaminan adalah perjanjian tambahan terhadap

    perjanjian pokok antara obligee dengan principal. Sehingga para pihak yang

    terkait dalam Surety Bond adalah:

    a.  Obligee, adalah setiap pemberi pekerjaan yang mengadakan kontrak

    dengan principal (kontraktor) yang disebut perjanjian pokok atau kontrak

    kerja dan dalam kontrak disebutkan hak dan kewajiban yang harus

    dipenuhi oleh masing-masing pihak. Obligee tersebut dapat berupa

    perorangan, perusahaan instansi pemerintah atau lembaga-lembaga lain.

    b.  Principal, adalah pihak yang mengikatkan diri dengan pemilik proyek

    (obligee) dalam kontrak dan berjanji untuk melaksanakan pekerjaannya

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam kontrak.

    c. 

    Surety Company, adalah perusahaaan asuransi kerugian yang memberikan

     jaminan pada principal atas kesanggupannya dalam melaksanakan

    pekerjaan sesuai ketentuan kontrak. Bila tidak dilaksanakan maka

    Perusahaan Surety akan membayar ganti rugi sebesar jumlah maksimum

    nilai jaminan.

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    4/29

      4

    B.  Tentang Perjanjian Pelaksanaan Proyek Pekerjaan Umum Kementerian Pekerjaan

    Umum Dan Perumahan Republik Indonesia  (Kontrak Pengadaan Barang/Jasa

    Pemerintah) 

    1.  Bahwa berdasarkan  Pasal 1 Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan

    Keempat Atas Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan

    barang/jasa Pemerintah, berbunyi: 

    “Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan

    Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh

    Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang

     prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh

    kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa”

    2.  Bahwa berdasarkan  Pasal 64 Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan

    Keempat Atas Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan

    barang/jasa Pemerintah, berbunyi antara lain: 

    (4) PPK menetapkan bagian dari rancangan Dokumen Pengadaan  yang terdiri

    atas:

    a. rancangan SPK; atau

    b. rancangan surat perjanjian termasuk:

    1) syarat-syarat umum Kontrak;

    2) syarat-syarat khusus Kontrak;

    3.  Bahwa berdasarkan  Pasal 65 Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan

    Keempat Atas Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan

    barang/jasa Pemerintah, berbunyi antara lain: 

    (1) PPK menyusun rancangan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa sebagaimanadimaksud dalam Pasal 64 ayat (4) huruf a dan huruf b.

    (2) Rancangan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa disusun dengan berpedoman

     pada Standar Kontrak Pengadaan Barang/Jasa.

    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar Kontrak Pengadaan Barang/Jasa

    serta pedoman penyusunan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa diatur dengan

     peraturan Kepala LKPP.

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    5/29

      5

     

    4.  Bahwa mengenai penandatangan kontrak, berdasarkan Pasal 86 Perpres No. 4

    Tahun 2015 Tentang perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No.54 Tahun2010 Tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah, berbunyi antara lain:

    (1) PPK menyempurnakan rancangan Kontrak Pengadaan Barang/ Jasa untuk

    ditandatangani.

    (2) Penandatanganan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa dilakukan setelah

    DIPA/DPA disahkan.

    (3) Para pihak menandatangani Kontrak setelah Penyedia Barang/Jasa

    menyerahkan Jaminan Pelaksanaan.

    (4) Penandatanganan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang kompleks dan/atau

    bernilai diatas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan

    setelah memperoleh pendapat ahli hukum Kontrak.

    5.  Bahwa mengenai perubahan terhadap kontrak  berdasarkan Pasal 87 Perpres

    No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No.54

    Tahun 2010 Tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah, berbunyi antara lain: 

    (1) Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat  

     pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang  ditentukan

    dalam Dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia  Barang/Jasa dapat

    melakukan perubahan Kontrak yang meliputi: 

    a. menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang  tercantum dalam

    Kontrak; 

    b. menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan; 

    c. mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan;

    atau 

    d. mengubah jadwal pelaksanaan.

    (3) Penyedia Barang/Jasa dilarang mengalihkan pelaksanaan  pekerjaan utama

    berdasarkan Kontrak, dengan melakukan  subkontrak kepada pihak lain,

    kecuali sebagian pekerjaan utama kepada penyedia Barang/Jasa spesialis.

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    6/29

      6

    (4) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyedia

    Barang/Jasa dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai

    dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Dokumen Kontrak. 

    C.  Tentang Pemutusan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Dapat Dilakukan Secara

    Sepihak Oleh Pengguna Barang/Jasa

    1.  Bahwa berdasarkan Pasal 86 Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan

    Keempat Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan

    barang/jasa Pemerintah  ketentuan mengenai Pelaksanaan Pengadaan

    Barang/Jasa Kontrak Pengadaan barang/Jasa antara PPK selaku Obligee dan

    Penyedia Barang/Jasa selaku Principal dituangkan kedalam kontrak

    (Perjanjian Pokok). 

    2.  Bahwa berdasarkan Pasal 93 Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan

    Keempat Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan

    barang/jasa Pemerintah, mengatur bahwa  PPK dapat memutuskan Kontrak

    secara sepihak, apabila:

    a.  kebutuhan Barang/Jasa tidak dapat ditunda melebihi batas

    berakhirnya Kontrak;

    a.1.berdasarkan penelitian PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan

    mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun

    diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari

    kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk

    menyelesaikan pekerjaan;

    a.2. setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai

    dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya

     pelaksanaan pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat

    menyelesaikan pekerjaan;

    b. Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan

    kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka

    waktu yang telah ditetapkan;

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    7/29

      7

    c. Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan,

    dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan oleh

    instansi yang berwenang; dan/atau

    d. pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN, dan/atau

     pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan Pengadaan

    Barang/Jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.

    (1a) Pemberian kesempatan kepada Penyedia Barang/Jasa

    menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari

    kalender, sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.1. dan huruf a.2.,

    dapat melampaui Tahun Anggaran.

    (2) Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan

    Penyedia Barang/Jasa:

    a. Jaminan Pelaksanaan dicairkan;

    b. sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa atau

    Jaminan Uang Muka dicairkan;

    c. Penyedia Barang/Jasa membayar denda keterlambatan; dan

    d. Penyedia Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam.

    (3) Dalam hal dilakukan pemutusan Kontrak secara sepihak oleh PPK

    karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa sebagaimana dimaksud

     pada ayat (1), Kelompok Kerja ULP dapat melakukan

    Penunjukan Langsung kepada pemenang cadangan berikutnya

     pada paket pekerjaan yang sama atau Penyedia Barang/Jasa

     yang mampu dan memenuhi syarat.

    D.  Tentang Jenis, Fungsi Serta Bersifat Mudah Dicairkan Dan Tidak Bersyarat

    (Unconditional) Pada Surat Jaminan

    1.  Bahwa berdasarkan Pasal 67 Ayat (1) Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010

    sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang

    Pengadaan barang/jasa Pemerintah, penyedia barang/jasa harus menyerahkan

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    8/29

      8

     jaminan kepada pengguna barang/jasa untuk memenuhi kewajiban

    sebagaimana dipersyaratkan dalam dokumen pengadaan/kontrak pengadaan

    barang/jasa.

    Adapun kewajiban penyedia dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah

    sebagai berikut:

    1)  Mengikuti proses lelang dengan tertib dan bertanggung jawab  (Surat

    Jaminan Penawaran);

    2)  Menerima keputusan yang telah diambil, selama putusan tersebut tidak

    bertentangan dengan peraturan yang berlaku  (Surat Jaminan Sanggah

    Banding);

    3)  Menghindari penyalahgunaan wewenang; 

    4)  Menghindari konflik kepentingan; 

    5)  Tidak saling mempengaruhi baik sesama peserta maupun dengan Pokja

    ULP; 

    6)  Tidak menerima, menawarkan, atau menjanjikan sesuatu; 

    7)  Mengembalikan uang muka yang telah dibayarkan  (Surat Jaminan Uang

    Muka);

    8) 

    Menyerahkan barang/hasil pekerjaan secara tepat waktu dalam keadaan baik

    dan cukup (Surat Jaminan Pelaksanaan);

    9)  Melakukan pemeliharaan dan/atau perbaikan atas segala

    kerusakan/kekurangan yang timbul selama masa pemeliharaan  (Surat

    Jaminan Pemeliharaan).

    2.  Bahwa berdasarkan Pasal 1 Ayat (35) Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang

    perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang

    Pengadaan barang/jasa Pemerintah, berbunyi sebagai berikut:

    “ Surat Jaminan yang selanjutnya disebut Jaminan, adalah jaminan tertulis

     yang bersifat mudah dicairkan dan tidak bersyarat (unconditional),

     yang dikeluarkan oleh Bank Umum/Perusahaan

    Penjaminan/Perusahaan Asuransi yang diserahkan oleh Penyedia

    Barang/Jasa kepada PPK/Kelompok Kerja ULP untuk menjamin

    terpenuhinya kewajiban Penyedia Barang/Jasa ”.

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    9/29

      9

     

    3.  Bahwa berdasarkan Pasal 4b Peraturan Menteri PU-PR RI

    No. 31/PRT/M/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan MenteriPekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan Pedoman

    Pengadaan Pekerjaan Umum Konstruksi Dan Jasa Konsultasi  berbunyi

    sebagai berikut: 

    (1) Penggunaan surat jaminan pekerjaan konstruksi  diatur sebagai

    berikut:

    a.  paket pekerjaan sampai dengan Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima

    ratus juta rupiah) tidak diperlukan surat jaminan penawaran.

    b. 

    surat jaminan penawaran  untuk paket pekerjaan di atas

    Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan

    Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dapat diterbitkan

    oleh Bank Umum, Perusahaan Asuransi, Perusahaan

    Penjaminan, konsorsium perusahaan asuransi umum/lembaga

     penjaminan/perusahaan penjaminan yang mempunyai program

    asuransi kerugian (suretyship), bersifat mudah dicairkan dan

    tidak bersyarat (unconditional) dimana konsorsium tersebut

    telah ditetapkan/mendapat rekomendasi dari Otoritas Jasa

    Keuangan (OJK), dan diserahkan oleh Penyedia Jasa kepada Kelompok

    Kerja ULP.

    c.  surat jaminan penawaran  untuk paket pekerjaan di atas

    Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) diterbitkan oleh

    Bank Umum, konsorsium perusahaan asuransi umum/lembaga

     penjaminan/perusahaan penjaminan yang mempunyai program

    asuransi kerugian (suretyship), bersifat mudah dicairkan dan

    tidak bersyarat (unconditional) dimana konsorsium tersebut

    telah ditetapkan/mendapat rekomendasi dari Otoritas Jasa

    Keuangan (OJK), dan diserahkan oleh Penyedia Jasa kepada Kelompok

    Kerja ULP.

    d. surat jaminan pelaksanaan, surat jaminan uang muka atau surat

     jaminan pemeliharaan, untuk paket pekerjaan sampai dengan

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    10/29

      10

    Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) dapat

    diterbitkan oleh Bank Umum, Perusahaan Asuransi, Perusahaan

    Penjaminan, konsorsium perusahaan asuransi umum/lembaga

     penjaminan/perusahaan penjaminan yang mempunyai program

    asuransi kerugian (suretyship), bersifat mudah dicairkan dan

    tidak bersyarat (unconditional) dimana konsorsium tersebut

    telah ditetapkan/mendapat rekomendasi dari Otoritas Jasa

    Keuangan (OJK), dan diserahkan oleh Penyedia Jasa kepada PPK.

    e.  surat jaminan pelaksanaan, surat jaminan uang muka, atau

    surat jaminan pemeliharaan, untuk paket pekerjaan di atas

    Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) diterbitkan

    oleh Bank Umum, konsorsium perusahaan asuransi

    umum/lembaga penjaminan/perusahaan penjaminan yang

    mempunyai program asuransi kerugian (suretyship), bersifat

    mudah dicairkan dan tidak bersyarat (unconditional) dimana

    konsorsium tersebut telah ditetapkan/mendapat rekomendasi

    dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK ), dan diserahkan oleh Penyedia

    Jasa kepada PPK.

    E.  Tentang Perbuatan Cidera Janji Yang Dapat Terjadi Dalam Pelaksanaan

    Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

    1. Bahwa sehubungan dengan kewajiban Principal untuk memenuhi ketentuan-

    ketentuan yang dipersyaratkan dalam Perjanjian Pokok sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 67 Ayat (1) Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 sebagaimana

    telah diubah dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan barang/jasa

    Pemerintah di atas apabila Principal pada masa-masa tertentu di dalam masa

    pelaksanaan perjanjian pokok tersebut melakukan hal-hal yang bersifat lalai

    sehingga tidak terpenuhinya perjanjian, maka  Penjamin (Surety Company)

    berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya untuk bertanggungjawab

    dengan membayar sejumlah uang kepada Obligee (Pihak yang dijamin),

    disamping itu Perpres dimaksud selanjutnya menjelaskan perihal perbuatan

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    11/29

      11

    Principal (Pihak Terjamin)  yang dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya

    Perjanjian Pokok, antara lain adalah:

    a. 

    Pihak Terjamin (Penyedia Barang/Jasa) tidak memenuhi kewajibannya

    sebagai peserta lelang dalam hal yaitu:

      Menarik kembali penawarannya selama dilaksanakan pelelangan atau

    sesudah ditunjuk sebagai pemenang;

      Tidak menyerahkan jaminan pelaksanaan setelah ditunjuk sebagai

    pemenang;

      Tidak menandatangani kontrak;

     

    Tidak hadir dalam klarifikasi dan/atau verifikasi sebagai calon pememang;(Masa Pelaksanaan Jaminan Penawaran).

    b. Pihak Terjamin tidak menyelesaikan seluruh kewajibannya sesuai dengan

    perjanjian/kontrak (Masa Pelaksanaan Jaminan Pelaksanaan);

    Klaim atas Performance Bond (Jaminan Pelaksanaan) terjadi apabila :

      Principal mengundurkan diri dari pekerjaan

      Principal tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai ketentuan kontrak,

    seperti :

    1). Pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak atau Surat

    Perintah Kerja.

    2). Pekerjaan disub-kan kepada Kontraktor lain.

    3). Pekerjaan tidak dapat diselesaikan sesuai waktu yang ditentukan dalam

    kontrak.

    c.  Apabila Pihak Terjamin tidak mengembalikan uang muka uang telah

    dibayarkan (Masa Pelaksanaan Jaminan Uang Muka);

    d. Apabila Terjamin tidak melaksanakan pemeliharaan atau tidak memperbaiki

    seluruh kerusakan yang terjadi selama masa pemeliharaan (Masa

    Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan). 

    2.  Bahwa berdasarkan Pasal 122  Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010

    sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    12/29

      12

    Barang/Jasa Pemerintah  juga mengatur mengenai adanya Perbuatan Cidera

    Janji yang dapat dilakukan oleh PPK  terhadap ketentuan yang termuat dalam

    Kontrak (Perjanjian Pokok), ketentuan tersebut berbunyi sebagai berikut 

    ”PPK yang melakukan cidera janji terhadap ketentuan yang termuat dalam

    Kontrak, dapat dimintakan ganti rugi dengan ketentuan sebagai berikut: 

    a. besarnya ganti rugi yang dibayar oleh PPK atas keterlambatan pembayaran

    adalah sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambat dibayar, berdasarkan

    tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu menurut ketetapan Bank

    Indonesia; atau

    b. dapat diberikan kompensasi sesuai ketentuan dalam Kontrak.

    F.  Tentang Pengertian, Syarat Sah, Perjanjian Mengikat Para Pihak sebagai Undang-

    Undang Serta Penentuan Tindakan Lalai Terhadap Perjanjian Pokok

    (Wanprestasi).

    1.  Bahwa yang dimaksud dengan Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

    mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

    atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata.

    2.  Bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat tertentu

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

    a.  Harus ada kesepakatan dari pihak yang membuat perjanjian;

    b.  Harus ada kemampuan membuat perjanjian;

    c.  Harus ada objek atau hal tertentu;

    d.  Harus ada causa/sebab yang halal.

    3. 

    Bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    1338 Ayat (1) KUH Perdata.

    4.  Bahwa si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan

    sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri,

    ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    13/29

      13

    lewatnya waktu yang dikatakan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1238

    KUH Perdata.

    G.  Tentang Penjaminan Atau Penanggungan Serta Pencantuman Klausula Pelepasan

    Hak Istimewa Yang Diberikan Undang-Undang Sebagaimana Dimaksud Dalam

    Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Perjanjian Penjaminan

    Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

    1.  Bahwa istilah Penjaminan memiliki pengertian yang sama dengan

    Penanggungan, berdasarkan Pasal 1316 dan Pasal 1820 KUH Perdata,

    berbunyi sebagai berikut:

    “ Seseorang boleh menanggung seorang pihak ketiga dan menjanjikan bahwa

     pihak ketiga ini akan berbuat sesuatu; tetapi hal ini tidak mengurangi tuntutan

     ganti rugi terhadap penanggung atau orang yang berjanji itu jika pihak ketiga

    tersebut menolak untuk memenuhi perjanjian itu”

    “Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga, demi kepentingan

    kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu

    tidak memenuhi perikatannya ” .

    2.  Bahwa Penanggung wajib memiliki kemampuan memenuhi perikatannya, hal

    tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1827 KUH Perdata  yang berbunyi

    sebagai berikut:

    “ Debitur yang diwajibkan menyediakan seorang penanggung, harus mengajukan

    seseorang yang cakap untuk mengikatkan diri dalam perjanjian, mampu untuk

    memenuhi perjanjiannya dan bertempat tinggal di Indonesia”

    3.  Bahwa sifat Perjanjian Penanggungan sangatlah bergantung pada Perjanjian

    Pokoknya, hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1821 KUH Perdata,

    yang berbunyi sebagai berikut:

    “ Tiada penanggungan, bila tiada perikatan pokok yang sah menurut

    undang-undang. Akan tetapi orang dapat mengadakan penanggungan dalam

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    14/29

      14

    suatu perikatan, walaupun perikatan itu dapat dibatalkan dengan sanggahan

    mengenai debitur, misalnya dalam hal belum cukup umur “. 

    4.  Bahwa suatu Persetujuan berlaku sah sebagai Undang-Undang bagi yang

    membuatnya, hal tersebut berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata  berbunyi

    sebagai berikut :

    “ Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang

    berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

    Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua

    belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

    Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik “.

    5.  Bahwa terkait dengan Penanggungan harus dinyatakan secara tegas, Pasal

    1824 KUH Perdata, berbunyi sebagai berikut: 

    “ Penanggungan tidak dapat hanya diduga-duga, melainkan harus

    dinyatakan secara tegas; penanggungan itu tidak dapat diperluas

    hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu

    mengadakannya “.

    6. 

    Bahwa berdasarkan pasal 1831 KUH Perdata, berbunyi sebagai berikut:

    “ Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali jika

    debitur lalai membayar utangnya; dalam hal itu pun barang kepunyaan

    debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya “.

    H.  Tentang Berakhirnya Perjanjian Penanggungan

    Bahwa mengenai berakhirnya suatu perjanjian, berdasarkan KUH Perdata

    berbunyi:

    Pasal 1845.

    “Perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab yang sama

    dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan lainnya”.

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    15/29

      15

    Pasal 1381

    “ Perikatan hapus:

    karena pembayaran; (KUHPerd. 1382 dst.)

    -  karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau

     penitipan; (KUHPerd. 1404 dst.)

    -  karena pembaharuan utang; (KUHPerd. 1413 dst.)

    -  karena perjumpaan utang atau kompensasi; (KUHPerd: 1425 dst.)

    -  karena percampuran utang; (KUHPerd. 1436 dst.)

    -  karena pembebasan utang; (KUHPerd. 1438 dst.)

    -  karena musnahnya barang yang terutang; (KUHPerd. 1444 dst.)

    -  karena kebatalan atau pembatalan; (KUHPerd. 1446 dst.)

    -  karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I

    buku ini; (KUHPerd. 1265 dst.) dan

    -  karena kedaluwarsa, yang akan diatur dalam suatu bab tersendiri.

    I.  Tentang Kewajiban Principal / Indemnitor Untuk Membayar Ganti Rugi Kepada

    Surety Company  Atas Pemenuhan Pembayaran Klaim Kepada Obligee Akibat

    Kegagalan / Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Principal (Subrogasi)

    Bahwa Pihak Penjamin berhak menerima Ganti Rugi dari Pihak Terjamin atas

    Pemenuhan Pembayaran Klaim yang telah dilakukannya, hal tersebut

    sebagaimana diatur dalam Pasal 1839 dan Pasal 1840 KUH Perdata, yang berbunyi

    sebagai berikut:

    “ Penanggung yang telah membayar dapat menuntut apa yang telah

    dibayarnya itu dari debitur utama, tanpa memperhatikan apakah penanggungan

    itu diadakan dengan atau tanpa setahu debitur utama itu. Penuntutan kembali ini

    dapat dilakukan, baik mengenai uang pokok maupun mengenai bunga serta biaya-

    biaya. Mengenai biaya-biaya tersebut, penanggung hanya dapat menuntutnya

    Kimball, sekedar dalam waktu yang dianggap patut ia telah menyampaikan

     pemberitahuan kepada debitur utama tentang tuntutan-tuntutan yang ditujukan

    kepadanya. Penanggung juga berhak menuntut penggantian biaya, kerugian dan

    bunga, bila alasan untuk itu memang ada“.

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    16/29

      16

    “ Penanggung yang telah membayar lunas utangnya, demi hukum

    menggantikan kreditur dengan segala haknya terhadap debitur semula” .

    Disamping itu terhadap Perusahaan Surety (Penjamin) yang telah memenuhi

    kewajibannya kepada Obligee, berdasarkan Suretybond serta berdasarkan

     Agreement of Indemnity To Surety atau Perjanjian Kewajiban Membayar Ganti

    Rugi Kepada Penjamin yang ditandatangani oleh Pihak Principal bersama

    Indemnitornya demi hukum telah menggantikan hak menuntut dari Obligee yang

    ada pada Principal.

    J.  Tentang Perusahaan Milik Negara (BUMN) Yang bergerak Di Bidang Asuransi

    Kerugian (Asuransi Kredit dan Suretyship) Serta Penerapan Prinsip Kehati-hatian

    1.  - Bahwa berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003

    Tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi sebagai berikut:

    “ Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang

    berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-

    Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.”

    Bahwa berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentangPerubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

    Terbatas berbunyi sebagai berikut: 

    “Terhadap Perseroan berlaku Undang-Undang ini, anggaran dasar

    Perseroan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”

    2.  Bahwa berdasarkan Peraturan menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006

    Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non

    Bank Pasal 3 Permenkeu tersebut menentukan bahwa Lembaga Keuangan Non

    Bank (LKNB) wajib menetapkan sebagai berikut: 

    “Kebijakan penerimaan nasabah; - Kebijakan dan prosedur dalam

    mengidentifikasi nasabah;”

    3.  Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung

    No. 023.K/N/1999 tanggal 16 Agustus 1999, sehubungan dengan permasalahan

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    17/29

      17

    hukum Exceptio Non Adempletio Contractus yakni  “tangkisan berdasar

    bahwa Penggugat sendiripun belum atau tidak memenuhi perjanjian”, dapat

    disampaikan sebagai berikut:

      kasus perkara yang mengandung permasalahan hukum Exceptio Non

     Adempletio Contractus langsung menimbulkan dampak pembuktian yang

    rumit dan teliti untuk dibuktikan: apakah benar pihak (Pemohon dan

    Termohon ) sama sama berada dalam keadaan wanprestasi (default), serta

    sejauh atau sebesar apa nilai dari wanprestasi yang dilakukan oleh Para

    Pihak tersebut. 

      dalam perkara ini Pemohon dibebani wajib bukti (beerden of proof)

    untuk membuktikan dalil permohonannya tentang wanprestasi,

    sementara Termohon juga dibebani wajib bukti untuk membuktikan

    counter claim tentang wanprestasi dan kerugian yang dialaminya.

    4.  Bahwa sehubungan dengan Angka 4 di atas, berdasarkan Putusan MA Nomor

    Register: 438 K / Pdt / 1995 Tanggal 30 September 1996, Kaidah Hukum

    mengemukakan sebagai berikut:

    “Dalam suatu gugatan apabila terbukti bahwa Penggugat yang wanprestasi, maka gugatan Penggugat sepanjang mengenai wanprestasinya pihak lawan harus

    ditolak;”

    5.  Bahwa berdasarkan pendapat Pakar Hukum dari Universitas Gadjah Mada,

    Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, S.H., yang berbunyi sebagai berikut:

    “Akan tetapi…, dst. Soal itu tidak dapat diselesaikan secara baik tanpa

    menyelidiki terlebih dahulu tentang: Apakah sebab atau kuasa dari sesuatu

    kerugian tertentu itu. Kalau persoalan itu dapat kita jawab maka barulah dapat

    ditentukan apakah penanggung itu wajib mengganti kerugian yang timbul atau

    tidak” ; (vide Buku berjudul Hukum Pertanggungan, diterbitkan oleh Seksi

    Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,

    halaman 53)

    6.  Bahwa berdasarkan Pasal 25 Ayat (1) dan Pasal 26 Ayat 2 (b) Permeneg BUMN

    No.01/MBU/2011 Dan Perubahannya No.09/MBU/2012 Tentang Penetapan Tata

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    18/29

      18

    Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha

    Milik Negara, berbunyi sebagai berikut: 

    “Direksi BUMN harus menetapkan suatu sistem pengendalian intern

     yang efektif untuk mengamankan investasi dan aset perusahaan dan

    dalam setiap pengambilan keputusan/tindakan, harus mempertimbangkan

    risiko usaha yang didalamnya mencakup hal-hal antara lain yaitu:

     pengkajian terhadap pengelolaan risiko usaha (risk assessment), yaitu

    suatu proses untuk mengidentifikasi, menganalisis, menilai pengelolaan

    risiko yang relevan” .

    7. 

    Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 120

    K/PID.SUS/2012 tanggal 26 Juni 2013, menjelaskan tentang permohonan kasasi

    Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan dan Terdakwa dinyatakan bersalah serta

    dijatuhi pidana, Yurispruidensi tersebut berbunyi antara lain:

    “Bahwa  perbuatan Terdakwa yang tetap menerbitkan surety bond

     jaminan uang muka, meskipun persyaratan yang dimintakan oleh

    kantor pusat belum dipenuhi oleh pemohon merupakan

     penyalahgunaan wewenang oleh Terdakwa, alasan Terdakwa yang percaya

     janji pemohon akan melengkapi persyaratan yang diminta tidak dapat

    dibenarkan dan bukanlah alasan pembenar atau pemaaf terhadap perbuatan

    Terdakwa,”

    8.  Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 120 K/PID.SUS/2012

    tanggal 26 Juni 2013  perkara Tindak Pidana korupsi Penyalah Gunaan

    Wewenang Kepala Cabang PT. (Persero) Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI)

    terkait Penutupan Penjaminan, terdapat kaidah hukum menjelaskan antaralain sebagai berikut:

    Bahwa PT. (Persero) Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI) adalah Badan

    Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibentuk berdasarkan PP No. 20 Tahun

    1985, sehingga jaminan uang muka sebesar Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima

    ratus juta rupiah) yang dibayar oleh obligee kepada PT. Pelopor Lestari Jaya

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    19/29

      19

    melalui PT. ASEI sebagai BUMN tersebut dikwalifikasikan sebagai

    keuangan Negara.

    Bahwa oleh karena Terdakwa selaku Kepala PT. ASEI cabang Tangerang

    telah menyerahkan uang tersebut kepada PT. Pelopor Lestari Jaya,

    namun kenyataannya jual beli tidak terlaksana sehingga menimbulkan

    kewajiban bagi PT. ASEI untuk mengembalikan/ membayar uang

    sebesar Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) kepada

    obligee.

    Dengan demikian meskipun klaim dari obligee tersebut belum dibayar

    oleh PT. ASEI cabang Tangerang, namun secara faktual potensi untuk

    terjadinya kerugian keuangan Negara telah nyata;

    Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas unsur dapat merugikan keuangan

    Negara tersebut terpenuhi; Bahwa sesuai fakta-fakta hukum yang

    diperoleh di persidangan dan alat-alat bukti yang sah, perbuatan yang

    didakwakan terhadap Terdakwa  dilakukan secara bersama-sama dengan

    Indra Sarnis (penuntutan dilakukan secara terpisah), Samuel Herrat Tulandi

    (DPO), dan Patrisius Sabran (DPO);

    Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas Terdakwa terbukti bersalah

    melakukan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Pasal 3 jo Pasal

    18 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Republik

    Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

    No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.

    Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana yang didakwakan dalam

    dakwaan Alternatif kedua Jaksa/Penuntut Umum oleh karena itu

    Terdakwa patut dijatuhi hukuman yang setimpal dengan

     perbuatannya; 

    8.  Bahwa berdasarkan Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang No. Tentang BUMN dalam

    penjelasannya  berbunyi antara lain bahwa “Direksi selaku organ BUMN yang

    ditugasi melakukan pengurusan tunduk pada semua peraturan yang berlaku

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    20/29

      20

    terhadap BUMN dan tetap berpegang pada penerapan prinsip - prinsip  good

    corporate governance  yang meliputi : 

    a) 

    transparansi,;

    b) kemandirian,;

    c) akuntabilitas,;

    d)  pertanggungjawaban,;

    e) kewajaran,.

    9.  Bahwa menurut penjelasan umum UU No.31 Tahun 1999 alinea keempat Jo UU

    No. 20 Tahun 2001 menyebutkan:

    “Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk

    apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya

    segala kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada

    dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN /BUMD, dan

     perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan

    negara”

    10. Bahwa Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan Nomor 003/PUU- IV/2006,

    tentang Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang berkenaan dengan frasa “dapat” dan

    serta Pasal 15 UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, dalam

    pertimbangan putusan  tersebut menyebutkan  : “mengenai frasa ‘dapat

    merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’, dinyatakan sepanjang

    kerugian negara menurut ahli dapat dihitung dan dapat dibuktikan

    meskipun hanya dalam perkiraan dan belum terjadi, hal tersebut

    dianggap tetap sebagai delik formil dan menjadi dasar untuk

    menjatuhkan hukuman. Sedangkan adanya kerugian atau belum ada kerugianadalah sebagai sarana untuk menentukan berat dan ringannya pidana”;

    11. Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dalam perkara

    korupsi Walikota Padang Nomor : 366 K/Pid/2000, tanggal 25 September

    2000 menyatakan:

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    21/29

      21

    “…Bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal, maka kerugian negara

    tidak harus benar-benar terjadi. Dalam perumusan delik formal, yang perlu

    dibuktikan adalah unsur-unsur delik dalam dakwaan jaksa, bukan terhadap

    timbulnya akibat“; 

    II.  ANALISA

    A.  Tentang Pemenuhan Perjanjian Penjaminan Suretybond (Perjanjian Accesoir)

    Apabila Principal Dan Obligee Sama Sama Berada Dalam Keadaan Wanprestasi

    Atau Sama Sama Melakukan Perbuatan Cidera Janji Terhadap Ketentuan

    Sebagaimana Disyaratkan Dalam Kontrak Barang/Jasa (Exceptio Non

     Adempletio Contractus)

    1.  Bahwa berdasarkan ketentuan peraturan sebagaimana dimaksud di atas

    (Dasar Hukum A-1), dapat diketahui bahwa dalam perjanjian Surety Bond ini

    terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat yaitu:

    a. Pihak Perusahaan Surety (Surety Company), merupakan pihak yang

    memberikan atau menerbitkan jaminan.

    b. 

    Pihak Principal (Kontraktor / Penyedia Jasa), merupakan pihak pelaksana

    pekerjaan, yang mendapat pekerjaan dari pemilik pekerjaan atau pihak

    yang membutuhkan Jaminan.

    c.  Pihak Obligee, merupakan pihak pemilik pekerjaan atau pihak yang

    mensyaratkan Jaminan.

    2.  Bahwa sehubungan dengan dimaksud Angka 1 di atas, selanjutnya Obligee

    dan Principal menuangkan ketentuan serta syarat-syarat  kerjasamaPengerjaan Proyek Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dimaksud dalam

    Perjanjian Tertulis/Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Dasar

    Hukum F.1).

    Dengan demikian, maka Perjanjian Tertulis/Kontrak Pengadaan Barang/Jasa

    Pemerintah dimaksud berlaku sah  (Dasar Hukum F.2) dan mengikat bagi

    kedua belah pihak sebagai undang-undang (Dasar Hukum F.3).

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    22/29

      22

     

    3.  Bahwa guna mendukung kerja sama antara Obligee dan Principal dimaksud

    Angka 2 di atas serta dalam rangka Pemenuhan Pelaksanaan bagi Prinsipal

    terhadap ketentuan sebagaimana disyaratkan dalam Kontrak, selanjutnya

    Konsorsium, atas kesepakatan Pihak Prinsipal berencana untuk mengikatkan

    diri dalam Penanggungan dengan cara menerbitkan Surat Jaminan Surety

    Bond yang berfungsi untuk menjamin terpenuhinya kewajiban Principal

    terhadap pelaksanaan ketentuan dalam Kontrak yang disepakatinya dengan

    Obligee.

    Dengan demikian, maka Surat Jaminan Surety Bond dimaksud berlaku sah 

    (Dasar Hukum F.2) dan mengikat bagi kedua belah pihak sebagai undang-

    undang (Dasar Hukum F.3).

    4.  Bahwa Penjaminan merupakan perjanjian penanggungan yang diatur dalam

    Buku ke III KUH Perdata Pasal 1820 sampai dengan 1850, yang merupakan

    “Perjanjian Accessoir ” karena adanya penanggungan itu tergantung dari

    adanya suatu Perjanjian Pokok (Dasar Hukum G).

    5. 

    Bahwa yang merupakan “Perjanjian Pokok” adalah Kontrak, sementara 

    “Perjanjian Accessoir” adalah Perjanjian Penanggungan  berupa Surety

    Bond (Dasar Hukum G.3).

    Dengan demikian, Surety Bond merupakan  Perjanjian

    Penanggungan/Penjaminan yang tunduk pada ketentuan  Hukum

    Penanggungan.

    Berdasarkan penjelasan Peraturan di atas tersebut (Dasar Hukum F dan G)

    Perjanjian Surety Bond akan terjadi apabila suatu pihak (Surety Company)

    berjanji untuk menjamin pihak lain (principal) bagi kepentingan pihak ketiga

    (obligee), sehingga pihak penjamin (Surety Company ) akan bertanggungjawab

    untuk memenuhi kewajiban tersebut kepada Obligee. Kewajiban yang harus

    dipenuhi oleh Principal di dasarkan kepada Perjanjian yang dibuat dan

    disepakati oleh Principal dan Obligee, atau dengan kata lain Perjanjian Surety

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    23/29

      23

    Bond merupakan Perjanjian Tambahan/Accecoir dari Perjanjian Pokok yang

    dibuat dan disepakati oleh Principal dan Obligee tersebut.

    6.  Bahwa Penerbitan Surat Jaminan Suretybond hanya berfungsi untuk

    menjamin Principal dari kemungkinan adanya Perbuatan Cidera Janji terhadap

    ketentuan yang disyaratkan dalam Kontrak Barang/Jasa Pemerintah, sehingga 

    apabila Penyedia Barang/Jasa (Principal) melakukan Perbuatan Cidera Janji,

    maka si Surety Company/Konsorsium (Penanggung) wajib membayar kepada

    si Pengguna Barang/Jasa (Obligee) (Dasar Hukum F)

    7. 

    Bahwa pada prinsipnya penetapan wanprestasi (Perbuatan Cidera Janji)

    dilakukan karena salah satu Pihak tidak melakukan kewajiban (lalai)

    terhadap ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Kontrak (vide

    Dasar Hukum F.4).

    Dengan kata lain bahwa dalam pelaksanaan pemenuhan Kontrak, Pengguna

    Barang/Jasa (Obligee) menyatakan  bahwa Penyedia Barang/Jasa (Principal)

    tidak dapat melaksanakan ketentuan yang dipersyaratkan dalam Kontrak

    Pengadaan Barang/Jasa. Oleh karena itu, Pengguna Barang/Jasa menyatakan

    bahwa Penyedia Barang/Jasa (Principal) telah wanprestasi.

    8.  - Bahwa Pengguna Barang/Jasa (Obligee) dapat melakukan Perbuatan Cidera

    Janji/ tidak melakukan kewajiban (lalai) terhadap ketentuan sebagaimana

    yang dipersyaratkan dalam Kontrak (Dasar Hukum E.2).

    -  Bahwa sanksi yang diberikan kepada Pengguna Barang/Jasa (Obligee) atas

    Perbuatan Cidera Janji/ tidak melakukan kewajiban (lalai) terhadap

    ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Kontrak tersebut hanyaberupa ganti rugi sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambat

    dibayar, berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu

    menurut ketetapan Bank Indonesia atau kompensasi sesuai dengan

    ketentuan yang diatur dalam Kontrak (Dasar Hukum E.2).

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    24/29

      24

    -  Bahwa namun demikian jika merujuk pada kaidah hukum dalam

    Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 023.K/N/1999

    tanggal 16 Agustus 1999 (Dasar Hukum I.2), apabila Perbuatan Cidera

    Janji/tidak melakukan kewajiban (lalai) terhadap ketentuan sebagaimana

    yang dipersyaratkan dalam Kontrak yang dilakukan oleh Obligee tersebut

    berdampak/telah mengakibatkan si Principal menjadi turut melakukan

    Perbuatan serupa, maka kepada si Obligee dibebani wajib bukti (beerden of

     proof ) untuk membuktikan dalil tuduhan tentang wanprestasinya tersebut,

    sementara si Prinsipal juga dibebani wajib bukti untuk membuktikan counter

    claim tentang tuduhan wanprestasinya kepada Obligee dan kerugian yang

    dialaminya.

    -  Bahwa terhadap perkara yang mengandung permasalahan hukum Exceptio

    Non Adempletio Contractus  dimaksud penjelasan Angka 4 di atas

    tersebut, langsung menimbulkan dampak pembuktian yang rumit dan teliti

    untuk dibuktikan: apakah benar pihak (Obligee dan Principal ) sama sama

    berada dalam keadaan wanprestasi (default), serta sejauh atau sebesar apa

    nilai dari wanprestasi yang dilakukan oleh Para Pihak tersebut, sehubungandengan permasalahan dimaksud apabila kita merujuk kaidah hukum

    sebagaimana dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor Register: 438 K

    / Pdt / 1995 Tanggal 30 September 1996  (Dasar Hukum I.3) terdapat

    ketentuan yang menyatakan bahwa apabila si Obligee ternyata memang

    terbukti/dapat dibuktikan benar-benar telah melakukan tindakan

    wanprestasi, maka terhadap klaim wanprestasi yang dituduhkan si Obligee

    kepada Principal “demi hukum menjadi tertolak”.

    B.  Tentang Pelepasan Hak Istimewa Serta Kewajiban Membayar Ganti Rugi

    /Subrogasi (Agreement of Indemnity To Surety)

    1.  Bahwa mengenai klausula pelepasan Hak Istimewa dalam suatu Perjanjian

    Penjaminan, berdasarkan ketentuan dimaksud ( oleh karena ketentuan Pasal

    1832 KUH Perdata hanya bersifat memberi kewenangan kepada Kreditur

    untuk menyita barang penanggung/penjamin (guarantor) untuk melunasi

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    25/29

      25

    hutang debitur sehingga pelepasan hak tersebut hanya berakibat pada

    penanggung/penjamin (guarantor) menjadi  kehilangan haknya untuk

    menuntut agar barang-barang debitur dulu yang disita.

    2.  Bahwa Azas Hukum sebagaimana termuat Buku Jurisprudensi Mahkamah

    Agung R.I. tahun 1998, terbitan Mahkamah Agung R.I., dalam Putusan

    Mahkamah Agung R.I Reg. No.: 922 K/Pdt/1995 tertanggal 31 Oktober 1997

    yang menolak Permohonan Pernyataan Pailit pada perkara antara CITI BANK

    NA, cabang Singapore Cs. (Para Pemohon Pailit) melawan Ny. Silastri Samsi

    (Termohon Pailit), mengemukakan pertimbangan hukum sebagai berikut:

    “Dalam kasus Personal Guaranty atau Borgtoch harus ditegakkan azas penjamin

    selamanya adalah penjamin (“Guarantor always Guarantor”) atas pembayaran

    hutang …, oleh karena itu status keperdataan principal tidak dapat dialihkan

    kepada Guarantor diluar tuntutan pembayaran hutang principal. Konsekuensi

    logis dari asas tersebut, kepada diri Guarantor tidak dapat diminta pailit atas

    wanprestasi yang dilakukan principal. Yang dapat dituntut dari Guarantor

    adalah pelunasan hutang principal baik dalam bentuk bersama-sama dengan

     principal atau terhadap Guarantor ”;

    3.  Bahwa meskipun ada Pelepasan Hak Istimewa dari Penanggung/Penjamin

    (Guarantor) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1832 KUH Perdata, tetapi

    tidak berarti kedudukan /Penjamin (Guarantor) dapat menggantikan

    Principal/Terjamin, karena ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata hanya bersifat

    memberi kewenangan kepada Penanggung/Penjamin untuk menyita barang

    Tertanggung (Principal) untuk melunasi hutang Tertanggung, dan

    Penanggung/Penjamin (Guarantor) kehilangan haknya untuk menuntut agar

    barang-barang debitur dulu yang disita (bukan berarti bahwa Penanggung

    harus langsung melakukan pembayaran pada saat Principal dianggap telah

    melakukan wanprestasi);

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    26/29

      26

    C.  Tentang Kekayaan Milik Negara Serta Risiko Kerugian Keuangan Negara

    1.  Bahwa segala kekayaan dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada

    dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik

    Negara, merupakan Kekayaan Milik Negara (Dasar Hukum I.5).

    2.  Bahwa sebagai Surety Company yang merupakan Badan Usaha Milik Negara,

    turut bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya Tindak Pidana Korupsi,

    Penyalah Gunaan wewenang dalam Jabatan serta risiko Kerugian Keuangan

    Negara (Dasar Hukum I.5,8). 

    D. 

    Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Yang Bergerak Di Bidang Asuransi

    Kerugian (Asuransi Kredit dan Suretyship) Wajib Tunduk Pada Peraturan Yang

    Berlaku Terhadap BUMN Dan Tetap Berpegang Pada Penerapan Prinsip - Prinsip

    Good Corporate Governance 

    1.  Bahwa hubungan hukum yang terjadi antara Principal dengan Surety

    Company (Konsorsium)  adalah hubungan Hukum Penanggungan

    sebagaimana dimaksud dalam ketentuan bab XVII KUH Perdata, khususnya

    bagian Kedua tentang akibat Penanggungan (Dasar Hukum F);

    2.  Bahwa dengan diterbitkannya Surety Bond oleh Surety Company

    (Konsorsium)  membuktikan bahwa  Surety Company (Konsorsium)  telah

    mengikatkan diri untuk menjadi Penanggung/ Penjamin (Guarantor ) atas

    Obligee (Kementrian PU-PR RI);

    3.  Bahwa Perjanjian Pertanggungan/Penjaminan merupakan Perjanjian yang

    bersifat assesoir, dengan kata lain tidak ada Pertanggungan/Penjaminan

    tanpa adanya Perjanjian Pokok (pasal 1821 ayat 1 KUH Perdata), sehingga

    kewajiban untuk memenuhi isi Perjanjian Pokok tetap ada pada Debitur

    (Obligee dan Principal);

    4.  Bahwa dalam rangka menerbitkan Surat Jaminan, Surety Company wajib

    untuk menetapkan suatu kebijakan Penerimaan Nasabah (Kebijakan dan

    prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah) (Dasar Hukum I.2)

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    27/29

      27

     

    5.  Bahwa dalam rangka Pemenuhan Ketentuan-Ketentuan Yang Dipersyaratkan

    Dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa, Para Pihak dalam Perjanjiantersebut (Obligee dan Principal) tetap berpotensi melakukan Perbuatan

    Cidera Janji (Wanprestasi).

    E.  Tentang Penerapan Pelaksanaan Penerbitan Dan Penutupan Surety Bond

    1.  Bahwa Pelaksanaan Penerbitan Penjaminan Suretybond harus memenuhi

    syarat-syarat standar kelayakan berdasarkan pada ketentuan terkait yang

    berlaku.

    Hal tersebut perlu dilakukan untuk menilai kelayakan pengalihan resiko dan

    recovery klaim dari oblige kepada prinsipal secara subrogasi, sehingga,

    tindakan Penerbitan Penjaminan Suretybond yang tidak memenuhi ketentuan

    tersebut  berdasarkan Yurisprudensi mahkamah Agung (Dasar Hukum I.7)

    dianggap bukan sebagai alasan pembenar atau pemaaf melainkan sebagai

    Perbuatan Penyalah Gunaan Wewenang/Perbuatan Melawan Hukum dengan

    Sanksi Pidana.

    2.  Bahwa terkait konsekuensi hukum terhadap tidak diberlakukannya Prinsip

    Kehati hatian dalam pelaksanaan Penutupan Penjaminan Suretybond dapat

    diketahui berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 120

    K/PID.SUS/2012 tanggal 26 Juni 2013  (Dasar Hukum J.7),  melalui kaidah

    hukum yang terdapat pada Yurisprudensi tersebut.  

    III.  KESIMPULAN

    Berdasarkan uraian dalam Fakta, Dasar Hukum dan Analisa tersebut di atas, dapat

    disimpulkan sebagai berikut:

    1.  Bahwa sifat Unconditional yang melekat pada Penutupan/Pencairan Surat

    Jaminan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan peraturan yang

    harus dilaksanakan untuk menjamin kepentingan Pemerintah  jika terjadi

    wanprestasi dari penyedia Barang/Jasa (Principal).

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    28/29

      28

    2.  Bahwa pelaksanaan Penutupan/Pencairan Surat Jaminan dalam Pengadaan

    Barang/Jasa Pemerintah yang dilakukan tanpa mengedepankan Prinsip Kehati

    Hatian dapat dikategorikan sebagai suatu Perbuatan Pidana.

    3.  Bahwa terhadap Badan Usaha Milik Negara berlaku ketentuan peraturan yang

    mengharuskan untuk mengedepankan Prinsip kehati-hatian dengan melakukan

     pengkajian terhadap pengelolaan risiko usaha (risk assessment), yaitu

    suatu proses untuk mengidentifikasi, menganalisis, menilai pengelolaan

    risiko yang relevan”. 

    Bahwa dengan demikian upaya penyelesaian permasalahan terkait pelaksanaan

    Perjanjian Pokok yang Para Pihaknya Sama Sama Berada Dalam Keadaan

    Wanprestasi Atau Sama Sama melimpahkan tuduhan melakukan Perbuatan Cidera

    Janji Terhadap Ketentuan Yang Disyaratkan Dalam Kontrak Barang/Jasa

    (Exceptio Non Adempletio Contractus), hanya dapat diselesaikan secara baik

    dengan melakukan/ menyelidiki terlebih dahulu tentang: Apakah sebab atau causa

    dari sesuatu kerugian.

    4. 

    Bahwa kedudukan hubungan hukum antara Surety Company (Penjamin) denganPrincipal dan Obligee adalah sebagai Penanggung yang hanya tunduk dengan

    Hukum Penanggungan (sehingga apabila ditemukan fakta adanya Perbuatan

    Melawan Hukum yang dilakukan oleh Obligee terhadap Pelaksanaan Perjanjian

    Pokok yang mengakibatkan Perjanjian Pokok tersebut menjadi batal),

    Dengan demikian, maka dengan batalnya Perjanjian Pokok tersebut secara hukum,

    hubungan hukum Surety Company (Penjamin) dengan Principal dan Obligee yang

    hanya terikat dalam perjanjian accessoir itu pun ikut menjadi batal.

    5.  Bahwa Pelepasan Hak Istimewa bukan berarti Penjamin harus langsung

    melakukan pembayaran pada saat Principal dianggap telah melakukan

    wanprestasi atau dengan kata lain status keperdataan Principal tidak dapat

    dialihkan kepada Penjamin/Guarantor diluar tuntutan pembayaran hutang

    Principal (“Guarantor always Guarantor”).

  • 8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond

    29/29

    Dengan demikian, pelaksanaan Penutupan/Pencairan Surat Jaminan Suretybond

    tetap berpedoman kepada ketentuan Penanggungan sebagaimana diatur dalam

    KUH Perdata.

    IV.  Rekomendasi

    Sebagaimana telah disampaikan dalam uraian-uraian tersebut di atas, dapat kami

    rekomendasikan bahwa dalam rangka menerapkan Pelaksanaan Pencairan Tanpa

    Syarat (Unconditionil) pada Suretybond demi menjamin kepentingan Pemerintah

    terkait Proyek Pengadaan Barang/Jasa, Perusahaan Milik Negara (BUMN) hendaknya

    berkewajiban untuk melaksanakan Proses (Assessment secara komprehensif) terhadap

    Penerbitan dan Penutupan Surat Jaminan dengan mengedepankan Prinsip kehati-

    hatian melalui pengkajian dalam pengelolaan risiko usaha (risk assessment) serta

    memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam KUH Perdata tentang

    Penanggungan.