KONFLIK TNI-POLRI - · PDF fileKONFLIK TNI-POLRI Makalah disusun guna memenuhi tugas akhir...
Transcript of KONFLIK TNI-POLRI - · PDF fileKONFLIK TNI-POLRI Makalah disusun guna memenuhi tugas akhir...
KONFLIK TNI-POLRI
Makalah disusun guna memenuhi tugas akhir semester
Mata Kuliah : Sosiologi Komunikasi
Dosen Pengampu : Ahmad Faqih, S. Ag, M.Si
Disusun Oleh :
Ariviana Noerrahmawati (131211111)
PRODI KOMUNIKASI dan PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH dan KOMUNIKASI
UNIVERSITAS WALISONGO SEMARANG
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, proses berjalannya komunikasi sangat berkembang pesat.
Didukung dengan adanya teknologi yang juga berkembang pula, komunikasi bisa
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan
teknologi yang ada.
Jenis komunikasi juga mulai memperluas ruang lingkupnya tidak hanya
komunikasi antara dua orang saja namun komunikasi bisa dilakukan secara
berkelompok ataupun secara massa. Itu semua tergantung kebutuhan, jika sebuah
pesan tidak bisa disampaikan personal maka akan lebih baik dilakukan secara
kelompok atau publik.
Dalam pembahasan kali ini saya akan membahasan mengenai komunikasi
kelompok. Apa sebenarnya komunikasi kelompok itu? Menurut Michael Burgoon
(dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi
secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah
diketahui. Dari definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa komunikasi kelompok
adalah komunikasi kelompok di atas mempunyai kesamaan, yakni adanya
komunikasi tatap muka, dan memiliki susunan rencana kerja tertentu untuk
mencapai tujuan kelompok.
II. IDENTIFIKASI MASALAH
Awal mula terjadinya konflik antara TNI dan Polri di Batam, Kepulauan
Riau masih belum diketahui. Alasan dasar yang membuat kedua aparatur negara
ini belum teridentifikasi, pihak mana yang memulai terlebih dahulu masih
diselidiki oleh masing-masing kelembagaan.
Hasil penyelidikan tim investigasi TNI-Polri terhadap insiden bentrokan
anggota TNI dan polisi di Batam, Kepulauan Riau, menyimpulkan ada anggota
TNI yang menyalahi aturan dengan terlibat penjagaan gudang bahan bakar
minyak ilegal di wilayah itu.
Mabes TNI mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti temuan awal tim
investigasi ini dan akan memberikan sanksi terhadap pelakunya, termasuk kepada
komandan atau pimpinan di atasnya jika terbukti.
Namun demikian, menurut juru bicara TNI Mayor Jenderal Fuad Basya,
temuan sementara menunjukkan bahwa tindakan anggota TNI itu tidak diketahui
komandan atau pimpinan di atasnya.
"Mereka itu 'kan curi-curi. Anggota yang bekerja begitu (penjagaan gudang
BBM ilegal) itu tidak resmi. Komandannya tidak tahu. Istilah kita itu, mencari
tambahan-tambahan, sampingan-sampingan," kata Fuad Basya dalam jumpa pers
di Kantor Menkopolhukkam, Jakarta, Selasa (14/10) pagi.
Jumpa pers ini juga dihadiri Kadivhumas Mabes Polri Irjen Ronny F
Sompie serta kepala tim investigasi, seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia,
Heyder Affan.
Tim investigasi juga merekomendasikan agar Mabes Polri melakukan
proses hukum terhadap seorang anggota Brimob yang diketahui melakukan
penembakan di lokasi bentrokan sehingga melukai aparat TNI.
Mereka juga meminta Mabes Polri menindaklanjuti pelaku penembakan
dua anggota TNI di markas Brimob di Batam.
III. DESKRIPSI SUBJEK STUDI
Konflik ini memuncak pada hari Rabu, 19 November 2014 pukul 10.30
WIB. Berawal ketika empat prajurit TNI dan seorang anggota Brimob tengah
bersantap disebuah warung makan, Perumahan Buana Impian II Tembesi. Pada
saat yang bersamaan melintas anggota Brimob lain yang sedang mengisi bensin
eceran di sebuah warung nasi seberang Mako (Markas Komando) Brimop
sehingga terjadi aksi saling lirik. Mulai dari saling pandang itulah mereka saling
menantang dan hampir terjadi perkelahian namun berhasil di cegah anggota
Provost Brimob yang datang ke tempat itu. Perselisihan itu melibatkan Pratu NY
dan Praka BD dan dua anggota Brimob yang terlibat yakni Bripda SM dan Bripda
SL.
Namun situasi malah semakin tak terkendali. Pasca keributan di warung
makan tersebut, puluhan pria yang diduga prajurit Yonif 134 mendatangi mako
Brimob di kawasan Batu Aji sekitar pukul 11.00 WIB dengan mengendarai
sepeda motor. Bersenjatakan parang, oknum TNI memaksa menerobos masuk
lalu melakukan aksi anarkistis dengan merusak fasilitas yang ada di Barak
Teratai, mereka juga merusak pintu barak dan memecahkan kaca.
Tak berhenti di situ, sekitar pukul 17.15 WIB keributan kembali pecah.
Situasi saat ini semakin menakutkan. Terdengar rentetan tembakan dari mako
Brimob. Tembakan diduga dari anggota Brimob yang ingin menghalau oknum
anggota Yonif 134/TS yang ingin menerobos masuk. Dalam sekejap perang pun
terjadi, giliran rentetan tembakan menghujani mako Brimob, tembakan berasal
dari bukit belakang bangunan.
Saat bersamaan, Wakil Gubernur Kepulauan Riau Soerya Respationo dan
rombongan serta beberapa wartawan sedang berada di TKP dan terjebak dalam
markas. Rentetan tembakan terus menerus terdengar bahkan membuat warga
ketakutan dan trauma karena akibat bentrokan tersebut salah seorang warga sipil
menjadi korban.
IV. KERANGKA TEORITIK
A. Pengertian Komunikasi Kelompok
Menurut Anwar Arifin komunikasi kelompok adalah komunikasi yang
berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam
rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainya (Anwar Arifin, 1984). Michael
Burgoon (dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai
interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah
diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang
mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota
yang lain secara tepat. Dari dua definisi di atas mempunyai kesamaan, yakni
adanya komunikasi tatap muka, dan memiliki susunan rencana kerja tertentu
umtuk mencapai tujuan kelompok.
Menurut Dedy Mulyana kelompok adalah sekumpulan orang yang
mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai
tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai
bagian dari kelompok tersebut. Kelompok ini misalnya adalah keluarga,
kelompok diskusi, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu
keputusan. Pada komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi,
karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi
komunikasi kelompok.
B. Pengertian Konflik
Konflik adalah adanya pertentangan yang timbul di dalam seseorang (masalah intern)
maupun dengan orang lain (masalah ekstern) yang ada di sekitarnya. Konflik dapat
berupa perselisihan (disagreement), adanya keteganyan (the presence of tension), atau
munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering
menimbulkan sikap oposisi antar kedua belah pihak, sampai kepada mana pihak-pihak
yang terlibat memandang satu sama lain sebagai pengahalang dan pengganggu
tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.
Substantive conflicts merupakan perselisihan yang berkaitan dengan tujuan
kelompok,pengalokasian sumber dalam suatu organisasi, distrubusi kebijaksanaan serta
prosedur serta pembagaian jabatan pekerjaan.
Emotional conflicts terjadi akibat adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak
simpatik, takut dan penolakan, serta adanya pertantangan antar pribadi (personality
clashes).
Dalam sebuah organisasi, pekerjaan individual maupun sekelompok pekerja saling
berkait dengan pekerjaan pihak-pihak lain. Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah
organisasi, penyebabnya selalu diidentifikasikan dengan komunikasi yang tidak efektif
yang menjadi kambing hitam.
C. Bentuk – Bentuk Komunikasi Kelompok
Besar kecilnya suatu kelompok tidak ditentukan secara eksak, melainkan ciri
dan sifat komunikasi dalam proses komunikasi yang terjadi. Oleh karena itu
komunikasi kelompok dibedakan menjadi komunikasi kelompok besar dan
komunikasi kelompok kecil.
A. Komunikasi Kelompok Kecil
Untuk mengetahui apa itu komunikasi kelompok kecil, maka kita harus
mengetahui apa yang dimaksud dengan kelompok kecil. Menurut Scott dalam
Goldhaber, (1990:295) kelompok kecil adalah sekumpulan orang yang biasanya
kurang dari tujuh orang, berinteraksi dalam jangka waktu agak lama dan memiliki
kepentingan yang sama yang terbentuk dalam satu tujuan yang telah disepakati.
Robert F.Bales dalam bukunya Interaction Process Analysis dalam Effendy,
(1993:30) mendefinisikan kelompok kecil adalah sejumlah orang yang terlibat
interaksi satu sama lain dalam suatu pertemuan yang bersifat tatap muka (face to
face), dimana setiap anggota memiliki kesan dan persepsi antara satu sama
lainnya cukup kentara sehingga ia baik pada saat timbul pertanyaan maupun
sesudahnya dapat memberikan tanggapan kepada masing-masing perseorangan.
Sedangkan menurut Shaw dalam Muhammad, (2009:182) mendefinisikan
komunikasi kelompok kecil sebagai sekumpulan individu yang dapat
mempengaruhi satu sama lain, memperoleh beberapa kepuasan satu sama lain dan
komunikasi tatap muka. Effendy (1993:76) mengemukakan bahwa komunikasi
kelompok kecil adalah komunikasi yang ditujukan kepada kognisi komunikan
dan prosesnya berlangsung secara dialog.
Dalam komunikasi yang berlangsung pada kelompok kecil dalam situasi
tertentu terdapat kesempatan bagi komunikator untuk melakukan komunikasi
antar personal dengan seorang anggota kelompok. Contoh komunikasi kelompok
kecil adalah seminar, ceramah, diskusi, penataran dan sebagainya.
B. Komunikasi Kelompok Besar
Kelompok besar adalah sekelompok komunikan yang karena jumlahnya
yang banyak dalam situasi komunikasi hampir tidak terdapat kesempatan untuk
memberikan tanggapan secara verbal. Menurut Effendy (1993:77) komunikasi
kelompok besar adalah komunikasi yang ditujukan kepada afeksi (perasaan)
komunikan dan prosesnya berlangsung secara linear. Jadi dapat dikatakan bahwa
dalam komunikasi kelompok besar kontak pribadi sulit dilakukan. Komunikator
dalam komunikasi ini cenderung hanya membakar emosi komunikannya dan
tanggapannya bersifat emosional. Contoh komunikasi kelompok besar adalah
kongres dari sebuah organisasi (bersifat formal) dan kampanye di lapangan
(bersifat non formal)
V. ANALISIS / SOLUSI
Menilik kembali dari konflik dari dua aparatur negara yaitu TNI dan Polri
cukup mengundang simpati kita. Bagaimana bisa dua lembaga yang seharusnya
membuat warga sipil merasa aman dan terlindungi malah berbuat sebaliknya.
Hanya karena masalah sepele yang bisa diselesaikan secara sederhana dengan
musyawarah, mereka lebih memilih menggunakan cara keras dalam
menyelesaikannya bahkan mereka mengabaikan keselamatan warga sipil dengan
menggunakan senpi (senjata api) secara bebas dan ilegal.
Sepanjang tahun 2014 terhitung ada 5 kasus yang berkenaan dengan
bentrokan TNI dan Polri. Peristiwa demi peristiwa bentrokan di antara kedua
institusi ini membuat warga semakin takut dan khawatir mengenai keselamatan
mereka. Bahkan beberapa warga sipil ada yang menjadi korban dan menjadi
trauma akan hal itu. Mereka berpikir, mereka tidak memiliki urusan dan masalah
kepada dua oknum tersebut namun mengapa mereka yang menjadi korban.
Mereka merasa takut setiap saat, takut jika tiba-tiba terjadi bentrokan kembali,
dan kapan bentrokan ini akan segera berakhir.
Pemerintah harus sesegera mungkin bertindak, mencegah agar hal ini tidak
terjadi kembali. Terutama untuk pemimpin dari masing-masing institusi, harus
saling berkomitmen dan bersikap lebih tegas pada anggotanya, tak segan-segan
memberikan sanksi bagi yang melanggar aturan tersebut.
Konflik seperti ini sebenarnya bisa dihindari jika masing-masing dari
oknum tidak menyulut dan tersulut api. Kesadaran diri akan siapa dirinya di
masyarakat dan negara setidaknya menjadikan alasan utama untuk mencegah atau
menghindari terjadinya konflik akan keduanya. Komunikasi juga harus berperan,
bagaimanapun juga jika suatu masalah terjadi akan lebih baik jika masalah ini di
komunikasikan. Jika hanya dipendam dan tidak diselesaikan akan berakhir
dengan bentrokan seperti ini.
Lagi-lagi semua kembali kepada komunikasi. Tanpa kita sadari komunikasi
memiliki peranan sangat penting dalam hidup kita. Komunikasi membantu kita
bertahan hidup, komunikasi juga membantu kita menyelesaikan masalah-masalah
yang dirasa rumit dan sulit diselesaikan secara pribadi.
Bentrokan yang terjadi antara oknum TNI dan Polri adalah suatu bentuk
permasalahan personal yang tidak dikomunikasikan dengan baik. Mereka
cenderung berpikir secara mentah dan tidak dipikirkan secara matang dan
dewasa. Jika permasalah ini dibicarakan terlebih dahulu dan mencari solusi yang
terbaik akan lebih efisien dari pada menggunakan senjata untuk merusak fasilitas
negara yang sebenarnya tidak perlu dilakukan.
Beberapa faktor yang memicu terjadinya konflik TNI dan Polri yaitu
Semangat esprit de corps (Jiwa Korsa) yang keliru, budaya penghormatan
terhadap hukum yang rendah, arogansi, faktor kesejahteraan yang rendah, disiplin
dan kendali komandan yang lemah, dugaan keterlibatan dalam bisnis ilegal,
minimnya komunikasi antara anggota TNI dan Polri serta sanksi hukum yang
tidak maksimal terhadap anggota yang melanggar hukum.
Untuk mencegah terulang kembali konflik antara TNI dan Polri, pemerintah
perlu melakukan langkah-langkah perbaikan dalam kedua intuisi tersebut agar
tidak terulang hal serupa.
Menjaga emosi dalam diri juga termasuk faktor yang mempengaruhi
konflik ini. Mudahnya tersulut emosi oleh hal yang begitu sepele membuat
masalah yang sederhana namun dibesar-besarkan sehingga terlihat seperti
masalah besar. Kedua aparatur negara ini harus pandai dalam mengatur emosinya,
harus ada pendekatan secara psikilogis untuk mereka yang cenderung memiliki
tempramen buruk.
Pemasalahan seperti ini tak bisa selesai hanya dengan kata damai.
Setidaknya harus ada perjanjian secara tertulis dan sah, sehingga hal seperti ini
tidak kembali terjadi, ini harus menjadi yang terakhir.
Agar potensi terjadinya konflik di antara prajurit di kedua institusi dapat
diminimalisir tentunya perlu segera ditetapkan upaya antisipasi yang dapat
dilakukan melalui cara-cara:
a. Memperbaiki tingkat kesejahteraan prajurit agar tidak terjadi kesenjangan yang
sangat tinggi di antara masing-masing prajurit;
b. Latihan secara berkesinambungan, baik latihan satuan maupun atas prakarsa
komandan satuan. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan
kekompakan di antara prajurit kedua institusi;
c. Pimpinan satuan (TNI dan Polri) di daerah melakukan pertemuan secara
berkala, termasuk olahraga bersama, kegiatan keagamaan bersama atau
kegiatan saling mengunjungi guna memelihara keharmonisan/silaturahmi;
d. Tindakan tegas terhadap pimpinan yang lalai dalam melaksanakan tanggung
jawab pembinaan guna menimbulkan efek jera, agar tanggung jawab komando
betul-betul dilaksanakan;
e. Tindakan tegas kepada anggota yang terlibat dalam bentrokan guna
menghindarkan munculnya anggapan adanya upaya melindungi anggota;
f. Pembenahan sistem perundang-undangan yang mengatur lingkup tugas masing-
masing institusi sehingga tidak memunculkan tarik menarik kewenangan.
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan
Disaat militer dan polisi negara-negara lain melangkah maju dan bersatu
dalam menghadapi berbagai gangguan yang dapat mengancam kedaulatan negara,
justru militer dan kepolisian di Indonesia saling berseteru untuk sebuah alasan
yang seringkali tidak patut dibanggakan.
Oleh karena itu agar semua sumber daya yang dimiliki masing-masing
institusi dapat didayagunakan demi terwujudnya profesionalisme individu
maupun lembaga, sudah saatnya kedua belah pihak, baik TNI maupun Polri, terus
menerus menjaga dan memelihara hubungan agar tetap harmonis.
Ketika hal tersebut terwujud maka akan berpengaruh positif pada
terciptanya stabilitas keamanan nasional . Kondisi keamanan nasional yang baik
tentunya berdampak pula pada tingginya apresiasi yang diberikan masyarakat
kepada kedua institusi tersebut.
B. Rekomendasi
Dalam pembuatan makalah ini, kami sebagai penulis tidak memungkiri
adanya kekurangan dan kelemahan dalam pembuatan makalah ini. Sehingga,
kami dari penulis masih membutuhkan adanya banyak kritik dan saran dari para
pembaca. Dan kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan para pembaca.
LAMPIRAN DOKUMEN
Oleh: Kiki Syahnakri
KOMPAS.com - Dalam beberapa tahun terakhir, konflik TNI-Polri makin sering
terjadi, bahkan sudah amat meresahkan masyarakat. Presiden Joko Widodo telah
menginstruksikan para pejabat terkait segera mencari solusi bersifat menyeluruh
dan permanen.
Pimpinan TNI-Polri pun telah meresponsnya dengan tindakan tegas berupa
pencopotan para pejabat yang memang seharusnya bertanggung jawab,
penghukuman, dan pemecatan anggota yang terlibat, dan terakhir ada wacana
untuk menyatukan kembali pendidikan basis selama 3-4 bulan seperti masa lalu.
Akar persoalan
Pertanyaannya, apakah semua tindakan ini akan jadi solusi permanen? Jawabnya
tentu ”tidak” karena belum menyentuh akar masalahnya. Bak akar serabut yang
berkelindan saling memengaruhi, akar masalahnya sangat rumit karena
menyentuh masalah kultural. Di antaranya yang sangat penting, pertama, faktor
psikologis-kultural. Pada umumnya anggota TNI (khususnya TNI AD) belum
terlepas dari perasaan superioritas masa lalu sebagai saudara tua ketika Polri
masih tergabung dalam ABRI.
Sebaliknya, di kalangan Polri tumbuh sikap overacting, euforia kewenangan,
arogansi, sebagai ekses pemisahannya dari ABRI serta diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang memberikan kewenangan
amat luas dalam fungsi keamanan dalam negeri.
Lainnya, sikap kebanggaan korps yang berlebihan sehingga satu-sama lain
merasa lebih hebat. Sikap ini lebih meningkat lagi ketika diberlakukan pemakaian
atribut yang seharusnya jadi simbol keistimewaan korps militer, seperti
pemakaian baret dan pakaian loreng. Kini di lingkungan TNI, satuan administrasi
sampai Babinsa pun memakai baret. Polri tak mau kalah, berbagai warna baret
diberlakukan di beberapa unsurnya, bahkan terakhir telah diberlakukan pula
pemakaian loreng Brimob yang dulunya hanya dikenakan oleh satuan khusus
Resimen Pelopor.
Berikutnya, masalah kecemburuan akibat jomplangnya kesejahteraan. Perlu
digarisbawahi bahwa perbedaan mencolok kesejahteraan ini bukan disebabkan
masalah gaji, melainkan karena kalangan Polri memiliki kesempatan lebih luas
mencari penghasilan tambahan seiring dimilikinya kewenangan yang amat lebar
tadi. Pada sisi lain, disiplin, penegakan hukum, serta keteladanan pimpinan pada
kedua institusi amat lemah.
Berbagai faktor psikologis tadi sering menjadi pemicu bentrokan di lapangan,
masalah kecil seperti saling pandang atau senggolan saja bisa menimbulkan
perkelahian antarkorps.
Kedua, masalah regulasi. TAP MPR No VI dan VII Tahun 2000 yang lahir di
tengah euforia reformasi telah memisahkan secara ”mutlak-diametral” fungsi
pertahanan-keamanan (hankam) mengakibatkan tidak terpadunya penanganan
masalah itu. Fungsi keamanan mutlak diemban Polri, fungsi pertahanan jadi ranah
TNI dengan penekanan hanya untuk menghadapi ancaman militer dari luar.
Padahal, kenyataannya kedua fungsi bersifat overlapping, masalah keamanan
dapat berkembang eskalatif, terkadang tak bisa diprediksi, sehingga secara cepat
memasuki ranah pertahanan karena telah mengancam kedaulatan, keselamatan
bangsa, dan keamanan negara.
Contohnya, peristiwa rasial di Amerika Serikat tahun 1981 dan yang terjadi
belakangan ini potensial berkembang cepat ke banyak negara bagian sehingga
sejak dini Garda Nasional dan militer sudah dilibatkan untuk mengatasinya.
Kondisi seperti ini sering terjadi di Indonesia, khususnya setelah reformasi yang
membuka kebebasan luas nyaris tanpa batas. Memang ada sistem perbantuan TNI
kepada Polri sesuai Pasal 7 UU No 34/2004 tentang TNI, tetapi sulit
direalisasikan karena tebalnya kendala psikologis-egosentrisme.
Ketiga, faktor sosial. Institusi TNI-Polri tidak hidup di ruangan hampa, tetapi
sangat dipengaruhi perkembangan masyarakat, seperti meningkatnya
konsumtivisme, transaksionalisme, anarkisme, serta tawuran yang sering terjadi
di kalangan pelajar, mahasiswa, dan kelompok masyarakat. Ketika proses
perekrutan, pendidikan, dan pembinaan satuan di kedua institusi tersebut kurang
antisipatif dan tidak cukup kuat memfilternya, niscaya akan terinfiltrasi oleh
budaya negatif masyarakat tadi.
Keempat, faktor teknis, terutama menyangkut kepemimpinan. Tuntutan
kepemimpinan di tubuh TNI-Polri harus mampu berperan sebagai komandan
sekaligus guru/pelatih, bapak/orangtua dan rekan sejawat. Efektivitas
kepemimpinannya sangat dipengaruhi kemampuan memainkan peran-peran
tersebut. Untuk itu, diperlukan kebersamaan, komunikasi, kepedulian, dan
kepekaan tinggi terhadap kondisi bawahan serta keluarganya.
Pelajaran berharga dari kasus Batam, karena kurangnya kepekaan pimpinan
kedua belah pihak di lapangan, perkelahian terjadi berulang kali. Seharusnya ada
pemonitoran dan antisipasi intensif. Sebab, dengan ditembaknya empat anggota
Yonif 134 oleh anggota Brimob, rasa dendamnya tidak mungkin terselesaikan
hanya dengan mempertemukan mereka.
Batam juga sering jadi ajang berekreasi dan berbelanja barang mewah para
pejabat dari Jakarta yang tak peka, pada saat bersamaan para prajurit di sana
harus hidup dengan gaji kecil di tengah mahalnya barang keperluan sehari-hari.
Masalah teknis lain, penindakan hukum yang tak konsisten dan tuntas, seperti
dikatakan Menko Polhukham bahwa anggota Brimob yang terlibat belum juga
ditindak dan ini diketahui oleh anggota Yonif 134.
Rekomendasi
Perlu segera dibuat kelompok kerja gabungan TNI-Polri yang serius dan
melibatkan para sosiolog, psikolog, serta ahli terkait lain, dalam rangka
membulatkan pencarian akar masalah serta merumuskan solusi yang bersifat
komprehensif-permanen. Pada tahun 1997, pokja semacam itu pernah diadakan,
tetapi dibubarkan di tengah jalan karena anggota Polri yang dikirim berganti
setiap hari sehingga menyulitkan pembahasan.
Semoga harapan Presiden Joko Widodo serta masyarakat umumnya untuk
melihat hubungan TNI-Polri yang harmonis, komplementer, dan sinergi akan
segera terwujud.
Kiki Syahnakri
Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD)
Sindo, 20 November 2014