KONFLIK JEMAAT AHMADIYAH DAN NON AHMADIYAH DI...

124
KONFLIK JEMAAT AHMADIYAH DAN NON AHMADIYAH DI KELURAHAN SERUA KECAMATAN CIPUTAT KOTA TANGERANG SELATAN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Disusun oleh: Hidayatulloh NIM: 1112032100043 PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Transcript of KONFLIK JEMAAT AHMADIYAH DAN NON AHMADIYAH DI...

KONFLIK JEMAAT AHMADIYAH DAN NON AHMADIYAH

DI KELURAHAN SERUA KECAMATAN CIPUTAT

KOTA TANGERANG SELATAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh:

Hidayatulloh

NIM: 1112032100043

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

iv

ABSTRAK

“Konflik Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Kelurahan Serua

Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan”

Hidayatulloh

Skripsi ini akan mendeskripsikan tentang konflik jemaat Ahmadiyah dan

non Ahmadiyah di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.

Ahmadiyah masih menjadi perbincangan yang cukup menarik baik yang pro

maupun yang kontra. Adapun fakta di Indonesia Ahmadiyah banyak dibenci,

dihina, dan dikafirkan. Tidak terkecuali Ahmadiyah di Kelurahan Serua,

Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan, telah terjadi konflik antara jemaat

Ahmadiyah dan non Ahmadiyah sejak tahun 2004 sampai dengan saat ini.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis ingin mengetahui bagaimana

bentuk konflik yang terjadi di antara mereka?.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan melakukan penelitian

dengan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan historis,

dengan menjelaskan sejarah, perkembangan dan eksistensi Ahmadiyah di

Kelurahan Serua. Kemudian pendekatan sosiologis, dengan cara mendeskripsikan

konflik yang terjadi antara Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Serua.

Untuk menperkuat penelitian penulis mendapatkan data dari hasil kepustakaan,

serta melakukan wawancara terhadap pengurus Ahmadiyah, tokoh masyarakat dan

tokoh Agama. Selain itu penulis juga melakukan observasi langsung kelapangan

untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Berdasarkan hasil analisis, konflik yang terjadi antara jemaat Ahmadiyah

dan non Ahmadiyah di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang

Selatan dilatar belakangi oleh sejumlah faktor. Diantara faktor tersebut adalah

Faktor Lembaga Sosial (Keluarga, Agama dan Pemerintah), Faktor Ekonomi dan

Faktor Pendidikan. Selain itu beberpa elemen telah melakukan mediasi diantara

kedua belah pihak yaitu; pemerintah, masyarakat dan kepolisian.

Kata Kunci: Konflik, Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah, Kelurahan Serua.

v

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan

iman, islam, dan ihsan, serta kesehatan yang tidak terhingga akhirnya penulis

dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Konflik Jemaat Ahmadiyah dan Non

Ahmadiyah di Kelurahan Serua Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan.”

Shalawat serta salam tidak lupa dihaturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW

yang telah membawa manusia dari zaman kegelapan sampai zaman terang

benderang seperti ini, kelak semoga mendapatkan syafaat darinya.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari kata sempurna ini tidak

akan dapat selesai tanpa adanya dukungan dari banyak pihak baik seacara materil

maupun moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak

terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini,

terutama kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, M.A selaku Penasehat Akademik yang

memberikan arahan dan persetujuan dalam penulisan skripsi ini.

2. Zainal Muttaqin, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang memberikan

arahan, motivasi, serta bimbingan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Media Zainul Bahri, M.A selaku Ketua Jurusan Studi Agama-agama

dan Dra. Halimah Mahmudy, M.A selaku Sektretaris Jurusan Studi

Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.

vi

4. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A

atas kesempatan belajar dan fasilitas yang diberikan pada Fakultas

Ushuluddin. Tidak lupa kepada Dr. Yusuf Rahman, M.A selaku Dekan

Fakultas Ushuluddin.

5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, para staff Akademik Fakultas

Ushuluddin khususnya sahabat Jamil, serta para staff Perpustakaan

Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

6. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Muhajir dan Ibu Musrifah yang telah

memberikan Do’a dan Ridlonya hingga akhir masa studi dan tidak lupa

kepada adik yang memberikan dukungan sampai saat ini, Ridho Hasani,

Hikmatur Rizqi, Bintan Pangestu dan Ahmad Nasukha.

7. Bapak H. Mubasar, Ibu Anis Setianti dan seluruh keluarga besarnya yang

telah menerima, mendidik, serta mendoakan kami. Tidak lupa Mbak Nur

Faizah, Restu, Mella, Melly, Dek Vinka, Dek Ammar dan Dek Alizar

Mufid Musaid yang telah menjadi keluarga baru kami.

8. Murni Khasbiyati, sahabat sekaligus kekasih yang istiqomah memberi

motivasi dan membantu penulisan sampai dengan selesai.

9. Bapak Lurah, Bapak Asep, serta masyarakat Kelurahan Serua khususnya

para informan yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian

skripsi ini.

10. Bapak Muhammad Purwadi senior yang telah membawa sampai ke

Fakultas Ushuluddin dan Mas Daud kang Fahmi membantu dalam

perjuangan awal masuk kuliah.

vii

11. Sahabat sehidup seperjuangan, Jarkasih, Rizky Subagia, Ahmad Fauzi dan

M. Mubasyir yang telah melewati masa pendidikan bersama-sama baik

suka maupun duka.

12. Keluarga besar KKN Jemari yang telah memberikan warna baru dalam

proses kehidupan.

13. Keluarga besar Nahdlatul Ulama dan Nu Care-Lazisnu Kota Tangerang

Selatan, KH. Mohammad Thohir, KH. Himam Muzzahir, MA, Bapak M.

Suhud dan seluruh jajaran pengurus NU yang telah memberikan berkah,

do’a, serta dukungan.

Ciputat, 13 Mei 2019

Hidayatulloh

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

BAB I : PENDAHULUAN.................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 7

D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7

E. Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 8

F. Kerangka Teori.......................................................................................... 10

G. Metodologi Penetitian ............................................................................... 14

H. Sistematika Penelitian ............................................................................... 20

BAB II : EKSISTENSI AHMADIYAH ............................................................ 21

A. Sejarah Ahmadiyah di Indonesia .............................................................. 21

B. Ajaran-Ajaran Ahmadiyah ........................................................................ 33

a. Kenabian ............................................................................................ 34

b. Pewahyuan ......................................................................................... 37

c. Khalifah .............................................................................................. 38

d. Jihad ................................................................................................... 41

BAB III : AHMADIYAH DI KELURAHAN SERUA .................................... 43

A. Kelurahan Serua ........................................................................................ 43

a. Sejarah ................................................................................................ 43

b. Kondisi Geografis ............................................................................... 44

c. Kependudukan..................................................................................... 45

d. Keadaan Agama dan Budaya .............................................................. 45

B. Perkembangan Ahmadiyah di Kelurahan Serua ....................................... 46

C. Eksistensi Ahmadiyah di Kelurahan Serua ............................................... 55

ix

BAB IV : ANALISIS KONFLIK JEMAAT AHMADIYAH DAN NON

AHMADIYAH DI KELURAHAN SERUA ..................................................... 60

A. Relasi Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Kelurahan Serua ....... 60

1. Kekerabatan......................................................................................... 61

2. Kegiatan Keagamaan .......................................................................... 63

3. Kegiatan Sosial dan Budaya................................................................ 65

4. Sistem Ekonomi .................................................................................. 67

B. Faktor penyebab Konflik Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Kelurahan

Serua .......................................................................................................... 69

1. Faktor Lembaga Sosial ........................................................................ 69

a. Keluarga ........................................................................................ 71

b. Agama ........................................................................................... 72

c. Pemerintah..................................................................................... 75

2. Faktor ekonomi ................................................................................... 77

3. Faktor pendidikan................................................................................ 78

C. Mediasi Konflik Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Kelurahan Serua ... 81

1. Pemerintah........................................................................................... 81

2. Masyarakat Serua ................................................................................ 84

3. Kepolisian ........................................................................................... 85

BAB V : PENUTUP ............................................................................................ 87

A. Kesimpulan ............................................................................................... 87

B. Saran .......................................................................................................... 90

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku, bahasa,

adat istiadat dan agama, sehingga bangsa Indonesia adalah masyarakat yang

majemuk. Keragaman tersebut adalah salah satu struktur yang membentuk pola

pikir masyarakat Indonesia baik itu masyarakat yang baru tumbuh atau

berkembang. Bagi masyarakat yang baru tumbuh corak tersebut akan mewarnai

pertumbuhan mereka untuk mencari jati diri mereka dan menyesuaikan diri

dengan lingkungannya.

Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

Mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya untuk tumbuh dan

mempertahankan diri. Dalam hidup bermasyarakat manusia akan selalu

dihadapkan pada kelompok masyarakat lain yang mempunyai masalah-masalah

ataupun kepentingan kelompok mereka. Dalam menghadapi persoalan ini,

manusia membutuhkan sarana penunjang dalam perkembangan hidupnya untuk

mempertahankan eksistensinya. Dengan kata lain, manusia membutuhkan

kekuatan yang berada di luar kuasanya baik itu di dalam kehidupan sosial atau

spiritualnya. Dalam hal spiritual yaitu agama adalah bagian dari struktur sosial

yang mempunyai peranan penting dalam masyarakat.1

Agama mempengaruhi sikap-sikap praktis manusia terhadap berbagai

aktifitas kehidupan sehari-hari manusia. Dalam salah satu teori sosiologi yakni

teori fungsional memandang agama terkait dengan aspek pengalaman yang

1Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia, 2004), h. 68.

2

mentransendenkan sejumlah peristiwa eksistensi sehari-hari yakni melibatkan

kepercayaan dan tanggapan kepada sesuatu yang berada di luar jangkauan

manusia. Oleh karena itu secara sosiologis, agama menjadi penting dalam

kehidupan manusia ketika pengetahuan dan keahlian tidak berhasil memberikan

sarana untuk melakukan adaptasi atau mekanisme yang dibutuhkan.2

Seperti apa yang telah diuraikan di atas bahwa dalam kehidupan

bermasyarakat manusia berinteraksi dan saling membutuhkan satu sama lain.

Mereka saling berhadapan dengan berbagai kelompok masyarakat yang beragama

dan memiliki berbagai kepentingan masing-masing. Dalam keadaan yang seperti

itulah nantinya yang akan menyebabkan integrasi dan konflik. Salah satu konflik

yang menarik untuk dikaji adalah Ahmadiyah.3 Berbagai konflik antara jemaat

Ahmadiyah dan non Ahmadiyah tampak di berbagai wilayah indonesia, beberapa

diantaranya seperti konflik Ahmadiyah di Lombok, konflik Ahmadiyah di

Cikeusik, konflik Ahmadiyah di Madura.

Salah satu penyebab konflik tersebut disebabkan oleh Ahmadiyah yang

menafsirkan sebagian ajaran-ajaran Islam secara tidak lazim dan tidak sedikit

yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang sudah umum. Seperti

penafsiran Ahmadiyah terhadap QS. Al-Ahzab ayat 40.4 dimana ayat itu terdapat

kata Khataman Nabiyyin, jika pada umumnya menyatakan bahwa ayat tersebut

2Thomas F.O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1995), h. 25. 3 Ahmadiyah terbagi menjadi dua yaitu: Ahmadiyah Qodiani dan Ahmadiyah Lahore.

Perbedaan yang mendasar dari keduanya bisa dilihat dari keyakinan terhadap Mirza Ghulam

Ahmad, pertama berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan yang kedua

berpendapat bahwa status Mirza Ghulam Ahmad adalah sebagai orang suci atau orang yang sudah

mencapai kesempurnaan rohaniah. Lihat Masykur Hakim, Kenapa Ahmadiyah Dihujat? (Jakarta:

SDM Bina Utama, 2005), h. 2. 4Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu. tetapi

Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

(terjemahan QS. Al-Ahzab ayat: 40).

3

mengandung arti “tidak akan ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW.” Namun

bagi Jemaat Ahmadiyah ayat tersebut bukan berarti “penutup nabi-nabi”

melainkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang termulia diantara

semua nabi. Khataman tidak selalu mempunyai arti “penutup” tetapi boleh juga

diartikan yang termulia atau memiliki derajat yang paling tinggi.5 Seperti

keterangan di atas bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia mempercayai bahwa

Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi Buruzi (nabi yang tidak membawa

syari’at/nabi bayangan) dan menjadi Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu.

Pada umumnya penyebaran Ahmadiyah di negara-negara lain, itu dimulai

ketika kantor pusat Ahmadiyah mengirimkan mubaligh/missionaris ke negara atau

daerah tersebut, namun kehadiran Ahmadiyah di Indonesia berkat inisiatif orang

Indonesia yang datang ke Qadian, yaitu tiga serangkai pelajar Indonesia dari

Padang yang belajar di Qadian yaitu Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan

Zaini Dahlan.6 Baru setelah ada permintaan tersebut, khalifah lantas mengirim

mubaligh ke Indonesia.7

Pada tahun 1925 Mubaligh Maulana Rahmat Ali yang secara khusus

diutus oleh pimpinan Ahmadiyah Internasioanal untuk menyebarkan ajaran

Ahamdiyah ke wilayah Indonesia melalui kota Tapaktuan, Aceh.8 Kemudian pada

5Kunto Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Malaysia: Nertja Press,

2014), Cet. 1, h. 106. 6Inilah diantaranya yang menurut seorang juru bicara Ahmadiyah, membuat jamaah

Ahmadiyah dari Indonesia mendapat tempat istimewa di hati khalifah. Makanya, ketika

berkunjung ke Indonesia tahun 2000, khalifah memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi pusat

dari Ahmadiyah pada tahun-tahun mendatang. Lihat Ahmad Najib Burhani, Melintasi Batas

Identitas dan Kesarjanaan: Studi Tentang Ahmadiyah di Indonesia (Jakarta: Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Singapura: ISEAS – Yusof Ishak Institute, 2008), h. 258. 7Burhani, Melintasi Batas Identitas dan Kesarjanaan: Studi Tentang Ahmadiyah di

Indonesia, h. 261. 8Munasir Sidik, Dasar-dasar Hukum & Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Jakarta:

Neratja Press, 2014), Cet. III, h. 20.

4

tahun 1931 M. Rahmat Ali datang ke Jakarta dan Bogor untuk menyebarkan

ajaran Ahmadiyah, sehingga berkat jasanya berhasil merekrut mubaligh lokal

untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah di berbagai tempat, diantaranya Garut,

Tasikmalaya, Kuningan, Ciamis, dan Bandung. Para anggotanya setiap tahun

bertambah, yang pada awalnya hanya ratusan jemaat, kini sudah mencapai ratusan

ribu jemaat.9

Respon atas kedatangan Ahmadiyah di Indonesia khususnya di Serua,

sebagian masyarakat yang dipelopori oleh para ulama sekitar menentang

Ahmadiyah karena sudah dianggap sesat dan keluar dari agama Islam. Ahmadiyah

sering mendapatkan perlakuan seperti difitnah, tindakan pidana, bahkan

pembunuhan yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang membenci terhadap

Ahmadiyah.

Beberapa contoh penentangan terhadap Ahmadiyah, di Tangerang Banten,

Gomar dikenakan hukuman penjara selama satu bulan karena dianggap

mengumpulkan orang tanpa izin dari pemerintah pada 1937, yaitu pada saat ia

mengadakan pengajian Al-Qur’an di rumahnya yang dihadiri oleh kurang lebih

300 orang. Kejadian lain di Rangkasbitung Banten, Sastra Subrata pada 1972

dilempar asbak oleh seorang anggota Polisi Pamong Praja bernama Djupriana

pada saat berdiskusi hingga wajahnya mengalami pendarahan. Kemudian orang-

orang yang anti terhadap Ahmadiyah berusaha untuk menghilangkan Ahmadiyah

di Cianjur, dimana pada masa pendudukan Tentara Jepang orang-orang yang anti

Ahmadiyah memfitnah para anggota Ahmadiyah sebagai pembuat kekacauan.

Terjadi pula di daerah Talaga Cianjur yaitu pemboikotan dalam berbagai hal,

9Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia , h. 106.

5

diantaranya tidak boleh ada kegiatan jual-beli dengan para anggota Jemaat

Ahmadiyah dan tidak boleh mengambil pekerjaan dari Jemaat Ahmadiyah.

Mereka melakukan tindakan anarkis dengan merusak masjid Ahmadiyah.10

Fenomena terkait konflik jemaat Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah saat

ini juga terdapat di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.

Sebenarnya Kota Tangerang Selatan baru terbentuk pada tanggal 9 November

2008, kota hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Susahnya pelayanan

administrasi masyarakat yang menjadi salah satu alasan pemekaran wilayah ini,

mengingat daerah ini cukup jauh dari pusat pemerintahan. Sedangkan Ahmadiyah

sudah ada sejak tahun 2000 dibawa oleh seseorang dari Tasikmalaya yang

bernama bapak Kusna Abdul Rokhim di daerah Kelurahan Parigi Kecamatan

Pondok Aren dengan membawa Jemaat sejumlah 50 orang. Kemudia melakukan

pemekaran di Kelurahan Serua Kecamatan Ciputat pada tahun yang sama yang di

pelopori oleh bapak Yusuf Sairan.11

Pasca keluarnya fatwa MUI tahun 2005 dan keluarnya SKB 3 Menteri

pada tahun 2008, Jemaat Ahmadiyah di Serua mendapat penolakan dari warga

masyarakat. Walapun adanya penolakan dari masyarakan mereka masih tetap

bertahan hidup sebagai masyarakat yang minoritas di Serua. Bahkan jemaat

Ahmadiyah di Serua ini tetap menjalankan program yang sudah di canangkan oleh

pengurus pusat. Misalnya saja, kegiatan sosial bagi-bagi sembako, menyantuni

anak yatim, donor darah, donor mata dan lain sebagainya.12

10

Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 163-165. 11

Wawancara dengan, bapak Mohammad Soleh, wakil ketua JAI cabang Serua, Pada 1

Mei 2019. 12

Wawancara dengan, Javid Attaurrahman, ketua pemuda JAI Cabang Serua, Kelurahan

Serua, Pada 23 April 2019.

6

Setelah aksi penolakan tersebut, Jemaat Ahmadiyah lebih menutup diri.

hubungan yang terjadi antara kedua kelompok menjadi kurang harmonis. Sebelum

adanya aksi penolakan pembangunan masjid Ahmadiyah ini hubungan mereka

baik-baik saja, mereka masih biasa bertegur sapa dan saling berinteraksi. Setelah

adanya aksi penolakan, hubungan keduanya ini tidak harmonis.

Sebagaimana pada umumnya bahwa jemaat Ahmadiyah menjadi

masyarakat minoritas, namun di Serua Ahmadiyah lebih mayoritas dibanding

dengan Ahmadiyah diwilayah lain. Hal ini menjadi kekuatan dan perkembangan

Ahmadiyah Serua, dimana setiap Jemaat Ahmadiyah harus memiliki kesadaran

bahwa mereka harus bekerja keras untuk Ahmadiyah, mereka harus sanggup

berkorban demi Islam dan Ahmadiyah. Kekuatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia

adalah komitmen untuk menghidupi organisasi melalui kesadaran bekerja keras

dan kerelaan berkorban.13

Nisin Setiadi selaku Sekretaris Kelurahan Serua menyampaikan bahwa

berdasarkan Fatwa MUI tahun 2005 Ahmadiyah merupakan gerakan atau

organisasi yang sesat, dan berbeda pandangan tentang Islam pada umumnya. Hal

ini yang menjadi dasar penolakan warga, supaya Ahmadiyah tidak lagi ada di

Serua. Masyarakat masih tetap merasa khawatir jika masjid Ahmadiyah yang

menjadi pusat kegiatan akan digunakan untuk syiar (menyebarkan) ajaran

Ahmadiyah.14

Berkaitan dengan kasus tersebut, peneliti tertarik untuk menganalisis

tentang Konflik Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Kelurahan Serua,

Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini akan mengkaji lebih

13

Wawancara dengan bapak Mohammad Soleh, wakil ketua JAI cabang Serua, Pada 1

Mei 2019. 14

Wawancara dengan Nisin Setiadi, Sekretaris Kelurahan Serua, Pada 23 April 2019.

7

dalam mengenai bentuk konflik antara jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di

wilayah tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini dirumuskan

pada pertanyaan bagaimana konflik jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di

Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Memenuhi persyaratan akhir memperoleh gelar Sarjana Agama pada Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Mengetahui konflik jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Kelurahan

Serua, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua kalangan baik

penulis sendiri maupun pembaca. Sehingga manfaat yang dapat diambil dari

penelitian sebagai berikut.

a. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan ilmu,

memperluas pengetahuan, memberikan referensi lanjutan, khususnya dibidang

studi agama-agama.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat

untuk mengembalikan Islam kejalan yang benar.

8

E. Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan penelitian, penulis mencari informasi tentang judul

terkait. Untuk itu maka perlu dikemukakan tulisan yang terkait dengan judul

penelitian yang akan dilaksanakan. Tulisan yang serupa dengan judul penelitian

tersebut diantaranya adalah:

Jurnal yang ditulis Rofiqoh Zuchairiyah dengan judul “Kekersan

Terhadap Aliran yang Dinilai Sesat Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi

Terhadap Ahmadiyah di Indonesia)” membahas mengenai konflik jemaat

Ahmadiyah dan non Ahmadiyah yang dilakukan dengan kekerasan di beberapa

daerah di Indonesia. Kemudian direspon oleh para tokoh Islam seperti Dawam

Rahardjo, Din Samsyuddin, Hasim Muzadi, mereka tidak sepakat penolakan

dilakukan dengan tindakan anarkisme.15

Kemudian literatur kedua adalah skripsi yang di tulis oleh Fauziyah

Gustapo, mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Pola Relasi

Sosial Komunikasi Ahmadiyyah dan Non Ahmadiyyah di Desa Tenjowaringin

Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Pembahasan dalam penulisan ini

adalah menggambarkan pola relasi sosial yang dibangun serta faktor-faktor yang

mendorong adanya relasi antara Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Desa

Tenjowiringin sehingga masyarakatnya rukun, aman, dan saling menghargai

antara satu dengan yang lainnya di samping adanya perbedaan yang mendasar dari

segi keyakinan.16

15

Rofiqoh Zuchairiyah, Kekersan Terhadap Aliran yang Dinilai Sesat Dalam Perspektif

Hukum Islam, Studi Terhadap Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Fak.

Syaria’ah dan Hukum, 2012). 16

Fauziyah Gustapo, Pola Relasi Sosial Komunikasi Ahmadiyyah dan Non Ahmadiyyah di

Desa Tenjowaringin Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya (Jakarta: UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta Fak. Ushuluddin, 2018).

9

Literatur ketiga adalah skripsi yang ditulis oleh Siswo Mulyantono

mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Kekerasan Anti

Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang (Pendekatan Mobilisasi)” Pembahasan dalam

penulisan ini adalah gerakan masyarakat untuk menuntut pembubaran Aliran

Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang. Poin penting pada tulisan ini lebih pada cara

bagaimana pola mobilisasi masa untuk menolak keberadaan Ahmadiyah disana.17

Literatur keempat adalah Disertasi tentang Tinjauan Kritis Jemaat

Ahmadiyah Indonesia karya Kunto Sofianto, Ph.D. Tinjauan kritis ini lebih

mengungkap masa-masa kritis malaise yang menyebabkan parahnya kondisi

sosial ekonomi masyarakat Indonesia khususnya Jawa Barat pada dekade abad ke

20, Pada saat itu masyarakat sangat mendambakan adanya perubahan yang

membawa keadilan bagi mereka. Kemudian tersebar berita bahwa Mirza Ghulam

Ahmad adalah Imam Mahdi, maka dengan perasaan gembira mereka

menyambutnya. Kunto Sofianto menjelaskan secara rinci gerakan Ahmadiyah

mulai masuk, tumbuh dan berkembang di wilayah Jawa Barat.

Pembahasan yang berbeda dalam penulisan ini adalah hubungan sosial

seperti apa yang dibangun serta faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya

konflik sosial antara Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di kelurahan Serua

sehingga tidak terjalin kerukunan, keamamanan, dan saling menghargai antara

satu dengan yang lainnya bahkan terjadi penolakan dari masyarakat di samping

adanya perbedaan yang mendasar dari segi keyakinan.

17

Siswo Mulyantono, Kekerasan Anti Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Pendekatan

Mobilisasi (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Fak. Ilmu Sosial dan Politik, 2014).

10

F. Kerangka Teori

Dalam menelaah permasalahan diatas tidak hanya diselesaikan dengan

pemikiran saja, melainkan harus dianalisis dengan landasan teori, sehingga dapat

terwujud karya ilmiah yang memiliki bobot keilmuan. Dalam penelitian ini

fokusnya adalah: konflik antara jemaat Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah di

Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Inti dari teori

tersebut dapat dipakai untuk memahami dan mengungkapkan secara sistematis

mengenai obyek yang akan diteliti. Penjabaran teori dari tema tersebut adalah

sebagai berikut:

Istilah konflik berasal dari bahasa Inggris, yaitu “conflict” yang artinya

pertentangan atau perselisihan.18

Dalam kata kerja Latin, yatitu “configere” yang

berarti saling memukul. Sedangkan konflik dalam bahasa Indonesia berarti

percekcokan atau ketegangan. Secara sosiologis, konflik diartikan pertentangan

antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan sehari-

hari.19

Menurut Clifford Gertz, bahwa konflik berakar pada sikap masyarakat

tertutup, tidak terbuka terhadap realitas sosialnya. Ketertutupan inilah yang

membuat pribadi ataupun kelompok, merasa eksklusif dalam diri atau

kelompoknya sendiri dan tidak menerima dan terbuka terhadap pihak lainnya

yang berbeda dengan diri atau kelompok mereka.20

Hal ini berbeda dengan

pendapat Gillin dan Gillind mengenai pengertian konflik. Ia berpendapat bahwa

konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga

18

http://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-konflik.html. 19

https://kbbi.web.id/konflik.html. 20

Deni Haryanto dan Edwi Nugrohadi, Pengantar Sosiologi Dasar (Jakarta: Prestasi

Pustaka Karya, 2011), h. 169.

11

kelompok) untuk mencapai tujuan mereka secara langsung menantang pihak lain

dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan, dimana salah satu pihak berusaha

menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak

berdaya.21

Sedangkan menurut Lewis Coser konflik sosial adalah perselisihan

mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan

sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. Pihak-pihak yang

berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh sumber-sumber yang

diinginkan, tetapi mereka juga menonjolkan, merugikan bahwan menghancurkan

lawan mereka.22

Coser membedakan bahwa konflik itu ada dua kategori yaitu konflik

realistik dan konflik nonrealistik. Konflik realistik adalah sebuah pertentangan

yang bersumber pada sesuatu yang kongkrit dan material, seperti perebutan

ekonomi atau wilayah. Sedangkan konflik nonrealistik adalah sebuah

pertentangan yang didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung

bersifat ideologis, seperti konflik antar agama, antar etnis dan antar kepercayaan

lainya.23

Pada dasarnya penyebab konflik dibagi menjadi dua macam, yaitu

Kemajemukan Horisontal dan Kemajemukan Vertikal:

a. Kemajemukan Horisontal adalah setruktur masyarakat yang majemuk

secara kultural, seperti bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti

perbedaan pekerjaan dan profesi, seperti petani, buruh, pedagang, pegawai

21

Deni Haryanto dan Edwi Nugrohadi, Pengantar Sosiologi Dasar, h. 163. 22

Margaret M. Polome, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: Raja Wali Persada, 1945), h.

107-108. 23

Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009), h. 46-

47.

12

negeri, wartawan, militer, dan cendekiawan. Kemajemukan ini

menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut

mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya

tersebut ingin mempertahankan karakteristik budaya tersebut.

b. Kemajemukan Vertikal adalah setruktur masyarakat yang terpolarisasi

berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan ini

dapat menimbulkan konflik karena ada sekelompok kecil masyarakat yang

memilii kekayaan, pendidikan yang mapan kekuasaan dan kewenangan

yang besar, sementara sebagian yang ada tidak/kurang memilikinya.

Polarisasi masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya

konflik sosial.24

Selanjutnya dijabarkan kembali faktor penyebab konflik secara lebih luas

dan terperinci dari beberapa hal yang lebih mempertegas akar terjadnya konflik

diantaranya:

1. Perbedaan antar individu; diantaranya perbedaan pendapat, tujuan,

keinginan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan.

2. Banturan antar kepentingan baik secara ekonomi maupun politik. Benturan

kepentingan ekonomi dipicu oleh makin bebasnya beruasah, sehingga

banyak diantara kelompok usaha saling merebutkan wilayah pasar dan

perluasan wilayah untuk mengembangkan usahanya.

3. Perubahan sosial konflik ini dipicu oleh keadaan perubahan yang terlalu

mendadak. Keadaan demikian ini memicu banyak orang yang bertingkah

24

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2011), cet.2., h. 360-361.

13

semaunya sendiri yang berakibat pada benturan antar kepentingan baik

secara individual ataupun kelompok.

4. Perbedaan kebudayaan yang mengakibatkan adanya perasaan in group dan

Out Group yang biasanya diikuti oleh sikap etnosentrisme25

kelompok

yaitu sikap yang ditunjukan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya

adalah paling baik, ideal, beradap diantara kelompok lain.

Sedangkan menurut Turner ada beberapa faktor yang menuju terjadinya

konflik sosial diantaranya:

1. Tidak meratanya distribusi sumber daya yang akan terbatas di dalam

masyarakat.

2. Ditariknya kembali legitimasi penguasa politik oleh masyarakat kelas

bawah.

3. Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara untuk mewujudkan

kepentingan.

4. Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas

bawah serta lambatnya mobilitas sosial ke atas.

5. Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal.

Dalam buku Pengantar Sosiologi Konflik, Coser menjelaskan bahwa

konflik tidak hanya berwajah negatif, namun konflik juga memiliki fungsi positif

terhadap masyarakat melalui perubahan sosial yang diakibatkanya. Coser melihat

konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian dapat memberi

peran atau fungsi positif dalam masyarakat. Sehingga dalam hubungan sosial

25

Sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri,

biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain.

Lihat: https://kbbi.web.id/etnosentrisme.html

14

tertentu, konflik yang disembunyikan tidak akan memberikan efek positif.26

Adapun akibat atau hasil dari konflik antara lain:

1. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok yang mengalami

konflik dengan kelompok lain.

2. Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.

3. Perubahan kepribadian dari dalam individu atau kelompok. Misalnya

timbul rasa dendam, benci, saling curiga dan lain-lain.

4. Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.

5. Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat konflik.27

Melihat pengertian konflik di atas, penulis berpendapat bahwa konflik

adalah perselisihan yang terjadi antara dua individu atau kelompok karena

mempunyai pengertian, pemahaman dan tujuan yang berbeda. Hal ini terjadi

karena menganggap diri atau kelompoknya paling benar, sedangkan yang lainya

adalah salah.

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan atau studi kasus dengan

tema konflik jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Kelurahan Serua,

Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.

2. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian kualitatif

yaitu penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau

kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau

26

Susan, Pengantar Sosiologi Konflik, h. 45-46. 27

Haryanto dan Nugrohadi, Pengantar Sosiologi Dasar, h. 173.

15

daerah tertentu.28

Penelitian kualitatif ini juga bertujuan untuk menjelaskan

fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data. Penelitian ini

tidak mengutamakan besarnya populasi bahkan sangat terbatas. Pendekatan ini

lebih mengutamakan kedalaman (kualitas) bukan banyaknya (kuantitas) data.29

3. Pendekatan Penelitian

Ada beberapa Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini, pendekatan-

pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pendekatan Historis

Dalam melakukan kajian ini penulis menggunakan pendekatan historis.30

Dengan pendekatan ini, penulis berusaha menelaah sejarah Ahmadiyah di

Indonesia, menelusuri masuknya Ahmadiyah di Serua, perkembangan Ahmadiyah

di Serua dan eksistensi Ahmadiyah di Kelurahan Serua.

b. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis31

terhadap agama bermaksud mencari relevansi dan

pengaruh agama terhadap fenomena sosial. Pendekatan sosiologis yang penulis

coba paparkan adalah mengamati secara langsung bagaimana pola hubungan

sosial jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Kelurahan Serua. Kemudian

mencari fakta akar konflik yang terjadi antara kedua kelompok tersebut.

28

Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Jakarta: PT. Bumi

Aksara,2009), h. 47. 29

M. Hariwijaya, Metodologi dan Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi untuk Ilmu

Sosial dan Humaniora (Yogyakarta: Parama Ilmu, 2015), h. 85-86 30

Pendekatan historis merupakan suatu studi berusaha menelusuri asal-usul dan

pertumbuhan ide-ide dan pranata-pranata keagamaan melalui periode-periode perkembangan

historis tertentu dan menilai peranan kekuatan-kekuatan yang dimiliki agama untuk

memperjuangkan (mempertahankan) dirinya selama periode-periode itu. Lihat Media Zainul

Bahri, Wajah Studi Agama-agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan pertama, 2015), h. 15. 31

Pendekatan ini berfokus pada masyarakat yang memahami dan mempraktikan agama,

bagaimana pengaruh masyarakat terhadap agama dan pengaruh agama terhadap masyarakat.

(Bahri, Wajah Studi Agama-agama, h. 43-44.)

16

4. Sumber dan Tekhnik Pengumpukan Data

a. Sumber Data

Untuk melakukan penelitian tersebut penulis mengumpulkan data primer

dan sekunder yang sesuai dengan tema penelitian.

1. Sumber Primer artinya data yang didapat dari sumber pertama, seperti

wawancara kepada seseorang atau pengamatan peneliti langsung pada

obyek penelitian. Atau segala sesuatu yang sudah diolah menjadi buku,

artikel, jurnal, ceramah, arsip, dokumen, majalah, dan surat kabar yang

terkait langsung dengan topik penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:

a) Wawancara dengan Mohammad Soleh (wakil ketua bidang tabligh JAI

Cabang Serua).

b) Wawancara dengan Malik Achmad (wakil ketua JAI Cabang Serua).

c) Wawancara dengan Asep Ahmad Husaini (Ketua bidang ta’lim JAI

Cabang Serua).

d) Wawancara dengan Javid Attaurrahman (ketua pemuda Ahmadiyah

Serua).

e) Wawancara dengan Nisin Setiadi, (Sekretaris Kel. Serua).

f) Wawancara dengan Ibrahim (Staf Kelurahan Serua).

g) Wawancara dengan Himam Muzzahir, MA (tokoh agama Kel. Serua).

h) Profil Kelurah Serua Kecamatan Ciputat tahun 2018

i) Masjid dan Sekretariat Ahmadiyah (Masjid Baitul Qoyyum Jl. Ciater

Raya Ruko Cams Corner No.9 Rt 01/10 Komplek Serua Makmur,

Serua, Ciputat).

17

2. Sumber Sekunder artinya data-data yang diperoleh dari hasil penelitian

orang lain yang sudah diolah menjadi data-data, buku, koran, majalah dan

lain-lain, diantaranya sebagai berikut:

a) Ahmad Najib Burhani, Melintasi Batas Identitas dan Kesarjanaan:

Studi Tentang Ahmadiyah di Indonesia (Jakarta: Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Singapura: ISEAS – Yusof Ishak

Institute, 2008).

b) Kunto Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(Malaysia: Nertja Press, 2014, Cet. 1).

c) Tohayudin, Paham Keagamaan dan Hak Sipil Jemaat Ahmadiyah

Indonesia Prespektif Hukum Islam dan Hukum Nasional (Tesis: IAIN

Syeh Nurjati Cirebon, 2012).

d) Fauziyah Gustapo, Pola Relasi Sosial Komunikasi Ahmadiyyah dan

Non Ahmadiyyah di Desa Tenjowaringin Kecamatan Salawu

Kabupaten Tasikmalaya (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Fak. Ushuluddin, 2018).

e) Nadia Wasta Utami, “Upaya Komunikasi Forum Kerukunan Umat

Beragama (FKUB) dalam Resolusi Konflik Ahmadiyah,” (Jurnal Ilmu

Komunikasi, Vol. 13, No. 1, Juni 2016).

f) Rofiqoh Zuchairiyah, Kekersan Terhadap Aliran yang Dinilai Sesat

Dalam Perspektif Hukum Islam, Studi Terhadap Ahmadiyah di

Indonesia (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Fak. Syaria’ah dan

Hukum, 2012).

18

g) Surat Edaran Bersama Sekretaris Jendral Departemen Agama, Jaksa

Agung Muda Intelejen, dan Direktur Jendral Kesatuan Bangsa dan

Politik Departemen Dalam Negeri, Agustus Tahun 2008.

h) Munasir Sidik, Dasar-dasar hukum & Legalitas Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (Jakarta: Neratja Press, 2014, Cet. III).

i) Siswo Mulyantono, Kekerasan Anti Ahmadiyah di Cikeusik

Pandeglang Pendekatan Mobilisasi (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah

Fak. Ilmu Sosial dan Politik, 2014).

j) Zulkarnain Iskandar, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta:

LkiS Yogyakarta, Cet. II. 2011).

b. Tekhnik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini ada beberapa teknik yang akan digunakan untuk

mengumpulkan data, diataranya yaitu:

a) Wawancara

Metode pengumpulan data dengan cara bertanya langsung pada responden

untuk mendapatkan informasi.32

Peneliti melakukan wawancara dengan responden

ditempat penelitian yakni kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang

Selatan sejumlah 7 orang. Diantaranya; wawancara dengan bapak Mohammad

Soleh (wakil ketua JAI Cabang Serua), wawancara dengan bapak Malik Achmad

(wakil ketua JAI Cabang Serua), Wawancara dengan bapak Asep Ahmad Husaini

(Ketua bidang ta’lim JAI Cabang Serua), wawancara dengan Javid Attaurrahman

(ketua pemuda Ahmadiyah Serua), wawancara dengan bapak Nisin Setiadi,

32

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 333.

19

Sekretaris Kel. Serua), wawancara dengan bapak Ibrahim (Staf Kelurahan Serua),

wawancara dengan Uztadz Himam Muzzahir, MA (tokoh agama Kel. Serua).

b) Observasi

Observasi merupakan salah satu tekhnik pengumpulan data yang

menggunakan pertolongan indra mata.33

Penulis mengamati setiap kegiatan yang

diadakan oleh jemaat Ahmadiyah Serua dalam kegiatan bakti sosial, pendidikan

keagamaan dan pelayanan kemanusiaan. Ada beberapa lokasi yang menjadi lokasi

pengamatan peneliti, diantaranya; Sekretariat Ahmadiyah, Masjid Baitul Qoyyum

Jalan Ciater Raya, Ruko Cams Corner No.9, Serua, Ciputat; Kegiatan bakti sosial

yaitu bagi sembako, dan bagi takjil di depan masjid Baitul Qoyyum; Kantor

Kelurahan Serua, jalan Bukit Serua Raya, Serua, Ciputat; Komplek Serua

Makmur, jalan Serua Raya, Serua, Ciputat.

c) Dokumentasi

Tehknik dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-

dokumen yang bisa memberikan informasi dan bukti tentang judul terkait. Teknik

dokumen mencakup buku, laporan, surat-surat antar kelompok, foto dan lain

sebagainya.34

c. Tekhnik Analisis Data

Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan maka penulis akan berusaha

menggabungkan data-data primer dan sekunder serta menafsirkan data,

menjelaskan data dan mengklasifikasi data yang diperoleh dari hubungan Jemaat

Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota

Tangerang Selatan.

33

Sutrisno Hadi, Metodologi Riset II (Yogyakarta: Andi Ofset, 1982), h. 159 34

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2003), Cet. 2, h. 163.

20

H. Sistematika Penulisan

Secara garis besar penulisan pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari lima

bab, dengan uraian sebagai berikut:

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika

penulisan.

BAB II : Bab ini penulis akan menjelaskan tentang sejarah kelahirah

Ahmadiyah, munculnya Ahmadiyah di Indonesia dan pelarangan Ahmadiyah di

Indonesia. Dalam bab ini juga menyajikan pokok-pokok ajaran Ahmadiyah yang

meliputi; kenabiyan, pewahyuan, khilafah dan jihad.

BAB III : Bab ini menjelaskan mengenai gambaran umum tempat

penelitian yang meliputi sejarah kota Tangerang Selatan, letak geografis,

kependudukan, keadaan Agama dan budaya. Kemudian bab ini juga menjelaskan

perkembangan Ahmadiyah di Serua dan eksistensi Ahmadiyah di Serua.

BAB IV : Bab ini menyajikan deskripsi tentang relasi jemaat Ahmadiyah

dan non Ahmadiyah yang meliputi aspek kekerabatan, kegiatan keagamaan,

kegiatan sosial budaya dan sistem ekonomi. Pada masing-masing bentuk relasi ini

penulis juga menyajikan dinamika konflik diantara mereka, diantaranya adalah

faktor lembaga sosial (keluarga, agama, dan pemerintah), faktor ekonomi dan

faktor pendidikan. Kemudian menyajikan deskripsi tentang mediasi yang

dilakukan oleh pemerintah, kementrian Agama dan FKUB Kota Tangsel..

BAB V : Bab ini adalah penutup yang berisi kesimpulan, saran dan

harapan.

21

BAB II

EKSISTENSI AHMADIYAH DI INDONESIA

A. Sejarah Ahmadiyah

Ahmadiyah muncul menjelang akhir abad ke-19 di tengah huru-hara

runtuhnya masyarakat Islam lama dengan sikap yang baru karena infiltrasi

budaya, serangan kaum misionaris Kristen, dan berdirinya Universitas Aligarh.

Ahmadiyah lahir sebagai protes terhadap keberhasilan kaum misionaris Kristen

memperoleh pengikut-pengikut baru. Selain itu juga, sebagai protes terhadap

paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan. Di

samping itu, lahirnya Ahmadiyah juga sebagai protes atas kemerosotan Islam pada

umumnya.1

Sejarah berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari peran pendiri gerakan ini

yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Ia lahir pada tanggal 13 Februari 1835 di desa

Qadian Punjab, India. Ayahnya bernama Mirza Ghulam Ahmad Murtada. MGA

adalah keturunan Haji Barlas, raja kawasan Qesh yang merupakan paman Amir

Tughlak Temur. Ketika Amir Temur menyerang Qesh, Haji Barlas sekeluarga

terpaksa melarikan diri ke Khorasan dan Samarkand serta menetap di sana. Pada

abad ke-16, seorang keturunan Haji Barlas bernama Mirza Hadi Baig-keturunan

dinasti Mughal beserta 200 orang pengikutnya meninggalkan Samarkand, dan

pindah ke daerah Gurdaspur di Punjab, sekitar kawasan sungai Bias. Disana ia

mendirikan sebuah perkampungan bernama Islampur. Dia ini yang menjadikan

kota Qadian sebagai tempat lahirnya pendiri gerakan Ahmadiyah karena keluarga

1Muslih Fatoni, Faham Mahdi Syi‟ah dan Ahmadiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1994),

h. 53.

22

Mirza Ghulam Ahmad Murtadha masih keturunan Haji Barlas. Atas dasar itu pula

di depan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan Mirza.2

Pembai’atan terhadap para pengikutnya dilakukan setelah MGA menerima

wahyu pada akhir tahun 1890. Wahyu itu menegaskan bahwa Nabi Isa as telah

wafat dan MGA adalah al-Masih yang dijanjikan. Wahyu yang ia terima berbunyi:

“Masih Ibnu Maryam, Rasul Allah SWT telah meninggal. Sesuai dengan janji,

engkau menyandang dengan warnanya”. Sejak menerima wahyu, MGA

menyatakan bahwa dirinya sebagai al-Masih yang dijanjikan sekaligus sebagai al-

Mahdi. Menurut Ahmadiyah Qadian, setelah diadakan pembai’atan tahun 1889,

MGA mengorganisasi para pengikutnya menjadi suatu paham baru dalam gerakan

Islam dengan nama gerakan Ahmadiyah, sehingga tahun tersebut dinyatakan

sebagai tahun resmi berdirinya Ahmadiyah. Kesimpulannya, ada perbedaan tahun

berdirinya Ahmadiyah antara Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian.

Ahmadiyah Lahore berdasarkan wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad

tahun 1888, sedangkan Ahmadiyah Qadian berdasarkan pelaksanaan pembai’atan

tahun 1889.3

Awal masuknya Ahmadiyah di Indonesia bermula dari tiga pemuda yang

menuntut ilmu di Pusat Gerakan Ahmadiyah yang bertempat di Qadian, India

yaitu Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Pada tahun 1922,

para pemuda Indonesia ini pergi keluar negeri untuk menuntut ilmu khusunya

fokus pada ilmu agama Islam, kebanyakan dari para pemuda pada umumnya

2Basyruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj. Malik Aziz

Ahmad Khan (Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1995), h. 1-2. 3Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta : LKiS Pelangi

Aksara, 2005), h. 65.

23

melanjutkan pendidikannya ke Mesir, yaitu tempat perguruan bernama Al-Azhar,

akan tetapi tiga pemuda dari Sumatra ini pergi ke Hindustan (India).4

Tujuan pertama mereka itu adalah pergi ke kota Lucknow, India. Di kota

tersebut mereka tinggal selama kurang lebih tiga bulan. Karena tidak dapat

kepuasan belajar di kota tersebut, akhirnya mereka memutuskan untuk

meninggalkan kota Lucknow menuju ke Lahore, disini lah awal mula beberapa

pemuda terebut berkenalan dengan Ahmadiyah. Mereka bertiga pergi ke Lahore

karena mereka pernah mendengar nama Kwaja Kamaludin salah satu seorang

pemimpin Ahmadiyah building, yaitu pusat Gerakan Ahmadiyah Lahore. Namun

tetap saja mereka bertiga tidak mendadapat kepuasan dalam menuntut ilmu. Pada

suatu ketika timbul keinginan mereka untuk mengunjungi sekaligus berziarah ke

makam Mirza Ghulam Ahmad di Qadian.5

Pada bulan Agustus tahun 1923, berangkatlah ketiga pemuda ini menuju

Qadian. Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad adalah orang yang mereka temui di

Qadian, beliau adalah putera dari Mirza Ghulam Ahmad, yakni khalifah II.

Mereka diperbolehkan masuk di Madrasah Ahmadiyah.6 Setelah beberapa lama

mereka tinggal di dalam asrama dan belajar secara giat dan rutin, kemudian

mereka menulis surat kepada keluarga dan teman-teman yang berada di tanah air

dan menceritakan tentang sekolah tempat mereka belajar sehingga menarik minat

teman-teman mereka agar datang ke Qadian untuk belajar dan menuntut ilmu

disana. Maka datanglah pemuda-pemuda lainnya dari Indonesia ke Qadian untuk

menuntut pelajaran agama, pemuda-pemuda tersebut semuanya kurang lebih

4Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan Gerhana

Matahari Ramadhan 1894-1994 (Parung : JAI, 1994), h. 64. 5Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 65.

6Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 173.

24

berjumlah 19 orang dan akhirnya semuanya masuk sebagai anggota Jemaat

Ahmadiyah.7

Pada bulan November tahun 1924, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad

diundang oleh pemuda Indonesia dalam jamuan teh, beserta beberapa para tokoh

Jemaat Ahmadiyah lainnya. Dalam pertemuan tersebut dari pihak pelajar

membacakan pidatonya dalam Bahasa arab yang diwakili oleh Haji Mahmud. Inti

dari pidato yang telah disampaikan oleh Haji Mahmud ialah menyampaikan

permohonan atas nama seluruh pemuda Indonesia agar Mirza Basyiruddin

Mahmud Ahmad berkenan untuk mengunjungi Indonesia.8 Pada tanggal 15

Agustus 1925 diadakan acara pelepasan mujahid pertama untuk Indonesia,

sebelum datang ke Indonesia Khalifah II memberi nasehat kepada Rahmat Ali,

antara lain berikut:

a. Janganlah memakai cara-cara debat.

b. Bicaralah dengan para ulama yang mencintai ilmu.

c. Berbicaralah secara terpisah dengan para ulama yang menentang

d. Bertabligh dengan para tokoh masyarakat. Di zaman Hazrat Masih Ma’ud

a.s. diantara ulama besar adalah Hazrat Maulwi Hakim Nuruddin, dan

kalangan pembesar masyarakat ialah Nawab Muhammad Ali Khan, kedua-

duanya masuk Ahmadi.

e. Bertablighlah secara bertahap dan teratur.

f. Pertama kepada golongan orang baik-baik,

g. Kemudian kepada golongan orang yang tidak baik.

h. Setialah dan taatlah kepada kebijaksanaan pemerintah.

7Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 66.

8Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 67.

25

i. Jangan mengambil muka kepada pemerintah, tetapi mintalah apa yang jadi

hakmu.

j. Dimana ada orang-orang Ahmadi bentuklah badan pengurus.

k. Sibuklah berdoa setiap waktu.

l. Kirimlah laporan secara teratur kepadaku (Hazrat Khalifatul Masih)

supaya situasi dapat dipantau.

m. Ciptakanlah kebiasaan bertabligh pada orang-orang Ahmadi baru, dan

jadikanlah mereka contoh yang baik supaya orang-orang mengerti hakikat

Ahmadiyah. Ciptakanlah perdamaian untuk keamanan umum dan

pemerintah.

n. Jauhilah politik, supaya dapat berhubungan dengan masyarakat secara

bebas.

o. Bertablighlah dengan korespondensi (surat-menyurat). Tentukanlah

tempat-tempat bertablighan. Jangan lalai dalam menjalankan tugas.

p. Tiga perempat dari iuran (chandah)9 belanjakanlah disana dengan ikhlas

dan jujur, sisanya kirim ke pusat.

q. Jagalah kewibawaan dan kehormatan diri sendiri dengan keagungan iman.

r. Orang-orang akan masuk Ahmadiyah setelah melihat contoh yang baik.

s. Majukanlah Jemaat dengan penuh keikhlasan.10

Maulana Rahmat Ali tiba di Tapaktuan pulau Sumatra pada tanggal 2

Oktober 1925. Sebelum itu ia mengalami ujian, ia sempat ditahan kurang lebih

selama 15 hari di Sabang, karena diduga membawa buku atau pemikiran komunis,

9Chandah berarti sumbangan yang diberikan oleh seorang Ahmadi kepada Jemaat

Ahmadiyah Qadian atau kontribusi yang diberikan seorang Ahmadi kepada Jemaat. Lihat: Abdul

Mukhlis Ahmad, Ketentuan dan Peraturan Tahrik Jadid Anjuman Ahmadiyah (Jakarta: Pengurus

Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2010), h. 27. 10

Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 66.

26

karena dapat membahayakan Belanda yang saat itu masih menguasai Indonesia.

Di Tapaktuan, ia tinggal di rumah seorang temannya yaitu Muhammad Samin,

orang yang pernah belajar di Qadian juga.

Pada saat itu Maulana Rahmat Ali memulai aktivitasnya bertabligh di

Tapaktuan, dan dalam kurun waktu yang tidak lama langsung ada beberapa orang

yang telah mengaku secara terang-terangan bahwa dirinya telah mengikuti

Ahmadiyah. Rumah yang digunakan untuk berkumpul ialah rumah Mamak

Gemuk, salah seorang pegikut Ahmadiyah. Dengan demikian, di Tapaktuan telah

berdiri Jemaat Ahmadiyah.

Pada tahun 1926, Maulana Rahmat Ali meninggalkan Tapaktuan menuju

Padang untuk berdakwah. Setibanya di Padang, Maulana Rahmat Ali mulai

melakukan tabligh seperti pada waktu apa yang ia lakukan di Tapaktuan sehingga

secara langsung membuat resah warga Padang karena adanya suatu pemahaman

yang baru mereka dengar, bahkan sampai ke daerah-daerah seperti Padang

Panjang, dan Bukittingi. Materi dari tabligh Maulana Rahmat Ali antara lain

adalah; masalah Mirzha Ghulam Ahmad sebagai seorang al-Mahdi yang

dijanjikan Tuhan, al-Masih, kematian Isa Ibnu Maryam, dan terakhir adalah Mirza

Ghulam Ahmad adalah seorang nabi yang tidak membawa Syari’at setelah Nabi

Muhammad SAW.11

Tentunya hal ini membuat reaksi dan pertentangan yang

dilakukan oleh warga Padang kepada Maulana Rahmat Ali, Sampai-sampai

Maulana Rahmat Ali dan para pengikutnya selalu dapat beberapa penghinaan-

penghinaan, bahkan sampai penganiyaan. Meski demikian, Maulana Rahmat Ali

dan pengikutnya tidak pernah membalasnya dengan kekerasan juga, Maulana

11

Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 177.

27

Rahmat Ali tetap sabar dan ikhlas, ia kemudian tetap melanjutkan tabligh ke

daerah-daerah selain Padang Panjang, seperti Bukit Tinggi, Payakumbuh, dan

beberapa daerah lainnya.

Dua tahun berikutnya Maulana Rahmat Ali meninggalkan Sumatra dan

pergi menuju pulau Jawa. Maulana Rahmat Ali meninggalkan Sumatra

disebabkan oleh banyaknya tekanan-tekanan yang ia terima baik dari ulama

Sumatra Barat dan datangnya organisasi Muhammadiyah yang mengubah dan

meluruskan pemikiran kaum muslim dengan pemikiran pembaharuannya.

Maulana Rahmat Ali pindah dari Sumatra pindah ke Jawa untuk kepentingan

misinya dan melanjutkan tablighnya. Daerah pertama yang dituju Maulana

Rahmat Ali di pulau Jawa adalah Jakarta. Sesampai di Jakarta, ia tinggal disebuah

rumah keluarga asal Padang di daerah Bungur dan ia menyewa rumah di

Defensielijn van den Bosch nomor 139.12

Mengenai paham yang disebarkan oleh Maulana Rahmat Ali sendiri,

terjadilah debat yang berlangsung dua kali, pertama terjadi melalui bidang

keagamaan di Bandung, pada tanggal 14, 15, dan 16 April debat ini berlangsung

selama tiga hari berturut-turut. Perdebatan ini diselengarakan debat terbuka antara

organisasi PERSIS (persatuan islam) dan Ahmadiyah Qadian, wakil dari pihak

Ahmadiyah Qadian adalah Maulana Rahmat Ali sendiri, dan Maulana Abu Bakar

Ayyub. Sedangkan dari PERSIS diwakili oleh A. Hassan dengan pimpinan

Mohammad Syafi’i dari PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), perdebatan

tersebut dihadiri oleh utusan-utusan dari beberapa organisasi-organisasi Islam dan

kalangan pers.

12

Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 221.

28

Perdebatan kedua terjadi di Jakarta dan dilaksanakan tiga hari berturut

turut juga seperti pada debat pertama kali di Bandung, debat kedua ini terjadi pada

tanggal 28, 29, dan 30 September 1933, bertempat di Gedung Permufakatann

Nasional, Gang Kenari, Jakarta. Dengan mengambil tema : Hidup-matinya Nabi

Isa a.s. dan Masalah Kenabian, Kebenaran Dakwah Mirza Ghulam Ahmad.

Perwakilan dari Ahmadiyah Qadian adalah Maulana Rahmat Ali, Maulana Abu

Bakar Ayyub H.A, sedangkan dari pihak PERSIS diwakili oleh A. Hassan dkk.13

Meskipun dengan terjadinya debat yang berlangsung dua kali dengan hari, tanggal

dan tempat yang berbeda dan tidak ada penyelesaian dalil, mereka tetap pada

pendirian masing-masing dan debat ini berakhir dengan mubahalah.14

Setelah sepuluh tahun Ahmadiyah menampakan kakinya di Indonesia,

maka pada tanggal 25-26 Desember 1935 ada tiga belas tokoh Ahmadiyah yang

berkumpul untuk membentuk pengurus besar pertama di Batavia dengan susunan

sebagai berikut:

Ketua : R. Mohammad Muhyiddin

Sekretaris I : Sirati Kohongia

Sekretaris II : Mohammad Usman Kartawijaya

Anggota :

1. R. Markas Atmasasmita

2. R. Hidayath

3. R. Sumadi Gandakusuma

4. R. Kaartatmaja15

13

Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 70. 14

Mubahalah adalah memohon keputusan Ilahi supaya yang palsu dan dusta dikutuk oleh

Tuhan dengan mati terkutuk, selama yang benar masih hidup. 15

Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 71.

29

Nama resmi organisasi ini adalah Anjuman Ahmadiyah Qadian

Departemen Indonesia (AAQDI).16

Setelah bangsa Indonesia memperoleh

kemerdekaan, pada tahun 1949 organisasi AAQDI mengalami perubahan nama

menjadi JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) setelah menyetujui Anggaran Dasar

(AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) pada muktamar pertama tanggal 11

Desember 1949.17

Pada tahun 1953, tanggal 13 Maret Ahmadiyah telah mendapat

pengesahan dari pemerintahan Republik Indonesia. Menteri Kehakiman R.I

dengan SK. No. J. A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 mengesahkan JAI (Jemaat

Ahmadiyah Indonesia) sebagai badan hukum.18

Surat keputusan tersebut dimuat

dalam tambahan Berita Negara Republik Indonesia pada tanggal 31 Maret 1953

No. 26.19

Selama 25 tahun lamanya Maulana Rahmat Ali bertabligh di Indonesia

dan menyebarkan ajaran Ahmadiyah yang dicetuskan oleh Mirza Ghulam Ahmad

(India), pada bulan April 1950, ia ditugaskan sebagai mubaligh di Pakistan

Timur.20

Maulana Rahmat Ali adalah mubaligh yang pertama kali diutus langsung

oleh khalifah II Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad untuk menyebarkan ajaran

ajaran Ahmadiyah di Indonesia sampai aliran tersebut bisa menjadi organisasi

resmi dan diakui badan hukum di Indonesia.

Pengakuan Badan Hukum Jamaah Ahmadiyah Indonesia dipertegas lagi

oleh pernyataan Surat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 0628/KET/1978

tanggal 19 Juni 1978 yang menyatakan bahwa Jamaah Ahmadiyah Indonesia telah

16

Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 75. 17

Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 195. 18

Munasir Sidik, Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(Jakarta : Jemaat Ahmadiyah, 2008), h. 21. 19

Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 74. 20

Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 179.

30

diakui sebagai badan hukum berdasarkan Statsblaad 1870 nomor 64. Selanjutnya,

kelengkapan organisasi Jamaah Ahmadiyah Indonesia juga diakui telah memenuhi

persyaraatan ketentuan Undang-Undang nomor 8 tahun 1985 tentang organisasi

kemasyarakatan sehingga keberadaan Jamaah Ahmadiyah Indonesia dinyatakan

telah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku oleh Direktorat Jenderal

Sosial Politik Departemen Dalam Negeri dengan surat nomor 363.A/DPM/503/93.

Jamaah Ahmadiyah Indonesia telah diakui keberadaanya oleh Departemen Dalam

Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dengan nomor

inventarisasi di DEPDAGRI dengan sifat kekhususan Kesamaan Agama Islam

tanggal 5 Juni 2003 dengan nomor 75/D.I/VI/2003.21

Penyebaran paham Ahmadiyah di Indonesia sejak awal masuk memang

sudah mengalami penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Beberapa contoh,

penentangan Ahmadiyah di Tangerang Banten, Gomar dikenakan hukuman

penjara selama satu bulan karena dianggap mengumpulkan orang tanpa izin dari

pemerintah pada 1937, yaitu pada saat ia mengadakan pengajian Al-Qur’an di

rumahnya yang dihadiri oleh kurang lebih 300 orang. Kejadian lain di

Rangkasbitung Banten, Sastra Subrata pada 1972 dilempar asbak oleh seorang

anggota Polisi Pamong Praja bernama Djupriana pada saat berdiskusi hingga

wajahnya mengalami pendarahan. Kemudian orang-orang yang anti terhadap

Ahmadiyah berusaha untuk menghilangkan Ahmadiyah di Cianjur, dimana pada

masa pendudukan Tentara Jepang orang-orang yang anti Ahmadiyah memfitnah

para anggota Ahmadiyah sebagai pembuat kekacauan. Terjadi pula di daerah

Talaga Cianjur yaitu pemboikotan dalam berbagai hal, diantaranya tidak boleh ada

21

Sidik, Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 22.

31

kegiatan jual-beli dengan para anggota Jemaat Ahmadiyah dan tidak boleh

mengambil pekerjaan dari Jemaat Ahmadiyah. Mereka melakukan tindakan

anarkis dengan merusak masjid Ahmadiyah.22

Kemudian pada tahun 2005 keluarlah fatwa MUI,23

yang berisi tiga poin

yaitu:

1. Menegaskan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1980 yang menetapkan

bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan,

serta orang yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).

2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera

kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju „ila al-haq), yang sejalan

dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis.

3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah

diseluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua

tempat kegiatan.24

Menyikapi banyaknya konflik yang terjadi terkait Ahmadiyah pemerintah

berupaya mengeluarkan kebijakan yaitu dengan mengeluarkan Surat Keputusan

Bersama (SKB) 3 Menteri pada tahun 2008 mengenai peringatan dan perintah

kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. Memutuskan dan menetapkan:

1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat

untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan

22

Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 163-165. 23

MUI adalah lembaga swadaya masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama dan

cendekiawan Islam di Indonesia utuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di

seluruh Indonesia. 24

Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), Nomor:11/MUNAS VII/15/2005,1/tentang aliran

Ahmadiyah pada tahun 2005.

32

dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang

dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang

menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari

pokok-pokok ajaran agama itu.

2. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota,

dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI),

sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran

penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran

Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi

dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad Saw.

3. Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indoseia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah

sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA

dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan, termasuk orgnaisasi dan badan hukumnya.

4. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat

untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta

ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak

melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap

penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (JAI).

5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah

sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum

33

KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

6. Memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah

untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka

pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.

7. Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.25

Peraturan SKB 3 Menteri dikeluarkan untuk meredam konflik yang sering

terjadi. Kemauan pemerintah dalam menerbitkan peraturan yang mengatur

kehidupan beragama yang bertujuan untuk menumbuhkan sikap hidup beragama

yang harmonis dan saling hormat menghormati. Namun demikian kemauan positif

pemerintah itu tidak selalu mampu menumbuhkan kerukunan dalam kehidupan

keagamaan masyarakat.

B. Ajaran-ajaran Ahmadiyah

Pada sejumlah aspek ajaran Ahmadiyah dengan Islam pada umumnya

sama yaitu sama-sama menggunakan dan mengimani Al-Qur’an sebagai kitab

sucinya, menjalani dan mengimani rukun islam dan juga rukun iman.26

Namun

terdapat perbedaan yang mendasar misalnya, pandangan Ahmadiyah mengenai

kenabian, pewahyuan, khalifah, dan juga tentang jihad. Terjadi perbedaan

pemahaman antara Ahmadiyah Qadian dan Ahmadyah Lahore keduanya

mengalami perpecahan yang disebabkan oleh masalah Khalifah, iman kepada

Mirzha Ghulam Ahmad dan kenabian dari Mirzha Ghulam Ahmad. Berikut

25

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri Republik

Indonesia, Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 tahun 2008,

tentang: Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. 26

Wawancara dengan Bapak Mohamad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Pada 1

Mei 2019.

34

merupakan beberapa paham dari Ahmadiyah baik Ahmadiyah Qadian dan

Ahmadiyah Lahore.

a. Kenabian

Mengenai pemahaman tentang kenabian, terdapat perbedaan pandangan

antara Ahmadiyah dengan kaum Muslim pada umumnya. Ahmadiyah

memunculkan tiga klasifikasi terkait mengenai ajaran kenabian;

1. Nabi Shahib Asy–Syari‟ah dan Mustaqil

Nabi shahib asy-syari‟ah adalah nabi dengan pembawa syari’at dan

hukum-hukum untuk manusia. Sementara nabi mustaqil merupakan hamba Allah

yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi-nabi sebelumnya, seperti

contohnya adalah nabi Musa a.s beliau menjadi nabi bukan atas dasar mengikuti

nabi atau syari’at sebelumnya, ia langsung menjadi nabi dan membawa ajaran

yang diutus oleh Allah berupa kitab Taurat. Begitu pula seperti nabi Muhammad

SAW, nabi semacam ini dapat juga dikatakan sebagai nabi tasyri‟i dan mustaqil

sekaligus.27

2. Nabi Mustaqil Ghair At –Tasyri‟i

Yakni hamba Allah yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti para nabi

sebelumnya. Nabi Harun, Daud, Sulaiman, Zakariya, yahya, dan nabi Isa a.s.

beberapa nabi tersebut adalah nabi yang tergolong atau masuk kedalam nabi

mustaqil ghair at-tasyri‟i. Semuanya menjadi nabi secara langsung, tidak karena

mengikuti para nabi sebelumnya, tetapi mereka secara langsung diutus dan

27

Menurut paham Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari’at saja yang sudah

berakhir karena lembaga kenabian telah tertutup, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa

syari’at akan terus berlangsung. Ahmadiyah menyatakan bahwa Nabi Zhili Ghair at-Tasyri‟i

hanya muncul dari seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad SAW. Lihat:

Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 104.

35

diangkat oleh Allah SWT menjadi nabi dan ditugaskan menjalankan syari’at Nabi

Musa yang ada dalam kitab Taurat.

3. Nabi Zhilli Ghair at-Tasri‟i

Yakni hamba Tuhan yang mendapat anugerah dari Allah SWT menjadi

nabi semata-mata karena hasil dari kepatuhan dan ketaatan kepada nabi

sebelumnya dan juga karena mengikuti sunnah-sunnahnya dan juga syari’atnya.

Karena itu, tingkatannya berada dibawah kenabian sebelumnya dan ia juga tidak

membawa syari’at baru. Hamba Tuhan yang masuk kedalam golongan nabi zhilli

ghair at-tasri‟i adalah Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari’at nabi

Muhammad SAW.28

Pandangan Ahmadiyah tentang Khatam an-Anabiyyin bahwa menurut

mereka, berita akan datangnya kembali Nabi Isa a.s. sebagaimana diriwayatkan

dari hadis-hadis shahih adalah jelas, sekalipun Nabi Isa a.s.tidak membawa

syari’at baru, dan bahkan ia harus mengikuti syari’at Nabi Muhammad SAW.

Namun dia tetap sebagai nabi zhilli atau buruzi. Oleh karena itu, kata Khatam an-

Anabiyyin menurut Ahmadiyah diartikan sebagai nabi yang paling mulia dari

sekalian para nabi, tetapi bukan sebagai penutup para nabi. Argumen yang mereka

gunakan bahwa kata khatam, menurut ahli bahasa Arab, apabila disambung

dengan suatu kaum atau golongan maka kata itu mempunyai makna pujian. Dari

hal tersebut, maka ungkapan Khatam an-Anabiyyin hanya memiliki satu makna,

yaitu semulia-mulia orang dari kaum atau golongan itu.29

Jadi, kenabian menurut Ahmadiyah itu berlangsung terus menerus hingga

hari kiamat. Nabi Muhammad SAW merupakan nabi penutup yang membawa

28

Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 104. 29

Muhammad Shadiq H.A., Analisa Tentang Khatam an-Nabiyyin (Jakarta: Jemaat

Ahmadiyah Indonesia, 1996), h. 15-16.

36

syari’at, tetapi bukan penutup nabi-nabi yang tidak membawa syari’at. Dengan

demikian tetap terbuka diutusnya nabi yang tidak membawa syari’at setelah Nabi

Muhammad SAW atau dengan perkataan lain sesudah pengangkatan Nabi

Muhammad SAW sebagai nabi, Tuhan tetap mengangkat terus nabi-nabi. Bagi

Ahmadiyah masalah kenabian itu tidak terbatas waktu kedatangannya karena akan

berlangsung terus menerus sesudah Nabi Muhammad SAW.30

Ahmadiyah Lahore mempunyai pendapat yang berbeda dengan membagi

kategori kenabian tersebut menjadi dua; pertama, Nabi Haqiqi, yaitu Nabi yang

ditunjuk langsung oleh Allah SWT sebagai seorang nabi dan membawa syariat.

Kedua, Nabi Lughawi yaitu seorang manusia biasa, tetapi ada beberapa persamaan

yang cukup signifikan dengan para Nabi yang lain, dalam arti ia juga menerima

wahyu. Wahyu yang diterima oleh Nabi bukanlah yang dapat berfungsi sebagai

syari’at dan sifat wahyu tersebut tidak dapat disampaikan kepada umat. Seperti

para Rasul pada umumnya, mereka menerima wahyu dan menyampaikannya

kepada umatnya. Nabi dengan kategori ini sering juga disebut dengan Nabi bukan

haqiqi.31

Al-Mahdi bukanlah sebagai Nabi Shahib Asy Syariah (seorang nabi yang

membawa syariat) seperti pada keterangan pertama, dia adalah seorang mujaddid

(pembaharu) pada abad ke-14 H. Akan tetapi ia mempunyai persamaan dengan

Nabi dalam hal ia adalah al-Mahdi yakni menerima wahyu atau berita samawi

(langit). Oleh sebab itu dalam akidah Ahmadiyah Lahore secara tegas menyatakan

bahwa percaya kepada Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi dan al-Masih adalah

30

Syafi’i R. Batuah, Ahmadiyah, Apa dan Mengapa (Jakarta: Jemaat Ahmadiyah

Indonesia, 1985), h. 7. 31

Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 113.

37

bukan termasuk rukun iman, maka orang yang mengikarinya atau tidak

mengimaninya tidak dapat dikatakan sebagai seorang yang kafir.32

b. Pewahyuan

Pembahasan tentang wahyu33

dikalangan Ahmadiyah penting untuk

dilakukan karena wahyu merupakan salah satu ajaran pokok Ahmadiyah dan tidak

dapat dipisahkan dengan kemahdian Ahmadiyah. Menurut pengikut Ahmadiyah,

al-Mahdi Ahmadiyah tidak dapat dipisahkan dengan al-Masih karena al-Mahdi

dan al-Masih adalah satu tokoh dan satu pribadi, dimana wahyu yang disampaikan

kepada al-Mahdi adalah untuk menginterpretasikan Al-Qur’an sesuai dengan ide

pembaharuannya.34

Menurut pengikut Ahmadiyah, wahyu yang terputus sesudah Rasulullah

adalah wahyu tasyri‟i atau wahyu syari‟at, bukan wahyu mutlak. Selanjutnya yang

dimaksud dengan wahyu terakhir tidak dikhususkan hanya untuk para nabi saja,

akan tetapi diberikan juga kepada selain mereka. Wahyu itu masih tetap terbuka

dan akan tetap terbuka terus untuk selama-lamanya. Meskipun tidak ada lagi

syari’at yang akan diturunkan, namun nabi-nabi yang diutus mengungkapkan

kekayaan yang tersembunyi dalam Al-Qur’an.35

Dengan demikian, Ahmadiyah

mempercayai bahwa bukan hanya wahyu yang akan datang terus-menerus setelah

32

A. Fajar Kurnia, Teologi Kenabian Ahmadiyah (Jakarta: PT. Wahana Semesta

Intermedia, 2008), h. 85. 33

Kata Al-Wahy adalah kata Arab yang merupakan kata asli dari wahyu. Kata itu berarti

suara, api, dan kecepatan. Selain itu, ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab.

Al-Wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat. Tetapi kata

itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada para nabi”. Dengan demikian,

dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar

diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan itu mengandung

ajaran, petunjuk, dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya, baik di

dunia maupun akhirat nanti. Lihat: Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI

Press, 1986), h. 16. 34

Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 113. 35

Hamka Haq al-Badry, Koreksi Total Terhadap Ahmadiyah (Jakarta: Yayasan Nurul

Islam, 1980), h. 57-58

38

Nabi Muhammad SAW, melainkan nabi pun juga akan berlangsung terus

menerus.36

Pengakuan pengikut Ahmadiyah terhadap kenabian Mirza Ghulam

Ahmad karena meyakini sebagai duplikat Nabi Isa a.s. yang berstatus nabi dan

menerima wahyu. Di samping itu, berita kehadiran al-Masih juga disebutkan

dalam hadis-hadis shahih, kemudian Ahmadiyah mencoba menguatkan keyakinan

tersebut dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan.37

c. Khalifah

Menurut Bashiruddin Mahmud Ahmad (Khalifah II Ahmadiyah Qadian)

menurutnya, bahwa kata khalifah (penganti) yang ada dalam Al-Qur’an dapat

dipahami dan dipergunakan dalam dua pengertian, pertama, kata khalifah

dipergunakan untuk nabi-nabi yang disinyalir sebagai penganti Allah SWT di

dunia (bukan dalam artian sebagai pengganti yang mutlak) , seperti Nabi Adam

disebut sebagai khalifah (Q.S. Al Baqarah : 31-32):

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)

seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman:

"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-

orang yang benar!" (31). Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang

Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;

Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana(32).”38

Khalifah pada pengertian ini adalah para pengganti Nabi yang dipilih oleh

kaum dan umatnya sendiri, seperti pada contoh Abu Bakar yang mengantikan

Nabi Muhammad SAW. Kedua, kata khalifah dipergunakan untuk menjelaskan

36

Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 117. 37

Muslih Fatoni, Faham Mahdi Syi‟ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif (Jakarta: PT.

RajaGrafindo, 1994), h. 71. 38

Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh Ayat 31-32 dan Terjemah.

39

para pengganti Nabi. Khalifah dengan pangkat Nabi ini berkedudukan sebagai

pengganti bagi nabi yang sebelumnya atau pada masanya saat itu.

Golongan Ahmadiyah Qadian menjelaskan bahwa tidak semua nabi dan

rasul yang disebutkan didalam Al-Qur’an menjabat sebagai seseorang pemimpin

rohani, juga sekaligus pemimpin dalam pemerintahan. Para rasul dan nabi yang

dimaksudkan tersebut antara lain ialah Nabi Yahya, Isa, Zakariya, dan Harun.

Sementara itu, Nabi Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul yang

sekaligus pemegang kepemimpinan dalam suatu pemerintahan. Para khalifah yang

menggantikan beliau, adalah sahabat yang mengikuti jejak beliau semasa nabi

Muhammad masih hidup yakni, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,

dan Ali bin Abi Thalib mereka adalah khalifah setelah masa Rasulullah dan juga

pemimpin pemerintahan pada masa itu, tetapi sistem khalifah ini berakhir sejak

masa Mu’awiyah mengambil alih kekuasaan, karena penguasa yang datang

berikutnya hanya berdasarkan keturunan nasab dari pemimpin sebelumnya atau

pengangkatan diri sendiri. Hal ini berbeda dengan makna khalifah sebagaimana

yang disebut dalam Al-Qur’an.39

Sementara menurut golongan Ahmadiyah Lahore Khalifah itu ada dua

macam. Pertama, Khalifah yang sesuai dengan makna Khalifah dalam makna

Alquran (Q.S. An Nur ayat 55):40

39

A. Fajar Kurnia, Teologi Kenabian Ahmadiyah (Jakarta : PT. Wahana Semesta

Intermedia, 2008), h. 76. 40

Al-Qur’an Surat An Nur Ayat 55 dan Terjemah.

40

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara

kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan

menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan

orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi

mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan

menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman

sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu

apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka

mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (55).

Dalam ayat diatas menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang suatu

saat akan memimpin peradaban di muka bumi ini seperti kejayaannya pada masa

dahulu, karena itu dibutuhkan sistem kekhalifahan untuk membangun suatu

pemerintahan yang dapat memajukan peradaban dan kejayaan Islam kembali.

Nabi Muhammad SAW adalah khalifah pertama yang kemudian dilanjutkan oleh

para sahabatnya Khulafaur Rasyidin. Kedua, khalifah dimaknai sebagai mujaddid

dan para tokoh spiritual yang mendirikan sebuah organisasi atau suatu komunitas

yang mempunyai system dan terstruktur yang kemudian akan meneruskan syariat.

Dalam suatu hadis dinyatakan bahwa akan muncul setiap satu abad sekali para

mujaddid baru yang akan memperbaharui agamanya.41

Di kalangan Ahmadiyah pun terjadi perbedaan pendapat tentang siapa

yang akan menggantikan dan meneruskan Mirza Ghulam Ahmad setelah ia

meninggal. Maka kemudian berdirilah sistem khalifah dalam kelompok ini, yang

dikenal dengan khalifah al-Masih. Doktrin khalifah al-Masih tersebut didasari

oleh wasiat dari Mirza Ghulam Ahmad mengenai keharusan adanya khalifah yang

akan mengantikannya, tetapi system khalifah ini hanya ada pada golongan

Ahmadiyah Qadian sedangkan di kalangan Ahmadiyah Lahore tidak

menggunakan system khalifah ini. Menurut aliran Ahmadiyah Lahore bahwa

41

Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 120.

41

setelah Khalifah Rasyidah atau Khulafaaur Rasyidin termasuk setelah itu Mirza

Ghulam Ahmad tidak akan ada lagi khalifah setelah itu, yang ada hanyalah

mujaddid dan beberapa yang muncul setiap satu abad sekali.42

d. Jihad

Menurut Ahmadiyah, jihad didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk

mencurahkan segala macam kesanggupan, kemampuan, dan juga kekuatan, yang

dimiliki pada diri individu dalam menghadapi sebuah pertempuran maupun

pertarungan, dan menyampaikan suatu pesan kebenaran, atau lebih singkatnya

jihad adalah tidak menahan apapun. Tindakan mengangkat senjata untuk membela

diri juga dinamakan jihad, dalam Al-Qur’an istilah yang tepat sering disebut

dengan qital.43

Ahmadiyah membagi pengertian jihad menjadi tiga kategori, yaitu

pertama, jihad Shagir adalah perjuangan dalam membela agama, nusa, dan juga

bangsa dengan mempergunakan senjata sebagai alat perlindungan terhadap

musuh-musuh yang memulai mengunakan kekerasan. Kedua, jihad kabir adalah

jihad dengan mempergunakan dalil-dalil atau keterangan, baik berupa lisan

maupun tulisan untuk menebarluaskan ajaran Islam kepada kaum kafir dan

musyrik. Jihad dalam bentuk ini adalah jihad yang kini sedang dilakukan oleh

Ahmadiyah pada saat ini. Ketiga, adalah jihad akbar yakni jihad melawan godaan

setan dan hawa nafsu yang ada pada setiap individu, jihad yang ketiga ini

merupakan bentuk jihad yang paling berat untuk dilaksanakan, karena

42

Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 79. 43

Asep Burhanudin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan (PT. LKis Pelangi Aksara,

2005), h. 105.

42

menghadapi setan dan terutama hawa nafsu akan terus dilakukan setiap saat dan

setiap waktu.44

Dalam pandangan Ahmadiyah, penjajahan Inggris pada waktu menjajah

India tidak menuntut kepada masyarakat yang dijajah untuk menukar agama atau

berpindah agama yang menjadi keyakinan masyarakat India. Jika seandainya

Inggris menuntut untuk melepas atau bahkan menukar agama, maka Ahmadiyah

akan mewajibkan pengikutnya untuk berjihad, tetapi pada situasi itu hal tersebut

tidak terjadi. Ada dua hal yang menjadi alasan utama bagi khalifah kedua

mengapa Ahmadiyah tidak melakukan perlawanan terhadap Inggris? Yang

pertama, karena dibawah pemerintahan Inggris kebebasan agama menjadi

terjamin, tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Kedua adalah Mirza Ghulam

Ahmad bukanlah seorang politikus duniawi, tetapi ia hanyalah tidak lebih lebih

dari sekedar pemimpin rohani.45

44

Burhanudin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan, h. 107. 45

Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi‟ah dan Ahmadiyah Dalam Presfektif (Jakarta : PT

Raja Grafindo, 2002), h. 53.

43

BAB III

AHMADIYAH DI KELURAHAN SERUA KECAMATAN CIPUTAT

KOTA TANGERANG SELATAN

A. Kelurahan Serua

a. Sejarah

Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu daerah hasil pemekaran

Kabupaten Tangerang. Kota Tangerang Selatan atau yang disingkat dengan

Tangsel, terletak dibagian timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat

106’38’ - 106’47’ Bujur Timur dan 06’13’30’ - 06’22’30’ Lintang Selatan.

Tangsel merupakan kota terbesar kedua di wilayah Provinsi Banten, dan juga

menjadi wilayah terbesar kelima di kawasan Jabodetabek.1

Pada akhirnya tanggal 29 Oktober 2008, Kota Tangerang Selatan

diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, dengan tujuh

kecamatan (Kec. Setu, Kec. Serpong, Kec. Serpong Utara, Kec. Pondok Aren,

Kec. Pamulang, Kec. Ciputat, dan Kec. Ciputat Timur) hasil pemekaran dari

Kabupaten Tangerang yang telah disetujui oleh DPRD Kabupaten Tangerang pada

27 Desember 2006.2

Serua merupakan nama dari salah satu Kelurahan di Kecamatan Ciputat,

Kota Tangerang Selatan. Konon nama Serua berasal dari kata Sarua yang dalam

bahasa Sunda artinya sama. Kelurahan Serua kini dipimpin oleh Bapak Cecep,

beliau menjabat sampai Juni 2023. Kehidupan Masyarakat di Kelurahan Serua

dalam kaitan aktifitas sosial di antara mereka tidak berbeda jauh dan berjalan

1Sejarah Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, diakses dari

http://bpkad.tangerangselatankota.go.id/web/web/pages/23/sejarah. 2Profil Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, diakses dari

http://berita.tangerangselatankota.go.id/main/content/index/sejarah_tangsel/6.

44

dengan lancar. Pembangunan desa pun sangat lancar, contoh pembangunan fisik

sarana prasarana desa seperti lapangan, perbaikan jalan kemudian gotong-royong

bersih-bersih rutin yang diadakan di desa tersebut selalu diikuti setiap kepala

keluarga tanpa memandang agama. Mereka semua menempatkan diri mereka

sebagai warga yang memang harus menaati peraturan dan kebijakan pemerintah

desa tanpa memandang perbedaan agama.3

b. Kondisi Geografis

Berdasarkan letak geografis, kelurahan Serua merupakan bagaian dari

pemerintah Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan dengan Luas Wilayah

393.953 Ha, yang terdiri dari Pemukiman 379.153 ha, prasarana umum 2 ha,

pertanian 2 ha, perkantoran 3 ha, pertamanan 1.7 ha dan tanah makam 5.8 ha.

Kelurahan Serua ini merupakan salah satu dari 7 Kelurahan di Kecamatan Ciputat

Kota Tangerang Selatan. Berikut ini batas-batas yang ada di Kelurahan Serua,

yaitu:

Tabel Batas Wilayah Kelurahan Serua

NO BATAS KELURAHAN KECAMATAN

1 Utara Jombang Ciputat

2 Selatan Pondok benda Pamulang

3 Timur Serua indah Ciputat

4 Barat Ciater Serpong

Sumber: Profil Keluraha Serua Kecamatan Ciputat tahun 2017

Jarak tempuh Kelurahan Serua ke Ibu Kota Kecamatan Ciputat sejauh 2

Km, ke Ibu Kota Kabupaten/Kota Tangerang Selatan 1 Km, ke Ibu Kota Provinsi

Banten 45 Km, ke Ibu Kota Negara Indonesia sejauh 8 Km. Sedangkan sarana

jalan yang melewati Kelurahan Serua yaitu Jalan Provinsi sepanjang 500 M2,

3Wawancara dengan bapak Ibrahim, Staf Kelurahan Serua, Pada 23 April 2019

45

Jalan Kabupaten/Kota sepanjamg 1 Km, Jalan Kota sepanjang 2 Km, Jalan Desa

sejauh 2 Km dan jalan Swasta sepanjang 3 Km.4

c. Kependudukan

Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2017, jumlah

penduduk Kelurahan Serua adalah 35,774 jiwa yang terdiri dari 18.134 jiwa laki-

laki dan 17.968 jiwa perempuan. Besarnya usia produktif (15 th-55 th) yang

mencapai 23.002 jiwa merupakan potensi berharga bagi pertumbuhan ekonomi

masyarakat. Di Serua terdapat lembaga pemerintahan desa dengan 24 Rukun

Warga (RW), 159 Rukun Tetangga (RT), 7 Karang Taruna, 22 Posyandu,

puskesmas, 1 MUI, 1 LPM, 1BKM dan 1 PKK.5

Menyangkut semangat kerukunan di desa tersebut sebenarnya tidak ada

perbedaan antara masyarakat sejahtera dan pra sejahtera, mereka saling

menghormati dan menjalankan aktfitas sosial sebagaimana mestinya. Di desa

tersebut kerukunan tidak dibangun berdasar stratifikasi sosial namun atas

dorongan kesadaran masyarakat yang memang ingin hidup rukun.

d. Agama dan Budaya

Kelurahan Serua merupakan salah satu daerah yang masyarakatnya

bersifat heterogen, dimana terdapat unsur yang berbeda antara satu dengan lainya,

baik suku, agama dan budaya. Berdasarkan Profil Keluraha Serua tahun 2017,

terdapat 6 agama yang dianut oleh penduduk setempat yaitu agama Islam dengan

mayoritas amalan Ahlusunnah Waljamaah jumlah penganut 34.800 jiwa, Katholik

dengan jumlah penganut 577 jiwa, Protestan dengan jumlah penganut 361 jiwa,

4Profil Keluraha Serua Kecamatan Ciputat tahun 2017. (diambil dari profil kelurahan

serua kecamatan ciputat tahub 2017). 5Profil Keluraha Serua Kecamatan Ciputat tahun 2017. (diambil dari profil kelurahan

serua kecamatan ciputat tahub 2017).

46

Agama Hindu dengan jumlah penganut 19 jiwa, Agama Budha dengan jumlah

penganut 7 Jiwa dan Agama Konghuchu dengan jumlah penganut 10 Jiwa.

Dari jumlah besaran penganut agama diatas terdapat sarana ibadah di

Kelurahan Serua. Untuk Agama Islam terdapat 24 Masjid dan 28 Mushola, untuk

Agama Kristen terdapat 11 Gereja, sedangkan untuk Agama Budha, Hindu dan

Konghuchu di Kelurahan Serua tidak memiliki sarana ibadah, hal ini karena

jumlah penganut yang tidak terlalu banyak.6 Biasanya untuk penganut Agama

Hindu dan Budha mereka melakukan sembahyang di Kecamatan Serpong.

B. Perkembangan Ahmadiyah di Kelurahan Serua

Ahmadiyah masuk Tangerang Selatan baru pada tahun 2000-an dan

berhasil medirikan cabang JAI Kelurahan Parigi Kecamatan Pondok Aren yang

dipelopori oleh bapak Khusna Abdul Rokhim dengan jumlah awal beranggota 50

orang. Parigi ini masih masuk daerah kabupaten Tangerang pada waktu itu, karena

Kota Tangerang Selatan baru terbentuk pada tanggal 9 November 2008, kota hasil

pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Susahnya pelayanan administrasi

masyarakat yang menjadi salah satu alasan pemekaran wilayah ini, mengingat

daerah ini cukup jauh dari pusat pemerintahan.7

Kemudian berkat Bapak Yusuf Sairan pada tahun yang sama Ahmadiyah

mendirikan cabang JAI di Serua yaitu di Jalan Raya Bukit Serua RT 02 RW 09,

Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat. Masuknya Ahmadiyah Serua merupakan

hasil pemekaran JAI Parigi. Disitu juga Ahmadiyah berhasil mendirikan Masjid

Ahmadiyah yang di beri nama Masjid Baitul Qoyyum. Hal ini menjadi energi baik

6Profil Keluraha Serua Kecamatan Ciputat tahun 2017. (diambil dari profil kelurahan

serua kecamatan ciputat tahub 2017). 7Wawancara dengan, Javid Attaurrahman, ketua pemuda JAI Cabang Serua, Kelurahan

Serua, Pada 23 April 2019.

47

untuk jemaat, karena Masjid ini lah yang akan menjadi pusat kegiatan

Ahmadiyah.8

Pada awalnya keberadaan Ahmadiyah di Serua tidak ada penolakan dari

warga, hanya beberapa orang saja yang menanyakan keberadaan Masjid Baitul

Qoyyum yang selalu tertutup. Warga sekitar juga tidak mengetahui kalau itu

merupakan masjid sekaligus kesekretariatan Ahmadiyah. Pasca kejadian Cikeusik

Pandeglang baru warga mengetahui Masjid tersebut merupakan kesekretariatan

Ahmadiyah. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, pihak yang berwajib

langsung berjaga-jaga di sekitar masjid dengan mengerahkan 20 petugas secara

bergantian.9

Dalam hubungan bermasyarakat yang terdiri dari beragam pemeluk agama

pemahaman yang bersifat inklusif ini sangat diperlukan untuk tetap menjaga

kerkunan umat beragama. Selain wujud akidah secara eksklusif perlu juga

diterangkan mengenai pemahaman beragama secara inklusif. Pemikiran inklusif

atau bisa juga dikatakan pemikiran beragama yang toleran adalah sebuah

pemikiran yang merambah segala budaya, sensitif terhadap keragaman, mengakui

keragaman, tidak bersifat mengadili dan tidak bersifat menekan pada hal-hal yang

dianggap berbeda termasuk dalam agama.10

Sederet kasus seperti munculnya pemberontakan-pemberontakan atas

nama agama, penghancuran rumah ibadah yang masih sering terjadi, sulitnya

membangun tempat ibadah tertentu dan banyak ketegangan-ketegangan yang

8Wawancara dengan Malik Achmad, wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,

Pada 1 Mei 2019. 9Di akses oleh Republika pada, 7 Februari 2011. https://m.republika.co.id/berita/breaking-

news/metropolitan/11/02/07/162889-puluhan-polisi-jaga-masjid-ahmadiyah-di-ciputat. 10

Departemen Agama RI, Riuh Beranda Satu Peta Kerukunan Umat Beraga di Indonesia,

Seri II, (Jakarta : Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003), h. 37.

48

terjadi antar umat beragama adalah bukti bahwa pemahaman terhadap agama bisa

berpotensi menimbulkan konflik.11

Kejadian dibeberapa tempat misalnya, kejadian yang berkaitan dengan

Ahmadiyah di Rangkasbitung Banten, Sastra Subrata pada 1972 dilempar asbak

oleh seorang anggota Polisi Pamong Praja bernama Djupriana pada saat

berdiskusi hingga wajahnya mengalami pendarahan. Kemudian orang-orang yang

anti terhadap Ahmadiyah berusaha untuk menghilangkan Ahmadiyah di Cianjur,

dimana pada masa pendudukan tentara Jepang orang-orang yang anti Ahmadiyah

memfitnah para anggota Ahmadiyah sebagai pembuat kekacauan. Terjadi pula di

daerah Talaga Cianjur yaitu pemboikotan dalam berbagai hal, di antaranya tidak

boleh ada kegiatan jual-beli dengan para anggota Jemaat Ahmadiyah dan tidak

boleh mengambil pekerja dari Jemaat Ahmadiyah. Mereka melakukan tindakan

anarkis dengan merusak masjid Ahmadiyah.12

Sekitar awal tahun 2018 kasus Ahmadiyah di Serua kembali mencuat

dengan adanya rencana pemindahan Masjid Baitul Qoyyum yang merupakan

Masjid Ahmadiyah sekaligus kantor sekretariat Ahmadiyah terkena proyek

pembangunan jalan tol. Warga masyarakat Serua, organisasi Keagamaan (FUI),

dan organisasi kepemudaan (Pemuda Pancasila) menolak dibangunnya masjid

Ahmadiyah di Kelurahan Serua dengan cara memasang sepanduk dan baliho

disepanjang Jalan Raya Bukit Serua.13

Dengan adanya penolakan itu membuat

11

Seperti kasus Surga Adn, Millah Ibrahim, Ahmadiyah Cikeusik, Ahmadiyah Kuningan,

Tasikmalaya, dan kekerasan atas nama agama lainnya yang terus bermunculan. 12

Kunto Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Malaysia: Nertja Press,

2014), Cet. 1, h. 163-165. 13

Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan

Serua, Pada 1 Mei 2019.

49

Ahmadiyah di Serua merasa terintimidasi dan akhirnya hanya bisa menyewa ruko

berukuran kecil.

Gambar 1

Spanduk Penolakan

Sumber: shorturl.at/axDTV

Gambar 2

Spanduk Penolakan

Sumber: shorturl.at/axDTV

50

Gambar 3

Spanduk Penolakan

Sumber: shorturl.at/axDTV

Sebenarnya pemerintah telah merumuskan betapa pentingnya agama

dalam kehidupan masyarakat, maka agama di Indonesia mempunyai kedudukan

yang sangat jelas dan konstitusional dengan dicantumkannya sebagai salah satu

bab dalam UUD-1945, yaitu Bab XI. Tentang Agama yaitu pasal 29 ayat : (1)

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.14

Selanjutnya di dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pacasila

(P4) yang merupakan penetapan MPR No. II/MPR/1978, pada sila pertama

dijelaskan: “Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia

menyatakan kepercayaannya dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan

14

Mubarok, Kompendium Regulasi Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: Pusat

Kerukunan Umat Beragama Kementrian Agama RI), h. 33.

51

oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadapa Tuhan Yang

Maha Esa sesuai dengan agama da kepercayaan masing-masing menurut dasar

kemanusiaan yang adil dan beradab”.15

Dengan demikian itu jemaat Ahmadiyah di Serua berharap selalu menjaga

kerukunan dengan warga sekitar dengan cara berfikir positif, duduk bersama,

musyawarah, saling menghormati, dan yang paling penting selalu tabayyun dalam

setiap persoalan yang ada. Hal ini supaya terjalin suasana yang baik dalam

bertetangga maupun beragama.16

Salah satu upaya pemerintah yang lainya yaitu dengan mengeluarkan Surat

Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri pada tahun 2008 mengenai peringatan dan

perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. Peraturan SKB 3 Menteri ini

dikeluarkan untuk meredam konflik yang sering terjadi, salah satu caranya dengan

mengeluarkan fatwa untuk tidak menyebarkan ajaran agama kepada non

Ahmadiyah dan kepada non Ahmadiyah untuk tidak melakukan penyerang-

penyerangan terhadap Ahmadiyah. Kemauan pemerintah dalam menerbitkan

banyak peraturan yang mengatur kehidupan beragama yang bertujuan untuk

menumbuhkan sikap hidup beragama yang harmonis dan saling hormat

menghormati. Namun demikian kemauan positif pemerintah itu tidak selalu

mampu menumbuhkan kerukunan dalam kehidupan keagamaan masyarakat.17

15

Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran (Jakarta: Sinar Harapan,

1982), h. 7. 16

Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan

Serua, Pada 1 Mei 2019. 17

Wawancara dengan, Asep Ahmad Husaini, ketua bidang pengajaran JAI Cabang Serua,

Kelurahan serua Rt 01/011, Pada 23 April 2019.

52

Gambar 4

Spanduk Penolakan

Sumber: shorturl.at/axDTV

Banyaknya penolakan warga, menjadikan efek untuk perkembangan

Ahmadiyah di Kelurahan Serua. Terlihat dari jumlah jemaat yang tercantum

dalam kartu anggota hanya 320 orang sampai dengan jumlah awalnya berjumlah

50 orang. Menurut hasil wawancara berkaitan dengan perkembangan Ahmadiyah

di Kelurahan Serua ini 80 % dihasilkan dari keturunan.18

Perkembangan Ahmadiyah di Kelurahan Serua tidak begitu pesat salah

satu faktornya adalah ketika seseorang menikah dan memiliki anak maka anaknya

akan masuk Ahmadiyah. Dari sini perkembangan akan lama, karena jumlah

perkembangan jumlah hanya dari keluarnya anak dari jemaah Ahmadiyah saja.

Adapun penduduk Kelurahan Serua mayoritas orang asli, namun ada beberapa

pendatang yang masuk Ahmadiyah di Kelurahan Serua karena melihat ajaran dan

18

Wawancara dengan, Javid Attaurrahman, Ketua Pemuda Ahmadiyah Serua, Kelurahan

Serua, Pada 23 April 2019.

53

mengikuti kegitan sehari-hari. Misalnya, ada orang bai’at dari Bogor, namanya

bapak Syarif dulu ketika di desa susah ketika saudara memerintahnya salat.

Setelah mempelajari dan mengikuti kegiatan-kegiatan Ahmadiyah menjadi rajin

beribadah.19

Adapun ajaran-ajaran Ahmadiyah tertera dalam 10 syarat bai’at di

antaranya:

1. Orang yang bai’at, berjanji dengan hati jujur bahwa di masa yang akan

mendatang sampai masuk ke dalam kubur, akan senantiasa menjauhi

syirik.

2. Akan senantiasa menghindari diri dari dusta, zina, pandangan birahi,

perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, hura-hara, pemberontakan,

serta tidak akan dikalahkan oleh gejolak-gejolak hawa nafsu tatkala

bergejolak, meskipun sangat hebat dorongan yang timbul.

3. Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu tanpa putus, sesuai perintah

Allah dan Rasul-Nya. dan sedapat mungkin akan berusaha dawam

mengerjakan shalat Tahajjud, mengirimkan shalawat kepada Nabi

KarimNya, Shallallaahu ’Alaihi Wasallam, dan setiap hari memohon

ampunan atas dosa-dosanya serta melakukan istigfar, dan dengan hati yang

penuh kecintaan mengingat kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala, lalu

menjadikan pujian serta sanjungan terhadap-Nya sebagai ucapan wiridnya

setiap hari.

4. Tidak akan mendatangkan kesushahan apa pun yang tidak pada tempatnya,

karena gejolak-gejolak nafsunya terhadap makhluk Allah umumnya dan

19

Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan

Serua, Pada 1 Mei 2019.

54

kaum Muslimin khususnya, melalui lidah, tangan,atau melalui cara

lainnya.

5. Dalam segala keadaan sedih dan gembira, suka duka, nikmat dan musibah

akan tetap setia kepada Allah Ta’ala. Dan dalam setiap kondisi akan rela

atas putusan Allah. Dan akan senantiasa siap menanggung segala kehinaan

serta kepedihan di jalan-Nya. dan tidak akan memalingkan wajahnya dari

Allah Ta’ala ketika ditimpa suatu musibah melainkan akan terus

melangkah maju.

6. Akan berhenti dari adat kebiasaan buruk dan dari menuruti hawa nafsu.

Dan akan menjunjung tinggi perintah Alquran Suci di atas dirinya. Dan

menjadikan firman Allah dan sabda Rasul-Nya sebagai pedoman dalam

setiap langkahnya.

7. Akan meninggalkan takabur dan kesombongan sepenuhnya. Dan akan

menjalani hidup dengan merendahkan diri, dengan kerendahan hati, budi

pekerti yang baik, lemah lembut, dan sederhana.

8. Agama dan kehormatan agama serta solidaritas Islam akan dianggap lebih

mulia daripada nyawanya, hartanya, kehormatan dirinya, anak

keturunannya, dan dari segala yang dicintainya.

9. Semata-mata demi Allah, senantiasa sibuk dalam solidaritas terhadap

makhluk Allah umumnya, dan dengan kekuatan-kekuatan serta

nikmatnikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadnya, sedpat mungkin

akan mendatangkan manfaat bagi umat manusia.

10. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini, semata-mata demi

Allah dengan ikrar taat dalam hal ma’ruf dan akan senantiasa berdiri teguh

55

di atasnya sampai akhir hayat. Tali persaudaraan ini begitu tinggi

derajatnya sehingga tidak akan diperoleh bandingannya dalam ikatan

persaudaraan maupun hubungan-hubungan duniawi atau dalam segala

bentuk pengkhidmatan/penghambaan.

Kalimat ini ditulis oleh calon jamaah Ahmadiyah yang mau dibai’at,

kemudian dilampirkan data diri, seperti nama lengkap, alamat, nomor hp, Email

dan keluarga yang akan dibawa untuk bai’at. Setelah itu akan dibacakan sewaktu

pengejian berlangsung.20

Setelah penulis melihat langsung kelapangan bahwa perkembangan

Ahmadiyah di Serua tidak berkembang pesat. Paling tidak ada dua faktor

penyebabnya, yaitu faktor eksternal dan internal. Yang pertama faktor eksternal

yaitu karena adanya penolakan dari warga Serua yang mengacu pada fatwa MUI

tahun 2005. Selain itu keluarnya SKB 3 Menteri masih banyak yang mensalah

artikan, hal ini disebabkan tidak tuntasnya sosialisasi pemerintah untuk

menciptakan kerukunan hingga akar rumput. Yang kedua faktor internal, yaitu

dari pengurus Ahmadiyah sendiri yang tidak membuka diri baik kepada warga

maupun setruktur pemerintah di Serua. hal ini menjadikan secara kualitas maupun

kuantintas Ahmadiyah di serua tidak bisa berkembang dengan pesat.

C. Eksistensi Ahmadiyah di Kelurahan Serua

Eksistensi berkaitan dengan strategi atau cara bertahan para penganut

Ahmadiyah dalam menghadapi tekanan yang luar biasa. Konsep pertahanan diri

tersebut sesuatu yang penting untuk melihat bagaimana proses sosial yang terjalin

20

Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan

Serua, Pada 1 Mei 2019.

56

antara Jemaat Ahmadiyah dengan sesama anggotanya atau bahkan Ahmadiyah

dengan non Ahmadiyah.

Jika melihat arti dari eksistensi seperti itu, maka sebenarnya bagaimana

Ahmadiyah di Kelurahan Serua setelah menghadapi serangan-serangan atau

konflik seperti adanya pengrusakan Masjid, lemparan batu yang memnyebabkan

pecah kaca, penolakan dari masyarakat, ormas Islam, ormas kepemudaan dan

interfensi-interfensi lain dari masyarakat. Hal ini tidak dapat dipungkiri

menyisakan trauma yang cukup dalam, tetapi tidak menjadikan Ahmadiyah di

Kelurahan Serua menjauh dan pindah ke tempat lain, atau bahkan menjadi pindah

keyakinan karena adanya tekanan dari luar.

Fenomena konflik dipandang sebagai proses sosiasi, dimana sosiasi

tersebut dapat menciptakan asosiasi, yaitu para individu yang berkumpul sebagai

kesatuan kelompok masyarakat. Sebaliknya sosiasi juga bisa melahirkan

disasosiasi, yaitu para individu mengalami interaksi saling bermusuhan karena

adanya feeling of hostility secara alamiyah.21

Dalam upaya menjaga eksistensi Ahmadiyah di Serua maka pengurus JAI

mengadakan program kerja organisasi, diantaranya:

1. Program Sosial

a. Donor darah, jemaat Ahmadiyah rutin melakukan kegiatan donor darah

yang dilakukan pada hari jumat terahir setiap bulan.

b. Donor mata, pengurus JAI cabang Serua membuka layanan donor mata.

Bagi anggota yang bersedia mendonorkan matanya akan bertanda tangan

21

Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009), h. 33.

57

dalam surat wasiat, bahwa ia akan mendonorkan matanya setelah

meninggal dunia.

c. Makanan murah, setiap hari jumat anggota Ahmadiyah Serua menjual

makanan murah. Harga pasaran Rp.12000-15000 mereka jual dengan

harga Rp.3000,00. Kegiatan ini dilakukan dengan berpindah-pindah lokasi

di kawasan Kota Tangerang Selatan.

d. Bagi takjil, kegiatan ini dilakukan setiap bulan Ramadhan oleh remaja

Ahmadiyah.22

Eksistensi Ahmadiyah di Kelurahan Serua untuk sampai saat ini tidak akan

sepenuhnya benar-benar bebas dari ancaman dan tekanan, karena tidak dapat

dipungkiri masyarakat meskipun menerima baik dalam hubungan sosial, tetapi

dalam hal aqidah ada yang berbeda sehingga masih ada saja masyarakat di

manapun yang kontra terhadap Ahmadiyah. Maka salah satu cara untuk bertahan

dan tetap eksis hingga saat ini adalah dengan adanya kekuatan organisasi yang

terstruktur dan mengatur semua kegiatan. Ahmadiyah sendiri merupakan

organisasi secara internasional diberbagai belahan dunia, maka organisasi di

Kelurahan Serua merupakan cabang-cabangnya.

Setruktur organisasi jemaat Ahmadiya di klasifikasikan berdasarkan jenis

dan umur, untuk umur 0-15 tahun disebut Atfal, umur 15-39 tahun di sebut

Khuddam, untuk umur 39 - meningga disebut Ansorulloh. Sedangkan untuk

wanita umur 1-15 di sebut Nasirot, umur 15-meninggal disebut Lajnah Illah.23

22

Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan

Serua, Pada 1 Mei 2019. 23

Wawancara dengan Malik Achmad, wakil ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,

Pada 1 Mei 2019.

58

Klasifikasi setruktur organisasi berdasarkan umur ini sangat baik nantinya untuk

menciptakan kader-kader yang mempunyai militansi kedepanya.

Eksistensi Ahmadiyah di Kelurahan Serua dalam seluruh aspek kehidupan

ada yang mengatur dan mengelola sehingga para anggota Ahmadiyah semakain

kuat dan solid. Berikut struktur kepengurusan Ahmadiyah di Cabang Kelurahan

Serua:

Tabel IX

Susunan Pengurus JAI Serua Ciputat

Mubaligh : - Pembina

Ketua Cabang : Ridwan Abdurahman, ME.

Wakil Ketua : M. Soleh

Sekretaris Umum : M. Rizki Sulistiono, S.Pi Administrasi Umum

Sekretaris Maal : Omar Tobias Bendahara Umum

Amin : M. Syakirullah, S.Psi Bendahara Pengeluaran

Muhasib : Ahmad Syarifudin Penghitung

Sekretaris Jaidad : Muhtar Kamil Aset

Sekretaris Tabligh : M. Soleh Syiar

Sekretaris Tarbiyat : Ir. Asep Ahmad Husaeni Pendidikan Akhlak

Sekretaris Ta'lim : Ir. Asep Ahmad Husaeni Pengajaran

Sekretaris Ta'limul Quran : Javid Attaurahman, SE Pengkajian Al Quran

Sekretaris Umur Ammah : M. Soleh Kesejahteraan Anggota

Sekretaris Umur Kharijiah : Abdul Mughni Hubungan Masyarakat

Sekretaris Pembinaan

Mubayin Baru : M. Soleh

Pembinaan Anggota

Baru

Sekretaris Rishtanata : Dendi Ahmad Daud, M.Ag Perjodohan

Sekretaris Isyaat : - Literasi

Sekretaris Ziroat : Saiful Nuryadin Pertanian, Peternakan

Sekretaris Sanat Wa Tijarot : Heri Kuswanto Perdagangan

Sekretaris Dhiafat : Husen Mubarak, S.Sos Jamuan Tamu

Sekretaris Tahrik Jadid : Abdussalam Bentuk Waqf Jemaat

59

Sekretaris Waqfi Jadid : Javid Attaurahman, SE Bentuk Waqf Jemaat

Sekretaris Waqf E Nou : Hafiz Ahmad Bentuk Waqf Jemaat

Sekretaris Al Wasiyat : Bahtiar Husen Bentuk Waqf Jemaat

Sekretaris Audio Video : Husen Mubarak, S.Sos Audio Video

Sekretaris Maal Tambahan : Bahtiar Husen Membantu Sekr Maal

Internal Auditor : Indra Agung, Sl Audit Internal Cabang

Zaim Anshar : Abdul Mughni Ketua Badan Laki-Laki

40 Tahun Keatas

Qaid Khuddam : Athaurahman Khan, SE Ketua Badan Lak-Laki

15 - 40 Tahun

Ketua Lajnah : Ami Ketua Badan Perempuan

Sumber: Hasil Wawancara Penulis

Berdasarkan observasi penulis bahwa setruktur pengurus Ahmadiyah ini

mempunyai peran dan fungsi masing-masing yang tidak bisa diwakilkan. Seperti

kegiatan pengambilan data wawancara, langkah pertama penulis harus

mengajukan permohonan ke Pengurus Besar JAI. Kemudian setelah mendapat

izin, PB JAI memberikan surat tugas kepada pengurus JAI cabang Serua untuk

mengutus narasumber yang sesuai dengan bidang yang diperlukan.

60

BAB IV

ANALISIS KONFLIK JEMAAT AHMADIYAH DAN NON AHMADIYAH

DI KELURAHAN SERUA

A. Relasi Jemaat Ahadiyah dan Non Ahmadiyah

Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai etnis dan

keyakinan yang beragam. Keberagaman tersebut akan mampu menciptakan suatu

kekuatan besar sekaligus kekayaan budaya apabila terjalin dengan baik. Namun

terkadang, perbedaan pandangan dalam memahami suatu keyakinan menjadi salah

satu pemicu adanya gesekan antar kelompok yang berbeda.

Dalam beberapa kajian keagamaan dijelaskan bahwa ketika berbicara

mengenai suatu agama, terlebih dalam masalah aliran, berhadapan dengan

kelompok yang berbeda akan menggugah emosional setiap diri pengikut masing-

masing. Hal ini membawa orang menentukan sikap dan perilakunya dalam

kehidupan sosial. Secara sosiologis, interaksi sosial dalam pergaulan di

masyarakat akan ditentukan seberapa jauh emosi keagamaan (religious affective)

mempengaruhinya. Dalam realitas kehidupan seringkali terjadi konflik di berbagai

wilayah yang diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan seputar pemahaman agama.1

Meletakan konflik agama sebagai realitas sosial berarti memandang bahwa

konflik tersebut pada dasarnya tidak lahir dari doktrin atau normativitas ajaran

agama, namun lebih pada unsur atau variable di luar dirinya. Sebab agama sebagai

realitas sosial tidak hanya mengandung aspek normatif-doktrinal, melainkan juga

aspek-aspek lahiriah yang menjadi faktor utama pemicu konflik. Hal inilah yang

1Eroh, Konflik Sosial-Keagamaan Di Banten Tahun 2011 (Banten: Fakultas Ushuluddin

IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten 2016), h. 31.

61

menunjukkan bahwa penyebab konflik bukan pada aspek doktrinal normatif yang

merupakan inti agama, melainkan pada akar serabut non teologis.2

Jemaat Ahmadiyah sebagai bagian dari bentuk keberagaman tersebut, turut

serta mewarnai kehidupan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk

Serua. Kelompok ini sudah ada di Serua sejak tahun 2000-an. Sejak pertama kali

kedatangannya, beragam tanggapan muncul dari masyarakat setempat Namun

begitu, sebagai salah satu kelompok masyarakat yang hidup dalam skala sosial,

terdapat pola hubungan yang terjadi antara jemaat Ahmadiyah dengan non

Ahmadiyah di Serua.

Hubungan sosial harus dilandasi oleh saling percaya dan kesepakatan

bersama untuk hidup berdampingan secara damai, menjamin terhindarnya

masalah baru antara korban bencana sosial dan komunitas, terselesaikan berbagai

masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama dan memantapkan sistem

kerukunan dan perdamaian sosial yang abadi di lingkungan masyarakat.3

1. Kekerabatan

Kekerabatan merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia.

Hubungan kekerabatan merupakan modal penting bagi manusia untuk

mengembangkan kehidupan sosial kemasyarakatan. Adanya hubungan

kekerabatan ini menjadikan manusia semakin erat berhubungan dengan orang lain

dan menjadikan hidup mereka menjadi lebih baik.

2Komaruddin Hidayat, Pluralitas Agama: Kerukunan dan Keragaman (Jakarta: Kompas,

2001). h. 46. 3Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultural di Indonesia (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2015), Cet. I, h. 73.

62

Dalam suatu bentuk kelompok kekerabatan salah satunya yang disebut

keluarga inti yaitu merupakan bentuk kelompok kekerabatan yang ada dan dikenal

seluruh masyarakat didunia. Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami,

seorang isteri, dan anak-anak mereka yang belum kawin. Anak tiri dan anak

angkat yang secara resmi mempunyai hak wewenang yang kurang lebih sama

dengan anak kandungnya dapat pula dianggap sebagai anggota suatu keluarga inti.

Bentuk keluarga inti seperti ini adalah bentuk keluarga inti yang sederhana atau

biasa disebut keluarga batih yang berdasarkan monogamy. Dalam hal ini ada

seorang suami dan seorang isteri sebagai ayah-ibu dari anak. Sebaliknya ada

keluarga batih yang bentuknya lebih kompleks, ialah apabila ada lebih dari

seorang suami atau isteri. Keluarga inti serupa ini disebut juga keluarga inti yang

berdasarkan poligami. Sebagian besar jumlah penduduk dunia hidup dalam

keluarga inti yang berdasarkan monogami.4

Kekerabatan bisa terjalin jika proses interaksi diaplikasikan. Salah satu

proses interaksi adalah kerja sama, beberapa sosiolog menganggap bahwa kerja

sama merupakan bentuk interaksi sosial yang pokok. Kerja sama yaitu sebagai

suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk

mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk dan polapola kerja sama

dapat dijumpai pada semua kelompok manusia, seperti kebiasaan-kebiasaan dan

sikap-sikap demikian dimulai sejak masa kanak-kanak di dalam kehidupan

keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan.5

4Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1981), Cet.

ke-V, h. 105. 5Soejono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2011), Cet. 3, h. 65.

63

Hubungan sosial yang sangat erat dan akrab biasanya terjadi karena

adanya hubungan darah atau bisa disebut keluarga di mana masih ada hubungan

kekerabatan yang sangat dekat, misal saudara istri seorang non Ahmadiyah yang

istrinya itu memiliki keluarga Ahmadiyah. Namun dalam kasus di Serua tidak

semuanya demikian, beberapa anggota jamaah ada yang keluarga tidak suka ada

keluarganya yang lain masuk Jemaat Ahmadiyah Namun secara umum pola

hubungan sosial yang dibangun antara Ahmadiyah dan kerabat non Ahmadiyah

menjalin persahabatan yang baik. Bahkan kerabat yang sebelumnya bukan

anggota Ahmadiyah bisa menerima dan akhirnya menjadi anggota Ahmadiyah.6

2. Kegiatan Keagamaan

Interaksi dalam bidang keagamaan merupakan hal yang paling sensitif

antara jemaat Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah di Serua. Hal ini bermula dari

perbedaan cara pandang antara dua kelompok tersebut dalam mengkaji ajaran

agama sehingga berdampak pada klaim kebenaran pada masing-masing kelompok

tersebut sehingga melahirkan stigma negatif antar kelompok.

Sebagaimana yang terjadi di daerah Serua, Ciputat, sejak pertama kali

kehadirannya tahun 2000-an, Ahmadiyah di daerah tersebut mendapat penolakan

dari para pemuka agama setempat karena jemaat Ahmadiyah awalnya dianggap

enggan bermasyarakat dengan warga setempat terutama dalam praktik ibadah,

mereka enggan bergabung dengan masyarakat. Kendati demikian mereka

mendirikan Masjid untuk golongan sendiri.7 Seperti yang disampaikan bapak

Nisin Setiadi Sekretaris Kelurahan Serua:

6Wawancara dengan Malik Achmad,, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,

Pada 1 Mei 2019. 7Wawancara dengan Nisin Setiadi, Sekretaris Kelurahan Serua, Pada 23 April 2019.

64

“Sebelum terkena pembangunan jalan tol Masjid Ahmadiyah kondisinya

sangat tertutup, gerbang selalu ditutup setiap waktu, ketika ada kegiatan

tidak pernah melapor atau memberitahu kepada RT/RW setempat. Ketika

kegiatan selesai baru kelihatan orang banyak keluar dari dalam masjid.

Secara domisili, Ahmadiyah tidak mengurus surat-suratnya kekelurahan

Serua. Untuk saat ini pasca kena proyek jalan tol kami dari pihak

kelurahan juga tidak tahu Masjid mereka pindah kemana.”

Secara umum, masyarakat di berbagai daerah beribadah bersama dalam

satu tempat ibadah yang ada di lingkungan dimana mereka tinggal. Namun ketika

masyarakat melihat kelompok Ahmadiyah yang terpisah dengan mereka,

menimbulkan berbagai macam kecurigaan yang mereka tujukan terhadap

kelompok tersebut. Kecurigaan itu kemudian semakin bertambah ketika beberapa

kalangan masyarakat, seperti para ulama atau kyai turut memberi pandangan

terhadap mereka sehingga berujung pada ketegangan bahkan konflik.8

Dalam pandangan Ahmadiyah, pemisahan tempat ibadah tersebut

perpatokan pada fatwa yang dibangun oleh pendiri jemaat Ahmadiyah, Mirza

Ghulam Ahmad. Hal ini bermula dari tuduhan para ulama di masa Mirza Ghulam

Ahmad yang menganggap kelompok ini keluar dari Islam, sehingga kemudian

fatwa tersebut menjadi landasan dalam praktek peribadatan mereka.9

Setelah penulis observasi dilapangan bahwa memang benar adanya bahwa

jemaat Ahmadiyah melakukan kegiatan keagamaan dengan kelompok Ahmadiyah

sendiri. Misalnya salat jum’at, jemaat Ahmadiyah memilih melakukan salat

dengan sesama jemaat Ahmadiyah yang lain. Istilah yang digunakan, seperti yang

disampaikan bapak mohamad soleh “sudah ada jalurnya sendiri-sendiri”. Setiap

8Wawancara dengan Nisin Setiadi, Sekretaris Kelurahan Serua, Pada 23 April 2019.

9Tohayudin, Paham Keagamaan dan Hak Sipil Jemaat Ahmadiyah Indonesia Prespektif

Hukum Islam dan Hukum Nasional (Tesis: IAIN Syeh Nurjati Cirebon, 2012), h. 97.

65

hari jum’at terlihat sekitar 20 sampai 30 jemaat yang melakukan salat jum’at serta

ada satu orang yang menjaga parkiran, biasanya mereka datang dengan istri dan

anak-anaknya.

Dengan hal tersebut daerah Serua ini menjadi bukti dari ketidak

harmonisan hubungan antara jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Berbagai

pihak masyarakat di daerah itu menginginkan agar kelompok Ahmadiyah tidak

berada di daerah mereka. Hal ini dibuktikan dengan kelompok yang menolak

mereka dari berbagai lapisan masyarakat.

3. Kegiatan Sosial dan Budaya

Dalam masalah sosial, jemaat Ahmadiyah berpegang pada prinsip yang

mereka bangun, yaitu meningkatkan rasa kepedulian dengan sesama manusia

lainnya (khablun minannas).. Dalam praktiknya, jemaat Ahmadiyah berusaha

menjalin hubungan baik dengan berbagai kelompok masyarakat sebagai bagian

dari upaya membangun interaksi yang harmonis dan menghapus kecurigaan

mereka terhadap jemaat Ahmadiyah.

Dari prinsip tersebut, jemaat Ahmadiyah kemudian membentuk berbagai

program dalam bidang sosial, misalnya saja kegiatan berbagi sembako, bazar

sembako murah, donor darah, donor mata, dan lain sebagainya. Kegiatan sosial

yang sampai saat ini masih rutin dilaksanakan setiap tiga bulan sekali oleh Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) di seluruh Indonesia yakni donor darah. Kegiatan ini

dilaksanakan secara rutin di seluruh Indonesia dan dikomando langsung PB JAI.

Kegiatan ini juga bertujuan untuk membantu Palang Merah Indonesia (PMI) dan

masyarakat umum lainnya yang membutuhkan.10

10

Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan

Serua, Pada 1 Mei 2019.

66

Salah satu kegiatan sosial lain yang rutin dilaksanakan oleh Jemaat

Ahmadiyah yakni menjalin silaturahmi secara bersama ke organisasi masyarakat

lainnya, misalnya HTI, Muhammadiyah, dan lain sebagainya. Kegiatan ini

dijadwalkan dan menjadi wujud bahwa hubungan jemaat Ahmadiyah dengan

organisasi masyarakat lainnya terjalin dengan baik.

Namun begitu, keberadaan kelompok Ahmadiyah yang berada di

perumahan masih membentuk pagar pembatas meskipun tidak secara jelas

ditampakkan. Diungkapkan oleh Himam Muzzahir bahwa ketidaksukaan

masyarakat terhadap Ahmadiyah cenderung diam, dalam arti tidak menunjukkan

ekspresi ketidak sukaannya.11

Hal berbeda justru terjadi di daerah perkampungan beberapa pihak

masyarakat, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan pihak

kelurahan Serua secara terus terang menginginkan Ahmadiyah tidak ada di daerah

mereka. Hal ini bermula dari kurangnya penerimaan masyarakat terhadap

Ahmadiyah sehingga segala bentuk interaksi yang dilakukan selalu menimbulkan

kecurigaan dimata masyarakat.12

Di lain sisi, gerakan pemurnian ajaran agama yang diusung oleh jemaat

Ahmadiyah berpengaruh pula pada penerimaan kelompok tersebut terhadap

budaya yang berkembang di masyarakat Serua. Mereka menolak segala hal yang

menjurus kepada tradisi dan kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat

serta turut andil di dalamnya. Jemaat Ahmadiyah memandang bahwa tradisi yang

dijalankan oleh kelompok masyarakat di banyak tempat tidak berakar dari tradisi

11

Wawancara dengan Himam Muzzahir, Tokoh Agama, Komplek Serua Makmur, Pada 2

Mei 2019. 12

Wawancara dengan Nisin Setiadi, Sekretaris Kelurahan Serua, Pada 23 April 2019.

67

Islam, seperti tahlilan dan perayaan maulid nabi.13

Seperti tertuang dalam syarat

baiat anggota pada poin ke 1 yaitu, Orang yang bai’at, berjanji dengan hati jujur

bahwa dimasa yang akan mendatang sampai masuk ke dalam kubur, akan

senantiasa menjauhi syirik.

Ketidak ikut sertaan jemaat Ahmadiyah di tengah gejolak budaya

masyarakat menjadi pandangan tersendiri di mata masyarakat yang hidup dalam

satu lingkungan dengan mereka. Adanya stigma yang dipandang negatif terhadap

budaya dan tradisi yang dianut oleh masyarakat menjadi jembatan pemisah antara

dua kelompok masyarakat tersebut untuk bisa merayakannya bersama-sama. Hal

ini menjadi salah satu sebab jemaat Ahmadiyah kurang mendapat simpati dari

masyarakat, sebab kehidupan sosial masyarakat Islam di Serua umumnya berbasis

pada tradisi-tradisi dan budaya yang kuat di mana kesamaan budaya mampu

menjadi perekat kebersaman antar kelompok masyarakat tersebut.

4. Sistem Ekonomi

Bidang ekonomi menjadi salah satu hal penting dalam kehidupan

masyarakat yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari, baik di bidang bisnis

maupun transaksi jual beli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai bagian

dari kelompok sosial, jemaat Ahmadiyah turut membangun hubungan ekonomi

dengan masyarakat setempat sebagai salah satu bentuk interaksi mereka.

Menurut Malik anggota Ahmadiyah diberi kebebasan untuk menjalankan

kegiatan ekonomi dalam bentuk apapun dengan masyarakat. Beberapa anggota

Ahmadiyah ada yang bekerja di pemerintahan, di antaranya bekerja menjadi

Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, POLRI dan lain-lain. Namun mereka tidak

13

Wawancara dengan Himam Muzzahir, Tokoh Agama, Komplek Serua Makmur, Pada 2

Mei 2019.

68

menyatakan diri sebagai anggota Ahmadiyah, di mana ketika berbicara mengenai

Ahmadiyah menjadi hal yang sensitif.14

Dalam bidang politik, menurut Malik jemaat Ahmadiyah secara

keorganisasian tidak melibatkan diri dalam percaturan politik. Organisasi ini sejak

pertama kali dibentuk pada tahun 1889 hanya memusatkan diri pada pemurnian

ajaran Islam. Organisasi ini memandang bahwa aktivitas politik sarat dengan

kepentingan yang dapat menjauhkan manusia dari prilaku jujur dan mampu

memecah belah kebersamaan. Namun begitu, jemaat Ahmadiyah memberikan

kebebasan bagi para anggotanya untuk menjalankan kegiatan politik apabila

mereka menginginkannya, seperti menjadi kader partai tertentu atau menjadi

anggota dewan di suatu daerah.15

Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya ada jarak yang

terbentuk di tengah interaksi dua kelompok ini sekalipun perihal ekonomi di mana

terdapat kekhawatiran yang muncul dari pihak Ahmadiyah ketika masyarakat

mengetahui bahwa mereka dari kalangan Ahmadiyah, maka akan ada penolakan

dari masyarakat terhadap mereka sehingga hal tersebut berdampak pada kegiatan

dan kebutuhan ekonomi mereka. Meskipun beberapa kelompok masyarakat telah

menerima kehadiran mereka, namun keengganan untuk bersinggungan dengan

jemaat Ahmadiyah tampaknya lebih banyak dari berbagai kalangan masyarakat di

Serua sehingga ruang mereka untuk bisa menjalin kerja sama dengan masyarakat

terhambat.

14

Wawancara dengan Malik Achmad, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,

Pada 1 Mei 2019. 15

Wawancara dengan Malik Achmad, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,

Pada 1 Mei 2019.

69

B. Faktor Penyebab Konflik Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di

Kelurahan Serua

Riset yang dilakukan penulis tentang hubungan sosial Ahmadiyah dan non

Ahmadiyah di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan

menyimpulkan bahwa hubungan kedua belah pihak diwarnai dengan konflik.

Salah satu bentuknya adalah penolakan keberadaan aktifitas Ahamdiyah di

Kelurahan Serua. Penolakan ini dilatar belakangi oleh sejumlah faktor yaitu

Faktor Lembaga Sosial (Keluarga, Agama dan Pemerintah), Faktor Ekonomi dan

Faktor Pendidikan.

1. Faktor Lembaga Sosial

Lembaga sosial yang keberadaannya disadari dengan baik oleh anggota

masyarakat dan bahkan diharapkan kehadirannya akan berfungsi secara nyata

dalam masyarakat.16

Adapun tipe-tipe dari lembaga sosial adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan perkembangannya dapat dibedakan menjadi crescive

institution dan enaced institution. Lembaga yang tumbuh dari adat istiadat

satu mayarakat secara tidak didasari maka lembaga sosial seperti itu

tergolong kepada tipe crescive institution seperti keluarga dan agama.

Adapun yang tergolong kepada tipe enaced institution seperti sekolah,

rumah sakit di mana lembaga sosial itu sengaja dibentuk untuk memenuhi

kebutuhan tertentu dengan tujuan sendiri.

b. Dari segi sistem nilai yang menjadi sumber awal terciptanya lembaga

sosial dapat dibedakan menjadi basic institution dan subsidiary institution.

Lembaga sosial yang tergolong basic institution apabila diperlukan untuk

16

Yusran Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif

Islam (Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), Cet. I, h. 69.

70

memelihara dan mempertahankan keteraturan secara mendasar dalam

masyarakat, seperti lembaga-lembaga negara pada konteks yang paling

kecil termasuk keluarga. Subsidiary institution adalah lembaga sosial yang

oleh masyarakat dianggap kurang penting tapi ada, seperti lembaga-

lembaga yang bersifat menghibur yaitu bioskop dan lembaga pariwisata.

c. Dari sisi penerimaan masyarakat terhadap lembaga, lembaga sosial dapat

dibedakan sanction institution (dapat diterima) seperti rumah sakit atau

sekolah dan unsanction institution (tidak dapat diterima) seperti tempat

perjudian atau tempat pelacuran.

d. Berdasarkan penyebarannya lembaga sosial terbagi menjadi dua yang

general institution dan ungeneral institution. Apabila lembaga sosial

tersebut dikenal dan disadari oleh mayoritas anggota masyarakat maka

lembaga tersebut tergolong general institution, seperti agama. Sedangkan

ungeneral institution adalah lembaga sosial yang hanya disadari dan

dikenal oleh kelompok tertentu saja dalam satu masyarakat, seperti

lembaga tarekat dalam agama Islam.

e. Dilihat dari peran dan fungsi lembaga sosial dalam masyarakat, ada bentuk

lembaga sosial yang disebut operative institution dan regulative

institution. Operative institution berfungsi menghimpun pola-pola yang

dibutuhkan untuk mencapai tujuan lembaga tersbut seperti lembaga

perindustrian. Sedangkan bentuk regulative institution bertujuan dan

berfungsi untuk mengawasi perilaku masyarakat secara keseluruhan.17

17

Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar, Cet. I, h. 70-71.

71

Secara mendasar bentuk-bentuk lembaga sosial yang nyata adalah

keluarga, agama, dan pemerintahan.

a. Keluarga

Keluarga adalah lembaga sosial yang sangat fundamental dan utama. Pada

masyarakat-masyarakat lama keluarga menjadi pusat kehidupan sosial untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok. Sebagai sebuah lembaga

sosial, keluarga adalah unit dasar terbentuknya satu kekerabatan, hubungan darah

atau ketutunan, hubungan perkawinan, dan adopsi yang di dalamnya ada

seperangkat nilai, norma, dan kesepakatan yang menggambarkan struktur

kekerabatan dan hubungan-hubungan.18

Keluarga adalah wadah yang sangat penting di antara individu dan group,

serta merupakan kelompok sosial yang pertama di mana anak-anak menjadi

anggotanya. Dan keluargalah yang pertama-tama menjadi tempat untuk

mengadakan sosialisasi kehidupan anak-anak. Ibu, ayah, dan saudara-saudara

serta keluarga-keluarga yang lain adalah orang-orang yang pertama di mana anak-

anak mengadakan kontak dan yang pertama pula untuk megajarkan pada anak-

anak itu sebagaimana dia hidup dengan orang lain.19

Keluarga berfungsi untuk memperkuat solidaritas sosial, penanaman nilai

budaya, kerja sama ekonomi, pengisian kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan

kepada cinta kasih, saling perhatian, perlindungan, dan untuk mengusir rasa

kesepian 20

18

Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar, Cet. I, h. 74. 19

Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), Cet. II, h. 108. 20

Bustanuddin Agus, Agama dan Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 206.

72

Pentingnya faktor keluarga bagi setiap pribadi manusia, menjadi unsur

penting dalam berlangsungnya kehidupan bersosial. Banyak anggota Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dikucilkan oleh keluarganya sendiri.

Problematika seperti ini hampir dialami oleh semua jemaat Ahmadiyah yang baru

masuk menjadi anggota baru. Sebagai contoh, Bapak Muhammad Soleh berlatar

belakang keluarga yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah (Nahdlatul

Ulama), Ia berpindah ideologi menjadi Ahmadiyah setelah mendapat penjelasan

dari salah satu Mubaligh Jemaat Ahmadiyah. Keluarga besarnya menganggap

bahwa dia memilih ajaran agama yang sesat. Hal ini, mengakibatkan Bapak

Mohammad Soleh dikucilkan oleh keluarganya sendiri.21

Menurut Javid Attaurrahman problem yang dirasakan bapak Mohammad

Soleh hampir dirasakan oleh semua jemaat Ahmadiyah di Serua yang mempunyai

permasalahan yang sama. Misalnya bapak Naryo, karena ia menikah dengan salah

satu anak dari anggota Ahmadiyah, maka bapak Naryo juga ikut bergabung

menjadi anggota Ahmadiyah. Hal ini menjadikan ia mendapatkan perlakuan

kurang baik dari keluarga dan kerabatnya.22

Dari hasil pembahasan yang sudah dijelaskan oleh penulis di atas,

bahwasanya keluarga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya konflik

Ahmadiyah di Serua Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan.

b. Agama

Agama menurut Emile Durkheim mengutip dalam buku Pengantar

Sosiologi karya Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, bahwa agama dapat mengantar

21

Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan

Serua, Pada 1 Mei 2019. 22

Wawancara dengan, Javid Attaurrahman, Ketua Pemuda JAI cabang Serua, Kelurahan

Serua, Pada 23 April 2019.

73

individu-individu anggota masyarakat menjadi makhluk sosial. Agama

melestarikan masyarakat, memeliharanya di hadapan manusia dalam arti memberi

nilai bagi manusia, menanamkan sifat dasar manusia untuk-Nya.23

Secara fungsional lembaga agama berperan secara fundamental dalam

menggerakan kehidupan manusia secara personal atau kolektif. Agama dipandang

oleh Durkheim sebagai basis moral dari masyarakat, di mana anggota-anggota

masyarakat secara bersama berpegang dan berpedoman kepada keyakinan, nilai-

nilai, dan norma-norma suci. Di samping fungsinya secara umum dapat

mempersatukan dan menyatukan orang-orang dalam satu komunitas yang sama

seiman, agama juga dapat menimbulkan konflik karena fakta fanatisme yang

berlebihan.24

Satu pendapat dengan Durkheim, bahwa agama dipandang dapat

menimbulkan konflik akibat dari pikiran fanatisme yang berlebihan. Pada salah

satu lafadz bai’at Jemaat Ahmadiyah point pertama yang berbunyi “berjanji

dengan hati jujur bahwa di masa yang akan mendatang sampai masuk ke dalam

kubur, akan senantiasa menjauhi syirik.”. Lafadz tersebut harus mereka yakini

sepenuh hati dan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-harinya. Bunyi bai’at

tersbut memunculkan pandangan baru oleh Jemaat Ahmadiyah. Mereka

menganggap kegiatan-kegiatan jemaat lain khususnya Ahlussunnah wal Jama’ah

adalah kegiatan musyrik, sepertihalnya rutinitas maulidan, tahlilan, ziarah kubur,

dan kegiatan lainnya.

Sedangkan masyarakat Serua berpendapat sebaliknya. Mereka

menyalahkan ajaran jemaat Ahmadiyah. Bahwa ajaran atau paham yang mereka

23

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiolog: Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), h. 331. 24

Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar, Cet. I, h. 75.

74

anut adalah salah. Bahkan, Himam Muzzahir mengatakan bahwa jemaat

Ahmadiyah adalah sesat, karena tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah

bukanlah Khotamun Nabiyyin (Nabi yang terakhir).25

Hal ini mengacu pada fatwa

MUI tahun 2005 yang menyatakan pada tiga poin yaitu:

1. Menegaskan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1980 yang menetapkan

bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan,

serta orang yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).

2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera

kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju „ila al-haq), yang sejalan

dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis.

3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah

diseluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua

tempat kegiatan.26

Dalam hal ini penulis melihat bahwa penolakan-penolakan warga terhadap

Ahmadiyah di Serua lebih didasari oleh kepatuhan kepada Ulama dalam hal ini

adalah MUI. Sehingga apa yang mereka kerjakan baginya adalah bertujuan

berjuang dijalan Allah. Seperti apa yang disampaikan bapak Ibrahim “penolakan

terhadap kesesatan Ahmadiyah ini, kami hanya ingin berjuang dijalan Allah”.

Mengatasi berbagai gejala negatif tersebut membutuhkan kerja sama dan

konsolidasi yang masif antara lembaga-lembaga agama, pemuka agama, dan umat

beragama. Kerja sama seperti ini dapat dibangun apabila masyarakatnya sudah

memiliki modal sosial. Unsur-unsur yang merupakan terbentuknya modal sosial

25

Wawancara dengan Himam Muzzahir, Tokoh Agama, Komplek Serua Makmur, Pada 2

Mei 2019. 26

Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), Nomor:11/MUNAS VII/15/2005,1/tentang aliran

Ahmadiyah pada tahun 2005.

75

dalam bentuk kerja sama adalah membangun kepedulian pada semua kelompok

umat beragama dan menetapkan tekad guna mengatasi ketidakadilan sosial dan

umat beragama hendaknya tidak larut dalam mempertentangkan perbedaan antara

doktrin ajaran agama-agama karena perbedaan itu sudah melekat dalam ajaran

masing-masing.27

Ajaran agama sudah menegaskan bahwa kesuksesan dari wujud

keberagaaan tidak hanya bersifat ritual, melainkan dalam bentuk kepedulian

sosial. Tugas dari pemuka agama dengan menjelaskan bahwa pada umumnya

agama harus bisa membangun nilai-nilai yang universal, nilai-nilai yang diterima

secara rasional yang dapat melintas batas-batas perbedaan teologis karena setiap

agama datang adalah membawa kesejahteraan hidup umat manusia.28

Dari penjelasan tersebut, bisa kita simpulkan bahwa pemahaman agama

yang berbeda dapat menjadi pemicu munculnya konflik sosial. Seperti yang

dikatakan Durkheim, bahwa konflik ini berawal dari rasa fanatisme yang

berlebihan yang dimiliki oleh setiap manusia.

c. Pemerintah

Kekuasaan adalah konsep para ahli ilmu-ilmu sosial yang sebenarnya

sama dengan energi dalam konsep ahli-ahli fisika. Sebagaimana halnya energi,

kekuasaan memiliki beberapa bentuk seperti kekayaan, peralatan atau perangkat-

perangkat, wewenang pemerintahan, mempengaruhi opini, dan sebagainya.

Pemerintah adalah salah satu lembaga politik yang nyata. 29

27

M. Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan

Beragama di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017), h. 65. 28

Lubis, Agama dan Perdamaian, h. 66-67. 29

Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar, Cet. I, h. 76.

76

Berbicara masalah pemerintah, setelah adanya SKB 3 Menteri dan

ditindak lanjuti dengan adanya SEB, maka konflik yang terjadi sedikitnya bisa

diredam dengan adanya aktor/tokoh yang cukup berpengaruh dalam meredam

konflik. Salah satunya ada peran FKUB yang dibentuk oleh masyarakat dan

difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan

memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.30

Upaya FKUB untuk menengarai konflik antara jemaat Ahmadiyah dan

non Ahmadiyah di Serua sudah dilakukan. Misalmya pada bulan Maret 2019

FKUB Kota Tangerang Selatan mengundang pengurus JAI cabang Serua untuk

mengklarifikasi dan menjelaskan duduk masalah yang terjadi, namun hal ini tidak

menghasilkan sikap apapun setelahnya.31

Peraturan SKB 3 Menteri dikeluarkan untuk meredam konflik yang sering

terjadi, salah satu caranya dengan mengeluarkan fatwa untuk tidak menyebarkan

ajaran agama kepada non Ahmadiyah dan kepada non Ahmadiyah untuk tidak

melakukan penyerang-penyerangan terhadap Ahmadiyah. Kemauan pemerintah

dalam menerbitkan banyak peraturan yang mengatur kehidupan beragama yang

bertujuan untuk menumbuhkan sikap hidup beragama yang harmonis dan saling

hormat menghormati. Namun demikian kemauan positif pemerintah itu tidak

selalu mampu menumbuhkan kerukunan dalam kehidupan keagamaan

masyarakat.32

30

Nadia Wasta Utami, “Upaya Komunikasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

dalam Resolusi Konflik Ahmadiyah,” (Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 13, No. 1,1/Juni 2016), h. 62. 31

Menjadi catatan bersama bahwa FKUB sendiri terdiri dari berbagai komponen

masyarakat yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, sehingga sebagai mediator akan

mendapatkan kesulitan dalam memproses sebuah konflik Agama. 32

Wawancara dengan, Asep Ahmad Husaini, Ketua JAI cabang Serua bidang Ta’lim,

Kelurahan serua, Pada 23 April 2019.

77

Dari hasil penelitian tersebut, maka pemerintah menjadi salah satu faktor

penyebab konflik sosial. Pemerintah belum berhasil mensosialisasikan peraturan

yang dibuat dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat

beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.

2. Faktor Ekonomi

Ekonomi sebagai suatu usaha dalam pembuatan keputusan dan

pelaksanaannya yang berhubungan dengan pengalokasian sumberdaya masyarakat

(rumah tangga dan pembisnis/perusahaan) yang terbatas di antara anggotanya

dengan mempertimbangkan kemampuan, usaha, dan keinginan masing-masing.

Jadi kegiatan ekonomi merupakan gejala bagaimana cara orang atau masyarakat

memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap barang dan jasa.33

Titik tolak analisis ekonomi adalah individu. Di mana individu merupakan

makhluk yang rasional, senantiasa menghitung pribadi atau keuntungan pribadi,

dan bagaimana mengurangi penderitaan atau menekan biaya untuk

keberlangsungan hidup. Sebagai contoh, untuk bertahan hidup setiap individu

perlu bekerja dan individu sendirilah yang lebih mengetahui dibandingkan dengan

orang lain, dia harus bekerja apa. Hal ini dikarenakan individu lebih mengetahui

tentang dirinya sendiri dari sisi.34

Perekonomian di Kelurahan Serua tidak ada yang dominan dalam satu

jenis pekerjaan dikehidupan masyarakat. Kemudian kenapa faktor ekonomi

menjadi salah satu pendorong adanya suatu hubungan antara Ahmadiyah dan non

Ahmadiyah? Maka sedikitnya jawaban dari wawancara yang dilakukan adalah

sebagai berikut:

33

Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. II, h. 35-36. 34

Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi, h. 36.

78

Bapak Muhammad Soleh mengungkapkan, masyarakat menganggap

Ahmadiyah bekerja sama dengan pihak luar (Inggris), sehingga mereka yang

masuk dalam anggota Ahmadiyah mendapatkan bayaran darinya. Padalah jemaat

Ahmadiyah bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, diantaranya

ada yang bekerja menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, POLRI, Pedagang,

driver online dan lain-lain.35

Namun mereka tidak menyatakan diri sebagai

anggota Ahmadiyah, di mana ketika berbicara mengenai Ahmadiyah menjadi hal

yang sensitif.36

Setelah melakukan wawancara tersebut penulis bisa melihat adanya

hubungan yang tidak baik antara Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah

Kelurahan Serua. Kelompok non Ahmadiyah masih menunjukan rasa curiga yang

mendalam terhadap kelompok jamaat Ahmadiyah. Terlihat juga dengan ketidak

beranian menunjukan identitas Anggota Ahmadiyah ditingkatan profesi yang di

jalani.

3. Faktor Pendidikan

Pengertian pendidikan sendiri secara sederhana dapat merujuk pada

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan proses pengubahan sikap dan

tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usahan mendewasakan manusia

melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dari pengertian tersebut dalap dilihat

melalui pendidikan yaitu orang mengalami pengubahan sikap dan tata laku, orang

35

Wawancara dengan Malik Achmad, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,

Pada 1 Mei 2019. 36

Wawancara dengan, Javid Attaurrahman, Ketua Pemuda JAI cabang Serua, Kelurahan

Serua, Pada 23 April 2019.

79

berproses menjadi lebih dewasa, matang dalam sikap dan tata laku, proses

pendewasaan ini dilakukan melalui upaya pengajaran dan pelatihan.37

Tujuan pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh A. Tresna Sastrawijaya

(1991) dalam bukunya Abdullah Idi adalah mancakup kesiapan jabatan,

keterampilan, memecahkan maslah, penggunaan waktu senggang secara

membangun, dan sebagainya karena setiap siswa/anak mempunyai harapan yang

berbeda. Sementara itu tujuan pendidikan yang berkaitan dengan bidang studi

dapat dinyatakan lebih spesifik, misalnya dalam pelajaran bahasa yang digunakan

untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi mahir secara lisan dan tulisan.

Adapaun tujuan pendidikan secara umum menyangkut kemampuan luas yang

akan membantu siswa untuk berpartisipasi dalam masyarakat.38

Dari adanya pemaparan tentang pendidikan di atas, hal ini dikarenakan

pendidikan menjadi salah satu faktor dari konflik antara Ahmadiyah dengan non

Ahmadiyah yang terjadi di Kelurahan Serua. Sebagaimana dipaparkan pada awal

pembahasan bahwa Ahmadiyah mengklasifikasi organisasi dengan segmen usia

dan jenis. Pada setiap klasifikasi mendapatkan pendidikan keagamaan yang rutin

dilakukan oleh mubaligh Ahmadiyah di Serua.39

Apabila pendidikan keagamaan

ini dilaksanakan untuk internal Jemaat Ahmadiyah mungkin tidak menjadi

masalah, namun sebaliknya bahwa pendidikan ini terbuka untuk siapa saja yang

ingin belajar Agama (umum).

37

Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2012), Cet. II, h. 8. 38

Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. I, h. 59. 39

Wawancara dengan Malik Achmad, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,

Pada 1 Mei 2019.

80

Hal ini yang memicu penolakan dari berbagai kalangan dengan alasan

masih menyebarkan ajaran Ahmadiyah. Selain itu mereka juga dianggap telah

melakukan pelanggaran terhadap surat edaran yang diterbitkan oleh Sekretaris

Jendral Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelejen, dan Direktur Jendral

Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri.40

Surat Edara Bersama berisi mengenai sosialisasi kepada penganut,

anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk

tidak melakukan usaha, upaya, kegiatan atau perbuatan penyebaran kepada orang

lain. Kemudian sosialisasi terhadap warga masyarakat untuk menjaga dan

memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban

kehidupan masyarakat dengan tidak melakukan perbuatan melawan hukup

terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Surat Edaran Bersama memuat juga

mengenai pembinaan bagi pemerintah daerah dan pemerintah.

Pemerintah daerah diminta secara proaktif mengadakan pertemuan dengan

Jemaat Ahmadiyah dan warga masyarakat untuk melakukan pembinaan

pembinaan dalam rangka mewujudkan kerukunan dan persatuan nasional.

Kemudia pemerintah diarahkan untuk memantapkan kesadaran kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta menjamin persatuan dan kesatuan

nasional. Dalam surat edaran ini memuat arahan untuk melaksanakan pengamanan

dan pengawasan terhadap ketaatan Jemaat Ahmadiyah dan warga masyarakat

dalam melaksanakan SKB, pemerintah melakukan monitoring, evaluasi, dan

40

Wawancara dengan Nisin Setiadi, Sekretaris Kelurahan Serua, Pada 23 April 2019.

81

supervisi atas pengamanan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah

daerah serta koordinasi dan pelaporan.41

Setelah melakukan wawancara mengenai faktor pendidikan selanjutnya

penulis melakukan observasi dilapangan. Masyarakat khawatir tentang

penyebaran paham Ahmadiyah secara umum di Serua yang dilakukan dengan

kegiatan belajar mengajar. Hal ini benar adanya, bahwa jemaat Ahmadiyah

melakukan kegiatan dakwah dengan membuka kegiatan belajar mengajar yang

ditujukan kepada siapa saja yang mau belajar Agama. Proses pendidikan agama

ini dibagi berdasarkan klasifikasi jenis dan umur, untuk umur 0-15 tahun disebut

Atfal, umur 15-39 tahun di sebut Khuddam, untuk umur 39 - meningga disebut

Ansorulloh. Sedangkan untuk wanita umur 1-15 di sebut Nasirot, umur 15-

meninggal disebut Lajnah Illah. Sehingga pendidikan menjadi faktor yang

menyebabkan konflik antara jamaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah.

C. Mediasi Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Serua

a. Pemerintah

Menyikapi konflik antara Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di

Serua, pemerintah Kota Tangerang Selatan secara tegas mengacu pada Surat

Keputusan Bersama (SKB) 3 Mentri dan Peraturan Gubernur (Pergub) No.5 tahun

2011 tentang larangan aktivitas penganut, anggota dan/atau anggota pengurus JAI

di Wilayah Banten. Sebagaimana dijelaskan pada BAB I pasal 1 ayat ke 6,

menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran dan/atau faham yang menyimpang

41

Surat Edaran Bersama Sekretaris Jendral Departemen Agama, Jaksa Agung Muda

Intelejen, dan Direktur Jendral Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri, Agustus

Tahun 2008. Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 tahun 2008,

tentang: Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

82

dari pokok-pokok ajaran agama Islam yang mengakui adanya Nabi dengan segala

ajaran setelah Nabi Muhammad SAW.42

Kemudian juga dijelaskan pada BAB II pasal 3 ayat 1 dan 2 yaitu Setiap

penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI, sepanjang mengaku beragama

Islam dilarang melakukan aktivitas/kegiatan yang bertentangan dengan pokok-

pokok ajaran agama Islam di Provinsi Banten. Aktivitas atau kegiatan yang

dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi;

1. Menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan dan/atau tulisan baik

langsung maupun melaluimediacetak ataupun elektronik.

2. Memasang papan nama atau identitas lain Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI)yang dapat diketahui umum.

3. Memasang papan nama pada masjid, mushola, lembaga pendidikan dan

lain-lain dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

4. Menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam segala

bentuknya.

5. Menyebarkan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokokpokok

ajaran agama Islam.

Dengan adanya peraturan ini pemerintah daerah juga wajib melakukan

pembinaan dan pengawasan. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada BAB III pasal 5

yang berbunyi; Pembinaan dan pengawasan terhadap keberadaan Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, Aparat

Penegak Hukum dan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan

Masyarakat (PAKEM) Provinsi Banten dan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran

42

Peraturan Gubernur (Pergub) No.5 tahun 2011 tentang larangan aktivitas penganut,

anggota dan/atau anggota pengurus JAI di Wilayah Banten.

83

Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kabupaten atau Kota di Wilayah Provinsi

Banten.

Terkait dengan konflik Ahmadiyah di Serua Abdul Rojak selaku Kepala

Kementrian Agama Kota Tangerang Selatan, menyatakan setuju bahwa

pemerintah kota Tangsel tidak mengizinkan penerapan Ahmadiyah sesuai dengan

penegasan yang tertera pada Pergub tersebut. Abdul rojak juga mengatakan,

terkait isu pembangunan Masjid Ahmadiyah, bahwa pemerintah Kota Tangsel

tegas tidak akan mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Dalam sebuah

wawancara pada media masa ia menyatakan:

“Pemerintah Kota Tangsel, tentu saja dalam hal ini akan setujui

pada SKB tiga mentri itu, apalagi untuk Banten memiliki Pergub, sehingga

pemerintah juga akan menegaskan terhadap penegakan peraturan tersebut.

Soal pembangunan masjid, kami juga tegaskan tidak akan memberi ijin

untuk pembangunan masjid Ahmadiyah, karena sudah jelas aturanya

dipergub.”43

Dalam PBM itu dijelaskan bahwa syarat pendirian rumah ibadah harus

memenuhi persyaratan, yaitu pertama, daftar nama pengguna rumah ibadah

sebanyak 90 orang berikut photo copy KTP nya yang diketahui oleh Lurah dan

Camat. Kedua, daftar persetujuan warga sekitar di lokasi rumah ibadah yang akan

dibangun sebanyak 60 orang berikut photo copy KTP nya yang diketahui oleh RT,

RW, Lurah dan Camat. Ketiga, rekomendasi FKUB Kabupaten/Kota. Keempat,

rekomendasi Kementrian Agama Kabupaten atau Kota, dan kelima, pendirian

rumah ibadah harus memenuhi persyaratan teknis bangunan.44

43

Diakses oleh Tangseloke pada 07 Maret 2018. https://tangseloke.com/2018/03/07/tolak-

ahmadiyah-fuib-gelar-audensi-dengan-pemkot-tangsel/. 44

Diakses pada 06 September 2017. http://banten.kemenag.go.id/rapat-pleno-fkub/kota-

tangsel/.

84

b. Masyrakat Serua

Konflik jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di kelurahan Serua, sudah

berlangsung sejak tahun 2000. Konflik diantara mereka ini mengalami pasang

surut, pada tahun 2011 pasca konflik Cikeusik Pandeglang dan muncul

kepermukaan kembali pada tahun 2018 saat ada rencana pemindahan Masjid

Ahmadiyah yang terkena pembangunan jalan tol.

Jemaat Ahmadiyah di Serua tidak hanya ditolak bangunan fisiknya, namun

warga juga faham Ahmadiyah. Penolakan ini dilakukan oleh sejumlah elemen

masyarakat antara lain ormas keagamaan, tokoh masyarakat dan ormas pemuda.

Menurut Abdul Aziz selaku ketua Pemuda Pancasila Cabang Ciputat dan Budi

Iswanto dari pihak FUIB sepakat menolak Ahmadiyah di Serua berdasarkan

Fatwa MUI tahun 2005.

Berdasarkan penolakan tersebut, Boy Sartana ketua Rt 02/09 Kelurahan

Serua Indah berharap dari perwakilan pihak Ahmadiyah untuk berkomunikasi,

namun upaya itu belum terjadi. Hal ini juga disampaikan oleh oramas Pemuda

Pancasila, bahwa persoalan ini harus dibicarakan agar tidak terjadi hal-hal yang

tidak diinginkan. Ia pun berharap pihak Ahmadiyah bermusyawarah dengan

warga untuk mencari jalan terbaik.45

45

Diakses oleh Lokanews, pada 22 Januari 2018. https://lokanews.co/2018/01/warga-

tolak-rencana-pembangunan-rumah-iabadah-ahmadiyah/.

85

c. Kepolisian

Pasca tragedi cekeusik pada tahun 2011, Pemerintah Daerah Banten

merespon dengan mengeluarkan pergub yang mengatur keberadaan jemaat

Ahmadiyah di Banten. Peraturan Gubernur ini bertujuan untuk mewujudkan

ketentraman dan ketertiban masyarakat serta memelihara kerukunan umat

beragama di Provinsi Banten.

Hal ini tertuang pada BAB III pasal 4 yaitu; setiap warga masyarakat agar

menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan

ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan atau

tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan atau anggota pengurus

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Selanjutnya pada BAB IV pasal 6 yang

berbunyi; Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bersama aparat

keamanan atau penegak hukum lainnya akan menghentikan aktivitas atau kegiatan

dimaksud dan mengambil tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.46

Berdasarkan peraturan ini lah kepolisian terus melakukan tindakan dan

pengamanan terhadap kegiatan-kegiatan yang berpotensi terjadi konflik antara

kedua belah pihak. Misalnya konflik Cikeusik antara jemaat Ahmadiah dan non

Ahmadiyah, polisi berhasil menindak 12 terdakwa.47

Selain itu, polisi juga

46

Peraturan Gubernur (Pergub) No.5 tahun 2011 tentang larangan aktivitas penganut,

anggota dan/atau anggota pengurus JAI di Wilayah Banten. 47

Diakses oleh Voaindonesia, pada 15/08/2011. http://www.voaindonesia.

86

mengamankan masjid Ahmadiyah di Serua pasca kejadian konflik tersebut

walaupun tidak ada kegiatan jemaat Ahmadiyah.48

Selanjutnya, AKBP Fadli Widiyanto selaku Kapolres kota Tangerang

Selatan menyatakan bahwa pihaknya menjamin melakukan pengamanan di

wilayahnya, agar tidak ada tindakan anarkis. Selain itu, ia juga berharap bahwa

ada mediasi dan masyarakat terus menjaga kondisifitas dilapangan.

“Saya akan tetap memberi imbauan agar menempuh jalur-jalur

yang benar seperti audensi adalah jalur yang tepat. Sehingga yang

berwenang dalam hal ini bisa bersikap atas keresahan atas Ahmadiyah di

Serua ini, dan kami akan tetap menjaga kondisifitas dilapangan”.49

Penulis melihat tindakan kepolisian sudah tepat dalam penindakan kasus

konflik jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Serua. Sehingga problem ini

tidak sampai terjadi gesekan fisik antara kedua belah pihak.

48

Diakses oleh Republika, pada 07 Februari 2011. http://republika.co.id/berita/breaking-

news/metropolitan/11/02/07/162889-puluhan-polisi-jaga-masjid-ciputat. 49

Diakses oleh Lokanews, pada 7 maret 2018. https://lokanews.co/2018/03/07/tolak-

ahmadiyah-fuib-gelar-audensi-dengan-pemkot-tangsel/.

87

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Riset yang dilakukan penulis tentang konflik Jemaat Ahmadiyah dan non

Ahmadiyah di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan

menyimpulkan bahwa hubungan kedua belah pihak diwarnai dengan konflik. Hal

ini dilatar belakangi oleh sejumlah faktor, diantara faktor tersebut adalah Faktor

Lembaga Sosial (Keluarga, Agama dan Pemerintah), Faktor Ekonomi dan Faktor

Pendidikan.

Faktor keluarga, banyak anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang

dikucilkan oleh keluarganya sendiri. Problematika seperti ini banyak dialami oleh

jemaat Ahmadiyah yang baru masuk menjadi anggota JAI di Serua. Sebagai

contoh, Bapak Muhammad Soleh yang berlatar belakang keluarga yang menganut

paham Ahlussunnah Wal Jama’ah (Nahdlatul Ulama), Ia berpindah faham

menjadi Ahmadiyah setelah mendapat penjelasan dari salah satu Mubaligh Jemaat

Ahmadiyah. Keluarga besarnya menganggap bahwa ia memilih ajaran agama

yang sesat. Kejadian seperti ini hampir dialami semua anggota Ahmadiyah di

Kelurahan Serua.

Faktor Agama, Ahmadiyah ditolak di Serua salah satunya pada gerakan

pemurnian ajaraNya yaitu menganggap kegiatan-kegiatan tradisi keagamaan

Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kegiatan musyrik, seperti halnya rutinitas

maulidan, tahlilan, ziarah kubur, dan kegiatan lainnya. Hal ini tertuang dalam

88

salah satu lafadz bai’at Ahmadiyah poin pertama yaitu, “Berjanji dengan hati

jujur bahwa dimasa yang akan mendatang sampai masuk ke dalam kubur, akan

senantiasa menjauhi syirik”.

Pemerintahan, menjadi faktor konflik sosial Ahmadiyah dan non

Ahmadiyah karena keluarnya surat edaran yang diterbitkan oleh Sekretaris Jendral

Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelejen, dan Direktur Jendral Kesatuan

Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri yang dijadikan salah satu dasar

penolakan sekaligus dasar persekusi yang dilakukan warga masyarakat Kelurahan

Serua.

Faktor ekonomi, Kelompok non Ahmadiyah masih menunjukan rasa

curiga yang mendalam terhadap kelompok jamaat Ahmadiyah. Mereka

menganggap Ahmadiyah bekerja sama dengan pihak luar (Inggris), sehingga

mereka yang masuk dalam anggota Ahmadiyah mendapatkan bayaran darinya.

Padalah jemaat Ahmadiyah bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-

harinya, diantaranya ada yang bekerja menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI,

POLRI, Pedagang, driver online dan lain-lain.

Terakhir adalah Faktor Pendidikan Agama, menjadi salah satu faktor dari

konflik antara Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah yang terjadi di Kelurahan

Serua. Sebagaimana dipaparkan pada awal pembahasan bahwa Ahmadiyah

mengklasifikasi organisasi berdasarkan segmen usia dan jenis. Pada setiap

klasifikasi mendapatkan pendidikan keagamaan yang rutin dilakukan oleh

mubaligh Ahmadiyah di Serua. Pendidikan Agama yang dilakukan oleh

Ahmadiyah di Serua ini juga dibuka untuk umum. Hal ini yang memicu

penolakan dari berbagai kalangan dengan alasan masih menyebarkan ajaran

89

Ahmadiyah dan tidak mau ada warga yang ikut dengan anggota Ahmadiyah

karena adanya pendidikan tersebut.

Kemudian, terkait konflik Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Serua

beberapa elemen telah melakukan mediasi, diantaranya; Pemerintah, Masyarakat

Serua, dan Kepolisian. Pertama Pemerintah, Menyikapi konflik antara Jemaat

Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Serua, Pemkot Tangerang Selatan secara tegas

mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Mentri dan Peraturan Gubernur

(Pergub) No.5 tahun 2011 tentang larangan aktivitas penganut, anggota dan atau

anggota pengurus JAI di Wilayah Banten. Sebagaimana dijelaskan pada BAB I

pasal 1 ayat ke 6, menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran dan/atau faham

yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yang mengakui adanya

Nabi dengan segala ajaran setelah Nabi Muhammad SAW.

Kedua masyarakat Serua, Berdasarkan konflik tersebut, Boy Sartana ketua

Rt 02/09 Kelurahan Serua Indah berharap dari perwakilan pihak Ahmadiyah

untuk berkomunikasi, namun upaya itu tidak terjadi. Hal ini juga disampaikan

oleh oramas Pemuda Pancasila, bahwa persoalan ini harus dibicarakan agar tidak

terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ia pun berharap pihak Ahmadiyah

bermusyawarah dengan warga untuk mencari jalan terbaik. Hal ini kemudian yang

menjadikan konflik keduanya terus berlarut.

Ketiga kepolisian, pada Peraturan Gubernur (Pergub) No.5 tahun 2011

tentang larangan aktivitas penganut, anggota dan/atau anggota pengurus JAI di

Wilayah Banten. BAB IV pasal 6 yang berbunyi; Apabila terjadi pelanggaran

terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pemerintah Daerah

sesuai dengan kewenangannya bersama aparat keamanan atau penegak hukum

90

lainnya akan menghentikan aktivitas atau kegiatan dimaksud dan mengambil

tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini

kepolisian akan menjalankan segala tindakan yang sesuai dengan peraturan

tersebut.

B. Saran

Melihat adanya konflik antara jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di

Serua, penulis menyarankan supaya ada mediasi diantara kedua belah pihak.

Pemerintah harus menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik tersebut supaya

kerukunan tetap terjaga dengan baik dan tetap harmoni dalam keberagaman.

Selain itu kedua belah pihak harus mematuhi peraturan-peraturan yang telah

dibuat pemerintah.

Selanjutnya pemerintah harus mendorong kepada para ulama supaya lebih

proaktif memberikan pemahaman keislaman kepada pihak terkait. Hal ini

bertujuan agar pihak terkait kembali kepada ajaran Islam yang benar.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanuddin. Agama dan Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi

Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Ahmad, Abdul Mukhlis. Ketentuan dan Peraturan Tahrik Jadid Anjuman

Ahmadiyah, Jakarta: Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2010.

Ahmad, Basyruddin Mahmud. Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj. Malik

Aziz Ahmad Khan, Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1995.

Ahmadi, Abu. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. II, 2007.

Al-Badry, Hamka Haq. Koreksi Total Terhadap Ahmadiyah, Jakarta: Yayasan

Nurul Islam, 1980.

Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh Ayat 31-32 dan Terjemah.

Batuah, Syafi’i R. Ahmadiyah, Apa dan Mengapa, Jakarta: Jemaat Ahmadiyah

Indonesia, 1985.

Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

cetakan pertama, 2015.

Burhani, Ahmad Najib. Melintasi Batas Identitas dan Kesarjanaan: Studi Tentang

Ahmadiyah di Indonesia, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI) dan Singapura: ISEAS – Yusof Ishak Institute, 2008.

Burhanudin, Asep. Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan, PT. LKis Pelangi

Aksara, 2005.

Damsar. Pengantar Sosiologi Ekonomi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

Cet. II, 2011.

Damsar. Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, Cet. II, 2012.

Departemen Agama RI, Riuh Beranda Satu Peta Kerukunan Umat Beraga di

Indonesia, Seri II, Jakarta : Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003.

Eroh, Konflik Sosial-Keagamaan Di Banten Tahun 2011, Banten: Fakultas

Ushuluddin IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten 2016

Fathoni, Muslih. Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah Dalam Presfektif, Jakarta :

PT Raja Grafindo, 2002.

Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), Nomor:11/MUNAS VII/15/2005,1/tentang

aliran Ahmadiyah pada tahun 2005.

F.O’Dea, Thomas. Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1995.

Gustapo, Fauziyah. Pola Relasi Sosial Komunikasi Ahmadiyyah dan Non

Ahmadiyyah di Desa Tenjowaringin Kecamatan Salawu Kabupaten

Tasikmalaya, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fak. Ushuluddin,

2018.

H.A., Muhammad Shadiq. Analisa Tentang Khatam an-Nabiyyin, Jakarta: Jemaat

Ahmadiyah Indonesia, 1996.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Riset II, Yogyakarta: Andi Ofset, 1982.

Hakim, Masykur. Kenapa Ahmadiyah Dihujat?, Jakarta: SDM Bina Utama, 2005.

Hariwijaya, M. Metodologi dan Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi untuk Ilmu

Sosial dan Humaniora, Yogyakarta: Parama Ilmu, 2015.

Haryanto, Deni dan Nugrohadi, Edwi. Pengantar Sosiologi Dasar, Jakarta:

Prestasi Pustaka Karya, 2011.

Hidayat, Komaruddin. Pluralitas Agama: Kerukunan dan Keragaman, Jakarta:

Kompas, 2001.

http://berita.tangerangselatankota.go.id/main/content/index/sejarah_tangsel/6.

http://bpkad.tangerangselatankota.go.id/web/web/pages/23/sejarah.

https://kbbi.web.id/etnosentrisme.html.

https://m.republika.co.id/berita/breaking-news/metropolitan/11/02/07/162889-

puluhan-polisi-jaga-masjid-ahmadiyah-di-ciputat.

Idi, Abdullah. Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2011.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan

Gerhana Matahari Ramadhan 1894-1994, Parung : JAI, 1994.

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri

Republik Indonesia, Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-

033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 tahun 2008, tentang: Peringatan dan

Perintah Kepada Penganut, dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Kurnia, A. Fajar. Teologi Kenabian Ahmadiyah, Jakarta: PT. Wahana Semesta

Intermedia, 2008.

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, Cet.

ke-V, 1981.

Lubis, M. Ridwan. Agama dan Perdamaian Landasan, Tujuan, dan Realitas

Kehidupan Beragama di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2017.

Mubarok, Kompendium Regulasi Kerukunan Umat Beragama, Jakarta: Pusat

Kerukunan Umat Beragama Kementrian Agama RI.

Mulyantono, Siswo. Kekerasan Anti Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang

Pendekatan Mobilisasi, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Fak. Ilmu Sosial

dan Politik, 2014.

Nasution, Harun. Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986.

Polome, Margaret M. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Wali Persada, 1945.

Profil Keluraha Serua Kecamatan Ciputat tahun 2017. (diambil dari profil

kelurahan serua kecamatan ciputat tahub 2017).

Razak, Yusran. Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi

Perspektif Islam, Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, Cet. I, 2008.

Rustanto, Bambang. Masyarakat Multikultural di Indonesia, Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, Cet. I , 2015.

Setiadi, Elly M. dan Kolip, Usman. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan

Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahan, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, cet.2, 2011.

Sidik, Munasir. Dasar-dasar Hukum & Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia,

Jakarta: Neratja Press, Cet. III, 2014.

Soekanto, Soejono. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, Cet. 3, 2011.

Sofianto, Kunto. Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Malaysia: Nertja

Press, Cet. 1, 2014.

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010.

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.

Sumardi, Mulyanto. Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar

Harapan, 1982.

Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung:

PT Remaja Rosdakarya, Cet. 2, 2003.

Surat Edaran Bersama Sekretaris Jendral Departemen Agama, Jaksa Agung Muda

Intelejen, dan Direktur Jendral Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen

Dalam Negeri, Agustus Tahun 2008. Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor:

KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 tahun 2008, tentang: Peringatan dan

Perintah Kepada Penganut, dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Susan, Novri. Pengantar Sosiologi Konflik, Jakarta: Prenadamedia Group, 2009.

Tohayudin, Paham Keagamaan dan Hak Sipil Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Prespektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, Tesis: IAIN Syeh Nurjati

Cirebon, 2012.

Utami, Nadia Wasta. “Upaya Komunikasi Forum Kerukunan Umat Beragama

(FKUB) dalam Resolusi Konflik Ahmadiyah,”, Jurnal Ilmu Komunikasi,

Vol. 13, No. 1,1/Juni 2016.

Zuchairiyah, Rofiqoh. Kekersan Terhadap Aliran yang Dinilai Sesat Dalam

Perspektif Hukum Islam, Studi Terhadap Ahmadiyah di Indonesia,

Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Fak. Syaria’ah dan Hukum, 2012.

Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta : LKiS

Pelangi Aksara, 2005.

Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Jakarta: PT. Bumi

Aksara,2009.

Wawancara:

Wawancara dengan Javid Attaurrahman, ketua Pemuda JAI Cabang Serua, Pada

23 April 2019.

Wawancara dengan Bapak Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Ciputat, pada 1

Mei 2019.

Wawancara dengan Bapak Malik Achmad, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, pada

1 Mei 2019.

Wawancara dengan Bapak Nisin Setiadi, Sekretaris Kelurahan Serua, Pada 23

April 2019.

Wawancara dengan Bapak Himam Muzzahir, Tokoh Agama Kelurahan Serua,

Pada 2 Mei 2019.

Wawancara dengan Bapak Asep Ahmad Husaini, Ketua Bidang Ta’lim JAI

Cabang SeruaKelurahan Serua, Pada 23 April 2019.

Wawancara dengan Bapak Ibrahim, Staf Kantor Kelurahan Serua, Pada 23 April

2019.

LAMPIRAN I

SURAT IZIN PENELITIAN

LAMPIRAN II

HASIL WAWANCARA

A. Wawancara dengan Javid Attaurrahman, ketua Pemuda JAI Cabang

Serua, Pada 23 April 2019

1. Bagaimana sejarah masuknya Ahmadiyah di Serua ?

Pada awalnya, jemaat ahmadiyah yang berada di Desa Serua berasal dari

jemaat Ahmadiyah yang berada di Kota Tangerang Selatan. Pada tahun 2000, kota

Tangerang Selatan mengalami pemekaran wilayah menjadi beberapa wilayah,

salah satunya1/Serua (Lama) dan Serua Indah. Pada saat itu jemaat yang ada

masuk di kelurahan Serua (lama).

2. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Serua ?

Perkembangan keanggotaan Jemaat Ahmadiyah di Serua yang

padamulanya hanya beranggotakan -+ 50 jemaat saja, kini sudah memiliki -+ 320

jemaat. Faktor yang banyak mempengaruhi tumbuh pesatnya perkembangan

keanggotaan dengan memperbanyak keturunan dan perkawinan dari setiap

keluarga jemaat Ahmadiyah. Faktor lain yang mempengaruhi berkembangnya

keanggotaan jemaat Ahmadiyah di Serua yaitu adanya pendatang baru jemaat

Ahmadiyah dari wilayah lain, adapula jemaat baru yang sengaja masuk dari

ideologi lain.

Secara struktural, orang yang akan masuk ke jemaat Ahmadiyah akan

diberikan penjelasan secara lengkap oleh seorang mubaligh. Metode dakwah

jemaat Ahmadiyah berbeda dengan metode dakwah umat non Ahmadiyah. Salah

satu cara mubaligh untuk memberikan dakwah kepada calon jemaat baru, yakni

dengan cara mendatangi rumah orang yang bersangkutan kemudian memberikan

penjelasan secara lengkap dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang

tersebut.

Mubaligh yang ternama di Serua bernama Muhammad Dawud, tapi kini

sedang ditugaskan di Malaysia. Untuk saat ini koordinator mubaligh jemaat

Ahmadiyah bernama Lili Sadili.

3. Bagaimana Eksistensi Ahmadiyah di Serua ?

Latar belakang eksistensi jemaat Ahmadiyah berlandaskan dari keterkaitan

yang cukup erat antara pengurus Ahmadiyah di Desa, Kecamatan, Kabupaten

sampai dengan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah. Selain itu, eksistensi Jemaat

Ahmadiyah didukung oleh adanya yayasan pendidikan Ahmadiyah yang

terstruktur dengan baik. Nantinya, yayasan tersebut akan mencetak generasi-

generasi Ahmadiyah yang berkualitas. Puncak dari jenjang pendidikan non formal

Jemaat Ahmadiyah ini yakni mencetak mubaligh-mubaligh besar yang nantinya

ditugaskan untuk menyebarluaskan ajaran Ahmadiyah di wilayah lain.

B. Wawancara dengan Bapak Mohammad Soleh, wakil ketua JAI Ciputat,

pada 1 Mei 2019

1. Pola hubungan sosial seperti apa yang dilakukan jemaat Ahmadiyah dan Non

Ahmadiyah di Kelurahan Serua ?

Pada dasarnya hubungan sosial yang terjalian antar umat Ahmadiyah

dengan non Ahmadiyah di Kelurahan Serua terjalin secara baik. Khususnya

kegiatan sosial yang sering diadakan oleh Jemaat Ahmadiyah, misalnya saja

kegiatan berbagi sembako, bazar sembako murah,1/donor darah, donor mata, dan

lain sebagainya. Kegiatan sosial yang sampai saat ini masih rutin dilaksanakan

setiap tiga bulan sekali oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di seluruh

Indonesia yakni donor darah. Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin di seluruh

Indonesia dan dikomando langsung PB JAI. Kegiatan ini juga bertujuan untuk

membantu Palang Merah Indonesia (PMI) dan masyarakat umum lainnya yang

membutuhkan.

Salah satukegiatan sosial lain yang rutin dilaksanakan oleh Jemaat

Ahmadiyah yakni menjalin silaturahmi secara bersama ke organisasi masyarakat

lainnya, misalnya HTI, Muhammadiyah, dan lain sebagainya. Kegiatan ini

menjadi wujud bahwa hubungan jemaat Ahmadiyah dengan organisasi

masyarakat lainnya terjalin dengan baik.

Sekitar awal tahun 2018 kasus Ahmadiyah di Serua kembali mencuat

dengan adanya rencana pemindahan Masjid Baitul Qoyyum yang merupakan

Masjid Ahmadiyah sekaligus kantor sekretariat Ahmadiyah terkena proyek

pembangunan jalan tol. Warga masyarakat Serua, organisasi Keagamaan (FUI),

dan organisasi kepemudaan (Pemuda Pancasila) menolak dibangunnya masjid

Ahmadiyah di Kelurahan Serua dengan cara memasang sepanduk dan baliho

disepanjang Jalan Raya Bukit Serua. Dengan adanya penolakan itu membuat

Ahmadiyah di Serua merasa terintimidasi dan akhirnya hanya bisa menyewa ruko

berukuran kecil seperti ini.

Jemaat Ahmadiyah di Serua berharap selalu menjaga kerukunan dengan

warga sekitar dengan cara berfikir positif, duduk bersama, musyawarah, saling

menghormati, dan yang paling penting selalu tabayyun dalam setiap persoalan

yang ada. Hal ini supaya terjalin suasana yang baik dalam bertetangga maupun

beragama.

2. Faktor apa saja yang mendorong terjadinya relasi atau perselisihan antara

jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Serua ?

Faktor Pertama yang menjadi penyebab munculnya reaksi negative dari

jemaat Ahmadiyah yakni adanya Fatwa MUI dan SKB 3 Mentri. Munculnya

ketetapan tersebut menjadikan jemaat Ahmadiyah merasa dibedakan.

Faktor kedua adanya kecemburuan sosial dari individu lain, Maksudnya,

Secara ekonomi mayoritas Jemaat Ahmadiyah bisa dikatakan mapan. Hal tersebut

dikaitkan dengan permasalahan ideologi yang berbeda.

Faktor ketiga sudut pandang masing-masing individu yang berfikiran

negative terhadap ideologi lainnya. Misalnya keluarga saya, yang berlatar

belakang keluarga yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah (Nahdlatul

Ulama), sekarang dengan Ahmadiyah setelah mendapat penjelasan dari salah satu

Mubaligh Jemaat Ahmadiyah. Keluarga besarnya menganggap bahwa dia memilih

ajaran agama yang sesat.

Faktor keempat dikaitkannya idiologi Ahmadiyah dengan problematika

politik yang ada.

Sebenernya pemerintah sudah berupaya baik atas terbitnya Peraturan SKB

3 Menteri dikeluarkan untuk meredam konflik yang sering terjadi, tapi ya

kemauan pemerintah dalam menerbitkan banyak peraturan yang mengatur

kehidupan beragama yang bertujuan untuk menumbuhkan sikap hidup beragama

yang harmonis dan saling hormat menghormati. Namun demikian kemauan positif

pemerintah itu tidak selalu mampu menumbuhkan kerukunan dalam kehidupan

keagamaan masyarakat.

3. Berapa jumlah Anggota anggota jemaat Ahmadiyah ?

Jumlah Anggota Ahmadiyah di Kelurahan Serua -+ 320 anggota

4. Apa saja syarat untuk menjadi jemaat Ahmadiyah ?

Untuk menjadi anggota Ahmadiyah perlu dilakukan pembai’atan terlebih

dahulu. Berikut ini syarat bai’at yangharus ditulis dan diyakini sepenuh hati :

a. Orang yang bai’at, berjanji dengan hati jujur bahwa di masa yang akan

mendatang sampai masuk ke dalam kubur, akan senantiasa menjauhi

syirik.

b. Akan senantiasa menghindari diri dari dusta, zina, pandangan birahi,

perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, hura-hara, pemberontakan,

serta tidak akan dikalahkan oleh gejolak-gejolak hawa nafsu tatkala

bergejolak, meskipun sangat hebat dorongan yang timbul.

c. Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu tanpa putus,

sesuai1/perintah Allah dan Rasul-Nya. dan sedapat mungkin akan

berusaha1/dawam mengerjakan shalat Tahajjud, mengirimkan shalawat

kepada Nabi KarimNya, shallallaahu’alaihi wasallam, dan setiap hari

memohon ampunan atas dosa-dosanya serta melakukan istigfar, dan

dengan hati yang penuh kecintaan mengingat kebaikan-kebaikan Allah

Ta’ala, lalu menjadikan pujian serta sanjungan terhadap-Nya sebagai

ucapan wiridnya setiap hari.

d. Tidak akan mendatangkan kesushahan apa pun yang tidak pada

tempatnya- karena gejolak-gejolak nafsunya terhadap makhluk Allah

umumnya dan kaum Muslimin khususnya, melalui lidah, tangan,atau

melalui cara lainnya.

e. Dalam segala keadaan sedih dan gembira, suka duka, nikmat dan musibah

akan tetap setia kepada Allah Ta’ala. Dan dalam setiap kondisi akan rela

atas putusan Allah. Dan akan senantiasa siap menanggung segala kehinaan

serta kepedihan di jalan-Nya. dan tidak akan memalingkan wajahnya dari

Allah Ta’ala ketika ditimpa suatu musibah melainkan akan terus

melangkah maju

f. Akan berhenti dari adat kebiasaan buruk dan dari menuruti hawa nafsu.

Dan akan menjunjung tinggi perintah Alquran Suci di atas dirinya. Dan

menjadikan firman Allah dan sabda Rasul-Nya sebagai pedoman dalam

setiap langkahnya

g. Akan meninggalkan takabur dan kesombongan sepenuhnya. Dan akan

menjalani hidup dengan merendahkan diri, dengan kerendahan hati, budi

pekerti yang baik, lemah lembut, dan sederhana.

h. Agama dan kehormatan agama serta solidaritas Islam akan dianggap lebih

mulia daripada nyawanya, hartanya, kehormatan dirinya, anak

keturunannya, dan dari segala yang dicintainya.

i. Semata-mata demi Allah, senantiasa sibuk dalam solidaritas terhadap

makhluk Allah umumnya, dan dengan kekuatan-kekuatan serta nikmat-

nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadnya, sedpat mungkin akan

mendatangkan manfaat bagi umat manusia.

j. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini, semata-mata demi

Allah dengan ikrar taat dalam hal ma’ruf dan akan senantiasa berdiri teguh

di atasnya sampai akhir hayat. Tali persaudaraan ini begitu tinggi

derajatnya sehingga tidak akan diperoleh bandingannya dalam ikatan

persaudaraan maupun hubungan-hubungan duniawi atau dalam segala

bentuk pengkhidmatan/penghambaan.

C. Wawancara dengan bapak Malik Achmad, wakil ketua JAI Cabang

Serua, pada 1 Mei 2019.

1. Bagaimana sejarah masuknya Ahmadiyah di Serua ?

Awalnya pada tahun 2000 medirikan cabang JAI Kelurahan Parigi

Kecamatan Pondok Aren yang di ketuai bapak Khusna Abdul Rokhim dengan

jumlah awal beranggota 50 orang. Saat itu Parigi Pondok Aren ini masih masuk

daerah kabupaten Tangerang.

Kemudian pada tahun yang sama Ahmadiyah mendirikan cabang JAI di

Serua yaitu di Jalan Raya Bukit Serua RT 02 RW 09, Kelurahan Serua,

Kecamatan Ciputat ketuanya pada waktu itu Bapak Yusuf Sairan Alm.

2. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Serua ?

Ahmadiyah berhasil mendirikan Masjid Ahmadiyah yang di beri nama

Masjid Baitul Qoyyum yang menjadi pusat kegiatan sekaligus sekretariat

Ahmadiyah di Kelurahan Serua.

Secara sosial kita ya melakukan aktivitas pada umunya. Anggota

ahmadiyah juga bebas untuk bekerja dimana saja, ada yang bekerja di

pemerintahan misalnya, di antaranya bekerja menjadi Aparatur Sipil Negara

(ASN), TNI, POLRI dan lain-lain. Demikian juga dengan politik, anggota bebas

memilih gabung dengan partai manapun.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kelurahan Serua memiliki badan atau

kepengurusan berdasarkan klasifikasi usia dan jenis.

a. Jemaat yang usianya <15 tahun dinamakan athfal,

b. Usia 15 – 39 tahun dinamakan Khudam,

c. Usia >40 tahun keatas disebut Anshorulloh.

d. Sedangkan untuk wanita umur <15 di sebut Nasirot

e. untuk wanita umur >15 sampai meninggal disebut Lajnah Illah

Masing-badan pada setiap wilayah memiliki kegiatan sosial yang berbeda-

beda. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan rasa kepedulian dengan manusia

lainnya (khablun minannas).

3. Bagaimana eksistensi Ahmadiyah di Serua

Awalnya memang sangat berat, beberapa anggota jamaah ada yang

keluarga tidak suka ada keluarganya yang lain masuk Jemaat Ahmadiyah Namun

secara umum pola hubungan sosial yang dibangun antara Ahmadiyah dan kerabat

non Ahmadiyah menjalin persahabatan yang baik. Bahkan kerabat yang

sebelumnya bukan anggota Ahmadiyah bisa menerima dan akhirnya menjadi

anggota Ahmadiyah

Untuk mempertahankan eksistensi Ahmadiyah di Kelurahan Serua

Kecamatan Ciputat JAI memperkuat struktur kepengurusan. Dengan struktur

sebagai berikut:

Mubaligh : - Pembina

Ketua Cabang : Ridwan Abdurahman, SE,

ME

Wakil Ketua : M. Soleh

Sekretaris Umum : M. Rizki Sulistiono, S.Pi Administrasi Umum

Sekretaris Maal : Omar Tobias Bendahara Umum

Amin : M. Syakirullah, S.Psi Bendahara Pengeluaran

Muhasib : Ahmad Syarifudin Penghitung (Akunting)

Sekretaris Jaidad : Muhtar Kamil Aset

Sekretaris Tabligh : M. Soleh Penyampaian (Syiar)

Sekretaris Tarbiyat : Ir. Asep Ahmad Husaeni Pendidikan Akhlak

Anggota

Sekretaris Ta'lim : Ir. Asep Ahmad Husaeni Pengajaran

Sekretaris Ta'limul

Quran : Javid Attaurahman, SE Pengkajian Al Quran

Sekretaris Umur : M. Soleh Kesejahteraan Anggota

Ammah

Sekretaris Umur

Kharijiah : Abdul Mughni Hubungan Masyarakat

Sekretaris Pembinaan

Mubayin Baru : M. Soleh Pembinaan Anggota Baru

Sekretaris Rishtanata : Dendi Ahmad Daud, M.Ag Perjodohan

Sekretaris Isyaat : - Literasi

Sekretaris Ziroat : Saiful Nuryadin Pertanian, Peternakan

Sekretaris Sanat Wa

Tijarot : Heri Kuswanto Perdagangan

Sekretaris Dhiafat : Husen Mubarak, S.Sos Jamuan Tamu

Sekretaris Tahrik Jadid : Abdussalam Salah Satu Bentuk Waqf

Di Jemaat

Sekretaris Waqfi Jadid : Javid Attaurahman, SE Salah Satu Bentuk Waqf

Di Jemaat

Sekretaris Waqf E Nou : Hafiz Ahmad Salah Satu Bentuk Waqf

Di Jemaat

Sekretaris Al Wasiyat : Bahtiar Husen Salah Satu Bentuk Waqf

Di Jemaat

Sekretaris Audio Video : Husen Mubarak, S.Sos Membantu Kelancaran

Audio Video

Sekretaris Maal

Tambahan : Bahtiar Husen Membantu Sekr Maal

Internal Auditor : Indra Agung, Sl Audit Internal Cabang

Zaim Anshar : Abdul Mughni Ketua Badan Laki-Laki

40 Tahun Keatas

Qaid Khuddam : Athaurahman Khan, SE Ketua Badan Lak-Laki 15

- 40 Tahun

Ketua Lajnah : Ami Ketua Badan Perempuan

D. Wawancara dengan Bapak Nisin Setiadi, sekretaris kelurahan Serua,

Pada 23 April 2019.

1. Bagaimana sejarah ahmadiyah di Kelurahan Serua

Saya tidak begitu tahu kapan awal masuknya Ahmadiyah di Serua, yang

pasti 2004-an mereka sudah ada disini dan sudah membangun Masjid. Sebelum

terkena pembangunan jalan tol Masjid Ahmadiyah kondisinya sangat tertutup,

gerbang selalu ditutup setiap waktu, ketika ada kegiatan tidak pernah melapor atau

memberitahu kepada RT/RW setempat. Ketika kegiatan selesai baru kelihatan

orang banyak keluar dari dalam masjid. Secara domisili, Ahmadiyah tidak

mengurus surat-suratnya kekelurahan Serua. Untuk saat ini pasca kena proyek

jalan tol kami dari pihak kelurahan juga tidak tahu Masjid mereka pindah kemana.

2. Bagaimana sih perkembangan ahmadiyah di Serua ?

Sejauh ini tidak namapak ada perkembangan, malahan banyak penolakan

yang terjadi dari berbagai kalangan, seperti MUI, tokoh masyarakat, tokoh

pemuda, dan tokoh Agama di sekitar Serua dan Serua Indah. Biasanya kan masjid

digunakan untu siapa saja yang mau beribadah, tapi kalau mereka tidak demikian,

sehingga orang-orang disekitar kan jadi curiga. Ditambah1/adanya respon yang

menolak keberadaanya dari berbagai kalangan warga, ini seolah menjawab rasa

kecurigaan masyarakat selama ini.

3. Bagaimana Pola Hubungan Antara Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah?

Sebelum terkena pembangunan jalan tol Masjid Ahmadiyah kondisinya

sangat tertutup, gerbang selalu ditutup setiap waktu, ketika ada kegiatan tidak

pernah melapor atau memberitahu kepada RT/RW setempat. Ketika kegiatan

selesai baru kelihatan orang banyak keluar dari dalam masjid. Secara domisili,

Ahmadiyah tidak mengurus surat-suratnya kekelurahan Serua. Untuk saat ini

pasca kena proyek jalan tol kami dari pihak kelurahan juga tidak tahu Masjid

mereka pindah kemana.

E. Wawancara dengan Bapak Himam Muzzahir, Tokoh Agama Kelurahan

Serua, Pada 2 Mei 2019.

1. Bagaimana Sejarah Ahmadiyah di Serua?

Saya kurang tahu kapan tepatnya ada Ahmaiyah di Serua tapi tahu kalau di

Jl. Raya Bukit Serua ada masjid Ahmadiyah. Masjidnya sepi dan selalu ditutup

gerbangnya.

2. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah?

Sepengetahuan saya Ahmadiyah di Serua tidak pernah nampak ada

kegiatan yang sifatnya terbuka. Tapi masyarakat juga tidak begitu pedui dengan

keberadaanya terutama daerah-daerah komplek dan prumahan karena memang

masyarakatnya bermacam-macam agamanya.

Pernah lihat ada sepanduk penolakan yang berjejer dipinggir jalan raya,

tapi setahu saya tidak sampai terjadi bentrok. Yang jelas tidak terlihat ada

perkembangan bahkan malah dapat penolakan selama berada di Serua.

3. Bagaimana pola hubungan antara Ahmadiyah dan warga?

Belum ada kegiatan yang sifatnya bersama, mereka selalu menutup diri

misalnya pas solat saja pintu masjid tidak di buka, suasana didalamnya juga gelam

atau remang-remang, jadi sama sekali warga tidak tahu apa yang di kerjakan. Saya

yakin kalau masih demikian susah untuk menciptakan suasana yang baik dan tidak

saling curiga satu dengan yang lain.

LAMPIRAN III

PERNYATAAN WAWANCARA

LAMPIRAN IV

FOTO

Kegiatan Athfal

MASJID AHMADIYAH

MASJID AHMADIYAH PASCA PEMBANGUNAN TOL