Kondisi Stabilitas Udara Di Stasiun Meteorologi Kelas i

8
1 KONDISI STABILITAS UDARA DI STASIUN METEOROLOGI KELAS I HASANUDDIN MAKASSAR AHMAD FADLAN Akademi Meteorologi dan Geofisika Jakarta ABSTRAK Kondisi stabilitas udara pada suatu wilayah pada umumnya mempengaruhi kondisi cuaca yang akan terjadi pada wilayah tersebut. Daerah Makassar umumnya merupakan daerah monsunal yang terdiri dari dua periode musim dan dua periode transisi. Pada setiap periodenya, kondisi stabilitas udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi cuaca. Dengan menggunakan aplikasi RAOB untuk mengolah data radiosonde Stasiun Meteorologi Hasanuddin Makassar dihasilkan nilai LI (Lifted Index), CAPE (Convective Available Potential Energy), RH (Relative Humidity) dan TPW (Total Precipitable Water) sebagai parameter yang dapat menjelaskan kondisi udara yang terjadi di daerah Makassar. Dari parameter tersebut didapatkan bahwa pada musim penghujan awan Cb pada umumnya tumbuh akibat aktivitas monsoon baratan yang dapat menyebabkan konvergensi ataupun ITCZ di daerah Makassar. Hasil TPW dan RH 850 dan 700 mb menunjukkan kejadian hujan dengan intensitas tinggi akan banyak terjadi pada musim tersebut. Adapun pada periode transisi, pertumbuhan awan Cb lebih dipengaruhi oleh aktifitas konveksi dengan hujan yang terjadi pada umumnya terjadi di sore hari. Dan pada musim kemarau, tidak memungkinkan untuk terjadi awan Cb dan juga kemungkinan terjadi hujan sangat kecil. Kata Kunci: Stabilitas, LI, CAPE, TPW, RH AIR STABILITY CONDITIONS IN METEOROLOGICAL STATION HASANUDDIN MAKASSAR ABSTRACT Air stability in a region generally affects the weather conditions that will occur in the region. Makassar area is generally a monsoonal region consisting of two periods of the season and two transition periods. At each period, the condition of the air stability is one of the factors that influence the weather conditions. By using RAOB applications to process radiosonde data in Hasanuddin Meteorology Station generated value LI (Lifted Index), CAPE (Convective Available Potential Energy), RH (Relative Humidity) and TPW (Total Precipitable Water) as a parameter that can explain the condition of the air occurred in the area of Makassar. From these parameters it was found that in the rainy season Cumulonimbus are generally grown due to monsoon activity that can lead to convergence or the ITCZ in Makassar. Results TPW and RH 850 and 700 mb showed high intensity rainfall events will be more common in the summer. As for the transition period, the growths of Cumulonimbus are more affected by activities occurring convection with rain

description

stabilitas udara dijelaskan dengan beberapa Indeks seperti Lifting Index, CAPE, dan Total Precipitable Water (TPW).

Transcript of Kondisi Stabilitas Udara Di Stasiun Meteorologi Kelas i

  • 1

    KONDISI STABILITAS UDARA DI STASIUN METEOROLOGI KELAS I HASANUDDIN MAKASSAR

    AHMAD FADLAN Akademi Meteorologi dan Geofisika Jakarta

    ABSTRAK

    Kondisi stabilitas udara pada suatu wilayah pada umumnya mempengaruhi kondisi cuaca yang akan terjadi pada wilayah tersebut. Daerah Makassar umumnya merupakan daerah monsunal yang terdiri dari dua periode musim dan dua periode transisi. Pada setiap periodenya, kondisi stabilitas udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi cuaca. Dengan menggunakan aplikasi RAOB untuk mengolah data radiosonde Stasiun Meteorologi Hasanuddin Makassar dihasilkan nilai LI (Lifted Index), CAPE (Convective Available Potential Energy), RH (Relative Humidity) dan TPW (Total Precipitable Water) sebagai parameter yang dapat menjelaskan kondisi udara yang terjadi di daerah Makassar. Dari parameter tersebut didapatkan bahwa pada musim penghujan awan Cb pada umumnya tumbuh akibat aktivitas monsoon baratan yang dapat menyebabkan konvergensi ataupun ITCZ di daerah Makassar. Hasil TPW dan RH 850 dan 700 mb menunjukkan kejadian hujan dengan intensitas tinggi akan banyak terjadi pada musim tersebut. Adapun pada periode transisi, pertumbuhan awan Cb lebih dipengaruhi oleh aktifitas konveksi dengan hujan yang terjadi pada umumnya terjadi di sore hari. Dan pada musim kemarau, tidak memungkinkan untuk terjadi awan Cb dan juga kemungkinan terjadi hujan sangat kecil. Kata Kunci: Stabilitas, LI, CAPE, TPW, RH

    AIR STABILITY CONDITIONS IN METEOROLOGICAL STATION HASANUDDIN MAKASSAR

    ABSTRACT

    Air stability in a region generally affects the weather conditions that will occur in the region. Makassar area is generally a monsoonal region consisting of two periods of the season and two transition periods. At each period, the condition of the air stability is one of the factors that influence the weather conditions. By using RAOB applications to process radiosonde data in Hasanuddin Meteorology Station generated value LI (Lifted Index), CAPE (Convective Available Potential Energy), RH (Relative Humidity) and TPW (Total Precipitable Water) as a parameter that can explain the condition of the air occurred in the area of Makassar. From these parameters it was found that in the rainy season Cumulonimbus are generally grown due to monsoon activity that can lead to convergence or the ITCZ in Makassar. Results TPW and RH 850 and 700 mb showed high intensity rainfall events will be more common in the summer. As for the transition period, the growths of Cumulonimbus are more affected by activities occurring convection with rain

  • 2

    generally occurs in the late afternoon. And in the dry season, do not allow happening Cumulonimbus and also a very small possibility of rain.

    Key Words: Stability, LI, CAPE, TPW, RH

    1. PENDAHULUAN

    Stasiun Meteorologi Kelas I Hasanuddin Makassar merupakan Stasiun Meteorologi yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya berada pada lingkungan Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar dengan kordinat Lintang berada pada 5336 LS dan 1193300 BT. Menurut peta musim yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), daerah Makassar merupakan daerah yang memiliki tipe hujan Monsunal. Indonesia yang sebagian besar wilayahnya merupakan tipe hujan monsunal memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Selain kedua musim tersebut di Indonesia dikenal pula periode transisi I dan transisi II. Pada periode transisi berlangsunglah perbalikan arah angin monsun. Transisi I adalah periode saat monsun dingin di belahan bumi utara (BBU) digantikan oleh monsun panas dan pada Transisi II terjadi sebaliknya (Prawirowardoyo, 1996).

    Dari periode-periode tersebut sangat menarik untuk diketahui keadaan stabilitas udara disetiap musimnya. Ini dikarenakan masih kurangnya para peneliti untuk mengkaji tentang keadaan stabilitas udara disetiap musimnya.

    Kemudian untuk mengetahui suatu udara dikatakan stabil atau tidak stabil dapat dilakukan dengan menentukan nilai Lifted Index (LI). LI merupakan selisih antara suhu lingkungan (Tlingkungan) dengan suhu parsel (Tparsel) pada ketinggian 500 mb. Jika nilai LI adalah negatif yang sangat besar, maka parsel udara akan jauh lebih hangat daripada sekitarnya, sehingga udara menjadi sangat tidak stabil. Namun jika nilai LI adalah positif yang sangat besar, maka parsel udara akan lebih dingin dari pada suhu lingkungannya, sehingga udara menjadi sangat stabil.

    Tabel 1. nilai Lifted Index (LI) terhadap stabilitas atmosfer

    Lifted Index Stabilitas Atmosfer

    >+3 Stabil 0 ke +3 konveksi lemah jika

    pengangkatan kuat 0 ke -3 tidak stabil sedang

    -3 ke - 6 Sangat tidak stabil < -9 Tidak stabil yang ekstrim

    (Sumber : Petty, 2008)

    Selain LI, nilai CAPE (Convective Available Potential Energy) juga dapat membantu menentukan stabil tidaknya atmosfer dimana CAPE adalah salah satu indikator yang kuat untuk mengidentifikasi adanya potensi intensitas konvektif. CAPE juga merupakan total energi dari gaya apung pada kolom udara yang tersedia untuk mengangkat parsel udara

  • 3

    Tabel 2.Nilai CAPE terhadap stabilitas atmosfer

    CAPE (J/Kg) Stabilitas 0 1000 Cukup tidak stabil

    1000 2500 Tidak Stabil Sedang >2500 Sangat Tidak Stabil

    (Sumber : Petty, 2008)

    Untuk melihat seberapa besar peluang intensitas hujan yang akan terjadi dapat menggunakan nilai TPW (Total Precipitable Water). TPW di defenisikan sebagai banyaknya kandungan uap air yang terkumpul dalam satu kolom udara yang dapat di endapkan sebagai prepitasi, bila seluruh kandunga uap air dalam kolom tersebut telah berkondensasi semua (Viswanadham, 1981). Jumlah air yang dapat di embunkan sekaligus diturunkan sebagai hujan belum dapat diketahui secara pasti, hal tersebut disebabkan antara lain oleh stabilitas atmosfer, variasi kandungan uap air, perbedaan tekanan antara dua lapisan ketinggian di atmosfer dan musim. Adapun nilai TPW ini sangat dipengaruhi dengan kondisi uap air yang ada di atmosfer. Kondisi uap air tesebut bisa diketahui dengan melihat nilai Kelembabn relatifnya. Pada awalnya Konsep kelembaban relatif mungkin tampak membingungkan karena tidak menunjukkan jumlah yang sebenarnya dari uap air di udara. Sebaliknya, ia memberitahu kita seberapa dekat udara adalah untuk menjadi jenuh. Kelembaban relatif adalah perbandingan kandungan uap air aktual di udara dengan jumlah uap air yg diperlukan untuk menjadi jenuh pada temperatur tertentu (Lutgens and Tarbuck, 2009) Adapun untuk mendapatkan nilai dari beberapa parameter tersebut digunakan sebuah software yakni RAOB 5.5. RAOB atau Radiosonde Observation adalah software yang digunakan untuk menganalisis kondisi atmosfer. Dengan fungsi yang dimiliki RAOB maka seorang prakirawan dapat dengan mudah mengidentifikasi parameter-parameter atmosfer yang akan dianalisis sesuai dengan keperluan prakirawan. Diagram yang ditampilkan ada tiga jenis yaitu skew T / Log P, emagram, dan tephigram. Didalam RAOB parameter-parameter atmosfer dapat dilihat pada menu listings. Pada menu listings akan diketahui parameter atmosfer tiap-tiap lapisan atmosfer beserta hasil analisis data yang telah di input ke dalam program ini.

    2. DATA DAN METODE

    Data yang digunakan adalah data dari pengamatan radiosonde di Stasiun Meteorologi Hasanuddin Makassar pada bulan Januari 2011, Mei 2011, Agustus 2011 dan Oktober 2011 yang dianggap mewakili kondisi disetiap periode dengan jam pengamatan 00 UTC. Serta data pengamatan udara permukaan dari jam 00 UTC 12 UTC untuk membandingkan hasil pengamat radiosonde dengan kejadian aktualnya.

  • 4

    Dalam mengolah data agar dapat dianalisis dan diperoleh hasil kesimpulan digunakan beberapa metode yang telah didapatkan dari software RAOB versi 5.5 antara lain:

    1. Metode Lifted Index 2. Convective Available Potencial Energy (CAPE ) 3. Total Precitable Water (TPW) Kemudian dari hasil metode diatas dihubungkan dengan kejadian cuaca yang terjadi

    melalui data pengamatan permukaan pada waktu tersebut serta membandingkan kondisi cuaca yang terjadi dengan kondisi cuaca pada stasiun terdekat seperti Stasiun Meteorologi Maritim Potere

    3. PEMBAHASAN

    Setelah data-data dari hasil sounding udara atas berupa sandi TTAA, TTBB, TTCC dan TTDD dimasukkan kedalam program RAOB dan diolah menurut metode yang ada seperti LI, CAPE, dan TPW maka dihasilkan data-data yang dapat menggambarkan keadaan atmosfer di tiap musimnya pada tahun 2011 di Stasiun Meteorologi Kelas I Hasanuddin Makassar.

    Gambar 1. CAPE dan LI bulan Januari 2011 pada kondisi terbentuk awan Cb

    Adapun dari Gambar 1 dapat terlihat bahwa pada bulan Januari awan Cb dapat tumbuh walaupun pada umumnya kondisi udara dalam keadaan tidak stabil sedang dengan nilai LI lebih banyak diatas -3.0 dan nilai CAPE dibawah 1000 J/kg. Hal ini bisa terjadi dikarenakan pada musim hujan di bulan Januari, awan Cb pada umumnya terbentuk akibat gangguan cuaca lain, seperti konvergensi, adveksi dingin dari Asia akibat monsoon baratan, dan sebagainya.

    Pada bulan Mei 2011 yang merupakan bulan periode pancaroba dari musim hujan ke musim kemarau dan bulan Oktober 2011 yang merupakan bulan periode pancaroba dari musim kemarau ke hujan, pertumbuhan awan Cb masih banyak tumbuh. Adapun hasil pengolahan data menunjukan stabilitas udara yang digambarkan pada Gambar 2 berikut.

    -6.0

    -5.0

    -4.0

    -3.0

    -2.0

    -1.0

    0.0

    0

    500

    1000

    1500

    2000

    2500

    1 11 14 15 16 19 22 23 24 27 29 30

    Lift

    ed

    In

    de

    x (

    LI)

    CA

    PE

    (J/

    Kg

    )

    Tanggal

    CAPE

    LI

  • 5

    -7.0

    -5.0

    -3.0

    -1.0

    1.0

    3.0

    5.0

    7.0

    0

    500

    1000

    1500

    2000

    2500

    7 21 23 24 26 27 28 29 30 31

    Lift

    ed

    In

    de

    x (L

    I)

    CA

    PE

    (J/

    Kg

    )

    TanggalCAPE

    LI

    a. Mei b. Oktober

    Gambar 2. CAPE dan LI bulan Mei dan Oktober 2011 pada kondisi terbentuk awan Cb

    Pada periode pancaroba di bulan Mei dan Oktober, terlihat jelas bahwa awan Cb pada umumnya terbentuk akibat aktivitas konveksi dan didukung dengan kondisi udara yang tidak stabil dimana nilai LI pada umumnya dibawah -3.0 dengan nilai CAPE diatas 1000J/kg. Sehingga kemungkinan besar dapat menyebabkan pertumbuhan awan yang menjulang tinggi seperti awan Cb

    Namun jika dibandingkan antara kedua periode pancaroba tersebut, pada bulan Oktober 2011 atau periode pancaroba dari musim kemarau ke musim penghujan lebih menunjukkan kondisi tidak stabil di atmosfer dengan nilai CAPE pada umumnya diatas 1200 J/Kg.

    Pada bulan Agustus 2011 merupakan bulan pada musim kemarau. Adapun hasil pengolahan data menjelaskan kondisi stabilitas udara yang digambarkan pada Gambar 3 berikut.

    Gambar 3. CAPE dan LI bulan Agustus 2011

    Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa keadaan atmosfer pada pukul 00 12 UTC selama bulan Agustus tidak mengindikasikan terjadinya pertumbuhan awan Cb. Nilai CAPE

    -9.0

    -7.0

    -5.0

    -3.0

    -1.0

    1.0

    3.0

    5.0

    7.0

    0

    500

    1000

    1500

    2000

    2500

    3000

    3500

    1 2 4 5 13 15 16 19 28 30

    Lift

    ed

    In

    de

    x (L

    I)

    CA

    PE

    (J/

    Kg

    )

    Tanggal

    CAPE

    LI

    -4.0

    -2.0

    0.0

    2.0

    4.0

    6.0

    8.0

    10.0

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    350

    1 3 5 7 9 1113151719212325272931

    Lift

    ed

    In

    de

    x (L

    I)

    CA

    PE

    (J/

    Kg

    )

    Tanggal

    CAPE

    LI

  • 6

    tertinggi hanya sekitar 323 J/Kg dengan LI -2.1 pada tanggal 2 Agustus 2011. Kondisi atmosfer seperti ini sudah tidak memungkinkan untuk membentuk awan Cb dikarenakan nilai LI pada umumnya di atas +1.0 yang menunjukkan bahwa keadaan udara stabil dimana udara cenderung turun dan ini telah dibuktikan oleh grafik diatas. Sementara itu nilai CAPE yang banyak terlihat kosong atau tidak bernilai dikarenakan pada keadaan stabil tidak diperlukan energi untuk menaikkan udara atau tidak terjadi aktifitas konvektif.

    Kemudian jika kita melihat nilai TPW serta RHnya pada setiap musim, maka dapat terlihat pada Gambar 4 sebagai berikut.

    Gambar 4. Hubungan antara TPW dan RH pada lapisan 850 mb dan 700 mb dengan kejadian hujan di setiap periode pada tahun 2011

    Jika dilihat dari kondisi RH dan TPW di atmosfer, pada bulan Januari sebagai musim hujan merupakan kondisi yang paling mendukung terjadinya hujan. Dengan kondisi kelembaban yang tinggi serta jumlah air mampu curah yang tinggi juga menyebabkan pada bulan Januari akan banyak terjadi hujan dimana pada pengamatan aktual yang ada terjadi hujan sebanyak 16 hari dari 31 hari pada jam 00 12 UTC sedangkan pada musim kemarau di bulan Agustus kondisi RH yang sangat rendah dan TPW yang juga rendah mengakibatkan kemungkinan terjadinya hujan sangat kecil. Kemudian pada Gambar 3.6 juga terlihat bahwa semakin menuju ke musim kemarau, kondisi RH dan TPW mengalami penurunan hingga yang paling rendah pada musim kemarau di bulan Agustus. Namun setelah itu, semakin kembali ke musim penghujan, maka kondisi RH dan TPW berangsur kembali tinggi. Ini menandakan bahwa ketinggian TPW sangat di pengaruhi oleh uap air yang ada di atmosfer.

    Setelah mengetahui kondisi cuaca di Stasiun Meteorologi Hasanuddin Makassar berdasarkan kondisi Stabilitasnya, kemudian dilakukan perbandingan dengan kondisi cuaca di Stasiun Meteorologi sekitarnya dimana diambil satu Stasiun yang berjarak 15 km dari Stasiun Meteorologi Hasanuddin yakni Stasiun Meteorologi Maritim Potere. Adapun perbandingannya dapat terlihat pada tabel berikut.

    5.75.1

    3.84.2

    16 11 0 150

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    JANUARI MEI AGUSTUS OKTOBER

    RH

    (%

    )

    TP

    W (

    cm)

    TPW

    Hari Hujan

    RH 850

    RH 700

  • 7

    Tabel 3 Data aktual yang terjadi di Stasiun Meteorologi Kelas I Hasanuddin dan Stasiun Meteorologi Maritim Potere tahun 2011

    BULAN

    JUMLAH

    (HASANUDDIN)

    JUMLAH

    (POTERE)

    Cb

    HH 00-12

    UTC

    Cb

    HH 00-12

    UTC

    JANUARI 12 16 16 20

    MEI 10 11 15 8

    AGUSTUS 0 0 1 0

    OKTOBER 10 15 14 13

    Dari Tabel 3 dapat terlihat bahwa pertumbuhan awan Cb lebih banyak teramati disekitar Stasiun Meteorologi Maritim Poter dibandingkan di Stasiun Meteorologi Hasanuddin. Namun walaupun demikian, jumlah kejadian tersebut tidak terlalu signifikan perbedaannya, dimana tidak lebih dari 5 kali perbedaan kejadiannya. Ini menandakan bahwa pada umumnya kondisi udara di kota Makassar sama, sehingga data pengamatan Radio Sonde yang di amati di Stasiun Meteorologi Kelas 1 Hasanuddin dapat pula dijadikan acuan untuk prakiraan kondisi cuaca di Stasiun Meteorologi disekitarnya

    4. KESIMPULAN

    1. Kondisi udara bisa dikatan sangat tidak stabil pada umumnya terjadi pada musim penghujan dan di dua musim pancaroba. Namun sebaliknya pada musim kemarau kondisi udara pada umumnya sangat stabil.

    2. Pada periode pancaroba dari kemarau ke hujan kondisi udaranya pada umumnya tidak jauh beda dengan kondisi di periode pancaroba dari hujan ke kemarau.

    3. Jumlah ketinggian air mampu curah (TPW) di setiap musimnya sangat dipengaruhi oleh kondisi kelembaban yang terjadi. Semakin lembab kondisi udaranya maka jumlah air mampu curah akan semakin besar.

    4. Tidak selamanya udara dalam kondisi tidak stabil dapat membentuk awan Cb dimana ada beberapa faktor lain yang harus diperhatikan, namun awan Cb hanya bisa terbentuk pada udara dengan kondisi tidak stabil.

    5. Pada bulan-bulan di musim penghujan, awan Cb pada umumnya terbentuk bukan karena aktifitas konveksi namun lebih di akibatkan oleh aktifitas konvergensi ataupun gangguan cuaca lainnya.

    6. Jika saran memungkinkan, sebaiknya mencoba menganalisa kondisi stabilitas udara pada saat terjadi aktivitas atau gangguan dalam skala yang luas seprti El-Nino dan La-Nina, Dipole Mode, MJO dan sebagainya.

    7. Sebaiknya juga mencoba mencari nilai indeks CAPE dan LI untuk wilayah Indonesia.

  • 8

    ACUAN

    Ahrens C. D. 2007. Meteorology Today : An Introduction to Weather, Climate, and the Environment. Eight ed. Canada :Thomson Brooks/Cole

    Holton, J. R., 1992: An Introduction to Dynamic Meteorology, 3rd edition, Academic Press Juaeni, Ina. 1988. Air Terkandung dan Hubungannya dengan Titik Embun Permukaan,

    Awan dan Hujan. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA ITB. Bandung.

    Lutgens, F and Tarbuck, E. 2009. The Atmosphere An Introduction To Meteorology, 8th edition. Pearson Education.

    Petty, G 2008. A First Course in Atmospheric Thermodynamics, Sundog Publishing. Prawirowardoyo, S. 1996. Meteorologi. Bandung : Institut Teknologi Bandung Tjasyono, B.H.K. 2004. Klimatologi. Bandung : Institut Teknologi Bandung. Viswanadham, Y. 1981. The Relationship Between Total Precipitable Water and Surface

    Dew Poin. Jour.of App Met. Vol. 20 No.1. p:5-12 Zakir A, Widada S, dan Khotimah M. 2009 : Perspektif Operasional Cuaca Tropis. Badan

    Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.