KomunikasiBisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi

6
Komunikasi Bisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi NinaW.Syam lmplikasi dari perdagangan bebas (baca:persaingan global) adalah bahwa Indonesia tidak lagi sekadar 'jago kandang ". Bebas dan terbukanya pasar. berarti timbal balik. Pasar Indonesia terbuka, dan terbuka pula bagi pasar negara lain. Dibukanya pasar negara lain tanpa macam- macam hambatan, yang diskriminatifmaupun nontarif itulah yang dapat dan mesti kita manfaatkan. Hal ini berarti bahwa ekonomi Indonesia harus menghasilkan produk barang dan jasa yang mampu bersaing karena mutu, harga, dan pelayanan. Di samping itu, tentu saja memiliki kemampuan memasarkannya secara global. Lewat survey yang dilakukan Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional (MITI) Jepang, disimpulkan bahwa sebagian kegagalan hubungan bisnis antara pebisnis asing dengan orang Jepang, disebabkan tidak dipahaminya karakteristik kepribadian dan budaya komunikasi bisnis masyarakat Jepang. Dari kenyataan di atas, maka jelas pemahaman dan penerapan pengetahuan komunikasi bisnis antarbudaya dalam interaksi bisnis internasional menjadi begitu diperlukan. Persaingan dagang global bukan semata-mata persaingan mutu produk dan jasa, melainkan juga persaingan takiik dan pemasaran. Kesanggupan kita untuk bersaing dalam gelanggang perdagangan bebas dunia, mensyaratkan kepekaan dan pemahaman terhadap perbedaan budaya bisnis yang ada. Tiap budaya harus diperlakukan sebagaimana adanya, bukan sebagaimana dimaui. Di sinilah pentingnyaperanan komunikasi bisnis antarbudaya, karena komunikasi antarbudaya mengajarkan dan menganggap setiap budaya sebagai entitas yang sederajat dan harus dipahami secara empatik. Pendahuluan Dalam dasawarsatahun 1990 -an, duniatengah memasuki periode kemakmuran ekonomi. Tiada faktor tunggal di balik faktor boom ekonomi. Demikian papar John Naisbitt dalam Megatrend 2000, mengawali pembicaraannya mengenai "Boom EkonomiGlobal." Globalisasi telah menjadi konsep fenomenal dalam diskursus pemikiran dewasa ini. Istilah ini mampu menyelinap ke dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk bidang ekonomi dan bisnis. Kekuatan-kekuatan ekonomi dunia melanda, melintasi batas negara, menghasilkan demokrasi yang lebih besar, kebebasan yang lebih besar perdagangan yang lebih besar, peluang, dan tantangan yang lebih besar, dan kemakmuran yang lebih besar pula. Oleh karenanya, dalam era globalisasi, interaksi antarnegara akan semakin dipengaruhi oleh faktor ekonomi ketimbang politik. Malah, secara lebih tajam, Masaki Itagaki dan Hisane Masaki (1989) menyebutkan bahwa dalam globalisasi ekonomi negara diseret dalam perang dagang (trade war). Era hegemoni politik, karenanya, menjadi tersisih. Bila masa lampau ketakutan berbagai negara terpaku pada konfrontasi politik/ideologi antara blok Barat vs Timur, maka setelah runtuhnya Uni Soviet, ketakutan berbagai negara, khususnya Amerika Serikat, terarah kepada ekspansi dagang Jepang. Dalam pandangan Kenichi Ohmae (konsultan pembangunan/pakar manajemen Jepang), globalisasi dipersepsi sebagai dunia tanpa batas, mengubah pola nasionalisme ekonomi berakar kuat berabad-abad (yang mengkotak-kotakan pasar) Nina W. Syam. Komunikasi Bisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi 41

Transcript of KomunikasiBisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi

Page 1: KomunikasiBisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi

Komunikasi Bisnis Antarbudayadalam Era Globalisasi

NinaW.Syam

lmplikasi dari perdagangan bebas (baca:persaingan global) adalah bahwa Indonesia tidak lagisekadar 'jago kandang ". Bebas dan terbukanya pasar. berarti timbal balik. Pasar Indonesia

terbuka, dan terbuka pula bagi pasar negara lain. Dibukanya pasar negara lain tanpa macam­macam hambatan, yang diskriminatifmaupun nontarif itulah yang dapat dan mesti kita

manfaatkan. Hal ini berarti bahwa ekonomi Indonesia harus menghasilkan produk barang danjasa yang mampu bersaing karena mutu, harga, dan pelayanan. Di samping itu, tentu saja

memiliki kemampuan memasarkannya secara global. Lewat survey yang dilakukanKementerian Perdagangan dan Industri Internasional (MITI) Jepang, disimpulkan bahwa

sebagian kegagalan hubungan bisnis antara pebisnis asing dengan orang Jepang, disebabkantidak dipahaminya karakteristik kepribadian dan budaya komunikasi bisnis masyarakatJepang. Dari kenyataan di atas, maka jelas pemahaman dan penerapan pengetahuan

komunikasi bisnis antarbudaya dalam interaksi bisnis internasional menjadi begitu diperlukan.Persaingan dagang global bukan semata-mata persaingan mutu produk dan jasa, melainkanjuga persaingan takiik dan pemasaran. Kesanggupan kita untuk bersaing dalam gelanggang

perdagangan bebas dunia, mensyaratkan kepekaan dan pemahaman terhadap perbedaanbudaya bisnis yang ada. Tiap budaya harus diperlakukan sebagaimana adanya, bukan

sebagaimana dimaui. Di sinilah pentingnya peranan komunikasi bisnis antarbudaya, karenakomunikasi antarbudaya mengajarkan dan menganggap setiap budaya sebagai entitas yang

sederajat dan harus dipahami secara empatik.

Pendahuluan

Dalamdasawarsatahun 1990-an,duniatengahmemasuki periode kemakmuran ekonomi. Tiadafaktor tunggal di balik faktor boom ekonomi.Demikian papar John Naisbitt dalam Megatrend2000, mengawali pembicaraannya mengenai"Boom EkonomiGlobal."

Globalisasi telah menjadi konsep fenomenaldalam diskursus pemikiran dewasa ini. Istilah inimampu menyelinap ke dalam berbagai aspekkehidupan, termasuk bidang ekonomi dan bisnis.Kekuatan-kekuatan ekonomi dunia melanda,melintasi batas negara, menghasilkan demokrasiyang lebih besar, kebebasan yang lebih besarperdagangan yang lebih besar, peluang, dantantangan yang lebih besar, dan kemakmuran yanglebih besar pula.

Oleh karenanya, dalam era globalisasi,

interaksi antarnegara akan semakin dipengaruhioleh faktor ekonomi ketimbang politik. Malah,secara lebih tajam, Masaki Itagaki dan HisaneMasaki (1989) menyebutkan bahwa dalamglobalisasi ekonomi negara diseret dalam perangdagang (trade war). Era hegemoni politik,karenanya, menjadi tersisih. Bila masa lampauketakutan berbagai negara terpaku padakonfrontasi politik/ideologi antara blok Barat vsTimur, maka setelah runtuhnya Uni Soviet,ketakutan berbagai negara, khususnya AmerikaSerikat, terarah kepada ekspansi dagang Jepang.

Dalam pandangan Kenichi Ohmae (konsultanpembangunan/pakar manajemen Jepang),globalisasi dipersepsi sebagai dunia tanpa batas,mengubahpola nasionalismeekonomi berakarkuatberabad-abad (yang mengkotak-kotakan pasar)

NinaW. Syam. Komunikasi Bisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi 41

Page 2: KomunikasiBisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi

menjadi globalisasi ekonomi (yang bebas danterbuka). Pada pola ini diasumsikankesalingtergantungan antamegara semakin nyatadan menguat. Akibatnya, hubungan dagang tidaklagi mengenal batas-batas geografis dankedaulatan negara. Dunia menjadi pasar terbukayang sepenuhnya menyerahkan kendall padadinamika dan kekuatan pasar.

Ekonomi global tidak dapat dianggap sekadarperdagangan yang semakin besar di antara 160negara. Ekonomi global hams dipandang sebagaidunia yang bergerak dari perdagangan antamegarake ekonomi tunggal. Satu Ekonomi - Satu Pasar.Ini merupakan tingkat alamiah berikutnya dalamsejarah ekonomiperadaban. Di dalam ekonomi glo­bal, pertimbangan ekonomi hampir selalu melebihipertimbangan politis.

Pemusatan ekonomi pada kekuatan pasar,tentu saja membawa implikasi kompetisi; bahkanhiperkompetisi. Persaingan menjadi dinamis. Takada perusahaan yang akan unggul secaraberkelanjutan. Pada era ini, berbagai produkindustri yang masuk pasar global dipatok denganstandar intemasional. Standardisasi seperti inimembuat setiap produk menjadi bersaing, karenaitu mampu berkompetisi dalam gelangganginternasional Kita tidak cukup hanyamengandalkan produk yang kompetitif, harga yangbersaing, iklan dan promosi yang menggebu-gebu,kemampuan memetakan kebutuhan potensikonsumen, menghindari pemborosan/kebocoran,dan melakukan kebijakan-kebijakan deregulasisemata, tetapi kita juga dituntut untuk memilikikeahlian dalam mengamati karakteristik pasar, dankemampuan persuasi pemasaran/negosiasi bisnislewat ancangan komunikasi antarbudaya.

Persaingan Global

Sistem perdagangan bebas dunia akanterealisasi secara bertahap. Pertemuan puncakpemimpin Asean di Bangkok, beberapa waktu lalu,menyepakati untuk mempercepat perdaganganbebas Asean (AFTA) dari jadwal yang telahditentukan(taboo 2003). Hal ini merupakan Iangkahtepat. Kita mesti belajar bersaing dulu dengan

42

tetangga terdekat yang relatif sarnakemampuannya, sebelum kita masuk dalam kancahpersaingan mahaberat di wilayah Asia Pasifik(AFEC) danlingkungan dunia (GATIIWTO).

Mengapa kita mesti ambil bag ian dalampersaingan global tersebut? Trend globalisasiperdagangan dewasa ini telah menjadi arus besaryang tidak dapat dielakkan. Karenanya, cepat ataulambat dan mau tidak mau, kita akan terlibat didalamnya. Keikutsertaan Indonesia tersebutmerupakan langkah antisipatif yang strategis.Dalam kancah persaingan tersebut, kita dapatmenguji sejauh mana kemajuan, kemandirian, dandaya kompetitif bangsa kita dalam arenaintemasional. Lewat persaingan global, kitajugaakan mendapatkan umpan balik (feedback) berupakelemahan-kelemahan yang hams kita benahi.

Implikasi dari perdagangan bebas (baca:persaingan global) adalah bahwa Indonesia tidaklagi sekadar "jago kandang." Bebas danterbukanya pasar, berarti timbal balik. Pasar Indo­nesia terbuka, namun terbuka pula bagi pasarnegara lain. Dibukanya pasar negara lain tanpamacam-macam hambatan, yang diskriminatifmaupun nontarif, itulah yang dapat dan meski kitamanfaatkan. Hal ini berarti bahwa ekonomi Indo­nesia harus menghasilkan produk barang dan jasayang mampu bersaing karena mutu, harga, danpelayanan. Di samping itu, tentu saja memilikikemampuan memasarkannya secara global(Kompas, 17/11/1994).

Michael Porter, dalam Competitive Advantage(1985), menekankan pentingnya mutu dankemampuan lobby (komunikasi) dalam persainganglobal. Menurutnya, bangsa yang kompetitifadalah bangsa yang memiliki komitmen dan sikapkritis terhadap mutu, penguasaan teknologi,intensifikasi penelitian, dan pengembangan yangberorientasi pasar, serta keterampilan dalammelakukan pemasaran negosiasi bisnis yangmendunia,

Dengan demikian, berarti terdapat tiga aspekyang mesti dipacu dalam menghadapi persainganglobal, yakni aspek ekonomi, teknologi, dankomunikasi. Aspek ekonomi dan teknologi,tampaknya telah mendapat perhatian yang begitu

MEDIAToR, Vol. 1 .. No.1" 2000

Page 3: KomunikasiBisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi

besar.Lembaga-lembagayangmenanganinyapuntelah mapan dan berserakan. Sedangkan bidangkomunikasi, yang mencakup komunikasipemasaran, periklanan,negosiasi, publicrelations,dan komunikasibisnisantarbudaya,terlihat masihterpinggirkan. Padahal, untuk membentukpebisnis-pebisnis lintas budaya (internasional),kemampuan berkomunikasi mutlakdiperlukan.

Dalamkonstelasipersainganekonomiglobal,kemampuankita memasarkanbarang tidak cukuphanyamenghandalkan naluri''berjualan'',tapi perludibentuk budaya bisnis profesional yangmencakupkomitmenmutu, etos kerja, kompetisi,orientasi pasar, sikap kreatif dan inovatif, sertakemampuankomunikasibisnis antarbudaya.Jadi,bisnisglobal harus concern terhadap karakteristikdan perbedaan budaya.

PersektifKomunikasi Antarbudaya

Secaramencolok, tampakbahwapersaingandan antisipasi menghadapi perdagangan bebasdunialebihdidominasi olehancanganekonomidanteknologi. Seolah-olah keberhasilan menembuspasar dunia dan memenangkan persainganperdaganganglobal dapat dilakukansemata-rnataoleh kedua aspek tersebut. Padahal, sebagaimanadiungkapJohn W. Gold (1989),pakarkomunikasibisnis University ofSouthern California, sebagianbesar kemampuan penetrasi pasar luar negeri(internasional) oleh negara-negara majudipengaruhi secara signifikan oleh pemahamanpebisnis mereka terhadap budaya komunikasibisnismasyarakatsasaran(baca:mitrabisnis).danitu tentu saja mensyaratkan kemampuanberkomunikasi (communication skills), khususnyaketerampilankomunikasibisnis antarbudaya.

Banyak pakar komunikasi dan pemasaranyang sependapat dengan Gold. Takashi Inoue,dalam Cross Cultural Communication.' A Japa­nese Viewpoint (1989), juga menekankanpentingnyapemahamanantarbudayadalam bisnisyang berorientasi ekspor. Setelah melakukanberbagai evaluasi, Inoue berkesimpulan bahwabanyak kegagalan bisnis yang diderita pebisnisAmerika (dan Eropa) - ketika berbisnis dengan

orang Jepang - dikarenakan mereka terlalumemaksakan "cara" Amerika. Mereka tidakberusaha untuk memahami karakteristik danbudaya komunikasi bisnis masyarakat Jepang.

Kebanyakan pebisnis asing yang datang keJepang, tanpa pengetahuan tentang karakteristikbangsa Jepang, gaya manajemen, dan modelpemasaran khas Jepang, diakibatkan ketiadaanpemahaman ini. Sebagai contoh kecil, pernahterjadi seorang pengusaha wan ita Amerikamengeluh karena pembicaraan bisnisnya yangpertamaterasa sia-sia. Selamapembicaraanbisnistersebut, calon mitra Jepangnya lebih banyakberdiam diri, Selama dua puluh menit berlalu,pengusaha wanita Amerika itu lebih banyakmengambil inisiatifbicara, itupunhanyamembahasmasalahcuaca, makanan,dan pembicaraanremehlainnya. Anehnya, pembicaraan seperti itu justruyang ditanggapi oleh calon mitra bisnis Jepangtersebut. Sedangkan pembicaraan "pokoknya"sendiridibiarkan mengambang.Pengusahawanitatersebut berkesimpulanbahwa mitra bisnisnya itutidak menyukai rencana bisnis yang diajukan.Masalahsebenarnyatidaklahsesederhanaitu.Bagiorang Jepang, kontak pertama dengan calon mitrabisnis, biasanya, didahului dengan pembicaraanringan. Pembicaraan seperti itu diperlukan untukmembangun kenyamanan dan kesiapan berbicarasecara serius, Pembicaraan ringan tersebutmerupakanpenjajakanawaluntukmengetahuidanmenilai, apakah calon mitra bisnisnya itu cocokdan bersahabat,ataumalahsebaliknya. Ritualkecilseperti inimerupakanbagiandari gayakomunikasikhas Jepang.

Lewat survey yang dilakukan KementerianPerdagangan dan Industri Internasional (MITI)Jepang, juga disimpulkan bahwa sebagiankegagalan hubungan bisnis antara pebisnis asingdengan orang Jepang, disebabkan tidakdipahaminyakarakteristikkepribadiandan budayakomunikasibisnis masyarakat Jepang.

Lalu, apa aspek-aspek budaya komunikasibisnis yang perlu dipahami tersebut? Christopher(1989), memaparkan secara lebih rinci, meliputipemilihan kata, komunikasi nonverbal, suara(paralinguistik), gerak tubuh (gestura!), gerakdan

Nina W. Syam. Komunikasi Bisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi 43

Page 4: KomunikasiBisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi

posisi tubuh (postural), kontak mata, sentuhan,pakaian, airmuka ifasia/), waktu, c1anjarak bicara(prolrsemik).

Dari pelbagai kenyataan di atas, maka jelaspemahaman dan penerapan pengetahuankomunikasi bisnis antarbudaya dalam interaksibisnis intemasional menjadi begitu diperlukan.Persaingan dagang global bukan semata-matapersaingan mutu produk c1anjasa, melainkanjugapersaingan taktik dan strategi pemasaran. Dalamkontekspasarglobal- yangsangatberagamsecarakultural, tentu aspek keadaban/sopan santun (po­liteness) dalamberkomunikasibisnis antarbudayaperlu dicermatidan dipahamisebaik-baiknya. Bilahal ini diabaikan, maka bukan mustahil parapebisnis kita akan menjadi pincang dan gamang­karena tidak dipahaminya etika dan etiket ­berinteraksi bisnis dengan pengusahamancanegara. Karena itu, setiap pebisnis harusmelek budaya (cultural literacy) dan berorientasipada wawasan global (outlook world). Di sini,ungkapan think globally, act locally (berpikir glo­bal dan bertindak sesuai dengan karakteristikbudaya Mitrabisnis), menjadi begitu pas.

Liberalisasiperdagangan, memangbertujuanmembebaskan hambatan-hambatan nyata dalamperdagangan dan investasi. Khususnya, yangberkaitan dengan tarif clan nontarif. Tapi, di luaritu, masih ada hambatan lain yang tidak kentara,yaitu hambatan budaya. Untuk mengatasi hal ini,maka mempelajari komunikasi antarbudaya danmencari informasi tentang karakteristik budayacalon Mitrabisniskita mutlakdiperlukan.

Ada sementara anggapan yang beredarbahwa globalisasi (perdagangan) akanmenyeragamkan masyarakat budaya, di manamunculmanusia-manusia yangtercerabutdariakarnegaranya (stateless) dan akar budayanya (splitpersonality). Anggapaniniditampik JohnNaisbitt(1989), Toffler (1989), Kumabara(1987), dan Ohmae(1990).Toffiermenyebutkan bahwaparaleldenganglobalisasibudaya(barat), terjadi diversifikasidansegmentasikultur/subkultur,yang mengarah padapenguatan identitas hakiki suatu komunitas.

Jadi jelas, aspek budaya tidak dapatdikesampingkan begitu saja. Para pebisnis

44

intemasional/pengelola ekonomi, mestimemperhitungkan hal ini bila ingin tampil danunggul dalam persaingan global. Kemampuanmemahami perbedaan budaya merupakan elemenpeneguh yang akan memperkuat daya saing clanbargaining dalam pemasaran/negosiasi bisnisintemasional.

Walhasil, persiapan memasuki perdaganganbebas, mesti dilakukan secara menyeluruh(holistik). Tidaksemata-matadarisegiekonomidanteknologi (parsial), tetapi juga mencakup aspekbudaya. Dengan kata lain, komitmen liberalisasiperdagangan, mestidisertaikomitmenpemahamandan penerapan pengetahuan komunikasi bisnisantarbudaya. Dengan begitu, diharapkan parapebisniskitadapatefektifbekeJjadalamlingkunganlintas budaya.

Jepang sebagai Model

Jepangmemiliki sumberdayaalamyangsangatterbatas. Kemiskinan sumber alam ini, membuatJepang lebih banyak menggantungkan hidupnyapada aktivitas ekspor-impor. Karenanya, tidakmengherankanbila intemasionalisasiperdaganganJepang sudah teJjadi jauh sebelum Perang DuniaKedua.

Kekalahan pada Perang Dunia Kedua,membuat struktur dan fasilitas industri Jepanghancur. Tapi, dalam kurun waktu sepuluh taboo,Jepangtelah dapat membangunnyakembalisecaralebih modem. Pada kurun waktu 1955-1964,lompatan ekonomi Jepang terjadi, sehinggaintensitas penetrasi pasar kian diarahkan keberbagai penjuru dunia.

Pengintemasionalan produk Jepang, sebagaigerakannasional,dengansendirinyameningkatkankontak antara bangsa Jepang dengan berbagaibangs a asing. Dengan demikian, dibutuhkanbanyak informasi untuk mengidentifikasi danmengefektifkan komunikasi pemasaran Jepang.Dalam kaitan ini, pemerintah Jepang, melaluiKementrian Perdagangan dan. IndustriIntemasional (MITI), menyusun kebijaksanaanindustri Jepang dengan memperhitungkankecenderungan-kecenderungan yang ada. Di

MEDIAToR, Vol. I • No.1 • 2000

Page 5: KomunikasiBisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi

antaranya, karakteristik negara konsumen,permintaan konsumen, pembaruan teknologi,strategi pemasaran, hingga budaya "komunikasibisnis" negara konsumen. Pemerintah, kemudian,menggalang kerjasama dengan industri-industrispesifik untuk menunjang terjadinya suatutanggapan yang lancar terhadap perubahan yangdiperkirakan (Pedoman Saku, 1985). Begitupemerintah menetapkankebijaksanaan industrinyasecara menyeluruh, pemerintah mengambillangkah-Iangkah untuk mengarahkan sektorswasta ke arah pencapaian sasarannya denganberfungsi sebagai information clearing house(bursa informasi)yang mensuplai data kepada parapebisnis/sektor swasta.

Peranpemerintah, dan keJjasamamerekadalamsektor swasta, membuat akselarasi perdaganganJepang meningkat hebat. Bila pada paruh pertamatahun I980-an Jepang masih digolongkan sebagainegara dagang terbesar ketiga (setelah AS danJerman), maka di penghujung dasawarsa 1980-anJepang muncul sebagai kekuatan yang seimbangdengan Amerika Serikat. Bahkan, pada beberapasektor industri, di antaranya mobil, baja, dansepeda motor, Jepang telah mengungguli Amerika.

Apa rahasia sukses Jepang tersebut? Salahsatu jawabannya adalah bahwa Jepang temyataunggul dalam informasi perdaganganinternasional. Bahkan, Tokyo disebut-sebutsebagai ibukota "informasi dagang" dunia karenabegitu lengkapnya dan melimpahnya informasiperdagangan, mulai dari produk-produk yangdibutuhkan konsumen globaillokal, pola-polabudaya bisnis berbagai komunitas, hingga strategipemasarannya sekaligus.

Berbagai universitas di Jepang, juga turutdimanfaatkan untuk pengelolaan informasi bisnis,terutama yang berkaitan dengan aspekkebudayaan. Universitas Tokyo, misalnya, sangatterkenal dengan kajian Amerikanya, UniversitasKyoto dengan spesialisasi wilayah Pasifik,demikian pula dengan universitas-universitaslainnya.

Di samping itu, karena begitu pentingnya artiinformasi, Jepang mencarinya hingga ke seluruhpelosok dunia. Para pengumpul informasi

disebarkan ke berbagai penjuru dunia (baik orangJepang atau nonJepang) untuk memahami secaramendalam karakteristik negara konsumen yangmenjadi sasaran. Sebagian dari mereka sengajadididik untuk menjadi spesialis budaya negara­negara tertentu yang potensial bagi pemasaranproduk-produk industri Jepang. Di antara mereka,ada yang ahli dalam adat istiadat dan pola-polabisnis Timur-Tengah, Kawasan Asia Tenggara,Cina, Rusia, dan Amerika Serikat. Ribuan oranglainnya sibuk melakukan lobi-lobi denganpengambil keputusan di negara-negara konsumen.Di kongres AS, misalnya, diketahui bertebaranribuan pelobi Jepang. Tugas mereka tidak hanyamempengaruhi kongres agar membuat kebijakan­kebijakan yang dapat mempermudah danmenguntungkan bisnis Jepang, tapi juga untukkepentingan intemasional lainnya. Jadi, usahapemasaran Jepang,jugamelibatkan aktivitas "lobi­lobi" antarbudaya di tingkat elit.

Penerjemahan buku-buku dari berbagainegara (maju dan berkembang), terutama yangberkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan, secaratidak langsungjuga memudahkan pebisnis Jepangdalam memahami berbagai karakteristik pasar diberbagai penjuru dunia. Dengan demikian,kegiatanmengumpulkaninformasimenjadi gerakankolektifpengusaha dan pemerintah Jepang.

Banyaknya informasi, membuat pemerintahdan pebisnis/pelobi Jepang pandai meraba tanda­tanda zaman, mengantisipasi kecenderungan pasar,peka terhadap kebutuhan dan kepentingankonsumen, serta mampu memahami karakteristikdan perbedaan budaya yang ada. Semua itu,menj adi landasan yang baik bagi pemasaranproduk-produk Jepang dan hubungan bisnis antaraJepang dengan negara-negara konsumen (mitrabisnis).

Penutup

Pembentukan pasar bersama, baik regionalmaupun intemasional, membuka ruang peJjumpaanantarbudaya. Karena itu, hubungan bisnis globalpada esensinya adalah interaksi bisnisantarbudaya. Kesanggupan kita untuk bersaing

Nina W. Syam. Komunikasi Bisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi 4S

Page 6: KomunikasiBisnis Antarbudaya dalam Era Globalisasi

dalam gelanggang perdagangan bebas dunia,mensyaratkan kepekaan dan pemahaman terhadapperbedaan budaya bisnis yang ada. Setiap budayaharus diperlakukan sebagaimana adanya, bukansebagaimana dimaui. Di sinilah pentingnyaperanankomunikasi bisnis antarbudaya, karena komunikasiantarbudaya mengajarkan dan menganggap setiapbudaya sebagai entitas yang sederajat dan harusdipahami secara empatik. Kita harus melakukanhubungan dalam kapasitas I Thou Relationshipdan bukan It I relationship. Artinya, memandanghubungan dalam komunikasi antarbudaya,memandang partner komunikasi sebagai subjekyang terhormat dan bukan objek yang bisa mainseenaknya. Demikian pula pendekatan Quid quidrecipitur secundum modum recipientis, yaitusegala sesuatu diterima menurut karakteristik sipenerima, demikian menurut ungkapan Latin.•

Daftar Pus taka

Asante, M.K., Newark, E. & Blake, c., (ed.). 1979Handbook ofIntercultural Communication, Sage,BeverlyHills.

Boulding,K. 1965.The Image, Universityof MichiganPress, Ann Arbor.

Brooks, W.O., dan Emmert, P., 1976. InterpersonalCommunication, Wm. C. Brown Company Pub­lisher, IOWA.

Hymess Dell. 1973. "Toward Ethnographies of Com­munication",dalam M.N. Prosser (ed.), Intercom­munication among Nation and People, Harper &Row,New York.

Saral,T.B. 1979. Intercultural CommunicationTheoryand Research: An Overview, dalam B.D. Ruben(ed.), Communication Yearbook3, NewBrunswick,New Jersey.

Tyler, V. Lynn. 1978. "Intercultural CommunicationIndicators (A "Languetics Model"), dalam BrentO. Ruben, Communication Handbook 2, Transac­tion Books, N.J.

46

•••

MEDIAToR, Vol. 1 .. No.1 .. 2000