KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN...

35
KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN TERGANGGU DI GUNUNG PAPANDAYAN, GARUT, JAWA BARAT SINDI NURSIAMDINI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Transcript of KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN...

KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN

HUTAN TERGANGGU DI GUNUNG PAPANDAYAN,

GARUT, JAWA BARAT

SINDI NURSIAMDINI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komposisi Jenis dan

Struktur Tegakan Hutan Terganggu di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Sindi Nursiamdini

NIM E44090029

ABSTRAK

SINDI NURSIAMDINI. Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Terganggu

di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Dibimbing oleh DADAN

MULYANA.

Proses pertumbuhan masyarakat hutan hingga mencapai keseimbangan,

seringkali mendapatkan gangguan-gangguan yang dapat menimbulkan kerusakan.

Gunung Papandayan telah dikenal sejak zaman pemerintah kolonial Belanda

sebagai wilayah yang sangat kaya secara floristik. Penelitian mengenai komposisi

jenis dan struktur tegakan pada berbagai jenis kerusakan di lokasi hutan terganggu

belum pernah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji

komposisi jenis dan struktur tegakan hutan terganggu, baik oleh alam maupun

oleh manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman dan

kekayaan jenis pada lokasi hutan terganggu oleh manusia lebih tinggi daripada

lokasi hutan yang terganggu oleh alam. Selain itu, pola stratifikasi tajuk pada

hutan terganggu tidak ada yang mencapai stratum A (>30 meter), hanya berada

pada stratum B (20–30 meter) dan stratum C (4–20 meter). Stratifikasi tajuk pada

hutan terganggu tidak ada yang mencapai stratum A karena stratum A merupakan

ciri kondisi hutan yang sudah stabil.

Kata kunci: Gunung Papandayan, hutan terganggu, komposisi jenis, struktur

tegakan

ABSTRACT

SINDI NURSIAMDINI. Species Composition and Stand Structure of Disturbed

Forest in Papandayan Mountain, Garut, West Java. Supervised by DADAN

MULYANA.

Growth process of forest community to reach balanced condition often

undergoes disturbances which create destruction. Papandayan mountain has been

known since Dutch colonial government as an area with very rich floristic

composition. Research on species composition and stand structure of disturbed

forest has never been conducted in this area. The objective of this study is to learn

the species composition and stand structure of disturbed forest in Papandayan

mountain, whose forests are disturbed both by human and by natural process.

Research results show that biodiversity and species richness in sites disturbed by

human are higher than those disturbed by nature. Besides that, forest crown

stratification pattern in disturbed forest shows that there is no any forest crown

which reaches stratum A (>30 meter). They only reach stratum B (20–30 meter)

and stratum C (4–20 meter). Crown stratification in disturbed forest never reached

stratum A because stratum A constitutes the character of stable forest condition.

Key words: disturbed forest, Papandayan Mountain, species composition, stand

structure

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN

TERGANGGU DI CAGAR ALAM DAN TAMAN WISATA

ALAM GUNUNG PAPANDAYAN, JAWA BARAT

SINDI NURSIAMDINI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Judul Skripsi : Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Terganggu di

Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat

Nama : Sindi Nursiamdini

NIM : E44090029

Disetujui oleh

Dadan Mulyana, SHut MSi

Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

J udul Skripsi Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Terganggu di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat

Nama Sindi Nursiamdini NIM : E44090029

Disetujui oleh

Dadan Mulyana, SHut MSi Pembimbing

MS

Tanggal Lulus: r27 JAN 2014

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah

komposisi jenis dan struktur tegakan, dengan judul ―Komposisi Jenis dan Struktur

Tegakan Hutan Terganggu di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat‖.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dadan Mulyana, SHut MSi,

selaku pembimbing yang telah banyak memberi arahan, saran dan seluruh

bantuannya dalam penyelesaian skripsi. Selain itu, penghargaan penulis

sampaikan kepada pihak pengelola Resort Cagar Alam dan Taman Wisata Alam

(CA/TWA) Gunung Papandayan dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam

(BBKSDA) Jawa Barat yang telah membantu dan memfasilitasi kegiatan

penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Mang Ipin, A

Pian, A Arman, A Ejang, Ibu Dewi dan warga sekitar kawasan Gunung

Papandayan lainnya yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan.

Ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Teman-teman Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA), teman satu angkatan di

Silvikultur 46, teman-teman Kost Wisma Melati, Ignatius Handoko P, serta

sahabat penulis Nurhamidah, Tintin Gigih W, Vera Linda P, Annisa Rohmatin,

Deasy Putri P, dan Nidya Nanda H atas bantuan dan semangat yang diberikan

dalam penyusunan skripsi. Semua pihak yang telah membantu dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. .

Bogor, Februari 2014

Sindi Nursiamdini

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Alat dan Bahan 2

Prosedur Penelitian 2

Prosedur Analisis Data 4

KONDISI UMUM GUNUNG PAPANDAYAN 1

Luas dan Letak 1

Biotik dan Abiotik 6

HASIL 6

Komposisi Jenis 6

Dominansi Jenis 8

Keanekaragaman Jenis 8

Struktur Tegakan 9

PEMBAHASAN 10

Komposisi Jenis 10

Dominansi Jenis 12

Keanekaragaman Jenis 12

Struktur Tegakan 13

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 17

RIWAYAT HIDUP 24

DAFTAR TABEL

1 Jumlah jenis yang ditemukan pada setiap tingkat pertumbuhan di

lokasi penelitian 6 2 Jenis-jenis tumbuhan dominan dan kodominan pada setiap tingkat

pertumbuhan di lokasi penelitian 7 3 Nilai indeks dominansi jenis (C) pada setiap tingkat pertumbuhan di

lokasi penelitian 8 4 Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada setiap tingkat

pertumbuhan di lokasi penelitian 8 5 Nilai indeks kekayaan jenis (R) pada setiap tingkat pertumbuhan di

lokasi penelitian 9 6 Nilai indeks kemerataan (E) pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi

penelitian 9

DAFTAR GAMBAR

1 Bentuk petak pengamatan vegetasi 3 2 Desain unit contoh stratifikasi tajuk 4 3 Kerapatan pohon berdasarkan kelas diameter pohon di lokasi

penelitian 10 4 Sebaran jumlah individu pohon berdiameter > 10 cm berdasarkan

kelas tinggi kanopi di lokasi penelitian 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Gunung

Papandayan. 17

2 Jenis tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian 18 3 Diagram profil stratifikasi tajuk hutan di lokasi penelitian 20

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon dan

mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan

(Soerianegara dan Indrawan 1988). Secara ekologis terbentuknya masyarakat

suatu hutan adalah berangsur-angsur melalui pergantian vegetasi dan habitatnya.

Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang dinamik dan berubah hingga

mencapai keadaan stabil. Proses pertumbuhan masyarakat hutan hingga hingga

mencapai keseimbangan seringkali mendapatkan gangguan. Bahkan masayarakat

hutan yang stabil pun sering terusik oleh beberapa macam gangguan. Gangguan-

gangguan yang terjadi ini dapat menimbulkan kerusakan pada hutan (Rahayu

2006).

Ada dua faktor yang menyebabkan keseimbangan hutan dapat terganggu

dan kerusakan hutan dapat terjadi, yaitu faktor alami dan buatan atau akibat

aktivitas manusia. Tumbuhnya suatu jenis pohon di dalam suatu masyarakat hutan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor klimatis, edafis, fisiologis dan

faktor biotis. Terjadinya perubahan pada faktor-faktor tersebut akan membawa

pengaruh terhadap keadaan struktur maupun komposisi tumbuhan (Ekawati 2000).

Gunung Papandayan telah dikenal sejak zaman pemerintah kolonial Belanda

sebagai wilayah yang sangat kaya secara floristik (van Steenis 1972 dalam

Sulistyawati et al. 2005). Penelitian terkait keragaman flora maupun ekologi di

Gunung Papandayan pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, akan tetapi

penelitian mengenai komposisi jenis dan struktur tegakan di lokasi hutan

terganggu belum pernah dilakukan.

Menurut BBKSDA (2011), kegiatan perambahan hutan yang terjadi di

Cagar Alam Gunung Papandayan mencapai luasan 755 ha. Mengingat besarnya

tekanan terhadap keutuhan Gunung Papandayan, penelitian ini perlu dilakukan

untuk mengetahui kondisi struktur tegakan dan komposisi jenis di lokasi yang

terganggu.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis membuat rumusan penelitian

sebagai berikut:

1. Jenis apa saja yang terdapat pada kawasan hutan terganggu (baik oleh alam

maupun oleh manusia) di Gunung Papandayan?

2. Apakah terdapat perbedaan komposisi jenis dan struktur tegakan antara hutan

terganggu oleh alam dengan hutan terganggu oleh manusia?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji komposisi jenis dan

struktur tegakan hutan terganggu, baik oleh alam maupun oleh manusia di

Gunung Papandayan.

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai

kondisi vegetasi pada hutan yang terganggu. Selain itu juga dapat digunakan

sebagai data dasar dalam pengelolaan atau pelestarian kawasan Gunung

Papandayan, baik pada kawasan Cagar Alam maupun Taman Wisata Alam.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi penjelasan mengenai komposisi jenis dan

struktur tegakan pada hutan terganggu, baik oleh alam maupun oleh manusia.

Analisa komposisi jenis dan struktur tegakan dilakukan dengan menggunakan

perhitungan analisis vegetasi untuk mengetahui indeks nilai penting (INP), indeks

dominansi (C), indeks keanekaragaman jenis (H’), indeks kekayaan jenis (R), dan

indeks kemerataan jenis (E). Diagram profil tajuk digunakan untuk mengetahui

kondisi stratifikasi tajuk di lokasi penelitian.

METODE

Waktu dan Tempat

Pengambilan data penelitian dilakukan selama bulan April – Mei 2013 di

Gunung Papandayan, yang terdiri dari beberapa lokasi:

1. Hutan rusak karena letusan tahun 2002.

2. Hutan rusak karena perambahan untuk lahan pertanian.

3. Hutan rusak karena penebangan liar.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peta kerja (peta kawasan),

GPS, tambang plastik, tali rafia, kompas, meteran, phiband, haga-hypsometer,

termometer, patok, tally sheet, peralatan herbarium (alkohol 70%, gunting, kertas,

tali label, plastik besar, kertas koran, sasak, oven), alat tulis, kamera, buku

identifikasi jenis dan software SexI-FS untuk penggambaran diagram profil tajuk.

Objek penelitian ini yaitu tegakan hutan terganggu di Gunung Papandayan.

Prosedur Penelitian

Penentuan Lokasi Pengamatan

Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode

purposive sampling, yaitu pada lokasi hutan terganggu. Lokasi pengamatan

meliputi lokasi yang terganggu oleh alam berupa lokasi pasca letusan tahun 2002

dan lokasi yang terganggu oleh manusia berupa perambahan dan penebangan liar.

3

Pembuatan Petak Pengamatan

Petak pengamatan dibuat dengan menggunakan metode gabungan antara

metode jalur dengan metode garis berpetak dengan panjang jalur 100 m dan lebar

jalur 20 m pada masing-masing titik pengamatan. Pengambilan petak contoh dari

jalur tersebut dibagi-bagi ke dalam petak-petak pengamatan yang lebih kecil

(nested sampling) dengan ukuran sebagai berikut :

a. 2 m x 2 m (4 m2 atau 0.0004 ha) untuk pengamatan tingkat semai.

b. 5 m x 5 m (25 m2 atau 0.0025 ha) untuk pengamatan tingkat pancang.

c. 10 m x 10 m (100 m2 atau 0.0100 ha) untuk pengamatan tingkat tiang.

d. 20 m x 20 m (400 m2 atau 0.0400 ha) untuk pengamatan tingkat pohon.

Keterangan :

a = 2 m x 2 m

b = 5 m x 5 m

c = 10 m x 10 m

d = 20 m x 20 m

Gambar 1 Bentuk petak pengamatan vegetasi

Untuk menentukan tingkat permudaan pertumbuhan, digunakan kriteria

sebagai berikut :

a. Semai (seedling), yaitu permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1.50 m.

b. Pancang (sapling), yaitu permudaan yang tingginya ≥ 1.50 m sampai pohon

muda yang berdiameter ≤ 10 cm.

c. Tiang (pole), yaitu pohon muda yang berdiameter 10 – 20 cm.

d. Pohon dewasa (tree), yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm.

Pembuatan Petak Stratifikasi Tajuk

Pembuatan petak stratifikasi tajuk dilakukan dengan menggunakan metode

diagram profil tajuk dengan petak ukur 20 m x 60 m yang diambil dari setengah

bagian dari sisi rintisan, pada petak pengamatan yang sekiranya dapat mewakili

(Gambar 2). Lebar jalur dianggap sebagai sumbu x dan panjang jalur sebagai

sumbu y.

Data-data yang diperlukan untuk stratifikasi tajuk ialah:

1. Posisi pohon dalam jalur (koordinat x dan y), yang diukur dari arah yang sama

secara berurutan dan jarak awal pengukuran ke pohon.

2. Tinggi total dan tinggi bebas cabang.

3. Proyeksi dari tajuk ke tanah (lebar tajuk tiap pohon).

4. Diameter setinggi dada (130 cm) atau diameter 20 cm di atas banir bila pohon

berbanir.

5. Penggambaran diagram profil tajuk menggunakan software SexI-FS.

20 m 20 m

20 m

c

d

Jalur rintis

b

a

a

d

b

c

4

Keterangan: O = posisi pohon dalam jalur; 1,2, 3, ..., n = nomor pohon

Gambar 2 Desain unit contoh stratifikasi tajuk

Prosedur Analisis Data

Analisis data yang digunakan untuk mengetahui gambaran tentang

komposisi jenis dan struktur tegakan hutan adalah perhitungan analisis vegetasi.

Adapun Pengolahan data hasil analisis vegetasi meliputi:

Indeks Nilai Penting (INP)

Nilai indeks nilai penting (INP) digunakan untuk mengetahui komposisi

jenis suatu tegakan. Perhitungan nilai indeks nilai penting didapat dari:

Kerapatan (K) Jumlah individu

Luas petak contoh

Kerapatan elatif (K ) Kerapatan suatu jenis

Kerapatan seluruh jenis 100

rekuensi ( ) Jumlah petak ditemukan suatu jenis

Jumlah seluruh petak

rekuensi elatif ( ) rekuensi suatu jenis

rekuensi seluruh jenis 100

ominansi ( ) Jumlah luas bidang dasar suatu jenis

Luas petak contoh

ominansi elatif ( ) ominansi suatu jenis

ominansi seluruh jenis 100

INP = KR + FR + DR (untuk tingkat pohon dan tiang)

INP = KR + FR (untuk tingkat pancang dan semai)

Indeks Dominansi (C)

Nilai indeks dominansi menggambarkan pola dominansi jenis dalam suatu

tegakan. Nilai indeks yang tertinggi adalah 1, yang menunjukan bahwa tegakan

tersebut dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis. Jika beberapa jenis

mendominasi secara bersama-sama maka indeks dominansi akan mendekati nol

atau rendah.

Perhitungan indeks dominansi jenis menggunakan rumus sebagai berikut

(Misra 1980):

20 m

20 m

1

2

n

3

azimuth

∑ (ni )

n

i

dimana: C = indeks dominansi

ni = INP jenis i

N = total INP

Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)

Menurut Shannon-Wiener, bila nilai keanekaragaman jenis semakin

mendekati nilai 3.5, maka tingkat keanekaragaman jenisnya semakin besar.

Sudarisman (2002) menyebutkan bahwa makin tinggi nilai indeks

keanekaragaman makin banyak pula jenis yang ditemukan.

Terdapat tiga kriteria untuk nilai indeks keanekaragaman jenis, yaitu buruk

jika nilai H’ < 1, sedang jika nilai H’ 1–2 dan baik jika nilai H’ > 2.

Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shanon

Index of General Diversity (Misra 1980):

H –∑ (ni ) ln (ni )

n

i

dimana, H’ = Shanon Index of General Diversity

(indeks keanekaragaman)

ni = INP jenis i

N = Total INP

Indeks Kekayaan Jenis (R)

Perhitungan indeks kekayaan jenis menggunakan rumus Margallef (Ludwig

dan Reynold 1988), yaitu :

( 1)

ln ( )

dimana; R = Indeks kekayaan

S = Jumlah jenis yang ditemukan

N = Jumlah total individu

Terdapat tiga kriteria untuk nilai indeks kekayaan jenis, yaitu rendah jika

nilai R < 3.5, sedang jika nilai R = 3.5 – 5.0 dan tinggi jika nilai R1 > 5.0

(Magurran 1988).

Indeks Kemerataan Jenis (E)

Rumus indeks kemerataan jenis yang secara umum paling banyak

digunakan oleh para ekologis (Ludwig dan Reynold 1988), yaitu:

H

ln ( ) dimana; E = Indeks kemerataan jenis

H’ = Indeks keanekaragaman jenis

S = Jumlah jenis

Terdapat tiga kriteria untuk nilai indeks kemerataan jenis, yaitu rendah jika

nilai E < 0.3, sedang jika nilai R = 0.3–0.6 dan tinggi jika nilai R1 > 0.6

(Magurran 1988).

KONDISI UMUM GUNUNG PAPANDAYAN

Luas dan Letak

Kawasan Cagar Alam (CA) Papandayan dan Taman Wisata Alam (TWA)

Gunung Papandayan ditetapkan sebagai kawasan konservasi CA/TWA Gunung

Papandayan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 226 / Kpts – II / 1990

tgl. 8 Mei 1990 seluas 7032 ha, terdiri dari CA seluas 6807 ha, TWA seluas 225

ha. Letak geografis CA TWA Papandayan berada pada 7º30’ Lintang elatan dan

5

6

107º31’ – 180º Bujur Timur. Secara administrasi pemerintahan, kawasan ini

terletak pada Kecamatan Cikahuripan Kabupaten Garut (BBKSDA 2004). Peta

lokasi kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Papandayan disajikan pada

Lampiran 1.

Biotik dan Abiotik

Hutan Gunung Papandayan termasuk hutan hujan pegunungan dengan tipe

asosiasi Laura-Fagaceae yang didominasi oleh suku Lauraceae. Adapun flora

yang umum ditemukan yaitu suagi (Vaccinium varingifolium), edelweis

(Anaphalis javanica), puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis argentea),

ki hujan (Engelhardia spicata), jamuju (Podocarpus imbricatus), pasang

(Quercus sp) dan manglid (Manglieta glauca) (BBKSDA 2004).

Kondisi topografi kawasan Gunung Papandayan berbukit dan bergelombang

dengan kemiringan 10–20% dan ketinggian antara 1250–2608 m dpl (BBKSDA

2004). Secara geologi, Gunung Papandayan mempunyai jenis batuan yang terdiri

dari batuan vulkanik, pigosol, andosol, dan batuan intermediet gelombang

bergunung dengan ketebalan solum 30–60 cm dengan tingkat kesuburan tanahnya

baik (subur) (Rahayu 2006).

Kawasan Gunung Papandayan mempunyai tipe iklim B, data curah hujan

tahunan menunjukkan 2077 mm/tahun, curah hujan bulanan berkisar antara 54–

276 mm/bulan, evaporasi 76–85 mm/bulan dan kelembaban relatif 77.2%. Suhu

daerah Gunung Papandayan berkisar antara 14–22 oC. Pola suhu di keempat

wilayah kajian adalah sama meskipun kisaran suhunya cukup lebar yaitu 80 oC.

Suhu tertinggi di keempat wilayah tersebut terjadi pada bulan Mei dan November,

sedangkan suhu rendah terjadi pada bulan Juli/Agustus (BBKSDA 2004).

HASIL

Komposisi Jenis

Jumlah Jenis

Hasil analisis vegetasi menunjukkan jumlah jenis yang berbeda-beda pada

setiap lokasi kerusakan dan masing-masing tingkat pertumbuhan (Tabel 1).

Tabel 1 Jumlah jenis yang ditemukan pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi

penelitian

Jenis kerusakan Jumlah individu

Semai Pancang Tiang Pohon

Letusan 11 15 12 9

Perambahan 25 40 27 30

Penebangan 21 35 34 32

Tabel 1 menunjukkan bahwa lokasi hutan rusak karena letusan tahun 2002

mempunyai jumlah jenis yang paling sedikit pada semua tingkat pertumbuhan bila

dibandingkan dengan lokasi hutan rusak karena perambahan dan penebangan.

Jumlah jenis tertinggi untuk tingkatan semai dan pancang pada lokasi hutan rusak

karena perambahan. Jumlah jenis tertinggi untuk tingkatan tiang dan pohon pada

7

lokasi hutan rusak karena penebangan. Adapun beberapa jenis pohon yang

ditemukan pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

Jenis Dominan

Hasil analisis vegetasi menunjukkan jenis dominan dan kodominan pada

setiap lokasi kerusakan dan tingkat pertumbuhan berbeda-beda (Tabel 2).

Tabel 2 Jenis-jenis tumbuhan dominan dan kodominan pada setiap tingkat

pertumbuhan di lokasi penelitian

Jenis dominan dan kodominan Famili K

(ind/ha) F

D

(m2/ha)

INP

(%)

Letusan

Semai

Helicia serrata Proteaceae 4038 0.54 52.01

Wormia excelsa Dilleniaceae 2692 0.42 37.60

Pancang

Helicia serrata Proteaceae 1138 0.58 46.46

Distylium stellare Hamamelidaceae 446 0.42 24.16

Tiang

Vaccinium varingifolium Ericaceae 81 0.27 0.43 73.86

Distylium stellare Hamamelidaceae 10 0.19 0.58 47.89

Pohon

Distylium stellare Hamamelidaceae 10 0.19 0.59 93.70

Wormia excelsa Dilleniaceae 7 0.19 0.24 60.79

Perambahan

Semai

Schima wallichii Theaceae 1437 0.23 27.32

Eugenia operculata Myrtaceae 937 0.20 20.86

Pancang

Schima wallichii Theaceae 1030 0.68 39.37

Eugenia operculata Myrtaceae 590 0.48 24.67

Tiang

Schima wallichii Theaceae 63 0.29 1.04 67.80

Castanopsis javanica Fagaceae 29 0.14 0.58 34.28

Pohon

Castanopsis javanica Fagaceae 34 0.39 2.92 63.34

Schima wallichii Theaceae 15 0.46 1.19 37.56

Penebangan

Semai

Eugenia operculata Myrtaceae 1454 0.25 52.35

Distylium stellare Hamamelidaceae 1136 0.20 41.01

Pancang

Eugenia operculata Myrtaceae 749 0.49 42.38

Distylium stellare Hamamelidaceae 283 0.25 18.24

Tiang

Distylium stellare Hamamelidaceae 67 0.40 1.18 58.31

Eugenia operculata Myrtaceae 44 0.29 0.76 39.13

Pohon

Distylium stellare Hamamelidaceae 68 0.65 6.97 74.32

Engelhardia spicata Fagaceae 23 0.53 7.05 50.47

8

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa jenis dominan di tiga jenis lokasi

kerusakan sangat bervariasi. Jenis dominan pada lokasi hutan rusak karena letusan

yaitu kendung (H. serrata) pada tingkat semai dan pancang, suwagi (V.

varingifolium) pada tingkat tiang, dan angrit (D. stellare) pada tingkat pohon.

Jenis kodominan pada lokasi tersebut yaitu segel (W. excelsa) pada tingkat semai

dan pohon, dan angrit (D. stellare) pada tingkat pancang dan tiang.

Jenis dominan pada lokasi hutan rusak karena perambahan yaitu puspa (S.

wallichii) pada tingkat semai, pancang, dan tiang, dan hiur (C. javanica) pada

tingkat pohon. Jenis kodominan pada lokasi tersebut yaitu ki salam (E.

operculata) pada tingkat semai dan pancang, hiur pada tingkat tiang, dan puspa (S.

wallichii) pada tingkat pohon.

Jenis dominan pada lokasi hutan rusak karena penebangan yaitu ki salam (E.

operculata) pada tingkat semai dan pancang, dan angrit (D. stellare) pada tingkat

tiang dan pohon. Jenis kodominan pada lokasi tersebut yaitu angrit (D. stellare)

pada tingkat semai dan pancang, dan ki salam (E. operculata) pada tingkat tiang

dan pohon.

Dominansi Jenis

Dominansi jenis di lokasi penelitian dapat dilihat dari hasil perhitungan nilai

indeks dominansi vegetasi pada setiap tingkat pertumbuhan (Tabel 3).

Tabel 3 Nilai indeks dominansi jenis (C) di lokasi penelitian

Jenis kerusakan Nilai indeks dominansi

Semai Pancang Tiang Pohon

Letusan (2002) 0.16 0.12 0.15 0.19

Perambahan 0.07 0.08 0.09 0.10

Penebangan 0.13 0.08 0.08 0.12

Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak ada nilai indeks dominansi yang sama

dengan atau mendekati satu, dengan demikian dapat dikatakan bahwa indeks

dominansi vegetasi di lokasi penelitian tergolong rendah, dengan proporsi yang

hampir sama. Hal ini mengindikasikan bahwa dominansi jenis di lokasi penelitian

tersebar pada banyak jenis.

Keanekaragaman Jenis

Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)

Besarnya nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada setiap tingkat

pertumbuhan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada setiap tingkat pertumbuhan

di lokasi penelitian

Jenis kerusakan ilai indeks keanekaragaman (H’)

Semai Pancang Tiang Pohon

Letusan (2002) 2.02 2.34 2.08 1.88

Perambahan 2.89 3.03 2.80 2.68

Penebangan 2.49 2.93 3.01 2.58

9

Tabel 4 menunjukkan bahwa hampir semua tingkat pertumbuhan pada

setiap lokasi kerusakan, nilai indeks keanekaragaman jenisnya tergolong tinggi.

Kecuali untuk tingkat pohon pada lokasi hutan rusak karena letusan, nilai indeks

keanekaragamannya tergolong sedang.

Indeks Kekayaan Jenis (R)

Besarnya nilai indeks kekayaan jenis (R) pada setiap tingkat pertumbuhan di

lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai indeks kekayaan jenis (R) di lokasi penelitian

Jenis kerusakan Nilai indeks kekayaan jenis (R)

Semai Pancang Tiang Pohon

Letusan (2002) 1.98 2.52 2.03 2.33

Perambahan 4.73 6.39 5.64 5.39

Penebangan 4.19 5.71 6.34 5.03

Tabel 5 menunjukkan bahwa semua tingkat pertumbuhan pada lokasi hutan

rusak karena letusan, nilai indeks kekayaan jenisnya tergolong rendah. Pada lokasi

hutan rusak karena perambahan untuk jenis semai nilai indeks kekayaan jenisnya

tergolong sedang, sementara untuk tingkat pancang, tiang dan pohon kekayaan

jenisnya tergolong tinggi. Pada lokasi hutan rusak karena penebangan, untuk jenis

semai nilai indeks kekayaan jenisnya tergolong sedang, sementara untuk tingkat

pancang, tiang dan pohon kekayaan jenisnya tergolong tinggi.

Indeks Kemerataan Jenis (E)

Besarnya nilai indeks kemerataan individu per jenis pada setiap tingkat

pertumbuhan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai indeks kemerataan jenis (E) di lokasi penelitian

Jenis kerusakan Nilai indeks kemerataan jenis (E)

Semai Pancang Tiang Pohon

Letusan (2002) 0.85 0.87 0.84 0.86

Perambahan 0.89 0.82 0.85 0.79

Penebangan 0.82 0.82 0.88 0.75

Tabel 6 menunjukkan bahwa semua tingkat pertumbuhan pada setiap jenis

lokasi kerusakan, indeks kemerataannya tergolong tinggi, yang bermakna jumlah

individu per jenis tumbuhan pada semua tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian

cukup tinggi.

Struktur Tegakan

Struktur Horizontal

Menurut Kershaw (1964) dalam Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974),

struktur tegakan secara horizontal dapat dilihat dari hubungan antara kerapatan

dengan kelas diameter (Gambar 3). Gambar 3 menunjukkan bahwa kerapatan

jenis berdasarkan kelas diameter tertinggi berada pada lokasi hutan rusak karena

penebangan, sedangkan yang terendah berada pada lokasi hutan rusak karena

letusan.

10

Gambar 3 Kerapatan pohon berdasarkan kelas diameter pohon di lokasi penelitian.

— — Letusan, — — Perambahan, — — Penebangan.

Struktur Vertikal

Menurut Kershaw (1964) dalam Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974),

struktur tegakan secara vertikal ditunjukkan melalui stratifikasi tajuk tegakan.

Stratifikasi tajuk tegakan dapat dilihat dari sebaran jumlah individu pohon

berdasarkan kelas tinggi kanopi (Gambar 4).

Gambar 4 Sebaran jumlah individu pohon berdiameter > 10 cm berdasarkan kelas

tinggi kanopi di lokasi penelitian. — — Letusan, — — Perambahan,

— — Penebangan.

Gambar 4 menunjukkan bahwa sebagian besar populasi pohon pada lokasi

hutan rusak karena letusan dan perambahan terkonsentrasi pada kanopi dengan

kelas tinggi 4–10 m, sedangkan untuk lokasi hutan rusak karena penebangan

terkonsentrasi pada kanopi dengan kelas tinggi 11–20 m. Adapun ilustrasi

kenampakan morfologis profil tegakan pada secara rinci dapat dilihat pada

Lampiran 3.

PEMBAHASAN

Komposisi Jenis

Komposisi jenis menunjukkan keberadaan jenis-jenis pohon dalam hutan.

Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) memakai istilah komposisi untuk

menyatakan kekayaan floristik hutan. Komposisi jenis di lokasi penelitian dapat

dilihat dari jumlah jenis yang ditemukan dan jenis dominan di lokasi penelitian.

0

20

40

60

80

100

20-29 30-39 40-49 50-59 >60

K (

ind/h

a)

Diameter (cm)

0

50

100

150

200

250

4-10 11-20 21-30 >30

K (

ind/h

a)

Tinggi (m)

11

Jumpah jenis pada lokasi hutan rusak karena letusan tahun 2002 mempunyai nilai

yang paling sedikit pada semua tingkat pertumbuhan bila dibandingkan dengan

lokasi hutan rusak karena perambahan dan penebangan. Hal ini dikarenakan lokasi

hutan rusak karena letusan berada pada ketinggian di atas 2000 m dpl dan

merupakan lokasi yang relatif dekat dengan kawah. Daniel, et al. (1995)

menyatakan, semakin tinggi suatu hutan hujan pegunungan, maka fisiognomi

jenis-jenis dominan dan struktur vegetasinya akan berubah dan jumlah jenis yang

ditemukan akan semakin berkurang. Adapun lokasi hutan rusak karena

penebangan jumlah jenisnya relatif lebih banyak pada tingkatan tiang dan pohon

namun lebih sedikit pada tingkatan semai dan pancang bila dibandingkan dengan

lokasi hutan rusak karena penebangan. Hal ini dikarenakan lokasi hutan rusak

karena perambahan merupakan lokasi bekas lahan pertanian yang ditinggalkan,

dimana lokasi tersebut dikonversi menjadi ladang oleh masyarakat sekitar dengan

cara menebang tegakan hutan di kawasan tersebut, sehingga jumlah jenis pada

tingkatan tiang dan pohon lebih sedikit sedangkan jumlah jenis pada tingkatan

semai dan pancang lebih banyak karena masuknya beberapa jenis eksotik di lokasi

tersebut akibat penanaman masyarakat.

Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya indeks

niilai penting (INP), dimana jenis dengan nilai INP tertinggi merupakan jenis

yang dominan. Soerianegara dan Indrawan (1988) menyatakan, jenis dominan

merupakan jenis yang lebih berkuasa daripada jenis lainnya dalam persaingan

masyarakat hutan karena lebih adaptif terhadap kondisi lingkungannya. Secara

umum, tumbuhan dengan nilai INP tinggi mempunyai daya adaptasi, daya

kompetisi dan kemampuan reproduksi yang lebih baik dibandingkan dengan

tumbuhan lain dalam suatu areal tertentu. Jenis-jenis yang dominan tersebut

memiliki nilai kerapatan, frekuensi dan dominansi yang tinggi. Kerapatan jenis

yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini memiliki jumlah jenis yang paling

banyak ditemukan di lapangan dibandingkan jenis lainnya. Tingginya frekuensi

suatu jenis menunjukkan bahwa jenis ini tersebar merata hampir diseluruh petak

pengamatan. Sedangkan dominansi yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini

paling berkuasa di dalam komunitas terutama dalam penguasaan ruang tempat

tumbuh.

Jenis dominan di tiga jenis lokasi kerusakan sangat bervariasi. Pada lokasi

yang rusak karena letusan jenis dominannya adalah kendung (Helicia serrata)

pada tingkat semai dan pancang, suwagi (Vaccinium varingifolium) pada tingkat

tiang, dan angrit (Distylium stellare) pada tingkat pohon. Kemudian jenis

kodominannya adalah segel (Wormia excelsa) pada tingkat semai dan pohon, dan

angrit (Distylium stellare) pada tingkat pancang dan tiang. Jenis suwagi

(Vaccinium varingifolium), angrit (Distylium stellare) dan segel (Wormia excelsa)

dominan pada tingkat tiang dan pohon karena jenis-jenis ini merupakan jenis yang

mampu bertunas kembali setelah letusan pada tahun 2002. Sedangkan jenis

kendung (Helicia serrata), walaupun tidak mampu bertunas kembali, namun jenis

ini merupakan salah satu jenis pionir yang mampu bertahan hidup melalui

permudaan baru.

Pada lokasi yang rusak karena perambahan jenis dominannya adalah puspa

(Schima walichii) pada tingkat semai, pancang, dan tiang, dan hiur (Castanopsis

javanica) pada tingkat pohon. Kemudian jenis kodominannya adalah ki salam

(Eugenia operculata) pada tingkat semai dan pancang, hiur pada tingkat tiang, dan

12

puspa (Schima walichii) pada tingkat pohon. Jenis puspa (Schima walichii) dan

hiur (Castanopsis javanica) dominan karena lokasi ini merupakan bekas lokasi

pertanian yang ditinggalkan dan jenis-jenis tersebut merupakan jenis yang

ditanam oleh masyarakat pada lokasi ini.

Pada lokasi yang rusak karena penebangan jenis dominannya adalah ki

salam (Eugenia operculata) pada tingkat semai dan pancang, dan angrit

(Distylium stellare) pada tingkat tiang dan pohon. Kemudian jenis kodominannya

adalah angrit (Distylium stellare) pada tingkat semai dan pancang, dan ki salam

(Eugenia operculata) pada tingkat tiang dan pohon. Jenis angrit (Distylium

stellare), walaupun merupakan salah satu jenis yang menjadi sasara penebangan

liar merupakan jenis yang dominan pada tingkatan tiang dan pohon.

Dimungkinkan sebelum penebangan jenis angrit (Distylium stellare) merupakan

jenis dominan dengan INP yang lebih tinggi. Selain itu jenis ini merupakan

sasaran penebangan liar setelah jenis jamuju (Podocarpus neriifolius) dan jenis

manglid (Manglieta galuca) habis. Sedangkan jenis ki salam (Eugenia

operculata) merupakan jenis kodominan pada tingkatan tiang dan pohon

dikarenakan jenis ini bukan merupakan jenis yang menjadi sasaran penebangan

liar.

Dominansi Jenis

Pola dominansi jenis dalam suatu tegakan dapat dilihat dari nilai indeks

dominansi jenis. Indeks dominansi jenis di lokasi penelitian tergolong rendah

karena tidak ada nilai indeks dominansi yang sama dengan atau mendekati satu.

Hal ini mengindikasikan bahwa dominansi jenis pada lokasi penelitian tersebar

pada banyak jenis, ini merupakan cerminan hutan tropika walaupun lokasi

penelitian dilakukan pada lokasi hutan yang terganggu.

Keanekaragaman Jenis

Kebutuhan tumbuhan akan keadaan lingkungan yang khusus dan

lingkungan yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain mengakibatkan

keragaman jenis tumbuhan berkembang menurut perbedaan waktu dan tempat

(Sitompul dan Guritno 1995). Pada penelitian ini ditekankan untuk melihat

perbedaan jenis tumbuhan yang berkembang menurut jenis kerusakan lokasi

penelitian.

Nilai indeks keanekaragaman jenis untuk semua tingkat pertumbuhan pada

keseluruhan jenis lokasi kerusakan tergolong tinggi, karena nilai H’ lebih besar

dari 2. Namun terkecuali pada tingkat pohon di lokasi hutan rusak karena letusan,

keanekaragaman jenisnya tergolong sedang karena nilai H’ berkisar antara 1 dan

2. Menurut Shannon-Wiener, nilai H’ umumnya berada pada kisaran antara 1.0–

3.5. Indeks keanekaragaman jenis pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi hutan

rusak karena perambahan memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan

lokasi yang lainnya dan hampir mendekati angka 3. Hal ini dikarenakan jenis

vegetasi di lokasi tersebut sudah tercampur dengan jenis-jenis yang ditanam oleh

masyarakat karena lokasi tersebut merupakan bekas lahan pertanian yang

ditinggalkan. Lokasi hutan rusak karena letusan memiliki nilai indeks

13

keanekaragaman yang paling rendah. Hal ini dikarenakan jenis vegetasi yang

tumbuh pada lokasi tersebut masih alami dan masih dalam proses suksesi akibat

letusan Gunung Papandayan pada tahun 2002. Menurut Indrawan (1985), nilai

keanekaragaman jenis meningkat pada lokasi bekas pemanenan kayu dan

menurun pada hutan primer, hal ini berarti bahwa lokasi hutan yang terganggu

karena manusia memiliki nilai keanekaragaman jenis yang lebih tinggi

dibandingkan dengan hutan primer.

Odum (1971) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis cenderung lebih

tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah di dalam komunitas yang

baru terbentuk, akan tetapi faktor penyebab gangguan dapat mempengaruhi nilai

keanekaragaman jenis. Tingginya nilai keanekaragaman jenis pada lokasi hutan

yang terganggu dimungkinkan karena masuknya spesies eksotik pada areal yang

terbuka. Menurut Meijaard et al. (2006), masuknya flora eksotis dari luar daerah

ke dalam hutan dapat menghambat bahkan terjadinya penurunan yang sangat

tajam pada regenerasi jenis-jenis pohon hutan alam disertai terjadinya peningkatan

jumlah belukar eksotis, rumput-rumputan, dan tanaman merambat yang biasa

hidup di habitat terbuka di lokasi hutan rusak.

Indeks keanekaragaman jenis ditentukan oleh dua hal, yaitu kekayaan jenis

dan kemerataan jenis, sehingga nilainya pun berbanding lurus dengan nilai indeks

keanekaeragaman jenis. Indeks kekayaan jenis menunjukan kekayaan jenis suatu

komunitas, dimana besarnya indeks kekayaan ini dipengaruhi oleh banyaknya

spesies vegetasi. Indeks kemerataan jenis menunjukkan pola penyebaran vegetasi

pada suatu areal, semakin besar nilai indeks kemerataan maka komposisi

penyebaran jenisnya semakin merata (Mueller-Dumbois dan Ellenberg 1974).

Nilai indeks kekayaan jenis pada semua tingkat pertumbuhan di lokasi hutan

rusak karena letusan, tergolong rendah, sedangkan pada lokasi hutan rusak karena

perambahan untuk jenis semai nilai indeks kekayaan jenisnya tergolong sedang,

sementara untuk tingkat pancang, tiang dan pohon kekayaan jenisnya tergolong

tinggi. Demikian halnya pada lokasi hutan rusak karena penebangan, untuk jenis

semai nilai indeks kekayaan jenisnya tergolong sedang, sementara untuk tingkat

pancang, tiang dan pohon kekayaan jenisnya tergolong tinggi. Nilai indeks

kemerataannya semua tingkat pertumbuhan pada setiap jenis lokasi kerusakan

tergolong tinggi, yang bermakna jumlah individu per jenis tumbuhan pada semua

tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian cukup tinggi.

Struktur Tegakan

Struktur tegakan dapat dibedakan menjadi struktur horizontal dan struktur

vertikal. Struktur tegakan hutan secara horizontal dapat dilihat dari hubungan

antara kerapatan dengan kelas diameter. Struktur tegakan hutan secara vertikal

ditunjukkan melalui stratifikasi tajuk tegakan (Mueller-Dumbois dan Ellenberg

1974).

Struktur tegakan pohon secara horizontal di lokasi penelitian dapat dilihat

dari grafik yang menghubungkan antara kerapatan dengan kelas diameter pohon.

Nilai kerapatan berdasarkan kelas diameter tertinggi berada pada lokasi hutan

rusak karena penebangan, sedangkan yang terendah berada pada lokasi hutan

rusak karena letusan. Hal ini dikarenakan pada lokasi hutan rusak karena

14

penebangan, kondisi vegetasi merupakan hutan alam yang kemudian mengalami

gangguan manusia berupa penebangan liar, sehingga kondisi vegetasinya relatif

lebih banyak daripada lokasi yang lainnya sehingga lokasi ini memiliki nilai

kerapatan jenis tertinggi. Selain itu, lokasi hutan rusak karena letusan pada awal

terjadinya kerusakan, kondisi vegetasi musnah dan menjadi areal terbuka sehingga

kelas diameter pohon pada lokasi tersebut berada pada kisaran kelas diameter

kecil. Pada lokasi hutan rusak karena perambahan, karena merupakan bekas lokasi

pertanian yang ditinggalkan, walaupun kerapatannya lebih rendah daripada lokasi

hutan rusak karena penebangan, namun nilai kerapatannya lebih tinggi daripada

lokasi hutan rusak akibat letusan. Hal ini dikarenakan pada lokasi hutan rusak

akibat perambahan sudah tercampur dengan jenis-jenis yang ditanam oleh

masyarakat.

Struktur tegakan vertikal, berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh

yang dipandu oleh besarnya energi dari cahaya matahari, ketersediaan air tanah

dan hara mineral bagi pertumbuhan individu komponen masyarakat tersebut.

Suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi persaingan antara individu-individu dari

satu jenis atau berbagai jenis. Jika mereka mempunyai kebutuhan yang sama

dalam hal hara, mineral, tanah, air, cahaya dan ruangan. Sebagai akibat adanya

persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih mengusai atau

dominan dari yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tajuk tumbuhan di dalam

hutan (Soerianegara dan Indrawan 1988).

Pada lokasi penelitian tidak ada pohon yang mencapai stratum A. Keadaan

ini disebabkan karena dibutuhkan waktu yang cukup lama dan persaingan yang

cukup tinggi, baik dari segi nutrisi, air, tanah, maupun dalam memperoleh cahaya

untuk mencapai stratum A, sehingga hanya pohon yang berumur tua dari jenis

pohon klimaks saja. yang mampu mencapai stratum A. Penelitian dilakukan di

lokasi hutan terganggu sedangkan stratum A merupakan ciri kondisi hutan yang

sudah stabil, sehingga di lokasi hutan hutan rusak karena letusan, perambahan dan

penebangan tidak ditemukan pohon yang menempati stratum A.

Stratifikasi tajuk pada lokasi hutan rusak karena letusan hanya berada pada

stratum C dan terkonsentrasi pada kanopi dengan kelas tinggi 4–10 m, hal ini

dikarenakan pada awal terjadinya kerusakan di lokasi ini, kondisi vegetasi musnah

dan menjadi areal terbuka. Pada lokasi hutan rusak karena perambahan,

stratifikasi tajuk berada pada stratum B dan C namun masih terkonsentrasi pada

stratum C dengan kelas tinggi 4–10 m. Sama halnya pada lokasi hutan rusak

karena letusan, pada awal terjadinya kerusakan di lokasi ini, kondisi vegetasi

musnah dan menjadi areal terbuka sedangkan vegetasi yang menempati stratum B

diduga merupakan vegetasi yang tidak ditebang oleh masyarakat. Sedangkan

untuk lokasi hutan rusak karena penebangan, stratifikasi tajuk berada pada stratum

B dan C. Stratifikasi tajuk pada lokasi ini masih terkonsentrasi pada stratum C,

namun konsentrasi populasi pohon berada pada kanopi dengan kelas tinggi 11–20

m. Selain itu, lokasi hutan rusak karena penebangan memiliki nilai kerapatan

tertinggi dibandingkan dengan lokasi hutan rusak karena letusan dan penebangan.

Hal ini dikarenakan lokasi hutan rusak karena penebangan merupakan hutan utuh

yang kemudian mengalami gangguan manusia berupa penebangan liar, sehingga

kondisi vegetasinya tidak habis seperti pada lokasi hutan rusak karena letusan dan

perambahan.

15

Menurut Indrawan (2000), terbukanya tajuk pohon akan mengakibatkan

terjadinya perubahan faktor lingkungan seperti suhu udara, penguapan,

kelembaban dan intensitas cahaya matahari pada ekosistem hutan tersebut.

Sehingga stratifikasi tajuk sangat mempengaruhi pertumbuhan vegetasi di setiap

lokasi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pada lokasi hutan rusak karena letusan, jenis dominan pada tingkat

pertumbuhan pancang, tiang dan pohon merupakan jenis-jenis yang mampu

bertunas kembali, sedangkan pada tingkat pertumbuhan semai merupakan jenis-

jenis yang bertahan hidup melalui permudaan baru. Pada lokasi hutan rusak

karena perambahan komposisi jenis bercampur dengan jenis yang ditanam oleh

manusia, sehingga jenis dominan pun berubah. Pada lokasi hutan rusak karena

penebangan, jenis dominan merupakan jenis yang bukan menjadi sasaran utama

penebangan liar.

Gangguan hutan merupakan faktor khusus pada setiap lokasi, dimana

keanekaragaman pada lokasi yang terganggu oleh manusia lebih tinggi daripada

lokasi yang tergganggu oleh alam. Struktur horizontal tegakan dapat dilihat dari

hubungan antara kerapatan dengan kelas diameter tegakan. Kerapatan tertinggi

untuk tingkat semai berada pada lokasi hutan rusak karena letusan, untuk tingkat

pancang berada pada lokasi hutan rusak karena perambahan, sedangkan untuk

tingkat tiang dan pohon kerapatan tertinggi berada pada lokasi hutan rusak karena

penebangan. Pola pelapisan tajuk di CA/TWA Papandayan di semua jenis lokasi

kerusakan tidak ada pohon yang mencapai stratum A (>30 meter), dan hanya

menempati dua strata, yaitu stratum B (tinggi pohon antara 20–30 meter) dan

stratum C (tinggi pohon antara 4–20 meter).

Saran

Diperlukan kegiatan rehabilitasi kawasan agar lokasi-lokasi yang terganggu

bisa kembali menjadi formasi hutan yang sesuai dengan fungsinya. Pihak

pengelola perlu memberikan penambahan intensitas pengawasan CA/TWA

Gunung Papandayan agar kegiatan perlindungan kawasan dapat mendukung

kegiatan rehabilitasi kawasan. Selain itu, diperlukan penelitian mengenai Invasive

Alien Spesies pada lokasi hutan yang terganggu sebagai acuan informasi agar jenis

yang digunakan pada kegiatan rehabilitasi kawasan merupakan spesies lokal/asli

di Gunung Papandayan.

16

DAFTAR PUSTAKA

[BBKSDA] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. 2004. Buku

III Rencana Pengelolaan Cagar Alam Gunung Papandayan 2005-2030.

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Bandung

(ID): BBKSDA

[BBKSDA] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. 2011.

Laporan Tahunan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat

tahun 2011. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Bandung (ID): BBKSDA

Ekawati BIMD. 2000. Pola Umum Gangguan Hutan di Taman Nasional Gunung

Gede Pangrango [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Indrawan A. 1985. Suksesi Sekunder Hutan Hujan Dataran Rendah di Pulau Laut,

Kalimantan Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah

Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor

(ID): Institut Pertanian Bogor.

Koneri R, Solihin DD, Buchori D, Tarumingkeng R. 2007. Struktur dan

Komposisi Pohon Pada Berbagai Tingkat Gangguan Hutan di Gunung

Salak, Jawa Barat. Eugenia, Media Publikasi Ilmu Pertanian. Manado (ID):

Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi. hlm 434-446.

Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistikal Ecologi A Primer on Methods and

Computing. (USA) : John Wiley & Sons Inc.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London (GB):

Croom Helm Ltd.

Meijaard E, Sheil E, Nasi R, Augeri D, Rosenbaum B, Iskandar D, Setyawati T,

Lammertink M, Rachmatika I, Wong A, et al. 2006. Hutan Pasca

Pemanenan, Melindungi Satwa Liar dalam Kegiatan Hutan Produksi di

Kalimantan. Jakarta (ID): Subur Printing. hlm 53-54.

Misra KC. 1980. Manual of Plant Ecology. New Delhi (IN): Oxford and IBH

Publishing Co.

Mueller-Dumbois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation of

Ecology. New York (US): Willey and Sons Inc.

Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelpia (US): WB Saunders.

Rahayu W. 2006. Suksesi Vegetasi di Gunung Papandayan Pasca Letusan Tahun

2002. [skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Soerianegara I, Indrawan A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): IPB Pr.

Sudarisman. 2002. Permudaan Alam dan Tegakan Tinggal Di Hutan Rawa

Gambut Bekas Tebangan (Studi Kasus di BKPH Duri, Kabupaten Bengkalis

Riau) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sulistyawati E, Rosleine D, Sungkar RM, Gumita. 2005. Struktur Komunitas dan

Keanekaragaman Tumbuhan di Gunung Papandayan. Seminar Penggalang

Taksonomi Tumbuhan Indonesia [Internet]; 2005 Nov 18-19; Universitas

Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia. Bandung (ID): Institut

Teknologi Bandung. [diunduh 2013 Jul 31]. Tersedia pada:

http://www.sith.itb.ac.id/profile/databuendah/Publications/13.%20Sulistyaw

ati_PTTI2005.pdf

17

LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Gunung

Papandayan.

Sumber: BBKSDA 2013

18

Lampiran 2 Jenis tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili

1 Alpukat Persea americana Lauraceae

2 Angrit Distylium stellare Hamamelidaceae

3 Bantinu Melochia umbellata Sterculiaceae

4 Baros Magnolia blumei Magnoliaceae

5 Beunjing Ficus fistulosa Moraceae

6 Cerem Macropanax dispermum Araliaceae

7 Eukaliptus Eucalyptus sp. Myrtaceae

8 Hamerang Ficus fulva Moraceae

9 Hamirung Vernonia arborea Asteraceae

10 Haruman Albizia lovata Fabaceae

11 Hiur Castanopsis javanica Fagaceae

12 Huru batu Litsea glutinosa Lauraceae

13 Huru bodas Ficus padana Moraceae

14 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora Lauraceae

15 Huru cabe Buchanania arborescens Vitaceae

16 Huru hejo Lindera polyantha Lauraceae

17 Huru hu'ut Litsea monopetala Lauraceae

18 Huru jambe Litsea sp. Lauraceae

19 Huru jeruk Litsea amara Lauraceae

20 Huru koneng Litsea angulata Lauraceae

21 Huru le'eur Persea exselca Lauraceae

22 Huru mangkrang Litsea sp. Lauraceae

23 Huru minyak Neolitsea javanica Lauraceae

24 Huru pi’it Euginia occlusa Myrtaceae

25 Huru sintok Cinnamomum sintoc Lauraceae

26 Huru sintok leutik Cinnamomum sp. Lauraceae

27 Jajaway Ficus retusa Moraceae

28 Jamuju Podocarpus koordersii Podocarpaceae

29 Kali morot Castanopsis tungurrut Fagaceae

30 Kareumbi Homalanthus populneus Euphorbiaceae

31 Kendung Helicia serrata Proteaceae

32 Kendung buah Helicia javanica Proteaceae

33 Ki ajag Ardisia crispa Myrsinaceae

34 Ki amis Cinnamomum burmanni Lauraceae

35 Ki amis gede Cinnamomum zeylanicum Lauraceae

36 Ki asahan Rhodoleia championi Hamamelidaceae

37 Ki badak Acer laurinum Sapindaceae

38 Ki banen Crypteronia peniculata Crypteroniaceae

39 Ki harendong Astronia spectabilis Melastomaceae

40 Ki honje Pittosphorum ramiflorum Pittosphoraceae

41 Ki hujan Engelhardia spicata Fagaceae

42 Ki jeruk Acronychia pendunculata Rutaceae

43 Ki lemo Litsea cubeba Lauraceae

44 Ki pare Glochidion obscurum Euphorbiaceae

45 Ki putri Podocarpus neriifolius Podocarpaceae

46 Ki salam Euginia operculata Myrtaceae

47 Ki sapu Eurya acuminata Theaceae

48 Ki se'eur Antidesma tentandrum Euphorbiaceae

49 Ki sereh Cinnamomum porrectum Lauraceae

50 Ki sireum Syzygium clavimirtus Myrtaceae

19

Lampiran 2 Jenis tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili

51 Ki tambaga Syzygium microcymum Myrtaceae

52 Ki teke Myrica javanica Myricaceae

53 Kokopian Morinda tomentosa Rubiaceae

54 Kuray Trema orientalis Ulmaceae

55 Mala Altingia excelsa Hamamelidaceae

56 Manglid Manglieta glauca Magnoliaceae

57 Mareme Glochidion cyrtos Euphorbiaceae

58 Pasang beunyeur Quercus sp. Fagaceae

59 Pasang beureum Quercus lineata Fagaceae

60 Pasang gebod Lithocarpusinditus Fagaceae

61 Peutat Barringtonia insignis Lecythidaceae

62 Puspa Schima wallichii Theaceae

63 Puspa beureum Schima sp. Theaceae

64 Ramo gencel Schefflera aromatica Araliaceae

65 Ramo giling Schefflera lucescens Araliaceae

66 Segel Wormia excelsa Dilleniaceae

67 Sulibra Cinchona succirubra Rubiaceae

68 Surian Azadirachta excelsa Meliaceae

69 Suwagi Vaccinium varingifolium Ericaceae

70 Walen Ficus ribes Moraceae

20

Lampiran 3 Diagram profil stratifikasi tajuk hutan di lokasi penelitian

1. Pola stratifikasi tajuk pada lokasi hutan rusak karena letusan

Keterangan :

1. Helicia serrata

2. Helicia serrata

3. Wormia excelsa

4. Eurya acuminata

5. Wormia excelsa

6. Eurya acuminata

7. Neolitsea javanica

8. Helicia javanica

9. Distylium stellare

10. Podocarpus neriifolius

11. Litsea amara

12. Helicia serrata

13. Eurya acuminata

14. Eurya acuminata

15. Podocarpus koordersii

16. Distylium stellare

17. Eurya acuminata

18. Cinnamomum sintoc

19. Eurya acuminata

20. Distylium stellare

21. Wormia excelsa

22. Podocarpus koordersii

23. Distylium stellare

24. Wormia excelsa

25. Distylium stellare

1

2

4

3

6

5

7

9

8

10

11

12

13

15

14

16

17

19

18

25

24 23

20

22 21 10 m

30 m

21

Lampiran 3 Diagram profil stratifikasi tajuk hutan di lokasi penelitian

2. Pola stratifikasi tajuk pada lokasi hutan rusak karena perambahan

a. Lokasi bekas lahan pertanian yang ditinggalkan (blok Waternimen)

Keterangan: 1. Castanopsis tungurrut

2. Syzygium microcymum

3. Euginia operculata

4. Engelhardia spicata

5. Schefflera lucescens

6. Quercus sp.

7. Engelhardia spicata

8. Euginia operculata

9. Macropanax dispermum

10. Macropanax dispermum

11. Engelhardia spicata

12. Helicia serrata

13. Macropanax dispermum

14. Macropanax dispermum

15. Syzygium clavimirtus

16. Homalanthus populneus

17. Castanopsis tungurrut

18. Lithocarpus inditus

19. Castanopsis tungurrut

20. Syzygium clavimirtus

21. Macropanax dispermum

22. Macropanax dispermum

23. Syzygium clavimirtus

24. Litsea amara

25. Distylium stellare

26. Schima wallichii

27. Macropanax dispermum

28. Schima wallichii

29. Quercus sp.

30. Quercus sp.

31. Distylium stellare

32. Lithocarpus inditus

33. Litsea amara

34. Litsea amara

35. Litsea amara

36. Ficus fistulosa

37. Manglieta glauca

38. Schima wallichii

39. Schima wallichii

40. Schima wallichii

41. Macropanax dispermum

42. Engelhardia spicata

43. Quercus lineata

44. Schefflera aromatica

45. Schima wallichii

46. Schima wallichii

47. Schima wallichii

48. Macropanax dispermum

49. Litsea angulata

50. Macropanax dispermum

51. Lindera polyantha

52. Helicia serrata

53. Macropanax dispermum

54. Euginia occlusa

55. Syzygium clavimirtus

56. Cinnamomum sintoc

57. Neolitsea javanica

58. Castanopsis tungurrut

59. Lithocarpus inditus

1

2

3

4

5

6

8

7 9

10 15

14

13

12

11 18

17

16 22

21

20

19

26

25

24

23

28

27

32

31

30

29

35

34

33

38

37

36

43

42

41

40

39

49

48 47

46

45

44 54

53

52

51

50 59

58

57

56

55 20 m

60 m

22

Lampiran 3 Diagram profil stratifikasi tajuk hutan di lokasi penelitian

2. Pola stratifikasi tajuk pada lokasi hutan rusak karena perambahan

b. Lokasi perambahan usia 1 minggu (blok Nangklak)

Keterangan: 1. Schima wallichii

2. Castanopsis javanica

3. Schefflera aromatica

4. Schefflera aromatica

5. Castanopsis javanica

6. Castanopsis javanica

7. Castanopsis javanica

8. Macropanax dispermum

1

2

3 4

5

6

8

7

20 m

60 m

23

Lampiran 3 Diagram profil stratifikasi tajuk hutan di lokasi penelitian

3. Pola stratifikasi tajuk pada lokasi hutan rusak karena penebangan

Keterangan:1. Macropanax dispermum

2. Litsea glutinosa

3. Litsea glutinosa

4. Distylium stellare

5. Syzygium clavimirtus

6. Euginia operculata

7. Litsea monopetala

8. Litsea monopetala

9. Cinnamomum sintoc

10. Euginia operculata

11. Distylium stellare

12. Astronia spectabilis

13. Astronia spectabilis

14. Macropanax dispermum

15. Distylium stellare

16. Cinnamomum sintoc

17. Euginia operculata

18. Quercus sp.

19. Macropanax dispermum

20. Syzygium clavimirtus

21. Syzygium clavimirtus

22. Distylium stellare

23. Distylium stellare

24. Cinnamomum sintoc

25. Macropanax dispermum

26. Cinnamomum sintoc

27. Distylium stellare

28. Macropanax dispermum

29. Macropanax dispermum

30. Cinnamomum sintoc

31. Litsea monopetala

32. Litsea cubeba

33. Euginia operculata

34. Litsea glutinosa

35. Homalanthus populneus

36. Syzygium clavimirtus

37. Homalanthus populneus

38. Astronia spectabilis

39. Litsea monopetala

40. Astronia spectabilis

41. Distylium stellare

42. Cinnamomum sintoc

43. Macropanax dispermum

44. Euginia operculata

45. Distylium stellare

46. Distylium stellare

1 2

4

7 3

5

6

8

9

10

16

15

14

13

12

11

18

17 21

20

19

24

23

22

28

27

26

25

32 31

30

29

34 33

35

39 38

37

36

46

45

44

40

41

42

43

20 m

60 m

24

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi, pada tanggal 9 April 1991 dari pasangan

Didi Suhandi dan Siti Mariam. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Jember pada

tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institur Pertanian Bogor

melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen

Silvikultur, Fakultas Kehutanan.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi

mahasiswa, diantaranya sebagai staff Departemen Bidang Khusus Rimbawan

Pecinta Alam Fahutan IPB periode 2010, staff Human Resources Development

Tree Grower Community periode 2011, Ketua Tree Climbing Division Rimbawan

Pecinta Alam Fakultas Kehutanan IPB periode 2011, Koordinator Komisi Disiplin

Rimbawan Pecinta Alam Fakultas Kehutanan IPB periode 2012 serta beberapa

kepanitiaan lainnya.

Penulis melakukan Praktik Kerja Profesi (PKP) pada tahun 2013 dengan

topik ―Identifikasi Jenis Pohon yang Berpotensi Sebagai Sumber Benih untuk

Kegiatan Rehabilitasi Kawasan Konservasi‖ di Gunung Papandayan, Jawa Barat.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyelesaikan skripsi

dengan judul ―Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Terganggu di

Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat‖ di bawah bimbingan Dadan Mulyana,

SHut MSi.

60 m