Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

24
1 INISIATIF PERDAMAIAN DAN RESOLUSI KONFLIK SECARA DAMAI DI JAWA TENGAH LAPORAN FIELD TRIP “Peningkatan Pemahaman Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam” Kunjungan dan Dialog dengan Pondok Pesantren Edi Mancoro, Semarang dan Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik), Salatiga Kamis, 1 Oktober 2015 Tim Penulis: Andre Ferdianto (PP. Pancasila Salatiga) Eva Roviana (PP. Al-Muntaha Salatiga) Ika Mayasari (PP. Luhur Wahid Hasyim Semarang) Muhammad Najmuddin (PP. Raudlotu Thalibin Batang) Muhammad Satrio Dwi Putranto (PP. Raudlotu Thalibin Semarang) Editor: Junaidi Simun Pesantren for Peace (PFP): A Project Supporting the Role of Indonesian Islamic Schools to Promote Human Rights and Peaceful Conflict Resolution

Transcript of Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

Page 1: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

1

INISIATIF PERDAMAIAN DAN RESOLUSI KONFLIK SECARA DAMAI DI JAWA TENGAH

LAPORAN FIELD TRIP

“Peningkatan Pemahaman Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam”

Kunjungan dan Dialog dengan Pondok Pesantren Edi Mancoro, Semarang dan Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik), Salatiga

Kamis, 1 Oktober 2015

Tim Penulis:

Andre Ferdianto (PP. Pancasila Salatiga) Eva Roviana (PP. Al-Muntaha Salatiga)

Ika Mayasari (PP. Luhur Wahid Hasyim Semarang)

Muhammad Najmuddin (PP. Raudlotu Thalibin Batang) Muhammad Satrio Dwi Putranto (PP. Raudlotu Thalibin Semarang)

Editor:

Junaidi Simun

Pesantren for Peace (PFP): A Project Supporting the Role of Indonesian Islamic Schools to Promote Human

Rights and Peaceful Conflict Resolution

Page 2: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

2

A. Pendahuluan

Field trip atau kunjungan ke Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Kampoeng

Persemaian Cinta Kemanusiaan atau umum dikenal sebagai Percik merupakan bagian

dari kegiatan Training dan Field Trip “Pendidikan Perdamaian di Pesantren

Berperspektif HAM dan Islam” yang diselenggarakan 29 September – 2 Oktober 2015, di

Semarang, Jawa Tengah. Field trip dilaksanakan pada 1 Oktober 2015, dengan tujuan

meningkatkan pengetahuan peserta training tentang best practices bina damai dan

penanganan konflik yang terjadi di Jawa Tengah dan memberikan pengalaman kepada

peserta training tentang upaya yang dapat dilakukan dalam rangka bina damai dan

penanganan konflik.

Alasan memilih Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Kampoeng Percik sebagai

tujuan field trip tidak lain adalah bahwa kedua lembaga ini merupakan lembaga yang

terlibat secara aktif dalam kajian, promosi dan advokasi kasus-kasus konflik yang

terjadi, khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Namun yang diulas dalam laporan

ini hanya keterlibatan Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Percik dalam inisiatif

perdamaian dan penyelesaian konflik secara damai di Jawa Tengah.

Laporan field trip ini merupakan kompilasi dari lima laporan yang ditulis oleh

lima orang peserta terbaik alumni training dalam kurun waktu satu minggu. Selain

pendahuluan laporan ini juga akan membahas inisiatif perdamaian yang dilakukan

Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Percik, pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus-

kasus yang ditangani, upaya penyelesaian konflik secara damai, dan rekomendasi.

1. Profil Pondok Pesantren Edi Mancoro1

Pondok Pesantren Edi Mancoro berasal dari dua kata, yaitu “Edi” dan “Mancoro”.

Edi artinya bagus, dan Mancoro yang berarti bersinar. Bila digabung, artinya akan

menjadi “sebuah pesantren yang diharapkan menjadi sebuah sinar yang bagus dan

memancar ke seluruh penjuru dunia.”

Semula tepatnya pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, Pesantren Edi

Mancoro hanya sebuah tempat untuk pendidikan dan latihan Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) Desaku Maju. Adalah KH. Mahfud Ridwan, Lc. yang memulai awal

pendirian dan mengasuh pesantren yang berdiri pada 25 Desember 1989 ini. Selain KH.

Mahfud Ridwan sendiri pesantren yang tergabung dalam Yayasan Desaku Maju

dimotori oleh para aktivis 1980-an, di antaranya KH. Mahfudz Ridwan Lc, KH.

Muhammad HM Sholeh BA, Matori Abdul Jalil, dan Zainal Arifin BA. Pada 2013,

1 https://ppedimancoro.wordpress.com (Diakses 7 Oktober 2015).

Page 3: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

3

pengelolaan pesantren menginduk kepada Yayasan Edi Mancoro yang telah terdaftar di

Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Pesantren ini terletak di Dusun Bandungan, Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang,

Kabupaten Semarang dan menempati tanah seluas 3.000 m2. Saat diresmikan,

pesantren ini memilki enam bangunan yang dikelilingi ribuan pohon salak pondoh yang

rimbun. Karena sering ada program pelatihan yang digelar Yayasan Desaku Maju pada

kurun 1979-1984, pada 1987-1988 dibangunlah pondok, sebagai tempat pendidikan

dan pelatihan. Kalau tidak ada kegiatan, para santri belajar mengaji di sana. Awalnya

hanya 10 orang. Tetapi setelah itu jumlahnya terus bertambah, sehingga lama-kelamaan

berkembang seperti sekarang.2

Awalnya, menurut KH Mahfudz Ridwan, santri yang diterima adalah lulusan S-1

dan pasca-lulus pesantren, asal lulus tes masuk. “Tidak harus beragama Islam. Pemeluk

agama Kristen, Hindu, Budha, Katolik, Konghuchu, pun diperbolehkan. Jadi, seperti

fakultas perbandingan agama. Pengajarnya dari luar, semacam dosen terbang, dan

sebagian alumnus. Mereka juga memiliki latar belakang agama yang berbeda. Barangkali

lebih tepat dikatakan sebagai pesantren pluralis,” jelas KH Mahfudz yang juga adalah

alumnus Baghdad University (Irak) sekelas dengan KH Musthofa Bisri dan KH

Abdurrahman Wahid.

Di Pondok Pesantren Edi Mancoro ini tak hanya diajarkan mengenai agama Islam,

pelajaran agama lain juga diajarkan. Pluralitas agama dijunjung tinggi, membekali santri

sebagai pendamping masyarakat.

Adapun wilayah kerja pesantren, awalnya terfokus pada dimensi religius yang

bersifat normatif dan ekslusif daripada dimensi kemasyarakatan yang bersifat praktis,

humanis, dan inklusif. Namun seiring berjalannya waktu yang menuntut dinamika

masyarakat yang cepat dan beragam, selanjutnya pesantren ini pun hadir sebagai

institusi yang responsif, proaktif, serta akomodatif.

Di samping dimensi keagamaan, keberadaan Pondok Pesantren ini juga berusaha

melakukan upaya yang berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan yang kompleks

dan pemberdayaannya. Semua itu dilakukan demi terbentuknya masyarakat yang

madani, yakni masyarakat yang lebih mengutamakan keadilan, kebersamaan, dan

menafikan sekat-sekat penghalang atas dasar agama, ras, suku, golongan, serta etnis

yang selama ini ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat.

Visi dan misi pesantren, meliputi: membentuk santri yang berwawasan

keagamaan secara mendalam dalam konteks ke-Indonesiaan yang plural. Pesantren

2 Ibid.

Page 4: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

4

yang jaraknya dekat dengan Rawa Pening ini bersifat non profit, independen, dan

mandiri dalam menentukan kebijakan dan garis perjuangannya.

Pondok Pesantren Edi Mancoro mempunyai beberapa program, di antaranya

adalah:

a. Melakukan kajian dan studi ke-Islaman secara intensif dan berkesinambungan

baik dalam prespektif tekstual yang bersifat normatif maupun dalam prespektif

kontekstual ke-Indonesiaan.

b. Menyelenggarakan diskusi-diskusi ilmiah, dialog keagamaan, dialog

kemasyarakatan lintas SARA bagi seluruh komponen masyarakat Indonesia yang

plural.

c. Melakukan sosialisasi sekaligus pribuminisasi atas hasil kajian-kajian di atas bagi

komunitas masyarakat pada umumnya.

d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat), kursus kilat bagi aktifitas

pesantren dan kemasyarakatan dalam rangka pemberdayaan masyarakat.

e. Membentuk jaringan kerja sama antar pesantren, institusi kemasyarakatan,

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi sosial kemasyarakatan dan

seluruh komunitas strategis di masyarakat.

2. Profil Kampoeng Percik3

Seperti dikutip dalam websitenya, Percik adalah singkatan dari “Persemaian

Cinta Kemanusiaan”. Percik merupakan lembaga independen yang diperuntukkan bagi

penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada awal tahun

1996, yakni 1 Februari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di Salatiga yang terdiri dari

sejumlah peneliti sosial, pengajar universitas, serta aktivis LSM yang bergerak di bidang

bantuan hukum serta pengorganisasian masyarakat.

Para pendiri ini merupakan sebagian dari staf akademik sebuah universitas di

Salatiga yang terpaksa keluar dari universitas tersebut karena menolak beberapa

kebijakan dari pengurus yayasan dan pimpinan universitas yang dinilai tidak

demokratis, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan tidak menjunjung tinggi

kebebasan akademis serta otonomi kampus. Berdirinya Lembaga Percik merupakan

wadah baru untuk mewujudkan idealisme mereka mengenai masyarakat yang

demokrastis dan berkeadilan sosial.

Percik sebagai lembaga independen memiliki visi sebagai berikut:

a. Mendukung penciptaan masyarakat sipil, melalui pemberdayaan lembaga-

lembaga demokrasi dan pengembangan nilai-nilai demokrasi;

3 http://www.percik.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=32 (Diakses 7 Oktober 2015).

Page 5: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

5

b. Mendorong masyarakat pada penyadaran akan dasar-dasar kehidupan

masyarakat plural dan toleransi dalam seluruh kehidupan sosial;

c. Memberikan perhatian pada dasar-dasar masyarakat sipil, HAM khususnya bagi

orang-orang yang telah dilemahkan dan dipinggirkan dari pelayanan pemerintah

dan sistem hukum.4

Visi tersebut dalam kurun waktu yang lebih pendek khususnya mengacu kepada

tuntutan perkembangan yang ada dalam masyarakat saat ini, mendorong Percik untuk

mengutamakan segi-segi berikut:

a. Peningkatan kinerja pemerintah lokal menuju kearah pemerintahan lokal yang

sehat dan baik.

b. Meningkatkan kesadaran politik masyarakat ke arah perwujudan prinsip-prinsip

bernegara dan bermasyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi penegakan

hukum dan menghormati HAM.

c. Memperkuat civil society yang berbasis pada nilai-nilai pluralisme dan toleransi.5

Kelahiran Percik juga tidak dapat dilepaskan dari tuntutan yang semakin luas

dalam masyarakat Indonesia tentang perlunya proses demokratisasi dilaksanakan

dengan segera di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tuntutan

tersebut muncul sebagai bagian dari keprihatinan yang meluas di masyarakat terhadap

sistem politik yang semakin sentralistik, hegemonik, opresif, dan tidak toleran. Sistem

politik yang tidak sehat tersebut berakibat pada rendahnya kesadaran dan partisipasi

politik rakyat, tiadanya ruang publik yang memungkinkan terjadinya pertukaran

wacana publik secara bebas, tidak berkembangnya lembaga-lembaga demokrasi,

lemahnya penegakan hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM), serta birokrasi

pemerintahan yang korup. Di lain pihak perkembangan masyarakat menunjukkan

kecederungan ke arah masyarakat plural yang tersekat-sekat yang di dalamnya

mengandung potensi konflik horisontal yang besar. Kondisi politik yang tidak sehat

tersebut melanda kehidupan politik baik pada aras nasional, maupun pada aras lokal.

Keterlibatan panjang staf Percik dalam berbagai penelitian dan studi pada aras

lokal yang dimiliki secara individual oleh staf Percik dilandasi pula oleh keyakinan

bahwa bagi masa depan Indonesia arena politik pada aras lokal justru semakin penting

dan menentukan, maka lahirnya Percik merupakan perwujudan dari keinginan untuk

ikut menggulirkan proses demokratisasi politik pada aras lokal.6

4 http://www.percik.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=25&Itemid=39 5 http://www.percik.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=32 (Diakses 7 Oktober 2015). 6 Ibid.

Page 6: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

6

Kampoeng percik teletak di Dusun Dukuh Turusan, Salatiga. Percik ini

merupakan LSM yang didirikan untuk pluralitas agama yang ada di Indonesia.

Tiga pilar kegiatan Percik yaitu studi, refleksi, dan advokasi atau bantuan hukum.

Peran Percik sendiri adalah tidak lebih sebagai mediator dan bukan sebagai hakim

penyelesaian konflik yang ada. Percik juga berupaya dalam pencegahan terjadinya

konflik, yaitu dengan menebarkan isu-isu perdamaian, pemahaman mengenai toleransi

dan pentingnya musyawarah. Di antara kegiatan Percik untuk mewujudkan itu adalah:

a. Menyelenggarakan kegiatan studi-studi dan penelitian yang memenuhi standar

keilmuan yang tinggi, independen serta memenuhi nilai-nilai kegunaan bagi

kehidupan masyarakat luas.

b. Melakukan kegiatan refleksi sebagai upaya lebih mendalam terhadap berbagai

gejala yang diteliti, serta menghubungkannya dengan berbagai nilai-nilai luhur

yang diyakini dan menjadi komitmen percik..

c. Melakukan progam aksi yang di tunjukkan kepada terciptanya masyarakat yang

demokratis dan berkeadialan, dan lain sebagainya.

Menurut Singgih Nugroho, seperti yang dipaparkannya ketika kunjungan ke

Percik 1 Oktober 2015, tujuan utama dari didirikannya Percik adalah sebagai penguat

civil society.7 Dengan adanya kesadaran masyarakat akan hak dan tanggungjawabnya

maka sebuah perdamaian akan dapat diterapkan. Hal tersebut diterapkan oleh Percik

dengan cara melakukan pendampingan dan pembelaan hak-hak orang lemah. Secara

kelembagaan, Percik juga melakukan pendidikan demokrasi dan toleransi bagi

masyarakat sehingga masyarakat dapat menerima sebuah perbedaan sebagai sebuah

rahmat dan kehendak Tuhan.

Ditambahkan Dr. Prajarta Dirdjosanjoto,8 Direktur Percik, lembaga ini dibentuk

karena adanya kepedulian terhadap lintas iman. Percik bukan merupakan lembaga

agama, akan tetapi bagi Percik agama menjadi inspirasi bagi kehidupan manusia.

Menurutnya, agama sebagai dapur, yang mana melalui dapur tersebut dapat diolah

berbagai hasil makanan. Agama bisa saja menjadi sumber konflik dan perpecahan dan

agama juga dapat menjadi sumber perdamaian dan kebahagiaan.

7 Presentasi Singgih Nugroho dalam “Field Trip ke Kampoeng Persick”, 1 Oktober 2015. 8 Wawancara dengan Dr. Prajarta Dirdjosanjoto, 7 Oktober 2015.

Page 7: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

7

B. Inisiatif Perdamaian dan Pengelolaannya

1. Edi Mancoro dan Inisiatif Perdamaian

Menurut Muhamad Hanif, pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro yang akrab

disapa Gus Hanif9, memaparkan bahwa yang selama ini dilakukan oleh Pondok

Pesantren Edi Mancoro dalam merespon persoalan yang terjadi di masyarakat tidak

hanya berorientasi kepada hasil. Setiap kegiatan yang dilakukan selalu berkonsentrasi

pada proses yang dilaksanakan. Dari setiap proses yang ada kemudian dikawal oleh

pesantren dan mengenai hasil dari proses tersebut masyarakat sendiri yang

menentukannya.

Salah satu peran yang ditampilkan Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam bidang

advokasi adalah pendampingan berbagai persoalan dan kasus yang terjadi di

masyarakat. Pendampingan tidak hanya dilakukan sekali, tetapi bertahap dan

berkelanjutan. Selain melakukan pendampingan dan advokasi, Pondok Pesantren Edi

Mancoro juga sering mengadakan kegiatan yang bertujuan untuk memberikan

pemahaman tentang toleransi, moderatisme, HAM, dan lain sebagainya. Kegiatan

tersebut dilakukan sebagai salah satu tanggungjawab pesantren terhadap perdamaian

umat. Di antara inisiatif kegiatannya adalah: dialog lintas agama, diskusi dan

silaturahmi antar agama yang bertujuan untuk menanamkan toleransi serta

mempererat persaudaraan antar agama di tanah air.

Inisiatif perdamaian yang diinisiasi Pondok Pesantren Edi mancoro dalam

berbagai kegiatannya di antaranya sebagai berikut:10

1. Pendampingan korban kasus Waduk Kedung Ombo (WKO) tahun 1980-an.

Pendampingan yang dilakukan secara psikis dan advokasi (bantuan hukum).

Kendalanya karena Pondok Pesantren pada saat itu dijadikan sebagai markas

tempat musyawarah dan penggodokan strategi pedampingan korban WKO.

Akibatnya dicurigai oleh pemerintah dan dalam berbagai aksinya diintervensi

oleh pemerintah. Untuk menangani masalah ini, pihak Edi Mancoro berusaha

menjelaskan kepada pemerintah bahwa kegiatan apapun yang dilakukan di

pesantrern tidak ada yang perlu dicurigai atau dipandang membahayakan bagi

pemerintah.

2. Pemberdayaan Yayasan Kristen Peru di Salatiga. Kegiatan ini dilakukan saat

tahun 1993 dan 1994 di Peru sedang terjadi musibah kelaparan yang hebat, dan

Pondok Pesantren Edi Mancoro mencoba memberikan pelatihan pemberdayaan

secara mandiri kepada masyarakat Kristen Peru di Salatiga.

9 Wawancara dengan Gus Hanif, 6 Oktober 2015. 10 Presentasi Gus Hanif dalam “Field Trip ke Pondok Pesantren Edi Mancoro”, 1 Oktober 2015.

Page 8: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

8

3. Penguatan pemberdayaan masyarakat dengan terbentuknya 63 kelompok kecil

yang ada di masyarakat.

4. Pembentukan Forum Gedangan. Forum ini dibentuk akhir 1990-an saat

reformasi bergulir. Pembentukan forum ini dilakukan karena terjadi

ketidakmerataan pendistribusian sembilan bahan pokok (sembako) di Kota

Salatiga dan sekitarnya. Ini dikarenakan merebaknya isu Kristenisasi dan

Islamisasi di Salatiga.

5. Pembentukkan Forum Lintas Iman SOBAT.11 SOBAT diinisiasi dengan tujuan

untuk langkah pencegahan dan meminimalisir konflik serta isu-isu bernuansa

SARA yang ada dan berpotensi berkembang di masyarakat.

6. Pendampingan konflik antara gereja dan umat Islam di sekitar Salatiga dan

Kabupaten Semarang.

7. Pendampingan konflik Temanggung (pembakaran gereja).

8. Halaqoh ulama’ dan santri.

9. Mengadakan diskusi lintas agama di Pesantren Edi Mancoro bersama tokoh

lintas agama.

10. Pemberdayaan masyarakat lokal di Kecamatan Tuntang dalam mengatasi

masalah tanaman enceng gondok yang hampir tidak terkendali di Rawa Pening,

yaitu dengan membentuk pelatihan kelompok home industry kreasi enceng

gondok.

11. Pemberdayaan ekonomi umat. Dari beberapa kegiatan yang telah dijelaskan di

atas, terdapat satu kegiatan yang tidak kalah penting, yaitu kegiatan

pemberdayaan ekonomi umat. Dimana ekonomi umat termasuk dalam faktor

utama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Karena kebutuhan

ekonomi masyarakat berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat.

Contoh riil pemberdayaan ekonomi umat diwujudkan dalam bentuk

KOPPONTREN, yaitu Koperasi Pondok Pesantren Edi Mancoro yang didirikan

pada tahun 1996. Koperasi ini memiliki tiga unit usaha, yakni unit simpan pinjam

(KUB Sejahtera), Mini Market dan Bengkel Sepeda Motor.

Pelaksanaan kegiatan-kegiatan di atas bukan berarti tanpa halangan. Menurut

Gus Hanif, banyak kalangan yang menentang konsep, pemikiran dan gerak langkah yang

selama ini dilakukan Pondok Pesantren Edi Mancoro. Di antaranya:

a. Adanya kelompok pro dan kontra di masing-masing pihak

b. Banyaknya cemooh yang dilakukan oleh warga

c. Adanya pertentangan dari masing-masing kelompok

11 Penjelasan lebih detil mengenai SOBAT dan kiprahnya dapat dibaca dalam Junaidi Simun, “Laporan Penelitian Conflict Analysis Mapping di Jawa Tengah”, April 2015.

Page 9: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

9

Kritik keras dan hujatan yang diarahkan kepada KH. Mahfudz Ridwan terhadap

gagasannya masih dipandang tidak lumrah oleh masyarakat dan tidak semua orang

mampu menerima niat dan maksud positif yang disampaikan. Sebagian masyarakat

masih memandang sebelah mata karena adanya kegiatan yang melibatkan hubungan

antar agama. Di sisi lain posisi Pondok Pesantren Edi Mancoro sendiri dikenal sebagai

Pondok Pesantren tempat belajar-mengajar ilmu agama Islam.

Tetapi hal tersebut dipahami oleh KH. Mahfudz Ridwan sebagai sebuah

perbedaan pandangan dan pendapat yang harus diterima. Hal tersebut juga menjadi

penyemangat dirinya untuk lebih banyak memberikan pemahaman kepada masyarakat

tentang arti penting toleransi dan moderat.

Dari beberapa persoalan tersebut, salah satu cara menghadapinya adalah dengan

senyuman dan kesabaran serta berupaya memberikan pemahaman secara bertahap

mengenai indahnya sikap toleransi dan saling menghargai keberagaman dan

perbedaan. Selain itu seperti yang diutarakan Gus Hanif dan Gus Syauqi12 terkait

problem ketika mereka mewakili KH. Mahfud Ridwan dalam sebuah proses perdamiaan

seringkali terjadi ketegangan, pondok didatangi oleh aparat hukum guna mengawal dari

jalannya rapat. Selain itu juga dicurigai sebagai kelompok pembuat onar dll.

2. Percik dan Inisiatif Perdamaian

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, inisiatif perdamaian yang digagas oleh

Percik dapat dilihat dari visi dan misinya yang dijabarkan dalam program dan kegiatan

yang bertumpu pada tiga pilar, yaitu penelitian, advokasi dan refleksi. Ketiga pilar ini

merupakan landasan kegiatan Percik dalam menangani atau mencegah terjadinya

konflik dalam masyarakat. Di antara inisiatif perdamaian melalui program dan kegiatan

yang pernah dilakukan adalah:

a) Penelitian

Dalam menangani masalah yang terjadi di masyarakat ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan, salah satunya adalah penelitian. Dimana penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui dan memahami latar belakang aktor yang memiliki

konflik baik individu maupun kelompok serta mengenali dan memahami akar

dari suatu konflik. Beberapa kegiatan penelitian yang dilakukan oleh PERCIK

diantaranya sebagai berikut:

1. Penelitian Kong Hu Chu (1996)

2. Penelitian tentang gejala kekerasan massal di Pekalongan (1998)

3. Penelitian kepemiluan

12 Gus Hanif dan Gus Syauqi merupakan putra dari KH. Mahfud Ridwan. Wawancara dengan Gus Hanif dan Gus Syauqi, 6 Oktober 2015.

Page 10: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

10

4. Penelitian politik lokal, pemekaran, desentralisasi

5. Penelitian tentang praktek keagamaan lokal

6. Penelitian tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)

b) Advokasi

1. Program-program lintas iman melalui entitas SOBAT, SOBAT Kata Hawa,

SOBAT Iman, SOBAT Muda, SOBAT Anak, UTF, sohbet, wacana lintas iman

2. Jaringan Pemantau Pemilu untuk Rakyat (JPPR)

3. Pemberdayaan desa; desentralisasi; kepemerintahan lokal yang baik

4. Community Oriented Policing (COP)/ Perpolisian Masyarakat (Polmas);

Prospect

c) Refleksi

1. Seminar internasional tahunan dinamika politik lokal. Dimana persoalan

sosial politik dibahas

2. Penerbitan jurnal “Renai”

3. Berbagai seminar dan diskusi di aras lokal

Menurut Singgih Nugroho, untuk dapat mencapai apa yang menjadi visi dan

misinya maka berbagai kegiatan dirancang dan dilaksanakan oleh Percik, di antaranya

mengadakan seminar, diskusi, silaturahmi, dan kegiatan lainnya dengan peserta dari

masyarakat yang berbeda agama, etnis dan suku. Dalam berbagai kegiatannya, Percik

juga mengajak partisipasi para pemimpin agama dan tokoh masyarakat untuk

berkomunikasi bersama-sama. Selain itu, Percik juga juga melibatkan anak-anak muda,

mahasiswa dan pelajar untuk bergabung secara aktif dalam kegiatan-kegiatan mereka.

Tujuan dari upaya tersebut adalah menanamkan ideologi toleransi dan cinta

kemanusian sejak dini.

Ditambahkan Agung Waskito Adi, salah satu satu staf dan peneliti di Percik

bahwa upaya perdamaian yang selama ini dilakukan oleh Percik tidak pernah

terprogramkan dan terkonsep secara rinci. Upaya perdamaian yang selama ini pernah

dilakukan dibiarkan mengalir begitu saja. Selain itu, yang menjadi konsentrasi dalam

penanganan konflik adalah berorientasi pada proses. Menurutnya, jika berorientasi

pada hasil maka seringkali tidak dapat memuaskan para pihak yang terlibat dalam

konflik sehingga inisiatif perdamaian yang murni sulit sekali dicapai.13

Agung Waskito Adi juga mengutarakan bahwa inisiatif perdamaian sebenarnya

sudah terdapat dalam masyarakat sendiri. Masyarakat sebagai sebuah kumpulan

berbagai macam manusia mempunyai potensi untuk menghasilkan sebuah kesepakatan

sosial. Sedangkan peran Percik adalah menjembatani agar inisiatif dan kesepakatan

perdamaian atau kesepakatan sosial tersebut dimunculkan oleh masyarakat sendiri. 13 Wawancara dengan Agung Waskito Adi, 7 Oktober 2015.

Page 11: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

11

Kesepakatan yang muncul hasil dari masyarakat sendiri, dibangun oleh mereka sendiri

dan hasilnya pun dapat berubah di kemudian hari sesuai dengan kesepakatan mereka.

Menurut Agung, peran Percik hanyalah sebatas membangun relasi pertemanan dan

persaudaraan agar ide dan inisiatif dapat tercapai dan diterima oleh semua pihak

dengan legowo.14

Dalam pelaksanaan berbagai agenda kegiatan Percik bukan berarti tanpa ada

kendala sama sekali. Banyak sekali kendala dan rintangan yang pernah mereka lalui. Di

antara kendala-kendala tersebut adalah ancaman keselamatan jiwa, intimidasi, sikap

pemerintah yang tidak pro aktif, masyarakat yang sulit untuk diajak bekerjasama dan

lain sebagainya. Bahkan pernah suatu hari dalam melakukan pendampingan kasus

sengketa tanah di Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, leher salah seorang staf

Percik dikalungi celurit oleh masyarakat.

Selain itu, masyarakat yang tidak mengetahui apa itu Percik serta apa maksud

dan tujuan berdirinya, pandangan masyarakat bahwa Percik hanya merupakan

pergumulan sekelompok penganut agama Kristen saja merupakan tantangan tersendiri.

Sebagian masyarakat juga masih memandang bahwa dalam kegiatan Percik terkandung

misi terselubung: Kristenisasi.

Menghadapi berbagai rintangan tersebut Percik melakukan beberapa hal agar

dapat menyelesaikannya tanpa menimbulkan konflik yang baru, yaitu membangun

komunikasi secara intensif dengan pihak-pihak yang berkonflik, sembari memberikan

pemahaman mengenai Percik yang merupakan lembaga lintas iman. Hal ini juga

dilakukan dalam upaya perluasan jaringan. Selain itu mereka juga melakukan

pencegahan lebih dini, mengajak peran serta pemerintah dan tokoh masyarakat,

melakukan gerakan senyap dan rahasia yang terstruktur, dan lain sebagainya.

C. Pelanggaran HAM yang Terjadi

1. Kasus Pembangunan Waduk Kedung Ombo

Kasus yang diulas pada bagian ini adalah Kasus Mega Proyek Pembangunan

Waduk Kedung Ombo pada tahun 1981-1985 era Soeharto. Dalam proses pembangunan

waduk ini diduga kuat telah terjadi pelanggaran HAM. Pada bagian ini juga akan dibahas

bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi, akibat yang ditimbulkan dan proses

penyelesaian kasus.

Pembangunan Waduk Kedung Ombo merupakan bagian dari Proyek

Pengembangan Wilayah Sungai Jratunseluna yang akan mencakup tiga wilayah:

14 Ibid.

Page 12: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

12

Karesidenan Semarang, Karesidenan Surakarta dan sembilan kabupaten, yaitu

Semarang, Demak, Kudus, Pati, Blora, Grobogan, Jepara, Boyolali, dan Sragen. Melalui

proyek ini pemerintah Indonesia berniat untuk meningkatkan usaha pengamanan dan

pengendalian banjir. Proyek Jratunseluna juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan

air dan listrik untuk daerah-daerah perindustrian dan pemukiman.15

Rencana pembangunan Waduk Kedung Ombo diharapkan akan dapat berfungsi

sebagai sarana pengembangan perikanan dan pariwisata serta mampu menyediakan

tenaga listrik sebesar 22,5 Megawatt. Hal ini juga diharapkan dapat meningkatkan

pendapatan petani dan taraf hidup masyarakat setempat. Waduk Kedung Ombo

diperkirakan dapat mengairi persawahan Glapan Sedadi seluas 37.500 Ha sehingga akan

ada sekitar 7.500 Ha sawah baru di Grobogan selatan dan 10.000 di lembah Juana.16

Pembangunan waduk dimulai pada tahun 1981. Namun survei, investigasi, dan

studi kelayakan telah dilakukan oleh Proyek Perancangan Pengembangan Sumber-

Sumber Air (P3SA) bersama dengan konsultan Belanda, NEDECO, sejak 1969 hingga

1976. Pembuatan desain waduk dilakukan oleh Proyek Jratunseluna bersama SMEC

(Snowy Mountain Engineering Corporation) dari Australia yang juga merangkap sebagai

kontraktor pada tahun 1976 hingga 1978.

Namun faktanya, proyek pembangunan Waduk Kedung Ombo yang dibiayai Bank

Dunia ini tidak semulus yang diperkirakan. Pada tahun 1985 mulai terlihat adanya bibit-

bibit permasalahan. Masyarakat Kedung Ombo menolak tawaran ganti rugi pembebasan

tanah yang dianggap terlalu rendah. Mereka menolak kedatangan Tim Pendata dan Tim

Pembebasan Tanah. Permasalahan tersebut menyangkut persoalan hak asasi manusia.

a. Pemerintah melakukan pemaksaan dengan merelokasi warga ke tempat yang

telah disediakan, Desa Muko-Muko di Bengkulu. Pemerintah melakukan

pendataan secara sepihak. Masyarakat pemilik tanah tidak diikutkan untuk

bermusyawarah mengenai besarnya uang ganti rugi tanah yang ditawarkan

pemerintah.

b. Pemerasan warga, karena dana ganti rugi sangat tidak layak diberikan. Menteri

Dalam Negeri saat itu, Soepardjo Rustam dalam rapat kerja dengan Anggota

Komisi II DPR 25 November menyebutkan bahwa besarnya uang ganti rugi bagi

pembebasan tanah yang terkena proyek pembangunan waduk sebesar Rp 3.000,-

per m 2 (meter persegi). Dalam perjalanannya mengenai besarnya uang ganti rugi

tanah ini, pemerintah hanya mengacu pada SK Gubernur Jawa Tengah tertanggal

2 Mei 1985 No. 593/135/1987 yang menetapkan besarnya uang ganti rugi tanah

15 https://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_Kedung_Ombo (Diakses 10 Oktober 2015). 16 Ibid.

Page 13: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

13

sebesar Rp. 700,- per m 2.17 Namun faktanya ada warga yang hanya menerima Rp

250,-/m².

c. Acaman kepada warga yang tidak mau pindah dari tempat kelahirannya di

Kedung Ombo ke tempat yang telah disediakan. Bentuk ancamannya berupa:

Warga yang bertahan mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik oleh

aparat negara akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut.

Pemerintah memaksa warga untuk mengikuti program transmigrasi yang

disiapkan pemerintah dengan tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya

warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal di tengah-tengah

genangan air.

Warga dicap dengan label eks PKI. Predikat eks PKI ini begitu menakutkan

bagi penduduk. Akibatnya mereka tidak dapat mencari pekerjaan,

hilangnya hak-hak sebagai warga negara dan mereka terkucil dari

pergaulan masyarakat.

Kurungan penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan denda bagi warga

tidak menerima jumlah ganti rugi

Pemaksaan untuk meninggalkan rumah dengan menaikan elevasi dan

debit air

d. Akibat yang ditimbulkan dalam kasus Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini di

antaranya berupa:

Penganiayaan terhadap warga dengan memakasa menyetujui ganti rugi

yang diberikan.

Aliran listrik rumah warga dicabut

Pemblokiran areal proyek dan pengisolasian daerah proyek bagi

masyarakat yang menjadi korban atau relawan yang hendak memberi

bantuan

Warga kehilangan hak atas tanah yang telah dimiliki tanpa ganti rugi yang

memadai

Ditenggelamkan ke dalam air

warga terganggu kenyamanan hidupnya (personal rights), tidak mendapat

perlakuan yang sama didepan hukum (procedural rights), kehilangan

tanah, harta, dan mata pencaharian (property Rights).

Hasil studi Elsam dan Lawyer Committee for Human Rights menemukan banyak

kasus pelanggaran HAM dalam pelaksanaan program tersebut. Dalam proyek Aaduk

Kedung Ombo, pelanggaran HAM yang ditemukan adalah: (1) Tak adanya musyawarah

yang dilakukan pemerintah dalam proses pembebasan lahan. Dalam penentuan harga,

17 Ibid.

Page 14: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

14

Pemerintah secara sepihak menetapkan harga tanpa mendengar masukan dari

masyarakat; (2) intimidasi dan teror terhadap warga yang tidak bersedia menerima

ganti rugi serta tidak mau mengikuti tawaran pemerintah untuk ikut program

transmigrasi. Warga yang bertahan ini diberi “label” pembangkang dan dicap sebagai

anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).18

Meski masih banyak ketidakberesan dan masalah, namun pemerintah Kabupaten

Boyolali menganggap masalah ini sudah tuntas. Pada November 1988, pihak Proyek

Pembangunan Waduk Kedung Ombo mengeluarkan Surat Pemberitahuan Nomor

1348/UM/KDO/XI/88 yang menghimbau agar penduduk yang berada di areal batas

patok kuning dan kuning strip merah agar segera meninggalkan lokasi paling lambat

November 1988. Hal ini dimaksudkan karena akan diresmikan penggenangan waduk

pada 12 Januari 1988.

Proyek Pembangunan WKO kemudian diresmikan Presiden Soeharto pada 18

Mei 1991. Namun hingga kini warga WKO belum juga mendapatkan hak dan ganti rugi

yang layak dari pemerintah. Hingga tahun 2001, warga yang tergusur tersebut menuntut

Gubernur Jawa Tengah untuk membuka kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan

negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah. Akan tetapi, Pemda Provinsi dan Kabupaten

bersikeras bahwa masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Pemerintah telah meminta

Pengadilan Negeri setempat untuk menahan uang ganti rugi yang belum dibayarkan

kepada 662 keluarga penuntut.19 Bahkan pada 13 November 2008, Replubika Online

menuliskan bahwa sebagian warga WKO asal Boyolali yang ditrasmigrasikan ke

Bengkulu hidupnya memprihatinkan. Hal ini karena lahan usaha mereka berupa tanah

gambut yang basah dan agar bisa diolah harus dikeringkan terlebih dahulu, sedangkan

untuk pengeringan lahan gambut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kini mereka

pun hidup dengan kondisi seadanya.20

Lahan yang dituntut pembebasannya oleh warga sebesar kurang lebih 5.898 Ha,

terdiri dari 1500 Ha tanah Perhutani, 730 Ha sawah, 2.655 Ha tanah tegalan, dan 30 Ha

tanah pekuburan yang mengenai daerah wilayah Kecamatan Kemusu Kabupaten

Boyolali, Kecamatan Miri dan Sumber Lawang Kabupaten Sragen, dan satu kecamatan di

Kabupaten Grobogan. Total terdapat 37 desa, 4 kecamatan dari 3 kabupaten (Sragen,

Boyolali dan Grobogan) dan sekitar 5.268 warga kehilangan tanahnya.21

Pada 1980an Romo Mangun Wijaya bersama Romo Sandyawan dan KH.

Hammam Ja’far, pengasuh pondok pesantren Pebelan Magelang mendampingi para

18 Ibid. 19 Ibid. 20 http://www.paknusa.blogspot.co.id/2014/11/pemahaman-empatis-belajar-dari-kasus.html 10 oktober 2015 (Diakses 10 Oktober 2015). 21 Ibid.

Page 15: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

15

warga yang masih bertahan di lokasi, membangun sekolah darurat untuk sekitar 3500

anak-anak, dan membangun sarana seperti rakit untuk transportasi warga yang

sebagian desanya sudah menjadi danau.

Pemerintah pada awalnya bersikap kaku dan keras serta berpegang teguh pada

aturan ganti rugi dan alternatif bertransmigrasi yang telah ditetapkan. Presiden Suharto

sendiri telah menyatakan sikap untuk melarang orang-orang yang berniat membantu

penduduk yang masih bertahan di daerah genangan Waduk Kedung Ombo.

Akan tetapi di sisi lain, dikabulkannya sebagian tuntutan rakyat Kedung Ombo

dianggap sebagai sebuah prestasi dan kemenangan dari perjuangan rakyat kecil. Hal

tersebut dikarenakan berhasilnya upaya-upaya yang dilakukan berbagai pihak untuk

mengangkat permasalahan Waduk Kedung Ombo ke permukaan yang akhirnya dapat

memaksa pemerintah untuk tidak memaksa seluruh penduduk Kedung Ombo

bertransmigrasi ke luar Jawa.

Tidak berapa lama setelah peresmian penggenangan waduk dan diberlakukannya

Kedung Ombo sebagai wilayah yang tertutup, banyak inisiatif dari berbagai kelompok

yang ingin mendampingi dan membantu penduduk Kedung Ombo. Salah satunya aksi

solidaritas yang dilakukan Pondok Pesantren Edi Mancoro melalui program-program

pemberdayaan masyarakat yang masih bertahan di sekitar Waduk Kedung Ombo.

Dalam perjalanannya, penyelesaian pembebasan tanah dalam kasus

pembangunan Waduk Kedung Ombo ini memasuki titik terang. Dengan dibantu LBH

Semarang, penduduk Kedung Ombo akhirnya mendapat ganti rugi dari Pemerintah

dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No. 174/Menhut/VII tahun 2002 yang

berisi relokasi warga Kedung Ombo oleh PT Perhutani ke tanah Perhutani.22

D. Upaya Penyelesaian Konflik secara Damai

1. Peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam Kasus Waduk Kedung Ombo

Dalam penanganan dan pencegahan konflik yang terjadi di masyarakat,

khususnya di Jawa Tengah, Pondok Pesantren Edi Mancoro terlibat cukup aktif. Di

antara keterlibatan tersebut adalah pendampingan warga korban pembangunan Waduk

Kedong Ombo, pencegahan kerusuhan Mei 1998 agar tidak menjalar di Salatiga dan

sekitarnya, fasilitasi bantuan sembako dari Vatikan bekerjasama dengan Gereja, dan

lain sebagainya.

Dalam kasus Waduk Kedung Ombo, selain dugaan pelanggaran HAM yang terjadi,

akibat lain dari pembangunan waduk adalah kesengsaraan yang dialami masyarakat, 22 https://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_Kedung_Ombo (10 Oktober 2015).

Page 16: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

16

khususnya warga masyarakat yang kena dampak pembangunan Waduk Kedung Ombo.

Hak-hak masyarakat korban Waduk Kedung Ombo terabaikan dan tidak terpenuhi. Di

antara kesengsaraan tersebut adalah sebagian masyarakat sulit untuk membangun

kembali perekonomian di tempat mereka yang baru. Bahkan tidak sedikit di antara

mereka yang kesulitan membangun tempat tinggal karena uang ganti rugi yang

diberikan sangat sedikit dan tidak sepadan.

Kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo merupakan salah satu kasus yang

menyita perhatian Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro, KH. Mahfudz Ridwan.

Kasus tersebut juga menarik perhatian beberapa tokoh nasional, seperti Gus Dur dan

Romo Mangun. Gus Dur yang berupaya mendampingi dan memediasi para penduduk

yang menjadi korban dari Waduk Kedung Ombo kemudian mengajak serta keterlibatan

KH. Mahfudz Ridwan yang merupakan salah satu sahabat karibnya. Di rumah KH.

Mahfudz Ridwan itu lah Gus Dur, Romo Mangun, dan beberapa tokoh lain

mendiskusikan berbagai strategi untuk membantu para penduduk korban

pembangunan Waduk Kedung Ombo. Di kemudian hari, Gedangan, sebuah desa dimana

Pondok Pesantren Edi Mancoro berdiri menjadi pusat kegiatan para tokoh nasional

tersebut untuk membantu para korban Waduk Kedung Ombo.23

Dalam perjalanannya KH. Mahfudz Ridwanlah yang kemudian lebih banyak

terlibat secara langsung dan bertatap muka dengan para penduduk yang menjadi

korban untuk membantu mereka. Menurut Syauqi, salah satu putra beliau, dalam

membantu menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di waduk Kedung Ombo

ayahnya melakukan beberapa hal:24

a. Melakukan pendampingan para korban dengan cara memberikan semangat dan

menguatkan mental mereka. Hal ini dilakukan untuk memberikan motivasi

kepada para korban agar mereka tetap sabar dan tabah dalam menghadapi

cobaan yang menerpa mereka, serta tetap optimis menghadapi masa depan.

b. Membantu para penduduk bernegosiasi dengan pemerintah. KH. Mahfudz

Ridwan membantu memediasi para korban dengan pemerintah agar hak-hak

mereka dapat terpenuhi, seperti ganti rugi yang layak. Mediasi ini kemudian

mendapatkan ruang yang sangat luas pada waktu Gubernur Jawa Tengah dijabat

oleh Mardiyanto. Pada masa Gubernur Mardiyanto, KH. Mahfudz Ridwan

berulang kali memediasi pertemuan dengan para korban. Banyak hal yang

dihasilkan dari pertemuan tersebut, di antaranya: dibangunnya jembatan

panjang penghubung antar daerah di Desa Klewor, Kecamatan Kemusu. Selama

ini penduduk harus memutar cukup jauh jika naik motor atau memakai kapal

23 Wawancara dengan Gus Syauqi, 6 Oktober 2015. 24 Ibid.

Page 17: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

17

getek jika ingin ke daerah sebelah waduk yang sebenarnya berdekatan. Selain itu,

dari pertemuan dengan Gubernur Mardiyanto kemudian diluncurkan program-

program pemberdayaan masyarakat dan bantuan kepada penduduk. Menurut

Gus Syauqi, Gubernur Mardiyanto merasa ikut bertanggung jawab terhadap

korban pelanggaran HAM akibat pembangunan Waduk Kedung Ombo.

c. KH. Mahfudz Ridwan membantu memfasilitasi penyaluran berbagai program

pemberdayaan dan bantuan dari pemerintah pusat kepada para korban Waduk

Kedung Ombo.

Bukan berarti apa yang dilakukan oleh KH. Mahfudz Ridwan tanpa ada halangan

sama sekali. Sebagai seorang aktivis yang hidup pada masa Orde Baru tentunya tidak

lepas dari berbagai intervensi dan ancaman dari penguasa pada waktu itu. Salah satu

tantangannya adalah ketika para tokoh nasional di atas melakukan kegiatan di rumah

KH. Mahfudz Ridwan, seringkali tentara baik yang berpakaian resmi maupun sipil atau

intelijen mendatangi rumah beliau. Tujuan mereka sangatlah jelas, yaitu

mengintervensi dan mengawasi kegiatan para tokoh-tokoh tersebut.

Dalam menghadapi berbagai tekanan dari Pemerintah Orde Baru tersebut KH.

Mahfudz Ridwan tidak berlaku keras. Sebisa mungkin beliau bekerjasama dan

mengurangi gesekan dengan aparat keamanan. Hal ini diperlihatkan oleh KH. Mahfudz

Ridwan dengan memberikan rekaman dan catatan hasil rapat dengan tokoh nasional

tadi kepada pemerintah serta melaporkannya secara rutin. Tentu saja sebagai seorang

yang cerdas, yang diberikan kepada pemerintah bukan rekaman dan catatan inti dari

diskusi yang mereka lakukan, sehingga rahasia tetap terjaga. Hal ini dilakukan agar

strategi dan rencana yang mereka lakukan untuk membantu korban Waduk Kedung

Ombo dapat berjalan tanpa ada halangan dari pemerintah dan pihak keamanan.

Berbagai program dan kegiatan yang dilakukan KH. Mahfudz Ridwan bagi

korban pembangunan Waduk Kedung Ombo sangat membekas di benak penduduk.

Hingga saat ini masih terjalin hubungan kekeluargaan yang sangat erat antara

penduduk korban Waduk Kedung Ombo dan KH. Mahfudz Ridwan sekeluarga. Masih

banyak warga sekitar Waduk Kedung Ombo yang bersilaturahim ke rumah KH. Mahfudz

Ridwan. Bahkan tidak jarang di antara mereka membawa hasil panen untuk diberikan

kepada KH. Mahfudz Ridwan, seperti jagung, ketela, padi, ikan, dan buah-buahan.25

2. Peran Percik dalam Resolusi Konflik di Jawa Tengah

Sebagai sebuah lembaga yang mengkonsentrasikan dirinya pada penelitian dan

advokasi, peran Percik Salatiga sangatlah jelas khususnya terkait dengan kasus-kasus

25 Ibid.

Page 18: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

18

pelanggaran HAM dan penyelesaian konflik di Jawa Tengah. Berikut di antara beberapa

kasus yang pernah ditangani oleh Percik:

Kasus Pelarangan Pendirian Gereja di Klaten26

Kasus ini bermula ketika beberapa anggota masyarakat yang beragama Kristen

di suatu daerah di Kabupaten Klaten berkeinginan mendirikan gereja sebagai tempat

ibadah mereka. Akan tetapi keinginan tersebut ditentang oleh mayoritas masyarakat

yang beragama Islam yang berada di daerah tersebut. Adapun penyebab dari adanya

larangan tersebut adalah karena tidak banyak pemeluk agama Kristen yang tinggal di

daerah tersebut. Sehingga dikhwatirkan dengan dibangunnya gereja akan terjadi

kristenisasi di wilayah tersebut.

Akibat yang ditimbulkan dengan adanya pelarangan pembangunan ini sangatlah

beragam. Di antara akibat tersebut adalah keterbatasan dan ketidakmampuan umat

beragama yang menjadi minoritas di daerah tersebut untuk mempunyai sebuah tempat

ibadah, sehingga berakibat menyulitkan mereka untuk beribadah. Ini merupakan

bentuk penindasan terhadap hak-hak kaum beragama minoritas. Hal tersebut dapat

memunculkan ketidaknyamanan dalam masyarakat, kecemburuan sosial dan bahkan

tidak menutup kemungkinan dapat terjadi konflik dan permusuhan antar agama.

Dalam kasus ini Percik ikut terlibat mendampingi dan memediasi kasus tersebut.

Di antara yang dilakukan adalah membangun komunikasi intensif antara dua pihak

yang berkonflik, mengajak partsipasi semua elemen masyarakat dan pemerintah untuk

menyelesaikannya, dan ikut terlibat secara aktif dalam menyelesaikan kasus tersebut

tanpa terpublikasi ke luar, khususnya media massa. Dari mediasi yang dilakukan

akhirnya diambil sebuah kesepakatan bahwa gereja dapat didirikan di daerah tersebut

dengan syarat tanpa ada tanda salib di depannya.

Kasus Beras Murah dan Bantuan Ta’jil Puasa oleh GKJ Manahan Solo27

Kasus ini bermula dari kegiatan bakti sosial yang dilakukan oleh GKJ Manahan

pada bulan Ramadhan. Bakti sosial tersebut berupa menjual beras dengan harga murah

dan pemberian ta’jil kepada tukang becak dan masyarakat di lingkungan sekitar gereja.

Niat baik gereja tersebut tidak dapat diterima oleh kaum muslimin yang tinggal di

wilayah Manahan. Padahal kegiatan ini telah dilaksanakan sejak 1997. Sebagian kaum

muslimin tersebut menuduh ada misi kristenisasi dalam bakti sosial yang

diselenggarakan. Selain itu mereka juga meragukan kehalalan dari makanan yang

dibagikan karena tidak diproses atau dimasak secara Islami.

26 Presentasi Singgih Nugroho dalam “Field Trip ke Kampoeng Persick”, 1 Oktober 2015. 27 Wawancara dengan Agung Waskito Adi, 7 Oktober 2015.

Page 19: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

19

Masalah ini sempat memanas di Manahan. Bahkan disinyalir akan dapat

menimbulkan bentrokan fisik. Kasus ini sempat membuat geger Kota Solo dan memaksa

Polres Solo ikut turun tangan. Dalam kasus ini, Percik juga ikut terlibat memediasi para

kedua belah pihak. Percik kemudian mempertemukan pihak gereja dan masyarakat

muslim Manahan. Tidak hanya itu yang dilakukan Percik, menurut Agung Waskita Adi,28

Percik juga ikut mengundang tokoh dari Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Pondok Pesantren Ngruki

untuk ikut bertemu dan berembug bareng dalam forum mediasi untuk mendapatkan

sebuah hasil yang dapat membawa manfaat bersama.

Upaya mediasi yang dilakukan Percik kemudian menghasilkan sebuah

pemahaman bahwa bakti sosial yang diselenggarakan oleh GKJ Manahan merupakan

murni bentuk kepedulian pihak gereja bagi kegiatan ibadah puasa umat Islam. Selain

itu, untuk menepis keraguan tentang kehalalan makanan yang dibagikan kepada umat

muslim saat berbuka puasa (ta’jil), maka disepakati bahwa untuk selanjutnya makanan

ta’jil dimasak di sebuah Masjid di Manahan, dan bahan-bahannya tetap berasal dari

gereja. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa kesepakatan yang telah dicapai dan

dapat diterima dengan damai oleh semua pihak tersebut tidak boleh dilaksanakan oleh

Polres Solo. Larangan Polres Solo tersebut dikarenakan kekhawatiran akan timbulnya

konflik baru yang lebih besar.

Kasus Kerusuhan Temanggung29

Kasus kerusuhan Temanggung terjadi pada Februari 2011. Kasus ini bermula dari

kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Antonius Richmond Bawengan. Penodaan

dilakukan dengan cara menyebarkan selebaran yang menyesatkan masyarakat.

Antonius kemudian ditangkap oleh Barisan Serba Guna (Banser) NU dan diserahkan ke

Polres Temanggung. Antonius kemudian diadili di Pengadilan Negeri Temanggung.

Namun tidak semua elemen masyarakat merasa puas dan dapat menerima kondisi

tersebut. Saat sidang menjelang vonis banyak orang yang berdemonstrasi di depan

Pengadilan. Aksi demonstrasi tersebut kemudian berubah menjadi anarkis dan

kerusuhan yang berujung dengan pembakaran beberapa gereja di Temanggung, yaitu

Gereja Katolik St. Petrus, Gereja Bethel Indonesia dan Gereja Pantekosta.30

Kasus konflik ini menyebabkan kondisi kota Temanggung mencekam. Masyarakat

Temanggung yang terkenal damai tenteram menjadi takut untuk keluar rumah. Umat

Kristiani pun banyak yang khawatir untuk beribadah di gereja-gereja mereka. Selain itu,

28 Ibid. 29 Ibid. 30 Penjelasan lebih detil dan lengkap mengenai Kasus Kerusuhan Temanggung tahun 2011 dapat dibaca dalam Junaidi Simun, “Laporan Penelitian Conflict Analysis Mapping di Jawa Tengah”, April 2015.

Page 20: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

20

keharmonisan umat beragama di Temanggung terancam terganggu karena adanya

tindakan kekerasan dan main hakim sendiri oleh segelintir orang dalam kasus tersebut.

Menurut Agung Waskito Adi,31 karena adanya kasus tersebut membuat Polres

Temanggung mengirimkan anggotanya ke Percik untuk meminta bantuan rekonsiliasi

dan pendampingan pasca meletusnya kasus. Permohonan bantuan tersebut disikapi

oleh Percik dengan mengirimkan anggotanya ke Temanggung bersama Alissa Wahid

(Putri Gus Dur). Akan tetapi delegasi tersebut tertahan di batas Kota Temanggung dan

tidak dapat masuk karena penjagaan yang ketat oleh aparat kepolisian. Kemudian

bersama Alissa Wahid mereka pergi ke Pondok Pesantren Api Tegalrejo Magelang untuk

bertemu dengan Gus Yusuf Chudlori guna menyusun startegi.

Setelah tim dari Percik dapat masuk ke Temanggung beberapa hari setelah kasus

kemudian Percik melakukan investigasi dan dialog dengan masyarakat dan gereja.

Dialog dilakukan untuk mengembalikan stabilitas. Selain itu juga diberikan pemahaman

bahwa sebenarnya yang melakukan pembakaran gereja dan melakukan kerusuhan

merupakan orang-orang dari luar Temanggung yang ingin mengganggu ketenangan dan

kenyamanan kehidupan masyarakat Temanggung. Percik juga menggandeng para

pemuda di Temanggung dengan cara memberikan pelatihan jurnalistik kepada mereka.

Menurut M. Akbar,32 Percik juga melakukan sarasehan yang melibatkan berbagai

kalangan di Temanggung. Sarasehan yang diselenggarakan merupakan bagian dari

strategi pendampingan dan pemberian wawasan kepada masyarakat. Mengefektifkan

berbagai cara dan kegiatan untuk rekonsiliasi pasca konflik, terutama melaui kesenian,

juga tak luput dilakukan.

Dari keterlibatan pendampingan beberapa kasus di atas, dapat disimpulkan

beberapa metode penangan konflik yang dilakukan oleh Percik.

a. Membangun relasi pertemanan dengan semua pihak. Hal ini dilakukan dengan

fleksibel dan tidak kaku.

b. Membangun komunikasi yang aktif dan intensif dengan dan antar semua pihak

yang berkonflik.

c. Berorientasi pada proses, bukan hasil. Karena konsep hasil yang ditawarkan

belum tentu diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Biarkan masyarakat

yang berkonflik yang mencari kesepakatannya sendiri.

d. Menghindari konflik politik, dan campur tangan dari luar. Bila hal ini tidak

diperhatikan, akan ikut memperparah konflik yang terjadi.

e. Menghindari penyelesaian lewat jalur hukum karena seringkali tidak

memuaskan satu pihak. 31 Wawancara dengan Agung Waskito Adi, 7 Oktober 2015. 32 Wawancara dengan M. Akbar, 7 Oktober 2015.

Page 21: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

21

f. Melakukan penanganan dan pendampingan kasus secara senyap (silent) dan

rahasia, serta tidak terpublikasi ke media.

g. Melakukan pencegahan dini serta pencegahan timbulnya konflik baru.

Bagi Dr. Prajarta Dirdjosanjoto,33 konflik yang terjadi di masyarakat biarlah

penyelesaiannya disepakati oleh masyarakat sendiri. Masyarakat mempunyai

kemampuan meredam konflik, salah satunya dengan kearifan lokal yang ada karena

masyarakat sendiri lebih berpengalaman. Menurutnya, dalam upaya penyelesaian

konflik yang terjadi di masyarakat, mendengarkan pendapat serta memahami tujuan

dari pendapat yang disampaikan adalah hal yang utama untuk kemudian dicari titik

tengah atau kesepakatan yang akan disetujui semua pihak. Tugas kita, para aktivis

perdamaian, hanya mendampingi dan mengawal agar prosesnya berjalan dengan benar

dan menghasilkan kesepakatan yang diterima semua pihak. Menurutnya, hal ini

didasarkan kepada beberapa aspek:

a. Di dalam masyarakat sendiri penuh dengan potensi konflik.

b. Masyarakat mempunyai kemampuan meredam konflik.

c. Masyarakat mempunyai kearifan lokal.

d. Menghargai upaya-upaya lain yang memahami persoalan tersebut.

3. Manajemen Penyelesaian Konflik secara Damai

Setelah melakukan wawancara dengan Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro

dan para aktivis Percik, secara umum dapat disimpulkan bahwa Pondok Pesantren Edi

Mancoro dan Percik memiliki kesamaan dalam upaya menyelesaikan konflik, yaitu

dengan cara pencegahan dan penanganan konflik secara damai. Kedua lembaga ini

memiliki banyak cara atau solusi dalam terlibat menyelesaikan konflik dengan tanpa

menimbulkan konflik baru atau konflik turunan. Bahwa dalam upaya menyelesaikan

konflik tidak serta merta kita yang bertanggungjawab menangani dan memegang

kendali atas penyelesaian konflik. Tidak bisa seenaknya sendiri berupaya

menyelesaikan konflik yang terjadi maupun berpotensi terjadinya konflik.

Para aktivis kedua lembaga ini menggunakan cara, teknik dan prinsip-prinsip

khusus dalam melibatkan diri menyelesaikan konflik dengan tujuan agar semua pihak

bisa saling menerima dan tidak muncul konflik lanjutan. Di antara teknik dan prinsip

tersebut adalah:

a. Mencari informasi sebanyak dan seutuh mungkin mengenai konflik dan sumber

dan akar terjadinya konflik.

33 Wawancara dengan Dr. Prajarta Dirdjosanjoto, 7 Oktober 2015.

Page 22: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

22

b. Mencoba menganalisa harapan-harapan dan tujuan yang diinginkan semua pihak

yang berkonflik, dan mempersiapkan mental juang untuk melakukan kerja-kerja

resolusi konflik.

c. Menuju musyawarah dengan mendengarkan permasalahan antar berbagai pihak.

d. Menganalisa dengan jeli dan jernih tawar-menawar kepentingan.

e. Menciptakan kesepakatan antar berbagai pihak.

f. Melaksanakan hal yang sudah disepakati secara suka rela.

Hal yang perlu digarisbawahi dari teknik dan prinsip Pondok Pesantren Edi

Mancoro dan Percik dalam upaya mereka menyelesaikan konflik bahwa mereka tidak

pernah membuat aturan-aturan atau keputusan-keputusan yang muncul dan bersifat

pribadi untuk kepentingan pribadi. Mereka selalu mengedepankan kebersamaan dan

permusyawaratan dalam menentukan keputusan-keputusan tersebut. Beberapa hal

berikut dapat dipertimbangkan dalam upaya-upaya dimaksud:

1. Penyelesaian konflik harus dilakukan secara bertahap dan dikategorisasikan

sesuai dengan masalahnya.

2. Harus bisa menganalisa dan mengidentifikasi permasalahan dengan cermat agar

bisa memutuskan metode mana yang akan digunakan untuk menyelesaikan hal

tersebut.

3. Pemetaan konflik untuk dapat mempermudah penanganannya.

4. Membangun relasi pertemanan dengan semua pihak. Hal ini harus dilakukan

dengan fleksibel dan tidak kaku.

5. Membangun komunikasi yang aktif dan intensif antara dan dengan semua pihak

yang berkonflik agar terjadi keakraban dan mendapatkan informasi yang

berimbang dan memadai.

6. Berorientasi kepada proses, bukan hasil. Karena konsep hasil yang ditawarkan

belum tentu diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Biarkan masyarakat

yang berkonflik yang mencari kesepakatannya sendiri.

7. Partisipasi segenap lapisan masyarakat dan para tokoh masyarakat serta

pemerintah untuk menyelesaikannya.

8. Kompak dan satu komando sehingga kekuatan dapat dibangun dan

kepemimpinan dapat terkontrol.

9. Menghindari konflik politik, dan campur tangan dari pihak luar. Hal ini seringkali

memperparah konflik yang terjadi.

10. Menghindari penyelesaian lewat jalur hukum karena seringkali tidak

memuaskan beberapa pihak.

11. Melakukan penanganan dan pendampingan secara senyap (silent) dan rahasia,

serta tidak terpublikasi ke media.

12. Melakukan pencegahan dini serta pencegahan timbulnya konflik baru.

Page 23: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

23

13. Pemberdayaan civil society dan memberikan penyadaran kapda masyarakat akan

arti toleransi dan perbedaaan.

14. Kesepakatan dalam perdamaian merupakan inisiatif masyarakat sendiri karena

masyarakat mempunyai kemampuan untuk itu. Aktifis perdamaian hanya

mengawal prosesnya agar dapat berjalan dengan baik dan terarah.

4. Tantangan dan Problem yang Dihadapi

Kendala yang dihadapi dalam upaya menyelesaikan konflik yang terjadi adalah

kadang sebagian dari pihak yang berkonflik sulit untuk diajak bermusyawarah dan

terkadang pula tidak menemui kesepakatan. Bila hal tersebut terjadi maka antar pihak

yang berkonflik harus menerima penyelesaian konflik paling darurat yang disiapkan

mediator dimana penyelesaiannya haruslah win-win ataupun lose-lose.

Berikut ini tantangan dan problematika yang seringkali dihadapi dalam

penanganan konflik secara damai.

1. Pemerintah tidak independen dan kurang obyektif dalam menyikapi

permasalahan, sehingga mudah terjadi intervensi.

2. Tokoh masyarakat kurang obyektif dalam menyikapi sebuah permasalahan

sehingga seringkali memperkeruh suasana dan memperparah konflik yang

terjadi.

3. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan Hak Asasi Manusia

(HAM) dan toleransi dalam bermasyarakat.

4. Ketika permasalahan tercium oleh media, seringkali penyelesainnya menjadi

rumit.

5. Penyelesaian melewati jalur hukum tidak memuaskan semua pihak.

6. Hal yang paling rentan terjadi saat ini adalah konflik horizontal yang terjadi

antar masyarakat sendiri.

Page 24: Kompilasi Laporan Field Trip Semarang_Edited.pdf

24

E. Rekomendasi

Berkaca pada uraian di atas, bahwa setiap manusia pasti memiliki konflik baik

secara individu maupun kelompok. Namun tidak selamanya konflik itu berkonotasi

negatif. Karena dengan adanya konflik justru bertujuan menambah kedewasaan kita

dalam menjalani kehidupan. Kuncinya adalah bagaimana cara kita mengelola konflik

tersebut dan menghadapinya dengan baik dengan cara damai tanpa adanya kekerasan.

Dari pengalaman mengikuti rangkaian kegiatan Training “Pendidikan

Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam” dan Field trip ke Pondok Pesantren Edi

Mancoro dan Percik serta melakukan wawancara dan berinteraksi langsung dengan

narasumber kunci dari Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Percik, beberapa hal berikut

dapat dijadikan rekomendasi penting sebagai upaya penyelesaian suatu konflik secara

damai berlandaskan prinsip-prinsip Islam dan hak asasi manusia, yaitu:

1. Melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam pendalaman Hak Asasi Manusia

(HAM) serta makna toleransi dalam masyarakat.

2. Pencegahan konflik secara dini harus mulai dilakukan dengan cara mengadakan

diskusi dan silaturahmi secara rutin.

3. Pemerintah dan tokoh masyarakat harus bisa obyektif dan independen dalam

menyikapi sebuah permasalahan.