Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa...

19
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul: Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus Obyek Sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta,” atas alasan yang dapat digambarkan sebagai berikut di bawah ini; Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) hadir dengan mendasarkan diri pada Undang-Undang (UU) No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Adapun wewenang absolut dari PTUN menurut undang-undang adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN. 1 Dalam ilmu hukum ada suatu asas 2 bahwa selama suatu Keputusan TUN tidak digugat oleh pihak yang berkepentingan dan tidak dibatalkan oleh Hakim, maka putusan itu selalu dianggap sah menurut hukum. 3 1 Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.51 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 2 Prof. DR. Sudikno Mertokusumo,SH., memberikan definisi asas yaitu bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan Hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. Prof. DR. Sudikno Mertokusumo,SH., Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 34. Pandangan Almarhum Sudikno ini kurang tepat. Sebab, pada dasarnya asas hukum juga mengikat. Perhatikan Buku Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D menemukan bahwa melanggar asas adalah melanggar hukum. Sebab, Mahkamah Agung Republik

Transcript of Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa...

Page 1: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul

Penulis memilih judul: “Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus

Obyek Sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta

dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta,” atas alasan

yang dapat digambarkan sebagai berikut di bawah ini;

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) hadir dengan mendasarkan diri

pada Undang-Undang (UU) No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU

No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Adapun wewenang absolut dari PTUN menurut

undang-undang adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN.1

Dalam ilmu hukum ada suatu asas2 bahwa selama suatu Keputusan TUN

tidak digugat oleh pihak yang berkepentingan dan tidak dibatalkan oleh Hakim, maka

putusan itu selalu dianggap sah menurut hukum.3

1Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.51 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

2Prof. DR. Sudikno Mertokusumo,SH., memberikan definisi asas yaitu bukanlah peraturan hukum

konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari

peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam

peraturan perundang-undangan dan putusan Hakim yang merupakan hukum positif dan dapat

diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. Prof. DR. Sudikno

Mertokusumo,SH., Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 34.

Pandangan Almarhum Sudikno ini kurang tepat. Sebab, pada dasarnya asas hukum juga mengikat.

Perhatikan Buku Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya

Wacana Salatiga. Dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D

menemukan bahwa melanggar asas adalah melanggar hukum. Sebab, Mahkamah Agung Republik

Page 2: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

2

Berdasarkan pemahaman akan asas tersebut tentunya kehadiran PTUN

berfungsi judicial review atas tindakan badan atau pejabat TUN, dalam hal ini, secara

khusus, judicial review hanya beschikking yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat

TUN yang dinilai bertentangan dengan hukum.

Adapun yang dimaksud dengan tindakan Pejabat TUN adalah:4 (1)

tindakan mengeluarkan keputusan, yang disebut ketetapan administrasi atau

beschikking; (2) Tindakan mengeluarkan peraturan atau regeling dan; (3) Tindakan

melakukan perbuatan materiil atau perbuatan wajar.

Ketiga tindakan pejabat TUN tersebut yang dapat menjadi obyek

sengketa PTUN, hanyalah tindakan pejabat TUN yang dalam kategori mengeluarkan

keputusan (beschikking). Kaedahnya ini terdapat pada Pasal 1 Angka (10) UU No. 51

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN yang

berbunyi:

“sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam

bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata

dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di

daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,

termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.”

Indonesia dalam Putusan sengketa TUN No. 213 K/TUN/2007 mengatakan bahwa pejabat TUN

terbukti melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu kecermatan dan kehati-hatian.

3Indroharto, SH. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II

Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 27.

4Prof.Soehino, S.H., Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 3.

Page 3: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

3

Rumusan pengertian mengenai sengketa TUN yang sama dengan di atas

kemudian diikuti oleh beberapa penulis, antara lain ada yang mengatakan bahwa

sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dibidang TUN antara orang atau badan

hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, akibat dikeluarkannya suatu

keputusan TUN.5

Sementara itu pengertian mengenai keputusan Badan atau Pejabat TUN

adalah: “Keputusan atau Penetapan tertulis, atau yang disamakan dengan itu, yang

dikeluarkan atau ditolak dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan TUN”.6

Mengacu pada ketiga definisi keputusan TUN di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa kompetensi absolut PTUN adalah hanya menyangkut mengadili

dan memutus keputusan TUN.

Sementara itu, para pihak dalam sengketa itu adalah warga negara atau

individual atau badan hukum perdata yang selalu hanya dapat menjadi Penggugat

melawan Badan atau Pejabat TUN yang selalu menjadi Tergugat.7

Kemudian, apa yang dimaksud dengan Keputusan TUN oleh undang-

undang dirumuskan sebagai berikut, yaitu:

5 Rozali Abdullah, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 1992,

hlm. 31.

6 Darwan Prist, S.H., Strategi Menangani Perkara Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti , Bandung,

hlm. 30.

7Sehingga, dapat dikatakan bahwa ada suatu asas, yaitu tidak mungkin, atau tidak boleh Badan atau

orang perdata menjadi Tergugat. Pelanggaran terhadap hal ini adalah suatu perbuatan melawan hukum

yang sangat serius.

Page 4: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

4

“Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata

usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat

konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata.”8

Selain pengertian Keputusan TUN sebagaimana telah Penulis kemukakan

di atas, ada juga penulis yang mengatakan bahwa, keputusan TUN adalah:

“merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN

berdasarkan atas: peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit,

individual, dan final”.9

Akan tetapi di dalam kenyataannya sebagaimana digambarkan dalam

skripsi ini, terdapat berbagai fakta, bahwa obyek sengketa pada PTUN adalah

keputusan pihak Yayasan Perguruan Tinggi Swasta (privat/partikelir).

Demikian pula Tergugat dalam sengketa TUN yang ada, ternyata tidak

selalu badan atau pejabat TUN, tetapi justru yang ada adalah Tergugat merupakan

Yayasan Perguruan Tinggi Swasta atau orang perdata/privat/partikelir.

Artinya, prinsip bahwa PTUN hanya mengadili obyek sengketa sepanjang

keputusan merugikan individu dilakukan oleh pejabat TUN (publik), seolah-olah

telah disimpangi, dan ini dapat dilihat sebagai menyimpangi kategorisasi privat-

publik dalam ilmu hukum. Sehingga orang dapat saja menyoal, bukankah suatu

8Pasal 1 Angka (9) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

9 Soegijatno Tjakranegara, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta, 1992, hlm. 4.

Page 5: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

5

Peradilan harus berjalan secara rasional, sejalan dengan logika atau kaedah hukum

yang memisahkan antara aspek publik dan aspek privat?

Sebagai contoh, sekaligus Putusan10

yang menjadi obyek studi penelitian

ini adalah dua Putusan Pengadilan dalam sengketa TUN yaitu Putusan No:

48/G/2009/PTUN-SMG dan Putusan No:10/G/2010/PTUN-SMD.

Dalam kedua Putusan Pengadilan TUN tersebut di atas, keputusan unsur

Yayasan Perguruan Tinggi Swasta ternyata telah menjadi obyek sengketa PTUN.

Menurut tafsir para hakim PTUN, keputusan seperti itu ada yang termasuk dalam

kategori keputusan pejabat TUN, namun ada juga hakim yang menyatakan

sebaliknya, suatu pertentangan di dalam hukum (conflict within the law) yang tidak

boleh terjadi.

Keputusan Rektor Universitas Swasta sebagai unsur dari Yayasan

Perguruan Tinggi Swasta yang menjadi obyek sengketa PTUN, lebih jauh menjadi

suatu legal issue dengan munculnya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

jo UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa dengan berlakunya UU No.13

Tahun 2003 maka Karyawan atau Dosen suatu Perguruan Tinggi Swasta seharusnya

adalah Buruh atau Pekerja.

Artinya, unsur dari Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang lain adalah

Pengusaha atau Majikan atau, Pemberi Kerja, menurut UU Ketenagakerjaan.

10

Putusan boleh menjadi obyek Penelitian ilmu hukum untuk menemukan kaedah dan prinsip, tetapi

hukum tidak boleh diteliti! Pendapat ini tersirat dalam buku Kontrak Sebagi Nama Ilmu Hukum, Loc.

Cit., hlm.5. Isi Lengkap kedua Putusan tersebut dapat dilihat dalam LAMPIRAN Skripsi saya ini.

Page 6: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

6

Dengan demikian, apabila terjadi sengketa di antara kedua unsur itu,

maka sengketa itu adalah sengketa industrial di antara kedua belah pihak dalam hal

ini Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta dengan Yayasan Perguruan

Tinggi Swasta. Artinya, Pengadilan yang seharusnya berwenang mengadili atau yang

memiliki kompetensi absolut atas perselisihan tersebut, sesuai dengan UU No.2

Tahun 2004 adalah PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Dengan perkataan lain,

sengketa yang ada itu/dua sengketa yang putusannya menjadi obyek studi penelitian

ini seharusnya tunduk pada rezim hukum dan Pengadilan yang sama sekali berbeda

dengan rezim hukum PTUN.

Permasalahan demikian yang menjadi alasan Penulis untuk meneliti

mengenai “Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus Obyek Sengketa

Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen

atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta”, sebagaimana telah di

kemukakan di atas, untuk pada akhirnya menyusun skripsi kesarjanaan ini.

1.2. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986, yang sudah digantikan oleh UU No.

51 Tahun 2009, PTUN mulai beroperasi 5 tahun, dihitung sejak tahun 1986.

Dengan demikian maka kehadiran PTUN dalam sistem hukum positif di

Indonesia sudah sejak tahun 1991, dan sudah menghasilkan banyak Putusan. Dalam

pengamatan Penulis, Putusan PTUN di daerah-daerah menimbulkan perbedaan.

Page 7: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

7

Seperti telah Penulis kemukakan di atas, perbedaan itu dalam arti, tidak

sesuai kompetensi yang dimiliki PTUN sebagaimana yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Misalnya, Putusan yang terjadi di PTUN Semarang. Ternyata PTUN

Semarang, menerima menyelesaikan sengketa keputusan badan hukum perdata. Beda

halnya di PTUN Samarinda, Hakim ternyata sebaliknya menyatakan tidak dapat

diterima gugatan untuk menyelesaikan sengketa keputusan badan hukum swasta.

Perbedaan Putusan di kedua wilayah kompetensi relatif PTUN tersebut

menjadi perbincangan hangat dikalangan sarjana hukum dan akademisi hukum.

Bahkan ada yang berpendapat bahwa, hal itu, perbedaan dalam menggunakan

kompetensi mengadili tersebut melanggar hukum. Kewenangan PTUN yang hanya

ditujukan untuk menyelesaikan sengketa TUN telah diciderai dengan PTUN

menerima keputusan badan hukum perdata LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat),

bagaimana mungkin LSM menjadi Badan Hukum Publik? Misalnya LSM seperti

YPTKSW sebagai obyek sengketa PTUN? dan hal itu berarti menempatkan LSM

sebagai badan hukum publik.

Menurut Penulis obyek sengketa yang ada dalam Putusan

No:10/G/2010/PTUN-SMD dan Putusan No: 48/G/2009/PTUN-SMG adalah

seharusnya merupakan Putusan-Putusan yang mengadili keputusan dari Badan

Hukum Perdata, bukan mengadili dan memutus keputusan Badan atau Pejabat TUN.

Artinya dengan dimasukkannya Keputusan Yayasan Perguruan Tinggi

Swasta di dalam satu dari kedua Keputusan Pengadilan di atas dalam kategori

Page 8: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

8

keputusan Badan atau Pejabat TUN, maka hal itu adalah suatu penyimpangan.

Konsekuensi, apabila ternyata kompetensi absolut PTUN itu salah dan keliru, maka

Putusan TUN batal demi hukum (null and void).

Umum dipahami, wewenang Pemerintah dalam menyelenggarakan

pemerintahan dan kenegaraan berasal dari peraturan perundang-undangan11

atau di

dalam ilmu hukum sering disebut dengan asas legalitas (Legaliteitsbeginsel).

Kewenangan yang diberikan dalam undang-undang itu kemudian dapat dilakukan

dengan tiga cara, antara lain melalui: atribusi, delegasi, dan mandat,12

yang pada

dasarnya adalah termasuk kontrak-kontrak (contracts).

Sementara itu, ada ahli hukum berpendapat bahwa Yayasan Perguruan

Tinggi Swasta dalam menyelenggarakan pendidikan merupakan suatu delegasi dari

Pemerintah.

Akibat dari delegasi adalah muncul pemahaman bahwa pendelegasian

kewenangan ini berakibat Yayasan Perguruan Tinggi Swasta merupakan Badan atau

Pejabat TUN.

Konsekuensi selanjutnya adalah keputusan Yayasan Perguruan Tinggi

Swasta dengan demikian juga merupakan Keputusan TUN.

Hakim TUN mengikuti logika berpikir yang demikian untuk mengadili

sengketa dalam Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang merupakan obyek PTUN.

11

Ridwan, HR, S.H., “Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 103.

12

Ibid., hlm. 104.

Page 9: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

9

Sehubungan dengan itu, dipahami badan hukum perdata merupakan

pendelegasian wewenang dari Pemerintah dan menjalankan tugas sebagian

Eksekutif,13

akibatnya adalah bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta kemudian

menjadi tergolong sebagai eksekutif. Pemahaman seperti ini salah. Diketahui bahwa

Pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat dalam suatu Negara dengan

tugas-tugas yang beragam dan luas yang tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah

sendiri tetapi juga dilakukan oleh pihak swasta. Partisipasi swasta dalam

melaksanakan tugas Pemerintah (eksekutif) tidak serta merta menjadikan swasta

tersebut sebagai Badan atau Pejabat TUN. Pemikiran seperti ini didasari oleh suatu

teori yang dikemukakan oleh Indroharto, yang terkenal dengan teori melebur. Dalam

teori tersebut dikatakan bahwa setiap perjanjian perdata yang dilakukan oleh

Pemerintah, maka tindakan Pemerintah tersebut akan melebur ke dalam tindakan

hukum perdata (misalnya tindakan hukum jual-beli yang telah dilakukan).

Meleburnya dalam tindakan hukum perdata, karena yang menjadi poin pentingnya

adalah tujuan akhir dari rangkaian tindakan-tindakan hukum tersebut.14

13

Darwan Prist, S.H., Strategi Menangani Perkara Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti , Bandung,

hlm. 27. Pelimpahan wewenang Eksekutif kepada Lembaga Swasta, misalnya di bidang pendidikan

mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, bidang kesehatan dengan pemberian izin kepada

Lembaga-Lembaga Swasta untuk mengelola Rumah Sakit Swasta. Pikiran seperti ini telah

menciptakan suatu asumsi bahwa Badan Hukum Swasta partikelir seperti Yayasan Perguruan Tinggi

Swasta adalah badan hukum TUN. Juga, Badan Hukum Swasta partikelir seperti Yayasan Perguruan

Tinggi Swasta adalah eksekutif! Aneh!

14

Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I

Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.

117.

Page 10: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

10

Berbeda dengan pandangan yang baru saja dikemukakan diatas,

sebaliknya ada yang berpendapat bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dalam

melaksanakan pendidikan bukan pelimpahan wewenang dari Pemerintah. Akan

tetapi, Yayasan Perguruan Tinggi Swasta hanya memeroleh ijin dari Pemerintah

untuk menyelenggarakan pendidikan. Pemerintah melakukan pembentukan,

pengawasan, dan memberikan pembiayaan. Hal ini, menurut para penulis tersebut,

tidak serta merta menjadikan Badan Hukum Swasta tersebut tergolong sebagai badan

atau pejabat TUN.15

Tepat bahwa konsekuensi dari teori melebur yang dipakai

sebagai dasar sebagaimana dijelaskan diatas, maka Pemerintah hanya melakukan

pengawasan yaitu dengan mengeluarkan ijin kepada setiap individual. Itu sebabnya,

ada pendapat bahwa keputusan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta tunduk pada

hukum perdata, terlebih lagi dengan kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial

(PHI), maka yurisdiksi untuk menyelesaikan perselisihan antara buruh dan majikan

adalah di PHI, suatu Badan Peradilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum di

Indonesia.

Dalam ilmu hukum, Keputusan TUN adalah suatu perbuatan Pemerintah

yang bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada

peristiwa konkrit menurut prosedur dan persyaratan tertentu.16

Oleh sebab itu sudah

kewajiban Pemerintah untuk turut campur tangan dalam setiap instansi yang

melakukan aktifitas pendidikan, termasuk juga Yayasan Perguruan Tinggi Swasta,

15

Ridwan, HR, S.H., “Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 86.

16

Ibid., hlm. 210.

Page 11: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

11

dengan ketentuan memberikan perijinan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Implikasi dari dikeluarkannya perijinan oleh Pemerintah atau

Badan/Pejabat TUN adalah secara tidak langsung Negara harus mengawasi tindakan

Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dan dapat dipahami juga bahwa perijinan ini

merupakan instrumen dari Negara sebagai satu subyek hukum untuk mengendalikan,

dalam arti, antara lain, memfasilitasi Warga Negara atau Badan Hukum Perdata yang

juga dalam kedudukan yang setara dengan Negara sebagai badan hukum/subyek

hukum (parties to contract), supaya tetap dapat melaksanakan aktivitasnya secara

berdaya guna dan berhasil guna.

Kaitannya dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas itu, dalam

Pasal 102 Ayat 1 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa

“dalam melaksanakan hubungan industrial, Pemerintah mempunyai fungsi

menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan

melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan

Ketenagakerjaan”.

Bunyi Pasal di atas menjustifikasi bahwa setelah adanya undang-undang

Ketenagakerjaan berarti Pemerintah hanya melakukan pembentukan, pengawasan,

dan memberikan pembiayaan, dan tidak serta merta menjadikan Badan Hukum

Swasta tergolong sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Di manapun di seluruh

dunia, privat itu bukan publik dan publik itu pasti bukan privat.

Page 12: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

12

Memerhatikan uraian di atas, maka tampaknya adanya pemahaman yang

berbeda-beda diantara ahli hukum bahkan ditumpang-tindihkan mengenai Yayasan

Perguruan Tinggi Swasta dengan Badan TUN. Padahal, majikan suatu Yayasan

Partikelir berbeda dengan majikan para Pejabat TUN. Majikan adalah tiap orang atau

badan hukum yang mempekerjakan seorang buruh atau lebih di Perusahaan yang

diwajibkan memberikan tunjangan.17

UU No. 13 tahun 2003 tidak memberikan persamaan antara pemberi kerja

(pengusaha) dengan majikan, akan tetapi memberikan persamaan antara pekerja

dengan buruh.18

Hanya saja, di dalam Pasal 1 Angka (4) diuraikan bahwa “pemberi

kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya

yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain”.

Pemahaman di atas menegaskan bahwa Yayasan Perguruan Tinggi

Swasta juga dengan demikian merupakan pemberi kerja dalam istilah Perburuhan

disebut majikan kepada buruh, dalam hal ini Dosen19

dan atau Karyawan.

Orang disebut buruh apabila dia telah melakukan hubungan kerja dengan

majikan.20

Sementara itu, Dosen di Yayasan Perguruan Tinggi yang berstatus swasta,

17

Abdul Rachmad Budiono, S.H., Hukum Perburuhan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

1975, hlm. 4. Bandingkan dengan rumusan pengusaha dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan jo UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

18

Pasal 1 Angka (3) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

19

Perlu ditegaskan di sini bahwa secara prinsipil, peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia Dosen adalah profesional.

Page 13: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

13

dimana sistem pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian

dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.21

Maka

ketika sudah ada hubungan kerja yang berupa suatu perjanjian antara seseorang

(Dosen atau Karyawan) dengan Badan Hukum Perdata (Yayasan Perguruan Tinggi

Swasta), apabila ada sengketa, sengketa itu merupakan sengketa hubungan industrial.

Menurut UU No.2 Tahun 2004, kompetensi absolut untuk hal itu berada

di PHI. Artinya, apabila PTUN masih mengklaim kompetensi absolut untuk

mengadili sengketa industrial maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan.22

Bukankah hukum sebagai suatu sistem yang sangat sempurna tidak membolehkan hal

ini, pertentangan dalam sistem itu sendiri?23

Suatu studi perbandingan antara UU No.2 Tahun 2004 jo. UU No.13

Tahun 2003 dengan Pasal 1 Angka (10) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan

20

Dikutip dari H. Zainal Asikin, SH, S.U., H. Agusfian Wahab, SH., Lalu Husni, SH, M.Hum., Zaeni

Asyhadie, SH, M.Hum, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.

43.

21

Sahala Aritonang. S.H., Hak-hak Guru dan Dosen Swasta Jika Diberhentikan. CV. Eko Jaya ,

Jakarta, 2007, hal. 7. Ia membedakan Guru dan Dosen yang diangkat oleh satuan

pendidikan/pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah karena pengangkatan,

penempatan, pemindahan, dan pemberhentian diatur oleh Peraturan Pemerintah dan berstatus Pegawai

Negeri Sipil (PNS).

22

Sebelum disahkannya UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,

setiap perselisihan hubungan industrial diajukan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat

(P4P) dan putusannya bersifat final. Kemudian ketika ada pihak tidak memerima putusan tersebut,

mereka mengajukan ke PTUN. Hanya saja, yang menjadi obyek sengketa adalah keputusan P4P,

bukan keputusan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta misalnya. Namun hal ini merupakan alasan PTUN

dapat memutus sengketa Yayasan perguruan Tinggi Swasta. Akan tetapi setelah undang-undang PHI

berlaku, maka P4P daerah maupun pusat tidak memiliki kewenangan lagi untuk menyelesaikan

Perburuhan begitu juga dengan PTUN. Lembaga-lembaga politik tersebut sudah bubar!

23

Mengenai hal ini dapat dibaca dalam Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Buku: Kontrak Sebagai

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Page 14: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

14

Kedua UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, apakah Yayasan suatu Perguruan Tinggi

Swasta merupakan Badan atau Pejabat TUN? Adalah masalah yang penting setelah

keberadaan UU No.2 Tahun 2004, yang tidak lagi menghendaki sengketa Yayasan

Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta

masih saja dimasukkan dalam sengketa kewenangan PTUN.

Tetapi anehnya mengapa para penegak hukum (seperti pengacara) tidak

mau memahami bahwa sesungguhnya dengan berlakunya UU No.2 Tahun 2004 ada

konflik jurisdiksi sepanjang apabila penggugat itu adalah Dosen dan Karyawan

Yayasan Perguruan Tinggi Swasta melawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang

menurut UU No.13 Tahun 2003, Dosen dan Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi

Swasta adalah buruh atau pekerja.

Kemudian di dalam kepustakaan hubungan industrial, Yayasan/juga dapat

digolongkan sebagai pengusaha yang bentuk usahanya adalah Yayasan Perguruan

Tinggi atau Universitas Swasta. Ada pendapat bahwa adalah salah jika istilah

pengusaha hanya dipahami hanya sebatas para pemilik pabrik atau perusahaan-

perusahaan, sementara pemilik Yayasan, Lembaga Sosial, Lembaga Pendidikan dan

Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan lainnya tidak digolongkan sebagai pengusaha.24

Itulah sebabnya, dengan memerhatikan uraian di atas maka sengketa

antara Dosen atau Karyawan dengan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang

terjadi dalam Perguruan Tinggi Swasta, harus dipahami sama halnya dengan sengketa

24

Sahala Aritonang, S.H., Hak-hak Guru dan Dosen Swasta Jika Diberhentikan. CV. Eko Jaya ,

Jakarta, 2007, hal. 6.

Page 15: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

15

antara pengusaha/gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh.

Artinya kalau ada perselisihan antara buruh dan majikan dalam hal ini

Karyawan, Dosen dengan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta maka yang

pertama kali dipertimbangkan adalah Dosen dan Karyawan Yayasan Perguruan

Tinggi Swasta itu adalah buruh atau pekerja. Sementara unsur Yayasan Perguruan

Tinggi Swasta adalah pengusaha atau majikan. Hal ini semakin menjustifikasi

kompetensi absolut pada PHI.

Dalam kaitan dengan uraian di atas, Pasal 1 Angka (1) jo Pasal 56 UU

No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,

menyebutkan empat jenis perselisihan yaitu: (1) Perselisihan Hak; (2) Perselisihan

Kepentingan; (3) Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); (4) Perselisihan

antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Ada pendapat bahwa, perselisihan Ketenagakerjaan (Perburuhan) dapat

dibedakan antara perselisihan hak dengan perselisihan kepentingan”,25

namun

demikian, sengketa atau perselisihan antara Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi

Swasta dengan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang lain adalah unsur

majikan atau pengusaha.

Dengan mengacu Pasal tersebut di atas maka Putusan No:

48/G/2009/PTUN-SMG merupakan perselisihan kepentingan dan Putusan Pengadilan

25

Dikutip dari Abdussalam, S.H., Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), Restu Agung,

Jakarta, 2009, hlm. 129.

Page 16: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

16

No:10/G/2010/PTUN-SMD yang juga merupakan perselisihan kepentingan antara

buruh dan majikan.

Ini menandakan bahwa sudah barang tentu sengketa Yayasan Perguruan

Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta itu

harus diselesaikan di PHI.

Selama ini sebelum adanya UU No.13 Tahun 2003 jo UU No.2 Tahun

2004, apabila ada sengketa antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dan Dosen

(sebagai contoh dalam kedua sengketa itu), maka penyelesaian sengketanya adalah di

PTUN yang tunduk pada UU No.5 Tahun 1986 dengan perubahan UU No.51 Tahun

2009, tetapi setelah ada undang-undang tersebut sengketa Yayasan Perguruan Tinggi

Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah

merupakan kompetensi absolut PHI.

Mencermati juga akan kasus-kasus di atas, yang mana dengan

dimasukkan Badan Hukum Swasta sebagai Badan atau Pejabat TUN, yang selalu

menjadi Tergugat, sementara, untuk selamanya seharusnya orang atau pihak warga

negara/masyarakat/orang akan selalu menjadi pihak Penggugat, ada prinsip yang

seolah-olah telah dilanggar.

Ada dalil dalam Putusan yang menjadi obyek studi/Penelitian ini bahwa

keputusan (beschikking) memiliki sifat norma dalam hal konkret, individual dan final.

Sementara keputusan misalnya YPTKSW dan Yayasan/Badan Penyelenggara

Perguruan Tinggi Swasta (BP-PTS) 17 Agustus 1945 Samarinda, dipertanyakan

merupakan keputusan yang final.

Page 17: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

17

UU No.2 Tahun 2004 didalamnya diatur bahwa, keputusan PHK adalah

suatu putusan yang belum bersifat final, sebabnya yaitu sengketa karena PHK yang

kemudian menjadi masalah, masih harus diuji di PHI sebagai the last resort.26

Sehingga dalam hubungan hukum buruh-majikan PKWT misalnya, bukan merupakan

suatu beschikking, sebab belum final.

Atas dalil di atas kemudian ada pendapat bahwa sengketa yang terjadi

yaitu dalam Putusan No:10/G/2010/PTUN-SMD antara Alikuddin Saragih,SH.,

M.Hum, yang merupakan Pembantu Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas 17

Agustus 1945 Samarinda melawan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda

dengan obyek sengketanya adalah Surat Keputusan Rektor Universitas 17 Agustus

1945 Samarinda Nomor : 055/UN.17 /KP/II/2011 tanggal 1 Pebruari 2011 perihal

Pemberhentian Sementara sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen

Kopertis Dpk Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, dan Putusan No:

48/G/2009/PTUN-SMG sengketa yang terjadi antara Dosen Fakultas Psikologi

UKSW Drs. Aloysius Lukas Soenarjo Soesilo, MA dengan Rektor UKSW saat itu

Prof. Kris Herawan Timotius dengan obyek sengketa adalah SK Rektor UKSW No.

158/Rek/5/2009 tentang Pemberhentian Dosen Tetap tidak dapat menjadi obyek

sengketa di dalam PTUN.

Sesuai dengan unsur Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN yakni Badan atau Pejabat

TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan

26

Pasal 3 ayat 1 UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Page 18: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

18

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka mengacu Pasal

tersebut, jabatan Rektor Perguruan Tinggi Swasta bukanlah Pejabat TUN, karena

tidak melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. PTUN dengan demikian dapat dikatakan tidak memiliki kewenangan

(kompetensi absolut) untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan kedua sengketa

tersebut di atas. Seharusnya sengketa tersebut masuk dalam kewenangan absolut

Pengadilan yang mengadili sengketa hubungan industrial. Bagaimanakah hal ini

selanjutnya, perlu ada kepastian. Hal ini menjadi latar belakang penulis memilih

menulis permasalahan di atas.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya,

untuk membatasi agar pembahasan masalah tidak terlalu luas maka Penulis membuat

suatu rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah kompetensi absolut PTUN

memutus obyek sengketa dalam jurisdiksi absolut sebagaimana diatur dalam rezim

UU No.2 Tahun 2004 jo UU No.13 Tahun 2003?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kompetensi

absolut PTUN setelah berlakunya UU No.2 Tahun 2004 jo UU No.13 Tahun 2003

dalam mengadili sengketa hubungan industrial dimana pihak Yayasan Perguruan

Page 19: Kompetensi Absolut Ptun dalam Memutus Obyek Sengketa ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/2/T1... · peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

19

Tinggi Swasta berkedudukan sebagai pengusaha atau majikan dan Dosen atau

Karyawan Yayasan Peguruan Tinggi Swasta berkedudukan sebagai buruh.

1.5. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan oleh Penulis adalah penelitian hukum.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum

yang mengatur tentang kompetensi absolut, baik yang dimiliki oleh PTUN maupun

PHI.

Satuan amatan penelitian ini adalah: (1) UU No.51 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN; (2) UU No.2 Tahun

2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; (3) UU No.13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sementara itu ada pula beberapa Putusan Pengadilan yang dicermati

misalnya Putusan PTUN No: 48/G/2009/PTUN-SMG dan Putusan PTUN

No:10/G/2010/PTUN-SMD berkaitan dengan peraturan perundang-undangan

diantaranya UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun

1986 tentang PTUN, UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan

satuan analisa penelitian ini adalah bagaimana kompetensi absolut PTUN dalam

mengadili dan memutus obyek sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan

Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta

setelah berlakunya UU No.2 Tahun 2004 jo UU No.13 Tahun 2003.