komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

90
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA PEJENG DAN PURA PENATARAN SASIH 4.1 Gambaran Umum Desa Pejeng Pada subbab ini diuraikan secara umum keadaan geografis dan kondisi Desa Pejeng. Keadaan geografis meliputi iklim, flora, fauna, dan kependudukan. Selanjutnya berkenaan dengan kondisi desa pembicaraan meliputi sistem kemasyarakatan, mata pencaharian hidup, kehidupan sosial budaya, kehidupan sosial religius, zona konservasi budaya dan warisan budaya, dan Pejeng sebagai pusat kerajaan pada jaman Bali Kuno. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang keadaan sesungguhnya, maka digunakan pendekatan etnografi. Oleh karena itu, yang pertama dilakukan adalah mengadakan observasi atas berbagai fenomena yang tampak di lapangan terkait dengan aspek-aspek yang diangkat. Selain itu, dilengkapi dengan wawancara. Selanjutnya dideskripsikan dan dianalisisnya. 4.1.1 Lokasi dan Keadaan Geografis Desa Pejeng yang dipilih sebagai lokasi penelitian terletak di wilayah Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Secara geografis termasuk daerah dataran dengan ketinggian 500 m sampai dengan 600 m dari permukaan laut dan beriklim tropis dengan temperatur 28 o C dan maksimum 32 o C dengan kelembapan 65% curah hujan. Sepanjang tahun 2006 curah hujan sebanyak 2.471 mm, sedangkan sepanjang tahun 2007 mendapatkan curah hujan sebanyak sebanyak 2.310,5 mm. Setiap tahun curah hujan yang besar terjadi sekitar Oktober 45

Transcript of komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

Page 1: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

45

BAB IVGAMBARAN UMUM

DESA PEJENG DAN PURA PENATARAN SASIH

4.1 Gambaran Umum Desa Pejeng

Pada subbab ini diuraikan secara umum keadaan geografis dan kondisi

Desa Pejeng. Keadaan geografis meliputi iklim, flora, fauna, dan kependudukan.

Selanjutnya berkenaan dengan kondisi desa pembicaraan meliputi sistem

kemasyarakatan, mata pencaharian hidup, kehidupan sosial budaya, kehidupan

sosial religius, zona konservasi budaya dan warisan budaya, dan Pejeng sebagai

pusat kerajaan pada jaman Bali Kuno. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas

tentang keadaan sesungguhnya, maka digunakan pendekatan etnografi. Oleh

karena itu, yang pertama dilakukan adalah mengadakan observasi atas berbagai

fenomena yang tampak di lapangan terkait dengan aspek-aspek yang diangkat.

Selain itu, dilengkapi dengan wawancara. Selanjutnya dideskripsikan dan

dianalisisnya.

4.1.1 Lokasi dan Keadaan Geografis

Desa Pejeng yang dipilih sebagai lokasi penelitian terletak di wilayah

Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Secara geografis termasuk daerah

dataran dengan ketinggian 500 m sampai dengan 600 m dari permukaan laut dan

beriklim tropis dengan temperatur 28o C dan maksimum 32o C dengan

kelembapan 65% curah hujan. Sepanjang tahun 2006 curah hujan sebanyak 2.471

mm, sedangkan sepanjang tahun 2007 mendapatkan curah hujan sebanyak

sebanyak 2.310,5 mm. Setiap tahun curah hujan yang besar terjadi sekitar Oktober

45

Page 2: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

46

sampai dengan April. Seperti halnya daerah lainnya, Desa Pejeng beriklim tropis

dan mengenal adanya dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan

sehingga sangat cocok untuk pertanian (Profil Desa Pejeng, 2006--2007). Sampai

dengan saat sekarang, baik temperatur maupun kelembapan curah hujan rupanya

tidak begitu banyak mengalami perubahan.

Dilihat dari sisi tata letak, Desa Pejeng berada di daerah dataran tepatnya

di antara daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan dan Petanu dengan posisi

membujur dari utara ke selatan. Ketika diadakan pemekaran desa administrasi

berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gianyar, 1 April

1980, Nomor 07/414/682/Pem/1980 tentang pemekaran atau pembentukan desa-

desa persiapan, Desa Pejeng dimekarkan menjadi lima desa, yaitu satu Desa

Pejeng Induk (tengah) dan empat desa persiapan. Keempat desa persiapan yang

dimaksud, yaitu Desa Pejeng Kangin, Desa Pejeng Kelod, Desa Pejeng Kawan,

dan Desa Pejeng Kaja, dan sejak tahun 1985 ditetapkan menjadi desa definitif.

Secara administratif kelima desa ini sekarang menjadi batas-batas wilayah Desa

Pejeng.

Sebelah utara : Desa Pejeng Kaja

Sebelah timur : Desa Pejeng Kangin dan Desa Pejeng Kelod

Sebelah selatan : Desa Bedulu

Sebelah barat : Desa Pejeng Kawan

Namun, terkait dengan penelitian yang dilakukan, oleh karena berbicara tentang

warisan budaya masa lalu, maka Pejeng dilihat secara utuh seperti sebelum

dilakukan pemekaran dengan batas-batasnya, yaitu di bagian sebelah timur DAS

Page 3: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

47

Pakerisan, di bagian sebelah selatan Bedulu, di bagian sebelah barat DAS Petanu,

dan di bagian sebelah utara adalah Desa Sanding, Tampaksiring.

Sebagai wilayah desa yang berada di antara dua buah aliran sungai besar

dengan debit air yang relatif tinggi, dapat membuat keadaan tanah menjadi subur

sehingga sangat cocok untuk kehidupan budaya agraris. Sungai Pakerisan yang

sumber airnya berasal dari Tirta Empul sekaligus sebagai hulu sungai sampai kini

dijadikan sumber irigasi untuk mengairi sawah-sawah di sepanjang sungai,

khususnya sawah-sawah yang ada di wilayah Kecamatan Tampaksiring. Adapun

yang dimaksud di antaranya yaitu subak Kulub dan subak Pulagan. Kedua subak

itu berada di Tampaksiring. Selain itu, juga subak Panyembulan, subak Bedugul

Kana, subak Bakbakan, subak Pagending, subak Jero Agung. Keenam subak

tersebut berada di Desa Pejeng. Walaupun berada di antara dua buah aliran sungai

besar, Desa Pejeng tidak memiliki areal hutan. Namun, yang dimiliki adalah

tanam-tanaman yang membentuk hutan-hutan kecil sekaligus berfungsi sebagai

area konservasi alam dan lahan. Keadaan tanahnya terdiri atas beberapa jenis

tanah, yaitu tanah lempung, tanah kemerah-merahan, dan tanah berpasir dan

unsur-unsur hara cukup tinggi.

Catus pata (pempatan agung) yang biasa dijadikan titik tengah desa tepat

berada di sudut barat daya Puri Pejeng dan di sebelah selatan puri adalah pasar

desa. Dari titik tengah desa (catus pata) kemudian ditentukan dusun-dusun

penyangga Desa Pejeng atau juga disebut Desa Adat Jero Kuta. Keempat dusun

penyangga dimaksud, yaitu di bagian timur laut adalah Dusun Guliang, di bagian

tenggara adalah Dusun Intaran, di bagian barat daya adalah Dusun Pande, dan di

bagian barat laut adalah Dusun Puseh. Posisi Pura Penataran Sasih yang dijadikan

Page 4: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

48

objek dalam penelitian berada di sebelah tenggara puri dan tidak jauh dari pasar,

yang secara teritorial berada di Dusun Intaran.

Perlu ditegaskan bahwa secara kedinasan Desa Pejeng terdiri atas 6

banjar/dusun dinas, yaitu empat banjar yang disebutkan di atas (Dusun Jero Kuta)

ditambah dua banjar/dusun lainnya, yaitu Dusun Panglan dan Dusun Pedapdapan.

Kedua dusun yang disebut terakhir secara adat telah memiliki lembaga adat

dengan tradisinya masing-masing. Dengan demikian, Desa Pejeng bila dilihat dari

aspek kedinasan, didukung oleh enam banjar/dusun dinas. Sedangkan dari sisi

adat/pakraman didukung oleh empat dusun adat/pakraman, yaitu dusun

adat/pakraman Jero Kuta. Keempat dusun adat inilah yang berstatus sebagai

pangemong Pura Penataran Sasih. Namun, panyungsung-nya adalah warga desa

adat/pakraman Pejeng secara keseluruhan, bahkan masyarakat Bali.

4.1.2 Kependudukan

Untuk mendapatkan gambaran perkembangan jumlah penduduk, telah

dilaksanakan pendataan rutin setiap bulan selama dua tahun secara berturut-turut,

yaitu tahun 2006 dan tahun 2007. Pada tahun 2006 diperoleh data jumlah

penduduk sebanyak 5.172 jiwa dan pada tahun 2007 sebanyak 6.011 jiwa. Dari

perbandingan jumlah penduduk dalam dua tahun terakhir (2006--2007), ada

perkembangan jumlah penduduk sebanyak 839 jiwa sebagai akibat dari adanya

kelahiran. Bilamana diklasifikasi berdasarkan umurnya, untuk usia wajib belajar

sebanyak 650 jiwa atau 12,6 % dari jumlah penduduk tahun 2006. Jumlah itu

menjadi 786 jiwa atau 13,1 % pada tahun 2007. Penduduk usia produktif (15-56

tahun) sebanyak 3.120 jiwa atau 60,32 % dari jumlah penduduk tahun 2006. Pada

Page 5: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

49

tahun 2007 menjadi 3.339 jiwa atau 55,54 % dari jumlah penduduk tahun 2007.

Kemudian untuk jumlah penduduk nonproduktif, yaitu usia di bawah 15 tahun dan

di atas 56 tahun diperoleh sebesar 8,5 % atau 1.381 jiwa pada tahun 2006 dan 10,5

% atau 1.544 jiwa pada tahun 2007. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.

Tabel 4.1Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur

NO INDIKATOR JUMLAHTH 2006 TH 2007

1 2 3 41 0 – 12 Bulan 61 orang 79 orang2 >1 - < 5 Tahun 412 orang 401 orang3 < 5 - < 7 Tahun 258 orang 278 orang4 < 7 - < 15 Tahun 650 orang 786 orang5 > 15 – 56 Tahun 3.120 orang 3.339 orang6 < 56 Tahun 670 orang 1.128 orang

Jumlah 5.172 orang 6.011 orang

Sumber: Profil Desa Pejeng 2006--2007

Selanjutnya pendataan penduduk berdasarkan jenis kelamin, yaitu pada

tahun 2006 terdapat 2.724 orang laki-laki dan 2.448 orang perempuan. Tahun

2007 diketahui jumlah penduduk laki-laki 3.000 orang dan wanita 3.011 orang.

Dari jumlah penduduk tersebut terbagi menjadi 1.244 kepala keluarga tahun 2006

dan 1.341 kepala keluarga tahun 2007. Enam tahun kemudian (tahun 2013)

jumlah penduduk laki-laki 3.201 orang dan wanita berjumlah 3.157 orang terbagi

dalam 1.441 kepala keluarga. Rata-rata dalam setiap kepala keluarga terdiri atas

empat jiwa, dengan angka kepadatan penduduk 2.009 jiwa per km pada tahun

2006 dan 2.009 jiwa per km pada tahun 2007. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di

bawah ini.

Page 6: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

50

Tabel 4.2Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

NO INDIKATOR JUMLAHTH 2006 TH 2007 TH 2013

1 2 3 4 51 Jumlah Penduduk 5.172 orang 6.011 orang 6.358 orang2 Jumlah Laki-Laki 2.724 orang 3.000 orang 3.201 orang3 Jumlah Perempuan 2.448 orang 3.011 orang 3.157 orang4 Jumlah Kepala Keluarga 1.244 KK 1.341 KK 1.441 KK

Sumber: Profil Desa Pejeng 2006--2007

4.1.3 Sistem Kemasyarakatan

Sistem kemasyarakatan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah

meliputi semua lembaga dengan sistem yang diterapkan di dalamnya. Sistem

sesuai dengan pengertian konsepnya, yaitu susunan yang bergerak dan berfungsi.

Di dalam menggerakkan fungsi yang diembannya semua lembaga membutuhkan

norma-norma sebagai pemberi arah. Untuk menata kehidupan lembaga diterapkan

peraturan-peraturan sebagai pengendali dalam memutar roda pemerintahan guna

mencapai tujuan lembaga. Dua buah lembaga kemasyarakatan yang memiliki

peranan penting di setiap desa di Bali khususnya di Desa Pejeng adalah lembaga

desa dinas dan lembaga desa adat/pakraman. Kedua lembaga desa inilah yang

dijadikan tempat bernaung oleh warga masyarakat, untuk mendapatkan pelayanan,

baik berkaitan dengan urusan kedinasan maupun urusan adat dan keagamaan.

Lembaga desa dinas yang juga disebut perbekelan dipimpin oleh seorang

perbekel (kepala desa). Dalam pelaksanaan tugas-tugasnya kepala desa dibantu

oleh seorang sekretaris desa dilengkapi elemen-elemen pembantu lainnya. Tugas

dan kewajiban pokoknya adalah menangani segala urusan yang berhubungan

dengan masalah kedinasan. Untuk menata pola hubungan kerja antarelemen yang

Page 7: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

51

ada di dalamnya ada suatu sistem mengaturnya. Selanjutnya lembaga desa

adat/pakraman sebagai sebuah lembaga adat, memiliki tugas di bidang urusan

adat dan keagamaan. Lembaga ini dipimpin seorang bendesa, dibantu oleh

seorang patajuh, seorang panyarikan, seorang juru raksa, seorang juru arah, dan

beranggotakan prajuru/kelian adat yang ada di lingkungan desa adat tersebut.

Mengingat banyak dan kompleksnya tugas dan fungsi yang diemban, baik

oleh lembaga kedinasan maupun lembaga adat dan keagamaan, dibutuhkan

lembaga-lembaga lain sebagai lembaga pendamping dan pembantu. Lembaga-

lembaga sosial kemasyarakatan terkait dengan kedinasan yang ada di Desa

Pejeng, di antaranya adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Koperasi Unit

Desa (KUD), Lembaga Perkreditan Desa (LPD); dalam urusan seni budaya ada

sekaa gong dan sanggar seni; dan dalam urusan kepemudaan dibantu oleh karang

taruna. Berhubungan dengan masalah adat/pakraman, Bendesa Adat didampingi

oleh lembaga kerta desa. Semua lembaga tersebut memberikan banyak kontribusi

dalam membantu jalannya pembangunan di Desa Pejeng. Karena adanya status

ganda yang dimiiliki warga masyarakat, yaitu selain berstatus sebagai warga desa

dinas juga sebagai warga desa adat, tidak dimungkiri bahwa tugas dan fungsi

organisasi sosial yang ada dapat pula berfungsi ganda.

Dalam konteksnya dengan pembangunan, lembaga yang berperan untuk

merancang pembangunan di desa adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Tugas dan fungsi lembaga ini identik dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Lembaga ini dipimpin seorang ketua dibantu oleh seorang sekretaris dan seorang

bendahara. Keanggotaannya terdiri atas orang-orang yang memiliki kemampuan

di bidang masalah sosial, politik, dan ekonomi. Sesungguhnya lembaga ini

Page 8: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

52

memiliki peranan dan fungsi dalam bidang kedinasan. Khususnya dalam suksesi

di bidang pembangunan politik, lembaga ini berperan untuk merancang,

menyiapkan, dan melaksanakan pemilihan kepala desa. Sebagai penyelenggara,

BPD membentuk panitia penyelenggara pemilihan. Panitia ini bertugas membuat

tata cara pemilihan dan mengadakan sosialisasi ke masyarakat. Selanjutnya

menyelenggarakan pemilihan dan hasilnya dilaporkan secara formal ke BPD.

Dalam urusan adat dan keagamaan ditangani oleh sebuah lembaga adat,

yaitu kerta desa. Lembaga ini beranggotakan para tokoh utusan dari tiap-tiap

dusun yang memiliki kemampuan di bidang adat dan agama. Dalam penentuan

keanggotaannya dipilih secara selektif dan jumlahnya juga dibatasi. Tugas yang

diemban adalah memilih bendesa adat melalui pembentukan panitia pemilihan;

merancang dan menyusun awig-awig adat untuk dijadikan pegangan oleh bendesa

adat dalam menyelenggarakan pemerintahan; dan selanjutnya mengadakan kontrol

terhadap jalannya pemerintahan.

Di bidang urusan perekonomian desa, di Desa Pejeng terdapat tiga buah

Lembaga Perkreditan Desa (LPD), enam buah Koperasi Banjar, dan sebuah

Koperasi Unit Desa (KUD). Keuntungan yang diperoleh dari hasil pengelolaannya

sebagian dimanfaatkan untuk pemeliharaan tempat suci, upacara piodalan, dan

kesejahteraan warga. Di bidang urusan pertahanan dan keamanan desa, terdapat

dua organisasi keamanan, yaitu keamanan di bidang kedinasan adalah hansip dan

keamanan di bidang adat, yaitu pacalang. Di bidang seni budaya, setiap banjar

memiliki satu barung gamelan gong kebyar. Dua buah banjar, yaitu Banjar

Guliang dan Banjar Puseh, juga memiliki satu barung angklung selain gong

kebyar. Selain sekaa seni yang menggunkan alat musik yang dimiliki setiap

Page 9: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

53

dusun, di Desa Pejeng juga ada sekaa-sekaa seni milik pribadi, seperti sekaa

smara pagulingan, sekaa selonding, sanggar tari, sekaa topeng, wayang gedog,

dan sebagainya yang keanggotaannya berasal dari desa setempat. Untuk

membantu menangani kegiatan sosial budaya, setiap dusun memiliki organisasi

kepemudaan yang disebut sekaa truna-truni (STT).

4.1.4 Mata Pencaharian Hidup

Di atas telah diuraikan bahwa Sungai Pakerisan memberikan berkah

terhadap tingkat kesuburan tanah di Desa Pejeng sehingga cocok untuk

membangun kehidupan budaya agraris. Dari 1.341 kepala keluarga (KK), 1.333

KK atau 97,6 % menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Lahan

persawahan seluas 142,25 hektare atau 50,58 hektare dari luas wilayah dikelola

oleh enam buah organisasi subak, yaitu subak Panyembulan, subak Pagending,

subak Tengaling, subak Bedugul Kana, subak Bakbakan, dan subak Jero Agung.

Tampaknya jumlah luas tanah pertanian tersebut telah mengalami penyusutan,

seiring dengan perkembangan jumlah penduduk sebagai akibat dari kelahiran

yang membutuhkan tempat pemukiman. Warga yang tanah pekarangannya sudah

penuh mereka membeli tanah sawah atau tegalan dijadikan tempat permukiman.

Tidak jarang di antara mereka menjual atau mengontrakkan tanahnya untuk

dijadikan tempat usaha atau membangun usaha sendiri.

Subsektor lainnya sebagai pendukung sektor pertanian, seperti perikanan,

peternakan, perkebunan, dan sebagainya, tetapi tidak semuanya berkembang di

Desa Pejeng. Sektor perikanan kurang diminati karena para petani lebih

cenderung memilih pekerjaan lainnya sebagai kegiatan penunjang. Berbeda

Page 10: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

54

dengan perikanan, sektor peternakan lebih diminati sebagai penunjang mata

pencaharian hidup. Di Pejeng pernah berkembang pembudidayaan ternak ayam

ras berskala besar. Namun, karena adanya fluktuasi harga dan merebaknya

penyakit ternak, berdampak terhadap pupusnya harapan para peternak ayam ras

dan akhirnya berhenti beternak dan memilih pekerjaan lain. Untuk peternakan,

seperti babi, sapi, dan itik berjalan cukup baik dan menjadi alternatif guna

menambah penghasilan warga. Walaupun tidak dibutuhkan untuk membajak di

sawah, sapi dibudidayakan untuk dijual. Demikian pula halnya dengan

pemeliharaan babi, selain dijual untuk kebutuhan upacara keagamaan juga untuk

dikonsumsi. Kemudian pembudidayaan itik umumnya dipelihara buat memenuhi

kebutuhan upacara keagamaan. Selain itu, itik juga dijual untuk diolah dijadikan

daging tutu (betutu) dan bentuk-bentuk olahan lainnya guna memenuhi kebutuhan

konsumsi.

Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan sektor pariwisata di Bali banyak

memberikan ruang terbukanya lapangan pekerjaan sehingga mata pencaharian

hidup masyarakat tidak hanya terkonsentrasi pada kehidupan agraris. Tentu

peluang dan kesempatan kerja tersebut tidak disia-siakan oleh warga masyarakat

Desa Pejeng. Banyak di antara mereka yang memilih bergerak di sektor jasa, yaitu

sebagai perajin, karyawan hotel, karyawan restoran, pemandu wisata, biro

perjalanan wisata, tukang bangunan, buruh bangunan, dan sebagainya. Khusus di

bidang industri kerajinan, selain memilih bekerja ke luar desa, seperti Tengkulak,

Mas, Ubud, Teges, Kemenuh, dan di tempat lainnya, ada pula warga yang

memilih bekerja di Pejeng. Di Desa Pejeng sendiri telah berkembang usaha

kerajinan “Batik Antik” yang dapat menampung tenaga kerja lokal sedikitnya 30

Page 11: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

55

orang. Selain usaha kerajinan batik juga berkembang usaha kerajinan “Sandal

Bali”, kerajinan pembuatan patung buda dari kayu, dan sebagainya. Di samping

mata pencaharian di atas juga banyak warga yang berprofesi sebagai PNS, dosen,

guru, wiraswasta dan sebagainya.

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sebagai bentuk pengaruh

positif dari pembangunan pariwisata seperti terurai di atas, sangat dirasakan oleh

warga masyarakat. Demikian pula berkenaan dengan lapangan pekerjaan yang

ada, tidak hanya terbatas kepada kaum laki-laki, tetapi juga tenaga kerja kalangan

wanita. Cukup banyak wanita (ibu-ibu) yang ikut mengambil pekerjaan sebagai

tukang pulas, tukang cat, buruh bangunan, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Hal

itu dilakukan sebagai upaya mengisi ruang dan waktu luang untuk meningkatkan

kesejahteraan hidup keluarga. Dengan demikian, pendapatan per kapita warga

masyarakat pun secara umum dapat dikatakan meningkat. Sebagai tolok ukur

bahwa kemampuan ekonomi masyarakat sudah mulai meningkat dapat diketahui

dari tingginya animo masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya. Tidak

hanya sampai di tingkat SLTP, SLTA, bahkan banyak yang ikut mengenyam

pendidikan di perguruan tinggi.

4.1.5 Kehidupan Sosial Budaya

Hubungan kegiatan upacara keagamaan dengan kesenian khususnya seni

pertunjukan keagamaan (wali) sangat erat. Tanpa disadari keberadaan kedua

elemen tersebut terintegrasi secara utuh dalam pelaksanaan upacara. Seni

pertunjukan (seni wali) mutlak dibutuhkan kehadirannya ketika upacara

keagamaan yang tergolong besar dan umumnya dilaksanakan di kahyangan jagat,

Page 12: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

56

baik sad kahyangan maupun dang kahyangan. Berdasarkan kenyataan dewasa ini

bahwa pertunjukan kesenian wali dan bebali tidak hanya di pura-pura yang

tergolong kahyangan jagat, tetapi juga di kahyangan tiga ketika upacara nyatur.

Seni pertunjukan apa pun bentuknya merupakan sebuah bentuk karya

budaya yang termasuk ke dalam bentuk (wujud) sikap dan perilaku. Menurut

Koentjaraningrat (1984: 5), wujud kebudayaan manusia terkelompok menjadi

tiga, yaitu wujud ide, wujud aktivitas, dan wujud material. Seni pertunjukan (tari)

dengan gerak ritmis dan indah yang dimilikinya dapat dikategorikan ke dalam

wujud aktivitas, sebagai bagian integral dari sikap dan perilaku manusia.

Ditegaskan pula bahwa keberadaannya dapat diwariskan kepada generasi

berikutnya bila berbagai gerak ritmis dan indah tersebut dapat didokumentasikan.

Bila tidak, tentu keberadaannya hilang tanpa bekas.

Berbicara tentang seni sebagai bentuk ekspresi budaya manusia terutama

seni pertunjukan, yang berkembang pada di masa silam tentu tidaklah hanya satu

atau dua bentuk tarian, walaupun yang sampai kepada kita saat ini terbatas.

Jelasnya bahwa jenis-jenis seni pertunjukan yang kuat bertahan biasanya jenis-

jenis kesenian yang ada kaitannya dengan upacara keagamaan. Hal itu terjadi

karena dibutuhkan dalam kegiatan upacara tersebut. Kesenian lainnya, seperti

kesenian hiburan, hanya hidup ketika dibutuhkan. Bila tidak, jenis-jenis kesenian

seperti itu akan hilang dengan sendirinya. Sebagai contohnya adalah fenomena

yang terjadi saat ini, yaitu banyak kesenian-kesenian kreasi baru hidup hanya

sesaat karena ada pada saat diciptakan untuk kebutuhan lomba atau kebutuhan

lainnya. Artinya setelah tidak dibutuhkan lagi, kesenian tersebut ditinggal

(dilupakan) dan hilang dengan sendirinya.

Page 13: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

57

Seni pertunjukan yang merupakan warisan kesenian masa silam adalah tari

wali “Sutri”, yang sampai saat ini masih dipertunjukkan kepada setiap upacara

piodalan di Pura Penataran Sasih. Tidak seperti jenis-jenis kesenian lainnya, yaitu

rejang dewa, topeng sidakarya, wayang gedong, baris gede, dan sebagainya, yang

dipertunjukkan pada puncak pujawali sebagaimana layaknya dipertunjukkan pada

tempat-tempat suci di Bali. Akan tetapi kesenian wali “Sutri” secara utuh

dipertunjukkan sebagai bagian tak terpisahkan dari upacara mapelengkungan.

Waktu pertunjukannya adalah tiga hari setelah puncak upacara (pucak karya),

ketika upacara “Ida Betara Manca” kembali (budal) ke kahyangan tiga masing-

masing. Upacara mapelengkunan hanya dilaksanakan di dua tempat suci, yaitu di

Pura Penataran Sasih Pejeng (Tampaksiring) dan di Pura Samuan Tiga, Bedulu

(Blahbatuh). Kedua desa tersebut berada di wilayah Kabupaten Gianyar.

Sebenarnya ada sebuah kesenian unik (istimewa) bersifat magis dan

dipertunjukan hanya sekali pada saat upacara “Ngusaba”, sehabis renovasi pura

secara menyeluruh pada tahun 1966, yaitu tari Sang Hyang Jaran. Rupanya

kesenian tersebut juga merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan upacara

piodalan (wali), sebagaimana halnya tari wali Sutri. Namun, pementasannya pada

puncak upacara (pucak karya) di depan palinggih Ratu Gana (Ratu Sang Hyang?).

Yang menarik dari pementasan tari Sang Hyang Jaran tersebut adalah ketika bara

api yang dibuat dari tempurung buah kelapa sedang membara, ada empat orang

kasurupan yang ditunjuk oleh pemangku Pura Pucak, Banjar Guliang, Pejeng

(Jero Mangku Wayan Munggu) tanpa direncanakan sebelumnya. Keempat orang

yang kasurupan (kerauhan) tersebut adalah A.A. Gde Rai Jendra, Dusun Tatiapi; I

Wayan Tomblos, Dusun Tarukan; I Medut, Dusun Puseh; dan I Wayan Sama,

Page 14: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

58

Dusun Intaran (Informan, I Wayan Ngenteg). Mereka berempat menari-nari

sambil menginjak-injak bara api yang sedang memuncak panasnya tanpa

ketakutan. Namun, menurut keyakinan para tokoh masyarakat setempat, hal

tersebut terjadi, karena ada perintah (pawisik) dari alam tidak nyata (niskala) yang

diturunkan melalui pamangku yang ditunjuk tersebut. Bila dikaji secara logika

keagamaan, kemungkinan Hyang niskala yang memberikan pawisik kepada sang

kasurupan adalah Ratu Sang Hyang. Dikatakan demikian sebab hanya Ratu Sang

Hyang yang secara logika terkait dengan tari Sang Hyang (Sang Hyang Jaran)

tersebut atau dengan kata lain Sang Hyang Jaran merupakan oneng-onengan

(hiburan) dari Ratu Sang Hyang. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah

mengapa tari wali yang begitu magis tidak dipertunjukkan sebagaimana halnya

tari wali “Sutri” setiap tahun sekali ketika upacara “Nyatur”.

4.1.6 Kehidupan Sosial Keagamaan

Di Desa Pejeng terdapat lebih dari enam puluhan pura, yang terdiri atas

pura besar dan kecil, palinggih-palinggih, baik yang ada di rumah penduduk

maupun di luar rumah, dan hampir semuanya menyimpan tinggalan-tinggalan

purbakala (warisan budaya) yang kebanyakan berupa arca-arca. Berbicara tentang

warisan budaya, dapat dikatakan bahwa Desa Pejeng adalah gudangnya sehingga

Pemerintah Kabupaten Gianyar menetapkan Desa Pejeng sebagai zona konservasi

dan warisan budaya. Suatu hal yang perlu diingat bahwa semua warisan budaya

disimpan dalam palinggih dan dikeramatkan oleh warga masyarakat dan

diupacarai. Semua warisan budaya yang ada di tempat-tempat suci di Desa Pejeng

dikategorikan sebagai living monument (monumen hidup) artinya masih berfungsi

Page 15: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

59

bagi masyarakat, khususnya panyungsung pura. Ada pula yang berstatus sebagai

pratima, yaitu sebagai wujud representasi dari istadewata yang dipuja di tempat

suci (pura) di mana benda tersebut disimpan.

Berdasarkan fakta empirik di lapangan, terutama warisan budaya berupa

seni arca, betapa tingginya perhatian penguasa terhadap kehidupan spiritual

keagamaan pada masa silam. Arca-arca dibuat tidak hanya sebagai bentuk

ekspresi para seniman atau tidak hanya dibuat untuk tujuan memenuhi kebutuhan

berkesenian. Arca-arca dibuat untuk dijadikan media komunikasi kepada para

istadewata yang dipuja. Hal-hal yang dapat memperkuat ke arah tersebut

diberikan persaksian oleh eksistensi warisan budaya yang ada saat ini lebih

banyak dalam bentuk arca-arca perwujudan dewa, yang didominasi oleh arca

Dewa Siwa dengan anggota keluarganya, seperti Ganesa, Bhatara Guru, Lingga,

dan Durga dan lain-lainnya. Beberapa di antaranya berwujud Dewa Brahma,

Dewa Wisnu, arca dewa-dewi, arca binatang, dan bentuk-bentuk lainnya.

Dengan penuh kesadaran, dapat dipahami bahwa tradisi pemujaan

terhadap para istadewata pada masa lalu memiliki cara yang berbeda dengan yang

berkembang saat sekarang ini. Penggunaan arca-arca batu sebagai pratima seperti

pada jaman Bali Kuno tidak lagi ditradisikan dewasa ini. Tradisi pembuatan

patung (arca-arca) masih banyak dilakukan di Bali, tetapi tidak untuk dijadikan

pratima, patung-patung tersebut dibuat untuk hiasan (dekorasi), baik di tempat

suci (pura), di hotel, di jalan, maupun di tempat lainnya. Namun, karena sifat

fleksibilitas agama Hindu, maka arca-arca warisan budaya masa lalu masih tetap

dikeramatkan dan dijadikan benda pujaan.

Page 16: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

60

Berdasarkan berbagai fenomena seperti terurai di atas, diketahui bahwa

arca-arca warisan budaya merupakan indikasi adanya kontinuitas fungsi warisan

budaya masa lalu walaupun tidak dimungkiri adanya pergeseran atau perubahan.

Fenomena seperti itu selain menandakan masih tetap bertahannya sikap dan

perilaku keagamaann (religius) warga masyarakat juga dapat pula dikatakan

sebagai bentuk kuatnya ketahanan budaya warga masyarakat dalam mengapresiasi

pentingnya warisan budaya masa lalu. Kontinuitas pemeliharaan terhadap benda-

benda warisan budaya terjadi karena masih dianggap berfungsi bagi kehidupan

kerohanian (agama). Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pura yang terdapat di

Desa Pejeng dengan upacara keagamaan yang berbeda sehingga tampak tiada hari

tanpa upacara agama.

Aura religius yang dipancarkan oleh tempat-tempat suci di Desa Pejeng

tidak hanya dirasakan oleh warga masyarakat desa setempat, tetapi juga dirasakan

warga masyarakat lainnya. Fakta empirik merujuk ke arah tersebut dapat diketahui

dari tingkat kunjungan ke tempat-tempat suci, terutama yang memiliki nilai

keunikan. Selain Pura Penataran Sasih, pura-pura lainnya yang juga dikunjungi, di

antaranya Pura Kebo Edan dan Pura Pusering Jagat. Tujuan kunjungan selain

untuk penelitian, mengenal lebih dekat warisan budaya yang ada di dalamnya,

juga untuk tujuan tirta yatra. Oleh karena itu, Desa Pejeng tidak hanya

dikategorikan sebagai daerah tujuan wisata purbakala, tetapi juga sebagai daerah

tujuan wisata spiritual.

Page 17: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

61

4.1.7 Zona Konservasi Budaya dan Warisan Budaya

Kabupaten Gianyar termasuk salah satu kabupaten/kota di Bali paling

banyak menyimpan warisan budaya. Posisi warisan budaya dimaksud basisnya

berada di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan dan Petanu dan desa di wilayah

sekitarnya. Berdasarkan fakta di lapangan, diketahui bahwa desa yang dimaksud

adalah Desa Pejeng dan Bedulu. Sesuai dengan pembagian zona yang dilakukan

oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar, Desa Pejeng dan Bedulu dimasukkan ke

zona Gianyar Tengah, yaitu zona konservasi budaya dan warisan budaya.

Khususnya Desa Pejeng yang kini dipilih sebagai lokus penelitian, seperti

dikatakan oleh Stutterheim (t.t: 36) bahwa Desa Pejeng kaya dengan warisan

budaya. Tidak berlebihan bila dikatakan demikian, karena kenyataannya memang

banyak warisan budaya terdapat di Desa Pejeng dan sebagian besar tersimpan di

tempat suci (pura) di samping itu, juga tersimpan di rumah-rumah penduduk, di

sawah, dan di tempat lainnya dengan dibuatkan palinggih secara khusus untuk

penyimpanannya.

Dalam penelitian ini juga diadakan pemetaan seluruh tempat suci yang

menyimpan warisan budaya, baik di tempat suci (pura), palinggih, di rumah-

rumah penduduk, maupun di tempat lainnya dengan tujuan untuk mendapat

gambaran umum tentang aktivitas budaya dan kehidupan keagamaan di Desa

Pejeng pada masa lalu. Aneka ragam warisan budaya yang ada dan sampai kepada

kita saat ini, tentu tidak dibuat hanya untuk memenuhi kebutuhan karya seni,

tetapi yang lebih penting adalah untuk tujuan keagamaan. Indikasi ke arah itu

sangat jelas diberikan persaksian oleh keberadaan tinggalannya, yaitu ada

berwujud arca-arca dan ada pula berupa pragmen bangunan. Warisan budaya

Page 18: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

62

berupa arca-arca dengan aneka ragam wujud dan ukurannya menggunakan

material batu padas yang kuat, niscaya untuk difungsikan sebagai media

berkomunikasi dengan hyang istadewata yang dipuja. Selanjutnya sisa-sisa

pragmen bangunan yang juga dibuat dari material batu padas memberikan

petunjuk kepada fungsi bangunan tersebut, yaitu sebagai rumah dewata.

Berdasarkan fenomena yang tampak di lokasi penelitian, akan menjadi

lebih jelas bila merujuk pernyataan Sutjipto Wiryosuparto, yang mengemukakan

bahwa dengan becermin kepada ikonografi dapat dilihat bagaimana bangsa India

mencurahkan seluruh hidupnya bagi keagungan para dewa. Para pemahat dengan

seluruh kemampuannya berusaha menciptakan benda-benda yang dapat dijadikan

alat pemujaan kepada dewa-dewa. Di bawah ini disajikan kutipan pernyataan

Soetjipto Wirjosuparto.

“Seni arca yang menciptakan arca dewa-dewa dipergunakan untukmengadakan hubungan dengan dewa-dewa tersebut, sedangkan senibangun menciptakan bangunan-bangunan sebagai tempat kediaman dewa-dewa; begitu pula seni lukis menghias tembok-tembok rumah perdewaandengan cerita dewata. Di sampingnya ini seni drama mempertunjukkancerita dewata yang dilakukan oleh pelaku manusia, sedangkan seni musikdengan seni suaranya memuja kebesaran dewa-dewa” (Wirjosuparto dalamMaulana, 1997: 3).

Sebagaimana dikemukakan Wirjosuparto rupanya tidak jauh berbeda

dengan yang terjadi di Desa Pejeng. Berbagai warisan seni arca, pragmen

bangunan, berbagai motif hiasan yang ada, semuanya itu dibuat untuk tujuan tidak

jauh berbeda dengan di India. Becermin ke India adalah wajar, mengingat asal

pengaruh Hinduisme adalah dari India, baik di Indonesia pada umumnya maupun

di Bali pada khususnya. Akan tetapi dalam hal fungsi, seperti dikatakan oleh

Sedyawati (2006: 293) bahwa dari zaman ke zaman perubahan kerap terjadi dan

kadang-kadang dapat menimbulkan fungsi baru, bahkan tidak dikenal sebelumnya

Page 19: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

63

atau setidaknya telah terjadi pergeseran fungsi, seperti terjadi saat ini di Desa

Pejeng. Dengan penuh keyakinan bahwa warisan budaya, baik di tempat suci

(pura) maupun dalam palinggih di rumah-rumah penduduk tidak semuanya insitu.

Hal tersebut dapat terjadi seperti dikatakan Vogler (dalam Sedyawati, 1987: 11)

bahwa pergantian kekuasaan dianggap faktor penentu terbesar yang dapat

mengakibatkan perubahan kebudayaan. Perubahan gaya seni hanya bisa terjadi

karena masuknya unsur luar dan masuknya unsur luar itu hanya dapat terjadi atas

kehendak pemerintah/penguasa baru.

Ketika terjadi perubahan penguasa dan pemindahan pusat kekuasaan

(pemerintahan) dengan membawa tradisi barunya, tradisi sebelumnya termasuk

tradisi membuat arca-arca sebagai media pemujaan ditinggalkan. Akibatnya

semua media pemujaan seperti arca-arca dan situs-situs lainnya menjadi

terbengkalai. Ketika Pejeng kembali dipilih sebagai pusat kekuasaan di awal abad

ke 18 Masehi (Tim Peneliti, 2014: 32), rupanya semua warisan budaya mendapat

perhatian penguasa. Selanjutnya para penguasa bersama dengan penduduk di

sekitarnya membuatkan palinggih, baik dalam bentuk terbuka maupun bangunan

gedong atau semacamnya untuk menyelamatkan semua warisan budaya yang ada

di Pejeng.

Untuk lebih jelasnya, pada bagian di bawah ini disajikan deskripsi warisan

budaya di wilayah Desa Pejeng. Beberapa objek di antaranya yang dipandang

penting dapat melengkapi sumber data penelitian disertai dengan analisis.

Page 20: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

64

4.1.7.1 Palinggih Arjuna Metapa

Lokasi pura berada di tengah-tengah sawah, kira-kira 50 meter di sebelah

barat Museum Gedung Arca Bedulu-Gianyar. Di dalam palinggih terdapat tiga

tokoh arca, yaitu seorang tokoh Arjuna sebagai pertapa didampingi dua orang

tokoh punakawan, yaitu Merdah dan Tualen. Arca dibangun dalam sikap berdiri

tegak di atas lapik bulat. Kedua tangan berada di depan pusar memegang pancuran

tembus sampai di belakang arca. Tokoh arca ketiganya dibuat telanjang dan

bagian kemaluannya ditutup seperti bercawat. Arca dibuat dari batu padas,

berukuran tinggi 174 cm, lebar 43 cm, dan tebal 44 cm. Berdsarkan keberadaan

arca, yaitu sebagai arca pancuran, tampaknya peran tokoh arca tersebut

kemungkinan di kolam petirtaan/permandian yang berfungsi sebagai penyalur air.

Demikian pula keberadaan dua tokoh arca yang berstatus sebagai punakawan,

yaitu Merdah dan Tualen juga dibuat telanjang dengan kemaluannya masing-

masing ditutup seperti mengenakan cawat. Rambutnya juga disanggul berbentuk

kerucut seperti tokoh pertapa.

Pura ini tidak memiliki upacara piodalan secara khusus, tetapi tetap

diberikan persembahan sebagaimana palinggih-palinggih yang menyimpan

warisan budaya lainnya di Desa Pejeng. Karena berada di tengah sawah,

panyungsungnya adalah warga petani subak Panyembulan. Berkenaan dengan

biaya pemeliharaan pura dan warisan budaya sepenuhnya ditanggung oleh

pemerintah melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bedulu, Gianyar.

Page 21: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

65

4.1.7.2 Palinggih Ratu Penjaga

Palinggih ini berada di sebelah selatan Pura Kebo Edan tepatnya di

tengah-tengah sawah. Bangunan berbentuk Tpasana sebagai tempat stana tokoh

Arca Ganesa. Masyarakat meyakininya bahwa beliau yang dipuja adalah Ida Ratu

Penjaga yang bertugas menjaga batas desa dan mengawasi setiap orang yang

masuk ke wilayah yang menjadi tanggung jawab-Nya. Upacara piodalannya

bersamaan dengan di Pura Kebo Edan, dengan persembahan upakara berupa

pejati atau bentuk lainnya disesuaikan dengan tingkatan upacara di Pura Kebo

Edan. Sebagaimana diketahui bahwa di Desa Pejeng banyak terdapat palinggih-

palinggih di luar pura. Untuk itu, upacara piodalan dilaksanakan bersamaan

dengan pura terbesar dan terdekat, seperti di Pura Pusering Jagat.

4.1.7.3 Pura Kebo Edan

Pura Kebo Edan berlokasi di perbatasan Desa Pejeng dan Bedulu, kurang-

lebih 20 meter di sebelah utara Museum Gedung Arca. Warisan budaya terpenting

yang ada di dalamnya adalah arca Siwa Bhairawa dalam ukuran besar setinggi

360 cm serta arca-arca pendamping berwujud raksasa. Menurut Surasmi (2007:

119), melalui pengamatan saksama terhadap sikap arca dengan ayunan

kemaluannya ke arah kiri menandakan Tantrayana aliran kiri (niwerti). Bhairawa

dibangun sebagai tanda bahwa Bali telah ditundukkan oleh Kertanegara. Ketika

itu Bali dipimpin oleh Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyangning Hyang

Adidewa Lancana dari dinasti Warmadewa (Ekawana, 1985: 507). Kejadian

tersebut dengan jelas diuraikan di dalam Nagarakrtagama pupuh XLII/1-2, yaitu

Page 22: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

66

penaklukan Bali tahun 1284 Masehi oleh Kertanagara dan menjadikan Raja Bali

sebagai tawanan perang (Mulyana, 1979: 294).

Fungsi arca berdasarkan kedok muka menunjukkan tanda kemujuran Cri,

pemberi segala macam kekayaan dan kebahagiaan, termasuk juga moksah jiwa

(Kempers, 1960: 61). Selain Arca Siwa Bhairawa, juga terdapat arca-arca

bercorak bhairawa, antara lain dua tokoh arca dwarapala, dua tokoh arca kerbau

jantan dan betina, empat arca raksasa sebagai umpak, sebuah arca raksasa, sebuah

Arca Ganesa, dan sebuah arca perwujudan. Sampai saat ini fungsi arca Siwa

Bhairawa diyakini oleh warga masyarakat Desa Pejeng sebagai media untuk

memohon kesuburan dan terlindungi dari bencana. Fungsi pura mengacu kepada

fungsi tokoh arca tersebut yaitu sebagai media memohon kesuburan kepada

Hyang Mahakuasa.

Pura Kebo Edan diamong oleh warga masyarakat Desa Jero Kuta, artinya

segala biaya, baik pemeliharaan tempat suci maupun piodalan dibiayai oleh warga

Desa Adat Jero Kuta. Namun, yang ngempon dalam pelaksanaannya adalah

Dusun Intaran. Upacara piodalan jatuh pada Sabtu Keliwon Uye atau setiap 210

hari sekali dengan tingkatan upacara besar (ageng) dan kecil (alit) secara silih

berganti. Upacara dipimpin (kapuput) oleh salah seorang pendeta di Desa Pejeng,

tidak ditentukan secara pasti di antara beliau. Artinya, siapa pun boleh di antara

beliau untuk memimpin upacara dengan tetap melalui koordinasi.

4.1.7.4 Palinggih Padma

Masih di lingkungan Pura Kebo Edan, tepatnya di sebelah timur pura

dekat jalan raya terdapat palinggih berbentuk padma tempat warisan budaya

Page 23: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

67

berupa fragmen puncak (menur) bangunan. Bagi masyarakat, benda tersebut

adalah keramat dan dipuja dengan mempersembahkan upakara sesuai dengan

kemampuan warga masyarakat. Pada setiap upacara piodalan/pujawali di Pura

Kebo Edan, juga dipersembahkan banten pejati atau daksina sesuai dengan

tingkatan upacara yang dilaksanakan.

4.1.7.5 Pura Pusering Jagat

Pura Pusering Jagat terletak di sebelah utara Pura Kebo Edan kurang lebih

75 meter. Cukup banyak warisan budaya tersimpan di dalam pura. Hal yang

menarik di antaranya karena keunikannya yaitu (1) Lingga-Yoni naturalis,

berwujud kemaluan laki-laki dan wanita dalam ukuran cukup besar diletakkan di

sebuah palinggih, dan masyarakat setempat menyebutnya Ratu Purusa-Pradana.

Fungsinya adalah untuk memohon keselamatan dan kesuburan. (2) bejana, oleh

masyarakat setempat disebut sangku sudamala. Lukisan yang dipahatkan adalah

simbol gunung yang dipakai mengacaukan (mengaduk) lautan untuk mendapatkan

air kehidupan (amerta). Pada bagian pinggiran bejana terdapat lukisan tahun

candra sangkala yang mengandung arti angka tahun 1251 Caka/ 1329 Masehi

(Kempers, 1960: 63). Fungsi bejana (sangku sudamala) adalah sebagai media

untuk mohon tirta (air suci) pembersihan (panglukatan). Di samping ke-dua

tinggalan tersebut, terdapat puluhan warisan seni arca dan warisan berupa batu

alam. Semuanya masih dikeramatkan dan dipuja oleh masyarakat setempat.

Status pura sebagai kahyangan jagat tempat ber-stana dan memuja Dewa

Siwa. Suatu hal yang patut diapresiasi bahwa Pemkab Gianyar sudah mulai

melirik Pura Pusering Jagat sebagai salah satu kahyangan jagat di Kabupaten

Page 24: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

68

Gianyar. Ketika Pemkab Gianyar menyelenggarakan upacara tawur pamlepeh

jagat “Manawa Gempang” dipilih Pura Pusering Jagat sebagai lokus

pelaksanaannya. Pura Pusering Jagat dipilih selain karena berstatus kahyangan

jagat juga sebagai pusar (pusat)nya Pulau Bali. Tawur Manawa Gempang yang

diselenggarakan pada Senin Keliwon Landep, 17 Maret 2014 dipimpin oleh

pendeta Siwa (Geria Sanur, Pejeng) dan Pendeta Buda (Geria Taman, Sukawati).

Tujuannya adalah untuk menetralisasi kekuatan alam Bali agar perputarannya

menjadi harmonis kembali.

Pura di-among warga Desa Adat Jero Kuta. Segala biaya pemeliharaan dan

upacara piodalan menjadi tanggung jawab warga masyarakat desa adat setempat.

Untuk pelaksanaan upacara piodalan di-empon oleh Dusun Pande. Upacara

dilaksanakan berdasarkan sasih dan pawukon. Piodalan ageng dilaksanakan

berdasarkan sasih, yaitu pada purnamaning sasih Karo, sedangkan piodalan alit

dilaksanakan berdasarkan pawukon, yaitu pada Selasa Keliwon Medangsia.

Upacara dipimpin oleh salah seorang pendeta di Desa Pejeng, ditentukan/dipilih

melalui koordinasi. Panyungsung pura, yaitu seluruh warga masyarakat Bali.

4.1.7.6 Pura Ratu Pande

Pura ini terletak di jaba tengah (pasanekan) Pura Jagat dikelilingi tembok

pembatas (panyengker). Ada dua palinggih yang masing-masing menyimpan

warisan budaya, yaitu gedong timur dan gedong selatan. Di gedong timur ada

sebuah arca Ganesa duduk, arca Ganesa tanpa kepala, dan beberapa fragmen arca

dan bangunan, dan di gedong selatan terdapat tinggalan berupa batu kali. Status

pura berkaitan erat dengan Pura Penataran Sasih, yaitu sebagai salah satu bagian

Page 25: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

69

pura catur lawa. Upacara piodalan (pujawali) jatuh pada Purnamaning Karo dan

upacara sasepen pada Selasa Keliwon wuku Medangsia. Upakara yang

dipersembahkan adalah babangkit (karya ageng) diantarkan oleh Ida Pedanda,

sedangkan bila upacara kecil (karya alit) dipersembahkan pakoleman dan

upacaranya diantarkan oleh pemangku pura.

4.1.7.7 Palinggih Gedong

Di sebelah selatan tembok penyengker Pura Pusering Jagat ada sebuah

palinggih gedong tempat menyimpan beberapa warisan budaya berupa dua buah

makhluk penyangga bangunan (makhluk Gana), menur bangunan, dan sebuah arca

penjaga dalam sikap duduk berjongkok. Palinggih dengan istadewata yang dipuja

masih menjadi bagian keseluruhan Pura Pusering Jagat. Bila ada upacara piodalan

di Pura Pusering Jagat, di palinggih ini juga dipersembahkan upakara sesuai

dengan di palinggih-palinggih lainnya.

4.1.7.8 Pura Subak Panyembulan

Lokasi pura di sebelah barat daya Pura Pusering Jagat, kira-kira 50 meter.

Di dalam pura hanya ada sebuah palinggih tempat menyimpan sebuah arca dewa

yang rambutnya diikat seperti pertapa (Siwa?) dalam sikap memijit anak kecil

(Kempers, 1960: 55). Namun, ketika dicermati secara saksama, yakni dengan

melihat wajahnya, ternyata yang dipegang bukan anak kecil, melainkan tokoh

berwujud raksasa. Dengan demikian, konsep yang melatarbelakangi pembuatan

arca tersebut adalah kemenangan dharma atas adharma (Dewa melawan raksasa)

sehingga terwujud kesejahteraan. Untuk itulah arca tersebut dibuat berwujud arca

Page 26: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

70

pancuran dengan saluran air mucul dari pusar raksasa tembus ke bagian tubuh

arca Dewa Siwa yang mencekiknya.

Karena lokasi pura berada di sawah, maka yang bertanggung jawab

memelihara pura dan warisan budaya tersebut adalah pemilik tanah sawah. Terkait

dengan tokoh yang dipuja, menurut Ngakan Ketut Riyadi pemilik tanah sawah

(pangemong pura), yang dipuja adalah Ida Batari Sri, sakti Dewa Wisnu yang

menguasai bidang kesuburan dan kesejahteraan. Pura ini tidak memiliki upacara

keagamaan khusus dan upacara piodalannya bersamaan dengan di Pura Pusering

Jagat. Segala upakara yang dipersembahkan kepada-Nya disediakan di Pura

Pusering Jagat. Selain Pura Subak Penyembulan, banyak palinggih-palinggih

yang ada di rumah penduduk di Dusun Pande. Upacara piodalannya dilaksanakan

bersamaan dengan di Pura Pusering Jagat.

4.1.7.9 Pura Pendeman

Palinggih dibangun di ruang terbuka, tepatnya di sebelah barat laut Pura

Pusering Jagat, jaraknya tidak lebih dari 10 meter. Bangunan palinggih berbentuk

padmasari, sebagai palinggih Ida Ratu Pendeman. Disebut Ratu Pendeman karena

yang dipuja di sini adalah benda pusaka berupa keris. Menurut penuturan

pemangku pura, konon ada 33 bilah keris yang ditanam (pendem) yang terdiri atas

22 lekuk tiga (luk telu) dan 11 bilah yang lainnya (Informan, Dewa Ngakan

Kompyang Putra, wawancara Minggu, 30 Maret 2014). Penanaman keris

dilakukan ketika ada perang antara Pejeng dengan Bedulu? Keris-keris pusaka

ditanam agar tidak dijarah oleh musuh.

Page 27: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

71

Upacara piodalan di Pura Pendeman jatuh pada hari Sabtu Keliwon wuku

Landep. Upakara yang dipersembahkan “datengan” dan diantarkan oleh Dewa

Ngakan Kompiang Mangku, yang berstatus sebagai pangemong pura. Semua

biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan palinggih dan upacara piodalan

ditanggung sendiri oleh pangemong pura.

4.1.7.10 Pura Pengrajan Pusering Jagat

Lokasi pura berada di sebelah barat laut Pura Pusering Jagat, tepatnya di

sebelah utara palinggih Ratu Pendeman. Pura dikelilingi tembok panyengker

dengan sebuah palinggih berbentuk gedong. Di dalamnya tersimpan dua buah arca

penjaga dalam posisi duduk berjongkok dengan ekspresi muka agak lucu, yaitu

tersenyum dengan matanya agak sipit. Upacara piodalan jatuh pada Buda Wage

Langkir. Upakara yang dipersembahkan adalah pakoleman (karya ageng) dan

datengan (karya alit). Upacara dituntun oleh Jero Mangku Tagel dan Jero

Mangku Ngakan Putu Duaja secara silih berganti. Pangemong dan panyungsung

pura adalah I Nyoman Ribek, Dusun Pande, Pejeng.

4.1.7.11 Pura Manik Galih

Lokasi pura di rumah Ngakan Made Kembar, Dusun Pande, tepatnya di

sebelah utara perempatan Pura Pusering Jagat. Di dalam pura ada sebuah

palinggih yang khusus untuk menyimpan warisan budaya berupa sebuah arca

singa, beberapa fragmen batu kecil, dan uang kepeng. Yang dipuja adalah Ida

Ratu Manik Galih yang diyakini sebagai sumber pemberi kesuburan. Upacara

piodalannya jatuh bersamaan dengan di Pura Manik Corong (Buda Wage

Page 28: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

72

Kelawu); upakara yang dipersembahkan datengan (piodalan ageng) dan dapetan

(piodalan alit). Upacara diantarkan oleh Jero Mangku Pura Penataran Sasih.

4.1.7.12 Palinggih Kerug Pasih

Posisi palinggih di depan tembok panyengker pekarangan rumah I Made

Suarsa, tepatnya di sebelah barat perempatan menuju balai Dusun Pande. Warisan

budaya yang tersimpan dalam palinggih berupa fragmen bangunan yang sulit

diidentifikasi. Upacara piodalannya bersamaan dengan di Pura Pusering Jagat.

Panyungsung-nya adalah warga Dusun Pande. Upakara yang dipersembahkan

datengan bila upacara besar dan dapetan bila upacara kecil. Beberapa bentuk

upakara persembahan, seperti suci, saji, dan soroan diperoleh dari Pura Pusering

Jagat. Namun, untuk kebutuhan upakara dan upacara lainnya disiapkan sendiri

oleh pangemong dan panyungsung pura. Upacara diantarkan (kaanteb) oleh jero

mangku kahyangan tiga.

4.1.7.13 Palinggih Ratu Kanti

Selain Ratu Kerug Pasih, di rumah Made Suarsa juga terdapat warisan

budaya berupa arca penjaga dengan sikap duduk berjongkok, yang diyakini

sebagai perwujudan Ida Ratu Kanti (sahabat) artinya beliau dipuja sebagai

pemberi perlindungan. Keyakinan seperti itu merupakan warisan dari para

leluhurnya. Hari khusus untuk upacara piodalan jatuh pada Buda Cemeng Kelawu

dengan upakara adatengan dan diantarkan oleh Jero Mangku Pura Penataran

Sasih.

Page 29: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

73

4.1.7.14 Pura Semut Bang

Lokasi pura di pekarangan Putu Ariana, Dusun Pande, tepatnya di sebelah

barat Pura Pengrajaan. Untuk mencapainya, di depan palinggih Kerug Pasih

masuk ke selatan kira-kira 20 meter. Pura Semut Bang diamong oleh keluarga

Putu Ariana. Namun bila ada upacara piodalan, di samping pangemong pura

warga tetangga di sekitarnya juga datang bersembahyang. Warisan budaya yang

ada di dalam palinggih gedong berupa sebuah lingga, fragmen kepala arca,

fragmen arca tanpa kepala, dan sebuah fragmen bangunan. Upacara piodalannya

jatuh pada Senin Pon, Sinta, dengan upakara yang dipersembahkan datengan.

Upacara diantarkan oleh salah seorang pemangku yang berstatus kahyangan desa.

4.1.7.15 Pura Dinding Ai

Posisi pura di sebelah utara perempatan Balai Dusun Pande kira-kira 75

meter ke utara, tepatnya di sebelah timur jalan. Di dalam palinggih tersimpan dua

buhan lingga, sebuah arca singa, dan fragmen bangunan. Di bawah palinggih ada

sebuah batu hitam tertanam. Menurut rencana, batu akan diangkat dan dibuatkan

palinggih. Upacara piodalan jatuh pada Rabu Wage Warigadean. Upakara yang

dipersembahkan sapelutan (sesuai dengan kemampuan), diantarkan oleh salah

seorang pemangku berstatus kahyangan desa.

4.1.7.16 Palinggih Ratu Gede Mas Jaya

Posisi palinggih di rumah penduduk (I Made Daging) tepatnya di sebelah

timur sanggar kamulan dan berpapasan dengan Pura Dinding Ai. Di dalam

palinggih tersimpan warisan budaya berupa arca singa, arca raksasa berdiri, dan

Page 30: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

74

pragmen arca. Fungsi arca sebagai penolak bencana (mohon perlidungan).

Upacara piodalan jatuh pada Sabtu Keliwon Landep. Upakara yang

dipersembahkan datengan/pakoleman, diantarkan oleh pamangku yang berstatus

kahyangan desa. Panyungsung dan pemelihara palinggih adalah pemilik rumah.

4.1.7.17 Palinggih Ratu Belekis

Lokasi palinggih di rumah Nyoman Rina, tepatnya di sebelah utara

sanggah kamulan dengan tembok pembatas (panyengker). Warisan budaya yang

ada di dalam palinggih berupa tokoh arca tanpa kepala. Palinggih itu disebut Ratu

Belekis oleh panyungsung. Menurut pemilik rumah, keberadaan arca tersebut

diyakini memiliki kekuatan sebagai pemberi rezeki. Selain arca tersebut juga ada

sebuah fragmen pahatan (ukiran) bermotif pohon dari batu padas. Kedua warisan

budaya tersebut dikeramatkan dan dipuja. Upacara pemujaannya jatuh pada Buda

Keliwon Pahang. Pelaksanaan upacaranya besar (ageng) dan kecil (alit) secara

silih berganti dengan upakara yang dipersembahkan pakoleman tatkala upacara

besar (ageng) dan datengan tatkala upacara kecil (alit), yang diantarkan oleh jero

mangku kahyangan desa.

4.1.7. 18 Palinggih Ratu Catur Kaya

Posisi palinggih di rumah Jero Mangku Munik tepatnya di sebelah utara

palinggih Sanggah Kemulan. Di dalam palinggih terdapat sebuah tokoh arca

Catur Kaya berupa gabungan dari empat arca menjadi satu. Yang berjumlah

empat tidak hanya kepalanya, sebagaimana terdapat pada dewa-dewa Hindu

tertentu, tetapi badan seluruhnya pun ada empat. Penggabungan demikian

Page 31: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

75

merupakan salah satu cara untuk melukiskan sifat-sifat seorang dewa yang banyak

ragamnya dalam satu arca. Yang ganjil ialah keempat mukanya masing-masing

tertutup oleh kedok. Selain itu, bukan kedok biasa, melainkan kedok

bergambarkan pola-pola lambang dan bukan muka orang. Di tengah ada pola

empat persegi dan di bawahnya menggantung segi tiga seperti taring (Kempers,

1956: 57). Seperti di tempat suci lainnya, Ida Batara yang ber-stana di palinggih

ini juga memiliki upacara piodalan yang jatuhnya bersamaan dengan di Pura

Pusering Jagat, yaitu pada Anggara Keliwon wuku Medangsia. Upakara yang

dipersembahkan adalah pakoleman tatkala upacara besar (ageng) dan datengan

tatkala upacara kecil (alit), yang diantarkan oleh Jero Mangku Munik yang

memelihara palinggih.

4.1.7.19 Pura Batang Camplung

Lokasi pura di rumah Made Nuija tepatnya di sebelah utara Sanggah

Kamulan yang dibatasi tembok panyengker. Di dalam palinggih terdapat Arca

Siwa dalam keadaan agak aus di bagian kepala, Arca Ganesa, sebuah Lingga dan

pragmen arca. Di palinggih yang lain terdapat pragmen bangunan? Semua warisan

budaya dikeramatkan dan dipuja. Upacara piodalan bersamaan dengan di Pura

Pusering Jagat. Upacara diantarkan oleh salah seorang pamangku kahyangan desa,

dengan upakara berupa peras panyeneng.

4.1.7.20 Palinggih Ulun Suwi

Di sebelah barat pura Batan Camplung jaraknya kurang lebih 10 meter

tepatnya di seberang sungai kecil (telabah) terdapat palinggih Ida Ratu Ulun

Page 32: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

76

Suwi. Pratima yang di-sungsung berupa batu-batu kali dan ada yang berbentuk

lingga. Fungsinya adalah sebagai media memohon kesuburan. Upacara piodalan

dilaksanakan bersamaan dengan di Pura Pusering Jagat. Palinggih di-sunggsung

dan dipelihara oleh Made Duija.

4.1.7.21 Palinggih Ratu Kemong

Lokasi palinggih berada di rumah Wayan Patra, di sebelah selatan Balai

Banjar/Dusun Pande kurang lebih 15 meter. Yang ber-sthana di palinggih selain

disebut Ratu Kemong juga disebut Ida Ratu Putra/Putri Ida Betara Pura Pusering

Jagat. Warisan budaya yang ada di dalam palinggih berupa tokoh arca perwujudan

laki-laki dan pahatan daun-daunan dan kemungkinan bagian dari sebuah

bangunan. Semua warisan budaya dikeramatkan dan dipuja. Bilamana upacara

piodalan (pujawali) di Pura Pusering Jagat, Ida Ratu Kemong juga diberi

persembahan berupa suci dan daksina. Segala bentuk upakara lain yang

melengkapinya diusahakan sendiri oleh pangemong pura bersangkutan. Untuk

upacara piodalan di palinggih Ratu Kemong tidak bersamaan dengan di Pura

Pusering Jagat. Namun memiliki hari raya piodalan khusus dan jatuhnya pada

Buda Cemeng Menail. Upacara diantarkan oleh salah seorang pamangku

kahyangan desa.

4.1.7.22 Pura Tledu Nginyah

Pura ini terletak bersebelahan dengan Pura Penataran Panglan atau di

sebelah timurnya. Disebut Tledu Nginyah karena di sebelah menyebelah pura

adalah tanah kosong (nginyah). Di dalam palinggih terdapat beberapa tinggalan

Page 33: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

77

arkeologi berupa Lingga, fragmen bangunan berhiaskan pohon-pohonan, dan

fragmen arca. Semua warisan budaya dikeramatkan dan dipuja sebagaimana di

tempat suci lainnya di Pejeng. Upacara pemujaan (piodalan) bersamaan dengan di

Pura Pusering Jagat, yaitu pada Purnamaning Sasih Karo upacara besar (ageng)

dan wuku Medangsia upacara kecil (alit). Jenis persembahannya adalah

apakoleman bilamana upacara besar (ageng) dan datengan bilamana upacara kecil

(alit). Upacara diantarkan oleh pemangku kahyangan desa. Pura diamong oleh

keluaga Guru Lanas dan panyungsung warga Dusun Pande.

4.1.7.23 Pura Penataran Panglan

Pura ini terletak di sebelah barat Pura Tledu Nginyah. Pura menghadap ke

arah selatan terbagi atas tri mandala. Semua warisan budaya tersimpan di dalam

tiga buah palinggih gedong. Pura ini diakui sebagai Cagar Budaya Nasional dan

dalam pemeliharaan palinggih sepenuhnya dibantu oleh pemerintah melalui BP3

Bedulu, Gianyar. Bentuk-bentuk warisan budaya dimaksud di antaranya sebagai

berikut.

Palinggih Gedong A

Palinggih ini berposisi di bagian timur menghadap ke barat sebagai

palinggih Ida Ratu Penataran (inti). Di dalam palinggih terdapat sebuah tinggalan

purbakala (warisan budaya) menarik, yaitu sebuah lingga yang pada bagian

siwabaga (silindris) terdapat pahatan Siwa; dua buah dwi lingga (dua buah lingga

dalam satu lapik); empat buah Arca Siwa masing-masing bertangan empat ukuran

sama; sebuah Arca Raksasa di antara kedua kakinya terdapat tokoh anak kecil

Page 34: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

78

seperti bergantung, tangannya ditarik ke atas dan kakinya dalam sikap lalitasana

(ditekuk); fragmen arca tanpa kepala; bangunan berbentuk prabha di bagian

puncaknya yaitu pada bagian kanan kiri terdapat pahatan simbar masing-masing

ditopang oleh singa berdiri yang ekor-ekornya bersanding (saling bertemu) di

tengah-tengah bangunan tersebut, sehingga tampak sangat indah dan menarik.

Selain itu terdapat sebuah batu kali berukuran cukup besar berbentuk silindris

diapit oleh dwi lingga tersebut.

Palinggih Gedong B

Posisi palinggih di sebelah utara (bagian tengah) menghadap ke selatan.

Di dalam palinggih tersimpan warisan budaya berupa Arca Bhatara Guru, Arca

Siwa berdiri, Arca Durga Mahisasuramardini bertangan delapan, fragmen arca

raksasa bersenjata gada (dwarapala), arca bersila, dan fragmen arca tanpa kepala.

Keberadaan arca-arca dalam palinggih ini dapat dikatakan lengkap, yaitu Siwa

bersama anggota keluarganya.

Palinggih Gedong C

Palinggih ini berposisi di sebelah utara (bagian barat) menghadap ke

selatan. Di dalam palinggih terdapat arca-arca berupa tokoh arca berdiri, tokoh

arca duduk dengan sikap tangan wara mudra, Arca Siwa duduk di atas padma

ganda, Lingga di atas padma ganda menempel pada prabha, dan sebuah batu kali.

Pura diamong oleh enam puluh kepala keluarga (KK) termasuk warga Puri

Pejeng, dan disungsung oleh seluruh warga masyarakat Desa Adat Jero Kuta

Pejeng. Upacara piodalan jatuh pada Purnama Kelima (ageng) dengan upakara

Page 35: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

79

dua buah babangkit dan dua buah pakoleman. Upacara dipimpin oleh salah

seorang pendeta dari Geria Jero Kuta Pejeng. Bilamana upacara kecil (alit)

dilaksanakan pada purnamaning Kedasa dengan upakara pakoleman, diantarkan

oleh salah seorang pamangku kahyangan desa.

4.1.7.24 Pura Taman Beji

Posisi pura di ujung barat rumah I Made Rugeg, Dusun Pande. Bangunan

berbentuk gedong. Untuk melihat warisan budaya yang tersimpan di dalamnya

harus digunakan lampu penerang. Di dalam palinggih terdapat dua buah Arca

Singa dengan pahatannya sangat halus mengapit sebuah bangunan berbentuk batu

silindris, dan pahatan kayu-kayuan. Semua warisan budaya dikeramatkan dan

dipuja oleh pemilik rumah. Upacara piodalan jatuh pada Buda Keliwon Pahang

(Buda Keliwon Pegat Wakan), dengan upakara sapelutan (sesuai dengan

kemampuan). Pangemong pura adalah pemilik rumah dan panyungsung adalah

warga masyarakat Dusun Pande.

4.1.7.25 Pura Mas Maketel

Lokasi pura kira-kira 50 meter dari jalan umum yang menghubungkan

Desa Pejeng (induk) dengan Desa Pejeng Kawan. Tepatnya di sebelah barat SMP

Santi Yoga Pejeng masuk gang menuju ke arah selatan, kemudian belok ke kanan

tampak Pura Mas Maketel menghadap ke arah selatan. Di dalam palinggih

terdapat sebuah Arca Singa, sebuah Lingga, batu berbentuk roda (seperti roda

mobil) dengan pahatan empat tokoh arca mengelilingi arah dengan sikap tangan

Page 36: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

80

wara mudra (mohon wara nugraha), sebuah arca pancuran diwujudkan dalam

sikap berdiri di atas lapik, dan sebuah pahatan planet matahari yang cukup indah.

Upacara piodalannya jatuh pada hari Minggu Umanis wuku Langkir,

bersamaan dengan upacara sesepen (piodalan alit) di Pura Penataran Sasih

Pejeng. Upakara yang dipersembahkan datengan, di antarkan oleh Jero Mangku

Kenak (Pamangku Pura Penataran Panglan). Pura di-among oleh keluarga I Ketut

Darma, dusun Pande Pejeng.

4.1.7.26 Pura Pagulingan

Pura Pagulingan terletak di sebelah perempatan balai Dusun Intaran kira-

kira 75 meter ke arah barat. Warisan budaya yang disimpan di dalam sebuah

gedong berupa dua buah fragmen arca raksasa tanpa kaki, arca raksasa berdiri

berambut ikal dengan tangan patah, arca penjaga berwujud raksasa (tampak belum

selesai), tiga buah fragmen lingga yang bagian segi empat dan segi delapan

hilang, prasasti yang dipahatkan pada batu segi empat panjang (berdiri), dan

sebuah puncak bangunan. Semua warisan budaya dikeramatkan dan dipuja oleh

warga masyarakat Jero Kuta Pejeng. Upacara piodalan jatuh pada Rabu Wage

Ukir. Upakara yang dipersembahkan datengan, diantarkan langsung oleh

pemangku pura (Dewa Ngakan Kompiang Putra). Pura diamong oleh 22 kepala

keluarga (keluarga jro mangku). Panyungsung pura adalah seluruh warga

masyarakat Jero Kuta Pejeng. Bila upacara piodalan di Pura Pusering Jagat,

dipersembahkan pejati kepada Ida Betara. Hal tersebut sebagai pertanda bahwa

Pura Pagulingan memiliki hubungan erat dengan Pura Pusering Jagat (Informan,

Jro Mangku Pura Pagulingan, wawancara Minggu, 30 Maret 2014).

Page 37: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

81

4.1.7.27 Pura Mas Mengalub

Lokasi Pura di rumah Ngakan Putu Juwita, di sebelah utara Pura Pusering

Jagat sekaligus sebagai pangemong pura. Di dalam palinggih terdapat dua arca

dwarapala berwujud raksasa menggunakan hiasan tengkorak, tangan kiri masing-

masing membawa senjata tamiang dan tangan kanan masing-masing membawa

gada dan samurai. Selain kedua tokoh arca tersebut, terdapat beberapa fragmen

arca dan bangunan. Upacara piodalan jatuh pada Rabu Umanis Dukut. Upakara

pakoleman (karya ageng) dan datengan (karya alit). Upacara diantarkan oleh

Mangku Sudamala.

4.1.7.28 Pura Taman Surat

Pura Taman Surat terletak di pinggir jalan raya jurusan Gianyar-

Tampaksiring tepatnya di sebelah timur Pura Pusering Jagat. Pura Taman Surat

berstatus sebagai Cagar Budaya Nasional. Di dalam pura terdapat tiga buah

palinggih sebagai tempat menyimpan warisan budaya. Yang satu berbentuk

gedong di dalamnya terdapat sebuah Arca Singa dan pragmen bangunan; yang

satu lagi berupa tpas di atasnya terdapat fragmen bangunan dan batu; dan

palinggih yang lain tinggalan berupa Batu Bolong yang berbentuk segi empat

panjang. Sebagaimana di tempat suci lainnya Pura Taman Surat juga memiliki

hari piodalan, yaitu pada Sabtu Keliwon Kuningan. Upakara yang

dipersembahkan panggung tatkala karya ageng yang dipimpin oleh salah seorang

pendeta di Desa Jero Kuta Pejeng. Bila upacara kecil (karya alit), diantarkan

langsung oleh pamangku pura. Pangemong pura terdiri atas tiga kepala keluarga

(KK), yaitu keluarga Mangku, keluarga Ketut Suteja, dan keluarga Ketut Puleh.

Page 38: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

82

4.1.7.29 Pura Bajra Narasinga Murti

Pura ini berada di rumah Ngakan Ketut Regug (almarhum) tepatnya di

sebelah timur Pura Pusering Jagat. Pura diamong dan disunggsung oleh keluarga

pemilik rumah. Di dalam pura terdapat sebuah palinggih khusus untuk

menyimpan arca Narasinga yang menurut ajaran agama Hindu dipercaya sebagai

awatara Wisnu keempat, yang diwujudkan dalam bentuk arca pancuran. Menurut

panyungsung pura, istadewata yang memberikan spirit (roh) kepada tokoh arca

tersebut adalah Dewa Wisnu yang diyakini sebagai penyelamat, pelindung dan

pemberi kesuburan. Upacara piodalannya jatuh pada Kamis Wage Sungsang atau

enam hari sebelum hari raya Galungan. Bentuk upakara yang dipersembahkan

adalah datengan (alit).

4.1.7.30 Pura Kepatihan

Posisi pura di rumah Ngakan Putu Cakra, Dusun Intaran, Pejeng dan

sekaligus sebagai pangemong dan panyungsung pura. Di dalam pura terdapat dua

buah palinggih, yang satu palinggih gedong terbuka di dalamnya terdapat tujuh

buah arca perwujudan batara/batari, dengan sikap tangan berada di depan pusar

memegang benda, dan memakai kain sampai di atas pergelangan kaki; sebuah

lingga; dan beberapa fragmen bangunan dan arca, dan yang satu lagi berbentuk

tpas (bataran) yang di atasnya terdapat dua buah arca kura-kura dan beberapa

fragmen bangunan. Upacara piodalannya jatuh pada Rabu Umanis Dukut dengan

upakara yang dipersembahkan adalah pakoleman bila upacara besar (ageng) dan

datengan bila upacara kecil (alit). Upacara diantarkan oleh Jero Mangku Dewa

Ngakan Kompiang Putra.

Page 39: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

83

4.1.7.31 Pura Mas Kuning

Lokasi pura berada di sebelah timur Pura Pusering Jagat, masuk gang kecil

ke timur kira-kira 50 meter, tampak Pura Mas Kuning berada di sebelah selatan

gang. Arca-arca disimpan di dalam sebuah gedong terbuka, yaitu dua buah arca

pancuran berwujud manusia, yang satu utuh dan satu lagi tanpa kepala; dan

sebuah arca singa. Upacara piodalan jatuh pada purnama kapat. Upakara yang

dipersembahkan pakoleman. Pura di-among dan di-sungsung oleh satu kepala

keluarga (KK) dari Sambahan Ubud.

4.1.7.32 Palinggih Ratu Manik Mas Mahendra

Palinggih ini berada di sebelah timur Sanggar Kemulan Wayan Dana,

Dusun Intaran. Warisan budaya disimpan dalam dua palinggih, yaitu sebuah

palinggih tempat menyimpan arca singa berukuran cukup besar dan sebuah

palinggih lagi menyimpan sebuah arca penjaga dengan sikap duduk berjongkok

serta beberapa fragmen arca. Kedua palinggih menghadap ke arah barat. Upacara

piodalan jatuhnya pada Sabtu Keliwon Kuningan, diantarkan oleh Jero Mangku

Sanggah Kemulan, dengan upakara datengan.

4.1.7.33 Pura Musuan

Untuk menemukan Pura Musuan, dari Pura Mas Kuning perjalanan

dilanjutkan ke arah selatan kira-kira 50 meter. Di dalam pura tidak didapatkan

warisan budaya, tetapi pura ini berhubungan erat dengan Pura Penataran Sasih.

Ketika pujawali di Pura Penataran Sasih, Ida Batara Pura Musuan ikut diusung

bersama-sama istadewata lainnya. Upacara piodalannya jatuh pada Redite Pahing

Page 40: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

84

Medangkungan, upacara diantarkan oleh Ida Pedanda Geria Sanding. Bilamana

upacara kecil (alit) diantarkan oleh Jero Mangku Pura Musuan. Pangemong dan

panyungsung pura terdiri atas lima belas KK, yaitu dari Pejeng lima KK, dari

Ubud lima KK, dan dari Sanur lima KK.

4.1.7.34 Pura Pagending

Untuk menemukan pura ini, di sebelah utara Balai Dusun Intaran menuju

ke arah timur kira-kira 75 meter dan membelok ke selatan 20 meter, maka tampak

pura berada di sebelah timur gang. Di dalam pura terdapat beberapa warisan

budaya. Salah satu di antaranya yang menarik (unik) adalah arca Mukalingga.

Upacara piodalan jatuh pada Selasa Keliwon Perangbakat. Karena belum pernah

dilaksanakan upacara mamungkah atau sejenisnya, maka setiap upacara hanya

dipersembahkan pejati. Pura di-among dan di-sungsung oleh Bapak Genep,

Dusun Guliang.

4.1.7.35 Pura Prajurit

Pura ini berada di sebelah utara Pura Pagending. Di dalam pura terdapat

beberapa warisan budaya disimpan dalam sebuah gedong alit. Salah satu di

antaranya berupa arca kuda. Seperti halnya pura Pagending, di Pura Prajurit juga

belum dilaksanakan upacara mamungkah atau sejenisnya. Upacara dilaksanakan

pada Anggara Keliwon Perangbakat, diantarkan langsung oleh Mangku Yasa.

Panyungsung dan pangemong berjumlah tiga KK, termasuk Jero Mangku Yasa,

Dusun Puseh, Pejeng.

Page 41: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

85

4.1.7.36 Pura Beji

Untuk menemukannya, di perempatan Balai Dusun Intaran menuju ke arah

timur kira-kira 200 meter, belok ke kiri kurang lebih 10 meter. Selanjutnya belok

ke kanan menuju arah timur sampai mentok bertemu dengan Pura Beji. Warisan

budaya yang ada berupa beberapa fragmen arca yang sulit diidentifikasi,

tersimpan di dalam sebuah gedong. Upacara piodalan jatuh pada Selasa Keliwon

Perangbakat. Upakara yang dipersembahkan adalah babangkit (karya ageng) dan

apakoleman (karya alit) diantarkan oleh Jero Mangku Puseh-Desa, Jero Kuta

Pejeng. Pura di-among dan di-sungsung oleh 23 kepala keluarga dari keluarga

Dewa Ngakan se- Desa Jero Kuta Pejeng.

4.1.7.37 Pura Dalem Karang Buncing

Lokasi pura di sebelah timur Pura Penataran Sasih kurang lebih 10 meter.

Di dalam pura terdapat dua palinggih terbuka berbentuk tpas sebagai tempat men-

sthana-kan arca-arca. Di palinggih yang posisinya di bagian tenggara terdapat dua

buah arca “makhluk gana” (penyangga bangunan) dalam keadaan utuh dan dua

buah lingga hanya tampak bagian silindrisnya. Selanjutnya dalam palinggih yang

satu lagi posisinya di bagian sebelah utara terdapat tinggalan batu-batu alam dan

yang teridentifikasi adalah sebuah batu pengasah dengan anak batunya (batu

boryan). Yang dipuja di palinggih ini adalah Ida Ratu Penamben (pengobatan).

Upacara piodalan jatuh pada Selasa Keliwon Dukut. Upakara yang

dipersembahkan babangkit (karya ageng) diantarkan oleh Ida Pedanda dan

pakoleman (karya alit) diantarkan oleh Jero Mangku Karang.

Page 42: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

86

4.1.7.38 Pura Saren Penataran Alit

Lokasi pura di sebelah timur laut Pura Penataran Dalem Karang Buncing.

Di pura ini ada sebuah palinggih yang menyimpan warisan budaya berupa seni

arca. Arca-arca yang teridentifikasi, di antaranya sebuah arca penjaga, dua buah

arca raksasa dengan hiasan tengkorak (satu utuh dan satu lagi kepalanya lepas),

arca dewi, arca nandi, lingga, dan beberapa fragmen arca. Ketika masuk dari

pamedal pura terdapat sebuah fragmen lukisan (pahatan) ambang pintu bangunan

candi? berhiaskan motif kala dengan pahatan patra di kanan kirinya. Sampai saat

ini masyarakat setempat masih meyakini bahwa Pura Saren Penataran Alit

merupakan media untuk memohon berkah (panugrahan) bilamana di rumahnya

ada banyak semut yang mengganggunya. Bertolak dari fungsinya sebagai

pengusir hama “semut”, maka warga masyarakat sekitarnya menyebut Pura

Semut. Upacara piodalan jatuh pada Rabu Umanis Perangbakat. Upakara yang

dipersembahkan pakoleman (karya ageng) dan datengan (karya alit). Upacara

diantarkan oleh Jero Mangku Bale Agung. Panyungsung pura terdiri atas dua

puluh kepala keluarga (KK), dari keluarga pangakan, Dusun Pedapdapan, Pejeng.

4.1.7.39 Pura Melanting Pasar

Lokasi pura di tengah Pasar Desa Pejeng di bagian hulu. Di dalam pura

terdapat sebuah palinggih khusus sebagai tempat menyimpan warisan budaya dan

dipuja sebagai sthana Ida Ratu Melanting. Warisan budaya di dalam sebuah

palinggih gedong berupa tiga buah lingga yang masih utuh; sebuah arca Siwa

dalam sikap duduk, tangan kanan memegang ganitri; sebuah arca Siwa dalam

sikap berdiri, tangan kanan memegang trisula dan tangan kiri memegang ganitri;

Page 43: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

87

tiga buah arca perwujudan dewi; tiga buah arca perwujudan dewa, satu utuh, satu

aus pada bagian muka, dan satu lagi yang lainnya tanpa kepala; fragmen arca

burung, dan dua buah fragmen bangunan berbentuk segi empat. Pemujaan utama

dilakukan terhadap arca lingga, yang diyakini sebagai pemberi kesejahteraan dan

kesuburan. Upacara piodalan jatuh pada Purnama Kasa. Pura di-among dan di-

sungsung oleh warga pasar dan seluruh warga masyarakat Desa Jero Kuta Pejeng.

4.1.7.40 Pura Manik Corong

Lokasi pura di pinggir jalan raya Gianyar-Tampaksiring di sebelah utara

perempatan Kantor Kepala Desa Pejeng jaraknya kira-kira100 meter. Pura Manik

Corong berstatus sebagai kahyangan jagat tempat Ida Hyang Manik Galih

(Galang) ber-sthana. Di dalam pura ada sebuah palinggih berbentuk pelataran

berundak setinggi kurang lebih 1,5 meter sebagai tempat menyimpan warisan

budaya dikeramatkan dan dipuja sebagai dewa terang. Warisan budaya yang ada

di antaranya berupa dua buah benda yang bentuknya memanjang seperti tutup

sarkopagus, ada lubang tembus ke belakang; sebuah lingga, sebuah arca manusia

dalam sikap duduk berjongkok dengan mata melotot; sebuah arca raksasa; dua

buah fragmen arca, dan sebuah arca yang sulit diidentifikasi. Pura Manik Corong

beserta tinggalan arkeologi (warisan budaya) yang ada di dalamnya berstatus

sebagai Cagar Budaya Nasional.

Sampai saat ini warga masyarakat setempat meyakini bahwa beliau yang

ber-sthana di Pura Manik Corong adalah istadewata yang mengemban misi

sebagai penawar hujan. Melalui ritual dengan kelengkapan upakara tertentu

dipersembahkan kepada beliau yang memberikan spirit (roh) warisan budaya yang

Page 44: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

88

dikeramatkan tersebut. Dengan demikian, permohonan untuk tidak turun hujan

dapat dikabulkan. Upacara piodalan jatuh pada Rabu Wage Kelawu, sebagai hari

penuh berkah kesuburan dan kesejahteraan (Sri dan Laksmi) atau Ratu Ida

Rambut Sedana. Upacara besar (ageng) dan kecil (alit) dilaksanakan secara silih

berganti, diantarkan oleh salah seorang Pendeta Geria Jero Kuta secara bergilir.

Pangemong pura adalah Puri Pejeng dan panyungsung adalah warga masyarakat

Bali.

4.1.7.41 Pura Batan Klicung

Pura ini terletak berseberangan dengan Pura Manik Corong, yaitu di

sebelah timur jalan, kira-kira 25 meter ke arah utara. Pura terbagi menjadi tiga

mandala (tiga halaman). Di utama mandala (ruang suci) terdapat palinggih

gedong khusus untuk menyimpan warisan budaya berupa dua buah arca singa,

sebuah arca penjaga dalam sikap duduk berjongkok, fragmen bangunan, dua buah

batu berbentuk seperti gelang berukuran besar berdiameter kira-kira 1 meter

berhiaskan manik-manik, yang satu besar, sedangkan satu lagi berukuran lebih

kecil; batu berbentuk tutup sarkopagus seperti di Pura Manik Corong dan

berlubang tembus di bagian bawahnya; sebuah Arca Ganesa duduk; fragmen

kepala arca dan dua buah fragmen arca tanpa kepala. Pura ini beserta warisan

budaya yang ada di dalamnya berstatus sebagai Cagar Budaya Nasional.

Upacara piodalan jatuh pada Rabu Wage Warigadean. Upakara yang

dipersembahkan pakoleman di antarkan oleh salah seorang pedanda di Desa Jero

Kuta Pejeng. Pada tahun 2011 telah dilaksanakan upacara mamungkah,

mapedagingan, ngenteg linggih lan pujawali. Pangemong pura Ngakan Ketut Rai

Page 45: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

89

(pemangku pura), keluarga Ngakan Kencana dan Ngakan Tagel. Namun, yang

bertanggung jawab penuh terhadap pemeliharaan pura adalah Ngakan Ketut Rai.

Panyungsung pura adalah warga masyarakat Desa Jero Kuta Pejeng.

4.1.7.42 Pura Galang Sanja

Letak pura ini berdekatan dengan Pura Batan Klicuk, yaitu di seberang

jalan sebelah barat jalan Balai Dusun Guliang. Pura terbagi atas tiga mandala. Di

mandala utama terdapat sebuah gedong tertutup sebagai tempat menyimpan

warisan budaya berupa Arca Budha, sedangkan di luarnya terdapat dua buah

lingga semu dan fragmen bangunan. Di palinggih lainnya berbentuk tpas tempat

menyimpan warisan budaya dari batu padas berbentuk roda dan di tengahnya

disangga oleh 4 buah jangkar seperti cakra.

Upacara piodalannya jatuh pada Selasa Keliwon Medangsia bersamaan

dengan di Pura Pusering Jagat. Upakara persembahan apakoleman di antarkan

oleh Jero Mangku Pura Manik Corong dan Jero mangku Pasek secara silih

berganti. Pura di among oleh 17 kepala keluarga (KK) sekaligus sebagai

panyungsung pura. Karena bestatus sebagai kahyangan desa, panyungsungnya

adalah warga masyarakat Desa Jero Kuta Pejeng. Beberapa tahun silam, di pura

ini sudah dilaksanakan upacara mamungkah dan pujawali (karya ageng).

4.1.7.43 Pura Manik Galih

Pura ini berlokasi di Dusun Guliang, tepatnya di perempatan Balai Banjar

Guliang ke utara kurang lebih 150 meter. Selanjutnya masuk gang ke timur 20

meter, tampak Pura Manik Galih di pinggir sebelah utara gang menghadap ke

Page 46: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

90

selatan. Di dalam pura hanya terdapat sebuah warisan budaya tersimpan dalam

sebuah palinggih terbuka berbentuk padma. Tinggalannya dari batu kali

berbentuk bulat agak lonjong sedikit ke atas dengan diameter 80 cm. Upacara

piodalan jatuh pada Senin Keliwon Kerulut, dengan tingkatan upacara sekali

karya ageng (besar) diantarkan oleh salah seorang pendeta Jero Kuta Pejeng dan

tiga kali karya alit (kecil) diantarkan oleh pamangku pura. Panyungsung pura

terdiri atas tiga puluh kepala keluarga (KK).

4.1.7.44 Pura Yeh Ayu

Dari Pura Manik Galih perjalanan dilanjutkan ke arah timur kurang lebih

60 meter tampak pura Yeh Ayu di pinggir sebelah utara gang menghadap ke

selatan. Di dalam pura terdapat sebuah palinggih. Di dalamnya tersimpan warisan

budaya berupa sebuah arca perwujudan, sebuah Arca Budha dengan sikap tangan

wara mudra. Sebuah arca duduk berjongkok (tokohnya kurang jelas), tiga buah

fragmen arca tanpa kepala, sebuah Arca Ganesa tampak belum selesai, dan sebuah

arca dalam posisi duduk bungkuk yang belum selesai pula. Upacara piodalan

jatuh pada Redite Umanis Langkir (Umanis Kuningan), dengan upakara yang

dipersembahkan pakoleman dan datengan, diantarkan langsung oleh pamangku

pura. Pura di-among dan di-sungsung oleh tiga Kepala Keluarga (KK).

4.1.7.45 Pura Muntur

Dari Pura Yeh Ayu menuju ke arah utara kira-kira 10 meter, tampaklah

Pura Muntur di sebelah timur gang menghadap ke barat. Di dalam pura terdapat

dua buah palinggih yang khusus menyimpan warisan budaya, yaitu palinggih

Page 47: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

91

Ratu Lesung dan sebuah palinggih sebagai stana Ratu Arca. Sesungguhnya

warisan budaya di palinggih tersebut berupa sebuah miniatur bangunan seperti

badan bangunan Ratu Ngurah. Tingginya kurang lebih 1 meter dengan lebar dan

tebalnya kira-kira 70 cm, tetapi sayang pada bagian atasnya aus.

Upacara piodalan berlangsung tiga kali yang masing-masing

diperuntukkan kepada Ratu Muntur pada Rabu Umanis Dunggulan (karya alit)

dipersembahkan upakara pakoleman; Ratu Dalem pada Sabtu Keliwon Landep

(karya alit) dipersembahkan upakara pakoleman masing-masing diantarkan oleh

Jero Mangku Muntur; dan upacara besar (ageng) pada Sabtu Umanis Watugunung

(Saraswati), upakara yang dipersembahkan adalah dua buah babangkit diantarkan

oleh sulinggih (sarwa sadhaka). Pura di-among dan di-sungsung oleh 306 kepala

keluarga (KK).

4.1.7.46 Pura Pucak

Pura ini terletak di jalan raya tepatnya di perbatasan Dusun Guliang dan

Dusun Pedapdapan di sebelah timur jalan raya Tampaksiring. Ada dua buah

palinggih yang khusus untuk menyimpan warisan budaya, yaitu di palinggih di

timur menghadap ke barat terdapat sebuah arca berdiri yang tidak teridentifikasi;

dan di sebelah selatannya adalah sebuah gedong tempat menyimpan beberapa

fragmen bangunan. Upacara piodalan jatuh pada Selasa Keliwon Medangsia.

Upakara yang dipersembahkan untuk upacara besar (ageng) adalah panggungan

dan diantarkan oleh salah seorang Pendeta Desa Jero Kuta Pejeng, sedangkan

upacara kecil (alit) adalah pakoleman diantarkan langsung oleh pamangku pura.

Page 48: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

92

Pura di among oleh Sembilan belas kepala keluarga (KK) dan panyungsung

adalah seluruh warga masyarakat Desa Jero Kuta Pejeng.

4.1.7.47 Pura Kembang Sari

Lokasi pura di Dusun Puseh, tepatnya di perempatan balai dusun menuju

ke arah utara kira-kira 40 meter. Selanjutnya masuk gang ke timur maka

tampaklah Pura Kembang Sari di sebelah selatan gang berdekatan dengan rumah

Made Giri. Di dalam palinggih gedong terdapat beberapa warisan budaya

disimpan dalam tiga buah palinggih. Di palinggih gedong utama (timur) terdapat

dua buah lingga, sebuah Arca Ganesa, tiga buah Arca Singa (satu utuh dan dua

buah berupa pragmen kepala), dan bangunan berbentuk mudra (puncak) bangunan

berukuran tinggi kurang lebih 120 cm, dan dua buah fragmen pelataran bangunan

masing-masing berukuran 70 cm dan 85 cm. Di sebelah selatan palinggih gedong

utama terdapat bangunan palinggih gedong berukuran lebih kecil. Di dalamnya

terdapat dua buah arca, yaitu arca pancuran berwujud Dewa Brahma naik angsa,

dan arca pancuran berwujud makara jaladwara. Di palinggih gedong kecil di

bagian sisi selatan menghadap ke utara terdapat sebuah tinggalan berupa pahatan

buah dada wanita yang dibuat dari batu alam berukuran kurang lebih 70 cm. Di

sebelah kanan gedong, yaitu di halaman (natar) pura terdapat bangunan batu

silindris berdiameter 50 cm.

Upacara piodalan jatuh pada Rabu Umanis Julungwangi. Pangemong pura

sebanyak tiga belas kepala keluarga (KK). Upakara yang dipersembahkan

disesuaikan dengan tingkatan yadnya yang dilaksanakan. Untuk di Pura Kembang

Sari, pelaksanaan upacaranya sekali besar (ageng) mapanggungan di-antarkan

Page 49: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

93

oleh salah seorang Pendeta Desa Geria Jero Kuta Pejeng dan tiga kali secara

berturut-turut pawedalan alit diantarkan oleh salah seorang pamangku kahyangan

desa atau ditunjuk oleh pangemong pura.

4.1.7.48 Pura Melanting Sawah

Pura ini berlokasi di perbatasan Desa Pejeng dengan Desa Pejeng Kawan

tepatnya di sebelah kanan jalan sebelum jembatan. Di dalam pura terdapat sebuah

palinggih dan dibuat khusus untuk menyimpan warisan budaya berupa sebuah

arca Bodhisatwa duduk di atas lapik padma ganda; Arca Budha duduk di atas

padma ganda dan di bawahnya ada lapik segi empat, dan arca aus pada bagian

muka; sebuah arca raksasa duduk berjongkok dengan rambut ikal; fragmen arca,

dan bangunan yang sulit diidentifikasi. Di pelataran pura terdapat sebuah

tinggalan dibuat seperti tugu dan di atasnya seperti menur. Bagian atas dan bawah

bangunan berhiaskan daun padma.

Upacara piodalan jatuh pada Sabtu Umanis Watugunung (Saraswati).

Bentuk upakara yang dipersembahkan adatengan diantarkan oleh Jero Mangku

Pura Melanting Pasar. Pangemong dan panyungsung pura adalah warga subak

Babakan. Semua biaya yang dibutuhkan untuk upacara ditanggung oleh subak

bersangkutan, sedangkan biaya pemeliharaan bangunan dan perawatan warisan

budayanya mendapat bantuan dari pemerintah melalui Balai Pelestarian Cagar

Budaya (BPCB), Bedulu, Gianyar.

Page 50: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

94

4.1.7.49 Palinggih Batu Silindris

Dari pasar Desa Pejeng perjalanan dilanjutkan ke arah barat menuju

Pejeng Kawan, sampai di pertigaan Pura Penataran Satria Kandel, belok ke kiri

(barat) kurang lebih 75 meter, lanjut ke kiri (selatan) lewat pematang sawah kira-

kira 20 meter, bertemu dengan sebuah palinggih berbentuk tugu. Di atas palinggih

terdapat sebuah warisan budaya berupa batu silindris berbentuk lingga naturalis.

Tinggalan tersebut di sungsung oleh pemilik pekarangan rumah dan pemilik

sawah dan diyakini sebagai dewa kesuburan. Tampaknya palinggih tersebut tidak

memiliki hari upacara piodalan khusus, tetapi setiap rarahinan dipersembahkan

upakara sesuai dengan kemampuan.

4.1.7.50 Candi Kelebutan dan Ceruk

Candi Tebing Kelebutan terletak di Dusun Tatiapi, Pejeng Kawan,

Gianyar, tepatnya di tebing Sungai Kelebutan. Candi dipahatkan pada dinding

sungai menghadap ke arah barat setinggi 3,5 meter dan lebar 1,75 cm. Bentuknya

lebih langsing dibandingkan dengan candi tebing yang ada di DAS Pakerisan.

Bangunannya terdiri atas bagan kaki, bagian tubuh, dan bagian atap. Pada bagian

dasar terdapat lubang. Di samping tinggalan berupa candi juga terdapat ceruk

pertapaan yang posisinya di sebelah barat sungai berhadap-hadapan dengan

bangunan candi berukuran tinggi 240 cm, panjang 590 cm, dan lebar 284 cm.

Baik bangunan candi maupun ceruk pertapaan sudah tidak berfungsi lagi bagi

warga masyarakat (dead monument). Karena berstatus sebagai benda cagar

budaya (BCB), segala biaya untuk pemeliharaan bangunannya ditanggung oleh

pemerintah melalui Bali Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bedulu, Gianyar.

Page 51: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

95

4.1.7.51 Pura Bedugul Kana

Pura ini terletak di Dusun Panglan Pejeng. Untuk menemukannya di Balai

Dusun Panglan perjalanan menuju ke arah utara kurang lebih 400 meter.

Selanjutnya belok ke barat (ke kiri) kira-kira 20 meter, tampak pura berada di

sebelah selatan jalan menghadap ke barat. Di dalam pura terdapat dua palinggih

gedong khusus untuk menyimpan warisan budaya. Di gedong timur (Palinggih

Ratu Bedugul Kana) terdapat beberapa benda wariasan budaya berupa empat buah

arca penjaga dalam sikap duduk berjongkok; sebuah Arca Ganesa dengan sikap

duduk berukuran tinggi 130 cm, lebar dan tebal berukuran 1 meter ; sebuah Arca

Ganesa berdiri dengan sikap lalitasana; sebuah Arca Ganesa dalam sikap duduk;

sebuah arca Siwa; dan fragmen arca. Di palinggih gedong utara (Palingih Ratu

Panji) terdapat benda warisan budaya berupa dua buah lingga; sebuah Arca

Bhatara Guru; sebuah Arca Siwa dengan sikap duduk lalitasana, dua buah arca

perwujudan; dan beberapa fragmen arca.

Upacara piodalan jatuh pada Minggu Langkir (Umanis Kuningan).

Bilamana karya ageng (upacara besar), bentuk upakara yang dipersembahkan

pakoleman (ageng) dan diantarkan oleh salah seorang pendeta di Desa Jero Kuta

Pejeng. Bilamana karya alit (upacara kecil), bentuk upakara yang

dipersembahkan datengan dan diantarkan oleh salah seorang jero mangku

kahyangan desa dari Desa Jero Kuta Pejeng.

4.1.7.52 Pura Pengukur-Ukuran

Lokasi pura di Desa Sawa Gunung, Pejeng Kelod, Gianyar. Untuk

menemukannya dari perempatan Kantor Kepala Desa Pejeng perjalanan

Page 52: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

96

dilanjutkan menuju ke arah timur kurang lebih 600 meter, sampai di pertigaan

belok ke kiri kira-kira 300 meter, tampak Pura Pengukur-Ukuran di sebelah timur

jalan. Di dalam pura tersimpan beberapa warisan budaya, di antaranya Arca

Ganesa, fragmen Arca Siwa Mahaguru, relief Arca, fragmen Arca Dewi, Arca

Dewa, relief Kamandalu, fragmen Bangunan Candi, fragmen kepala kala, fragmen

lingga. Warisan budaya lainnya, yaitu berupa bangunan Prasada berdiri di atas

bebaturan, dengan bentuk bangunan terdiri atas tiga bagian, yaitu kaki candi,

tubuh candi dan atap candi. Di bagian tubuh candi terdapat pintu candi

menghadap ke arah barat. Untuk naik ke bagian tubuh candi harus melalui tangga

di bagian belakang di timur laut kaki candi. Bahan candi dibuat dari batu alam.

Gapura Kuno, terdiri atas bagian kaki, bagian tubuh, dan bagian atap yang

dipahatkan di pinggir barat pada sebuah tebing Sungai Pakerisan dilengkapi

dengan tangga-tangga yang menggunakan susunan batu kali. Pada bagian tubuh

(badan) terdapat sebuah pintu masuk yang diapit oleh dua buah dinding.

Tinggalan lainnya, yaitu berupa ceruk yang menempel pada dinding padas.

4.1.7.53 Candi Kerobokan Cemadik

Untuk menemukan Candi Tebing Kerobokan Cemadik, dari Pura

Pengukur-Ukuran perjalanan dilanjutkan ke arah utara kira-kira 600 meter

sampailah di Dusun Cemadik, Desa Pejeng Kangin, Gianyar. Dari Cemadik

perjalanan di-lanjutkan menuju Sungai Pakerisan dan turun menyeberangi sungai,

maka tampaklah Candi Tebing berdiri menempel pada tebing sungai bagian timur

menghadap ke barat. Bentuknya sama dengan candi-candi tebing di DAS

Pakerisan yang membagi candi menjadi tiga bagian secara vertikal, yaitu kaki

Page 53: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

97

candi, tubuh candi, dan atap candi. Pada bagian tubuh candi terdapat pintu semu

dalam keadaan aus pada bagian kiri (selatan), depan (barat), dan kanan (utara)

candi.

4.1.7.54 Pura Puseh, Desa, dan Dalem

Sebagai sebuah desa yang diikat oleh kesatuan wilayah territorial, Desa

Pejeng juga memiliki kahyangan tiga, yaitu Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura

Dalem. Pura Desa dan Pura Puseh berposisi di Pura Penataran Sasih tepatnya di

bagian barat laut menghadap ke selatan dan bagian madya mandala menjadi satu

dengan Pura Penataran Sasih. Di dalam pura tidak terdapat warisan budaya.

Namun, yang jelas bahwa Pura Desa (Bale Agung) yang dibangun lebih dulu

daripada Pura Puseh memiliki kaitan erat dengan Pura Penataran Sasih. Karena di

Desa Pejeng tidak ada kahyangan desa yang berstatus sebagai Pura Puseh, maka

atas prakarsa para pemuka masyarakat (sulinggih, tokoh masyarakat, dan

pemegang kekuasaan) bangunan Bale Agung dilengkapi dengan Pura Puseh.

Untuk Pura Dalem, yang lebih umum disebut Pura Dalem Tengaling, berposisi di

bagian barat laut Desa Jero Kuta, tepatnya di ulu setra (kuburan).

4.1.7.55 Pura Taman Sari

Pura Taman Sari berada dalam satu areal dengan Pura Penataran Sasih,

tepatnya di barisan utara bagian paling menghadap ke barat atau di sebelah timur

Pura Ratu Pasek. Bagian madya mandala pura menjadi satu dengan areal dapur

(pawaregan) Pura Penataran Sasih. Di dalam pura terdapat dua palinggih gedong

berfungsi sebagai tempat menyimpan warisan budaya yang dikeramatkan dan

Page 54: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

98

dipuja oleh warga masyarakat Desa Pejeng. Di palinggih gedong bagian utara

terdapat puluhan warisan budaya berupa batu dan fragmen arca dan sebuah

tinggalan yang tampak jelas adalah berupa lingga. Kemudian di palinggih gedong

timur terdapat Arca Ganesa, arca perwujudan dewa, dan fragmen arca.

Upacara piodalannya jatuh pada Rabu Umanis Dukut. Upakara yang

dipersembahkan berupa bebangkit bilamana karya ageng dan apakoleman

bilamana karya alit. Pangemong dan panyungsung pura adalah warga masyarakat

Desa Jero Kuta Pejeng. Pangempon pelaksanaan upacara piodalan dan penyedia

persembahan adalah Dusun Puseh. Sumber dananya diambil dari Desa Adat Jero

Kuta. Sebagaimana di Pura Penataran Sasih, upacara dipimpin oleh salah seorang

pendeta di Jero Kuta Pejeng.

4.1.7.56 Pura Ratu Pasek

Posisi pura berada dalam satu kompleks dengan Pura Penataran Sasih,

tepatnya di arah bagian utara menghadap ke selatan. Bagian madya mandala pura

menjadi satu dengan areal dapur (pawaregan) Pura Penataran Sasih atau menjadi

satu dengan Pura Taman Sari. Di utama mandala tepatnya di sudut timur laut ada

sebuah palinggih berbentuk tpas setinggi 1,25 cm, tempat men-stana-kan

beberapa warisan budaya berupa batu-batu alam dan sebuah tinggalan berbentuk

prabha berlukiskan Buta Sia ?

Upacara piodalan jatuh pada Rabu Wage Kelawu. Upakara yang

dipersembahkan adalah babangkit bilamana karya ageng dan pakoleman bilamana

karya alit. Upacara diantarkan oleh salah seorang Pendeta Desa Jero Kuta Pejeng.

Sampai saat ini yang ngempon pura adalah warga pasek. Status pura adalah catur

Page 55: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

99

lawa merupakan salah satu bagian penting dari Pura Penataran Sasih, statusnya

sama dengan Pura Taman Sari, Pura Ratu Pande dan Pura Taman Surat yang juga

berstatus catur lawa. Dengan demikian, panyungsung-nya juga seluruh warga

masyarakat Desa Jero Kuta Pejeng.

4.1.7.57 Pura Taman

Pura Taman Sari merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Pura

Penataran Sasih. Di dalam pura terdapat dua buah warisan budaya, satu berupa

makara jaladwara dan satu lagi berupa fragmen puncak bangunan candi? Ke-

duanya ditempatkan masing-masing dalam palinggih terbuka. Bahkan, yang

berupa arca pancuran (jaladwara) diberdayakan kembali sebagai penyalur air

dalam sebuah kolam kecil dengan menggunakan mesin. Pura Taman termasuk

bagian penting dari Pura Penataran Sasih, yaitu sebagai taman (udiyana) atau

petirtaan niskala. Upacara piodalan dilaksanakan bersamaan dengan di Pura

Penataran Sasih.

4.1.7.58 Palinggih Pangrajan Penataran Sasih

Palinggih Ratu Pengrajan berposisi di bagian barat daya madya mandala

Pura Penataran Sasih. Di dalam palinggih tersimpan beberapa warisan budaya,

yaitu berupa dua buah lingga, sebuah arca kurma (kura-kura), sebuah prasasti

yang dipahatkan pada balok batu, kemungkinan fragmen bangunan, dan

sebagainya. Yang menarik adalah warisan prasasti yang berbunyi “parad sang

hya(ng) (w)arama”, (Stutterheim, t.t.: 24), dengan bentuk huruf Kediri Kwadrat?

Page 56: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

100

4.1.7.59 Pura Ibu

Pura ini menjadi satu areal dengan Pura Penataran Sasih dibatasi dengan

tembok panyengker (pembatas), tepatnya di sebelah selatan pura menghadap ke

jalan raya. Pura terbagi atas tiga halaman. Di utama mandala (jeroan) terdapat

sebuah palinggih gedong khusus untuk menyimpan benda warisan budaya berupa

fragmen arca Narasinga, Arca Kurma berbentuk persegi empat berukuran kurang

lebih 75 cm, sebuah Arca Singa, dan beberapa tinggalan yang sulit diidentifiaksi.

Pura ini kemungkinan merupakan pura induk (ibu) dari Pura Penataran Sasih,

sekaligus memilki keterkaitan dengan pura-pura catur lawa lainnya.

Bilamana demikian halnya, ketika ada upacara piodalan “Nyatur” di Pura

Penataran Sasih, sepatutnya ada upacara juga di Pura Ibu, seperti di Pura Taman

Sari, Pura Ratu Pasek, Pura Desa-Puseh, dan Pura Taman. Dengan demikian,

upacara yang dilangsungkan adalah upacara “Ida Bhatara Turun Kabeh”. Selama

ini Pura Ibu merupakan sebuah pengecualian. Untuk itu, ke depan perlu dipikirkan

oleh para tokoh agama dan para pemuka masyarakat. Sebagaimana pura-pura

lainnya di Desa Pejeng, upacara piodalan Pura Ibu jatuh pada Rabu Wage

Langkir. Upakara persembahan berupa bebangkit bilamana karya ageng dan

apakoleman bilamana karya alit, dipimpin oleh salah seorang Pendeta di Desa

Jero Kuta Pejeng. Pangemong dan panyungsung pura adalah warga keturunan

Gedong Arta.

4.1.7.60 Pura Beji Suganti

Pura ini berlokasi di Dusun Panglan, tepatnya di sebelah timur Dusun

Guliang. Untuk mencapainya dari perempatan Kantor Desa ke arah timur sampai

Page 57: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

101

di perbatasan antara Dusun Guliang dan Dusun Panglan bertemu dengan sungai

kecil (telabah) belok ke kiri kurang lebih 30 meter. Di situlah lokasi pura. Pura

berada di dalam gua dengan dua buah palinggih untuk menghaturkan sesaji ketika

upacara ngabejiang. Untuk menemukan sumber air petirtaan masuk ke gua. Di

Petirtaan inilah pratima-pratima Ida Betara Pura Penataran Sasih secara simbolis

masucian (membersihkan diri) diusung berikut alat-alat upacara yang

mengiringinya, seperti umbul-umbul, bandrangan, kober, payung pagut, pajeng,

dan sebagainya, dan hanya dilakukan setiap tahun sekali ketika upacara nyatur di

Pura Penataran Sasih. Karena Pura Beji ini merupakan bagian tidak terpisahkan

dengan Pura Penataran Sasih, semua bentuk persembahan (upakara) yang

diperuntukkan kepada Ida Betara Beji sekalian dilakukan ketika upacara piodalan

di Pura Penataran Sasih. Bentuk persembahannya (upakara) sesuai dengan yang

telah ditentukan dan diantarkan langsung oleh Pemangku Pura Penataran Sasih.

Ida Bhatara Pura Penataran Sasih ngabejiang pada pagi hari, yaitu sekitar pukul

09.00 Wita, tepatnya pada puncak upacara piodalan.

4.1.7.61 Palinggih Ratu Arca

Palinggih ini terletak di rumah I Dewa Nyoman Alit, Dusun Puseh, Desa

Pejeng. Tepatnya di perempatan sebelah barat SMP Santi Yoga Pejeng, jaraknya

kurang lebih 75 meter. Posisi palinggih di bagian timur laut merajan gede

miliknya. Bentuk-bentuk warisan budaya yang ada di dalamnya adalah sebuah

Arca Lingga berukuran cukup besar dan warisan budaya lainnya yang sulit

diidentifikasi. Menurut Dewa Nyoman Alit (pemilik rumah), benda warisan

tersebut diyakini memiliki kekuatan (spirit) yang dapat melindungi keluarganya.

Page 58: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

102

Pada hari-hari keagamaan tertentu diberikan persembahan sebagaimana di

palinggih-palinggih lain di lingkungan sekitarnya (wawancara 17 Maret 2014,

pukul 15.00--15.15 Wita).

4.1.8 Pejeng Pusat Kerajaan Zaman Bali Kuno

Pada subbab 4.1.7 telah diuraikan enam puluhan tempat suci disertai

dengan warisan budaya yang tersimpan di dalamnya, baik di dalam palinggih pura

maupun palinggih yang ada di rumah-rumah penduduk, di sawah, dan warisan

budaya berupa candi tebing serta gua pertapaan yang ada di sekitarnya. Warisan

budaya yang telah diamati di seluruh tempat suci kebanyakan berupa warisan

budaya seni arca. Bila dihitung secara keseluruhan dapat dikatakan berjumlah

ratusan dengan berbagai ragam bentuk (wujud), ukuran, ragam hias, dan latar

belakang kepercayaan yang diwakilinya. Berdasarkan berbagai fenomena yang

tampak di lapangan selama penelitian khususnya terhadap keberadaan warisan

budaya, diketahui bahwa sedikitnya ada tiga hal prinsip yang dapat diangkat ke

permukaan. Ketiga hal prinsip yang dimaksud, yaitu berkaitan dengan kehidupan

sosial budaya, kehidupan sosial politik, dan kehidupan sosial keagamaan.

Suatu hal yang menarik adalah bahwa di antara warisan budaya yang

tersimpan di dalam pura ada yang menunjukkan angka tahun atau prasasti. Ada

prasasti yang dipahatkan pada arca, ada dibuat khusus pada batu terlepas dari

tinggalan seni arca, dan ada pula dipahatkan pada bagian bangunan. Bentuk

artefak lainnya yang banyak terdapat di objek adalah fragmen-fragmen bangunan,

terutama bagian puncak (menur) yang berbentuk bulatan (silindris) seperti puncak

Page 59: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

103

stupa dan fragmen-fragmen bangunan lainnya. Fenomena seperti itu cukup

menarik pula untuk dikaji lebih lanjut.

Aspek lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah posisi

Desa Pejeng berada di antara DAS Pakerisan dan Petanu. Sebagaimana diketahui

bahwa beberapa situs yang berada di DAS Pakerisan, seperti Pura Pagulingan,

Pura Tirta Empul, Pura Mengening, dan Gunung Kawi sejak 29 Juni 2012 telah

ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Artinya, dunia telah

mengakui bahwa situs-situs tersebut memiliki nilai budaya, sejarah, ekonomi,

politik, ilmu pengetahuan, dan keagamaan sehingga penting untuk dijaga dan

dilestarikan. Keberadaannya sangat bermanfaat bagi bangsa khususnya

masyarakat Bali sebagai bahan pendidikan dan pelajaran tentang masa lalu, baik

bagi generasi sekarang maupun pada masa depan. Tampaknya tidak jauh berbeda

dengan keberadaan situs-situs di Pejeng, tentu banyak hal dapat dipetik perihal

masa lalu lewat aneka ragam warisan budaya yang ditinggalkan oleh sang

penguasa pada masa silam.

Pengamatan saksama telah dilakukan oleh Sututterheim terhadap warisan

budaya di sepanjang DAS Pakerisan dan Petanu. Secara keseluruhan hasilnya

dapat dikelompokkan menjadi empat periode, yaitu berasal dari (1) periode Hindu

Bali (abad 8--10 M), (2) periode Bali Kuno (abad 10--13 M), (3) periode Bali

Madya (abad 13--14 M), dan (4) benda-benda yang waktu pembuatannya belum

dapat ditentukan (dalam Astra, 2013: 3). Berdasarkan pengelompokkan dimaksud,

rupanya warisan budaya di Pejeng-Bedulu dapat mewakili setiap kelompok

zaman, bahkan ada sebuah tinggalan penting jauh lebih tua berasal dari zaman

pra-Hindu, yaitu nekara “Bulan Pejeng” kini disimpan di Pura Penataran Sasih.

Page 60: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

104

Warisan budaya tersebut berasal dari masa beberapa abad sebelum Masehi

(Poesponegoro dan Notosusanto, 1984: 243). Saat sekarang ini setidaknya telah

berumur 2.000 tahun. Hal itu berarti bahwa warisan budaya di Desa Pejeng dapat

mewakili dua zaman, yaitu zaman prasejarah dan zaman sejarah. Artinya sejak

zaman prasejarah sampai dengan runtuhnya Bali ke tangan Majapahit, Pejeng

merupakan pusat aktivitas agama dan budaya. Sangat mustahil bilamana aktivitas

agama dan budaya yang sesungguhnya tidak dapat terlepas dari kehidupan

masyarakat akan dapat berkembang dengan subur tanpa perlindungan penguasa.

Banyaknya warisan budaya, mengindikasikan bahwa kemungkinan besar Desa

Pejeng merupakan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno. Seperti dikatakan

Kempers (1960: 64) bahwa Pura Penataran Sasih merupakan pura penataran

kerajaan pada zaman Bali Kuno dan Pura Pucak Penulisan sebagai pura

gunungnya.

Tampaknya Robson (1978: 87) sangat yakin bahwa Pejeng sebagai pusat

kerajaan pada jaman Bali Kuno merujuk kepada pernyataan Stutterheim yang

menyebutkan bahwa selain kaya dengan warisan budaya di Pejeng juga terdapat

banyak geria (rumah pendeta). Ada sembilan geria di Desa Pejeng, satu geria di

Wanayu, dan di Bedulu tidak ada sama sekali. Seperti diketahui bahwa geria

adalah rumah pendeta istana (purohita) kerajaan. Keberadaannya tidak dapat

dipisahkan dengan keraton. Namun, Robson tetap berpegang pada pemikirannya

bahwa keberadaan pura-pura besar, seperti Pura Penataran Sasih (Pejeng), Pura

Pusering Jagat (Pejeng), Pura Samuan Tiga (Bedulu), dan Pura Gunung Sari

(Wanayu) masih saling berhubungan antara satu dan yang lainnya. Sampai saat

sekarang ini tradisi saling mengunjungi di antara Ida Betara junjungan masyarakat

Page 61: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

105

di keempat pura tersebut masih tetap berlangsung ketika upacara piodalan

(Robson, 1978: 83). Artinya, Robson memandang bahwa Pejeng dan Bedulu yang

kini terpisah secara adminitratif, tetapi dalam konteksnya dengan kisah sejarah

pada masa silam (Bali Kuno), Pejeng dan Bedulu menjadi satu kesatuan wilayah

kerajaan.

Ketika Bali ditundukkan oleh Majapahit pada 1343 M, di dalam

Nagarakretagama pupuh XIII dan XIV disebut Bali, Badahulu, Lo Gajah berada

di sebelah timur Jawa (Slametmulyana, 1979: 150). Maksud dari kata Bali,

Badahulu, Lo Gajah kurang lebih dapat diartikan raja hina (Badahulu), dari Bali

berkedudukan dekat Sungai Gajah (Lo Gajah) atau Sungai Petanu. Kedudukan

raja (pusat kerajaan) yang lokasinya disebutkan di Sungai Petanu kemungkinan

besar adalah Batahanyar sebagaimana disebutkan di dalam Usana Bali (1986:

126). Menurut Robson, situs kerajaan Batahanyar yang disebutkan dalam Usana

Bali diperkirakan di situs Jero Agung. Saat sekarang ini di atas situs tersebut telah

dibangun Pura Jero Agung. Kebenaran atas dugaan Robson tersebut akan menjadi

lebih meyakinkan dengan didukung adanya bekas dasar-dasar bangunan di sekitar

wilayah Pura Jero Agung. Dahulu zona yang sekarang dibangun pura, di atasnya

adalah bekas Puri Agung (keraton) raja Sri Masula Masuli. Ketika menjadi raja

bergelar “Sri Astasura Ratna Bhumi Banten”, yaitu raja Bali Kuno terakhir yang

dalam Nagarakretagama disebut raja Badahulu.

Bilamana nama Badahulu adalah untuk menyebut raja Sri Astasura Ratna

Bhumi Banten, raja yang hina dari Bali, artinya nama Badahulu (sekarang Bedulu)

baru dikenal ketika masa akhir pemerintahan raja Bali Kuno. Kerajaan

sebelumnya tentu tidak jauh dari Batahanyar sebagaimana disebutkan dalam

Page 62: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

106

Usana Bali, yaitu di Pejeng. Karena Pejeng telah ditundukkan oleh Kertanegara

dengan menawan rajanya, “Parameswara” 1284 M (Ekawana, 1985: 507),

selanjutnya pusat kerajaan dipindahkan ke Batahanyar oleh Sri Bhatara Guru

(putra Parameswara atau ayahanda Astasura Ratna Bhumi Banten) (Warna dkk.,

1986: 126). Dengan demikian, wilayah yang sekarang disebut Bedulu sebelum

kekuasaan Majapahit masih menjadi satu dengan Pejeng. Ketika Belanda

mengendalikan pemerintahan (kekuasaan) di Bali, untuk membedakan urusan

dinas (pemerintahan) dengan urusan adat, maka diperkenalkanlah desa dinas

(Parimarta, 2003: 7). Jelaslah bahwa Belanda sangat berkepentingan dengan

kehadiran desa dinas dalam melancarkan roda kekuasaannya di Bali, khususnya di

Pejeng dan Bedulu.

Kembali kepada pembicaraan pusat kerajaan sebelum pindah ke

Batahanyar, dengan merujuk kepada pemaparan Kempers (1960: 68) mengatakan

bahwa Pura Penataran Sasih merupakan kuil pusat kerajaan Pejeng dahulu kala

dan Bulan Pejeng sebagai benda pujaan. Berkenaan dengan status pura, Goris

(dalam Sedyawati dan Ardika, ed., 2012: 62) dengan jelas bahwa Pura Penataran

Sasih Pura Penataran Kerajaan (Kingdom Temple); Pura Puncak Panulisan sebagai

Pura Gunung (Mountain Temple); dan Pura Pusering Jagat sebagai Pura Segara

(Segara Temple). Semua argumen mereka menukik kepada Pejeng sebagai pusat

kerajaan pada Jaman Bali Kuno. Di pihak lain berkenaan dengan titik pusat

kerajaannya, apakah tidak mungkin di Puri Pejeng (sekarang Puri Soma Negara?),

mengingat Pura Penataran Sasih seperti dikatakan Goris merupakan Pura

Penataran Kerajaan pada jaman Bali Kuno berada tidak jauh dari Puri Pejeng.

Selain itu, Pura Pusering Jagat sampai saat sekarang ini diyakini sebagai tempat

Page 63: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

107

suci untuk menguatkan sumpah (cor) identik dengan pengadilan berada di sebelah

selatan Puri Pejeng.

Selanjutnya, ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Batahanyar, lokasinya

diperkirakan di Pura Jero Agung (sekarang), yang dahulu diduga bekas puri

(keraton) Raja Astasura Ratna Bhumi Banten. Pura Pengastulan yang letaknya di

sebelah utara Pura Jero Agung adalah pura kerajaan, pura Kejaksaan (Jaksan)

identik dengan “Pengadilan” letaknya di sebelah barat Pura Pengastulan, dan di

sebelah baratnya lagi tepatnya di pinggir Sungai Petanu ada sumber air suci

disebut Pura Bidadari. Menurut keterangan A.A. Gde Oka Astawa (Informan,

wawancara pada Selasa 1 April 2014 di Puri Bedulu), di sebelah baratnya atau

bersebelahan dengan Pura Bidadari tepatnya di pinggir bagian sebelah barat

sungai Petanu adalah wilayah Desa Tengkulak, yaitu tempat Ki Pasung Gerigis

tinggal. Menurut Babad Barabatu, selain Kebo Iwa, Pasung Gerigis merupakan

patih andalan Raja Astasura Ratna Bhumi Banten. Ketika Kebo Iwa ditawan oleh

raja Majapahit, Pasung Gerigislah melanjutkan perjuangan Kebo Iwa melawan

laskar Majapahit (sumber Babad Barabatu dalam A. A. Gde Raka, 2010: 39).

Karena Bali telah tunduk kepada Majapahit, mulailah pemerintahan baru,

yaitu Dinasti Kepakisan dengan rajanya Sri Kresna Kepakisan dibawa oleh Gajah

Mada dari Kediri. Pusat kerajaan pun dipindahkan dari Pejeng ke Samprangan

(Samplangan) Gianyar. Pemindahan pusat kekuasaan berpengaruh terhadap

pengembangan tradisi budaya, termasuk tradisi pembuatan arca-arca yang

berkembang di Pejeng dan Bedulu tampaknya tidak ditradisikan lagi di daerah

kekuasaan baru. Demikian pula untuk menjadikan arca-arca sebagai media

komunikasi dengan para istadewata tampaknya ditinggalkan pula, terlebih pusat

Page 64: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

108

kekuasaan dalam waktu relatif singkat dipindahkan lagi ke Gelgel. Hal itu

menyebabkan semakin jauhnya pengawasan terhadap pusat kekuasaan lama, baik

di Samprangan, di Bedulu, maupun di Pejeng. Pada akhirnya semuanya untuk

menjadi terbengkelai untuk beberapa abad, termasuk warisan budaya di Pejeng

dan Bedulu yang saat sekarang ini diselamatkan di tempat-tempat suci (pura) dan

palinggih-palinggih di rumah-rumah penduduk, sebagian tidak lagi insitu. Di

samping itu, fungsinya pun mengalami pergeseran. Namun, tetap disakralkan dan

dipuja oleh warga masyarakat setempat.

Setelah kurang lebih selama 3,5 abad ditinggalkan (1343 M--1705 M),

seorang keturunan Raja Klungkung, yaitu Dewa Agung Mayun, sejak 1705 M

kembali memilih Pejeng sebagai pusat kerajaannya (Tim Peneliti, 2013: 32).

Semua warisan budaya yang ditinggalkan dan kurang mendapat perhatian dari

penguasa (raja) sejak berakhirnya masa kekuasaan raja-raja Bali Kuno di Pejeng

dan Bedulu akhirnya kembali mendapat perhatian. Sebagaimana dapat dilihat

dewasa ini bahwa warisan budaya di semua tempat suci (pura) dan palinggih di

rumah-rumah penduduk dan di sawah sangat dikeramatkan dan diberikan

pemujaan pada hari-hari yang telah ditentukan oleh pangemong dan panyungsung-

nya.

4.2 Gambaran Umum Pura Penataran Sasih

Pada subbab ini diuraikan tentang keberadaan Pura Penataran Sasih dilihat

dari beberapa aspek, seperti sejarah pura, struktur pura, fungsi pura, status pura,

warisan budaya, pangemong dan panyungsung pura, dan sebagainya. Karena

banyak hal yang menarik berkenaan dengan keberadaan pura dan warisan budaya

Page 65: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

109

di dalamnya, maka dalam penyajiannya selain bersifat deskripsi juga dilakukan

analisis dan interpretasi.

4.2.1 Sejarah Pura

Berbicara tentang Pura Penataran Sasih tentu tidak dapat dipisahkan

dengan Desa Pejeng. Keberadaan Pura Penataran Sasih di satu sisi, dan Desa

Pejeng di sisi lain tidak ubahnya bagaikan dua sisi mata uang, yaitu antara sisi

satu dan sisi lainnya saling memberikan arti. Demikian pula ketika berbicara

tentang sejarah Pura Penataran Sasih, tentu tidak dapat dilepaskan dengan

keberadaan Desa Pejeng. Dari hasil-hasil penelitian yang telah diterbitkan oleh

para peneliti asing, seperti W.F. Stutterheim, A.J. Bernert Kempers, R. Goris, dan

kunjungan Rumphius ke Bali tahun 1705 (Marwati dan Notosusanto,1984),

diperoleh gambaran bahwa Desa Pejeng tergolong desa kuno, karena di

lingkungannya terdapt banyak tinggalan purbakala (warisan budaya). Di Pura

Penataran Sasih sendiri, selain terdapat benda-benda warisan budaya dari zaman

sejarah (Hindu) berupa puluhan seni arca, lebih dari sembilan puluhan batu

silindris, dan sebagainya, juga terdapat sebuah tinggalan yang sangat tua dari

zaman pra Hindu (perunggu), yaitu berupa nekara.

Stutterheim dalam penelitiannya secara khusus mengadakan

pengelompokan terhadap tinggalan-tinggalan purbakala yang ada di Bali. Hasil

pengelompokan itu diterbitkan dalam bukunya yang berjudul Oudheiden van Bali.

Hasil penelitian lainnya diberi judul Indian Influences in Old Balinese Art. Ke dua

hasil penelitian yang diterbitkan tesebut lebih banyak menguraikan tinggalan seni

arca yang ada di Desa Pejeng dan Bedulu. Demikian pula Bernet Kempers, dalam

Page 66: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

110

tulisannya yang berjudul “Bali Purbakala” juga banyak menjelaskan warisan

budaya seni arca di Desa Pejeng-Bedulu. Banyaknya warisan budaya itu

mengindikasikan bahwa kemungkinan besar Desa Pejeng sebagai pusat kerajaan

pada jaman Bali Kuno. Selain itu. Pura Penataran Sasih sebagai pura penataran

kerajaan dan Pura Pucak Penulisan sebagai pura gunungnya (Kempers, 1960: 64).

Pura Penataran Sasih tidak berdiri sendiri, tetapi ada beberapa pura lainnya

yang masih menjadi satu kesatuan, yaitu Pura Taman Sari, Pura Ratu Pasek, Pura

Bale Agung yang ketiganya berada di bagian sebelah utara; Pura Ibu berposisi di

bagian sebelah selatan; dan Pura Taman berposisi di sebelah timur atau di bagian

belakang pura. Setiap pura memiliki pintu masuk masing-masing dengan dibatasi

candi bentar dan dikelilingi tembok panyengker. Untuk Pura Ibu, arah pintu jaba

luarnya langsung ke jalan raya seperti halnya Pura Penataran Sasih, sedangkan

tiga pura lainnya di bagian sebelah utara, jaba tengah dan jaba sisinya menjadi

satu dengan Pura Penataran Sasih.

Sebagai induk dari pura-pura yang ada di sekelilingnya, keberadaan Pura

Penataran Sasih menjadi dikenal karena nekara “Bulan Pejeng”. Zaman logam

(perunggu) di Indonesia berlangsung beberapa abad sebelum Masehi

(Poesponegoro dan Notosusantoo, 1984: 243). Dengan demikian, nekara di Pura

Penataran Sasih setidaknya telah berumur 2.000 tahun. Walaupun demikian tidak

berarti bahwa umur Pura Penataran Sasih setua warisan budaya tersebut. Akan

tetapi, sudah umum terjadi di Bali khususnya di Desa Pejeng bahwa pura dengan

palinggih-palinggih-nya bila dibangun di luar palinggih inti, dimanfaatkan untuk

menyimpan warisan budaya yang ada di dalamnya.

Page 67: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

111

Berdasarkan paparan di atas diketahui bahwa Pura Penataran Sasih telah

dibangun pada jaman Bali Kuno ketika pusat kekuasaan (pemerintahan) berada di

Pejeng-Bedulu. Stutterheim menempatkan periode Bali Kuno berlangsung dari

abad 10 Masehi sampai dengan abad 13 Masehi. Ini berarti bahwa Pura Penataran

Sasih sudah dibangun di antara abad 10--13 M, atau setidaknya telah dibangun

800 tahun silam. Usia 800 tahun tergolong tua dan cukup beralasan memosisikan

Desa Pejeng sebagai desa tua dan memiliki peranan penting dalam panggung

sejarah dan politik pada jaman Bali Kuno. Akan tetapi, bila dilihat tinggalan

nekaranya yang berasal dari zaman perunggu, jelas bahwa Desa Pejeng

merupakan desa yang amat tua. Sebagai buktinya, peninggalan terpenting berupa

nekara perunggu terbesar di Asia Tenggara dibuat di Pejeng. Dengan demikian

betapa penting yaitu Desa Pejeng baik pada zaman pra Hindu maupun di jaman

Hindu sehingga dipilih sebagai pusat aktivitas agama dan budaya.

4.2.2 Struktur Pura, Palinggih, dan Fungsi

Pada umumnya pura-pura di Bali dibagi menjadi tiga halaman, yaitu

halaman depan (nista mandala), halaman tengah (madya mandala), dan halaman

suci (utama mandala). Konsep dasar yang dijadikan bahan rujukan adalah konsep

tri bhuwana (tiga dunia), yaitu dunia bawah (bhur loka), dunia tengah (bhwah

loka) dan dunia atas (swah loka). Tri Bhuwana merupakan pengejawantahan dari

pembagian dunia menjadi tiga secara vertical. Bila dilihat sejarah perkembangan

seni bangunan tempat pemujaan di Indonesia, konsep tri bhuwana tersebut

tercermin pada bangunan candi. Tradisi membangun candi di Indonesia

mengalami masa klasiknya abad 8--10 M dan pusatnya di Jawa Tengah, yakni di

Page 68: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

112

Jawa Tengah Utara. Di dataran Dieng terdapat candi-candi agama Siwa,

sedangkan di Jawa Tengah Selatan yaitu di Yogyakarta adalah candi-candi dari

Agama Budha. Di kompleks Prambanan terdapat candi-candi hasil perpaduan

antara agama Siwa dan agama Budha. Baik candi-candi agama Siwa maupun

candi-candi agama Budha di dalam pembangunannya berlandasan konsep tri

bhuwana.

Tradisi membangun candi di Bali berdasarkan sumber prasasti yang

dipahatkan pada ambang bangunan candi (di atas pintu semu), yaitu candi Gunung

Kawi diperkirakan dimulai abad 11 M. Candi tebing Gunung Kawi dibangun

diperuntukkan kepada Anak Wungsu dan kemungkinan juga untuk Udayana. Jenis

hurufnya adalah huruf Kediri Kuadrat, yaitu jenis huruf yang digunakan di Kediri

pada abad 11 M. Berdasarkan pertimbangan tersebutlah bahwa Candi Tebing

Gunung Kawi dibangun pada abad XI M. Di Bali sebagaimana diketahui bahwa

kebiasaan membangun pura lebih dominan daripada membangun candi. Bilamana

benar Pura Besakih (Besukian) dibangun abad 8 M terkait dengan kedatangan Rsi

Markandia, berarti bahwa sejak abad 8 di Bali sudah mulai dibangun pura sebagai

tempat suci. Hanya konsep yang diterapkan dalam pengejawantahan halamannya

adalah konsep dwi mandala sebagai pencerminan konsep rwa bhinneda.

Dalam perkembangan selanjutnya tradisi membangun pura semakin

tampak ke permukaan. Bilamana benar kahyangan tiga digagas Mpu Kuturan

pada zaman Prabhu Udayana, maka tradisi membangun pura telah dimulai secara

lebih intensif pada abad 11 M sejaman dengan pembuatan candi tebing Gunung

Kawi. Pura-pura yang tergolong tua di Bali yang sekarang termasuk sad

kahyangan kebanyakan menggunakan konsep tri mandala secara tradisi diyakini

Page 69: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

113

dirancang bangun Mpu Kuturan. Baik bangunan candi maupun bangunan pura

pada umumnya menggunakan landasan konsep tri bhuwana. Pada bangunan candi

ruang dibagi tiga secara vertical. Sedangkan pada bangunan pura halaman dibagi

menjadi tiga secara horizontal.

Dalam pembagian halaman Pura Penataran Sasih diterapkan konsep tri

mandala. Artinya, halaman pura dibagi tiga secara horizontal, yaitu halaman

depan (nista mandala), halaman tengah (madya mandala), dan halaman suci

(utama mandala). Bangunan candi dibagi tiga, tetapi secara vertical, yaitu kaki

candi, badan candi, dan puncak candi sebagai pencerminan konsep tri bhuwana.

Namun, pada bangunan pura diterapkan pembagian menjadi tiga secara

horizontal, yaitu jaba sisi (nista mandala), jaba tengah (madya mandala) dan

ruangan suci (utama mandala), sebagai pencerminan konsep yang sama. Terkait

dengan kualitas setiap loka/mandala, yaitu pada bangunan candi semakin ke atas

semakin suci keadaannya, tetapi pada bangunan pura semakin ke belakang (ke

dalam) semakin suci keadaannya. Demikian pula halnya Pura Penataran Sasih,

ruang yang tersuci (utama mandala) berada di bagian belakang. Di ruangan inilah

didirikan palinggih-palinggih sthana para istadewata dan bangunan-bangunan

palinggih lainnya. Pada setiap mandala dibangun palinggih dan bangunan tertentu

sesuai dengan fungsinya.

Jaba Sisi (Nista Mandala)

Pura Penataran Sasih menghadap ke arah barat atau jalan raya, dan

halaman depannya (nista mandala) adalah lapangan. Mulanya lapangan tersebut

difungsikan sebagai ruang publik dan untuk tempat para pedagang berjualan

Page 70: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

114

selama upacara piodalan berlangsung. Seusai upacara dikembalikan kepada fungsi

yaitu semula sebagai ruang publik (lapangan). Berbagai kegiatan sosial, budaya,

ekonomi, politik, dan sebagainya dapat dilaksanakan, seperti: berbagai kegiatan

olahraga, pentas kesenian, apel bendera, berjualan, kampanye politik, dan

sebagainya. Sejak awal tahun 2008 status keguanaannya dialihfungsikan menjadi

pusat pertokoan, ruang parkir, dan pasar senggol. Walaupun demikian, statusnya

tetap sebagai nista mandala pura.

Jaba Tengah (Madya Mandala)

Di madya mandala (jaba tengah) terdapat beberapa bangunan, seperti balai

wantilan, balai kulkul, balai los, dan sebuah palinggih Ida Ratu Pangrajan. Balai

wantilan yang dibangun menggunakan atap tumpang dan selesai direnovasi tahun

2013. Fungsinya multiguna tentu terkait dengan kepentingan adat dan keagamaan,

seperti untuk kegiatan pertemuan, terutama yang menyangkut kepentingan desa

pakraman khususnya Desa Adat/Pakraman Jero Kuta. Untuk kegiatan upacara

piodalan, selain di Pura Penataran Sasih juga dimanfaatkan untuk kegiatan

ngayah, kesenian, dan sebagainya bila ada upacara piodalan di Pura Desa/Bale

Agung, Pura Puseh, Pura Ratu Pasek, dan Pura Taman Sari; Bangunan balai

kulkul juga berfungsi ganda seperti halnya balai wantilan. Di sebelah selatan

bersanding dengan balai wantilan adalah bangunan balai los yang berfungsi

sebagai tempat menaruh jempana (wahana) Ida Betara Manca bila upacara

piodalan dan tempat pasantian.

Di palinggih Ratu Pangrajan terdapat beberapa arca dan fragmen

bangunan, di antaranya arca Kurmaraja, lingga, pragmen bangunan, dan sebuah

Page 71: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

115

ambang bangunan? berisi tulisan berbentuk huruf Kediri Kuadrat berbunyi

“parad sang hya(ng) (w)arana”) (Stutterheim, t,t: 24). Belum diketahui apa

maksud tulisan singkat tersebut. Sehubungan dengan itu perlu diperoleh kajian

lebih mendalam. Yang jelas bahwa pahatan huruf Kediri Kuadrat pada ambang

bangunan tersebut merujuk kepada zaman Kediri (1049--1222 M). Setidaknya

tulisan tersebut berasal dari awal abad ke- 13 M, bahkan lebih tua.

Ketika ke ruang utama mandala, tepatnya di depan candi terdapat tahun

surya sangkala pada bangunan kolam berbentuk segi lima dengan dinding

berbentuk huruf M. Idenya muncul dari Cokorda Mayun (sekarang Ida Sri

Bagawan) sewaktu menjabat sebagai Bendesa Adat (Bendesa Ageng) Jero Kuta

Desa Pejeng dibantu oleh Bapak Sukarto K Atmodjo ketika itu menjabat sebagai

Kepala Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Pada dinding bagian

kanan (utara) ada lukisan matahari bernilai satu lanjut ke kolam di bagian kanan-

kiri (pangapit) adalah dua ekor gajah yang masing-masing bernilai delapan, dan

terakhir kembali ke dinding bagian kiri (selatan) muncul naga yang benilai tujuh.

Secara keseluruhan mengandung arti tahun 1887 Saka. Menapa tidak dibuat tahun

1888 S bila dijadikan tahun Masehi menjadi 1966. Rupanya Bapak Sukarto K.

Atmodjo bertolak dari perjalanan tahun Saka yang berakhir pada awal Maret.

Dengan demikian, renovasi yang berakhir sekitar Pebruai 1966 M masih termasuk

tahun 1887 S. Untuk menjadikan Masehi harus ditambahkan 78 (+1) menjadi

1966 M. Selanjutnya masuk ke utama mandala tepatnya pada aling-aling ada

tulisan tahun candra sangkala yang berbunyi “sad rasa gapuraning dewantara”

yang artinya sad (6/enam), rasa (6/enam), gapura (9/sembilan) dan dewa (1/satu).

Dibaca dari belakang yang mengandung arti tahun 1966 Masehi.

Page 72: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

116

Jeroan (Utama Mandala)

Palinggih dan bangunan sebagai elemen pelengkap di utama mandala

disebut sesuai dengan arah jarum jam (pradaksina), yaitu mulai dari Palinggih

Ratu Bintang (tinggalan berupa 50-an batu silindris) berosisi di timur laut.

Selanjutnya padmasana, Palinggih Ratu Sasih (Pratima Nekara “Bulan Pejeng”),

pangaruman, Palinggih Gedong Kemoning (Ida Bhatara Iswara, di dalam gedong

terdapat lima buah arca perwujudan, sebuah Arca Ganesa, dua buah Lingga, dan

beberapa fragmen bangunan), Palinggih Ratu Bintang (warisan budaya berupa

puluhan batu silindris), Palinggih Gedong Alit (Ida Ratu Masceti). Bangunan

lainnya adalah Palinggih Gedong Arca Selatan (stana Ida Ratu Sakenan,

tersimpan warisan budaya berupa sebuah prasasti batu, batu hitam, sebuah lingga

yang utuh dan lima buah fragmen bagian silindris hilang, tiga pasang arca dewa-

dewi satu utuh dan dua aus, tiga buah arca perwujudan membawa benda

kemungkinan puspa, dua buah arca perwujudan tangan menghadap ke bawah satu

utuh dan satu lagi tanpa kepala, sebuah Arca Budha dengan sikap tangan wara

mudra, sebuah Arca Catur Kaya bertangan dua belas, dan beberapa pragmen

arca), bale paselang (stana Ida Ratu Agung), bale gong tempat alat musik, bale

pegat; bale pawedan; Palinggih Gedong Arca Barat (stana Ida Bhatara Batukaru,

tersimpan arca-arca berupa enam buah lingga menempel pada prabha, dua buah

lingga, dua buah Arca Bhatara Guru dalam sikap duduk dan berdiri, sebuah tokoh

arca menaiki gajah kepala hilang, kemungkinan Indra?, enam buah arca

perwujudan dewa berukuran besar dan kecil, dua buah arca bermuka lucu, dua

buah arca berukuran besar dan sulit diidentifikasi, dan beberapa pragmen arca).

Selain itu, juga terdapat Palinggih Ida Ratu Mas, gedong (Palinggih Ida Ratu

Page 73: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

117

Manca); Palinggih Gedong Arca Utara (stana Ida Bhatari Gunung Batur,

tersimpan arca-arca berupa empat buah arca perwujudan berukuran besar dan satu

kecil, sebuah tokoh arca duduk bersila kaki kiri ditekuk di depan tangan kiri,

sebuah Arca Ganesa berdiri, tiga buah lingga biasa dan sebuah lingga menempel

di prabha, sebuah arca raksasa, dan puluhan fragmen arca), gedong pasimpenan,

bale gede (Gajah); Panggungan; Padma Kurung (stana Ratu Sang Hyang atau

Dyah Dasaran atau Ratu Gana?); bale angklung di sudut tenggara pura, bale

pasanekan prajuru Adat di belakang Gedong Arca Barat, bale dana punia di

sebelah utara bale pasanekan prajuru Adat se-Desa Pejeng; dan bale pasanekan

pamangku dan sutri di sebelah utara Palinggih Ratu Mas.

4.2.3 Fungsi Pura

Pura Penataran Sasih merupakan salah satu pura besar dari puluhan pura

dan palinggih lainnya yang menyimpan warisan budaya. Di Pura Penataran Sasih

terdapat lima buah pura lainnya, yang secara konsepsional tidak dapat dipisahkan

antara satu dan lainnya. Kelima pura dimaksud adalah Pura Ibu, Pura Bale Agung

sebagai bagian tri kayangan desa, Pura Ratu Pasek dan Pura Taman Sari sebagai

pura catur lawa, dan Pura Taman sebagai taman niskala. Dua buah pura lainnya

yang berstatus sebagai bagian dari catur lawa adalah Pura Ratu Pande di sebelah

barat daya dan Pura Taman Surat di sebelah selatan. Jarak kedua pura tersebut

dari Pura Penataran Sasih sekitar 150 meter.

Pura-pura yang tergolong catur lawa menjadi bagian tak terpisahkan

dengan Pura Penataran Sasih. Sebagaimana halnya dengan di Pura Penataran

Agung Besakih, yang berstatus sebagai Pura Kerajaan pada zaman Gelgel juga

Page 74: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

118

memiliki pura catur lawa dan dewata yang dipuja di tiap-tiap pura ini mengacu

pada berbagai macam jabatan dan perajin, yaitu Pura Ratu Pasek dihubungkan

dengan pemimpin, Pura Ratu Pande berhubungan dengan dekorasi, Pura

Penyarikan berhubungan dengan sekretaris. Sebagai pengecualian Dukuh

Sagening, di sini bukan nama dari status tersebut, melainkan figur sejarah yang

hidup pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, yang dikenal

memiliki keahlian di bidang upacara keagamaan (Fox, 2010: 147). Namun di Pura

Penataran Sasih, tidak didapatkan Pura Dukuh Segening, sedangkan yang ada

Pura Taman Sari. Berdasarkan asal usul diketahui bahwa fungsinya adalah di

bidang penyediaan kesejahteraan sandang dan pangan (logistik).

Berdasarkan keberadaan dan fungsi pura catur lawa, kemudian dengan

pengamatan keberadaan Padmakurung di tengah-tengah halaman jeroan (utama

mandala) dapat diperoleh gambaran tentang fungsi pura. Menurut lontar Wariga

Catur Winasa Sari (Surpha, 1977: 30; Wiana, 1985: 24), dada sembilan buah

padma dan masing-masing menempati posisi arah mata angin. Salah satu di

antaranya adalah padma di tengah ruangan suci. Bila posisinya menghadap ke

pintu keluar (lawangan), maka palinggih tersebut adalah padmakurung. Padma

yang ada di Pura Penataran Sasih sesuai dengan diisyaratkan lontar Wariga Catur

Winasa Sari, yaitu menghadap ke pintu ke luar (lawangan). Jelaslah bahwa

padma di Pura Penataran Sasih adalah padmakurung. Padma itu berfungsi sebagai

tempat memuja Siwa Mahadewa sebagai dewa para dewa dengan saktinya

Mahadewi. Menurut Raja Purana Pura Ulun Tanjung, yang ber-sthana di Pura

Penataran adalah Mahadewi (Panataran maka sthananira Bhatari Mahadewi,

sakti sira Sanghyang Mahadewa, artinya: Pura Penataran adalah tempat bersthana

Page 75: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

119

Bhatari Mahadewi sakti Dewa Mahadewa). Namun menurut keyakinan

masyarakat di Pejeng, bahwa yang ber-sthana di Padmakurung adalah Ratu Sang

Hyang. “Ratu” dalam hal ini mengandung arti Yang Mahamulya, dan Sang Hyang

adalah Siwa (Tuhan Yang Mahakuasa). Artinya yang ber-sthana di Padmakurung

adalah Dewa Siwa sebagai Dewa Mahadewa (dewa para dewa) disimbolkan

dengan saktinya Dewi Mahadewi, sesuai dengan yang disebutkan dalam Raja

Purana Pura Ulung Tanjung.

Suatu hal menarik adalah pemujaan terhadap kekuatan dewa lokal (asli)

dengan tradisi memuja kekuatan unsur-unsur alam, seperti bulan dan bintang

menduduki posisi sangat penting di Pura Penataran Sasih. Sebagai contoh

pemujaan kepada “Ratu Sasih” disimbolkan dengan nekara “Bulan Pejeng” sangat

kuat dan membuat masyarakat tidak begitu banyak mengenal Ida Ratu Sang

Hyang ber-sthana di Padmakurung. Secara umum bahwa masyarakat Desa Pejeng

yakin bahwa yang ber-sthana dan dipuja di Pura Penataran Sasih adalah Ida Ratu

Sasih (Bulan) menjadikan nekara “Bulan Pejeng” sebagai atma lingga (pratima).

Pemujaan terhadap dewa alam, yakni Dewi Bulan dan Ratu Bintang di Pura

Penataran Sasih sebagai bentuk kekuatan lokal (local genius) telah berlangsung

jauh sebelum masuknya sistem religi asing (Hindu). Oleh karena itu, sangat sulit

untuk mengubah sikap dan perilaku keagamaan masyarakat yang sudah melekat

dan sangat yakin terhadap Ida Ratu Sasih dan diwarisi secara turun-temurun.

Walaupun sumber terakhir yaitu Purana Pura Penataran Sasih menyebut bahwa

Bhatara Hyang Manik Galang ber-sthana di Pura Penataran Sasih (Tim Penyusun

Purana Pura Penataran Sasih, 2014: 28), rupanya sangat sulit untuk mengubah

keyakinan masyarakat yang sudah melekat terhadap Ida Ratu Sasih. Terlebih

Page 76: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

120

nama pura sendiri, yaitu “Pura Penataran Sasih” diambil dari nama “Ida Ratu

Sasih”.

4.2.4 Status Pura

Berkenaan dengan status pura, Kempers (1960) mengatakan bahwa Pura

Penataran Sasih berstatus sebagai pura palemahan (panataran) kerajaan pada

jaman Bali Kuno dan Pura Bukit Penulisan (Kintamani, Bangli) sebagai pura

gunungnya. Goris memberikan keterangan lebih lengkap bahwa pada umumnya

sebuah kerajaan niscaya memiliki tiga buah tempat suci, yaitu Pura Penataran,

Pura Gunung, dan Pura Segara. Pura Penataran Sasih sebagai Pura Palemahan

Kerajaan, Pura Bukit Panulisan sebagai Pura Gunung, dan Pura Pusering Tasik

(Pusering Jagat) sebagai Pura Segara. Asumsi Goris bertolak pada kerajaan

Gelgel, di Semarapura (Klungkung), yang memiliki tiga tempat suci, yaitu Pura

Dasar Gelgel sebagai pura kerajaan, Pura Besakih yang berada di lereng Gunung

Agung sebagai pura gunung, dan Pura Watu Klotok sebagai pura segara (Goris

dalam Srijaya, 2012: 62). Sebagaimana diungkapkan oleh Goris sesuai dengan

yang disebutkan dalam Purana Ulun Tanjung (Ida Pedanda Gede Putra Bajing

dkk., 1999) tentang keberadaan tri kahyangan kerajaan, yang terdiri atas pura

gunung, pura panataran, dan pura segara.

Untuk meyakinkan bahwa Pura Penataran Sasih sebagai pura penataran

kerajaan adalah keberadaan padma di mandala utama, yang menurut lontar

Wariga Catur Winasasari adalah padmakurung. Cirinya adalah posisi padma

berada di tengah-tengah halaman (natar) utama mandala menghadap ke arah

pintu masuk (lawangan) (Surpha, 1977: 32). Seperti yang tampak di Pura

Page 77: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

121

Penataran Sasih terutama posisi palinggih, sama dengan di Pura Penataran Agung

Besakih juga menghadap ke arah lawangan. Posisi Padmasana Tiga (Sanggar

Agung) sthana Sang Hyang Tri Purusa (Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa) juga

menghadap pintu keluar (lawangan) yang berupa candi kurung (Rata, 1987: 31).

Keberadaan seperti ini, dapat dijadikan pembanding untuk lebih meyakinkan

bahwa Pura Penataran Sasih berstatus sebagai pura panataran pada jaman Bali

Kuno, sebagaimana halnya Pura Besakih juga berstatus sebagai pura panataran

pada jaman Dalem Waturenggong.

4.2.5 Pangemong dan Panyungsung Pura

Pura Penataran Sasih di-among oleh Desa Adat Jero Kuta, yang terdiri atas

empat banjar adat, yaitu Banjar Guliang, Banjar Intaran, Banjar Pande, dan Banjar

Puseh. Keempat dusun inilah yang berstatus sebagai pangemong inti (utama).

Keberadaan seperti itu mengingatkan kita kepada keberadaan Pura Bukit

Penulisan, yang juga di-among oleh gebog domas Pura Panulisan. Organisasi ini

terdiri atas empat subdivisi, yaitu Gebog Satak Sukawana, Selulung, Bantang, dan

Kintamani (Reuter, 2005: 118). Keberadaan kedua pangemong pura masing-

masing (baik gebog domas maupun jero kuta) tidaklah jauh bebeda, hanya nama

atau istilahnya berbeda. Bila di Pura Penulisan disebut gebog domas, di Pejeng

disebut jero kuta. Munculnya fenomena yang sama mengingatkan kepada

pernyataan Goris, Bernet Kempers, dan Stutterheim tentang status Pura Bukit

Panulisan dan Pura Penataran Sasih ketika zaman Bali Kuno yang masing-masing

berstatus sebagai Pura Pucak (gunung) adalah Pura Bukit Panulisan dan Pura

Page 78: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

122

Penataran (palemahan) adalah Pura Penataran Sasih dan kemungkinan besar pura

Pura Pusering Jagat (Pusering Tasik) adalah pura segara-nya.

Berkaitan dengan pemeliharaan pura, seperti telah dipaparkan di atas

bahwa di Pejeng tercatat lebih dari enam puluhan pura sehingga beban masyarakat

Jero Kuta Pejeng untuk membiayai pemeliharaan pura-pura lebih berat

dibandingkan dengan warga desa adat lainnya di Gianyar, bahkan di Bali.

Namun, yang meringankan adalah keberadaan warisan budaya dan hampir

mengisi semua pura telah berstatus Benda Cagar Budaya (BCB) sehingga dalam

pemeliharaan semua palinggih yang difungsikan menyelamatkan warisan budaya

tersebut mendapat bantuan dari pemerintah yang menangani bidang tersebut.

Keberadaan seperti itu dapat meringankan beban masyarakat pangemong pura.

Berbeda halnya dengan pangemong Pura Penataran Sasih hanya di-emong

oleh empat banjar adat Jero Kuta Desa Pejeng. Sebaliknya, penyungsung pura

berasal dari semua warga masyarakat desa adat di seluruh Desa Pejeng dan

jumlahnya melampaui tiga puluhan banjar/dusun adat bernaung di bawah tujuh

belas desa adat. Pejeng secara keseluruhan terbagi menjadi lima desa dinas. Ke

lima desa dinas tersebut dibentuk melalui pemekaran yang diselenggarakan pada

1980, diawali dengan status desa pesiapan. Akan tetapi sejak 1985 keempat desa

tersebut telah berubah status menjadi desa definitif.

Walaupun secara kedinasan keempat desa tersebut telah dinyatakan

terpisah dengan Desa Pejeng (Pejeng Induk), tidak demikian halnya dengan

statusnya sebagai panyungsung pura, yang lebih terikat adanya hubungan

kepentingan spiritual keagamaan. Oleh karena itu, sampai dengan saat ini, semua

warga desa adat di seluruh Desa Pejeng masih tetap berstatus sebagai

Page 79: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

123

panyungsung pura. Fenomena tersebut tampak jelas ketika upacara “pujawali” di

Pura Penataran Sasih, semua warga desa adat mengusung bhatara (istadewata)

sungsungan di kahyangan tiga masing-masing ke Pura Penataran Sasih.

Panyungsung pura tidak terbatas pada warga Desa Adat se- Desa Pejeng secara

keseluruhan, tetapi juga meliputi warga masyarakat di luar Desa Pejeng, seperti

Desa Adat Laplapan, Kecamatan Ubud dan Desa Adat Bedulu, Kecamatan

Blahbatuh, bahkan warga masyarakat Hindu se-Bali.

4.2.6 Upacara Piodalan, Makiis, dan Pamangku Pura

Upacara piodalan di Pura Penataran Sasih pada garis besarnya dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu piodalan ageng atau “Nyatur” dan piodalan

alit atau “Sasepen”. Upacara piodalan ageng atau “Nyatur” dilaksanakan secara

rutin setiap tahun, yaitu pada Purnamaning Kesanga, sekitar Februari/Maret. Di

pihak lain piodalan alit (Sasepen) dilaksanakan berdasarkan pawukon, yaitu pada

Redite Umanis Langkir (Umanis Kuningan), yaitu setiap 210 hari sekali. Tidak

dapat dimungkiri bahwa suatu ketika upacara piodalan ageng bersamaan jatuhnya

atau setidaknya dalam waktu yang relatif dekat dengan upacara Sasepen sebab

upacara piodalan ageng “Nyatur” yang berpedoman kepada sasih (Kesanga)

jatuhnya setiap 365/366 hari sekali dan Sasepen berdasarkan pawukon (wuku

Langkir/Umanis Kuningan) jatuhnya setiap 210 hari sekali. Selain waktu

pelaksanaannya berbeda, hal yang lebih prinsip membedakan pujawali “Nyatur”

dengan Sasepen adalah panyejeran Ida Betara dan upakara ayaban yang

dipersembahkan. Bila pujawali, Ida Betara nyejer sebelas hari, sedangkan bila

Sesepen, Ida Betara nyejer tiga hari. Demikian pula upakara ayaban yang

Page 80: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

124

dipersembahkan ketika Sasepen secara kuantitas jauh lebih kecil (sedikit) dari

pada pujawali “Nyatur”.

Pada saat upacara piodalan ageng atau pujawali “Nyatur”, Ida Batara

Sasuhunan dari kahyangan tiga se-Desa Pejeng yang juga disebut Ida Betara

Manca diusung ke Pura Penataran Sasih sejak pk 15.39 oleh warga desa adatnya

masing-masing dan berlangsung kurang- ebih sampai pk. 19.00 Wita. Setelah Ida

Batara Kahyangan Tiga dari desa adat masing-masing di-sthana-kan di palinggih

yang telah disediakan, maka sekitar pk 20.00 Wita upacara pujawali mulai

dilaksanakan. Pendeta (sulingigh) yang memimpin upacara sekaligus sebagai

pangrajeg karya, yang dilaksanakan secara bergilir mengingat di Desa Pejeng ada

lima geria pendeta.

Serangkaian dengan pelaksanaan upacara piodalan, tepatnya setelah

sebelas hari Ida Bhatara nyejer dilaksanakan upacara makiis (malis/malasti),

sekaligus makiis untuk menyambut upacara panyepian. Upacara semacam ini

merupakan kegiatan rutin setiap upacara piodalan ageng di Pura Penataran Sasih.

Tempat yang dijadikan sasaran makiis adalah Segara Lebih, Pura Tirta Empul, dan

Ngubeng (di tempat), yaitu di Pura Penataran Sasih. Ketiga tempat tersebut

dijadikan sasaran makiis setiap tahun ditentukan secara bergilir. Tujuan yang

hendak dicapai dalam kegiatan makiis adalah untuk mendapatkan amerta demi

kesejahteraan masyarakat khususnya warga panyungsung pura. Ngakan Nyoman

Terpi menjelaskan sebagai berikut:

“Perbedaan tempat yang telah ditentukan sebagai sasaran tujuan kegiatanupacara makiis sesungguhnya tidak berpengaruh terhadap esensi upacaratersebut. Menurutnya, segara/ laut (Pura Masceti), giri/ gunung (Pura TirtaEmpul), dan ngubeng/ di tempat (Pura Penataran Sasih) adalah samabahwa ketiganya memiliki unsur sebagai waduk penyimpanan amerta.Bahkan, menurutnya bahwa pada saat ngubeng memiliki arti sebagai

Page 81: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

125

pertemuan amerta, baik dari unsur segara maupun gunung” (wawancara,Minggu, 16 Maret 2014 pukul 22.00 Wita, di utama mandala PuraPenataran Sasih)

Ketika upacara makiis di samping Ida Betara Pura Penataran Sasih, Ida

Batara Kahyangan Tiga se- Desa Pejeng (Ida Betara Manca) juga diusung

makiis. Bagi warga masyarakat Desa Pejeng, terutama Jero Kuta menjadikan

makiis di Pura Penataan Sasih sekaligus sebagai makiis panyepian sehingga tidak

lagi melaksanakan upacara makiis seperti warga desa adat lainnya yang umumnya

memilih pelaksanaannya tiga hari atau sehari sebelum hari raya Nyepi. Cukup

beralasan merangkaikan kegiatan makiis piodalan di Pura Penataran Sasih dengan

pelaksanaan makiis panyepian, sebab jarak waktunya hanya terpaut empat hari

dari hari raya Nyepi. Seperti biasanya bahwa makiis panyepian dilaksanakan tiga

hari sebelum Nyepi. Ada selisih waktu satu hari lebih awal dilaksanakannya

upacara makiis di Pura Penataran Sasih.

Pura Penataran Sasih merupakan salah satu tempat suci tergolong besar

dengan berbagai kegiatan upacara keagamaan, baik dilaksanakan berdasarkan

pawukon maupun sasih, di luar dari upacara piodalan. Untuk kegiatan upacara di

luar pujawali dan Sasepen dilaksanakan oleh pemangku pura. Namun, ketika

upacara Pujawali “Nyatur”, tugas-tugas nganteb bakti para pamedek selama tiga

hari berturut-turut dibantu oleh pamangku Pura Desa, Pura Ibu, dan Merajan

Agung. Pamangku Pura Taman Sari tetap berada di pura tersebut sebab pujawali

bersamaan dengan di Pura Penataran Sasih.

Page 82: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

126

4.2.7 Kegiatan Seni Budaya

Sudah merupakan tradisi di Bali, yaitu ketika ada kegiatan upacara

keagamaan seperti upacara piodalan di tempat suci (pura), baik upacara besar

maupun kecil, selalu disertai dengan kegiatan kesenian. Jenis-jenis kesenian yang

biasa dipentaskan untuk melengkapi dan menunjang upacara, antara lain seni

suara (kidung dan kekawin) dibawakan oleh grup pasantian; seni tabuh

(mengiringi upacara dan mengiringi tari); dan seni tari (topeng, rejang, baris, dan

sebagainya); dan wayang gedog. Pada malam harinya terkadang dipentaskan

kesenian hiburan. Fenomena yang merujuk kepada eratnya hubungan upacara

keagamaan dengan kesenian sudah tidak asing lagi bagi umat Hindu di Bali, sebab

hampir setiap ada kegiatan upacara keagamaan selalu dilengkapi dengan kesenian,

terutama kesenian wali. Kesenian tak ubahnya bagaikan napasnya kebudayaan

Bali dan agama Hindu adalah rohnya. Oleh karena itu, tiada kegiatan upacara

keagamaan tanpa kegiatan seni budaya. Boleh dikatakan bahwa agama Hindu

dengan berbagai aktivitasnya dapat dijadikan sumber inspirasi dan motivasi dalam

berkesenian di Bali.

Di Pura Penataran Sasih tentu tidak berbeda dengan di tempat suci lainnya

yang tergolong kahyangan jagat, yaitu setiap tahun secara kontinu dilaksanakan

pujawali. Menurut penuturan I Made Giri (Informan), bahwa kegiatan pujawali di

Pura Penataran Sasih dapat dikatakan sebagai sumber inspirasi dan sekaligus

memberikan motivasi terhadap kehidupan berkesenian khususnya di Jero Kuta

Pejeng. Sebagai seksi kesenian, agar lebih leluasa dapat bekerja (ngayah), ia

sengaja mengambil cuti di tempatnya bekerja ketika pujawali di Pura Penataran

Sasih (Wawancara Minggu, 16 Maret 2014, pukul 12.30 Wita, di Balai Wantilan

Page 83: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

127

Pura Penataran Sasih Pejeng). Selama pujawali berlangsung, selain

dipertunjukkan tari sakral Sutri, tari rejang, tari topeng, dan wayang gedog, seni

pertunjukan lainnya, seperti calonarang yang rutin dipegelarkan setiap tahun, juga

dipertunjukkan tari-tarian lepas, penabuh wanita, penabuh anak-anak, angklung,

dan lain-lainnya. Tidak terkecuali partisipasi dari grup-grup kesenian dari desa

lainnya di luar jero kuta, baik di lingkungan desa adat manca (Pejeng Kangin,

Pejeng Kelod, Pejeng Kawan, dan Pejeng Kaja) maupun dari grup-grup kesenian

lainnya di Kabupaten Gianyar, bahkan dari luar kabupaten, juga ikut mengisi

waktu selama panyejeran Ida Betara. Jadi dapat dikatakan bahwa upacara

piodalan di Pura Penataran Sasih merupakan sumber motivasi tumbuh

kembangnya berbagai jenis kesenian khususnya di Desa Jero Kuta Pejeng.

4.2.8 Sumber Dana

Yadnya adalah kurban suci yang didasarkan atas hati tulus dan ikhlas

berdasarkan cinta kasih. Berdasarkan konsep yadnya tersebut, diketahui bahwa

segala sesuatu yang dikeluarkan untuk mendukung kebutuhan yadnya tersebut

betul-betul atas dasar keikhlasan. Kesadaran untuk ber-yadnya perlu

ditumbuhkembangkan kepada setiap insan, terutama umat beragama Hindu. Hal

itu penting sebab manusia dilahirkan berkat yadnya Hyang Widi sehingga sebagai

ungkapan balasan terima kasih kepada-Nya dapat diekspresikan melalui yadnya.

Dengan demikian, ber-yadnya hukumnya wajib tanpa paksaan dan timbul atas

dasar kesadaran dan keikhlasan. Ketika kesadaran ber-yadnya telah tumbuh pada

setiap umat Hindu, akan terwujud pelaksanaan yadnya yang memiliki nilai

satwika. Hal prinsip harus ditanamkan pada setiap diri pribadi adalah bukan besar

Page 84: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

128

kecilnya yadnya yang dijadikan rujukan, melainkan prinsip tulus dan ikhlas lebih

di kedepankan.

Dalam konteksnya dengan upacara piodalan, baik sasepen maupun karya

ageng di Pura Penataran Sasih, semua biaya yang dibutuhkan untuk

menyukseskan pelaksanaan yadnya menjadi tanggung jawab (kewajiban) warga

Desa Adat Jero Kuta Pejeng. Pejeng sebagaimana telah diuraikan di atas memiliki

tanggung jawab memelihara tempat suci (pura) yang cukup berat karena banyak

pura dan jumlahnya mencapai empat puluhan lebih belum termasuk palinggih-

palinggih yang khusus menyimpan warisan budaya di rumah-rumah penduduk.

Dalam pembebanan kewajiban pemeliharaannya, dari yang berstatus pura

keluarga, pura umum, pura fungsional, dan kahyangan tiga tetap menjadi

tanggung jawab keluarga untuk pura keluarga, klan untuk keluarga yang lebih

besar, warga banjar untuk pura di banjar, dan warga Desa Adat Jero Kuta Pejeng

untuk pura yang berstatus umum.

Khusus di Pura Penataran Sasih besarnya biaya yang dibebankan kepada

setiap warga desa adat ketika upacara piodalan adalah jumlah biaya yang

dibutuhkan secara keseluruhan dibagi sesuai dengan jumlah warga desa adat.

Sampai saat ini (tahun 2014) jumlah warga Desa Adat Jero Kuta sebanyak 1.038

kepala keluarga (KK). Semua warga dikenai kewajiban yang sama, kecuali 20

orang pamangku, 16 orang juru sapuh, 16 orang sutri, 20 orang prajuru dusun, 17

orang prajuru desa adat, yaitu bendesa dan prajuru desa, dan kepala desa, yang

jumlahnya mencapai 90 orang, sedangkan pacalang hanya mendapat bebas

kewajiban (luputan) janur (jajahitan). Keringanan diberikan kepada mereka

(pacalang) sebagai bentuk penghormatan atas tugas, kewajiban, dan tanggung

Page 85: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

129

jawab yang dibebankan kepadanya. Kebijakan seperti itu tidak hanya

diberlakukan di Pura Penataran Sasih, tetapi juga berlaku di pura-pura yang

tergolong amongan dan sungsungan seluruh warga masyarakat, baik di

lingkungan Jero Kuta maupun di Desa Pejeng secara keseluruhan.

4.3 Pura Penataran Sasih dan Pariwisata

Upaya menata kembali bangsa Indonsia pada era reformasi yang

senantiasa bangga pada sejarah dan akar budayanya di tengah pesona modernisasi

dan globalisasi tak ada habisnya. Terkait dengan upaya mengantisipasi reformasi

di berbagai bidang, pariwisata nasional hendaknya segera menata strategi baru

untuk mendayagunakan segenap produk kesenian dan kebudayaan secara utuh dan

benar. Dalam konteks inilah sektor pariwisata menyandang tugas dan tanggung

jawab mulia, yaitu memupuk kepribadian bangsa bagi wisatawan Nusantara.

Pencerahan di bidang kebudayaan dan pariwisata diharapkan akan memunculkan

ide-ide segar yang mampu mendukung bangkitnya kebudayaan nasional (Soeroto,

2007: 8). Betapa eratnya keterkaitan pariwisata dan kebudayaan sehingga

hubungan harmonis di antara kedua elemen tersebut perlu dijaga untuk

kesinambungan pariwisata di negeri yang sedang membangun ini.

Pariwisata sebagaimana diketahui adalah kegiatan yang berhubungan

dengan perjalanan untuk tujuan rekreasi, pelancongan, dan turisme (Depdiknas,

2008: 1023). Ini adalah pengertian yang diberikan dalam tataran konsep (leksikal),

yaitu dengan melihat pariwisata sebagaimana adanya. Namun, dalam pengertian

yang lebih luas pariwisata meliputi berbagai macam kegiatan wisata dan didukung

berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,

Page 86: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

130

pemerintah daerah, dan pemerintah pusat (Ardika, 2012: 28). Ketika berbicara

tentang fasilitas pariwisata, untuk pembangunan pariwisata di Indonesia yang

berwawasan budaya niscaya kehadiran kebudayaan sebagai produk unggulan

untuk dijadikan komoditas daya tarik wisata menempati posisi dibarisan depan.

Penjelasan kedua konsep tersebut selain menggambarkan bagaimana

perjalanan kehidupan pariwisata dari bentuknya yang sangat sederhana sampai

dengan yang luas dan kompleks seperti dewasa ini tidak dapat diabaikan

keberadaan kebudayaan sebagai salah satu daya tariknya. Berkenaan dengan

pariwisata, kegiatan pariwisata sudah dimulai sejak lama ketika seseorang atau

kelompok orang meninggalkan daerah atau negaranya untuk tinggal beberapa

waktu di daerah atau negara lainnya. Kegiatan itu dilakukan tentu tidak terlepas

dari keinginan mereka untuk melihat perbedaan atau sesuatu yang lain daripada

apa yang ada di negaranya. Menurut Ardika (2012: 26), perbedaan yang dimaksud

adalah keunikan keadaan alam ataupun kehidupan sosial budaya. Karena

termotivasi oleh adanya keinginan untuk melihat perbedaan atau keunikan itulah,

membuat manusia atau wisatawan melakukan perjalanan.

Meletusnya revolusi industri di Inggris tahun 1780--1840 dapat membuat

perubahan yang sangat signifikan. Beberapa di antaranya, yaitu ada suatu

peralihan dari produksi domestik untuk kebutuhan mendesak menuju produksi

barang konsumsi massa untuk pertukaran. Selain itu, dari produksi sederhana

berbasis keluarga menuju kepada pembagian kerja yang sangat impersonal yang

memakai perlengkapan modal. Perubahan juga terjadi pada kehidupan personal,

politik, dan sosial. Sebagai contoh, perubahan dalam kebiasaan kerja, pengaturan

waktu, kehidupan keluarga, aktivitas santai, perumahan dan perubahan dari

Page 87: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

131

kehidupan pedesaan menuju perkotaan (Barker, 2004: 134). Sewaktu revolusi

berlanjut menjelang akhir abad kesembilan belas, semakin dilihat secara jelas oleh

rakyat biasa yang dipengaruhinya sebagai satu proses menyeluruh, karena mereka

segera dapat membaca, berdiskusi, dan berkomunikasi. Di samping itu mereka

mengusahakan dan melihat hal-hal yang dulu belum pernah dikerjakan orang

(Wells, 2013: 274).

Hal yang lebih penting untuk diketahui adalah dampak yang ditimbulkan

revolusi industri bagi negara-negara lain di dunia. Adapun dampak yang dimaksud

adalah (1) penggunaan mesin-mesin dalam produksi menyebabkan keberadaan

bahan-bahan mentah yang tersedia di dalam negeri, tidak mencukupi untuk

memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri, sehingga harus mencari daerah

sumber bahan mentah; (2) barang-barang yang dihasilkan berlimpah (over

produksi) tidak habis dikonsummsi di dalam negeri dan harus mencari daerah

pemasaran hasil-hasil produksi; dan (3) modal yang berlimpah dari penjualan

hasil produksi melebihi kebutuhan dalam negeri dan harus mencari daerah-daerah

lain sebagai tempat penanaman modal.

Revolusi industri melahirkan negara-negara imperialisme modern

(negara-negara kapitalisme) dengan tiga kepentingan pokok yang dimiliki seperti

terurai di atas, yaitu mencari daerah sumber bahan mentah, mencari daerah

pemasaran hasil-hasl produksi, dan mencari daerah tempat penanaman modal.

Negara-negara yang menjadi sasarannya adalah negara-negara berkembang dan

umumnya berada di negara Asia dan Afrika, termasuk salah satu di antaranya

adalah negara Indonesia. Ketiga bentuk kepentingan yang dimiliki oleh negara-

negara industri modern tersebut telah membangun sebuah sistem ekonomi

Page 88: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

132

kapitalisme, yang menurut Adam Smith juga dikenal dengan sebutan sistem

ekonomi global (Apridar, 2010: 25).

Pariwisata global yang berkembang dewasa ini identik dengan ekonomi

global. Dikatakan demikian karena keduanya memiliki kepentingan yang sama

yaitu untuk tujuan kapitalis (modal). Pariwisata yang hadir bersama-sama dengan

industri dan perdagangan di Indonesia sampai masuk ke desa-desa (Hoed, 2011:

199), khususnya Bali sebagai daerah tujuan wisata utama. Di satu pihak

menjadikan masyarakat Bali sebagai konsumen berbagai produk industri dan

perdagangan asing dan pihak lain berlaku sebaliknya, yaitu menjadikan wisatawan

asing sebagai konsumen produk-produk komoditas unggulan khususnya objek

wisata dan daya tarik wisata.

Pura Penataran Sasih sebagai tempat suci yang berada di Desa Pejeng

cukup banyak menyimpan warisan budaya, bahkan nekara “Bulan Pejeng”

merupakan salah satu warisan budaya tertua dan mulai dikunjungi sejak awal abad

ke-18 M. Hal ini diketahui berdasarkan keterangan Rumphius yang berkunjung ke

Pura Penataran Sasih tahun 1705 (Poesponegoro, 1984: 246). Selanjutnya

Nieuwenkamp juga memberikan uraian tentang nekara tersebut, terutama tentang

perbedaannya dengan nekara-nekara lain yang pernah ditemukan di Indonesia;

Goris (dalam Srijaya, 2012: 62) mengatakan bahwa Pura Penataran Sasih sebagai

pura penataran kerajaan zaman Bali Kuno; Stutterheim (1929: 24) di dalam

laporannya selain menyebut keunikan nekara “Bulan Pejeng” dan Pura Penataran

Sasih sebagai kuil kerajaan juga menyebut adanya prasasti singkat pada balok

paras yang besar dan memuat tulisan singkat “parad sang hya (ng) (w)arama,

ternyata prasasti tersebut ada di Pura Penataran Sasih; Kempers (1956: 67)

Page 89: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

133

menyebut nekara Pejeng sebagai nekara raksasa dari zaman perunggu dan

memiliki keajaiban; dan Covarrubias (1937: 173) mengungkapkan rasa

kekagumannya melihat genderang besar yang menurutnya adalah antik.

Pada era pariwisata global ini Pura Penataran Sasih telah ditetapkan

sebagai objek wisata dengan menjadikan nekara “Bulan Pejeng” sebagai daya

tariknya. Sehubungan dengan itu, yang berkunjung pun tidak hanya orang asing

yang berprofesi sebagai peneliti, tetapi juga wisatawan dari berbagai kalangan.

Kehadiran mereka di Pura Penataran Sasih umumnya untuk melihat keunikan

nekara “Bulan Pejeng”, yang diketahui dari membaca hasil penelitian para peneliti

asing, informasi dari teman-teman senegaranya, berita internet, dan sebagainya.

Demikian pula kehadiran wisatawan Nusantara dan masyarakat lokal, kebanyakan

di antaranya dari kalangan siswa sekolah menengah pertama (SMP), sekolah

menengah atas (SMA), dan yang sederajat. Pada umumnya mereka berkunjung

pada masa liburan panjang semester genap sekitar Juni/Juli. Waktu kunjungan

untuk para mahasiswa dan kalangan masyarakat biasa waktu kunjungannya tidak

dapat ditentukan.

Berdasarkan paparan di atas dapat digambarkan perjalanan panjang

kehidupan pariwisata di Pura Penataran Sasih. Terjadinya proses komodifikasi

dan komersialisasi berawal dari hubungan wisatawan dengan masyarakat lokal.

Kehadiran wisatawan asing dipandang sebagai tamu dalam pengertian tradisional,

yaitu disambut dengan keramahtamahan dan dituntun menuju palinggih tempat

nekara “Bulan Pejeng” disimpan sambil melihat-lihat warisan budaya lainnya

tanpa motif ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya jumlah wisatawan yang

berkunjung semakin bertambah, hubungan pun berubah menjadi komersial yaitu

Page 90: komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di pura ...

134

setiap wisatawan yang masuk dikenai donasi. Sebagai akibatnya para turis asing

diberikan kebebasan masuk ke pura cukup dengan menggunakan selendang

pengikat pinggang.

Fenomena di atas mengindikasikan adanya persepakatan di antara kedua

belah pihak, yaitu pihak pengelola objek atau daya tarik wisata dan wisatawan.

Oleh karena itu, sudah menjadi keniscayaan bahwa daerah-daerah yang menjadi

zona wisata umumnya memiliki pemikiran yang terbuka dalam mempersepsikan

dan menerima pengunjung khususnya wisatawan. Karena saling membutuhkan,

dapat membuat hubungan yang terbangun dalam sebuah integrasi yang harmoni.

Artinya, terbangun sebuah relasi yang sehat dan saling memahami antara kedua

belah pihak karena tiap-tiap pihak mengenal dan memahami situasi dan kondisi

pihak lain. Pengelola tidak menyusahkan wisatawan sehingga cukup dengan

mengikatkan selendang pada setiap para wisatawan sebagai pertanda izin masuk

ke tempat suci. Sebaliknya, wisatawan pun tampak tidak berkeberatan untuk

menyerahkan donasi sesuai dengan keikhlasannya.