komodifikasi upacara ngaben

22
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tantangan yang dihadapi manusia Bali di era globalisasi ini sangat kompleks. Hal tersebut terlihat dari tingginya pergulatan antara nilai-nilai lokal dan global yang memasuki segenap sendi-sendi kehidupan manusia. Pengaruh globalisasi tidak dapat ditolak karena ini adalah sebuah pertanda tibanya zaman baru yang membawa perubahan dalam aspek sosial dan budaya masyarakat. Piliang (2004:274-275) mengatakan bahwa kapitalisme merupakan wujud dari globalisasi. Masyarakat kapitalisme global dibangun di atas iklim persaingan yang tinggi. Persaingan yang ketat antarperusahaan, mendorong strategi untuk menciptakan persaingan dalam gaya hidup antarkelas, antargolongan, antartetangga, antarumur. Muncul sikap mental berorientasi ke atas dalam gaya hidup. Kehidupan sosial dikonstruksi atas dasar budaya perbedaan dengan penampilan, gaya, gaya hidup yang selalu dibuat berubah dengan tempo yang semakin tinggi. Diciptakan kegandrungan terhadap citra (image) ketimbang fungsi atau substansi. Begitu pula terhadap konsumsi yang tidak lagi berkaitan dengan kebutuhan fungsional dalam pengertian yang sempit, ia kini adalah pemenuhan material sekaligus simbolik. Globalisasi mengakibatkan Indonesia termasuk Bali menjadi bagian integral dari kampung global (global village). Akibatnya penginternalisasian berbagai gagasan yang tercakup dalam neoliberalisme tidak terhindarkan bagi masyarakat Bali. Secara disadari atau tidak, masyarakat Bali menerima ekspor 1

Transcript of komodifikasi upacara ngaben

Page 1: komodifikasi upacara ngaben

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tantangan yang dihadapi manusia Bali di era globalisasi ini sangat

kompleks. Hal tersebut terlihat dari tingginya pergulatan antara nilai-nilai lokal

dan global yang memasuki segenap sendi-sendi kehidupan manusia. Pengaruh

globalisasi tidak dapat ditolak karena ini adalah sebuah pertanda tibanya zaman

baru yang membawa perubahan dalam aspek sosial dan budaya masyarakat.

Piliang (2004:274-275) mengatakan bahwa kapitalisme merupakan wujud

dari globalisasi. Masyarakat kapitalisme global dibangun di atas iklim

persaingan yang tinggi. Persaingan yang ketat antarperusahaan, mendorong

strategi untuk menciptakan persaingan dalam gaya hidup antarkelas,

antargolongan, antartetangga, antarumur. Muncul sikap mental berorientasi ke

atas dalam gaya hidup. Kehidupan sosial dikonstruksi atas dasar budaya

perbedaan dengan penampilan, gaya, gaya hidup yang selalu dibuat berubah

dengan tempo yang semakin tinggi. Diciptakan kegandrungan terhadap citra

(image) ketimbang fungsi atau substansi. Begitu pula terhadap konsumsi yang

tidak lagi berkaitan dengan kebutuhan fungsional dalam pengertian yang sempit,

ia kini adalah pemenuhan material sekaligus simbolik.

Globalisasi mengakibatkan Indonesia termasuk Bali menjadi bagian

integral dari kampung global (global village). Akibatnya penginternalisasian

berbagai gagasan yang tercakup dalam neoliberalisme tidak terhindarkan bagi

masyarakat Bali. Secara disadari atau tidak, masyarakat Bali menerima ekspor

1

Page 2: komodifikasi upacara ngaben

2

kapitalisme pasar bebas (neoliberalisme) yang dilakukan oleh negara-negara

kapitalisme global. Bersamaan dengan itu ide-ide yang tercakup di dalam

neoliberalisme tersebar dalam masyarakat Bali (Atmaja, 2008).

Menurut Atmaja (2008b:243) masyarakat Bali telah mengalami

perubahan yakni dari masyarakat tradisional (pramodern) ke masyarakat modern,

dan posmodern yang ditandai oleh pemberlakuan neoliberalisme. Bourdieu

(Fashri, 2007:147) menunjukkan bahwa neoliberaisme memiliki beberapa ciri

yakni status sosiologi manusia adalah homo economicus, epistemologi (cara

pandang) adalah economicus, seluruh bidang kehidupan adalah komoditas, relasi

manusia adalah transaksi untung rugi, efektivitas dan efisien diukur berdasarkan

kinerja ekonomi pasar, manusia dikuasai oleh etika konsumsi dan darwinisme

sosial. Neoliberalisme tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme (kapitalisme lanjut,

kapitalisme modern, kapitalisme pasar bebas, kapitalisme global. Atmaja (2008a:

11) menambahkan bahwa ciri-ciri neoliberalisme antara lain: ideologi pasar

(agama pasar), moneytheisme, konsumerisme, hedonisme (kamaisme),

materialisme, citraisme, penampilanisme, dan rasio instrumental.

Umat Hindu di Bali mendasarkan tujuan agamanya pada Catur Purusa

Artha yakni empat tujuan hidup manusia dalam upaya mencapai jagadhita dan

moksa. Catur Purusa Artha itu terdiri atas Dharma, Artha, Kama, dan Moksa.

Dharma adalah ajaran suci yang mengatur umat manusia untuk memperoleh

kesejahteraan rohani. Selain sebagai ajaran suci, maka dharma berarti pula hukum

yang mengatur, memelihara, dan mempralina alam semesta beserta isinya serta

hukum tata tertib kehidupan dan kesusilaan yang abadi. Dengan demikian, maka

Page 3: komodifikasi upacara ngaben

3

setiap manusia dapat menegakkan eksistensi dharma dalam pribadinya. Artha

berarti harta benda atau kekayaan duniawi. Untuk memperoleh artha hendaknya

dilandasi dharma kalau dengan jalan adharma akan merupakan noda atau dosa

karena itu janganlah bertindak menyalahi dharma untuk mendapat artha. Kama

berarti nafsu atau keinginan yang dapat memberikan kepuasan atau kesejahteraan

hidup. Kepuasan atau kenikmatan tersebut memang merupakan salah satu tujuan

atau kebutuhan manusia karena manusia mempunyai dasendriya (sepuluh indria).

Kesepuluh indria itu perlu dikendalikan karena sering pula menjerumuskan

manusia. Indria sering diibaratkan seperti kuda liar yang kalau dapat dikendalikan

akan merupakan kekuatan yang luar biasa. Kama atau kesenangan/kenikmatan

menurut ajaran agama tidak akan ada artinya jika diperoleh menyimpang dari

dharma. Oleh karena itu dharma menduduki tempat di atas dari kama dan

menjadi pedoman dalam pencapaian kama. Moksa merupakan tujuan terakhir

yang tertinggi dari manusia. Moksa berarti kebebasan atau kalepasan. Maksudnya

adalah suatu kebahagiaan tempat atma dapat lepas dari pengaruh maya dan ikatan

subha-asubha karma serta bersatu kembali dengan asalnya yaitu Brahman.

Umat Hindu di Bali mendasarkan pelaksanaaan ajaran agamanya melalui

jalan karma dan bhakti sehingga penekanannya dalam bentuk ritual dan simbolik

dibandingkan dengan pemahaman dan pengetahuan serta filsafat agama. Dengan

demikian agama Hindu oleh banyak pihak dipandang sebagai agama yang lebih

menekankan pada bentuk ekspresif dibandingkan dengan agama dalam makna

pengetahuan atau tattwa. Bentuk-bentuk ekspresif akan tampak dari rangkaian

Page 4: komodifikasi upacara ngaben

4

ritual dalam stages along life cycle dan ritual-ritual agama yang ditujukan bagi

kepentingan pemujaan dunia bawah dan dunia atas (Triguna, 1994:74).

Dalam pelaksanaan ritual tersebut umumnya umat Hindu di Bali memakai

simbol persembahan berupa upakara atau sarana upacara. Upakara sebagai

persembahan suci adalah persembahan yang dibuat dengan sarana tertentu antara

lain berupa: bunga, buah-buahan, daun tertentu seperti sirih, dan makanan seperti

nasi dan lauk pauk, jajan dan sebagainya, di samping sarana yang sangat penting

lainnya adalah air dan api. Banten tersebut disesuaikan dengan ritual atau upacara

yajña yang dilaksanakan, baik Dewa yajña, Pitra yajña, Resi yajña, Manusa

yajña, dan Bhuta yajña (Titib, 2001:134).

Kelima yadnya tersebut memerlukan upakara atau banten yang berbeda-beda

sesuai pula dengan tingkatan nista, madya, dan utama.

Dalam kitab suci Bhagawadgita IX.26 dinyatakan:

Patraý puûpaý phalaý toyaý yo me bhaktyà prayacchati, Tad ahaý bhakty-upaåtham aúnàmi prayatàtmanaá

Terjemahannya:

Siapa pun yang dengan sujud bhakti kepadaku, dengan mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, akan Aku terima sebagai wujud bhakti suci dari orang yang berhati suci.

Terjemahan Bhagawadgita tersebut diejawantahkan oleh masyarakat Bali

ke dalam banten dengan segala bentuk, diatur, ditata dengan bunga yang warna

warni dan hiasan-hiasan ornamen mengambil bentuk gunung, benda-benda langit,

bunga, tumbuhan termasuk hewan, dan tumbuhan laut. Jadi, banten itu

Page 5: komodifikasi upacara ngaben

5

mengekspresikan estetika yang dapat menimbulkan perasaan keindahan bagi yang

membuat dan yang melihatnya.

Berdasarkan Keputusan Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma

Indonesia tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Umat Hindu Indonesia, Agama

Hindu memiliki tiga kerangka dasar, yaitu (1) sraddha, (2) susila, dan (3) acara.

Sraddha adalah esensi ajaran atau ajaran yang hakiki. Pendalaman ajaran ke-

Tuhanan dalam agama Hindu disebut dengan Brahma Widya. Pendalaman ajaran

agama melalui sraddha adalah untuk menambah keyakinan yang akan dijadikan

tuntunan hidup memberikan pandangan yang lebih luas dan memiliki makna yang

esensi bagi yang mendalaminya. Susila disebut pula tata susila atau etika yakni

seperangkat nilai, norma, prilaku yang bersumber secara langsung atau tidak

langsung dari sraddha. Acara adalah rangkaian kegiatan umat Hindu yang

dipakai sebagai media atau alat menyampaikan pikiran dalam upaya

menghubungkan diri dengan Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk persembahan

atau yadnya. Persembahan tersebut dihayati sebagai manifestasi konkret agama.

Ketiganya merupakan satu kesatuan yang saling memberi fungsi atau sistem

agama secara keseluruhan. Pelaksanaan yadnya tidak dapat dilepaskan atau selalu

didasarkan pada susila dan sraddha. Apabila salah satu dari ketiga kerangka dasar

tersebut diabaikan, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam sistem agama

tersebut. Untuk itulah dibutuhkan perhatian dan komitmen terhadap ketiganya

agar proporsional dalam ruang dan waktu. Sebelumnya tattwa, susila, dan

upacara dikenal pula sebagai tiga kerangka Agama Hindu, tetapi tattwa dan

Page 6: komodifikasi upacara ngaben

6

upacara memiliki pengertian yang lebih sempit dibandingkan dengan sraddha

dan acara.

Dalam menjalankan ajaran agamanya umat Hindu berpegang pada catur

marga yaitu empat jalan yang terdiri atas, bhakti marga yoga, karma marga

yoga, jnana marga yoga, dan raja marga yoga. Umat Hindu berhak memilih

jalan mana yang akan ditempuh sesuai dengan kemampuan dan pemahaman

ajaran agamanya. Masyarakat Hindu di Bali masih mempertahankan tradisi-tradisi

keagamaan yang juga menjiwai kebudayaannya, padahal tradisi tersebut

mengalami pula perubahan sejalan dengan perkembangan zaman Masyarakat dari

perspektif perubahan telah berkembang. Perkembangan ini dapat dilihat menurut

tingkat-tingkat yang dikemukakan oleh Swelengrebel (1960:29-31), yaitu (1)

tradisi kecil, (2) tradisi besar, dan (3) tradisi modern.

Tradisi kecil adalah tradisi yang berorientasi pada kebudayaan lokal,

mempunyai ciri-ciri antara lain sistem ekonomi sawah dengan irigasi, kerajinan

meliputi besi, perunggu, celup, dan tenun. Di pura terdapat sistem ritual dan

upacara keagamaan yang sangat kompleks, tari dan tabuh dipakai dalam rangka

upacara di pura.

Tradisi besar, yaitu tradisi yang berorientasi pada agama dan kebudayaan

Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali menampakkan ciri-ciri antara lain:

kekuasaan yang pusat kedudukannya adalah raja sebagai keturunan Dewa, adanya

upacara pembakaran mayat (ngaben) bagi orang yang meninggal, adanya sistem

kalender Hindu Jawa, pertunjukan wayang kulit, dll (Geria, 2008:48).

Page 7: komodifikasi upacara ngaben

7

Sementara itu tradisi modern, yaitu tradisi yang mencakup unsur-unsur

yang berkembang sejak zaman penjajahan, zaman kemerdekaan sampai dengan

era globalisasi sekarang ini. Ciri-cirinya antara lain, pendidikan massal, sistem

agama dirasionalisasi, terkoordinasi, dan terkomunikasikan ke dalam dan ke luar,

kerajinan bersifat produksi massal, adanya orientasi ke depan yang diintrodusir

oleh berbagai departmen, dll (Mc. Kean dalam Geria, 2008: 3). Dari proses

tersebut dapat dipahami bahwa interaksi antara tradisi kecil dengan tradisi besar

membuahkan kebudayaan tradisional yang bercirikan budaya ekspresif dengan

dominannya nilai-nilai religius, estetika, dan solidaritas. Sebaliknya pertemuan

kebudayaan Bali tradisional dengan tradisi modern ditandai dengan

berintegrasinya nilai modern dalam kebudayaan Bali seperti rasionalisasi dan

komersialisasi budaya. Dewasa ini tampak adanya perubahan struktural dalam

kebudayaan karena banyak aktivitas kebudayaan dalam arti ritus agama secara

ekspresif mengalami perubahan kedudukan dan fungsi yang tidak saja dalam

makna religius, tetapi sering pula terjadi karena adanya muatan sosial, ekonomi,

dan politik (Triguna, 1994:14). Konteks ini tampak dalam aktualisasinya dari

perubahan struktural terutama dapat diamati dalam kepemilikan harta yang

bersifat konsumtif dan peningkatan pendidikan.

Pada zaman dulu ketika masyarakat Bali masih bersifat homogen dan

hidup sebagai petani secara komunal, mereka akan merancang dan mengaktifkan

berbagai upacara keagamaannya secara bersama-sama dalam komunitas-

komunitas tertentu, seperti dadia, banjar, dan atau desa adat (Agung, 1987: 27-

28). Menurut Bagus (1985:29) aktivitas bersama tersebut terwujud ke dalam

Page 8: komodifikasi upacara ngaben

8

sistem ngayahang dan ngoopin/matulung yang berarti memberikan sumbangan

tenaga dalam suatu kegiatan. Dalam ngoopin tersebut sering pula disertai

sumbangan material berupa berbagai keperluan perlengkapan banten. Dari uraian

di atas, diketahui bahwa orang Bali pada masa itu hidup secara guyub bersama-

sama mengerjakan perlengkapan upacara dan pada waktu itu mereka belum

membeli banten.

Perubahan aspek kehidupan masyarakat Hindu ke arah modernisasi, yaitu

perubahan suatu transformasi total dari kehidupan bersama cenderung bersifat

kolektif ke arah pola-pola ekonomis dan politis (Soekanto, 1990:356).

Transformasi sebagai bentuk modernisasi dapat dipahami dari mobilitas sosial,

yaitu terjadinya penduduk semakin menyebar, pendapatan per kapita semakin

meningkat, akses terhadap media massa lebih intensif. Beberapa kehidupan

keagamaan dan seni mengalami proses sekularisasi serta tingkat melek huruf

semakin tinggi menyebabkan terjadinya proses rasionalisasi yang akhirnya terjadi

proses sekularisasi. Sekularisasi terjadi karena orang semakin menghargai

pentingnya akal sehat sebagai salah satu ciri kehidupan modern dibandingkan

pertimbangan rasa dan naluri.

Seiring adanya pengaruh global menyebabkan Bali mengalami perubahan

ke arah budaya progresif yang lebih mengedepankan budaya material. Budaya

progresif memunculkan nilai ekonomi, nilai politik, dan nilai ilmu pengetahuan

dan teknologi (Alisyahbana, 1985:145). Dengan demikian masyarakat lebih

bersifat rasional dan pragmatis karena mereka sudah terdiferensiasi ke dalam

berbagai ranah kehidupan. Gidden (Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2005: 509)

Page 9: komodifikasi upacara ngaben

9

mengatakan bahwa rasionaalisasi berarti mengembangkan kebiasaan hidup sehari-

hari guna mendapatkan perasaan aman sehingga memungkinkan mereka untuk

menghadapi kehidupan sosialnya secara efisien.

Menurut Triguna, (1994:74) agama Hindu di Bali mendasarkan ajaran

agamanya bersumber pula pada lontar dalam dua dasawarsa terakhir bahkan pada

abad 21 ini beragama hanya menonjolkan ritual bahkan dengan besar-besaran

dianggap memberatkan oleh sementara pihak. Hal tersebut disebabkan oleh

pertama, bentuk pelaksanaan agama seperti itu dianggap terlalu membebani umat

yang telah mengalami multi peran bersamaan dengan semakin terjadinya

diferensiasi sosial dalam kehidupan mereka. Kedua, agama seperti itu secara

sosiologis dianggap kurang sesuai dengan kondisi dan ciri kehidupan manusia

abad ke-21 yang telah dicirikan dengan spesialisasi dan multiplikasi. Ketiga

bentuk ekspresif hanya menonjolkan bagian luar dari tatanan agama sehingga

agama yang mempolakan aktivitas seperti itu cenderung dianggap kering dari

ajaran-ajaran yang bersifat konstruktif .

Memasuki era globalisasi ini pemenuhan materi (artha) dan hasrat (kama)

menduduki posisi teratas mengalahkan dharma dan moksa. Sejalan dengan itu

Piliang (2004: 185) mengatakan bahwa di dalam konsumsi yang dilandasi oleh

nilai tanda dan citraan, logika yang melandasinya bukan lagi logika kebutuhan

(need) melainkan logika hasrat (desire). Gilles Deleuze dan Felix Guattari

(Piliang, 2004:186) mengatakan bahwa hasrat atau hawa nafsu tidak akan pernah

terpenuhi karena ia selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi oleh apa

yang disebutnya mesin hasrat (desire machine).

Page 10: komodifikasi upacara ngaben

10

Pergeseran kebudayaan Bali dari masyarakat agrarais (tradisional) ke

masyarakat industri ditandai dengan ketatnya pengaturan waktu, ruang, tenaga,

modal, serta heterogennya okupasi masyarakat. Jadi terjadi transformasi budaya

dari budaya pertanian ke budaya jasa. Masyarakat Bali pada masa kini dituntut

untuk dapat bertindak efektif dan efisien dalam menghadapi kehidupannya,

termasuk dalam hal menyiapkan dan menjalankan upacara agamanya. Sejalan

dengan itu, Wijaya (1991: 24) mengatakan bahwa kini banyak orang Bali-Hindu

membeli berbagai macam kebutuhan upacara keagamaannya. Dengan cara

membeli, berarti lebih efisien, baik dari segi waktu, tenaga, maupun biaya.

Perubahan pola hidup masyarakat dari agraris ke industri telah pula

mengubah tatanan kehidupan masyarakat Bali. Zaman dulu melaksanakan ritual

semakin lama semakin baik karena hubungan kekerabatan dan sosiologis dengan

keluarga dan masyarakat menjadi sangat berarti. Pada masa itu untuk membuat

upakara atau banten dikerjakan dengan anggota masyarakat dengan cara metulung

atau ngoopin, tetapi kini telah terjadi perubahan dengan membeli atau

memesannya di griya atau sarati karena masyarakat menginginkan yang serba

praktis dan simpel. Masyarakat cukup menyerahkan uang dan banten apa yang

dipesan lengkap dengan yang muput. Hubungan antara griya (Siwa) dengan

masyarakat (sisya) tidak lagi dalam hubungan kelas seperti yang disaratkan oleh

Marx, tetapi lebih pada pertukaran sosial ekonomi

Menurut Sujana (1999:55) kini masyarakat Bali semakin ketat dalam

memakai dan mengatur waktu karena kegiatan-kegiatannya semakin kompleks

dan bentuk ngayah di Desa Adat tidak lagi beberapa hari, tetapi kini cukup satu

Page 11: komodifikasi upacara ngaben

11

atau dua jam saja. Perempuan-perempuan tidak lagi seluruhnya gotong royong

membuat sajen, tetapi cukup membeli dari sekelompok warga yang ahli tentang

sajen. Pendekatan-pendekatan secara ekonomis semakin mengedepan dalam

masyarakat. Ini berarti industri pariwisata telah menciptakan sesuatu ”power of

market” dengan perwujudan posisi materi dan uang yang sangat penting.

Kondisi kehidupan beragama Hindu dalam perkembangan terakhir ini,

mulai adanya pergeseran di sana sini, misalnya keperluan canang/banten sudah

bisa dipesan lewat telepon kepada pihak tertentu yang melakukan bisnis sarana

upacara/upakara dan jenis banten yang diperlukan. Hal ini berdampak pada

generasi muda yang tidak mendapat kesempatan untuk belajar dan menerima

pengalaman tentang cara-cara membuat banten dari orang tuanya. Setidaknya

bahwa generasi muda Hindu menjadi terbiasa dalam kehidupan kesehariannya

untuk lebih baik membeli banten daripada membuat banten yang dipersembahkan

kepada Tuhan untuk memohon kerahayuan dan ketentraman hidupnya. Anak

muda Hindu lebih baik ia melakukan hal-hal glamour pada saat hari suci agama

Hindu dibandingkan diberikan tugas untuk ngayah membuat sarana upacara di

suatu pura yang ditugaskan orangtuanya (Subagiasta, 2005:9).

Oleh karena telah terjadi pergeseran dalam kehdiupan keagamaan dengan

membeli banten (komodifikasi) Sukarsa (2008: 3) mengatakan bahwa untuk

memenuhi berbagai perlengkapan upacara keagamaannya, masyarakat Bali-

Hindu mendapatkannya dengan cara membeli. Misalnya, janur banyak

didatangkan dari Jawa, pisang selain didatangkan dari Jawa juga dari

Page 12: komodifikasi upacara ngaben

12

Kalimantan. Tidak salah Kerepun (2004:20) mengatakan bahwa bisnis banten

menjadi bisnis besar di Bali.

Cara-cara yang bersifat ekonomi (komodifikasi) dalam melaksanakan

upacara ngaben semakin meluas. Contoh bahwa masyarakat di Desa Pakraman

Sanur atau sisya sebuah griya akan memohon banten ngaben lengkap dengan

Yajamana (Pemimpin Upacara) dengan menyerahkan sejumlah uang yang telah

diberitahu oleh Pedanda di griya tersebut. Semua pengalaman itu memberi arti

yang sangat berbeda beda dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Segalanya

mau dijadikan serba praktis tanpa menghiraukan nilai-nilai kearifan yang terdapat

di dalamnya.

Upacara yang merupakan aktivitas sekaligus cetusan perasaan sebagai

perwujudan budi dari yang membuatnya sehingga bernilai seni, kini telah

berubah menjadi alat komoditas sehingga mengalami komodifikasi. Hal ini dapat

dilihat karena adanya pergeseran-pergeseran dalam melaksanakan upacara

termasuk dalam membuat upakara yaitu banten.

a. Sikap orang menghargai banten zaman dulu adalah dengan penuh perhatian

dan kasih, tetapi sekarang praktis.

b. Sikap menghormati, menghargai banten itu tidak lagi dinikmati keindahannya

oleh orang yang memiliki upacara yadnya, tetapi oleh orang yang membuat

upakara berdasarkan pesanan dari yang memiliki upacara yadnya tersebut.

Jadi yadnya hanya sekedar upacara saja sehingga makna yadnya sudah

berubah bahkan telah terjadi kesenjangan keindahan.

c. Terjadi perubahan nilai sosial menuju ke nilai praktis dan materialistis.

Page 13: komodifikasi upacara ngaben

13

Dinamika Agama Hindu dan Budaya Bali bukan saja hanya menyangkut

banten, untuk upacara ngaben ini, bade atau wadah pun menjadi alat komoditas

karena dapat dipesan di pihak tertentu yang menyediakan sarana itu bahkan

menuju ke kuburan bade atau wadah ditempatkan di suatu tempat yang beroda

sehingga tinggal menariknya tidak usah diusung. Pengerjaan bade atau wadah

dengan sistem teknologi untuk mendapatkan hasil yang indah melalui pola-pola

mekanik dengan mesin. Konstruksi bade sudah dikerjakan dengan sistem knock

down. Dengan sistem ini, bade yang dibuat bersusun akan dapat diatur pada saat

melewati jalan yang ada rintangannya, misalnya adanya kabel listrik atau telepon

dalam perjalanan menuju kuburan. Termasuk melaksanakan upacara ngaben ada

umat yang memilih krematorium.

Komodifikasi melahirkan budaya konsumen massa. Munculnya

masyarakat komoditas atau masyarakat konsumen akibat konsumsi massa

tersebut menyebabkan timbulnya kebudayaan atau budaya populer. Mac Cannel

(1987:22) mengatakan bahwa komoditas telah menjadi bagian integral kehidupan

sehari-hari masyarakat modern karena bentuk aslinya merupakan representasi

simbolik (advertisement) dirinya sendiri yang menjanjikan atau yang

membimbing pengalaman sebelum terjadinya konsumsi aktual. Yang dimaksud

masyarakat modern oleh Mac Cannel adalah masyarakat paling akhir atau masa

kini yang dapat disejajarkan dengan masyarakat posmodern atau masyarakat

konsumen. Menurut Piliang (1998:246) dalam masyarakat konsumen, setidaknya

terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan

Page 14: komodifikasi upacara ngaben

14

konsumsi objek-objek estetik yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produser, dan

kekuasaan media massa.

Pada zaman dulu konsep relasi/hubungan antara Pedanda (Siwa) dengan

masyarakat (sisya) sangat kuat karena sampai Tirtha Pengentas pun harus

memohon pada Pedanda. Hal inilah yang diwariskan sampai sekarang dalam

ritual apa pun di Bali akan memakai upakara berupa banten yang selalu

dihubungkan dengan alam atas (Dewa) dan alam bawah (Bhuta). Demikian pula

dewasa ini karena Bali menjadi Daerah Tujuan Wisata bagi wisatawan domestik

dan asing, menyebabkan ritual dengan upakara berupa banten tetap dilaksanakan

demi live culture yang dapat dijadikan daya tarik wisata. Salah satu identitas atau

ciri khas kebudayaan Bali adalah penggunaan banten sebagai sarana upacara.

Dengan adanya perubahan pola kehidupan ada masyarakat karena faktor budaya

instan menginginkan banten yang praktis, hemat, dan cepat yang dapat dibeli dari

Pedanda di griya dan dari sarati (tukang banten). Sebuah evolusi telah terjadi,

yaitu manusia Bali sudah berorientasi ke material yaitu mengabdi pada benda

demi mengejar wibawa dan wabah pencitraan dengan hanya melihat kulit luar saja

dan kurang memiliki pendalaman rohani.

Griya di Desa Pakraman Sanur yang berjumlah 12 buah terdiri atas 5

griya memproduksi bebantenan, yaitu Griya Kaleran, Griya Kanginan, Griya

Buruwan, Griya Telaga, dan Griya Wanasari, sedangkan 7 Griya yang tidak

memproduksi bebantenan adalah Griya Oka, Griya Gede Mas, Griya Kwanji,

Griya Batursari, Griya Jero Gede, Griya Dauh Buruwan, dan Griya Abian.

Khusus Griya Kaleran tidak memproduksi bebantenan ngaben, tetapi untuk

Page 15: komodifikasi upacara ngaben

15

yadnya yang lain diproduksi. Griya-Griya yang memproduksi upacara ngaben,

seperti Griya Buruwan yang menggelar upacara ngaben ngiring pada tanggal 30

April 2009 yang diikuti 4 peserta /sawa yang merupakan sisya griya tersebut.

Ngaben ngiring tersebut dilaksanakan karena ada sulinggih yang meninggal yaitu

Ida Pedanda Istri Nabe Oka. Ngaben ngiring, yaitu ngaben yang diikuti oleh

masyarakat dan sisya dalam keluarga Brahmana Wangsa atau dalam keluarga

Ksatrya Wangsa yang salah satu keluarganya meninggal. Dalam upacara ngaben

seperti ini biasanya ditetapkan apa saja yang harus dipersiapkan oleh orang yang

ikut ngaben tersebut, berapa jumlah dana yang dikenakan untuk setiap sawa/jasad

yang diupacarai, kemudian kapan dan berapa kali harus ikut menyumbangkan

tenaga (ngayah) untuk menyukseskan upacara ngaben tersebut. Di samping itu,

ada pula masyarakat menyelenggarakan upacara ngaben secara mandiri.

Upacara ngaben sebagai bagian upacara pitra yajña merupakan upacara

keagamaan yang paling berat. Dikatakan berat karena selain harus dilaksanakan

untuk setiap kematian, juga di dalam pelaksanaannya dibutuhkan dana yang

banyak, durasi waktu yang panjang, tenaga yang banyak pula untuk mengerjakan

berbagai perlengkapan upacara dan menggotong wadah/bade ke patunon. Agus

(2006: 196) menegaskan beragama dengan menekankan pelaksanaan ritual secara

rasional tanpa pemahaman dan pendekatan spiritual akan dirasa sebagai

kehampaan. Sebaliknya, beragama hanya dengan pendekatan spiritual tanpa

memahami alasan dan tujuan rasional, akan mengakibatkan keterbelakangan

masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi.

Page 16: komodifikasi upacara ngaben

16

Pembuatan banten sebenarnya masih dapat dilakukan oleh mereka yang

memiliki upacara yadnya tentu yang mana saja dapat dikerjakan, sedangkan yang

sulit-sulit dapat dipesan di Griya dan sarati. Dengan demikian, orang yang

memiliki upacara yadnya masih dapat mempersembahkan upakara, yaitu banten

dengan ketulusan hati sebagai cetusan perasaan estetis dan religius karena

beragama adalah seni di samping tidak menghilangkan konsep yadnya karena

membeli beberapa keperluan upacara, atau membuatnya dengan sederhana, tetapi

tidak kehilangan esensi sebuah upacara.

Dewasa ini umat Hindu di Bali terutama di Kota Denpasar khususnya di

Desa Pakraman Sanur dalam melaksanakan upacara ngaben telah menempuh

dengan jalan ngaben perseorangan atau ngiring di sebuah griya. Dalam

pelaksanaan upacara ngaben tersebut masyarakat Hindu di Denpasar cenderung

hiperitualitas atau melaksanakan upacara secara besar-besaran. Piliang (2004:337)

mengatakan bahwa berbagai aspek kegiatan ritual keagamaan tersebut secara

hakiki tidak lagi berkaitan dengan model yang dicontohkan dalil-dalil yang telah

digariskan, maka yang berkembang adalah hiperealitas ritual (hyper-reality of

ritual) atau hiperitual (hyper-ritual), yaitu realitas ritual keagamaan yang telah

melampaui hakikat ritual itu sendiri. Yang berkembang adalah berbagai bentuk

realitas-realitas ritual artifisial, yang berbagai budaya materi dan gaya hidup yang

menyertainya justru bertentangan dengan hakikat ritual itu sendiri sebagai ruang

penyucian jiwa. Kegiatan ritual keagamaan, sebaliknya berkembang menjadi

ruang pemanjaan jiwa, lewat berbagai bentuk tanda (sign), citra (image), gaya

(style), ilusi, prestise, gaya hidup (lifestyle), dan pesona objek (fetishism) yang

Page 17: komodifikasi upacara ngaben

17

ditawarkan di dalamnya. Perkembangbiakan budaya komoditi, budaya pencitraan,

dan gaya hidup (lifestyle) di dalam masyarakat konsumer atau masyarakat

skizofrenik, telah menggiring kegiatan ritual keagamaan ke dalam jagat

komoditas atau komodifikasi ritual.

Ciri-ciri globalisasi diungkapkan oleh Capra (2004:280) seperti

pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada pemujaan terhadap teknologi yang

berlebihan, sebagai sifat masyarakat modern, telah menciptakan suatu lingkungan

tempat kehidupan menjadi tidak sehat, baik secara fisik maupun moral. Selain itu

gaya hidup masyarakat yang dipengaruhi oleh ideologi materialisme dan

konsumerisme yang berasal dari budaya global telah menimbulkan kepanikan

global karena semakin lenyapnya lapisan-lapisan moral-spiritual dan

kemanusiaan. Piliang (2004:105) mengatakan bahwa globalisasi telah

menimbulkan sikap ketidakpedulian masyarakat terhadap segala dimensi dan nilai

yang diyakini beribu-ribu tahun akibat tenggelamnya mereka ke dalam kondisi

ekstasi masyarakat konsumer yang dipicu oleh ideologi kapitalisme.

Pada hakikatnya melaksanakan upacara ngaben bukan diukur dari

besarnya, mewahnya atau kecilnya, tetapi yang terpenting adalah meningkatkan

sradha dan bhakti akan makna upacara itu sendiri yang dipersembahkan dengan

tulus ikhlas dengan berlandasakan Catur Purusa Artha..

Sudartha dan Punia Atmaja (2001:6) mengatakan bahwa landasan

keyakinan agama Hindu adalah Panca Sraddha yaitu lima kepercayaan agama

Hindu dengan percaya akan adanya Brahman (Tuhan yang Mahaesa), percaya

dengan adanya Atman, percaya adanya Hukum Karma Phala, percaya adanya

Page 18: komodifikasi upacara ngaben

18

Samsara/Punarbhawa, dan percaya adanya Moksa. Perlu diperjelas bahwa setiap

perbuatan manusia pasti terikat dengan Hukum Karma Phala, tetapi dengan

menyadari perbuatan tersebut sebagai Karma Marga yang nis karma, yaitu

perbuatan yang tidak terikat kepada kenikmatan semata dan dilandasi dengan

kesadaran bahwa perbuatan mulia akan menghasilkan kemuliaan. Dengan

demikian manusia dapat memahami bahwa setiap melakukan suatu tindakan atau

perbuatan harus dilandasi dengan berpikir yang baik untuk menjadikan kemuliaan

hidup, tentulah keterikatan akan hasil perbuatan bisa semakin dilepaskan bahkan

tidak mengikat dirinya sehingga kebahagiaan akan dapat dicapai dalam kehidupan

ini. Dalam tahapan pendalaman dan penerapan ajaran agama dalam kehidupan

tentulah disesuaikan dengan nalar, pengetahuan, dan wawasan masing-masing.

Upacara ngaben menarik untuk dikaji karena dalam upacara ini terdapat

rangkaian ritual yang panjang, tentu dalam hal ini dibutuhkan upakara yang

banyak sesuai dengan rangkaian ritual tersebut dan melibatkan banyak tenaga

pendukung. Di samping itu, ada keterikatan sisya terhadap griya sebagai Siwa

karena dalam upacara ngaben ini sampai tirta pangentas pun akan diberikan oleh

Siwa sedangkan untuk upacara lain seperti Dewa yadnya dalam pelaksanaan

pemlaspas, piodalan, dan ngenteg linggih di pura dapat mencari Pedanda tidak

berdasarkan Siwa.

Adanya unsur kepentingan dalam proses komodifikasi upacara ngaben ini

antara Pedanda, sarati (tukang banten), pemerintah melalui pariwisata, dan

masyarakat penganut agama Hindu serta pemilik budaya Bali, menjadikan

penelitian ini menarik untuk dilakukan dan kajian budaya sangat berkepentingan

Page 19: komodifikasi upacara ngaben

19

di dalamnya. Menurut Lubis (2006: 136) sebagai kajian budaya bertujuan untuk

menyingkap ideologi, dominasi, hegemoni, kuasa, hak, kebebasan, keadilan, dan

kepentingan yang ada di dalamnya.

Dari paparan di atas, maka akan diteliti komodifikasi upacara ngaben

di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi. Dari penelitian tersebut

akan dilihat lebih dekat tentang bentuk komodifikasi, faktor-faaktor yang

menyebabkan komodifikasi, dan dampak serta makna komodifikasi upacara

ngaben di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi.

1.2 Rumusan Masalah

Ada tiga masalah yang diteliti. Agar lebih jelas, maka ketiga masalah

tersebut dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya di bawah ini.

1. Bagaimana bentuk komodifikasi upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur

Denpasar dalam era globalisasi ?

2. Apa faktor-faktor yang menyebabkan komodifikasi upacara ngaben di Desa

Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi ?

3. Apa dampak dan makna upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur Denpasar

dalam era globalisasi ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami komodifikasi

upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi.

Page 20: komodifikasi upacara ngaben

20

Diilhami oleh pemikiran posmodernisme dalam perspektif kajian budaya

penelitian ini mencoba memahami komodifikasi upacara ngaben untuk

mengungkap adanya dimensi-dimensi ideologi kekuasaan yang ada di balik

upacara ngaben tersebut.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan mengkaji dan merumuskan jawaban

atas permasalahan penelitian yang dirumuskan ke dalam bentuk-bentuk

pertanyaan yang dikemukakan di atas. Oleh karena itu, tujuan khusus penelitian

ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan bentuk komodifikasi

upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi.

2. Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan faktor-faktor yang

menyebabkan komodifikasi upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur

Denpasar dalam era globalisasi.

3. Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan dampak serta makna

upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut

Page 21: komodifikasi upacara ngaben

21

1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan yaitu terjadinya komodifikasi upacara

ngaben. Di samping itu menambah referensi pengorganisasian upacara

ngaben.

2. Menambah referensi tentang komodifikasi upacara ngaben bagi calon peneliti

lain yang tertarik dengan penelitian ini dan mereka dapat meneliti dengan

topik dan masalah yang berbeda.

3. Memperkaya pengalaman dan peningkatan kualitas dan kemampuan peneliti

dalam penelitian.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

kepada berbagai pihak.

1. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi sulinggih griya di Desa

Pakraman Sanur dalam mengelola bisnis dalam koridor yadnya.

2. Dapat digunakan oleh pimpinan masyarakat (bendesa pakraman, kelihan

banjar) sebagai sumber rujukan dalam mengorganisasikan upacara ngaben di

desa pakraman/banjar yang dipimpinnya.

3. Dapat digunakan oleh pimpinan dan tokoh agama Hindu (Pedanda,

Pemangku, dan cendekiawan), sebagai bahan pertimbangan untuk

memberikan pencerahan kepada sisya atau umat Hindu yang ingin

melaksanakan upacara ngaben.

4. Dapat dipakai oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai

inventaris mengenai beragamnya pelaksanaan upacara ngaben.

Page 22: komodifikasi upacara ngaben

22

5. Dapat digunakan oleh lembaga umat yaitu majelis umat Hindu seperti

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai referensi dalam

melakukan pembinaan terhadap umat Hindu mengenai semakin beragamnya

pelaksanaan upacara ngaben.

6. Hasil penelitian ini dapat dipakai oleh umat se-dharma sebagai bahan acuan

dalam memperkuat posisi di tengah-tengah perkembangan dunia global

sehingga masyarakat dapat memilih upacara ngaben sesuai kemampuan.