Komisi Yudisial

23
Komisi Yudisial (KY) Oleh: I Gusti Ngurah Santika, SPd Latar belakang pembentukan pembentukan Komisi Yudisial merupakan bagian penting dari komitmen bangsa untuk dilakukannya reformasi multi dimensional dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum, serta, keprihatinan yang mendalam atas praktek peradilan yang tidak mencerminkan moralitas keadilan. Agenda besar reformasi yang bergulir di tahun 1999, bertujuan untuk membangun Indonesia yang lebih kuat adil dan sejahtera (Chotidjah,2010;168). Bobroknya kekuasaan kehakiman telah menyebabkan tidak berjalannya sistem hukum yang seharusnya mampu untuk menegakan kepastian hukum dan mencapai keadilan. Bahkan, rendahnya kredibilitas daripada penegak hukum merupakan penyebab utama tidak tercapainya keadilan. Rendahnya kredibilitas penegak hukum, terutama hakim telah membawa dampak yang cukup luas terhadap kepercayaan daripada para pencari keadilan terhadap dunia peradilan di tanah air. Rendahnya kredibilitas para penegak hukum, khususnya hakim tercermin dengan banyaknya terjadi berbagai tindak-tanduk prilaku hakim, baik yang nyata-nyata bertentangan dengan hukum maupun yang jika dilihat adalah tidak sesuai dengan etikanya sebagai seorang hakim. Tidak adanya sebuah lembaga yang benar-benar mampu untuk menegakan etika serta prilaku hakim yang pada dasarnya bersifat bertentangan seperti sebagaimana dimaksud di atas, kemudian ternyata makin menambah daftar hakim yang berperilaku menyimpang, terutama dengan kewajiban utamnya sebagai seorang hakim. Sebenarnya jika kita dilihat kembali dengan saksama ternyata tindakan hakim yang pada dasarnya bertentangan tersebut, dapat dilihat tidak hanya dari sudut hukum maupun etika sebagai seorang hakim, kemudian

Transcript of Komisi Yudisial

Page 1: Komisi Yudisial

Komisi Yudisial (KY)

Oleh: I Gusti Ngurah Santika, SPd

Latar belakang pembentukan pembentukan Komisi Yudisial merupakan bagian penting dari komitmen bangsa untuk dilakukannya reformasi multi dimensional dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum, serta, keprihatinan yang mendalam atas praktek peradilan yang tidak mencerminkan moralitas keadilan. Agenda besar reformasi yang bergulir di tahun 1999, bertujuan untuk membangun Indonesia yang lebih kuat adil dan sejahtera (Chotidjah,2010;168). Bobroknya kekuasaan kehakiman telah menyebabkan tidak berjalannya sistem hukum yang seharusnya mampu untuk menegakan kepastian hukum dan mencapai keadilan. Bahkan, rendahnya kredibilitas daripada penegak hukum merupakan penyebab utama tidak tercapainya keadilan. Rendahnya kredibilitas penegak hukum, terutama hakim telah membawa dampak yang cukup luas terhadap kepercayaan daripada para pencari keadilan terhadap dunia peradilan di tanah air. Rendahnya kredibilitas para penegak hukum, khususnya hakim tercermin dengan banyaknya terjadi berbagai tindak-tanduk prilaku hakim, baik yang nyata-nyata bertentangan dengan hukum maupun yang jika dilihat adalah tidak sesuai dengan etikanya sebagai seorang hakim. Tidak adanya sebuah lembaga yang benar-benar mampu untuk menegakan etika serta prilaku hakim yang pada dasarnya bersifat bertentangan seperti sebagaimana dimaksud di atas, kemudian ternyata makin menambah daftar hakim yang berperilaku menyimpang, terutama dengan kewajiban utamnya sebagai seorang hakim. Sebenarnya jika kita dilihat kembali dengan saksama ternyata tindakan hakim yang pada dasarnya bertentangan tersebut, dapat dilihat tidak hanya dari sudut hukum maupun etika sebagai seorang hakim, kemudian menyebabkan para penegak hukum ini leluasa untuk melakukan perbuatan yang sebenarnya menyimpang dari norma hukum, maupun etika yang tentunya bertentangan pula dengan kewajibannya sebagai seorang hakim. Dengan merosotnya etika hakim dalam berperilaku dimasyarakat, telah membawa implikasi yang luas terhadap penegakan hukum terutama berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang telah ditentukan dalam UUD 1945 seharusnya merdeka untuk menegakan hukum dan keadilan, bukan kemerdekaan untuk tujuan yang lainnya. Bahkan, dengan bobroknya moral hakim yang tercermin dalam etikanya dimasyarakat terutama dalam menjalankan hubungan dinasnya, selalu saja menjadi topik utama setelah reformasi, yang pada dasarnya reformasi itu sendiri menuntut suatu peradilan yang sifanya modern dan terpercaya, sehingga ke depannya mampu untuk menegakan hukum dan keadilan. Namun, dalam kenyataannya reformasi ternyata belum mampu membawa perubahan segnifikan terhadap paradigma aparat penegak hukum, terutama hakim dalam berperilaku sesuai dengan kewajibannya, apalagi kemudian diharapkan untuk mampu menegakan hukum dan memberikan keadilan kepada para pencari keadilan (justiabelen).

Jika kita sejenak kembali ketika sebelum reformasi berjalan, tampak kemudian merosotnya kewibawaan peradilan yang salah satu penyebabnya dikarenakan tidak berjalannya prinsip-prinsip peradilan yaitu adanya kebebasan hakim dalam mengambil suatu keputusan, ternyata

Page 2: Komisi Yudisial

sangat berdampak terhadap kualitas putusan hakim dalam memutuskan perkara untuk tegaknya hukum dan keadilan. Bahkan, dalam kenyataan tidak jarang jika kekuasaan kehakiman, khususnya hakim yang menghadapi perkara, apalagi jika kemudian berhadapan dengan pemerintah seperti pada masa Orde Baru, maka akan terasa bahwa hakim tersebut terlihat tertekan untuk mengambil suatu keputusan. Dapatlah dikatakan bahwa yang menjadi penyebab tersebut tidak lain dikarenakan pada waktu itu terkait dengan keorganisasiannya berada satu atap dengan Kementerian Kehakiman yang merupakan bagian daripada pemerintah. Dilain pihak ada juga hakim-hakim yang dalam mengambil keputusan, walaupun pada dasar adalah tidak sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat, tetapi ternyata dengan dalih bahwa hakim bebas untuk mengambil keputusan, kemudian memanipulasi asas kemerdekaan hakim sebagai celah untuk melakukan tindakan yang pada dasarnya adalah tidak sesuai dengan etika hakim dalam berperilaku. Tentunya akan terlihat dengan jelasa bahwa motivasi hakim dalam mengambil keputusan sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan peruntukannya yaitu menegakan hukum dan keadilan, yang sebenarnya diberikan oleh asas kemerdekaan kehakiman. Padahal kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan landasan bagi hakim, serta motivasi dalam mengambil keputusan untuk mewujudkan serta mampu menegakan hukum dan keadilan, walaupun berhadapan dengan kekuasaan apapun di luar kekuasaan kehakiman. Kiranya sudah jelas bahwa bebasnya peradilan dari campur tangan kekuasaan extra-judisil akan membawa akibat pada meningkatnya wibawa atau supremasi hukum, salah satu faktor dari suatu negara hukum (Mertokusumo,2011;128). Kekuasaan kehakiman yang independen merupakan suatu keniscayaan bagi tegaknya hukum dan tercapainya keadilan, namun dapat saja dengan dalih indepedensi kekuasaan yudikatif, kemudian hakim ternyata mengambil kesempatan untuk melakukan tindakan bertentangan dengan tugas dan kewajibannya terutama untuk mewujudkan tegaknya hukum dalam kerangka negara hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, Maksudi (2012;141) menyatakan bahwa independensi kekuasaan yudikatif ini berusaha diimbangi dengan membentuk Komisi Yudisial. Jadi, Komisi Yudisial memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga independensi kekuasaan kehakiman, sehingga tidak disalahgunakan baik oleh hakim yang berada di dalam kekuasaan peradilan tersebut, maupun kekuasaan yang kemudian berada di luar kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, selain pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai badan pengawas tertinggi internal prilaku hakim, maka telah dibentuk Komisi Yudisal yang merupakan pengawas eksternal terhadap prilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan/atau Pedoman Prilaku Hakim. Suatu penegak hukum yang kemudian tanpa mendapatkan suatu pengawasan terutama dari penegak Kode Etik maka tentunya akan cenderung dapat menjadikan penegak hukum tersebut melakukan tindakan yang menyimpang bahkan sewenang-wenang. Dan tentunya dapat saja kemudian terjadi perbuatan yang dipandang tidak sesuai dengan apa, yang seharusnya dilaksanakan oleh penegak hukum tersebut, terutama untuk menegakan hukum dan keadilan, yang tercermin dalam tindakannya ternyata benar-benar bertentangan dengan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Berdasarkan dasar pemikiran tersebut, maka dipandang perlu untuk dibentuk suatu lembaga negara, yang diharapkan dapat mengawasi suatu penegak hukum yang pada dasarnya bebas dan merdeka seperti apa yang telah diembankan oleh lembaganya, tentunya merupakan suatu tugas yang tidak mudah untuk

Page 3: Komisi Yudisial

dilakukan, sehingga harus benar-benar memiliki, motivasi, dan tujuan yang jelas untuk melaksanakan tugasnya dalam bentuk pengawasan terhadap perilaku hakim apakah sesuai atau tidak sesuai dengan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Tentunya diharapkan pengawasan yang dilaksanakan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Komisi Yudisial tidaklah kemudian mengurangi daripada kebebasan hakim dalam memutus perkara. Oleh karena itulah, setelah reformasi dibentuk sebuah lembaga negara bernama Komisi Yudisial, yang menurut Muqoddas dalam Rifa’I (tt;iv) bahwa tujuan visionernya adalah mereposisi dan merevitalisasi lembaga pengadilan dan proses peradilan dalam program-program aksi akseleratif menuju terciptanya pencapaian visi bangsa yaitu Indonesia sebagai negara berdasarkan prinsip The Rule of Law dan Kedaulatan Rakyat (The Souveregnity of the people). Hal ini tidak lain dikarenakan, bahwa akuntabilitas aparat penegak hukum dan lembaga yudikatif merupakan pilar yang menentukan dalam penegakan hukum dan keadilan (ICCE UIN,2010;166). Berikut ini merupakan latar belakang pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara, menurut Huda dalam Talhah dan Malian (2011;75), yaitu sebagai berikut.

1. Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja;

2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power), dalam hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman (judicial power);

3. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukan dengan persoalan-persoalan teknis non hukum;

4. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus;

5. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrut adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.

Selain itu, dengan tingginya sorotan masyarakat terhadap kinerja dan integritas hakim dan aparatur Peradilan, Badan Pengawas (Bawas) dituntut untuk melaksanakan fungsinya secara independen—sampai batas tertentu–sehingga kinerjanya mampu meningkatkan kepercayaan publik terhadap badan peradilan (Mahkamah Agung,2010;73). Inilah yang kemudian menjadi salah satu latar belakang, untuk kemudian dibentuknya KY di Indonesia, yang bertugas untuk menegakan etika para hakim berdasarkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim, yang mungkin saja jika dilakukan oleh dewan kehormatan dari dalam struktur yang akan diperiksa maka akan terjadi saling melindungi korps. Keberadaan Komisi Yudisial diharapkan dapat memberikan sumbangsihnya dalam mewujudkan hakim agung yang mempunyai integritas dan moral (Asshiddiqie,2009;301). Kemudian, untuk mencapai suatu keadilan dalam negara demokrasi, diperlukanlah suatu lembaga negara yang nantinya mampu untuk mengawasi agar nilai-nilai keadilan serta keluhuran, baik sifat maupun prilaku hakim tetap terjaga serta mampu merefleksikan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Sebagai lembaga pengawas yang bersifat mandiri, Komisi Yudisial memiliki peranan yang sangat penting, untuk membantu hakim guna

Page 4: Komisi Yudisial

menjaga etika dalam berperilaku sehingga mampu untuk menegakan hukum dan keadilan. Etika sendiri merupakan suatu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang di lakukan manusia untuk dapat dikatakan baik atau buruk, dengan kata lain aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia. Pengawasan terhadap etika hakim mutlak diperlukan agar nilai luhur tetap terpancar, sebagai wujud daripada penegak keadilan.Tanpa adanya pengawasan hakim dari suatu lembaga negara yang juga bersifat bebas dan mandiri, maka pengawasan tersebut niscaya tidak akan mampu untuk menjadikan hakim secara khusus serta lembaga yudikatif secara umum menjadi lebih baik, namun dapat saja kemudian membuat peradilan semakin bobrok. Bahkan, berkaitan dengan pentingnya fungsi pengawasan, maka Siagian (2001;259) menyatakan pendapatnya bahwa:

Secara konseptual dan filosofis, pentingnya pengawasan berangkat dari kenyataan bahwa manusia penyelenggara kegiatan operasional merupakan mahkluk yang tidak sempurna dan secara inheren memiliki keterbatasan, baik dalam arti interpretasi makna suatu rencana, kemampuan, pengetahuan maupun keterampilan. Artinya, dengan itikad yang paling baik, dedikasi dan loyalitas yang tinggi dan pengerahan kemampuan mental dan fisik sekalipun, para penyelenggara kegiatan operasional mungkin saja berbuat khilaf dan bahkan mungkin kesalahan. Kenyataan menunjukan bahwa tidak semua anggota organisasi yang selalu menampilkan prilaku demikian. Sengaja atau tidak, prilaku negatif ada kalanya muncul dan berpengaruh pada kinerja seseorang yang faktor-faktor penyebabnya pun beraneka ragam.Menghadapi kemungkinan demikianlah pengawasan mutlak perlu dilakukan.Setelah Amandemen UUD 1945 terkait dengan kekuasaan kehakiman, telah dibentuk suatu

lembaga negara yang bernama Komisi Yudisial, bertugas untuk menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat dan prilaku hakim. Dasar pemikiran yang lebih jelas,untuk dibentuknya sebuah Komisi Yudisial merupakan salah satu respon, terhadap tanggapan masyarakat terkait dengan bobroknya dunia peradilan di tanah air terutama hakim di dalam menegakan hukum dan keadilan yang menjadi sorotan utama terkait lembahnya peradilan. Berikut ini merupakan hasil amandemen 1945 terkait dengan dibentuknya Komisi Yudisial, yaitu.

Pasal 24B

1. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

2. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

4. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang(kursif penulis).

Page 5: Komisi Yudisial

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, telah ditentukan berkaitan dengan wewenang Komisi Yudisial yaitu.

a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;

b. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;c. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan

Mahkamah Agung; dand. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.Dengan demikian terkait dengan pengusulan pengangkatan hakim agung, maka Komisi

Yudisial yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyeleksian, kemudian hasil dari seleksi tersebut diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk disetujui dan kemudian selanjutnya untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Hanya saja dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2009 dan Pasal 18 ayat (4) UU No. 18 Tahun 2011 yang pada garis besarnya menyatakan bahwa Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan. Padahal jika kita lihat kembali dalam ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden” (kursif penulis). Jika demikian, maka penulis cenderung berpendapat kata dipilih dengan persetujuan tentunya memiliki arti yang berbeda. Kata dipilih tentunya menyatakan jumlah, yang dalam hal ini tentunya lebih mengacu pada kuantitas, sedangkan kata persetujuan menurut penulis adalah suatu pernyataan berupa kehendak yang terlepas daripada jumlah (kuantitas) melainkan lebih mengacu pada kualitas, yang berarti bisa menyetujui ataupun tidak menyetujui. Dengan demikian, kesimpulan yang kemudian penulis dapatkan terkait masalah ini adalah jika kita berpedoman kepada ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 tentunya kata persetujuan tersebut harusnya dimaknai, bahwa suatu pernyataan yang memberikan dua pilihan yaitu antara setuju atau tidak setuju. Namun, dalam UU No. 3 Tahun 2009 maupun dalam UU No. 18 Tahun 2011 ternyata kata persetujuan dirubah menjadi dipilih. Tentunya hal tersebut memiliki konsekuensi makna yang berbeda pula, dimana menurut pemahaman penulis misalnya terkait dengan adanya kata “persetujuan”, yang mana jika saja suatu saat terdapat kekosongan di MA terkait dengan hakim agung yang hanya diperlukan 1 orang saja, maka kemudian usul yang seharusnya disampaikan oleh Komisi Yudisial adalah hanyalah 1 orang untuk selanjutnya mendapatkan persetujuan dari DPR, apakah akan disetujui atau tidak. Sedangkan, jika kita menggunakan kata “dipilih”, maka jika membutuhkan 1 orang hakim agung misalnya, dapatlah kemudian mengajukan calon hakim agung lebih daripada 1 calon yang dibutuhkan, kemudian selanjutnya KY mengajukannya ke DPR untuk dipilih salah satu daripada calon hakim agung untuk mengisi kekosongan di MA tersebut.

Mengenai pengawasan terhadap hakim yang dalam kenyataannya duduk di lembaga negara yang bersifat merdeka atau independen dari kekuasaan lainnya sebagaimana dimaksud di atas, maka untuk melaksanakan kekuasaannya telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 24B ayat (1)

Page 6: Komisi Yudisial

UUD 1945. Ternyata walaupun telah ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, namun ternyata kemerdekaan tersebut belum tentu dapat memberikan jaminan untuk tegaknya hukum dan keadilan. Yang menjadi berbahaya adalah dengan dalih kemerdekaan untuk menyelenggarakan peradilan, oknum hakim yang tidak memiliki tanggung jawab dapat saja dengan bebas kemudian melakukan tindakan yang pada dasarnya sifatnya bertentangan terutama dengan prinsip-prinsip negara hukum. Oleh karena itu, hakim-hakim perlu dijaga agar prilakunya tidak menyebabkan keluhuran, dan kehormatan, serta martabat hakim jatuh di depan mata para pencari keadilan.Ini membuktikan bahwa jabatan hakim agung, merupakan suatu jabatan yang sifatnya terhormat, yang kemudian wajib untuk dijaga agar tetap bermartabat, yang untuk kesehariannya tercermin dalam bentuk prilaku hakim, bertujuan untuk menegakan hukum serta mencapai keadilan dan kebenaran, yang kemudian dapat pula menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat di sekitarnya. Sedangkan Moekri (2007;54) memberikan arti terhadap kata menjaga dan menegakan, bahwa kata “menjaga” diwujudkan dalam bentuk pengawasan. Kata “menegakan” diwujudkan dalam bentuk pendisiplinan atau pemberian sanksi disiplin. Dengan konsep yang demikian, menurut Saifullah (2007;110) bahwa konsepsi ini setidaknya dapat memelihara dan mengawetkan moralitas dari kontaminasi eksternal. Jika campur tangan datang dari pihak luar terhadap dunia peradilan, dapat berpotensi menjatuhkan hukum dan keadilan, serta dapat pula menyebabkan kurangnya kepecayaan masyarakat dalam mencari keadilan ke pengadilan. Untuk itu, diperlukan seperangkat aturan, baik yang berbentuk etika bahkan aturan hukum yang menimbulkan sanksi yang bersifat memaksa bila dilanggar kemudian. Sesuai dengan pernyataan tersebut di atas, bahwa untuk sekarang telah diatur pengusulan penjatuhan sanksi dari Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung, bila ada hakim yang terbukti melanggar Kode Etik dan/atau Pedoman Prilaku Hakim, yang mana telah diatur dengan jelas dalam ketentuan Pasal 22D ayat (3) UU No. 18 Tahun 2011. Dalam pada itu, “Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi terhadap Hakim yang melakukan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal usulan diterima”. Penjatuhan sanksi oleh Mahkamah Agung akan dilakukan secara otomatis, tentunya jika tidak ada perbedaan pendapat terkait dengan penjatuhan sanksi antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Namun, dalam UU No. 22E ayat (1) UU No. 18 Tahun 2011 memberikan solusi, misalnya jika ada perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial berkaitan dengan penjatuhan sanksi. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Dalam hal Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (3) tidak mencapai kata sepakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka usulan Komisi Yudisial sepanjang memenuhi ketentuan dalam Pasal 22B ayat (1) huruf a, berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan oleh Mahkamah Agung”. Kata sepakat sebagamana dimaksud dalam ayat (2) dimaksud adalah berkenaan dengan terjadi perbedaan pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengenai usulan Komisi Yudisial tentang penjatuhan sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat. Dalam Pasal 22D ayat (2) telah ditentukan jenis-jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap hakim yang melanggar Kode Etik dan/ Pedoman Prilaku Hakim. Misalnya dalam bentuk sanksi ringan terdiri atas; (a) teguran lisan; (b) teguran tertulis; atau (c) pernyataan

Page 7: Komisi Yudisial

tidak puas secara tertulis. Sanksi yang bersifat sedang terdiri atas; (a) penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun; (b) penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun; (c) penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu ) tahun; atau (d) hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan. Untuk sanksi yang sifatnya beratnya terdiri atas; (a) pembebasan dari jabatan struktural; (b) hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua) tahun; (c) pemberhentian sementara; (d) pemberhentian tetap dengan hak pensiun; atau (e) pemberhentian tetap tidak dengan hormat. Terkait dengan penjatuhan sanksi, secara otomatis berjalan walaupun Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tidak mendapat kesepakatan bersama, hal tersebut dikarenakan sudah memenuhi syarat bahwa hakim yang bersangkutan telah terbukti melanggar Kode Etik dan/atau Pedoman Prilaku Hakim. Pemeriksaan dilakukan secara bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, pemeriksaan bersama dapatlah dikecualikan bilamana kemudian sanksi yang hendak dijatuhkan adalah pemberhentian tetap dan pemberhentian tetap dengan tidak hormat. Terkait dengan pengecualian pemeriksaan yang menyangkut pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Prilaku Hakim yang mengarah pada penjatuhan sanksi pemberhentian tetap dan pemberhentian tidak tetap, dikarenakan selain dari kedua sanksi itu pemeriksaan dilakukan bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Pernyataan tersebut dilontarkan dikarenakan bahwa dalam ketentuan Pasal 22F ayat (1) UU No. 18 Tahun 2011, kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pelanggaran terhadap Kode Etik dan/atau Pedoman Etik sebagaimana dimaksud di atas diberikan kepada Komisi Yudisial. Tidak lain, dikarenakan sanksi yang diancamkan kepada hakim yang melanggar Kode Etik dan/atau Pedoman Prilaku Hakim adalah tergolong sanksi yang sangat berat yakni, pemberhentian tetap dan pemberhentian tetap dengan tidak hormat. Yang kemudian menjadi dasar pemikiran tersebut yaitu tentunya akan lebih baik jika Komisi Yudisial sebagai lembaga eksternal yang kedudukannya berada di luar struktural kekuasaan kehakiman untuk memberikan kewenangan sebagai pemeriksa terhadap pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Prilaku Hakim. Adanya ketentuan tersebut akan mampu untuk menghindari rasa segan terhadap sesama hakim, yang tentunya sama-sama masih dalam satu institusi. Tetapi jika kita lihat ketentuan selanjutnya dalam ketentuan Pasal 22F ayat (3) UU No. 18 Tahun 2011, ternyata Mahkamah Agung pun memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Prilaku Hakim terkait menimbulkan sanksi yang digolongkan berat seperti pemberhentian tetap dan pemberhentian tetap dengan tidak hormat. Dengan demikian, kesimpulan yang diambil darti sini adalah pemeriksaan yang dilakukan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial adalah terpisah. Tentunya adanya pernyataan tersebut tidak lain bertujuan untuk memberikan hasil yang lebih objektif, sehingga dapatlah kemudian mengurangi unsur-unsur yang sifatnya politis, dikarenakan adanya perbedaan pendapat di antara dua institusi, yang sama-sama berbeda dalam melakukan pemeriksaan. Namun, untuk memutuskan apakah dugaan pelanggaran Kode Etik dan/ Pedoman Prilaku Hakim terbukti atau tidak sebagaimana dimaksud di atas, Komisi Yudisial ternyata tidaklah dapat melakukannya, bahkan Mahkamah Agung pun tidak memiliki kewenangan dalam hal ini. Kewenangan untuk memutuskan daripada hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang dilakukan secara terpisah akan diuji kembali objektivitasnya dalam sebuah Majelis Kehormatan Hakim. Majelis

Page 8: Komisi Yudisial

Kehormatan Hakim adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang bertugas memeriksa dan memutus, adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Dalam ketentuan Pasal 22F ayat (3) UU No. 18 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa : “Majelis Kehormatan Hakim memeriksa dan memutus adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang diusulkan oleh Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal usulan diterima”. Majelis Kehormatan Hakim terdiri atas 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial dan 3 (tiga) orang hakim agung (lihat Pasal 22F ayat (2) UU No.18 Tahun 2011). Dengan komposisi keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim yang demikian, tentunya Komisi Yudisial memiliki kedudukan yang lebih menguntungkan terutama secara politis jika dibandingkan dengan kedudukan Mahkamah Agung. Dikarenakan suatu saat apabila terjadi permusyawaratan yang kemudian berujung tidak tercapai kata mufakat, atau dengan kata lain terjadi perbedaan pendapat dalam memeriksa dan memutuskan kasus tersebut oleh Majelis Kehormatan Hakim, maka akan dilakukan pemungutan suara untuk memutuskannya. Dikatakan KY memiliki keuntungan tidak lain dikarenakan bahwa secara politis dalam Majelis Kehormatan Hakim yang di dalamnya terbentuk dari gabungan dua lembaga negara (KY dan MA) yang bersifat sementara, bahkan memang secara khusus mengisi keanggotaannya yang tentunya membawa berbagai perbedaan baik visi maupun misi, terutama jika dilihat daripada kepentingan yang diwakilinya. Jika saja kemudian dalam kenyataannya terjadi perbedaan pendapat terutama berkaitan dengan pemeriksaan maupun untuk memutuskan dalam Majelis Kehormatan Hakim tersebut, sehingga permusyawaratan tidak mungkin tercapai maka keputusan akan diambil kemudian dengan suara terbanyak (voting), yang mana tentunya dengan jumlah anggota Komisi Yudisial lebih banyak dalam Majelis Kehormatan Hakim akan membawa keuntungan tersendiri. Hal ini sangat jelas diatur dalam ketentuan Pasal 22F ayat (4) UU No. 18 Tahun 2011, bahwa: “Keputusan Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara musyawarah dan mufakat dan apabila tidak tercapai keputusan diambil melalui suara terbanyak” (kursif penulis). Keputusan dari Majelis Kehormatan Hakim adalah keputusan yang bersifat final dan mengikat yang tentunya wajib untuk dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, dengan diberikan batas tenggang waktu sampai 30 hari harus dilaksanakan, terhitung sejak diputuskan oleh Majelis Kehormatan Hakim.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Dengan demikian kebebasan Hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi ia dibatasi oleh rambu-rambu berikut, akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi pengawasan (kontrol) (Lotulung,2003;8). Tanpa adanya rambu-rambu yang jelas bagi hakim dalam menegakan hukum dan keadilan, yang terjadi adalah tindakan arogansi pengadilan yang tercermin dalam putusan hakim, yang tentunya berpotensi untuk menindas hak asasi manusia karena memang sejatinya merupakan suatu tugas hakim untuk melindunginya.

Oleh karena itu kedudukan Komisi Yudisial ini ditentukan dalam UUD 1945, sebagai lembaga negara yang mandiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat dan prilaku hakim. Oleh karena itu, menurut

Page 9: Komisi Yudisial

Erwiningsih (2004;140) bahwa sistem politik yang demokratis menuntut suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka yang tentunya juga memiliki kualitas dan pengawasan yang baik. Walaupun lembaga yudikatif dalam hal ini adalah MA yang memiliki sistem pengawasan dari dalam terhadap hakim-hakim, namun tentunya tidak akan lebih efektif, jika dilakukan pengawasan oleh lembaga eksternal, yang tentunya terpisah dari yang diawasi oleh lembaga pengawasnya, terkait dengan struktur organisasinya. Untuk maksimalnya pengawasan terhadap perilaku hakim, guna mencegah penyalahgunaan wewenangnya, maka diperlukan lembaga yang tersendiri serta bersifat mandiri, agar pengawasan dapat dilakukan dengan efektif. Bahwa terbukti hanya dengan pengawasan internal tidak cukup untuk melakukan pengawasan terhadap hakim. Oleh karena itu, perlu diadakan lembaga negara yang bernama Komisi Yudisial.

Selanjutnya peranan Komisi Yudisial melakukan pengawasan perilaku hakim dapat dilakukan secara mandiri, karena tidak mempunyai hubungan administrasi, struktural, kolega maupun secara psikologis yang selama ini menjadi hambatan di dalam dalam melaksanakan pengawasan di dalam instansi atau lembaga sendiri. Hal ini tidak hanya dialami di Indonesia tetapi di negara-negara asing seperti Amerika dan Australia (Azhar,2005;22). Sehingga, kekuasaan kehakiman sebagai cermin dari negara hukum, yang merupakan salah satu wujud daripada kedaulatan rakyat benar-benar dapat berdaulat serta dapat menentukan dalam mengambil keputusan, tentunya keputusan yang diambil mencerminkan rasa keadilan masyarakat pada umumnya, pencari keadilan pada khususnya. Untuk itu diperlukan kerangka yang jelas bagi Komisi Yudisial dalam menjalankan kewenangannya, yaitu untuk menjaga dan menegakan kehormatan hakim sehingga mampu menciptakan peradilan terpecaya dan modern. Untuk sekarang dalam melaksanakan tugasnya, baik Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial telah memiliki pijakan yang jelas dalam kerangka norma sebagai pedoman untuk menjaga dan menegakan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Kerangka pedoman sebagaimana dimaksud di atas adalah sesuai dengan norma dan peraturan perundang-undangan, selain itu juga harus berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman Prilaku Hakim yang menjadi dasar dalam melakukan tugasnya. Dalam Pasal 1 ayat (6) UU No. 18 Tahun 2011 menyatakan bahwa “Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim adalah panduan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim dalam menjalankan tugas profesinya dan dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan”. Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. “Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim diperiksa oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial” (Pasal 43 UU No. 48 Tahun 2009). Dengan demikian, jika hakim yang telah diduga telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan Kode Etik dan/atau Pedoman Prilaku Hakim, maka dalam hal ini dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial. Adanya kata “dan/atau” menunjukan, bahwa dapat saja kemudian hakim yang diduga telah melanggar Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim periksa oleh kedua lembaga tersebut, yakni Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Sedangkan sesuai dengan norma tersebut dapat juga dalam melakukan pemeriksaan tersebut, dapat dilakukan sendirian atau terpisah sebagaimana dimaksud di atas, yaitu Mahkamah Agung atau

Page 10: Komisi Yudisial

Komisi Yudisial, hal mana adalah tergantung dari kebutuhan dan ketentuan yang diatur kemudian dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2011 berkaitan dengan tugas Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakan kehormatan hakim, ditentukan bahwa.

1. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim;b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik

dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan

pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;d. Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau

Pedoman Perilaku Hakim; dane. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan,

kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Hakim(kursif penulis).

Oleh karena beratnya tugas yang diemban oleh sebuah lembaga yang bernama Komisi Yudisial, sehingga untuk itu diperlukan orang-orang yang benar-benar serta mampu memiliki komitmen untuk menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim. Bahkan, dalam Pasal 26 huruf f UU No. 18 Tahun 2011 berkaitan untuk dapat diangkat sebagai anggota Komisi Yudisial yaitu hanya orang yang “berkomitmen untuk memperbaiki sistem peradilan di Indonesia”. Ini membuktikan bahwa peradilan di Indonesia masih harus diperbaiki terus menerus, namun pekerjaan ini bukanlah sesuatu yang mudah begitu saja seperti membalikan telapak tangan. Tanpa adanya komitmen yang kuat, maka niscaya akan banyak kesulitan yang kemudian akan ditemui, hal ini tidak lain dikarenakan untuk mengawasi suatu perilaku hakim yang dalam melaksanakan tugasnya telah ditentukan merdeka dan tidak boleh di intervensi, menjadikan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang, tentunya akan selalu berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Tujuannya agar jangan sampai kemudian pengawasan yang dilakukan oleh KY ternyata memasuki ranah yudikatif, dan pada akhirnya dikatakan bahwa KY telah melakukan campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka dari campur tangan dari luar termasuk KY. Walaupun untuk sekarang Komisi Yudisial dalam melakukan tugasnya terutama untuk rangka menjaga dan menegakan kehormatan hakim dapat menganalisis putusan hakim. Hal ini sangat jelas dinyatakan dalam ketentuan Pasal 42 UU No. 18 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa “Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim”. Dengan demikian, kewenangan Komisi Yudisial dalam menganalisis putusan hakim, hanyalah sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi terhadap hakim, bukan untuk memberikan sanksi. Hal ini tidak lain didasari bahwa putusan yang diambil oleh hakim adalah bebas, yang mana adalah sesuai dengan sifat daripada kemerdekaan hakim, di

Page 11: Komisi Yudisial

dalam menjalankan tugas. Jadi, jika Komisi Yudisial dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga dan menegakan keluhuran, martabat serta perilaku hakim, melakukan analisis terhadap putusan hakim, maka dapat dikatakan bahwa Komisi Yudisial telah memasuki ranah kekuasaan yudikatif. Kewenangan untuk mengalisis putusan peradilan hanya boleh dilakukan oleh badan peradilan yang lebih tinggi, dalam membatalkan putusan peradilan yang ada di bawahnya. Untuk itulah tugas yang diemban oleh Komisi Yudisial semakin berat, dalam kaitannya untuk menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim. Terutama dalam hal ini adalah untuk mengalisis kualitas daripada putusan-putusan hakim dalam rangka menentukan dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim. Dengan demikian, tentunya diperlukan orang-orang yang benar-benar mampu dalam menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Dalam UUD 1945 tepatnya ketentuan Pasal 24B ayat (2) telah ditentukan dengan jelas untuk menjadi anggota KY tentunya harus mempunyai pengalaman di bidang hukum, di samping itu juga harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Sehingga, nantinya untuk menjaga keluhuran, kehormatan martabat, serta prilaku hakim harus dilakukan oleh orang yang benar-benar memiliki integritas, serta kepribadiannya tidak tercela. Ketentuan yang sama kemudian dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 26 huruf g UU No. 18 Tahun 2011 bahwa calon anggota Komisi Yudisial harus “memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela”. Sebab jika orang-orang yang tidak memiliki integritas dan kepribadian tercela menjadi pengawas untuk menjaga dan menegakan keluhuran, kehormatan martabat serta prilaku hakim, yang terjadi adalah tindakan yang dapat saja membuat peradilan menjadi semakin tidak baik. Dengan kata lain, bukan menjaga yang dilakukan namun perbuatan yang malah dapat menjatuhkan serta melecehkan keluhuran, kehormatan martabat hakim, hal mana tentunya bertentangan dengan tugas yang seharusnya dijalankannya. Sehingga perlulah kemudian Komisi Yudisial, sadar akan hak dan kewajibannya untuk dapat menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat dan prilaku hakim. Bahkan dalam Pasal 20A huruf a dan d UU No. 18 Tahun 2011 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Komisi Yudisial wajib (a) “menaati peraturan perundang-undangan”, (d) “menjaga kemandirian dan kebebasan Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara”. Berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial, diberikan kepada Presiden oleh UUD 1945, namun perlulah kemudian mendapatkan persetujuan dari DPR. Adanya ketentuan tersebut tidak lain agar dalam melakukan tugasnya Komisi Yudisial benar-benar independen/mandiri sehingga tidaklah dapat dipengaruhi oleh kekuasaan yang datang dari luar. Terutama oleh kekuatan politik yang ingin menekan kekuasaan kahakiman, dengan jalan mengawasi dan menegakan, yang hanya sebenarnya bertujuan untuk menjatuhkan dan melecehkannya. Oleh karena itu, sebaiknya KY lebih dekat dengan kekuasaan kehakiman, bukannya dengan lembaga eksekutif maupun legislatif yang berpotensi menjadikan KY sebagai alat politik dari kedua lembaga negara tersebut untuk menindas hakim dalam menjalankan tugasnya. Sehingga berpotensi memandulkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menjalankan tugasnya untuk menegakan hukum yang pada akhirnya dapat menciptakan keadilan. Dengan keterlibatan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian hakim diharapkan nantinya KY benar-benar independen dalam melaksanakan tugasnya, sehingga secara tidak

Page 12: Komisi Yudisial

langsung KY juga merupakan salah satu lembaga negara yang merupakan pelaksana kedaulatan rakyat tidak dapat diberhentikan seenaknya oleh Presiden tanpa mendapat persetujuan daripada DPR.

Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia dimaksudkan agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim atau boleh dikatakan keberadaan Komisi Yudisial ini sebagai pengontrol atau pengawasan terhadap hakim, disamping berfungsi untuk merekrut hakim agung (Harun,2008;34). Institusi pengawasan yang dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung, memberikan ruang penyerapan aspirasi masyarakat di luar struktur resmi untuk dapat terlibat dalam proses pengangkatan para hakim agung serta dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran etika (ICC UIN,2010;74). Oleh sebab itu, sebagai sebuah lembaga negara maka kedudukan KY tidaklah berada di bawah MA maupun MK, tetapi tugas dan wewenangnya tetaplah bersifat penunjang bagi kekuasaan kehakiman. Argama (2006;21) pun kemudian berpendapat sama tentang kedudukan KY yaitu sebuah lembaga negara bantu (state auxiliary institutions) yang memiliki fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim. Namun, meskipun sebagai lembaga penunjang, jika dilihat bahwa KY merupakan lembaga yang mandiri dalam melaksanakan tugasnya, maka dapat dikatakan KY memiliki peranan yang sangat strategis untuk tegaknya keluhuran, kehormatan martabat serta perilaku hakim yang pada akhirnya bermuara pada tegaknya hukum dan keadilan.

Terkait dengan pengaturan KY, kedua versi ketentuan tersebut yaitu UUD 1945 dan versi UU tentang Komisi Yudisial, memang jelas satu sama lain berbeda. Pertama, dalam undang-undang, “Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Padahal, dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dinyatakan, “Komisi Yudisial … berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung ….”. Kedua, dalam undang-undang dinyatakan, “Komisi Yudisial mempunyai wewenang menegakan kehormatan dan keluhuran martabat hakim serta menjaga prilaku hakim”. Sedangkan, dalam UUD 1945 menyatakan, “Komisi Yudisial …mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Asshiddiqie,2006;193).

Dari segi pertama, Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 memang menentukan bahwa Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung. Dalam ketentuan konstitusi itu, tidak dibatasi dan juga ditentukan bagaimana dan ke mana usul tersebut disampaikan oleh Komisi Yudisial (Asshiddiqie,2006;194). Namun, menurut pendapat penulis, kuranglah tepat apa yang telah dinyatakan oleh Asshiddiqie, hal mana dikarenakan dalam ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945yang menyatakan bahwa “Calon hakim agung diusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Jadi walaupun dalam ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak dinyatakan kemana arah untuk mengajukan calon hakim agung, namun dapat ditemukan kembali dalam ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 dan kemudian dijabarkan kembali dalam bentuk peraturan yang lebih rendah yaitu UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terutama dalam ketentuan Pasal 13. Artinya disini bahwa ketentuan terakhir berada di tangan Dewan

Page 13: Komisi Yudisial

Perwakilan Rakyat dalam hal pengangkatan hakim agung, yang dikarenakan posisi Komisi Yudisial hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung bukan mengangkat hakim agung. Pernyataan berkaitan dengan jumlah calon hakim agung yang diusulkan oleh KY ke DPR memang tidak ditentukan, namun untuk diangkat maka diperlukan persetujuan dari DPR, yang berarti tergantung daripada kebutuhan jumlah yang diperlukan kemudian barulah diusulkan oleh KY untuk mendapatkan persetujuan dari DPR, yang tentunya dalam hal ini perlu diatur kembali dalam undang-undang.

Cabang kekuasaan kehakiman sebagai pilar ketiga negara demokrasi yang berdasar atas hukum (principle of constitutional democracy) yang tercermin dalam kekuasaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan, Komisi Yudisial berfungsi sebagai penjaga dan penegak kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Demokrasi perlu diimbangi dengan rule of law, dan berkembang efektifnya rule of law dan bahkan rule of just law sangat tergantung kepada keterpercayaan aparatur penegak hukum, khususnya para hakim. Karena itu, kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan dalam sistem demokrasi konstitusional (Asshiddiqie,2006).

Komisi yudisial bukan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman seperti MA dan MK, melainkan hanya sebagai lembaga yang menunjang terhadap pelaksanaan tugas kekuasaan kehakiman atau dapat disebut sebagai supporting institution. Akan tetapi di sini, dapatlah ditegaskan bahwa sebagai lembaga pengawas eksternal kedudukan, KY bukan supporting melainkan dapat juga disebut sebagai main institution.

BIODATA PENULIS

I Gusti Ngurah Santika S.Pd, lahir di Yeha 1 Agustus 1988. Anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan I Gusti Ngurah Oka dan I Desak Ayu Putu. Menyelesaikan pendidikan

Page 14: Komisi Yudisial

dasar di SDN 1 Peringsari (1996-2002) kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Selat (2002-2005) dan pendidikan menengah di SMAN 1 Selat (2005-2008) kemudian pada peruguruan tinggi (2009-2012). Setelah menyelesaikan pendidikan SMA kemudian bekerja sebagai security pada PT Arkadena sampai januari 2012. Pada saat yang bersamaan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi sambil bekerja, akhirnya lulus dengan predikat cumlaude. Kemudian untuk sekarang ini penulis belum bekerja, namun sedang melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Pendas di Undhiksa.

Pengalaman penulis selama mengikuti pendidikan di perguruan tinggi adalah sebagai nara sumber dalam temuwicara menyambut bulan Bung Karno yang diselenggarakan Gor Kapten Sujana (Lapangan Buyung) Kota Denpasar (2012). Nara sumber dalam seminar alumni FKIP Universitas Dwijendra (2012), Mahasiswa berprestasi Prodi PKn, sebagai salah satu pemenang karya ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Dikti. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti seminar-seminar yang berhubungan dengan bidang studi yang di dalami. Berkaitan dengan kritik dan saran terhadap tulisan sebelumnya, dapat disampaikan langsung kepada penulis dengan menghubungi alamat maupun no hp yang ada di bawah ini.

Alamat rumah : Banjar Dinas Padang Aji Tengah, Peringsari, Selat Karangasem. No. Hp : 085237832582/085738693121.