Komisi Yudisial

29
POLEMIK LEGITIMASI KOMISI YUDISIAL A. Pendahuluan Ibarat musuh bebuyutan laksana air dan minyak, ‘perseteruan’ Komisi Yudisial (KY) dengan Mahkamah Agung (MA) sampai saat ini belum juga menemukan titik terang perdamaian. Belum ada satu pun rekomendasi dari Komisi Yudisial selama 11 bulan pertama usianya yang diikuti oleh Mahkamah Agung. Bahkan, rekomendasi yang seharusnya bersifat mengikat pun, yaitu teguran tertulis, tetap tidak dihiraukan. Komisi Yudisial memanfaatkan momentum itu dengan gencar memeriksa hakim termasuk hakim agung. Rekomendasi kian banyak ditelurkan, meski kadang mendapat protes dari para hakim karena dianggap mencampuri wilayah mereka. Mereka merasa independensinya selaku pelaksana kekuasaan kehakiman terganggu. Hakim dikabarkan menjadi takut memutus perkara. Konflik MA-Komisi Yudisial menjadi terbuka ketika pers membocorkan nama-nama hakim agung yang dilaporkan masyarakat sebagai hakim bermasalah. Kasus itu dibawa ke polisi dan berbuntut pada permintaan uji materi UU Komisi Yudisial oleh 31

Transcript of Komisi Yudisial

Page 1: Komisi Yudisial

POLEMIK LEGITIMASI KOMISI YUDISIAL

A. Pendahuluan

Ibarat musuh bebuyutan laksana air dan minyak, ‘perseteruan’

Komisi Yudisial (KY) dengan Mahkamah Agung (MA) sampai saat ini belum

juga menemukan titik terang perdamaian. Belum ada satu pun rekomendasi

dari Komisi Yudisial selama 11 bulan pertama usianya yang diikuti oleh

Mahkamah Agung. Bahkan, rekomendasi yang seharusnya bersifat mengikat

pun, yaitu teguran tertulis, tetap tidak dihiraukan.

Komisi Yudisial memanfaatkan momentum itu dengan gencar

memeriksa hakim termasuk hakim agung. Rekomendasi kian banyak

ditelurkan, meski kadang mendapat protes dari para hakim karena dianggap

mencampuri wilayah mereka. Mereka merasa independensinya selaku

pelaksana kekuasaan kehakiman terganggu. Hakim dikabarkan menjadi takut

memutus perkara.

Konflik MA-Komisi Yudisial menjadi terbuka ketika pers

membocorkan nama-nama hakim agung yang dilaporkan masyarakat sebagai

hakim bermasalah. Kasus itu dibawa ke polisi dan berbuntut pada permintaan

uji materi UU Komisi Yudisial oleh 31 hakim agung. Intinya permintaan uji

materi tersebut adalah keengganan hakim agung diawasi Komisi Yudisial.

Mereka gerah karena merasa diintervensi.

Di saat perseteruan itu terlanjut, muncul putusan Mahkamah

Konstitusi (MK) yang membatalkan beberapa kewenangan Komisi Yudisial.

Banyak kalangan berpendapat, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

005/PUU-IV/2006 itu menjadi anti klimaks bagi KY untuk melanjutkan

pertarungan. Atau kalau diibaratkan pertandingan tinju paling tidak putusan

tersebut menjadi pukulan yang sangat telak pada titik pertahanan hingga saat

ini KY sempat sempoyongan dan terpaksa meminta perpanjangan waktu untuk

dapat melanjutkan ronde berikutnya.

Page 2: Komisi Yudisial

2

Betapa tidak putusan MK sungguh di luar dugaan. Awalnya, KY

punya dua kewenangan. Pertama, mengusulkan pengangkatan Hakim Agung

kepada DPR. Kedua, menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta

menjaga perilaku hakim. Namun, setelah putusan MK beberapa waktu lalu,

praktis KY hanya dapat menjalankan fungsi yang pertama. Padahal

kewenangan kedua itulah yang menjadi langkah awal bagi KY untuk memulai

kiprahnya.

B. Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial

Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis

Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan

pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan

atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan,

pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut

tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana

yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim,

yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri

agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan

profesional dapat tercapai.

Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan

MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan

penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di

dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan

hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor

Page 3: Komisi Yudisial

3

22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal

13 Agustus 2004.

Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang

ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui

Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2

Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah

dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.

C. Tujuan KY

Kiranya perlu dipahami bahwa pembentukan KY selain bermaksud

menciptakan sebuah lembaga pengawas dalam kekuasaan yudikatif agar

tercipta proses check and balances, juga bermakna untuk menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, seperti

ditekankan pada Pasal 24B ayat (1) UUD. Di sejumlah negara, keberadaan

komisi semacam ini sudah merupakan hal yang jamak dan dibutuhkan,

meskipun berbeda pada pelaksanaan fungsi dan perannya.

Di Afrika Selatan misalnya, KY memberikan rekomendasi untuk

pemberhentian hakim, mengajukan calon ketua MA, dan memberikan

masukan dalam pengangkatan ketua/wakil ketua MK. Di negara-negara Eropa

Selatan seperti Perancis, Italia, dan Spanyol, kewenangan komisi ini jauh lebih

signifikan karena memiliki kewenangan dalam rekrutmen hakim, mutasi,

promosi, pengawasan dan pendisiplinan hakim.

Kekuasaan Kehakiman yang mandiri dalam rangka mewujudkan

keadilan melalui penegakan hukum di Indonesia, merupakan salah satu

harapan dalam cita – cita bangsa. Namun dalam perkembangannya upaya

tersebut gagal dikarenakan tindakan para mafia peradilan.

Kejahatan korupsi-suap yang telah membudaya dan mengakar hampir

ke semua bidang kehidupan, mengakibatkan Lembaga Peradilan yang

merupakan benteng terakhir bagi pencari keadilan pun menjadi pelindung atau

Page 4: Komisi Yudisial

4

pelaku praktek kotor ini, tindakan mafia peradilan dalam bentuk suap terhadap

oknum – oknum hakim ini sangat bertentangan dengan prinsip negara hukum

dan konsep pemerintahan yang bersih. Akibat mafia peradilan tak jarang

dalam menangani perkara – perkara apapun oknum hakim sering mengabaikan

asas “equality before the law”.

Target utama kelompok mafia peradilan adalah putusan hakim, maka

hakim merupakan sasaran utamanya. Sebelum memangku jabatan, seorang

hakim harus bersumpah atau berjanji menurut agamanya sesuai Pasal 30 UU

Kekuasaan Kehakiman. Meskipun sumpah dan janji yang begitu indah untaian

kata – katanya, tetapi alangkah disayangkan apabila itu diingkari. Selama ini

pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sesuai

Pasal 32 UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA. Tumbuh suburnya mafia

peradilan itu menandakan pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung

itu gagal, sehingga atas dasar itu dibentuklah Komisi Yudisial (KY)

berdasarkan Pasal 24B UUD RI 2945, di mana memiliki kewenangan atribusi

yakni pengangkatan Hakim Agung dan pengawasan dalam rangka menjaga

dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Sementara, dalam situs resmi Komisi Yudisial, disebutkan tujuan

dibentuknya lembaga tersebut, yaitu:

1. Agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur

masyarakat.

2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman baik yang

menyangkut rekrutmen hakim agung maupun monitoring perilaku hakim.

3. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena

senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar

independen.

4. Menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan

kehakiman untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman.

Page 5: Komisi Yudisial

5

D. Dasar Hukum Dibentuknya Komisi Yudisial

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 24A ayat (3):

Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan

Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai

hakim agung oleh Presiden.

Pasal 24B:

(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam

rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran

martabat,serta perilaku hakim.

(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan

pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela.

(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden

dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan

undang-undang.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Pasal 34:

(1) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung

dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan undang-undang.

(3) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku

hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial

yang diatur dalam undang-undang.

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

E. Kritik terhadap Komisi Yudisial

Page 6: Komisi Yudisial

6

Sebagian kalangan menilai, Komisi Yudisial berperan besar

menciptakan resistensi dari Mahkamah Agung (MA) yang tidak

‘menghiraukan’ beberapa rekomendasi yang dikeluarkan KY. Ada dua

persoalan besar yang ditengarai beberapa pihak, yaitu salah dalam melakukan

pendekatan dan rekomendasi yang kebablasan. Keduanya bermuara pada tidak

adanya yurisdiksi dalam lingkup pengawasan di antara kedua lembaga.

Kritik terhadap pendekatan yang dilakukan Komisi Yudisial

diungkapkan Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Trimedya Panjaitan

(Fraksi PDI-P, Sumatera Utara II). Di awal keberadaannya, kata Trimedya,

Komisi Yudisial seharusnya menjalin komunikasi yang bagus dengan MA.

Namun ini tidak dilakukan, Komisi Yudisial justru buru-buru mengeluarkan

gagasan yang mendapat perlawanan MA, yaitu kocok ulang hakim agung.

Ide itu dikemukakan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas saat

menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rabu, 4 Januari 2006.

Gagasan itu dipicu tertangkapnya lima pegawai MA dalam kasus suap

Probosutedjo. Dalam pandangan Komisi Yudisial, kasus tersebut

menunjukkan betapa lemahnya kepemimpinan dan manajemen di MA. Demi

pembaruan peradilan, seleksi ulang terhadap 49 hakim agung yang ada saat itu

perlu dilakukan (Kompas, 5/1/2006).

Beberapa kalangan bahkan lebih ekstrem, menyebut Komisi Yudisial

lebih mirip dengan lembaga swadaya masyarakat. Pendekatan yang digunakan

Komisi Yudisial cenderung mirip dengan pendekatan LSM, bukan pendekatan

sebuah lembaga negara. Sebagaimana dilakukan LSM, penggalangan pendapat

umum melalui media massa menjadi sebuah model perjuangan.

Praktisi hukum di Yogyakarta Kamal Firdaus dalam sebuah

kesempatan mengemukakan, diabaikannya rekomendasi Komisi Yudisial bisa

membuat komisi baru yang lahir dari rahim Perubahan UUD 1945 ini hanya

punya legalitas, tapi tak punya legitimasi (Kompas, 14/6).

Menanggapi kritik yang masuk, anggota Komisi Yudisial Soekotjo

Soeparto tetap tenang. Banyak jalan menuju ke Roma, demikian kilah anggota

Komisi Yudisial Soekotjo Soeparto. Bagi dia, pendekatan hanya bagian dari

Page 7: Komisi Yudisial

7

proses secara keseluruhan. Yang terpenting dari semua proses tersebut adalah

keluaran yang dihasilkan. Resistensi MA tidak ada kaitannya dengan

pendekatan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. “Itu soal lain,” kata

Soekotjo.

Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Denny Indrayana

sependapat jika selama ini model pendekatan yang digunakan Komisi Yudisial

lebih mirip LSM. Namun, di satu sisi, meniru kerja LSM tidak sepenuhnya

buruk. Dalam beberapa hal, kata Denny, Komisi Yudisial dapat mengadopsi

model kerja LSM seperti gaya kerja yang investigatif, tidak formal prosedural,

tak birokratis, dan sebagainya.

F. Dicabutnya Kewenangan Pengawasan Hakim Komisi Yudisial

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir beberapa

pasal yang tercantum dalam UU Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial

(KY) menunjukkan bahwa kewenangan pengawasan komisi itu ditiadakan.

Untuk itu, pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU 22/2004 itu dan

mempertegas fungsi pengawasan KY.

MK telah menganulir Pasal 13 huruf b UU 22/2004, yang berbunyi,

“Komisi Yudisial mempunyai wewenang menegakkan kehormatan dan

keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”.

Pakar hukum tata negara Prof HAS Natabaya mengatakan, MK telah

membatalkan kewenangan KY terkait penegakan kehormatan dan keluhuran

martabat serta menjaga perilaku hakim. Sehingga, kewenangan pengawasan

KY terhadap hakim ditiadakan.

Akibat dari putusan MK itu, ujarnya, KY tidak memiliki kewenangan

pengawasan terhadap para hakim. Sehingga, pemeriksaan yang dilakukan KY

selama ini terhadap para hakim dapat dipertanyakan keabsahannya.

“Pemeriksaan eksternal oleh KY tidak bisa berjalan, karena dasar

hukumnya tidak ada. Pemeriksaan akan menjadi sulit jika hanya dilakukan

Page 8: Komisi Yudisial

8

secara internal melalui Mahkamah Agung (MA), karena ditakutkan belum

cukup objektif dan transparan,” kata Natabaya kepada SP di Jakarta, Rabu

(5/5).

Mantan hakim konstitusi itu menyarankan, KY harus mendesak DPR

agar RUU tentang KY segera dibahas dan disahkan secepat mungkin. Hal ini

dimaksudkan agar kerja lembaga negara yang bersifat independen ini tidak

terbentur oleh ketiadaan dasar hukum.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hassanudin Makassar,

Sulawesi Selatan, Achmad Ali mengatakan, KY tetap berwenang memeriksa

para hakim, namun ada beberapa keterbatasan dalam menjalankan fungsi itu,

yang tidak boleh dilanggar oleh komisi tersebut.

“KY tetap bisa melakukan pengawasan sepanjang tidak

mengintervensi putusan pengadilan,” katanya. Dikatakan, KY masih berhak

memberikan rekomendasi putusan atau hukuman kepada MA mengenai hakim

yang melakukan perbuatan tercela setelah melakukan penyelidikan terlebih

dulu.

G. Komisi Yudisial Paska Dicabutnya Kewenangan Pengawasan Hakim

Komisi Yudisial (KY) memutuskan untuk tidak menerima lagi

pengaduan masyarakat berkaitan dengan pengawasan terhadap perilaku

hakim. KY hanya menindaklanjuti pengaduan yang sudah masuk dengan

melaporkannya ke Mahkamah Agung (MA), Presiden, dan DPR. Sayang, KY

terlalu emosi menanggapi putusan MK, padahal Pasal 22 ayat (1) huruf a UU

Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial yang mengatur bahwa KY dapat

menerima pengaduan masyarakat dan tidak dapat dibatalkan MK.

Meskipun pasal menerima pengaduan masyarakat ada kaitannya

dengan pasal-pasal pengawasan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat, tetapi kalau ada warga masyarakat yang mengadu ke KY

mestinya tetap dilayani. Apalagi konstitusi memberi kewenangan bagi KY

Page 9: Komisi Yudisial

9

untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta

perilaku hakim. Agar tidak terjadi kekosongan oleh para pencari keadilan yang

terzalimi oleh perilaku hakim, KY perlu tetap menerima pengaduan sambil

menunggu revisi UU KY, atau kalau Presiden berani mengeluarkan peraturan

pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).

Pertama, KY tidak berwenang mengawasi hakim MK, termasuk

hakim agung yang bukan hakim karier dan hakim ad hoc. MK secara arogan

telah mengabaikan prinsip check and balances yang menjadi roh bangunan

kelembagaan negara dengan tidak rela diawasi dan dijaga kehormatan dan

perilakunya oleh lembaga lain. Padahal, pengawasan dari dalam tidak

maksimal.

Keberadaan hakim konstitusi yang tidak termasuk dalam pengertian

hakim yang dapat diawasi perilaku etiknya oleh KY merupakan putusan

diskriminatif. Para hakim konstitusi tidak digolongkan sebagai hakim seperti

hakim MA dengan alasan demi independensi dalam memeriksa dan

menjatuhkan putusan. Saat ini, MK adalah lembaga negara yang paling steril

dari sentuhan pengawasan dari luar dirinya (pengawasan ekstern). Menurut

MK, pengawasan atas pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan

Majelis Kehormatan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU MK sebagai

pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945.

Kedua, KY tidak berwenang mengawasi hakim yang berkaitan

dengan teknis yudisial, yaitu mengenai putusan hakim atas suatu perkara.

Dalam pertimbangan hukumnya, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyiratkan

bahwa KY hanya dapat mengawasi pelaksanaan kode etik dan kode perilaku

hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim. MK

menilai, hal tersebut menyebabkan adanya penafsiran yang tidak tepat, bahwa

penilaian perilaku dilakukan dengan penilaian putusan.

Putusan MK yang mencabut pengawasan KY terhadap dirinya

merupakan tindakan yang arogan dan mengabaikan prinsip check and

balances. MK secara sistematis melemahkan fungsi dan peran KY dengan

cara "membonsai" kewenangan KY dalam mengawasi perilaku hakim. Praktek

Page 10: Komisi Yudisial

10

mafia peradilan diperkirakan akan semakin menjadi-jadi karena perilaku

hakim tidak lagi diawasi dan dikontrol oleh lembaga lain (KY), tetapi hanya

diawasi sendiri oleh temannya sesama hakim.

H. Sumber Masalah Dicabutnya Kewenangan Pengawasan Komisi Yudisial

1. Norma Kabur dan Konflik Norma.

Adapun kelemahan dari P asal 24B UUD RI 1945 terdapat norma

kabur (unclear norm), pada kata “hakim” dan “wewenang lain”.

Konsekuensi norma kabur dari Pasal 24B UUD RI 1945 tersebut

menimbulkan kesulitan dalam penerapan norma itu sendiri. Apabila dikaji

dengan metode interpretasi sistematis maka, menurut UU KY hakim

adalah “hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua

lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung” (tidak ada

MK karena sesuai putusan MK No. 5 Tahun 2006). Selain itu hakim

menurut Pasal 31 UU Kekuasaan Kehakiman, pejabat yang melaksanakan

tugas kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU. Pasal 24 ayat (2) UUD

RI Tahun 1945 dan Pasal 2 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan

“kekuasaan kehakiman dilakukan sebuah MA dan badan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah MK.”

Konsep “wewenang lain”, merupakan konsep kabur karena

definisinya mempunyai banyak pengertian. Dengan demikian, kewenangan

Komisi Yudisial sebagaimana terdapat dalam Pasal 24B UUD RI 1945

dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,

serta perilaku hakim bukan hanya pengawasan saja, tetapi dapat juga

diartikan sebagai tindakan-tindakan lain.

Selain kekaburan norma, terdapat antinomi (konflik norma

hukum), sehingga menimbulkan dualisme antara KY dan MA terhadap

pengawasan perilaku hakim. Menurut mantan Ketua MA, almarhum

Page 11: Komisi Yudisial

11

Purwoto S. Gandasubrata, pelaksanaan pengawasan MA (di luar fungsi

peradilan) di antaranya; tentang masalah teknis peradilan (yudisial),

perilaku hakim dan petugas kepaniteraan, serta tentang administrasi

peradilan.( Reksodiputro, 2006:54)

Dalam Buku Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung RI,

teknis yudisial adalah kemampuan menangani perkara, penyusunan berita

acara persidangan, pembuatan dan pengisian daftar kegiatan persidangan,

tenggang waktu penyelesaian perkara, penyelesaian minutasi, kualitas

putusan dan eksekusi. Administrasi peradilan yaitu prosedur penerimaan

perkara, tertib pemeriksaan buku keuangan perkara, tertib kearsipan

perkara, tertib pembuatan laporan perkara dan eksekusi putusan. Aspek

perilaku dibedakan menjadi perilaku dalam kedinasan dan di luar

kedinasan. Dalam kedinasan obyek yang diawasi antara lain kesetiaan,

ketaatan, prestasi kerja, tanggung jawab, kejujuran, kerjasama, prakarsa,

kepemimpinan. Aspek di luar kedinasan yaitu tertib keluarga dan

hubungan dengan masyarakat.( Widjojanto, 2006:122)

Seharusnya kewenangan dalam mengawasi perilaku hakim

merupakan kewenangan dari KY. Hal ini didasari oleh asas Lex Posterior

Derogat Legi Priori UU KY atas UU MA. Untuk itu MA hanyalah

mengawasi aspek teknis yudisial dan aspek administrasi peradilan. Selain

itu Bagir Manan menyatakan, “Mahkamah Agung secara eksplisit

menyatakan bahwa kewenangan pengawasan yang menjadi lingkup

otoritasnya adalah kewenangan di bidang teknis yudisial dan administratif

serta pengawasan atas sikap dan perilaku hakim di dalam dan di luar

pengadilan menjadi bagian dari otoritas Komisi Yudisial. (Bagir Manan,

2003:96).

2. Lembaga Negara

Kedudukan Komosi Yudisial (KY), secara akademik masih

menimbulkan kontroversi yang berkaitan dengan kedudukan KY sebagai

Page 12: Komisi Yudisial

12

lembaga negara. “Dalam putusan Mahkamah Konstitusi, No. 005/PUU-

IV/2006 pengaturan lembaga – lembaga dalam UUD 1945, tidaklah

dengan sendirinya mengakibatkan lembaga – lembaga negara yang

disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus

dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga

utama (main organs).

Menurut mantan Ketua MA RI, Bagir Manan, “KY hanyalah

auxiliary agency yang melakukan fungsi pengawasan kehakiman.” (Bagir

Manan, 2006). Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Komisi Yudisial

adalah “lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang –

Undang Dasar. Pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) dan mantan ketua

MA itu tidak sesuai dengan perubahan UUD 1945 yang menghapuskan

klasifikasi Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara. Setelah amandemen

UUD, tidak ada lagi hubungan antar lembaga negara yang bersifat

hierarkis.

Dalam putusan MK juga dinyatakan,”hubungan antara KY

sebagai supporting organ dan MA sebagai main organ dalam bidang

pengawasan perilaku hakim seharusnya dipahami sebagai hubungan

kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing.

Padahal, secara logika relasi kemitraan seharusnya mensyaratkan

adanya posisi yang sejajar. Sangatlah tidak mungkin suatu pengawasan itu

berjalan efektif ketika pengawas dan obyek yang diawasi memiliki

hubungan kemitraan. Dengan demikian, kedudukan antara KY, MA, dan

MK sejajar meskipun tanggung jawab, fungsi dan tugasnya Mahkamah

Agung lebih luas daripada Komisi Yudisial.

UUD RI 1945 mempertegas bahwa KY bagian dari kekuasaan

kehakiman. Hal ini dibuktikan dengan tercantumnya KY dalam Bab IX

UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun KY bukan sebagai

penyelenggara kekuasaan kehakiman. Sesuai Pasal 24 ayat (2) UUD RI

1945 dan Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman tepatnya Pasal 2 serta

Pasal 10 ayat (1).

Page 13: Komisi Yudisial

13

3. Makna ‘dalam rangka’

Masalah yang selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan

penggunaan ungkapan ‘dalam rangka’. Dengan adanya frase ‘dalam

rangka’ pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi

berpendapat bahwa sifat kewenangan lain Komisi Yudisial adalah

komplementer. Artinya, tugas menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, serta perilaku hakim itu bukan merupakan

kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh Komisi Yudisial saja.

Dalam hal ini Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi juga

mempunyai fungsi pengawasan yang meliputi pengawasan terhadap teknis

yudisial, pengawasan administratif, maupun pengawasan terhadap perilaku

hakim (Wikrama Waskitha, SPPRI 2006 (III) hlm. 141).

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa,

seandainya pun yang dimaksud sebagai kewenangan lain Komisi Yudisial

itu diartikan sepenuhnya sebagai pengawasan, maka hal itu pun hanyalah

sebagian saja dari ruang lingkup pengawasan, yakni yang menyangkut

perilaku hakim. Hakim yang dimaksud adalah dalam pengertian sebagai

individu di luar dan di dalam kedinasan, agar hakim memiliki kehormatan,

keluhuran martabat, serta perilaku yang baik.

Lebih jauh disebutkan pula bahwa fungsi Komisi Yudisial seperti

tersebut di atas ini adalah berkait dengan wewenang utama Komisi

Yudisial, yaitu untuk merekrut dan mengusulkan pengangkatan hakim

agung, yang dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian

yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

Pengertian ‘dalam rangka’ sebagai bagian wewenang pengawasan

juga diartikan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai menunjukkan adanya

kewajiban lain yang sama pentingnya yaitu tugas melakukan pembinaan

yang menurut Mahkamah Konstitusi mempunyai arti sebagai usaha,

tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk

meningkatkan profesionalisme hakim sepanjang menyangkut pelaksanaan

Page 14: Komisi Yudisial

14

kode etik. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, dengan rumusan yang

terkandung di dalamnya seharusnya tidak semata-mata diartikan sebagai

pengawasan melainkan juga pembinaan etika profesional hakim untuk

memenuhi amanat Pasal 24A ayat (2) UUD 1945.

Dengan uraian dan alasan di atas, maka Pasal 24B ayat (1) UUD

1945 tersebut sepanjang mengenai “kewenangan lain dalam rangka

menjaga dan menegakkan kehormata, keluhuran martabat, serta perilaku

hakim”, di satu pihak tidak tepat diartikan hanya sebagai pengawasan etik

eksternal saja, dan di pihak lain juga tidak tepat diartikan terpisah dari

konteks Pasal 24A ayat (3) untuk mewujudkan hakim agung –dan hakim-

hakim pada peradilan di bawah Mahkamah Agung– yang memiliki

integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan

berpengalaman di bidang hukum. Dengan kata lain, yang dimaksud

“kewenangan lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terkait erat

dengan kewenangan utama Komisi Yudisial untuk mengusulkan

pengangkatan hakim agung.

Secara akademik, pendapat Mahkamah Konstitusi ini masih

mengundang perbedaan pendapat. Ada pola pikir yang tidak nyambung

antara kata-kata ‘dalam rangka’, ‘komplementer’, dan ‘bukan merupakan

kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh KY (Komisi Yudisial,

pen.)’. Mahkamah Konstitusi memaknai istilah ‘dalam rangka’ sebagai

sifat ‘komplementer’. Bukankah ungkapan ‘dalam rangka’ itu harus

diacukan pada frasa ‘menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran

martabat, serta perilaku hakim’, dan bukan pada frase sebelumnya, yang

menurut istilah Mahkamah Konstitusi merupakan ‘wewenang utama’

Komisi Yudisial? Hal ini mengingat bahwa sebelum ungkapan ‘dalam

rangka’ terdapat ungkapan ‘wewenang lain’. Ini berarti bahwa selain

wewenang Komisi Yudisial yang pertama (yaitu wewenang Komisi

Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung) ada wewenang

yang bukan wewenang yang pertama itu. Artinya, kedua wewenang

Komisi yudisial tersebut di atas ini adalah setara adanya.

Page 15: Komisi Yudisial

15

Artinya, tidak ada makna wewenang utama dan wewenang

komplementer. Lebih jauh hal ini diperkuat dengan fakta bahwa ungkapan

yang ada hanyalah ‘dalam rangka’, dan bukan ‘dalam rangka itu’.

Ungkapan ‘dalam rangka itu’ tentu menunjuk frase kalimat sebelumnya.

Hal ini selaras dengan pandangan ahli bahasa yang diajukan sebagai salah

satu saksi ahli. Selain itu dalam hal ini tidaklah jelas referensi keahlian

bahasa yang mana yang dijadikan dasar interpretasi Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga

dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim itu

seharusnya terlepas dari kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan

pengangkatan hakim agung.

Selanjutnya, apa hubungan antara ‘dalam rangka’ dengan ‘bukan

merupakan kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh KY’ itu?

Tidak ada penjelasan atas hubungan kedua frase ini. Mahkamah Konstitusi

rupanya telah terlalu jauh dalam menghubung-hubungkan kedua frase ini.

Lebih jauh, tidaklah jelas pula apa yang menjadi dasar kebahasaan

pendapat Mahkamah Konstitusi atas makna ‘dalam rangka’ yang lalu

diartikan sebagai ‘tugas melakukan pembinaan yang mempunyai arti

sebagai usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan

efektif untuk meningkatkan profesionalisme hakim sepanjang menyangkut

kode etik’. Bukankah urusan pembinaan itu dari sudut administrasi

ataupun manajemen merupakan tugas seorang atasan (untuk membina

bawahannya), padahal Komisi Yudisial itu bukanlah merupakan atasan

para hakim itu sendiri? Interpretasi Mahkamah Konstitusi di sini kiranya

terlalu jauh pula.

I. Penutup

Ada beberapa hal yang perlu dicatat di sini sebagai berikut:

1. Perumusan ataupun bunyi Pasal 13 huruf b, Pasal 20, dan Pasal 24 ayat (1)

UUKY perlu disesuaikan dengan Pasal 24B UUD 1945

Page 16: Komisi Yudisial

16

2. Ada sejumlah substansi yang menyangkut urusan ‘menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim’ yang

memerlukan pengaturan yang lebih rinci.

a. Pertama-tama adalah menyangkut sistem prosedur dan proses. Perlu

kiranya dirumuskan sistem hukum acara dalam hal ini.

b. Selanjutnya tentang subyek pengawasan, diperlukan pengaturan

hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang bersifat

mandiri namun saling berkait (independent but interrelated) atau

hubungan kemitraan. Dalam hal ini hubungan antara Dewan

Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan (dalam hal

pemeriksaan keuangan negara) perlu dijadikan acuan dasar perumusan

hubungan kemitraan antara Mahkamah Agung dengan Komisi

Yudisial di bidang pengawasan hakim ini.

c. Adapun mengenai obyek pengawasan, perlu ditegaskan dalam

penyempurnaan pengaturan tersebut, bahwa obyek pengawasan

Komisi Yudisial adalah perilaku hakim sebagai individu di luar dan di

dalam kedinasan, agar hakim memiliki kehormatan, keluhuran

martabat, serta perilaku yang baik. Perlu pula ditegaskan dalam

pengaturan tersebut, bahwa termasuk dalam pengertian hakim di sini

adalah hakim agung dan semua hakim badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata

usaha negara.

d. Akhirnya tentang instrumen pengawasan, di sini perlu dilakukan

perumusan pengaturan semacam kode etik dan perilaku hakim, yang

dapat mengambil kode etik yang selama ini berlaku di lingkungan

Mahkamah Agung maupun IKAHI sebagai acuannya. Ada amanat

Mahkamah Konstitusi yang perlu dijadikan jiwa penyempurnaan

UUKY. Amanat Mahkamah Konstitusi tersebut adalah amanat yang

menegaskan makna kebebasan hakim, yang menurutnya terkandung

kewajiban bagi hakim untuk membebaskan dirinya dari bujuk rayu,

Page 17: Komisi Yudisial

17

tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa takut akan adanya tindakan

balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari

pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau

golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa

keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya, serta

tidak menyalahgunakan prinsip kebebasan hakim sebagai perisai untuk

berlindung dari pengawasan.

3. Sementara itu, adalah benar manakala dinyatakan bahwa checks and

balances itu tidak tepat dijadikan paradigma konseptual dalam hal

pengawasan di sini. Seperti yang terurai di atas, hubungan kerja

pengawasan antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial itu

merupakan hubungan kemitraan, setara dengan hubungan kemitraan antara

Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan.

4. Perlu dilakukan sebuah kerja besar untuk melakukan penyederhanaan

susunan peradilan di Indonesia yang telah terlanjur sangat kompleks itu.

Penyederhanaan ini sangat perlu agar dapat terselenggara sistem peradilan

yang cepat, murah, dan tidak membingungkan para pencari keadilan di

Indonesia.

5. Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan agar UUKY harus segera

disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana

mestinya. Rekomendasi ini dikemukakan dalam rangka mengatasi

kekosongan hukum berkaitan dengan tugas Komisi Yudisial, khususnya

yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku hakim.

Mahkamah Konstitusi juga menganjurkan agar badan legislatif melakukan

perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan

perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas undang-undang

tentang Kekuasaan Kehakiman, undang-undang tentang Mahkamah

Agung, dan undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta undang-

undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu.

Page 18: Komisi Yudisial

18

DAFTAR PUSTAKA

Kleintjes, Ph. Staatsinstellingen van Nederlandsch-Indie, Amsterdam: J.H. de Bussy, eerstedeel, 1932

______, Staatsinstellingen van Nederlandsch-Indie, Amsterdam: J.H. de Bussy, tweede deel, 1933

Schrieke, J.J., 'The Administrative System of the Netherlands-Indies', Bulletin van het Koloniaal Instituut te Amsterdam, Tweede gedeelte: 1938-1939, 1939

Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan Dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya bagi Kita Bangsa Indonesia, Bandung: Kilatmadju, 1971

Tresna, R., Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, cet. kedua, 1977

Wolhoff, G.J., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Djakarta: Timun Mas N.V, 1955