kolonisasi_mikroorganisme

54
KOLONISA PENYAKIT D PENELITIAN ASI MIKROORGANISME PADA LE DERMATITIS ATOPIK ANAK DI M AIRIN RISKIANTY NURDIN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011 1 ESI KULIT MAKASSAR

description

da

Transcript of kolonisasi_mikroorganisme

Page 1: kolonisasi_mikroorganisme

KOLONISASI

PENYAKIT DERMATITIS ATOPIK ANAK DI MAKASSAR

PENELITIAN

KOLONISASI MIKROORGANISME PADA LESI KULIT

PENYAKIT DERMATITIS ATOPIK ANAK DI MAKASSAR

AIRIN RISKIANTY NURDIN

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2011

1

LESI KULIT

PENYAKIT DERMATITIS ATOPIK ANAK DI MAKASSAR

Page 2: kolonisasi_mikroorganisme

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit kronik berulang yang sering

terjadi pada usia bayi dan anak-anak, dengan abnormalitas pada fungsi

barrier kulit dan sensitasi alergen,(Leung et al., 2008) dengan karakteristik

seperti kekeringan, eritema, dan gatal yang hebat.(Goh et al., 1997)

Istilah atopi diperoleh dari kata Yunani yang berarti tidak terbatas pada

satu tempat, dan diperkenalkan tahun 1923 oleh Coca dan Cooke untuk

menggambarkan status hipersensitivitas pada manusia yang ditandai dengan

peningkatan kapasitas sampai bentuk reagin (sekarang diketahui sebagai

IgE) yang berespon terhadap beberapa antigen.(Cohen, 2005, James et al.,

2006, Krafchik et al., 2003)

Dermatitis atopik dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan berkaitan

erat dengan penyakit atopik pada organ lain seperti rinitis alergika, asma

pada penderita sendiri ataupun keluarganya.(Abramovits, 2005) Frekuensi

insiden penyakit ini semakin bertambah dan data terakhir tentang

imunopatogenesis penyakit ini mengarahkan kita pada model perawatan baru

yang efektif.

Page 3: kolonisasi_mikroorganisme

3

Penyakit DA ini biasanya ditemukan mulai dari umur 2 bulan dan

sekitar 1 tahun pada 60% pasien, 30% terlihat pertama kali pada usia 5

tahun, dan hanya 10% timbul dermatitis atopik antara usia 6 sampai 20

tahun.(Paller and Mancini, 2006)

Prevalensi pada anak tinggi, yaitu sekitar 80% apabila kedua

orangtuanya menderita DA. (Leung et al., 2003) Survey di negara

berkembang menunjukkan 10-20% anak menderita DA. (Jacoeb, 2004)

Etiologi dan patogenesis DA sampai saat ini belum diketahui dengan

jelas. Banyak faktor yang mempengaruhi, baik eksogen atau endogen,

maupun keduanya. Faktor-faktor yang berperan antara lain faktor genetik,

disfungsi sawar kulit, imunologis, lingkungan, dan psikologis.(Leung and

Soter, 2001, Leung et al., 2008, Friedmann and Holden, 2004) DA

dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan berkaitan erat dengan penyakit atopi

pada organ lain seperti rinitis alergika, asma pada penderita sendiri ataupun

keluarganya.(Abramovits, 2005) Gambaran klinis DA dipengaruhi oleh faktor

internal maupun eksternal. Faktor eksternal yang memperngaruhi perjalanan

penyakit DA adalah mikroba. Saat ini staphylococcus aureus (SA) diketahui

berperan sebagai faktor pencetus yang menyebabkan reaksi peradangan

kulit dan eksaserbasi dermatitis atopik.(Laonita and Indriatmi, 2000)

Page 4: kolonisasi_mikroorganisme

4

Flora normal pada manusia terdiri dari fungi dan bakteri, tapi bakteri

merupakan komponen yang tersering dan nyata pada flora normal. Bakteri

yang tersering pada kulit normal manusia adalah Staphylococcus epidermidis

(SE) dan kemudian SA.(Todar, 2011) Tidak hanya bakteri, khususnya SA

yang berperan sebagai faktor penyebab terjadinya DA, Malassezia yeast

(MY) merupakan bagian dari flora normal pada kutaneus manusia, juga bisa

ditemukan pada beberapa penyakit kulit; pitiriasis versikolor, dermatitis

atopik, dermatitis seboroik dan beberapa bentuk.(Faergemann, 2002) Pasien

DA menunjukkan kerusakan pada respon imun bawaan dan dapatan

sehingga tingginya kerentanan terhadap infeksi bakteri, jamur dan virus, yang

tersering adalah SA. Pada penderita DA terjadi peningkatan kejadian dari

penyakit kutil yang disebabkan oleh human papillomavirus dan infeksi jamur

kulit seperti yang disebabkan oleh Trichophyton rubrum.(Baker, 2006)

Lipofilik ragi malassezia merupakan patogen oportunistik yang merupakan

bagian dari flora normal kulit. Ragi dapat ditemukan pada hampir seluruh

area tubuh, tapi sebagian besar pada tempat yang kaya akan asam lemak

dan terigliserida dari sebum. Faktor predisposisi yang memperngaruhi, ragi

berhubungan dengan beberapa mikosis superfsial. Faktor predisposisi

eksogen yang tersering adalah peningkatan temperatur dan kelembaban,

factor edogen termasuk produksi sebum, hiperhidrosis, faktor herediter, terapi

kortikosteroid, dan imunodefisiensi.(Gupta, 2005)

Page 5: kolonisasi_mikroorganisme

5

Dermatitis atopik (DA) merupakan inflamasi dermatosis yang

multifaktor dan belum diketahui patogenesisnya. Banyak faktor lingkungan

termasuk SA dapat mengeksasebasi penyakit. Staphylococcus aureus dan

beberapa bakteri lainnya umumnya berkolonisasi pada lesi eksematous dan

kulit yang sehat pada penderita DA. Tingkat kolonisasi meninggi pada waktu

eksaserbasi di bandingkan pada saat remisi dan juga berhubungan dengan

keparahan dari lesi kulit.(Farajzadeh et al., 2008)

Staphylococcus aureus merupakan organisme komensal pada

manusia dan menyebabkan infeksi dapat menyebar luas, selain itu juga

menyerang beberapa penyakit, yang berperan penting pada penyakit

kutaneus termasuk dermatitis atopik. (Lebon et al., 2009) Staphylococcus

epidermidis muncul sebagai patogen nosokomial. Organisme ini umumnya

sering pada kulit manusia dan mikroflora membran mukosa.(O'Gara and

Humphreys, 2001)

Masenga dkk1 menemukan SA pada tipe ekzim yang lain dari non-

atopic origin (NAD), tapi SA lebih sering terisolasi dari kelompok atopik

daripada kelompok NAD, lesi kedua kelompok tersebut 80% : 52% dan

secara klinik pada kulit normal (63%:24%).(Lever, 2006)

Beberapa fakta mengemukakan terdapat perbedaan pada prevalensi

DA di antara setiap negara. (Krafchik et al., 2003) Makassar merupakan 1 Dikutip dari kepustakaan Lever, 2006

Page 6: kolonisasi_mikroorganisme

6

ibukota propinsi Sulawesi Selatan, secara geografik kota Makassar terletak

pada 119° bujur timur dan 5° lintang selatan dan merupakan kategori daerah

tropis karena letaknya dekat dengan garis khatulistiwa. Adapun kelembaban

yang terjadi sekitar 73% hingga 93%, dengan rata-rata temperatur antara

25°C dan 32°C.(Anonymus, 2000)

Data RSUP Wahidin Sudirohusodo dan RS Pelamonia di Makassar

menemukan peningkatan jumlah kasus DA anak; 47 anak di tahun 2004, 106

anak di tahun 2005 dan 108 anak di tahun 2006. (anonymous) Data lainnya

pada tahun 2010 di RS Wahidin makassar menemukan angka 16,34% dari

seluruh kasus kunjungan penyakit kulit anak. (Anonymus, 2010)

Dengan terlihatnya banyak mikroorganisme pada lesi kulit penderita

DA, penulis mencoba untuk melihat pola mikroorganisme di Makassar.

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah terjadi pola yang berbeda dari mikroorganisme pada penderita

DA anak di Makassar ?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui derajat keparahan penyakit DA dengan pertumbuhan

mikroorganisme pada penderita DA anak di Makassar.

Page 7: kolonisasi_mikroorganisme

7

2. Tujuan Khusus

1. Menilai derajat keparahan penyakit DA anak bedasarkan severity

scoring of atopic dermatitis (SCORAD).

2. Menganalisis pertumbuhan mikroorganisme antara teknik swab kulit

dan kerokan kulit.

3. Menganalisis pertumbuhan mikroorganisme dengan derajat

keparahan DA di Makassar.

Dari kepustakaan sejauh pengetahuan penulis belum pernah ada

laporan penelitian yang menganalisa mikroorganisme pada lesi kulit

dermatitis atopik pada anak dengan derajat keparahan penyakit (SCORAD).

D. MANFAAT PENELITIAN

Memberi informasi dan sumber referensi bagi peneliti tentang pola

Mikroorganisme pada kulit terhadap DA anak di Makassar.

Page 8: kolonisasi_mikroorganisme

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DERMATITIS ATOPIK

1. Definisi

Atopi adalah predisposisi herediter terhadap alergi atau

hipersensitivitas. Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca dan

Cooke* pada tahun 1923 sebagai istilah yang digunakan untuk sekelompok

penyakit, diantaranya adalah asma, hay fever, urtikaria, yang terjadi

secara spontan pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam

keluarga. Eksema untuk beberapa tahun digunakan di Amerika Serikat

sebelum diperkenalkannya kata atopi untuk hipersensitivitas kulit pada

penderita yang mempunyai riwayat alergi secara herediter. Wise &

Sulzbergen* pada tahun 1933 menggunakan kata dermatitis atopik untuk

menggambarkan suatu kelompok penyakit yang terjadi pada keadaan

atopi yang dapat terjadi pada semua kelompok umur.(Paller and Mancini,

2006, Grammer, 1997)

Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang bersifat kronis dan

kumat-kumatan, dengan gejala gatal dari ringan sampai berat, umumnya

* Dikutip dari kepustakaan Grammer ,1997

Page 9: kolonisasi_mikroorganisme

9

muncul pada waktu bayi, kanak-kanak ataupun dewasa. Penyakit ini sering

berhubungan dengan peningkatan serum IgE dan adanya riwayat atopi,

rinitis alergi dan atau asma pada penderita atau keluarganya.(Wuthrich

and Grendelmeier, 2002, Ellis and Luger, 2003, Friedmann and Holden,

2004)

2. Epidemiologi

Penelitian – penelitian terbaru menunjukkan bahwa prevalensi DA

semakin berkembang sejak perang dunia II, karena 90% kasus DA

memiliki onset sebelum usia 5 tahun, banyak data yang berasal dari anak-

anak usia sekolah, 60% penderita DA mulai memberikan gejala pada

tahun pertama kehidupan dan 20% menjadi penyakit rekuren seumur

hidup. Berdasarkan penelitian terbaru, perkiraan prevalensi DA berkisar

antara 10-20% pada anak-anak sekolah di AS, Eropa Barat dan Asia.

(Kang et al., 2003) (Avgerinou et al., 2008)

Data DA di Amerika Utara memperlihatkan perbedaan antar ras.

Prevalensi DA negara industri terlihat angka yang tinggi. Suatu penelitian

menggambarkan para imigran Cina di Hawai dan New Zealand mengalami

peningkatan prevalensi DA yang bermakna dibandingkan dengan di negara

asalnya. Hal ini menunjukan peran faktor lingkungan yang mempengaruhi

prevalensi DA. (Eichenfield et al., 2003) Data RSUP Wahidin Sudirohusodo

dan RS Pelamonia di Makassar menemukan peningkatan jumlah kasus DA

anak; 47 anak di tahun 2004, 106 anak di tahun 2005 dan 108 anak di tahun

Page 10: kolonisasi_mikroorganisme

10

2006. (anonymous) Data lainnya pada tahun 2010 di RS Wahidin makassar

menemukan angka 16,34% dari seluruh kasus kunjungan penyakit kulit anak.

(Anonymus, 2010)

3. Faktor resiko dan faktor pencetus

DA merupakan proses multifaktor, yaitu sebagai hasil peran

kerjasama faktor genetik, lingkungan berupa paparan alergen, iritan atau

perubahan cuaca, stress psikologis, disfungsi sawar kulit dan abnormalitas

imunologi. Faktor resiko terjadinya DA antara lain : (Kang et al., 2003,

Leung et al., 2008, Simpson and Hanifin, 2005, Mutius, 2002)

a. Genetik

Pada suatu penelitian yang dilakukan pada 372 penderita DA,

ditemukan insiden alergi pernapasan perseorangan sebesar 95% dan

riwayat atopi dalam keluarga sebesar 73%. Dalam kohort tersebut,

insiden asma alergik dan rinitis alergi pada anggota keluarga penderita

yang tidak mengalami alergi pernapasan perseorangan cukup tinggi,

masing-masing sebesar 73% dan 32%. Namun insiden DA dalam

keluarga penderita DA yang mengalami alergi pernafasan atau tidak,

masing-masing adalah 34% dan 27%. Hal ini menunjukkan bahwa

pewarisan DA tidak berhubungan dengan DA itu sendiri namun sangat

dipengaruhi oleh fase atopik terutama alergi pernapasan.

Page 11: kolonisasi_mikroorganisme

11

Observasi klinis mendorong para peneliti untuk menyelidiki gen-gen

spesifik yang terlibat dalam atopi dan DA. Terdapat dua metode yang

digunakan. Pertama, linkage analisis yang menentukan hubungan

antara fenotip DA dengan kromosom tertentu. Kedua, menyelidiki

hubungan DA dengan polimorfisme atau mutasi gen spesifik. Beberapa

kromosom diduga berhubungan dengan faktor-faktor imunologis

esensial yang mengkode AD dan berperan dalam patogenesis penyakit

ini. Kromosom 5q31 mengandung cluster family gen IL-4, termasuk gen

sitokin multiple yang mengkode sitokin-sitokin Th2, seperti IL-4,IL-5 dan

IL-13.

Dermatitis atopik, asma bronchial dan rinitis alergi merupakan sindrom

dari penyakit atopik. Karakteristik status atopik oleh respon uji tusuk kulit

positif pada alergen yang umum. Sekitar 80% dari bayi dengan DA

memperlihatkan peningkatan level serum total IgE (fenotip yang kira-kira

47% diturunkan). Riwayat orangtua diperkirakan mempunyai peranan

penting pada penyebab DA (dan kondisi atopik lainnya) karena risiko

penyakit pada bayi biasanya sering meskipun tidak selalu ditemukan

hubungan yang dekat pada status pihak ibu daripada ayah.(Morar et al.,

2006)

b. Laktasi, terjadi perbedaan bayi yang mendapat air susu ibu (ASI)

dengan yang non ASI. Makin panjang waktu mendapat ASI makin kecil

kemungkinan untuk mendapat DA.

Page 12: kolonisasi_mikroorganisme

12

Menyusui lebih baik daripada minuman/makanan formula untuk nutrisi

bayi oleh karena keuntungan nutrisial, imunologi dan psikologik. Yang

dkk, meneliti hubungan antara menyusui dan terjadinya DA yang

menunjukkan hasil yang tidak menentu, dimana hasilnya tidak ada

pembuktian yang kuat dari efek proteksi dari menyusui secara eksklusif

paling tidak 3 bulan terhadap DA, meskipun diantara anak-anak dengan

riwayat keluarga yang positif DA.(Yang et al., 2009)

c. Sosioekonomi, DA lebih banyak ditemukan pada status sosial yang

tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Laporan

prevalensi eksema meningkat 1.5-2 kali lebih tinggi pada sosial kelas

atas I dan II.

Beberapa studi membandingkan prevalensi sosial ekonomi pada

penyakit yang fatal dan tidak fatal, hasilnya paling banyak penyakit

menunjukkan prevalensi yang meningkat diantara kelompok

berpendidikan rendah. Alergi lebih sering pada kelompok berpendidikan

tinggi. (Dalstra et al., 2005)

d. Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan

polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi

peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara, asap rokok,

penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada

kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan

deterjen yang tidak dibilas dengan sempurna.

Page 13: kolonisasi_mikroorganisme

13

e. Jumlah anggota keluarga: kejadian DA berbanding terbalik dengan

banyaknya jumlah anggota keluarga. Beberapa hipotesis yang telah ada

untuk menjelaskan efek keluarga. Hal in tampaknya tidak

memungkinkan bahwa usia ibu merupakan faktor penyebab yang

mendasari. Suatu penelitian mengemukakan bahwa infeksi pada anak-

anak di tularkan oleh kerena kontak yang tidak sehat dengan keluarga

lainnya atau dapatan dari ibu yang terinfeksi dengan anak lainnya,

dapat mencegah terjadinya penyakit alergi.

Faktor pencetus terjadinya dermatitis atopik antara lain: (Boediarja, 2000)

a. Alergen

Berbagai alergen setelah bereaksi dengan IgE mampu menimbulkan

reaksi hipersensitivitas fase I di kulit, reaksi ini disebut IgE mediated

reaction.

- Alergen makanan: molekul protein yang berasal dari makanan

yang ditelan pada umumnya merupakan antigen pencetus reaksi

alergi pada DA. Pada penderita DA diduga secretory IgA di usus

menurun disertai permeabilitas usus meningkat. Reaksi di kulit

dapat timbul dalam waktu relatif cepat, 1 jam atau 2 jam setalah

menelan makanan yang mengandung antigen tersebut.

- Alergen hirup: telah diketahui bahwa debu rumah, tungau debu

rumah (TDR), serta bubuk sari merupakan alergen hirup yang

Page 14: kolonisasi_mikroorganisme

14

berkaitan erat dengan asma bronkial pada atopi dan dapat menjadi

faktor pencetus DA

b. Bahan iritan

Pada penderita DA lebih sering ditemukan dermatitis kontak iritan

daripada dermatitis kontak alergik, hal ini mudah terjadi oleh karena

kerusakan sawar kulit. Bahan iritan meskipun yang bersifat iritan

lemah, dapat menyebabkan DA

c. Infeksi

Infeksi yang terjadi baik di kulit maupun organ lain terutama saluran

napas atas, oleh virus mononukleosis dapat menjadi faktor pencetus

DA. Staphylococcus aureus tidak hanya menimbulkan infeksi tetapi

dapat bertindak sebagai superantigen. Protein A pada kapsul

Staphylococcus aureus dapat berikatan langsung dengan IgE

sehingga memicu pelepasa histamin oleh sel mas dan basofil.

Kolonisasi Staphylococcus aureus di kulit DA lebih banyak daripada

kulit orang normal demikian pula kolonisasi pada lesi DA lebih banyak

daripada kulit nonlesi.

d. Faktor psikis

Hubungan psikis dengan penyakit dapat timbal balik, demikian pula

pada DA. Akibat perjalanan penyakit yang kronik residif, pada

umumnya penderita DA mengalami gangguan emosi. Stes

Page 15: kolonisasi_mikroorganisme

15

merangsang pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imuno-

endokrinologi yang menimbulkan rasa gatal.(Boediarja, 2000)

Faktor psikologik memperngaruhi beberapa kondisi dermatologi

termasuk dermatitis atopik, psoriasis, alopecia areata, urtikaria dan

angioedema, and acne vulgaris. Pasien atopic dengan masalah

emosional dapat terjadi anxiety/depresi dan gejala dermatologi yang

hebat.gatal yang hebat menyebabkan insomnia dan tidur yang kurang,

keadaan jiwa yang labil.(Levenson, 2008)

4. Patogenesis

a. Peran superantigen staphylococcus

Saat ini diketahui bahwa eksotoksin staphylococcus aureus dapat

menginduksi reaksi imunologik dan dikenal sebagai superantigen.

Superantigen staphylococcus ini akan berikatan langsung pada sisi luar

molekul MHC II, ikatan ini akan menginduksi pengeluaran sitokin TNF-α

dan IL-6 oleh sel peyaji antigen. Setelah berikatan dengan sel penyaji

antigen, selanjutnya superantigen akan berikatan juga pada reseptor sel

T pada rantai Vβ. Sel T akan teraktivasi dan berproliferasi serta

melepaskan bermacam-macam sitokin yang berperan dalam proses

peradangan.(Laonita and Indriatmi, 2000, Wuthrich et al., 2007)

b. Disfungsi sawar kulit

Pada penderita DA terjadi defek permeabilitas sawar kulit dan terjadi

peningkatan trans-epidermal water loss sebesar 2-5 kali. Adanya defek

Page 16: kolonisasi_mikroorganisme

16

tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan terhadap bahan iritan, karena

penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah. Pajanan ulang dengan

antigen akan menyebabkan toleransi dan hipersensitivitas sehingga

terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi pacuan proses

abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar

mukokutan. Proses tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus

dan merupakan bagian yang penting pada patogenesis DA. Perubahan

kandungan lipid di stratum korneum merupakan penyebab perubahan

sawar kulit. Stratum korneum menyusun sawar utama untuk difusi

substansi melewati kulit. Substansi itu terdiri dari korneosit dan lipid,

terutama ceramide, sterol, dan asam lemak bebas. Ceramide

berperanan menahan air dan fungsi sawar stratum korneum. Kadar

ceramide pasien DA rendah dan hal tersebut menyebabkan gangguan

sawar kulit.(Wuthrich et al., 2007, Abramovits, 2005) Perubahan pada

enzim yang terlibat dalam stuktur adesi epidermal juga berkontribusi

pada kerusakan epidermal barier pada pasien DA.(Bieber, 2008)

Eberlein-König dkk, meneliti pH permukaan kulit, hidrasi stratum

korneum, trans-epidermal water loss (TEWL) dan kekeasan kulit pada

pasien dermatitis atopik. Terjadi peningkatan pada pH kulit di kelompok

atopik eksema dibandingkan tanpa eksema pada saat pemeriksaan.

Kekeringan kulit menunjukkan kekeringan sedang 47.2%, sedang

24.7% dan berat 3.2%. Trans-epidermal water loss dan kekasaran kulit

Page 17: kolonisasi_mikroorganisme

17

menunjukkan signifikan dengan kekeringan kulit.(Eberlein-König et al.,

2005)

c. Abnormalitas imunologi

Aktivasi sel T yang berlebihan pada lesi kulit merupakan ciri khas dari

DA. Sel T pada dermatitis atopik akut akan mengeluarkan sitokin Th2

yang akan menginduksi respon lokal IgE untuk menarik sel-sel inflamasi

(limfosit dan eosinofil) sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan

dan pengeluaran dari molekul adhesi. Dermatitis atopik kronik, juga

terjadi peningkatan pengeluaran dari sitokin Th1 seperti IFN-γ dan IL-12

yang akan memicu terjadinya infiltrasi dari limfosit dan makrofag. (Leung

and Soter, 2001)

d. Disfungsi Neurologis dan Farmakologi

Neuropeptida terdiri dari sejumlah residu asam amino dan berfungsi

sebagai neurotransmitter dan neuromodulator. Selain terdapat dalam

sisiem saraf pusat, neuropeptida juga terdistribusi diseluruh sistim saraf

perifer, termasuk kulit. Peptide intestinal vasoaktif [VIP], calcitonin

generelated peptide [CGRP] dan substansi P [SP] adalah neuropeptida

kulit yang paling banyak.

Dalam DA, kadar VIP lebih tinggi pada kulit yang mengalami lesi

sedangkan kadar SP lebih rendah. Namun serat saraf yang

mengandung SP ditemukan dalam sebagian besar lesi DA. Baru-baru

Page 18: kolonisasi_mikroorganisme

18

ini diidentifikasi bahwa neuropeptida lainnya yaitu melanocyte

stimulating hormone diproduksi dalam kulit dan dapat menstimulasi

pelepasan histamin telah dihipotesakan bahwa availibilitas NP dalam

lesi DA dan sensitivitas abnormal sel mast dan pembuluh darah

terhadap peptida-peptida ini menyebabkan pruritus dan terlibat dalam

imunopatogenesis penyakit ini.(Kang et al., 2003)

5. Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang utama adalah adanya gatal, yang berhubungan

dengan kronisitas penyakit, morfologi dan distribusi lesi . DA dapat dibagi

dalam 3 tipe berdasarkan umur penderita dan gambaran klinis, yaitu:

(Leung et al., 2008, Paller and Mancini, 2006, Krafchik et al., 2003)

a. Tipe Bayi (infantil type)

Lesi biasanya dimulai dari wajah, tetapi dapat mengenai tempat lain.

Umumnya diawali suatu plak eritema, papul, dan vesikel yang sangat

gatal di pipi, dahi, dan leher, tetapi dapat pula mengenai badan, lengan

dan tungkai. Bila anak mulai merangkak lesi dapat di tangan dan lutut.

Karena garukan terjadi erosi dan ekskoriasi atau krusta, tidak jarang

mengalami infeksi. Xerosis dapat terjadi menyeluruh, termasuk rambut

dan kulit kepala kering yang merupakan gambaran yang mayoritas

untuk menegakkan diagnosis. Tipe ini cenderung kronis dan residif.

Page 19: kolonisasi_mikroorganisme

19

b. Tipe anak (chilhood type)

Predileksi timbulnya lesi kulit secara klasik ditemukan pada fossa kubiti

dan poplitea, daerah fleksor pergelangan tangan, wajah dan leher. Lesi

kering, likenifikasi, batas tidak tegas, karena garukan terlihat pula

ekskoriasi memanjang dan krusta. Dapat merupakan lanjutan dari tipe

bayi atau timbul pertama kali. Sering ditemukan lipatan Dennie Morgan

yaitu lipatan kulit dibawah kelopak mata. Kuku pada dapat menjadi lebih

mengkilap dan kasar akibat gesekan yang konstan dan terjadi penipisan

alis dan rusak. Sebagian besar dari tipe ini akan menghilang pada usia

puberitas.

c. Bentuk dewasa (adult type )

Gejala utama adalah pruritus, kelainan kulit berupa likenifikasi, papul,

eksema, dan krusta. Predileksi lesi secara klasik ditemukan pada

daerah fossa kubiti dan poplitea, leher depan dan belakang, dahi serta

daerah sekitar mata. Tipe ini adalah kelanjutan dari tipe bayi dan tipe

anak ataupun dapat timbul pertama kali.

6. Diagnosis

DA didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Berdasarkan gambaran klinis Hanifin dan Rajka

menggunakan Kriteria mayor dan minor untuk dasar diagnosis DA. Kriteria

mayor biasanya konsisten ditemukan pada kasus DA, sedangkan kriteria

minor umumnya ditemukan pada kelompok kontrol. Oleh karena itu William

Page 20: kolonisasi_mikroorganisme

20

bersama kelompok studi United Kingdom, membuat kriteria yang dapat

digunakan untuk diagnosis dengan cepat, terutama untuk kepentingan

epidemiologi dan skrining di lapangan. (Eichenfield et al., 2003)

Menurut Hanifin dan Rajka gambaran diagnostik DA harus mempunyai 3

atau lebih kriteria mayor: (Abramovits, 2005)

− Pruritus.

− Morfologi dan sebaran yang khas; likenifikasi atau linearitas fleksural

pada orang dewasa; serangan pada wajah dan ekstensor pada bayi

dan anak.

− Perlangsungan kronik residif.

− Riwayat atopi (asma, rinitis alergi atau DA) pada diri sendiri atau

keluarga.

Kriteria Minor 3 atau lebih:

− Xerosis.

− Iktiosis / hiperkeratosis palmaris / keratosis pilaris.

− Reaktifitas uji kulit tipe cepat.

− Peningkatan IgE serum.

− Dermatitis di daerah palmo-plantar.

− Kheilitis.

− Dermatitis didaerah kepala / sebore.

Page 21: kolonisasi_mikroorganisme

21

− Kemudahan mendapat infeksi Staphylococcus aureus dan herpes

simpleks.

− Papul perifolikular hiperkeratosis diatas lesi hiperpigmentasi.

− Pitiriasis alba.

− Dermatitis di puting susu.

− White Dermographism.

− Katarak dan keratokonus.

− Garis Dennie Morgan.

− Kemerahan atau kepucatan di wajah.

− Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi.

Kriteria William dalam diagnosis DA:(Friedmann and Holden, 2004)

Harus ada : Gatal (riwayat menggaruk pada anak-anak).

Ditambah 3 atau lebih :

1. Onset di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak usia dibawah

2 tahun)

2. Riwayat keterlibatan kulit (termasuk pipi pada anak di bawah 4 tahun)

3. Riwayat kekeringan kulit

4. Riwayat penyakit atopi lainnya pada penderita ( atau riwayat menderita

atopi pada keluarga pada anak dibawah 4 tahun)

5. Dermatitis pada flexura yang nyata ( atau dermatitis pada pipi/dahi dan

bagian luar ekstremitas pada anak dibawah 4 tahun).

Page 22: kolonisasi_mikroorganisme

22

Menurut konsensus yang dibuat di Conference on Pediatric Atopic

Dermatitis tahun 2001, DA paling baik dianggap sebagai sebuah sindrom.

Gambaran klinis yang mendukung sindrom ini dan criteria klinis DA

adalah:(Eichenfield et al., 2003)

Kriteria klinis DA adalah: (Ellis and Luger, 2003)

Gambaran utama yang harus ada :

1. Pruritus

2. Eksim (akut, subakut,kronik)

a. Morfologi khas, pola spesifik menurut usia.

b. Perjalanan penyakit kronik.

A. Gambaran penting yang terlihat pada banyak kasus sebagai pendukung

diagnosis :

1. Awitan pada bayi dan anak.

2. Stigmata atopi

a. Dalam keluarga

b. Reaktivitas IgE

3. Kulit Kering.

B. Diagnosis Banding, dermatitis seboroik, iktiosis vulgaris, psoriasis dan

penyakit defisiensi imun harus disingkirkan terlebih dahulu.

Kriteria berdasarkan indeks SCORAD (severity scoring of atopic

dermatitis) (1993) untuk mempertajam penilaian derajat sakit DA dengan

sistim skoring. Keuntungan dari indeks SCORAD adalah sangat berguna

Page 23: kolonisasi_mikroorganisme

23

untuk penilaian derajat sakit, dapat digunakan dengan tepat sebagai

parameter menilai keberhasilan pengobatan. Selain itu penilaian dengan

cara ini sederhana dan mudah dilakukan. Kadang kala pada permulaan

dapat terjadi kesulitan dalam penilaian, oleh sebab itu sebagai panduan

digunakan foto berwarna.

Perhitungan indeks SCORAD :

a. Menilai luas penyakit dengan menggunakan rule of nine.

b. Penilaian intensitas : parameter yang dipakai adalah eritem, edema/

papul, eksudasi atau krusta, ekskoriasi, likenifikasi, kulit kering. Sebagai

pegangan untuk penilaian adalah : 0 = tidak ditemukan kelainan; 1 =

ringan; 2 = sedang, 3 = berat. Kulit kering dinilai dari kulit diluar lesi.

c. Gejala subjektif : Gatal dan gangguan tidur dinilai rata – rata 3 hari atau

3 malam dengan rentang nilai 0 – 10.

Penilaian indeks SCORAD = A/5 + 7 B/2 + C.

B. MIKROORGANISME PADA DERMATITIS ATOPIK

Permukaan kulit manusia mengandung banyak bahan makan untuk

pertumbuhan mikroorganisme, antara lain lemak, bahan-bahan yang

mengandung nitrogen, mineral dan lain-lain. Golongan bakteri

Micrococcaceae di bagi menjadi dua genus berdasarkan kemampuan

membentuk asam dari glukosa dalam kondisi aerobik, yaitu genus

staphylococcus yang memberi reaksi positif dan genus Micrococcaceae yang

Page 24: kolonisasi_mikroorganisme

24

memberi reaksi negatif. Staphylococcus adalah kuman komensal yang

mudah ditemukan di mana saja, tapi habitat utamanya pada manusia adalah

kulit, kelenjar kulit, dan membran mukosa. Staphylococcus aureus jarang

dijumpai dalam jumlah besar pada kulit normal. Kolonisasi kuman tersebut

sering didapat pada kondisi kulit eksematosa, terutama DA. Pada DA

Staphylococcus aureus merupakan kuman yang paling banyak ditemukan,

tidak hanya pada lesi tetapi juga pada bagian tubuh lain. Kolonisasi SA pada

penderita DA paling sering dijumpai pada daerah nares anterior dan

tangan.(Laonita and Indriatmi, 2000)

Patofisiologi infeksi pada kulit masih belum jelas, bagaimana SA berkembang

pada kulit normal masih dipertanyakan. Adapun faktor yang bertanggung

jawab akan pertumbuhan dari SA pada kulit yaitu lingkungan dan hidrasi kulit.

SA sering terdapat pada kulit normal, sekitar 10-20% jika dilakukan swab

pada kulit. Infeksi mikroba pada kulit lebih sering terjadi pada orang yang

hidup di daerah tropis, yang diperkirakan kelembaban kulit merupakan faktor

yang bertanggung jawab pada pertumbuhan SA.(Singh, 1975)

Staphylococcus aureus dapat memperberat proses peradangan yang

sudah ada atau sebagai pencetus DA melalui mekanisme yang tidak hanya

terbatas pada efek yang dapat menimbulkan infeksi piogenik. Selama ini

diketahui bahwa eksotoksin SA dapat menginduksi rekasi imunologik dan

dikenal sebagai superantigen (SAG). Superantigen dapat berikatan dengan

berbagai sel T maupun pada rantai Vβ, karena itu kemampuannya untuk

Page 25: kolonisasi_mikroorganisme

25

mengaktivasi sel T sangat besar. Stimulasi sel T oleh SAG dipertimbangkan

untuk memicu suatu penyakit. Anak-anak dengan DA mempunyai angka

yang sangat tinggi (60-90%) SAG yang memproduksi kolonisasi

staphylococci pada kulit.(Laonita and Indriatmi, 2000, Campbell and Kemp,

1998)

Selain dari bakteri jamur dan virus juga dapat terjadi pada penderita

DA. Jamur juga dapat berperan sebagai faktor terjadinya DA, mayoritas

penelitian pada DA dan jamur didapatkan Malassezia yeast, spesies

malassezia (dikenal sebagai Pityrosporum orbiculare/ovale) pada pasien DA

tidak hanya sebagai flora normal kulit, tapi juga dapat sebagai faktor yang

memperburuk pada DA, dan tempat yang tersering didapatkan yaitu pada

tempat yang mempunyai produksi sebum yang tinggi seperti kulit kepala,

dada, dan punggung. (Yim et al., 2010, Baker, 2006) Terdapat 11 genus

malassezia yaitu M. dermatis, M. furfur, M. globosa, M. japonica, M. nana, M.

obtusa, M. pachydermatis, M. restricta, M. slooffiae, M. sympodialis and M.

yamatoensis.(Yim et al., 2010, Sugita et al., 2001) Perbandingan dari isolasi

spesies malassezia pada kulit penderita DA dan orang sehat terdeteksi

peningkatan yang signifikan spesies malassezia pada penderita DA

dibandingkan pada orang sehat. Penderita DA mempunyai spesifik antibodi

IgE. (Sugita et al., 2002)

Reaksi hipersensitifitas pada antigen Candida albicans (C. albicans)

telah diamati pada penderita DA. Beberapa data studi perbandingan dari

Page 26: kolonisasi_mikroorganisme

26

respon imun terhadap antigen C. albicans pada penderita DA dan non-DA

yang diperkirakan perubahan bentuk sel Th1 menjadi Sel Th2.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Morita dkk, mengevaluasi reaksi kulit

terhadap antigen C. albican, dan juga level serum antibodi IgE terhadap C.

albican pada penderita DA, penderita alergi pada hidung, dan non atopik,

yang hasilnya hipersensitifitas terhadap C. albican sangat berkorelasi dengan

penderita DA. Pada sisi lain, hipersensitifitas tipe lambat terhadap antigen,

yang umumnya meningkat pada atopik tanpa dermatitis seperti juga dengan

non-atopik. Antigen C. albican merupakan faktor intrinsik yang kuat pada

mempengaruhi lesi kulit DA oleh karena hipersesitifitas IgE-mediated

terhadap antigen C. albican.(Morita E, 1999) Peranan sensitasi dan pajanan

C. albican pada penderita DA di teliti dengan uji tusuk kulit, kultur ragi dam

immunoblotting, yang hasilnya terjadi pajanan terus menerus dan induksi

pada antibodi IgE oleh C. albican pada penderita DA. Pada fase yang berat

DA kolonisasi berhubungan dengan sintesis IgE terhadap C.

albican.(Savolainen et al., 1993)

Kulit penderita DA merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi

yang meluas contohnya virus herpes simpleks atau virus vaccinia. Molloskum

kontagiosum adalah infeksi virus yang umum pada kulit sering terjadi pada

nank-anak dan disebabkan oleh virus pox. (Solomon and Telner, 1966)

Rystedt dkk meneliti serum antibody pada epstein-Barr virus (EBV), varicella-

zoster (VZV) dan herpes simplex virus (HSV) pada penderita DA yang aktif

Page 27: kolonisasi_mikroorganisme

27

maupun telah sembuh dan pada orang sehat sebagai kontrol, titer antibodI

EBV meningkat secara signifikan pada pasien DA dibandingkan dengan

kontrol. tidak ada korelasi antara antibodi EBV dan level serum IgE.

Frekuensi dari seropositif dan besarnya titer antibodI terhadap VZV dan HSV

pada penderita DA tidak berbeda secara signifikan dari kontrol.(Rystedt et al.,

1984) Sel Th2 dominan pada lingkungan, lesi DA diamati untuk perbaikan

pada pasien sepanjang terjadi infeksi bakteri atau virus, seperti HSV.

Pathway Th1 terjadi untuk melawan infeksi virus yang kemungkinan menjadi

mekanisme penyembuhan pada lesi kulit DA.(Horiuchi et al., 2004)

Page 28: kolonisasi_mikroorganisme

28

C.KERANGKA TEORI

Beberapa referensi untuk mendukung kerangka teori:

1. (NRG, 2004). Bacillus subtilis (BS) merpakan bakteri saprofit yang

secara alamaih terdapat dimana-mana, BS biasanya didapatkan pada

tanah, air, dan udara. Bakteri BS memproduksi kelompok antibiotik

lipopeptida termasuk iturins. Iturins membantu bakteri BS bersaing

dengan mikroorganisme lainnya dengan cara membunuh atau

mengurangi angka pertumbuhannya. BS memproduksi enzim subtilis,

yang telah dilaporkan menyebabkan alergi pada kulit atau reaksi

hipersensitivitas.

2. (Dalstra et al., 2005). Beberapa studi membandingkan prevalensi sosial

ekonomi pada penyakit yang fatal dan tidak fatal, hasilnya paling banyak

penyakit menunjukkan prevalensi yang meningkat diantara kelompok

berpendidikan rendah. Alergi lebih sering pada kelompok berpendidikan

tinggi.

3. (Eberlein-König et al., 2005). Meneliti pH permukaan kulit, hidrasi stratum

korneum, trans-epidermal water loss (TEWL) dan kekeasan kulit pada

pasien dermatitis atopik. Terjadi peningkatan pada pH kulit di kelompok

atopic eksema dibandingkan tanpa eksema pada saat pemeriksaan.

Kekeringan kulit menunjukkan kekeringan sedang 47.2%, sedang 24.7%

Page 29: kolonisasi_mikroorganisme

29

dan berat 3.2%. Trans-epidermal water loss dan kekasaran kulit

menunjukkan signifikan dengan kekeringan kulit.

4. (Simpson and Hanifin, 2005). Faktor risiko pada DA, prevalensi DA lebih

tinggi pada perkotaan. Peranan faktor lingkungan pada DA dimana studi

perpindahan penduduk terjadi peningkatan pada populasi yang berpindah

dari area rendah ke area tinggi tingkat prevalensi DA.

5. (Al-Saimary et al., 2006 ). Mengisolasi semua tipe bakteri dari lesi

eksematous dan pada dekat area yang sehat pada pasien DA, dimana

pada hasilnya Staphylococcus aureus merupakan agen bakteri yang

paling sering di isolasi dari lesi eksematous (60.48%), sementara

Staphylococcus epidermidis lebih sering pada area kulit sehat penderita

DA (57.34%).

6. (Baker, 2006). DA suatu penyakit yang sering berhubungan dengan

kondisi atopic seperti asma dan alergi makanan yang diperantarai oleh

IgE dan karakteristik lesi kulit yang diperantarai oleh sel Th2. Penderita

DA menunjukkan kerusakan pada respon imun dapatan dan bawaan

yang menghasilkan kerentanan yang tinggi terhadap infeksi bakteri, jamur

dan virus, yang sering tercatat adalah infeksi bakteri SA.

7. (Morar et al., 2006). DA, asma bronchial dan rinitis alergi merupakan

sindrom dari penyakit atopik. Karakteristik status atopik oleh respon uji

tusuk kulit positif pada alergen yang umum. Sekitar 80% dari bayi dengan

DA memperlihatkan peningkatan level serum total IgE (fenotip yang kira-

Page 30: kolonisasi_mikroorganisme

30

kira 47% diturunkan). Riwayat orangtua diperkirakan mempunyai peranan

penting pada penyebab DA (dan kondisi atopik lainnya) karena risiko

penyakit pada bayi biasanya sering meskipun tidak selalu ditemukan

hubungan yang dekat pada status pihak ibu daripada ayah.

8. (Hedayati et al., 2007). Menganalisa pasien DA untuk IgE total dan IgE

spesifik terhadap Candida albican. C.albican sebagai mikro flora pada

manusia dan dapat bertanggung jawab akan pelepasan alergen dan

terjadinya DA kronis pada pasien yang sensitif, hasil penelitian

menunjukkan frekuensi yang kurang pada IgE spesifik terhadap C.

albican. Penjelasan untuk variasi yang hasilnya diperoleh pada beberapa

studi yang dapat disebabkan oleh usia pasien, keparahan penyakit,

perbedaan antigen preparatif.

9. (Wuthrich et al., 2007). Atopik eksema merupakan penyakit multifaktorial

yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi genetik, perubahan

struktur kulit, deviasi imunologik dan faktor lingkungan.

10. (Levenson, 2008). Faktor psikologik memperngaruhi beberapa kondisi

dermatologi termasuk dermatitis atopik, psoriasis, alopecia areata,

urtikaria dan angioedema, and acne vulgaris. Pasien atopic dengan

masalah emosional dapat terjadi anxiety/depresi dan gejala dermatologi

yang hebat.gatal yang hebat menyebabkan insomnia dan tidur yang

kurang, keadaan jiwa yang labil.

Page 31: kolonisasi_mikroorganisme

31

11. (Yang et al., 2009). Menyusui lebih baik daripada minuman/makanan

formula untuk nutrisi bayi oleh karena keuntungan nutrisial, imunologi dan

psikologik. Yang meneliti hubungan antara menyusui dan terjadinya DA

yang menunjukkan hasil yang tidak menentu, dimana hasilnya tidak ada

pembuktian yang kuat dari efek proteksi dari menyusui secara eksklusif

paling tidak 3 bulan terhadap DA, meskipun diantara anak-anak dengan

riwayat keluarga yang positif DA.

12. (Yim et al., 2010). Ragi merupakan genus malassezia dan bagian dari

flora normal pada kulit manusia. Terdapat beberapa studi yang

melaporkan ragi malassezia mencakup pada DA. Faktanya hasil kultur

spesies berbeda pada lesi kulit DA daripada kulit normal yang mungkin

menganggu fungsi barier kulit dan sensitasi organisme yang di sebabkan

oleh garukan pada lesi kulit DA.

Dari abstraksi dan ekstrapolasi berbagai penelitian tersebut, maka

dapat didedukasikan untuk menyususn kerangka teori sebagai berikut ini.

Untuk mengetahui mikroorganisme pada lesi penderita DA anak, dapat

diklasifikasikan pada factor-faktor pencetus yang lebih difokuskan pada

infeksi yang dapat menyebabkan kolonisasi mikroorganisme pada lesi kulit

DA anak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kerangka teori dibawah ini:

Page 32: kolonisasi_mikroorganisme

32

KERANGKA TEORI

Mikroorganisme

Dermatitis Atopik

Alergen

Kekeringan Kulit

Lingkungan: Iklim & polusi lingkungan

Psikologis

Infeksi

Peniningkatan TEWL

IgE

Suhu & Kelembaban

Kontak dengan bahan yang bersifat iritan (antiseptik,

sabun,bahan pakaian wol )

Gangguan emosional, penyebab anak untuk

menggaruk

Genetik

Laktasi

Sosioekonomi

Page 33: kolonisasi_mikroorganisme

33

E. ALUR PENELITIAN

Pasien Dermatitis Atopik pada Poliklinik Kulit & Kelamin Sub-divisi

Pediatri RSWS & RS jejaring

Kriteria inklusi / Eksklusi

Pemeriksaan Swab & Kerokan kulit

Analisis data

Pemeriksaan Kultur di Laboratorium Mikrobiologi

Penilaian dengan kriteria William

Index SCORAD

Page 34: kolonisasi_mikroorganisme

34

G. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis penelitian yang diajukan adalah mengetahui pola

mikroorganisme yang terdapat pada penyakit Dermatitis Atopik Anak.

Page 35: kolonisasi_mikroorganisme

35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. DISAIN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksploratif dengan logika

induktif untuk mengetahui kolonisasi Mikroorganisme pada penyakit

dermatitis atopik anak.

B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Pemeriksaan swab dan kerokan kulit dilakukan di poliklinik Kulit dan

Kelamin RSUP dr.Wahidin Sudirohusodo dan RS Jejaring di Makassar mulai

bulan Januari sampai Maret 2011. Pemeriksaan kultur dilakukan di

Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,

Makassar.

C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita DA dengan usia 2-

12 tahun, yang datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin subdivisi Pediatri RSUP

Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Sampel penelitian adalah seluruh

populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

1. Kriteria Inklusi

a. Penderita DA yang memenuhi kriteria William.

Page 36: kolonisasi_mikroorganisme

36

b. Tidak menderita penyakit kulit lain.

c. Penderita berusia 2 - 12 tahun.

d. Tidak sedang menjalani pengobatan lain.

e. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dan diminta persetujuan secara

tertulis (menandatangani inform consent) setelah mendapatkan

keterangan yang cukup tentang keuntungan dan hal-hal yang tidak

diinginkan yang dapat terjadi selama mengikuti penelitian.

2. Kriteria Ekslusi

a. Penderita DA yang menderita penyakit lain.

b. Penderita yang sedang menjalani pengobatan lain, yaitu meminum

obat-obat antibiotika, menggunakan salep kortikosteroid ataupun salep

antibiotika.

D. DEFINISI OPERASIONAL

1. Dermatitis atopik: penyakit peradangan kulit, bersifat kambuh-kambuhan,

gatal, dan ditemukan pada anak yang memiliki riwayat alergi saluran

pernafasan dan atau penyakit atopik pada keluarganya yang memenuhi

kriteria William.

2. SCORAD untuk mempertajam penilaian derajat sakit DA dengan sistim

scoring. Dari diagnosis DA dapat dilakukan perhitungan indeks SCORAD :

a. Menilai luas penyakit dengan menggunakan rule of nine.

Page 37: kolonisasi_mikroorganisme

37

b. Penilaian intensitas : parameter yang dipakai adalah eritem, edema/

papul, eksudasi atau krusta, ekskoriasi, likenifikasi, kulit kering.

Sebagai pegangan untuk penilaian adalah : 0 = tidak ditemukan

kelainan; 1 = ringan; 2 = sedang, 3 = berat. Kulit kering dinilai dari kulit

diluar lesi.

c. Gejala subjektif : Gatal dan gangguan tidur dinilai rata – rata 3 hari

atau 3 malam dengan rentang nilai 0 – 10.

Penilaian indeks SCORAD = A/5 + 7 B/2 + C.

3. Swab kulit: menggunakan kapas lidi steril yang dibasahkan pada NaCl

0,9% kemudian diapus pada kulit dan diulangi dua sampai tiga kali di

tempat yang akan diteliti.

4. Kerokan kulit : kerokan yang diambil pada kulit penderita DA dengan

menggunakan sumuran steril terbuat dari stainless steel dan spatula

tumpul yang campur dan diaspirasi dengan NaCl 0,9%.

5. Mikroorganisme adalah beberapa bakteri, candida, jamur ataupun virus

yang nantinya diharapkan akan tumbuh pada media pertumbuhan.

6. Brain Heart Infusion Broth (BHIB) adalah suatu media transport untuk

menumbuhkan mikroorganisme yang terdapat pada kulit.

7. Anak umur 2 – 12 tahun adalah anak yang pada saat diperiksa berusia

tidak kurang dari 2 tahun dan tidak lebih dari 12 tahun 0 bulan.

Page 38: kolonisasi_mikroorganisme

38

E. CARA PENGAMBILAN DAN BESAR SAMPEL

Cara pengambilan sampel non random sampling. Perkiraan jumlah

sampel yang diambil dihitung menggunakan rumus:

Z2 .N.P.Q

S = d2 (N-1)+Z2.P.Q

Keterangan :

S = jumlah sampel yang diteliti

N = populasi DA di lokasi penelitian

Z = confidence level (1,96 untuk α = 0,05)

p = proporsi DA (0,5)

q = 1 – 0,5 = 0,5

d = tingkat ketepatan yang diambil (0,05)

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus diatas diperoleh

jumlah sampel penelitian sebanyak 30 sampel untuk kelompok penelitian.

F. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara :

1. Wawancara / anamnesis

Wawancara atau anamnesis langsung pada penderita dan orang

tua penderita (alloanamnesis) dilakukan menggunakan kuisioner yang

Page 39: kolonisasi_mikroorganisme

39

telah disiapkan dan dimaksudkan untuk mengumpulkan data tentang

identitas, karakteristik dan riwayat penyakit dari sampel.

2. Pemeriksaan Fisik dan Pengambilan Foto

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis DA dan

menilai derajat keparahan dari penyakit. Pada saat dilakukan

pemeriksaan fisik juga dilakukan pengambilan foto dengan menggunakan

kamera digital merk Sony ( 8 megapixel)

3. Pemeriksaan Koloni Mikroorganisme:

Pemeriksaan ini dilakukan setelah ditegakan diagnosis DA.

I. Alat untuk pemeriksaan kerokan kulit

Alat dan bahan:

1. Sumuran steril dari bahan stainless-steel dengan ukuran 2x2x2cm

2. Larutan NaCl 0,9%

3. Spatula tumpul dari bahan stainless-steel

4. Spuit 1cc

5. Tabung reaksi

6. Brain heart infusion broth (BHIB)

7. Nurtien agar

II. Alat untuk pemeriksaan swab kulit

Alat:

a. Swab (Apusan) steril

Page 40: kolonisasi_mikroorganisme

40

b. Tabung reaksi steril

c. Brain heart infusion broth (BHIB)

d. Nutrien agar

Prosedur pemeriksaan:

1. Dilakukan pengisian rekam medis lengkap dan telah memenuhi criteria

William.

2. Penilaian keadaan lesi kulit yang akan diperiksa: sesuai dengan

kriteria William dan dihitung indeks SCORAD (severity scoring of

atopic dermatitis)

3. Penjelasan syarat pemeriksaan, sebelum pengukuran tidak diolesi

salep, kosmetik, dan pelembab

4. Pemilihan lokasi/bagian yang akan diperiksa, yaitu: lesi di lengan

bawah / volar.

5. Dilakukan pemeriksaan koloni Mikroorganisme:

I. Pengambilan Swab kulit:

a. Dilakukan pengisian rekam medis lengkap

b. Menentukan derajat dermatitis atopik dengan cara menghitung

SCORAD (severity scoring index of atopic dermatitis)

c. Penjelasan persyaratan, sebelum pengukuran kulit tidak diolesi

dengan salep, kosmetik dan pelembab.

d. Pemilihan lokasi pada daerah lengan / volar

e. Dilakukan pemeriksaan koloni Mikroorganisme:

Page 41: kolonisasi_mikroorganisme

41

Swab (apusan) steril di basahi dengan NaCl 0.9% kemudian di

oleskan pada lokasi kulit yang telah ditentukan dan di masukkan

dalam tabung steril yang berisikan BHIB (Brain Heart Infusion

Broth).

f. Sampel dibawa ke laboratorium Mikrobiologi FK-UNHAS dan di

inkubasi pada suhu 37°, kemudian di ditanam pada nutrient agar.

II. Kerokan kulit :

a. Sumuran steril dari bahan stainless steel dengan ukuran diameter

2 cm dan tinggi 2 cm, ditempelkan dengan tekanan ringan pada

kulit yang aka diperiksa.

b. Pada sumuran tersebut dimasukkan 1 ml larutan NaCl 0.9% steril

kemudian dilakukan pengerokan ringan selama 1 menit pada

seluruh bagian kulit yang dibatasi sumuran dengan

menggunakan spatula tumpul dari bahan stainless steel.

c. Larutan yang diperoleh diaspirasi menggunakan spuit,

dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

d. Prosedur pengerokan dan aspirasi diulangi lagi dan larutan yang

didapat dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sama, sehingaa

terkumpul ± 2 ml.

Page 42: kolonisasi_mikroorganisme

42

e. Kemudian larutan tersebut dibawa ke laboratorium Mikrobiologi

untuk di periksakan koloni Mikroorganisme kulit pada BHIB dan di

tanam pada nutrien agar.

6. Swab steril yang telah dimasukkan pada BHIB kemudian di inkubasi

pada suhu 37°C selama 24 jam kemudian di tanamkan pada nutrien

agar.

7. Dari larutan yang berisikan kerokan, larutan tersebut dimasukkan pada

media BHIB dan di inkbasi 37°C selama 24 jam kemudian di tanamkan

pada nutrien agar.

8. Identifikasi mikroorganisme, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan

biokimia untuk identifikasi mikroorganisme, yaitu DNA-se, katalase,

koagulase tes, MSA tes

G. ANALISIS DATA

Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk table dan atau grafik

yang disertai dengan penjelasannya dan dilakukan pengamatan atas

pengulangan sifat (generalisasi empiris)

Page 43: kolonisasi_mikroorganisme

43

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 30 orang anak berumur

antara 2-12 tahun, jenis kelamin sampel seimbang terdiri dari 16 orang anak

laki-laki (53.3 %) dan 14 orang anak Perempuan (46.7 %). (tabel.1) dengan

usia rata-rata 6 tahun,(tabel.2) dan klasifikasi DA sedang pada setiap 10

sampel. Empat dari sepuluh sampel mempunyai bentuk klinis klasifikasi DA

ringan.

Tabel.1 Jenis Kelamin pada penelitian pada DA anak Jenis Kelamin Jumlah sampel Persentase

(%) Pesentase kumulatif

1. Laki-laki 2. Perempuan

Total

16 14 30

53.3 46.7

100.00

53.3 100.0

Tabel 2, Rerata usia penelitian

N Minimal Maksimal Mean Std. Deviation

Usia 30 2.00 12.00 6.0130 3.32768

Frekuensi kejadian dermatitis atopik pada penelitian ini menurut SCORAD

didapatkan DA ringan 13 orang (43.3%) dan DA sedang 17 orang (56.7%)

(tabel.3)

Page 44: kolonisasi_mikroorganisme

44

Tabel 3, Frekuensi Dermatitis Atopik dengan indeks SCORAD

Dermatitis Atopik Frekuensi Persentase (%)

Persentase kumulatif

DA Ringan DA Sedang

Total

13 17 30

43.3 56.7 100.0

43.3 100.0

Pada kultur yang dilakukan pada lokasi penderita DA, mikroorganisme

yang terdapat mayoritas bentuk bacillus subtilis dan staphylococcus

epidermidis. Pertumbuhan mikroorganisme yang berbeda antara kondisi klinis

DA ringan dan DA sedang diajukan pada tabel 4, ditemukan pola

staphylococcus epidermidis pada kelompok ringan (46.2% staph. epidermidis

ditambah 15.4% gabungan staph. epidermidis dan bacillus subtilis)

Ditemukan pola bacillus subtilis pada atopi sedang sebesar 64.7%, dimana

kedua kondisi klinis ini tidak berbeda signifikan dengan uji statistik.

Tabel.4 pemeriksaan kultur dengan derajat atopik

atopi

ringan sedang Total

Kultur Basillus Subtilis Count 2 11 13

% within atopi 15.4% 64.7% 43.3%

Candida Albicans Count 2 1 3

% within atopi 15.4% 5.9% 10.0%

Staf.epidermidis + Bacillus Subtilis

Count 2 1 3

% within atopi 15.4% 5.9% 10.0%

Staph. Epidermidis Count 6 4 10

% within atopi 46.2% 23.5% 33.3%

Tidak ada pertumbuhan

Count 1 0 1

% within atopi 7.7% .0% 3.3%

Total Count 13 17 30

% within atopi 100.0% 100.0% 100.0%

Page 45: kolonisasi_mikroorganisme

45

B. PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini didapatkan kasus DA lebih banyak pada anak laki-

laki dibandingkan perempuan. Studi epidemiologi dari berbagai kepustakaan

menunjukkan bahwa DA dapat mengenai semua jenis kelamin, pada anak

perempuan lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki. (Abramovits, 2005)

Pada penelitian yang mengenai prevalensi DA pada anak dan remaja di

Jepang yang dilakukan oleh Sugiura dkk, didapatkan hasil 24% pada

kelompok taman kanak-kanak, 19% pada kelompok sekolah dasar tingkat

bawah, 15% kelompok sekolah dasar tingkat atas, 14% pada kelompok junior

high, dan 11% pada kelompok senior high.(Sugiura et al., 1998)

Hasil penelitian menunjukkan derajat DA lebih meningkat pada

dermatitis atopik sedang. Studi epidemiologi akan prevalensi dan keparahan

penyakit yang sangat penting untuk diketahui pada penyakit atopik, pemicu

dan anjuran merupakan prasyarat untuk mengevaluasi dari efek interfensi

pada DA.(Broberg et al., 2000) Penelitian yang dilakukan oleh Saeki dkk,

mengevaluasi prevalensi DA anak sekolah dasar di Jepang, sebanyak 74%

DA ringan, 24% DA sedang dan 1.6% DA berat.(Saeki et al., 2005) Broberg

dkk, melakukan penelitian pada anak-anak dengan menggunakan SCORAD,

dimana mayoritas dari anak-anak menderita DA ringan dan sedang. (Broberg

et al., 2000) Penelitian Keparahan penyakit DA yang dilakukan Sugiura dkk,

prevalensi keparahan didapatkan hasil pada kelompok taman kanak-kanak

Page 46: kolonisasi_mikroorganisme

46

81% dengan DA ringan, 18% DA sedang dan 1% DA berat. Pada kelompok

kelompok sekolah dasar tingkat bawah 86% DA ringan, 13% DA sedang dan

1% DA berat, kelompok sekolah dasar tingkat atas 87% DA ringan, 11% DA

sedang, dan 2% DA berat, pada kelompok junior high 82% DA ringan, 16%

DA sedang, dan 2% DA berat, dan pada kelompok senior high 81% DA

ringan, 17% DA sedang dan 2% DA berat.(Sugiura et al., 1998)

Dermatitis atopik merupakan suatu penyakit kronik yang berawal pada

masa bayi dan anak-anak, hal ini terjadi oleh karena hubungan timbal balik

yang kompleks dari faktor lingkungan, imunologi, genetik dan farmakologi

dan dapat di perberat dengan infeksi, stress, perubahan iklim, bahan iritan

dan alergen. Pada kulit penderita DA ditandai oleh kolonisasi oleh aerob

pada tingkat yang tinggi, hal ini dapat di isolasi dari kulit normal penderita DA.

Kulit atopik harus menjadi lingkungan yang baik untuk kolonisasi dan

multiplikasi dari bakteri aerobik.(Al-Saimary et al., 2006 ) Pada penelitian

yang dilakukan oleh Higaki dkk, mengevaluasi mikrobiologi Staphylococci

pada kulit penderita DA, memberikan hasil 85.7% ditemukannya

Staphylococcus aureus pada pasien DA dan 38.1% Staphylococcus

epidermidis.(Higaki et al., 1999) Al-Saimary dkk, mengisolasi semua tipe

bakteri dari lesi eksematous dan pada dekat area yang sehat pada pasien

DA, dimana pada hasilnya Staphylococcus aureus merupakan agen bakteri

yang paling sering di isolasi dari lesi eksematous (60.48%), sementara

Page 47: kolonisasi_mikroorganisme

47

Staphylococcus epidermidis lebih sering pada area kulit sehat penderita DA

(57.34%). (Al-Saimary et al., 2006 )

Bacillus subtilis (BS) merupakan bakteri saprofit yang biasa ditemukan

pada tanah, air dan udara. Bakteri BS memproduksi kelompok antibiotik

lipopeptida termasuk iturins. Iturins membantu bakteri BS bersaing dengan

mikroorganisme lainnya dengan cara membunuh atau mengurangi angka

pertumbuhannya. BS memproduksi enzim subtils, yang telah dilaporkan

menyebabkan alergi pada kulit atau reaksi hipersensitivitas (NRG, 2004)

Bacillus subtilis dengan mudah naik ke udara dan disebarkan oleh angin.(Earl

et al., 2008) Spora bakteri menguasai beberapa mekanisme pada resistensi

pada agen fisik dan antiseptik.(Mathias et al., 2010)

Penelitian ini juga menunjukkan terjadinya pertumbuhan Candida

albicans, dimana candida albicans sebagai mikro flora pada manusia yang

dapat bertanggung jawab pada pelepasan dari alergen dan DA kronik pada

pasien yang sensitif.(Hedayati et al., 2007) Terdapat penelitian yang

melaporkan tentang produksi dari antibodi IgE spesifik terhadap candida

albicans, mereka menemukan antibodi IgE spesifik candida albicans pada

pasien dengan DA dan/atau asma.(Faergemann, 2002) Savolainen dkk,

menyebutkan bahwa keparahan DA dapat di hubungkan dengan produksi

dari antibodi IgE spesifik candida albican. (Savolainen et al., 1993) Morita

dkk, mengevaluasi reaksi kulit terhadap antigen C. albican, dan juga level

Page 48: kolonisasi_mikroorganisme

48

serum antibodi IgE terhadap C. albican pada penderita DA, penderita alergi

pada hidung, dan non atopik, yang hasilnya hipersensitifitas terhadap C.

albican sangat berkorelasi dengan penderita DA. Antigen C. albican

merupakan faktor intrinsik yang kuat pada mempengaruhi lesi kulit DA oleh

karena hipersesitifitas IgE-mediated terhadap antigen C. albican.(Morita E,

1999)

Pola staphylococcus epidermidis pada kelompok ringan (46.2% staph.

epidermidis ditambah 15.4% gabungan staph. epidermidis dan bacillus

subtilis), ditemukan pola bacillus subtilis pada atopi sedang sebesar 64.7%,

sehingga didapatkan pola yang sama.

Page 49: kolonisasi_mikroorganisme

49

BAB. V

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

1. Hasil penelitian ini mikroorganisme yang ditemukan adalah Bacillus

subtilis 13 orang (43.3%), Staphylococcus epidermidis 10 orang

(33.3%), Candida albican 3 orang (10.0%), campuran Staphylococcus

epidermidis dan Bacillus subtilis pada 3 orang (10.0%) dan tidak terjadi

pertumbuhan pada 1 orang (3.3%), sedangkan kolonisasi bakteri SA

tidak ditemukan.

2. Pada penelitian ini di dapatkan indeks SCORAD selama penelitian,

dermatitis atopi ringan pada 17 orang (56.7%), dermatitis atopi sedang

pada 13 orang (43.3%).

3. Pada pemeriksaan dengan menggunakan media BHIB dan tes

biokimia, baik dengan teknik swab kulit ataupun kerokan kulit didapati

mikrorganisme yang sama.

4. Mikroorganisme yang ditemukan pada penelitian ini sebagai faktor

yang ikut terkait terjadinya dermatitis atopik, kriteria pengambilan

sampel dan teknik laboratorium yang dikerjakan dilakukan pada

Laboratorium Mikrobiologi Fak. Kedokteran UNHAS.

Page 50: kolonisasi_mikroorganisme

50

B. SARAN

Pada penelitian ini terdapat kelemahan yaitu pada pengambilan sampel

hanya pada satu tempat saja, sedangkan untuk membuktikan apakah salah

satu dari mikroorganisme ditemukan dapat menjadi salah satu yang ikut

terkait terjadinya dermatitis atopik anak, diperlukan suatu penelitian dengan

sampel lebih banyak dilokasi sama, begitu juga pada lokasi penelitian lain.

Page 51: kolonisasi_mikroorganisme

51

DAFTAR ISI

ABRAMOVITS, W. (2005) Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 53, S86-93. AL-SAIMARY, I. E., BAKR, S. S. & AL-HAMDI, K. E. ( 2006 ) Bacterial Skin Colonization In

Patients With Atopic Dermatitis / Eczema Syndrome. The Internet Journal of

Dermatology, 4. ANONYMOUS Data jumlah kunjungan baru dan lama poliklinik dermatologi anak di RS

Wahidin Sudirohusodo dan RSAD Pelamonia Makassar tahun 2004-2006. ANONYMUS (2000) Loss Measurement of Houses on Physical and Socio-Economical Aspects

Makassar. ANONYMUS (2010) Data Registrasi sub Bagian Dermatology Anak di Rumah Sakit Wahidin

Sudirohusodo Makassar. AVGERINOU, G., V.GOULES, A., STAVROPOULOS, P. G. & KATSAMBAS, A. D. (2008) Atopic

Dermatitis: new immunologic aspects. International Journal of Dermatology, 47, 219-224.

BAKER, B. S. (2006) The role of microorganisms in atopic dermatitis. Clinical and

Experimental Immunology, 144, 1-9. BIEBER, T. (2008) Mechanisms of Disease Atopic Dermatitis. N Engl J Med 358, 1483-94. BOEDIARJA, S. A. (2000) Beberapa Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus Dermatitis

Atopik. IN BODIARJA, S. A., SUGITO, T. L., WISESA, T. W., SOEBARYO, R. W. & SIREGAR, S. P. (Eds.) Dermatitis Atopik pada Bayi dan Anak: Diagnosis dan

Penatalaksanaan. Jakarta, Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia. BROBERG, A., SVENSSON, A., BORRES, M. P. & BERG, R. (2000) Atopic dermatitis in 5±6-year-

old Swedish children: cumulative incidence, point prevalence, and severity scoring. Allergy 55, 1025-1029.

CAMPBELL, D. E. & KEMP, A. S. (1998) Production of antibodies to staphylococcal superantigens in atopic dermatitis. Arch Dis Child, 79, 400-404.

COHEN, B. A. (2005) Pediatric Dermatology, Maryland, Elsevier Mosby. DALSTRA, J., KUNST, A., BORRELL, C., BREEZE, E., CAMBOIS, E., COSTA, G., GEURTS, J.,

LAHELMA, E., OYEN, H. V., RASMUSSEN, N., REGIDOR, E., SPADEA, T. & MACKENBACH, J. (2005) Socioeconomic differences in the prevalence of common chronic diseases: an overview of eight European countries. International Journal of

Epidemiology 34, 316–326. EARL, A. M., LOSICK, R. & KOLTER, R. (2008) Ecology and genomics of Bacillus subtilis. Trends

in Microbiology 16, 269-275. EBERLEIN-KÖNIG, B., SCHÄFER, T., HUSS-MARP, J., DARSOW, U., MÖHRENSCHLAGER, M.,

HERBERT, O., ABECK, D., KRÄMER, U., BEHRENDT, H. & RING, J. (2005) Skin Surface pH, Stratum Corneum Hydration, Trans-epidermal Water Loss and Skin Roughness Related to Atopic Eczema and Skin Dryness in a Population of Primary School Children: Clinical Report. Acta Dermato-Venereologica, 80, 188-191.

EICHENFIELD, L. F., HANIFIN, J. M. & A.LUGER, T. (2003) Consensus Conference on Pediatric Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 49, 1088-95.

Page 52: kolonisasi_mikroorganisme

52

ELLIS, C. & LUGER, T. (2003) International Consensus Conference on Atopic Dermatitis II (ICCAD II): Chairman's Introduction and Overview. British Journal of Dermatology, 148, 1-2.

FAERGEMANN, J. (2002) Atopic Dermatitis and Fungi. Clinical Microbiology Reviews, 15, 545-563.

FARAJZADEH, S., RAHNAMA, Z., KAMYABI, Z. & GHAVIDEL, B. (2008) Bacterial colonization and antibiotic resistance in children with atopic dermatitis. Dermatology Online

Journal, 14, 21. FRIEDMANN, P. S. & HOLDEN, C. A. (2004) Atopic Dermatitis. IN BURNS, T., BREATHNACH, S.,

COX, N. & GRIFFITHS, C. (Eds.) Rook's Textbook of Dermatology. 7th ed. London, Blackwell Science.

GOH, C.-L., WONG, J. S. & GIAM, Y. C. (1997) Skin colonization of Staphylococcus aureus in atopic dermatitis patients seen at the National Skin Centre, Singapore. Internationai

Journai of Dermatology 36, 653-657. GRAMMER, L. (1997) Atopic dermatitis. IN PATTERSON, R., GRAMMER, L. & GREENBERGER,

P. (Eds.) Allergic diseases diagnosis and management. 5th ed. Philadelphia, Lippincott-Raven.

GUPTA, A. (2005) Malassezia - Associated Disease. Journal of the American Academy of

Dermatology, 52, Supp-P1823. HEDAYATI, M. T., HAJHAYDARI, Z., BROMAND, S., SHOKOHI, T., RAFIEI, A. R. &

MOHAMMADPOUR, R. A. (2007) A Study on Specific IgE Against Candida Albicans in Atopic Dermatitis Patients Referred to Boali Hospital, Sari- Iran Journal of

Mazandaran University of Medical Sciences, 17, 14-22. HIGAKI, S., MOROHASHI, M., YAMAGISHI, T. & HASEGAWA, Y. (1999) Comparative study of

staphylococci from the skin of atopic dermatitis patients and from healthy subjects. Int J Dermatol, 38, 265-9.

HORIUCHI, Y., BAE, S., KATAYAMA, I., MORI, Y. & YAMANISHI, K. (2004) Effects of ultraviolet-inactivated herpes simplex virus type I on atopic dermatitis-like lesions in NC/Nga mice: Role of the suppressor of cytokine signaling in the skin. Allergology

International, 53, 331-340. JACOEB, T. (2004) Manifest Klinis Dermatitis Atopi pada Bayi dan Anak. IN BOEDIARDJA S.A,

SUGIANTO T.L & RIHATMADJA, R. (Eds.) Dermatitis pada Bayi dan Anak. 1st ed. Jakarta, Fakultas Kedokteran Indonesia.

JAMES, W. D., BERGER, T. G. & ELSTON, D. M. (2006) Andrews' Disease of The Skin Clinical

Dermatology, Pennsylvania, Saunders Elsevier. KANG, K., POSTER, A. M., NEDOROST, S. T., STEVENS, S. R. & COOPER, K. D. (2003) Atopic

Dermatitis. IN BOLOGNIA, J. L., JORIZZO, J. L. & RAPINI, R. P. (Eds.) Dermatology. London, Mosby.

KRAFCHIK, B. R., HALBERT, A., YAMAMOTO, K. & SASAKI, R. (2003) Eczematous Dermatitis. IN SCHACHNER, L. A. & HANSEN, R. C. (Eds.) Pediatric Dermatology. 3rd ed. London, Mosby.

LAONITA, R. S. & INDRIATMI, W. (2000) Peran Staphylococcus Aureus pada Dermatitis Atopik. MDVI, 27, 43S-47S.

Page 53: kolonisasi_mikroorganisme

53

LEBON, A., LABOUT, J. A. M., VERBRUGH, H. A., JADDOE, V. W. V., HOFMAN, A., WAMEL, W. J. B. V., BELKUM, A. V. & MOLL, H. A. (2009) Role of Staphylococcus aureus Nasal Colonization in Atopic Dermatitis in Infants. Arch Pediatr Adolesc Med, 163, 745-749.

LEUNG, D., EICHENFIELD, L. & BOGUNIEWCZ, M. (2003) Atopic Dermatitis ( Atopic Eczema). IN FREEDBERG I, EISEN A, WOLFF K, AUSTEN F, GOLDSMITH L & KATZ S (Eds.) Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th ed. NewYork, Mc GrawHill.

LEUNG, D. Y. M., EICHENFIELD, L. F. & BOGUNIEWICZ, M. (2008) Atopic Dermatitis. IN WOLFF, K., GOLDSMITH, L. A., KATZ, S. I., GILCHREST, B. A., PALLER, A. S. & LEFFELL, D. J. (Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York, Mc Graw-Hill.

LEUNG, D. Y. M. & SOTER, N. A. (2001) Cellular and immunologic mechanism in atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol, 44, S1-12.

LEVENSON, J. L. (2008) Psychiatric Issues in Dermatology, Part 1: Atopic Dermatitis and Psoriasis. Primary Psychiatry, 15, 35-38.

LEVER, R. (2006) Microbiology of Atopic Dermatitis. IN HARPER, J., ORANJE, A. & PROSE, N. (Eds.) Textbook of Pediatric Dermatology. 2nd ed. London, Blackwell Publishing.

MATHIAS, O., KABLAN, T. & JOSEPH, A. (2010) Inactivation of Bacillus Subtilis Spores with Pressurized CO2 and Influence of O2, N2O and CH3CH2OH on its Sporicidal Activity. European Journal of Scientific Research, 40, 6-14.

MORAR, N., WILLIS-OWEN, S. A. G., MOFFATT, M. F. & COOKSON, W. O. C. M. (2006) The genetics of atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol, 118.

MORITA E, H. M., YONEYA Y, KANNBE M, TANAKA A, YAMAMOTO S. (1999) An assessment of the role of Candida albicans antigen in atopic dermatitis. J Dermatol, 26, 282-7.

MUTIUS, E. V. (2002) RIsk Factor for Atopic Dermatitis. IN BIEBER, T. & LEUNG, D. (Eds.) Atopic Dermatitis. New York, Marcel Dekker, Inc.

NRG (2004) Bacillus Subtilis. Natural Resources Group, OMRI Listed. O'GARA, J. P. & HUMPHREYS, H. (2001) Staphylococcus Epidermidis Biofilms: Importance

and Implication. J. Med. Microbiol, 50, 582-587. PALLER, A. S. & MANCINI, A. J. (2006) Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology, Chicago,

Elsevies Saunders. RYSTEDT, I., STRANNEGÅRD, I.-L. & STRANNEGÅRD, Ö. (1984) Increased Serum Levels of

Antibodies to Epstein-Barr Virus in Adults with History of Atopic Dermatitis. Int Arch

Allergy Immunol, 75, 179-183. SAEKI, H., IIZUKA, H., MORI, Y., AKASAKA, T., TAKAGI, H., KITAJIMA, Y., TEZUKA, T., TANAKA,

T., HIDE, M., YAMAMOTO, S., HIROSE, Y., KODAMA, H., URABE, K., FURUE, M., KASAGI, F., TORII, H., NAKAMURA, K., MORITA, E., TSUNEMI, Y. & TAMAKI, K. (2005) Prevalence of atopic dermatitis in Japanese elementary schoolchildren. British

Journal of Dermatology, 152, 110-114. SAVOLAINEN, J., LAMMINTAUSTA, K., KALIMO, K. & VIANDER, M. (1993) Candida albicans

and atopic dermatitis. Clinical & Experimental Allergy, 23, 332-339. SIMPSON, E. L. & HANIFIN, J. M. (2005) Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 53, 115-28. SINGH, G. (1975) Pathogenesis of Staphylococcal Infections of the skin. Internationai Journai

of Dermatology, 14, 755-60.

Page 54: kolonisasi_mikroorganisme

54

SOLOMON, L. M. & TELNER, P. (1966) Eruptive Molluscum Contagiosum in Atopic Dermatitis. Canad. Med. Ass. J., 95, 978-9.

SUGITA, T., SUTO, H., UNNO, T., TSUBOI, R., OGAWA, H., SHINODA, T. & NISHIKAWA, A. (2001) Molecular Analysis of Malassezia Microflora on the Skin of Atopic Dermatitis Patients and Healthy Subjects. Journal of Clinical Microbiology, 39, 3486-3490.

SUGITA, T., TAKASHIMA, M., SHINODA, T., SUTO, H., UNNO, T., TSUBOI, R., OGAWA, H. & NISHIKAWA, A. (2002) New Yeast Species, Malassezia dermatis, Isolated from Patients with Atopic Dermatitis. Journal of Clinical Microbiology, 40, 1363–1367.

SUGIURA, H., UMEMOTO, N., DEGUCHI, H., MURATA, Y., TANAKA, K., SAWAI, T., OMOTO, M., UCHIYAMA, M., KIRIMAYA, T. & UEHARA, M. (1998) Prevalence of Childhood and Adolescent Atopic Dermatitis in a Japanese Population: Comparison with the Disease Frequency Examined 20 Years ago. Acta Derm Venereol, 78, 293-294.

TODAR, K. (2011) The Normal Bacterial Flora of Humans Todar's Online Textbook of

Bacteriology.

WUTHRICH, B., COZZIO, A., ROLL, A., SENTI, G., KUNDIG, T. & SCHID-GRENDELMEIER, P. (2007) Atopic Eczema: Genetics or Environment? Ann Agric Environ Med, 14, 195-201.

WUTHRICH, B. & GRENDELMEIER, P. (2002) Definition and diagnosis of intrinsic versus extrinsic atopic dermatitis. IN BIEBER, T. & LEUNG, D. (Eds.) Atopic dermatitis. New York, Marcel Dekker.

YANG, Y. W., TSAI, C. L. & LU, C. Y. (2009) Exclusive Breastfeeding and Incident Atopic Dermatitis in Childhood: A Systematic Review and Meta-analysis of Prospective Cohort Studies. British Journal of Dermatology, 161, 373-383.

YIM, S. M., KIM, J. Y., KO, J. H., LEE, Y. W., CHOE, Y. B. & AHN, K. J. (2010) Molecular Analysis of Malassezia Microflora on the Skin of the Patients with Atopic Dermatitis. Ann

Dermatol 22, 41-47.