kolitis

download kolitis

of 37

description

bahan bahan

Transcript of kolitis

BAB I. PENDAHULUAN

Kolitis merupakan peradangan pada kolon. Peradangan dapat bersifat akut maupun kronik. Jika diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kolitis dapat dibagi menjadi kolitis infeksi dan kolitis non infeksi. Contoh kasus kolitis infeksi adalah shigellosis, kolitis amebik, dan kolitis tuberkulosa. Sedangkan contoh kolitis non infeksi adalah kolitis ulseratif, penyakit crohns, kolitis radiasi, dan kolitis iskemik. Angka kejadian kolitis berbeda tiap jenisnya. Kolitis ulseratif dominan terjadi di Eropa dan Amerika Utara. Angka kejadian 2,2 14,3 tiap 100.000 penduduk. Penyakit Crohn juga dominan di Amerika Utara dengan angka kejadian 3,1 14,6 tiap 100.000 penduduk. Sedangkan kolitis tuberkulosa cenderung banyak di negara negara berkembang seperti Cina, India, dan Indonesia. Pada penelitian di Indonesia, kolitis TB merupakan 3 16% dari angka kejadian TB ekstrapulmoner di Indonesia.Gejala kolitis adalah diare. Sering juga disertai dengan nyeri perut. Pada beberapa kolitis, terdapat tanda dan gejala lain. Misalkan pada kolitis pseudomembranosa, dapat didapati riwayat pasien menggunakan antibiotik tertentu. Gejal gejala lain yang dapat dilihat dari kolitis adalah malaise, anoreksia, demam, dan lain lain. Untuk melihat jenis kolitis secara jelas perlu dilakukan tindakan pemeriksaan penunjang seperti endoskopi agar dapat melihat keadaan mukosa kolon.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

DefinisiKolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon. Berdasarkan penyebab, kolitis dapat diklasifikasikan sebagai kolitis infeksi dan non infeksi. Contoh kolitis infeksi adalah shigellosis, kolitis amebik, dan kolitis tuberkulosa. Sedangkan contoh kolitis non infeksi adalah kolitis ulseratif, penyakit crohns, kolitis radiasi, dan kolitis iskemik (1).InsidensiInsidensi dari kolitis tergantung dari jenis jenisnya. Pada shigellosis atau biasa disebut disentri basiler, angka kejadian tinggi pada daerah dengan kebersihan kurang, seperti di tenda tenda, kota yang dilanda perang, atau kamp pengungsi (2). WHO melakukan estimasi angka kejadian sejak tahun 1966 1997 adalah 165 juta dan 69% diantaranya terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun. Angka kematian diperkirakan antara 500 ribu sampai 1,1 juta. Pada penelitian yang lebih baru di negara negara Asia (2000 2004), angka kejadian masih tetap stabil sedangkan angka kematian menunjukan penurunan, kemungkinan diakibatkan oleh perbaikan gizi yang diterima masyarakat (2). Jika kolitis amebik, sekitar 10% orang di dunia terinfeksi E. histolytica. 10% pasien merasakan gejala setelah 1 tahun terinfeksi dengan perbandingan prevalensi antara pria dan wanita adalah 7 : 1 (2). Kolitis infeksi yang lain, yaitu kolitis tuberkulosa, cukup sulit didapat secara global. Data yang ditemukan adalah di Indonesia, yaitu 3 16% dari kejadian TB ekstrapulmoner (3). Jenis kolitis yang lain, kolitis pseudomembranosa, sesuai dengan etiologinya, terjadi di rumah sakit dengan penggunaan antibiotik dengan level dan dosis tinggi. Biasanya dialami pasien dengan lama rawat inap diatas 1 minggu.Angka kejadian kolitis ulseratif menunjukan banyak di Eropa dan Amerika Utara. Angka kejadian berkisar 2,2 14,3 tiap 100.000 penduduk dengan perbandingan kejadian pria dan wanita 1 : 1. Tapi angka kejadian kolitis di berbagai tempat juga mengalami peningkatan, seperti di Jepang, Korea Selatan, India Utara, Singapura, dan Amerika latin (2). Studi yang dilakukan di Taiwan menunjukan terdapat peningkatan kejadian mencapai 2 kali lipat, dari 0,37 tiap 100.000 pasien pada tahun 1998 menjadi 0,78 tiap 100.000 pasien pada tahun 2008 (4). Untuk penyakit Crohn, data yang ada menunjukan insidensi yang mirip dengan kolitis ulseratif. Angka kejadian di Amerika Utara berkisar 3,1 14,6 tiap 100.000 penduduk. Prevalensi pria dibanding wanita 1 : 1,8. Onset tersering terjadi pada usia 15 30 tahun. Sedangkan onset kedua terbanyak usiAa 60 80 tahun. Merokok terbukti meningkatkan kejadian penyakit Crohn. Sedangkan untuk kolitis iskemik, sering ditemukan pada pasien yang sebelumnya mengalami gangguan vaskularisasi. Pada kasus operasi elektif repair aorta, ditemukan 5 9% kasus kolitis iskemik (2). KlasifikasiTerdapat banyak versi untuk melakukan klasifikasi pada kolitis. Ada yang membagi kolitis menjadi 2, yaitu kolitis infeksi dan non infeksi. Kolitis infeksi terdiri dari shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis pseudomembran, dan kolitis karena virus / bakteri / parasit lain. Sedangkan kolitis non infeksi adalah kolitis ulseratif, penyakit Crohn, kolitis iskemik, kolitis radiasi, atau kolitis non spesifik (2).Pembagian secara etiologi juga dapat dilakukan dengan klasifikasi lebih beragam. Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn dapat digolongkan sebagai kolitis karena autoimun. Kolitis iskemik dapat digolongkan sebagai kolitis karena gangguan vaskuler. Sedangkan kolitis pseudomembran, kolitis tuberkulosa, dan disentri basiler bisa digolongkan sebagai kolitis karena infeksi. Masih ada golongan kolitis yang lain, misal kolitis karena iatrogenik, atau kolitis idiopatik seperti kolitis kolagen dan kolitis mikroskopik.EtiologiSetiap jenis dari kolitis memiliki etiologi yang berbeda beda. Shigellosis, atau bisa juga disebut disentri basiler, disebabkan oleh kuman Shigella. Kuman Shigella sendiri terdiri dari beberapa jenis, yaitu S. dysenteriae, S. flexneri, S. boydii, dan S. sonnei (2). Pada sebuah penelitian di Teheran, Iran, dikatakan bahwa jenis yang paling banyak menginfeksi masyarakat di negara berkembang adalah S. flexneri (5). Sedangkan jenis yang berhubungan dengan kejadian disentri yang parah dan dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam nyawa adalah S. dysenteriae (6). Kolitis tuberkulosa diakibatkan oleh M. tuberculosis. Penyebaran kuman dapat terjadi lewat limfenodi mesenterium, lewat hematogen, atau persebaran langsung dari organ lain yang terinfeksi kuman (3). Proses infeksi M. Tuberculosa biasanya dimulai dari inhalasi yang menyebabkan TB pulmoner. Transmisi dari penyakit ini paling sering didapat dari inhalasi basil droplet pasien TB dengan batuk produktif atau hemoptosis yang terdapat bakteri tahan asam. Infeksi oleh Mycobacterium bovis dapat ditransmisikan lewat susu yang terkontaminasi atau tidak ter sterilisasi dengan baik Kolitis amebik disebabkan oleh Entamoeba hystolitica. Infeksi terjadi saat fase kista. Setelah sampai di dalam usus, kista berubah jadi trofozoit. Infeksi beragam mulai dari asimtomatis atau menyebabkan colitis (2). Sedangkan kolitis pseudomembranosa terjadi pada tempat dengan penggunaan antibiotik dengan level tinggi. Kejadian kolitis pseudomembranosa dikaitkan dengan penggunaan klindamisin, sefalosporin, dan ampisilin. Kuman yang mengakibatkan kolitis pseudomembranosa adalah Clostridium difficile (2). Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn sama sama termasuk sebagai inflammatory bowel disease. Faktor eksternal ( contoh : komposisi flora normal intestinal ) dan faktor internal ( contoh : fungsi perlindungan sel epitel intestinal, fungsi sistem imun ) saling berinteraksi menimbulkan keadaan kronik yaitu fungsi imun mukosa yang tidak ter regulasi. Selain itu juga mendapat rangsangan dari faktor lingkungan, seperti rokok atau enteropatogen. Pada tubuh yang normal, aktivasi sistem imun pada intestinal terhadap bakteri komensal akan langsung diikuti dengan proses dari tubuh yang ain berupa penurunan respon imun dan perbaikan jaringan. Hal ini yang tidak ditemukan pada inflammatory bowel disease (2). Pada orang normal, ketika terdapat antigen yang diberikan secara per oral, maka sitokin anti inflamasi seperti IL 10 dan TNF beta disekresikan. Hal ini yang tidak ada pada inflammatory bowel disease (2). Sedangkan etiologi infeksius penyebab peradangan belum dapat ditemukan. Kuman kuman seperti Campylobacter, Salmonella, Shigella dianggap dapat memicu terjadinya inflammatory bowel disease. Tapi pada pasien penyakit inflammatory bowel disease, mikrobiotik normal seperti Eschericia dapat memacu terjadinya inflamasi (2). Untuk kolitis iskemik, terdapat pembagian etio, yaitu iskemik karena oklusi arteri mesenterika, iskemik non oklusi mesenterika, dan thrombosis vena mesenterika (2). PatofisiologiInfeksi pada disentri basiler terjadi secara oral fekal. Shigella tahan dengan asam, sehingga dapat melewati pertahanan lambung. Diare yang terjadi pada pasien adalah akibat sekresi aktif dari usus dan abnormalitas dalam reabsorpsi cairan. Timbulnya disentri merupakan tanda invasi kuman ke usus (2). Patofisiologi dari TB abdominal dapat dibagi menjadi 4 mekanisme, yaitu tertelan sputum yang infeksius, meyebar secara hematogen, mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi kuman TB, atau persebaran langsung dari organ organ sekitar. Persebaran lewat makanan biasanya juga dapat terjadi lewat susu yang terkontaminasi.Patogenesa dari kolitis TB dapat dibagi menjadi 4 mekanisme yaitu menelan sputum, penyebaran hematogen, meminum susu yang terkontaminasi,dan penyebaran secara langsung dari organ yang terinfeksi. Infeksi pada gastrointestinal dapat terjadi secara primer atau sekunder dengan fokus di bagian tubuh yang lain.Pada kejadian ingesti basil TB, TB intestinal mungkin terjadi akibat mengkonsumsi makanan atau susu yang terkontaminasi. Infeksi sekunder dapat terjadi karena menelan sputum infeksius pada pasien dengan TB pulmoner atau laringeal. Setelah tertelan, bakteri akan melewati lambung dan menuju usus. Kapsul lipid akan melindungi bakteri dari proses digestif oleh asam lambung. Di usus, germinasi membutuhkan tempat dengan jaringan limfoid yang banyak, terutama yang statis secara fisiologis, area dengan kandungan air dan elektrolit tinggi, dan area dengan aktivitas pencernaan rendah. Pada kasus persebaran secara hematogen termasuk persebaran dapat dari paru atau dari organ ekstraintestinal lainnya lesi TB berawal dari mukosa, dengan gambaran mukosa normal. Lokasi yang paling sering terkena adalah regio ileosekal. Afinitas bakteri TB paling tinggi pada daerah itu karena daerah itu mengandung banyak jaringan limfoid dan cenderung memiliki aliran yang lambat. Mikroorganisme akan penetrasi, masuk ke sbumukosa dan mulai berkembang disana. Inflamasi akan terjadi dan menghasilkan limfangitis, endarteritis, granuloma, nekrosis kaseosa, erosi mukosa, dan jaringan fibrotik. Gambaran makroskopik dari usus yang terinfeksi adalah ulserasi (60%), hipertrofi (10%), dan ulkus-hipertrofi (30%). Gambaran ulkus hipertrofi paling banyak ditemukan pada regio ileosekal dibanding regio lain. Patofisiologi kolitis amebik berhubungan dengan molekul yang ada pada trofozoit E. histolytica. Trofozoit E. histolytica memiliki adesin, proteinase, dan molekul lain yang dapat melisiskan sel dan jaringan, induksi apoptosis dan nekrosis sel, dan bertahan dari sistem imun tubuh. Parasit menempel di epitel mukosa kolon dan menembus dinding musin kolon. Parasit ini dapat meliliskan matriks ekstrasel antara sel host dan melemahkan sistem pertahanan host (2).Patofisiologi dari kolitis pseudomembranosa berhubungan dengan perjalanan spora C. difficile. Spora dari C. difficile masuk lewat ingesti, lalu bertahan dari sistem pertahanan tubuh dan berdiam di kolon. Ada 2 toksin yang dilepaskan, yaitu A (enterotoksin) dan B (sitotoksin). Toksin ini mengkacaukan fungsi pelindung dari lambung, membuat diare, dan membentuk pseudomembran. Pseudomembran berada di mukosa kolon dan terlihat seperti plak 1 2 mm. Secara mikros, pseudomembran memiliki titik titik menempel pada mukosa dan mengandung jaringan nekrotik, mukus, dan debris seluler. Terdapat 3 hal yang menjadi esensi berkembangnya kolitis pseudomembranosa. Pertama, terkena kuman C. difficile. Kedua, terpajan atau menggunakan antibiotik yang dapat meningkatkan angka kejadian infeksi. Yang ketiga, tidak kuatnya respon imun. Respon IgG terhadap infeksi sangat mempengaruhi akankah pasien menjadi asimtomatis atau meniombulkan gejala (2).Penyakit Crohn menunjukan terdapat gangguan multi sistem dengan tanda tanda klinis dan patologis dengan ciri ciri secara fokal, asimetris, transmural, dan terkadang inflamasi granulomatosa dengan inflamasi terutama di pencernaan. Perjalanan penyakit dari penyakit Crohn dan kolitis ulseratif yang tergabung dalam inflammatory bowel disease merupakan campuran dari faktor endogen dan eksogen. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi sehingga terjadi peradangan di kolon. Tidak adanya sitokin anti inflamasi seperti IL 10 dan TNF beta yang dikeluarkan kolon saat masuknya antigen ke tubuh menimbulkan keradangan pada kolon. Ditambah lagi mikrobiotik yang dapat merangsang terjadinya keradangan, seperti Salmonella, Shigella, Campylobacter, atau juga mikrobiotik normal seperti Bacteroides, Clostridia, dan Eschericia (2). U.S. Department of Health and Human Services mengemukakan hal yang sama, bahwa teori yang paling popular saat ini adalah sistem imun bereaksi secara abnormal terhadap apapun yang masuk ke dalam tubuh. Tubuh menganggap semua, baik bakteri, makanan, ataupun substansi substansi yang lain sebagai benda asing. Respon imun akan menyerang substansi tersebut, dan sel darah putih akan berada di usus, menyebabkan inflamasi kronik, dan menyebabkan cedera usus dan ulserasi (8.Sesuai namanya, kolitis iskemik terjadi karena gangguan vaskularisasi pada kolon. Secara anatomis, mesenterika mayor memiliki cabang kolateral yang mampu menghindari iskemik. Hanya saja, terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan iskemik, seperti infark miokard, fibrilasi atrium, kelainan katup jantung, atau sedang dalam pemasangan kateter jantung ( percutaneus coronary intervention ). Daerah yang paling sering terkena adalah daerah antara kolon transversal dan kolon descenden yang biasa disebut Griffith point serta daerah kolon sigmoid dan rectum yang disebut dengan sudeck point (2). Manifestasi klinikManifestasi klinik dari disentri basiler tergantung dari serotipe kuman, imun pasien, usia pasien, dan keadaan nutrisi. Terdapat 4 fase pada disentri basiler, yaitu inkubasi, diare encer, disentri, dan post infeksi. Inkubasi antara 1 4 hari. Inkubasi dapat memanjang sampai 8 hari. Manifestasi awal adalah demam, diare cair dalam jumlah terbatas, malaise, dan anoreksia. Gejala dan tanda dapat bervariasi dari hanya rasa tidak nyaman di perut sampai kram perut, diare, demam, muntah, dan tenesmus. Manifestasi yang terjadi pada anak, demam dapat mencapai > 400 celcius, anoreksia parah, dan daire cair. Disentri terjadi beberapa jam atau hari setelah gejala awal. Feses pasien akan berbentuk mukopurulen dan berdarah dengan peningkatan tenesmus dan kram perut. Pada fase ini Shigella menyebabkan kolitis akut terutama menyerang kolon distal dan rektum. Tidak seperti diare pada umumnya, disentri pada kasus ini jarang menyebabkan diare. Jika dilakukan endoskopi, dapat terlihat mukosa yang edema dan berdarah. Luasnya lesi berhubungan dengan intensitas dan jumlah dari feses. Lesi akan mengalami penyembuhan tanpa terapi dalam 1 minggu. Dengan terapi yang tepat, dapat terjadi penyembuhan dalam beberapa hari tanpa menimbulkan sekuele (2).Pada kolitis tuberkulosa, gejala tidak spesifik. Gejala yang ada bisa akut, kronik, atau akut saat proses kronik berlangsung. Riwayat pernah mendapat terapi TB ditemukan pada 6,2 %. Sedangkan riwayat ditemukan TB pada keluarga sebesar 2,9%. Gejala yang dapat ditemukan adalah nyeri perut, menurunnya nafsu makan dan berat badan, keringat dingin, mual muntah, serta diare kronik. Hampir semua pasien memiliki gejala konstitusional seperti demam (40-70%), nyeri (80-95%), diare (11-20%), konstipasi, diare dan konstipasi yang berganti ganti, turun berat badan (40-90%), anoreksia, dan merasa lemas. Nyeri abdomen dirasakan 90% pasien. Masa abdomen di regio kanan bawah (iliaka dekstra) dapat dipalpasi pada 25-50% pasien. Distensi abdomen karena asites dapat ditemukan antara 10-65% penderita. Hal ini yang menjadi pembeda antara kolitis tuberkulosa dengan penyakit Crohn (3). Tanda dan gejala yang ada tidak jelas dan tidak spesifik. Manifestasi klinik mungkiin bersifat akut, kronik, atau akut pada proses yang kronik. Diagnosa TB ileosekal memerlukan kecurigaan yang tinggi terutama pada orang dengan resiko tinggi.Literatur yang ada mengatakan bahwa TB pada sistem pencernaan lebih sering terjadi pada dewasa muda. 2 dari 3 pasien berusia 21 40 tahun dan banyak studi yang mengatakan bahwa wanita lebih banyak dari pria ( 2 : 1 ).Studi yang dilakukan oleh Kahn dan kawan kawan menunjukan penderita lebih banyak wanita. Tanda yang paling sering ditemukan adalah nyeri perut, diare, keringat malam hari, turun berat badan, mual muntah, asites, konstipasi, dan diare. Obstruksi intestinal akut dan subakut terjadi pada 13% dan 11% pasien. Waktu yang ada sejak gejala mulai dirasakan sampai pasien menerima terapi sekitar 265 hari dengan plus minus 150 hari. Riwayat pernah mendapat terapi TB sebelumnya ada pada 6,2 % pasien dan pada 2,9 % pasien ditemukan riwayat TB pada keluarga.Riwayat penyakit, gejala yang ditemukan adalah nyeri perut, keringat dingin, berat badan turun, nafsu makan turun, mual muntah, serta diare kronik. Banyak pasien yang merasakan gejala konstitusi seperti demam (40-70%), nyeri (80-95%), diare (11-20%), konstipasi, perubahan konstipasi diare, turun berat badan (40-90%), anoreksia, dan merasa lemah. Nyeri abdominal kronik dan non spesifik merupakan keluhan utama pada 80% - 90% pasien. Nyeri dapat bersifat kolik ataupun kontinyu jika limfe nodi mesenterium juga terinfeksi.Masa pada kuadran kanan bawah dapat teraba pada 25-50% pasien. Obstruksi dan perforasi kolon juga pernah dilaporkan. Distensi abdomen karena asites terjadi pada 10-65% pasien. Adanya asites dapat menjadi patokan membedakan kolitis TB dan penyakit crohn karena pada penyakit crohn hampir tidak pernah ada asites. Pada pemeriksaan laboratorium, dapat ditemukan anemia ringan dan peningkatan ESR (eritrosit sedimentation rate) pada 50-80% pasien. Hitung leukosit biasanya pada batas normal. Tes tuberkulin pada pasien TB intestinal tidak terlalu akurat untuk diagnosa karena tidak bisa membedakan apakah positif karena penyakit sedang aktif atau karena dulu pernah terinfeksi atau dulu sudah vaksinasi. Pemeriksaan bakteri tahan asam pada sputum feses dan jaringan sering memberikan hasil negatif. Pada studi yang sudah dilakukan, hasil positif hanya ditemukan pada kurang dari 50% pasien. Studi yang lain juga menunjukan kultur bakteri tahan asam lewat spesimen yang didapat dengan proses operasi hanya menunjukan hasil positif pada 8 dari 17 pasien. Penelitian oleh Khan menunjukan hasil kultur Mycobacterium yang menunjukan hasil positif hanya 7% pada pasien TB abdominal dan sensitivitas dari pemeriksaan bakteri tahan asam hanya 24,3%.Gambaran radiologis juga tidak spesifik. Foto ronsen thorax yang normal atau tidak ditemukan kelainan bukan berarti menunjukan pasien normal. Penggunaan barium enema dapat menunjukan ulserasi mukosa dan striktur, deformitas sekum, dan inkompeten katup ileosekal. CT scan dapat menjadi modalitas yang membantu melihat keadaan patologis intra maupun ekstra lumen.

Walau saat ini kolonoskopi sudah tergeser oleh pemeriksaan radiologis, tapi barium enema double contrast dapat memberikan hasil yang lebih mendetail mengenai pola mukosa dan tanda awal TB intestinal. Pemahaman yang baik tentang gambaran radiologis awal dari TB intestinal membuat diagnosa TB intestinal lewat pemeriksaan barium enema double contrast bisa dilakukan.Pada kolitis amebik, 90% penderita tidak merasakan gejala apapun (asimtomatis). Intestinal amebiasis menimbulkan inflamasi dan ulkus pada intestinal. Hal ini menimbulkan manifestasi yang bermacam macam, dari diare biasa, disentri, dan kolitis nekrotik dengan perforasi intestinal dan peritonitis. Gejala klinik untuk kolitis amebic adalah nyeri perut, tidak bisa menahan keinginan defekasi, demam, turun berat badan, diare, dan feses dengan mukus, darah, maupun keduanya. WHO menggambarkan kolitis amebic menjadi 2, yaitu disentri dan non disentri. Jenis disentri berarti pasien mengalami defekasi dengan mukus dan darah serta ditemukan trofozoit. Sedangkan jenis non disentri, feses pasien terdapat atau tidak ada mukus dengan pasti tidak ada darah yang dapat dilihat secara kasat mata. Pada pemeriksaan terdapat kista pada feses (10).Diare merupakan manifestasi tersering kolitis pseudomembran. Feses tidak pernah terlihat darah secara gross. Demam ditemukan di 28% pasien, nyeri perut 22% pasien, dan leukosit pada satu dari dua pasien kolitis pseudomembran. Jika leukosit > 15.000, perlu berhati hati akan terjadinya megakolon toksik dan septis. Rekurensi dapat terjadi. Perhatikan riwayat penggunaan antibiotik oleh pasien (2). Penyakit Crohn cukup sulit untuk di diagnosa karena memiliki manifestasi yang heterogen, onset yang dapat terjadi secara mendadak, manifestasi yang mirip dengan keluhan penyakit lain, dan terkadang tidak ada gejala intestinal tetapi timbul gejala ekstraintestinal. Karakteristik gejala adalah diare kronik atau nocturnal, nyeri perut, turun berat badan, demam, serta perdarahan rectal (tidak ada perdarahan rectal meningkatkan kemungkinan penyakit Crohn dibanding kolitis ulseratif). Gejala klinis lain yang termasuk adalah pucat, kaheksia, masa abdomen, fisura fistula atau abses perianal. Radang pada mata, sendi, maupun kulit dapat terjadi. Pada anak, terdapat beberapa gejala klinik yang dapat diobservasi seperti demam, kegagalan tumbuh kembang normal, anemia, dan keterlambatan dalam kematangan seksual sekunder (7).Penyakit Crohn memiliki beberapa tipe tergantung letak lokasi radang, yaitu jejunoileitis, ileitis, ileokolitis,dan kolitis. Kolon dan ileum merupakan organ yang paling sering terkena (8). Berbeda lokasi menimbulkan manifestasi yang berbeda beda. Jika tipe ileokoitis, daerah ileum terminal paling sering terkena. Tanda tanda berupa nyeri rekuren dan episodik. Tipe nyeri seperti apendisitis. Terdapat nyeri kolik pada abdomen yang berkurang dengan defekasi. Pasien biasanya juga mengalami subfebris. Pada beberapa pasien dapat dirasakan masa pada region iliaka dekstra. Pembesaran massa dapat menghambat ureter sehingga menimbulkan disuria. Inflamasi yang parah dapat menimbulkan abses atau fistula. Perlu dicurigai abses bila demam naik secara tiba tiba. Fistula yang terbentuk dapat menyebabkan ISK rekuren, dispareuni, atau discharge vagina yang sangat sakit tergantung letak vistel kearah vagina atau vesika urinari (2).Radang pada jejunum dan ileum memiliki tanda yang berbeda. Inflamasi ekstensif ditandai dengan hilangnya permukaan digestif dan absorbtif dari usus sehingga terjadi malnutrisi dan steatore. Malabsorpsi intestinal dapat menyebabkan anemi, hipoalbuminemia, hipokalsemia, hipomagnesia, koagulopati, dan hiperoksaliuria dengan nefrolitiasis. Banyak pasien yang memerlukan ferum oral atau bahkan intrevena. Dapat terjadi fraktur vertebra. Kekurangan vit B 12 dapat menyebabkan anemia megaloblastik dan gejala gejala neurologis. Nutrisi nutrisi yang lain juga kurang, seperti vit A, E, K, asam folat, seng, selenium, tembaga, dan magnesium. Diare merupakan karakter yang khas ketika penyakit masuk fase aktif. Hal ini bisa terjadi karena pertumbuhan bakteri berlebih pada stasis obstruktif atau fistulisasi, malabsorpi asam empedu, dan inflamasi intestinal karena absorbsi air berkurang dan sekresi elektrolit bertambah (2).Pasien penyakit Crohn dengan kolitis ditandai dengan subfebris, malaise, diare, perut kram, dan terkadang hematokezia. Perdarahan jumlah besar tidak sesering pada kolitis ulseratif. Hanya 1-2% pasien yang mengalami perdarahan hebat. Nyeri terjadi ketika feses berusaha melewati lumen usus yang mengalami penyempitan. Penurunan compliance rektal dapat menjadi salah satu penyebab diare di penyakit crohn. Toksis megakolon jarang terjadi. Striktur terjadi pada 4-16% pasien dan menimbulkan gejala obstruksi. Gangguan pada kolon dapat menimbulkan fistel ke lambung atau duodenum dan menyebabkan muntah fekal, malabsorpsi, dan bakteri tumbuh berlebih. Gangguan perianal dapat terjadi pada 1 dari 3 pasien. Manifestasi berupa inkontinensia, striktur anal, fisura anorektal, maupun abses perirektal (2). Pada pasien kolitis ulseratif, tanda tanda yang dapat dilihat adalah diare berdarah, tenesmus, nyeri kram abdomen, serta terdapat mukus di feses. Keparahan penyakit berkorelasi dengan gejala yang timbul. Diare berdarah yang terjadi kadangkala bersifat ringan dan intermiten, sehingga pasien tidak langsung pergi ke dokter. Pasien dengan proktitis biasanya terdapat darah segar atau mukus dengan darah. Terdapat tenesmus juga, tapi jarang mengalami kram abdomen. Jiki proktosigmoiditis, konstipasi sering terjadi. Jika penyakit menjalar sampai rektum, dapat ditemukan feses berdarah secara gross. Motiitas kolon mengalami perubahan karena ada inflamasi. Diare sering bersifat nokturnal dan atau postprandial. Gejala lain yang bisa timbul adalah anoreksia, nausea, muntah, demam, dan turun berat badan (2). Untuk kolitis iskemik, keadaan ini sulit untuk didiagnosa. Angka kematian karena kolitis iskemik mencapai > 50%. Kecepatan diagnosa sangat menentukan prognosa. Misalkan pada kasus emboli arteri, dilakukan laparotomi secepatnya sangat memperbaiki prognosa. Contoh lain adalah kasus mesenterika non oklusif. Dengan angiografi, dapat segera diketahui gangguan vaskularisasi yang ada dan dapat segera diberi pertolongan (2).Pemeriksaan PenunjangPada disentri basiler, walau secara klinik diagnosa dapat dikerucutkan, tapi tetap diagnosa tegak memerlukan pemeriksaan feses. Isolasi dan identifikasi kuman perlu dilakukan (6). Pada negara industri, pasien dengan kecurigaan disentri basiler juga perlu dipikirkan mengidap penyakit Crohn (2). Kuman Shigella dapat bertahan selama beberapa waktu diluar tubuh manusia. Walaupun begitu, feses harus segera diperiksa dalam beberapa jam setelah pengambilan sampel karena kuman dapat hilang saat transport akibat perubahan temperatur dan pH. Beberapa media dapat digunakan untuk isolasi kuman, seperti Mackonkey, Eosin Metilen blue, atau medium dengan selektivitas tinggi seperti hektoem (2). Spesimen sebaiknya diambil saat awal gejala akut dan terapi antibiotik belum dimulai, sehingga meningkatkan hasil positif dalam pemeriksaan. Pemeriksaan kepekaan antibiotik pada Shigella perlu dilakukan dengan teknik difusi agar (6).Pada kolitis tuberkulosa, Masalah utama dari TB abdomen adalah diagnostik dan managemen nya. Gejala dan tanda yang ada tidak spesifik dan dapat mirip dengan penyakit lain. TB abdomen ditegakan lewat riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, serta pemeriksaan diagnostik seperti kontrol terhadap pemberian terapi TB. TB abdomen dapat terjadi tanpa adanya TB pulmo. Diagnosis presumtif dapat dibuat jika ada TB pulmo aktif serta pada pemeriksaan radiologis ditemukan bentukan bentukan yang ada pada TB intestinal. Hal yang perlu diingat adalah gambaran x-ray hanya positif pada kurang dari 50% pasien. Diagnosis definitif ditemukan dengan cara pemeriksaan histologis, pemeriksaan menggunakan Ziehl Neelsen, serta kultur, walau sensitivitas yang ada dapat bervariasi. Kolonoskopi dengan biopsi adalah satu dari tindakan diagnostik non operatif yang dapat berguna untuk melihat TB pada ileosekal. Kombinasi dari pemeriksaan histologis dan kultur dari hasil biopsi dapat menegakan diagnosis pada lebih dari 80% pasien. Biopsi dalam pada endoskopi baik dilakukan pada dasar ulkus mengingat kuman ini berkembang di submukosa. Hal ini berbeda dengan penyakit Crohn, dimana granuloma ditemukan pada mukosa. Pemeriksaan PCR dari spesimen biopsi dapat membantu menegakan diagnosa dengan sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi daripada kultur urin dan waktu yang diperlukan lebih pendek. ELISA juga dapat digunakan untuk membedakan TB intestinal dengan penyakit Crohn. Pada TB gastrointestinal, hasil endoskopi tidak memberi gambaran patognomonik. Penemuan granuloma dan bakteri tahan asam pada biopsi yang dilakukan saat endoskopi juga jarang didapatkan. Jika dilakukan kolonoskopi, beberapa bentukan yang dapat dilihat adalah hiperemi mukosa dengan erosi, edema, beberapa dengan perdarahan, masa polipoid multipel yang terlihat pada katup ileosekal dan ileus terminal ( pembeda antara TB, penyakit Crohn, dan keganasan ) dan ulserasi multipel di rektum, kolon askenden, dan saekum. TB kolon segmental atau terisolir terdapat pada 9,2% dari pasien TB abdomen, dan biasa mengenai kolon sigmoid, askenden, dan transversal. Bentukan multifokal pada TB kolon ada pada 28 44%. Analisis yang dilakukan oleh Lee pada penemuan endoskopi, menemukan sistem skoring untuk mendiagnosa penyakit crohn dan TB dengan nilai prediktif 94,9% dan 88,9%. Hasil endoskopi yang mendukung penyakit crohn adalah lesi anorektal, ulkus longitudinal, ulkus aptous, dan cobblestone appereance. Sedangkan gambaran endoskopi untuk TB intestinal adalah ulkus transversal, masa polipoid, adanya lesi pada minimal 4 segmen, serta lesi katup ileosekal.Bentukan histologis yang tampak adalah tanda kronik kolitis dengan kripta yang rusak. Penelitian oleh Pulimoid menunjukan bahwa hasil histologis dapat membantu untuk membedakan TB intestinal dan penyakit Crohn. Hanya saja diperlukan biopsi pada beberaap segmen. Akurasi diagnosa sebanding dengan biopsi yang dilakukan dari rektum sampai ileum. Pada daerah daerah endemik kolitis amebik, diagnosis dengan pemeriksaan penunjang adalah menemukan kista atau trofozoit motil di feses. Teknik ini memiliki spesifisitas yang rendah karena tidak bisa membedakan E. histolytica dengan spesies non patogenik seperti E. dispar atau E. moshkovskii. Akurasi dalam menggunakan mikroskop sangat tergantung akan kemampuan petugas (10).Pemeriksaan penunjang dengan sensitivitas paling tinggi untuk kolitis pseudomembran adalah pemeriksaan feses. Dapat ditemukan toksin A dan B dari C. difficile. Endoskopi dapat menjadi pemeriksaan yang cepat untuk menentukan diagnosa dari kolitis pseudomembranosa (2).Kelainan laboratorium pada penyakit Crohn termasuk peningkatan CRP dan ESR. Pada penyakit yang parah, dapat timbul gejala hipoalbuminemia, anemi, dan leukositosis. Endoskopi pada penyakit crohn dapat ditemukan ulserasi aptous, fistula, lesi. Kolonoskopi juga dapat melihat massa di abdomen serta penyempitan di ileum terminal. Penggunaan endoskopi dapat melihat bila ada gangguan di gastroduodenal. Foto radiologi pada penyakit crohn di awalnya menunjukan gambaran penebalan dan ulserasi aptus. Cobllestone dari ulserasi transversal maupun longitudinal sering sekali mengenai usus kecil. Pada keadaan yang lebih parah, dapat terlihat sktriktur, fistula, massa, dan abses. Ulkus aptus dalam progresivitas penyakit akan membesar, makin menembus lapisan usus, serta saling bergabung membentuk longitudinal stelata. Gambaran string sign dapat terlihat di sepanjang area inflamasi dan fibrosis yang menyebabkan penyempitan lumen. CT enterografi merupakan first line dalam mendiagnosa pasien dengan suspek penyakit crohn dan menentukan komplikasi (2). Pada kolitis ulseratif, gejala aktif biasanya ditandai dengan peningkatan CRP, hitung platelet, ESR, dan penurunan Hb. Fecal laktoferin merupakan marker yang sensitif untuk mengecek inflamasi pada intestinal. Jika keadaan parah, serum albumin dapat menurun dengan cepat. Leukositosis bisa juga terjadi. Sigmoidoskopi biasanya dilakukan sebelum terapi untuk melihat keparahan gejala. Pada radiologis, gambaran awal kolitis ulseratif adalah terdapat mukosa granuler. Dengan meningkatnya keparahan, mukosa menjadi tebal dan terdapat ulserasi superfisial. Terdapat bentukan collar-button jika ulserasi penetrasi sampai mukosa (2).Diagnosa BandingSalah satu hal yang penting adalah bisa membedakan antara kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Secara klinik, endoskopik, dan gambaran radiografi terdapat berbagai perbedaan yang dapat dicermati seperti yang terlihat pada tabel (2).Different Clinical, Endoscopic, and Radiographic Features

Ulcerative ColitisCrohn's Disease

Clinical

Gross blood in stoolYesOccasionally

MucusYesOccasionally

Systemic symptomsOccasionallyFrequently

PainOccasionallyFrequently

Abdominal massRarelyYes

Significant perineal diseaseNoFrequently

FistulasNoYes

Small intestinal obstructionNoFrequently

Colonic obstructionRarelyFrequently

Response to antibioticsNoYes

Recurrence after surgeryNoYes

ANCA-positiveFrequentlyRarely

ASCA-positiveRarelyFrequently

Endoscopic

Rectal sparingRarelyFrequently

Continuous diseaseYesOccasionally

"Cobblestoning"NoYes

Granuloma on biopsyNoOccasionally

Radiographic

Small bowel significantly abnormalNoYes

Abnormal terminal ileumNoYes

Segmental colitisNoYes

Asymmetric colitisNoYes

StrictureOccasionallyFrequently

Tabel II.1. Perbandingan manifestasi klinik, radiologi, dan endoskopi kolitis ulseratif dengan penyakit crohn Selain membedakan antara kolitis ulseratif dan penyakit Crohn, inflammatory bowel disease harus dapat dibedakan dengan kolitis yang lain karena kemungkinan manifestasi yang dapat menyerupai antara satu dengan yang lain (2).Diseases that Mimic Ibd

Infectious Etiologies

BacterialMycobacterialViral

SalmonellaTuberculosisCytomegalovirus

ShigellaMycobacterium aviumHerpes simplex

ToxigenicParasiticHIV

Escherichia coliAmebiasisFungal

CampylobacterIsosporaHistoplasmosis

YersiniaTrichuris trichiuraCandida

Clostridium difficileHookwormAspergillus

GonorrheaStrongyloides

Chlamydia trachomatis

Noninfectious Etiologies

InflammatoryNeoplasticDrugs and Chemicals

AppendicitisLymphomaNSAIDs

DiverticulitisMetastatic carcinomaPhosphosoda

Diversion colitisCarcinoma of the ileumCathartic colon

Collagenous/lymphocytic colitisCarcinoidGold

Ischemic colitisFamilial polyposisOral contraceptives

Radiation colitis/enteritisCocaine

Solitary rectal ulcer syndromeChemotherapy

Eosinophilic gastroenteritis

Neutropenic colitis

Behet's syndrome

Graft-versus-host disease

Tabel II.2. Penyakit lain dengan gejala menyerupai inflammatory bowel diseaseBentukan patologis dari kolitis ulseratif dan penyakit Crohn memiliki beberapa perbedaan. Kolitis ulseratif merupakan penyakit mukosa yang biasanya menjangkiti rektum lalu menyebar ke arah proksimal. 40 50% mengenai rektum dan sigmoid. 30 40% menjangkiti sampai proksimal dari sigmoid tapi tidak seluruh kolon. 20% mengalami kolitis total. Bahkan pada 10% pasien, jika mengalami kolitis keseluruhan, dapat juga menjangkiti sampai ileum terminal. Mukosa mengalami eritema, memiliki permukaan granuler, serta membentuk sandpaper. Pada keadaan yang lebih parah, terdapat gambaran perdarahan, edema, dan ulserasi. Mukosa dapat normal saat remisi, tapi pasien yang mengalami kolitis ulseratif secara kronik, dapat mengalami penyempitan dan pemendekan kolon. Pasien dengan stadium fulminan dapat mengalami toksik kolitis ataupun megakolon, dengan dinding usus yang tipis serta ulserasi parah yang dapat menyebabkan perforasi (2).Penyakit crohn dapat menyerang semua tempat di pencernaan, dari mulut sampai anus. 30 40% menyerang hanya usus kecil, 40 55 % menyerang semua usus, dan 15-25% hanya pada kolon. Berbeda dengan kolitis ulseratif yang hampir selalu menyerang rektum, penyakit crohn jarang mengenai rektum. Fistula perirektal, fisura, abses, dan anal stenosis terjadi pada 1 dari 3 pasien crohn. Terkadang, walau jarang, penyakit crohn menyerang hepar dan pankreas. Penyakit Crohn memiliki proses perjalanan penyakit di transmural. Terdapat bentukan cobblestone yang merupakan karakteristik penyakit ini. Crohn yang aktif memiliki karakteristik yaitu inflamasi fokal dan pembentukan fistel, yang akan membuat fibrosa dan striktur dari pencernaan (2). Gambar II.1. Bentukan kolon pada kasus kolitis ulseratif.Gambar II.2. Bentikan kolon pada penyakit Crohn.

.Gambar II.3. Bentikan kolon pada penyakit TB

Gambar II.4. Bentikan kolon pada penyakit TB

Gambar II.5. Bentikan kolon pada penyakit TB

Gambar II.6. Bentikan kolon pada penyakit TB

Gambar II.7. Bentikan kolon pada penyakit TB

TB intestinal juga memiliki beberapa diagnose banding akibat gejala nya yang tidak spesifik. Malabsorpsi pada pasien juga terjadi pada limfoma. Massa pada abdomen dapat menyerupai penyakit Crohn, karsinoma sekum, dan masa apendikular. Bila terdapat asites, gangguan jantung, hepar, renal, maupun keganasan perlu dipikirkan (3)

TatalaksanaRehidrasi merupakan terapi pertama yang harus dilakukan untuk apapun jenis diare nya. Rehidrasi yang baik menyelamatkan pasien dari kejadian dehidrasi serta menurunkan angka kematian karena diare (6). WHO dan UNICEF menganjurkan solusio standart 245 mOsm/L (sodium 75 mmol/L ; klorida 65 mmol/L ; glukosa 76 mmol/L ; potasium 20 mmol/L ; sitrat 10 mmol/L). Pemberian makan secepat mungkin aman dan memberikan manfaat yang baik. Pada bayi yang masih menyusui, disarankan tetap mempertahankan untuk menyusu ke ibunya jika tidak ada kontraindikasi seperti HIV maternal (2). Terdapat beberapa antibiotik yang dapat digunakan. First line dari disentri basiler adalah siprofloksasin 500 mg 2x/hari per oral. Pada anak, dosis 15mg/kgBB. Second line dari antibiotik untuk disentri basiler adalah ceftriaxon dan azitromycin. Hanya saja, efikasi untuk ceftriaxon belum tervalidasi dan pengobatan secara injeksi IM. Sedangkan azitromycin mahal (2). Penanganan pada kolitis TB dapat menggunakan regimen obat seperti pengobatan TB biasa. Penelitian yang ada menunjukan regimen yang digunakan pada pengobatan TB pulmoner terbukti efektif untuk menangani TB ekstrapulmoner. Gejala sistemik seperti demam, anoreksia, serta turun berat badan dapat menghilang dalam 4 6 minggu. Gejala gastrointestinal akan menghilang setelahnya. Penggunaan kortikosteroid terbukti mengurangi frekuensi dari nyeri abdomen, obstruksi intestinal, dan kejadian terapi dengan operatif sehingga mengurangi angka mortalitas. Pada peritonitis TB, penggunaan kortikosteroid juga memberi manfaat besar (3).

Untuk kolitis amebik, Tinidazole 2 gram/hari per oral dengan makanan selama 3 hari atau metronidazole 750 mg 3x/hari per oral atau intravena selama 5 10 hari bisa menjadi pilihan yang baik (2). Pada kolitis pseudomembran, pengobatan dilihat apakah pasien pernah mengalami kolitis pseudomembran atau belum pernah. Jika baru pertama kali dan tingkat keparahan kolitis ringan atau moderat, dapat digunakan metronidazole 3x500 mg selama 10 14 hari. Sedangkan pada tingkat keparahan yang berat, vankomisin 4 x 125 mg selama 10 14 hari dapat digunakan. Terkadang pasien datang dengan keadaan yang buruk dan telah terjadi komplikasi. Dalam keadaan seperti ini, vankomisin dan metronidazole dapat digunakan bersamaan. Vankomisin 500 mg dapat diberikan per oral atau lewat NGT, sedangkan metronidazole 500 mg lewat infus selama 8 jam. Jika terjadi rekurensi untuk pertama kali, dapat digunakan metronidazole seperti pada tingkat keparahan sedang. Sedangkan jika rekurensi untuk kedua kalinya, vankomisin dapat digunakan (2). Terapi inflammatory bowel disease baik kolitis ulseratif maupun penyakit Crohn sama. Terapi utama adalah sulfasalazine dan agen 5-ASA yang lain. Table 295-7 Oral 5-ASA Preparations

PreparationFormulationDeliveryDosing Per Day

Azo-Bond

Sulfasalazine (500 mg) (Azulfidine)Sulfapyridine-5-ASAColon36 g (acute)24 g (maintenance)

Olsalazine (250 mg) (Dipentum)5-ASA-5-ASAColon13 g

Balsalazide (750 mg) (Colazal)Aminobenzoyl-alanine-5-ASAColon6.759 g

Delayed-Release

Mesalamine (400, 800 mg) (Asacol)Eudragit S (pH 7)Distal ileum-colon2.44.8 g (acute)1.64.8 g (maintenance)

Mesalamine (1.2 g) (Lialda)MMX mesalamine (SPD476)Ileum-colon2.44.8 g

Controlled-Release

Mesalamine (250, 500, 1000 mg) (Pentasa)Ethylcellulose microgranulesStomach-colon24 g (acute)1.54 g (maintenance)

Delayed and Extended-Release

Mesalamine (.375 g) (Apriso)Intellicor extended-release mechanismIleum-colon1.5 g (maintenance)

Tabel II.3. Jenis dan dosis obat yang dapat digunakan untuk menangani inflammatory bowel diseaseSulfasalazine manjadi obat yang efektif untuk IBD, tetapi mempunyai efek samping yang perlu diperhatikan. 30% dari pasien mengalami efek alergistik berupa sakit kepala, anoreksi, mual, dan muntah. Reaksi hipersensitifitas perlu diperhatikan, seperti rash, demam, agranulositosis, hepatitis, pankreatitis, pneumonitis hipersensitifitas, perburukan kolitis, serta abnormalitas sperma yang ireversibel. Sulfasalazine juga mempengaruhi penyerapan folat, sehingga perlu asupan suplementasi folat (2).Kolitis ulseratif yang sedang atau parah akan mengalami perbaikan dengan pemberian glukokortikoid baik oral atau parenteral. Prednison diberikan 40 60 mg/hari pada pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan menggunakan terapi 5-ASA. Glukokortikoid parenteral bisa menggunakan hidrokortison 300mg/hari atau metilprednisolon 40-60 mg/hari. Glukokortikoid tidak berperan dalam terapi maintenance. Jika sudah terlihat remisi, dilakukan tappering off. Perlu diperhatikan efek efek samping dari glukokortikoid, seperti hiperglikemi, redistribusi lemak, retensi cairan, katarak subkapsuler, osteoporosis, osteonekrosis, miopati, gangguan emosi, dan withdrawal syndrome (2).Antibiotik tidak mempan dalam penanganan kolitis ulseratif, tapi berguna dalam penanganan penyakit crohn. Antibiotik yang digunakan biasanya metronidazole dan atau siprofloksasin. Antibiotik berguna dalam keadaan inflamasi aktif dari crohn, fistula, dan perianal (2).Azatioprin dan 6 Mercaptopurin juga merupakan obat yang dapat digunakan. Kedua obat ini berguna untuk menekan sistem imun. Perannya sebagai imunomodulator serta obat untuk maintenance dari IBD cukup menjanjikan. Tetapi walaupun kedua agen ini cukup dapat ditoleransi tubuh, pankreatitis dapat terjadi pada 3-4% pasien yang menggunakan obat ini. Gejala dapat terlihat di awal awal terapi dan dapat langsung menghilang ketika obat dihentikan. Efek samping yang lain adalah mual, demam, hepatitis, dan rash. Supresi sutul dapat terjadi setelah penggunaan panjang (2).Metotreksat juga dapat digunakan. Metotreksat dapat bersifat anti inflamasi dengan menghambat sitokin IL 1. Efek keracunan yang mungkin terjadi berupa leukopeni serta fibrosis hepatik. Pneumositis hipersensitivitas jarang terjadi tapi sangat berbahaya (2).Siklosporin dapat juga menjadi regimen terapi untuk inflammatory bowel disease. Siklosporin adalah peptida lipofilik yang mempengaruhi sistem imun selular maupun humoral. Siklosoporin mengeblok produksi IL-2. Obat ini punya onset yang lebih cepat daripada Azatioprin dan Merkaptopurin. Obat ini dapat menyebabkan penurunan fungsi renal. Hipertensi, hiperplasi ginggiva, parestesi, tremor, sakit kepala, dan gangguan elektrolit sering terjadi. Seizure dan syok anafilaktik dapat terjadi (2). Penanganan pada kolitis iskemik tergantung dari tipe iskemiknya, Berikut tabel yang menggambarkan bagaimana diagnose serta terapi untuk menangani kolitis iskemik (2).

Overview of the Management of Acute Intestinal Ischemia

ConditionKey to Early DiagnosisTreatment of Underlying CauseTreatment of Specific LesionTreatment of Systemic Consequences

Arterial embolusEarly laparotomyAnticoagulation Cardioversion Proximal thrombectomy AneurysmectomyLaparotomy Embolectomy Vascular bypass Assess viability and resect dead bowelEnsure hydration Give antibiotics Reverse acidosis Optimize oxygen delivery Support cardiac output Treat other embolic sites Avoid vasoconstrictors

Arterial thrombosisDuplex ultrasound AngiographyAnticoagulation HydrationEndovascular stent Endarterectomy/thrombectomy or vascular bypass Assess viability and resect dead bowelGive antibiotics Reverse acidosis Optimize oxygen delivery Support cardiac output Avoid vasoconstrictor

Venous thrombosisSpiral CTAnticoagulation Massive hydrationAnticoagulation laparotomy/ thrombectomy/portasystemic shunt Assess viability and resect dead bowelGive antibiotics Reverse acidosis Optimize oxygen delivery Support cardiac output Avoid vasoconstrictors

Nonocclusive mesenteric ischemiaVasospasm: Angiography Hypoperfusion: Spiral CT or colonoscopyEnsure hydration Support cardiac output Avoid vasoconstrictors Ablate renin- angiotensin axisVasospasm Intraarterial vasodilators Hypoperfusion Delayed laparotomy Assess viability and resect dead bowelEnsure hydration Give antibiotics Reverse acidosis Optimize oxygen delivery Support cardiac output Avoid vasoconstrictors

Tabel II.4. Tabel untuk diagnosa dan terapi kolitis iskemik.KomplikasiDisentri basiler dapat menimbulkan komplikasi. 2 komplikasi yang cukup penting adalah toksik megakolon dan HUS. Toksik megakolon terjadi akibat inflamasi parah yang memanjang dari otot polos kolon dan membuat dilatasi serta paralisis. Pasien akan mengalami distensi abdomen dan perut nya keras, dengan atau tanpa gejala peritonitis. Sedangkan tanda tanda HUS adalah pucat, astenia, iritabilitas, di beberapa kasus terdapat perdarahan di hidung, oligouria, dan edema. HUS adalah anemia hemolitik non imun dengan trias anemi hemolitik mikroangiopati, trombositopeni, dan gagal ginjal akut (2).Pada kolitis pseudomembranosa, kejadian rekurensi dapat terjadi pada 15 30% pasien yang mengalami reinfeksi. Pasien dengan rekurensi pertama kali punya peluang cukup tinggi terkena rekurensi kedua kalinya (33-65%). Keadaan rekurensi dapat menjadi berat (11%) dan menimbulkan komplikasi serius seperti syok, megakolon, perforasi, kolektomi, bahkan kematian dalam 30 hari. Kejadian fulminan (progresif dan parah) sering tidak disertai dengan diare, dan mirip dengan akut abdomen. Sepsis ( hipotensi, demam, takikardi, leukositosis ) dapat terjadi. Akut abdomen juga dapat terlihat dengan adanya tanda obstruksi, ileus, penebalan dinding kolon, asites pada CT abdomen, dan sering dengan leukositosis pada darah tepi (>20.000) (2).Penyakit Crohn dapat menimbulkan komplikasi yang cukup beragam. Perforasi dapat terjadi pada 1-2% pasien dan terutama terjadi di ileum. Abses intra abdomen dan abses pelvis dapat terjadi pada 10-30% pasien crohn. Peritonitis akibat perforasi terutama perforasi pada kolon merupakan hal yang fatal. Penggunaan glukokortikoid pada pasien dengan penyakit crohn memperparah keadaan abses pada pasien yang tidak pernah operasi. Obsturksi terjadi pada 40% pasien. Komplikasi lain adalah perdarahan, malabsorbsi, dan penyakit perianal yang parah (2). Kolitis ulseratif juga dapat menimbulkan komplikasi seperti halnya penyakit Crohn. Perdarahan dapat terjadi pada 1% pasien. Terdapat keadaan yaitu toksik megakolon, yaitu kolon ascenden atau transversum dengan diameter >6 cm mengalami kehilangan haustrasi. Dapat terjadi pada 5% serangan dan dapat dieksaserbsasi oleh abnormalitas elektrolit atau penggunaan narkotik. Perforasi merupakan komplikasi paling serius yang mungkin terjadi. Tanda peritonitis terkadang tidak nampak. Striktur juga bisa terjadi pada 10% pasien. Jika terjadi striktur, perlu dicurigai keganasan sampai terbukti bukan (2)PrognosaSaat ini, pasien dengan penyakit Crohn memiliki prognosa yang baik untuk kemampuan bertahan hidup jangka panjang dan kualitas hidup yang baik. Obat obat baru, terapi nutrisi, perkembangan teknik pembedahan, peningkatan kualitas pelayanan paska operasi, dan pengenalan dini kejadian neoplasma meningkatkan prognosa. Pasien dengan penyakit Crohn sekarang memiliki angka mortalitas tidak berbeda jauh dengan orang pada umumnya. Salah satu yang perlu diwaspadai adalah depresi yang dialami oleh pasien karena penyakit yang dialaminya. Angka kejadian bunuh diri pada penyakit Crohn paling tinggi terutama pada dewasa muda. Dokter perlu mengenali kejadian depresi secara dini.

BAB III. DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Interna Publishing.2. Longo, D.L., Kasper, D.L., Jameson, J.L., Fauci, A.S., Hauser, S.L., Loscalzo, J. 2012. Harrisons Principles Of Internal Medicine Eighteenth Edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.3. Oto, B.T., Fauzi, A., Syam, A.F., Simadibrata, M., Abdullah, M., Makmun, D., Manan, C., Rani, A.A., Daldiyono. Colitis Tuberculosis. 2010. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digenstive Endoscopy. Vol. 11, Num. 3; 143-49.4. Chen, C.Y., Lee, K.T., Lee, C.T., Lai, W.T., Huang, Y.B. 2013. Epidemiology and Disease Burden of Ulcerative Colitis in Taiwan: A Nationwide Populatin-Based Study. Value In Health Regional Issues 2. 127-134.5. Ranjbar, R., Dallal, M.M.S., Pourshafie, M.R. 2008. Epidemiology of shigellosis with special reference to hospital distribution of Shigella strains in Tehran. Iranian Journal of Clinical Infectious Diseases. 3(1):35-38.6. Niyogi, S.K. 2005. Shigellosis. The Journal of Microbiology. Vol 43, No 2. p133-143.7. Lichtenstein, G.R., Hanauer, S.B., Sandborn, W.J. 2008. Management of Crohns Disease in Adults. The American Journal of Gastroenterology. doi: 10.1038/ajg.2008.168.8. U.S. Department of Health and Human Services. 2006. Crohns Disease. http://www.digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/crohns/Crohns.pdf [24 Desember 2013].9. http://www.hopkinsmedicine.org/gastroenterology_hepatology/_pdfs/small_large_intestine/crohns_disease.pdf [24 Desember 2013].10. Gonzales, M.L.M., Dans, L.F., Martinez, E.G. 2009. Antiamoebic drugs for treating amoebic colitis. Cochrane Database of Systematic Reviews. DOI: 10.1002/14651858.CD006085.pub2