kognosi B4 3A

38
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional merupakan obat yang sekarang banyak dipilih oleh masyarakat, terlebih adanya kecenderungan gaya hidup untuk kembali ke alam. Seiring dengan berkembangnya pengobatan dengan obat tradisional maka banyak dilakukan praktikum yang dilaporkan membuktikan manfaat tanaman obat untuk mencegah dan menanggulangi penyakit sehingga menjadi perhatian khusus bagi pelayanan kefarmasian. Obat tradisional yang terkenal di Indonesia adalah “jamu” yang merupakan warisan asli budaya bangsa Indonesia yang penggunaannya dikenal secara turun temurun sejak dahulu. Jumlah sediaan obat tradisional yang didaftar pada Badan POM akhir 2006 adalah 14.217 termasuk diantaranya 2.036 produk impor dan 52 produk lisensi (Sudiyani dalam editorial Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka, 2007). Obat tradisional dan obat herbal produksi pabrik yang ada di pasaran telah lebih dari 5000 produk, belum termasuk jamu yang tidak wajib daftar (jamu gendong dan racikan). Hampir semua obat tradisional merupakan campuran lebih dari satu macam tanaman. Lebih dari 90% produk tersebut masih didasarkan manfaat empirik, tanpa pembuktian preklinik. Dilain pihak, sebagian pengobatan tradisional juga menggunakan obat tradisional berupa ramuan dalam praktek pengobatannya dan jenis tanaman obat yang digunakan kemungkinan besar juga 1

Transcript of kognosi B4 3A

Page 1: kognosi B4 3A

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat tradisional merupakan obat yang sekarang banyak dipilih oleh masyarakat, terlebih

adanya kecenderungan gaya hidup untuk kembali ke alam. Seiring dengan berkembangnya

pengobatan dengan obat tradisional maka banyak dilakukan praktikum yang dilaporkan

membuktikan manfaat tanaman obat untuk mencegah dan menanggulangi penyakit sehingga

menjadi perhatian khusus bagi pelayanan kefarmasian. Obat tradisional yang terkenal di

Indonesia adalah “jamu” yang merupakan warisan asli budaya bangsa Indonesia yang

penggunaannya dikenal secara turun temurun sejak dahulu.

Jumlah sediaan obat tradisional yang didaftar pada Badan POM akhir 2006 adalah

14.217 termasuk diantaranya 2.036 produk impor dan 52 produk lisensi (Sudiyani dalam

editorial Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka, 2007). Obat

tradisional dan obat herbal produksi pabrik yang ada di pasaran telah lebih dari 5000 produk,

belum termasuk jamu yang tidak wajib daftar (jamu gendong dan racikan). Hampir semua

obat tradisional merupakan campuran lebih dari satu macam tanaman. Lebih dari 90% produk

tersebut masih didasarkan manfaat empirik, tanpa pembuktian preklinik. Dilain pihak,

sebagian pengobatan tradisional juga menggunakan obat tradisional berupa ramuan dalam

praktek pengobatannya dan jenis tanaman obat yang digunakan kemungkinan besar juga

termasuk bahan yang belum memiliki data uji preklinik dan digunakan berdasarkan data

empirik.

Meningkatkan produksi, peredaran dan penggunaan jamu, di sisi lain dicemari oleh

beredarnya obat tradisional yang tidak terdaftar, obat tradisional yang mengandung bahan

kimia obat serta obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan mutu. Peredaran dan

penggunaan obat tradisional seperti ini selain sangat membahayakan kesehatan/jiwa

konsumen juga merusak citra obat tradisional secara keseluruhan. Kejadian tidak diinginkan

berupa reaksi efek samping obat dapat terjadi akibat interaksi antar komponen, penggunaan

kronik, ataupun interaksi dengan obat-obat konvensional yang dikonsumsi secara bersamaan.

Produk herbal seringkali dicampurkan dengan Bahan Kimia Obat (BKO) untuk

memperoleh efek pengobatan yang cepat. Penggunaan produk herbal secara umum tidak

dapat memberikan efek penyembuhan dalam waktu hanya beberapa jam atau cespleng, akan

tetapi memerlukan waktu tertentu untuk dapat menunjukkan efek yang diinginkan. Kenyataan

1

Page 2: kognosi B4 3A

ini sering tidak dimengerti oleh masyarakat, bahkan ada masyarakat yang memang meminta

produk herbal yang cespleng dan kemudian dimanfaatkan oleh pihak yang tidak

bertanggungjawab dengan cara mencampurkan BKO ke dalam produk herbal untuk

mendapatkan efek yang diinginkan dengan cepat. Perbuatan ini jelas melanggar peraturan

yang berlaku di Indonesia yang mempersyaratkan bahwa produk herbal atau obat tradisional

tidak diperbolehkan mengandung BKO. Oleh karena itu, dilakukanlah praktikum identifikasi

jamu dalam praktikum Farmakognosi II secara KLT.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah Jamu “X” teridentifikasi mengandung bahan kimia obat secara KLT?

1.3 Tujuan Praktikum

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui identifikasi bahan kimia obat pada jamu “X” secara KLT.

1.3.2 Tujuan khusus

Mengetahui bahan kimia obat yang terkandung dalam jamu “X” berdasarkan system TC,

TD, TE.

1.4 Manfaat Praktikum

1.4.1 Bagi penulis

1. Mengaplikasikan pengetahuan yang telah didapat terutama mata kuliah farmakognosi.

2. Memperluas wawasan mengenai identifikasi bahan kimia obat pada jamu “X” secara KLT.

1.4.2 Bagi Akademik

1. Menambah khasanah bacaan mengenai identifikasi bahan kimia obat pada jamu “X” secara

KLT.

2. Sebagai referensi untuk praktikum selanjutnya dan menambah literatur untuk KTI.

2

Page 3: kognosi B4 3A

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jamu

2.1.1 Pengertian

Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang dibuat dari bahan atau ramuan

bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik),

atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk

pengobatan berdasarkan pengalaman (BPOM RI, 2005).

2.1.2 Persyaratan Jamu

Menurut Badan POM RI, obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka harus

memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tamabahan yang memenuhi persyaratan mutu,

keamanan dan kemanfaatan atau khasiat,

b. Dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik atau

Cara Pembuatan Obat yang baik berlaku,

c. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan objektif yang dapat menjamin penggunaan

obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka secara tepat, rasional, aman sesuai

hasil evaluasi dalam rangka pendaftaran.

Larangan Obat Tradisional

(1) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dilarang mengandung :

a. bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat;

b. narkotika atau psikotropika;

c. bahan yang dilarang seperti tercantum pada Lampiran 14;

d.hewan atau tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

(2) Obat tradisional dilarang dalam bentuk sediaan :

a. intravaginal;

b. tetes mata;

c. parenteral;

d. supositoria, kecuali digunakan untuk wasir.

3

Page 4: kognosi B4 3A

(3) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dalam bentuk sediaan cairan

obat dalam tidak boleh mengandung etil alkohol dengan kadar lebih besar dari 1% (satu

persen), kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran.

2.2 Monografi

2.2.1 Coffein

Kofeina mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H10N4O2,

dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian. Serbuk atau hablur bentuk jarum mengkilat biasanya menggumpal; putih; tidak

berbau; rasa pahit.

Kelarutan. Agak sukar larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, mudah larut dalam

kloroform P; sukar larut dalam eter P.

Identifikasi A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan pada suhu 80°

selama 4 jam dan didispersikan dalam parafin cair P menunjukkan maksimum hanya

pada panjang gelombang yang sama seperti pada kofeina PK.

B. Lebih kurang 5mg larutkan dalam 1 ml asam klorida P dalam cawan porselin,

tambahkan 50 mh kalium klorat P, uapkan di atas tangas air hingga kering. Tempatkan

cawan terbalik di atas bejana yang berisi beberapa tetes amonia P; sisa berwarna violet

yang hilang dengan penambahan larutan alkali.

Jarak lebur antara 235° dan 237,5°; penetapan dilakukan menggunakan zat yang telah

dikeringkan pada suhu 80° selama 4 jam.

Arsen Tidak lebih dari 3 bpl.

Logam berat Tidak lebih dari 20 bpl.

Timbal Tidak lebih dari 10 bpl.

Alkaloida lain Pada 5 ml larutan 2% b/v tambahkan larutan kalium tetralodohidrargirat

(II) P; tidak terbentuk endapan.

Zat terarangkan Larutkan 500 mg dalam 5 ml asam sulfat encer P; larutan tidak berwarna

lebih tua dari warna larutan pembanding yang dibuat dengan mencampur 0,3 ml larutan

primer kuning.0,6 ml larutan primer merah, 0,4 ml larutan primer biru yang tertera pada

Tingkat Warna Cairan dan 3,7 ml air.

Susut pengeringan Tidak lebih dari 0,5%; pengeringan dilakukan pada suhu 80° selama 4

jam.

Sisa pemijaran Tidak lebih dari 0,1 %.

4

Page 5: kognosi B4 3A

Penetapan kadar Lakukan penetapan menurut Cara I yang tertera pada Titrasi bebas air

menggunakan 400 mg yang ditimbang seksama larutkan dalam 40 ml anhidrat asetat P,

panaskan, dinginkan; tambahkan 80 ml benzen P.

1 ml asam perklorat 0,1 N setara dengan 19,42 mg C8H10N4O2

Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik.

Khasiat dan penggunaan Stimulan syaraf pusat, kardiotonikum.

Dosis maksimum Sekali 500 mg, sehari 1,5 g.

2.2.2 Parasetamol

Asetaminofen mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%

C8H9NO2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian Hablur atau serbuk hablur putih; tidak berbau; rasa pahit.

Kelarutan Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian

aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P; dalam larutan

alkali hidroksida.

Identifikasi A. Larutkan 100 mg dalam 100 ml air, tambahkan 0,05 ml larutan besi (III)

klorida P; terjadi warna biru violet.

B. larutkan 200 mg dalam 4 ml piridina P, tambahkan 500 mg para nitrobenzoilklorida P,

didihkan selama 2 sampai 3 menit, dinginkan, tuangkan dalam 40 ml air sambil diaduk.

Cuci endapan berturut-turut dengan 30 ml air, dengan 30 ml larutan natrium karbonat P 1

% b/v dan dengan 30 ml air; hablurkan kembali dengan etanol (95%) P; suhu lebur hablur

lebih kurang 210.

C, Larutkan 50 mg dalam 100 ml metanol P; pada 1 ml asam klorida 0,1 N kemudian

metanol P secukupnya hingga 100,0 ml. Serapan 2 cm larutan pada 249 nm lebih kurang

0,90.

D, Didihkan 100 mg dengan 1 ml asam klorida P selama 3 menit, tambahkan 10 ml air,

dinginksn; tidak terbentuk endapan. Tambahkan 0,05 ml kalium bikromat 0,1 N; terjadi

perlahan-lahan warna violet yang tidak berubah menjadi merah (perbedaan dari

fenasetina).

Suhu lebur 169° sampai 172°.

Timbal Tidak lebih dari 10 bpj.

Para minofenol Larutkan 5,0 g dalam campuran yang terdiri dari air dan metanol P

volume sama secukupnya hingga 100,0 ml. Tambahkan 1,0 ml larutan natrium

nitrograsida basa P, campur, biarkan selama 30 menit; warna biru larutan tidak lebih tua

dari warna larutan pembanding yang dibuat sebagai berikut: Larutkan 5,0 g asetaminofen

5

Page 6: kognosi B4 3A

bebas paraminofenol P dalam campuran metanol P dan air volume sama, tambahkan 5 ml

larutan paraminofenol P 0,005% b/v dalam campuran metanol P dan air volume sama,

encerkan dengan campuran di atas secukupnya hingga 100,0 ml. Tambahkan 1,0 ml

larutan natrium nitroprosida basa P, campur, biarkan selama 30 menit.

Susut pengeringan Tidak lebih dari 0,5%.\

Sisa pemijaran Tidak lebih dari 0,1%.

Penetapan kadar Lakukan penetapan dengan cara Penetapan kadar nitrogen, menggunakan

300 mg yang ditimbang saksama dan 8 ml asam sulfat bebas nitrogen P.

1 ml asam sulfat 0,1 N setara dengan 15,116 mg C8H9NO2

Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.

Khasiat dan penggunaan Analgetikum; antipiretikum.

2.2.3 Methampyron

Metampiron mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0%

C13H16N3NaO4S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian Serbuk hablur; putih atau putih kekuningan.

Identifikasi A. Pada 3 ml larutan 10% b/v tambahkan 1 ml sampai 2 ml asam klorida

enver P dan 1 ml larutan besi (III) klorida P 10% b/v; terjadi warna biru yang jika

dibiarkan berubah menjadi merah, kemudian tidak berwarna B. Panaskan 2 ml larutan

10% b/v yang telah diasamkan dengan asam klorida encer P; terjadi gas belerangdioksida.

Natrium bisulfit Larutkan 100 mg dalam 10 ml air; larutan berwarna jenih dan jika

ditambahkan larutan biru bromtimol P berwarna hijau.

Arsen berat Tidak lebih dari 20 bpj

Susut pengeringan Tidak lebih dari 5,5%; pengeringan dilakukan menggunakan 250 mg

yang ditimbang seksama.

Penetapan kadar Timbang seksama 200 mg, larutkan dalam 5 ml air. Tambahkan 5 ml

asam klorida 0,02 N dan segera titrasi dengan larutan iodium 0,1 N, menggunakan

indikator larutan kanji P, dengan sekali-sekali dikocok hingga terjadi warna biru yang

mantap selama 2 menit.

1 ml larutan iodium 0,1 N setara dengan 16,67 mg C13H16N3NaO4S.

Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik.

Khasiat dan penggunaan Analgetikum, antipiretikum.

2.2.4 Kloroform

6

Page 7: kognosi B4 3A

Kloroform adalah triklormetana, mengandung etanol 1,0% v/v sampai 2,0% v/v sebagai

zat penstabil.

Pemerian Cairan, mudah menguap; tidak berwarna; bau khas; rasa manis dan membakar.

Kelarutan Larut dalam kemih lebih kurang 200 bagian air; mudah larut, dalam etanol

mutlak P dalam eter P, dalam sebagian besar pelarut organik, dalam minyak atsiri dan

dalam minyak lemak.

Identifikasi A. Tidak dapat terbakar. Upaya dalam nyala Bunsen memberikan nyala

berwarna hijau dan menghasilkan uap beracun berbau khas.

B. hangatkan 1 tetes dengan 1 tetes anilina P dan 1 ml larutan natrium hidroksida P 8%

b/v; terjadi fenilkarbilamina yang berbau khas dan beracun.

Bobot per ml 1,474 g sampai 1,479 g.

Jarak didih Tidak lebih dari 5,0% v/v tersuling pada suhu di bawah 60°; sisa tersuling

pada suhu antara 60° dan 62°.

Bau asing Uapkan 10 ml pada sepotong kertas saring lebar yang ditempatkan di atas

cawan hangat; tidak terjadi bau asing selama penguapan.

Keasaman-kebasaan ; Klorida; Klor bebas Kocok 10 ml dengan 20 ml air bebas

karbondioksida P selama 3 menit, biarkan memisah; lapisan air memnuhi syarat berikut :

Keasaman-kebasaan Pada 5 ml larutan tambahkan 0,1 ml larutan lakmus P; warna yang

terjadi tidak berbeda dari warna larutan yang dibuat dengan menambahkan 0,1 ml larutan

lakmus P pada 5 ml air bebas karbondioksida P.

Klorida Pada 5 ml tambahkan 5 ml air dan 0,2 ml larutan perak nitrat P; tidak terjadi

opalesensi.

Klor bebas Pada 10 ml larutan, tambahkan 1 ml larutan kadmium iodida P dan 2 tetes

larutan kanji P; tidak terjadi warna biru.

Aldehida Kocok 5 ml dengan 5 ml air dan 0,2 ml larutan kalium tetraiodohidrargirat (II)

basa P dalam labu bersumbat. Biarkan di tempat gelap selama 15 menit; hanya boleh

berwarna kuning pucat.

Zat organik asing; senyawa klor asing Kocok 20 ml dengan 10 ml asam sulfat bebas

klorida P selama 5 menit dalam labu bersumbat yang telah dibilas dengan asam sulfat

bebas klorida P biarkan di tempat gelap selama 30 menit; lapisan asam dan lapisan

kloroform tetap tidak berwarna.

Zat organik asing Pada 2 ml lapisan asam tambahkan 5 ml air; cairan tetap jernih, tidak

berwarna dan tidak memberikan bau yang tidak enak. Tambahkan 10 ml air dan 0,2 ml

larutan perak nitrat P; tidak terjadi opalesensi.

7

Page 8: kognosi B4 3A

Senyawa klor asing Kocok 15 ml lapisan kloroform dengan 30 ml air dalam lab bersumbat

selama 3 menit, biarkan memisah. Pada lapisan air tambahkan 0,2 ml larutan perak nitrat

P, biarkan di tempat gelap selama 5 menit; tidak terjadi opalesensi.

Hasil peruraian Masukkan 20 ml ke dalam labu bersumbat yang telah dibilas dengan asam

sulfat P. Tambahkan 15 ml asam sulfat P dan 4 tetes formaldehida P. Kocok selama 30

menit, biarkan selama 30 menit; lapisan asam hanya boleh berwrna lemah. Selama

pengujian labu terlindung dari cahaya.

Sisa penguapan Tidak lebih dari 1 mg; penguapan dilakukan menggunakan 25 ml,

kemudian dikeringkan pada suhu 105° hingga bobot tetap.

Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik bersumbat kaca, terlindung dari cahaya.

Khasiat dan penggunaan Anestetikum umum; pengawet; zat tambahan.

2.2.5 Natrium Hidroksida

Natrium Hidroksida mengandung tidak kurang dari 97,5% alkali jumlah dihitung sebagai

NaOH dan tidak lebih dari 2,5% Na2CO3

Pemerian Bentuk batang, butiran, massa hablur atau keoing, kering, keras, rapuh dan

menunjukkan susunan hablur; putih, mudah meleleh basah. Sangat alkalis dan korosif.

Segera menyerap karbondioksida.

Kelarutan sangat mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) P

Identifikasi Larutan bereaksi alkalis kuat, jika dinetralkan dengan asam klorida encer P,

menunjukkan reaksi Natrium yang tertera pada Reaksi identifikasi.

Klorida Larutan 500 mg dalam air dengan penambahan 1,8 ml asam nitrat P, memenuhi

Uji batas klorida

Sulfat Memenuhi Uji bagan sulfat : pengujian dilakukan menggunakan larutan yang

dibuat sebagai berikut : Larutkan 500 mg dalam 5 ml air, tambahkan 4,5 ml asam klorida

encer P.

Alumunium, besi, zat larut dalam asam klorida Tidak lebih dari 5 mg. Pengujian

dilakukan sebagai berikut : Didihkan 5,0 g dengan 50 ml asam klorida encer P, dinginkan.

Basakan dengan amonia encer P, didihkan, saring, cuci sisa dengan larutan amonium

nitrat P 2,5% b/v, pijarkan, timbang.

Arsen Tidak lebih dari 4 bpj.

Logam berat Tidak lebih dari 5 bpj.

Penetapan kadar Timbang saksama 2 g, larutkan dalam 25 ml air, tambahkan 5 ml larutan

barium klorida P. Titrasi dengan asam klorida 1 N menggunakan indikator larutan

8

Page 9: kognosi B4 3A

fenolftalein P. Lanjutkan titrasi dengan asam klorida 1 N menggunakan indikator larutan

biru bromfenol P.

1 ml asam klorida 1 N setara dengan 40,0 mg NaoH

Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik.

Khasiat dan penggunaan Zat tambahan.

2.2.6 Asam Klorida

Asam Klorida mengandung tidak kurang dari 35,0% dan tidak lebih dari 38,0% HCL.

Pemerian Cairan; tidak berwarna; berasap, bau merangsang. Jika diencerkan dengan 2

bagian air, asap dan bau hilang.

Bobot per ml Lebih kurang 1, 18 g.

Keasaman-kebasaan Larutan yang sangat encer masih bereaksi asam kuat terhadap kertas

lakmus P.

Brom bebas dan klor bebas; Bromida dan Iodida; Sulfat dan Sulfit

Campur 1 bagian volume dengan 2 bagian volume air; larutan memenuhi syarat berikut :

Brom bebas dan klor bebas Pada 10 ml larutan tambahkan 1 ml larutan kalium iodida P

dan 1 ml kloroform P, kocok : lapisan kloroform tidak berwarna violet dalam waktu tidak

kurang dari 1 menit.

Bromida dan iodida Pada campuran 10 ml larutan dan 1 ml kloroform P tambahkan tetes

demi tetes larutan klor P yang telah diencerkan dengan air volume sama, sambil terus

menerus dikocok; lapisan kloroform tidak berwarna kuning, jingga atau violet.

Sulfat Pada campuran 3 ml larutan dan 5 ml air tambahkan 5 tetes larutan barium klorida

P; tidak terjadi kekeruhan atau endapan dalam waktu 1 jam.

Sulfit Pada larutan yang telah digunakan untuk Sulfat tambahakan 2 tetes iodium 0,1 N;

tidak terjadi kekeruhan atau warna iodium hilang.

Arsen Tidak lebih dari 5 bpj.

Logam berat Tidak lebih dari 5 bpj; pengujian dilakukan menggunakan 25 ml yang dibuat

sebagai beriut : Uapkan 4 g di atas tangas air hingga kering, tambahkan 2 ml asam asetat

encer P, encerkan dengan air hingga 25,0 ml.

Penetapan kadar Ke dalam labu bersumbat kaca yang telah ditera yang berisi 20 ml air,

masukkan 3 ml zat uji yang diukur saksama, encerkan dengan 25 ml air. Titrasi dengan

natrium hidroksida 1 N menggunakan indikator larutan merah metil P.

1 ml natrium hidroksida 1 N setara dengan 36,46 mg HCL

Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat.

Khasiat dan penggunaan Zat tambahan.

9

Page 10: kognosi B4 3A

2.2.7 Aqua Destilata

Air suling Dibuat dengan menyuling air yang dapat ---------

------- Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa.

Keasaman-kebasaan Pada 10 ml tambahkan 2 tetes larutan merah metil P; tidak terjadi

warna merah. Pada 10 ml tambahkan 5 tetes larutan biru bromtimal P; tidak terjadi warna

biru.

Amonium Pada 50 ml tambahkaan 2 ml larutan kalium tetraiodohidrargirat (II) basa P.

Amati warna dalam tabung pembanding di atas dasar putih; warna tidak lebih tua dari

warna larutan pembanding yang dibuat dengan mencampur 50 ml air bebas amoniak P

dan 2 ml amonium klorida encer P, yang dibedakan dengan cara yang sama.

Besi, tembaga dan timbal Pada 100 ml tambahkan 1 tetes larutan natrium sulfida P, cairan

tetap jernih dan tidak berwarna.

Kelarutan Pada 100 ml tambahkan 2 ml larutan amonium oksalat P; tidak terjadi

kekeruhan.

Korida Pada 10 ml tambahkan 1 ml larutan perak nitrat P, biarkan selama 5 menit, cairan

jernih tidak berwarna.

Nitrat Tuangkan hati-hati 5 ml di atas 5 ml larutan ----------; tidak terjadi warna biru, ada

bidang batas.

Sulfat Pada 10 ml tambahkan 1 ml larutan barium klorida P, biarkan selama 5 menit;

cairan jernih tidak berwarna.

Karbondioksida Pada 25 ml tambahkan 25 ml larutan kalsium hidroksida P, biarkan

selama 5 menit; larutan jernih.

Zat teroksidasi Didihkan 100 ml dengan 10 ml asam sulfat encer P dan 0,5 ml kalium

permanganat 0,01 N, warna tidak hilang.

Sisa penguapan Tidak lebih dari 0,001% b/v; penguapan dilakukan di atas tangas air

hingga kering.

Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik.

2.3 Kromatografi

2.3.1 Definisi

Kromatografi adalah cara pemishan zat khasiat dan zat lain yang ada dalam sediaan

dengan jalan penyarian berfraksi, penyerapan atau penukaran ion pada zat berpori,

menggunakan cairan atau gas yang mengalir (FI III, 1979).

10

Page 11: kognosi B4 3A

Kromatografi didefinisikan sebagaiprosedur pemisahan zat terlarutoleh suatu proses

migrasi diferensial dinamisdalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu

diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan dalam nya zat – zat

itu menunjukkan perbedaan mobilitas, disebabkan adanya perbedaan dalam absorbs, partisi,

kelarutan, tekanan, uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion (FI IV, 1995).

2.3.2 Macam – macam Kromatografi

Menurut Watson (2009), kromatografi dibedakan menjadi :

1. Kromatografi kolom,

2. Kromatografi kertas,

3. Kromatografi lapis tipis,

4. Kromatografi gas,

5. Kromatografi cair kinerja tinggi.

2.3.3 Definisi Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan zat secara cepat dengan

menggunakan zat penjerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada lempeng kaca

(BPOM RI 1995).

2.3.4 Prinsip Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia. Mempunyai lapisan

pemisah yang terdiri dari bahan yang berbulir – bulir (fase diam), ditempatkan pada

penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah

berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah lapisan atau pelat dimasukkan di

dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak),

pemisahan terjadi selama pengembangan. Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus

ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).

Pada kromatografi, komponen akan dipisahkan oleh dua buah fase yaitu fase diam dan

fase gerak. Fase diam akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak akan

melarutkan zat komponen campuran. Komponen yang mudah tertahan pada fase diam akan

tertinggal, sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih

cepat. Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponenkomponen yang

terdapat dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang

berbeda( Haqiqi, 2008).

11

Page 12: kognosi B4 3A

Senyawa yang memiliki afinitas lebih besar terhadap fase gerak (atau afinitas yang

lebih kecil terhadap fase diam) akan bergerak lebih cepat daripada senyawa yang memiliki

sifat sebaliknya. Perbedaan laju perpindahan ini merupakan dasar dari semua pemisahan

secara kromatografi

2.3.5 Sistem Kromatografi

Dibedakan berdasarkan senyawa :

a. Basic Nitrogen Drug General Screen

Sistem TA

Lempeng : Silika gel 6,250 μm

Fase gerak : Metahon, larutan amoniak kuat (100:1,5)

Referensi : Diazepam Rf 79, Codein Rf 33

Sistem TB

Lempeng : Silika gel 6,250 μm

Fase gerak : Sikloheksana:toluena:dietilamin (75:15:10)

Referensi : Codein Rf 06

Sistem TC

Fase gerak : Chloroform:metanol (90:10)

Referensi : Coffein Rf 58, Meclozine Rf 79

b. Acidic and Neutral Drug General Screen

Sistem TD

Lempeng : Silika gel 6,250 μm

Fase gerak : Chloroform:aseton (4:1)

Referensi : Parasetamol Rf 15, Metohexiton Rf 73, Quinalbarbitone Rf 55

Sistem TE

Fase gerak : Etil asetat:metanol:larutan amoniak kuat (85:10:5)

Referensi : Prazepam Rf 81, HCT Rf 34

Sistem TF

Fase gerak : Etil asetat

Referensi : Fenasetin Rf 38

c. Analgetic, non Steroid, Antiinflamasi dan Asam berbahaya lain

Digunakan sistem TG sampai sistem TW. Sistem TK untuk referensi Glikosida

jantung

Pemilihan Sistem :

12

Page 13: kognosi B4 3A

1. Basic Nitrogen : TA, TB, TC

2. Acid and Neutral Drug : TD, TE, TF

Amfetamin, stimulan lain dan adorectic : TA, TB, TC

Analgetik, non steroid, antiinflamasi dan asam kuat lain : TD, TF, TG

Antikonvulsan : TD, TE, TF

Antidepressan : TA, TB, TC

Histamin : TA, TB, TC

Barbiturat : TD, TE, TH

Benzodiazepin : TD, TE, TF

Cannabianoids : TI, TJ

Glikosida jantung : TK

Diuretik : TD, TE, TF

Alkaloid ergot : TI, TM

Anastetik lokal : TA, TB, TC, TL

Analgetik Narkotik : TA, TB, TC

Fenotiazin dan transquilizer lainnya : TA, TB, TC

Quaternary amonium compound : TN, TO

Steroid : TP, TQ, TR, TS

Sulponadrida : TT, TU, TV

Pestisida : TW

2.3.6 Fase Diam

Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan

diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata- rata partikel fase diam dan

semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal

efisiensinya dan resolusinya (Rohman, 2009).

Penjerap yang paling sering digunakan pada KLT adalah silika dan serbuk selulosa,

sementara mekanisme sorpsi-desorpsi (suatu mekanisme perpindahan solut dari fase diam ke

fase gerak atau sebaliknya) yang utama pada TLC adalah partisi dan adsorbsi. Penjerap yang

paling banyak digunakan adalah silica gel. Silica gel ini menghasilkan perbedaan dalam efek

pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya. Hal yang harus diingat bahwa

penjerap seperti aluminium oksida dan silica gel mempunyai kadar air yang berpengaruh

nyata terhadap daya pemisahnya (Stahl, 1985).

13

Page 14: kognosi B4 3A

2.3.7 Fase Gerak

Fase gerak merupakan medium akut yang terdiri dari satu atau beberapa pelarut. Ia

begerak di dalam fase diam yaitu lapisan berpori karena terdapat gaya kapiler. Yang

digunakan hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan, sistem pelarut

multikomponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas

maksimum 3 komponen( Stahl, 1995).

Campuran yang sederhana sebagai fase gerak yakni dua pelarut organik karena daya

elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan

dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan

mengoptimasi fase gerak :

1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan

teknik yang sensitif.

2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara

0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.

3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas

fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan

nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam

pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.

4. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai

fase geraknya seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu.

Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan meningkatkan

solut-solut yang bersifat basa dan asam (Kaelay,2002).

2.3.8 Penjenuhan Bejana Kromatografi

Bejana harus dapat menampung pelat 200x200 mm dan harus tertutup rapat. Untuk

kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih yang lebarnya 18 – 20

cm dan panjangnya 45 cm ditaruh pada dindin sebelah dalam bejana berbentuk U dan

dibasahi dengan pelarut pengembang. Tingkat kejenuhan bejana dengan uap pelarut

pengembang mempunyai pengaruh yang nyata pada pemisahan dan letak bercak pada

kromatogram. Laju aliran pelarut pengembang lebih cepat di dalm bejana tanpa kertas saring

dibandingkan bercak yang terbentuk pada bejana yang dijenuhkan sempurna dengan uap

14

Page 15: kognosi B4 3A

pelarut pengembang. (Stahl, 1989). Kertas saring berfungsi untuk mencegah terjadinya

penguapan dari lapisan fasa diam.

2.3.9 Penotolan Sampel

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika

menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Hasil praktikum

menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara

manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 µl. Penotolan sampel yang

tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda.

2.3.10 Deteksi Bercak

Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak bewarna. Untuk

penentuannya dapat dilakukan secara kimia dengan mereaksikan bercak dengan suatu

pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Kadang-kadang lempeng

dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas

warna bercak. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan

fluoresensi sinar ultraviolet. Lapisan tipis sering mengandung indikator fluoresensi yang

ditambahkan untuk membantu penampakan bercak tanwarna pada lapisan yang telah

dikembangkan. Indikator fluoresensi ialah senyawa yang memancarkan sinar tampak jika

disinari dengan sinar berpanjang gelombang lain, biasanya sinar ultraviolet. Indikator

fluoresensi yang paling berguna ialah sulfida anorganik yang memancarkan cahaya jika

disinari pada 254 nm. Indikator fluoresensi terdapat dalam penjerap niaga dan lapisan siap

pakai sekitar 1% dan tampaknya tidak berperan dalam proses kromatografi (Rohman, 2009;

Gritter, 1991).

2.3.11 Perhitungan Harga Retention Factor (Rf)

Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka

Rf atau hRf. Retension factor atau Rf adalah perbandingan jarak rambat penotolan terhadap

jarak rambat fase gerak diukur dari titik penotolan. Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00

dan hanya ditentukan dua decimal, sedangkan hRf ialah angka Rf dikalikan factor 100

menghasilkan angka 0 – 100 (Stahl, 1985).

Rf =

15

Page 16: kognosi B4 3A

2.4 Kerangka Konsep

2.5 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi

Operasional

Alat

ukur

Hasil Ukur Skala Ukur

A. Independent

Jamu yang

beredar di

masyarakat

Obat Tradisional

Indonesia yang

beredar dan

sering digunakan

oleh masyarakat

Nama

Jamu

Tercantum

Tidak

tercantum

Tercantum

dalam Public

Warning No.

HM.03.03.1.43.

08.10.8013

tanggal 13

agustus 2010

B. Dependent

Identifikasi

Bahan Kimia

Obat (BKO)

Bahan kimia obat,

paracetamol,

Coffein,

Methampiron

yang ditambahkan

dalam jamu.

KLT Positif BKO

Negatif BKO

Nominal

16

Jamu yang beredar di masyarakat

Ada atau tidaknya BKO dalam jamu

Variabel dependenVariabel Independen

Uji KLT

Page 17: kognosi B4 3A

BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Desain Praktikum

Praktikum ini menggunakan metode eksperimental. Eksperimen dilakukan dengan

mengidentifikasikan bahan kimia dalam jamu. Teknik sampling yang digunakan adalah

purposive sampling atau sampling pertimbangan yaitu sampel jamu yang beredar dan banyak

digunakan oleh masyarakat di pasar DKI Jakarta.

3.2 Tempat dan waktu Praktikum

Praktikum dilakukan di laboratorium Farmakognosi Politeknik Kemenkes Jakarta II

Jurusan Farmasi pada 14 November 2011.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi adalah semua jamu yang beredar di pasar DKI Jakarta. Sampel adalah jamu

yang beredar dan banyak digunakan oleh masyarakat di pasar DKI Jakarta.

3.4 Alat dan Bahan

Bejana kromatografi, lempeng kromatografi, pipa kapiler, oven, lampu UV, corong pisah,

corong, Erlenmeyer, beaker glass, gelas ukur, cawan uap, kertas saring, kertas pH universal

dan indikatornya, batang pengaduk, spatula, pipet tetes, timbangan, waterbath(WB), jamu ,

coffeinum, methampyron,parasetamol, eluen = kloroform:etanol = 4:1 (50 ml), aqua

destillata, NaOH 1 N, HCl 0,1 N, kloroform, etanol.

3.5 Prosedur Praktikum

3.5.1 Pembuatan Fase Gerak (Eluen)

Fase gerak dalam praktikum ini menggunakan sistem TD yaitu menggunakan pelarut

Chloroform : Aseton (4:1) sebanyak 5 ml.

3.5.2 Penjenuhan Bejana

Masukkan 50 ml fase gerak ke dalam bejana kromatografi, biarkan bejana dalam

keadaan tertutup selama 24 jam hingga bejana jenuh.

3.5.3 Persiapan Lempeng Kromatografi

17

Page 18: kognosi B4 3A

Fase diam menggunakan silica gel GF 254. Siapkan lempeng kromatografi dengan

ukuran panjang 10 cm dan lebar 5 cm.

3.5.4 Larutan Percobaan

Satu dosis cuplikan serbuk jamu dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml

ditambah 50 ml air, dibasakan dengan NaOH 1N sampai pH 9 – 10, kocok selama 30 menit

kemudian saring. Filtrat diasamkan dengan beberapa tetes HCl 0,1N sampai pH 3 – 4,

diekstraksi empat kali, masing – masing dengan 20 ml kloroform. Ekstrak kloroform

diuapkan di atas water bath sampai hamper kering. Sisa larutkan dalam 5 ml etanol.

3.5.5 Larutan Kontrol Positif

Menggunakan cara yang sama dilakukan ekstraksi satu dosis jamu yang telah

ditambah masing – masing dengan 10 mg kofein, 15 mg methampiron, dan 15 mg

paracetamol.

3.5.6 Larutan Baku Standar

Sejumlah kurang lebih 10 mg coffein, 15 mg methampiron, dan 15 mg paracetamol,

ditimbang seksama dilarutkan 5 ml etanol.

3.5.7 Penotolan

Totolkan larutan percobaan pada lempeng kromatografi dengan bantuan pipa kapiler

dan pengering hair dryer. Beri tanda. Masukkan lempeng KLT yang telah ditotolkan ke dalam

bejana, biarkan naik. Angkat lempeng, biarkan kering dan deteksi noda dengan UV 254 dan

366 nm, beri tanda dan hitung Rf.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh merupakan data primer dari hasil pengamatan terhadap harga Rf

pada kromatografi lapis tipis yang menunjukkan adanya penambahan bahan kimia.

18

Page 19: kognosi B4 3A

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan system TC, jamu “Wantong” diduga mengandung coffein dan

methampiron karena nilai Rf pada larutan percobaan mendekati nilai Rf coffein dan

methampiron. Begitu pula jamu “Sepet Wangi” diduga mengandung parasetamol karena

nilai Rf pada larutan percobaan mendekati nilai Rf parasetamol. Selengkapnya dapat

dilihat pada tablel 4.1.

Tabel 4.1. Hasil data Rf dari berbagai jamu dengan Sistem TC

Jamu Wantong

kapsul

Jamu jaya asli

nyentul serbuk

Jamu wantong

kapsul

Jamu sepet wangi

sediaan pelet

Larutan Percobaan

A1 A2 B1 B2 C1 C2 D1 D2

Rf 0,65 0,88 0,78 0,10,19

0,47

0,06

0,21

0,71

0,18

0,28

0,5

0,75

0,83

Larutan Kontrol

Rf 0,62 0,88 0,17 0,12

0,23

0,34

0,93

0,99

0,15

0,20

0,57

0,32

0,61

0,78

0,42

0,6

0,7

0,75

0,88

Larutan Baku

Rf coffein 0,62 - - 0,81 0,99 0,7 -0,67

0,92

Rf

Methampyro

n

0,8 0,87 0,37 0,75 0,93 0,59 -0,61

0,94

19

Page 20: kognosi B4 3A

Rf PCT 0,71 - 0,3 0,76 0,03 0,14 0,180,16

0,92

Berdasarkan system TD, jamu “Wantong” diduga mengandung parasetamol karena nilai Rf

pada larutan percobaan mendekati nilai Rf parasetamol. Begitu pula jamu “Jaya Asli Nyentul”

diduga mengandung methampyron karena nilai Rf pada larutan percobaan mendekati nilai Rf

methampyron. Selengkapnya dapat dilihat pada table 4.2

Tabel 4.2. Hasil data Rf dari berbagai jamu dengan Sistem TD

Jamu Wantong

Kapsul

Jamu jaya asli nyentul

serbuk

Jamu wantong

kapsul

Jamu sepet wangi

sediaan pellet

A3 A4 B3 B4 C3 C4 D3 D4

Larutan Percobaan

Rf 0,70 0,69 0,42 0,62 0,14

0,55

0,93

0,24

0,95

- -

Larutan Kontrol

Rf 0,69 0,69 0,42 0,54 0,19

0,35

0,54

0,91

0,28

0,48

0,94

0,55

0,81

0,475

0,68

0,84

Larutan Baku

Rf coffein 0,76 0,79 0,46 - 0,36 0,52 0,82 0,68

Rf

Methampyron

0,86 0,85 0,42 - 0,19 0,3 - -

Rf PCT 0,69 0,69 0,24 0,55 0,2 0,28 0,63 0,37

20

Page 21: kognosi B4 3A

Berdasarkan system TE, jamu “Sepet Wangi” diduga mengandung coffein dan parasetamol

karena nilai Rf pada larutan percobaan mendekati nilai Rf coffein serta parasetamol. Jamu

“Wantong” juga diduga mengandung parasetamol karena nilai Rf pada larutan percobaan

mendekati nilai Rf parasetamol. Selengkapnya dapat dilihat pada table 4.3

Tabel 4.3. Hasil data Rf dari berbagai jamu dengan Sistem TE

Jamu Wantong

kapsul

Jamu jaya asli

nyentul serbuk

Jamu wantong

kapsul

Jamu sepet wangi

sediaan pelet

A5 A6 B5 B6 C5 C6 D5 D6

Larutan Percobaan

Rf 0,17

0,82

0,64 0,31 0,23 0,21

0,7

0,9

0,24

0,95

0,04

0,81

0,91

0,7

0,8

0,9

Larutan Kontrol

Rf 0,82 0,55 0,37 0,35 0,15

0,5

0,64

0,94

0,28

0,48

0,94

0,04

0,25

0,51

0,55

0,66

0,81

0,88

0,91

0,6

0,65

0,7

0,81

Larutan Baku

Rf coffein - - 0,38 0,42 0,56 0,53 0,56

0,91

0,62`

Rf

Methampyron

- - 0,36 0,38 0,6 0,3 0,02

0,52

0,91

-

Rf PCT - - 0,65 - 0,63 0,28 0,68

0,91

0,66

21

Page 22: kognosi B4 3A

4.2 Pembahasan

Penambahan BKO coffein, methampiron, dan parasetamol pada jamu akan

mempercepat kerja jamu dalam memberikan efek pengobatan, namun bila dikonsumsi

terus menerus coffein akan mengakibatkan efek samping seperti insomnia kronik, gelisah,

dan ulkus. Metampiron dapat menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual,

pendarahan lambung, rasa terbakar serta gangguan sisten saraf seperti tinitus (telinga

berdenging), syok, kematian dan lain-lain. Sedangkan parasetamol mengakibatkan seperti

kerusakan hati serta iritasi lambung.

Hasil penotolan pada lempeng kromatografi diamati dengan lampu uv 254 nm dan 366

nm, kemudian dihitung Rf-nya. Hasil pengamatan coffein seperti yang tercantum pada

table 4.1, menunjukkan bahwa jamu “Wantong” memiliki nilai Rf 0,7 memiliki selisih 0,01

dari nilai Rf larutan baku coffein. Selain itu jamu “Wantong juga memiliki nilai Rf 0,88

yang berselisih 0,01 terhadap larutan baku methampyron. Sedangkan hasil pengamatan

parasetamol seperti yang tercantum pada table 4.1, menunjukkan bahwa jamu “Sepet

Wangi” memiliki nilai Rf 0,19 tidak memiliki selisih dari nilai Rf larutan baku

parasetamol.

Hasil pengamatan parasetamol seperti yang tercantum pada table 4.2, menunjukkan

bahwa jamu “Wantong” memiliki nilai Rf 0,69 tidak memiliki selisih dari nilai Rf larutan

baku coffein. Sedangkan hasil pengamatan parasetamol seperti yang tercantum pada table

4.2, menunjukkan bahwa jamu “Jaya Asli Nyetul” memiliki nilai Rf 0,4125 memiliki

selisih 0,075 dari nilai Rf larutan baku parasetamol.

Hasil pengamatan coffein seperti yang tercantum pada table 4.3, menunjukkan bahwa

jamu “Sepet Wangi” memiliki nilai Rf 0,91 sama dengan dari nilai Rf larutan baku coffein.

Selain itu jamu “Sepet Wangi” memiliki nilai Rf 0,7 yang memiliki selisih 0,04 dari nilai

Rf larutan baku parasetamol. Jamu “Wantong” memiliki Rf 0,7 memiliki selisih Rf 0,07

dengan parasetamol .

Jamu “Wantong” teridentifikasi mengandung coffein, methampyron, dan parasetamol,

jamu “Jaya Asli Nyetul” mengandung methampyron. Sedangkan jamu “Sepet Wangi”

mengandung coffein dan parasetamol.

Pada identifiksi jamu dengan KLT ini ada beberapa data yang tidak mempunyai harga

Rf sebab bercak tidak muncul. Tidak munculnya bercak pada beberapa lempeng KLT

dapat terjadi oleh beberapa faktor, yaitu :

22

Page 23: kognosi B4 3A

1. Human Error dapat terlihat karena kurang terampilnya praktikan saat melakukan

penotolan. Hal ini dapat berpengaruh terhadap nilai Rf yang nantinya akan

mempengaruhi pengambilan kesimpulan apakah jamu tersebut mengandung bahan

kimia obat atau tidak.

2. Alat dan Bahan

Sebagian data praktikum tidak mempunyai Rf, hal ini bisa terjadi dari instrument

error, seperti :

1. Fase diam. Dapat disebabkan oleh kualitas penjerap, adanya pengotor, dan

ketebalannya harus dijaga secara hati – hati. Gel silica sebagai fase diam dalam

praktikum ini harus dihindarkan kontak dengan uap air agar tidak teradsorpsi oleh

selain fase gerak. Hal yang harus diperhatikan dalam pengaktifan lempeng yaitu

lempeng disimpan dalam suhu ruangan, noda harus ditotol sedikitnya 2 cm dari

pinggir lempeng dan sampel ditotolkan dalam keadaan kering sebelum dielusi.

2. Fase gerak. Eluen harus dibuat murni atau tidak ada bahan pengotor dan segar

karena sifatnya yang higoskopis.

3. Bejana Elusi. Bejana harus jenuh oleh eluen sebelum proses elusi. Dapat

disempurnakan dengan menggunakan bejana kecil dengan kertas saring dan eluen

yang cukup serta penutup yang harus cocok.

4. Temperature. Bejana harus dihindarkan dari sumber pana, sinar matahari lagsung.

Jika temperaturnya naik, eluen mudah menguap, aluen mengelusi lebih cepat dan

nilai Rf umumnya menurun.

5. Jarak elusi. Kurang berpengaruh signifikan pada nilai Rf dengan perubahan jarak

elusi jika sistem tetap dibuat jenuh.

6. Sampel. Meningkatnya massa sampel pada lempeng sering meningkatkan nilai Rf

dari obat (Stahl, 1985).

Menurut Sastrohamidjojo (1991), Rf pada KLT dipengaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain:

a. Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan.

b. Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya.perbedaan penyerap akan memberikan

perbedaan yang besar terhadap harga Rf meskipun menggunakan fase gerak dan diam

yang sama.

c. Tebal dan kerataan lapisan penyerap. Ketidakrataan akan menyebabkan aliran

pelarut menjadi tak rata pula dalam daerah yang kecil dari plat.

d. Derajat kemurnian fase gerak.

23

Page 24: kognosi B4 3A

e. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana.

f. Jumlah cuplikan. Penotolan sampel yang berlebihan dapat menyebabkan

terbentuknya ekordan efek tak kesetimbangan lain hingga noda menjadi satu sehingga

menyebabakan kesalahan pada harga Rf.

g. Suhu. Sebaiknya dalam suhu tetap untuk mencegah perubahan komposisi pelarut

yang disebabakan oleh penguapan .

Sistem yang digunakan mempunyai faktor juga terhadap hasil KLT. Menurut Stahl

(1985) fase gerak yang mempunyai bahan yang berbeda – beda untuk identifikasi zat yang

berbeda pula. Dapat dilihat bahwa hasil KLT pada sistem TC untuk coffein dan

paracetamol mempunyai nila Rf yang berbeda. Pada identifikasi jamu “Wantong”, sistem

TC dapat menegaskan bahwa jamu mengandung coffein dan methampiron, sedangkan

pada sistem TD menegaskan bahwa jamu mengandung paracetamol dan sistem TE tidak

dapat mengidentifikasi. Hal ini disebabkan karena perbedaan sistem gerak pada masing –

masing sistem.

Menurut Stahl (1986), untuk mengidentifikasi senyawa obat digolongkan menjadi

beberapa sistem sesuai dengan khasiat senyawa obat. Pada praktikum ini menggunakan

paracetamol dan methampiron yang berkhasiat sebagai analgetik dan antiinflamasi.

Berdasarkan khasiat tersebut, identifikasi dapat menggunakan sistem TD, TF, atau TG.

Sedangkan untuk coffein yang berkhasiat sebagai stimulant diidentifikasi menggunakan

sistem TA, TB atau TC.

24

Page 25: kognosi B4 3A

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Jamu “Wantong” mengandung Coffein dan Methampyron, jamu “Jaya Asli Nyetul” mengandung Methampyron, sedangkan jamu “Sepet Wangi” mengandung Coffein dan Parasetamol.

5.2 Saran

Praktikan diharapkan terampil dalam menotolkan

DAFTAR PUSTAKA

46 Jamu Mengandung Bahan Kimia Obat www.detikhealth.com, 13 Agustus 2010.

Badan POM RI, 2010, Apakah Produk Herbal Yang Anda Konsumsi Aman, Bermutu,

dan Bermanfaat, Info POM, No. 4, Vol. XI, Halaman 1-4.

Badan POM, 2008, Peraturan Perundang – Undangan diBidang Obat Tradisional,

Obat Herbal Terstandar, dan Fitokimia, Jakarta.

BPOM Awasi 21 Obat Tradisional, Seberapa Berbahaya? www.portal.cbn.net.id, 10

Oktober 2011.

25

Page 26: kognosi B4 3A

Count, L. B., 2011, Identifikasi Paracetamol, Fenilbutazon dan Diklofenak pada Jamu

yang Telah Dilarang oleh Badan POM dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis, KTI,

Jurusan Farmasi, Jakarta.

Gritter, R. J., Bobbitt, J. M., dan Schwarting, A. E., 1991, Pengantar Kromatografi,

Edisi 2, ITB, Bandung.

Inilah Daftar Obat Ilegal yang Dilarang BPOM www.jdih.jatimprov.go.id, 7 Oktober

2011.

Moffat, A. C., 1986, I, Edisi 2, The Pharmaceutical Society and Great Britain, The

Pharmaceutica Press, London.

Nassa, F., 2011, Uji Pendahuluan Kualitatif Adanya Penambahan Fenilbutazon Dalam

Jamu Rematik, KTI, Jurusan Farmasi, Jakarta.

Rohman, A.,2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Jakarta.

Sastrohamidjojo, Hardjono, 2005, Kromatografi, Liberty, Yogyakarta.

Stahl, Egon, 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, Penerjemah

Purnawinata, K., Sudiro, I., dan Niksolihin, S., ITB, Bandung.

Watson, G. D., 2009, Pharmaceutical analysis, Edisi Kedua, penerjemah Winny R.

Syarief, EGC, Jakarta.

26