Klausula PK Bankers Clause
description
Transcript of Klausula PK Bankers Clause
KLAUSULA WAJIB ASURANSI JIWA DALAM
PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH
(KPR) DI KOTA MEDAN
TESIS
OLEH :
DONNA FRANCY
057011021 / MKn
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007
KLAUSULA WAJIB ASURANSI JIWA DALAM
PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH
(KPR) DI KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan Pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
OLEH :
DONNA FRANCY
057011021 / MKn
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Telah diuji pada : Tanggal 04 September 2007 PANITIA PENGUJI TESIS : Ketua : Dr. SUNARMI, SH, M. Hum Anggota : Dr. T. KEIZERINA DEVI A., SH, CN, M. Hum Notaris SYAHRIL SOFYAN, SH, MKn Prof. Dr. MUHAMMAD YAMIN, SH, MS, CN ABDUL MUIS, SH, MS
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : KLAUSULA WAJIB ASURANSI JIWA DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) DI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : DONNA FRANCY Nomor Pokok : 057011021 Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. Sunarmi, SH, M.Hum Ketua
Dr. T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn Anggota Anggota Ketua Program Studi Direktur Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,MSc Tanggal Lulus : 04 September 2007
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk setiap
waktu dan keadaan yang dilalui Penulis selama menjalankan studi di Program
Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, dan
atas berkat rahmatNyalah sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang
berjudul “ Klausula Wajib Asuransi Jiwa Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) Di Kota Medan “.
Tesis ini merupakan suatu karya ilmiah dalam rangka pemenuhan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar magister di bidang ilmu kenotariatan pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
Selama penulisan tesis ini, Penulis dihadapkan pada berbagai hambatan dan
kesulitan, namun berkat bimbingan dan perhatian dari pembimbing, akhirnya Penulis
dapat mengatasi segala persoalan yang menjadi kendala dalam penulisan tesis ini.
Untuk itu Penulis dengan hati yang tulus, mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus yang telah memberiku hidup yang sangat indah.
2. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, SpAK, selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M. Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing (Pembimbing
I) yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing Penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M. Hum, selaku Anggota Komisi
Pembimbing (Pembimbing II) yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
7. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku Anggota Komisi Pembimbing
(Pembimbing III) yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing Penulis
dalam menyelesaikan tesis ini.
8. Keluarga besar Penulis terutama mama dan papa yang telah memberi perhatian
dan dukungan baik moril maupun material sehingga Penulis dapat menyelesaikan
tesis ini. Aku sangat menyayangi kalian semua.
9. Seluruh Keluarga Besar Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
10. Seluruh pihak yang telah banyak membantu Penulis di dalam penyelesaian tesis
ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Terima kasih atas dukungannya.
Tiada kata terindah yang dapat Penulis sampaikan selain ucapan terima kasih
dan berdoa semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kesehatan dan kebahagiaan
bagi kita semua.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu Penulis mengharapkan semua kritik dan saran akan menjadi sumbangan
yang sangat berarti bagi peningkatan kualitas tesis ini.
Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya
pada bidang ilmu kenotariatan.
Medan, 04 September 2007
Hormat Penulis,
Donna Francy
Daftar Riwayat Hidup
I. Identitas Pribadi
Nama : DONNA FRANCY
Tempat / Tgl Lahir : Medan / 15 Januari 1984
Status : Belum Menikah
Alamat : Jalan Jamin Ginting No. 471 A Padang Bulan – Medan 20156
II. Keluarga
Nama Ayah : ETO TJUATJA
Nama Ibu : MINA
Nama Kakak : DOLLY FRANCY, SH
Nama Adik : DANNY FRANCIS, S. Inf
III. Pendidikan
1. SD Tunas Karya II - Jakarta Utara : Tamat tahun 1995
2. SMP Tunas Karya - Jakarta Utara : Tamat tahun 1998
3. SMU Tunas Karya - Jakarta Utara : Tamat tahun 2001
4. S-1 Fakultas Hukum USU - Medan : Tamat tahun 2005
5. S-2 Magister Kenotariatan (MKn) SPs USU - Medan : Tamat tahun 2007
KLAUSULA WAJIB ASURANSI JIWA DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) DI KOTA MEDAN
Donna Francy∗
Sunarmi** T. Keizerina Devi A.**
Syahril Sofyan**
Intisari
Setiap orang yang hidup menghadapi risiko atas hidupnya sendiri, sebab ia tidak mengetahui kapan akan meninggalkan dunia atau keluarganya. Risiko yang diderita dapat berupa kerusakan kerugian atau kehilangan keuntungan yang diharapkan sehingga timbul upaya untuk menghindari dan mengalihkan risiko kepada pihak lain yaitu pihak asuransi. Bank sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat melalui program KPR memberikan kredit untuk pembelian bangunan rumah/tempat tinggal maupun untuk renovasi bagi masyarakat yang membutuhkan. Bagi bank, meninggalnya debitur adalah salah satu risiko yang timbul dalam pemberian kredit.
Sehubungan dengan hal tersebut maka timbul permasalahan bagaimana pengaturan klausula wajib asuransi jiwa dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR), bagaimana bentuk perlindungan dari pihak penanggung kepada pihak kreditur bila pembayaran pinjaman kredit belum lunas oleh pihak debitur, dan bagaimana perlindungan hukum terhadap para ahli waris dari pihak debitur.
Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Lokasi penelitian di Kota Medan dan sampel penelitian ditetapkan secara purposive sampling yaitu 2 perusahaan perbankan, 5 orang debitur yang menggunakan jasa kredit pada perusahaan tersebut, perusahaan asuransi, dan 2 orang pegawai bank. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, penelaahan dokumen-dokumen perjanjian kredit, sedangkan data primer diperoleh melalui wawancara dengan sampel penelitian tersebut di atas.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa asuransi jiwa dalam KPR adalah asuransi jiwa kredit. Pihak bank mempunyai kepentingan terhadap hidup debitur guna pengembalian hutang kepada kreditur maka asuransi jiwa ini menjadi klausula wajib dalam perjanjian KPR. Klausula baku pada perjanjian kredit dinilai melanggar asas kebebasan berkontrak. Perlindungan yang diberikan pihak asuransi kepada kreditur adalah mengembalikan pinjaman debitur jika debitur meninggal dalam masa kredit. Tidak ada ketentuan yang tegas menyangkut ahli waris yang berhak menerima klaim (benefit). Hanya orang yang ditunjuk yang berhak menerima
∗ Mahasiswa Sekolah Pascasarjana USU Medan, Program Studi Magister Kenotariatan. ** Dosen Sekolah Pascasarjana USU Medan, Program Studi Magister Kenotariatan.
klaim. Adapun yang menjadi penerima manfaat dalam asuransi jiwa kredit adalah kreditur. Saran-saran terhadap hasil penelitian adalah kedudukan yang tidak seimbang antara debitur dan kreditur harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan terutama perlindungan konsumen, pihak penanggung harus memberikan kepastian waktu pembayaran hutang debitur dibayarkan kepada kreditur, dan ahli waris harus diberi penjelasan siapa yang akan menjadi penerima manfaat dari asuransi jiwa kredit. Kata Kunci : Klausula Wajib Asuransi Jiwa Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
THE OBLIGATORY CLAUSAL OF LIFE INSURANCE ON HOUSE OWNERSHIP CREDIT AGREEMENT (KPR) IN MEDAN
Donna Francy∗
Sunarmi** T. Keizerina Devi A.**
Syahril Sofyan**
Abstract
Everyone has a risk on his/her life because he/she did not know when he/she will died as well as his/her family. The suffering risk are the damage or loses on any advantages that encourage the efforts to avoid or hand over the risk to another party, i.e insurance company. Bank as collector and distributor of society fund through house ownership credit agreement (KPR) program provide the customer with credit to buy the house or renovation of the houses. While for bank, the dead of debtor is one of risk in credit agreement.
Based on the condition, there is a problem how the arrangement of obligatory clausal of life insurance in house ownership credit agreement, how the protection of the guarantor to the creditor if the repayment of the credit has not yet paid fully by the debtor and how the law protection to the heir of debtor.
In order to solve these problems, an analitic descriptive research was conducted. The location of study is Medan city and the sample of research are take in purposive sampling, i.e 2 banking company, 5 debtors who applies the credit service from the companies, insurance company, and 2 employee of bank. The secondary data is collected through library research, document reviews on credit agreement, while the primary data is collected through interview on the aforementioned sample.
Based on the research, there is a description that the life insurance in house ownership credit agreement is a credit life insurance. The bank has interest on the life of debtor for the repayment of the debt to creditor. So, the life insurance to be an obligatory clausul in house ownership credit agreement. The standard clause on credit agreement is assumed biolate the contract independency principle. The protection provided by insurance company to creditor is a repayment of debtor’s credit if the debtor died during in credit period. There is a rule on heir who has a right for benefit claim. Only the assigned people who reserve a right on claim. The receiver of benefit in credit life insurance is credit. The suggestions on the results of research is the unbalancing position between debtor and creditor that based on the valid rule specially on the customer protection in which the guarantor must provide the
∗ The Student of Notary Magister Program, University of North Sumatra. ** The Lecture of Notary Magister Program, University of North Sumatra.
assertainity on the payment period of the debtor credit to creditor and the heir must get any description who will receive the benefit of the credit life insurance.
Keyword : Obligatory Clausal Life Insurance House Ownership Credit Agreement
DAFTAR ISI
Halaman
INTISARI .............................................................................................................. i
ABSTRACT ......................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Permasalahan ........................................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 8
E. Keaslian Penelitian ................................................................................ 8
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi .............................................................. 9
G. Metode Penelitian ............................................................................... 27
BAB II PENGATURAN KLAUSULA WAJIB ASURANSI JIWA DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) A. Klausula Wajib Asuransi Jiwa ..............................................................33
B. Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ..........................................51
C. Mekanisme Pengaturan Klausula Asuransi Jiwa Dalam Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) ......................................................................63
BAB III PERLINDUNGAN PIHAK PENANGGUNG KEPADA PIHAK KREDITUR
A. Perlindungan Yang Diberikan Bila Debitur Meninggal Dalam Jangka
Waktu Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ...............................................71
B. Perlindungan Yang Diberikan Bila Debitur Mengalami Kemacetan
Pembayaran Atas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) .............................81
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA AHLI WARIS A. Hukum Kewarisan Dalam KUHPerdata Dan Hukum Islam .................88
B. Pembayaran Dan Yang Berhak Menerima Uang Pertanggungan ......108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .........................................................................................117
B. Saran ....................................................................................................119
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................120
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam menjalankan usahanya setiap orang baik perorangan maupun badan
usaha, besar kemungkinan akan menghadapi suatu kerugian atau suatu kehilangan.
Setiap orang harus berusaha dengan tenaga dan pikirannya untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya, untuk memiliki harta kekayaan demi kelangsungan hidupnya.
Dari sejak lahir sampai mati, setiap orang menghadapi sesuatu yang tidak pasti,
karena banyak kejadian yang tiba-tiba muncul tanpa diduga-duga sebelumnya.
Pada hakikatnya kehidupan dan kegiatan manusia mengandung berbagai hal
yang menunjukkan sifat “tidak kekal”. Sifat yang tidak kekal merupakan sifat alami
yang tidak dapat dipastikan, kepastian tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk
dan peristiwa yang belum tentu menimbulkan rasa tidak aman dalam diri manusia.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi selalu berupaya untuk
menghindari risiko yang membuatnya merasa tidak aman sehingga dapat menjadi
aman. Setiap orang yang hidup menghadapi risiko atas hidupnya sendiri, sebab ia
tidak mengetahui pasti kapan ia akan mati meninggalkan dunia atau keluarganya.
Menurut L. Athearnm, risiko merupakan aspek utama dari kehidupan manusia
pada umumnya dan merupakan faktor penting dalam asuransi. Risiko merupakan
kemungkinan penyimpangan harapan yang tidak menguntungkan, yaitu
ketidakpastian suatu peristiwa yang tidak diinginkan.1 Jadi, adalah tidak mungkin
apabila membahas asuransi tanpa berkaitan dengan risiko. Hal ini karena risiko
merupakan pengertian inti dalam asuransi.
Dalam ilmu asuransi risiko dapat dibedakan dalam beberapa arti yang intinya
kemungkinan terjadinya kerugian, yaitu:
1. Risiko dalam arti benda yang menjadi obyek bahaya.
2. Risiko dalam arti orang yang menjadi sasaran pertanggungan.
3. Risiko dalam arti bahaya.2
Pengertian risiko diberi batasan sebagai kemungkinan terjadinya suatu
keuntungan yang semula diharapkan tidak tercapai karena kejadian di luar kuasa
manusia (misalnya bencana alam seperti banjir dan gempa bumi), kesalahan sendiri,
atau perbuatan manusia.3
Risiko yang diderita dapat berupa kerusakan kerugian atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan sehingga menyebabkan timbulnya upaya untuk
menghindari dan mengalihkan risiko kepada pihak lain yang bersedia
menanggungnya, dalam hal ini adalah pihak asuransi. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan akan rasa aman kepada masyarakat, yaitu dengan
1 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta,
2001, hal. 58. 2 H. Gunanto, Asuransi Kebakaran Di Indonesia, Tirta Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 11-12. 3 Ibid, hal. 13.
mengadakan perjanjian pelimpahan risiko dengan pihak lain. Perjanjian semacam ini
disebut perjanjian asuransi.4
Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, asuransi itu mempunyai tujuan
pertama-tama ialah mengalihkan risiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa yang
tidak dapat diharapkan terjadinya itu kepada orang lain yang mengambil risiko itu
untuk mengganti kerugian.5
Perjanjian asuransi sebagai lembaga pengalihan dan pembagian risiko
mempunyai kegunaan positif baik bagi masyarakat, perusahaan maupun bagi
pembangunan negara. Mereka yang menutup perjanjian asuransi akan merasa
tenteram sebab mendapat perlindungan dari kemungkinan terjadinya/tertimpa suatu
kerugian. Suatu perusahaan yang mengalihkan risikonya melalui perjanjian asuransi
akan dapat meningkatkan usahanya dan berani menggalang tujuan yang lebih besar.
Demikian pula premi-premi yang terkumpul dalam suatu perusahaan asuransi dapat
diusahakan dan digunakan sebagai dana untuk usaha pembangunan, dan hasilnya
dapat dinikmati oleh masyarakat. Di pihak lain risiko yang mungkin terjadi dalam
pelaksanaan pembangunan juga dapat dialihkan kepada perusahaan asuransi.
Asuransi atau pertanggungan yang merupakan terjemahan dari insurance atau
verzekering atau assurantie, timbul karena kebutuhan manusia.6 Baik asuransi atau
pertanggungan pada umumnya maupun asuransi jiwa pada khususnya merupakan
4 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 8.
5 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan (Pokok-Pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran, dan Jiwa), FH-UGM, Yogyakarta, 1990, hal. 5.
6 Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-Aspek Hukum Asuransi Dan Surat Berharga, Alumni, Bandung, 1997, hal. 1.
perjanjian timbal balik antara penanggung dan tertanggung dimana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk
memberikan penggantian kepada pihak tertanggung karena kerusakan, kerugian, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Menurut Purwosutjipto, yang dimaksud dengan Pertanggungan Jiwa adalah:
“ Perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, di mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan memberi uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai penikmatnya “.7
Perkembangan usaha perasuransian mengikuti perkembangan ekonomi
masyarakat. Berkembangnya jumlah populasi manusia semakin meningkatkan
kebutuhannya. Saat ini kebutuhan dasar yang paling banyak dibutuhkan adalah
kebutuhan papan (rumah tinggal).
Bank sebagai penghimpun dan penyalur dana bagi masyarakat, melalui
program-programnya memberikan kredit bagi masyarakat yang membutuhkan.
Adapun salah satu dari program tersebut adalah pemberian Kredit Pemilikan Rumah
7 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 6, cet. 4,
Djambatan, Jakarta, 1996, hal.10.
(KPR) yang ditujukan untuk pembelian bangunan rumah/tempat tinggal maupun
untuk perbaikan (renovasi) bangunan rumah/tempat tinggal.
Seperti diketahui pemberian kredit menimbulkan banyak masalah yang
kompleks. Salah satu di antaranya adalah risiko utang tak terbayar karena terjadinya
bencana yang seringkali di luar kontrol debitur. Di antara bencana ini adalah:
1. Debitur meninggal atau cacat fisik. 2. Musnahnya record akunting sehingga kreditur tak dapat membuktikan haknya
terhadap debitur. 3. Kegagalan lembaga keuangan di mana dana-dana itu didepositokan. 4. Kegagalan suatu perusahaan yang insolvent membayar kredit bank. 5. Kegagalan pemilik rumah atau pemilik harta tetap lainnya membayar kredit
bangunan karena insolvency. 6. Tindakan politik yang mencegah debitur membayar hutang-hutangnya ke suatu
negara lain. 7. Insolvency suatu perusahaan yang telah menerima kredit dagang.8
Risiko atas suatu hal, adalah bersifat merugikan, dan sebagai suatu musibah
atau malapetaka, risiko datangnya tidak pasti dan tidak dapat diduga dan dapat terjadi
dengan tiba-tiba harus terjadi.
Atas pertimbangan itu, bank harus dapat menghilangkan atau paling tidak
mengurangi risiko yang mungkin timbul dalam setiap pemberian kredit. Salah satu
caranya adalah dengan mengalihkan risiko tersebut kepada pihak lain, yang memang
dimungkinkan, baik dari segi yuridis maupun dari segi bisnis, yang tak lain adalah
asuransi.9
8 A. Hasymi Ali, Bidang Usaha Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hal. 67. 9 Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia
(Panduan Dasar: Legal Officer), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 245.
Asuransi jiwa pada umumnya hanya mengenal pihak penanggung (perusahaan
asuransi jiwa), pihak tertanggung (orang yang jiwanya dipertanggungkan), dan pihak
penerima manfaat/yang ditunjuk (orang yang berhak menerima pembayaran uang
santunan), biasanya ahli waris dari tertanggung. Di dalam asuransi jiwa pada
Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR), pihak penerima manfaat/yang ditunjuk
adalah pihak bank/kreditur, sedangkan pihak debitur tetap menjadi pihak tertanggung.
Bagi bank, meninggalnya penerima kredit merupakan salah satu risiko yang
timbul dalam pemberian kredit. Dalam rangka menanggulangi masalah tersebut,
dikenal adanya suatu proteksi kematian dari penerima kredit di mana jumlah uang
pertanggungannya dikaitkan dengan jumlah kredit yang terpaut, sedangkan besarnya
premi dihitung dari jumlah uang pertanggungan untuk tiap bulan.
Jenis jaminan ini merupakan pertanggungan yang memberikan jaminan dalam
hal pada saat jangka waktu kredit masih berjalan, si penerima kredit (pengusaha
perorangan) tersebut meninggal dunia, sebagai the key man yang mana tidak ada
orang lain yang dapat bertanggung jawab atas pengembalian kredit dimaksud
sepeninggal almarhum, maka seketika itu juga kredit yang masih berjalan tersebut,
pelunasannya diambil alih oleh perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan sebagai
uang santunan yang hanya dipergunakan untuk melunasi kredit yang diterima
almarhum, sehingga dengan demikian ahli waris tidak dikenakan kewajiban
mengembalikan kredit dimaksud.10
10 Ibid, hal. 256.
Namun demikian di dalam kewajiban pengembalian kredit ada kalanya pihak
perusahaan asuransi jiwa berbeda pendapat dengan ahli waris dari debitur.
Asuransi jiwa memberi santunan sebesar sisa hutang yang belum dilunasi
sesuai dengan jadwal pelunasan, jika debitur meninggal dalam masa pertanggungan.
Karena asuransi jiwa sebagai suatu perjanjian maka selanjutnya dalam pelaksanaanya
perjanjian asuransi jiwa sangat diutamakan pula adanya unsur itikad baik (utmost
good faith).
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan klausula wajib asuransi jiwa dalam perjanjian Kredit
Pemilikan Rumah (KPR)?
2. Bagaimana bentuk perlindungan dari pihak penanggung kepada pihak kreditur
bila pembayaran pinjaman kredit belum lunas oleh pihak debitur?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para ahli waris dari pihak debitur?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan klausula wajib asuransi jiwa dalam perjanjian
Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan dari pihak penanggung kepada pihak
kreditur bila pembayaran pinjaman kredit belum lunas oleh pihak debitur.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap para ahli waris dari pihak
debitur.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan tujuan tersebut, kegunaan penelitian ini
diharapkan sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian terhadap
perkembangan asuransi jiwa.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam praktek
perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Di samping itu juga diharapkan dapat
memberikan informasi dan masukan kepada praktisi dan masyarakat di bidang
asuransi jiwa.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang tersedia dan dengan menelusuri kepustakaan di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “ Klausula
Wajib Asuransi Jiwa Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Di
Kota Medan “, belum pernah dilakukan.
Ada ditemukan karya tulis khususnya mengenai asuransi jiwa namun hal itu
menyangkut Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit Bank (Studi Terhadap PT.
Asuransi Jiwa Central Asia Raya Dan PT. Prudential Life Assurance) Di Medan yang
dilakukan oleh Rifky R. Purnomo, program pascasarjana jurusan kenotariatan
Universitas Sumatera Utara.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini
adalah asli dan keasliannya secara akademis dapat dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
Asas kebebasan berkontrak atau dikenal dengan istilah freedom of contract
atau liberty of contract merupakan salah satu asas pokok dari hukum kontrak yang
terpenting. Ide dasar yang melandasi asas kebebasan berkontrak ialah bahwa setiap
individu dapat membuat perjanjian dalam arti seluas-luasnya, tanpa campur tangan
dari luar. Dengan demikian, hukum atau negara sekalipun tidak dapat campur tangan
terhadap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.11
Di Indonesia, asas kebebasan berkontrak ini dapat ditemukan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang merupakan terjemahan dari
Burgerlijk Wetboek (BW) terutama pada Pasal 1338 BW yang menyebutkan bahwa
“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.
Di dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak hanya bisa mencapai
tujuannya bila para pihak mempunyai bargaining position yang seimbang. Jika salah
11 Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank Dan Nasabah terhadap Produk
Tabungan&Deposito (Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan Di Indonesia Dewasa Ini), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 7.
satu pihak lemah maka pihak yang memiliki bargaining position lebih kuat dapat
memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain demi keuntungannya sendiri.
Syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan dalam kontrak yang semacam itu akhirnya
akan melanggar rasa keadilan dan rasa kelayakan.12
Di dalam kenyataannya tidak selalu para pihak mempunyai bargaining
position yang seimbang. Keadaan ini juga bisa berlaku dalam hubungan antara bank
sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur. Hal ini karena umumnya pihak bank
memiliki uang dan menjelma dalam bentuk perusahaan besar, maka bank dapat
diasumsikan memiliki bargaining position yang kuat terhadap para debiturnya.
Perjanjian baku melahirkan hal-hal yang negatif dalam arti pihak yang
mempunyai bargaining position yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada
pihak yang lemah, dan pihak yang kuat mendapat keuntungan dari tindakannya
tersebut.
Dalam perjalanan dari asas kebebasan berkontrak ternyata berlakunya asas
kebebasan berkontrak ini tidak berlaku dengan mutlak, seperti dalam KUHPerdata
ada beberapa pembatasan berlakunya asas kebebasan berkontrak. Ada 3 (tiga) alasan
yang menyebabkan suatu persetujuan tidak lagi mengikat pihak-pihak yang
membuatnya, yakni karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan
(bedrog). Ketentuan ini pada hakikatnya dimaksudkan oleh undang-undang sebagai
pembatasan berlakunya asas kebebasan berkontrak.
Menurut P.S. Atiyah sebagaimana dikutip oleh Ronny Sautma Hotma Bako:
12 Ibid, hal. 8.
“ Kebebasan berkontrak adalah kebebasan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian untuk dapat menyusun dan menyetujui klausul-klausul dari perjanjian tersebut, tanpa campur tangan pihak lain. Campur tangan tersebut dapat datang dari Negara melalui peraturan perundang-undangan yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang diperkenankan atau dilarang, dari pihak Pengadilan, berupa putusan Pengadilan yang membatalkan suatu klausul dari suatu perjanjian atau seluruh perjanjian itu, berupa putusan yang berisi pernyataan bahwa suatu perjanjian adalah batal demi hukum.”13
Menurut Robert W. Clark sebagaimana dikutip oleh Ronny Sautma Hotma
Bako ” bargaining position adalah posisi salah satu pihak yang karena hal-hal
tertentu dapat memaksakan kehendaknya agar pihak yang lain dalam memasuki suatu
perjanjian menerima klausul-klausul yang diinginkan, sehingga perjanjian itu
menguntungkan dirinya.”14
Ronny Sautma Hotma Bako mengatakan bahwa ” perjanjian baku adalah
perjanjian yang klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh bank dan pihak nasabah
tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Dengan
kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausul
yang terdapat dalam formulir perjanjian.”15
Hal ini berlaku juga di dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
dimana salah satu klausul yang terdapat dalam perjanjian kredit tersebut adalah
klausul tentang asuransi pada umumnya dan asuransi jiwa pada khususnya.
Istilah asuransi atau pertanggungan merupakan terjemahan dari bahasa
Belanda, yaitu dari kata verzekering. Di Indonesia, para sarjana tidak ada
13 Ibid, hal. 10. 14 Ibid. 15 Ibid, hal. 11.
keseragaman dalam pemakaian istilah ini. Ada yang memakai istilah ”asuransi” dan
ada yang memakai istilah ”pertanggungan”.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa:
” Asuransi atau dalam bahasa Belanda verzekering berarti pertanggungan. Dalam suatu asuransi terlibat dua pihak, yaitu yang satu sanggup menanggung atau menjamin, bahwa pihak yang lain akan mendapat penggantian suatu kerugian, yang mungkin akan ia derita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau semula belum dapat ditentukan akan saat terjadinya. Suatu kontra prestasi dari pertanggungan ini, pihak yang ditanggung itu, diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menanggung. Apabila kemudian ternyata peristiwa yang dimaksud itu tidak terjadi ”.16
Sementara itu Muhammad Muslehuddin memberikan pengertian asuransi
sebagai berikut:
” Istilah asuransi menurut pengertian riilnya, adalah iuran bersama untuk meringankan beban individu, kalau-kalau beban tersebut menghancurkannya. Konsep asuransi yang paling sederhana dan umum adalah suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang, yang bisa tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh kelompok ”.17
Definisi (perumusan otentik) dari asuransi termuat dalam Pasal 246 Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), yang berbunyi sebagai berikut ” Asuransi
atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung
mengikatkan dirinya kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi,
untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa
yang tidak tentu.”
16 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Di Indonesia, Intermasa, Jakarta, 1986, hal. 1. 17 Muhammad Muslehuddin, Menggugat Asuransi Modern, Lentera, Jakarta, 1999, hal. 3.
Dari pengertian asuransi yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD itu, Wirjono
Prodjodikoro menyimpulkan bahwa ada 3 (tiga) unsur dalam asuransi yaitu:
Unsur ke 1 : pihak terjamin (verzekerde), berjanji membayar uang premi kepada penjamin (verzekeraar), sekaligus atau berangsur-angsur.
Unsur ke 2 : pihak penjamin (verzekeraar), berjanji akan membayar sejumlah uang kepada pihak terjamin (verzekerde) sekaligus atau berangsur-angsur apabila terlaksana unsur ke 3.
Unsur ke 3 : suatu peristiwa yang semula belum jelas akan terjadi.18
Rumusan asuransi terdapat pula dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tanggal 11 Februari 1992 tentang Usaha Perasuransian. Dalam Pasal 1 angka 1
disebutkan bahwa:
” Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua belah pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”
Seperti dengan perjanjian-perjanjian pada umumnya, maka transaksi yang
terjadi antara penanggung dengan tertanggung harus memenuhi syarat tersebut (Pasal
1320 KUHPerdata). Dan apabila ini telah terjadi maka kedua belah pihak mempunyai
hak-hak dan dibebani kewajiban-kewajiban.
Di samping keempat syarat tersebut perjanjian asuransi juga masih
mempunyai syarat tambahan yang khusus berlaku bagi perjanjian asuransi.
Kalau Pasal 1321 KUHPerdata menentukan bahwa tiada kata sepakat yang
sah apabila kesepakatan itu diberikan karena kekhilafan (dwaling) atau diperolehnya
18 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 5.
dengan paksaan atau penipuan (bedrog). Hal kekhilafan diatur dalam Pasal 1322
KUHPerdata dan hal penipuan diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata. Maka khusus
bagi perjanjian asuransi syarat-syarat tersebut masih dirasakan kurang, sehingga oleh
Pasal 251 KUHD masih dipertegas lagi dengan mengatakan bahwa tertanggung harus
memberikan keterangan yang benar dan jujur, dan apabila hal-hal yang
disembunyikannya menyebabkan perjanjian batal. Ketentuan ini berlaku untuk semua
perjanjian asuransi dengan tujuan untuk melindungi pihak penanggung.
Pasal 1322 KUHPerdata menegaskan bahwa:
” Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya persetujuan, kecuali apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Selanjutnya kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya, orang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat pribadinya orang tersebut”.
Pasal 1328 KUHPerdata menegaskan bahwa ” Penipuan merupakan suatu
alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu-muslihat, yang dipakai oleh salah
satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain
tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut.
Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. ”
Suatu penyajian yang keliru dan curang (ini termasuk ke dalam fraudulent
misrepresentation)19 yang diberikan pihak tertanggung di dalam suatu polis asuransi
19 Ada 4 (empat) macam misrepresentation yaitu:
1. Fraudulent Misrepresentation. 2. Negligent Misrepresentation at common law. 3. Negligent Misrepresentation Under Statute. 4. Innocent Misrepresentation.
dapat menimbulkan hak bagi pihak penanggung untuk membatalkan/menolak suatu
klaim. Pihak penanggung dapat menolak klaim tersebut jika misrepresentation20
menyangkut hal materil yang tercantum di dalam polis.
Hal ini dapat menjadi masalah apabila terjadi keadaan force majeure
(misalnya banjir dan gempa bumi) yang memang dinyatakan oleh pemerintah
menjadi suatu bencana nasional, dimana pihak penanggung menolak
klaim/pembayaran uang asuransi kepada pihak tertanggung. Beberapa perusahaan
asuransi mencantumkan di dalam polis yang isinya menjelaskan bahwa pihak
penanggung dibebaskan dari tanggung jawab atas keterlambatan atau kegagalan
dalam melaksanakan pembayaran klaim asuransi. Ini menjadi ketidakadilan terhadap
pihak tertanggung. Secara hukum jika suatu pihak menolak melakukan kewajiban dan
merugikan pihak yang lain maka disebut wanprestasi. Padahal di dalam perjanjian
asuransi menganut asas kepercayaan antara pihak penanggung dan pihak tertanggung.
Hal ini dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan
asuransi.
Biasanya hal ini terjadi pada saat tertanggung mengajukan klaim, ternyata ada
beberapa hal yang tidak dimasukkan oleh perusahaan asuransi di dalam polis.
Fraudulent Misrepresentation adalah informasi yang diberikan oleh salah satu pihak kepada pihak lain dan dibuat dengan tujuan untuk menipu dan sudah diketahui sebelumnya bahwa informasi itu adalah palsu, serta mengandung unsur kecurangan yang mempunyai pengaruh terhadap pihak-pihak yang membuat kontrak tersebut. www.wikipedia.com, tanggal 30 April 2007.
20 Misrepresentation adalah informasi salah yang diberikan oleh salah satu pihak (atau agen) kepada pihak lain sebelum kontrak dibuat yang mempunyai akibat/pengaruh terhadap pihak-pihak yang membuat kontrak itu yang dapat dimintakan pembatalan. www.lawhandbook.sa.gov.au tanggal 30 April 2007.
Sehingga terkadang pihak tertanggung yang dalam hal ini juga dapat dikatakan
sebagai konsumen merasa tertipu oleh perusahaan asuransi tersebut. Tapi terkadang
pihak tertanggung tidak menyadari bahwa dia yang menyebabkan permasalahan
tersebut. Jika tertanggung ingin mengambil asuransi, hendaknya tertanggung lebih
banyak bertanya sebelum menyetujui asuransi tersebut (bersifat aktif).21 Biasanya
pihak asuransi memberikan jangka waktu kepada tertanggung untuk mempelajari isi
polis.22 Hal ini dapat menyebabkan batalnya pertanggungan, baik yang disebabkan
oleh tertanggung maupun penanggung.23
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa, perjanjian asuransi merupakan
perjanjian timbal balik yaitu perjanjian dimana kedua belah pihak sama-sama
melakukan prestasi dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Pihak pertama
sebagai pihak yang ditanggung, mengalihkan beban atau risikonya kepada pihak
kedua yaitu penanggung.
Unsur-unsur penting dalam perjanjian pertanggungan menurut Pasal 256
KUHD ialah:
1. Para pihak dalam perjanjian pertanggungan yakni: penanggung dan tertanggung. 2. Kepentingan. 3. Benda pertanggungan. 4. Jumlah pertanggungan. 5. Bahaya yang ditanggung oleh penanggung. 6. Saat mulai dan berakhirnya bahaya bagi tanggungan si penanggung. 7. Premi.
21 Lebih banyak terjadi pada asuransi dengan klausula All Risk. 22 Dika Agus Sardjono, Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Polis Dengan Klausula All
Risk Dalam Asuransi, www.mediakonsumen.com tanggal 08 Agustus 2007. Akan tetapi Fraudulent Misrepresentation ini belum pernah terjadi di Indonesia.
23 Dapat dilihat pada Pasal 251 KUHD.
8. Pemberitaan kepada penanggung dan syarat-syarat yang diperjanjikan.24 Asuransi/Pertanggungan Jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup
(pengambil) asuransi dengan penanggung, dimana penutup asuransi mengikatkan diri
untuk membayar uang premi, sedangkan penanggung mengikatkan diri untuk
membayar sejumlah uang yang jumlahnya telah ditetapkan pada saat ditutupnya
pertanggungan kepada penikmat dan didasarkan atas hidup dan matinya seseorang
yang ditunjuk.25
Sifat dasar asuransi jiwa, adalah proteksi terhadap kerugian finansial akibat
hilangnya kemampuan menghasilkan pendapatan yang disebabkan oleh kematian,
maupun usia lanjut. Proteksi tersebut dapat diperoleh dari perusahaan asuransi jiwa.26
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, di dalam
Pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan
yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup
atau matinya seseorang yang dipertanggungkan.
Asuransi atau Pertanggungan Jiwa diatur dalam Buku I Bab X Pasal 302
sampai dengan Pasal 308 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Namun
tidak satupun dijumpai yang memuat rumusan definisi asuransi jiwa.
Asuransi Jiwa ini termasuk ke dalam golongan asuransi yang jenisnya lain
daripada Asuransi Kerugian yaitu yang disebut schadeverzekering di dalam beberapa
literatur seperti oleh Vollmar.
24 H.M.N. Purwosutjipto, Op.Cit, hal. 34. 25 Ibid, hal. 10. 26 Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hal. 73.
Secara luas sommenverzekering itu dapat diartikan sebagai suatu perjanjian di
mana satu pihak mengikatkan dirinya untuk membayar sejumlah uang secara
sekaligus atau periodik, sedang pihak lain mengikatkan dirinya untuk membayar
premi dan pembayaran uang itu adalah tergantung kepada mati atau hidupnya
seseorang tertentu atau lebih. Salah satu dari perjanjian itu ialah apa yang disebut
lijfrente di dalam KUH Perdata.27
Perbedaan lijfrente dari asuransi jiwa ialah bahwa di dalam suatu asuransi
jiwa, premi itu dibayarkan tertanggung pada umumnya secara periodik di dalam
tenggang waktu bertahun-tahun lamanya dan yang sebaliknya akan menimbulkan hak
atas pembayaran sejumlah uang secara sekaligus dari penanggung. Sedang pada
lijfrente, pemberian uang yang seperti premi itu adalah sekaligus untuk dapat
menerima pembayaran sejumlah uang secara periodik.28
Peristiwa yang terdapat di dalam asuransi jiwa itu ialah kematian. Akan tetapi
kematian itu adalah suatu peristiwa yang telah dapat ditentukan akan terjadi, sebab
semua orang harus mati, ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal lagi.
Hanya saatnya kematian itulah yang tidak dapat dipastikan. Sedang faktor peristiwa
tidak tertentu itu di dalam asuransi kerugian pada umumnya adalah suatu peristiwa
yang menurut pengalaman manusia tidak dapat diharapkan akan terjadinya. Pada
27 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Ibid, hal. 91 28 Ibid.
asuransi jiwa, kematian ini adalah suatu peristiwa yang diharapkan pada setiap orang
akan terjadi, hanya waktunya yang tidak dapat dipastikan.29
Oleh karena itulah pengertian peristiwa yang tidak tertentu seperti yang
disebutkan di dalam Pasal 246 KUHD itu, di dalam asuransi jiwa hanyalah terdapat
dalam arti “apabila penanggung mengikatkan dirinya untuk membayar, kalau
peristiwa kematian itu terjadi di dalam waktu yang lebih pendek daripada waktu
hidup yang mungkin terpanjang dari tertanggung”.
Di dalam asuransi kerugian pada umumnya kepentingan itu adalah merupakan
suatu syarat yang harus ada bagi tiap-tiap tertanggung. Akan tetapi di dalam asuransi
jiwa faktor ini adalah merupakan suatu syarat yang tidak diharuskan. Sebab di dalam
asuransi jiwa itu, di samping penanggung dan tertanggung masih dikenal pihak lain
sebagai pihak terhadap siapa pembayaran dari jumlah-jumlah yang dipertanggungkan
itu kemudian hari akan diberikan kalau kematian telah terjadi, dan orang inilah yang
disebutkan orang yang berkepentingan. Jadi walaupun di dalam perjanjian dari
asuransi jiwa itu sebagai pihak lawan dari penanggung ialah tertanggung dengan
siapa penanggung mengadakan perjanjian itu, sebagai orang yang hidupnya
dipertanggungkan, atau sebagai tertanggung yang terhadap kematiannya diikatkan
suatu penggantian kerugian, namun yang menerima pembayaran kerugian itu atau
yang berkepentingan atas penggantian kerugian itu adalah orang lain.30
29 Ibid, hal. 92. 30 Ibid, hal. 92-93.
Selanjutnya dapat dikemukakan, bahwa kalaupun ada kepentingan seseorang
atas meninggalnya orang yang atas jiwanya diadakan asuransi, tetapi kepentingan itu
adalah tidak dapat dinilai dengan uang. Jadi tidak sesuai dengan Pasal 268 KUHD
yang berbunyi sebagai berikut “ Suatu pertanggungan dapat mengenai segala
kepentingan yang dapat dinilaikan dengan uang, dapat diancam oleh sesuatu bahaya,
dan tidak dikecualikan oleh undang-undang”.
Pertama-tama asuransi jiwa itu bermaksud sebagai tanggungan atas suatu
risiko dari peristiwa kematian yang terlalu cepat dari seseorang yang mempunyai
mata pencaharian. Tapi di samping itu juga sebenarnya untuk menanggung risiko dari
masih tetap tinggal hidup setelah lewatnya waktu-waktu di mana seseorang itu masih
dapat diperkirakan mempunyai mata pencahariannya. Si tertanggung membayar
premi selama bertahun-tahun, mempunyai mata pencaharian yang baik dan
mempertanggungkan baik dirinya maupun keturunannya. Dengan demikian
terkumpullah suatu modal dalam suatu waktu di mana si tertanggung
memerlukannya.
Kalau disadari, dapatlah dimengerti bahwa di samping asuransi jiwa itu
mempunyai unsur yang penting seperti “mengalihkan risiko”, juga masih mempunyai
unsur lain yang penting yaitu unsur “menabung”. Hal ini adalah mungkin, oleh
karena pembayaran atau penggantian sejumlah uang oleh penanggung itu cepat atau
lambat, sekarang atau kemudian, akan pasti terjadi atau dilaksanakan.31
31 Ibid, hal. 94.
Kebanyakan perjanjian asuransi itu diadakan oleh tertanggung atas hidupnya
sendiri. Bilamana sampai pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian asuransi
jiwa itu si tertanggung masih hidup maka dia sendirilah yang menerima pembayaran
itu dari penanggung, akan tetapi apabila dia meninggal dunia sebelum saat yang
ditentukan itu maka yang menerima pembayaran itu ialah orang lain yang ditunjuk
sebagai orang yang berkepentingan.
Pada hakikatnya, semua asuransi bertujuan untuk menciptakan suatu
kesiapsiagaan dalam menghadapi berbagai risiko yang mengancam kehidupan
manusia, terutama risiko terhadap kehilangan atau kerugian yang membuat orang
secara sungguh-sungguh memikirkan cara-cara yang paling aman untuk
mengatasinya.
Emmy Pangaribuan Simanjuntak mengatakan bahwa tujuan semula dari
pertanggungan itu adalah tujuan ekonomi, yaitu bahwa seseorang yang menghendaki
supaya risiko yang diakibatkan oleh suatu peristiwa tertentu dapat diperalihkan
kepada pihak lain dengan diperjanjikan sebelumnya dengan syarat-syarat yang dapat
disepakati bersama.32 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pengertian
hukum asuransi atau pertanggungan mengandung satu arti yang pasti, yaitu sebagai
salah satu jenis perjanjian dengan tujuan berkisar pada manfaat ekonomi bagi para
pihak yang mengadakan perjanjian.
32 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Beberapa Aspek Hukum Dagang Di Indonesia, Bina
Cipta, Jakarta, 1997, hal. 28.
Pembangunan perumahan yang dibiayai melalui fasilitas kredit merupakan
program dari bank untuk menyediakan salah satu kebutuhan primer masyarakat. Bila
dilihat dari program pembangunan perumahan, tingkat pendapatan masyarakat yang
memerlukan rumah untuk tempat tinggal dapat dilihat sebagai berikut :
1. Golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi.
2. Golongan masyarakat yang berpenghasilan menengah.
3. Golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Bank diberi tugas khusus untuk menyediakan fasilitas Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan menengah
dalam rangka pelaksanaan program pemerintah khusus di bidang pengadaan
perumahan bagi rakyat. Sebagai sasaran yang hendak dicapai dalam pemberian Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan kepada
golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan menengah untuk membeli
sebuah rumah sederhana dengan pembayaran secara angsuran untuk ditempati dan
memiliki sendiri.
Kredit dilihat dari sudut bahasa berarti kepercayaan, dalam arti bahwa apabila
seseorang atau suatu badan usaha mendapatkan fasilitas kredit dari bank, maka orang
atau badan usaha tersebut telah mendapat kepercayaan dari bank pemberi kredit.
Menurut O.P. Simorangkir, seperti yang dikutip oleh Hasanuddin Rahman,
kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi
(kontra prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi
modern adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat
kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit
dan si penerima kredit atau antara kreditur dengan debitur. Mereka menarik
keuntungan dan saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas
didasarkan atas komponen-komponen kepercayaan, risiko dan pertukaran ekonomi
dimasa-masa mendatang.33
Pasal 1 Angka 11 UU Perbankan memberikan batasan terhadap kredit, yaitu
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.34
Ada 4 (empat) unsur kredit, yaitu:
1. Kepercayaan Setiap pelepasan kredit, dilandasi dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa
kredit tersebut akan dapat dibayar kembali oleh debiturnya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan.
2. Waktu Antara pelepasan kredit oleh bank dengan pembayaran kembali oleh debitur tidak
dilakukan pada waktu yang bersamaan, melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu.
3. Risiko Setiap pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung risiko di dalamnya, yaitu
risiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dengan pembayaran kembali. Hal ini berarti semakin panjang jangka waktu kredit semakin tinggi risiko kredit tersebut.
33 Hasanuddin Rahman, Op.Cit, hal. 95-96. 34 Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia
(simpanan, jasa, & kredit), Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, hal. 8.
4. Prestasi Setiap kesepakatan terjadi antara bank dengan debiturnya mengenai suatu
pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi.35
Oleh karena itu untuk kepentingan pengembalian kredit yang telah diberikan
kepada debiturnya, bank melakukan penutupan asuransi. Di dalam melakukan
penutupan asuransi, bank haruslah selalu memasukkan adanya syarat ”Banker’s
Clause” atas setiap pertanggungannya.
Pengertian ”Banker’s Clause” di sini adalah suatu klausula yang menyatakan
bank sebagai pihak yang berhak menerima ganti rugi atas terjadinya suatu kejadian
yang mengakibatkan kerusakan atau kerugian atas barang-barang yang
dipertanggungkan atau kematian atas debitur yang ditutup asuransinya.
Banker’s Clause terjadi karena ada perjanjian antara pihak perusahaan
asuransi dengan pihak bank. Hal ini dapat diterima karena perjanjian yang dibuat oleh
para pihak menjadi undang-undang bagi mereka yang membuat perjanjian tersebut36
akan tetapi perjanjian yang dibuat harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian37.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa asuransi atau
pertanggungan ini harus dilakukan oleh bank, baik atas jiwa debiturnya (perorangan)
maupun atas jaminan kredit yang dikuasainya. Salah satu pertimbangan yang paling
35 Hasanuddin Rahman, Loc.Cit, hal. 96-97.
36 Lihat Pasal 1338 BW. 37 Lihat Pasal 1320 BW.
mendasar adalah yang menyangkut kepentingan atas pengembalian kredit yang telah
diberikan kepada debiturnya.
Meninggalnya penerima kredit merupakan salah satu sebab yang dapat
menimbulkan kesulitan dalam pengembalian kredit tersebut. Dalam rangka
menanggulangi masalah tersebut, dikenal adanya suatu proteksi kematian dari
penerima kredit di mana jumlah uang pertanggungannya dikaitkan dengan jumlah
kredit yang terpaut.
Bank di dalam mengasuransikan jiwa debiturnya, adalah atas dasar bahwa:
”bank mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan” terhadap hidup debiturnya.
Dalam arti bahwa bank sebagai kreditur mempunyai keuntungan keuangan dari
kelangsungan hidup si debitur tersebut.38
Fasilitas kredit sebagai aktifitas utama lembaga perbankan mempunyai
konstruksi yang sama sejak dulu. Namun, kini perkembangannya mengarah pada
variasi-variasi dan pola-pola yang menggabungkan perkembangan teknologi dengan
segmen pasar dan regulasi yang menyertainya.
Salah satu jenis kredit yang diberikan oleh lembaga perbankan adalah kredit
untuk pembelian bangunan, baik untuk pembelian rumah, pembelian rumah toko
(ruko), pembelian apartemen, pembelian rumah susun, baik bangunan lama maupun
baru.
38 Ibid, hal. 254-256.
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah kredit yang diberikan oleh bank untuk
membantu anggota masyarakat, guna membeli sebuah rumah berikut tanahnya untuk
dimiliki dan dihuni sendiri.39
Kewajiban yang mewajibkan penutupan asuransi jiwa di dalam pemberian
fasilitas KPR terkadang menimbulkan persoalan di kalangan ahli waris debitur dan
juga terhadap pihak penanggung bila selama masa asuransi debitur melakukan take
over ke kreditur lain.
Pada umumnya, pembayaran asuransi jiwa tidak termasuk warisan. Pensiun
yang diberikan kepada si janda berdasarkan perjanjian kerja, lebih banyak dipandang
sebagai hak yang sewajarnya jatuh pada si janda, sehingga hak itu dipandang sebagai
diperoleh berdasarkan suatu natuurlijke verbintenis.40
Seperti diketahui di dalam Pasal 832 Burgerlijk Wetboek (BW) ditentukan
bahwa ” Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para
keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau isteri yang hidup
terlama, semua menurut peraturan tertera di bawah ini.”
Pada umumnya bila seseorang menutup asuransi jiwa atas dirinya dan
meninggal dalam masa pertanggungan, maka yang berhak menjadi penerima
manfaatnya adalah ahli waris dari yang bersangkutan atau orang yang telah ditunjuk
di dalam polis dan polis tersebut dipegang oleh yang bersangkutan.
39 Budi Utami Raharja, Hak Jaminan Atas Kredit Pemilikan Rumah (Studi Kasus PT. Bank
Danamon Indonesia Tbk dan PT. Bank Sumut Medan), Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005, hal. 63.
40 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, hal. 3
Tetapi tidak demikian halnya dengan asuransi jiwa yang ada di dalam Kredit
Pemilikan Rumah (KPR). Disini yang menjadi tertanggung tetap adalah debitur
(orang yang mendapat fasilitas kredit dari kreditur), akan tetapi debitur tidak menjadi
pemegang polisnya. Yang menjadi pemegang polis adalah badan usaha/perorangan
yang mengadakan perjanjian asuransi dengan perusahaan asuransi atau yang
menggantikannya.41
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.42
Demi tercapainya penelitian ini, baik dalam memberikan gambaran dan
jawaban atas masalah, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam
penelitian ini.
Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis43, yaitu
untuk menggambarkan klausula wajib asuransi jiwa dalam perjanjian Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) di Kota Medan.
41 Banker’s Clause dapat dilihat pada perjanjian induk yang dibuat oleh perusahaan asuransi
dan bank serta formulir permintaan penutupan asuransi jiwa yang ditandatangani oleh debitur pada saat penandatanganan Perjanjian Kredit.
42 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 43. 43 Penelitian deskriptif pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis,
faktual, dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode
pendekatan penelitian hukum empiris44 karena penelitian ini dilakukan terhadap
klausula wajib asuransi jiwa dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di
Kota Medan.
Penelitian hukum empiris istilah lain yang digunakan adalah penelitian hukum
sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan.45 Jika penelitian
hukum normatif merupakan penelitian yang didasarkan atas data-data sekunder, maka
penelitian hukum sosiologis ini bertitik tolak dari data primer.46
Penelitian hukum sosiologis adalah penelitian yang mengkaji korelasi antara
kaidah hukum dengan lingkungan tempat hukum itu berlaku. Korelasi ini dapat
dilihat dalam kaitan pembuatan atau penerapan hukum.47 Penelitian hukum empiris
yang dilakukan di sini mengutamakan penelitian tentang klausula asuransi jiwa dan
perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
karakteristik tertentu atau faktor-faktor tertentu, Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2002, hal. 36.
44 Ronny Hamitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 14.
45 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 2. 46 Data primer adalah data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama
dengan melalui penelitian lapangan, Ibid. 47 Wihardi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan
Sepeda Motor Melalui Perusahaan Pembiayaan Di Kota Medan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Magister Kenotariatan, Medan, 2005, hal. 78.
2. Sumber Data
Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu Klausula Wajib Asuransi Jiwa Dalam
Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Di Kota Medan, maka lokasi penelitian
dilaksanakan di Kota Medan.
Alasan pemilihan Kota Medan sebagai lokasi didasarkan pada pertimbangan
bahwa Kota Medan sebagai ibukota Popinsi Sumatera Utara yang merupakan pusat
pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi, industri, dan perdagangan serta bisnis.
Populasi48 dalam penelitian ini adalah konsumen, perusahaan asuransi, dan
Perbankan Nasional di Kota Medan yang jumlah keseluruhannya adalah 42
(empatpuluh dua) buah.49
Berdasarkan populasi tersebut, sampel penelitian yang dipilih ditetapkan
secara purposive sampling50, yaitu :
1. Sebanyak 2 (dua) perusahaan perbankan yang masing-masing mempunyai
spesifikasi produk kredit yang sama dan cukup dikenal oleh masyarakat serta
memiliki jumlah nasabah debitur yang relatif banyak yaitu:
a) PT. Bank Central Asia, Tbk.
b) PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.
48 Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama. Bambang
Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 118. 49 Jumlah yang terdaftar hingga Desember 2006 pada Bank Indonesia (Kota Medan). 50 Dalam purposive sampling, pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau
sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Andi, Yogyakarta, 2004, hal. 91.
2. Masing-masing 5 (lima) orang nasabah debitur yang menggunakan jasa kredit
dari 2 (dua) perusahaan di atas.51
3. Perusahaan asuransi yang mempunyai hubungan kerjasama dengan 2 (dua)
perusahaan perbankan di atas, yaitu PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya dan PT.
Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera.
4. Perusahaan asuransi jiwa yang tidak mempunyai hubungan kerjasama dengan 2
(dua) perusahaan perbankan di atas, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera
1912 Medan.
5. Pegawai bank sebanyak 2 (dua) orang.
3. Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara:
a) Library Research (Penelitian Kepustakaan)
Penelitian kepustakaan diadakan untuk memperoleh data sekunder dengan
mempelajari literatur-literatur, peraturan perundangan-undangan, dan
dokumentasi lainnya yang bersifat logis dan relevan dengan masalah yang
dibahas dengan menggunakan studi dokumen.
b) Field Research (Penelitian Lapangan)
Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer dari narasumber
dengan melakukan wawancara langsung.
51 Dipilih hanya 5 (lima) orang nasabah debitur karena ada keterbatasan waktu, tenaga, dan
biaya penelitian.
Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventaris seluruh data dan atau
dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan
pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah
ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah
dipilih.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif52 dengan mempelajari
jawaban dari responden, sesuai dengan sifat penelitian deskriptif analitis, maka data
yang dikumpulkan melalui wawancara yang diperoleh akan diteliti dan dipelajari
secara utuh dan disesuaikan dengan data sekunder.
Maka data yang telah diperoleh akan disusun secara sistematik dan
selanjutnya dilakukan analisis deskriptif secara kualitatif.53
Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.54
52 Bambang Waluyo, Op Cit, hal. 77-78, menyatakan terhadap data yang sudah terkumpul
dapat dilakukan analisis kualitatif apabila: 1) Data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan pengukurannya; 2) Data tersebut sukar diukur dengan angka; 3) Hubungan antar variabel tidak jelas; 4) Sampel lebih bersifat non probabilitas; 5) Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan pengamatan; 6) Penggunaan-penggunaan teori kurang diperlukan. 53 Burhan Bungi, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 135. 54 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal.
103.
Berdasarkan pendapat Maria, S.W. Sumardjono, bahwa analisis kualitatif dan
analisis kuantitatif tidak harus dipisahkan sama sekali apabila digunakan dengan tepat
sepanjang hal itu mungkin keduanya dapat saling menunjang.55
Kegiatan analisis dimulai dengan melakukan pemeriksaan dan evaluasi
terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya baik melalui
wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-
undangan, yang berkaitan dengan judul penelitan baik media cetak, media elektronik,
dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan.
Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian
secara kualitatif. Dengan analisis kualitatif itu juga dilakukan metode interpretasi.56
Berdasarkan metode interpretasi ini, diharapkan dapat menjawab segala permasalahan
hukum yang ada dalam penelitian ini.
55 Wihardi, Op.Cit, hal. 81. 56 Bandingkan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo, yang menyatakan interpretasi
merupakan metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya, interpretasi itu baik dilakukan dengan metode gramatikal, teologis, atau sosiologis, sistematis, historis, komparatif, futuristis, argumentum per analogium, penyempitan hukum, argumentum a-contrario, Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 14-26.
BAB II
PENGATURAN KLAUSULA WAJIB ASURANSI JIWA DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR)
A. Klausula Wajib Asuransi Jiwa
Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam
perundang-undangan dan Perusahaan Perasuransian. Istilah perasuransian berasal dari
kata ”asuransi” yang berarti pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari
ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian. Apabila kata ”asuransi” diberi
imbuhan ”per-an”, maka muncullah istilah hukum ”perasuransian”, yang berarti
segala usaha yang berkenaan dengan asuransi.
Istilah aslinya dalam bahasa Belanda adalah verzekering atau assurantie.
Sukardono Guru Besar Hukum Dagang menerjemahkannya dengan ”pertanggungan”.
Istilah pertanggungan ini umum dipakai dalam literatur hukum. Sedangkan istilah
asuransi sebagai serapan dari istilah assurantie (Belanda), assurance (Inggris) banyak
dipakai dalam praktik dunia usaha (business).57
Hidup manusia umumnya diakui sangat tinggi nilainya. Itulah sebabnya
makin banyak permintaan akan asuransi jiwa. Dua kemungkinan darurat yang
dihadapi setiap orang dalam hidup adalah mati terlalu dini atau hidup terlalu lama.
Orang mungkin hidup terlalu lama sehingga melampaui produktivitas keuangannya /
kemampuannya menyediakan kebutuhan ekonominya. Kemungkinan darurat pertama
57 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 5-6.
adalah kematian fisik. Asuransi jiwa merupakan alat keuangan untuk menyediakan
dana bagi pemeliharaan ahli waris dan harta peninggalan seseorang yang sudah
meninggal. Kemungkinan darurat kedua adalah kematian ekonomi.
Asuransi atau pertanggungan sebagai lembaga peralihan resiko merupakan
suatu manifestasi dari usaha manusia untuk mengalihkan risiko yang seharusnya
ditanggungnya sendiri kemudian dialihkan ke pihak lain melalui suatu perjanjian
asuransi, yang dalam kegiatan ini disebut risk management (manajemen risiko).58
Asuransi jiwa juga merupakan suatu alat sosial dan ekonomi. Ia merupakan
cara sekelompok orang untuk dapat bekerja sama memeratakan beban kerugian
karena kematian sebelum waktunya (premature death) dari anggota-anggota
kelompok itu. Organisasi asuransi memungut kontribusi dari masing-masing anggota,
menginvestasikannya dan menjamin keamanan dan hasil bunga minimum, dan
mendistribusikan untungnya (benefits) kepada ahli waris anggota yang meninggal.
Apa yang disebut ”asuransi jiwa” itu lebih realities dinamakan ”asuransi kematian”,
namun kebiasaan telah memberinya nama asuransi jiwa yaitu perjanjian untuk
perlindungan terhadap kerugian keuangan karena kematian. Titik perhatian asuransi
jiwa adalah hidup manusia. Asuransi jiwa menyediakan lembaga bagi orang-orang
untuk dapat secara sistematis menciptakan jaminan keuangan bagi keluarganya
dan/atau bagi perusahaannya.
58 Mark R. Greene, Risk And Insurance, 3rd Edition, South-Western, Publishing Co.,
Cincinnati, Ohio, 1973, page 72.
Dalam asuransi jiwa yang dipertanggungkan ialah yang disebabkan oleh
kematian (death). Kematian tersebut mengakibatkan hilangnya pendapatan seseorang
atau suatu keluarga tertentu. Risiko yang mungkin timbul pada asuransi jiwa terutama
terletak pada ”unsur waktu/time”, oleh karena sulit untuk mengetahui kapan
seseorang meninggal dunia. Untuk memperkecil risiko tersebut, maka sebaiknya
diadakan pertanggungan jiwa.59
Asuransi/Pertanggungan Jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup
(pengambil) asuransi dengan penanggung, dimana penutup asuransi mengikatkan diri
untuk membayar uang premi, sedangkan penanggung mengikatkan diri untuk
membayar sejumlah uang yang jumlahnya telah ditetapkan pada saat ditutupnya
asuransi yang didasarkan atas hidup dan matinya seseorang yang ditunjuk.
Sifat dasar asuransi jiwa, adalah proteksi terhadap kerugian finansial akibat
hilangnya kemampuan menghasilkan pendapatan yang disebabkan oleh kematian,
maupun usia lanjut. Proteksi tersebut dapat diperoleh dari perusahaan asuransi jiwa.
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
menyebutkan bahwa perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan yang memberikan
jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau matinya
seseorang yang dipertanggungkan.
Perbedaan yang esensial antara asuransi jiwa dan asuransi lainnya yang
dirancang terutama untuk melindungi terhadap suatu peril tertentu adalah bahwa
59 A. Abbas Salim, Dasar-Dasar Asuransi (Principles of Insurance), RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1995, hal. 25.
asuransi jiwa mempunyai fungsi tambahan yaitu fungsi akumulasi (tabungan), kecuali
asuransi jiwa berjangka (terminsurance). Sebagian premi yang telah dibayarkan
untuk asuransi jiwa oleh tertanggung merupakan dana investasi yang akan diserahkan
oleh pihak penanggung kepada pihak tertanggung. Jadi, peranan ganda dari asuransi
jiwa adalah perlindungan dan investasi atau tabungan.60
Menurut Undang-Undang No. 2 tahun 1992 Pasal 1 Ayat 1, Asuransi Jiwa:
”Asuransi atau Pertanggungan Jiwa adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
Asuransi atau Pertanggungan Jiwa diatur dalam Buku I Bab X Pasal 302
sampai dengan Pasal 308 KUHD. Namun tidak satupun dijumpai yang memuat
rumusan definisi asuransi jiwa.
Asuransi Jiwa ini termasuk ke dalam golongan asuransi yang jenisnya lain
daripada asuransi kerugian yaitu yang disebut schadeverzekering di dalam beberapa
literatur seperti oleh Vollmar.61
Secara luas sommenverzekering itu dapat diartikan sebagai suatu perjanjian di
mana satu pihak mengikatkan dirinya untuk membayar sejumlah uang secara
sekaligus atau periodik, sedang pihak lain mengikatkan dirinya untuk membayar
premi dan pembayaran uang itu adalah tergantung kepada mati atau hidupnya
60 Herman Darmawi, Op Cit, hal. 73. 61Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan (Pokok-Pokok Pertanggungan
Kerugian, Kebakaran, dan Jiwa), Op Cit, hal. 91.
seseorang tertentu atau lebih. Salah satu dari perjanjian itu ialah apa yang disebut
lijfrente di dalam KUH Perdata.
Perbedaan lijfrente dari asuransi jiwa ialah bahwa di dalam suatu asuransi
jiwa, premi itu dibayarkan tertanggung pada umumnya secara periodik di dalam
tenggang waktu bertahun-tahun lamanya dan yang sebaliknya akan menimbulkan hak
atas pembayaran sejumlah uang secara sekaligus dari penanggung. Sedang pada
lijfrente, pemberian uang yang seperti premi itu adalah sekaligus untuk dapat
menerima pembayaran sejumlah uang secara periodik.62
Ke dalam asuransi jiwa ini, janganlah pula diberi pengertian bahwa hal itu
sama seperti suatu perjanjian di mana terhadap suatu pembayaran premi diperjanjikan
sejumlah uang yang telah ditentukan sebelumnya, dibayar setelah berlakunya
beberapa tahun. Sebab di dalam pengertian ini sama sekali kehidupan dan kematian
seseorang itu tidaklah mempunyai pengaruh, sehingga hal ini tidak sesuai dengan
hakekat dari asuransi jiwa.
Peristiwa yang terdapat di dalam asuransi jiwa itu ialah kematian. Akan tetapi
kematian itu adalah suatu peristiwa yang telah dapat ditentukan akan terjadi, sebab
semua orang harus mati, ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal lagi.
Hanya saatnya kematian itulah yang tidak dapat dipastikan. Sedang faktor peristiwa
tidak tertentu itu di dalam asuransi kerugian pada umumnya adalah suatu peristiwa
yang menurut pengalaman manusia tidak dapat diharapkan akan terjadinya. Pada
62 Ibid.
asuransi jiwa, kematian ini adalah suatu peristiwa yang diharapkan pada setiap orang
akan terjadi, hanya waktunya yang tidak dapat dipastikan.63
Oleh karena itulah pengertian peristiwa yang tidak tertentu seperti yang
disebutkan di dalam Pasal 246 KUHD itu, di dalam asuransi jiwa hanyalah terdapat
dalam arti ”apabila penanggung mengikatkan dirinya untuk membayar, kalau
peristiwa kematian itu terjadi di dalam waktu yang lebih pendek daripada waktu
hidup yang mungkin terpanjang dari tertanggung.
Di dalam asuransi kerugian pada umumnya kepentingan itu adalah merupakan
suatu syarat yang harus ada bagi tiap-tiap tertanggung. Akan tetapi di dalam asuransi
jiwa faktor ini adalah merupakan suatu syarat yang tidak diharuskan. Sebab di dalam
asuransi jiwa itu, di samping penanggung dan tertanggung kita masih mengenal pihak
lain sebagai pihak lain sebagai pihak terhadap siapa pembayaran dari jumlah-jumlah
yang dipertanggungkan itu kemudian hari akan diberikan kalau kematian telah terjadi,
dan orang inilah yang disebutkan orang yang berkepentingan. Jadi walaupun di dalam
perjanjian dari asuransi jiwa itu sebagai pihak lawan dari penanggung ialah
tertanggung dengan siapa penanggung mengadakan perjanjian itu, sebagai orang yang
hidupnya dipertanggungkan, atau sebagai tertanggung yang terhadap kematiannya
diikatkan suatu penggantian kerugian, namun yang menerima pembayaran kerugian
itu atau yang berkepentingan atas penggantian kerugian itu adalah orang lain.64
63 Ibid, hal. 92. 64 Ibid, hal. 92-93.
Selanjutnya dapat dikemukakan, bahwa kalaupun ada kepentingan seseorang
atas meninggalnya orang yang atas jiwanya diadakan asuransi, tetapi kepentingan itu
adalah tidak dapat dinilai dengan uang. Jadi tidak sesuai dengan Pasal 268 KUHD.
Bagi seorang isteri dan anak-anaknya, kematian seorang ayah yang selama
hidupnya adalah orang yang mencari nafkah, kematian ayah itu tidak dapat
diperkirakan betapa beratnya. Tetapi bagi seseorang yang mendapatkan sejumlah
uang karena matinya seseorang keluarganya yang jiwanya dipertanggungkan,
sedangkan selama hidupnya, orang itu tidak menjadi tanggungan orang yang sudah
mati itu maka pembayaran sejumlah uang dari penanggung itu berarti hanya sebagai
kemujuran yang tiba-tiba saja.
Maka itulah sebabnya asuransi jiwa itu sebenarnya tidak dapat dimasukkan ke
dalam pengertian/hakekat ”asuransi” sehingga dia digolongkan ke dalam suatu
asuransi yang sifatnya sebenarnya atau tidak sesungguhnya merupakan asuransi.
Pertama-tama asuransi jiwa itu bermaksud sebagai tanggungan atas suatu
risiko dari peristiwa kematian yang terlalu cepat dari seseorang yang mempunyai
mata pencaharian. Tapi di samping itu juga sebenarnya untuk menanggung risiko dari
masih tetap tinggal hidup setelah lewatnya waktu-waktu di mana seseorang itu masih
dapat diperkirakan mempunyai mata pencahariannya. Si tertanggung membayar
premi selama bertahun-tahun, mempunyai mata pencaharian yang baik dan
mempertanggungkan baik dirinya maupun keturunannya. Dengan demikian
terkumpullah suatu modal dalam suatu waktu di mana si tertanggung
memerlukannya.65
Kalau disadari, dapatlah dimengerti bahwa di samping asuransi jiwa itu
mempunyai unsur yang penting seperti ”mengalihkan risiko”, juga masih mempunyai
unsur lain yang penting yaitu unsur ”menabung”. Hal ini adalah mungkin, oleh
karena pembayaran atau penggantian sejumlah uang oleh penanggung itu cepat atau
lambat, sekarang atau kemudian, akan pasti terjadi atau dilaksanakan.66
Kebanyakan perjanjian asuransi itu diadakan oleh tertanggung atas hidupnya
sendiri. Bilamana sampai pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian asuransi
jiwa itu si tertanggung masih hidup maka dia sendirilah yang menerima pembayaran
itu dari penanggung, akan tetapi apabila dia meninggal dunia sebelum saat yang
ditentukan itu maka yang menerima pembayaran itu ialah orang lain yang ditunjuk
sebagai orang yang berkepentingan.
Di dalam KUHD mulai dari pasal 302 sampai dengan pasal 308 di dalam
Buku I Titel 10 Bagian ke 3 diaturlah tentang Asuransi Jiwa itu secara singkat sekali.
Di dalam pasal pertama yaitu pasal 302, undang-undang memberikan
gambaran tentang apa yang dimaksud dengan perjanjian asuransi jiwa yaitu bahwa
jiwa seseorang dapat dipertanggungkan untuk keperluan orang yang berkepentingan
dengan itu, baik untuk selama hidupnya, maupun untuk sesuatu waktu yang
ditentukan dalam perjanjian.
65 Ibid, hal. 94. 66 Ibid, hal. 95.
Yang penting dari bunyi pasal itu ialah bahwa asuransi itu selalu diadakan
dalam suatu jangka waktu, yang ditentukan di dalam perjanjian asuransi itu sendiri,
akan tetapi juga dapat untuk waktu selama hidupnya dan hal ini menurut bunyi pasal
itu tidak dapat ditetapkan dalam perjanjiannya itu. Sehingga, kemungkinan untuk
mengadakan asuransi itu untuk selama hidup oleh undang-undang tidak secara tegas-
tegas diberikan. Selanjutnya di dalam pasal 303 terdapat suatu ketentuan yang dapat
menimbulkan suatu kejanggalan. Dari ketentuan itu ternyata bahwa tidak dilarang
untuk mengadakan asuransi atas jiwa seseorang di luar pengetahuan atau persetujuan
orang yang dipertanggungkan jiwanya itu. 67
Asuransi jiwa adalah asuransi dimana jiwa seseorang dipertanggungkan.68
Asuransi jiwa ini ada bermacam-macam bentuk dan isinya, yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Bentuk-bentuk asuransi jiwa yang saling bertentangan: a) Asuransi hidup dan asuransi mati b) Asuransi biasa dan asuransi rakyat c) Asuransi perorangan dan asuransi kumpulan d) Asuransi dengan pemeriksaan dokter dan asuransi tanpa pemeriksaan dokter e) Asuransi dengan pembagian laba dan asuransi tanpa pembagian laba f) Asuransi jiwa tunggal dan asuransi jiwa ganda g) Asuransi wajib dan asuransi sukarela69
2. Perbedaan-perbedaan asuransi jiwa menurut unsur-unsurnya: a) Pure Endowment b) Anuitas yang terdiri dari:
1) Anuitas pasti (annuity certain) 2) Anuitas jiwa (life annuity)
c) Asuransi jangka waktu (term insurance) yang terdiri dari: 1) Asuransi ekawarsa
67 Ibid, hal. 94. 68 H.M.N. Purwosutjipto, Op Cit, hal. 201. 69 Ibid.
2) Asuransi seumur hidup d) Asuransi jangka waktu dengan santunan menurun (decreasing term
insurance) e) Asuransi jangka waktu dengan santunan meningkat (increasing term
insurance) 3. Bentuk-bentuk asuransi gabungan yang ada di Indonesia:
a) Asuransi dwiguna b) Asuransi dwiguna hari tua c) Asuransi anekaguna d) Asuransi anekaguna hari tua e) Asuransi dwiguna dengan bonus khusus f) Asuransi dwiguna hari tua dengan bonus khusus g) Asuransi pensiun h) Asuransi dana beasiswa i) Asuransi dana beasiswa ideal j) Asuransi dana haji k) Asuransi jiwa kredit l) Asuransi dwiguna perlindungan ganda m) Asuransi dwiguna perlindungan ganda hari tua n) Asuransi dwiguna seumur hidup o) Asuransi dwiguna remaja p) Asuransi dwiguna suami istri q) Asuransi triguna r) Asuransi kelangsungan belajar s) Asuransi jiwa mahasiswa t) Asuransi jiwa pembangunan rumah70
Secara pokok asuransi jiwa dapat dibedakan atas:
1. Asuransi jiwa berjangka (term insurance) Asuransi jiwa berjangka atau term insurance yaitu: penanggung memberikan jaminan ganti rugi (santunan) jika tertanggung meninggal dunia dalam jangka waktu perjanjian pertanggungan sedang berjalan.
2. Asuransi dwiguna (endowment insurance) Pada asuransi dwiguna ini apabila tertanggung meninggal dunia pada saat perjanjian pertanggungan sedang berjalan maupun berakhirnya perjanjian asuransi, maka penanggung akan memberikan uang santunan kepada ahli warisnya.71
70 Ibid, hal. 202. 71 Abdul Muis, Hukum Asuransi Dan Bentuk-Bentuk Perasuransian, FH-USU, Medan, 1996,
hal. 37.
Di samping pembagian asuransi tersebut di atas, asuransi jiwa juga dapat
dibedakan atas:
1. Asuransi jiwa medikal adalah asuransi yang memberikan surat keterangan dokter dimana dokter yang memeriksa kesehatan calon tertanggung disediakan oleh pihak asuransi sendiri.
2. Asuransi jiwa non medikal adalah asuransi di mana yang memberikan surat keterangan tentang kesehatan calon tertanggung adalah dokter di luar perusahaan asuransi.72
Produk-produk yang ada pada PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya adalah:
1. Individu, yang terdiri dari: a) Beasiswa Ananda b) Whole Life c) Eksekutif Century d) Protecta Raya e) HCP Satria f) CARina
2. Korporasi, yang terdiri dari: a) Prevensia b) Asuransi Kecelakaan c) Asuransi Kredit (Asuransi Jiwa Kredit) d) Asuransi Jiwa Berjangka Menurun e) Program Kesejahteraan Karyawan f) Cash Free Insurance
3. Direct Marketing, yang terdiri dari: a) Carseri b) Sakura c) Triple Safe d) Medi Shield e) CAR Sero
4. DPLK 5. Premi Online, yang terdiri dari:
a) Beasiswa Ananda b) Whole Life c) Protecta Raya (PA) d) Hospital Cash Plan (HCP) e) Asuransi Berjangka (BJK) f) Central Eksekutif
72 Ibid, hal. 39.
g) Dana Carity73
Produk-produk yang ada pada PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera
adalah:
1. Produk Individu, yang terdiri dari: a) Eksekutif b) Anuitas Eksekutif c) Eksekutif Platinum d) Dana Siswa e) Dana Abadi f) Dana Dwiguna g) Swakadana h) Bringin Sehat Keluarga i) Bringin Sehat j) BRIprotek+ k) BRIvesta plus l) Investama m) Prospens+ n) Omega-80 o) Bringin Link
2. Produk Korporasi, yang terdiri dari: a) Asuransi Perawatan Kesehatan b) Program Kesehatan Pensiun c) Asuransi Kesejahteraan Hari Tua d) Asuransi Kecelakaan Diri e) Asuransi Jiwa Berjangka f) Asuransi Jiwa Kredit g) Asuransi Resiko Jabatan
3. Bancassurance, yang terdiri dari: a) Kecelakaan Diri b) Bringin Proteksi c) Credit Shield d) Unit Link-Provest e) Unit Link-Provestara
4. DPLK 5. Syariah74
73 www.car.co.id tanggal 02 Juli 2007. 74 www.bringinlife.co.id tanggal 02 Juli 2007.
Dalam asuransi jiwa yang dipertanggungkan adalah jiwa seseorang untuk
keperluan seseorang yang berkepentingan, baik untuk suatu waktu tertentu yang
diperjanjikan atau untuk seumur hidup tertanggung.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka polis asuransi jiwa harus memuat:
1. Hari diadakan asuransi 2. Nama tertanggung 3. Nama orang yang jiwanya diasuransikan 4. Saat mulai dan berakhirnya evenemen 5. Jumlah asuransi 6. Premi asuransi75
Tetapi mengenai rancangan jumlah dan penentuan syarat-syarat asuransi sama
sekali bergantung pada persetujuan antara kedua pihak yang mengadakan asuransi
(Pasal 305 KUHD).76
Pada perjanjian asuransi jiwa pihak-pihak yang bersangkutan tidak hanya
selalu dua pihak saja tetapi bisa lebih dari dua pihak yaitu:
1. Penanggung Pihak yang berhak atas pembayaran premi dan berkewajiban membayar sejumlah
uang jika terjadi kematian atau peristiwa lain atau berakhirnya masa asuransi. 2. Tertanggung Orang yang jiwanya dipertanggungkan, artinya bahwa pembayaran sejumlah uang
yang sudah diperjanjikan itu digantungkan pada mati hidupnya orang tersebut. 3. Penikmat atau pengambil asuransi Orang yang ditunjuk oleh tertanggung atau ahli waris tertanggung yang berhak
menikmati santunan apabila tertanggung meninggal dunia. Jadi penikmat muncul apabila terjadi evenemen meninggalnya tertanggung. Karena tertanggung tidak mungkin dapat menikmati santunan kalau sudah meninggal. Tetapi apabila tertanggung masih hidup sampai asuransi berakhir tanpa evenemen maka tertanggung berhak menikmati pengembalian sejumlah uang yang dibayar oleh
75 Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hal. 171. 76 Ibid.
penanggung. Dalam asuransi jiwa untuk kepentingan pihak ketiga (penikmat) harus dicantumkan dalam polis asuransi.
4. Tertunjuk Orang atau siapa saja yang dapat, ahli waris atau pihak ketiga yang dalam polis
memang ditunjuk sebagai orang atau pihak yang berhak menerima pembayaran sejumlah uang dari penanggung.77
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan 4
(empat) syarat yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Yang dimaksud dengan sepakat mereka yang mengikatkan dirinya adalah
sesuai persesuaian kehendak antara kedua pihak (pihak penanggung dan tertanggung)
yang mengadakan perjanjian.
Persesuaian kehendak itu biasanya diikuti dengan perbuatan penawaran atau
penerimaan penawaran. Jadi perjanjian itu harus sesuai dengan memuat unsur-unsur
penawaran dan penerimaan penawaran, yaitu penawaran oleh satu pihak (pihak
penanggung) dan penerimaan dari pihak lain (pihak tertanggung) sampai pada syarat-
syarat dari penutupan perjanjian asuransi.
Pada perjanjian asuransi tercipta tatanan hubungan hukum antara para pihak.
Tatanan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban. Menurut Sudikno
Mertokusumo, tatanan yang diciptakan oleh hukum baru menjadi kenyataan apabila
77 Ibid, hal. 173.
kepada subyek hukum diberi hak dan dibebani kewajiban. Setiap hubungan hukum
diberi hak dan dibebani kewajiban. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh
hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya di satu pihak ”hak”, sedang di pihak
lain ”kewajiban”. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya tidak ada kewajiban
tanpa hak.78
Dalam Pasal 246 KUHD terdapat bagian kalimat ”dengan mana penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi”. Dengan demikian,
dapat diketahui bahwa premi adalah salah satu unsur penting dalam asuransi karena
merupakan kewajiban pokok yang wajib dipenuhi oleh tertanggung kepada
penanggung. Dalam hubungan hukum asuransi, penanggung menerima pengalihan
risiko dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi sebagai
imbalannya. Apabila premi tidak dibayar, asuransi dapat dibatalkan atau setidak-
tidaknya asuransi tidak berjalan.
Sebagai perjanjian timbal balik, asuransi bersifat konsensual, artinya sejak
terjadi kesepakatan timbullah kewajiban dan hak kedua belah pihak. Tetapi asuransi
baru berjalan jika kewajiban tertanggung membayar premi telah dipenuhi. Dengan
kata lain, risiko atas benda beralih kepada penanggung sejak premi dibayar oleh
tertanggung. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa ada tidaknya asuransi ditentukan
oleh pembayaran premi. Premi merupakan kunci perjanjian asuransi.
78 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1991,
hal. 39.
Dalam asuransi jiwa di samping terdapat pihak penanggung dan tertanggung,
juga terdapat pihak penikmat. Tertanggung adalah seseorang yang jiwanya
dipertanggungkan, berkewajiban membayar premi atau uang pertanggungan secara
sekaligus atau periodik dan berhak menerima polis serta berhak menerima sejumlah
uang santunan jika terjadi evenemen meninggalnya si tertanggung. Akan tetapi uang
santunan tidak dibayar dan asuransi menjadi batal apabila tertanggung bunuh
diri/melakukan percobaan bunuh diri dan dijatuhi hukuman mati. Hal ini sesuai
dengan Pasal 307 KUHD. Selain itu perusahaan asuransi juga mencantumkan
kejadian-kejadian yang dapat menyebabkan batalnya asuransi di luar daripada yang
ada pada Pasal 307 KUHD, yaitu:
1. Apabila tertanggung berada di bawah pengaruh atau diakibatkan oleh alkohol, obat bius, atau penyakit jiwa/gila.
2. Apabila tertanggung sengaja menghadapi/memasuki bahaya-bahaya yang sebenarnya tidak perlu untuk dilakukan, kecuali dalam usaha menyelamatkan diri.
3. Apabila tertanggung terlibat/ikut dalam penerbangan selain dari pesawat penumpang komersial.
4. Apabila kematian tertanggung disebabkan karena melahirkan (bagi wanita).79
Penanggung adalah perusahaan asuransi jiwa, memberikan jasanya dalam
penanganan risiko, berhak menerima premi dan berkewajiban memberikan santunan
kepada si tertanggung ataupun penikmat yang ditunjuk pada saat si tertanggung
meninggal dunia ataupun setelah berakhirnya masa pertanggungan.80
79 Wawancara dengan pihak PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera, tanggal 09 Agustus
2007. 80 Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hal. 173.
Sedangkan penikmat adalah orang yang ditunjuk oleh si tertanggung tanpa
berkewajiban membayar premi dan namanya tertera di dalam polis. Santunan yang
diberikan kepada penikmat meskipun ia dengan matinya tertanggung tidak menderita
kerugian apapun tidak menimbulkan kewajiban membayar premi.81
Dalam asuransi jiwa, satu-satunya evenemen yang menjadi beban risiko
penanggung adalah meninggalnya tertanggung. Terhadap evenemen inilah diadakan
asuransi jiwa antara tertanggung dan penanggung. Apabila dalam jangka waktu yang
diperjanjikan terjadi peristiwa meninggalnya tertanggung, maka penanggung
berkewajiban membayar uang santunan kepada penikmat yang ditunjuk oleh
tertanggung, atau kepada ahli warisnya. Sejak penanggung melunasi pembayaran
uang santunan tersebut, sejak itu pula asuransi jiwa berakhir.82
Asuransi jiwa yang dipakai dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR) biasanya
adalah asuransi kredit. Akan tetapi pada umumnya biasa disebut asuransi jiwa kredit.
Hal ini disebabkan karena asuransi jiwa dipakai untuk menjamin pembayaran kredit
kepada kreditur.
Asuransi jiwa kredit adalah suatu sistem proteksi yang dapat menjamin masa
depan kreditur jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan di masa yang akan
datang.83
81 Ibid, hal. 174. 82 Ibid, hal. 175. 83 www.car.co.id tanggal 2 Juli 2007.
Salah satu tujuan asuransi jiwa ini adalah memberi proteksi kepada nasabah
apabila meninggal maka pihak asuransi akan membayarkan kepada bank untuk
melunasi hutang nasabah tersebut.
Alasan asuransi jiwa ini menjadi klausula wajib yang harus ada dalam
perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah karena pihak bank/kreditur
mempunyai kepentingan terhadap kelangsungan hidup debitur guna menjamin
pengembalian hutang kepada kreditur. Hal ini sesuai dengan salah satu asas asuransi
yaitu asas kepentingan.84
Menurut penelitian biasanya pihak bank hanya memakai perusahaan asuransi
yang ditunjuk oleh bank (hanya yang mempunyai coorporate/perjanjian kerjasama
dengan bank tersebut). Hal ini disebabkan karena pihak bank tidak mau direpotkan
oleh prosedur-prosedur yang ada pada perusahaan asuransi jiwa pada umumnya.85
Penelitian juga dilakukan pada salah satu perusahaan asuransi jiwa (murni asuransi
jiwa bukan asuransi jiwa kredit). Perusahaan asuransi jiwa tersebut bisa saja
menerbitkan banker’s clause dengan beberapa persyaratan, antara lain:
1. Para penerima manfaat/yang ditunjuk untuk menerima pembayaran santunan,
harus mengetahui dan menyetujui bahwa polis asuransi jiwa tersebut akan
diagunkan untuk menjamin pembayaran Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
2. Setelah itu tertanggung dan penerima manfaat harus membuat surat pernyataan di
hadapan notaris yang berisi bahwa mereka bersama-sama telah mengetahui dan
84 Wawancara dengan staf Dokumentasi Kredit pada PT. Bank Central Asia, Tbk. tanggal 3
Juli 2007. 85 Ibid, tanggal 4 Juli 2007.
menyetujui bahwa asuransi tersebut akan dipergunakan untuk menjamin
pengembalian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan masing-masing pihak tidak
ada yang keberatan.
Tetapi di dalam prakteknya, hal ini belum pernah terjadi pada perusahaan
asuransi jiwa pada umumnya.86
B. Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
Istilah kredit, berasal dari suatu kata dalam bahasa latin yang berbunyi
credere yang berarti kepercayaan atau credo yang artinya saya percaya, dalam
pengertian seseorang memperoleh kredit berarti ia telah memperoleh kepercayaan.87
Pengertian kredit menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU
Perbankan) yang tertuang dalam Pasal 1 angka 11 kredit adalah penyediaan uang
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
jumlah uang.
Pemilikan menurut kamus, kata pemilikan berasal dari kata milik. Sebuah kata
yang berarti kepunyaan atau hak, sehingga kata pemilikan mengandung arti proses,
perbuatan atau cara memiliki. Sedangkan kata rumah dalam kamus dijelaskan adalah
86 Wawancara dengan Kepala Bidang Keuangan pada Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera
1912-Medan tanggal 2 Juli 2007. 87 S. Mantaybordir, Imam Jauhari, dan Agus Hari Widodo, Hukum Piutang dan Lelang
Negara Di Indonesia, Pustaka Bangsa, Medan, 2002, hal. 1.
sesuatu bangunan atau tempat tinggal, bangunan pada umumnya (seperti gedung dan
sebagainya).88
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah kredit yang diberikan oleh bank untuk
membantu anggota masyarakat, guna membeli sebuah rumah berikut tanahnya untuk
dimiliki dan dihuni sendiri.
Fungsi KPR di dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat dalam garis
besarnya adalah sebagai berikut:
1. KPR dapat meningkatkan daya guna dari modal atau uang. Dana yang berupa modal atau uang yang dihimpun dari masyarakat disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk KPR bank (salah satunya) untuk usaha yang bermanfaat, baik kemanfaatan di pihak penerima KPR maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Para penerima KPR khususnya memanfaatkan fasilitas KPR bank untuk membeli sebuah rumah berikut tanahnya untuk dimiliki dan dihuni sendiri ataupun untuk merehabilitasi rumah yang sudah ada.
2. KPR meningkatkan gairah berusaha masyarakat. Setiap manusia adalah makhluk yang selalu melakukan kegiatan ekonomi yaitu selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan usaha sesuai dengan dinamikanya akan selalu diimbangi dengan peningkatan kemampuan yang antara lain dalam hal modal/uang. Oleh karenanya manusia akan selalu berhubungan dengan bank, kemudian fasilitas KPR yang diterima dari bank akan dipergunakan untuk memperbesar usahanya untuk membeli sebuah rumah sendiri untuk dimiliki yang sebelumnya kemampuan untuk itu sangat kecil.
3. KPR sebagai salah satu alat untuk stabilitas nasional. Dalam keadaan negara yang sedang membangun atau keadaan ekonomi negara yang kurang sehat, langkah-langkah stabilitas ekonomi pada dasarnya diarahkan pada usaha-usaha antara lain: a) pengendalian inflasi b) peningkatan ekspor c) rehabilitasi prasarana d) pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat89
88 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, edisi kedua cetakan keempat, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal. 123. 89 Budi Utami Raharja, Op Cit, hal. 63-64.
KPR bank memegang peranan yang sangat penting dalam rangka
pembangunan ekonomi secara keseluruhan khususnya dalam menekan inflasi. Sesuai
dengan tugas dan fungsinya maka bank menarik uang yang beredar di dalam
masyarakat yang biasanya kurang produktif. Mengurangi uang yang beredar dalam
masyarakat berarti berperan langsung menekan inflasi. Kemudian dana dari
masyarakat tersebut harus disalurkan kepada masyarakat berupa KPR dari bank salah
satunya.90
Perjanjian KPR adalah merupakan perjanjian pendahuluan yang merupakan
hasil pemufakatan antara bank dengan debitur. Perjanjian ini bersifat konsensuil
obligatoir, yaitu adanya konsensus dan penyerahan. Penyerahan uang adalah bersifat
riil, pada saat penyerahan uang dilakukan barulah berlaku ketentuan-ketentuan yang
dituangkan di dalam perjanjian kredit.
Sektor perbankan yang berfungsi sebagai lembaga perantara keuangan
mempunyai peranan yang strategis dalam kegiatan perekonomian karena kegiatan
usaha, terutama menghimpun dan menyalurkan kredit. Perkembangan perbankan
sebagaimana tersebut di atas dilatar belakangi dengan adanya deregulasi yang
dilakukan oleh pemerintah secara berkesinambungan, baik di sektor keuangan
maupun di sektor riil. Pemberian kredit oleh perbankan menjadi porsi terbesar dari
berbagai kegiatan usaha bank dalam penyaluran dana.91
90 www.google.com tanggal 28 Juli 2007. 91 Budi Utami Raharja, Op Cit. hal. 65-66.
Dalam pemberian kredit undang-undang perbankan menegaskan beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam rangka melindungi dan mengamankan dana
masyarakat yang dikelola bank dan disalurkan dalam bentuk kredit:92
1. Harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian 2. Harus mempunyai keyakinan atau kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. 3. Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat yang
mempercayakan dananya pada bank. 4. Harus memperhatikan asas perkreditan yang sehat.
Untuk memperoleh hal tersebut di atas, bank harus melakukan penilaian yang
seksama terhadap watak, kemampuan modal, dan agunan.
Kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur
maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit. Dalam praktek perbankan bentuk dan
format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya pada bank yang bersangkutan,
namun demikian ada hal-hal yang tetap harus dipedomani yaitu perjanjian tersebut
harus jelas dan tidak boleh kabur.
Perjanjian kredit menurut hukum perdata Indonesia merupakan salah satu dari
bentuk perjanjian meminjam yang diatur dalam buku ketiga KUHPerdata
sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan 1769 KUHPerdata.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa kredit mempunyai arti kepercayaan, atas
dasar ini pemberian kredit berarti memberikan kepercayaan. Kepercayaan yang
diberikan mengandung arti bahwa pihak penerima kepercayaan akan mempergunakan
92 Heru Soepraptomo, Hak Tanggungan Sebagai Pengaman Kredit Perbankan, seminar Hak
Tanggungan atas Tanah dan Benda-benda yang berkaitan dengan tanah, kelompok studi hukum bisnis Fakultas Hukum UNPAD, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 99.
prestasi yang diterimanya tersebut sesuai dengan tujuan yang telah disepakati dan
mempunyai kemampuan untuk mengembalikan prestasi tersebut pada waktu tertentu
di masa yang akan datang. Sehubungan dengan pengembalian prestasi tersebut, maka
akan terkait pula dengan faktor waktu antara pemberi prestasi dan penerima prestasi.
Waktu antara pemberi dan penerima prestasi tersebut adalah suatu yang abstrak yang
sukar untuk diraba, karena masa antara pemberi dan penerima prestasi tersebut dapat
berjalan beberapa bulan, dan dapat pula berjalan beberapa tahun. Atas dasar tersebut,
maka di dalam terkandung pengertian tentang tingkat risiko. Risiko ini senantiasa
dimungkinkan dapat timbul dalam setiap penglepasan kredit.
Di satu segi penglepasan kredit berarti menghadapi kemungkinan-
kemungkinan timbulnya risiko dan oleh karena itu di dalam rangka pemberian kredit,
sebelum permohonan kredit dikabulkan, bank harus memperhatikan hal-hal yang
menyangkut berupa:
1. Keadaan intern bank Keadaan intern bank yang harus diperhatikan disini adalah plafon kredit. Plafon kredit disini adalah batas maksimum bagi bank untuk mengoperasikan dananya. Jadi terhadap permohonan kredit yang masuk, bank harus memperhatikan apabila kredit yang dimintakan itu masih terbuka atau tidak. Kalau plafon kreditnya masih terbuka maka permohonan kredit dapat dipertimbangkan untuk proses lebih lanjut.
2. Keadaan calon nasabah Setelah bank memperhatikan keadaan internnya dan mampu untuk menyediakan dana bagi pemohon kredit, maka sebagai langkah selanjutnya adalah mempertimbangkan keadaan calon nasabah (peminjam). Hal-hal yang perlu diperhatikan atau dipertimbangkan keadaan calon nasabah dalam hal permohonan kredit adalah: a) Pribadi peminjam b) Harta bendanya c) Usahanya
d) Kemampuan dan kesanggupan membayar kembali pinjaman, dan hal-hal lain yang turut mempengaruhi.93
Di dalam dunia perbankan ada suatu prinsip yang selalu dipegang teguh yaitu
kredit yang dikeluarkan harus dapat diterima kembali sesuai dengan perjanjian.
Lebih-lebih karena uang tersebut adalah uang yang dipercayakan masyarakat kepada
bank. Dengan demikian, maka bank di dalam mengabulkan suatu permohonan kredit
senantiasa selektif.
Apabila bank menerima permohonan kredit dari nasabah, bank perlu
melakukan analisis kredit lebih dahulu, analisis kredit tersebut meliputi:
1. Latar belakang nasabah
2. Prospek usaha yang akan dibiayai
3. Jaminan yang diberikan
4. Hal-hal lain yang ditentukan oleh bank94
Tujuan dari analisis kredit adalah untuk meyakinkan bank bahwa kredit yang
dimohonkan itu adalah layak dan dapat dipercaya serta tidak fiktif.
Atas dasar hasil analisis kredit tersebut, bank memberikan pertimbangan
dengan hati-hati apakah permohonan nasabah tersebut layak untuk dikabulkan. Hal
tersebut harus mendapat perhatian sungguh-sungguh mengingat risiko kemungkinan
93Mgs. Edy Putra Tje’aman, Kredit Perbankan Suatu Kajian Yuridis, Liberty, Yogyakarta,
1989, hal. 10. 94Gatot Supramono, Perbankan Dan Masalah Kredit (Suatu Tinjauan Yuridis), Djambatan,
Jakarta, 1995, hal. 31.
kredit sulit dikeluarkan dan cenderung macet. Adapun dasar pertimbangan pemberian
kredit berdasarkan konsep 5 C yaitu:
1. Character (watak) Penilaian terhadap watak perlu dilakukan untuk mengetahui itikad baik dan kejujuran nasabah calon debitur untuk membayar kembali kredit yang diterimanya. Penilaian watak calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kemauannya untuk membayar. Penilaian tersebut meliputi moral, sifat, perilaku, tanggung jawab, dan kehidupan pribadi calon debitur yang sangat berpengaruh terhadap pelunasan hutang.
2. Capacity (kemampuan) Penilaian terhadap kemampuan perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan calon debitur untuk membayar kembali kredit serta bunganya. Pemikiran kemampuan membayar tersebut dilihat dari kegiatan usaha dan kemampuan mengelola usaha yang akan dibiayai melalui kredit.
3. Capital (modal) Penilaian terhadap modal perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah modal yang dimiliki calon debitur cukup memadai untuk menjalankan usahanya. Besarnya jumlah modal yang ditanam terutama berupa benda bergerak dan tak bergerak akan memberikan daya tahan usaha dalam menghadapi siklus atau fluktuasi ekonomi.
4. Collateral (jaminan) Penilaian terhadap jaminan perlu dilakukan untuk mengetahui nilai barang jaminan yang diserahkan calon debitur untuk menutupi risiko kegagalan pengembalian kredit yang akan diperolehnya. Barang jaminan berfungsi sebagai pengamanan terhadap kemungkinan ketidakmampuan calon debitur melunasi kredit yang diterima.
5. Condition (keadaan) Penilaian terhadap keadaan perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi pada suatu daerah yang mungkin akan mempengaruhi kelancaran usaha calon debitur. Kondisi ekonomi ini mencakup juga peraturan atau kebijaksanaan pemerintah yang memiliki dampak terhadap keadaan perekonomian yang pada gilirannya akan mempengaruhi kegiatan usaha calon debitur.95
95 Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersial Dan Konsumtif Dalam Perjanjian
Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi), Mandar Maju, Bandung, 2004, hal. 16-17.
Sebagaimana diketahui bahwa usaha pokok bank adalah memberikan kredit
dan jasa dalam lalu lintas pembangunan dan peredaran uang. Sedangkan sumber
utama pendapatan bank berasal dari bunga kredit.
Kredit-kredit yang diberikan oleh bank perlu diamankan, tanpa adanya
pengamanan bank sulit mengeluarkan risiko yang datang, sebagai akibat tidak
berprestasinya nasabah. Agar pihak bank terlepas dari risiko tersebut atau setidak-
tidaknya memikul risiko sekecil-kecilnya, bank senantiasa ingin mendapatkan
kepastian bahwa kredit yang diberikan itu dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan
tujuan serta dapat kembali dengan aman. Untuk mendapatkan kepastian dan
keamanan dari kreditnya bank melakukan tindakan-tindakan pengamanan dan
meminta pada calon nasabahnya agar mengikatkan suatu barang tertentu sebagai
jaminan dalam pemberian kreditnya.96
Pengamanan kredit merupakan suatu mata rantai kegiatan bank dan suatu
aspek yang penting dalam manajemen kredit, karena proses pengamanan kredit
berjalan terus menerus. Langkah pengamanan ini dilakukan sejak bank merencanakan
pemberian kredit hingga kreditnya kembali.
Langkah-langkah yang diambil bank dalam mengamankan kreditnya, dapat
digolongkan menjadi dua yaitu: pengamanan prefentif dan pengamanan refresif.
Pengamanan prefentif adalah pengamanan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
kemacetan kredit, sedangkan pengamanan refresif adalah pengamanan yang
dilakukan untuk menyelesaikan kredit yang telah mengalami ketidaklancaran atau
96 Budi Utami Raharja, Op Cit, hal. 70.
kemacetan. Dengan demikian pengamanan kredit pada hakekatnya adalah
memperkecil risiko.
Adanya jaminan kredit adalah karena bank ingin mendapat kepastian bahwa
kredit yang diberikan kepada nasabah dapat diterima kembali sesuai dengan syarat-
syarat yang telah disetujui bersama. Dengan adanya jaminan, bank merasa aman
sebab bila terjadi nasabahnya wanprestasi untuk membayar hutang tepat pada
waktunya, bank masih dapat menutup piutangnya yaitu dengan mencairkan atau
menjual barang jaminan yang telah diikatkan.97
Kredit yang telah diberikan oleh bank mengandung risiko sehingga dalam
pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat yaitu:
1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis. 2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula
telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian. 3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pemberian saham dan modal
kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham. 4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit.98
Dengan mengingat hal-hal tersebut di atas maka dalam pemberian kreditnya
bank wajib melakukan analisis terhadap kemampuan debitur untuk membayar
kembali kewajibannya. Setelah kredit diberikan bank perlu melakukan pemantauan
terhadap penggunaan kredit, serta kemampuan dan kepatuhan terhadap pengguna
kredit. Selain itu bank juga dituntut untuk melakukan peninjauan, penilaian dan
97 Ibid, hal. 71. 98 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hal. 392.
pengikatan terhadap agunan yang diajukan oleh debitur, sehingga agunan yang
diterima dapat memenuhi persyaratan ketentuan yang berlaku.
Dari penjelasan tersebut yang penting yaitu bank dalam menyalurkan dana
atau kredit harus didasarkan kepada adanya suatu jaminan. Adapun yang dimaksud
dengan jaminan dalam pemberian kredit menurut Pasal 2 ayat 1 Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang
jaminan pemberian kredit yaitu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk
melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan memperoleh keyakinan
tersebut maka bank sebelum memberikan kreditnya harus melakukan penilaian yang
seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari
debitur.99
Agunan merupakan jaminan tambahan yang diperlukan dalam hal pemberian
fasilitas kredit. Hal demikian sesuai dengan termuat dalam Pasal 1 angka 23 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu bahwa agunan adalah
jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka
pemberian fasilitas kredit.
Dalam hal pemberian fasilitas kredit ini pada hakekatnya agunan lebih
dominan atau yang diutamakan, sehingga sebenarnya agunan lebih dipentingkan
daripada halnya sekedar jaminan yang berupa keyakinan atas kemampuan debitur,
untuk melunasi hutangnya. Hal demikian sangatlah mendasar karena jaminan
merupakan hal yang abstrak, dimana penilaian sangatlah subyektif, berbeda dengan
99 Ibid.
agunan apabila terjadi suatu wanprestasi dari debitur atau adanya kredit yang
bermasalah maka bank dengan segera dapat mengkonversikan kepada sejumlah
uang.100
Sesuai dengan penjelasan bahwa agunan dalam praktek lebih dipentingkan
dalam pemberian kredit ini, sehingga tidak berlebihan apabila bank memandang perlu
dalam rangka menambah keyakinan atau watak dan kemampuan debitur, bank selalu
meminta jaminan pemberian kredit dari pihak lain seperti jaminan perorangan,
garansi dari bank lain atau jaminan dari induk perusahaan, jaminan pribadi.
Selain jaminan pribadi yang lebih dikenal dengan avalist, pada prakteknya
yang selalu dipergunakan dalam hal jaminan adalah jaminan kebendaan. Jaminan
kebendaan merupakan suatu tindakan berupa suatu jaminan yang dilakukan oleh
kreditur dengan debiturnya, atau antara kreditur dengan seseorang pihak ketiga guna
menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si debitur. Dalam praktek jaminan
kebendaan diadakan suatu pemisahan bagian dari kekayaan seseorang (si pemberi
jaminan), yaitu melepaskan sebagian kekuasaan atas sebagian kekayaan tersebut, dan
semuanya itu diperuntukkan guna memenuhi kewajiban debitur bila diperlukan.
Kekayaan yang dapat dijadikan jaminan tersebut dapat berupa kekayaan si debitur itu
sendiri, ataupun kekayaan pihak ketiga.101
Dalam istilah perkreditan jaminan sangat sering disamakan dengan istilah
agunan. Apabila yang dimaksud dengan jaminan itu adalah sebagaimana ditegaskan
100 Budi Utami Raharja, Op Cit, hal. 73. 101 Ibid, hal. 74.
dalam pemberian kredit menurut Pasal 2 ayat 1 Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tentang jaminan pemberian kredit, maka jaminan
itu adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit
sesuai dengan yang diperjanjikan. Menurut pendapat Soebekti seperti dikutip
Muhammad Djumhana, jaminan yang ideal (baik) tersebut terlihat dari:
1. Dapat secara mudah perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya.
2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk melakukan
(meneruskan) usahanya.
3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa yaitu bila perlu mudah
diuangkan untuk melunasi hutangnya si debitur.102
Sedangkan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti di
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka yang
dimaksudkan dengan aguan yang ideal yaitu agunan yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan meliputi surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan oleh
pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan
hasil penilaian lembaga pemerintah yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan
mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai.103
Dengan demikian penjelasan di atas maka agunan dalam perkreditan memiliki
fungsi untuk menjamin pembayaran kredit yang dalam kehidupan dan kegiatan yang
dikelola oleh bank yang bersangkutan, selain itu juga untuk memenuhi ketentuan
102 Muhammad Djumhana, Op Cit, hal.399. 103 Ibid.
perkreditan yang dikeluarkan oleh bank sentral. Dengan demikian bank dituntut untuk
setiap waktu memastikan bahwa agunan yang diterima telah memenuhi persyaratan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat dipastikan bahwa seluruh aspek
yuridis yang berkaitan dengan pengikatan agunan kredit telah diselesaikan dan akan
mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.
Perjanjian kredit bank, menurut serangkaian klausul dimana sebagian besar
dari klausula tersebut merupakan upaya untuk melindungi pihak kreditur dalam
pemberian kredit. Klausul merupakan serangkaian persyaratan yang digabungkan
dalam upaya pemberian kredit ditinjau dari aspek finansial dan hukum. Dari aspek
finansial, klausul melindungi kreditur agar dapat menuntut atau menarik kembali
dana yang telah diberikan kepada nasabah debitur dalam posisi menguntungkan bagi
kreditur apabila kondisi nasabah debitur tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sedangkan dalam aspek hukum, klausul merupakan sarana untuk melakukan
penegakan hukum agar nasabah debitur dapat mematuhi substansi yang telah
disepakati di dalam perjanjian kredit.104
C. Mekanisme Pengaturan Klausula Asuransi Jiwa Dalam Kredit Pemilikan
Rumah (KPR)
Perjanjian kredit bank memuat serangkaian klausul, dimana sebagian besar
dari klausul tersebut merupakan upaya untuk melindungi pihak kreditur dalam
104 Budi Utami Raharja, Op Cit, hal. 77-78.
pemberian kredit. Klausul merupakan serangkaian persyaratan yang diformulasikan
dalam upaya pemberian kredit bila ditinjau dari aspek finansial dan hukum.
Dari aspek finansial, klausula tersebut melindungi kreditur agar dapat
menuntut atau menarik kembali dana yang telah diberikan kepada nasabah debitur
dalam posisi yang menguntungkan bagi kreditur apabila kondisi nasabah debitur tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan bila ditinjau dari aspek hukumnya
klausul merupakan penegakan hukum agar nasabah debitur dapat mematuhi substansi
yang telah disepakati dalam perjanjian kredit.
Jadi klausula tersebut merupakan suatu persetujuan atau janji oleh penerima
kredit dalam suatu perjanjian untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-
tindakan tertentu.
Selanjutnya klausul-klausul dikelompokkan dalam 6 (enam) fungsi meliputi:
1. Mencocokkan kredit yang digunakan dengan praktek bisnis yang baik. 2. Menyampaikan semua informasi bisnis yang relevan dan data pendukung lainnya
kepada kreditur. 3. Melarang nasabah debitur untuk mengubah struktur kreditnya selain seperti yang
diterima pada awal kredit tersebut disetujui. 4. Memelihara kondisi keuangan nasabah debitur. 5. Memelihara perlindungan atas jaminan. 6. Memaksakan perlindungan jaminan untuk kredit yang diberikan struktur kredit,
dan kondisi-kondisi kredit bagi kepentingan kreditur.105
Oleh karenanya klausul membebankan kewajiban-kewajiban kepada penerima
kredit atau nasabah debitur yang bertujuan untuk melindungi kepentingan pemberi
kredit. Klausul tersebut berusaha untuk melindungi nasabah debitur dan kondisi
105 Johannes Ibrahim, Op Cit, hal. 44.
keuangannya agar tidak memburuk selama kredit diberikan. Jika suatu klausul tidak
ditaati, kreditur punya hak untuk memberitahukan tentang kelalaian, tidak
mencairkan kredit yang telah disetujui, atau mempercepat penyelesaian kredit itu.
Interaksi antara klausul-klausul dalam perjanjian kredit mencakup:
1. Pelanggaran sebagai peristiwa kelalaian. Secara umum kelalaian merupakan kegagalan dari nasabah debitur untuk mematuhi klausul-klausul yang tercantum dalam perjanjian kredit atau dalam hal dokumen-dokumen yang dipersyaratkan.
2. Pelanggaran terhadap syarat tangguh. Syarat tangguh merupakan suatu persyaratan yang secara signifikan harus dipenuhi oleh nasabah debitur sejak penandatanganan perjanjian kredit. Nasabah debitur harus menaati semua persyaratan yang diminta termasuk dokumen-dokumen yang menjadi persyaratan dalam pencairan suatu kredit. Tidak dipenuhinya persyaratan oleh nasabah debitur memberi hak kepada kreditur untuk tidak merealisasikan kredit yang telah disepakati.
3. Persyaratan di luar perjanjian kredit. Persyaratan ini mencakup dokumen yang berkaitan dengan jaminan dan bukan jaminan. Bila nasabah debitur tidak melelngkapi maka ia dianggap tidak mengindahkan perjanjian kredit.
4. Klausul yang menyangkut pihak ketiga. Kreditur dapat mengelak untuk melanjutkan pemberian kredit yang telah disepakati jika ternyata nasabah debitur menggunakan fasilitas kredit yang diterimanya untuk kepentingan pihak ketiga yang menjadi mitra bisnisnya.106
Dalam mempertimbangkan klausula-klausula yang mengikat nasabah debitur
dalam perjanjian kredit, beberapa hal yang perlu diperhatikan dari sisi nasabah
debitur adalah:
1. Nasabah debitur harus memperhatikan evaluasi atas klausula-klausula yang dibebankan terhadapnya dan memproyeksikan dengan kondisi keuangan, praktek bisnis dan kebutuhan pertumbuhan bisnis, dengan melakukan negosiasi untuk penghapusan klausul-klausul tertentu.
2. Dalam mengevaluasi akibat dari klausula-klausula yang bersifat membatasi, nasabah debitur perlu meminta penegasan dari kreditur. Klausul-klausul yang bersifat membatasi ini akan menutup ruang gerak nasabah debitur.
106 Ibid, hal. 45-46.
3. Tersedianya kreditur yang memberi dukungan dana bagi nasabah debitur. Dalam hal kreditur yang mendukung pendanaan lebih dari seorang, nasabah debitur tentunya perlu untuk mengkaji lebih lanjut hubungan yang ada di antara para krediturnya. Hal ini tentunya lebih sulit dibandingkan dengan apabila pendanaannya hanya berasal dari seorang kreditur saja.
4. Peluang untuk mengakhiri perjanjian. Klausul ini umumnya dihindari oleh kreditur, karena jika peluang untuk mengakhiri ini secara terbuka diberikan tentunya akan merugikan pihak kreditur. Kreditur dapat kehilangan nasabah debiturnya yang potensial. Akan tetapi kreditur harus memberikan klausul untuk mencapai solusi yang bijaksana.
5. Standar hubungan di antara kreditur dan nasabah debitur. Klausul hubungan antara kreditur dan nasabah debitur yang bersifat membatasi ruang gerak nasabah debitur tentunya harus dihindari. Misalnya, nasabah debitur harus selalu memelihara manajemen yang memuaskan bagi kreditur.
6. Referensi silang. Nasabah debitur harus bersikap hati-hati terhadap klausula-klausula yang tidak saja mendasarkan kepada hal-hal yang ada dalam perjanjian tetapi terhadap dokumen-dokumen lainnya.
7. Penggunaan kata-kata yang sifat tidak tergambar. Nasabah sepatutnya untuk menegosiasikan penggunaan kata-kata sifat yang memiliki fleksibilitas dan tidak tergambar. Misalnya, penggunaan kata-kata ”layak”, ”material”, ”penting”. Kata-kata ini dapat mengakibatkan kesalahan-kesalahan di kemudian hari bagi nasabah debitur.
8. Masa tenggang. Nasabah debitur menginginkan untuk merundingkan dalam sebuah pemulihan dimana kreditur mengijinkan untuk memperbaiki pelanggaran-pelanggaran yang dibuat oleh nasabah debitur dan tidak dengan segera menyatakan sebagai sebuah peristiwa kelalaian. Permintaan nasabah debitur dapat dinilai layak dan kreditur tidak memiliki hak secara seketika untuk mengumumkan hal tersebut sebagai kelalaian.
9. Fleksibilitas. Secara umum nasabah debitur harus memiliki fleksibilitas dalam merundingkan dana kredit yang diterimanya. Dana kredit harus memberikan manfaat bagi peningkatan kondisi keuangan dan aplikasi dalam kegiatan bisnis.
10. Pengalihan manajemen. Selama memperoleh fasilitas kredit dari kreditur, nasabah debitur terikat untuk tidak melakukan perubahan-perubahan manajemen, misalnya melakukan penggabungan atau konsolidasi tanpa memperoleh persetujuan dari pihak kreditur.107
Perjanjian kredit pada umumnya berisikan klausula-klausula sebagai berikut:
1. Klausul-klausul tentang syarat-syarat penarikan kredit pertama kali. Klausula ini menyangkut beberapa hal:
107 Ibid, hal. 47-48.
a. Pembayaran provisi, premi asuransi kredit, asuransi barang jaminan, dan biaya pengikatan jaminan.
b. Penyerahan barang jaminan, dokumen, dan pelaksanaan pengikatan jaminan. c. Pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan, asuransi kredit dengan
tujuan untuk meminimalisasi risiko yang terjadi di luar kesalahan nasabah debitur ataupun kreditur.
2. Klausul-klausul tentang maksimum kredit. Klausul ini memiliki urgensi yaitu: a. Merupakan objek dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan
mengenai materi ini memiliki konsekuensi diperlukannya pembuatan perjanjian kredit.
b. Merupakan batas kewajiban kreditur berupa penyediaan dana selama tenggang waktu perjanjian kredit, berarti batas hak debitur untuk melakukan penarikan pinjaman.
c. Merupakan penetapan besarnya nilai agunan yang harus diserahkan, dasar perhitungan penetapan besarnya provisi.
d. Merupakan batas dikenakannya denda kelebihan tarik. 3. Klausul-klausul tentang jangka waktu kredit. Klausul ini penting dalam beberapa
hal, yaitu: a. Memberikan batas waktu bagi bank kapan harus menyediakan dana sebesar
maksimum kredit, kapan tenggang waktu itu terlampaui sehingga memberikan hak tagih bagi bank untuk pengembalian kredit oleh nasabah debitur.
b. Memberikan batas waktu dimana bank dapat melakukan teguran-teguran bila debitur tidak memenuhi kewajibannya secara tepat waktu.
c. Memberi waktu yang tepat bagi bank untuk melakukan analisa kembali dengan pertimbangan apakah fasilitas kredit tersebut dapat diperpanjang atau segera ditarik kembali.
4. Klausul-klausul tentang tujuan kredit dan bentuk kredit. Klausula ini penting dalam beberapa hal, yaitu: a. Klausul tujuan kredit diperlukan agar nasabah debitur mempergunakan
kreditnya sesuai dengan yang disepakati dan diperjanjikan sebelumnya. Penggunaan tujuan kredit yang menyimpang akan mengakibatkan kesulitan untuk membayar kembali kreditnya.
b. Klausul bentuk kredit diperlukan sesuai dengan tujuan kreditnya. Penentuan bentuk kredit yang tepat akan menciptakan tingkat efisiensi dari pemberian kredit. Misalnya kredit itu diberikan dalam bentuk investasi, modal kerja.
5. Klausul-klausul tentang bunga, kesepakatan biaya, dan denda kelebihan tarik. Klausula ini diatur secara tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud memberikan kepastian mengenai hak bank untuk membebankan bunga biaya-biaya dan denda yang disepakati bersama. Bunga merupakan penghasilan bank, baik secara langsung ataupun tidak langsung, yang akan diperhitungkan dengan biaya dana untuk penyediaan fasilitas kredit tersebut.
6. Klausul tentang kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening pinjaman nasabah debitur. Klausul ini diatur secara tegas dalam perjanjian kredit
dengan maksud bank dapat setiap saat membebankan bunga, biaya, atau benda pada rekening pinjaman atau rekening lainnya yang ditatausahakan pada bank tersebut.
7. Klausul yang berisikan pernyataan-pernyataan debitur atas fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan keuangan dan aset nasabah debitur pada saat kredit direalisasikan.
8. Klausul tentang syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah debitur sebelum bank menyediakan kredit untuk digunakannya. Klausul ini bertujuan agar nasabah debitur menggunakan kredit sesuai dengan tujuan yang disepakati dan untuk menghindari penyalahgunaan kredit. Dengan melengkapi persyaratan kredit yang diminta, bank melakukan tindakan untuk meminimalisir risiko kredit dan memantau penggunaan kredit sesuai dengan tujuan semula.
9. Klausul tentang agunan kredit. Klausul agunan kredit bertujuan agar pihak nasabah debitur tidak melakukan penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak, tetapi harus ada kesepakatan dengan pihak bank.
10. Klausul tentang asuransi. Klausul asuransi berisikan pihak nasabah debitur wajib melakukan penutupan asuransi baik atas jiwanya sendiri maupun agunan kreditnya.
11. Klausul tentang berlakunya syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan hubungan rekening koran bagi perjanjian kredit yang bersangkutan. Klausul ini khusus bagi nasabah debitur yang memiliki kreditnya ditatausahakan melalui rekening koran atau giro.
12. Klausul yang berisikan tentang janji-janji nasabah debitur untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit berlaku. Klausul ini terdiri dari berbagai hal yang harus ditepati oleh nasabah debitur selama fasilitas kredit yang diterimanya berjalan.
13. Klausul yang berisikan janji-janji nasabah debitur untuk tidak melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit berjalan. Klausul ini terdiri atas berbagai macam hal yang mempunyai akibat yuridis dan ekonomis bagi kepentingan pengamanan bank selaku kreditur. Beberapa hal yang merupakan tindakan yang tidak diperkenankan untuk dilakukan oleh nasabah debitur adalah meminta kredit kepada pihak lain tanpa seijin bank.
14. Klausul yang berisikan janji debitur untuk menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan yang diminta bank. Klausul ini mewajibkan nasabah debitur untuk menyampaikan dalam tenggang waktu yang diperjanjikan.
15. Klausul yang berisikan memberikan hak secara sepihak kepada bank untuk mengakhiri kredit atas peristiwa-peristiwa yang ditentukan oleh bank serta sekaligus menagih kredit yang tersisa.
16. Klausul yang berisikan penyelesaian perselisihan di antara para pihak, baik melalui arbitrase.
17. Klausul yang berisikan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang belum tertampung secara khusus di dalam klausul-klausul yang ada.108
Klausul-klausul tersebut di atas dituangkan dalam akad kredit yang disebut
dengan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR).109 Perjanjian Kredit Pemilikan
Rumah tersebut biasanya dibuat secara notariil di hadapan notaris dan biasanya
notaris mengikuti draft perjanjian yang telah dibuat oleh pihak bank.
Klausul-klausul yang demikian ketatnya merupakan sikap bank untuk
melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit. Dalam memberikan
perlindungan terhadap nasabah debitur perlu kiranya peraturan tentang perkreditan
direalisir sehingga dapat dijadikan panduan dalam pemberian kredit. Dan sisi lain,
pengadilan yang merupakan pihak ketiga dalam mengatasi perselisihan antara bank
dengan nasabah debitur dapat menilai apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh
kedua belah pihak (kreditur dan debitur) telah memenuhi sesuai dengan yang
disepakati dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.
Klausula baku yang ada pada perjanjian kredit dinilai melanggar asas
kebebasan berkontrak. Dimana asas kebebasan berkontrak seharusnya memberikan
kesempatan kepada para pihak yang membuat perjanjian tersebut (in casu: bank dan
nasabah debitur) untuk bersama-sama menyusun klausula-klausula yang ingin mereka
cantumkan di dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi hal ini pada prakteknya tidak
108 Draft Perjanjian Kredit pada PT. Bank Central Asia, Tbk. 109Pada PT. Bank Central Asia, Tbk., klausul-klausul tersebut dituangkan dalam Perjanjian
Kredit. Tetapi pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk., klausul-klausul tersebut hanya dituangkan dalam Surat Pengakuan Hutang yang dilegalisasi oleh Notaris.
mungkin dilakukan karena mempertimbangkan konsep 4 P dan 5 C pada pemberian
kredit dan hal ini juga dilakukan karena pertimbangan para pihak saling
membutuhkan di dalam bisnis yang mereka jalankan.
BAB III
PERLINDUNGAN PIHAK PENANGGUNG KEPADA PIHAK KREDITUR
A. Perlindungan Yang Diberikan Bila Debitur Meninggal Dalam Jangka Waktu
Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
Asuransi terjadi sejak tercapai kesepakatan antara tertanggung dan
penanggung, kemudian kesepakatan tersebut dibuat dalam bentuk akta yang disebut
polis. Sejak tercapai kesepakatan itu, tertanggung berkewajiban membayar premi dan
penanggung menerima pengalihan risiko. Dengan kata lain, premi dibayar oleh
tertanggung, risiko atas benda beralih kepada penanggung. Apabila terjadi evenemen
(peristiwa tidak pasti) yang mengakibatkan kerugian, penanggung akan membayar
ganti kerugian kepada tertanggung.110
Evenemen adalah istilah yang diadopsi dari bahasa Belanda evenement, yang
berarti peristiwa tidak pasti, bahasa Inggrisnya fortuitous event. Evenemen atau
peristiwa tidak pasti adalah peristiwa terhadap mana asuransi diadakan, tidak dapat
dipastikan terjadi dan tidak diharapkan akan terjadi. Walaupun peristiwa itu sudah
pasti terjadi misalnya matinya orang, saat terjadinya itupun tidak dapat diketahui atau
tidak dapat dipastikan. Jadi, sulitlah meramalkan terjadinya peristiwa itu. Bahkan
menurut pengalaman manusia normal pun sulit untuk memastikan terjadinya.
Demikian juga, tidak seorang manusia normal pun mengharapkan terjadi peristiwa itu
110 Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hal. 113.
karena seorang manusia normal menyadari betul seandainya peristiwa itu terjadi pasti
menimbulkan kerugian.111
Jika peristiwa itu sudah diketahui sebelumnya bahwa itu pasti terjadi, atau
sudah diketahui saat terjadinya tidak akan ada artinya bagi asuransi, sebab tidak akan
ada orang yang mau memikul risiko demikian itu. Kendatipun terjadi juga asuransi,
maka asuransi itu batal (Pasal 251 KUHD). Dengan demikian, apabila pengertian
evenemen itu dirumuskan, maka yang dimaksud dengan:
” Evenemen adalah peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal tidak
dapat dipastikan terjadi, atau walaupun sudah pasti terjadi saat terjadinya itu
tidak dapat ditentukan dan juga tidak diharapkan akan terjadi. Jika terjadi
juga, mengakibatkan kerugian.”112
Evenemen yang terjadi itu adalah di luar kekuasaan manusia, artinya tidak
seorang pun manusia normal yang dapat mencegah atau menghalangi terjadinya
peristiwa itu. Terhadap evenemen inilah asuransi diadakan.
Dalam hukum asuransi, evenemen yang menjadi beban penanggung
merupakan bahaya yang mengancam keselamatan benda asuransi atau objek asuransi
yang berupa jiwa atau raga manusia. Selama belum terjadi bahaya yang mengancam
ini disebut risiko. Selama evenemen tidak terjadi, selama itu pula risiko menjadi
beban penanggung sampai asuransi berakhir. Apabila evenemen itu sungguh-sungguh
terjadi, maka dia berubah menjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Oleh
111 Ibid. 112 Ibid, hal. 114.
karena itu, risiko yang menjadi beban penanggung berubah menjadi ganti kerugian
yang wajib dipenuhi oleh penanggung. Antara evenemen dan kerugian yang timbul
harus ada hubungan kausal, artinya dengan terjadinya peristiwa tidak pasti itu, maka
timbul pula kerugian. Jika peristiwa itu tidak terjadi, tidak akan ada kerugian.
Persoalan evenemen erat sekali hubungannya dengan persoalan ganti kerugian
(compensation). Tetapi tidak setiap kerugian (loss) akibat evenemen harus mendapat
ganti kerugian. Dengan kata lain, antara evenemen yang terjadi dan kerugian yang
timbul ada hubungan kausal (sebab akibat). Evenemen adalah sebab, dan kerugian
adalah akibat. Jika sudah dapat ditentukan bahwa evenemen yang terjadi itu
dicantumkan dalam polis dan karenanya timbul kerugian, penanggung terikat untuk
membayar ganti kerugian.113
Salah satu asas yang mendasari berlakunya hukum asuransi adalah asas
keseimbangan (indemnity principle).114 Asas keseimbangan merupakan asas penting
karena risiko yang dialihkan kepada penanggung diimbangi dengan jumlah premi
yang dibayar oleh tertanggung. Walaupun dapat diperjanjikan bahwa pembayaran
premi tidak seimbang dengan risiko yang ditanggung oleh penanggung, tidak berarti
bahwa asas keseimbangan diabaikan. Kedua pihak yang mengadakan asuransi tetap
harus berprestasi secara timbal balik. Prestasi timbal balik merupakan ciri yang
membedakan asuransi dengan perjanjian untung-untungan.
113 Ibid, hal. 116. 114 Ibid, hal. 118.
Asas keseimbangan mempunyai arti penting apabila terjadi evenemen yang
menimbulkan kerugian. Kerugian yang harus diganti itu seimbang dengan risiko yang
ditanggung oleh penanggung. Jika risiko atas benda asuransi hanya sebagian
dialihkan kepada penanggung, penanggung berkewajiban membayar ganti kerugian
hanya sebagian pula dari kerugian yang timbul itu.115
Akan tetapi pada prakteknya asas keseimbangan ini sangat sulit untuk
dilaksanakan. Pada kenyataannya pihak tertanggung tidak diberi kesempatan untuk
ikut menyusun klausula-klausula yang akan tercantum di dalam perjanjian asuransi.
Pihak tertanggung hanya mengikuti klausula baku yang tercantum dalam perjanjian
asuransi, sehingga kelihatannya pihak yang lebih kuat kedudukannya adalah pihak
asuransi. Ini tentu bertentangan dengan asas keseimbangan. Hal ini mungkin
disebabkan karena asuransi ada diatur dalam KUHD, dimana KUHD berlaku pada
tahun 1848 dan berlaku dengan asas kodifikasi sebagaimana kodifikasi BW dan WvK
di negeri Belanda (Eropa).116
Hal ini dapat dilihat pada saat terjadinya tertanggung mengajukan klaim.
Dimana ada beberapa hal yang tidak dimasukkan oleh perusahaan asuransi di dalam
polis. Sehingga terkadang pihak tertanggung yang dalam hal ini juga dapat dikatakan
sebagai konsumen merasa tertipu oleh perusahaan asuransi tersebut. Tapi terkadang
pihak tertanggung tidak menyadari bahwa dia yang menyebabkan permasalahan
tersebut. Jika tertanggung ingin mengambil asuransi, hendaknya tertanggung lebih
115 Ibid, hal. 118. 116 J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, Prenhallindo, Jakarta, 2001, hal. 126.
banyak bertanya sebelum menyetujui asuransi tersebut (bersifat aktif). Biasanya
pihak asuransi memberikan jangka waktu kepada tertanggung untuk mempelajari isi
polis. Hal ini dapat menyebabkan batalnya pertanggungan, baik yang disebabkan oleh
tertanggung maupun penanggung (Pasal 251 KUHD).
Dalam hukum asuransi, asas keseimbangan berdasarkan nemo plus berlaku
umum. Arti asas nemo plus adalah tidak menerima melebihi apa yang menjadi hak,
dan tidak memberi melebihi apa yang menjadi kewajiban. Dalam ilmu hukum asas ini
diartikan tidak boleh memperkaya diri tanpa hak. Asas keseimbangan tidak dapat
dipisahkan dari asas kepentingan. Tanpa kepentingan tidak ada ganti kerugian.
Membayar ganti kerugian kepada orang yang tidak berkepentingan dipandang sebagai
pelanggaran asas keseimbangan.117
Apabila atas kepentingan yang sama, bahaya yang sama, dan untuk jangka
waktu yang sama, diadakan lebih dari satu perjanjian asuransi, penanggung hanya
berkewajiban membayar klaim ganti kerugian sampai jumlah nilai kepentingan
sesungguhnya. Asas keseimbangan bertujuan untuk mencegah orang yang ingin
berspekulasi mencari keuntungan yang tidak halal, dengan mengadakan berkali-kali
asuransi supaya mendapat ganti kerugian melebihi nilai benda sesungguhnya. Jika
terjadi hal yang demikian, asuransi yang melebihi nilai benda atau kepentingan
sesungguhnya itu batal atau sekurang-kurangnya tidak berlaku.
117 Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hal. 119.
Dalam KUHD tidak ada pasal-pasal yang menyatakan dengan tegas memuat
asas keseimbangan. Tetapi ada beberapa pasal yang dapat dipegang sebagai pedoman
yang memuat asas kepentingan karena asas keseimbangan bergandengan dengan asas
kepentingan. Pasal-pasal yang dianggap memuat asas keseimbangan antara lain
adalah:
1. Pasal 250 KUHD Apabila tertanggung tidak mempunyai kepentingan atas benda yang diasuransikan, maka penanggung tidak berkewajiban membayar klaim ganti kerugian.
2. Pasal 252 KUHD Apabila benda sudah diasuransikan dengan nilai penuh, maka asuransi kedua untuk jangka waktu yang sama dan bahaya yang sama tidak dibolehkan dengan ancaman batal.
3. Pasal 253 KUHD Asuransi yang melebihi nilai atau kepentingan yang sesungguhnya, hanya sah sampai jumlah nilai benda sesungguhnya. Jika tidak diasuransikan seluruh nilai benda, maka dalam hal terjadi kerugian, penanggung hanya terikat seimbang antara bagian yang diasuransikan dengan bagian yang tidak diasuransikan.
4. Pasal 274 KUHD Apabila nilai benda asuransi dicantumkan dalam polis, maka hakim berwenang memerintahkan kepada tertanggung supaya menetapkan nilai benda sesungguhnya, sekadar oleh penanggung dikemukakan alasan bahwa nilai benda dianggap terlalu tinggi.
5. Pasal 277 KUHD Apabila atas suatu benda diadakan beberapa asuransi dengan itikad baik, sedangkan asuransi pertama dengan nilai penuh, maka penanggung-penanggung berikutnya dibebaskan.
6. Pasal 279 KUHD Apabila tertanggung membebaskan penanggung-penanggung terdahulu, maka ia dianggap menggantikan kedudukan mereka untuk jumlah yang sama dan dalam urutan yang sama.
7. Pasal 284 KUHD Penanggung yang telah membayar kerugian kepada tertanggung memperoleh hak tertanggung terhadap pihak ketiga mengenai kerugian itu, tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga.118
118 Ibid, hal. 120-121.
Berdasarkan ketentuan beberapa pasal KUHD yang tersebut di atas, dapat
diketahui betapa pentingnya asas keseimbangan dalam asuransi. Dimana ada
kepentingan, di situ ada asas keseimbangan.119 Asas keseimbangan mencegah
anggapan bahwa asuransi adalah semacam perjudian dan pertaruhan.
Asuransi biasanya diadakan untuk jangka waktu tertentu, misalnya satu tahun.
Jangka waktu ini biasa terdapat pada asuransi kebakaran, asuransi kendaraan
bermotor. Ada juga asuransi yang diadakan untuk jangka waktu yang lebih lama,
misalnya 10-20 tahun atau lebih. Jangka waktu panjang ini biasa terdapat pada
asuransi jiwa. Jangka waktu asuransi tersebut ditetapkan dalam polis. KUHD tidak
mengatur secara tegas jangka waktu asuransi. Apabila jangka waktu yang ditentukan
itu habis, maka asuransi berakhir. Lain halnya dengan asuransi di Inggris, asuransi
yang ditentukan jangka waktunya tidak boleh melebihi 12 bulan. Asuransi yang
diadakan untuk jangka waktu melebihi 12 bulan adalah batal.
Dalam polis dinyatakan terhadap evenemen apa saja asuransi itu diadakan.
Apabila sementara asuransi berjalan terjadi evenemen yang ditanggung dan
menimbulkan kerugian, penanggung akan menyelidiki apakah benar tertanggung
mempunyai kepentingan atas benda yang diasuransikan itu. Di samping itu, apakah
evenemen yang terjadi itu benar bukan karena kesalahan tertanggung dan sesuai
dengan evenemen yang telah ditetapkan dalam polis. Jika jawabannya benar, maka
dilakukan pemberesan berdasarkan klaim tertanggung. Pembayaran ganti kerugian
119 Ibid, hal. 121.
dipenuhi oleh penanggung berdasarkan asas keseimbangan. Dengan pemenuhan ganti
kerugian berdasarkan klaim tertanggung, maka asuransi berakhir.120
Dalam asuransi jiwa, satu-satunya evenemen yang menjadi beban risiko
penanggung adalah meninggalnya tertanggung. Terhadap evenemen inilah diadakan
asuransi jiwa antara tertanggung dan penanggung. Apabila dalam jangka waktu yang
diperjanjikan terjadi peristiwa meninggalnya tertanggung, maka penanggung
berkewajiban membayar uang santunan kepada penikmat yang ditunjuk oleh
tertanggung, atau kepada ahli warisnya. Sejak penanggung melunasi pembayaran
uang santunan tersebut, sejak itu pula asuransi jiwa berakhir.
Apa sebabnya asuransi jiwa berakhir sejak pelunasan uang santunan, bukan
sejak meninggalnya tertanggung (terjadi evenemen)? Menurut hukum perjanjian,
suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak berakhir apabila prestasi masing-
masing pihak telah dipenuhi. Karena asuransi jiwa adalah perjanjian, maka asuransi
jiwa berakhir sejak penanggung melunasi uang santunan sebagai akibat dari
meninggalnya tertanggung. Dengan kata lain, asuransi jiwa berakhir sejak terjadi
evenemen yang diikuti dengan pelunasan klaim.121
Dalam asuransi jiwa, tidak selalu evenemen yang menjadi beban tertanggung
itu terjadi bahkan sampai berakhirnya jangka waktu asuransi. Apabila jangka waktu
berlaku asuransi jiwa itu habis tanpa terjadi evenemen, maka beban risiko
penanggung berakhir. Tetapi dalam perjanjian ditentukan bahwa penanggung akan
120 Ibid, hal. 126. 121 Ibid, hal. 175.
mengembalikan sejumlah uang kepada tertanggung apabila sampai jangka waktu
asuransi habis tidak terjadi evenemen. Dengan kata lain, asuransi jiwa berakhir sejak
jangka waktu berlaku asuransi habis diikuti dengan pengembalian sejumlah uang
kepada tertanggung.
Menurut ketentuan Pasal 306 KUHD:
” Apabila orang yang diasuransikan jiwanya pada saat diadakan asuransi
ternyata sudah meninggal, maka asuransinya gugur, meskipun tertanggung
tidak mengetahui kematian tersebut kecuali jika diperjanjikan lain. ”
Kata-kata bagian akhir pasal ini ”kecuali jika diperjanjikan lain” memberi
peluang kepada pihak-pihak untuk memperjanjikan menyimpang dari ketentuan pasal
ini, misalnya asuransi yang diadakan itu tetap dinyatakan sah asalkan tertanggung
betul-betul tidak mengetahui telah meninggalnya itu. Apabila asuransi jiwa itu gugur,
bagaimana dengan premi yang sudah dibayar, kepada penanggung tidak menjalani
risiko? Hal inipun diserahkan kepada pihak-pihak untuk memperjanjikannya.
Dalam Pasal 307 KUHD ditentukan:
” Apabila orang yang mengasuransikan jiwanya bunuh diri, atau dijatuhi
hukuman mati, maka asuransi itu gugur. ”
Apakah masih dimungkinkan penyimpangan pasal ini? Menurut
Purwosutjipto, penyimpangan dari ketentuan ini masih mungkin, sebab kebanyakan
asuransi jiwa ditutup dengan sebuah klausul yang membolehkan penanggung
melakukan prestasinya dalam hal ada peristiwa bunuh diri dari badan tertanggung
asalkan peristiwa itu terjadi sesudah lampau waktu dua tahun sejak diadakan asuransi.
Penyimpangan ini akan menjadikan asuransi jiwa lebih supel lagi.122
Asuransi jiwa yang dipakai dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah
Asuransi Kredit (biasanya disebut Asuransi Jiwa Kredit123). Asuransi ini selain
memberi proteksi jangka panjang bagi nasabah, asuransi ini juga sekaligus
menjembatani nasabah untuk melakukan pinjaman kredit di bank. Hal inilah yang
merupakan kelebihan asuransi jiwa kredit. Dimana nasabahnya diberikan kemudahan
dengan menjaminkan polisnya untuk jaminan kredit di bank apabila terjadi meninggal
dunia atau kecelakaan. Dengan catatan pihak penanggung hanya sebatas melunasi
sisa hutang dari nasabah saja dan klaim asuransi baru dapat dibayar bila si debitur
telah meninggal dunia.124
Tujuan dari asuransi jiwa adalah memberi proteksi kepada kreditur yang
memberikan kredit/pinjaman kepada debitur dalam bentuk asuransi jiwa berjangka
menurun.125
Adapun proteksi tersebut adalah pihak penanggung (dalam hal ini perusahaan
asuransi) bersedia menjamin/mengembalikan pinjaman debitur jika ternyata debitur
meninggal dunia di dalam masa pengembalian kredit pinjaman atau sesuai dengan
perjanjian bersama antara nasabah dengan bank dan asuransi dalam masa kontrak
122 Ibid, hal. 176. 123 Asuransi jiwa yang dipakai untuk menjamin pengembalian kredit nasabah debitur, maka
disebutlah dengan istilah Asuransi Jiwa Kredit dan menurut H.M.N. Purwosutjipto dalam bukunya yang berjudul Hukum Pertanggungan, asuransi jiwa kredit ini merupakan salah satu bentuk asuransi gabungan yang ada di Indonesia.
124 Wawancara dengan staf administrasi pada PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya, tanggal 2 Juli 2007.
125 Ibid.
yang diperjanjikan, selain itu keluarga nasabah terlindung dari penyitaan harta benda,
karena pihak asuransi akan membantu meringankan beban tersebut dengan melunasi
sisa pinjaman yang disesuaikan dengan daftar penyusutan polis.126
Pihak asuransi membayar kepada kreditur jika nasabah/debitur meninggal
dikarenakan sakit yang berkepanjangan sesudah masa pengembalian kredit pinjaman
tentu dengan cara pengembalian uang pertanggungan kepada ahli waris apabila masa
kontrak yang diperjanjikan masih berlaku.127 Bank akan menagih kepada pihak
asuransi untuk dibayarkan kepada nasabah setelah dipotong kewajiban-kewajibannya
nasabah tersebut. Dan apabila ada sisanya uang pertanggungan tersebut akan
diserahkan kepada ahli warisnya.128
B. Perlindungan Yang Diberikan Bila Debitur Mengalami Kemacetan
Pembayaran Atas Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
Bank dalam memberikan kredit tidak pernah menginginkan bahwa kredit yang
diberikan akan menjadi kredit yang bermasalah, dan untuk keperluan itu pihak bank
akan melakukan segala upaya preventif yang mungkin dilakukan untuk mencegah
agar kredit tidak bermasalah, namun tidak mustahil pada akhirnya kredit tetap juga
bermasalah, bahkan keadaan kredit itu bukan saja sekedar tidak lancar atau diragukan
126 Wawancara dengan staf administrasi pada PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera,
tanggal 3 Juli 2007. 127 Ibid. 128 Wawancara dengan staf Account Officer pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.
tanggal 27 Juli 2007.
melainkan akhirnya menjadi macet. Setelah itu, bank akan melakukan upaya-upaya
represif.129
Nasabah-nasabah yang memperoleh kredit dari bank tidak seluruhnya dapat
mengembalikannya dengan baik tepat pada waktu yang diperjanjikan. Pada
kenyataannya selalu ada sebagian nasabah yang karena suatu sebab tidak dapat
mengembalikan kredit kepada bank yang telah meminjaminya. Akibat nasabah tidak
dapat membayar lunas utangnya, maka menjadikan perjalanan kredit terhenti atau
macet. Kredit macet adalah suatu keadaan di mana seseorang nasabah tidak mampu
membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya. Keadaan yang demikian dalam
hukum perdata disebut wanprestasi atau ingkar janji.130
Upaya-upaya represif yang mula-mula akan dilakukan ialah melakukan upaya
penyelamatan kredit. Setelah upaya yang dilakukan tersebut ternyata tidak berhasil
juga menyelamatkan kredit itu, maka bank akan menempuh upaya penagihan.
Untuk memperbaiki atau memperlancar kredit yang semula tergolong
diragukan atau macet, bank melakukan tindakan penyelamatan kredit agar kredit yang
semula tergolong diragukan atau macet menjadi lancar lagi. Tindakan penyelamatan
kredit oleh bank dicantumkan atau dituangkan dalam akad penyelamatan kredit.
Bentuk dari penyelamatan kredit tersebut dapat berupa:
1. Penyelamatan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan/atau jangka waktunya.
129 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hal. 293. 130 Gatot Supramono, Op Cit, hal. 92.
2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat kredit, yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan/atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit-kredit.
3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut: a. Penambahan dana bank dan/atau; b. Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru;
dan/atau c. Konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam
perusahaan, yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali.131
Apabila menurut pertimbangan bank, kredit yang bermasalah tidak mungkin
terselamatkan dan menjadi lancar kembali melalui upaya-upaya penyelamatan
sehingga akhirnya kredit tersebut menjadi macet, maka bank akan melakukan
tindakan-tindakan penyelesaian atau penagihan kredit bermasalah atau macet itu.
Penyelesaian atau penagihan kredit bermasalah itu merupakan upaya bank untuk
memperoleh kembali pembayaran baik dari nasabah debitur dan/atau penjamin atas
kredit bank yang telah menjadi bermasalah atau tanpa melikuidasi agunannya.
Walaupun bank tidak mengharapkan terjadinya kredit bermasalah, seluruh
pejabat bank terutama yang berkaitan dengan perkreditan harus memiliki pandangan
dan persepsi yang sama dalam menangani kredit bermasalah tersebut. Karena itu
untuk menyelesaikan kredit bermasalah perlu menggunakan pendekatan sebagai
berikut:
1. Bank tidak membiarkan atau bahkan menutup-nutupi adanya kredit bermasalah. 2. Bank harus mendeteksi secara dini adanya kredit bermasalah atau diduga akan
menjadi kredit bermasalah.
131 Rachmadi Usman, Loc Cit, hal. 293-294.
3. Penanganan kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit bermasalah juga harus dilakukan secara dini dan sesegera mungkin.
4. Bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara menambah plafon kredit atau tunggakan-tunggakan bunga dan mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut atau yang lazim dikenal dengan praktek plafondering kredit.
5. Bank tidak boleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit bermasalah, khususnya untuk kredit bermasalah kepada pihak-pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu.132
Lembaga jaminan hak tanggungan dalam praktek pelaksanaannya tidak
terlepas dari masalah atau hambatan, baik masalah yang berkaitan dengan
pelaksanaan, pembebanan maupun hambatan-hambatan debitur yang wanprestasi.
Dalam pemberian kredit kepada masyarakat bank selalu melakukannya
dengan prinsip kehatian-hatian dan seksama melakukan penilaian terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur serta memperhatikan asas-
asas perkreditan yang sehat.
Dalam kebijaksanaan perkreditan, bank harus mengatur hal-hal pokok sebagai
berikut:
1. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan. 2. Organisasi dan manajemen perkreditan. 3. Kebijaksanaan persetujuan kredit. 4. Administrasi dan dokumen-dokumen kredit. 5. Pengawasan kredit. 6. Penyelesaian kredit.133
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon debitur dalam mengajukan
permohonan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), antara lain:
132 Ibid, hal. 296-297. 133 Budi Utami Raharja, Op Cit, hal. 101.
1. Warga Negara Indonesia.
2. Memiliki pekerjaan dan penghasilan yang layak.134
Proses pemberian kredit tidak terlepas dari perjanjian kredit dengan
pengikatan jaminan khusus mengenai hak tanggungan. Dalam butir 3 penjelasan
umum Undang-Undang Hak Tanggungan dinyatakan hak tanggungan merupakan
lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat harus memiliki ciri-ciri khusus antara lain
mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dengan demikian secara teoritis eksekusi
hak tanggungan dapat dilaksanakan secara tepat dan cepat, akan tetapi dalam praktek
tidak semudah yang dibayangkan.
Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam penyelesaian kredit bermasalah
yaitu:
1. Apabila nilai jaminan tidak mencukupi untuk melunasi pinjamannya karena dana yang diperoleh debitur tersebut dipergunakan untuk keperluan untuk usaha yang lain sehingga terjadi tunggakan-tunggakan kredit yang sangat lama yang mengakibatkan kredit macet.
2. Jaminan dan aspek legal mencukupi tetapi debitur tidak kooperatif, biasanya menghadapi permasalahan seperti ini pihak bank akan mengalami kesulitan yang besar seperti memanggil debitur untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan. Menghadapi kondisi seperti ini biasanya jalan terakhir yang ditempuh oleh bank adalah melalui pengadilan, yang sekaligus disadari bahwa jalur ini akan memakan waktu dan biaya.135
134 Syarat yang secara umum ada pada PT. Bank Central Asia, Tbk. Dan PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero), Tbk. Adapun syarat-syarat khusus antara lain adalah: 1) Fotokopi KTP (calon debitur dan suami/istri). 2) Fotokopi NPWP (bila ada). 3) Fotokopi Kartu Keluarga. 4) Fotokopi sertifikat.
135 Budi Utami Raharja, Loc Cit, hal. 101.
Dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip bank wajib
memperhatikan hal-hal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat 1 dan 2 Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 yang berbunyi:
Pasal 8 ayat (1)
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip bank umum wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan.
Pasal 8 ayat (2)
Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan,
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Berkaitan dengan itu, menurut penjelasan Pasal 8 ayat (2) dikemukakan
bahwa pedoman perkreditan dan pembiayaan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
yang wajib dimiliki dan ditetapkan oleh bank dalam pemberian kredit dan
pembiayaan adalah sebagai berikut:
1. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.
2. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan modal agunan, dan proyek usaha dari nasabah debitur.
3. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan yang ditetapkan Bank Indonesia.
4. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan.
5. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi.
6. Penyelesaian sengketa.136 Meskipun penutupan asuransi jiwa dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
hanya sebagai perjanjian tambahan, akan tetapi hal ini sangatlah penting. Tujuannya
adalah untuk melindungi bank dan nasabah dari risiko yang terjadi di kemudian hari.
Walaupun dengan adanya asuransi jiwa (asuransi jiwa kredit) dari pihak
asuransi, pihak bank masih tetap menagih hutang kepada debitur karena asuransi jiwa
dan kerugian (untuk agunan: rumah, ruko, rumah/tanah), sifatnya hanya untuk
mengcover semua risiko-risiko yang terjadi pada debitur (risiko meninggal
dunia/cacat total tetap) dengan cara pemutihan, kerugian dikarenakan bencana alam,
kebakaran, dan lain-lain. Jadi tidak ada pengaruh antara bank dengan pihak asuransi
apabila terjadi macet bayar/nasabah tidak membayar hutangnya.137
136 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenata Media, Jakarta, 2005, hal. 58-59.
137 Wawancara dengan Staf Dokumentasi Kredit pada PT. Bank Central Asia, Tbk., tanggal 5 Juli 2007.
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA AHLI WARIS
A. Hukum Kewarisan Dalam KUHPerdata Dan Hukum Islam
Menurut Klaassen-Eggens seperti dikutip oleh R. Soetojo Prawirohamidjojo,
hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang perpindahan harta kekayaan dan
terjadinya hubungan-hubungan hukum sebagai akibat kematian seseorang, dengan
atau tanpa perubahan.138
Dalam KUHPerdata, hukum waris ini diatur dalam Buku II titel ke-12 sampai
dengan 18. Hukum waris diatur dalam Buku II KUHPerdata yang mengatur mengenai
benda, karena mempunyai hubungan erat dengan pandangan dari pasal 528
KUHPerdata.
Pasal 528 KUHPerdata menunjukkan hak-hak apa saja yang dapat dimiliki
atas suatu benda, antara lain hak waris. Pasal 528 KUHPerdata berbunyi: ”Atas
benda, orang dapat memiliki hak bezit, hak eigendom, hak waris, suatu vruchtgenot,
hak erfdienstbaarheid, hak pand atau hipotek, dan oleh karenanya hal tersebut
memberikan kesan seakan-akan hak waris ini adalah suatu hak kebendaan”.
Pandangan yang mengatakan bahwa hak waris adalah suatu hak kebendaan
ditentang oleh:
1. Diephuis dan Opzoomer.
138 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op Cit, hal. 1.
2. Land, Veegens, dan Scholten.
3. Meijers.139
Diephuis dan Opzoomer antara lain mengemukakan bahwa seorang waris
memperoleh warisannya karena hukum, yang terdiri atas hak-hak dan tuntutan-
tuntutan hukum dari pewaris (orang yang meninggal dunia), dan ia memperoleh hak-
hak yang sama dengan si pewaris. Artinya, ia tidak memperoleh suatu hak yang baru,
yaitu suatu hak yang semula tidak dimiliki oleh pewaris.
Tuntutan hukum eks Pasal 843 KUHPerdata, untuk memperoleh warisan itu
tidak berdasarkan suatu hak kebendaan, melainkan berdasarkan status menjadi waris.
Status menjadi waris dari si waris ini, dianggap telah cukup untuk mengajukan
tuntutan hukum. Demikian pendapat Diephuis dan Opzoomer seperti dikutip oleh R.
Soetojo Prawirohamidjojo.140
Sedangkan Land, Veegens, dan Scholten, walaupun menggolongkan hak
waris itu dalam hak-hak yang absolut, yaitu hak dari si subyek hukum yang dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga, akan tetapi pemberi kekuasaan langsung tidak
dijumpai. Hak kebendaan (zakelijkrecht), adalah hak mutlak yang memberikan
kekuasaan langsung atas suatu benda atau sebagian dari harta kekayaan.
Meijers akhirnya berpendirian bahwa daripada memandang hak waris itu
sebagai suatu hak kebendaan, Meijers cenderung untuk memandangnya sebagai suatu
139 Ibid. 140 Ibid, hal. 2.
cara perpindahan yang khusus (khas) dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban
seseorang yang bersifat hukum harta kekayaan.
Klaassen-Eggens dapat menyetujui pandangan Meijers ini dan mengatakan
bahwa hak waris adalah suatu kualitas yang memberikan hak atas (sebagian dari)
warisan itu.141
Berdasarkan semua alasan tersebut di atas, maka para ahli cenderung untuk
mengeluarkan hukum waris ini dari Buku II KUHPerdata. Opzoomer misalnya
berpendirian bahwa lebih baik membicarakan hukum waris itu secara tersendiri atau
dalam hubungannya dengan hukum keluarga. Sedangkan Land, antara lain
memandang hak waris itu sebagai suatu hak untuk menggantikan hak dari pewaris
atas harta kekayaannya. Beliau cenderung untuk membicarakan persoalan itu sebagai
bagian terakhir dari hukum harta kekayaan.
Klaassens-Eggens dapat menyetujui kedua pandangan tersebut di atas dan
mengatakan bahwa dalam rancangan Meijers, hukum waris dibicarakan secara khusus
dalam Buku IV KUHPerdata.
Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal (si
pewaris) dalam hubungan-hubungan hukum harta kekayaannya. Hubungan-hubungan
hukum yang lain misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga, kecuali beberapa
hal yang disebut dalam pasal-pasal 257, 258, dan 270 KUHPerdata. Sebaliknya ada
pula beberapa hubungan hukum dalam hukum harta kekayaan yang tidak termasuk di
141 Ibid.
sini. Jadi, ada pula beberapa hubungan hukum dalam hukum harta kekayaan yang
tidak menjadi warisan, yaitu:
1. Hak-hak yang bersifat pribadi, seperti: a. Hak pakai dan mendiami. b. Vruchtgenot dari orang tua. c. Hak-hak penuh sebagai buruh berdasarkan perjanjian kerja, tidak diwaris oleh
ahli waris. 2. Tidak termasuk hoogstpersoonlijke rechten, dan juga tidak termasuk warisan
adalah hak vruchtgebruik. Selanjutnya, Klaassens-Eggens menunjuk bahwa ada pula hak dan kewajiban yang hanya berpindah secara terbatas, misalnya perijinan mengangkut barang. Klaassen-Eggens juga meminta perhatian bahwa berakhirnya hak dan kewajiban karena kematian seseorang tidak menghalang-halangi (mengurangi) kewajiban memberikan perhitungan dan tanggung gugat yang berpindah kepada ahli waris, misalnya dalam hal executie atau pemberian kuasa.
3. Pembayaran asuransi jiwa. Pada umumnya, pembayaran asuransi jiwa tidak termasuk warisan. Pensiun yang diberikan kepada si janda berdasarkan perjanjian kerja, lebih banyak dipandang sebagai hak yang sewajarnya jatuh pada si janda, sehingga hak itu dipandang sebagai diperoleh berdasarkan suatu natuurlijke verbintenis.142
Pewarisan dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Pewarisan berdasarkan undang-undang, juga disebut pewarisan ab-intestato.
2. Pewarisan testamentair, yaitu pewarisan berdasarkan suatu testamen.143
Di dalam pewarisan testamentair yang ditonjolkan adalah kehendak dari
pewaris. Sedangkan di dalam pewarisan ab-intestato berdasarkan berbagai alasan,
sebab ada yang bersifat mengatur (melengkapi/aanvullend), tetapi ada juga yang
142 Ibid, hal. 3. 143M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 73.
bersifat memaksa (dwingend). Salah satu alasan yaitu pandangan bahwa keluarga
terdekat yang pertama berhak atas warisan itu.144
Titel ke-12 Buku II KUHPerdata yang mengatur masalah pewarisan ab-
intestato mengandung beberapa ketentuan yang berlaku pula untuk pewarisan
testamentair. Misalnya pasal 830 KUHPerdata yang menentukan bahwa pewarisan
hanya terjadi karena kematian, berlaku pula untuk pewarisan testamentair. Kata
”kematian” yang dimaksud oleh Pasal 830 KUHPerdata, adalah kematian wajar
(natuurlijke dood) dan tidak termasuk kematian perdata (burgerlijke dood).
Apabila seseorang dinyatakan ”diduga mati”145, maka warisannya berpindah
kepada orang-orang yang diduga menjadi ahli warisnya. Hal ini bukan suatu
penyimpangan dari ketentuan Pasal 830 KUHPerdata, selama pemindahannya itu
bersifat sementara dan dengan syarat. Oleh karena jika ternyata yang diduga mati itu
masih hidup, maka umumnya barang-barang warisannya itu menjadi eigendom-nya
kembali dan ia berhak untuk menuntutnya dari orang-orang yang diduga ahli
warisnya.
Di samping ketentuan ex Pasal 830 KUHPerdata, masih ada satu syarat lagi
untuk pewarisan itu yang dijumpai di dalam Pasal 836 KUHPerdata, yaitu si waris
sudah ada pada saat meninggalnya si peninggal warisan itu dengan memperhatikan
pula ketentuan dari ex Pasal 2 KUHPerdata. Ketentuan dalam Pasal 836 KUHPerdata
yang harus juga memperhatikan Pasal 2 KUHPerdata, bagi Eggens sesungguhnya
144 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op Cit, hal. 4. 145 Syarat dan ketentuan berlaku seperti tercantum pada Pasal 467 KUHPerdata.
tidak perlu. Demikian juga tanpa Pasal 836 KUHPerdata, mengingatkan bahwa wajib
memperhatikan Pasal 2 KUHPerdata, jika ada anak dalam kandungan.
Jadi untuk terjadinya pewarisan, harus dipenuhi 2 (dua) syarat yaitu:
1. Harus ada orang yang meninggal dunia (Pasal 830 KUHPerdata).
2. Ahli warisnya harus sudah ada pada waktu meninggalnya si peninggal warisan
(Pasal 836 KUHPerdata).146
Pengertian hukum warisan tidak dijelaskan dalam suatu pasal tertentu dalam
KUHPerdata, akan tetapi melalui Bab keduabelas bagian kesatu ketentuan umum
Pasal 830 dinyatakan bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Hal ini
menunjukkan bahwa aturan-aturan tentang kewarisan atau hukum warisan, berlaku
setelah adanya kematian, dengan adanya kematian maka peninggalan orang yang mati
itu menjadi persoalan, siapa yang berhak menerima harta yang ditinggalkannya, siapa
pula yang bertanggung jawab menyelesaikan tanggungan yang ditinggalkannya atau
melaksanakan harapannya yang tertentu. Apabila ahli warisnya ada yang jauh dan ada
yang dekat, siapa yang lebih dahulu memperoleh dan berapa pula bagiannya masing-
masing. Inilah gambaran umum akibat yang timbul dari suatu kematian.
Mr. A. Pitlo menjelaskan hukum waris, adalah kumpulan peraturan yang
mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini
146 Ibid, hal. 4-5.
bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan
mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.147
Soebekti menjelaskan pula bahwa hukum kewarisan itu mengatur akibat-
akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.148
Simanjuntak, setelah mengemukakan pendapat berbagai sarjana
menyimpulkan bahwa hukum waris pada hakekatnya mengatur mengenai tata cara
peradilan harta kekayaan dari seseorang yang meninggal dunia atau pewaris kepada
ahli warisnya. Jadi dalam kewarisan ini terdapat tiga unsur yaitu adanya orang yang
meninggal dunia (pewaris), adanya harta kekayaan yang ditinggalkan dan adanya ahli
waris.149
Pengertian yang lebih umum dikemukakan oleh Oemar Salim yang
menjelaskan pengertian hukum warisan sebagai hukum yang mengatur cara
penyelesaian perhubungan hukum dalam masyarakat sebagai akibat dari
meninggalnya seorang manusia.150
Dari berbagai definisi di atas dapatlah dipahami berbagai istilah yang penting
sebagai unsur-unsur yang terdapat dalam hukum warisan, yaitu:
1. Pewaris
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan kekayaan atau
harta warisan untuk dibagi-bagikan kepada ahli waris baik laki-laki maupun
147 A. Pitlo, Hukum Waris Menurut KUHPerdata Belanda, Terjemahan Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 1
148 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Cet. XXI, Jakarta, 1987, hal. 17. 149 Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 245. 150 Oemar Salim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Rinneka Cipta, Jakarta, 1991, hal.
2.
wanita. Sesuai dengan Pasal 830 KUHPerdata bahwa pewarisan hanya
berlangsung karena kematian. Pasal ini menegaskan bahwa pewaris adalah orang
yang sudah mati. Maka mereka yang belum jelas kematiannya maka otomatis
diragukan keberadaannya sebagai pewaris, dengan demikian pewarisan tidak
mungkin berlangsung. Berarti penetapan kematian seorang pewaris menurut
KUHPerdata sangat penting. Yang dimaksud dengan mati, wafat, atau meninggal
dunia adalah tidak bergerak; orang yang dikatakan sudah mati ialah orang yang
sudah tidak bergerak lagi jantungnya, jantungnya sudah benar-benar berhenti.151
Jadi mati bukan berarti sudah dikubur, karena siapa tahu orang yang sudah
dikubur lalu keluar lagi, begitu pula mati bukan karena anggapan atau perkiraan
saja.
Dalam KUHPerdata terdapat ketentuan tentang perkiraan waktu sejak kapan
seseorang dianggap hilang atau sudah mati, hal-hal ini diatur dalam Pasal 467-471
KUHPerdata. Dalam Pasal 471 dinyatakan bahwa pernyataan mengenai dugaan
tentang kematian harus diumumkan dengan menggunakan surat kabar yang telah
digunakan dalam pemanggilan-pemanggilan.152
Keraguan dalam menentukan kematian seseorang dapat terjadi terutama dalam
kasus beberapa orang meninggal pada saat yang bersamaan tanpa diketahui siapa
yang meninggal terlebih dahulu diantara mereka itu. Menurut Pasal 831
151 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum
Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 24. 152 Ibid, hal. 25.
KUHPerdata mereka dianggap meninggal pada saat yang bersamaan, sehingga
perpindahan warisan dari yang satu kepada yang lain tidak terjadi.
2. Harta Warisan
Harta warisan atau juga disebut harta peninggalan adalah semua harta dan atau
hak-hak dan kewajiban yang beralih penguasaannya atau pemilikannya setelah
pewaris wafat kepada waris.
Dalam sistem kewarisan barat sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata
hukum waris merupakan bagian dari hukum kekayaan, oleh karena itu yang dapat
diwariskan terbatas pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang, jadi kekayaan yang tidak dapat dinilai dengan uang tidak dapat
diwariskan.153
Menurut Hilman, harta warisan itu dapat dirinci sebagai berikut:
a. Semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. b. Kewajiban alimentasi (memberi nafkah hidup) suami kepada bekas istri. c. Uang santunan asuransi jiwa yang telah diterima ketika pewaris hidup. d. Hak pengarang dan atau hak cipta menurut ketentuan undang-undang Hak
Cipta. e. Perjanjian kerja seperti diatur dalam pasal-pasal 1603 KUHPerdata. f. Perjanjian penitipan barang, seperti diatur dalam Pasal 1717 KUHPerdata.
Sedangkan yang tidak termasuk dalam warisan adalah sebagai berikut:
a. Kedudukan/jabatan. b. Kekuasaan orang tua (orderlijkemacht) c. Hak-hak dan kewajiban sebagai suami istri. d. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai anggota organisasi. e. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam ikatan perkawinan. f. Hak-hak menikmati hasil. g. Persetujuan kerja perorangan.
153 Subekti, Op Cit, hal. 95-96.
h. Perjanjian dagang, kongsi dagang, perseroan dan sebagainya. i. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban memberi nafkah. j. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban kesusilaan/kesopanan. k. Hak bapak menyangkal sahnya anak. l. Hak anak menuntut agar ia dinyatakan sebagai anak sah oleh bapak atau
ibunya.154
Dalam hal pembayaran hutang-hutang, maka merupakan kewajiban para waris
yang telah menerima suatu warisan, demikian pula dengan hibah, wasiat, dan
lain-lain beban dan mereka memikul beban sesuai dengan bagiannya secara
seimbang dengan yang diterimanya masing-masing dari warisan, hal ini
ditegaskan dalam Pasal 1100, walaupun demikian, dalam ketentuan KUHPerdata
ahli waris dapat saja mengalihkan perpindahan hutang dengan 2 (dua) jalan, yaitu:
1. Tidak mau menerima warisan.
2. Menerima harta warisan dengan syarat diadakan perhitungan bentuk barang-
barang warisan, dengan maksud bahwa hutang-hutang pewaris hanya dibayar
pada batas kemampuannya dengan menggunakan barang-barang warisan itu
(Pasal 1023-1044 dan Pasal 1057 KUHPerdata).155
Di samping pembayaran hutang-piutang serta hibah wasiat maka status
perkawinan juga berpengaruh terhadap harta warisan. Status perkawinan menurut
KUHPerdata terdiri atas 3 kategori. Pertama, perkawinan menurut KUHPerdata
terdiri atas 3 kategori. Pertama, perkawinan yang dilangsungkan dengan
perjanjian tidak ada percampuran harta kekayaan antara suami-istri. Kedua,
154 Hilman Hadikusuma, Op Cit, hal. 34. 155 Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 12.
perkawinan yang dilangsungkan dengan perjanjian adanya percampuran harta
kekayaan secara bulat. Dan ketiga, perkawinan yang dilangsungkan dengan
perjanjian adanya percampuran harta kekayaan dengan beberapa/ada
pengecualian. Gambaran ini tertuang dalam Pasal 119 Buku I KUHPerdata, Pasal
128 KUHPerdata tentang harta kekayaan persatuan dibagi dua, ½ untuk suami,
dan ½ untuk istri tanpa mempersoalkan dari pihak mana harta kekayaan itu
diperoleh.156
Hal lain yang terkait dengan harta warisan adalah biaya penyelenggaraan jenazah,
dalam KUHPerdata Pasal 1149 ayat 2 dinyatakan, biaya penguburan, dengan tak
mengurangi kekuasaan hakim untuk menguranginya jika biaya-biaya itu
terlampau tinggi.
Jenis hutang yang lebih dahulu dilaksanakan yaitu biaya untuk menyita barang-
barang yang bersangkutan guna untuk dilelang di muka umum untuk melunasi
hutang dari pewaris (Pasal 1149 ayat 1).
3. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak mewarisi harta warisan, dalam arti
berhak untuk meneruskan penguasaan dan pemilikan harta warisan atau berhak
memiliki bagian-bagian yang telah ditentukan dalam pembagian harta warisan
menurut hukum yang berlaku.157
156 Oemar Salim, Op Cit, hal. 18. 157 Hilman Hadikusuma, Op Cit, hal. 51, demikian pula dengan penjelasan secara bahasa
bahwa waris atau Erfgenaam (Belanda) yang maksudnya hampir sama dengan penjelasan Hilman. Lihat Yan Pramadya, Kamus Hukum, Aneka Semarang, 1997, hal. 898.
Secara garis besarnya, ada 2 (dua) jalur yang dapat menentukan seseorang sebagai
ahli waris, yaitu kelompok pertama adalah orang atau orang-orang yang oleh
undang-undang (KUHPerdata) telah ditentukan sebagai ahli waris. Kemudian
kelompok kedua yaitu orang atau orang-orang yang menjadi ahli waris karena
pewaris di kala hidupnya melakukan perbuatan hukum tertentu seperti testamen
atau surat wasiat dan adopsi atau pengangkatan anak.158
Ahli waris menurut undang-undang terdiri atas 4 (empat) golongan. Golongan
pertama terdiri dari suami atau istri yang hidup terlama ditambah anak atau anak-
anak serta sekalian keturunan anak-anak tersebut (Pasal-Pasal 832, 852, dan 852 a
KUHPerdata). Golongan kedua terdiri atas ayah dan ibu dan saudara/i serta
sekalian keturunan saudara/i tersebut (Pasal 854, 855, dan 857 KUHPerdata).
Golongan ketiga, terdiri atas kakek-nenek garis ibu dan garis ayah. Golongan
keempat terdiri dari sanak keluarga pewaris dalam garis menyimpang sampai
derajat keenam dan derajat ketujuh karena pergantian tempat.159
Mewarisi berdasarkan undang-undang di atas disebut juga dengan mewarisi
dengan ab-intestato, sedangkan mewarisi dengan testamen atau atas dasar surat
wasiat disebut ad-testamento atau testamentair. Hal ini akan dijelaskan lebih luas
pada bagian tertentu.
Berlakunya KUHPerdata di Indonesia pada awalnya didasarkan atas asas
konkordansi yaitu asas persamaan berlakunya sistem hukum, di mana sistem hukum
158 Anisitus Amanat, Op Cit, hal. 7. 159 Ibid. Penjelasan lebih luas dapat dilihat pula dalam Subekti, Op Cit, hal. 98-106.
Simanjuntak, Op Cit, hal. 249. Hilman, Op Cit, hal. 52.
negara Indonesia sebagai negara jajahan sama dengan sistem hukum di negeri
Belanda. Melalui pengumuman tanggal 30 April 1947 berdasarkan Staatsblad No. 23
maka Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848 di Hindia
Belanda.
Asas konkordansi itu tercantum dalam Pasal 75 Regerings Reglement jo Pasal
131 Indische Staats Regeliing.160
Selanjutnya pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, pemerintah militer
Jepang di Indonesia mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1942 pada Pasal 2 ditetapkan
bahwa semua undang-undang termasuk KUHPerdata di pemerintahan Hindia Belanda
tetap berlaku.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, maka berdasarkan
Pasal II aturan peralihan menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang
ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-
undang dasar ini.
Pada saat pemerintahan Republik Indonesia berubah menjadi Republik
Indonesia Serikat (RIS) maka tanggal 27 Desember 1947, KUHPerdata masih
diberlakukan, sesuai dengan pasal 192 ketentuan peradilan Konstitusi RIS yang
menyatakan, bahwa peraturan-peraturan dan ketentuan tata usaha yang sudah ada
pada saat konstitusi ini mulai berlaku tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar
160 Soetandyo Wignyo Subroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1995, hal. 178.
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, atau diubah
oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini.161
Selanjutnya, RIS kembali lagi menjadi negara kesatuan Republik Indonesia
dan berlaku pula Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950, dan
KUHPerdata masih berlaku. Sesuai dengan pasal 142 ketentuan peralihan yang
menyatakan, bahwa peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha
negara yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak
mengubah sebagai peraturan ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan
sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, atau
diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-
Undang Dasar ini.162
Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Darurat No.
1/1951 ini, peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu untuk Pengadilan Negeri
dan Kejaksaan dalam daerah Republik Indonesia tetap berlaku yaitu:
1. Dalam perkara perdata: a) Untuk daerah Jawa dan Madura berlaku Herziene Inlands Reglement (H.I.R). b) Untuk daerah di luar Jawa dan Madura berlaku Rechtsreglement
Buitengewesten. 2. Di dalam pemeriksaan ulangan perkara perdata:
a) Untuk daerah Jawa dan Madura Undang-Undang RI No. 20/1947 jis Undang-Undang Darurat No. 1/1951, Undang-Undang Darurat No. 11/1955 dan Undang-Undang No. 14/1970.
b) Untuk daerah lain:
161 Simanjuntak, Op Cit, hal. 6. 162 Ibid.
Rechtsreglement Buitengewesten jis Undang-Undang Darurat No. 1/1951 jis Undang-Undang Darurat No. 11/1955 dan Undang-Undang No. 14/1970.163
Akhirnya setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, KUHPerdata pun masih
dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang dikodifikasi ini masih berlaku
sampai saat ini untuk mengisi kekosongan hukum dan jaminan adanya kepastian
hukum, walaupun terdapat keragaman karena materinya tidak termuat dalam
KUHPerdata melainkan tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Adanya keragaman Hukum Perdata di Indonesia merupakan wujud dari
kebijakan pembinaan hukum guna memenuhi pentingnya perubahan hukum dan hal
itu dilakukan melalui pendekatan kultural, agar seluruh sendi kehidupan berbangsa
tetap dijiwai oleh UUD 1945, sesuai dengan wawasan politik hukum yang merupakan
konsep strategis yang memberikan arahan bagi perumusan politik hukum itu sendiri
yaitu hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.164
Berkaitan dengan belum dituliskannya hukum untuk bangsa Indonesia di
dalam undang-undang, bagi mereka itu tetap diberlakukan hukum yang sekarang
berlaku yaitu hukum adat, hal ini dinyatakan dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling
163 Henry Lee A Weng, Peraturan Peradilan Di Daerah-Daerah Luar Jawa Dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten), Fakultas Hukum USU, Medan, 1987, hal. ii. 164 Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 28-
29.
Pasal 6,165 yang berarti harus ada pembentukan undang-undang baru bagi bangsa
Indonesia, termasuk dalam hukum perdata.
Berkaitan dengan hukum kewarisan, di Indonesia dipergunakan 3 macam
peraturan, yaitu hukum adat, hukum agama Islam, dan hukum Burgerlijk Wetboek.
Hukum adat berlaku untuk orang Indonesia asli mengikuti aturan masyarakat adat
yang bersifat patrinial, matrinial, dan parental, hukum agama berlaku bagi keluarga
Indonesia yang mematuhi ajaran agamanya, sedangkan KUHPerdata (BW) bagi
golongan orang Eropa dan mereka yang disamakan dengan golongan orang-orang
tersebut, kemudian golongan orang Timur Asing (Cina) serta golongan orang-ornag
Timur Asing lainnya serta orang pribumi yang menundukkan diri. Aturan kewarisan
dalam KUHPerdata terdapat dalam Buku II Bab XII sampai dengan Bab XVIII pasal-
pasal 830 sampai dengan 1130 KUHPerdata.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa asas hukum bukan merupakan
hukum konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau
merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang
setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
hakim.166
M. Idris Ramulio menjelaskan beberapa asas hukum kewarisan dalam
KUHPerdata, antara lain:
165 Subekti, Op Cit, hal. 12. 166 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996,
hal. 5.
1. Hanya hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan (yang dapat dinilai dengan uang).
2. Apabila seseorang meninggal dunia maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.
3. Pewarisan hanya karena kematian (Pasal 830 KUHPerdata). 4. Asas individual; yang menjadi ahli waris adalah perorangan (secara pribadi),
bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok klan, suku atau keluarga (Pasal 823 sampai dengan 852 KUHPerdata) yang menentukan bahwa yang berhak menerima warisan adalah suami atau istri yang hidup terlama, anak serta keturunannya.167
5. Asas bilateral; bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja tapi juga dari ibu demikian juga saudara laki-laki terhadap saudara laki-lakinya maupun saudara perempuannya (Pasal 850, 853, dan 856 KUHPerdata).
6. Asas penderajatan; artinya ahli waris yang dekat derajatnya dengan pewaris menutup waris yang lebih jauh derajatnya, dan untuk memudahkan perhitungan dilakukan melalui penggolongan ahli waris.
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur
dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik
laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan
hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli
warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang
berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang
harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris,
apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan
hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan
167 Subekti menjelaskan bahwa pada asanya tiap orang meskipun seorang bayi baru lahir
adalah cakap untuk mewarisi, Op Cit, hal. 97.
acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang
kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw dan ijma’ para ulama sangat
sedikit.168
Allah SWT melalui surat an-Nisa’ (ayat 11, 12, dan 176) menegaskan dan
merinci nashib (bagian) setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Ayat-ayat
tersebut juga menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak
mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Selain itu
juga menjelaskan keadaan setiap ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara
”tertentu”, dan kapan pula ia menerimanya secara ’ashabah.
Ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan
dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap.169
Di dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak
waris bagi para kerabat (nasab) yaitu an-Nisa’:7, al-Anfal:75, dan al-Ahzab:6.170
Hukum kewarisan Islam secara mendasar merupakan ekspresi langsung dari
teks-teks suci sebagaimana pula yang telah disepakati keberadaannya. Ia manifes dari
rangkaian teks dokumen suci dan telah memperoleh prioritas yang tinggi dalam
keterlibatannya sebagai fenomena prinsip yang fundamental dalam ajaran Islam.171
Hukum kewarisan Islam biasa disebut dengan Faraidl. Faraidl adalah jama’
dari Faridlah yang berarti: suatu bagian tertentu, jadi Faraidl berarti beberapa bagian
168 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 32.
169 Ibid, hal. 15. 170 Ibid, hal. 17. 171A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 1.
tertentu. Dengan demikian Faraidl dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang
telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’.
Istilah hukum kewarisan Islam dipergunakan dalam tulisan ini mengacu pada
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).172
Berdasarkan KHI Pasal 171 huruf a menyatakan:
“ Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Sedangkan pewaris menurut Pasal 171 huruf b, adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. “173
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab
seseorang itu mendapatkan warisan dari si mayat (ahli waris) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Kekerabatan Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh (an-Nisaa’ [4]: 11, 12, dan 76). Mereka adalah ushul ‘leluhur’ si mayit, furu’ ‘keturunan’ mayit, dan hawasyi si mayit ‘keluarga mayit dari jalur horizontal’.
2. Karena hubungan perkawinan Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayat dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah: suami atau istri dari si mayat.
3. Karena adanya hubungan darah Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan darah/kekeluargaan dengan si mayat, yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti: ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara, dan lain-lain.
4. Karena memerdekakan si mayat
172 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, hal. 2.
173 Ibid, hal. 4.
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) dari si mayat disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayat dari perbudakan, dalam hal ini dapat saja seorang laki-laki atau seorang perempuan.
5. Karena sesama Islam Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak ada meninggalkan ahli waris sama sekali (punah), maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul Maal, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.174
Ada 3 (tiga) syarat untuk menjadi ahli waris yang ditentukan di dalam Pasal
171c KHI, yaitu:
1. Orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris Ketentuan mengenai hal ini dirumuskan dalam Pasal 174 ayat 2 KHI yang menyatakan bahwa apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
2. Beragama Islam Jadi apabila ada ahli waris yang berpindah agama, maka ia akan kehilangan haknya sebagai ahli waris. Hal ini dapat menimbulkan kesan ketidakadilan di dalam hukum waris Islam. Dalam rangka menerapkan hukum waris Islam yang berkeadilan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Yurisprudensi No. 51.K/AG/1969 tanggal 29 September 1999, yang pada prinsipnya memutuskan bahwa anak kandung yang telah pindah agama mendapat wasiat wajibah. Putusan ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, karena anak tersebut tidak ditetapkan sebagai ahli waris. Sebagai seorang yang dekat dengan pewaris adalah adil apabila dia mendapat bagian dari harta peninggalan orang tuanya melalui wasiat wajibah. Apabila ada ahli waris yang telah pindah agama kemudian demi mendapatkan status sebagai ahli waris yang sah ia menyatakan masuk Islam lagi, maka perlu diteliti kebenaran pernyataanya tersebut. Dalam hal ini Pasal 172 KHI, memberi pedoman bahwa ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
3. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris Selain karena pindah agama, menurut Pasal 173 KHI seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
174 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta,
1995, hal. 52-53.
a) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b) Dipersalahkan telah memfitnah dengan cara mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.175
B. Pembayaran Dan Yang Berhak Menerima Uang Pertanggungan
Pertanggungan jiwa bermaksud sebagai tanggungan atas suatu risiko dari
peristiwa kematian yang terlalu cepat dari seseorang yang mempunyai mata
pencaharian. Tapi di samping itu juga sebenarnya untuk menanggung risiko dari
masih tetap tinggal hidup setelah lewatnya waktu-waktu di mana seseorang itu masih
dapat diperkirakan mempunyai mata pencahariannya. Si tertanggung membayar
premi selama tahun-tahun ia mempunyai mata pencaharian yang baik dan
mempertanggungkan baik dirinya maupun keturunannya. Dengan demikian
terkumpullah suatu modal dalam suatu waktu di mana ia memerlukannya.176
Di samping pertanggungan jiwa mempunyai unsur yang penting seperti
”mengalihkan risiko” maka juga masih mempunyai unsur lain yang penting yaitu
unsur ”menabung”. Hal ini adalah mungkin, oleh karena pembayaran atau
penggantian sejumlah uang oleh penanggung itu cepat atau lambat, sekarang atau
kemudian, akan pasti terjadi atau dilaksanakan.
Kebanyakan perjanjian pertanggungan itu diadakan oleh tertanggung atas
hidupnya sendiri. Bilamana sampai pada waktu yang telah ditetapkan dalam
175 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, Airlangga University Press, Surabaya,
2003, hal. 97-98. 176Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan (Pokok-Pokok Pertanggungan
Kerugian, Kebakaran dan Jiwa), Loc Cit, hal. 93.
perjanjian pertanggungan jiwa itu si tertanggung masih hidup maka dia sendirilah
yang menerima pembayaran itu dari penanggung, akan tetapi apabila dia meninggal
dunia sebelum saat yang ditentukan itu maka yang menerima pembayaran itu ialah
orang lain yang ditunjuk sebagai orang yang berkepentingan.177
Di dalam KUHD mulai dari pasal 302 sampai dengan pasal 308 di dalam buku
I titel 10 bagian 3 diaturlah tentang pertanggungan jiwa itu secara singkat sekali.
Di dalam pasal pertama yaitu pasal 302, undang-undang memberikan
gambaran tentang apa yang dimaksud dengan perjanjian pertanggungan jiwa yaitu:
bahwa jika seseorang dapat dipertanggungkan untuk keperluan orang yang
berkepentingan dengan itu, baik untuk selama hidupnya, maupun untuk sesuatu
waktu yang ditentukan dalam perjanjian.
Ternyata yang penting dari bunyi pasal itu ialah bahwa pertanggungan itu
selalu diadakan dalam suatu jangka waktu, yang ditentukan di dalam perjanjian
pertanggungan itu sendiri, akan tetapi juga dapat untuk waktu selama hidupnya dan
hal ini menurut bunyi pasal itu tidak ditetapkan dalam perjanjiannya itu. Sehingga,
kemungkinan untuk mengadakan pertanggungan itu untuk selama hidup oleh undang-
undang tidak secara tegas-tegas diberikan. Selanjutnya di dalam pasal 303 terdapat
suatu ketentuan yang dapat menimbulkan suatu kejanggalan. Dari ketentuan itu
ternyata bahwa tidak dilarang untuk mengadakan pertanggungan atas jiwa seseorang
di luar pengetahuan atau persetujuan orang yang dipertanggungkan jiwanya itu.178
177 Ibid, hal. 94. 178 Ibid.
Memang secara sepintas lalu dapat diterima jika ada keberatan terhadap bunyi
pasal tersebut akan tetapi kalau dihubungkan dengan keadaan di dalam praktek maka
keberatan ini akan tidak lagi begitu besar. Sebab di dalam praktek oleh kebanyakan
perusahaan pertanggungan jiwa diadakan sebelumnya pemeriksaan kesehatan dari
orang yang jiwanya dipertanggungkan itu dan supaya pemeriksaan tersebut bisa
terlaksana sudah barang tentu dengan sepengetahuannya ia diperiksa oleh dokter.179
Pihak yang mengikatkan dirinya terhadap penanggung untuk membayar premi
di dalam pertanggungan kerugian, pada azasnya adalah disebut tertanggung.
Di dalam praktek pertanggungan jiwa dilihat bahwa pada umumnya pihak
yang mengadakan perjanjian pertanggungan dengan penanggung itu adalah disebut
dengan istilah yang berbeda-beda seperti pemegang polis (policy holder) dan
pengambil asuransi. Sedang menurut undang-undang dia disebut dengan istilah
tertanggung (Pasal 304 angka 2 KUHD).180
Pihak yang berhak atas premi dan yang berkewajiban untuk memberi
sejumlah uang jika terjadi kematian adalah disebut penanggung sebagaimana
kedudukan seorang penanggung di dalam perjanjian pertanggungan kerugian pada
umumnya. Kemungkinan bahwa ada pihak ketiga di dalam pertanggungan jiwa, juga
diatur di dalam KUHD yaitu dalam Pasal 302, 303 jo Pasal 304 angka 3 ialah orang
yang jiwanya dipertanggungkan.
179 Ibid, hal. 95. 180 Ibid, hal. 97.
Walaupun demikian, pada umumnya seseorang itu adalah
mempertanggungkan jiwanya sendiri. Bilamana hal ini terjadi maka dalam hal
pertanggungan itu diadakan hanya untuk waktu atau umur yang terbatas (tertentu),
pemegang polis, dalam hal ini tertanggung, itulah yang berhak atas pemberian jumlah
pertanggungan yang sekaligus menjadi orang yang berkepentingan. Lain halnya,
apabila pemegang polis itu meninggal dunia, maka di sini tidak mungkinlah ia
menjadi orang yang berkepentingan, sebab pemberian sejumlah uang dari
penanggung akan jatuh ke tangan orang lain.
Juga seandainya pemegang polis itu mempertanggungkan jiwa orang lain,
maka apabila orang itu meninggal dunia, pemegang polis itulah yang menjadi orang
yang berkepentingan. Jadi menurut pasal-pasal 302, 303, dan 304, pembentuk
undang-undang seolah-olah hanya mengenal pertanggungan atas jiwa seseorang lain
tertentu yang diadakan oleh pihak lawan dari penanggung di dalam perjanjian itu.
Di dalam Pasal 304 angka 2 KUHD, terdapat penyebutan, nama dari
tertanggung (verzekerde) sedang di dalam angka 3 terdapat penyebutan: nama dari
orang atas jiwa siapa diadakan pertanggungan, jika konstruksi pertanggungan jiwa
yang disebut di dalam pasal 302 dan pasal 303, yaitu seseorang dapat mengadakan
pertanggungan atas jiwa orang lain, dihubungkan dengan pasal 304 angka 2 maka
dapat disimpulkan bahwa: orang yang menjadi pihak lawan dari penanggung itu
adalah tertanggung (verzekerde) yang sekaligus menjadi orang yang berkepentingan
di dalam pertanggungan jiwa itu. Ia berkepentingan untuk mempertanggungkan jiwa
seseorang lain, dan dengan mempertanggungkan jiwa orang lain itu ia mengharapkan
suatu pembayaran sejumlah uang dari penanggung. Bahkan menurut pasal 303,
tertanggung itu dapat mempertanggungkan jiwa orang lain tanpa sepengetahuan
orang itu.
Konstruksi pembentuk undang-undang di dalam pasal 302, 303, yang sudah
lama sekali dan sudah kuno itu, justru adalah berbeda dengan apa yang terjadi
sekarang yaitu bahwa pada umumnya seseorang itu mengadakan pertanggungan atas
dirinya sendiri. Di dalam konstruksi seperti inilah ada kemungkinan orang yang
berkepentingan ”yang tidak jatuh bersamaan pada satu orang dengan tertanggung”.
Apabila pertanggungan jiwa itu hanya diadakan oleh tertanggung untuk suatu
batas umur tertentu atas jiwanya, maka sudah barang tentu apabila setelah batas umur
itu lewat, yang berarti tenggang pertanggungan sudah habis dan yang bersangkutan
belum meninggal dunia, maka dia sendirilah yang akan menerima sejumlah uang dari
penanggung. Dalam hal inilah dia masih sebagai orang yang berkepentingan.181
Tetapi bilamana pertanggungan atas jiwanya itu tidak untuk batas umur
tertentu, dan dia meninggal dunia, maka yang berkepentingan disini adalah orang lain
dan bukan tertanggung. Tertanggung tidak sama dengan orang yang berkepentingan.
Sebagai yang dikemukakan oleh Dorhout Mess, seperti dikutip oleh Emmy
Pangaribuan Simanjuntak, bahwa kejadian seperti tersebut di atas dapat disamakan
dengan pertanggungan untuk kepentingan pihak ketiga di dalam suatu pertanggungan
kerugian.182
181 Ibid, hal. 98. 182 Ibid.
Tetapi bagaimanapun juga antara keduanya masih terdapat perbedaan, yaitu:
bahwa orang yang berkepentingan di dalam contoh di atas tidaklah mempunyai
kewajiban apa-apa terhadap penanggung. Dia tidak wajib membayar premi sebagai
orang yang berkepentingan pada pertanggungan untuk kepentingan pihak ketiga.
Di dalam pertanggungan jiwa, biasanya juga diperjanjikan bahwa pembayaran
sejumlah uang dari penanggung itu akan dibayarkan kepada seseorang lain apabila
pemegang polis itu meninggal dunia. Orang lain inilah yang disebut dengan istilah
orang yang berkepentingan. Perjanjian pertanggungan jiwa tersebut di dalam hal yang
demikian adalah merupakan perjanjian yang dimaksud di dalam Pasal 1317
KUHPerdata.
Janji sedemikian itu dapat juga ditarik kembali oleh orang yang menjanjikan
menurut ayat 2 Pasal 1317 KUHPerdata kecuali pihak ketiga tersebut telah
menyatakan akan mempertanggungkannya.
Apabila ketentuan Pasal 1317 ayat 2 itu diterapkan kepada perjanjian
pertanggungan, ini akan berarti bahwa pemegang polis yang telah memperjanjikan
pembayaran jumlah pertanggungan kepada seseorang lain dan yang oleh orang lain
itu telah diterima/dinyatakan akan dipergunakan, si pemegang polis tidak boleh lagi
mengubah atau mengganti ”seseorang lain” itu. Tapi di dalam praktek biasanya
mengenai itu terdapat klausula-klausula (janji-janji) di dalam polis yang
memungkinkan perubahan atau penggantian dari ”orang lain” itu.183
183 Ibid, hal. 99.
Cara pembayaran uang premi oleh tertanggung tergantung dengan sifat
kontrak yang dibuat di dalam polis dengan pihak perusahaan. Pada dasarnya ada 2
(dua) cara pembayaran premi yang dilakukan oleh pihak tertanggung, yaitu:
1. Premi meningkat (natural premium increasing premium) Pembayaran premi disini makin lama makin bertambah besar. Pada waktu tahun-tahun permulaan premi asuransi yang dibayar rendah, tetapi setelah itu makin lama makin bertambah dari tahun ke tahunnya.
2. Premi merata (level premium) Pada level premium besarnya premi yang dilunasi oleh pemegang polis untuk setiap tahunnya sama (merata) besarnya.184
Uang premi yang sudah disetor sesuai dengan perjanjian dalam polis,
sedangkan yang tertanggung masih hidup, maka dialah yang akan menerima sejumlah
uang dari pihak asuransi. Sebenarnya bentuk ini mirip dengan penabungan uang,
walaupun tidak persis sama seperti yang dilakukan dengan bank.
Jika tertanggung meninggal dunia, untuk menerima uang premi maka
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Ahli waris atau orang yang ditunjuk untuk menerima faedah asuransi, menunjukkan polis yang bersangkutan.
b. Surat Keterangan Kematian. c. Surat keterangan sebab-sebab kematian dari dokter yang memeriksa jenazah
tertanggung. d. Kwitansi yang sah dari pembayaran premi yang terakhir.185
Bila tertanggung membunuh diri atau dipidana mati, maka akan gugur
pertanggungannya. Demikian bunyi Pasal 307 KUHD. Menurut pasal ini tertanggung
184 Wawancara dengan staf administrasi pada PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya, tanggal 2
Juli 2007. 185 Ibid.
sendirilah yang mempertanggungkan jiwanya, dan bukan jiwa orang lain dan dia
sendirilah yang bunuh diri atau dipidana mati.186
Mengenai dengan setoran premi bila tertanggung meninggal dunia, maka
tertanggung tidak berkewajiban lagi membayar premi. Sebaliknya perusahaan
berkewajiban membayar klaim kepada orang yang ditunjuk. Jika anak tertanggung
lebih dari satu, sedangkan yang ditunjuk dalam polis hanya isteri dan satu orang anak,
maka pihak perusahaan menyerahkan benefit kepada isteri dan anak yang ditunjuk.
Adapun jumlah benefit yang diterima sesuai dengan plan asuransi yang diambil.187
Dari penjelasan-penjelasan dan uraian di atas, tidak ada ketentuan yang tegas
menyangkut dengan seluruh ahli waris yang berhak menerima klaim (benefit). Hanya
disebutkan orang yang ditunjuk sajalah yang berhak menerima uang tersebut.
Asuransi jiwa kredit di dalam KPR tidak memandang kewarisan menurut hukum
apapun baik itu menurut hukum KUHPerdata maupun hukum Islam. Disini yang
menjadi penerima manfaatnya tetap adalah pihak bank/kreditur.
Di dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dapat memproteksi kelangsungan
pembayaran kredit tersebut dengan menutup diri atas asuransi berjangka dengan
pertanggungan menurun (decreasing term insurance) sejalan dengan penurunan sisa
186Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan (Pokok-Pokok Pertanggungan
Kerugian, Kebakaran, dan Jiwa), Loc Cit, hal. 99. 187Wawancara dengan Kepala Bidang Keuangan pada Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera
1912-Medan tanggal 2 Juli 2007.
kredit. Apabila debitur meninggal dunia sebelum pinjaman lunas, maka sisa kredit
dibayarkan dengan uang pertanggungan asuransi berjangka tersebut.188
Jika tidak ada asuransi, pastilah membebani keluarga yang ditinggalkan, dan
bisa saja keluarga terusir dari rumah yang masih dalam cicilan tersebut apabila
cicilannya tidak dibayarkan.189
Asuransi jiwa kredit yang diwajibkan dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
terkadang menimbulkan masalah bagi nasabah debitur190, meskipun sebenarnya
nasabah debitur tersebut sudah mempunyai asuransi jiwa sebelumnya, akan tetapi
pada bank yang menjadi objek penelitian ini tidak mau menerima asuransi jiwa murni
(karena ada unsur investasinya)191.
188 Wawancara dengan staf administrasi pada PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya tanggal 2
Juli 2007. 189 Fuad Usman dan M. Arief, Security For Life (Hidup Lebih Nyaman Dengan Berasuransi),
Elex Media Komputindo, Jakarta, 2004, hal. 82. 190 Wawancara dilakukan pada nasabah debitur PT. Bank Central Asia, Tbk., tanggal 3 Juli
2007. Nasabah debitur tersebut menyebutkan bahwa mereka harus mengikuti ketentuan dan syarat yang berlaku pada produk KPR tersebut.
191 Wawancara dengan staf dokumentasi kredit pada PT. Bank Central Asia, Tbk., tanggal 6 Juli 2007.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Asuransi jiwa yang dipakai dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah
asuransi kredit. Akan tetapi pada umumnya disebut asuransi jiwa kredit. Hal ini
disebabkan karena asuransi jiwa dipakai untuk menjamin pembayaran kredit
kepada kreditur. Alasan asuransi jiwa ini menjadi klausula wajib dalam perjanjian
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah karena pihak bank/kreditur mempunyai
kepentingan terhadap kelangsungan hidup debitur guna menjamin pengembalian
hutang kepada kreditur. Klausula baku yang ada pada perjanjian kredit dinilai
melanggar asas kebebasan berkontrak yang seharusnya memberikan kesempatan
kepada para pihak yang membuat perjanjian tersebut (in casu: bank dan nasabah
debitur) untuk bersama-sama menyusun klausula-klausula yang ingin mereka
cantumkan di dalam perjanjian tersebut. Hal ini pada prakteknya tidak mungkin
dilakukan karena para pihak saling membutuhkan di dalam bisnis yang mereka
jalankan.
2. Asuransi Kredit (Asuransi Jiwa Kredit) ini selain memberi proteksi jangka
panjang bagi nasabah, asuransi ini juga sekaligus menjembatani nasabah untuk
melakukan pinjaman kredit di bank. Adapun proteksi tersebut adalah pihak
penanggung (dalam hal ini perusahaan asuransi) bersedia
menjamin/mengembalikan pinjaman debitur jika ternyata debitur meninggal dunia
di dalam masa pengembalian kredit pinjaman atau sesuai dengan perjanjian
bersama antara nasabah dengan bank dan asuransi dalam masa kontrak yang
diperjanjikan, selain itu keluarga nasabah terlindung dari penyitaan harta benda,
karena pihak asuransi akan membantu meringankan beban tersebut dengan
melunasi sisa pinjaman yang disesuaikan dengan daftar penyusutan polis.
Walaupun dengan adanya asuransi jiwa, akan tetapi pihak bank masih akan tetap
menagih kepada debitur apabila debitur mengalami kemacetan. Hal ini karena
asuransi jiwa hanya menutup apabila debitur meninggal dunia atau mengalami
cacat total tetap.
3. Tidak ada ketentuan yang tegas menyangkut dengan seluruh ahli waris yang
berhak menerima klaim (benefit). Hanya disebutkan orang yang ditunjuk sajalah
yang berhak menerima uang tersebut. Asuransi jiwa kredit di dalam KPR tidak
memandang kewarisan menurut hukum apapun baik itu menurut hukum
KUHPerdata maupun hukum Islam. Disini yang menjadi penerima manfaatnya
tetap adalah pihak bank/kreditur.
B. Saran
Adapun saran-saran dalam penulisan tesis ini yaitu:
1. Kedudukan yang tidak seimbang antara bank dan nasabah debitur di dalam
perjanjian kredit tetap harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku khususnya tentang perlindungan konsumen.
2. Pihak penanggung harus memberikan kepastian waktu kapan pembayaran hutang
debitur dapat dibayarkan kepada bank, karena pengembalian hutang yang tepat
waktu akan menimbulkan kepercayaan pihak kreditur (bank) kepada pihak
penanggung (pihak asuransi), sehingga bukti perlindungan pihak penanggung
kepada kreditur dapat dijadikan bukti jaminan nyata.
3. Ahli waris harus diberi penjelasan siapa yang akan menjadi penerima manfaat
dari penutupan asuransi jiwa kredit tersebut bila nasabah debitur tersebut
meninggal di dalam masa pertanggungan dan/atau kredit tersebut sedang berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku - Buku
Afdol. Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil. Surabaya : Airlangga University Press, 2003
Ali, A. Hasymi. Bidang Usaha Asuransi. Jakarta : Bumi Aksara, 1993 Amanat, Anisitus. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW.
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001 Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta : Gema
Insani Press, 1996 Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta, 1996 Badrulzaman, Mariam Darus. Perjanjian Kredit Bank. Bandung : Alumni, 1978 Bako, Ronny Sautma Hotma. Hubungan Bank Dan Nasabah terhadap Produk
Tabungan&Deposito (Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan Di Indonesia Dewasa Ini). Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995
Bungi, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis Dan
Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003
Daliyo, J.B. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Prehallindo, 2001 Darmawi, Herman. Manajemen Asuransi. Jakarta : Bumi Aksara, 2000 Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah
Di Indonesia. Jakarta : Kencana, 2004 Djakfar, Idris dan Taufik Yahya. Kompilasi Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : Dunia
Pustaka Jaya, 1995 Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2000
Fuady, Munir. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002 Greene, Mark R. Risk And Insurance. 3rd Edition. Cincinnati, Ohio : South-Western,
Publishing Co., 1973 Gunanto, H. Asuransi Kebakaran Di Indonesia. Jakarta : Tirta Pustaka, 1984 Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta : Andi, 2004 Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-undangan,
Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996
Hartono, Sri Rejeki. Hukum Asuransi Dan Perusahaan Asuransi. Jakarta : Sinar
Grafika, 2001 Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta : Prenata Media, 2005 Ibrahim, Johannes. Mengupas Tuntas Kredit Komersial Dan Konsumtif Dalam
Perjanjian Kredit Bank (Perspektif Hukum Dan Ekonomi). Bandung : Mandar Maju, 2004
Lee A. Weng, Henry. Peraturan Peradilan Di Daerah-Daerah Luar Jawa Dan
Madura (Rechtsreglement Buitengewesten). Medan : Fakultas Hukum USU, 1987
Lubis, Solly. Politik Dan Hukum Di Era Reformasi. Bandung : Mandar Maju, 2000 Lubis, Suhrawardi K. Dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam. Jakarta : Sinar
Grafika, 1995 Mantaybordir, S., Imam Jauhari dan Agus Hari Widodo. Hukum Piutang Dan Lelang
Negara Di Indonesia. Medan : Pustaka Bangsa, 2002 Mertokusumo, Sudikno. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. Bandung : Citra Aditya
Bakti, 1993 ---------. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta : Liberty, 1991 ---------. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Liberty, 1996 Moleong, Lexy, J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002
Muhammad, Abdulkadir. Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan. Bandung : Alumni, 1978
---------. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999 Muis, Abdul. Hukum Asuransi Dan Bentuk-Bentuk Perasuransian. Medan : FH-USU,
1996 Muslehuddin, Muhammad. Menggugat Asuransi Modern. Jakarta : Lentera, 1999 Pitlo, A. Hukum Waris Menurut KUHPerdata Belanda, Terjemahan Isa Arief.
Jakarta :Intermasa, 1979 Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta : Rineka
Cipta, 2000 Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Hukum Waris Kodifikasi. Surabaya : Airlangga
University Press, 2000 Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Asuransi Di Indonesia. Jakarta : Intermasa, 1986 Purwosutjipto, H.M.N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 6, Hukum
Pertanggungan. Jakarta : Djambatan, 1996 Rahman, Hasanuddin. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di
Indonesia (Panduan Dasar: Legal Officer). Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998
Ramulyo, M. Idris. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan
Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Jakarta : Sinar Grafika, 1999
Salim, A. Abbas. Dasar-Dasar Asuransi: Principles Of Insurance. Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 1995 Salim, Oemar. Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta : Rinneka Cipta,
1991 Sarmadi, A. Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif.
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1997 Sastrawidjaja, Man Suparman. Aspek-Aspek Hukum Asuransi, Dan Surat Berharga.
Bandung : Alumni, 1997
Simanjuntak. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta : Djambatan, 1999 Simanjuntak, Emmy Pangaribuan. Beberapa Aspek Hukum Dagang Di Indonesia.
Jakarta : Bina Cipta, 1997 ---------. Hukum Pertanggungan: Pokok-Pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran
dan Jiwa. Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1990
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3. Jakarta : UI-Press, 1986 Soemitro, Ronny Hamitijo. Metode Penelitian Dan Jurumetri. Jakarta : Ghalia, 1994 Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. XXI. Jakarta : Intermasa, 1987 Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Dan
Kepailitan. Jakarta : Pradnya Paramita, 2000 ---------. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : Pradnya Paramita, 1979 Subroto, Soetandyo Wignyo. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional. Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 1995 Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum: Suatu Pengantar. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002 ---------. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2006 Supramono, Gatot. Perbankan Dan Masalah Kredit (Suatu Tinjauan Yuridis).
Jakarta : Djambatan, 1995 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Edisi Kedua, Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Pustaka, 1995
Tje’aman, Mgs. Edy Putra. Kredit Perbankan Suatu Kajian Yuridis. Yogyakarta :
Liberty, 1989 Untung, Budi. Kredit Perbankan Di Indonesia. Yogyakarta : Andi, 2005 Usman, Fuad dan M. Arief. Security For Life (Hidup Lebih Nyaman Dengan
Berasuransi). Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta : Sinar Grafika, 2002 Widiyono, Try. Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di
Indonesia (simpanan, jasa, & kredit). Bogor : Ghalia Indonesia, 2006 B. Majalah/Koran/Makalah Program Pascasarjana. Pedoman Penulisan Proposal Dan Tesis. Medan : Universitas
Sumatera Utara, 2003 Purnomo, Rifky R. Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit Bank (Study
Terhadap PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya Dan PT. Prudential Life Assurance) Di Medan. Medan : Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, 2006
Raharja, Budi Utami. Hak Jaminan Atas Kredit Pemilikan Rumah (Studi Kasus PT.
Bank Danamon Indonesia, Tbk. dan PT. Bank Sumut Medan). Medan : Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, 2005
Soepraptomo, Heru. Hak Tanggungan Sebagai Pengaman Kredit Perbankan.
Seminar Hak Tanggungan Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Bandung : Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum UNPAD, Citra Aditya Bakti, 1996
Wihardi. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan
Sepeda Motor Melalui Perusahaan Pembiayaan Di Kota Medan. Medan : Sekolah Pascasarjana, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, 2005
C. Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1992 Tanggal 11 Februari 1992
Tentang Usaha Perasuransian Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 Tanggal 25 Maret 1992
Tentang Perbankan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
D. Internet www.bringinlife.co.id tanggal 02 Juli 2007. www.car.co.id tanggal 02 Juli 2007. www.google.com tanggal 28 Juli 2007. www.lawhandbook.sa.gov.au tanggal 30 April 2007. www.mediakonsumen.com tanggal 08 Agustus 2007. www.wikipedia.com tanggal 30 April 2007.