KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI...

12
32 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO MASA KRISIS MASA KRISIS Yulius Kepala Sub Direktorat Perencanaan Ekonomi Makro Bappenas. PENDAHULUAN S ejak dimulainya krisis ekonomi global yang terus berlanjut hingga saat ini—paling Ɵdak sejak dari krisis ekonomi Jepang awal tahun 1990an, krisis Asia Timur tahun 1997/98, krisis keuangan global 2008, dan krisis utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13— paradigma pemikiran kebijakan ekonomi makro mulai mengalami pergeseran. Sampai dengan awal tahun 1980an, secara umum kebijakan ekonomi makro berlandaskan pada pemikiran sebagai berikut. Pertama, kebijakan moneter hanya satu target, yaitu menjaga inasi yang stabil, dengan satu instrumen: pengendalian suku bunga bank sentral. Premis yang mendasari adalah selama Ɵngkat inasi dapat dijaga stabil, dan output gap dapat dipertahankan rendah, maka kebijakan moneter telah melakukan tugasnya dengan baik. RINGKASAN T ujuan tulisan ini adalah menguraikan Ɵnjauan teoriƟs kebijakan makro masa krisis, dibagi dalam beberapa pokok bahasan: (i) paradigma kebijakan ekonomi makro masa stabil sejak sebelum awal 1980an (ii) implementasi kebijakan ekonomi makro sejak terus berulangnya krisis ekonomi sejak awal 1990an (iii) formulasi kebijakan ekonomi makro yang lebih tepat, sejalan dengan perubahan dinamika ekonomi pada masa mendatang yang dilipuƟ keƟdakpasƟan, dan semakin seringnya krisis ekonomi. Kesimpulan yang diperoleh adalah: (i) krisis memperjelas bahwa police maker harus memperhaƟkan banyak target, termasuk komposisi dari output; perilaku harga aset; dan leverage dari berbagai lembaga keuangan (ii) krisis juga memperjelas bahwa banyak instrumen potensial yang Ɵdak digunakan secara maksimal oleh police maker pada saat ekonomi stabil. Rekomendasi kebijakan kedepan adalah (i) mengopƟmalkan instrumen-instrumen kebijakan ekonomi makro pada masa krisis melalui kombinasi kebijakan moneter konvensional dan regulasi lembaga keuangan yang opƟmal; (ii) dan upaya menggunakan automaƟc stabilizer kebijakan fiscal. Kedua, peran kebijakan skal berada pada posisi dibelakang setelah kebijakan moneter, alasan utamanya adalah: selama kebijakan moneter telah dianggap mampu untuk memperkecil output gap, maka kebijakan lainnya kurang diperlukan. Pemikiran yang menjadi perƟmbangan adalah: (i) argumen skepƟs terhadap kebijakan skal dilandasi oleh pemikiran Ricardian Equivalence dan (ii) eksekusi kebijakan skal membutuhkan keputusan poliƟk yang lama. KeƟga, seringkali kebijakan moneter dilakukan Ɵdak memperhaƟkan implikasinya terhadap lembaga keuangan, demikian juga sebaliknya, sehingga Ɵdak terdapat sinkronisasi antara kebijakan ekonomi makro dan regulasi & supervisi yang dilakukan pada lembaga keuangan. Misalnya, kebijakan moneter menaikkan suku

Transcript of KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI...

Page 1: KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139110... · utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 ... SPTK 2013’ (Level

32 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO MASA KRISISMASA KRISIS

YuliusKepala Sub Direktorat Perencanaan Ekonomi Makro Bappenas.

PENDAHULUAN

Sejak dimulainya krisis ekonomi global yang terus berlanjut hingga saat ini—paling dak sejak dari krisis

ekonomi Jepang awal tahun 1990an, krisis Asia Timur tahun 1997/98, krisis keuangan global 2008, dan krisis utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13—paradigma pemikiran kebijakan ekonomi makro mulai mengalami pergeseran.

Sampai dengan awal tahun 1980an, secara umum kebijakan ekonomi makro berlandaskan pada pemikiran sebagai berikut. Pertama, kebijakan moneter hanya satu target, yaitu menjaga infl asi yang stabil, dengan satu instrumen: pengendalian suku bunga bank sentral. Premis yang mendasari adalah selama ngkat infl asi dapat dijaga stabil, dan output gap dapat dipertahankan rendah, maka kebijakan moneter telah melakukan tugasnya dengan baik.

RINGKASAN

Tujuan tulisan ini adalah menguraikan njauan teori s kebijakan makro masa krisis, dibagi dalam beberapa pokok bahasan: (i) paradigma kebijakan ekonomi makro masa stabil sejak sebelum awal 1980an (ii) implementasi kebijakan

ekonomi makro sejak terus berulangnya krisis ekonomi sejak awal 1990an (iii) formulasi kebijakan ekonomi makro yang lebih tepat, sejalan dengan perubahan dinamika ekonomi pada masa mendatang yang dilipu ke dakpas an, dan semakin seringnya krisis ekonomi. Kesimpulan yang diperoleh adalah: (i) krisis memperjelas bahwa police maker harus memperha kan banyak target, termasuk komposisi dari output; perilaku harga aset; dan leverage dari berbagai lembaga keuangan (ii) krisis juga memperjelas bahwa banyak instrumen potensial yang dak digunakan secara maksimal oleh police maker pada saat ekonomi stabil. Rekomendasi kebijakan kedepan adalah (i) mengop malkan instrumen-instrumen kebijakan ekonomi makro pada masa krisis melalui kombinasi kebijakan moneter konvensional dan regulasi lembaga keuangan yang op mal; (ii) dan upaya menggunakan automa c stabilizer kebijakan fi scal.

Kedua, peran kebijakan fi skal berada pada posisi dibelakang setelah kebijakan moneter, alasan utamanya adalah: selama kebijakan moneter telah dianggap mampu untuk memperkecil output gap, maka kebijakan lainnya kurang diperlukan. Pemikiran yang menjadi per mbangan adalah: (i) argumen skep s terhadap kebijakan fi skal dilandasi oleh pemikiran Ricardian Equivalence dan (ii) eksekusi kebijakan fi skal membutuhkan keputusan poli k yang lama.

Ke ga, seringkali kebijakan moneter dilakukan dak memperha kan implikasinya terhadap lembaga

keuangan, demikian juga sebaliknya, sehingga dak terdapat sinkronisasi antara kebijakan ekonomi makro dan regulasi & supervisi yang dilakukan pada lembaga keuangan. Misalnya, kebijakan moneter menaikkan suku

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 65

focus on the feasible institutional arrangements to use subjective well-being measurements for public policy in Indonesia and the institutional capital to support it. At the same time, experiences from different countries of the world will also be considerations, more specifi cally the UK. The emphasis will be placed on UK since they have substantial research literature on the concept of subjective well-being and have managed to progress their interest in public policy during the past 10 years.

This article is based on a research with the same author and title: “Subjective Well-being Measurement for Public Policy in Indonesia” (Esti, 2013). The objective of this article is to raise awareness of national governments, especially Government of Indonesia, regarding the existence and potential roles of subjective well-being measurements for public policy with understanding the institutional capital that is required to support it as well. Specifi cally, this article will give recommendations to Indonesian policy makers on how to design their institutional arrangements considering the policy context and the institutional capital. This recommendations could be transferred as considerations to other national governments globally. For academics, this article is expectedly to contribute to the development of the existing literatures about arranging initial national measurements of subjective well-being for public policy.

Sources of data in the research included primary data and secondary data. Primary data obtained from semi-structured in-depth interviews and questionnaire whereas secondary data obtained from literature review and collecting then analyzing supporting documents. • Literature review

The literature review conducted with the aim of collecting information on the defi nition of subjective well-being, type of subjective well-being measures, importance of subjective well-being measurement, well-being and contexts of policy, and institutional capital based on academic / organizational books and journal articles.

• InterviewsInterviews conducted with the aim of obtaining more in-depth information about subjective well-being measurements from practitioners and policy makers in Indonesia.

Interview questions for practitioners in the Central Statistics Agency, especially team members of SPTK 2013, were structured to inquire more in-depth information on the current institutional arrangements of subjective well-being measurements in Indonesia. Likewise, interview questions for policy makers were structured to collect information about the institutional capital and views to ascertain if the UK experiences and the available literature are applicable to Indonesia. These policy makers are government offi cers which are strongly related with measuring national societal progress in the Ministry of National Development Planning.

• QuestionnaireData were collected by a questionnaire, consist of mainly open-ended questions. The questionnaire was fi lled in by policy makers in the Ministry of National Development Planning and the Coordinating Ministry for People’s Welfare to complete the information collected by interviews.

• Document analysisDocument analysis was used in this thesis as a part of secondary data collection. Document analysis conducted with the aim to gather contextual data with collecting information on the institutional arrangements of subjective well-being measurements in Indonesia and utilization of subjective well-being measurements in international experiences based on books, reports and other relevant reliable publications. Supporting documents collected from Central Statistic Agency of Indonesia (BPS), Coordinating Ministry of People’s Welfare of Indonesia, OECD, Offi ce for National Statistics (in the UK), nef Centre for Well-being (in the UK), and other related organizations. List of documents analyzed in this research could be found in the appendix (Appendix 3).

FINDINGS

Subjective well-being is a relative newcomer in terms of its relevance politically and its robustness empirically. Its conceptual framework dates as far back as to Bentham (1789) discussed in Dolan and Metcalfe

Page 2: KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139110... · utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 ... SPTK 2013’ (Level

64 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

preference of people, for benchmarking and monitoring, and for designing and providing policy strategies (OECD, 2013).

The area of subjective well-being measurements is quite novel and requires further learning. Amongst the key aspect is the role of it for public policy. Helliwell, Layard, and Sachs (2013) pointed out that there is now an increasing worldwide demand to be more strongly aligned policy with what really matters to people as they themselves characterize their lives. In spite of this increasing demand coupled with excessive progress in literature work on subjective well-being during the past few years, the role of subjective well-being for public policy is still doubted by many policy makers. These policy makers, especially in several countries of Europe, are greatly concerned about the consistency of data and carry this opinion that it does not adjust itself with changing times. The main reason is that what people say might be not the same from what they do or that people may not understand what they are saying (Bertrand & Mullainathan, 2001). In addition, they also appear apprehensive on the adequate place for subjective well-being in politics and policy. As mentioned by Abdallah and Mahony (2012), policy makers were concerned that subjective well-being applied in public policy will be viewed as ‘utopian’.

INDONESIAN CONTEXT

The Government of Indonesia has been trying to improve the measurement of their citizens’ societal progress with constructing ‘IKraR’ (People’s Welfare Index) since 2010. One of the main goals of IKraR construction is to enhance the understanding on the condition (well-being) of the people because the current measurements are considered to only focus on macro and economic perspectives. Three dimensions, the economic justice, social justice and democracy and governance are used to calculate the index. Percentage of households that own their own home, percentage of poor people, and percentage of residents who are victims of crime in the last year are some of the indicators used in IKraR measurements (Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia, 2012).

Certain well-being measurements which are adopted in other countries of the world have been taken into account for developing the IKraR. These include the Gross National Happiness in Bhutan, Quality of Life Index in Canada, Prosperity Index in the UK, and The Better Life Index in the OECD countries (Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia, 2012). Yet, the measurement of IKraR still has not incorporated subjective well-being as a vital characteristic of well-being and concentrates only on objective/material features. In a democratic country like Indonesia, individuals prefer to live their lives with the assurance that their needs will be fulfi lled according to the assessment of their circumstances rather than just being evaluated by experts, leaders or policy makers. This is one reason why subjective well-being should be measured due importance in Indonesia. Every individual perceives differently of what constitutes well-being which might actually be different from an objective perspective.

In an effort to complete the well-being picture of Indonesian citizens, since April 2013 the Central Statistics Agency of Indonesia (BPS) has been conducting a new survey to gather the subjective well-being data. It is known as ‘Studi Pengukuran Tingkat Kebahagiaan – SPTK 2013’ (Level of Happiness Measurement Study). The survey collected data from 11,000 households spread over 176 regencies / cities in all provinces. The data generated from this survey can be served at the national level. Specifi c details from households was collected which included the level of life satisfaction related to health, education and skills, employment and income, environment and security in the region of residence, social and family relationships, housing, as well as the assessment of the level of happiness and life satisfaction in general.

SPTK 2013 can be categorized as a subjective well-being measurement that can provide valuable data for formulating public policies. Then again, the users of the data and the benefi ts of this data have not been clearly identifi ed. Many policy makers in Indonesia are not fully aware on the concept of subjective well-being. For some who are aware, the idea of applying subjective well-being for public policy still remains doubtful and cynical, much similar to European policy makers. Hence, this article will

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 33

bunga dak memperha kan apakah bank telah mematuhi regulasi dan supervisi terkait dengan aturan memberikan pinjaman kepada masyarakat (perusahaan) untuk sektor beresiko nggi ataupun dak, karena bila terjadi kenaikan suku bunga secara mendadak dan sangat nggi (melakukan penyesuaian ekonomi untuk mengerem terjadi depresiasi tajam bilai tukar) akan menyebabkan harga aset (sektor beresiko nggi, misalnya proper ) menjadi turun tajam.

Sejalan dengan semakin seringnya krisis ekonomi global sejak awal tahun 1990an, paradigma kebijakan ekonomi makro bergeser. Pertama, kebijakan moneter yang dilakukan masa krisis dianggap dak efek f mendorong perekonomian saat perekonomian berada dalam kondisi liquidity trap, seper yang terjadi di Jepang sejak awal 1990an. Suku bunga nominal yang ditetapkan Bank of Japan (BOJ) sangat rendah, sehingga BOJ dak mempunyai ruang untuk mengefek an kebijakan moneter.

Kedua, krisis ekonomi 1997/98 yang dialami negara-negara di Asia Timur (termasuk Indonesia) memperlihatkan bahwa kebijakan uang ketat yang bertujuan meredakan depresiasi rupiah belum memperhitungkan kondisi perbankan dan perusahaan domes k. Kenaikan suku bunga nggi, yang diiku oleh depresiasi mata uang domes k, memperburuk neraca keuangan perbankan dan perusahaan, yang disebabkan oleh (i) turunnya harga apartemen yang digunakan sebagai kolateral pada masa stabil (ii) perusahaan mengalami kesulitan membayar utang (non performing loan membengkak).

Ke ga, krisis global 2008 telah menyebabkan hampir sebagian besar negara (termasuk negara maju maupun berkembang) bertumpu kepada kebijakan fi skal untuk melakukan s mulus ekonomi. Alasan prak snya adalah, (i) krisis dak dapat diselesaikan hanya dalam waktu kurang dari satu tahun, sehingga pada tahun berikutnya pemerintah dapat melakukan s mulus ekonomi; dan (ii) kebijakan fi skal dapat lebih mudah mendorong sektor riil dan mengurangi dampak krisis untuk masyarakat miskin (pro poor) dengan cepat, dan secara langsung dapat mendorong konsumsi masyarakat, sehingga pada gilirannya pertumbuhan ekonomi didorong tetap nggi.

Berdasarkan kondisi diatas, tulisan ini mempunyai argumen bahwa kebijakan ekonomi makro masa krisis,

yang juga diiringi oleh gejolak dinamika perekonomian yang semakin dak pas (uncertain), telah mengalami pergeseran paradigma baik dalam pemikiran maupun implementasinya.

Tulisan singkat ini dibagi beberapa pokok bahasan: (i) paradigma kebijakan ekonomi makro masa stabil sejak sebelum awal 1980an (ii) implementasi kebijakan ekonomi makro sejak terus berulangnya krisis sejak awal 1990an (iii) formulasi kebijakan ekonomi makro yang lebih tepat, sejalan dengan perubahan dinamika ekonomi pada masa mendatang yang dilipu oleh ke dakpas an, dan semakin seringnya krisis ekonomi (iv) merupakan kesimpulan dan penutup.

KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO MASA STABIL

Secara garis besar kebijakan ekonomi makro pada masa ekonomi stabil (normal) dilandasi pemikiran antara lain sebagai berikut:

Infl asi yang stabil merupakan target utama yang ditujukan kepada bank sentral,1 target ini dilandasi oleh dua premis. Pertama, reputasi gubernur bank sentral sangat dipertaruhkan apakah mampu mengendalikan infl asi atau dak. Kedua, dukungan intelektual yang diberikan oleh mahzab New Keynesian, dalam mahzab ini dikatakan bahwa infl asi yang konstan dan stabil merupakan kebijakan op mal untuk mendorong terjadinya zero output gap.2

Kedua alasan tersebut dapat diar kan bahwa sekalipun pembuat kebijakan sangat memperha kan

1 Walaupun secara eksklusif bukannya bank sentral saja yang dapat membantu mengurangi infl asi, pemerintah juga dapat mengendalikan infl asi, terutama infl asi yang berasal dari sisi penawaran

2 Output Gap atau Produk Domes k Bruto (PDB) Gap adalah selisih antara PDB potensial dan PDB aktual. Perhitungan PDB Gap adalah Y-Y*, dimana Y adalah PDB aktual, dan Y* adalah PDB potensial. Bila hasil perhitungannya posi p maka dikenal dengan infl asi gap, yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan PDB dari sisi permintaan melebih sisi penawaran, yang pada akhirnya akan mendorong infl asi; sebaliknya bila hasilnya nega f maka dikenal dengan is lah resesi gap, yang memungkinkan akan mendorong terjadinya defl asi.

Page 3: KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139110... · utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 ... SPTK 2013’ (Level

34 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

(perduli) dengan perilaku dan gejolak ak vitas perekonomian, maka hal terbaik yang dapat dilakukan adalah tetap menjaga infl asi yang stabil, dak perduli apakah ekonomi berada dalam kondisi chaos; terjadi shock ekonomi yang menyebabkan preferensi konsumen berubah; terjadi perubahan teknologi; ataupun terjadi kenaikan harga minyak dunia. Tetap saja tujuan utama bagi pembuat kebijakan ekonomi makro adalah menjaga infl asi agar tetap terkendali.

Namun demikian, dalam prakteknya retorika mengendalikan infl asi dak sejalan dengan realitas. Hanya beberapa bank sentral yang mampu mengendalikan infl asi. Dalam implementasinya, kebanyakan bank sentral melakukan (i) kebijakan “fl exible infl a on targe ng”, ar nya tetap menjaga infl asi untuk stabil, namun dalam ngkat yang rela f dak rendah (ii) membiarkan headline

infl a on untuk berubah, namun core infl a on tetap dijaga stabil, dengan demikian harga lainnya dapat mengalami kenaikan, contoh administrated price (kenaikan harga minyak) dan kenaikan harga aset (sektor perumahan dan saham).

Terdapat konsensus kuat bahwa infl asi dak hanya stabil tetapi harus juga rendah (sebagian besar bank sentral mentargetkan sekitar 2 persen). Rendahnya infl asi menggiring kepada sebuah diskusi mengenai dampak rendahnya infl asi terhadap kemungkinan terjadinya posisi liquidity trap,3 ar nya sejalan dengan rendahnya infl asi adalah rendahnya suku bunga nominal, sehingga mengakibatkan upaya untuk menurunkan suku bunga nominal menjadi sulit, dengan kata lain ruang untuk melakukan ekspansi kebijakan moneter dalam masa krisis menjadi terbatas.

Namun, kekhawa ran terjadinya posisi liquidity trap karena rendahnya infl asi mendapatkan bantahan/kri kan. Alasannya adalah: semasa bank sentral dapat menjaga komitmennya untuk menaikkan pertumbuhan jumlah uang beredar maka diperkirakan infl asi akan tetap nggi.

3 Liquidity trap adalah situasi dimana ngkat bunga adalah sedemikian rendahnya sehingga masyarakat lebih suka memegang uang, dalam kondisi ini se ap usaha yang dilakukan melalui kebijakan moneter untuk menekan ngkat bunga ke ngkat lebih rendah dalam rangka mendorong investasi yang lebih besar akan sia sia, dan justru akan mengakibatkan bertambahnya jumlah uang dipegang.

Dengan demikian, bank sentral diharapkan akan dapat menggiring masyarakat mempunyai ekspektasi: (i) infl asi akan naik (ii) suku bunga akan turun; dan pada gilirannya (iii) pertumbuhan ekonomi akan nggi. Selanjutnya, bila terjadi shock terhadap perekonomian dalam skala kecil, maka 2 persen infl asi bisa menyediakan bantalan yang cukup bagi bank sentral untuk melakukan ekspansi moneter. Kesimpulannya, fokus kebijakan moneter adalah pen ngnya menjaga komitmen dan kemampuan bank sentral untuk mempengaruhi ekspektasi infl asi dan suku bunga pada masa mendatang.

Sebagai contoh, peris wa terjadinya kondisi liquidity trap pada masa depresi besar (great depression) tahun 1930an, yang diiringi dengan terjadinya defl asi sangat signifi kan dan suku bunga sangat rendah, hanyalah merefl eksikan terjadinya salah dalam pengambilan kebijakan (policy error) yang seharusnya dapat dihindari, yaitu bank sentral dak mampu mempengaruhi ekspektasi masyarakat terkait dengan infl asi dan suku bunga.

Contoh lain terjadi pasa saat masa krisis ekonomi di Japang tahun 1990an, saat itu terjadi defl asi, suku bunga nominal mendeka nol, dan terus menurunnya ak vitas ekonomi. Namun, BOJ dak berkomitmen untuk menaikkan pertumbuhan jumlah uang beredar dan menaikkan ekspektasi infl asi, dan sebagai akibatnya yang terjadi adalah perlambatan ak vitas ekonomi di Jepang.4

Kebijakan moneter hanya berfokus pada satu instrumen, yaitu pengendalian suku bunga, yang dimaksud adalah suku bunga jangka pendek dimana bank sentral secara langsung dapat mengendalikan operasi pasar terbuka (open market opera on). Alasan pemilihan kebijakan suku bunga ini dilandasi oleh dua asumsi. Pertama, dampak riil kebijakan moneter terjadi melalui suku bunga dan harga aset, bukannya melalui kebijakan secara langsung mempengaruhi jumlah uang beredar.5

4 Sebagai catatan, peris wa krisis di Jepang tahun 1990an ini mendapat perha an signifi kan dari Federal Reserve ke ka mengama kemungkinan akan terjadinya defl asi pada tahun 2000an.

5 Kekecualian terjadi pada kebijakan moneter yang dilakukan oleh European Central Bank (ECB), yang dikenal dengan sebutan two pillar policy, dimana ECB juga menggunakan instrumen jumlah uang beredar, namun demikian kebijakan ini sering dikri si karena dak dilandasi fondasi teori yang kuat.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 63

Abstract

Although potential roles of subjective well-being measurement in public policy are already globally recognized by policy makers and academics, there are substantial challenges to the signifi cant utilization of it in public

policy area. These challenges can be overcome if the supporting institutional capital enhanced with full efforts. The measurement can be a substantial input especially in three policy context, which are monitoring progress, informing policy design, and policy appraisal. With the existing institutional arrangements and institutional capital condition in Indonesia, it is not clear whether subjective well-being measurement will play these roles or otherwise. Many policy makers in Indonesia are not fully aware on the concept of subjective well-being. For some who are aware, the idea of applying subjective well-being for public policy still remains doubtful and cynical. Hence, this article will describe some ideas to raise awareness of policy makers, especially national government of Indonesia, regarding the existence and potential roles of subjective well-being measurements for public policy with understanding the institutional capital that is required to support it as well. This will be done by analyzing the existing institutional arrangements in Indonesia compare to international experiences, especially the UK. Next, the institutional capital of national level main stakeholders which linked with national economic and societal progress measurement will be assessed based on the three types of institutional capital and the policy context. These results will lead to recommendations construction on how to design institutional arrangements for subjective well-being measurement considering the policy context and the institutional capital.

Keywords: subjective well-being, measurement, public policy, institutional arrangement, institutional capital

Subjec ve Well-being Measurement for Public Policy in Indonesia

Dwi Ra h S. Es Perencana Pertama di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS,

Jalan Taman Suropati 2, Jakarta 10310. Tel. (021) 3926248, Email: [email protected].

INTRODUCTION

Many efforts have been made during the last decades to shift the assumptions away from the

idea that material well-being primarily determines a prosperous life and towards positioning well-being as the ultimate goal for policy intervention (Stiglitz, Sen, & Fitoussi, 2010; Thompson & Marks, 2008). Consequently, it is necessary to conduct measurements of societal progress which comprehensively evaluate well-being of people in order to formulate better policies. Therefore, deeper understanding of well-being is important. This will essentially cover what describes well-being, method to measure well-being and the usage of well-being for formulating public policy.

According to Stiglitz et al. (2010), there are two key dimensions of well-being known as the objective and the subjective well-being which should be incorporated in statistical offi ces survey. It is the interaction of both of these dimensions, objective (refl ecting on individual situations) and subjective (highlights their opinions and views) which develops well-being. Feelings of happiness and derived satisfaction are integral components of subjective well-being. Careful consideration on the subjective well-being will assist in obtaining detailed and thorough appreciation of people’s lives. Thus, information on subjective well-being proves to be benefi cial in terms of offering balance with other indicators which are utilized for directing the

Page 4: KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139110... · utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 ... SPTK 2013’ (Level

62 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Kraak, A. (2012) Horizontal Coordination, Government Performance and Natioanl Planning: The Possibilities and Limits of the Siuth African States. Politikon: South African Journal of Political Studies, 38:3, 343-365

Matei, A. I and Dogaru, Tatiana-Camelia (2012) Coordination of Public Policies in Romania: An Empirical Analysis. Procedia – Social and Behavioral Sciences [online]. Available from: http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2183078 [Accesed on June 6, 2013]

Metcalfe, L. (1994) International policy coordination and public management reform. International Review of of Administrative Sciences [online]. Available from: http;//ras.sagepub.com/content/60/2/271.full.pdf+html [Accesed on June 27, 2013]

Metcalfe, L. (1997) Flexible Federalism. Paper presented at the conference on Civil Service Systems in Comparative Perspective. Indiana University, Bloomington, Indiana. April 1997

OECD (2009) Coordination at the centre of government for better policy making [online]. Available from: http://www.sigmaweb.org/publications/42742582.pdf [Accesed on June 22, 2013]

Pelkonen, A., Teravainen, T. and Waltari, S.T. (2008) Assessing policy coordination capacity: higher education, science, and technology policies in Finland. Science and Public Policy, 35 (4), pp. 241 ? 252.

Peters, B. G. (1998) Managing Horizontal Government: The Politics of Coordination. Canadian Centre for management Development

Pierre, J and G. B. Peters (2000) Governance, politics and the State. London: Macmillan.

Seidman, H and Gilmour, R., S. (1986) Politics, position, and power: from the positive to the regulatory state. USA: Oxford University Press.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 35

Kedua, seluruh suku bunga dan harga aset dihubungkan melalui mekanisme arbitrage,6 sehingga ngkat suku bunga jangka panjang merupakan nilai rata-rata ter mbang dari (i) penyesuaian resiko suku bunga jangka pendek pada masa mendatang; dan (ii) penyesuaian harga aset yang secara mendasar merupakan penyesuaian resiko dari nilai saat ini (present value) pada harga aset.

Berlandaskan dari dua asumsi tersebut, maka bank sentral hanya butuh untuk mempengaruhi ekspektasi satu suku bunga jangka pendek (suku bunga bank sentral), dengan demikian suku bunga lainnya secara otoma s akan mengiku . Dengan demikian, melakukan intervensi pada lebih satu pasar, misalnya pada suku bunga jangka pendek dan juga suku bunga jangka panjang untuk pasar obligasi, merupakan kebijakan yang dak konsisten; dan bentuk dari pengulangan kebijakan (redundant). Implikasinya, secara implisit maupun eksplisit, kebijakan moneter harus dilakukan secara transparan, dapat diprediksi (predictable), dan sejalan dengan Tailor Rule.7

Kedua asumsi diatas juga mendasari, bahwa kebijakan moneter dak terlalu berdampak signifi kan terhadap lembaga keuangan, kecuali terhadap industri perbankan (terutama sekali bank komersial), dengan alasan antara lain sebagai berikut: Kredit perbankan dianggap sebagai suatu yang unik, dalam ar an dak dapat disub tusikan dengan mekanisme kredit dari lembaga keuangan lainnya, sehingga hal ini menggiring tentang pen ngnya jalur kredit (credit channel) dimana kebijakan moneter juga dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi melalui jumlah cadangan bank (quan ty of reserve), dan pada akhirnya jumlah kredit bank yang disalurkan kepada masyarakat.

Perbankan merupakan lembaga yang mentranformasikan likuiditas, berasal dari tabungan

6 Perilaku membeli sebuah produk pada satu pasar dan menjualnya di pasar yang lain pada harga yang lebih nggi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar karena terjadinya perbedaan harga pada kedua pasar tersebut.

7 Dalam ilmu ekonomi, Taylor Rule adalah kebijakan moneter yang menetapkan seberapa besar bank sentral seharusnya merubah suku bunga nominal dalam merespon kondisi infl asi; output dan kondisi perekonomian lainnya. Khususnya, Taylor Rule menetapkan bahwa se ap kenaikan infl asi sebesar satu poin, bank sentral harus menaikkan suku bunga nominal lebih dari satu poin. Hal ini dikenal dengan is lah Taylor Principle.

deposito (sifatnya jangka pendek) selanjutnya disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman (sifatnya jangka panjang). Bila terjadi krisis, dan bank sentral selanjutnya menerapkan kebijakan kenaikan suku bunga, maka dikhawa rkan akan terjadi mismatch dalam neraca keuangan bank. Krisis-yang menyebabkan deposan menarik dananya dari bank-akan mendorong terjadinya bank run 8karena deposan menarik uangnya dari bank, sementara bank kehabisan dana (butuh waktu lama bagi peminjam mengembalikan uangnya karena bersifat jangka panjang).

Dengan demikian, dari alasan pen ngnya kebijakan monter terhadap industri perbankan tersebut, maka diperlukannya (i) regulasi dan supervisi untuk sektor perbankan (ii) perlu adanya lembaga penjamin deposito; dan (iii) juga pen ngnya bank sentral menjadi penyangga terakhir (lender of the last resort) bila terjadi krisis perbankan. Namun, perha an terhadap lembaga keuangan lainnya dianggap dak dibutuhkan untuk menyusun kebijakan ekonomi makro.

Kebijakan fi skal dak mempunyai peran besar dalam konteks kebijakan makro.

Setelah terjadi depresi besar dunia tahun 1930an dan munculnya pemikiran Keynes, kebijakan fi skal dianggap sebagai alat utama kebijakan ekonomi makro. Selanjutnya, tahun 1960an dan 1970an, kebijakan fi skal dan moneter merupakan kebijakan yang mempunyai fungsi setara, dimana kedua instrumen tersebut merupakan alat mencapai dua target keseimbangan ekonomi, yaitu target keseimbangan internal dan eksternal (internal dan external balance).9

8 Bank run terjadi ke ka sejumlah besar nasabah mengambil depositnya karena nasabah tersebut percaya bahwa bank dalam posisi insolvent (kondisi dimana perusahaan dak mempunyai kemampuan untuk membayar utangnya), atau menuju insolvent pada masa mendatang. Ke ka bank run tersebut terjadi terus menerus, bank run akan menuju posisi self-fulfi lling prophecy, yaitu kondisi dimana semakin banyak nasabah mengambil depositnya, maka akan semakin besar akan terjadi kondisi default, dan terus mendorong nasabah lainnya akan menguras depositonya. Hal ini pada akhirnya akan mendorong bank menuju posisi bangkrut.

9 Dalam ilmu ekonomi internal balance (keseimbangan internal) adalah situasi dimana sebuah negara dapat mempertahankan kondisi kesempatan kerja penuh (full employment) dan harga yang stabil (price level stability); sementara itu kondisi external balance (keseimbangan eksternal) adalah posisi dimana neraca transaksi berjalan (current account) dak dalam kondisi surplus atau defi sit yang terlalu besar. Untuk menuju kondisi internal dan external

Page 5: KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139110... · utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 ... SPTK 2013’ (Level

36 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Namun demikian, dalam dua dekade belakangan ini, kebijakan fi skal berada dibelakang kebijakan moneter, dengan alasan antara lain. Pertama, pandangan skep s dampak kebijakan fi skal yang dilandasi argumen Ricardian Equivalence.10 Kedua, jika kebijakan moneter dapat menjaga stabilitas output gap, sangat kecil alasan untuk menggunakan instrumen lainnya, dalam konteks ini, penolakan kebijakan fi skal sebagai alat untuk penyesuaian terhadap gejolak perekonomian disebabkan telah makin berkembangnya pasar keuangan yang mendorong efek fi tas kebijakan moneter. Ke ga, belum dalamnya pasar obligasi (terutama di negara berkembang) menyebabkan kurang pen ngnya kebijakan fi skal. Keempat, terjadinya lag dalam menyusun dan mengimplementasikan kebijakan fi skal, bersamaan dengan pendeknya waktu krisis dan resesi yang terjadi, mengimplikasikan bahwa kebijakan fi skal datang terlambat untuk mendorong perekonomian. Kelima, kebijakan fi skal lebih banyak terdistorsi oleh kebijakan poli k, dibanding kebijakan moneter.

Penolakan terhadap kebijakan fi skal sebagai alat untuk menstabilkan ekonomi sangat kuat secara akademis. Namun demikian, pemikiran akademis dak sejalan dengan realitas. S mulus kebijakan fi skal secara umum diterima dalam menghadapi kejadian shock dalam perekonomian (sebagai contoh, selama terjadi krisis ekonomi di Jepang awal tahun 1990an). Bahkan pembuat kebijakan menggunakan kebijakan fi skal selama

balance ini membutuhkan kebijakan fi skal dan moneter.

10 Argumen Ricardian Equivalence adalah suatu posisi dimana konsumen menginternalkan kondisi keterbatasan anggaran (budget constraint), dengan demikian ming untuk mengubah kebijakan pajak dak akan berpengaruh terhadap pengeluaran konsumen. Sehingga, Ricardian Equivalence menjelaskan bahwa dak menjadi masalah apakah pemerintah membiayai pengeluarannya melalui utang atau menaikkan pajak karena dampaknya terhadap perekonomian akan sama. Dengan kata lain, bila pemerintah berupaya mendapatkan uang dari menerbitkan obligasi atau menaikkan pajak, karena menerbitkan obligasi merupakan utang, dan utang harus dibayar pada masa mendatang, sama ar nya dengan menaikkan pajak untuk masa mendatang (future), dengan demikian pilihannya menaikkan pajak “sekarang (now)” atau “nan (later)” Misalnya, pemerintah butuh uang untuk membiayai pengelurannya dengan mengenakan pajak untuk masa mendatang (later), ini sama ar nya masyarakat harus membayar pajak pada masa mendatang, sehingga masyarakat harus menabung uangnya untuk membayar pajak untuk masa datang dengan cara membeli obligasi, dan mengurangi konsumsinya. Kesimpulannya, dampak terhadap sisi permintaan (aggregate demand) adalah akan sama bila pemerintah memberlakukan pajak saat ini (now).

masa resesi ekonomi yang normal (normal recessions). Tambahan pula, secara prinsip kebijakan fi skal dianggap baik (walaupun sangat elusif dalam prakteknya) untuk negara berkembang yang mempunyai keterbatasan automa c stabilizer.11

Regulasi dan supervisi terhadap sistem keuangan bukanlah merupakan bagian yang menjadi perha an dari pembuat kebijakan ekonomi makro, demikian pula sebaliknya.

Dengan mengabaikannya dampak kebijakan ekonomi makro terhadap lembaga keuangan, regulasi dan supervisi terhadap lembaga keuangan hanya berfokus dengan memperha kan apa yang terjadi terhadap lembaga keuangan dan pasar lembaga keuangan tersebut saja.

Sebagaimana kita ketahui, tujuan dari regulasi dan supervisi terhadap lembaga keuangan adalah mentargetkan terbentuknya lembaga keuangan yang sehat, yang pada akhirnya bisa menghindari terjadinya kegagalan pasar disektor keuangan disebabkan oleh informasi asimetris (asymmetric informa on), keterbatasan sumberdana keuangan; dan terjadinya ke daksempurnaan pasar disebabkan oleh terdapatnya garansi pemerintah secara implisit ataupun eksplisit bila lembaga keuangan mengalami krisis.

Namun demikian, supervisi dan regulasi seper diuraikan diatas belum terlaksana dengan sempurna, terutama di negara berkembang, disebabkan aturan pelaksanaan supervisi dan regulasi tersebut belum dapat diterapkan dengan konsisten dan tegas; dan juga dak memperhitungkan bila terjadi perubahan kebijakan makro.12 Contohnya, kebijakan penaikan suku bunga

11 Automa c stabilizers adalah sebuah kebijakan yang mengurangi fl uktuasi/gejolak perekonomian dengan tanpa mengubah kebijakan. Misalnya sistem pajak pendapatan (income tax) dalam sebuah negara secara otoma s akan mengurangi pajak ke ka terjadi resesi. Income tax biasanya dibuat dengan sistem progresif, ar nya pendapatan rumah tangga akan turun ke ka resesi, sehingga rumah tangga secara otoma s membayar income tax lebih rendah saat resesi, sehingga pendapatan pemerintah dari income tax cenderung menurun cepat dibandingkan pendapatan rumah tangga.

12 Pada masa economy boom seringkali ekspansi kredit perbankan dikucurkan dengan tanpa regulasi yang prudensial, sehingga dana dikucurkan untuk sektor beresiko nggi, misalnya untuk membangun apartemen. Kucuran dana besar ini cenderung

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 61

the formulated activities are actually runs as agreed at the beginning. Although fi nal draft of RKP as the result of deliberation series can be signifi cantly changed in the parliament meeting does not infl uence the quality of coordination, this action causing signifi cant problems for implementing ministries/agencies.

OVERALL CONCLUSION

From the discussion above it can be concluded that overall, policy coordination does exist during the formulation of RKP and being conducted fairly effective. Although many constraints can be found in each level of the scale, it is important to be noted that all elements of effective policy coordination are covered and manifested in level 1 – 8 with the exception on level 6 where arbitration of policy differences is not a tradition in solving disputes in policy making process in Indonesia. Using Metcalfe’s scale, the coordination capacity during the formulation of RKP is placed at level

8 particularly due to its ability to accomplish level 1-8 in a fairly effective way. Although Musrenbang series successfully establish government priority collaborately, this does not necessarily mean that RKP is used as the overall government strategy. In the implementation, establishing central priorities (level 8) is one thing, while treating those priorities as overall government strategy (level 9) is another thing. Moreover, this condition is worsened with the position and limited role of Bappenas in planning and budgeting process as well as political agreement that ignore technocratic planning. This fi nding fi ts with Chang’s (2004) opinion which suggests that government need an agency that has the power and legitimacy to coordinate activities across ministries and resolve potential confl icts between them. Without strong institutional arrangement and no political backing, planning units usually fail (Gumede, 2009). In term of barriers to coordination, it can be summarized that some constraints that frequently mentioned in this study and considered to be the root of the problem such as unclear rules of the game, ineffective time management, sectoral ego and less effective communication channel.

REFERENCESBakvis, H. And Juillet, L. (2004a) The Strategic Management of Horizontal Issues: Lessons in Interdepartmental

Coordination in the Canadian Government [online]. http://faculty.arts.ubc.ca/campbell/sog-conf/papers/sog2004-bakvis-juillet.pdf [Accesed on June 22, 2013]

Bakvis, H. And juillet, L. (2004b) The Horizontal Challenge: Line Departments, Central Agencies and Leadership. Vancouver: Canada School of Public Service.

Benson, T (2011) Cross-Sectoral Coordination in the Public Sector: A Challenge to Leveraging Agriculture for Improving Nutritionand Health [online]. Available from: http://www.ifpri.org/sites/default/fi les/publications/oc69ch17.pdf [Accesed on July 25, 2013]

Boston, J., (1992) The Problems of Policy Coordination: The New Zealand Experience. Country Report. An International Journal of Policy and Administration 5(1)

Chang, H. (2004) Institutional Foundations for Effective Design and Implementation of Trade and Industrial Policies in Least Developed economies in C. Soludo, O. Ogbu and H. Chang (eds.). The Politic of Trade and Industrial Policy in Africa. Forced Consensus? New jersey: Africa World Press.

Gumede, W. (2009) Comparative Development Planning [online]. Available from: http://www.dbsa.org/Research/DPD%20Working%20papers%20documents/DPD%20No%208.pdf?AspxAutoDetectCookieSupport=1[Accesed on July 17, 2013]

Hogl, K., (2002) Backgound Paper on Inter-Sectoral Co-ordination [online]. Available from: http://www.metla.fi /eu/cost/e19/hogl1.pdf [Accesed on June 27, 2013]

Page 6: KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139110... · utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 ... SPTK 2013’ (Level

60 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

e) Search for agreement among ministries and agenciesAt this stage, more pro-active positive coordination takes place. To reach consensus voluntarily, Bappenas provides a mechanism for ministries/agencies through Musrenbang series, particularly during trilateral meeting. Other efforts to solve dispute are the arrangement of discussion forum in form of coordination meeting, closed meeting and coordinating ministry’s meeting. Although there are some constraints that affect the effectiveness of this process such as time limitation, unclear implementation due to the inexistency of SOP, dispute in the substance and budget allocation and too many form to be fi lled in during the meeting, these efforts are able to formulate agreement among ministries and agencies.

f) Arbitration of policy differencesIn this level of policy coordination, if disagreement still exists, Metcalfe suggests arbitration of policy differences is needed and must be led by central machinery. In the context of the formulation of RKP, this negative form is not being implemented. So far, there is no need to have arbitrator as all disputes can be solved through negotiation in higher level of policy makers. To solve disputes, even though Bappenas giving the guideline to ministries/agencies to conduct their actions, the role of Bappenas is not too deep as it can only give the guideline in relation with national priority and sectoral priority.

g) Setting limits on ministerial actionIn this context, Bappenas plays active steering role in the formulation of RKP, particularly in solving higher level coordination issue or problem involved defi ning what ministries must not do or using budget constraints. This role is manifested by regulating the role of each ministry/agency, producing joint circular letter and conducting Musrenbang series. Some challenges in this process are time constraint and the uncovered substance in RKP. During the formulation of RKP, this form of coordination can be accepted by all ministries/agencies despite its negative impact in

limiting ministries/agencies policy discretion.

h) Establishing central prioritiesTo accomplish Level 8 of coordination process, central government must establish central priority which is formulated collaboratively. In this context Bappenas accomplish this level as clear governmental priorities (RKP) that were formulated collaboratively are produced through Musrenbang series. However, it doesn’t specifi cally mention ways to solve differences across ministries/agencies. Moreover, there are other challenges in this level such as not all issues can be covered in national priorities. On the other hand current national priorities are considered as too broad, unfocused and unclear in term of focus and locus. To some extent RKP acts as the most relevant policies guideline document for all sectors.

i) Overall government strategyRKP is generally treated as the overall government strategy as it contains general policy in national and regional level. However, this document should be elaborated through its derivatives documents. Moreover, the emergence of other government’ documents that operate nationally and many political agreements and government’ instructions and policies that are not in line with RKP weaken the function of RKP as the overall government strategy signifi cantly. This level cannot be achieved as RKP is not treated as the overall government strategy.

j) Key informants perception on the role of Bappenas, Musrenbangnas and RKP The institutional arrangement that set Bappenas position in the same level with other implementing ministries/agencies and the absence of budget power affects its ability to coordinate national development planning signifi cantly. Bappenas role needs to be strengthened with the authority in budgeting so that a predetermined plan can be carried out in accordance with the existing budget. In the context of Musrenbangnas, this forum considered to be fairly effective as a forum for central and regional government to share information. The main challenge in this process is on how to ensure

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 37

dalam upaya mengurangi krisis mata uang (dalam upaya untuk mengurangi depresiasi mata uang yang tajam) akan berdampak buruk pada neraca keuangan bila (i) bank sangat besar memberikan pinjaman dana untuk sektor yang beresiko nggi (misalnya pasar aset: saham; sektor proper ; nilai tukar) dikarenakan lemahnya regulasi dan supervisi perbankan, sehingga bila terjadi kenaikan suku bunga secara mendadak karena krisis akan menurunkan harga aset yang pada gilirannya akan menumpuknya non performing loan, sehingga perusahaan kesulitan membayar utang akibat naiknya suku bunga (ii) bank mempunyai sifat memberikan pinjaman dalam jangka panjang; dan menerima deposito dalam jangka lebih pendek, bila mismatch ini dak diatur dengan secara tegas dan prudensial maka kebijakan kenaikan suku bunga secara mendadak pada masa krisis akan memperburuk neraca keuangan perbankan (iii) aturan prudensial yang dak membatasi bank (atau mempersyaratkan memberlakukan hedging) untuk meminjam uang dengan mata uang asing akan memperburuk neraca keuangan perbankan bila terjadi depresiasi mata uang yang tajam pada masa krisis.

KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO MASA KRISIS

Sejak awal 1990an, yang ditandai dengan semakin seringnya terjadi krisis ekonomi dan perubahan dinamika perekonomian yang semakin dak pas , telah mendorong beberapa pergeseran pemikiran dan implementasi kebijakan ekonomi makro, antara lain:

Infl asi yang stabil merupakah hal pen ng, namun dak cukup (it is necessary but not suffi cient).

Di negara maju, pada kenyataannya core infl a on berada dalam kondisi stabil (rendah) pada saat sebelum krisis dimulai. Berdasarkan kondisi ini maka muncul argumen bahwa core infl a on bukanlah alat ukur yang

mengarah terjadinya perekonomian yang overhea ng, dan selanjutnya bank sentral mengambil kebijakan menaikkan suku bunga. Menaikkan suku bunga ini dak mengindahkan apakah perbankan mempunyai pinjaman untuk beresiko nggi tersebut (apartemen). Kenaikan suku bunga menyebabkan peminjam harus membayar utang lebih besar (dibanding sebelum kenaikan suku bunga) yang pada akhirnya memperburuk neraca keuangan peminjam (perusahaan), dan pada gilirannya akan menumpuk terjadinya jumlah non performing loan di sektor perbankan.

tepat untuk menjamin dak terjadinya krisis ekonomi. Sehingga mbul pemikiran bahwa pembuat kebijakan perlu memperha kan kenaikan harga minyak dan harga aset untuk menghitung infl asi.

Argumen diatas tentunya dak sejalan dengan kesimpulan yang didapatkan secara teori s (yang menyarankan untuk menggunakan indeks sejalan dengan penentuan ketegaran harga/s cky prices, yaitu menggunakan core infl a on) yang merefl eksikan bahwa sudah cukup hanya berfokus kepada satu indeks, semasa indeks tersebut rendah dan stabil. Dengan demikian, krisis ekonomi membuat policy maker dak hanya bisa percaya hanya pada satu indeks saja seper halnya core infl a on.

Dengan demikian, bisa saja terjadi kondisi infl asi yang stabil namun output gap dapat berbeda-beda (bisa besar ataupun kecil), sehingga seringkali terjadi trade off antara infl asi dan output gap, trade off tersebut adalah infl asi rendah atau stabil namun output gap besar, sehingga hal ini dak sejalan dengan Mahzab New Keynesian. Seper yang terjadi pada masa sebelum krisis tahun 1990an, infl asi dan output gap stabil, namun perilaku beberapa harga aset, jumlah kredit yang disalurkan ke perbankan; dan komposisi output (komposisi yang mendorong infl asi, misalnya terlalu ngginya investasi untuk sektor perumahan, atau terlalu ngginya ngkat konsumsi, atau terlalu besarnya defi sit neraca transaksi berjalan) merupakan pencetus terjadinya infl asi nggi.

Infl asi rendah dapat membatasi ruang gerak kebijakan moneter dalam masa krisis. Ke ka krisis global yang dimulai pada awal 1990an yang ditandai dengan melemahnya sisi permintaan (aggregate demand) dari PDB, hampir sebagai besar bank sentral (terutama di negara maju) secara cepat melakukan kebijakan moneter menurunkan suku bunga hingga mendeka nol.

Sebagai implikasinya, banyak negara yang menggantungkan harapan kepada kebijakan fi skal dan berupaya untuk memperbesar defi sit anggaran, dibandingkan menggunakan kebijakan moneter dikarenakan adanya terdapatnya suku bunga nol yang membuat bank sentral dak berkeinginan menurunkan suku bunga nominal untuk pendorong pertumbuhan ekonomi.

Page 7: KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139110... · utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 ... SPTK 2013’ (Level

38 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Berdasarkan kondisi diatas, hampir sebagian bank sentral menghindari terjadinya: defl asi yang makin besar; suku bunga riil yang makin besar; dan output gap yang makin besar. Sehingga terbuk terjadinya suku bunga nominal mendeka nol mempunyai dampak nega f yang besar. Dengan demikian, paradigma yang muncul pada masa krisis adalah, infl asi yang lebih nggi dan juga suku bunga nominal yang nggi akan memberikan ruang bagi bank sentral melakukan kebijakan moneter, dan pada akhirnya ak vitas perekonomian dapat membaik.

Peran lembaga keuangan pen ng diperhitungkan dalam membuat kebijakan ekonomi makro. Dalam perekonomian, pasar tersegmentasi sehingga investor beroperasi dalam pasar yang lebih spesifi k, sehingga kebanyakan dari investor tersebut terhubungkan oleh mekanisme arbitrase. Namun demikian, ke ka beberapa investor menarik dananya dari pasar (dengan berbagai alasan, misalnya karena terjadinya kerugian dalam ak vitasnya; kehilangan akses terhadap sumber pendanaan; atau masalah kelembagaan dalam perusahaan itu sendiri); maka dampak perubahan harga yang terjadi pada satu pasar akan berakibat pada pasar lainnya. Dengan demikian, bila hal ini terjadi (investor menarik dananya), maka dana yang tersedia hanya yang berada di deposito perbankan saja, sementara itu yang terjadi dalam perekonomian adalah permintaan dana masyarakat melebihi dari dana yang ada di bank. Dengan demikian, suku bunga yang terjadi pada masing-masing pasar dak lagi dapat dihubungkan dengan mekanisme arbitrase, dan pada gilirannya kebijakan suku bunga bank sentral dak lagi cukup berpengaruh untuk mempengaruhi perekonomian. Sehingga, intervensi bank sentral dengan kebijakan suku bunga yang telah ditetapkan (baik dengan menggunakan aset sebagai kolateral atau melalui pembelian secara langsung) dapat memberikan pengaruh terhadap berbagai ragam harga aset. Dengan alasan inilah yang menyebabkan bank sentral pada masa krisis melakukan kebijakan credit easing.13

13 Dalam upaya merespon krisis global 2008-09, Ben Bernanke (Gubernur Bank Sentral AS) memperkenalkan program yang dikenal dengan is lah credit easing, yang mirip dengan BoJ dikenal dengan Quan ta ve Easing (QE). Berbeda dengan QE, yang merupakan ekspansi neraca keuangan bank sentral dengan fokus kebijakan pada cadangan bank sentral; sementara itu dalam credit easing, fokusnya adalah komposisi campuran antara pinjaman dan surat berharga yang dimiliki, dan bagaimana komposisi tersebut dapat mempengaruhi jumlah kredit kepada perusahaan dan rumah tangga.

Persoalan lain yang sering muncul pada masa krisis ekonomi adalah saat terjadinya boom dan bust dalam perkonomian, mendorong terjadinya deviasi harga aset dari harga fundamentalnya, yang disebabkan bukan karena permintaan yang nggi terhadap aset tersebut, namun disebabkan oleh faktor spekulasi yang terjadi pada aset tersebut. Kondisi inilah yang mendorong terjadinya pembelian besar-besaran (eporia) aset saat perekonomian sedang bust, dan menjual aset tersebut saat perekonomian dalam kondisi boom, yang mendorong terdeviasinya harga aset dari harga fundamental.

Kebijakan fi skal bersifat countercyclical14 merupakan instrumen pen ng pada masa krisis. Krisis ekonomi telah mengembalikan kebijakan fi skal menjadi pusat dari kebijakan makro, yang dilandasi oleh dua alasan utama. Pertama, pada saat kondisi dimana kebijakan moneter (termasuk kebijakan yang mempengaruhi kredit perbankan dan quan ta ve easing15 ) memiliki keterbatasan, pembuat kebijakan dak punya pilihan lain selain memilih kebijakan fi skal. Kedua, dari sejak awal telah diperkirakan krisis berlangsung panjang (long las ng), sehingga jelas bahwa s mulus fi skal akan mempunyai pengaruh posi p terhadap perekonomian.

Dengan demikikian dapat disimpulkan bahwa tentang pen ngnya mempunyai ruang fi skal (fi scal space) yang besar, hal ini sejalan dengan diskusi awal terkait dengan infl asi dan ruang kebijakan moneter untuk menurunkan suku bunga nominal. Beberapa negara maju memasuki masa krisis dengan kondisi utang yang besar dan kesulitan sumber dana untuk menjalankan kebijakan fi skal. Hal yang sama, beberapa emerging countries (terutama di Eropa Timur) yang menjalankan kebijakan procyclical yang didorong oleh konsumsi masyarakat yang nggi (consump on boom) dipaksa untuk memotong

pengeluaran pemerintah dan menaikkan pajak. Hal kontras terjadi pada beberapa emerging countries lainnya

14 Cyclical fl uctua on (fl uktuasi siklus) merupakan gerakan jangka pendek, baik fl uktuasi keatas maupun ke bawah dari beberapa variabel ekonomi di sekitar garis secular trend (trend sekuler) dalam jangka panjang. Dengan demikian counter cyclical merupakan kebijakan yang melawan cyclical tersebut.

15 Quan ta ve easing (QE) merupakan kebijakan moneter yang dak konvensional digunakan bank sentral untuk mendorong

perekonomian, ke ka kebijakan moneter yang konvensional dak efek f. Dalam bentuk QE ini, bank sentral membeli aset fi nancial untuk menginjeksi perekonomian dengan sejumlah uang.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 59

government action, coordination become crucial as there are multi actor rules with horizontal relation within government that increase the demand to coordinate and synergize. Moreover, government must be able to coordinate themselves in order to coordinate other governance actors. These reasons enhance the need for policy coordination in public sector management. Therefore, to ensure public action work consistently, developing and implementing formal mechanism to coordinate governmental initiatives become a necessity.

However, there are several barriers for effective policy coordination as showed in Table 1. A simple important step to overcome these substantial and operational barriers as suggested by Benson (2011) is to ensure the importance of an activity to be implemented. As coordination is a practical issue, once an activity is treated politically important, coordination efforts will follow.

In the implementation, coordination takes many forms as illustrates in Table 2. However, from these opinion, in many instances the most successful institutional arrangement has been to have a Coordination and Planning Unit within the Prime Minister of President Offi ce (Gumede, 2009).

CONCLUSION BASED ON METCALFE’S SCALE OF POLICY COORDINATION

a) Independent decision making by ministries/agenciesBased on the research fi ndings and analysis, it is noted that the fi rst level of Metcalfe’s scale of policy coordination is achieved due to relatively higher degree of autonomy and independent of action that the ministries/agencies play within their policy domain. However, there are some challenges to improve this level of coordination such as diffi culties in policy synchronization, unnecessary overlapping regulation, overlapping activities and sectoral ego. Although these challenges become constraint for the coordination, each ministry/agency retains its independent of action.

b) Communication to other ministries/agencies (information exchange)In this level of policy coordination, this research shows that during the formulation of RKP, Bappenas provides communication channels for ministries/agencies to exchange information either by formal communication using the mechanism as stated in Law 25/2004 or informal communication among them. There are some efforts that can be done to improve this level of coordination such as establishing reliable integrated database that can be accessed anytime and anywhere, improving the communication management, reducing sectoral ego, and improving data management. Despite the constraints in this level of coordination, information exchange through the established mechanism considered to be fairly effective.

c) Consultation with other ministries/agenciesIn this coordination level, various types of two way communication are conducted by Bappenas include giving respond to ministries/agencies concern, giving its view, providing advice and making criticism. Although there are some challenges in this level of coordination such as time constraint, internal communication problem, allocation inconsistency in planning documents and disagreement that requires higher level of coordination, the process of coordination in this level is fairly effective.

d) Avoiding divergences among ministries/agenciesTo avoid divergences of views among ministries/agencies so that the government can speak with one voice, there are some mechanisms being conducted by Bappenas and ministries/agencies such as discuss the issues in musrenbang series especially during trilateral meeting and arrange coordination meeting in the level of Echelon I and higher. These actions are considered to be quite effective to solve issues that are urged and crucial although some constraints such as time constraint, budget limitation and strong sectoral ego become signifi cant challenges that need to be solved wisely.

Page 8: KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139110... · utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 ... SPTK 2013’ (Level

58 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Regarding the advantages of Metcalfe’s scale that allows analysing procedures step by step from the perspective of process, according to Matei and Dogaru (2012), this scale also has disadvantages as it cannot capture the qualitative results of coordination. Moreover, this scale suggests the need of an institutional policy making system that is more centrally organized or focus on setting out actors’ networks for policy-making. Another critique to the scale is that there may be too much emphasis on consensus with less attention to the fact that consensus can be achieved at the expense of the more sophisticated policy options. As a result, there is possibility for a trade-off between a drive for consensus and the ability to create new and innovative policy (Pelkonen et al., 2008).

LITERATURE CONCLUSION

As national development planning remains to be an important state activity, especially its signifi cance in achieving national obejctives, planning needs to be used on a continuous basis as part of a process of development policy management. Coordination is crucial for effective planning in a systemwhere multi actors are involved. Particularly in today’s complex environment, policy coordination become an important issue due to some factors, such as fragmentation in an organization, public policy complexity, sectoral interdependence, and problems in society that are increasingly cutting across sectors and areas of responsibility and do not correspond to the existing ministerial structures. From the side of

Table-1. Coordination Barriers (Benson, 2011)

Table-2. Coordination Structure (Bakvis and Juillet, 2004)

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 39

yang mengalami krisis dengan kondisi utang yang rendah, sehingga negara-negara ini dapat menggunakan kebijakan fi skal dengan agresif dengan tanpa memper mbangkan kondisi kesinambungan fi skal pada masa mendatang. Respon kebijakan fi skal secara agresif telah dijamin dapat berhasil, terutama dalam masa krisis. Namun, namun sering kali muncul kri k yang menjelaskan kelemahan kebijakan fi skal yang bersifat discre onary untuk masa ekonomi lebih normal, terutama terkait dengan terdapat lag yang panjang untuk memformulasikan; menetapkan; dan mengimplementasikan kebijakan fi skal (terutama sekali karena buruknya proses poli k).

Krisis juga telah memberikan pelajaran bahwa banyak hal yang dak diketahui secara dalam oleh policy maker sehubungan dengan dampak kebijakan fi skal, terutama terkait dengan, misalnya: komposisi paket kebijakan fi skal; menaikkan pengeluaran pemerintah atau mengurangi pajak; faktor yang mendasari kesinambungan utang pemerintah. Hal ini merupakan topik bahasan yang sangat jarang didiskusikan saat masa sebelum krisis.

Regulasi terhadap lembaga keuangan mempunyai dampak terhadap kebijakan ekonomi makro. Regulasi yang dak pruden terhadap lembaga keuangan dapat memperburuk kondisi ekonomi makro. Berikut beberapa contoh fakta yang terjadi. Lemahnya regulasi sektor keuangan memberikan sumbangan besar dalam mentrasformasikan turunnya harga sektor perumahan di Amerika terhadap krisis ekonomi global, dan pada akhirnya menyebabkan police maker di beberapa negara melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi makro. Police maker di beberapa negara, sebagai contoh yang terjadi pada krisis ekonomi Jepang pada tahun 1990an, juga telah melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi makro, ke ka lemahnya regulasi sektor keuangan memberikan insen f kepada bank untuk menciptakan ak vitas off -balance sheet dalam neraca keuangan, dalam upaya untuk menghindari aturan prudensial perbankan dan meningkatkan modal. Demikian juga dengan regulasi yang dak prudensial telah mendorong lembaga keuangan seper AIG, dak mematuhi aturan lembaga keuangan di pasar keuangan. Dari contoh-contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa aturan yang ditujukan untuk menggaransi terjadinya lembaga keuangan yang baik, bertolak belakang dengan sistem stabilitas sektor

keuangan yang ada dikarenakan dak prudensialnya aturan diterapkan, dan pada gilirannya membuat police maker melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi makro.

REFORMULASI KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO

Menginden fi kasi kelemahan kebijakan makro saat krisis secara rela f dak sulit, namun mendefi nisikan kebijakan makro yang cocok untuk menghadapi krisis adalah hal yang dak mudah. Meskipun demikian, krisis ekonomi memperlihatkan bahwa kebijakan ekonomi makro harus mempunyai banyak target yang perlu diintegrasikan, sehingga krisis mengingatkan kita bahwa policy maker mempunyai banyak instrumen, mulai dari kebijakan moneter yang luar biasa (exo c) ke instrumen fi skal, hingga instrumen regulasi sektor keuangan.

Pen ng untuk dipertegas sejak awal bahwa hampir dari seluruh elemen yang ada pada masa ekonomi normal—termasuk kesimpulan yang didapatkan dari teori ekokomi makro—tetap digunakan, antara lain: target utamanya tetap output dan stabilitas ekonomi. Selanjutnya, hipotesa natural rate of unemployment16 tetap berlaku, paling dak untuk mendapatkan perkiraan yang cukup, dan pembuat kebijakan seharusnya dak mengasumsikan bahwa terjadi trade off jangka panjang antara infl asi dan pengangguran. Dengan demikian, infl asi yang stabil tetap merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter; dan kesinambungan fi skal tetap merupakan esensi utama, dak hanya dalam jangka panjang, tetapi juga terhadap ekspektasi jangka pendek.

Haruskah target infl asi dinaikkan? Pertanyaan yang muncul adalah haruskan pembuat kebijakan membuat target infl asi yang lebih nggi pada saat ekonomi dalam kondisi normal atau stabil, agar supaya memberikan ruang kepada bank sentral untuk melakukan kebijakan moneter pada saat terjadi shock dalam perekonomian?

Pencapaian infl asi rendah melalui kebijakan sentral bank yang independen merupakan sebuah

16 The natural rate of unemployment adalah ngkat pengangguran (unemployment) umum yang sejalan dengan ngkat infl asi yang stabil.

Page 9: KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139110... · utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 ... SPTK 2013’ (Level

40 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

prestasi yang baik, terutama pada beberapa emerging countries. Sehingga, untuk menjawab pertanyaan diatas, mengimplikasikan bahwa pembuat kebijakan diharapkan untuk menjawab untung ruginya (cost benefi t) dari infl asi.

Infl a on tax 17secara jelas akan dapat mendistorsikan perekonomian. Banyak terjadinya distorsi dari infl asi berasal dari sistem perpajakan (tax system), yang bersifat dak netral terhadap infl asi, misalnya berasal dari

sekeranjang nilai pajak nominal (nominal tax bracket) atau dari pengurangan pembayaran bunga secara nominal.

Tentunya terkait dengan distorsi ini dapat diperbaiki dengan memberlakukan ngkat op malisasi infl asi yang lebih nggi, misalnya, jika infl asi yang lebih nggi terkait dengan makin ngginya vola litas infl asi, maka indexed bonds dapat memproteksi investor dari terjadinya resiko infl asi.

Terkait dengan distorsi lainnya yang perlu diperhitungkan cost and benefi tnya adalah (i) turunnya nilai uang secara riil dan terdispersinya harga rela f18 dan (ii) dapat mengubah struktur perekonomian yang pada gilirannya memperburuk efek fi tas kebijakan moneter.

Dengan demikian, terkait dengan dampak infl asi yang menyebabkan distorsi dalam perekonomian, kata kunci untuk menjawab pertanyaan diatas adalah: apakah biaya infl asi tersebut melebihi dari potensi keuntungan bila nilai nominal suku bunga mendeka batas nol?

Mengkombinasikan kebijakan moneter dan regulasi sektor keuangan. Krisis ekonomi telah memberikan pelajaran bahwa kebijakan suku bunga rendah menghadapi beberapa persoalan, antara lain (i) suku bunga rendah dapat mendorong perusahaan dalam posisi excess leverage19 (ii)

17 Infl a on tax adalah kondisi dimana berkurangnya nilai uang karena memegang uang kas atau obligasi tetap, karena digrogo oleh infl asi.

18 Meskipun hal ini secara fakta empiris sulit ditelusuri bila ngkat infl asi masih bernilai satu digit.

19 Leverage atau capital gearing (pengungkit mudal) adalah proporsi dari modal pinjaman berbunga tetap (loan capital) terhadap modal saham (share capital) suatu perusahaan. Apabila hampir seluruh modal perusahaan berasal dari saham-saham yang diterbitkan dan sebagian kecil saja yang berasal dari pinjaman bunga tetap, maka perusahaan mempunyai leverage yang rendah, demikian juga

suku bunga rendah mendorong bank memberikan pinjaman kepada perusahaan/individu yang mempunyai ak vitas beresiko nggi; dan (iii) suku bunga rendah mendorong terjadinya terjadinya deviasi nggi antara harga aset dari harga fundamental. Sebaliknya, jika kebijakan suku bunga nggi yang diterapkan, maka biaya (cost) yang ditanggung

adalah terjadi output gap yang lebih besar.

Untuk menjawab pertanyaan ini maka bank sentral dapat menggunakan kebijakan lain, selain penetapan suku bunga, yaitu kebijakan regulasi sektor keuangan yang dikenal dengan is lah macropruden al, misalnya: (i) jika terdapat excess leverage, maka aturan rasio kecukupan modal dapat dinaikkan; (ii) jika likuiditas terlalu rendah, maka aturan rasio likuiditas dapat diperkenalkan, dan jika dibutuhkan dapat dinaikkan (iii) untuk memperkecil harga sektor perumahan yang terlalu nggi, maka rasio loan-to-value20 dapat dikurangi (iv) untuk membatasi kenaikan harga saham, maka nilai margin requirement21 dapat di ngkatkan.

Jika kebijakan moneter dan aturan regulasi dikombinasikan, maka yang terjadi adalah regulasi dan mekanisme prudensial perlu memperha kan dimensi kebijakan ekonomi makro. Sehingga alat kebijakan regulasi dan prudensial yang bersifat macropruden al (misalnya: rasio kecukupan modal; rasio likuiditas; rasio loan-to-value; dan margin requirement) perlu diberlakukan untuk memantau perkembangan lembaga keuangan. Sebagaimana keputusan kebijakan moneter, alat macropruden al seharusnya terus diperbaharui secara regular; dan dapat diprediksi dalam upaya untuk memaksimal keefek fannya melalui posisi kebijakan yang

sebaliknya.

20 Loan-to-value ra os: Nilai maksimum rasio loan-to value menaik dapat digunakan untuk mengurangi resiko sistemik dalam episode boom-bust di pasar sektor property. Dengan membatasi sejumlah pinjaman dibawah nilai property, maka rasio loan-to-value dapat menolong untuk membatasi leverage rumah tangga.

21 Margin buying adalah membeli surat berharga dengan kas dari broker, dengan menggunakan surat berharga lain sebagai kolateral. Hal ini mempunyai dampak untuk memperbesar/menambah keuntungan atau kerugian dari surat berharga. Net value (nilai bersih) merupakan perbedaan antara nilai surat berharga dan pinjaman, yang sama besarnya jumlah yang dimiliki perusahan dalam bentuk kas. Nilai ini jumlahnya harus diatas nilai minimum margin requirement, yang bertujuan untuk memproteksi broker bila mengalami penurunan nilai surat berharga dikarenakan investor dak lagi mau memperpanjang pinjamannya.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 57

ASSESSING THE EFFECTIVENESS OF POLICY COORDINATION CAPACITY

Coordination has drawn several researchers’ attention since it becomes the key factor for the national governance effectiveness and for its participation in different constructs (Peters, 2006, Bouckaert et al. 2010, Metcalfe, 1994, 1996). Numerous theoretical studies has been conducted not only to outline a clear defi nition of public policy coordination concept, but also to build the implementation and evaluation of policy coordination mechanism. One of the tools that can be used to assess public policy coordination capacity was developed by Les Metcalfe in 1994. In this scale there are 9 level of coordination capacity. The policy coordination scale is summarized in Figure 1.

Figure-1. Policy Coordination Scale (Metcalfe, 1994)

There are 9 levels in Metcalfe’s policy coordination scale. The lowest level is independent decision making by ministries/agencies. In this level each actor remains autonomous in their public policy domain and acts independently. The second level is communication to other ministries/agencies (information exchange). The element of communication and information sharing are added to this level to allow each ministry to inform each other about the arising problems and how they intend to solve those problems within their domain. There is a need for the existence of reliable and accepted channels of regular communication. However, there are no procedures that enable the actors to infl uence each other decision. Consultation with other ministries is provided in level three. This level offers ministries an opportunity to have two-way communication through consultation and feedback during the process of policy formulation. The fourth level adds the components of balancing different actor perspectives to avoid differences between ministries. This level ensures that

actors do not take divergent negotiation positions and that the government has one voice. However, this is done only to certain degree when clear and open divergences views are avoided. Level fi ve of the scale is fi nding for agreement among ministries/agencies. This level provide a positive position as there is a recognition of interdependence and mutual interest between ministries in order to achieve consensus on complementary policies and common goals achievement. Level six is judging the divergences between actors. This level comprises coordination action when ministries/agencies are not able to reach agreement on their own. In this case, third party is needed, normally the centre of government, to coordinate the action. Level seven deals with the parameters setting for organizations. During this process, a central actors in decision making process has a more active role, including setting the limits of other ministries/agencies action. Usually, these parameters take into consideration the action limits of other actors. In level eight, collaboratively prepared of clear government priorities exists and gives a defi nite pattern and directions to be followed by the line ministries in order to have a coherent framework for the formulation of the policy. The overall government strategy is the highest level of coordination within this scale.

It is worth to stress that many problems can be solved at lower level without the necessity to apply the higher level of coordination. Meanwhile, the higher levels of coordination effectiveness depend on the reliability of lower level capacities. Accordingly, this logic shows that stability and reliability of a coordination system depends on building the necessary capacities based on the sequence of the scale in fi gure 1 (Hogl, 2002).

A contrast perspective to this arise from the conventional management that frequently start from the assumption that the fi rst and most urgent task is in defi ning overall priorities and broad strategies as represented in level 7 and 8. This implicitly weakens the reliability of all the others levels of policy coordination capacity. As a consequent, Metcalfe (1997, p.14) claims that “… m ission statements, political programmes and other expressions of broad priorities are liable to be empty rhetoric without the infrastructure of coordination”.

Page 10: KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139110... · utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 ... SPTK 2013’ (Level

56 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

HORIZONTAL COORDINATION STRUCTURE

There are numerous organisational forms that formed as government respond to the need for horizontal coordination. According to Bakvis and Juillet (2004b p. 5) these may range from informal networking across departments to formal inter-departmental committees, from project-oriented medium term Task Teams to relatively autonomous parastatal agencies endowed with resources, authority and a degree of permanency. Some organizational forms of horizontal coordination are described as follows.

First, the informal coordination among different organisations. The rise of information and communication technologies has increased informal coordination and cooperation as it enables like-minded individuals who work in different organisations but share common objectives or agendas to generate networks. These informal networks are ‘playing a critical role in implementation and displacing traditional organizational forms, including hierarchical ones’ (Bakvis and Juillet, 2004a, p. 14). In addition, Peters (1998, p. 49) suggests that these informal mechanisms are more effective in solving problems rather than the formal structure.

Second, the establishment of inter-departmental committees. This form of coordination is the most used formal mechanism in promoting horizontal coordination. However its success in generating new thinking is unlikely to happen (Peters, 1998 p.37) especially in most wicked problem context where committees often require redefi ning existing policy positions as a solution. To decide hard choices among competing demands, the need for some central political authority to force signifi cant resolution becomes necessity.

Third, ‘Task teams’, ‘task forces’, or ‘working group’ are form of committee that usually appointed by government when a new policy area or when there is a great deal of uncertainty about the root causes and solutions to a problem arise. These committees work for a limited time and expected to come up with recommendations about the best way forward. However, time limitation in formulating solution and

unclear defi nition of issues may cease the relevance and existence of these organisations. Peters (1998, p.10) claims that most of the time this type of committees are unsuccessful due to the above constraints.

Fourth, a more high-level strategy to achieve horizontal coordination particularly around cross sectoral issues is the establishment of central agencies. These agencies act as government advocates for the cross-sectoral issues they represent. Ansell (2000, p.315) sees that these agencies are critical due to their role as government arm’s length and are able to adopt ‘integrated’ policy strategies as well as act as a hub for private and public actors engaged in service provision and planning. Another critical point from this form of horizontal coordination is the role of senior leadership in government and cabinet that will determine the success of central agencies work. Bakvis and Juillet (2004b, p.17) argue that in the end, most horizontal work mean that central agencies with their authority are needed to decide hard choices among competing interest as the departments cannot decide it by themselves. This notion also stressed by Chang (2004, p.168) by suggesting that government need an agency that has the power and legitimacy to coordinate activities across ministries and resolve potential confl icts between them.

Fifth, the strongest institutional option by far, which is also favoured by many developmental states is the establishment of a Coordination Unit at the centre of government, in the Prime Minister or President’s offi ce. Gumede (2009, p.7) claims that this unit succeed because they are directly steered by the political ‘chief executive’ and because of that acquire the necessary legitimacy.

Bakvis and Juillet (2004b, p.16) claim that there is no single instrument or class of instrument that is suffi cient by itself in fostering the required interdepartmental cooperation. Therefore they suggest a combination of instruments. However, it is proved that the most infl uential, in many instances, the most successful institutional arrangement has been to have a Coordination and Planning Unit within the Prime Minister or President’s Offi ce.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 41

kredibel dan dapat dipahami. Dalam hal ini, tantangan utamanya adalah mendapatkan posisi trade-off yang benar antara sistem yang canggih (dapat melakukan penyesuaian (fi ne-tuned) terhadap terjadinya resiko sistemik], dan pendekatan berdasarkan aturan dan regulasi sederhana yang mudah diimplementasikan.

Infl a on Targe ng dan Intervensi Terhadap Nilai Tukar. Untuk kasus negara maju, bank sentral yang mengadopsi kebijakan infl a on targe ng secara khusus mempunyai argumen bahwa bank sentral hanya memperha kan kondisi nilai tukar jika mempunyai pengaruh terhadap infl asi. Namun, untuk negara berkembang, bank sentral sangat memperha kan kondisi nilai tukar mata uang; dan juga melakukan intervensi di pasar mata uang dalam upaya untuk menstabilkan vola litas mata uang; dan juga sering menetapkan ngkat nilai tukar mata uang.

Fluktuasi besar nilai tukar dipengaruhi oleh tajamnya aliran modal keluar (seper yang terjadi pada pasa krisis) atau faktor lainnya yang dapat mengganggu ak vitas ekonomi. Demikian juga, apresiasi nilai tukar yang tajam dapat memperburuk sektor tradable, dan pada akhirnya dapat mengurangi laju pertumbuhan ekspor. Tambahan pula, ke ka terdapat porsi yang besar dalam kontrak domes k yang didominasi oleh mata uang asing, maka fl uktuasi tajam dalam nilai tukar (terutama sekali depresiasi mata uang) dapat memperburuk neraca keuangan perusahaan, yang pada akhirnya memperburuk stabilitas keuangan; yang pada gilirannya dapat memperburuk perekonomian secara keseluruhan.

Dengan demikian, bank sentral di negara ber-kembang harus mempertegas bahwa stabilitas nilai tukar juga merupakan merupakan tujuan utama kebijakan moneter, tentu saja bukanlah mengimplikasikan bahwa infl a on targe ng harus di nggalkan. Sehingga, paling dak dalam jangka pendek, dalam rezim lalu lintas aliran

modal terbuka, bank sentral mempunyai alat kebijakan dalam upaya untuk memperbanyak cadangan devisa dan upaya untuk melakukan strerilisasi.22 Dalam konteks

22 Steriliza on ndakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk meniadakan dampak pengaruh uang beredar yang disebabkan oleh surplus atau defi sit neraca pembayaran, misalnya bank sentral melakukan kebijakan operasi pasar terbuka dengan bertujuan untuk menetralkan pengaruh dari operasi pasar nilai tukar.

ini dapat disimpulkan bahwa dengan menjaga stabilitas nilai tukar maka bank sentral dapat mengkontrol target eksternal, sementara itu, target internal bisa diserahkan kepada kebijakan pengendalian suku bunga.

Tentu saja, sterilisasi yang dilakukan oleh bank sentral mempunyai keterbatasan, sterilisasi dapat dilakukan jika tekanan terhadap aliran modal (capital account) cukup besar dan berlangsung lama. Keterbatasan ini sangat spesifi k untuk ap negara dan akan sangat tergantung dari keterbukaan sektor keuangan sebuah negara. Ke ka bank sentral menghadapi keterbatasan tersebut, maka penerapan kebijakan infl a on targe ng yang ingin diterapkan secara konsisten menjadi dak op mal, dan pada akhirnya gejolak yang terjadi pada nilai tukar merupakan hal yang harus menjadi perha an pen ng. Hal ini memberikan contoh lain tentang pen ngnya hubungan antara kebijakan moneter dan regulasi lembaga keuangan seper kita diskusikan pada bagian sebelumnya. Sebagai contoh, jika regulasi sektor keuangan dapat mencegah terjadinya kontrak menggunakan dollar (atau mengharuskan kepada perusahaan untuk melakukan hedging bila akan melakukan kontrak dalam dolar), maka akan memberikan kebebasan bagi kebijakan moneter untuk membiarkan nilai tukar bergerak.

Menyediakan Likuiditas Lebih Banyak dalam Perekonomian. Krisis ekonomi mendorong bank sentral memperluas ruang dan skala ak vitasnya dak hanya sebagai lenders of last resort. Bank sentral memperbesar likuiditas yang disun kkan ke masyarakat untuk mendorong lembaga keuangan non-bank; dan melakukan intervensi secara langsung (dengan membeli) atau secara dak langsung (menerima aset yang digunakan sebagai

kolateral) dalam ak vitas pasar aset yang lebih luas. Pertanyaannya: apakah kebijakan ini akan terus dilakukan pada masa ekonomi normal?

Sebagai contoh, jika persoalan kekurangan likuiditas datang dari larinya investor dari pasar tertentu atau karena terjadinya coordina on problem misalnya karena bank run, maka pemerintah dapat melakukan intervensi. Dengan demikian, pemerintah (berdasarkan tugas dan perannya, dan juga mempunyai dana yang bersifat jangka panjang) dapat menggan kan peran swasta dikarenakan masyarakat kekurangan likuiditas.

Page 11: KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139110... · utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 ... SPTK 2013’ (Level

42 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Terdapat dua argumen yang menentang perlunya pemerintah untuk memperbesar likuiditas dalam perekonomian. Pertama, pemberikan likuiditas yang berasal karena larinya investor swasta merupakan persoalan solvency. Sehingga, pemberikan likuditas ke masyarakat akan memperburuk neraca keuangan pemerintah; dan dapat mendorong pemerintah akan selalu melakukan bailout, terus mendorong praktek moral hazard, sehingga pada gilirannya akan terus mendorong ak vitas beresiko. Kedua, pemberian likuiditas akan mendorong terjadinya lebih banyak mismatch dalam neraca keuangan bank karena lebih banyaknya pinjaman (bersifat jangka panjang) dan deposito (bersifat lebih pendek), sehingga bank akan kekurangan dana yang bersifat lebih likuid.

Menciptakan Ruang Fiskal Lebih Besar Pada Masa Ekonomi Baik. Pelajaran utama dari krisis adalah dibutuhkannya ruang fi skal untuk melakukan kebijakan defi sit anggaran lebih besar. Terdapat analogi antara kebutuhan ruang fi skal dan kebutuhan suku bunga nominal yang lebih nggi. Jika pemerintah mempunya ruang lebih besar untuk menurunkan suku bunga dan melakukan ekspansi fi skal, maka pemerintah akan lebih mudah melakukan penyesuaian akibat krisis ekonomi. Selanjutnya, ngkat kebutuhan penyesuaian fi skal akan sangat besar (dalam proses pemulihan ekonomi), disamping pemerintah juga harus berupaya mengurangi utang dengan tantangan akan terjadinya aging popula on dan beban pembayaran pensiun dan program kesehatan untuk masa mendatang. Sehingga pelajaran yang sangat jelas dari krisis adalah target utang seharusnya lebih rendah dibanding sebelum masa krisis. Implikasi kebijakan untuk masa mendatang (ke ka akan semakin seringnya terjadi fl uktuasi ekonomi) adalah penyesuaian fi skal adalah suatu keharusan, dan jika perkonomian ingin pulih lebih cepat (bila terjadi krisis) maka harus dilakukan pengurangan nilai utang per GDP secara signifi kan, dari pada melakukan kebijakan menaikkan pengeluaran pemerintah dan mengurangi pajak.

Ide untuk menciptakan tambahan ruang fi skal pada masa mendatang; dan memas kan bahwa saat economic boom perlu diperbaikinya posisi fi skal, dari pada hanya melakukan kebijakan s mulus fi skal untuk menghadapi fl uktuasi ekonomi, bukanlah hal baru, namun hal ini

menjadi lebih pen ng saat ekonomi menghadapi krisis. Untuk memperbaiki posisi fi skal tersebut yang perlu dilakukan adalah: membentuk mekanisme fi skal jangka menengah; komitmen yang kredibel untuk mengurangi utang per GDP; aturan fi skal yang jelas bila terjadi krisis ekonomi. Tambahan pula, pembentukan mekanisme pengeluaran pemerintah berdasarkan sisi penerimaan jangka panjang akan dapat mengurangi pengeluaran pemerintah yang belebihan pada masa economy boom. Selanjutnya, menghilangkan pendapatan pemerintah yang diperuntukkan untuk anggaran spesifi k akan dapat menghindari pemotongan pengeluaran pemerintah ke ka terjadi pendapatan pemerintah mengalami penurunan.

Membentuk mekanisme Automa c Fiscal Stabilizers yang Lebih Baik. Seper diuraikan pada bagian sebelumnya, terdapat problem dengan kebijakan fi skal yang bersifat discre onary, yaitu discre onary fi scal datang terlambat untuk dapat memulihkan ekonomi akibat dari krisis. Sehingga, mbul pemikiran untuk mengembangkan mekanisme kebijakan fi skal yang bersifat automa c stabilizer. Dalam hal ini, kita harus membedakan antara, pertama, true automa c stabilizer yaitu yang mempunyai sifat: berkurangnya trasfer atau naiknya pendapatan pajak berdasarkan kondisi fl uktuasi perekonomian dan, kedua, terdapatnya aturan yang mendorong transfer dan pajak sehingga mempunyai nilai yang berbeda pada saat terjadinya fl uktuasi ekonomi.

Bentuk pertama merupakan kombinasi dari (i) pengeluran pemerintah yang bersifat rigid dengan terdapatnya kondisi nilai elas sitas dari pendapatan pemerintah terhadap output adalah satu (ii) terdapatnya program asuransi sosial (iii) sifat dari pajak pendapatan yang bersifat progresif. Dalam hal ini, kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah membuat pajak pendapatan lebih progresif atau membuat program asuransi sosial lebih besar. Namun, bentuk kebijakan ini lebih berlandaskan untuk pemerataan pendapatan dibandingkan upaya untuk penyesuaian ekonomi bila menghadapi krisis.

Bentuk kebijakan kedua akan lebih baik dibanding pertama. Dari sisi pajak, kebijakan yang bersifat temporary tax police dengan target utama adalah rumah tangga berpendapatan rendah, misalnya pemotongan

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 55

2008). Solutions are not possible to be formulated by individual ministry, but rather require coordination and cooperation from several ministries across government that act as a whole (Kraak, 2012).

In many successful developing countries, effi cient planning has proved to be an effective tool for achieving development objectives. In order to have effi cient planning, effective management of interdependent policies across the state administration must be set in place fi rst. As argued by Kraak (2012), effective horizontal coordination is a key pre-requisite for national planning capabilities attainment. He suggests that effi cient planning can not be attained without effective horizontal coordination. However, fi nding the right formula for coordination in today’s complex environment is a challenging task for the government to be accomplished.

ORGANIZATIONAL BARRIERS FOR CROSS SECTORAL ACTION

In the context of cross-sectoral action, there are some organizational barriers that affect the effectiveness of coordination. Although government bureaucracies have emerged as a generally successful solution to the management of states activities problem, however most bureaucracies are not organized in a manner that facilitates broad, effective efforts to address problems requiring actions across sectors as most governments are organized administratively within a framework of sectoral agencies.

According to Benson (2011), there are three overlapping barriers to effective joint action across government sectors. First, the sectoral worldview that tends to be applied by sectoral specialists. The expertise of sectoral specialists is applied within the context of formally stated mandates and objectives, which distinguish areas of institutional specialization within the government bureaucracy as a whole and defi ne expected courses of action. These sectoral priorities are very important in planning process as they are the basis for sectoral ministries to make substantive claims on state resources. In this case, cross-sectoral efforts

face the problem of funding, as these issues do not represent a priority area of focus for any of the sectors involved.

The second barrier is competing for resources across sector. Generally, the government budgeting and personnel management of resource allocation process is not supporting to mount cross sectoral action. Therefore, each sector must compete with other sectors in order to acquire the resources. The best analogy for this condition can be viewed as a zero sum-game. Funding that goes to another sector is viewed as a lost for other sectors, even if the funding is for cross sectoral activities. This condition is worsened with limited incentives for carrying out join coordinated activities.

Third, limited information for action. Cross sectoral actions need suffi cient expertise in other sector. Sectoral leaders’ understanding on synergies would be increased by the need of greater capacity for analysis of these kinds of cross-cutting development challenges that can be attained by concerted effort. However, it seems unlikely that sectors will try to build expertise on issues outside their own sphere.

Based on the above explanation, it is important to note that there are substantial and operational barriers that prevent cross sectoral activities being managed effectively. Interestingly, most of these barriers are simply a refl ection of rational sectoral organization that enables government to fulfi l many of its duties. This means that most government are organized in a way that makes coordination across sector diffi cult to achieve. Consequently, ministry should be cautious to launch activity that depends on coordination with other ministries as the risk that the coordination will not happen is too big. In order to make cross sectoral coordination become effective, Benson (2011) suggests the fi rst important step need to be conducted is simply to ensure the importance of an activity to be implemented. As cross sectoral coordination is a practical issue, once an activity is treated as politically important, it will stimulate leadership for action on the problems in various sectors. As a result, coordinated efforts will follow.

Page 12: KKEBIJAKAN EKONOMI MAKRO EBIJAKAN EKONOMI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139110... · utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 ... SPTK 2013’ (Level

54 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

In order to have a coherent public policy and proper implementation of government decision, it is important for the government to establish a strong policy coordination mechanism among government institutions. In a broad sense, coordination enables a condition where parts of a system work together in more effective, more smoothly, or more harmoniously way than if no coordination exist. Coordination among government institutions become important due to the fact that in modern government, responsibilites are distributed to several ministries and care must be taken to ensure coordination work in the numerous situations where results depend on collaboration of those ministries and other public organizations (Metcalfe, 1997).

Moreover, some important factors such as increasing international interdependence, fragmentation and decentralisation of the public sector and the shift from top-down government to multi-centred governance are calling to enhance policy coordination (Pierre and Peters, 2000). This need is further emphasized by the fact that today key problems in society are increasingly cutting across sectors and areas of responsibility and do not correspond to the existing ministerial structures (Pelkonen et al., 2008). Solutions are not possible to be formulated by individual ministry, but rather require more effective horizontal coordination and cooperation from several ministries across government that act as a whole (Kraak, 2012). In order to ensure public action works consistently, developing and implementing formal mechanism to coordinate governmental initiatives become a necessity. Consequently, governments need an intra-governmental coordination system at the national level (Matei and Dogaru, 2012).

This research attempts to explore the coordination capacity of national development planning process, particularly in the formulation of Government Annual Work Plan (RKP) in central government level in Indonesia. By assessing the effectiveness and identifying the challenges of the policy coordination process in the formulation of RKP, it is expected that this research will be able to identify the area of improvement for better coordination process in the formulation of national development plan.

POLICY COORDINATION

In order to have a coherent public policy and proper implementation of government decision, it is important for the government to establish a strong policy coordination mechanism among government institutions. Generally, coordination refers to a situation in which certain policies or programmes work together coherently and complementarily. For instance, coordination can also be characterized with the following attributes: “the avoidance of overlap and inconsistencies, the quest for coherence and an agreed ordering of priorities, the minimisation of confl ict, and the promotion of a comprehensive, ‘whole government’ perspective instead of narrow sectoral views” (Boston, 1992). Coordination can also being defi ned as “managing dependencies between activities and interdependencies among actors”, “to make various different things work effectively as a whole”, or “the regulation of diverse elements into an integrated and harmonious operation” (OECD, 2009).

In the context of public sector issue, coordination doesn’t always relate to central control and eliminate the autonomy of ministries or regional government in developing their own policy. It is more appropriate to see coordination as an interactive process, and by applying openness, sharing information, and cooperation in the search for optimal solutions the best result can be achieved (OECD, 2009). Coordination among government institutions become important due to the fact that in modern government, responsibilites are distributed to several ministries and care must be taken to ensure coordination work in the numerous situations where results depend on collaboration of those ministries and other public organizations (Metcalfe, 1997). Moreover, some important factors such as increasing international interdependence, fragmentation and decentralisation of the public sector and the shift from top-down government to multi-centred governance are calling for enhanced policy coordination (Pierre and Peters, 2000). This need is further emphasized by the fact that today key problems in society are increasingly cutting across sectors and areas of responsibility and do not correspond to the existing ministerial structures (Pelkonen et al.,

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 43

pajak yang dibayarkan kembali; persentase pengurangan utang pajak; atau kebijakan pengurangan pajak untuk perusahaan sejalan dengan fl uktuasi ekonomi. Dari sisi transfer, temporary transfer policy dengan target utama adalah rumah tangga berpendapatan rendah atau rumah tangga yang mempunyai keterbatasan likuiditas.

PENUTUP, KESIMPULAN & REKOMENDASI

Krisis ekonomi bukanlah dicetuskan oleh kebijakan ekonomi makro yang salah. Namun, krisis memperlihatkan kelemahan kebijakan ekonomi makro yang dilakukan pada saat sebelum krisis dimulai. Sehingga, policy maker didorong untuk memformulasikan kebijakan ekonomi makro pada masa krisis, dan juga mendorong pemerintah memformulasikan arsitektur baru kebijakan ekonomi makro.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah, dalam banyak hal, kebijakan ekonomi makro yang dilakukan pada masa krisis dak banyak berbeda dengan masa stabil, tujuan utamanya tetap mencapai output yang nggi, dan infl asi yang stabil. Namun, krisis memperjelas

bahwa police maker harus memperha kan banyak target, termasuk komposisi dari output; perilaku harga aset; dan leverage dari berbagai lembaga keuangan. Krisis juga memperjelas bahwa banyak instrumen potensial yang dak digunakan secara maksimal oleh police maker pada saat ekonomi stabil (sebelum krisis terjadi). Dengan demikian, tantangannya adalah bagaimana menggunakan

instrumen-instrumen yang ada dengan cara terbaik. Kombinasi dari kebijakan moneter konvensional dan regulasi lembaga keuangan; dan menggunakan automa c stabilizer untuk kebijakan fi skal, merupakan cara yang baik untuk menghadapi masa krisis (walaupun pada masa mendatang kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam lagi).

Kesimpulan berikutnya adalah, krisis juga mempertegas kembali kebijakan yang harus dilakukan, walaupun sebenarnya policy maker sudah tahu juga bahkan pada saat ekonomi stabil. Rendahnya utang pemerintah pada masa ekonomi stabil akan memberikan ruang yang cukup untuk melakukan kebijakan fi skal jika dibutuhkan. Terdapatnya pengukuran yang baik dalam menilai regulasi yang prudensial; dan keberadaan data akurat dan trasnparan dalam area moneter, fi skal dan sektor keuangan merupakan hal pen ng yang harus dimiliki sebuah negara. Dengan terdapatnya banyak pelajaran dari krisis, tugas policy maker dak hanya harus membuat kebijakan yang inova f, namun juga dapat membantu negara untuk melakukan penyesuaian ekonomi bila krisis terjadi.

Rekomendasi yang kami sampai sampaikan dalam tulisan ini adalah (i) mengkombinasikan kebijakan moneter dan regulasi sektor keuangan (ii) menerapkan kebijakan infl a on targe ng dan mengendalikan nilai tukar (iii) menyediakan likuiditas lebih banyak dalam perekonomian (iv) menciptakan ruang fi skal lebih besar pada masa ekonomi baik (v) membentuk mekanisme automa c fi scal stabilizers yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKABlanchard, Olivier and Gian Maria Milesi-Ferre (2009), Global Imbalance: In Midstream?, in IMF Staff Posi on

Paper, December, 2009.

Koo, Richard C (2008), The Holy Grail of Macroeconomics: Lessons from Japan’s Great Recession, John Willey and Sons, Singapore.

IMF (2009), Stoctaking of the G-20 Responses to the Global Banking Crisis, in Group of Twenty Mee ng of the Ministers and Central Bank Governors, March 13–14, 2009 London, United Kingdom.

Jácome, Luis I and Erlend W. Nier (2012), Macropruden al Policy: Protec ng the Whole, in Finance and Development, March 2012, IMF.

Pass, Christoher and Bryan Lowes (1988), Dic onary of Economics, Harper Collins Publishing, UK.