Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

21
Acara II KITIN KITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun Oleh: Nama : Cindy Corazon NIM : 13.70.0028 Kelompok : E1 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2015

description

praktikum Kitin kitosan kloter E

Transcript of Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

Page 1: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

Acara II

KITIN KITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun Oleh:

Nama : Cindy Corazon

NIM : 13.70.0028

Kelompok : E1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2015

Page 2: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

1. MATERI METODE

1.1. Alat dan bahan

Alat – alat yang digunakan selama praktikum adalah blender, ayakan, oven, peralatan

gelas. Sedangkan bahan – bahan yang digunakan meliputi limbah udang, HCl 0,75 N; 1

N dan 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.

1.2. Metode

DEMINERALISASI

Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan

ditimbang

Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan

10:1

Page 3: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

2

Dipanaskan hingga suhu 80oC dan diaduk selama 1 jam

Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24

jam

Page 4: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

3

DEPROTEINASI

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan

perbandingan 6:1

Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC

selama 24 jam dan dihasilkan chitin

Page 5: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

4

DEASETILASI

Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu

90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%

dengan perbandingan 20:1

Page 6: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan dari rendemen kitin dan kitosan dari percobaan yang dilakukan oleh

kloter E disajikan oleh Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan

Kel Perlakuan Rendemen

Kitin I (%)

Rendemen

Kitin II (%)

Rendemen

Kitosan (%)

E1 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +

NaOH 40%

26,35 28,57 32

E2 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +

NaOH 40%

37,93 27,78 17,23

E3 HCl 1 N + NaOH 3,5% +

NaOH 50%

23,53 30,77 28,89

E4 HCl 1 N + NaOH 3,5% +

NaOH 50%

35 18,18 15,33

E5 HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +

NaOH 60%

29,17 25 42,5

Dilihat dari hasil pengamatan pada tabel 1, diketahui dalam praktikum kitin kitosan

memperoleh hasil perhitungan kitin rendemen I dan II serta rendemen kitosan dari

berbagai perlakuan . kelompok E1 dan E2 memiliki perlakuan yang sama terhadap sampel

yaitu pemberian HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%. Kelompok E 3 dan E4 juga

memiliki perlakuan yang sama terhadap sampel yaitu penambahan HCl 1 N + NaOH

3,5% + NaOH 50%. Kelompok E5 memberi HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%.

Penambahan kadar NaOH yang penambahan pertama masing-masing kelompok adalah

sama yaitu sebesar 3,5%. Pada kelompok E2, E4 dan E5 hasil rendemen kitin II

mengalami penurunan namun hal sebaliknya terjadi pada sampel E1 dan E3. Rendemen

kitin I terkecil adalah sampel E1 namun hasil terbesar diperoleh E2 yang memberi

perlakuan sampel yang sama. Nilai rendemen kitin II terbesar adalah sampel kelompok

E3 dan yang terkecil diperoleh kelompok E4 dengan perlakuan sampel yang sama. Hasil

rendemen kitosan kelompok E1, E4 dan E5 lebih besar dibanding jumlah rendemen kitin

II. Hasil terbesar diperoleh sampel E5 dan yang terkecil pada sampel E4.

Page 7: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

3. PEMBAHASAN

Dalam praktikum ini dilakukan pengamatan dan pembahasan pembentukan kitin kitosan

yang berasal dari sisa bagian yang tidak terpakai dalam pengolahan udang. Sebagian besar

atau bahkan semua yang tergolong dalam organisme kelompok crustaceae mengandung

kitin dan kitosan. Contoh dari organisme crustaceae adalah kepiting, lobster, udang, dan

masih banyak lagi (Puvvada, 2012). Khusus untuk limbah dari udang yang merupakan

bahan yang digunakan dalam praktikum, menurut Dutta et al. (2004) memiliki kandungan

protein dan mineral yang cukup tinggi. Selain mengandung protein dan mineral yang

tinggi di dalam cangkang udang, terdapat pro vitamin A yang bernama asthaxanthin yang

merupakan komponen penyusun warna dalam udang. Menurut Patria (2013), kandungan

kitin dan kitosan yang terdapat pada Crustaceae mencapai sekitar 20 – 60% dari berat

bahan total. Dari data yang sudah dikumpulkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan

(2000) menyatakan bahwa limbah dari pengolahan crustaceae hanya dibuang begitu saja

tanpa adanya pemanfaat lebih lanjut untuk diproses menjadi produk yang lebih

bermanfaat. Limbah kulit crustaceae yang belum diolah adalah 56.200 metrik ton per

tahun.

Kitin merupakan polisakarida yang terkandung secara melimpah dalam cangkang

krustasea seperti kepiting dan udang. Kitin bersifat biokompatibel, biodegradable dan

polimer antimikrobial (Abdou 2012). Ciri fisik yang dimiliki oleh senyawa kitin yang

diperoleh secara murni adalah bentuk kristal putih yang amorphous, tidak memiliki bau

dan rasa, dan tidak larut dalam pelarut organik serta berbagai jenis asam (asam anorganik)

dan basa (basa encer) (Muzzarelli, 1985). Dengan ketidaklarutan kitin dalam berbagai

jenis pelarut termasuk beberapa jenis asam dan basa maka masih sangat jarang dijumpai

adanya industri yang secara khusus mengolah kitin dari sampah crustaceae. Penerapan

penggunaan kitin secara murni juga masih sangat jarang digunakan karena hal tersebut.

Dalam industri pangan, sifat kitin yang sangat sulit ditemukan dalam kondisi yang murni,

membuat kitin jarang digunakan dalam kegiatan industri seperti produksi (Brugnerotto et

al., 2001).

Untuk memperoleh kitin dalam bentuk yang murni langkah - langkah yang dilakukan

adalah penghilangan mineral dan protein dari bagian tubuh crustaceae yang digunakan

Page 8: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

7

yaitu dengan demineralisasi dengan asam dan diproteinasi dengan basa. Selain

menggunakan asam dan basa dalam menghilangkan kitin dan kitosan, dapat digunakan

pula bantuan enzim dan bantuan mikroba dengan jalan fermentasi asam laktat. Namun

kelemahan demineralisasi dan deproteinasi dengan menggunakan mikroorganisme adalah

waktu yang digunakan lama dan membutuhkan biaya yang lebih besar dan juga resiko

dari kegagalan proses sangat lebih tinggi dibandingkan dengan metode kimiawi karena

kontrol atas parameter keberhasilan proses biologis tersebut harus dikontrol dengan baik

seperti pH, suhu, dan banyak parameter lain yang harus terjaga (Tarafdar & Biswas 2013).

Sturktur kimia dari kitin ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Kimia Kitin

(Zhang et al., 2011)

Dalam tubuh dari organisme crustaceae, kitin akan ditemukan bersatu dengan protein dan

garam organik (CaCO3) serta pigmen. Menurut Suhardi (1992), menyatakan bahwa dalam

tubuh makhluk hidup chitin akan bersatu dengan beberapa komponen yang ada di dalam

tubuh organisme tersebut. Dari kitin, dapat mendukung peran beberapa enzim yang

berguna bagi tubuh yaitu laktase, papain, asam fosfatase, dan glukisa isomerase (Peter,

1995). Sebenarnya, jika teknologi mendapatkan kitin murni bisa diproduksi secara masal,

untuk memperoleh kitin dibutuhkan harga produksi yang sangat murah karena kitin

berasal dari zat sisa yang berasal dari crustaceae yang berasal dari makanan laut (Wang

et al., 2010). Perubahan struktur dari kitin menjadi kitosan disebabkan karena perubahan

yang terjadi pada gugus yang dimiliki oleh kitin yaitu gugus asetamida (-NHCOCH3)

menjadi gugus amina yang terdapat pada kitosan. Struktur kimia dari kitosan memiliki

struktur yang hampir mirip dengan struktur kimia yang dimiliki oleh selulosa hanya

Page 9: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

8

berbeda pada gugus amino dari kedua bahan tersebut (Robert, 1992

Gambar 2. Struktur Kimia dari Kitosan

(Zhang et al., 2011)

Kitosan merupakan kopolimer linear yang terdiri dari β 1-4 yang menghubungkan unit-

unit 2-asetamido-2deoksi-d-glukopiranosa dan amino-2-deoksi-d-glukopiranosa. Kitosan

umumnya adalah komponen dinding sel jamur namun dapat diperoleh dari proses

diasetilasi kitin. Kitosan memiliki sifat-sifat fungsional seperti aktivitas antimikroba,

kemampuan untuk membentuk lapisan pelindung, pembentuk tekstur, agen pengkelat dan

sebagai antioksidan (Abdou, 2012). Karena memiliki sifat fungsional yang banyak,

kitosan digunakan dalam pengawetan makanan, pertanian, kosmetik, suplemen makanan

dan diaplikasikan dalam ilmu medis. Dalam industri pangan sifat anti mikroba dalam

kitosan dimanfaatkan dalam pembuatan lapisan antimikroba yang digunakan sebagai

bahan pengemas untuk makanan, persediaan medis atau lapisan pelindung dari

kontaminasi mikroba (Puvvada et al. 2012). Dalam dunia medis, kitosan yang memiliki

sifat anti koagulan dimanfaaatkan dalam penyembuhan luka, jahitan paska operasi dan

perawatan lainnya seperti menurunkan oksidasi dalam sel (Tarafdar & Biswas 2013).

Sifat – sifat fungsional tersebut tergantung pada berat molekul dan viskositasnya. Secara

umum ada 4 langkah dasar dalam memperoleh kitosan dari cangkang krustasea yaitu

demineralisasi, deproteinasi, dekolorasi dan deasetilasi (Islam et al. 2011). Kualitas

kitosan yang utama ditentukan oleh derajat diasetilasi dimana derajat deasetilasi ini

tergantung dari material dan kondisi selama proses seperti konsentrasi larutan alkali, suhu

dan waktu (Patria 2013)

Langkah kerja dalam praktikum ini dilakukan tiga tahapan kerja utama yaitu

demineralisasi yang menghilangkan mineral, deproteinasi yang dapat memecah protein,

dan diasetilasi untuk memperoleh kitin dan kitosan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang

Page 10: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

9

disampaikan oleh Rahayu et al. (2007) yang menjelaskan bahwa terdapat tiga langkah

utama untuk membuat kitosan dan kitin dari limbah crustaceae yaitu demineralisasi,

diproteinasi, dan deasetilasi. Dalam tahap demineralisasi, pertama limbah udang (kulit

udang) dipersiapkan dan dicuci dengan air mengalir, kemudian dikeringkan. Setelah

kering, sampel dicuci kembali menggunakan air panas sebanyak dua kali. Pencucian

bahan dilakukan untuk mencegah bahan pengotor yang ada di dalam bahan akan

mengotori produk dan mempengaruhi proses ekstraksi. Selain itu proses pencucian yang

kedua kalinya dengan menggunakan air panas bertujuan agar senyawa larut air dapat

dihilangkan dan memiliki sifat larut air. Proses ini bertujuan agar zat pengotor yang

terdapat dalam bahan limbah crustaceae yang akan digunakan sebagai bahan baku kitin

memiliki kemurniaan yang lebih baik.

Hasil dari pencucian limbah adalah limbah dengan kemurnian yang lebih baik. Setelah

itu dikeringkan kembali dan dihancurkan hingga membentuk serbuk, lalu dilakukan

pengayakan dengan ayakan 40-60 mesh. Penggilingan dan pengayakan dengan

menggunakan ayakan dijelaskan oleh Bastaman (1989) sebagai sebuah proses yang dapat

memperluas bahan yang digunakan dan meningkatkan kecepatan reaksi karena luas

permukaan yang jauh menjadi lebih besar. Kontak antara serbuk dan pelarut akan

berlangsung dengan lebih maksimal ketika bahan dihancurkan. Tujuan dilakukannya

pengeringan kedua adalah untuk menghilangkan sisa air panas yang masih menempel

pada kulit udang, sehingga kadar air pada kulit udang secara keseluruhan akan berkurang

dan kulit udang akan menjadi kering, sedangkan menurut Muzzarelli, et al. (1997),

penumbukan atau penghancuran menjadi serbuk berfungsi agar proses selanjutnya

berlangsung lebih cepat dan sempurna karena semakin luas permukaan sampel, maka

akan semakin banyak dan cepat penyerapan larutan alkali / pelarut yang akan diberikan.

Setelah diayak, serbuk dari limbah udang tersebut dicampur HCl dengan perbandingan

10 : 1. Kadar dari HCl yang digunakan adalah 0,75N, 1N, dan 1,25 N. Perbedaan dari

HCl yang digunakan untuk menguji kandungan HCl mana kah yang terbukti dapat

menghasilkan rendemen kitin dan kitosan yang paling banyak. Penambahan asam seperti

HCl dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan kandungan garam mineral yang

terdapat pada bahan crustaceae. Garam mineral yang sering ada di dalam udang adalah

Page 11: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

10

kalsium karbonat dan kalsium fosfat (Bastaman, 1989). Dengan pencampuran antara HCl

dan kalsium karbonat akan menghasilkan kalsium klorida, asam karbonat, dan asam

sulfat. Dengan garam – garam yang dihasilkan merupakan garam yang larut dalam air,

maka ketika proses penyaringan terjadi yang tersisa adalah kitin yang tidak larut dalam

air. Gelembung udara yang nampak pada saat penambahan HCl menandakan adanya

kehilangan mineral dari bahan yang digunakan.

Reaksi kimia yang berlangsung saat demineralisasi adalah :

HCl (aq) H+ (aq) + Cl-(aq)

H+ (aq) + H2O H3O+ (aq)

Ca3(PO4)2 (s) + 2 H3O+ (aq) 3 Ca2+ (aq) + 2 H3PO4 (aq) + O2(g)

CaCO3 (s) + 2 H3O+ (aq) Ca2+ (aq) + CO2 (g) + 3 H2O (l).

(Mudasir, 2008).

Campuran tersebut diaduk selama 1 jam dengan pemanasan pada suhu 80°C. Setelah suhu

dari larutan HCl sudah turun, larutan akan dicuci dengan menggunakan air bersih sampai

pH menajdi netral. Proses pencucian sampel yang sudah diberi HCl dengan menggunakan

air merupakan proses netralisasi. Menurut Fennema (1985), netralisasi merupakan suatu

upaya yang dilakukan dengan menambahkan air atau zat tertentu ke dalam suatu larutan

dengan tujuan agar pH mendekati pH yang netral. Pengaruh dari proses netralisasi adalah

akan munculnya penggembungan antara kitin dan alkali.. Hal ini akan menyebabkan

efektivitas proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai kitin akan semakin

baik. Setelah itu sampel dikeringkan dengan suhu 80°C selama 24 jam. Tahapan ini

disebut dengan tahapan deproteinasi. Deproteinasi menurut Wu et al. (2005) merupakan

suatu proses yang dapat mengurangi protein yang terdapat pada kulit crustaceae. Menurut

Hagono dan Djaeni (2008) protein yang terkandung dalam limbah udang mencapai 30%

dari berat bahan totalnya.

Hasil dari demineralisasi yang sudah dikeringkan berupa tepung ditambah larutan NaOH

dengan perbandingan 6:1. Menurut Rogers (1986), tujuan dari penambahan NaOH dalam

proses ekstraksi kitin dan kitosan adalah NaOH akan mengalami ionisasi dalam air dan

akan membentuk ion natrium dan ion hidroksida. Setiap ion hidroksida dan ion hidrogen

Page 12: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

11

yang terbentuk akan membentuk molekul air. Ketika di dalam larutan terdapat ion

hidrogen lebih banyak dibandingkan dengan ion hidroksida maka larutan akan bersifat

asam dan ketika larutan memiliki ion hidroksi yang lebih banyak larutan akan bersifat

basa. Campuran tersebut diaduk selama 1 jam kemudian dipanaskan pada suhu 70oC

selama 1 jam.

Proses yang sudah dibahas merupakan proses pembuatan kitin. Sebelum membuat

kitosan, maka pembuatan kitin harus dilakukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari

Robert (1992) yang menyatakan bahwa pembuatan kitosan dengan menggunakan metode

ekstraksi dapat dilakukan setelah dilakukannya esktraksi kitin. Proses pembuatan kitosan

dari bahan dasar kitin disebut dengan diasetilasi. Derajat diasetilasi merupakan satuan

dan parameter baku dalam menentukan kualitas dari kitosan yang terbentuk. Gugus asetil

akan hilang seiring dengan terbentuknya kitosan dari kitin akibat reaksi dengan larutan

basa. Derajat diasetilasi yang tinggi maka menandakan ikatan hidrogen dan ion hidrogen

akan semakin kuat seirig dengan semakin rendahnya ikatan antara gugus asetil kitosan

(Knoor, 1984). Penambahanan NaOH 40%, 50%, 60% akan terjadi setelah proses

demineralisasi dan diproteinasi. Perbandingan NaOH yang ditambahkan dan rendemen

kitin yang dihasilkan adalah 1:20. Tujuan dari penambahan NaOH dan penerapan pada

suhu tinggi adalah deasetilasi untuk mendapatkan kitosan dari kitin. Dalam kitin terdapat

ikatan yang kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil. Dengan penambahan NaOH

akan membuat membuat ikatan tersebut menjadi lebih renggang. Dilengkapi oleh

Martinou (1995) bahwa larutan alkali dengan konsentrasi yang tinggi dapat memutus

ikatan karboksil dengan atom nitrogen dalam kitin.

Dari hasil analisa yang diperoleh kelompok E1 dan E2 memiliki perlakuan yang sama

terhadap sampel yaitu pemberian HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%. Kelompok E

3 dan E4 juga memiliki perlakuan yang sama terhadap sampel yaitu penambahan HCl 1

N + NaOH 3,5% + NaOH 50%. Kelompok E5 memberi HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +

NaOH 60%. Penambahan kadar NaOH yang penambahan pertama masing-masing

kelompok adalah sama yaitu sebesar 3,5%. Pada kelompok E2, E4 dan E5 hasil rendemen

kitin II mengalami penurunan namun hal sebaliknya terjadi pada sampel E1 dan E3.

Page 13: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

12

Rendemen kitin I terkecil adalah sampel E1 namun hasil terbesar diperoleh E2 yang

memberi perlakuan sampel yang sama

Hasil yang diperoleh kelompok E1 dan E3 tidak sesuai dengan pernyataan Puspawati et

al. (2010) bahwa dalam proses deproteinasi hasil rendemen selanjutnya akan

menghasilkan rendemen yang lebih rendah dibandingkan dengan rendemen I. Beberapa

zat yang terlarut dalam protein larut seiring dengan proses deproteinasi di mana zat – zat

tersebut memiliki massa molar yang tinggi sehingga penurunan massa akan terjadi pada

proses pembentukan rendemen II. Ditambahkan oleh Hong et al.(1989) bahwa dengan

meningkatnya NaOH yang digunakan akan meningkatkan kemungkinan untuk kitin

memisahkan diri dari gugus amino dan protein yang ada di dalam kitin akan ikut berpisah

dari rendemen dan membuat berat rendemen menjadi lebih rendah. Dari hasil rendemen

hasil proses deproteinasi, nilai rendemen kitin II terbesar adalah sampel kelompok E3 dan

yang terkecil diperoleh kelompok E4 dengan perlakuan sampel yang sama. Beberapa

faktor yang dapat melatarbelakangi hal ini adalah proses deproteinasi yang kurang

sempurna, kesalahan pada penetralan sehingga sebagian besar rendemen terbawa air,

proses pengeringan yang tidak sesuai dengan prosedur praktikum, dan proses

demineralisasi menggunakan larutan dan suhu yang tidak sesuai.

Tingginya konsentrasi dari larutan NaOH yang digunakan dalam proses deasetil akan

berbanding lurus dengan derajat diasetilasi dari kitosan yang dihasilkan. Aktifnya gugus

fungsional amino yang merupakan substitusi dari gugus asetil kitin, dengan demikian

proses deasetilasi berjalan dengan lebih sempurna. Sedangkan penggunaan suhu tinggi

akan menyebabkan gugus asetil terlepas dari molekul kitin.Konsentrasi NaOH yang

tinggi pada proses deasetilasi akan menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi

tinggi. Hal ini disebabkan karena gugus fungsional amino yang mensubstitusi gugus asetil

kitin di dalam larutan menjadi semakin aktif, sehingga proses deasetilasi akan lebih

sempurna. Sedangkan penggunaan suhu tinggi akan menyebabkan gugus asetil terlepas

dari molekul kitin.

Rantai amina bebas dari reaksi pembentukan kitosan merupakan hasil dari ikatan antara

Gugus amina yang ada pada kitin dengan gugus hydrogen yang bermuatan positif

Page 14: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

13

(Mekawati et al., 2000). Suhu yang digunakan dalam proses diasetilasi sangat

mempengaruhi derajat diasetilasi (Puspawati et al., 2010). Pemanasan dapat

meningkatkan derajat diasetilasi dari kitosan. Suhu semakin tinggi akan berbanding lurus

dengan derajat diasetilasi. Setelah diaduk dan dipanaskan maka kitin akan segera

didinginkan. Proses pendinginan pada saat pembuatan kitin dan kitosan dijelaskan oleh

Rogers (1986) sebagai suatu proses yang berguna untuk mnejaga agar kitosan dapat

mengendap dengan maksimal dan tidak terbuang dalam proses netralisasi dengan

pencucian. Dalam pencucian harus dilakukan sampai pH dari kitosan mencapai pH yang

netral. Setelah pH netral, akan dioven dalam suhu 70°C selama 24 jam.

Hasil rendemen kitosan kelompok E1, E4 dan E5 lebih besar dibanding jumlah rendemen

kitin II. Hasil terbesar diperoleh sampel E5 dan yang terkecil pada sampel E4. Hasil

kelompok E5 tidak sesuai dengan pernyataan Hong et al. (1989) yang menyatakan bahwa

dengan meningkatnya konsentrasi dari NaOH maka degradasi yang terjadi pada susunan

struktur kimia kitin akan berlangsung dengan cepat dan rendemen yang dihasilkan akan

semakin sedikit. Pelepasan gugus asetil juga akan terjadi ketika penambahan NaOH

terlalu banyak digunakan sehingga rendemen kitosan akan semakin sedikit. Hasil

kelompok E5 tidak sesuai dengan teori dapat disebabkan oleh proses destilasi dimana

Fennema (1985), menyatakan bahwa kitin yang dihasilkan tidak maksimal ini

dikarenakan proses deproteinasi yang tidak sempurna yang diakibatkan adanya kitin yang

terikut dengan air selama proses penetralan. Hal ini didukung oleh Johnson dan Peterson

(1974), bahwa dengan meningkatnya konsentrasi asam atau basa yang digunakan akan

menyebabkan lepasnya ikatan protein dan mineral dengan kitin yang terkandung dalam

kulit udang. Warna akhir yang dihasilkan adalah putih kecoklatan.

Page 15: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

4. KESIMPULAN

Kulit udang mengandung kitin dan kitosan

Kitin tidak dapat diperoleh secara murni di alam tanpa proses tertentu karena di alam

kitin akan bercampur dengan protein dan bahan lain dalam tubuh crustaceae

Kitin tidak larut dalam air dan pelarut organik serta asam dan basa

Untuk memperoleh kitin harus menghilangkan mineral dan protein yang terdapat

dalam tubuh udang

Demineralisasi yang dilakukan pada kulit udang menggunakan asam

Kitosan merupakan produk turunan dari kitin

Pengadukan dan pemanasan selama prosedur pembuatan kitin dan kitosan bertujuan

agar mineral dan protein cepat larut dan diperoleh zat yang benar - benar murni

Proses pembuatan kitosan dilakukan dengan melakukan penambahan basa

Kitosan dapat terbentuk karena gugus asetil dari kitin dipecah oleh larutan basa

menjadi gugus amino bebas.

Pemansan dilakukan untuk mengurangi kandungan air yang terdapat pada kitin

maupun kitosan

Penyaringan dilakukan agar zat pengotor dapat hilang dari rendemen kitin

HCl dalam proses demineralisasi dapat melarutkan garam anorganik

Semakin tinggi nilai NaOH yang ditambahkan pada rendemen kitin dapat menurunkan

angka rendemen kitosan

Semarang, 4 November 2015 Asisten dosen

Tjan, Ivana Chandra

Cindy Corazon

13.70.0028

Page 16: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

15

5. DAFTAR PUSTAKA

Abdou, E.S., 2012. Effect of Chitosan and Chitosan-Nanoparticles as Active Coating on

Microbiological Characteristics of Fish Fingers. International Journal of Applied

Science and Technology, 2(7), pp.158–169.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradationb and Extraction of Chitin and Chitosan

from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical

and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

Brugnerotto, J., J. Lizardi, F.M. Goycoolea, W. ArguÈelles-Monal, J. DesbrieÁres, dan

M. Rinaudo. (2001). An infrared investigation in relation with chitin and chitosan

characterization. Polymer 42 (2001) 3569±3580.

Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; dan V. S. Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan:

Chemistry, properties, and applications. Journal of Scientific and Industrial Research Vol.

63 January 2004. pp 20-31.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from

crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Isa, M.T., Ameh, A.O., Gabriel, J.O., Adama, K.K. (2012). Extraction and

Characterization of Chitin from Nigerian Resources. Leonardo Electronics Journal of

Practices and Technologies pp 73 – 81.

Islam, M. et al., 2011. Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of

Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS,

11(February), pp.77–80.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The

AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi

Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan

(Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Page 17: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

16

Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by

enzymatic means.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi

Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal

Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.

Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc.

Orlando. San Diego.

Patria, A. (2013). Production and Characterization of Chitosan from Shrimp Shells

Waste. International Journal of The Bioflux Society pp 339 – 344.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and

Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang

dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi

Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Puvvada, Y.S., Vankayalapati, S. & Sukhavasi, S., 2012. Extraction of chitin from

chitosan from exoskeleton of shrimp for application in the pharmaceutical industry.

International Current Pharmaceutical, 1(9), pp.258–263. Available at:

http://www.icpjonline.com/documents/Vol1Issue9/06.pdf.

Rahayu & Purnavita (2007). Optimasi Pembuatan Kitosan Dari Kitin Limbah Cangkang

Rajungan (Portunus pelagicus) Untuk Absorben Ion Logam Merkuri

Radhakumary, C., Nair, P.D., Mathew, S., and Nair, C.P.R. (2005). Biopolymer

Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends

Biomater Artificial Organisms 18(2): 117 – 124.

Rinaudo, Marguerite. (2006). Chitin and chitosan: Properties and applications. Prog.

Polym. Sci. 31 (2006) 603–632.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.

California.

Page 18: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

17

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi

Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Tarafdar, A. & Biswas, G., 2013. Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and

Examination of its Viable Commercial Applications. International Journal on

Theoretical and Applied Research in Mechanical Engineering (IJTARME), 2(3), pp.17–

24.

Wang, Zhengke; Qiaoling Hu; Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite

Rods. International Journal of Polymer Science Volume 2010, Article ID 369759, 7

pages.

Wu, Tao; Svetlana Zivanovic, F. Ann Draughon, William S. Conway,Dan Carl E. Sams.

(2005). Physicochemical Properties and Bioactivity of Fungal Chitin and Chitosan. J.

Agric. Food Chem. 2005, 53, 3888-3894.

Zhang, Hongyin; Renping Li dan Weimin Liu. (2011). Effects of Chitin and Its Derivative

Chitosan on Postharvest Decay of Fruits: A Review. Int. J. Mol. Sci. 2011, 12, 917-934;

doi:10.3390/ijms12020917.

Page 19: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Kelompok E1

Rendemen kitin I

=berat kering

berat basah I× 100%

=5

19× 100% = 26,32%

Rendemen kitin II

=berat kering

berat basah I× 100%

=2

7× 100% = 28,57%

Rendemen kitin III

=berat kering

berat basah I× 100%

=1,76

5,5× 100% = 32%

Kelompok E2

Rendemen kitin I

=berat kering

berat basah I× 100%

=5,5

14,5× 100% = 37,93%

Rendemen kitin II

=berat kering

berat basah I× 100%

=2,5

9× 100% = 27,78%

Rendemen kitin III

=berat kering

berat basah I× 100%

=1,12

6,5× 100% = 17,23%

Page 20: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

19

Kelompok E3

Rendemen kitin I

=berat kering

berat basah I× 100%

=4

17× 100% = 23,53 %

Rendemen kitin II

=berat kering

berat basah I× 100%

=2

6,5× 100% = 30,77%

Rendemen kitin III

=berat kering

berat basah I× 100%

=1,3

4,5× 100% = 28,89%

Kelompok E4

Rendemen kitin I

=berat kering

berat basah I× 100%

=3,5

10× 100% = 35 %

Rendemen kitin II

=berat kering

berat basah I× 100%

=2

11× 100% = 18,18%

Rendemen kitin III

=berat kering

berat basah I× 100%

=0,23

1,5× 100% = 15,33%

Kelompok E5

Rendemen kitin I

Page 21: Kitin Kitosan Cindy Corazon 13.70.0028 E1 UNIKA Soegijapranata

20

=berat kering

berat basah I× 100%

=3,5

12× 100% = 29,17%

Rendemen kitin II

=berat kering

berat basah I× 100%

=2

8× 100% = 25%

Rendemen kitin III

=berat kering

berat basah I× 100%

=0,85

2× 100% = 42,5%

6.2. Laporan sementara