kirim bab 1-2

39
Diferensiasi Human Umbilical Cord Blood Stem Cell (HUCB Stem Cell) menjadi Neural Progenitor Cell (NPC) dengan Induksi Nerve Growth Factor (NGF) in vitro BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit akibat kerusakan sel saraf pada Susunan Saraf Pusat (SSP) masih merupakan masalah kesehatan di dunia dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi. Di Amerika penyakit yang diakibatkan oleh trauma otak dan cidera medula spinalis menyerang 1,4 juta jiwa setiap tahunnya. Sebuah studi di 9 negara menunjukan insidensi stroke yang tinggi yaitu sekitar 0,1 – 0,3 per seribu individu pada usia kurang dari 45 tahun. Di Indonesia prevalensi penyakit stroke diperkirakan mencapai 500.000 per tahun dengan angka kematian mencapai 125.000 dan sisanya mengalami cacat ringan dan berat Manifestasi klinik yang timbul akibat trauma sel saraf pada penyakit-penyakit tersebut diperantarai oleh proses nekrosis maupun apoptosis sel-sel saraf (Rodriguez et al., 2008; Rashef et al., 2007; Feigin et al., 2003, Yastroki, 2006). Pasca trauma sel saraf, siklus sel akan diaktifkan kembali sebagai upaya menstimulasi proses regenerasi sel- sel tersebut. Akan tetapi, pada orang dewasa sel-sel 1

description

aa

Transcript of kirim bab 1-2

Page 1: kirim bab 1-2

Diferensiasi Human Umbilical Cord Blood Stem Cell (HUCB Stem Cell) menjadi

Neural Progenitor Cell (NPC)

dengan Induksi Nerve Growth Factor (NGF) in vitro

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit akibat kerusakan sel saraf pada Susunan Saraf Pusat (SSP) masih

merupakan masalah kesehatan di dunia dengan angka kesakitan dan kematian yang

cukup tinggi. Di Amerika penyakit yang diakibatkan oleh trauma otak dan cidera

medula spinalis menyerang 1,4 juta jiwa setiap tahunnya. Sebuah studi di 9 negara

menunjukan insidensi stroke yang tinggi yaitu sekitar 0,1 – 0,3 per seribu individu

pada usia kurang dari 45 tahun. Di Indonesia prevalensi penyakit stroke diperkirakan

mencapai 500.000 per tahun dengan angka kematian mencapai 125.000 dan sisanya

mengalami cacat ringan dan berat Manifestasi klinik yang timbul akibat trauma sel

saraf pada penyakit-penyakit tersebut diperantarai oleh proses nekrosis maupun

apoptosis sel-sel saraf (Rodriguez et al., 2008; Rashef et al., 2007; Feigin et al., 2003,

Yastroki, 2006). Pasca trauma sel saraf, siklus sel akan diaktifkan kembali sebagai

upaya menstimulasi proses regenerasi sel-sel tersebut. Akan tetapi, pada orang

dewasa sel-sel saraf matur yang teraktivasi pasca trauma sel saraf memiliki

kecenderungan untuk mengalami proses apoptosis daripada proliferasi. Selain itu,

produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan pada lokasi kerusakan dapat

menyebabkan hambatan regenerasi sel saraf. Dengan demikian proses perbaikan sel-

sel saraf setelah kerusakan merupakan hal yang sulit dilakukan secara otonom

(Byrnes et al., 2007; Yiu et al., 2006).

Chen et al (2005) melaporkan bahwa transplantasi Human Umbilical Cord

Blood stem cell (HUCB stem cell) merupakan suatu terapi yang efektif bagi

regenerasi kerusakan sel saraf. Hal ini berkaitan dengan kemampuannya dalam

meningkatkan perbaikan fungsional pasca stroke. Sejalan dengan Chen (2005),

1

Page 2: kirim bab 1-2

penelitian yang dilakukan oleh Goldman (2006) menunjukkan bahwa HUCB stem

cell dapat memperbaiki kerusakan sel saraf pada hewan coba dengan trauma otak dan

cidera medula spinalis. Berbagai studi tersebut telah menunjukkan efek tropik

kemampuan HUCB stem cell sebagai terapi pengganti kerusakan sel karena proses

patologis. Telah diidentifikasi bahwa efek tropik stem cell ini berkaitan dengan fraksi

mononuklear dari umbilical cord blood stem cell (Maslov et al., 2004; Pesce et al.,

2003). Chen et al (2005) dan Lommatzsach et al (2005) telah mengidentifikasi bahwa

salah satu fraksi mononuklear dari HUCB stem cell, yaitu floating fraction

merupakan subfraksi yang mampu mengekpresikan protein sel saraf.

Kultur fraksi floating HUCB stem cell dengan beberapa growth factor,

antara lain Retinoic Acid (RA), Nerve Growth Factor (NGF), Brain Derived Nerve

Factor (BDNF), dan Endothelial Growth Factor (EGF) menujukkan kemampuan

diferensiasi stem cell menjadi sel saraf matur. Dalam hal ini, NGF dinilai sebagai

growth factor yang spesifik bagi diferensiasi dan pematangan neural progenitor cell

(NPC) secara in vitro maupun in vivo (Edling et al., 2004; Lee et al., 2002; Wichterle,

2002). Keberhasilan diferensiasi ini ditunjukkan dengan ekspresi beberapa marker

protein sel saraf spesifik seperti nestin, TuJ1, MAP-2 (microtubule-assosiated-

protein-2), GFAP (Glial Fibrilary Acidic Protein), trKC (Tyrosin-kinase-C), dan

molekul adesi E-NCAM (embryonic neuronal adhesion molecule). Masing-masing

marker tersebut spesifik untuk menandakan tahap diferensiasi sel saraf, dimana

ekspresi nestin mengindikasikan terbentuknya early neural cell, GFAP

mengindikasikan terbentuknya sel glia, TUJ1 mengindikasikan terbentuknya sel saraf

matur, dan trKC mengindikasikan terbentuknya faktor neurotropik (Nguyen et al.,

2004).

Locatelli et al (2003) menyatakan bahwa belum terdapat metode

transplantasi HUCB stem cell yang paling tepat untuk memperbaiki kerusakan sel

saraf pada sistem saraf pusat. Dalam hal ini, transfusi intravena dinilai sebagai

metode yang lebih baik karena kurang invasif. Namun, metode transfusi intravena ini

berisiko menimbulkan teratoma pada transfusi stem cell yang belum berdiferensiasi.

Sampai saat ini, terdapat beberapa penelitian yang mencoba melakukan transfusi

2

Page 3: kirim bab 1-2

fraksi mononuklear stem cell untuk memperbaiki kerusakan sel saraf pasca stroke

(Nayak, 2008). Namun beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbaikan yang nyata dari sel saraf karena kegagalan stem cell untuk

beradaptasi dengan lingkungan neurogenik (Sohur, 2008).

Drucker (2004) melaporkan bahwa kultur NPC yang diambil dari

subventrikular zone hewan coba telah berhasil ditransplantasikan kembali secara

intravena dan mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan neurogenik. Hal ini

mengindikasikan bahwa transplantasi stem cell dalam bentuk sel progenitor dapat

meminimalkan terjadinya teratoma. Akan tetapi, kultur NPC pada manusia

merupakan hal yang sulit untuk dilakukan karena isolasi NPC dari zona

subvenrtikular dan gyrus dentatus otak manusia melibatkan proses invasif seperti

kraniotomi. Dalam hal ini, induksi HUCB stem cell dengan berbagai growth factor in

vitro dapat menjadi alternatif sumber NPC. Studi yang dilakukan oleh Goldman

(2006) Nayak (2008) Lee et al (2002) Wichterle (2002) melaporkan bahwa untuk

mendapatkan sel saraf matur dibutuhkan rata-rata 30 hari kultur HUCB stem cell

dengan induksi berbagai growth factor. Namun, dalam studi tersebut belum

dilaporkan profil marker sel saraf pada proses diferensiasi HUCB stem cell mulai dari

pembentukan NPC sampai pematangan sel saraf.

Atas dasar pemikiran tersebut kami mengajukan proposal penelitian

mengenai diferensiasi HUCB stem cell menjadi Neural Progenitor Cell (NPC)

dengan induksi Nerve Growth Factor berdasarkan ekspresi marker protein nestin,

TuJ1, GFAP, trkC in vitro. Studi awal ini diharapkan dapat memberikan gambaran

tentang perkembangan sel saraf, khususnya sel progenitor neural dari HUCB stem cell

sehingga dapat menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah yang berkaitan

dengan metode transplantasi stem cell. Selain itu penelitian ini juga akan

membandingkan efektivitas kadar NGF yang digunakan untuk menginduksi

diferensiasi HUCB stem cell menjadi NPC sehingga dapat meningkatkan efisiensi

penggunaan NGF tersebut dalam kultur.

3

Page 4: kirim bab 1-2

B. Rumusan Masalah Penelitian

Masalah yang kami angkat dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana ekspresi marker protein nestin, GFAP, TuJ1, dan trkC pada induksi

HUCB stem cell menjadi NPC dengan berbagai konsentrasi NGF in vitro berdasarkan

lama induksi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

Mengetahui dan menganalisis ekspresi marker protein nestin, GFAP, TuJ1, dan trkC

pada induksi HUCB stem cell menjadi NPC dengan berbagai konsentrasi NGF in

vitro berdasarkan lama induksi.

D. Luaran yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah waktu induksi HUCB stem cell

menjadi NPC dengan berbagai konsentrasi NGF in vitro.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis :

1. Memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan mengenai pengaruh waktu

induksi NGF pada kultur HUCB stem cell terhadap ekspresi marker sel saraf.

2. Sebagai pijakan bagi penelitian lanjutan yang akan mengembangkan metode

transfusi sel progenitor neural bagi terapi restoratif kerusakan saraf.

Manfaat aplikatif :

1. Membantu penentuan waktu induksi NGF yang tepat pada kultur HUCB stem cell

agar memperoleh kualitas NPC yang terbaik.

2. Membantu penentuan kadar NGF yang optimal pada kultur HUCB stem cell

menjadi NPC.

4

Page 5: kirim bab 1-2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Neuron

a. Embriologi Neuron

Neural crest sebagai bakal pembentukan sel-sel neuron pertama kali

ditemukan pada tepi lateral neural plate setelah fase gastrula. Pembentukan

ektoderm dan mesoderm yang berasal dari neural crest dimulai setelah penutupan

dorsal neural tube pada seluruh bagian embrio. Neural crest akan berdiferensiasi

menjadi berbagai macam sel diantaranya sel neuron dan sel glia pada Susunan

Saraf Tepi (SST), sel melanosit pada kulit, sel fibroblas pada jaringan ikat, dan

beberapa sel endokrin. Saat ini telah ditemukan beberapa gen yang mempengaruhi

diferensiasi dan migrasi dari neural crest, diantaranya adalah BMP4 (Bone

Morphogenic Protein 4) yang berperan dalam penentuan aksis vertikal neural tube,

Wnt3 (Wingless-type MMTV integration site family, member 3) yang berperan

dalam segmentasi neural crest serta Sox10 (Sex determining region-Y-box 10)

yang berperan dalam diferensiasi spesifik neural crest (Begbie, 2008; Sakai and

Wakamatsu, 2005; Sarnat and Flores, 2005).

Pembentukan neurokorteks pada awal perkembangan Susunan saraf pusat

(SSP) merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Dalam sebuah penelitian

telah dibuktikan bahwa sel-sel neuron berasal dari sel-sel progenitor yang berada

pada bagian basal telencephalon. Sel neuron yang terbentuk merupakan hasil dari

proses pembelahan sel neuroepitel yang asimetris sedangkan pembelahan yang

simetris akan menghasilkan sel neuroepitel yang baru (Haubensak et al., 2003).

Pada proses neurogenesis diketahui ada dua macam tipe neuron yang

terbentuk yaitu interneuron yang berperan dalam koneksi lokal antar sel neuron

dan neuron proyeksi yang berperan dalam perkembangan akson intrakortikal,

subkortikal dan subserebral. Interneuron yang mengandung GABA (Gamma

Amino Butyric Acid) berasal dari sel-sel progenitor telencephalon ventral

5

Page 6: kirim bab 1-2

sedangkan neuron proyeksi yang terdiri atas neuron-neuron glutamanergik berasal

dari sel-sel progenitor dinding dorsolateral telencephalon (Molyneaux et al., 2007).

b. Biologi Neuron

Perkembangan neurogenesis pada otak yang normal dikontrol oleh

siklus sel melalui interaksi beberapa faktor seperti cyclins, CDKs (Cyclin-

Activated Kinases) dan CDKIs (Cyclin Dependent Kinase Inhibitors). Proses

tersebut akan mengatur mitosis neuroblast sampai pada tahap tertentu. Secara

umum, sel-sel yang telah berdiferensiasi seperti halnya sel neuron yang telah

matur tidak akan mengalami siklus sel untuk berproliferasi kembali. Hal

tersebut terjadi karena adanya beberapa penghambat endogen yang berperan

sebagai anti mitosis dan mencegah aktivasi komplek CDK/Cyclin. Beberapa

penghambat endogen untuk aktivitas CDKs diantaranya p21cip1, p27kip1 dan

p57kip2. Dari beberapa penelitian telah diketahui bahwa faktor penghambat

endogen yang ekspresinya paling banyak di otak adalah p27 (Byrnes et al.,

2007).

Pembentukan akson merupakan bentuk diferensiasi neuroblast

setelah fase mitosis sebagai penanda awal diferensiasi neuron. Proses ini

diawali oleh pembentukan APC/C (Anaphase Promoting Complex /

Cyclosome) pada neuroblast yang berfungsi memodifikasi regulator ekspresi

gen dan memulai penghancuran Id2 (Inhibitor of Differentiation-2). Rendahnya

kadar Id2 meningkatkan aktivasi kompleks protein E12-E47 yang berperan

penting dalam pembentukan akson untuk proses diferensiasi neuron spesifik.

Pada tahap tertentu pembentukan akson tersebut akan dibatasi oleh faktor

transkripsi seperti Sema3F (Semaphorin 3F), dan neural reseptor seperti

Notch1 (Notch homologue 1 translocation assosiated) sehingga

perkembangannya tidak berlebihan (Jackson, 2006).

6

Page 7: kirim bab 1-2

2. Kerusakan sel neuron

Proses kerusakan pada sel saraf orang dewasa yang mengalami disfungsi

sangat dipengaruhi oleh mekanisme apoptosis yang terprogram. Membran sitoplasma

pada sel yang mengalami apoptosis tersebut akan menonjol dan membentuk badan

apoptosis. Fragmen badan apoptosis ini akan dieliminasi dengan cepat oleh sel-sel

fagosit di sekitarnya tanpa menimbulkan proses inflamasi. Perbedaan yang paling

mendasar pada patogenesis kerusakan sel saraf yang disebabkan trauma atau proses

patologis adalah timbulnya proses inflamasi yang berlebihan (Roth, 2002).

Secara umum mekanisme apoptosis sel saraf dibagi menjadi jalur intrinsik dan

jalur ekstrinsik. Jalur apoptosis intrinsik diperantarai oleh molekul BH3-domain yang

mempengaruhi penurunan molekul anti apoptosis seperti Bcl-2 dan Bcl-xL dan

peningkatan molekul pro apoptosis seperti Bax dan Bak. Hal tersebut menyebabkan

pelepasan sitokrom-C dari mitokondria dan menginduksi pembentukan apoptosom.

Komplek apoptosom ini selanjutnya akan menginduksi caspase-9 dan caspase-3.

Adapun jalur apoptosis ekstrinsik diaktivasi oleh pengaruh ikatan extracellular death

ligand oleh senyawa sitokin seperti TNF-α (Tumor Necrotizing Factor-α) dan fas

ligand (CD95L). Ikatan tersebut memacu pembentukan Death Inducing Signaling

Complex (DISC) yang dapat mengaktivasi caspase-8 dan pembentukan caspase-3.

Telah diketahui bahwa caspase-3 memiliki peran penting dalam menginduksi proses

apoptosis secara langsung (Rao, 2006).

Proses kerusakan sel saraf pasca trauma atau iskemi sel saraf ditandai dengan

peningkatan ekspresi protein terkait siklus sel. Induksi siklus sel pada sel-sel saraf

yang rusak tersebut akan mengaktifkan proses apoptosis sel-sel neuron dan

oligodendrosit. Selain itu siklus sel pasca kerusakan saraf akan menginduksi

proliferasi astrosit dan mikroglia dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi. Secara

umum sel-sel yang telah berdiferensiasi dan melewati fase post mitosis seperti sel

neuron tidak akan mengalami siklus sel kembali. Bila induksi terhadap siklus sel

kembali terjadi pada sel neuron tersebut maka cenderung akan mengalami apoptosis.

Pada trauma otak atau medula spinalis terjadi peningkatan jumlah komplek protein

7

Page 8: kirim bab 1-2

Cyclin D1 dan CDK4 (Cyclin Dependent Kinase-4) yang menginduksi siklus sel

menuju fase G1. Kompleks protein tersebut akan menginduksi fosforilasi Rb

(Retinoblastoma) gen sehingga melepaskan E2F untuk mengaktivasi transkripsi DNA

dan memulai fase S. Fosforilasi Rb gen juga dipengaruhi oleh kompleks Cyclin E/A

dan CDK2 (Cyclin Dependent Kinase-2) pada akhir fase G1. Setelah itu CDK2 akan

terlepas dan berikatan dengan Cyclin B untuk mengawali fase M. Dalam hal ini yang

terpenting adalah E2F dapat menginduksi proses apoptosis baik melalui jalur intrinsik

maupun jalur ekstrinsik. Dengan demikian terjadi peningkatan caspase-3 pada sel-sel

neuron yang menyebabkan apoptosis (Byrnes et al., 2007).

Gambar 1. Proses Kerusakan Neuron (Byrnes et al., 2007)

Proses inflamasi pada susunan saraf pusat diperantarai oleh innate immune

response dan adaptive immune response. Dalam hal ini innate immune response yang

terjadi pada SSP diperankan oleh mikroglia dan astrosit. Mikroglia memiliki reseptor

yang dapat mengenali adanya antigen atau protein stereotipik yang dilepaskan oleh

jaringan saraf pasca trauma. Reseptor tersebut akan mengaktifkan jalur Nucelar

Factor-kappa B (NF-kB) yang memacu pembentukan sitokin proinflamasi seperti

8

Page 9: kirim bab 1-2

TNF-α, IL-1, IL-6, PGE-2 dan NO. Selain itu astrosit juga telah diketahui memiliki

peran dalam respon imun alami dengan mengekspresikan Toll like receptor, Manose

receptor dan Complement receptor yang juga berperan dalam pembentukan sitokin

proinflamasi tersebut. Adapun adaptive immune response diperantarai oleh aktivasi

limfosit pada sirkulasi darah perifer oleh pelepasan sitokin proinflamasi dari SSP.

Limfosit T yang teraktivasi berupa CD4 dan CD8 akan masuk ke SSP melewati sawar

darah otak dan mengeliminasi antigen asing yang terbentuk pada jaringan saraf pasca

trauma. Selain itu sel limfosit CD4 akan mengaktifkan sel limfosit B untuk

membentuk antibodi. Bila terbentuk kompleks antigen-antibodi maka jalur

komplemen akan teraktivasi dan meningkatkan kerusakan selubung myelin (Chen dan

Palmer, 2008; Magnus dan Rao, 2005).

Pada dasarnya sel-sel saraf akan mengalami proses perbaikan pasca trauma

otak dan cedera medula spinalis yang ditandai dengan meningkatnya siklus sel, yang

akan mengatur mitosis neuroblast (Byrnes et al., 2007) . Hal ini diketahui dengan

adanya peningkatan beberapa protein pertumbuhan yang mempengaruhi regenerasi

sel-sel saraf. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa protein pertumbuhan tersebut

juga banyak ditemukan pada masa perkembangan awal SSP, protein-protein tersebut

antara lain :

a. GAP-43 (growth-assosiated-protein-43)

GAP-43 adalah membran protein asam yang diekspresikan dalam kadar tinggi

pada saat pembentukan akson dan proses sinapsis antar ujung akson. GAP-43

memiliki substansi serin 41 yang bila difosforilasi dengan PKC-β (protein kinase

C-beta) dapat berikatan dengan kalmodulin sehingga dapat menginduksi

pertumbuhan akson. Ekspresi GAP-43 dapat ditingkatkan oleh beberapa faktor

pertumbuhan seperti FGF-2 (fibroblast growth factor-2), EGF (epidermal growth

factor), IGF-1 (insulin like growth factor-1), CNTF (ciliary neurotrophic factor),

NT-3 (neurotrophin-3) dan NGF (nerve growth factor).

b. PSA-NCAM (polysialylated-neural-cell- adhesion-molecule)

9

Page 10: kirim bab 1-2

PSA-NCAM pada awal perkembangan SSP muncul pada membran sitoplasma

serta puncak pertumbuhan neuron striatal, neuron kortikal dan area hipokampus.

PSA-NCM berfungsi untuk memudahkan interaksi dan interkoneksi antar sel-sel

saraf. Ekspresi PSA-NCAM dapat ditingkatkan oleh beberapa faktor seperti

steroid, serotonin dan NMDA (N Methyl d-Aspartat) receptor ligand (Emery et

al., 2003).

Selain itu telah berhasil diidentifikasi adanya Neural progenitor cell (NPCs)

pada Subventrikular Zone (SVZ) dan Subgranular Zone (SGZ) gyrus dentatus dengan

jumlah yang sangat sedikit. Hal tersebut menunjukkan adanya kemampuan

homeostatis pada SSP orang dewasa dengan memproduksi prekursor sel-sel neuron

untuk menggantikan sel-sel saraf yang telah rusak karena proses apoptosis normal

(Magnus dan Rao, 2005). Tetapi pada keadaan yang patologis, Neural progenitor cell

(NPCs) pada Subventrikular Zone (SVZ) dan Subgranular Zone (SGZ) tidak

mencukupi karena adanya proses inflamasi yang berlebihan (Roth, 2002).

Pada orang dewasa terjadi hambatan dalam proses perbaikan sel saraf pasca

trauma akibat terjadinya inflamasi yang berlebihan. Proses patologis tersebut

menginduksi timbulnya apoptosis yang berlebihan pada area sekitar fokus lesi, baik

melalui jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik. Meskipun proses inflamasi yang

terjadi akan menarik NPC ke lokasi lesi untuk proses regenerasi sel saraf secara

alami, ada beberapa hambatan yang menyebabkan tidak efektifnya migrasi NPC

tersebut, yaitu :

a. Meningkatnya produksi Reactive Oxygen Species (ROS) dan Nitrit Oxide

(NO) pada lokasi inflamasi akan membentuk peroxynitrite yang dapat

merusak komponen intraseluler pada NPCs sehingga menurunkan ketahanan

hidup NPCs.

b. Meningkatnya TNF-α dan Interferon-γ pada lokasi inflamasi akan

menstimulasi ekspresi CD80 dan CD86 pada NPCs yang berasal dari SVG.

Ekspresi CD80 merupakan kostiumulator yang dapat mengaktivasi limfosit T

sitolitik untuk melisiskan NPCs.10

Page 11: kirim bab 1-2

c. Produksi TNF-α, FAS ligand dan TRAIL pada lokasi inflamasi akan

menginduksi proses apoptosis melalui jalur ekstrinsik pada sel neuron dan

oligodendrosit yang terbentuk dari NPCs.

d. Produksi Interleukin-6 (IL-6) yang tinggi pada lokasi inflamasi akan

menghambat proses diferensiasi NPCs menjadi sel neuron melalui sinyal yang

diperantarai gp130 dan meningkatkan diferensiasi astrosit pada jalur mitogen

activated protein kinase (MAPK) (Chen dan Palmer, 2008).

Selain itu pasca trauma sel saraf, kemampuan regenerasi akson menjadi sangat

berkurang. Salah satu mekanisme molekuler yang mendasari keterbatasan

pertumbuhan akson pasca trauma sel saraf adalah penghambatan oleh debris myelin

dan oligodendrosit. Beberapa debris myelin yang berperan menghambat proses

regenerasi akson antara lain : NogoA, MAG (Myelin-Assosiated Glicoprotein), OMgp

(Oligodendrocyte Myelin glicoprotein), Sema4D/CD100 (Semaphorin 4D) dan

Ephrin B3 (Yiu et al., 2006). Di samping itu keterbatasan regenerasi akson juga

disebabkan oleh reaksi pembentukan glial scar yang melibatkan mikroglia dan

astrosit. Proses pembentukan glial scar tersebut dipengaruhi oleh ekspresi IL-1 dan

Interferon-γ serta pelepasan GFAP (Glial Fibrilary Acidic Protein) oleh astrosit dari

jaringan saraf yang normal menuju jaringan saraf yang terkena trauma. Kumpulan

astrosit yang reaktif dan hipertrofik akan mengeluarkan molekul matriks ekstraseluler

berupa CSPGs (Condroitin Sulphate Proteoglycans). Beberapa jenis CSPGs seperti

aggrecan, brevican, neurocan, versican dan phosphacan yang membentuk glial scar

berperan sebagai penghalang mekanik pada proses regenerasi akson. Dengan

demikian renegerasi sel saraf pasca trauma merupakan hal yang sulit dilakukan secara

otonom oleh sistem homeostasis pada SSP (Chen dan Palmer, 2008; Yiu et al., 2006).

3. Stem Cell

a. Definisi

Stem cell merupakan sel yang belum berdiferensiasi dan mempunyai

potensi untuk berdiferensiasi menjadi jenis sel lain (Drucker, 2004). Selama tahap

perkembangan awal sel berbagai tipe stem cell akan mengalami spesialisasi dan 11

Page 12: kirim bab 1-2

diferensiasi menjadi sel dengan fungsi yang lebih spesifik (Goldman, 2006).

Berdasarkan hal tersebut, dilakukan berbagai penelitian untuk menginduksi stem

cell yang belum berdeferensiasi menjadi sel yang spesifik secara fungsional,

sehingga stem cell dapat menjadi salah satu alternatif untuk terapi pengganti sel

yang hilang atau rusak (Rosada et al., 2003).

b. Klasifikasi stem cells

Sampai saat ini telah diidentifikasi empat tipe stem cell berdasarkan

kapasitasnya untuk berdiferensasi menjadi sel lain, yaitu sel totipoten, pluripoten,

multipoten, dan unipoten. Adapun jenis stem cell yang saat ini telah

dikembangkan dalam penelitian antara lain embryonic stem cell, adult stem cell,

dan HUCB stem cell (Maslov et al., 2004). Embryonic stem cell merupakan sel

yang didapatkan dari inner mast cell pada blastosit dan bersifat pluripoten

sehingga dapat berdiferensiasi menjadi semua tipe sel dalam tubuh. Adult stem

cell didapatkan dari jaringan tertentu dalam tubuh yang telah berdiferensiasi. Sel

induk yang berasal dari sel dewasa mempunyai kemampuan diferensiasi yang

terbatas (Sanchez, 2002; Nayak, 2008). HUCB stem cell didapat dari darah tali

pusat yang belum dipotong saat bayi lahir, tipe stem cell ini bersifat pluripoten

dan dapat berdiferensiasi menjadi semua tipe sel dalam tubuh (Saporta et al.,

2003). Berikut adalah bagan klasifikasi stem cell (Maslov et al., 2004).

12

Page 13: kirim bab 1-2

c. Human umbilical cord blood stem cell

Human umbilical cord blood stem cell (HUCB stem cell) termasuk adult

stem cells jika dibandingkan dengan stem cell dewasa lainnya yang berasal dari

susmsum tulang maupun darah tepi. Umbilical cord blood mengandung sejumlah

stem cell yang bermakna dan memiliki keunggulan daripada stem cell yang

diperoleh dari sumsum tulang atau darah tepi. Penggunaan HUCB stem cell

merupakan pilihan yang paling aman dan jika dibandingkan dengan penggunaan

embryonic stem cell yang sering terbentur masalah bioetika. Pada prinsipnya

human umbilical cord blood stem cell merupakan sel yang mempunyai

kemampuan untuk berdiferensiasi tanpa batas menjadi sel jenis lain. Kemampuan

tersebut, memungkinkan stem cell memperbaiki kerusakan tubuh dengan

menyediakan sel-sel baru untuk memperbaiki kelainan tersebut (Zigova et al.,

2002; Simper et al., 2002; Nayak, 2008).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa transplantasi stem cell ini dapat

menyembuhkan beberapa penyakit antara lain leukemia, thalasemia, anemia,

myeloma, hodgkin, penyakit jantung, diabetes, systemic lupus erithematosus,

stroke, alzheimer, dan parkinson (Krisiukeniene et al., 2003; Ooi J. et al., 2001).

Stem cell yang berasal dari darah tali pusat ini tidak hanya dapat digunakan oleh

pemiliknya, tetapi juga dapat digunakan oleh saudara kandung ataupun orang tua

pemilik umbilical cord blood tersebut, dengan syarat terdapat kecocokan dalam

struktur gen dan golongan darah. Bila dimanfaatkan oleh saudara kandung,

tingkat kecocokannya mencapai 50-70%. Sedangkan bila digunakan oleh orang

tua, kecocokannya mencapai 50% (Lee et al., 2002; Willing et al., 2003; Nayak,

2008).

Human umbilical cord blood stem cell mempunyai sejumlah keunggulan

dibandingkan dengan sumber stem cell lainnya, antara lain :

a. Pengambilan stem cells ini bebas risiko rasa sakit dan proses pengambilannya

relatif cepat

b. Umbilical cord blood stem cells selalu siap digunakan kapan saja melalui

penyimpanan dalam kulkas cryogenic sampai -1800C13

Page 14: kirim bab 1-2

c. Rendahnya risiko Graft versus Host Disease (GvHD)

d. Kelebihan umbilical cord blood lainnya berhubungan dengan kecocokan

HLA (human leukocyte antigen). Pada transplantasi umbilical cord blood ini

hanya mensyaratkan minimal tiga HLA saja yang cocok. (Terskikh et al.,

2001; Tezuka, 2002; Wichterle, 2002)

Namun stem cell dalam umbilical cord blood memiliki kelemahan

karena jenisnya lebih primitif dibandingkan dengan yang ada di sumsum tulang

belakang sehingga proses penyatuannya memerlukan waktu yang lebih lama. Hal

tersebut membuat penerima transplantasi berisiko tinggi untuk terkena infeksi.

d. Diferensiasi Human umbilical cord blood stem cells menjadi Sel Saraf

Chen et al (2005) telah mengidentifikasi terdapatnya dua subfraksi

dalam fraksi mononuklear umbilical cord blood stem cell. Dua subfraksi tersebut

adalah subfraksi adherent yaitu suatu subfraksi yang mengekspresikan antigen

hematopoetik dengan limfosit sebagai komponen utama (53%) serta subfraksi

floating yang dapat mengekspresikan neuronal antigen. Fraksi mononuklear yang

berasal dari HUCB stem cell mengandung sejumlah sel progenitor yang dapat

berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel tubuh termasuk sel mesenkim dan sel

saraf (Goldman, 2006; Nayak, 2008).

Sebuah studi yang dilakukan oleh Nayak (2008) menyebutkan bahwa

fraksi floating dalam HUCB stem cells dapat mengekspresikan protein neural

yang ditunjukkan dengan tingginya ekspresi reseptor neurotropin trkB dan trkC.

Berdasarkan pemikiran ini dapat diperoleh sel progenitor neuron yang berasal dari

HUCB stem cell dengan teknik purifikasi slow sedimentation. Teknik purifikasi

ini dapat dilakukan dengan mengeliminasi fraksi adherent yang mengekspresikan

antigen hematopoetik dan mengoptimalkan viabilitas fraksi floating dalam

mengekspresikan protein neural secara in vitro (Lee et al., 2002; Goldman, 2006;

Mikami et al., 2002).

Beberapa penelitian telah menggunakan berbagai media dan growth

faktor untuk menginduksi stem cells menjadi sel saraf, antara lain Retinoic Acid

14

Page 15: kirim bab 1-2

(RA), Nerve Growth Factor (NGF), Brain Derived Nerve Factor (BDNF), dan

Endothelial Growth Factor (EGF) (Edling et al., 2004; Lee et al., 2002;

Wichterle, 2002). Kultur mononuklear HUCB stem cells pada medium berisi

serum yang diinduksi dengan RA dan BDNF dilakukan selama 20 hari untuk

mendapatkan sel saraf, astrosit, dan oligodendrosit matur. Pada penelitian ini

digunakan kombinasi RA sebagai growth factor yang dapat menginduksi berbagai

sel ektodermal dan BDNF sebagai growth factor spesifik bagi pembentukan sel

saraf dengan tujuan untuk mengoptimalisasi lingkungan in vitro bagi

pertumbuhan sel multipoten menjadi sel saraf. Dalam penelitian ini dilakukan

analisis komparasi morfologi dan ekspresi antigen spesifik pada hari ke 1, 5, 10,

dan 20 kultur. Penelitian tersebut melaporkan terdapatnya ekspresi nestin tertinggi

sebagai marker utama sel saraf pada hari ke-5 (Goldman, 2006; Nayak, 2008). Di

lain pihak, Sohur (2008) melapokan bahwa dalam 30 hari kultur fraksi floating

dari HUBC stem cells, didapatkan ekspresi protein neural sejak hari pertama.

Sebuah studi melaporkan bahwa pada kultur fraksi floating HUBC stem cells

selama 25 hari didapatkan ekspresi kadar nestin tertinggi setelah hari pertama

kultur sampai hari ke-5 kultur dan ekspresi nestin ini terus menurun setelah 15

hari kultur. Pada kultur ini didapatkan pula kadar GFAP tertinggi pada hari ke-20

kultur, kadar trKc mulai meningkat pada hari ke-10 kultur, dan ekspresi TuJ1

mulai hari pertama kultur (Lee et al., 2002; Wichterle, 2002)

Sebuah studi menunjukan bahwa fraksi floating dari kultur

mononuklear HUCB stem cells didapatkan setelah 20 hari in vitro. Dalam studi ini

didapatkan peningkatkan ekspresi protein neuronal mulai 24-48 jam kultur setelah

diinduksi dengan NGF. Dalam penelitian ini digunakan NGF sebagai suatu

growth factor yang cukup kuat dan spesifik untuk menginduksi pembentukan sel

saraf. Selain itu, NGF merupakan suatu faktor pertumbuhan bagi sel saraf yang

dapat meningkatkan pembentukan dan pematangan NPC secara in vivo. Dalam

studi ini dilakukan analisis tingkat ekspresi protein neural secara kualitatif dan

kuantitatif dengan skala ordinal 0-4 yang dinilai dengan membandingkan

intensitas warna pada setiap lapang pandang pengamatan, dengan penjelasan

15

Page 16: kirim bab 1-2

sebagai berikut 0 : tidak ada ekspresi; 1: intensitas pewarnaan minimal; 2 :

intensitas pewarnaan moderate; 3 : intensitas pewarnaan tinggi; 4 : intensitas

pewarnaan maksimal.Berdasarkan analisis ekpresi tersebut dilaporkan bahwa

fraksi floating berekspresi kuat terhadap antibodi nestin pada hari pertama kultur,

ekpresi TuJ1 yang tinggi pada hari ke-5 dan 10, sedangkan ekspresi GFAP

didapatkan tetap rendah sampai hari terakhir kultur (Lee et al., 2002; Goldman,

2006; Wichterle, 2002)

Mikami et al (2002) dan Wichterle (2002) Melakukan kultur

mononuklear HUCB stem cells dengan induksi BDNF, RA, dan NGF selama 190

hari. Pada studi ini dilakukan analisis western blot terhadap ekspresi protein

neural dengan sel otak hewan coba sebagai pembandingnya, dalam analisis ini

didapatkan ekspresi marker sel saraf yang ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 1. Ekspresi nestin tinggi pada hari ke-0, ke-5, dan ke-10 kultur,

ekspresi GFAP tinggi pada hari ke-5 kultur, eksprei TuJ1 tinggi pada

hari ke-190 kultur, dan ekspresi A2B5 yang tinggi pada hari ke-190

kultur (Mikami et al., 2002).

16

Page 17: kirim bab 1-2

Berikut adalah beberapa marker yang telah digunakan dalam

berbagai penelitian untuk menunjukkan keberhasilan induksi stem cells

menjadi sel saraf:

Tabel 1. Marker Penanda Sel Saraf (Chen et al., 2005)

Antigen Species Cross Reactivity Dilution

HematopoeticCD133CD117CD15CD45Early NeuralNestinVimentinA2B5NeuronalTuJ1NF68KDMAP2NSEGliaGFAPS100Ga1CReceptorstrKAtrKBtrKCp75NTRCXCR4

MouseMouseMouseMouse

MouseMouseMouse

RabbitRabbitMouseRabbit

RabbitRabbitRabbit

RabbitRabbitRabbitMouseRabbit

HumanHumanHumanHuman

HumanHumanHuman, rat

MamalsRat, human, bovineHuman, rat, mouseHuman

Human, cowHuman Human, animal

HumanHuman HumanHumanHuman

1:501:501:501:50

1:1001:2001:200

1:1,0001:5001:1,5001:100

1:8001:1671:150

1:5001:2,0001:2,0001:4001:1,000

Sebuah studi melaporkan bahwa keberhasilan diferensiasi secara in vitro

dapat ditunjukkan dengan marker penanda sel progenitor neural antara lain:

a. Glial Fibrilary Acidic Protein (GFAP) merupakan marker penanda sel yang

menunjukkan adanya pertumbuhan neuroglial yang mengindikasikan proses

pembentukan sel-sel neuron matur. Reaksi Imunositokimia positif pada protein

spesifik ini menunjukkan kemampuan sel tersebut untuk berkembang menjadi 17

Page 18: kirim bab 1-2

astrosit, oligodendrosit, dan sel glial lainnya (Nassenstein et al., 2003; Willing

et al., 2003).

b. Tyrosin-kinase-C (trKC) merupakan salah satu reseptor yang memperantarai

beberapa fungsi protein yang berefek neurotropik seperti BDNF (Brain Deriver

Nerve Factor) dan NT-3 (Neurotropin 3) yang berperan penting dalam

transdiferensiasi sel progenitor neuron menjadi sel saraf. Reaksi

imunositokimia positif terhadap antibodi trKC pada kultur stem cell

mengindikasikan kemampuan sel tersebut untuk diinduksi menjadi sel saraf

dan beradaptasi dalam lingkungan yang neurogenik (Wichterle, 2002; Zigova

et al., 2002).

c. Nestin, suatu protein neurofilamen yang merupakan marker paling spesifik

dalam pembentukan neural progenitor stem cell yang bersifat multipoten.

Ekspresi nestin banyak ditemukan pada awal perkembangan neurogenesis,

pasca trauma otak dan medula spinalis serta pada pertumbuhan tumor sel saraf.

Pewarnaan imunositokimia positif terhadap antibodi nestin menunjukkan

kemampuan stem cell tersebut untuk berdeferensiasi menjadi sel saraf

(Gilyarov, 2008 ).

d. TuJ1, suatu protein anti β III tubulin yang merupakan marker penanda sel

saraf. Reaksi positif imunositokimia terhadap antibodi TuJ1 menunjukkan

kemampuan stem cell untuk berdiferensiasi menjadi sel saraf.

18

Page 19: kirim bab 1-2

Berikut ini adalah hasil analisis imunositokimia terhadap UCB stem cells

setelah diinduksi dengan BDNF:

Gambar 2 . Immunostaining Terhadap Sel Darah Tepi yang Menunjukkan Hasil

Diferensiasi In vitro HUCB stem cells Menjadi Sel Saraf (Sohur,

2008). Gambar A,E,I menunjukkan early neoronal cell sebagai hasil

diferensiasi HUCB stem cells yang diidentifikasi dengan antibodi

nestin staining. Gambar B,C,D menunjukkan sel saraf sebagai hasil

diferensiasi HUCB stem cells in vitro yang diidentifikasi dengan

neuron-specific immunostaining untuk tubulin tipe IIIb menggunakan

antibodi TuJ1. Gambar F,G,H menunjukkan astrosit sebagai hasil

diferensiasi HUCB stem cells in vitro yang diidentifikasi dengan

Astrocyte-specific immunostaining dengan antibodi GFAP. Gambar

J,K,L menunjukkan ekspresi protein neurotropik pada HUCB stem

cells in vitro yang diidentifikasi dengan antibodi trKC (Sohur, 2008).

19

Page 20: kirim bab 1-2

4. Neural Progenitor Cell (NPC)

a. DefinisiNeural stem cell (NSC) merupakan sel multipoten yang memiliki

kemampuan self renewal dan berespon terhadap sinyal diferensiasi.

Diferensiasi stem cell terjadi secara progresif melalui proses pembentukan

dan pembelahan menjadi sel perkusor yaitu neural progenitor cell dengan

kemampuan diferensiasi lebih spesifik. Sel perkusor ini berperan sentral

dalam perkembangan NSC menjadi sel matur dan berdiferensiasi menjadi sel

saraf, astrosit, dan oligodendrosit.

Perbedaan antara berbagai populasi sel progenitor pada susunan saraf

pusat didasarkan atas kemampuan sel progenitor tersebut untuk memproduksi

berbagai macam tipe sel saraf. Sel progenitor neural yang memiliki

kemampuan berdiferensiasi menjadi sel saraf dikenal sebagai neuronal

restricted progenitors (NRPs) sedangkan yang berdiferensiasi menjadi

mikroglia seperti astrosit dan oligodendrosit dikenal sebagai glial restricted

progenitors (GRPs) (Gage, 2003; Yang et al., 2000).

Sel progenitor dapat diidentifikasi sebagai NRPs apabila memenuhi

beberapa kriteria berikut: (1) mempunyai kemampuan berproliferasi; (2)

mempunyai kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel saraf walaupun

berada dalam lingkungan dan kondisi yang memacu diferensiasi menjadi sel

glia secara in vitro maupun in vivo; (3) dapat mengekspresikan marker neuron

spesifik, seperti tubulin tipe III, MAP, dan nestin. Selain itu, telah

diidentifikasi bahwa sel progenitor neuron dapat mengekspresikan molekul

adhesi sel saraf yaitu embryonic neuronal adhesion molecule (E-NCAM) dan

PSA-NCAM (polysialylated-neural-cell- adhesion-molecule) (Kokaia et al.,

2004; Suzuki dan Goldman, 2003). Molekul adhesi ini merupakan faktor

yang berperan penting dalam migrasi progenitor sel saraf menuju tempat

kerusakan (Marshal et al., 2003).

20

Page 21: kirim bab 1-2

Sel progenitor diidentifikasi sebagai GPRs apabila memenuhi

kriteria sebagai berikut: (1) mempunyai kemampuan berproliferasi; (2)

mempunyai kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi mikroglia walaupun

berada dalam lingkungan dan kondisi yang memacu diferensiasi menjadi sel

saraf secara in vitro maupun in vivo; (3) mengekspresikan marker sel glia

spesifik yaitu GFAP (Pencea et al., 2001; Schubert et al., 2000).

b. Karakterisasi NPC in vivo dan in vitro

Karakterisasi NPCs secara in vitro maupun in vivo didasarkan pada

kemampuan sel tersebut untuk mengekspresikan marker sel saraf dan sel glia

spesifik, sedangkan sel saraf imatur tidak mempunyai kemampuan

mengekspresikan marker tersebut (Bonsall dan Luskin, 2003). NPCs akan

mengekspresikan marker sel saraf dan sel glia spesifik selama fase mitosis

aktif. Pada kultur sel progenitor neural secara in vitro, didapatkan ekspresi

nestin pada hari pertama kultur, ekspresi tubulin tipe III pada hari ke-6 kultur,

dan ekspresi MAP-2 sebagai penanda sel saraf matur. Selain itu, pada tahap

awal kultur diekspresikan marker sel glia spesifik, GFAP dan molekul adhesi

E-NCAM (Nguyen et al., 2004).

Secara klinis NPCs dapat ditransplantasikan secara invasif maupun

non invasif. Transplantasi hasil induksi stem cell ini secara invasif dapat

langsung mencapai target organ tetapi berisiko tinggi karena melibatkan

proses pembedahan. Adapun transplantasi non invasif dilakukan melalui

transfusi intravena. Sebuah studi menyatakan bahwa dalam sekali

transplantasi stem cell melalui transfusi intravena direkomendasikan terdapat

minimal 100.000 sel. Akan tetapi transfusi intravena dalam bentuk stem cell

yang belum berdiferensiasi memiliki resiko menimbulkan teratoma. Studi

yang dilakukan oleh Drucker (2004) telah melakukan kultur NPC yang

diambil dari subventrikular zone hewan coba. Dalam studinya, kultur NPC ini

dapat ditransplantasikan kembali pada hewan coba secara intravena dan

21

Page 22: kirim bab 1-2

menunjukkan perbaikan yang nyata pada 8 minggu posttransfusi. Sejalan

dengan Drucker (2004), Horrobin (2002) dan Zigova (2002) menyebutkan

bahwa transfusi stem cell dalam bentuk sel progenitor dapat meminimalkan

terjadinya teratoma. Hal ini berkaitan dengan kemampuan sel progenitor

tersebut untuk beradapatasi dengan lingkungan neurogenik dan kemampuan

diferensiasi yang lebih spesifik (Horrobin, 2002; Zigova et al, 2002; Drucker,

2004).

Secara in vivo, sel progenitor neural tidak bermigrasi secara radial

sepanjang sel glia, tetapi sel progenitor ini mampu memproduksi suatu

substrat untuk mempermudah migrasi menuju lokasi kerusakan sel saraf

melalui mekanisme migrasi berantai (chain migration). Mekanisme ini

berlangsung dalam dua tahap yaitu proses stepping yang melibatkan E-

NCAM sebagai molekul adhesi dan proses homing pada lokasi kerusakan

(adjacent cell) (Maricich et al., 2001). Sel saraf yang mengalami kerusakan

akan mengekspresikan berbagai molekul kemoatraktan yaitu suatu molekul

pengikat E-NCAM pada proses stepping. Sedangkan molekul yang terlibat

pada proses homing sel progenitor neural antara lain sinyal molekul

proteoglikans, NCAM, slit, serta aminobutyric acid-ergic (GABAergic),

melalui proses homing ini sel progenitor akan beradaptasi dan berdiferensiasi

menjadi sel saraf matur (Pencea dan Luskin, 2003; Wang et al., 2003).

Keberhasilan transplantasi stem cell menggunakan metode transfusi

intravena tidak lepas dari pengaruh sinyal biokimia yang terdapat pada sel

target. Sebuah studi menyatakan bahwa sel saraf yang mengalami kerusakan

akan mengekspresikan berbagai atractant molecule seperti retinoic acid (RA)

dan brain derived nerve factor (BDNF) untuk menarik progenitor sel saraf

tersebut ke lokasi kerusakan. Selain itu sel mononuklear yang berasal dari

stem cell ini juga mengekspresikan faktor angiogenik yaitu Vascular

Endothelial Growth Factor (VEGF) serta Angiopoietin 1 dan 2 yang berperan

sebagai mempermudah migrasi sel progenitor neuron menuju lokasi

22

Page 23: kirim bab 1-2

kerusakan sel saraf. Selanjutnya stem cell tersebut akan berdiferensiasi

menjadi sel saraf, astrosit dan oligodendrosit karena paparan RA dan BDNF

di lokasi lesi tersebut (Drucker, 2004; Pencea et al., 2001).

c. Kontrol intrinsik dan ekstrinsik NPC

Sebuah studi menyatakan bahwa kemampuan NPC dalam

menggantikan kerusakan sel saraf berkaitan erat dengan faktor regulasi,

proliferasi, survival, dan diferensiasi. Mekanisme kontrol yang berhubungan

dengan faktor-faktor tersebut yaitu: (1) regulasi intraseluler langsung yang

terlibat dalam cell cycle progression (kontrol intrinsik) dan (2) sinyal

ekstraseluler, yang melibatkan mekanisme diffusible, membrane bound, dan

ECM bound (sinyal ekstrinsik) (Wichterle et al., 2001).

Terdapat beberapa sinyal protein yang berperan meregulasi proliferasi

sNPC, yaitu neuron spesific protein cyclin dependent kinase inhibitors

(CDKIs) yang mengatur proliferasi sebelum fase postmitotik. CDKIs

merupakan regulator sentral yang mengontrol proses progresi selama siklus

pembelahan sel. Pada setiap proses pembelahan, sel akan mengalami empat

fase dalam siklus sel yaitu G1, S, G2, dan M (G=gap, S=sintesis, M=mitosis)

(Sanai et al., 2004). Sinyal ekstraseluler dan intraseluler terlibat dalam

pengaturan proliferasi sel pada fase transisi dari fase G1-S (checkpoint) untuk

mengatur apakah sel tersebut akan membelah atau masuk dalam fase

postmitotik. Dalam hal ini CDKIs berperan sebagai regulator negatif dari

cyclin dependent kinase (CDK) untuk menghentikan siklus sel pada fase G1,

sedangkan CDK4 dan CDK6 merupakan sinyal protein yang berperan dalam

memacu progresivitas siklus sel dari fase G1 ke S (Yang et al., 2000). Studi

yang dilakukan oleh Coskun dan Luskin (2001) melaporkan terdapatnya

ekspresi CDKIs pada kultur NPC secara in vitro, hal ini mengindikasikan

bahwa CDKIs merupakan sinyal intraseluler yang berperan dalam proliferasi

dan mempertahankan NPC agar tetap berada dalam fase postmitotik.

23

Page 24: kirim bab 1-2

Kontrol ekstrinsik proliferasi NPC diperankan oleh sinyal bone

morphogenic proteins (BMPs) yang berfungsi mengontrol cell cycle arrest.

BMPs merupakan kelompok sitokin transforming growth factor yang

berperan dalam mengontrol proliferasi sel (Bonsall dan Luskin, 2005). Kultur

NPCs secara in vitro menunjukkan bahwa BMP4 dapat meningkatkan jumlah

sel yang berekspresi terhadap marker spesifik sel saraf MAP-1 dan tubulin

tipe III. Studi yang dilakukan oleh Sanai et al (2004) menyatakan bahwa

BMPs berperan secara sinergis bersama CDKIs dalam mengatur proliferasi

sel.

Selain itu, kontrol ekstrinsik NPC juga diperankan oleh brain derived

nerve factor (BDNF) suatu neurotropin afinitas rendah. Sebuah studi

menyatakan bahwa BDNF mampu meningkatkan jumlah sel saraf pada

lingkungan neuron, selain itu secara in vitro BDNF mampu meningkatkan

diferensiasi NPC menjadi sel saraf matur dan meningkatkan kemampuan

survival NPCs dalam lingkungan neurogenik. Dalam studi ini diidentifikasi

adanya ekspresi trkC, suatu reseptor tirosin kinase dengan afinitas tinggi

terhadap BDNF (Gage, 2003; Wang et al, 2003).

24

Page 25: kirim bab 1-2

F. Kerangka Berpikir

G. Hipotesis

1. Waktu induksi berpengaruh terhadap ekspresi marker protein nestin, GFAP,

TuJ1, dan trkC pada kultur HUCB stem cell menjadi NPC dengan NGF in vitro.

2. Kadar NGF berpengaruh terhadap ekspresi marker protein nestin, GFAP, TuJ1,

dan trkC pada kultur HUCB stem cell menjadi NPC.

25