Kinetika_Jessica Arta_12.70.0037_A3

37
1 KINETIKA FERMENTASI DALAM PRODUKSI MINUMAN VINEGAR LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh: Nama : M. Jessica Arta NIM : 12.70.0037 Kelompok A3 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA Acara

description

mengetahui hubungan OD dengan jumlah koloni yeast pada minuman vinegar cider apel

Transcript of Kinetika_Jessica Arta_12.70.0037_A3

Acara IIIKINETIKA FERMENTASI DALAM PRODUKSI MINUMAN VINEGAR

laporan resmi praktikum teknologi fermentasi

Disusun oleh:Nama : M. Jessica ArtaNIM : 12.70.0037Kelompok A3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

201524

19

1. HASIL PENGAMATAN

1.1. Kinetika Fermentasi dalam Produksi Minuman VinegarHasil pengamatan kinetika fermentasi dalam produksi minuman vinegar dapat dilihat pada Tabel 1.Tabel 1. Hasil Kinetika Fermentasi dalam Produksi Minuman VinegarKelPerlakuanWaktuMO tiap petakRata-rata MO tiap petakRata-rata MO tiap CCOD (nm)pHTotal asam (mg/ml)

1234

1Sari apel + S. cereviciaeN0174488,253,3 x 1070,10903,1410,56

N247154586261,252,45 x 1080,49953,1113,44

N483839303234,751,39 x 1080,64283,2012,67

N723631202728,51,14 x 1081,28123,2412,48

N96212619818,57,4 x 1070,80543,2812,67

2Sari apel + S. cereviciaeN0581241,6 x 1070,08893,1310,56

N2478809096863,44 x 1080,65783,1112,48

N481271301291261285,12 x 1080,79353,2012,29

N72170185168162171,256,85 x 1081,26313,2512,10

N96180198192183188,257,53 x 1080,64153,2812,48

3Sari apel + S. cereviciaeN0232128 x 1060,10453,1410,37

N2476647280732,92 x 1080,73673,1313,06

N488077858180,753,23 x 1080,85303,1912,67

N728894909892,53,7 x 1081,16752,9012,48

N96140152177182162,756,51 x 1080,53773,2912,86

4Sari apel + S. cereviciaeN0422841,6 x 1070,10033,1610,94

N2483961129596,53,86 x 1080,82733,1312,29

N4810615449109104,54,18 x 1080,73863,0912,10

N721071034510389,53,58 x 1081,38323,2312,48

N961071051371311204,8 x 1081,10553,2912,48

5Sari apel + S. cereviciaeN0445341,6 x 1070,10223,1811,14

N24119835753783,12 x 1080,65393,1412,86

N483636403937,751,51 x 1080,71913,1912,67

N723447454141,751,67 x 1081,32563,2612,10

N9625363726311,04 x 1080,32423,2912,86

Keterangan : MO = mikroorganisme OD = optical density

Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa pada kelompok A1 hingga kelompok A5 diberi perlakuan yang sama, dimana sari apel ditambahkan dengan Saccharomyces cereviceae. Pada kelompok A2, A3 dan A4 mengalami peningkatan nilai rata-rata/ MO tiap petak dari jam ke- 0, 24, 48, 72 dan 96. Sedangkan pada kelompok A1 dan A5, nilai rata-rata/ MO tiap petak mengalami peningkatan lalu penurunan. Nilai rata-rata/ MO tiap petak berbanding lurus dengan nilai rata-rata/ MO tiap cc. Secara keseluruhan, terjadi peningkatan jumlah sel seiring dengan peningkatan pH. Selain itu, semakin bertambahnya jumlah sel yang dihasilkan akan mengalami peningkatan pada OD (optical density), dan jika dilihat dari total asam, maka semakin tinggi total asam akan dihasilkan jumlah sel yang semakin meningkat. Banyak pula hasil dari kelompok yang fluktuatif.1.2. Grafik Kinetika Fermentasi dalam Produksi Minuman Vinegar

1.2.1. Hubungan OD dan Waktu

Grafik 2. Hubungan Waktu Fermentasi dan OD

Pada grafik 1, dapat dilihat bahwa secara umum nilai OD pada jam ke-24 mengalami peningkatan dari jam sebelumnya, yaitu jam ke- 0. Kemudian, pada jam ke- 48 megalami penurunan dan jam ke- 72 secara umum mengalami peningkatan kembali. Pada jam ke- 96, seluruh kelompok mengalami penurunan nilai OD. Nilai OD seluruh kelompok mengalami fluktuatif. Pada kelompok A4 dihasilkan nilai OD terbesar pada jam ke-72 (hari ke-4), dan pada kelompok A5 dihasilkan nilai OD terkecil pada jam ke-96 (hari ke-5).

1.2.2. Hubungan Jumlah Sel dan Waktu

Grafik 1. Hubungan Waktu Fermentasi dan Jumlah Sel

Pada grafik 2, dapat dilihat bahwa secara umum seiring dengan bertambahnya waktu menghasilkan jumlah sel yang semakin meningkat dari hari pertama samapai hari ke-5. Akan tetapi, pada semua kelompok kecuali kelompok A2 dan A3 terjadi penurunan jumlah sel pada jam ke-24, kemudian pada jam selanjutnya mengalami peningkatan jumlah sel secara signifikan, kecuali kelompok A1 yang justru mengalami penurunan sampai hari ke-5. Pada kelompok A3, hasil yang diperoleh fluktuatif. Jumlah sel tertinggi dihasilkan oleh kelompok A2 pada jam ke-96 (hari ke-5). Sedangkan jumlah sel terendah dihasilkan juga oleh kelompok A1 pada jam ke-24 (hari pertama).

1.2.3. Hubungan Jumlah Sel dan pH

Grafik 3. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dan pH

Pada grafik 3, dapat dilihat bahwa secara umum terjadi peningkatan jumlah sel seiring dengan peningkatan pH, akan tetapi pada hasil beberapa kelompok yang fluktuatif. Terjadinya penurunan atau peningkatan jumlah sel pada tiap kelompok tidak menentu seiring dengan meningkatnya pH. Jumlah sel tertinggi dihasilkan oleh kelompok A2 pada pH sebesar mendekati 3,3.

1.2.4. Hubungan Jumlah Sel dan OD

Grafik 4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dan OD

Pada grafik 4, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan semakin bertambahnya jumlah sel yang dihasilkan akan mengalami peningkatan pada OD (optical density), namun juga grafik yang dihasilkan juga fluktuatif, di mana peningkatan sel justru terjadi pada OD yang lebih rendah dari OD sebelumnya. Jumlah sel tertinggi dihasilkan oleh kelompok A2 yaitu 0,658. Sedangkan jumlah sel terendah dihasilkan juga oleh kelompok A1 yaitu 0,109.

1.2.5. Hubungan Jumlah Sel dan Total Asam

Grafik 4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dan Total Asam

Pada grafik 5, dapat dilihat bahwa secara umum semakin tinggi total asam akan dihasilkan jumlah sel yang semakin meningkat. Namun, terjadinya penurunan atau peningkatan jumlah sel pada tiap kelompok tidak menentu seiring dengan meningkatnya total asam. Jumlah sel tertinggi dihasilkan oleh kelompok A2 pada nilai total asam sebesar 12,48 mg/ml. Sedangkan jumlah sel terendah dihasilkan juga oleh kelompok A1 pada nilai total asam sebesar 10,56 mg/ml.

2. PEMBAHASAN

Cider adalah salah satu minuman yang mengandung kadar alkohol rendah yang diperoleh melalui proses fermentasi sari buah atau bahan lain yang mengandung pati dengan atau tanpa penambahan gula oleh sel khamir (Ranganna, 1978). Berdasarkan pustaka Noguiera et al (2008), proses fermentasi cider dapat menjadi lebih terkontrol dengan cara mengurangi biomassa yang ada di dalamnya, yaitu dikurangi dengan melewatkannya pada suatu filter. Lebih lanjut lagi, kematian sel yeast yang berguna dalam proses fermentasi pun dapat dikurangi. juga menambahkan bahwa proses fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme penyebab fermentasi. Hasil fermentasi sangat dipengaruhi oleh jenis substrat dan jenis mikroorganisme yang digunakan serta proses metabolisme yang terjadi selama fermentasi (Winarno et al, 1984).

Proses fermentasi alkohol berlangsung karena menggunakan yeast atau khamir dan produk yang dihasilkan berupa minuman beralkohol (mengandung alkohol) pada proses pembuatan cider. Dolge et al. (2012) mengemukakan bahwa cider merupakan minuman fermentasi yang dibuat dari jus apel. Secara umum, cider dapat diproduksi dengan mengunakan 2 metode yang berbeda. Metode pertama menggunakan metode tradisional dimana pada pembuatannya tidak ditambahkan gula dan CO2, cider ini diperoleh dari apel cider yang ditekan. Jenis cider ini biasa disebut dengan natural cider. Sedangkan metode yang kedua menggunakan jus konsentrat apel atau apel segar yang ditambahkan dengan gula dan CO2 khusus yang mempunyai ijin dalam penggunannya, serta menggunakan proses stabilisasi. Jenis cider ini disebut dengan sparkling cider. Realita & Debby (2010) mengungkapkan, dalam pembuatan cider, sari apel akan mengalami proses fermentasi dimana ragi akan mengubah gula pada apel menjadi etil alkohol dan karbon dioksida. Proses ini dilakukan dalam dua langkah. Langkah pertama, ragi akan mengubah gula ke alkohol dan kemudian bakteri asam laktat mengubah asam malat menjadi karbon dioksida.

Pada praktikum kinetika fermentasi dalam produksi minuman vinegar dengan substrat yang digunakan adalah sari buah apel. Alasan penggunaan sari buah dikarenakan kadar gula dalam sari buah merupakan faktor yang penting dalam proses fermentasi, karena gula mempunyai peranan sebagai sumber karbon dalam metabolisme yeast (Matz, 1992). Apel mengandung zat dengan gizi yang tinggi seperti kalsium, fosfor, besi, serat, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin C. Buah apel juga mengandung antioksidan yang berperan besar dalam proses perbaikan metabolisme tubuh. Sari buah apel diketahui pula memiliki sifat antiseptik, sehingga bisa membantu menekan jumlah bakteri jahat dalam saluran pencernaan, memperbaiki metabolisme tubuh, memperlancar aliran darah, mengatasi keracunan, serta menekan risiko obesitas (Candra, 2010).

Pada praktikum kali ini, jenis cider yang digunakan adalah natural cider, dimana cider terbuat dari sari apel malang hasil juicer tanpa adanya penambahan gula yang diberi kultur yeast secara aseptis. Menurut teori dari Realita & Debby (2010), pada prinsipnya dalam pembuatan cider hampir semua jenis buah dapat digunakan dengan syarat jumlah gulanya harus cukup. Tidak hanya itu, varietas apel juga dapat mempengaruhi kualitas cider yang dihasilkan. Kulit apel banyak mengandung senyawa yang berkontribusi terhadap rasa sari apel, sehingga dalam praktikum, kulit apel tidak perlu dikupas dalam pembuatan cider. Ferreira et al (2006) menambahkan bahwa buah-buahan seperti apel mengandung gula dalam jumlah tertentu yang dapat dipakai oleh yeast selama proses fermentasi berlangsung. Konsentrasi gula, temperatur, konsentrasi SO2, serta jenis yeast yang digunakan merupakan beberapa faktor krusial yang menentukan keberhasilan dalam proses fermentasi.

Aroma dari cider sendiri dipengaruhi oleh tipe dan konsentrasi komponen aromatik yang terkandung di dalamnya. Aroma tersebut dapat ditimbulkan dari buah apel itu sendiri dimana varietas apel yang dipakai turut mempengaruhi, komponen yang dihasilkan oleh yeast selama fermentasi alkohol, serta komponen yang dihasilkan selama proses ageing. Komponen aromatik tersebut antara lain, ester, alkohol, asam lemak, aldehid, keton, terpene, dan lactone. Produk utama yang dihasilkan dalam fermentasi alkohol adalah etanol dan gliserol, lalu diikuti dengan ester. Ester yang paling utama yaitu etil asetat. Kandungan polifenol pada apel juga berkontribusi terhadap kualitas sensori cider di mana tinggi rendahnya kandungan polifenol tersebut dipengaruhi juga oleh varietas apel, iklim, tingkat kematangan, penyimpanan, serta pengolahan. (Dolge et al., 2012).

Volk & Wheeler (1993) berpendapat bahwa, jenis yeast yang digunakan dalam pembuatan cider saat praktikum adalah Saccharomyces cerevisiae. Kultur yeast Saccharomyces cerevisiae sudah sejak lama dimanfaatkan dalam proses pembuatan minuman. Saccharomyces cerevisiae merupakan golongan khamir murni, yaitu khamir yang dapat berkembang biak secara seksual dengan pembentukan askospora. Tidak hanya itu, Saccharomyces cerevisiae dapat menfermentasi glukosa dalam buah dan hasil pemecahan pati, menghasilkan alkohol dan CO2. Terjadinya aktivitas Sachharomyces cerevisiae yang mengubah gula menjadi alkohol dan beberapa hasil metabolit lain juga menyebabkan warna substrat bertambah keruh. Wood (1998) juga menambahkan bahwa S. cerevisiae selain merombak gula-gula sederhana menjadi alkohol juga menggunakannya dalam metabolisme sel dan pembentukan biomassa sel untuk menghasilkan gliserol, asam asetat dan asam suksinat sebagai produk samping. Hal tersebut didukung oleh teori yang ada dalam Vallesa et al (2006) yang mengatakan bahwa pada fermentasi sari buah, reaksi tersebut melibatkan pengembangan berurutan dari berbagai jenis mikroorganisme. Spesies yeast dengan dinamika yang berbeda selama proses fermentasi berlangsung dapat mempengaruhi rasa, aroma, dan penampilan yang dihasilkan. Hal ini sangat mempengaruhi proses fermentasi dan jumlah sel. Fermentasi yang semakin lama menyebabkan meningkatnya jumlah yeast yang akan menghasilkan asam sehingga akan menghambat pertumbuhan bakteri itu sendiri. Saccahomyces cereviseae memiliki temperatur yang optimal untuk pertumbuhan selama fermentasi sekitar 28oC hingga 32oC dengan pH lingkungan optimal antara 4 - 5 (Reed & Rehm, 1983). Dalam proses fermentasi alkohol terjadi beberapa perubahan pada bahan berkadar pati tinggi. Perubahan tersebut disebabkan karena adanya proses sakarifikasi pati oleh enzim amilase yang kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi alkohol oleh khamir. Cider hasil fermentasi sari buah apel biasanya mengandung alkohol sekitar 6,5-8% (Rahman,1992). Menurut teori dari Sharma & Caralli (1998), fermentasi alkohol merupakan proses anaerobik dari dekomposisi heksosa yang menghasilkan etanol dan CO2. Fermentasi yeast pada gula akan menghasilkan larutan yang mengandung alkohol 10-15 %, di mana minuman yang mengandung alkohol tinggi akan membunuh yeast itu sendiri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Galaction et al (2010), proses fermentasi alkohol dilakukan dengan menggunakan sel Saccharomyces cereviceae yang telah diimobilisasi. Hal tersebut dilakukan dengan mengaplikasikan bioreactor yang dilengkapi dengan stirred bed. Dari hasil tersebut dapat diindikasikan bahwa terdapat peluang untuk dapat menggunakan sistem biokatalis tersebut dari lima hingga lebih dari sembilan siklus fermentasi. Seiring dengan meningkatnya produksi etanol maka substrat dalam hal ini glukosa akan semakin sedikit. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi pertumbuhan sel yeast, dimana semakin lama akan menyebabkan jumlah yeast berkurang karena substratnya semakin habis. Okpokwasili (2005) juga menambahkan dalam tulisannya bahwa terdapat hubungan antara kecepatan pertumbuhan spesifik () dan besarnya konsentrasi substrat. Dari situ dapat dilihat, mikroorganisme akan tumbuh dengan maksimum pada konsentrasi substrat yang tinggi.

Menurut teori Wang et al. (2004), penggunaan gula yang berbeda dapat mempengaruhi proses fermentasi alkohol. Pada jus apel mengandung beberapa jenis gula, antara lain fruktosa, glukosa, dan sukrosa. Fruktosa merupakan kandungan gula tertinggi dalam jus apel dengan kadar hingga 70%. Saccharomyces cerevisiae yang ditambahkan dalam pembuatan cider ini berguna untuk mempercepat katalisis dan menyempurnakan konversi gula menjadi alkohol tanpa menyebabkan pembentukan off-flavor. Tetapi, kandungan fruktosa yang tinggi dapat menyebabkan konsentrasi residu gula tinggi, sehingga menimbulkan off-taste pada produk akhir. Hal ini dikarenakan Saccharomyces cerevisiae bersifat lebih glucophilic (suka glukosa) sehingga terjadi proses pemecahan fruktosa yang lambat proses, sedangkan fermentasi akan berlangsung lebih cepat apabila gula yang digunakan adalah glukosa.

Canbas et al (2007) mengungkapkan bahwa kinetika pertumbuhan sel Saccharomyces cereviceae dapat dipengaruhi oleh temperatur. Pada suhu 25oC, waktu hidup dari Saccharomyces cereviceae akan lebih lama apabila dibandingkan pada suhu 18oC. Selain itu, kecepatan pertumbuhan dan pengkonversian sumber karbon akan bertambah seiring dengan meningkatnya temperatur. Peningkatan temperatur memiliki batasan tertentu, dimana batasan tersebut berada pada suhu 27oC. Di atas suhu tersebut, sel-sel yeast tidak dapat bertumbuh dengan baik. Terdapat 2 cara dalam penentuan jumlah sel, yaitu secara langsung maupun tidak langsung. Penentuan jumlah sel secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan haemocytometer. Hal tersebut didukung oleh Pigeau et al (2007) bahwa pengukuran konsentrasi sel yeast dapat dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan haemocytometer. Chen & Chiang (2011) menyatakan bahwa haemocytometer merupakan suatu alat yang dgunakan untuk menghitung sel secara cepat dan digunakan untuk konsentrasi sel yang rendah. Haemocytometer biasanya diletakkan diatas spesimen pentas (tempat objek) dan digunakan untuk menghitung jumlah suspensi sel. Semakin lama waktu fermentasi yeast akan membuat jumlah sel semakin meningkat namun pada titik tertentu sel akan mengalami penurunan karena pertumbuhannya telah maksimal (fase stasioner). Sedangkan penentuan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan mengukur tingkat kekeruhan larutan memakai alat spektrofotometer. Menurut teori dari Fardiaz (1992), intensitas cahaya yang ditransmisikan dan diabsorbansi oleh larutan dapat ditentukan dengan hukum Lambert-Beer. Rasio intensitas yang diteruskan (I) dengan intensitas cahaya mula-mula (I0) disebut dengan persen transmitansi (%T). Semakin keruh suatu suspensi maka jumlah cahaya yang diteruskan akan semakin kecil sehingga nilai %T pun semakin kecil yang kemudian dijabarkan dengan rumus dari hukum Lambert-Beer sebagai berikut, A = log (I0/It) = log(I0/It) = log T = abc. Berikut merupakan foto langkah dalam pembuatan cider :

Apel potong Apel dijuicer Sari apel disaring

Inkubasi shaker Inokulasi kultur ke sari apel Sari apel sterilisasi

Pada praktikum pembuatan cider langkah yang kami lakukan, pertama-tama sari apel malang hasil juicer disiapkan terlebih dahulu sebanyak 250 ml ke dalam erlenmeyer kemudian disterilisasi selama 30 menit. Tujuan dari sterilisasi sendiri adalah untuk mematikan serta membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan dalam proses fermentasi (Potter & Hotchkiss, 1995). Sari apel yang telah disterilisasi tersebut kemudian ditambahkan dengan 30 ml biakan yeast dengan prosedur aseptis. Berdasarkan teori Hadioetomo (1993), dengan menggunakan teknik aseptis, maka hasil tidak mengalami kontaminasi di mana organisme yang akan tumbuh dalam biakan hasil pemindahan hanya organisme yang diinginkan.Setelah itu, campuran tersebut diinkubasi dengan perlakuan shaker atau dengan penggoyangan selama 5 hari pada suhu ruang (25-30oC), dimana setiap 24 jam dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30 ml secara aseptis untuk mengetahui tingkat pertumbuhan sel yeast dengan dilakukan uji haemocytometer, pH, OD, serta total asam. Perlakuan shaker bertujuan untuk meningkatkan laju alir udara sehingga laju transfer O2 tidak terhambat. Dengan adanya O2 tersebut, proses metabolisme sel pada sel yeast akan optimal sehingga Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dengan baik (Winarno et al., 1984). Menurut Said (1987), proses shaker inkubator digunakan sebagai media aerasi untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan agitasi untuk menjamin tercapainya keseragaman suspensi dari sel mikroba pada media nutrien agar selalu dalam keadaan homogen. Proses aerasi ini sangat diperlukan karena pertumbuhan Saccharomyces cereviseae biasanya berlangsung secara aerob (Van Hoek et al, 2004). Stanburry & Whitaker (1984) menambahkan bahwa agitator memiliki fungsi untuk menurunkan ukuran gelembung udara area antar permukaan dan mengurangi difusi serta mempertahankan kondisi lingkungan yang stabil dalam wadah. Dalam melakukan proses shaker, praktikan menempatkan labu erlenmeyer yang telah ditutup dengan aluminium foil di atas shaker. Metode ini sesuai dengan metode yang diungkapkan oleh Rahman (1992). Yang menyatakan bahwa proses shaker dilakukan dengan menempatkan labu tempat bahan fermentasi dalam kondisi tertutup, di atas shaker yang kecepatannya dapat diatur.

Setelah itu, dilakukan uji tingkat kepadatan Saccharomyces cerevisiae pada N0, N24, N48, N72, dan N96 dengan menggunakan alat Haemocytometer. Hadioetomo (1993) megungkapkan bahwa, haemocytometer merupakan ruang hitung yang terdiri atas kotak atau petak berukuran kecil untuk menghitung jumlah sel di bawah mikroskop. Alat tersebut umumnya digunakan untuk menghitung sel yang berukuran sebesar sel darah merah, selain itu juga untuk menghitung sel dengan densitas >104 sel/ml. Chen & Chiang (2011) menegaskan bahwa haemocytometer terdiri dari 2 ruang hitung dengan kedalaman tertentu dimana pada masing-masing ruangan tersebut terdapat kotak-kotak mikroskopik yang tergores pada permukaan kaca. Petak tersebut dibatasi dengan 3 garis dengan ukuran 4 x 4 kotak, sehingga dalam 1 kotak terdiri dari 16 kotak kecil. Dengan adanya petak tersebut maka memungkinkan untuk dapat menghitung jumlah sel dalam volume spesifik cairan.

Sampel diambil sebanyak 30 ml dari tahap sebelumnya, dilakukan juga uji total asam pada N0, N24, N48, N72, dan N96. Pengukuran total asam ini dilakukan dengan menggunakan metode titrasi. Sampel diambil sebanyak 10 ml kemudian dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N. Sebelum dilakukan titrasi, dilakukan penambahan indikator PP terlebih dahulu. Titrasi dihentikan apabila larutan sampel berubah warna. Selanjutnya nilai total asam diperoleh dengan rumus :Total Asam =

Selain itu, dilakukan pengukuran pH pada cider apel ketika N0, N24, N48, N72, dan N96. Pengambilan larutan sampel sebanyak 10 ml dilakukan kemudian diukur pHnya dengan menggunakan pH meter. Kemudian, sisa sampel selanjutnya dilakukan penentuan OD dengan menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang sebesar 660 nm. Penentuan OD ini juga dilakukan pada N0, N24, N48, N72, dan N96. Jomdecha & Prateepasen (2006) mengungkapkan bahwa optical density kultur yeast merupakan pengukuran terhadap jumlah sel yeast yang ada di kultur cair. Nilai OD merupakan banyaknya sinar yang dapat diteruskan oleh kultur cair. Menurut Ewing (1985), spektrofotometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur penyerapan radiasi oleh larutan. Absorbansi merupakan nilai konstan dari intensitas penyerapan. Nilai absorbasi tersebut akan dipengaruhi oleh konsentrasi, tebal media, dan intensitas penyinaran. Fox (1991) menegaskan bahwa metode absorbansi dipengaruhi oleh konsentrasi dan kejernihan larutan. Apabila suatu larutan sangat pekat dan keruh, maka nilai absorbansinya akan semakin tinggi.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa semakin bertambahnya jumlah sel yang dihasilkan akan mengalami peningkatan pada OD (optical density). Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Pelezar & Chan (1976) bahwa jumlah sinar yang dihambat proporsional dengan massa sel yang ada, sehingga semakin banyak massa sel yang ada dalam suspensi maka sinar yang disebarkan akan semakin banyak. Oleh karena itu, nilai OD (absorbansi) akan berbanding lurus dengan jumlah sel yang ada. Wang et al. (2004) mengemukakan bahwa nilai absorbansi diukur berdasarkan tingkat kekeruhan larutan. Tingkat kekeruhan suatu larutan akan mempengaruhi seberapa banyak cahaya yang dapat melewati suatu larutan tersebut. Pertumbuhan yeast yang semakin meningkat menyebabkan cider menjadi semakin keruh karena jumlah sel yeast yang semakin banyak. Semakin keruh suatu larutan, maka absorbansi akan semakin besar. Besarnya absorbansi atau nilai OD ini menunjukkan semakin besar jumlah sel yang ada di dalamnya. Namun pada praktikum kali ini, terdapat kelompok yang justru mengalami penurunan jumlah sel ketika nilai OD bertambah, bahkan terdapat hasil yang fluktuatif. Kesalahan tersebut bisa saja terjadi dikarenakan kuvet yang digunakan kurang bersih, penempatan kuvet yang tidak tepat, adanya gelembung udara dalam larutan, panjang gelombang yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang tertera pada alat, kurang sempurna dalam penyiapan larutan sampel dan blanko sehingga menyebabkan pembacaan spektrofotometer menjadi kurang tepat (Pomeranz & Meloan, 1994). Selain itu, kesalahan dalam pengukuran OD ini dapat terjadi karena adanya debu yang mengganggu kerja sistem optik, adanya sinar yang tersesat (stray light) yang dapat menumbuk sel, suspensi yang tidak homogen sehingga sel yeast mengendap di dasar wadah, sehingga suspensi yang terukur pada spektrofotometer maupun pada haemocytometer adalah suspensi yang mengandung sedikit sel yeast (Khopkar, 2002).

Pada hasil yang diperoleh, seiring dengan bertambahnya waktu menghasilkan jumlah sel yang semakin meningkat. Berdasarkan apa yang dikatakan dengan Shuler (1989) bahwa fase pertumbuhan yeast meliputi fase lag, log, stasioner, dan fase kematian atau dengan kata lain terdapat adanya kenaikan, mendatar, serta menurun. Fase lag terjadi dengan cepat setelah inokulasi dan ini adalah masa penyesuaian sel dengan lingkungan. Fase lag ini terjadi pada N0. Mikroorganisme mengorganisasi kembali molekul mereka ketika mereka dipindahkan ke medium baru. Selama fase ini, jumlah massa meningkat sedikit tanpa peningkatan densitas sel. Jomdecha & Prateepasen (2006) melalui penelitiaanya menambahkan bahwa pada awalnya pertumbuhan sel yeast berlangsung lambat karena sel berusaha untuk beradaptasi pada lingkungan media baru, kemudian volume sel membengkak dan metabolisme sel meningkat, akan tetapi proliferasi sel berlangsung lambat. Pada fase log, sel sudah menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru. Setelah periode adaptasi, sel dapat melakukan penggandaan dengan cepat dan jumlah serta densitas sel meningkat secara eksponensial. Selama fase log, populasi yeast bertambah dan pertunasan akan terjadi dengan tingkat tinggi. Saat yeast mengalami percepatan pertumbuhan, yeast akan membutuhkan sumber gula yang tinggi pula untuk pertumbuhannya. Ketika jumlah gula terbatas, yeast akan kehilangan kemampuannya untuk memfermentasi. Hal ini disebabkan oleh penurunan energi seluler secara cepat. Apabila energi berkurang, maka sel yeast akan berhenti bertunas dan laju produksi alkohol menurun. Pada fase stasioner di mana pertumbuhan mikroorganisme terhambat. Hal ini disebabkan karena nutrisi mulai habis, sehingga tidak terjadi pembelahan oleh mikroorganisme. Setelah fermentasi melebihi 48 jam, sel yeast akan mengalami fase stasioner karena faktor pertumbuhan dalam media menjadi semakin terbatas. Selama fase ini, yeast akan berhenti bertunas dan lama-kelamaan yeast akan mati karena sumber makanan telah habis. Pada akhir fase seharusnya terjadi fase stasioner dan diakhiri dengan fase kematian (N96) di mana pertumbuhan mikroorganisme sama dengan kematian. Pada fase terakhir ini terjadi penurunan jumlah mikroorganisme secara drastis. Menurut Stanburry & Whitaker (1984) kultur batch atau kultur terbatas, adalah contoh dari sistem kultur tertutup yang berisi nutrien dalam jumlah terbatas sehingga dalam waktu beberapa hari mungkin nutrisi yang ada didalam cider apel sudah habis.

Fase tersebut disebut dengan fase lag. Setelah fase lag, pertumbuhan sel akan menjadi semakin cepat disebabkan karena sel telah beradaptasi dengan lingkungan media dan substansi makanan yang mampu lebih cepat masuk ke dalam sel dibandingkan pada fase lag. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan yeast meningkat dengan cara bertunas atau membelah diri, inilah yang disebut fase eksponensial. Ketidaksesuaian ini dapat saja terjadi karena adanya mikroorganisme lain dalam bahan sehingga jumlah sel yang terbaca pun menjadi lebih tinggi, ataupun pada jam ke- 96 masih terdapat substrat yang cukup banyak untuk pertumbuhan sel yeast. Hal lain dapat disebabkan karena ketidaktelitian praktikan dalam menghitung jumlah sel dengan menggunakan haemocytometer. Penghitungan jumlah sel yang salah akan mempengaruhi hasil perhitungan jumlah sel tiap cc (Triwahyuni et al., 2012).Berikut merupakan foto hasil haemocytometer pada jam ke-0 hingga jam ke-96 dari kelompok A3 berturut-turut dar kiri ke kanan :

Damtew (2012) mengungkapkan bahwa kinetika pertumbuhan dan hasil biomassa pada strain yang menggunakan konsentrasi substrat yang berbeda dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi gula oleh yeast yang akan meningkatkan konversi substrat menjadi etanol dan by-product lainnya. Berdasarkan grafik yang tercantum pada jurnal dapat dilihat bahwa semakin lama waktu fermentasi akan meningkatkan nilai absorbansinya. Hal tersebut sesuai dengan hasil praktikum yang ada, bahwa secara keseluruhan kelompok, seiring bertambahnya waktu maka akan dihasilkan nilai OD yang semakin besar. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Jomdecha & Prateepasen (2006), yang mengatakan semakin lama waktu inkubasi, akan semakin banyak sel yeast yang bertunas atau membelah diri sehingga jumlah sel dalam kultur semakin meningkat. Dengan demikian, semakin banyak jumlah sel, maka akan semakin tinggi juga nilai OD. Akan tetapi, terdapat juga sebagian kelompok dalam beberapa titik waktu tertentu mengalami penurunan nilai OD. Ketidaksesuaian tersebut dapat saja terjadi karena proses shaker yang kurang sempurna. Rahman (1992) mengemukakan bahwa kecepatan shaker harus diatur supaya gerakan berputar shaker dapat menyebabkan media bergolak sehingga terjadi aerasi. Apabila proses shaker ini tidak berjalan dengan baik, maka laju transfer udara atau O2 akan terhambat akibatnya Saccharomyces cerevisiae tidak dapat tumbuh secara optimal. Kesalahan lainnya dapat saja terjadi karena sampel yang digunakan untuk pengujian absorbansi tidak dilakukan pengadukan terlebih dahulu, hal tersebut dapat mengakibatkan banyak sel yeast yang berada di bagian bawah wadah atau mengendap dan tidak turut serta saat dituang dalam kuvet. Hal ini dapat menyebabkan sampel yang terukur kemungkinan adalah sampel yang hanya mengandung sedikit sel yeast, sehingga mempengaruhi nilai OD yang terukur. Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, diketahui pula bahwa hasil jumlah sel tiap kelompok dapat berbeda-beda. Hal ini menurut Hayes (1995) disebabkan karena adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa faktor tersebut, antara lain nutrien, suhu, kelembaban, oksigen, dan pH.

Pada hasil hubungan antara jumlah sel dengan pH, dapat dilihat secara umum terjadi peningkatan jumlah sel seiring dengan peningkatan pH, akan tetapi pada hasil beberapa kelompok yang fluktuatif. Terjadinya penurunan atau peningkatan jumlah sel pada tiap kelompok tidak menentu seiring dengan meningkatnya pH. Jumlah sel tertinggi dihasilkan oleh kelompok A2 pada pH sebesar mendekati 3,3. berdasarkan teori dari Galaction et al (2010), selama proses fermentasi akan ada perubahan gula menjadi alkohol dan CO2 yang melibatkan organisme fermentatif. Seiring dengan meningkatnya produksi etanol maka substrat dalam hal ini glukosa akan semakin sedikit. Hal tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan sel yeast, dimana semakin lama akan menyebabkan jumlah yeast berkurang karena substratnya semakin habis. Triwahyuni et al. (2012) juga menambahkan bahwa selama fermentasi berlangsung, yeast akan mengalami percepatan pertumbuhan pada jam ke- 24 dan 48, diikuti juga dengan peningkatan pH karena semakin melimpah senyawa alkohol yang dihasilkan. Akan tetapi, pada jam ke- 96, jumlah sel yeast akan mengalami pengurangan karena substrat yang digunakan oleh yeast semakin sedikit seiring dengan semakin meningkatnya produksi alkohol. Pada kondisi tertentu, kandungan alkohol yang tinggi akan membunuh yeast itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan hasil percobaan yang telah diperoleh dari beberapa kelompok dimana ditemukan saat titik pH yang tinggi mengalami penurunan jumlah sel. Akan tetapi, pada keseluruhan kelompok secara umum terjadi peningkatan jumlah sel seiring dengan peningkatan pH. Terjadinya penurunan atau peningkatan jumlah sel pada tiap kelompok tidak menentu seiring dengan meningkatnya pH. Ketidaksesuaian dengan teori dapat saja terjadi karena kesalahan praktikan yang kurang teliti saat mengukur pH dengan menggunakan pH meter dalam menentukan apakah pH meter sudah stabil dengan hasil yang ditampilkan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh semakin tinggi total asam akan dihasilkan jumlah sel yang semakin meningkat. Namun, terjadinya kondisi yang fluktuatif pada jumlah sel tiap kelompok tidak menentu seiring dengan meningkatnya total asam. Jumlah sel tertinggi dihasilkan oleh kelompok A2 pada nilai total asam sebesar 12,48 mg/ml. Sedangkan jumlah sel terendah dihasilkan juga oleh kelompok A1 pada nilai total asam sebesar 10,56 mg/ml. Hal tersebut kurang sesuai dengan pustaka dari Galaction et al (2010), bahwa seharusnya ketika proses fermentasi berlangsung akan dihasilkan pH yang semakin meningkat karena adanya kandungan alkohol. pH yang tinggi akan menghasilkan total asam yang rendah. Pada saat total asam yang dihasilkan sangat rendah atau dapat dikatakan mengandung kadar alkohol yang sangat tinggi bisa terjadi penurunan jumlah sel, karena substrat yang digunakan oleh yeast semakin sedikit seiring dengan semakin meningkatnya produksi alkohol. Dari hasil percobaan dapat dilihat, justru terjadi penurunan atau peningkatan jumlah sel pada tiap kelompok yang tidak menentu seiring dengan meningkatnya total asam. Kesalahan tersebut dapat terjadi karena ketidaktelitian praktikan saat melakukan titrasi, yang dapat mempengaruhi nilai dari total asam. Berikut merupakan salah satu gambar hasil praktikum sebelum dan sesudah di titrasi pada fermentasi cider apel ketika jam ke- 96:

Sebelum titrasi

3. KESIMPULAN

Konsentrasi gula, suhu temperatur, serta jenis yeast yang digunakan merupakan beberapa faktor kunci dalam penentu keberhasilan proses fermentasi. Jenis yeast yang digunakan dalam pembuatan cider adalah Saccharomyces cerevisiae. Tujuan dilakukannya shaker adalah untuk meningkatkan laju alir udara sehingga laju transfer O2 tidak terhambat, serta untuk menjamin suspensi sel mikroba dan medium nutrient dalam keadaan seragam atau homogen. Pertumbuhan sel yeast wajib mengikuti kurva pertumbuhan mikroorganisme yaitu fase lag, log (eksponensial), stasioner, dan kematian. Semakin lama waktu inkubasi akan meningkatkan kekeruhan sehingga meningkatkan nilai OD. Nilai OD yang meningkat mengindikasikan semakin bertambahnya jumlah sel yeast. Waktu fermentasi semakin lama akan menghasilkan nilai OD dan jumlah sel yang semakin besar juga. Selama proses fermentasi berjalan, yeast akan mengalami percepatan pertumbuhan pada jam ke-24 dan 48. Mikroorganisme akan tumbuh secara optimal pada konsentrasi substrat tinggi. Substrat atau glukosa yang dipakai oleh yeast akan semakin sedikit seiring dengan semakin meningkatnya produksi alkohol. Pada pH yang terlalu tinggi ataupun mengandung kadar alkohol tinggi dapat mengalami penurunan jumlah sel. Total asam yang terlalu rendah atau mengandung kadar alkohol yang sangat tinggi bisa megakibatkan penurunan jumlah sel.

Semarang, 27 Juni 2015Asisten Dosen:-Bernardus Daniel Herjanto-Metta MelianiM. Jessica Arta-Chaterine Meilani 12.70.0037

4. DAFTAR PUSTAKA

Canbas, Ahmet; Aysun Sener and M.Umit Unal. (2007). The Effect of Fermentation Temperature on the Growth Kinetics of Wine Yeast Species. Turk J Agric for 31, 349-354.

Chen, Y. W. and Chiang, P. J. (2011). Automatic Cell Counting for Hemocytometers through Image Processing. World Academy of Science, Engineering and Technology 58.

Damtew, W; S.A. Emire; A.B. Aber. (2012). Evaluation of Growth Kinetics and Biomass Yield Efficiency of Industrial Yeast Strains. Scholars Research Library. Ethiopia.

Dolge, R. R.; Z. Kruma; and D. Karklina. (2012). Aroma Composition and Polyphenol Content of Ciders Available in Latvian Market. World Academy of Science, Engineering and Technology 67.

Ewing, G.W. (1985).Instrumental Methods of Chemical Analysis. Mc Growhill Book Company. USA

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Ferreira et al. (2006). The Effect of Copper and High Sugar Concentration on Growth Fermentation Efficiency and Volatile Acidity Production of Different Commercial Wine Yeast Strains. Australian Journal of Grape and Wine Research. South Africa.

Fox, P. F. (1991). Food Enzymologi Vol 1. Elsevier Applied Sciences. London.

Galaction, Anca-Irina; Anca-Marcela Lupasteanu and Dan Cascaval. (2010). Kinetic Studies on Alcoholic Fermentation Under Substrate Inhibition Conditions Using a Bioreactor with Stirred Bed of Immobilized Yeast Cells. The open Systems Biology Journal,3,9-20.

Hadioetomo, R. S. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.

Hayes, P. R. (1995). Food Microbiology and Hygiene. Chapman and Hall. Great Britain.

Jomdecha, C. and Prateepasen, A. (2006). The Research of Low-Ultrasonic Energy Affects to Yeast Growth in Fermentation Process. Asia-Pacific Conference on NDT, 5th 10th Nov 2006, Auckland, New Zealand.

Matz, SA. (1992). Bakery Technology and Engineering, 3th edition. Van Nostrand Reinhold. New York.

Nogueira, A; J.M.Le Quere; P.Gestin; A.Michel; G.Wosiacki and J.F.Drilleau. (2008). Slow Fermentation in French Cider Processing due to Partial Biomass Reduction. J.Inst.Brew.114(2),102-110.

Okpokwasili, G. C. & C.O. Nweke. (2005). Microbial Growth and Substrate Utilization Kinetics. African Journal of Biotechnology. Nigeria.

Pelezar, Michael J. & Chan. E.C.S. (1976). Turbidimetric Measurement of Plant Cell Culture Growth. Massachussets : MIT.

Pigeau et al. (2007). Concentration Effect of Riesling Icewine Juice on Yeast Performance and Wine Acidity. Journal of Applied Microbiology. Canada.

Pomeranz,Y. & C. E. Meloan. (1994). Food Analysis Theory and Practice. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Potter. N.N. & Hotchkiss.J.H. (1995). Food Science 5th.Chapman &Hall.inc. NewYork.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.

Ranganna. (1978). Analysis of Fruit and Vegetable Product. The AVI Publ. Co. Inc.

Realita, Tita dan M. Sumanti, Debby. 2010. Teknologi Fermentasi. Penerbit : Widya Padjajaran. Bandung.

Reed, G & Rehm, H. J. (1995). Biotechnology volume 9. VCH Verlagsge Sellschaft. New York.Said, E. G. (1987). Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Shafaghat et al. (2009). Growth Kinetics and Ethanol Productivity of Saccharomyces cerevisiae PTCC 24860 on Various Carbon Sources. World Applied Sciences Journal. Iran.

Sharma, J.L. & S. Caralli. (1998). A Dictionary of Food & Nutritions. CBS Publishers & Distributors. New Delhi.

Shuler, L.M. (1989). Bioprocess Engineering Basic Concepts. Prentice Hall international Incorporation. London

Stanburry, P.F. & Whitaker. (1984). Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press. New York.

Triwahyuni, E.; N. Ariani; H. Hendarsyah; T. Idiyanti. (2012). The Effect Of Dry Yeast Saccharomyces cereviceae Concentration On Fermentation Process For Bioethanol Production From Palm Oil Empty Fruit Bunches. Proceeding of ICSEEA 31 34.

Vallesa B.S, Bedrin anaa R.P, Norman Ferna ndez Tasco na N.F, Simonb A.Q, Madreraa R.R, (2006). Yeast species associated with the spontaneous fermentation of cider. Valencia, Spain Food Microbiology 24 (2007) 2531.

Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar Edisi Kelima Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Wang, D.; Y. Xu; J. Hu; and G. Zhao. (2004). Fermentation Kinetics of Different Sugars by Apple Wine Yeast Saccharomyces cerevisiae. Journal of the Institute of Brewing 110(4), 340346.

Wilford, L. D. R. (1987). Chemistry for First Examinations. Blackie. London.

Winarno, F. G.; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1984). Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wood BJB. 1998. Microbiologi of Fermented Food. 2nd ed. Blackie Academy and Profesional, London

5. 6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

A1Rata-rata MO tiap petakN0 = = 8,25N24 = = 61,25N48 = = 34,75N72 = = 28,5N96 = = 18,5

Rata-rata MO tiap ccN0 = = 3,3 x 107N24 = = 2,45 x 108N48 = = 1,39 x 108N72 = = 1,14 x 108N96 = = 7,4 x 107

Total asamN0 = = 10,56 mg/mlN24 = = 13,44 mg/mlN48 = = 12,67 mg/mlN72 = = 12,48 mg/mlN96 = = 12,67 mg/mlA2Rata-rata MO tiap petakN0 = = 4N24 = = 86N48 = = 128N72 = = 171,25N96 = = 188,25

Rata-rata MO tiap ccN0 = = 1,6 x 107N24 = = 3,44 x 108N48 = = 5,12 x 108N72 = = 6,85 x 108N96 = = 7,53 x 108

Total asamN0 = = 10,56N24 = = 12,48N48 = = 12,29N72 = = 12,10N96 = = 12,48A3Rata-rata MO tiap petakN0 = = 2N24 = = 73N48 = = 80.75N72 = = 92.5N96 = = 162.75Rata-rata MO tiap ccN0 = = 8,00 x 107N24 = = 29,2 x 107N48 = = 32,3x 107N72 = = 37 x 107N96 = = 65,1 x 107

Total asamN0 = = 10,368 mg/mlN24 = = 13,056mg/mlN48 = = 12,67 mg/mlN72 = = 12,48 mg/mlN96 = = 12,86 mg/mlA4Rata-rata MO tiap petakN0 = = 4N24 = = 96,5N48 = = 104,5N72 = = 89,5N96 = = 120Rata-rata MO tiap ccN0 = = 1,6 x 107N24 = = 3,86 x 108N48 = = 4,18 x 108N72 = = 3,58 x 108N96 = = 4,8 x 108Total asamN0 = = 10,94N24 = = 12,29N48 = = 12,10N72 = = 12,48N96 = = 12,48

A5Rata-rata MO tiap petakN0 = = 4N24 = = 78N48 = = 37,75N72 = =41,75N96 = = 31

Rata-rata MO tiap ccN0 = = 1,6 x 107N24 = = 3,12 x 108N48 = = 1,51 x 108N72 = = 1,67 x 108N96 = = 1,04 x 108Total asamN0 = = 11,14N24 = = 12,86N48 = = 12,67N72 = = 12,10N96 = = 12,866.2. Jurnal (Abstrak) 6.3. Laporan Sementara