KINETIKA ADSORPSI SENYAWA PENGOTOR DALAM...
Transcript of KINETIKA ADSORPSI SENYAWA PENGOTOR DALAM...
KINETIKA ADSORPSI SENYAWA PENGOTOR
DALAM CRUDE GLYCEROL (HASIL PENGASAMAN)
MENGGUNAKAN HIDROTALSIT Mg-Al-CO3
SKRIPSI
ITA LAILATUL LATIFAH
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1440
KINETIKA ADSORPSI SENYAWA PENGOTOR
DALAM CRUDE GLYCEROL (HASIL PENGASAMAN)
MENGGUNAKAN HIDROTALSIT Mg-Al-CO3
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh
ITA LAILATUL LATIFAH
NIM: 11140960000042
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M / 1440 H
ABSTRAK
ITA LAILATUL LATIFAH. Kinetika Adsorpsi Senyawa Pengotor dalam Crude
Glycerol (Hasil Pengasaman) Menggunakan Hidrotalsit Mg-Al-CO3. Dibimbing
oleh ISALMI AZIZ dan NURMAYA AROFAH.
Pemanfaatan hasil samping dari industri pembuatan biodiesel yaitu crude
glycerol masih sangat jarang dilakukan. Hal ini disebabkan crude glycerol
tersebut memiliki tingkat kemurnian yang rendah. Perlu dilakukan pemurnian
terhadap crude glycerol sehingga diperoleh kualitas dan kemurnian yang lebih
baik. Salah satu metode pemurnian yang dapat dilakukan adalah adsorpsi
menggunakan hidrotalsit karena memiliki potensi sebagai adsorben. Penelitian ini
bertujuan menentukan kondisi terbaik proses adsorpsi, kinetika adsorpsi yang
meliputi orde reaksi, konstanta laju adsorpsi, energi aktivasi, model isoterm
adsorpsi, penurunan intensitas warna serta kualitas crude glycerol. Hidrotalsit Mg-
Al-CO3 disintesis dengan metode kopresipitasi dan dikarakterisasi menggunakan
instrumen XRD, FTIR dan SEM. Hasil menunjukan senyawa yang terbentuk
memiliki karakterisasi yang sesuai dengan hidrotalist Mg-Al-CO3 berdasarkan
kemiripan difraktogram XRD dan spektrum FTIR sampel dengan referensi.
Kondisi terbaik diperoleh pada waktu kontak 90 menit, suhu 90 oC, konsentrasi
adsorben 12% dengan kadar gliserol yang diperoleh 96,63%. Kualitas gliserol
setelah yang dihasilkan yaitu massa jenis 1,27 g/mL; kadar air 6,68%; kadar abu
4,14%; kadar logam kalium sebesar 293 ppm; kadar MONG 0%; serta tidak
mengandung gula. Hasil ini telah memenuhi standar kualitas gliserol berdasarkan
SNI 16-1564-1995. Namun crude glycerol hasil adsorpsi pada kondisi terbaik
tidak mengalami penurunan intensitas warna. Orde reaksi yang sesuai adalah orde
satu dengan konstanta laju adsorpsi k = 47,6794 e- 24.497/RT
. Proses adsorpsi
berlangsung mengikuti model isoterm Langmuir.
Kata kunci: Crude glycerol, hidrotalsit Mg-Al-CO3, isoterm Langmuir, orde satu
ABSTRACT
ITA LAILATUL LATIFAH. The Adsorption Kinetics Of Impurity Compounds
In Crude Glycerol (After Acidification) By Using Mg-Al-CO3 Hydrotalsite.
Under Guidance of ISALMI AZIZ and NURMAYA AROFAH.
Utilization of by-products from biodiesel manufacturing industry that is
crude glycerol is still very rare. This is because the crude glycerol has a low purity
level. It is necessary to purify the crude glycerol to obtain better quality and
purity. One method of purification can be done is the adsorption using
hydrotalcite because they have potential for adsorbents. This study aims to
determine best conditions of the adsorption process, the adsorption kinetics
includs reaction order, the adsorption rate constant, activation energy, the
adsorption isotherm model, the decrease in color intensity, and quality of crude
glycerol was studied. Mg-Al-CO3 hydrotalcite was synthesized by coprecipitation
method and characterized using XRD, FTIR and SEM instruments. Results
showed that the compound formed had a characteristics that was in accordance
with the Mg-Al-CO3 hydrotalcite based on the similarity of the XRD
diffractogram and peaks that appeared in the FTIR spectrum. The best condition
of adsorption was at 90 minutes, 90 oC, adsorbent concentration 12% with
glycerol levels obtained 96,63%. The quality of glycerol is 1,27 g/mL density;
water content 6,68%; ash content 4,14%; pottasium content 293 ppm; MONG
content 0%; and there is no sugar content. These results meets the quality standard
of glycerol based on SNI 16-1564-1995, but crude glycerol does not experience a
decrease in color intensity. The appropriate reaction order is first order with
adsorption rate constant is k = 47,6794 e- 24.497/RT
. The adsorption process takes
place following the Langmuir isotherm model.
Keywords: Crude glycerol, Mg-Al-CO3 hydrotalcite, isotherm Langmuir, first
order
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang
benderang dengan ajaran islam.
Alhamdulillah setelah melewati banyak halangan dan rintangan,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Kinetika
Adsorpsi Senyawa Pengotor dalam Crude Glycerol (Hasil Pengasaman)
menggunakan Hidrotalsit Mg-Al-CO3”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu
persyaratan untuk meraih gelar strata 1 (S1) Kimia, Fakultas Sains dan
Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari banyak pihak. Oleh
sebab itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak
langsung kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai, terutama
kepada yang saya hormati sebagai berikut.
1. Isalmi Aziz, M.T selaku pembimbing I yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, pengarahan, waktu, serta bimbingannya kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi.
2. Nurmaya Arofah, M.Eng selaku pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, pengetahuan, arahan serta waktunya untuk berdiskusi dengan
ix
penulis.
3. Dr. Hendrawati, M.Si dan Nurhasni, M.Si selaku dosen penguji yang telah
banyak memberikan kritik dan saran dalam penyusunan dan penulisan
skripsi.
4. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh dosen Program Studi Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis
selama mengikuti perkuliahan.
7. Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta yang selalu mendoakan,
memberi nasehat serta support dalam bentuk moril maupun materil kepada
penulis.
8. Muhammad Dannies Aprilio, Didi Fajar As-sidiq dan Sholahuddin Al-
ayyubi yang senantiasa memberikan semangat serta keceriaan kepada
penulis.
9. Seluruh staf Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Bapak Wahyu, Ibu Pipit, Ibu Nita dan Ibu Adawiyah yang
senantiasa membantu selama berlangsungnya penelitian.
10. Tria Yolanda, Sariana Harahap, Jeni Setyowati, Riska Isnaeny Zahroh,
Nafa Fujiama Ragesta, Lilyana Rizky, Muhammad Akbar Tafdila, Vikri
Ogi Yusriawan dan teman-teman Program Studi Kimia angkatan 2014 yang
senantiasa memberikan bantuan dan semangat kepada penulis.
x
11. Sahabat-sahabat saya, Deden Haryanto, Rullysef Mifta Kharimah dan
Ernawati yang selalu membantu dalam memberikan motivasi kepada
penulis.
12. Rekan-rekan Kos Muslimah Ungu, Icha Rabbani, Farihatun Nasriyah, Fina
Nahdiyya yang senantiasa menemani dalam menyelesaikan penyusuanan
dan penulisan skripsi.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah khazanah ilmu
pengetahuan di bidang kimia dan bermanfaat untuk masyarakat secara umum.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, Oktober 2018
Ita Lailatul Latifah
xi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 4
1.3 Hipotesis .......................................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 5
1.5 Manfaat Pnelitian ............................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 7
2.1 Kinetika Kimia ................................................................................................. 7
2.2 Adsorpsi ............................................................................................................ 9
2.2.1 Jenis-jenis Adsorpsi ................................................................................. 10
2.2.2 Mekanisme Adsorpsi ............................................................................... 11
2.3 Isoterm Adsorpsi ............................................................................................... 12
2.3.1 Isoterm Langmuir .................................................................................... 13
2.3.2 Isoterm Feundlich .................................................................................... 13
2.4 Crude Glycerol ................................................................................................ 14
2.5 Hidrotalsit ........................................................................................................ 16
2.6 Spektrofotometer UV-Vis ................................................................................ 20
2.7 X-Ray Diffraction (XRD) ................................................................................ 22
2.8 Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectroscopy .......................................... 23
2.9 Scanning Electron Microsocopy (SEM) .......................................................... 24
2.10 Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) ......................................................... 26
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 29
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................................... 29
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................................ 29
xii
3.2.1 Alat .......................................................................................................... 29
3.2.2 Bahan ....................................................................................................... 29
3.3 Prosedur Kerja ................................................................................................. 30
3.3.1 Skeme Kerja............................................................................................. 30
3.3.2 Pembuatan Biodiesel ............................................................................... 32
3.3.3 Analisis Kualitas Gliserol ....................................................................... 32
3.3.3.1 Penentuan Kadar Gliserol............................................................ 32
3.3.3.2 Massa Jenis .................................................................................. 33
3.3.3.3 Kadar Air ..................................................................................... 34
3.3.3.4 Kadar Abu ................................................................................... 34
3.3.3.5 Kadar MONG (Matter Organic Non Glycerol) .......................... 35
3.3.3.6 Kandungan Gula .......................................................................... 35
3.3.3.7 Uji Kadar Logam Kalium ............................................................ 35
3.3.3.7.1 Preparasi Sempel ....................................................... 35
3.3.3.7.2 Analisis Kadar Logam Kalium ................................. 36
3.3.4 Sintesis dan Karakterisasi Hidrotalsit Mg-Al-CO3 .................................. 36
3.3.5 Pemurnian Crude Glycerol ...................................................................... 37
3.3.5.1 Pengasaman Terhadap Crude Glycerol ....................................... 37
3.3.5.2 Penentuan Kondisi Terbaik Proses Adsorpsi ............................. 37
3.3.5.2.1 Variasi Waktu dan Suhu Adsorpsi ............................ 37
3.3.5.2.2 Variasi Konsentrasi Adsorben .................................. 37
3.3.5.2.3 Variasi Konsentrasi Adsorbat .................................... 38
3.3.6 Kinetika Adsorpsi .................................................................................... 38
3.3.7 Isoterm Adsorpsi ...................................................................................... 39
3.3.8 Uji Intensitas Warna dengan Spektrofotometer UV-Vis ......................... 39
3.3.8.1 Penentuan λmax Crude Glycerol ................................................ 39
3.3.8.2 Penentuan Penurunan Intensitas Warna ..................................... 39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 41
4.1 Sintesis dan Karakterisasi Hidrotalsit Mg-Al-CO3 ........................................... 41
4.1.1 Identifikasi Senyawa ................................................................................ 42
4.1.2 Penentuan Gugus Fungsi ......................................................................... 44
4.1.3 Identifiaksi Morfologi .............................................................................. 48
xiii
4.2 Pemurnian Crude Glycerol ............................................................................... 49
4.2.1 Proses Pengasaman Menggunakan Asam Fosfat (H3PO4) ...................... 49
4.2.2 Proses Adsorpsi Menggunakan Hidrotalsit Mg-Al-CO3 ......................... 51
4.2.2.1 Pengaruh Variasi Waktu dan Suhu Adsorpsi Terhadap Kadar
dan Penurunan Intensitas Warna Gliserol ................................. 51
4.2.2.2 Pengaruh Variasi Konsentrasi Adsorben Terhadap Kadar dan
Penurunan Intensitas Warna Gliserol ........................................ 54
4.2.2.3 Pengaruh Konsentrasi Adsorbat Terhadap Kadar Gliserol ......... 56
4.3 Analisis Kualitas Gliserol ................................................................................. 57
4.3.1 Kadar Gliserol .......................................................................................... 58
4.3.2 Massa Jenis .............................................................................................. 59
4.3.3 Kadar Air ................................................................................................. 59
4.3.4 Kadar Abu dan Logam Kalium................................................................ 60
4.3.5 Kadar MONG .......................................................................................... 61
4.3.6 Kandungan Gula ...................................................................................... 62
4.4 Kinetika Adsorpsi Senyawa Pengotor dalam Crude Glycerol (Hasil
Pengasaman) ..................................................................................................... 64
4.5 Persamaan Konstanta Laju Adsorpsi (K) dan Energi Aktivasi (Ea)................. 65
4.6 Isoterm Adsorpsi ............................................................................................... 66
BAB V PENUTUP .................................................................................................... 69
5.1 Simpulan ........................................................................................................... 69
5.2 Saran ................................................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 71
LAMPIRAN .............................................................................................................. 78
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Ilustrasi Skematik Adsorpsi Kimia (a) dan Adsorpsi Fisika (b) .......... 11
Gambar 2 Reaksi Transesterifikasi ....................................................................... 15
Gambar 3 Struktur Skematis Hidrotalsit Mg-Al-CO3 ........................................... 17
Gambar 4 Ilustrasi Struktur Brucite dan Hidrotalsit .............................................. 18
Gambar 5 Skema Instrumen Spektrofotometer UV-Vis ........................................ 21
Gambar 6 Difraksi Sinar-X Suatu Kristal .............................................................. 23
Gambar 7 Skema Instrumen Spektrofotometer Serapan Atom ............................. 26
Gambar 8 Bagan Eksperimen Sintesis Hidrotalsit Mg-Al-CO3 ............................ 30
Gambar 9 Bagan Eksperimen Proses Adsorpsi ..................................................... 31
Gambar 10 Hidrotalsit Mg-Al-CO3 Hasil Sintesis .................................................. 42
Gambar 11 Profil Difraktogram Hidrotalsit Mg-Al-CO3 Hasil Sintesis ................. 43
Gambar 12 Profil Difraktogram Hidrotalsit Mg-Al-CO3 dari Referensi Jurnal ...... 43
Gambar 13 Spektrum Hidrotalsit Mg-Al-CO3 Sebelum (a) dan Setelah Adsorpsi
(b) Hasil Analisis FTIR ......................................................................... 45
Gambar 14 Reaksi Adsorpsi Senyawa Pengotor (Metanol) dengan Hidrotalsit ...... 47
Gambar 15 Morfologi Permukaan Hidrotalsit Mg-Al-CO3 Sebelum Adsorpsi (a)
dan Setelah Adsorpsi (b) ....................................................................... 48
Gambar 16 Crude Glycerol Hasil Pengasaman ....................................................... 49
Gambar 17 Pengaruh Variasi Waktu dan Suhu terhadap Kadar Gliserol ................ 51
Gambar 18 Pengaruh Waktu dan Suhu Adsorpsi terhadap Penurunan Intensitas
Warna Gliserol ..................................................................................... 53
Gambar 19 Pengaruh Konsentrasi Adsorben terhadap Kadar Gliserol ................... 54
xv
Gambar 20 Pengaruh Konsentrasi Adsorben terhadap Penurunan Intensitas
Warna Gliserol ...................................................................................... 56
Gambar 21 Pengaruh Konsentrasi Adsorbat terhadap Kadar Gliserol .................... 57
Gambar 22 Ilustrasi Interaksi Senyawa Pengotor Pada Bagian Atas (a) dan
Bawah Permukaan Hidrotalsit (b) ......................................................... 62
Gambar 23 Reaksi Maillard ..................................................................................... 63
Gambar 24 Hasil Uji Kandungan Gula dalam Gliserol Sebelum Pengasaman (a),
Sebelum Adsorpsi (b), dan Setelah Adsorpsi (c) .................................. 63
Gambar 25 Hubungan Antara 1/T dengan ln K ....................................................... 66
Gambar 26 Hubungan Konsentrasi Adsorbat (C) dengan Kapasitas
Adsorpsi(x/m) (Isoterm Langmuir) ...................................................... 67
Gambar 27 Hubungan Konsentrasi Adsorbat (Log C) dengan Kapasitas Adsorpsi
(Log x/m) (Isoterm Freundlich) ............................................................ 67
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Perbedaan Adsorpsi Fisika dengan Adsorpsi Kimia ................................. 11
Tabel 2 Syarat Mutu Gliserol Kasar Berdasarkan SNI 06-1564-1995 .................. 15
Tabel 3 Sifat Fisik Gliserol .................................................................................... 16
Tabel 4 Perbandinagn Nilai Refleksi Bidang Hidrotalsit Mg-Al-CO3 ................... 44
Tabel 5 Perbedaan Spektrum FTIR dari Hidrotalsit Mg-Al-CO3 Sebelum dan
Setelah Adsorpsi ........................................................................................ 46
Tabel 6 Kualitas Gliserol Hasil Pengasaman.......................................................... 50
Tabel 7 Kualitas Gliserpl Setelah Adsorpsi ............................................................ 58
Tabel 8 Nilai Regresi Linier Masing-masing Orde Reaksi .................................... 64
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Contoh Perhitungan ............................................................................ 78
Lampiran 2 Tabel Kadar Gliserol Hasil Adsorpsi dengan Variasi Waktu dan
Suhu .................................................................................................... 83
Lampiran 3 Tabel Konversi Adsorbat dalam Konsentrasi Molaritas (mol/L) ....... 84
Lampiran 4 Tabel Pengaruh Waktu dan Suhu Terhadap Penurunan Intensitas
Warna Gliserol.................................................................................... 86
Lampiran 5 Tabel Pengaruh Konsentrasi Adsorben Terhadap Kadar dan
Penurunan Intensitas Warna Gliserol ................................................. 87
Lampiran 6 Tabel Pengaruh Konsentrasi Adsorbat Terhadap Kadar Gliserol ...... 88
Lampiran 7 Tabel Penentuan Isoterm Adsorpsi ..................................................... 89
Lampiran 8 Data Hasil Karakterisasi Hidrotalsit MG-Al-CO3 Menggunakan
XRD .................................................................................................... 90
Lampiran 9 Referensi ICDD Hidrotalsit Mg-Al-CO3 ............................................ 91
Lampiran 10 Grafik dan Tabel Kinetika Adsorpsi Berdasarkan Orde Nol, Orde
Satu dan Orde Dua.............................................................................. 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembuatan biodiesel dari minyak goreng bekas dihasilkan produk samping
berupa gliserol dengan tingkat kemurnian yang rendah, yang biasa disebut dengan
crude glycerol (Darnoko & Cheryan, 2000). Crude glycerol ini masih bercampur
dengan pengotor sehingga belum dapat dimanfaatkan dan hanya akan menjadi
limbah jika tidak dilakukan proses perbaikan kualitas lebih lanjut (Prakoso et al.,
2007).
Allah berfirman dalam surat Sad ayat 27:
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dengan sia-sia. Itu anggapan orang-orang kafir, maka celakalah
orang-
orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”(Sad: 27).
Surat Sad ayat 27 tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan segala
sesuatu di alam semesta ini tidaklah sia-sia. Setiap yang ada di alam semesta
Allah ciptakan supaya manusia dapat mengambil manfaat darinya dengan sebaik-
baiknya. Crude glycerol yang merupakan hasil samping dari pembuatan biodiesel
dapat dijadikan bahan yang lebih bermanfaat jika diolah lebih lanjut sehingga
tidak menjadi limbah dan mencemari lingkungan.
Proses pemurnian crude glycerol yang dihasilkan dari pembuatan biodiesel
dilakukan untuk menghilangkan senyawa impuritiesnya, sehingga dapat
2
meningkatkan nilai jual dari gliserol. Metode dalam pemurnian crude glycerol
telah banyak dilakukan diantaranya oleh Aziz et al., (2014) menggunakan metode
pengasaman dengan asam sulfat dan adsorpsi menggunakan zeolit alam Lampung.
Kondisi optimum adsorpsi diperoleh pada waktu 75 menit, konsentrasi zeolit 12%
dari massa sampel, suhu adsorpsi 60 oC, dan ukuran diameter zeolit 0,2 mm
dengan kemurnian gliserol mencapai 88,91% dan telah memenuhi syarat mutu
SNI 06-1564-1995, dengan kadar air 7,38%; kadar abu 3%; serta tidak
mengandung gula. Metode pemurnian menggunakan bahan alam juga dilakukan
Aziz et al., (2018), dengan memanfaatkan biosorben sekam padi sebagai
adsorben. Kadar gliserol yang diperoleh setelah proses adsorpsi meningkat hingga
97,29% pada kondisi optimum adsorpsi yaitu waktu kontak 75 menit, suhu 90 oC,
konsentrasi adsorben 20% dimana adsorpsi mengikuti kinetika adsorpsi orde satu
dan berlangsung secara kimia.
Pemurnian crude glycerol kembali dilakukan oleh Aziz et al., (2018)
dengan memanfaatkan biosorben ampas teh. Kualitas gliserol yang dihasilkan
pada penelitian tersebut memenuhi syarat mutu gliserol kasar berdasarkan SNI 06-
1564-1995, namun warna gliserol yang didapatkan setelah proses adsorpsi
mengalami penurunan intensitas warna yang tidak signifikan, sehingga untuk
memperoleh kualitas gliserol yang lebih baik dari segi warnanya dilakukan
penelitian tentang adsorpsi senyawa pengotor pada crude glycerol dengan
adsorben yang berasal dari lempung anionik yaitu hidrotalsit Mg-Al-CO3.
Hidrotalsit memiliki kemampuan dalam menyerap zat warna organik
berupa acid blue 29 mencapai 99% (Orthman et al., 2003). Penelitian lain
mengenai kemampuan hidrotalsit sebagai adsorben juga dilaporkan oleh Yan et
3
al., (2011) dimana hidrotalsit memiliki kemampuan dalam menghilangkan asam
dalam crude oil dan menghasilkan deacidification ratio sebesar 93,8%.
Hidrotalsit telah dipelajari secara luas sebagai penukar ion, katalis,
elektrostatis, dan sebagai adsorben (Rives, 2001). Hidrotalsit dapat digunakan
sebagai adsorben untuk mengadsorpsi senyawa anorganik maupun organik dalam
larutan. Hal ini karena struktur hidrotalsit tersusun dari hidroksida lapisan ganda
(Layered Double Hydroxide/LDHs) yang mempunyai lapisan bermuatan positif
yang mampu mengadsorpsi senyawa-senyawa anionik (Cavani et al., 1991).
Sintesis yang paling sering dilakukan adalah sintesis hydrotalcite dengan
anion interlayer berupa CO32-
secara pengendapan larutan magnesium dan
aluminium menghasilkan suatu Mg/Al-hydrotalcite. Cara ini dipilih dan disukai
karena tidak perlu mencegah adanya kontaminasi dari karbon dioksida sebab
hanya karbonat yang siap bergabung dan terikat dengan kuat di dalam daerah
interlayer (Newman & Jones, 1998). Sharma et al., (2018) melakukan sintesis
hidrotalsit Mg-Al-CO3 dengan metode presipitasi dan kopresipitasi dengan variasi
rasio mol untuk adsorpsi CO2 . Penelitian tersebut memperoleh rasio mol terbaik
1,7:1 (Mg/Al) dengan menghasilkan kapasitas adsorpsi CO2 tertinggi yaitu
sebesar 22 cm3/g.
Hidrotalsit Mg-Al-CO3 pada penelitian ini disintesis menggunakan metode
kopresipitasi (Kameda et al., 2005) dengan agen pengendap NaOH dan Na2CO3
dan rasio mol yang dipilih yaitu 1,7:1 (Mg/Al) (Sharma et al., 2008). Metode
kopresipitasi dipakai karena proses sintesisnya menggunakan suhu yang rendah
dan waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat dibandingkan metode sintesis
hidrotalsit lainnya.
4
Proses pemurnian crude glycerol pada penelitian ini dilakukan melalui
dua tahap. Pertama adalah proses pengasaman menggunakan H3PO4 85% yang
dilanjutkan dengan penetralan menggunakan NaOH 5 M untuk memisahkan
garam yang tersisa dalam lapisan gliserol (Manosak et al., 2011). Proses kedua
adalah adsorpsi menggunakan hidrotalsit Mg-Al-CO3 yang sebelumnya telah
dilakukan karakterisasi menggunakan instrumen XRD, FTIR dan SEM untuk
mengetahui sifat fisiknya. Variabel proses adsorpsi yang diuji untuk mengetahui
kondisi terbaik adalah waktu, suhu, dan konsentrasi adsorben. Selanjutnya gliserol
hasil adsorpsi pada kondisi terbaik diuji kualitasnya berdasarkan syarat mutu
gliserol menurut SNI 06-1564-1995, meliputi kadar gliserol, massa jenis, kadar
air, kadar abu, kadar MONG (bahan organik selain gliserol), kadar logam kalium,
kadar gula, dan penurunan intensitas warna gliserol. Penentuan model kinetika
reaksi adsorpsi juga dilakukan diantaranya meliputi orde reaksi, konstanta laju
reaksi, energi aktivasi, dan model isoterm adsorpsi.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Berapakah kondisi terbaik proses adsorpsi (waktu, suhu dan
konsentrasi adsorben) senyawa pengotor dalam crude glycerol (hasil
pengasaman) menggunakan hidrotalsit Mg-Al-CO3?
2. Apakah kualitas gliserol yang dihasilkan setelah dilakukan proses
adsorpsi memenuhi syarat mutu gliserol menurut SNI 06-1564-1995?
3. Bagaimana penurunan intensitas warna crude glycerol setelah
dilakukan proses adsorpsi?
5
4. Bagaimana kinetika reaksi adsorpsi yang meliputi orde reaksi,
konstanta laju adsorpsi dan energi aktivasi adsorpsi?
5. Apakah proses adsorpsi mengikuti model isoterm Freundlich atau
Langmuir?
1.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Kondisi terbaik proses adsorpsi senyawa pengotor dalam crude
glycerol menggunakan hidrotalsit Mg-Al-CO3 adalah pada waktu 90
menit, suhu adsorpsi 90 oC, dan konsentrasi adsorben 12% (w/v).
2. Kualitas gliserol yang dihasilkan setelah proses adsorpsi memenuhi
syarat mutu gliserol menurut SNI 06-1564-1995.
3. Crude glycerol setelah dilakukan proses adsorpsi mengalami
penurunan intensitas warna yang signifikan.
4. Orde reaksi yang sesuai untuk proses adsorpsi adalah orde satu.
5. Proses adsorpsi yang terjadi mengikuti model persamaan isoterm
Langmuir.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan kondisi terbaik proses adsorpsi (waktu, suhu dan
konsentrasi adsorben) senyawa pengotor dalam crude glycerol (hasil
pengasaman) menggunakan hidrotalsit Mg-Al-CO3
6
2. Menentukan kualitas gliserol yang dihasilkan setelah proses adsorpsi
berdasarkan syarat mutu gliserol kasar SNI 06-1564-1995.
3. Mengetahui penurunan intensitas warna crude glycerol setelah
dilakukan proses adsorpsi senyawa pengotor menggunakan hidrotalsit
Mg-Al-CO3.
4. Menentukan orde reaksi yang sesuai untuk proses adsorpsi senyawa
pengotor dalam crude glycerol (hasil pengasaman) menggunakan
hidrotalsit Mg-Al-CO3.
5. Menentukan jenis persamaan isoterm adsorpsi senyawa pengotor
dalam crude glycerol (hasil pengasaman) menggunakan hidrotalsit
Mg-Al-CO3.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberi informasi mengenai metode
pemurnian crude glycerol menggunakan hidrotalsit Mg-Al-CO3 dan memberi nilai
ekonomis dan nilai tambah pada proses produksi biodiesel dengan memproduksi
dan mengkomersilkan gliserol dengan kualitas tinggi.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kinetika Kimia
Penentuan mekanisme reaksi dan laju adsorpsi suatu media dibutuhkan
suatu pendekatan dengan model kinetika. Analisis kinetika didasarkan pada
kinetika orde nol, orde satu dan orde dua. Suatu reaksi dikatakan memiliki orde
nol jika besarnya laju reaksi tidak dipengaruhi oleh berapapun perubahan
konsentrasi pereaksinya. Artinya seberapapun peningkatan konsentrasi pereaksi
tidak akan mempengaruhi besarnya laju reaksi. Persamaan linier orde reaksi nol
dinyatakan dalam rumus sebagai berikut:
Reaksi kimia = A B
................................................................................... (1)
...................................................................... (2)
CA = CA0 – kt .............................................................................. (3)
Keterangan:
CA = Konsentrasi A pada saat t = t (mol/L)
CA0 = Konsentrasi A pada saat t = 0 (mol/L)
k = Konstanta laju reaksi (mol/L. menit-1
)
t = Waktu (menit)
Reaksi orde satu adalah suatu reaksi yang kecepatannya bergantung hanya
pada salah satu zat yang bereaksi atau sebanding dengan salah satu pangkat
reaktannya. Persamaan linear orde reaksi satu dinyatakan dalam rumus sebagai
berikut:
8
.............................................................................. (4)
....................................................................... (5)
ln CA = -kt + ln CA0 .................................................................... (6)
Reaksi orde dua adalah suatu reaksi yang kelajuannya berbanding lurus
dengan hasil kali konsentrasi dua reaktannya atau berbanding langsung dengan
kuadrat konsentrasi salah satu reaktannya. Jika mekanisme adsorpsi yang terjadi
adalah reaksi orde dua maka kecepatan adsorpsi yang terjadi berbanding lurus
dengan dua konsentrasi pengikutnya atau satu pengikut berpangkat dua. Laju
kinetika adsorpsi orde dua dinyatakan dalam persamaan linear sebagai berikut
(Dogra & Dogra, 1984):
2 ............................................................................. (7)
....................................................................... (8)
1/CA – 1/ CA0 = kt ....................................................................... (9)
Adapun hubungan antara konstanta laju reaksi dengan energi aktivasi
dapat dinyatakan dalam persamaan Arrhenius sebagai berikut:
k = Ae- Ea / RT
............................................................................... (10)
ln k = ln A – Ea / R.T ................................................................. (11)
Keterangan:
k = Konstanta laju reaksi (menit-1
)
Ea = Energi aktivasi (J/mol)
T = Temperatur/suhu mutlak (K)
R = Konstanta gas ideal (8,314 J/mol.K)
A = Faktor frekuensi
9
2.2 Adsorpsi
Adsorpsi merupakan proses terikatnya suatu molekul gas atau cair
(adsorbat) pada permukaan padatan (adsorben). Adsorben adalah zat yang
bertindak sebagai pengadsorpsi (penyerap) molekul baik cair maupun gas.
Adsorben dengan ciri memiliki kapasitas adsorpsi dan laju adsorpsi yang tinggi
serta selektif terhadap molekul target merupakan pilihan ideal dalam sebuah
proses adsorpsi (Fatimah, 2013). Adsorben pada umumnya dibuat dari bahan-
bahan yang sangat berpori. Adsorpsi berlangsung terutama pada dinding-dinding
pori atau pada letak-letak tertentu di dalam partikel adsorben (Brady, 1999).
Selain adsorben berpori, jenis adsorben lainnya adalah tidak berpori. Adsorben
jenis ini dapat diperoleh dengan cara presipitasi deposit kristalin seperti barium
sulfat (BaSO4) atau penghalusan padatan kristal. Memiliki luas permukaan
spesifik yang kecil yaitu tidak lebih dari 10 m2/g dan umumnya antara 0,1 hingga
1 m2/g. Pada adsorben tidak berpori dapat dilakukan modifikasi dengan beberapa
perlakuan khusus seperti pada filter karet (rubber filters) dan karbon hitam
bergrafit sehingga dapat meningkatkan luas permukaan mencapai ratusan m2/g
(Atkins, 1999).
Menurut Fatimah (2013), secara garis besar ada beberapa syarat adsorben,
diantaranya adalah:
1. Memiliki luas permukaan yang tinggi yang juga ditunjukan oleh volume
pori yang tinggi
2. Memiliki jejaring pori yang memungkinkan transport molekul adsorbat
3. Dapat melepaskan molekul teradsorpsi melalui proses desorpsi
4. Dapat diregenerasi dengan mudah
10
Untuk memenuhi syarat pertama, sebuah padatan adsorben harus berpori.
IUPAC (Internationl Union of Pure and Applied Chemical) telah
mengklasifikasikan rentang ukuran pori yang dimiliki oleh sebuah adsorben
berpori yang selanjutnya digunakan untuk mengelompokan jenis adsorben, yaitu
mikropori apabila diameter rerata pori d < 2 nm, mesopori apabila diameter rerata
pori 2 < d < 50 nm dan makropori apabila diameter rerata pori d > 50 nm.
2.2.1 Jenis-jenis Adsorpsi
Proses adsorpsi secara umum dibagi menjadi dua yaitu secara fisika yang
disebabkan oleh gaya Van Der Waals dan secara kimia yang disebabkan oleh
reaksi kimia antara molekul-molekul adsorbat dengan atom-atom penyusun
permukaan adsorben. Adsorpsi fisika berlangsung cepat dan bersifat reversible
serta tidak memerlukan energi aktivasi, sehingga proses tersebut membentuk
lapisan jamak (multilayer) pada permukaan adsorben. Sedangkan adsorpsi kimia
bersifat irreversible sehingga hanya membentuk satu lapisan tunggal (monolayer)
(Bahl et al., 1997).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi diantaranya adalah
ukuran molekul adsorbat dimana molekul-molekul yang diameternya lebih kecil
atau sama dengan diameter pori adsorben yang hanya mampu diadsorpi.
Kemudian tingkat kepolaran adsorbat, dimana adsorpsi lebih kuat terjadi pada
molekul yang lebih polar dibandingkan dengan molekul yang kurang polar pada
kondisi diameter yang sama. Selain itu suhu, pH dan waktu adsorpsi juga
mempengaruhi efektivitas adsorpsi adsorbat pada adsorben (Atkins, 1998).
Perbedaan karakteristik dari kedua jenis adsorpsi tersebut dapat diilustrasikan
11
melalui Gambar 1.
Gambar 1. Ilustrasi Skematik Adsorpsi Kimia (a) dan Adsorpsi Fisika (b)
Perbedaan adsorpsi fisika dengan adsorpsi kimia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Adsorpsi Fisika dengan Adsorpsi Kimia (Seader & Henley,
1998)
Karakteristik Adsorpsi Fisika Adorpsi Kimia
Gaya yang bekerja Terjadinya gaya Van Der
Waals
Gaya tarik yang bekerja
melalui ikatan kimia
Tebal lapisan Banyak lapisan (multilayer) Satu lapis (monolayer)
Temperatur Terjadi pada temperatur di
bawah titik didih adsorbat
Dapat terjadi pada temperatur
tinggi
Kemampuan adsorpsi Lebih bergantung pada
adsorbat daripada adsorben
Bergantung pada adsorben
dan adsorbat
Jumlah zat terserap Sebanding dengan kenaikan
tekanan
Sebanding dengan banyaknya
inti aktif adsorben yang dapat
bereaksi dengan adsorbat
Driving force Tidak ada transfer elektron,
meskipun mungkin terjadi
polarisasi pada adsorbat
Ada transfer elektron,
terbentuk pada ikatan antara
adsorbat dan permukaan
padatan
Kalor adsorpsi 5-10 kkal/g-mol gas 10-100 kkal/g-mol gas
2.2.2 Mekanisme Adsorpsi
Menurut Reynolds (1982), pada proses adsorpsi terbagi menjadi 4 tahap
sebagai berikut:
1. Transfer molekul-molekul zat terlarut yang teradsorpsi menuju lapisan
film yang mengelilingi adsorben.
2. Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui lapisan film (film diffusion
process).
a b
12
3. Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui kapiler/pori dalam adsorben
(pore diffusion process).
4. Adsorpsi zat terlarut yang teradsorpsi pada dinding pori atau permukaan
adsorben (proses adsorpsi sebenarnya).
2.3 Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi menunjukkan hubungan kesetimbangan antara
konsentrasi adsorbat dalam fluida di permukaan adsorben pada suhu tetap.
Kesetimbangan terjadi pada saat laju peningkatan adsorben terhadap adsorbat
sama dengan laju pelepasannya.
Tipe isoterm adsorpsi dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme
adsorpsi fase cair-padat pada umumnya menganut tipe isoterm Freundlich dan
Langmuir (Atkins, 1998). Adsorben yang baik memiliki kapasitas adsorpsi dan
persentase penyerapan yang tinggi. Kapasitas adsorpsi dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
x/m = .................................................................................. (12)
Sedangkan persentase adsorpsi (efisiensi) dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
E (%) = 100% ........................................................................ (13)
Keterangan:
x/m = Kapasitas adsorpsi per bobot molekul (mg/g)
Co = Konsentrasi awal larutan (mg/L)
C1 = Konsentrasi akhir larutan (mg/L)
m = Massa adsorben (g)
V = Volume larutan (L)
E = Efisiensi adsorpsi (%)
13
2.3.1 Isoterm Langmuir
Isoterm Langmuir dibuat untuk menggambarkan bahwa suatu adsorpsi
mengikuti asumsi adsorben dan adsorbat membentuk laposan tunggal
(monolayer), adsorpsi terlokalisir, kalor adsorpsi tidak tergantung pada penutupan
permukaan, semua situs bersifat sama dan permukaan adsorben bersifat homogen,
dan kemampuan adsorpsi molekul pada suatu situs tidak tergantung pada situs
lainnya. Persamaan Langmuir dapat diturunkan secara teoritis dengan
menganggap terjadinya kesetimbangan antara molekul-molekul zat yang
diadsorpsi (adsorbat) dengan molekul-molekul yang masih bebas (Bird, 1985).
Isoterm Langmuir diturunkan berdasarkan persamaan berikut ini (Atkins, 1998):
................................................................................................. (14)
Konstanta α dan β dapat ditentukan dari kurva hubungan terhadap C
dengan persamaan sebagai berikut (Atkins, 1998):
= + C ........................................................................................ (15)
Keterangan:
x/m = Jumlah zat yang teradsorpsi per gram adsorben (mg/g)
C =Konsentrasi zat terlarut dalam larutan setelah terjadi
kesetimbangan adsorpsi
α = Konsentrasi Langmuir yaitu kapasitas adsorpsi (mg/g)
β = Parameter afinitas
2.3.2 Isoterm Freundlich
Isoterm yang paling umum digunakan adalah isoterm Freundlich (Jason,
2001). Isoterm adsorpsi disebut juga adsorpsi fisika, yang terjadi bila gaya
intramolekul lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik
yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben. Gaya ini disebut
14
gaya Van Der Waals sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian
permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben. Menurut Atkins, (1998) pada
proses adsorpsi zat terlarut oleh permukaan padatan diterapkan isoterm Freundlich
yang diturunkan secara empiris dengan persamaan sebagai berikut (Atkins, 1998):
kC1/n
................................................................................................. (16)
Apabila dilogaritmakan, persamaan akan menjadi (Atkins, 1998):
Log =log k + log C ............................................................................ (17)
Keterangan:
k dan n = Tetapan
Isoterm Freundlich menganggap bahwa pada semua sisi permukaan
adsorben akan terjadi proses adsorpsi di bawah kondisi yang diberikan. Isoterm
Freundlich tidak mampu memperkirakan adanya sisi-sisi pada permukaan yang
mampu mencegah adsorpsi pada saat kesetimbangan tercapai, dan hanya ada
beberapa sisi aktif saja yang mampu mengadsorpsi molekul terlarut (Jason, 2001).
2.4 Crude Glycerol
Crude glicerol atau gliserol kasar merupakan hasil samping produksi
biodiesel dengan jumlah kurang lebih 10 % dari total produksi biodiesel (Dasari et
al., 2005). Reaksi transesterifikasi minyak goreng bekas dapat diilustrasikan
sebagai berikut:
15
Trigliserida 3 (alkohol) Gliserol 3 (ester)
Gambar 2. Reaksi Transesterifikasi (Fessenden & Fessenden, 1992).
Gliserol (1,2,3 propanetriol) merupakan cairan yang tidak berwarna, tidak
berbau dan merupakan cairan kental yang memiliki rasa manis (Pagliaro & Rossi,
2008). Crude glycerol masih bercampur dengan senyawa pengotor sehingga
belum dapat dimanfaatkan dan akan menjadi limbah saja apabila tidak dilakukan
proses lebih lanjut. Senyawa pengotor yang terdapat dalam crude glycerol antara
lain 50-60% gliserol, 10-30% metanol, 8-20% sabun, dan ≤5% air (Kovaks,
2011). Syarat mutu crude glycerol berdasarkan SNI 06-1564-1995 ditunjukkan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Syarat Mutu Gliserol Kasar Berdasarkan SNI 06-1564-1995
Gliserol memiliki banyak kegunaan, diantaranya sebagai emulsifier, agen
pelembut, palsticizer, stabilizer es krim, pelembab kulit, pasta gigi, obat batuk,
sebagai media pencegah reaksi pembekuan darah merah, sebagai tinta printing,
sebagai bahan aditif pada industri pelapis, cat, sebagai bahan anti beku, sumber
No. Jenis Uji Persyaratan (%)
1. Gliserol Min. 80
2. Abu Maks. 10
3. Air Maks. 10
4. MONG (Bahan Organik Selain Gliserol) Maks. 2,5
5. Gula -
16
nutrisi dalam proses fermentasi, dan bahan baku untuk nitrogliserin (Hart, 1983).
Adapun sifat fisik gliserol secara umum ditunjukan pada Tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3. Sifat Fisik Gliserol (Perry & Green, 1997)
No Sifat Nilai
1 Bobot molekul 92,09382 g/mol
2 Viskositas pada suhu 20 oC 1499 cP
3 Panas spesifik pada suhu 26 oC 0,5795 kal/g
4 Specific gravity 25/25 oC 1,2620
5 Konduktivitas termal 63,4 W/mK
6 Titik nyala 177 ºC
7 Titik leleh 18,17 ºC
8 Titik didih pada tekanan 101,3 kPa 290 ºC
Crude glycerol yang dihasilkan oleh industri pembuatan biodiesel belum
dimanfaatkan, karena masih banyak mengandung zat pengotor di dalamnya
sehingga kemurniannya masih sangat rendah. Oleh sebab itu perlu dilakukan
pemurnian terhadap crude glycerol.
2.5 Hidrotalsit
Hidrotalsit, yang dikenal pula sebagai lempung anionik, mempunyai
rumus umum [M1-x2+
Mx3+
(OH)2]x+
(An-
)x/n.mH2O di mana M2+
dan M3+
merupakan
kation divalen dan trivalen. An-
adalah anion penyeimbang muatan yang berada di
ruang antar lapis yang dapat dipertukarkan. Anion penyeimbang muatan bisa
berupa anion organik atau anorganik (Cavani et al., 1991). Hidrotalsit terdiri dari
tumpukan lapisan-lapisan hidroksida dari magnesium dan aluminium yang
bermuatan positif sehingga membutuhkan anion diantara lapisan tersebut (anion
interlayer) untuk menyeimbangkan muatannya (Hanisah et al., 2007). Jumlah dan
17
susunan anion penyeimbang muatan di dalam hidrotalsit ditentukan oleh rasio mol
Mg/Al (Newman & Jones, 1998). Skema hidrotalsit Mg-Al-CO3 ditunjukkan pada
Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Skematis Hidrotalsit Mg-Al-CO3 (Sikander et al., 2017).
Struktur hidrotalsit memiliki kemiripan dengan brucite (Mg(OH)2),
dimana ion Mg2+
berkoordinasi dengan enam ion hidroksil (OH-) menjadi struktur
oktahedral yang membentuk tepi dan lapisan-lapisan. Lapisan-lapisan yang
terbentuk terjadi akibat adanya ikatan hidrogen. Pada hidrotalsit, kation divalen
(Mg2+
) digantikan dengan kation trivalen (Al3+
) dan muatan positif yang
disebabkan pergantian kation tersebut akan dikompensasi oleh anion-anion
intercelate sebagai penyeimbang muatan (Nishimura et al., 2013) dan molekul air
pada daerah interlayer (Sikander et al., 2017). Adanya aktivitas pembentukan
komposit aluminium oksida pada hidrotalsit mengakibatkan peningkatan
18
keasaman permukaan dan luas permukaan yang aktif (Suarya, 2012). Aluminium
oksida bersifat amfoter, artinya mempunyai sifat keasaman dan kebasaan. Dalam
bentuk aktif, aluminium oksida mempunyai permukaan polar yang mampu
mengadsorpsi senyawa-senyawa polar. Sifat-sifat tersebut dapat berubah-ubah
sesuai dengan suhu dan pH (Pratiwi, 2011). Terlihat perbedaan dari brucite dan
hidrotalsit seperti pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4. Ilustrasi Struktur Brucite dan Hidrotalsit (Sikander et al., 2017).
Pada senyawa hidrotalsit, terjadi interaksi antara lapisan interlayer dengan
lapisan oktahedral eksterior yang disebabkan ikatan hidrogen karena adanya
molekul air serta gaya elektrostatis dengan anion pada daerah interlayer (Sikander
et al., 2017).
Hidrotalsit memiliki struktur permukaan yang bermuatan positif seperti
Mg2+
dan Al3+
dan daerah antar lapisnya yang bermuatan negatif OH- dan CO3
2-
sebagai anion penyeimbang. Spesies anionik yang berukuran besar dapat terserap
pada permukaan, sedangkan spesies anionik yang berukuran kecil akan masuk ke
daerah interlayer yang ukuran porinya terbatas yang kemudian akan mengalami
proses pertukaran anionik dengan anion pada daerah interlayer (Orthman et al.,
2000).
19
Hidrotalsit memiliki banyak aplikasi, di antaranya adalah sebagai katalis,
padatan pendukung katalis, penukar ion, adsorben, stabilizer, dan penangkap
anion (Kloprogge et al., 2005). Mg/Al hidrotalsit telah dikenal sebagai salah satu
mineral menarik, prospektif dan menjanjikan karena dapat disintesis dengan
mudah serta berguna dalam berbagai aplikasi (Tong et al., 2003). Senyawa
hidrotalsit sekarang telah banyak dikembangkan karena memiliki potensi yang
baik untuk adsorben (Wright, 2002). Metode adsorpsi umumnya terjadi karena
interaksi antara logam dengan gugus fungsional yang ada pada permukaan
adsorben melalui pembentukan senyawa atau ion kompleks dan biasanya terjadi
pada permukaan padatan yang kaya akan gugus fungsional seperti –OH, -NH, -
SH, dan –COOH (Stumm & Morgan, 1996).
Hidrotalsit dapat disintesis dengan mudah di dalam skala laboratorium
(Wright, 2002). Menurut Cavani et al., (1991) salah satu aturan sintesis hidrotalsit
adalah jari-jari kation logam yang digunakan tidak jauh berbeda dari kation logam
Mg2+
. Metode yang paling umum digunakan adalah metode kopresipitasi. Metode
kopresipitasi ini dilakukan dengan cara mengendapkan kedua logam atau lebih
dan memisahkan endapannya dibawah kondisi lewat jenuh (Trifiro et al., 1996).
Keistimewaan hidrotalsit tidak hanya pada kemampuannya sebagai
penukar ion dan luas permukaannya yang tinggi, namun juga karena sifat memory
effect yang dimilikinya. Sifat memory effect ini memungkinkan penataan ulang
struktur lapisan hidrotalsit setelah kalsinasi apabila sudah didispersikan dalam air
(Hanisah et al., 2007). Kalsinasi dapat secara efektif merusak struktur hidrotalsit.
Hidrotalsit terkalsinasi dapat kembali sebagaimana struktur semula dengan
penambahan anion dan air. Anion dan air dapat diserap ke dalam antar lapis.
20
Kondisi ini dapat menjadi sebuah memory effect yang berguna dalam
menghilangkan atau menyerap anion tertentu seperti polutan berbahaya, baik
organik maupun anorganik (Erickson, 2005).
Penggunaan hidrotalsit Mg-Al-CO3 sebagai adsorben yang memiliki
struktur lapisan permukaan yang bermuatan positif serta daerah interlayer yang
bermuatan negatif diharapkan dapat memperoleh hasil maksimal dalam menyerap
senyawa pengotor dalam crude glycerol.
2.6 Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometer UV- Vis merupakan alat instrumen yang dapat
mendeteksi komposisi kimia suatu bahan baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Spektrofotometer UV-Vis menggunakan prinsip absorpsi radiasi
gelombang elektromagnetik oleh sampel dalam rentang panjang gelombang
sinar UV (200-400 nm) dan sinar tampak/Visible (400-800 nm) (Ewing, 2013).
Ketika cahaya mengenai sampel, sebagian akan diserap dan sebagian
lainnya akan diteruskan. Intensitas sinar yang melewati sel sampel atau yang
diteruskan dihitung untuk panjang gelombang tersebut dan disimbolkan dengan I.
Jika I lebih kecil dari sinar datang (Io), berarti sampel menyerap sejumlah sinar.
Kemudian suatu model matematika sederhana dikerjakan oleh komputer untuk
mengubahnya menjadi apa yang dinamakan absorbansi sampel yang disimbolkan
dengan A, sedangkan cahaya yang ditransmisikan diukur sebagai transmitansi (T)
yang dinyatakan dengan hukum Lambert-Beer (Harris, 2007).
Absorbsi terjadi akibat adanya perpindahan elektron pada kulit terluar ke
tingkat energi yang lebih tinggi (eksitasi) dikarenakan elektron menyerap energi
21
yang dipancarkan oleh sinar ultraviolet dan sinar tampak (Palupi et al., 2009).
Absorbansi adalah perbandingan intensitas sinar yang diserap dengan intensitas
sinar datang. Nilai absorbansi ini akan bergantung pada kadar zat yang
terkandung di dalamnya. Semakin banyak kadar zat yang terkandung dalam
suatu sampel, maka semakin banyak molekul yang akan menyerap cahaya pada
panjang gelombang tertentu sehingga nilai absorbansinya semakin besar
(Harris, 2007). Skema instrumentasi spektrofotometer UV Vis dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Skema Instrumen Spektrofotometer UV-Vis (Harris, 2007).
Suatu grafik yang menghubungkan antara banyaknya sinar yang diserap
dengan panjang gelombang sinar merupakan spektrum absorbsi. Banyaknya sinar
yang diabsorbsi pada panjang gelombang tertentu sebanding dengan molekul
yang menyerap radiasi, sehingga spektrum absorbsi juga dapat digunakan untuk
analisa kuantitatif (Ewing, 1985).
Menurut Hukum Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan
sel yang disinari. Menurut Hukum Beer, yang hanya berlaku untuk cahaya
monokromatik dan larutan yang sangat encer, serapan berbanding lurus dengan
konsentrasi (banyak molekul zat). Kedua pernyataan ini dapat dijadikan satu
Hukum Lambert Beer sehingga diperoleh bahwa serapan berbanding lurus
terhadap konsentrasi dan ketebalan sel, yang dapat ditulis dalam persamaan:
22
A= a.b.c (g/liter) .................................................................................... (18)
A= ε. b. c (mol/liter) .............................................................................. (19)
Keterangan:
A = serapan/absorbansi
a = absorptivitas (liter. gram-1
cm-1
)
b = ketebalan sel (cm)
c = konsentrasi (mol/liter) atau (gram/liter)
ε = absorptivitas molar (liter. mol-1
cm-1
)
2.7 X-Ray Diffractometer (XRD)
Metode yang digunakan untuk menganalisis zat padat berupa kristal secara
kualitatif dan kuantitatif dengan sinar-X adalah XRD. Pada XRD, analisis secara
kualitatif bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa utama dalam sampel,
sedangkan analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui persentase kandungan
senyawa utama tersebut dalam sampel. Instrumen XRD dapat membedakan antara
material yang bersifat kristal dan bersifat amorf. Pola difraksi yang khas akan
dicocokan dengan bank data JCPDS/ICDD (Vitalij & Peter, 2009).
Prinsip dari XRD adalah hamburan elektron yang mengenai permukaan
sampel. Sinar-X yang datang membentuk sudut θ terhadap permukaan sampel dan
menumbuk atom, akan dipantulkan dengan sudut yang sama. Begitu pula dengan
sinar-X ke dua yang jatuh pada bidang di bawahnya yang berjarak d, sinar ini
akan dipantulkan dengan sudut θ namun memiliki fase beda. Detektor akan
menangkap dan memunculkan pola difraksi yang terbentuk. Informasi yang
ditampilkan dalam pola difraksi sinar-X adalah posisi puncak 2θ dalam satuan
derajat, jarak antar bidang dalam amstrong, intensitas dalam counts per second,
lebar penuh pada setengah puncak (full width at half maximum/FWHM) dalam
23
satuan derajat dan intensitas dalam counts per second degree (Vitalij & Peter,
2009).
Gambar 6. Difraksi Sinar X Suatu Kristal (Vitalij & Peter, 2009).
Hukum Bragg menyatakan bahwa pada kristal terdapat atom dengan
susunan teratur membentuk suatu bidang datar yang disebut dengan kisi kristal.
Masing-masing bidang datar memiliki jarak karakteristik antara bidang-bidang
komponennya yang disebut bidang Bragg. Data yang diperoleh dari karakterisasi
XRD adalah harga intensitas dan panjang celah pada sudut 2θ tertentu.
2.8 Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectroscopy
Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk melakukan
penentuan jenis gugus fungsi suatu senyawa organik, mengetahui informasi
struktur suatu senyawa organik, dengan membandingkan pada daerah sidik
jarinya. Radiasi inframerah mengandung beberapa range frekuensi tetapi tidak
dapat dilihat oleh mata. Pita absorbsi inframerah sangat khas dan spesifik untuk
setiap tipe ikatan kimia atau jenis gugus fungsi. Prinsip kerja FTIR adalah
24
mengenali gugus fungsi suatu senyawa dari absorbansi inframerah yang dilakukan
terhadap senyawa tersebut (Sastrohamidjojo, 1992).
Preparasi sampel yang berupa padatan dilakukan menggunakan teknik
pelet KBr, yang dibuat dengan cara menekan dan menumbuk campuran cuplikan
sampel dan kristal KBr dalam jumlah kecil hingga terbentuk pelet transparan.
Tablet cuplikan tipis tersebut kemudian diletakkan di tempat sel spektrofotometer
IR dengan lubang mengarah ke sumber radiasi. Sementara untuk sampel yang
berupa zat cair, sampel bebas air dioleskan pada kaca NaCl atau kaca KBr,
kemudian dipasang pada sel spektrofotometer. Selanjutnya dilakukan pengukuran
serapan sehingga diperoleh puncak-puncak gugus fungsi sebagai petunjuk struktur
molekul sampel (Sastrohamidjojo, 1992).
Nilai bilangan gelombang absorbansi oleh suatu tipe ikatan tertentu
tergantung pada macam vibrasi dari ikatan tersebut. Oleh karena itu tipe ikatan
yang berlainan (misal C-H, C-C, O-H, N-H, C=O) menyerap radiasi inframerah
pada bilangan gelombang karakteristik yang berlainan. Banyaknya energi yang
diabsorbsi suatu ikatan tergantung pada perubahan dalam momen seperti vibrasi
atom-atom yang saling berikatan (Sastrohamidjojo, 1992).
2.9 Scanning Electron Microscopy (SEM)
Scanning Electron Microscopy (SEM) adalah suatu tipe mikroskop
elektron yang menggambarkan permukaan sampel dengan resolusi tinggi melalui
proses scan menggunakan pancaran energi yang tinggi dari elektron dalam suatu
pola scan raster. Energi elektron biasanya 100 keV, yang menghasilkan panjang
gelombang kira-kira 0,04 nm (Tipler, 1991).
25
Prinsip kerja SEM adalah gelombang elektron yang dipancarkan akan
terkondensasi di lensa kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa
objektif. Scanning coil yang diberi energi menyediakan medan magnetik bagi
sinar elektron. Berkas sinar elektron yang mengenai cuplikan atau sampel akan
menghasilkan elektron sekunder yang kemudian dikumpulkan oleh detektor
skunder atau detektor backscatter. Gambar yang dihasilkan terdiri dari ribuan
titik berbagai intensitas di permukaan Cathode Ray Tube (CRT) sebagai topografi
(Kroschwitz, 1990).
Ketika berkas elektron di-scan pada permukaan sampel, terjadi interaksi
elektron dengan atom-atom di permukaan maupun di bawah permukaan sampel.
Akibat interaksi tersebut sebagian besar berkas elektron berhasil keluar kembali,
elektron-elektron tersebut disebut sebagai Backscattered Electrons (BSE). Proses
pembentukan BSE terjadi pada atom-atom di bagian permukaan sampel yang
lebih dalam. Ini disebabkan tumbukan antara elektron dari sumber dengan inti
atom (Sujatno et al., 2015).
Jika elektron sumber dalam perjalanannya di dalam bahan hanya melewati
awan elektron atau orbital sebuah atom maka elektron tersebut dapat saja
memindahkan sebagian energi kinetiknya kepada satu atau lebih elektron pada
orbit tersebut. Elektron itu akan menjadi tidak stabil dan dalam kondisi tereksitasi
sehingga meninggalkan posisinya dan keluar dari permukaan bahan, maka
elektron tersebut dikenal sebagai secondary electron (SE) atau elektron sekunder.
Struktur permukaan berikut ciri-cirinya, seperti batas butir, porositas, puncak atau
lembah akan terlihat lebih detil dengan resolusi yang lebih tinggi dibanding BSE
(Sujatno et al., 2015).
26
2.10 Atomic Absorption Spectroscopy (AAS)
Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) atau Spektrofotometer Serapan
Atom (SSA) merupakan instrumen yang digunakan untuk menentukan kadar
suatu unsur dalam senyawa berdasarkan serapan atomnya. Digunakan untuk
analisis senyawa anorganik, atau logam. Spektrum yang diukur adalah pada
daerah UV-Vis. Sampel yang diukur harus dalam bentuk larutan jernih. Pemilihan
metode spektrofotometri serapan atom karena mempunyai sensitifitas tinggi,
mudah, murah, sederhana, cepat, dan cuplikan yang dibutuhkan sedikit
(Supriyanto et al., 2007).
Prinsip analisa spektrofotometer serapan atom didasarkan pada kenyataan
bahwa atom dapat menyerap energi dalam bentuk gelombang elektromagnetik,
bergantung pada struktur elektron yang mengelilingi inti atom. Karena jumlah
dan susunan elektron yang mengelilingi inti berbeda pada setiap unsur, maka
setiap unsur mempunyai tingkat energi yang berbeda-beda pula. Dengan
demikian panjang gelombang radiasi yang diserap oleh setiap atom juga berbeda
dan intensitas dari tiap radiasi tersebut selalu sebanding dengan jumlah atom
yang mengalami proses perpindahan tingkat energi. Hal inilah yang merupakan
dasar cara analisa spektrofotometer serapan atom. Sistem instrumentasi
spektrofotometer serapan atom memiliki beberapa komponen. Berikut adalah
skema komponen penyusun spektrofotometer serapan atom:
Gambar 7. Skema Instrumen Spektrofotometer Serapan Atom (Skoog, 1985).
27
Pada spektrofotometer serapan atom jika pada sejumlah atom (M)
yang berada pada tingkat energi dasar (E0) dilewatkan seberkas radiasi
gelombang elektromagnetik dengan energi tertentu (sesuai dengan besarnya
energi untuk menaikkan tingkat energi atom M dari E0 E1) maka sebagian dari
energi radiasi akan diserap oleh atom M dan tingkat energi atom M naik dari
E0 E1. Energi radiasi yang tidak mengalami serapan akan keluar dari populasi
atom dan intensitasnya berkurang sesuai dengan jumlah atom yang mengalami
perpindahan tingkat energi. Dengan demikian, pengurangan intensitas radiasi
pada panjang gelombang yang sesuai dapat diukur dan besarnya sebanding
dengan populasi atom yang menyerap radiasi tersebut (Skoog, 1985).
Sampel sebelum dianalisa harus dipreparasi terlebih dahulu melalui
proses destruksi. Proses destruksi dimaksudkan untuk memutus ikatan logam
yang akan dianalisa dengan komponen lain dalam suatu matriks, sehingga unsur
logam tersebut berada dalam keadaan bebas. Proses destruksi dibagi menjadi dua
yaitu destruksi kering dan destruksi basah. Destruksi kering adalah destruksi
dengan cara membakar habis bagian organik dan meninggalkan residu anorganik
sebagai abu untuk analisis lebih lanjut. Pada destruksi kering suhu pengabuan
harus diperhatikan karena banyak elemen abu yang dapat menguap pada suhu
tinggi, selain itu suhu pengabuan juga dapat menyebabkan dekomposisi senyawa
tertentu. Oleh karena itu suhu pengabuan untuk setiap bahan berbeda-beda
bergantung komponen yang ada dalam bahan tersebut. Pengabuan kering dapat
diterapkan pada hampir semua analisa mineral, kecuali merkuri dan arsen. Cara
ini lebih membutuhkan sedikit ketelitian sehingga mampu menganalisa bahan
lebih banyak dari pada pengabuan basah (Apriyanto, 1989). Namun pada
destruksi kering sering terjadi kehilangan unsur-unsur mikro tertentu karena suhu
28
pemanasan yang tinggi, dan dapat juga terjadi reaksi antara unsur dengan wadah
(Hidayati, 2013).
Adapun dekstruksi basah pada prinsipnya adalah penggunaan asam kuat
atau oksidator kuat untuk mendekstruksi zat organik pada suhu rendah dengan
maksud mengurangi kehilangan mineral akibat penguapan. Jenis asam atau
oksidator kuat yang sering digunakan adalah HNO3, HClO4, H2SO4 dan H2O2
(Hidayati, 2013).
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mulai dari bulan September
2017 sampai Maret 2018. Analisis sampel dilakukan di PLT UIN Jakarta (XRD),
BPPT Serpong (AAS), BATAN Pasar Jumat (FTIR), dan LIPI Fisika (SEM).
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat-alat gelas,
termometer, kertas saring, corong Buchner, piknometer, desikator, furnace, oven,
spektrofotometer UV-Vis Perkin Elmer Lamda 25, Scanning Electron
Microscopy (SEM) Hitachi SU3500, Fourier Transform Infrared (FTIR)
Shimadzu IR Pretige-21, difraktometer sinar-X (Shimadzu XRD-600), dan Atomic
Absorption Spectroscopy (AAS) Shimadzu AA-6800.
3.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain minyak
goreng bekas yang berasal dari salah satu rumah makan di daerah Ciputat-
Tangerang Selatan, KOH p.a (Merck), CH3OH teknis, H3PO4 85% p.a (Merck),
NaOH p.a (Merck), bromtimol biru, HCl p.a (Merck), NaIO4 p.a (Merck), etilen
30
glikol p.a (Merck), MgCl2.6H2O teknis, AlCl3.6H2O teknis, Na2CO3 teknis,
AgNO3 (Merck), dan aquades.
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Skema Kerja
Gambar 8. Bagan Eksperimen Sintesis Hidrotalsit Mg-Al-CO3.
Larutan
MgCl2.6H2O +
AlCl3.6H2O
Reaktor Ditambahkan larutan
Na2CO3 + NaOH
hingga pH 10
Refluks pada suhu
80 oC, 1 Jam
Direndam dalam becker glass
menggunakan aquades 24 jam
Dicuci menggunakan
aquades hingga bebas ion
Cl-
Di keringkan dalam
oven pada suhu 80 oC
Dipisahkan dengan
proses sentrifugasi
Dihaluskan menggunakan
mortar
Adsorpsi Karakterisasi menggunakan XRD,
FTIR, dan SEM
31
Waktu & Suhu Terbaik
Konsentrasi Adsorben Terbaik
Adsorben Gliserol
Gambar 9. Bagan Eksperimen Proses Adsorpsi
Reaktor
Biodiesel
Crude glycerol Analisis kualitas
gliserol dibandingkan
dengan SNI
Pengasaman
Crude glycerol*
Asam lemak
bebas Garam
anorganik
Penetralan
Crude glycerol**
Adsorpsi
Metanol-KOH Minyak Jelantah
H3PO4 85%
NaOH 5M
Hidrotalsit Mg-Al-
CO3 hasil sintesis
ditambahkan
Garam
kristal
Variasi Waktu & Suhu
Variasi Konsentrasi Adsorben
Variasi Konsentrasi Adsorbat
Kinetika Adsopsi
Isoterm
Adsorpsi
Adsorpsi Kondisi
Terbaik
Karakterisasi
SEM & FTIR
Analisis
Kualitas
Gliserol
32
3.3.2 Pembuatan Biodiesel (Aziz et al., 2008)
Sebanyak 2 g KOH dilarutkan dalam 50 mL metanol. Kemudian
dipanaskan minyak goreng bekas sebanyak 200 mL sampai suhu 60 ºC, setelah
suhu konstan ditambahkan larutan metanol-KOH dan diaduk menggunakan
magnetic stirrer diatas hot plate. Laju pengadukan diatur pada 700 rpm
kemudian dibiarkan selama 60 menit dan dijaga suhunya agar tetap konstan.
Hasil reaksi dimasukkan ke dalam corong pisah, kemudian dibiarkan selama 24
jam sampai terjadi pemisahan yang sempurna. Lapisan atas merupakan lapisan
biodiesel dan lapisan bawah adalah crude glycerol. Crude glycerol yang
dihasilkan dianalisa kualitasnya sesuai pada prosedur sub bab 3.3.3.
3.3.3 Analisis Kualitas Gliserol
3.3.3.1 Penentuan Kadar Gliserol (SNI 06-1564-1995)
Pereaksi yang digunakan adalah larutan NaIO4 yang dibuat dengan cara
sebanyak 15 g NaIO4 dilarutkan dalam 125 mL air, ditambahkan 30 mL
H2SO4 0,1 N dan diencerkan dengan aquades hingga 250 mL kemudian
disimpan dalam botol coklat dalam ruangan gelap; larutan etilen glikol netral dan
bebas gliserol yang dibuat dengan cara etilen glikol sebanyak 200 mL
dicampurkan dengan 200 mL air; indikator bromtimol biru 0,1% yang dibuat
dengan cara bromtimol biru kering seberat 100 mg dilarutkan ke dalam 16 mL
NaOH 0,1 N kemudian dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan
dengan aquades hingga tanda tera; larutan standar NaOH 0,5 N; larutan NaOH
0,05 N; dan larutan asam sulfat 0,2 N.
33
Crude glycerol sebanyak 0,1 g dilarutkan dalam 10 mL air aquades lalu
ditambah indikator biru bromtimol sebanyak 1 tetes. Larutan kemudian
diasamkan dengan H2SO4 0,2 N sampai terbentuk warna kuning kehijauan.
Larutan dinetralkan dengan NaOH 0,05 N secara hati-hati sampai terbentuk
warna biru. Setelah itu, larutan tersebut ditambah NaIO4 sebanyak 10 mL lalu
diaduk secara perlahan. Larutan selanjutnya ditutup dan didiamkan dalam
ruangan gelap pada suhu kamar selama 30 menit. Larutan kemudian ditambah
etilena glikol sebanyak 2 mL lalu ditutup dan didiamkan dalam ruangan gelap
pada suhu kamar selama 20 menit. Larutan diencerkan dengan 60 mL aquades
kemudian ditambah 3 tetes indikator bromtimol biru. Larutan hasil campuran
tersebut ditirasi perlahan-lahan dengan NaOH 0,5 N sampai terbentuk warna
biru. Proses tersebut juga dilakukan untuk blanko. Kadar gliserol dihitung
dengan rumus dalam persamaan sebagai berikut:
Kadar Gliserol (%) = x 100% ................................ (20)
Keterangan:
T1 = Volume NaOH untuk titrasi sampel (mL)
T2 = Volume NaOH untuk titrasi blanko (mL)
N = Normalitas NaOH (N)
W = Bobot sampel (g)
9,209 = Faktor gliserol
3.3.3.2 Massa Jenis (Petrucci, 1985)
Piknometer dibersihkan dengan HCl, lalu dibilas sebanyak 3 kali dengan
aquades, sekali dengan alkohol dan kemudian dikeringkan di dalam oven selama
5 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam desikator selama 10 menit, lalu
piknometer ditimbang pada suhu ruang hingga diperoleh massa tetap (W1).
34
Piknometer diisi crude glycerol, bagian luarnya dilap hingga kering dan
ditimbang pada suhu ruang hingga diperoleh massa yang tetap (W2). Massa jenis
crude glycerol dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
........................ (21)
3.3.3.3 Kadar Air (AOAC 1995)
Sampel crude glycerol sejumlah 3 g ditimbang dan dimasukkan dalam
cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian sampel dan
cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C selama 3 jam. Cawan
didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang sampai diperoleh berat konstan.
Kadar air sampel dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
Kadar Air (%) % (22)
3.3.3.4 Kadar Abu (AOAC 1995)
Sampel crude glycerol sejumlah 3 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam
cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian
cawan dan sampel tersebut dibakar dan diabukan dengan menggunakan furnace
pada suhu 550 °C sampai dihasilkan abu yang berwarna abu-abu terang atau
bobotnya telah konstan. Selanjutnya kembali didinginkan dalam desikator dan
ditimbang segera setelah mencapai suhu ruang. Kadar abu sampel dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
35
Kadar Abu (%) %............................................. (23)
3.3.3.5 Kadar MONG (Matter Organic Non Glycerol)
Kadar MONG (Matter Organic Non Glycerol) atau bahan organik selain
gliserol yang terkandung dalam crude glycerol. Kadar MONG ini diperoleh
berdasarkan perhitungan:
Kadar MONG (%) = 100% - (% gliserol + % air + % abu) ................. (24)
3.3.3.6 Kadar Gula (SNI 06-1564-1995)
Pereaksi yang digunakan adalah pereaksi Maillard yang dibuat
dengan cara sebanyak 4 g urea (CO(NH2)2) dan 0,2 g SnCl2.2H2O dipanaskan
dengan 10 mL H2SO4 40%.
Crude glycerol sebanyak 4 tetes dimasukan ke dalam tabung pereaksi.
Tambahkan 1 mL pereaksi Maillard; 1 mL air suling, lalu diaduk. Tabung
dipanaskan dalam penangas air selama l5 menit dengan suhu 60 ºC. Warna coklat
yang timbul menunjukkan adanya gula dalam crude glycerol.
3.3.3.7 Uji Kadar Logam Kalium (SNI 06-6989-2005)
3.3.3.7.1 Preparasi Sampel
Sebanyak 10-20 g sampel crude glycerol dimasukkan ke dalam cawan
porselen. Kemudian di tanur pada suhu 450 ºC. Jika sampel belum bebas karbon
kemudian ditambahkan air dan HNO3 pekat 0,5–3 mL lalu ditanur kembali pada
suhu 450 ºC. Setelah bebas karbon, larutan sampel ditambahkan 5 mL larutan
HCl 6 N dan dikeringkan menggunakan oven. Selanjutnya sampel ditambahkan
36
dengan 20-30 mL larutan HNO3 0,1 N dan diencerkan dengan aquades dalam
labu ukur 50 mL sampai batas tera.
3.3.3.7.2 Analisis Kadar Logam Kalium
Larutan sampel diaspirasi dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)
pada panjang gelombang 766,5 nm untuk mengukur kadar logam kalium (K).
3.3.4 Sintesis dan Karakterisasi Hidrotalsit Mg-Al-CO3 (Kameda et al.,
2005)
Sebanyak 32 g MgCl2.6H2O dan 22 g AlCl3.6H2O dilarutkan dalam 250
mL aquadest sampai homogen. Campuran dimasukan ke dalam labu leher tiga.
Kemudian dibuat larutan kedua dengan melarutkan 6,7 g Na2CO3 dan 8,8 g NaOH
dalam 100 mL aquades. Larutan kedua ditambahkan secara perlahan kedalam labu
leher tiga sampai pH 10 dijaga konstan pada suhu 80 oC saat direfluks selama 1
jam. Lalu suspensi diendapkan dengan aquades semalam.
Endapan hidrotalsit Mg-Al-CO3 disaring lalu dicuci dengan aquades.
Pencucian dilakukan terus menerus hingga suspensi bebas dari ion Cl-.
Keberadaan ion Cl- diketahui dengan diuji filtrat hasil pencucian menggunakan
larutan AgNO3. Suspensi yang terbentuk dipisahkan secara sentrifugasi pada
kecepatan 2800 rpm selama 15 menit lalu dipanaskan dengan oven pada suhu 80
oC hingga kering. Selanjutnya di karakterisasi menggunakan XRD, FTIR dan
SEM.
37
3.3.5 Pemurnian Crude Glycerol
3.3.5.1 Pengasaman Crude Glycerol (Manosak et al., 2011)
Crude glycerol diasamkan dengan larutan H3PO4 85% hingga mencapai
pH larutan ±2,5. Setelah itu didiamkan selama ±12 jam sampai larutan
membentuk 3 fasa. Lapisan paling atas merupakan gumpalan asam lemak bebas,
lapisan tengah adalah gliserol, dan lapisan paling bawah adalah endapan garam
anorganik. Setelah terjadi pemisahan, lapisan gliserol dipisahkan dengan cara
penyaringan.
3.3.5.2 Penentuan Kondisi Terbaik Proses Adsorpsi
3.3.5.2.1 Variasi Waktu dan Suhu Adsorpsi
Sebanyak 1,33 g (12%) hidrotalsit Mg-Al-CO3 ditambahkan ke dalam 10
mL gliserol hasil pengasaman, lalu di-stirring pada kecepatan 200 rpm pada
variasi suhu adsorpsi 30, 45, 60, 75 dan 90 oC. Pada masing-masing variasi suhu
dilakukan variasi waktu adsorpsi 30, 60, 90 dan 120 menit kemudian disaring dan
dianalisis kadar gliserol serta penurunan intensitas warnanya.
3.3.5.2.2 Variasi Konsentrasi Adsorben
Hidrotalsit Mg-Al-CO3 ditambahkan ke dalam 10 mL gliserol hasil
pengasaman dengan variasi konsentrasi hidrotalsit Mg-Al-CO3 yaitu 4%, 8%,
12%, dan 16%. Lalu diadsorpsi pada waktu dan suhu terbaik yang telah diperoleh
dan di-stirring pada kecepatan 200 rpm. Kemudian masing-masing disaring dan
dianalisis kadar gliserol serta penurunan intensitas warnanya.
38
3.3.5.2.3 Variasi Konsentrasi Adsorbat
Variasi konsentrasi adsorbat 35%, 40%, 45% dan 50% dibuat dengan
menambahkan aquades (senyawa pengotor) dalam crude glycerol yang memiliki
konsentrasi adsorbat awal 35% dalam gelas beker sehingga diperoleh volume 10
mL. Proses tersebut disertai pengadukan menggunakan stirrer pada kecepatan
200 rpm pada kondisi adsorpsi terbaik.
3.3.6 Kinetika Adsorpsi
Penentuan model kinetika adsorpsi dalam penelitian ini dilakukan dengan
pengolahan data hasil analisis kadar gliserol pada masing-masing variasi waktu
dan suhu adsorpsi. Dari kadar gliserol yang telah dihasilkan, maka dapat
ditentukan konsentrasi adsorbat (senyawa pengotor) yang tersisa (CA) yaitu
dengan cara 100 % - % kadar gliserol, sehingga didapatkan % kadar adsorbat.
Kadar adsorbat (%) dapat dikonversi ke dalam satuan molaritas (mol/L)
yaitu dengan mengasumsikan bahwa senyawa adsorbat utama adalah asam
linoleat, sehingga konversi ke satuan molaritas dengan menggunakan BM asam
linoleat. Selanjutnya konsentrasi adsorbat (CA) yang didapat dalam satuan
molaritas (mol/L) pada setiap variasi waktu dan suhu adsorpsi diolah dengan
persamaan linier orde nol, satu dan dua untuk memperoleh nilai konstanta laju
adsorpsinya. Nilai konstanta laju adsorpsi yang didapat pada masing-masing suhu
pada orde reaksi yang paling sesuai diolah menggunakan persamaan Arrhenius
untuk memperoleh persamaan konstanta laju adsorpsinya sehingga dapat
ditentukan energi aktivasi (Ea) yang dibutuhkan untuk proses adsorpsi, sehingga
dapat diperkirakan adsorpsi berlangsung secara kimia atau fisika.
39
3.3.7 Isoterm Adsorpsi
Penentuan model isoterm adsorpsi, dilakukan dengan cara data jumlah zat
yang teradsorpsi (mg/g) dan kadar gliserol tersisa (%) yang diperoleh dari
percobaan daya serap dilakukan uji isoterm adsorpsi senyawa pengotor dalam
crude glycerol dengan membuat grafik perbandingan berdasarkan masing-masing
model isoterm Freundlich dan Langmuir. Pengujian pola isoterm adsorpsi
Freundlich dilakukan dengan membuatan kurva log x/m sebagai sumbu X
terhadap log Ce sebagai sumbu Y, pengujian pola isoterm Langmuir dilakukan
dengan membuatan kurva Ce/(x/m) sebagai sumbu X terhadap Ce sebagai sumbu
Y. Pola adsorpsi ditentukan dengan cara membandingkan tingkat kelinieran
kurva yang ditunjukan oleh harga R2. Harga R
2 yang paling mendekati satu
adalah yang paling sesuai.
3.3.8 Uji Intensitas Warna dengan Spektrofotometer UV-Vis (Nadira, 2015)
3.3.8.1 Penentuan λmax Crude Glycerol
Sebanyak 1 mL larutan blanko (crude glycerol hasil pengasaman yang
telah diencerkan) diambil lalu dimasukkan ke dalam kuvet untuk diukur nilai
absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis sebagai absorbansi blanko dan
didapatkan λmax crude glycerol.
3.3.8.2 Penentuan Penurunan Intensitas Warna
Sampel crude glycerol hasil adsorpsi yang telah diencerkan
menggunakan aquades sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam kuvet kemudian
diukur nilai absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
40
gelombang maksimum blanko. Setelah diketahui nilai absorbansi, kemudian
ditentukan penurunan intensitas warnanya dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut:
Penurunan Intensitas Warna (%) % .............................. (25)
Keterangan:
A1 = Nilai absorbansi blanko (crude glycerol hasil
pengasaman)
A2 = Nilai absorbansi sampel (crude glycerol hasil adsorpsi)
41
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Sintesis dan Karakteristik Hidrotalsit Mg-Al-CO3
Sintesis hidrotalsit Mg-Al-CO3 kali ini dilakukan melalui metode
kopresipitasi dengan rasio mol Mg/Al 1,7:1 (Sharma et al., 2008). Sintesis
dilakukan dengan mereaksikan larutan garam anorganik MgCl2.6H2O 0,63 M dan
AlCl3.6H2O 0,37 M dengan Na2CO3 0,63 M dalam suasana basa (dengan
penambahan larutan NaOH 2,2 M). Larutan garam anorganik dijenuhkan dengan
larutan alkali hingga mencapai pH optimum sintesis yaitu 10. Larutan alkali
kemudian ditambahkan secara simultan ke dalam larutan garam anorganik untuk
mendorong tejadinya pengendapan, hal ini dilakukan bersamaan dengan proses
pengadukan. Selanjutnya direfluks pada suhu 80 oC selama 1 jam (Kameda et al.,
2005).
Pengkondisian pH larutan selama berlangsungnya sintesis sangat penting
untuk menghasilkan hidrotalsit yang memiliki kristalinitas dan kemurnian yang
tinggi. Reaksi yang terjadi dalam pembentukan hidrotalsit Mg-Al-CO3 sebagai
berikut.
Hidrotalsit yang terbentuk memiliki bentuk fisik berupa serbuk halus
berwarna putih seperti pada Gambar 10 dibawah ini.
42
Gambar 10. Hidrotalsit Mg-Al-CO3 Hasil Sintesis.
Hidrotalsit Mg-Al-CO3 hasil sintesis kemudian dikarakterisasi dengan
XRD, FTIR dan SEM yang dilakukan untuk menentukan kristalinitas, gugus
fungsi dan morfologi permukaan sampel.
4.1.1 Identifikasi Senyawa
Identifikasi senyawa yang terbentuk dilakukan dengan X-Ray
Diffractometer (XRD). Analisis ini bertujuan untuk memastikan senyawa utama
yang terbentuk adalah hidrotalsit Mg-Al-CO3. Setiap kristal mempunyai harga d-
spacing yang khas sehingga dengan mengetahui harga d-spacing maka jenis
kristalnya dapat diketahui. Referensi harga d-spacing dan intensitas senyawa
bersumber dari International Centre for Diffraction Data (ICDD) (Lampiran 10).
Analisis kualitatif difraktogram tersebut dilakukan dengan membandingkan harga
d-spacing puncak-puncak difraktogram hidrotalsit Mg-Al-CO3 hasil sintesis
dengan standar dari International Centre for Diffraction Data (ICDD).
Difraktogram hidrotalsit hasil sintesis dapat dilihat pada Gambar 11.
43
2θ (degree)
Gambar 11. Profil Difraktogram Hidrotalsit Mg-Al-CO3 Hasil Sintesis.
Gambar 12. Profil Difraktogram Hidrotalsit Mg-Al-CO3 XRD dari Referensi
Jurnal (Bouraada et al., 2014).
Difraktogram yang milik sampel kemudian dibandingkan dengan
difraktogram referensi (ICDD). Pola difraktogram pada Gambar 11 memiliki
kemiripan dengan pola difraktogram hidrotalsit Mg-Al-CO3 yang telah dilaporkan
oleh Bouraada et al., (2014) yang dilihat pada Gambar 12, bahwa puncak puncak
tersebut merupakan difraktogram yang khas milik hidrotalsit Mg-Al-CO3.
44
Anion CO32-
pada antar lapisan hidrotalsit Mg-Al-CO3 ditunjukkan dengan
nilai d003 = 7,599 Å yang muncul pada 2θ 11,635o. Nilai ini sesuai dengan nilai
d003 yang diperoleh Bouraada et al., (2014) yaitu hidrotalsit dengan anion
interlayer berupa CO32-
dicirikan dengan harga d003 sekitar 7,59 Å.
Tabel 4. Perbandingan Nilai Refleksi Bidang Hidrotalsit Mg-Al-CO3
Refleksi bidang HTs Mg-Al-CO3 (Å) Bouraada et al., (2014)
(Å)
d003 7,59 7,59
d006 3,78 3,84
d012 2,56 2,58
d015 2,27 2,32
d018 1,92 1,97
d110 1,52 1,52
d113 1,49 1,49
d116 1,41 1,41
Tabel 4 merupakan perbandingan nilai d-spacing dari hidrotalsit Mg-Al-
CO3 yang berhasil disintesis dengan hasil yang telah dilaporkan oleh Bouraada et
al., (2014). Berdasarkan referansi tersebut dapat disimpulkan bahwa senyawa
hidrotalsit Mg-Al-CO3 yang disintesis telah terbentuk.
4.1.2 Penentuan Gugus Fungsi
Metode yang digunakan untuk menentukan gugus-gugus fungsi dalam
suatu molekul adalah dengan analisis Fourier Transform Infra Red (FTIR).
Keberadaan anion CO32-
pada antar lapisan hidrotalsit dikonfirmasi dengan data
FTIR. Senyawa-senyawa anorganik yang membentuk ikatan-ikatan kovalen di
45
dalam ion molekul, kation, atau anion akan menghasilkan sebuah spektrum
absorpsi yang berkaitan dengan frekuensi gugus (Cavani et al., 1991).
Penentuan gugus fungsi dilakukan pada hidrotalsit Mg-Al-CO3 sebelum
adsorpsi dan setelah adsorpsi. Analisis serapan FTIR dilakukan pada rentang
frekuensi 400-4000 cm-1
. Spektrum transmitansi IR kedua sampel dapat dilihat
pada Gambar 13.
Gambar 13. Spektrum Hidrotalsit Mg-Al-CO3 Sebelum (a) dan Setelah Adsorpsi
(b) Hasil Analisis FTIR
Puncak serapan yang tajam pada spektrum hidrotalsit Mg-Al-CO3 yaitu
pada 3417 cm-1
yang diduga merupakan gugus fungsi hidroksi (-OH). Serapan
tersebut menunjukan vibrasi antara gugus hidroksi yang berasal dari H2O yang
berinteraksi dengan logam dari hidrotalsit (Sahu, 2017) dan molekul air pada
bagian interlayer (Bouraada et al., 2014). Puncak 3200 cm-1
merupakan serapan
yang disebabkan oleh ikatan hidrogen yang terjadi antara atom O dari CO32-
dengan atom H dari H2O yang ada di daerah interlayer. Puncak 1641 cm-1
juga
OH
OH
CO
M-O
46
muncul disebabkan refleksi dari tekukan H2O pada daerah interlayer hidrotalsit.
Serapan juga muncel pada panjang gelombang 1361 cm-1
menunjukkan adanya
vibrasi CO32-
(Ayawei et al., 2015). Puncak tajam pada daerah panjang
gelombang 500 – 700 cm-1
yang muncul disebabkan oleh berbagai vibrasi kisi dari
lapisan hidroksida logam (Bouraada et al., 2014).
Perbedaan spektrum FTIR dari hidrotalsit Mg-Al-CO3 sebelum dan setelah
adsorpsi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perbedaan Spektrum FTIR dari Hidrotalsit Mg-Al-CO3 Sebelum dan
Setelah Adsorpsi
Sebelum Adsorpsi Setelah Adsorpsi
Bilangan
gelombang (cm-1
) Gugus fungsi
Bilangan
gelombang (cm-1
) Gugus fungsi
3417 Hidroksil (-OH) 3371 Hidroksil (-OH)
1641 Hidroksil (H2O) 1643 Hidroksil (H2O)
1361 Karbonil (CO32-
) 1359 Karbonil (CO32-
)
500-700 M-O 500-700 M-O
Perubahan signifikan terlihat pada puncak 3371 cm-1
menjadi lemah dan
luas yang merupakan puncak milik gugus hidroksil. Hal ini disebabkan senyawa
pengotor sebagian besar terikat pada gugus hidroksil dari adsorben. Senyawa
pengotor akan terikat pada gugus hidroksil atau gugus yang memiliki pasangan
elektron sunyi, dengan demikian gugus-gugus yang berperan dalam adsorpsi
adalah hidroksil (-OH) (Tatsuko, 1989).
47
Gambar 14. Reaksi Adsorpsi Senyawa Pengotor (Metanol) dengan Hidrotalsit
(Hincapie et al., 2017).
Perubahan bentuk spektrum juga terjadi pada daerah sidik jari (500-700
cm-1
) milik gugus oksida logam (M-O). Hidrotalsit memiliki gugus aluminium
oksida yang memiliki sifat amfoter, artinya mempunyai sifat keasaman dan
kebasaan. Bentuk aktif dari aluminium oksida mempunyai permukaan polar yang
mampu mengadsorpsi senyawa-senyawa polar. Sifat-sifat tersebut dapat berubah-
ubah sesuai dengan suhu dan pH (Pratiwi, 2011). Hal ini berhubungan dengan
protonasi dan deprotonasi pada sisi aktif adsorben. pH akan mempengaruhi
muatan dari adsorben, derajat ionisasi, dan kesetimbangan kimia dari molekul
target atau adsorben (Riapanitra et al., 2006), sehingga oksida logam juga
berperan dalam proses adsorpsi seperti yang dapat dilihat pada Gambar 14.
Daerah sinar paling penting dalam penentuan struktur suatu senyawa
organik berkisar antara 4000 cm-1
hingga 625 cm-1
(Silverstein et al., 1981).
Ayawei et al., (2015) telah melaporkan bahwa adanya puncak yang khas dari
vibrasi gugus-gugus fungsi pada senyawa hidrotalsit Mg-Al-CO3, bahwa puncak
pada panjang gelombang 3408 cm-1
merupakan stratching vibration dari gugus
OH, 1632 cm-1
menunjukan bending vibration dari H2O, 1363 cm-1
menunjukan
vibrasi dari CO32-
dan pada daerah sidik jari 672 cm-1
menunjukan vibrasi dari M-
O.
48
4.1.3 Identifikasi Morfologi
Analisis morfologi pemukaan sampel menggunakan Scanning Electron
Microscopy (SEM) dengan perbesaran 1000 hingga 2000 kali. Profil morfologi
dari hidrotalsit Mg-Al-CO3 sebelum dan setelah adsorpsi disajikan dalam Gambar
15.
Gambar 15. Morfologi Permukaan Hidrotalsit Mg-Al-CO3 Sebelum Adsorpsi (a)
dan Setelah Adsorpsi (b).
Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat perbedaan permukaan dari hidrotalsit
sebelum adsorpsi (a) dengan hidrotalsit setelah adsorpsi (b), dimana pada
permukaan hidrotalsit sebelum adsorpsi terdapat rongga yang terbuka. Hal ini
menunjukan bahwa hidrotalsit dapat digunakan sebagai agen penyerap (Reynolds,
1982), sedangkan pada hidrotalsit setelah adsorpsi terlihat mengalami kerapatan
pori, rongga pada permukaan tetutup dan telah terjadi penumpukan pada
pemukaaan tersebut. Hal ini menunjukan bahwa hidotalsit memiliki kemampuan
dalam menyerap senyawa pengotor yang terkandung dalam crude glycerol.
a b
49
4.2 Pemurnian Crude Glycerol
4.2.1 Proses Pengasaman Menggunakan Asam Fosfat (H3PO4)
Proses pemurnian yang pertama adalah pengasaman crude glycerol
menggunakan asam fosfat 85% yang bertujuan untuk menarik ion K+ yang
terdapat dalam crude glycerol. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
3 KOH(aq) + H3PO4(aq) K3PO4(s) + 3 H2O
Penambahan asam fosfat 85% juga dapat mengubah sabun yang terbentuk
pada reaksi pembuatan biodiesel menjadi asam lemak bebas (Prakoso, 2007).
Berikut reaksi pemecahan sabun menjadi asam lemak bebas.
R-COOK + H+ R-COOH + K
+
Proses pengasaman crude glycerol menghasilkan tiga lapisan, dimana
lapisan paling atas adalah asam lemak bebas, lapisan tengah adalah gliserol,
sedangkan lapisan bawah merupakan endapan garam kalium fosfat (K3PO4).
Pengendapan terjadi karena sifat dari garam kalium fosfat yang tidak larut dalam
larutan organik dan memiliki kalarutan yang rendah dalam air (Manosak et al.,
2011), seperti yang dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Crude Glycerol Hasil Pengasaman.
50
Gliserol hasil pengasaman kemudian dipisahkan dari lapisan asam lemak
dan endapan garam kalium fosfat dan selanjutnya dilakukan proses penetralan
dengan larutan NaOH 5M untuk mengendapkan garam yang tersisa dalam lapisan
gliserol, dimana proses ini akan menghasilkan dua lapisan yaitu lapisan atas
sebagai gliserol sedangkan lapisan bawah adalah endapan sisa garam anorganik.
Berikut reaksi yang terjadi.
3 NaOH(aq) + H3PO4(aq) Na3PO4(s) + 3 H2O(aq).
Tabel 6. Kualitas Gliserol Hasil Pengasaman
No Jenis Uji Gliserol Sebelum
Pengasaman
Gliserol Hasil
Pengasaman
1 Kadar Gliserol (%) 52,3 64,24
2 Massa Jenis (g/mL) 1,201 1,222
3 Kadar Air (%) 27,88 27,43
4 Kadar Abu (%) 9,36 5,07
5 Kadar MONG (%) 10,45 3,25
6 Kandungan Gula + +
7 Kadar Logam Kalium (ppm) 980 316
Tabel 6 menunjukan perbandingan kualitas dari gliserol sebelum dilakukan
proses pengasaman dengan setelah dilakukan proses pengasaman. Kadar gliserol
setelah pengasaman meningkat hingga 64,24% dan kadar air, abu, gula, MONG
serta logam kalium mengalami penurunan yang mendekati syarat mutu gliserol
kasar berdasarkan SNI 06-1564-1995. Hal ini menunjukan bahwa proses
pengasaman dapat meningkatkan kemurnian gliserol. Selanjutnya gliserol hasil
pengasaman dinetralkan dengan NaOH 5 M. Proses penetralan tersebut dapat
memisahkan garam yang tersisa dalam lapisan gliserol dan dilanjutkan untuk
tahap pemurnian yang kedua yaitu adsorpsi menggunakan hidrotalsit Mg-Al-CO3.
51
4.2.2 Proses Adsorpsi Menggunakan Hidrotalsit Mg-Al-CO3
Adsorpsi senyawa pengotor dalam crude glycerol dilakukan menggunakan
adsorben hidrotalsit Mg-Al-CO3 untuk mengetahui kondisi waktu, suhu,
konsentrasi adsorben yang terbaik serta penurunan intensitas warna gliserol
setelah dilakukan proses adsorpsi.
4.2.2.1 Pengaruh Variasi Waktu dan Suhu Adsorpsi terhadap Kadar dan
Penurunan Intensitas Warna Gliserol
Pengaruh variasi waktu dan suhu terhadap konsentrasi gliserol dalam
sampel setelah dilakukan adsorspsi dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Pengaruh Variasi Waktu dan Suhu terhadap Kadar Gliserol.
Berdasarkan Gambar 17, semakin tinggi suhu adsorpsi terlihat semakin
banyak pula senyawa pengotor yang terserap. Hal ini terlihat dari grafik yang
meningkat seiring bertambahnya suhu yang digunakan dalam proses adsorpsi.
Kadar gliserol dihasilkan semakin tinggi dari suhu 30 o
C hingga 90 o
C dimana
meningkat dari 69,31% hingga 94,10% (Lampiran 3). Hal ini dikarenakan suhu
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi (Pohan &
52
Tjiptahadi, 1987), dengan naiknya suhu adsorpsi maka energi kinetika sistem
meningkat atau kecepatan gerak partikel dalam sistem yang menyebabkan
semakin banyaknya tumbukan antar partikel dalam sistem, termasuk tumbukan
antar partikel adsorbat dengan adsorben (Hidayat et al., 2010).
Pengaruh waktu adsorpsi juga dipelajari dalam penelitian ini untuk
mengetahui waktu terbaik adsorpsi. Gambar 15 menunjukan kadar gliserol
meningkat dengan bertambahnya waktu adsorpsi. Semakin lama waktu adsorpsi,
interaksi antar partikel senyawa pengotor dengan hidrotalsit Mg-Al-CO3 semakin
lama. Sehingga kapasitas adsorpsi senyawa pengotor dengan hidrotalsit Mg-Al-
CO3 semakin meningkat. Penyerapan senyawa pengotor paling besar terjadi pada
waktu kontak 90 menit. Penelitian ini memperoleh suhu dan waktu terbaik proses
adsorpsi senyawa pengotor dalam crude glycerol adalah pada suhu 90 oC dengan
waktu adsorpsi selama 90 menit yang menghasilkan kadar gliserol sebesar
94,10%. Terjadi penyimpangan terhadap hasil yang diperoleh, dimana pada suhu
90 oC dengan waktu adsorpsi 120 menit mengalami penurunan persen kadar
gliserol. Hal ini diduga disebabkan waktu kontak yang terlalu lama yang
memungkinkan terjadinya proses desorpsi senyawa pengotor. Pengaruh dari
waktu dan suhu adsorpsi terhadap penurunan intensitas warna gliserol ditunjukkan
pada Gambar 18.
53
Gambar 18. Pengaruh Variasi Waktu dan Suhu Adsorpsi terhadap Penurunan
Intensitas Warna Gliserol.
Berdasarkan Gambar 18 dapat dilihat bahwa crude glycerol tidak
mengalami penurunan warna pada waktu dan suhu adsorpsi terbaik, namun
penurunan intensitas warna dari crude glycerol terjadi pada suhu adsorpsi 30 oC
dengan waktu adsorpsi 120 menit yang memperoleh persen penurunan intensitas
warna sebesar 27,06% (Lampiran 4). Waktu dan suhu tersebut tidak dipilih
sebagai kondisi terbaik dalam adsorpsi senyawa pengotor karena kadar gliserol
yang dihasilkan masih rendah dan tidak memenuhi syarat mutu gliserol kasar
berdasarkan SNI 06-1564-1995 yaitu hanya 67,82%. Sedangkan pada waktu dan
suhu adsorpsi terbaik, intensitas warna dari gliserol tidak mengalami penurunan.
Penurunan intensitas warna dari waktu dan suhu terbaik yang diperoleh sebesar –
3,608%. Hal ini dapat terjadi karena zat atau senyawa yang menyebabkan warna
gliserol menghitam hanya sedikit yang dapat diserap oleh adsorben.
Warna gelap pada minyak jelantah disebabkan oleh adanya kerusakan
oksidatif (Dewanti et al., 2001). Hal ini menyebabkan crude glycerol yang
dihasilkan dari proses transesterifikasi minyak bekas menjadi berwarna coklat
54
kehitaman. Warna gelap pada minyak disebabkan oleh proses oksidasi terhadap
tokoferol (vitamin E) yang terjadi ketika minyak dipanaskan pada suhu tinggi
(Sacharow & Griffin, 1970).
Hidrotalsit tidak dapat menyerap warna gelap pada crude glycerol diduga
disebabkan kompleksitas senyawa pengotor dalam crude glycerol. Sebagaimana
yang telah dilaporkan oleh Orthman (2003) bahwa hidrotalsit dapat menyerap
senyawa warna namun dengan karakterisasi senyawa warna yang telah diketahui
secara spesifik seperti acid blue 29.
4.2.2.2 Pengaruh Variasi Konsentrasi Adsorben terhadap Kadar dan
Penurunan Intensitas Warna Gliserol
Penentuan konsentrasi adsorben yang terbaik pada proses adsorpsi
senyawa pengotor dalam crude glycerol digunakan variabel tetap yaitu pada suhu
90 oC, waktu adsorpsi 90 menit dan di-stirring pada kecepatan 200 rpm. Kenaikan
kadar gliserol yang dihasilkan dari proses adsorpsi dengan variasi konsentrasi
adsorben dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Pengaruh Konsentrasi Adsorben terhadap Kadar Gliserol.
55
Berdasarkan Gambar 19 dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi
adsorben yang digunakaan pada proses adsorpsi maka semakin tinggi kadar
gliserol yang dihasilkan. Semakin besar konsentrasi atau massa adsorben maka
semakin banyak media untuk adsorbat teradsorpsi dalam adsorben tersebut (Nadir
& Marlinda, 2013). Hali ini karena semakin luas permukaan dan semakin banyak
sisi aktif dari adsorben yang berinteraksi dengan adsorbat, sehingga kapasitas
untuk menyerap senyawa pengotor dalam gliserol akan semakin besar pula
(Setyawan, 2003). Namun terjadi penyimpangan pada saat adsorpsi dengan
konsentrasi adsorben sebesar 16%, kadar gliserol yang dihasilkan lebih kecil
dibandingkan dengan variasi konsentrasi adsorben lainnya (Lampiran 5). Hal ini
dapat disebabkan karena jumlah sisi aktif yang lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah adsorbat menyebabkan sebagian besar gliserol ikut terserap (Aziz et al.,
2008).
Konsentrasi adsorben terbaik yang diperoleh yaitu 12% dengan
menghasilkan kadar gliserol sebesar 94,10% (Lampiran 5). Pengaruh konsentrasi
adsorben terhadap penurunan intensitas warna gliserol dapat dilihat pada Gambar
20.
56
Gambar 20. Pengaruh Konsentrasi Adsorben terhadap Penurunan Intensitas
Warna Gliserol.
Gambar 20 menunjukan nilai penurunan intensitas warna pada semua
konsentrasi bernilai minus (-), artinya warna gliserol tidak mengalami penurunan
atau tidak menjadi lebih bening setelah dilakukan proses adsorpsi, bahkan warna
menjadi lebih gelap dibandingkan dengan sebelum adsorpsi, maka diketahui
bahwa senyawa yang menyebabkan warna gelap pada gliserol tidak dapat diserap
oleh hidrotalsit Mg-Al-CO3.
4.2.2.3 Pengaruh Variasi Konsentrasi Adsorbat terhadap Kadar Gliserol
Grafik kadar gliserol yang diperoleh setelah adsorpsi dengan variasi
konsentrasi adsorbat ditunjukkan pada Gambar 21.
57
Gambar 21. Pengaruh Konsentrasi Adsorbat terhadap Kadar Gliserol.
Berdasarkan Gambar 21, dapat diketahui bahwa semakin bertambahnya
konsentrasi adsorbat, kadar gliserol yang dihasilkan semakin kecil. Daya serap
adsorben baik pada konsentrasi adsorbat 40% sebesar 32,42% namun kadar
gliserol yang dihasilkan bukan merupakan nilai yang paling tinggi (Lampiran 6).
Kadar gliserol yang paling tinggi dihasilkan dari variasi konsentrasi adsorbat 35%
yang merupakan crude glycerol yang tidak dilakukan penambahan aquades
(senyawa pengotor), dengan memperoleh kadar gliserol sebesar 94,10%.
4.3 Analisis Kualitas Gliserol
Kualitas gliserol pada kondisi sebelum adsorpsi dan setelah adsorpsi
masing-masing dianalisis yaitu meliputi kadar gliserol, massa jenis, kadar air,
kadar abu, kadar MONG, kadar logam kalium dan kandungan gula.
58
Tabel 7. Kualitas Gliserol Setelah Adsorpsi
No Jenis Uji
Gliserol
Sebelum
Adsorpsi
Gliserol
Setelah
Adsorpsi
SNI 06-1564-
1995
1 Kadar Gliserol (%) 64,24 96,63 Min. 80
2 Massa Jenis (g/mL) 1,222 1,279 1,259-1,263
3 Kadar Air (%) 27,43 6,68 Maks. 10
4 Kadar Abu (%) 5,07 4,14 Maks. 10
5 Kadar MONG (%) 3,25 0 Maks. 2,5
7 Kadar Logam Kalium
(ppm)
316 293 -
6 Kandungan Gula + - -
4.3.1 Kadar Gliserol
Penentuan kadar gliserol dilakukan dengan metode titrasi asam-basa.
Metode ini didasarkan pada oksidasi gliserol oleh natrium periodat (NaIO4) dalam
suasana asam yang kuat yaitu H2SO4 dengan indikator bromtimol biru (BTB)
menghasilkan asam format. Reaksi yang terjadi adalah :
C3H8O3(aq) + 2 NaIO4 HCOOH(aq) + 2 HCHO(aq) + 2 NaIO3(aq) + H2O(aq)
Asam format yang dihasilkan sebanding dengan jumlah gliserol yang
dioksidasi oleh NaIO4 yang kemudian dititrasi menggunakan larutan NaOH 0,5 N
standar dengan titik akhir titrasi terbentuk warna biru. Dengan reaksi sebagai
berikut:
HCOOH(aq) + NaOH(aq) HCOONa(aq) + H2O(aq)
Kadar gliserol yang sebelum adsorpsi dan setelah adsorpsi dapat dilihat
pada Tabel 7. Kadar gliserol sebelum dilakukan proses adsorpsi yaitu 64,24%
yang menunjukkan bahwa gliserol yang dihasilkan dari reaksi transesterifikasi
59
minyak goreng bekas masih mengandung banyak pengotor. Kadar gliserol
kemudian meningkat setelah dilakukan proses adsorpsi menghasilkan 96,63%.
Proses adsorpsi pada kondisi terbaik mampu meningkatkan kadar gliserol
dengan signifikan hingga 96,63%. Kadar gliserol yang dihasilkan dengan dua
proses pemurnian hingga diperoleh kadar gliserol yang memenuhi standar SNI 06-
1564-1995 dengan minimal kadar gliserol 80%. Hasil menunjukan bahwa
hidrotalsit Mg-Al-CO3 memiliki kemampuan yang sangat baik dalam
mengadsorpsi senyawa pengotor yang terkandung dalam gliserol hasil dari proses
transesterifikasi minyak goreng bekas.
4.3.2 Massa Jenis
Kemurnian gliserol juga dapat dilihat dari massa jenisnya. Perbedaan nilai
massa jenis dari gliserol sebelum adsorpsi dan setelah adsorpsi dapat dilihat pada
Tabel 7. Massa jenis yang dimiliki gliserol sebelum dilakukan proses adsorpsi
yaitu 1,222 g/mL, nilai tersebut masih belum sesuai dengan massa jenis dari
gliserol yang merujuk pada Merck HS-No 2905 45 00 (2002) yaitu 1,259-1,263
g/mL, artinya masih banyak senyawa pengotor yang terkandung dalam gliserol
tersebut, namun setelah dilakukan proses adsorpsi, massa jenis yang dimiliki
gliserol menjadi 1,279 g/mL dimana nilai tersebut semakin mendekati nilai massa
jenis yang merujuk pada Merck HS-No. 2905 45 00 (2002).
4.3.3 Kadar Air
Air merupakan salah satu komponen yang ada dalam crude glycerol
sebagai senyawa pengotor, dimana semakin tinggi kadar air maka semakin
60
berkurang kemurnian gliserol tersebut. Nilai kadar air dari gliserol sebelum
adsorpsi dan setelah adsorpsi dapat dilihat pada Tabel 7. Kadar air yang
terkandung dalam gliserol sebelum adsorpsi sebesar 27,43%. Kandungan air
dalam crude glycerol dapat berasal dari minyak goreng bekas serta metanol yang
memiliki kemurnian rendah, selain itu dapat berasal dari proses adsorpsi udara
bebas dari lingkungan selama proses pembuatan biodiesel (Manosak et al., 2011).
Kadar air dalam gliserol menurun hingga 6,68% setelah dilakukan proses
adsorpsi. Kandungan air yang tersisa dalam gliserol dapat berasal dari produk
samping dari reaksi pengasaman, dimana air tersebut larut dalam gliserol dan
metanol karena memiliki sifat kepolaran yang sama (Manosak et al., 2011).
Pemurnian dengan cara adsorpsi dapat menurunkan kadar air dalam gliserol
secara signifikan hingga telah memenuhi standar kadar air yang ditetapkan SNI
06-1564-1995 yaitu maksimal 10%. Molekul air dalam gliserol dapat terikat pada
adsorben melalui ikatan hidrogen.
4.3.4 Kadar Abu dan Kadar Logam Kalium
Kadar abu menunjukan kandungan senyawa anorganik seperti unsur
kalium yang terkandung dalam crude glycerol yang merupakan sisa dari katalis
KOH yang digunakan saat proses pembuatan biodiesel (Manosak et al., 2011).
Nilai kadar abu dari sebelum adsorpsi dan setelah adsorpsi dapat dilihat pada
Tabel 7. Kadar abu dalam gliserol sebelum adsorpsi sangat kecil yaitu 5,07%.
Nilai tersebut sudah lebih rendah dari kadar abu maksimal yang ditetapkan oleh
SNI 06-1564-1995 yaitu sebesar 10%. Kadar abu yang terkandung dalam gliserol
hasil adsorpsi semakin kecil yaitu 4,14% dengan penurunan kadar abu yang tidak
61
terlalu signifikan. Gliserol hasil adsorpsi juga diketahui mengalami penurunan
kadar logam kalium menjadi 293 ppm. Kadar abu yang masih tinggi dapat berasal
dari bahan-bahan yang dimasak seperti garam dapur dan juga karena proses
filtrasi untuk memisahkan gliserol dengan adsorben hidrotalsit tidak terjadi secara
sempurna, sehingga hidrotalsit terukur sebagai abu dalam gliserol, namun nilai
kadar abu yang diperoleh telah memenuhi syarat yang ditetapkan.
4.3.5 Kadar MONG
Senyawa pengotor lain yang terkandung dalam gliserol hasil dari proses
pembuatan biodiesel yaitu MONG (Matter Organic Non Glycerol), dimana
menunjukan kadar kontaminan lain seperti sabun, metanol dan juga ester dari
proses pembuatan biodiesel (Manosak et al., 2011).
Senyawa pengotor dalam crude glycerol seperti ester akan terserap dan
menempel pada permukaan hidrotalsit. Gambar 22a mengilustrasikan interaksi
sebuah gugus C=O dari ester dengan gugus OH- pada permukaan hidrotalsit dan
Gambar 22b mengilustrasikan pembentukan adisi asam-basa Lewis yang kuat
yang melibatkan C=O dari ester dengan Mg2+
tidak jenuh terkoordinasi pada
daerah interface (Nishimura et al., 2013).
62
Gambar 22. Ilustrasi Interaksi Senyawa Pengotor pada Bagian Atas (a) dan
Bawah Permukaan Hidrotalsit (b) (Nishimura et al., 2017).
Data kadar MONG dari gliserol sebelum adsorpsi dan setelah adsorpsi
dapat dilihat pada Tabel 7. Kadar MONG yang terkandung dalam gliserol
sebelum adsorpsi sebesar 3,25%. Hal ini disebabakan karena gliserol masih
mengandung banyak pengotor seperti sabun, asam lemak bebas, metil ester serta
metanol dari hasil reaksi dalam pembuatan biodiesel (Syafilla et al., 2007; Syah,
2006). Nilai tersebut telah memenuhi kadar MONG yang ditetapkan oleh SNI 06-
1564-1995 yaitu dengan nilai maksimal sebesar 2,5%. Proses adsorpsi pada
kondisi terbaik menggunakan hidrotalsit Mg-Al-CO3 mampu mengadsorpsi sisa-
sisa pengotor yang masih ada dalam gliserol sehingga dapat menurunkan kadar
MONG gliserol.
4.3.6 Kandungan Gula
Penentuan kandungan gula secara kualitatif dalam gliserol dilakukan
dengan uji menggunakan pereaksi Mailliard. Jika sampel positif mengandung gula
maka ditunjukkan dengan adanya warna coklat yang terbentuk pada sampel.
Warna coklat yang muncul merupakan senyawa melanoid, senyawa turunan dari
produk amadori hasil reaksi antara aldosa dengan asam amino (Boekel, 1998).
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut.
a b
63
Gambar 23. Reaksi Maillard
Uji kandungan gula pada sampel gliserol sebelum pengasaman dan
sebelum adsorpsi positif mengandung gula. Hal ini ditunjukkan sampel yang
memunculkan cincin kecoklatan pada saat ditetesi pereaksi Milliard, sedangkan
pada gliserol setelah adsorpsi menunjukan hasil negatif dimana tidak terbentuk
warna coklat ketika ditambahkan pereaksi Maillard (Gambar 24), yang berarti
proses adsorpsi dapat menghilangkan gula dalam sampel.
(a) (b) (c)
Gambar 24. Hasil Uji Kandungan Gula dalam Gliserol Sebelum Pengasaman (a),
Sebelum Adsorpsi (b) dan Setelah Adsorpsi (c).
64
4.4 Kinetika Adasorpsi Senyawa Pengotor dalam Crude Glycerol (Hasil
Pengasaman)
Penentuan persamaan kinetika adsorpsi senyawa pengotor dalam crude
glycerol (hasil pengasaman) menggunakan hidrotalsit Mg-Al-CO3 meliputi orde
reaksi, konstanta laju adsorpsi, dan energi aktivasi.
Orde reaksi dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan
persamaan linier orde nol, orde satu dan orde dua dengan memplotkan dalam
sebuah grafik antara sumbu X sebagai waktu adsorpsi (t) sedangkan sumbu Y
sebagai CA untuk orde nol, ln CA untuk orde satu dan 1/CA untuk orde dua yang
merupakan konsentrasi adsorbat (mol/L), kemudian akan diperoleh persamaan
linier yaitu y = ax + b dimana nilai slope (a) merupakan nilai konstanta laju
adsorpsinya. Selain itu diperoleh nilai regresi liniernya (R2) yang menunjukan
kesesuaian data dengan model kinetika (Estiaty, 2013).
Konsentrasi adsorbat (CA) diperoleh dengan mengasumsikan bahwa
komponen adsorbat utama adalah asam lemak bebas yang mana pada minyak
goreng bekas kandungan asam lemak bebas paling besar adalah asam linoleat
yaitu 54,35% (Mahreni, 2010), sehingga konversi adsorbat dengan BM asam
linoleat (C18H32O2), kemudian dibagi dengan volume gliserol (L) yang didapat
dari pembagian antara massa gliserol dengan massa jenisnya (Lampiran 4).
Tabel 8. Nilai Regresi Linier Masing-masing Orde Reaksi
No Orde Reaksi Nilai Rata-rata Regresi Linier
1 Orde Nol 0,6632
2 Orde Satu 0,6991
3 Orde Dua 0,6866
65
Tabel 8 menunjukan bahwa proses adsorpsi tersebut mengikuti model
kinetika orde satu. Hal ini berdasarkan nilai R2 yang diperoleh dari data yang
diolah berdasarkan model kinetika orde satu yaitu dengan rata-rata 0,6991
merupakan yang paling besar atau yang paling mendekati 1 dibandingkan dengan
nilai R2 yang diolah berdasarkan model kinetika orde nol dan orde dua masing-
masing 0,6632 dan 0,6866. Proses adsorpsi yang mengikuti model kinetika orde
satu dapat diartikan bahwa kecepatan reaksi adsorpsi yang terjadi dipengaruhi
oleh salah satu konsentrasi reaktannya.
Nilai slope (a) dalam persamaan regresi linier y = ax + b yang ditunjukan
pada Lampiran 11 merupakan harga konstanta laju adsorpsi (k) dari variasi suhu
yang digunakan. Ketiga tabel menunjukan harga k yang semakin besar dengan
semakin meningkatnya suhu yang digunakan. Hal tersebut sesuai dengan teori
adsorpsi yang menyatakan bahwa laju adsorpsi meningkat seiring dengan
kenaikan suhu (Hidayati et al., 2013).
4.5 Persamaan Konstanta Laju Adsorpsi (k) dan Energi Aktivasi (Ea)
Berdasarkan harga k yang telah diperoleh, maka energi aktivasi yang
dibutuhkan dalam proses adsorpsi dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan Arrhenius. Persamaan Arrhenius merupakan persamaan yang
mengkuantifikasikan hubungan suhu dan energi aktivasi dengan konstanta laju
reaksi. Dengan memplotkan antara waktu (1/T) pada sumbu X dengan ln k pada
sumbu Y, maka akan diperoleh persamaan regresi linier y = ax + b dimana
intercept (b) merupakan nilai ln A dan energi aktivasi dapat dihitung dengan
mengkalikan antara nilai slope dari persamaan regresi linier yang diperoleh
66
dengan konstanta gas (R) (Hidayati et al., 2013; Sirait, 2007). Berikut adalah
grafik hubungan antara 1/T dengan ln k.
Gambar 25. Hubungan Antara 1/T dengan ln k
Nilai slope (a) dan intercept (b) telah diketahui dari persamaan regresi
linier pada Gambar 25 yaitu masing-masing 2946,5 dan 3,8645. Data yang telah
diperoleh kemudian diolah sehingga menghasilkan persamaan Arrhenius yaitu k =
47,6794 e- 24.497/RT
dengan nilai energi aktivasi sebesar 24,497 kJ/mol.
Berdasarkan nilai energi aktivasi yang telah diketahui, proses adsorpsi
berlangsung secara kimia (chemisorption), dimana batas maksimal energi aktivasi
secara fisika adalah 20,92 kJ/mol (Adamson, 1990). Proses adsorpsi kimia
ditandai dengan terikatnya molekul adsorbat pada permukaan adsorben melalui
ikatan kimia, biasanya berupa ikatan kovalen (Prabowo, 2009).
4.6 Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi menjelaskan hubungan antara konsentrasi yang
teradsorpsi dengan variasi konsentrasi adsorbat pada suhu konstan. Isoterm
67
adsorpsi yang sering digunakan adalah Langmuir dan Freundlich. Model
Langmuir dibuat berdasarkan asumsi bahwa binding sites terdistribusi secara
homogen diseluruh permukaan adsorben, dimana adsorpi terjadi pada satu lapisan
(monolayer) atau berlangsung secara kimia, sedangkan asumsi Freundlich
didasarkan bahwa ada permukaan heterogen dengan beberapa tipe pusat adsorpsi
yang aktif (multilayer) yang umumnya disebut dengan pysisorption (Kusmiyati et
al., 2012).
Gambar 26. Hubungan Konsentrasi Adsorbat (C) dengan Kapasitas Adsorpsi
(x/m) (Isoterm Langmuir)
Gambar 27. Hubungan Konsentrasi Adsorbat (Log C) dengan Kapasitas Adsorpsi
(Log x/m) (Isoterm Freundlich)
68
Isoterm Langmuir ditentukan dengan memplotkan antara Ce/ dengan Ce,
sedangkan pada isoterm Freundlich yaitu dengan memplotkan Log dengan Log
Ce. Berdasarkan kedua grafik di atas, niali R2 yang diperoleh dari pengolahan data
menggunakan isoterm Langmuir lebih mendekati angka 1 yaitu sebesar 0,9752
maka dapat diasumsikan bahwa proses adsorpsi terjadi secara kimia
(chemisorption). Mekanisme chemisorption memungkinkan terjadinya ikatan
antar ion yang terdapat dalam larutan.
Penyerapan senyawa pengotor menggunakan hidrotalsit dapat terjadi
melalui cara pengendapan adsorbat pada permukaan hidrotalsit, adsorbat terikat
pada gugus OH- pada permukaan, substitusi isomorfik dan mengkelat dengan
ligan pada interlayer (Liang et al., 2013).
Hasil yang menunjukan jenis isoterm adsorpsi yang terjadi adalah
Langmuir didukung oleh adanya data dari energi aktivasi yang telah diketahui
sebelumnya bahwa proses adsorpsi memiliki energi aktivasi diatas 20 kJ/mol
dimana hal tersebut merupakan ciri bahwa suatu adsorpsi berlangsung secara
kimia.
69
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasakan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Kondisi terbaik pada proses adsorpsi senyawa pengotor dalam crude
glycerol (hasil pengasaman) menggunakan hidrotalsit Mg-Al-CO3 yaitu
pada waktu 90 menit, suhu 90 oC, dan konsentrasi adsorben 12%.
2. Kualitas gliserol hasil adsorpsi pada kondisi terbaik telah memenuhi syarat
mutu gliserol kasar yang ditetapkan SNI 06-1564-1995 dengan kadar
gliserol 96,63%; massa jenis 1,27 g/mL; kadar air 6,68%; kadar abu
4,14%; kadar logam kalium 293 ppm; kadar MONG 0%; dan tidak
mengandung gula.
3. Crude glycerol hasil adsorpsi pada kondisi terbaik menggunakan
hidrotalsit Mg-AlCO3 tidak mengalami penurunan intensitas warna.
4. Persamaan kinetika adsorpsi yang sesuai yaitu orde satu, dengan konstanta
laju adsorpsi k = 47, 6794 e- 24.497/RT
.
5. Proses adsorpsi senyawa pengotor dalam crude glycerol (hasil
pengasaman) menggunakan hidrotalsit Mg-Al-CO3 berlangsung mengikuti
model isoterm Langmuir dengan asumsi bahwa adsorpsi terjadi melalui
ikatan kimia.
70
5.2 Saran
Saran yang dapat dikemukakan dari penelitian ini pada penelitian
selanjutnya adalah perlu dilakukan kajian mengenai senyawa pengotor yang
menyebabkan warna gliserol menjadi gelap, sehingga dapat diketahui adsorben
yang sesuai untuk proses pemurnian crude glycerol.
71
DAFTAR PUSTAKA
Adamson A. 1990. Phisical Chemistry of Surface, 5th
Edition. New York: John
Willey and Sons, Inc.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Che
mists. Washington D.C.
Apriyanto A. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Atkins PW. 1998. Phisical Chemistry, 6th
Edition. Oxford: Oxford University
Press.
Atkins PW. 1999. Kimia Fisika 2. Jakarta: Erlangga.
Ayawei N, Seimokumo A, Donbebe W, Ezekiel D. 2015. Synthesis,
Characterization and Application of Mg/Al Layered Double Hydroxide for
The Degradation of Congo Red in Aqueous Solution. Scientific Research
Publishing. 5:56-70. doi: 10.4236/0jpc.2015.53007.
Aziz I, Aristya MN, Hendrawati, Adhani L. 2018. Peningkatan Kualitas Crude
Glycerol dengan Proses Adsorpsi Menggunakan Sekam Padi. Kimia
Valensi, 4(1):34-41. doi: 10.15408/jkv.v4i1.7498.
Aziz I, Las T, Shabrina A. 2014. Pemurnian Crude Glycerol dengan Cara
Pengasaman dan Adsorpsi Menggunakan Zeolit Alam Lempung. Chem.
Prog. 7(2):66-73.
Aziz I, Nurbayti S, Luthfiana F. 2008. Pemurnian Gliserol dari Hasil Samping
Pembuatan Biodiesel Menggunakan Bahan Baku Minyak Goreng Bekas.
Kimia Valensi. 1: 157–162.
Aziz I, Sulistina RC, Hendrawati, Adhani L. 2018. Purification of Crude Glycerol
From Acidification Using Tea Waste. Prosiding IOP Publishing
Conference Series: Earth and Environmental Science. doi: 10.1088/1755-
1315/175/1/012010.
Bahl B, Tuli G, Bahl A. 1997. Essential of Phisical Chemistry. New Delhi: S
Chand and Company Ltd.
Bird T. 1985. Physical Chemistry. Jakarta: Gramedia.
Bouraada M, Hassiba B, Louis CM. 2014. Removal of Evans Blue and Yellow
Thiazole Dyes from Aqueous Solution by Mg-Al-CO3 Layeed Double
Hydroxides as Anion-exchanger. Mediterranean Journal of Chemistry.
3(3):894-906. doi: 10.13171/mjc.3.3.2014.01.06.18.
Boekel M. 1980. Effect of Heating on Maillard Reaction in Milk. Food
Chemistry. 62(4): 403-414.
Brady J. 1999. Kimia Untuk Universitas. Jakarta: Erlangga.
Cavani F, Trifirò F, Vaccari A. 1991. Hydrotalcite-type Anionic Clays:
72
Preparation, Properties and Applications. Catalysis Today. 11(2): 173–
301. doi: 10.1016/0920-5861(91)80068-K.
Darnoko D & Cheryan M. 2000. Kinetics of Palm Oil Transesterification in a
Batch Reactor PDF Created with FinePrint pdfFactory Trial Version
http://www.fineprint.com PDF created with FinePrint pdfFactory trial
version http://www.fineprint.com. 12: 1263–1267.
Dasari M, Kiatsimkul P, Sutterlin W, Suppes G. 2005. Low-pressure
Hydrogenolysis of Glycerol to Propylene Glycol. Applied Catalyst A. 281:
225–231.
Dewanti T. Siti NW, Kuntanti. 2001. Studi Tingkat Kerusakan Dan Keamanan
Pangan Minyak Goreng Bekas (Kajian Dari Perbedaan Jenis Minyak
Goreng Dan Bahan Pangan Yang Digoreng) [Laporan Penelitia]. Malang:
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.
Dogra S & Dogra S. 1984. Phisical Chemistry Through Problem. Wiley Eastern
Limited.
Erickson K, Thor E, Ray L. 2005. A Study of Structural Memory Effect in
Synthetic Hydrotalcites Using Environmental SEM. Elsevier. 59: 226-229.
doi: 10.1016/j.matlet.2004.08.035.
Estiaty LM. 2013. Kesetimbangan dan Kinetika Adsorpsi Ion Cu2+
pada Zeolit-H.
Riset Geologi dan Pertambangan. Vol. 2(2): 127-141.
Ewing GW. 1985. Instrumental Methods of Chemical Coposition of Banana and
Plantain Peels. Food Chem. 590-600.
Ewing GW. 2013. Instrumental Methods of Chemical Analysis, 5th
Edition. New
York: McGraw-Hill.
Fadhillah NH, Aziz I, Hendrawati. 2017. Use of H-Zeolites and Alum in The
Purification of Crude Glycerol With Adsorption and Coagulation Process.
Kimia Valensi. 3(1): 35-43.
Fessenden R & Fessenden J. 1992. Kimia Organik Jilid 2, 3rd
Edition. Jakarta:
Erlangga.
Fatimah I. 2013. Kinetika Kimia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hanisah N, Yamin Y, Faujan A. 2007. Use of Anion Clay Hydrotalcite to Remove
Coloured Organics from Aqueous Solutions. Research Journal of
Chemistry and Environment. 11(4): 31–36. doi: 10.1016/S1383-
5866(02)00158-2.
Harris D. 2007. Quantitative Chemical Analysis, 7th
Edition. New York: Freeman.
Hart. 1983. Gliserol Pada Pembuatan Plastik Biodegradale. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
Hidayat Y, Wibowo AH, Sulistyowati. 2010. Studi Adsorpsi Larutan Gliserol
Menggunakan ZAA Sebagai Model Pemisahan Gliserol Pada Limbah
73
Produk Biodiesel. Jurnal Ekosains. 2(3): 14-20.
Hidayati B, Sunarno, Silvia R. 2013. Studi Kinetika Adsorpsi Logam Cu2+
dengan
menggunakan Adsorben Zeolit Alam Teraktivasi [Artikel ilmia].
Hidayati EN. 2013. Perbandinagn Metode Destruksi Pada Analisis Pb dalam
Rambut dengan AAS [Skripsi]. Semarang: Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Negeri Semarang.
Hincapei G, Lopez D, Moreno A. 2017. Infrared Analysis of Methanol
Adsorption On Mixed Oxides Derived From Mg/Al Hydrotalcite Catalysts
For Transesterification Reactions. Elsevier. 1-9.
Jason P. 2001. Activated Carbon and Some Aplication For the Remediation of
Soil and Groundwater Pollution. Retrieved from
http://www.cee.vt.edu/program _areas
Kameda T, Saito S, Umetsu Y. 2005. Mg-Al Layered Double Hydroxide
Intercalated with Ethylene-diaminetetraacetate Anion: Synthesis and
Application to The Uptake of Heavy Metal Ions from an Aqueous
Solution. Separation and Purification Technology. 47(1–2): 20–26. doi:
10.1016/j.seppur.2005.06.001.
Kloprogge JT, Hickey L, Frost RL. 2005. The Effect of Varying Synthesis
Conditions on Zinc Chromium Hydrotalcite: A Spectroscopic Study.
Materials Chemistry and Physics. 89(1): 99–109. doi:
10.1016/j.matchemphys.2004.08.035.
Kovaks A. 2011. Aspect of Refining Biodiesel by Product Glycerin. Journal of
Petroleum and Coal. (1): 91–97.
Kroschwitz J. 1990. Polymer Characterization and Analysis. Canada: John Willey
& Sons, Inc.
Kusmiyati K, Lystanto PA, Pratiwi K. 2012. Pemanfaatan Karbon Aktif Arang
Batubara (KAAB) untuk Menurunkan Kadar Ion Logam Berat Cu2+
dan
Ag+ Pada Limabah Cair Industri. Reaktor. 14(1): 51-60.
Liang X, Zang Y, Xu X, Tan W, Hou I, Wang, Sun Y. 2013. Sorption og Metal
Cation on Layered Double Hydroxide, Colloids and Surface. Accepted
Manuscript. China: School of Environmental Science and Engineering,
Tianjin University. doi: 10.1016/j.colsurfa.2013.05.006.
Mahreni. 2010. Peluang dan Tantangan Komersialisasi Biodiesel-Review. Jurnal
Eksergi. 10(2): 15-26.
Manosak R, Limpattayanate S, Hunsom M. 2011. Sequential-refining of Crude
Glycerol Derived from Waste Used-oil Methyl Ester Plant via A
Combined Process of Chemical and Adsorption. Fuel Processing
Technology. 92 (1): 92–99. doi: 10.1016/j.fuproc.2010.09.002.
Nadir M & Marlinda. 2013. Peningkatan Kadar Gliserol Hasil Samping
Pembuatan Biodiesel Dengan Metode Adsorpsi Asam Lemak Bebas
(ALB) Menggunakan Fly Ash. Konversi. 2(2): 1-8
74
Nadira. 2015. Pemanfaatan Tongkol Jangung (Zea Mays L) untuk Memperbaiki
Kualitas Minyak Jelantah. [Skripsi]. Padang: Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Andalas
Newman S & Jones W. 1998. Synthesis, Characterization and Applications of
Layered Double Hydroxides Containing Organic Guests. New Journal of
Chemistry. (22): 105–115. doi: 10.1039/a708319j.
Nishimura S, Atsushi T, Kohki E. 2013. Characterization, Synthesis and Catalysis
of Hydrotalcite-related Materials for Highly Efficient Materials
Transformation. Green Chemistry. doi: 10.1039/c3gc40405f.
Orthman J. 2000. Adsorption Studies: Development of Superior Adsorbent from
Bentonite to Remove Colour Organics. Individual Inqurity.
Orthman J, Zhu HY, Lu GQ. 2003. Use of Anion Clay Hydrotalcite to Remove
Coloured Oganics from Aqueous Solution. Elsevier. 31: 53-59. doi:
10.1016/S1383-58666(02)00152-2.
Pagliaro M & Rossi M. 2008. The Future of Glycerol: New Uses of a Versatile
Raw Material. RSC Green Chemistry Book Series.
Palupi I, Bertha BA, Suryasatriya T. 2009. Identifikasi Pigmen Daun Pandan
Wangi (Pandanus amaryllifolius) Dengan Spektrofotometer Sederhana.
Prosiding Seminar Nasional Sains Dan Pendidikan Sains IV. 3: 656–664.
Perry R & Green D. 1997. Perry’s Chemical Engineers’Handbook, 7th
Edition.
New York: Mc, Graw-Hill Book Company.
Petrucci R. 1985. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Jakarta: Erlangga.
Pohan HG & Tjipitahadi B. 1987. Pembuatan Desain/Prototipe Alat Pembuatan
Arang Aktif dan Studi Teknologi Ekonominya. Bogor: BBPP IHP Proyek
Penelitian dan Pembangunan Industri Hasil Pertanian IPB
Prabowo AL. 2009. Pembuatan Karbon Aktif dari Tongkol Jangung Serta
Aplikasinya Untuk Adsorpsi Cu, Pb dan Amonia. [Skripsi]. Universitas
Indonesia.
Prakoso T, Sirait H, Bintaroe. 2007. Pemurnian Hasil Samping Produksi Biodiese.
Prosiding Konferensi Nasional Pemanfaatan Hasil Samping Industri
Biodiesel Dan Industri Etanol Serta Peluang Pengembangan Industri
Integratednya, 267–275.
Pratiwi RA. 2011. Reaksi Oksidasi Katalitik Isoeugenol menjadi Vanili dengan
menggunakan Katalis Gamma Al2O3-TiO2. [Skripsi]. Depok: Ekstensi
Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Indonesia.
Reynolds J. 1982. Martindale The Extra Pharmacopoeia, 28th
Edition. London:
The Pharmaceutical Press.
Riapanitra A, Setyaningsih T, Riayani K. 2006. Penentuan Waktu Kontak dan pH
Optimum Penyerapan Metilen Biru Menggunakan Abu Sekam Padi.
75
Jurnal Molekul. 1(1): 41-44
Rives V. 2001. Study of Layered Double Hydroxides by Thermal Methods. In
Layered Double Hydroxides: Present dan Future. New York: Nova
Science Publisher Inc.
Sacharow S & Griffin R. 1970. Food Packaging. Connecticut: AVI Publishing
Company, Inc.
Sahu. 2017. A Green Approach to The synthesis of a Nanocatalyst and The role of
Basicity, Calcination, Catalytic Activity and Aging in The green
Syenthesis of 2-aryl Bezimidazoles, Benzothiazoles and Benzoxazoles.
The Royal Society of Chemistry. 7: 42000-42012. doi:
10.1039/c6ra25293a.
Sastrohamidjojo H. 1992. Spektroskopi Inframerah. Yogyakarta: Liberty.
Seader J & Henley E. 1998. Separation Processs Principles. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
Setyawan D. 2003. Aktivitas Katalis Cr/Zeolit Dalam reaksi Konversi Katalitik
Fenol Dan Metil Isobutil Keton. Jurnal Ilmu Dasar. 4 (2): 70-76
Sharma U, Tyagi B, Jasra RV. 2008. Synthesis and Characterization of Mg-Al-
CO3 Layered Double Hydroxide for CO2 Adsorption. Industrial and
Engineering Chemistry Research. 47(23): 9588–9595. doi:
10.1021/ie800365t.
Silverstein RM, Bassler GC, Morill TC. 1981. Spectrometric Identification of
Organic Compounds, 4th
Edition. USA: John Wiley and Sons Inc.
Sikandar U, Sufian S, Salam MA. 2017. A riview of Hydrotalcite Based Catalyst
for Hydrogen Production Systems. Elsevi. 42: 19851-19868. doi:
10.1016/j.ijhydene.2017.06.089.
Sirait KE. 2007. Kinetika Adsorpsi Isotermal β-Karoten Olein Sawit Kasar
Dengan Menggunakan Atapulgit. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Skoog D. 1985. Principles of Instrumental Analysis, 3rd
Edition. New York:
Saunders College Publishing.
SNI 06-1564-1995. Gliserol Kasar. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Stumm W & Morgan J J. 1996. Chemical Equilibria and Rates in Natural Waters.
Aquatic Chemistry. 1022. doi: /10.1017/CBO9781107415324.004.
Suarya P. 2012. Karakterisasi Adsorben Komposit Aluminium Oksida pada
Lempung Teraktivasi Asam. Jurnal Kimia. 6 (1): 93-100.
Sujatno A, Salam R, Badriyana, Dimyati A. 2015. Studi Scanning Electron
Microscopy (SEM) Untuk Karakterisasi Proses Oxidasi Paduan
Zirkonium. Jurnal Forum Nuklir (JFN). 9 (2): 44–50.
Supriyanto C, Samin, Zainul K. 2007. Analisis Cemaran Logam Berat Pb, Cu,
dan Cd pada Ikan Air Tawar dengan Metode Spektrometri Nyala Serapan
76
Atom (SSA). Prosiding Seminar Nasional. Yogyakarta: BATAN.
Syah A. 2006. Biodiesel Jarak Pagar Bahan Bakar Alternatif Yang Ramah
Lingkangan. Jakarta: Agro Media Pustaka.
Tatsuko H. 1989. Structure and Properties of The Amorphous Region of Cellulose
in Cellulose Structural and Fuctional Aspect. USA: Ellis Horwood.
Tipler P. 1991. Fisika untuk Sains dan Teknik Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta:
Erlangga.
Tong W, Cao X., Harris S, Sun H, Fang H, Fuscoe J, Casciano D. 2003. Array
track - Supporting Toxicogenomic Research at The U.S. Food and Drug
Administration National Center for Toxicological Research.
Environmental Health Perspectives. 111(15): 1819–1826. doi:
10.1289/txg.6497.
Trifiro F. & Vaccari A. 1996. Hydrotalcite-like Anionic Clays (Layered Double
Hydroxide). Applies Clay Science. (35): 59-66.
Vitalij K. & Peter Z. 2009. Fundamentals of Powder Diffraction and Structural
Characterization of Materials. US: Springer.
Wright J. 2002. Removal of Organic Colour from Row Water Using Hydrotalcite.
Brisbane: University of Queensland.
Yan W, Ting Z, Wei-wei Z,Ying-chun Z. 2011. Preparation of Hydrotalcite-
supported Potassium Carbonate Catalyst By Microwave for Removing
Acids From Crude Oil By Esterification. Science Direct. 39(11): 831-837.
77
LAMPIRAN
78
Lampiran 1. Contoh Perhitungan
Perhitungan Standarisasi NaOH dengan Asam Oksalat 0,5 N
Percobaan 1
V NaOH = 10 mL
N NaOH =
N NaOH =
N NaOH = 0,5 N
Percobaan 2
V NaOH = 10 mL
N NaOH =
N NaOH =
N NaOH = 0,5 N
Rata-Rata Konsentrasi NaOH = = 0,5 N
Perhitungan Kadar Gliserol Hasil Adsorpsi Kondisi Terbaik
Percobaan 1
V1 (Vol. NaOH titrasi blanko) = 0,3 mL
V2 (Vol. NaOH titrasi sampel) = 2,5 mL
N (Normalitas NaOH) = 0,5 N
W (Bobot Sampel) = 0,1046 g
Kadar Gliserol (%) = x 100 %
= x 100 %
= 96,84%
79
Percobaan 2
V1 (Vol. NaOH titrasi blanko) = 0,3 mL
V2 (Vol. NaOH titrasi sampel) = 2,7 mL
N (Normalitas NaOH) = 0,5 N
W (Bobot Sampel) = 0,1146 g
Kadar Gliserol (%) = x 100 %
= x 100 %
= 96,42%
Rata-Rata Kadar Gliserol Hasil Adsorpsi Kondisi Terbaik
= = 96,63%
Standar Deviasi = = 0,0008
Perhitungan Massa Jenis Gliserol Hasil Adsorpsi Kondisi Terbaik
Percobaan 1
W1 (Berat piknometer kosong) = 23,5969 g
W2 (Berat piknometer+sampel) = 55,6081 g
Volume gliserol = 25 mL
Massa Jenis (g/mL) =
=
= 1,2804 g/mL
Percebaan 2
W1 (Berat piknometer kosong) = 23,5969 g
W2 (Berat piknometer+sampel) = 55,5974 g
Volume gliserol = 25 mL
Massa Jenis (g/mL) =
80
=
= 1,2793 g/mL
Rata-Rata Massa Jenis Gliserol Hasil Adsorpsi Kondisi Terbaik
= = 1,2798 g/mL
Standar Deviasi = = 0,000
Perhitungan Kadar Air Gliserol Hasil Adsorpsi Kondisi Terbaik
Percobaan 1
Bobot sampel awal = 3,0337 g
Bobot sampel akhir = 2,8025 g
Kadar Air (%) = %
= x 100 %
= 7,62%
Percobaan 2
Bobot sampel awal = 3,1298 g
Bobot sampel akhir = 2,9497 g
Kadar Air (%) = %
= x 100 %
= 5,75%
Rata-Rata Kadar Air Gliserol Hasil Adsorpsi Kondisi Terbaik
= = 6,68%
Standar Deviasi = = 0,017
81
Perhitungan Kadar Abu Gliserol Hasil Adsorpsi Kondisi Terbaik
Percobaan 1
Bobot abu = 0,1212 g
Bobot sampel = 3,0062 g
Kadar Abu (%) = %
= x 100 %
= 4,03%
Percobaan 2
Bobot abu = 0,1278 g
Bobot sampel = 3,0038 g
Kadar Abu (%) = %
= x 100 %
= 4,25%
Rata-Rata Kadar Abu Gliserol Hasil Adsorpsi Kondisi Terbaik
= = 4,14%
Standar Deviasi = = 0,000
Perhitungan Kadar MONG Gliserol Hasil Adsorpsi Kondisi Terbaik
Percobaan 1
Kadar Gliserol = 96,84%
Kadar Air = 7,62%
Kadar Abu = 4,03%
Kadar MONG (%) = 100% - (% gliserol + % air + % abu)
= 100% - (96,84% + 7,62% + 4,03%)
= ~ 0 %
82
Percobaan 2
Kadar Gliserol = 96,42%
Kadar Air = 5,75,%
Kadar Abu = 4,25%
Kadar MONG (%) = 100% - (% gliserol + % air + % abu)
= 100% - (96,42% + 5,75% + 4,25%)
= ~ 0 %
Rata-Rata Kadar MONG Gliserol Hasil Adsorpsi Kondisi Terbaik
= ~ 0 %
Standar Deviasi = ~ 0 %
83
Lampiran 2. Tabel Kadar Gliserol Hasil Adsorpsi dengan Variasi Waktu dan
Suhu
No Variasi
Suhu/Waktu Waktu 30 Waktu 60 Waktu 90 Waktu 120
1 Suhu 30 64,36 % 69,25 % 69,31 % 67,82 %
2 Suhu 45 69,22 % 84,81 % 86,99 % 92,17 %
3 Suhu 60 81,01 % 85,67 % 87, 67 % 92,70 %
4 Suhu 75 85,66 % 89,37 % 91,71 % 93,17 %
5 Suhu 90 91,01 % 91,46 % 94,10 % 83,72 %
84
Lampiran 3. Tabel Konversi Adsorbat dalam Konsentrasi Molaritas (mol/L)
T
(oC)
t
(menit)
CA
(%)
mA
(gram)
Vol.Gliserol
(L)/1000
nA (mol) CA
(mol/L)
ln CA
(mol/L)
1/CA
(mol/L)
30 0 35,76 0,03576 8,183E-05 0,0001277 1,560 0,4451 0,6407
30 35,64 0,03564 7,996E-05 0,0001272 1,591 0,4648 0,6282
60 30,75 0,03075 7,996E-05 0,0001098 1,373 0,3172 0,7281
90 30,69 0,03069 7,996E-05 0,0001096 1,370 0,3152 0,7295
120 32,18 0,03218 7,996E-05 0,0001149 1,437 0,3626 0,6958
45 0 35,76 0,03576 8,183E-05 0,0001277 1,560 0,4451 0,6407
30 30,78 0,03078 7,996E-05 0,0001099 1,374 0,3182 0,7274
60 15,19 0,01519 7,996E-05 0,00005425 0,6783 -0,3880 1,474
90 13,01 0,01301 7,996E-05 4,646E-05 0,5810 -0,5429 1,721
120 7,83 0,00783 7,996E-05 2,796E-05 0,3496 -1,0506 2,859
60 0 35,76 0,03576 8,183E-05 0,0001277 1,560 0,4451 0,6407
30 18,99 0,01899 7,996E-05 6,782E-05 0,8481 -0,1647 1,179
60 14,33 0,01433 7,996E-05 5,117E-05 0,6399 -0,4463 1,562
90 12,33 0,01233 7,996E-05 4,403E-05 0,5506 -0,5966 1,815
120 7,3 0,0073 7,996E-05 2,607E-05 0,3260 -1,1207 3,067
75 0 35,76 0,03576 8,183E-05 0,0001277 1,560 0,4451 0,6407
30 14,34 0,01434 7,996E-05 5,121E-05 0,6404 -0,4456 1,561
60 10,63 0,01063 7,996E-05 3,796E-05 0,4747 -0,7449 2,106
90 8,29 0,00829 7,996E-05 2,960E-05 0,3702 -0,9936 2,700
120 6,83 0,00683 7,996E-05 2,439E-05 0,3050 -1,187 3,278
90 0 35,76 0,03576 8,183E-05 0,0001277 1,560 0,4451 0,6407
30 8,99 0,00899 7,996E-05 3,210E-05 0,4014 -0,9125 2,4906
60 8,54 0,00854 7,996E-05 0,0000305 0,3814 -0,9639 2,621
90 5,9 0,0059 7,996E-05 2,107E-05 0,2634 -1,3337 3,795
120 16,28 0,01629 7,996E-05 5,817E-05 0,7275 -0,3181 1,374
85
Keterangan:
CA (%) = 100% - Kadar Gliserol (%)
mA (gram) = CA (%) x 0,1 gram (Berat crude glycerol yang dititrasi)
nA (mol) = mA (g) : BM Asam Linoleat (280)
Volume Gliserol = 0,1 gram : Massa Jenis Gliserol (t0 = 1,222 g/mL ; t30-120 =
1,2505 g/mL)
Perhitungan Konversi Adsorbat dalam Konsentrasi Molaritas (mol/L)
Konsentrasi gliserol (%) = 64,36
Vol. Gliserol yang dititrasi (g) = 0,1109
BM Asam Linoleat (g/mol) = 280
BJ Gliserol sebelum pengasaman (g/mL) = 1,222
BJ Gliserol sebelum adsorpsi (g/mL) = 1,2505
Konsentrasi adsorbat (CA %) = 100% - Kadar gliserol (%)
= 100% - 64,36%
CA (%) = 35,76%
Konversi adsorbat dalam konsentrasi molaritas (mol/L)
Berat adsorbat (mA g) = CA (%) x Vol. Gliserol yang dititrasi
= 0,3576 x 0,1109 g
= 0,03576 g
Vol. Gliserol (L) = Vol. Gliserol yang dititrasi : BJ Gliserol sebelum pengasaman
= 0,1109 g : 1,222 g/mL
= 0,08183 mL 8,183 x 10-5
L
nA (mol) = mA (g) : BM Asam Linoleat (g/mol)
= 0,03576 g : 280 (g/mol)
= 1,277 x 10-4
mol
CA (mol/L) = 1,277 x 10-4
: 8,183 x 10-5
= 1,560 mol/L
86
Lampiran 4. Tabel Pengaruh Waktu dan Suhu Terhadap Penurunan Intensitas
Warna
Panjang gelombang crude glycerol sebelum adsorpsi = 246 nm
Panjang gelombang gliserol teknis = 198 nm
Penurunan Intensitas Warna =
No PIW (%) Waktu 30 Waktu 60 Waktu 90 Waktu 120
1 Suhu 30 -27,32 -73,2 -70,99 27,06
2 Suhu 45 -87,89 -87,63 -268,3 -84,54
3 Suhu 60 -34,28 -16,75 -55,41 -13,92
4 Suhu 75 -7,216 -6,443 -10,82 -25
5 Suhu 90 -2,577 -42,78 -3,608 -34,79
87
Lampiran 5. Tabel Pengaruh Konsentrasi Adsorben terhadap Kadar dan
Penurunan Intensitas Warna Gliserol
No Konsentrasi
Adsorben (%w/v)
Kadar Gliserol % Penurunan
Intensitas Warna
1 4% 88,94% - 28,29
2 8% 91,78% - 71,48
3 12% 94,10% - 3,608
4 16% 86,79% - 98,72
88
Lampiran 6. Tabel Pengaruh Konsentrasi Adsorbat terhadap Kadar Gliserol
No Konsentrasi Adsorbat
(%w/v)
Kadar Gliserol
(%)
Adsorbat Terserap (%)
1 35 94,10 29,10
2 40 92,42 32,42
3 45 69,95 14,95
4 50 67,99 17,99
89
Lampiran 7. Tabel Penentuan Isoterm Adsorpsi
No Kons. Awal
(Co)
(mg/L)
Kons. Akhir
(Ce) (mg/L)
(Co-Ce)
(mg/L)
x/m
(mg/g) Ce/ (x/m) Log Ce Log (x/m)
1 350000 59000 291000 2187 26,96 4,770 3,340
2 400000 75800 324200 2437 31,09 4,879 3,386
3 450000 300500 149500 1124 267,3 5,477 3,050
4 500000 320100 179900 1352 236,6 5,505 3,131
Perhitungan Kapasitas Adsorpsi Qe (x/m) (mg/g)
Berat adsorben (g) = 1,33
Vol. Gliserol yang diadsorpsi (L) = 0,01
Konsentrasi adsorbat awal Co (%) = 35
ppm (mg/L) = Co x 10.000
= 35 x 10.000
= 350000 mg/L
Konsentrasi adsorbat akhir Ce (%) = 100% - Kadar gliserolc(%)
= 100% - 94,10%
= 5,9%
ppm (mg/L) = Ce x 10.000
= 5,9 x 10.000
= 59000 mg/L
Konsentrasi adsorbat terserap (mg/L) = Co - Ce
= 350000 mg/L – 59000 mg/L
= 291000 mg/L
Kapasitas adsorpsi (x/m) (mg/g) =
=
= 2187 mg/g
90
Lampiran 8. Data Hasil Karakterisasi Hidrtotalsit Mg-Al-CO3 Menggunakan
XRD
91
Lampiran 9. Referensi ICDD Hidrotalsit Mg-Al-CO3
92
Lampiran 10. Grafik dan Tabel Kinetika Adsorpsi Berdasarkan Orde Nol, Orde
Satu dan Orde Dua
Persamaan Regresi Linier, Konstanta Laju Adsorpsi dan Nilai R2 Variasi Suhu
Pada Model Kinetika Orde Nol
Suhu
(oC)
Persamaan Regresi Linier
(Orde Nol)
Konstanta Laju
Adsorpsi (k)
(mol/L.menit-1
)
R2
30 y = -0,0016x + 1,5603 0,0016 0,5062
45 y = -0,0107x + 1,552 0,0107 0,9273
60 y = -0,0092x + 1,3384 0,0092 0,8579
75 y = -0,0093x + 1,2265 0,0093 0,7331
90 y = -0,006x + 1,0278 0,006 0,2914
0,6632
93
Persamaan Regresi Linier, Konstanta Laju Adsorpsi dan Nilai R2 Variasi Suhu
Pada Model Kinetika Orde Satu
Suhu
(oC)
Persamaan Regresi Linier
(Orde Satu)
Konstanta Laju
Adsorpsi (k)
(mol/L.menit-1
)
R2
30 y = -0,001x + 0,4439 0,001 0,4978
45 y = -0,0128x + 0,5269 0,0128 0,9565
60 y = -0,0119x + 0,3361 0,0119 0,9569
75 y = -0,0127x + 0,1773 0,0127 0,8887
90 y = -0,0065x - 0,2271 0,0065 0,1956
991
94
Persamaan Regresi Linier, Konstanta Laju Adsorpsi dan Nilai R2 Variasi Suhu
Pada Model Kinetika Orde Dua
Suhu
(oC)
Persamaan Regresi Linier
(Orde Dua)
Konstanta Laju
Adsorpsi (k)
(mol/L.menit-1
)
R2
30 y = 0,0007x + 0,6422 0,0007 0,4889
45 y = 0,0181x + 0,3983 0,0181 0,9127
60 y = 0,0183x + 0,5551 0,0183 0,9177
75 y = 0,0214x + 0,7746 0,0214 0,9891
90 y = 0,0069x + 1,9098 0,0069 0,1298
866
95
BIODATA MAHASISWA
IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Ita Lailatul Latifah
Tempat Tanggal Lahir : Karawang, 11 Nopember 1996
NIM : 11140960000042
Anak ke : 2 dari 3 bersaudara
Alamat Rumah : Dusun Ceah RT/RW 025/008 Desa
Pasirjaya Kecamatan Cilamaya Kulon
Kabupaten Karawang Propinsi Jawa
Barat
Telp/HP. : 085889769443
Email : [email protected]
Hobby/Keahlian (softskill) : Panahan, paper crafting, dan belajar
berbagai bahasa.
PENDIDIKAN FORMAL
Sekolah Dasar : MI Raudlatul Muta’alimin Lulus tahun
2008
Sekolah Menengah Pertama : MTs Negeri Cilamaya Lulus tahun 2011
SLTA/SMK : MA Negeri 1 Karawang Lulus tahun 2014
Perguruan Tinggi : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Masuk
tahun 2014
PENDIDIKAN NON FORMAL
Kursus/Pelatihan
1. Kursus Bahasa Inggris : No. Sertifikat -
2. Workshop Introduction to
ISO 15189:2012 for Medical
For Laboratories
: No. Sertifikat LM/Sert-LabIndo/001/IV/18
96
Management System
3. Pelatihan Keamanan dan
Keselamatan Kerja di
Laboratorium Kimia
: No. Sertifikat -
4. Pelatihan Kalibrasi dan
Perawatan pH Meter dan
Analytical Balance
: No. Sertifikat -
5. Training and Workshop of
Perfect Weighing
Technology
: No. Sertifikat -
PENGALAMAN ORGANISASI
1. Himpunan Mahasiswa Kimia
(HIMKA)
: Jabatan Staff Ahli Departemen Hubungan
Luar Kampus Tahun 2015-2016
2. Ikatan Himpunan Mahasiswa
Kimia Indonesia (IKAHIMKI)
: Jabatan Anggota Tahun 2015-2016
PENGALAMAN KERJA
1. Praktek Kerja Lapangan (PKL) : Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) (Jakarta Pusat/2016)
2. Les Privat : Bigbang Private (Jakarta Selatan/2016)
A&B Private (Bintaro/2016)
SEMINAR/LOKAKARYA
1. ASIANALYSIS XIV in Conjunction
with ICCAI 2018 “The Role of
Analytical Chemistry and
Instrumentation to Improve
Education, Research, and
Industrial Quality for Better
Environment”
Bulan/Tahun April/2018 Sertifikat Pemakalah (ada)
2. Seminar Kesehatan “Kupas
Tuntas Kanker Serviks dan
Kanker Payudara Demi Masa
Bulan/Tahun September/2017 Sertifikat Pemakalah (ada)
97
Depan yang Bahagia”
4. Seminar Nasional “Model
Pembinaan Ma’had dalam
Menyongsong Masyarakat
Ekonomi ASEAN”
Bulan/Tahun Mei/2015 Sertifikat Pemakalah (ada)
3. Public Speaking
“Membangkitkan Semangat Ke-
Organisasian di HIMKA”
Bulan/Tahun September/2014 Sertifikat Pemakalah (ada)