KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga...

26
KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM (NAD) A. Pendahuluan erakan reformasi 1998, yang ditandai dengan bubarnya Pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan (window opportunities) bagi terjadinya berbagai perubahan besar lainnya di Indonesia yang selama ini dianggap sebagai hal yang tabu. Perubahan yang paling mendasar adalah menyangkut sistem politik yang memungkinkan terjadinya proses demokratisasi di Indonesia. Tentang hal ini dapat dilihat pada berbagai indikator demokratisasi yang sering dijumpai di negara-negara yang telah mapan kehidupan demokrasinya, seperti jaminan kebebasan untuk mengemukakan pendapat dengan adanya pers bebas, tidak ada lagi tahanan politik, diberlakukannya sistem multi partai, penghapusan dwifungsi ABRI, dan yang paling fenomenal adalah diberlakukannya sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada pemilu 5 Juli dan 9 September 2004. G Selain berbagai perubahan tersebut, proses demokratisasi juga menyentuh persoalan yang selama ini menjadi batu sandungan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu otonomi daerah. Kuatnya ideologi sentralisme yang dianut oleh Jakarta selama ini telah menimbulkan bara ketidakpuasan di berbagai daerah. Isu separatisme bukan sesuatu yang baru di Indonesia sebagian dari ketegangan hubungan tersebut berujung pada konflik terbuka antara pemerintah pusat dan daerah. Kasus pemberontakan Perjuangan Rakyat Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) hanyalah puncak gunung es dari eskpresi ketidakpuasan daerah yang telah lama terpendam tersebut. Jika ditelusuri ke belakang, pergulatan kepentingan pusat dan daerah tersebut, bahkan telah terjadi sejak Republik Indonesia berdiri. Heterogenitas karakter sosial, budaya, ekonomi, dan politik berbagai daerah di Indonesia serta proses sejarah yang berbeda-beda yang melatarbelakangi bergabungnya berbagai daerah tersebut menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyebabkan urusan hubungan antara pusat dan daerah menjadi prioritas utama yang harus diselesaikan oleh pemerintah pusat ketika NKRI pertama kali berdiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika undang-undang pertama yang keluar setelah Indonesia merdeka yang dibuat oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat adalah undang-undang yang mengatur tentang hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 (cf. Marbun, 2005:47-8). Namun demikian, selama Indonesia merdeka implementasi berbagai undang-undang otonomi daerah memang jauh dari memuaskan dari perspektif pemerintah dan masyarakat di daerah. Sebagai gambaran, berlakunya UU No. 5/1974 selama lebih dari 30 tahun, lebih banyak dipakai sebagai instrumen politik pemerintah pusat untuk merealisasikan kepentingan mereka (dalam menjaga stabilitas politik dan eksploitasi sumber daya alam di daerah) daripada sebagai ekspresi niat tulus untuk memberdayakan daerah. 31

Transcript of KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga...

Page 1: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM (NAD)

A. Pendahuluan

erakan reformasi 1998, yang ditandai dengan bubarnya Pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan

banyak kesempatan (window opportunities) bagi terjadinya berbagai perubahan besar lainnya di Indonesia yang selama ini dianggap sebagai hal yang tabu. Perubahan yang paling mendasar adalah menyangkut sistem politik yang memungkinkan terjadinya proses demokratisasi di Indonesia. Tentang hal ini dapat dilihat pada berbagai indikator demokratisasi yang sering dijumpai di negara-negara yang telah mapan kehidupan demokrasinya, seperti jaminan kebebasan untuk mengemukakan pendapat dengan adanya pers bebas, tidak ada lagi tahanan politik, diberlakukannya sistem multi partai, penghapusan dwifungsi ABRI, dan yang paling fenomenal adalah diberlakukannya sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada pemilu 5 Juli dan 9 September 2004.

G

Selain berbagai perubahan tersebut, proses demokratisasi juga menyentuh

persoalan yang selama ini menjadi batu sandungan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu otonomi daerah. Kuatnya ideologi sentralisme yang dianut oleh Jakarta selama ini telah menimbulkan bara ketidakpuasan di berbagai daerah. Isu separatisme bukan sesuatu yang baru di Indonesia sebagian dari ketegangan hubungan tersebut berujung pada konflik terbuka antara pemerintah pusat dan daerah. Kasus pemberontakan Perjuangan Rakyat Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) hanyalah puncak gunung es dari eskpresi ketidakpuasan daerah yang telah lama terpendam tersebut.

Jika ditelusuri ke belakang, pergulatan kepentingan pusat dan daerah tersebut,

bahkan telah terjadi sejak Republik Indonesia berdiri. Heterogenitas karakter sosial, budaya, ekonomi, dan politik berbagai daerah di Indonesia serta proses sejarah yang berbeda-beda yang melatarbelakangi bergabungnya berbagai daerah tersebut menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyebabkan urusan hubungan antara pusat dan daerah menjadi prioritas utama yang harus diselesaikan oleh pemerintah pusat ketika NKRI pertama kali berdiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika undang-undang pertama yang keluar setelah Indonesia merdeka yang dibuat oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat adalah undang-undang yang mengatur tentang hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 (cf. Marbun, 2005:47-8). Namun demikian, selama Indonesia merdeka implementasi berbagai undang-undang otonomi daerah memang jauh dari memuaskan dari perspektif pemerintah dan masyarakat di daerah. Sebagai gambaran, berlakunya UU No. 5/1974 selama lebih dari 30 tahun, lebih banyak dipakai sebagai instrumen politik pemerintah pusat untuk merealisasikan kepentingan mereka (dalam menjaga stabilitas politik dan eksploitasi sumber daya alam di daerah) daripada sebagai ekspresi niat tulus untuk memberdayakan daerah.

31

Page 2: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Oleh karena itu, reformasi kemudian telah memberi kesempatan besar bagi daerah untuk mewujudkan aspirasi mereka yang selama ini tersumbat. Berawal dari kondisi yang demikian tadi, Implementasi UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah (yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004) tidak bisa dianggap sebagai hadiah gratis dari pemerintah pusat. Namun demikian, hal ini harus dimaknai sebagai hasil perjuangan panjang dan melelahkan seluruh komponen masyarakat dalam upaya untuk mewujudkan terjadinya keadilan dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah.

Kotak 1

Prinsip-Prinsip Good Governance

1. Efektivitas pemerintah

(Government effectiveness) 2. Stabilitas politik (Political

stability) 3. Inovasi (Innovation) 4. Partisipasi (Participation) 5. Transparansi (Transparency) 6. Kapasitas penyampaian aspirasi

(Voice) 7. Kualitas peraturan (Quality of

regulation) 8. Penegakan hukum (Rule of law)

Pengendalian korupsi (Control of corruption)

9. Kepercayaan publik (Trust).

Dengan diimplementasikannya undang-undang otonomi daerah maka daerah memiliki peluang besar untuk dapat menciptakan iklim demokrasi di daerah sehingga praktik tata pemerintahan yang baik yang selama ini diidam-idamkan, harapannya, dapat di wujudkan. Tata pemerintahan yang baik di sini merujuk pada pengertian dilibatkannya semua pemangku kepentingan di daerah yang meliputi: unsur pemerintah, masyarakat madani, dan sektor swasta di dalam pengambilan keputusan dan implementasinya. Keterlibatan berbagai stakeholder tersebut diharapkan akan dapat menciptakan mekanisme pemerintahan yang baik dengan terwujudnya berbagai prinsip, seperti: Efektivitas pemerintah (Government effectiveness), Stabilitas politik (Political stability), Inovasi (Innovation), Partisipasi (Participation), Transparansi (Transparency), Kapasitas penyampaian aspirasi (Voice), Kualitas peraturan (Quality of regulation), Penegakan hukum (Rule of law), Pengendalian korupsi (Control of corruption), Kepercayaan publik (Trust). Upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik pada level lokal, dengan demikian, juga harus dimaknai sebagai upaya untuk menginterpretasikan otonomi daerah dengan cara yang berbeda dari apa yang selama ini dipahami dan dilakukan oleh pemerintah daerah. Yakni: otonomi daerah tidak hanya diartikan sebagai penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, akan tetapi juga harus pula dimaknai sebagai upaya untuk mengembalikan kewenangan yang selama ini digenggam pemerintah pusat tersebut kepada rakyat, yaitu dengan memberdayakan masyarakat melalui: partisipasi, keterbukaan, dan lain-lain. Memaknai implementasi daerah dengan cara yang demikian pada dasarnya merupakan hakekat penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.

Berangkat dari berbagai gagasan tentang cara memaknai bagaimana pemerintah

daerah menjalankan perannya, laporan ini akan mendeskripsikan kinerja tata

32

Page 3: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

pemerintahan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam berdasarkan hasil Governance Assessment Survey (GAS) tahun 2006 yang dilakukan oleh Tim PSKK-UGM.

B. Provinsi Nangroe Aceh Darussalam: Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik Provinsi NAD, yang punya julukan ‘Serambi Mekah’, merupakan salah satu dari 33 provinsi di Indonesia. Provinsi ini terletak di ujung barat Indonesia. Karena letaknya di pintu masuk selat Malaka, sejak jaman pra-kolonial provinsi ini sudah terekspos dengan dunia luar. Para pedagang dari berbagai negara (Arab, India, Cina, Portugis, dan lain-lain) datang dan pergi ke daerah ini. Sebagian dari mereka bahkan menetap dan membentuk komunitas-komunitas sendiri yang merupakan nenek moyang masyarakat Aceh. Proses terbentuknya masyarakat Aceh yang demikian menyebabkan masyarakat Aceh adalah masyarakat yang multi-etnis. Meskipun masyarakat Aceh terbentuk dari berbagai macam suku bangsa, namun demikian, pengaruh pedagang Arab dengan Islamnya adalah yang paling dominan. Agama Islam kemudian menjadi agama mayoritas yang dianut dan dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Aceh.

Doc

. Pen

ulis

Gambar 1 Masjid Raya Baiturahman, Banda Aceh

Masjid Raya Baiturahman, yang berdiri sejak abad 17, merupakan simbol eksistensi masyarakat Aceh, baik pada waktu perang melawan Belanda maupun pada saat-saat sulit ketika Aceh di landa Gempa dan Tsunami dahsyat pada tanggal 26 Desember 2004. Kokohnya Masjid ini meski di landa gempa dan tsunami di maknai oleh masyarakat bahwa Aceh akan tetap selamat selama berpegang teguh pada ajaran Islam.

33

Page 4: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah 57,365.57 km2 Jumlah Kabupaten 17 kabupaten dan 4 kota Jumlah Kecamatan 241 kecamatan, 689

mukim, dan 5.958 desa serta 112 kelurahan

Jumlah penduduk 4.010.860 orang Angka harapan hidup

67,7

Angka melek huruf 95,8 Agama Islam (97,6%), Kristen

(1,7%), Hindu (0,08%), Budha (0,55%).

Partai mayoritas pemenang pemilu terakhir

PPP, Golkar, dan PAN

Etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Ulu Singkil, Simeulu, Batak, Jawa

Mata pencaharian Mayoritas pertanian

Gambar 1. Peta Propinsi NAD Co

urte

sy :

baliw

ww.co

m/a

ceh/

map

.htm

Dalam tatanan kehidupan yang lebih luas, kuatnya pengaruh agama Islam tercermin dalam kelembagaan sosial, ekonomi, dan pemerintahan di Aceh. Jika kita amati lebih seksama, berbagai kelembagaan di Aceh yang mengatur hubungan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain dan antara masyarakat dengan negara menempatkan Islam sebagai sumber hukum dan tokoh-tokohnya diposisikan sebagai pemangku kepentingan utama dalam menjaga tertib sosial di Aceh. Mekamisme kerja kelembagaan tersebut berlaku pada level terbawah (gampong) sampai pada derajat yang tertinggi yaitu kesultanan. Pada level gampong, misalnya, forum pertemuan di meununasah (masjid) yang dipimpin oleh imuem meunasah dan tokoh alim-ulama merupakan mekanisme pengambilan keputusan tertinggi pada masyarakat Aceh. Mekanisme pengambilan keputusan melalui proses yang sama juga dilakukan pada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, yaitu: Mukim, Uleebalang, Sagoe dan Kesultanan. Dalam setiap level pemerintahan tersebut pimpinan agama atau alim-ulama diposisikan pada tempat yang tertinggi, tidak hanya memimpin umat akan tetapi juga memimpin pemerintahan. Sultan di sini termasuk yang memainkan peran rangkap tersebut.

34

Page 5: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Tabel 1. Tahun-Tahun Penting Dalam Perjalanan Sejarah Aceh

Permulaan Sejarah Aceh (sering juga ditulis Atjeh atau Achin), yang terletak di ujang utara pulau Sumatra, pada mulanya merupakan kerajaan Budha yang berdiri kurang lebih tahun 500-an Masehi. Kerajaan ini dikunjungi oleh para pedagang, seperti Arab, India dan Cina. Pedagang Arab juga diyakini sebagai pembawa Islam masuk ke kepulauan Indonesia untuk pertama kalinya yang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Islam pertama, Perlak, sekitar tahun 804.

1959 Aceh memperoleh status sebagai Daerah Istimewa dengan tiga bentuk keistimewaan, yaitu: agama, pendidikan dan budaya.

1607-36 Setelah masuknya Islam, Aceh menjadi kerajaan Islam. Aceh mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

1976 Gerakan Aceh Merdeka lahir sebagai bentuk ketidakpuasan Aceh terhadap kebijakan-kebijakan Jakarta

1811 Aceh menandatangani perjanjian pertahanan dengan Inggris untuk saling membantu jika diserang kekuatan asing.

1989-98 Aceh dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM)

1824 Perjanjian London ditandatangani. Dengan perjanjian ini Belanda memiliki hak untuk menguasai seluruh pulau Sumatra yang tadinya menjadi wilayah kekuasaan Inggris, termasuk Aceh. Namun demikian dalam perjanjian tersebut Belanda mengakui kemerdekaan Aceh.

2004 Darurat sipil diberlakukan

1873-1942 Perang Aceh.Inggris memberi persetujuan kepada Belanda untuk menyerang Aceh yang menjadi awal perang Aceh. Perang tersebut memakan korban 10.000 tentara Belanda, termasuk Jendral Koehler.

15 Agustus 2005 Perjanjian damai (MOU) antara RI dan GAM ditandatangani.

1945 Indonesia merdeka. Aceh sebagai bagian dari wilayah kolonial Hindia Belanda ikut merdeka dan menjadi bagian dari Indonesia.

2006 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) disyahkan oleh DPR

Sumber: Dikumpulkan dari berbagai sumber Kuatnya sistem kelembagaan sosial, ekonomi, dan pemerintahan di Aceh kemudian menjadi pondasi yang penting bagi kemajuan masyarakat Aceh. Selama berabad-abad, terutama ketika dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, Aceh kemudian menjadi negeri yang makmur karena mempraktikan tata pemerintahan yang baik; yaitu dengan keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat luas. Dengan praktik tata pemerintahan yang baik tersebut maka berbagai bidang kehidupan masyarakat Aceh mengalami kemajuan, seperti: pertanian, industri, dan perdagangan.

Kemajuan Aceh, terutama perdagangannya, kemudian membuat Belanda dan Inggris, sekutunya, tidak begitu senang. Karena hal ini berarti menjadi penghalang keinginan mereka untuk menguasai perdagangan di selat Malaka. Setelah melalui perdebatan panjang di parlemen Belanda (karena berdasarkan perjanjian London, Belanda mengakui Aceh sebagai negeri yang merdeka) pada tahun 1873 Belanda

35

Page 6: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

kemudian mengumumkan perang terhadap Aceh. Meskipun Aceh telah diserang sejak tahun 1873, kuatnya sistem kelembagaan sosial, ekonomi, dan pemerintahan di Aceh menyebabkan wilayah ini tidak mudah untuk ditaklukan. Baru setelah melalui perang melelahkan bertahun-tahun, yang memakan korban 10.000 nyawa tentara Belanda (termasuk Jendral Koehler) dan biaya jutaan gulden, akhirnya Aceh dapat ditundukan pada tahun 1942.

Barangkali upaya untuk menaklukan Aceh tidak akan pernah berhasil seandainya

Belanda (di bawah pimpinan Jendral Van Heutsz) tidak segera menyadari kesalahan terhadap taktik yang mereka gunakan dalam upaya untuk menaklukan Aceh. Kesadaran tersebut membawa suatu gagasan perlunya menyelidiki apa faktor sosio-kultural yang menyebabkan masyarakat Aceh begitu sulit untuk ditaklukan, yaitu dengan mengirim seorang antropolog dari Universitas Leiden bernama Dr. Snouck Hurgronje. Setelah Hurgronje melakukan penelitiannya dengan menyamar sebagai seorang ulama selama berbulan-bulan di Aceh barulah dia tahu bahwa kekuatan utama masyarakat Aceh bukanlah terletak pada Sultan semata-mata, akan tetapi lebih pada para alim-ulamanya. Menurut nasehat Hurgronje para alim-ulama ini tidak akan pernah bisa diajak bekerja sama dengan Belanda. Jadi, hanya dengan menaklukan merekalah maka Belanda akan bisa mengalahkan masyarakat Aceh. Setelah mendengar nasehat itu maka taktik perang Belanda diubah dengan memusatkan perhatian untuk menyerang para alim-ulama dan memutus hubungan antara masyarakat dengan para alim-ulama tersebut. Hasil dari taktik ini kemudian terlihat jelas, Aceh kemudian menyerah di bawah kekuasaan Belanda pada tahun 1942. Aceh pasca kemerdekaan adalah daerah yang penuh dinamika. Pada awal kemerdekaan Indonesia, Aceh merupakan daerah yang paling antusias memberikan dukungan bagi Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda. Masyarakat Aceh dengan sukarela memberikan sumbangan emas yang mereka miliki untuk mendukung Indonesia. Hasil dari pengumpulan sumbangan tersebut kemudian digunakan untuk membeli pesawat terbang Indonesia pertama yang diberi nama Seulawah (nama sebuah gunung di Aceh). Namun demikian, akibat berbagai kebijakan Jakarta yang dinilai tidak adil (terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam) telah menyebabkan kekecewaan yang mendalam masyarakat Aceh terhadap Jakarta. Kekecewaan tersebut makin bertambah besar ketika ekspektasi Aceh, sebagai daerah yang paling awal menyadari keinginan untuk berotonomi dibanding daerah-daerah yang lain, tidak segera direspon oleh Jakarta. Bentuk kekecewaan tersebut kemudian manifes dalam aksi dukungan terhadap pemberontakan Darul Islam yang terjadi di Jawa antara tahun 1953-1962. Meskipun pada tahun 1959 Aceh memperoleh status sebagai Daerah Istimewa, hal ini nampaknya tidak dapat menyembuhkan rasa kekecewaan Aceh terhadap Jakarta. Kekecewaan tersebut justru makin menggumpal ketika pada tahun 1970-an eksplorasi sumber daya alam, terutama gas alam, di Aceh mulai dilakukan secara besar-besaran oleh berbagai perusahaan Multi Nasional di bawah restu Orde Baru. Puncak dari kekecewaan tersebut adalah deklarasi kemerdekaan Aceh yang disusul munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976.

36

Page 7: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Walaupun terus dilanda konflik berkepanjangan, hal ini tidak berarti bahwa masyarakat Aceh tidak mengalami kemajuan lewat program-program pembangunan yang dilangsungkan di daerah ini. Pencapaian tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator pokok, seperti: angka harapan hidup, angka melek huruf, angka kematian bayi dan ibu melahirkan, pengurangan jumlah penduduk miskin dan lain-lain.

0

5

10

15

20

25

2001 2002 2003 2004

Tahun

Pert

umbu

han

Ekon

omi (

%)

PDRB MigasPRDB Tanpa Migas

Grafik 1. Pertumbuhan Ekonomi Aceh 2001-2004

Sebelum bencana gempa bumi berkekuatan 8,9 skala Richter yang kemudian disusul dengan tsunami meluluhlantakan bumi Aceh sampai sejauh 7 km dari garis pantai pada tanggal 26 Desember 2005, kinerja pembangunan di Aceh boleh dikatakan cukup mengesankan. Jika keberhasilan pembangunan indikator utamanya adalah peningkatan kualitas hidup manusia maka beberapa indikator capaian pembangunan di Aceh dalam batas-batas tertentu menunjukan trend ke arah yang positif. Sebagai gambaran, pada tahun 1999 Indeks Pembangunan Manusia provinsi NAD adalah 65,3. Indeks ini meningkat tipis menjadi 66,0 empat tahun kemudian.

Sumber: BPS, Aceh Dalam Angka 2004

Peningkatan IPM ini merupakan resultante dari tiga kemajuan pokok pembentuk IPM, yaitu: (i) Meningkatnya angka harapan hidup dari 67,6 di tahun 1999 menjadi 67,7 di tahun 2002. (ii) Persentase angka melek huruf juga mengalami kenaikan dari 93,1 persen pada tahun 1999 menjadi 95,8 persen pada tahun 2002. (iii) Pengeluaran riil perkapita juga meningkat dari 562,8 ribu rupiah pada tahun 1999 menjadi 557,5 ribu pada tahun 2002 (BPS et.al, 2004). Meskipun angka harapan hidup penduduk Aceh terus mengalami peningkatan, akan tetapi tidak berarti pelayanan kesehatan bukan menjadi masalah di Aceh. Masalah pokok dalam bidang kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat adalah rendahnya akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Data yang dirilis oleh UNDP menunjukan bahwa 38% penduduk Aceh masih belum memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan. Kondisi ini mengalami perbaikan karena pada tahun 1999 persentasenya menurun menjadi 37,6%. Namun demikian persentase ini masih jauh lebih besar dibanding persentase nasional, yaitu sebesar 23,1%. Sementara itu, walaupun angka kematian bayi di Aceh sedikit lebih baik dibanding angka nasional, yaitu 36,1% per 1000 kelahiran (angka nasional adalah 43,5%), persentase tersebut tetaplah masih cukup tinggi dibanding dengan standar internasional (UNDP, 2004).

37

Page 8: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Grafik 2. Perkembangan Jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu di Aceh 2000-2004

0

200

400

600

800

1000

1200

2000 2001 2002 2003 2004

Tahun

Jml P

uske

smas

dan

Pus

tu

Jumlah PuskesmasPembantuJumlah Puskemas

Sumber: BPS, Aceh Dalam Angka 2004, pp.124 (diolah kembali)

Pencapaian yang menonjol dalam proses pembangunan di Aceh adalah tingginya

pengakuan akan hak-hak perempuan yang ditunjukan dengan angka Indeks Pembangunan Jender (IPJ) yang diraih oleh provinsi ini. Data yang ada menunjukan pada tahun 1999 IPJ Aceh adalah sebesar 59,0. Angka ini menduduki peringkat 8 nasional. Tiga tahun kemudian IPJ Aceh meningkat menjadi 62,1 yang berada pada peringkat 5 secara nasional. Laporan UNDP Tentang Pemberdayaan Gender di Aceh

“Female literacy rates were 94.1%, compared to a national average of 85.7% and the percentage of women in senior official, managerial and technical staff positions was, at 45%, higher than in Jakarta (35%). The percentage of women overall in employment was also higher than Jakarta at 49% (Jakarta 36.6%) “ UNDP (2004).

Tingginya IPJ Aceh tentu menarik untuk dianalisis lebih lanjut mengingat adanya anggapan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat selama ini bahwa Islam (penerapan syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari) dan pemberdayaan gender sering bertolak belakang satu sama lain. Namun demikian yang terjadi di Aceh justru sebaliknya bahwa Islam dan pemberdayaan gender ternyata dapat berjalan beriringan.

38

Page 9: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Sayangnya, peningkatan IPM dan IPJ yang telah dicapai Aceh selama ini ternyata tidak cukup berdampak pada pengurangan jumlah penduduk miskin di Aceh. Dalam kurun waktu 1999-2002 Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) justru mengalami penurunan dari 31,4 menjadi 28,4. Hal ini berarti bahwa kemiskinan masih menjadi problem serius untuk dipecahkan di Aceh. Kotak 2

Indikator Kemiskinan

“The indices show that Aceh was having some success in eradicating poverty, but major problems still existed. Some 48% of people had no access to clean water in 2002, an improvement on the 61.5% in 1999 but still below the national average of 44%, and a third of all households had no access to sanitation (national average 25 %). 35.2% of children under five were recorded as being under nourished in 2002, again considerably more than the national figure of 25.8% and no improvement on 1999 (35.6%)” UNDP (2004).

Persoalan kemiskinan memang menjadi salah satu faktor --yang boleh jadi-- menjadi penyebab pokok munculnya konflik vertikal di Aceh. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa selama ini penduduk Aceh menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian. Data yang ada menunjukan bahwa 81 persen lebih penduduk Aceh hidup dari sektor pertanian, terutama dari perkebunan kopi. Ketika gas alam ditemukan pada tahun 1970-an, sebagaian sistem sosial-ekonomi Aceh mengalami transformasi dari yang semula didominasi oleh sistem ekonomi agraris-tradisional menjadi industrial-modern. Dalam waktu singkat wajah Aceh tiba-tiba berubah. Kompleks perindustrial modern bermunculan dengan lokomotif utamanya Mobil Oil, perusahaan minyak raksasa dari Amerika Serikat. Sayangnya, sebagian besar masyarakat Aceh belum siap untuk terlibat di dalam proses industrialisasi tersebut karena kualitas SDM di Aceh memang masih belum memungkinkan. Akibatnya, industrialisasi di Aceh lebih banyak menyerap tenaga kerja dari luar Aceh, seperti: Sumatra Utara dan Jawa. Tragisnya, rakyat Aceh kemudian hanya menjadi penonton atas perkembangan yang terjadi tersebut. Ketidakmampuan mereka untuk terlibat dalam proses industrialisasi menyebabkan mereka terus hidup dalam kondisi yang tidak berubah sebagaimana ketika minyak dan gas alam belum ditemukan di bumi Aceh: miskin dan tertinggal. Kesenjangan menjadi semakin lebar ketika keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi minyak dan gas yang sangat besar dinikmati oleh pemerintah pusat hanya menetes kembali dalam proporsi yang sangat kecil bagi rakyat Aceh. Muara dari ketidakpuasan tersebut bak bara dalam sekam yang kemudian meledak menjadi konflik vertikal antara pemerintah pusat dengan masyarakat Aceh yang berkepanjangan.

Konflik antara Aceh dengan Jakarta yang berkepanjangan otomatis telah mereduksi berbagai pencapaian pembangunan yang telah berhasil diwujudkan selama ini. Berbagai upaya yang dirintis oleh berbagai pihak, misalnya: Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati, dan HDC dengan CoHA-nya (Cessation of Hostilities Agreement) ternyata tidak membuahkan hasil sampai bencana tsunami melanda. Tsunami praktis membawa Aceh kembali ke titik nol.

39

Page 10: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Kotak 3

Dampak Tsunami

“[…]When the waters finally receded, the land where government buildings, hospitals and schools, prisons and businesses once stood was completely flat – in some cases not even floor tiles remain. In some places the coastline of Aceh has been redrawn, the sea engulfing parts of land where houses once stood. In other areas, small pieces of land have appeared where before there was only sea […]” McCullah (2005)

Namun demikian, selain telah meluluhlantakan Aceh, tsunami juga membawa berkah perdamaian di Aceh. Dahsyatnya skala kerusakan fisik dan besarnya jumlah korban jiwa membuat pihak-pihak yang berkonflik di Aceh menjadi realistis: bahwa masyarakat Aceh butuh situasi damai agar mereka dapat bangkit dari keterpurukan. Puncak dari niat baik tersebut adalah ditandatanganinya MOU antara pemerintah Indonesia dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Filandia. Setahun kemudian, sebagai bagian dari isi MOU tersebut, Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) disyahkan oleh DPR. Dengan disyahkannya UU tersebut maka Aceh akan makin memiliki peluang untuk memerangi kemiskinan yang selama ini menjadi pemicu kekecewaan masyarakat Aceh dalam menjalin hubungan dengan Jakarta. Hal ini, selain karena kewenangan untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat makin dibuka lebar-lebar, juga sumberdaya untuk mendanai berbagai kebijakan tersebut akan semakin besar. Jika total Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Aceh pada tahun 1999 adalah Rp. 2 triliun, jumlah tersebut meningkat menjadi Rp. 11 triliun pada tahun 2006. Peningkatan sebesar 3-4 triliun diharapkan akan terjadi setelah UUPA disyahkan, yaitu melalui skema pendanaan otonomi khusus (otsus) yang akan dimulai pada tahun 2008 (Fengler dan Ihsan, 2006: 6 dikutip di Jakarta Post, 22 September). Jumlah dana yang dikucurkan di NAD tersebut belum termasuk anggaran yang dialokasikan melalui program rekonstruksi yang dikomandoi oleh Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh atau BRR.

Gambar 2 Dampak Tsunami di Ulee Lheu, Aceh

Tsunami masih meninggalkan jejak-jejaknya di bumi Aceh. Beberapa wilayah yang terkena tsunami dibiarkan sebagaimana adanya sebagai monumen untuk mengingat tragedi yang memilukan tersebut

Doc

. pen

ulis

40

Page 11: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

C. Kinerja Tata Pemerintahan di Provinsi NAD Survey untuk memahami praktik tata pemerintahan di NAD dilakukan dengan setting sebagaimana di paparkan di depan: Aceh pasca tsunami yang hancur-luluh, namun juga Aceh yang optimis akan adanya harapan untuk bangkit dengan suasana damai yang mulai kondusif di mana-mana. Indikator yang kasat mata tentang hal ini dapat dilihat manakala kita mengunjungi Aceh. “Budaya” kedai kopi sebagai mekanisme bersosialisasi yang dapat memfasilitasi apa yang sering disebut sebagai “civic engagement” dilakukan dengan suasana gembira. Kehidupan malam telah pulih di mana orang tidak merasa takut untuk keluar malam sampai tengah malam guna menikmati suasana kota yang ditawarkan oleh para pedagang makanan. Dan yang paling penting adalah para Pegawai Negeri Sipil (PNS) sudah tidak takut lagi memakai seragam mereka yang selama konflik menjadi hal yang tabu untuk dikenakan.

Gambar 3. Suasana Aceh pada Sore Hari

Doc

. pen

ulis

Suasana Alun-alun di Banda Aceh pada sore hari. Masyarakat dengan leluasa menikmati suasana senja bersama anggota keluarga mereka dengan ditemani berbagai makanan khas Aceh yang ditawarkan oleh pedagang kaki lima. Tidak ada lagi wajah-wajah takut dan cemas seperti masa lalu.

Pada bagian ini akan diuraikan berbagai temuan GAS yang dilakukan di NAD. Survey ini dilakukan dengan mengambil responden yang terdiri dari tiga unsur pokok pembentuk tata pemerintahan, yakni: unsur state (eksekutif dan DPRD), unsur masyarakat madani (LSM, wartawan, tokoh agama dan masyarakat, dan akademisi), dan unsur dunia usaha (berbagai asosiasi pengusaha yang ada di daerah). Masing-masing unsur tersebut, dengan menggunakan purposive sampling, dipilih 30 orang sebagai responden yang dimintai pendapat mereka tentang praktik tata pemerintahan di NAD.

Uraian akan meliputi berbagai aspek, yaitu: (a) kemampuan Pemda untuk memenuhi hak politik dan ham, termasuk voice, transparansi, akses terhadap informasi; (b) kemampuan membuat regulasi, terutama berbagai regulasi yang mampu memperbaiki iklim dunia usaha dan pemberdayaan masyarakat sipil untuk terlibat dalam proses politik; (c) kemampuan mengelola konflik dan kekerasan; (d) kepastian hukum bagi masyarakat; (e) kemampuan memberantas korupsi; (f) efektivitas pemerintah (kemampuan birokrasi dalam menyelenggarakan kebijakan dan pelayanan publik).

41

Page 12: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Secara umum, dibanding dengan temuan di provinsi yang lain, indeks tata pemerintahan untuk NAD memang lebih rendah. Hal ini tentunya tidak terlalu mengejutkan mengingat provinsi ini baru saja bangkit dari keterpurukan karena konflik yang berkepanjangan plus hantaman bencana gempa dan tsunami. Parahnya kerusakan infrastruktur fisik menjadikan berbagai pelayanan dasar, seperti: pendidikan, kesehatan, dan pelayanan administrasi kependudukan menjadi dilakukan dengan standar yang sangat minimal. Problem pelayanan publik sebagaimana disebutkan tadi masih ditambah dengan kenyataan bahwa banyak aparat birokrasi pemerintah yang turut menjadi korban bencana sehingga rasio petugas dengan masyarakat yang dilayani menjadi turun secara drastis. Oleh karena itu tidak mengharankan jika para pemangku kepentingan berpendapat bahwa efektivitas pemda provinsi NAD dalam memberikan berbagai pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat memang masih jauh dari harapan.

0 0 .2 0 .4 0 .6 0 .8

E fe k ti vi ta s P e m e r in ta h

S ta b i l i ta s P o l i t i k

In o va s i

P a r ti s i p a s i

T r a n s p a ra n s i

K a p a s i ta s M e n ya m p a ik a n In fo

K u a l i ta s P E R D A

R u le o f L a w

P e n g e n d a l i a n K o r u p s i

K e p e r c a ya a n

In d ik a to r

Inde

ks

N a s io n a lN A D

Grafik 3. Indeks Governance NAD dan Nasional

Potret secara lebih detil bagaimana penilaian para stakeholder terhadap berbagai indikator kinerja tata pemerintahan di NAD akan diuraian sebagai berikut:

C.1. Kemampuan Pemda Memenuhi Hak Politik dan HAM

Salah satu faktor yang menjadi pemicu konflik vertikal di Aceh adalah tingginya kesadaran rakyat Aceh akan hak-hak politik mereka sebagai warga negara. Upaya untuk memperjuangan hak-hak politik tersebut, sayangnya, justru berbuah ironi, yakni: berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang berkonflik. Namun demikian, perjuangan tersebut menjadi tidak sia-sia ketika NAD diberi status otonomi khusus (otsus) oleh pemerintah pusat. Situasi sosial dan politik yang makin kondusif sejak ditandatanganinya MOU diharapkan akan makin mampu mewujudkan hak politik dan HAM bagi masyarakat Aceh pasca otsus.

42

Page 13: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Grafik 4 Indikator Hak-hak Politik dan HAM

0.39

0.46

0.25

0.36

0.24

0.34

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

0.5

KapasitasMenyampaikan

Aspirasi

Transparansi Akses ThdInformasi

NADNasional

Beberapa indikator penting yang dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana upaya untuk memperbaiki hak-hak politik dan HAM masyarakat Aceh adalah: (i) Kapasitas menyampaikan informasi yang dimiliki masyarakat; (ii) Transparansi pemda dalam penyelenggaraan pemerintahan; dan (iii) Akses masyarakat terhadap informasi. Jika dilihat dari tiga indikator tersebut, upaya untuk memperbaiki hak-hak politik dan HAM di Aceh memang masih tertinggal dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Hal ini dapat

dilihat pada hasil survey (Grafik 4) yang menunjukan bahwa bahwa indeks untuk ketiga indikator tersebut masih di bawah angka nasional.

Meskipun ketiga indikator tersebut masih di bawah angka nasional, namun yang memprihatinkan justru dari sisi suply, yaitu kemampuan dan kemauan pemerintah untuk memberikan informasi kepada masyarakat (dilihat dari transpransi dalam praktik pemerintahan sehari-hari dan akses terhadap informasi) yang justru jauh di bawah indikator demand, yaitu kemampuan masyarakat untuk mendapatkan penjelasan tentang apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah (dilihat dari kapasitas menyampaikan aspirasi).

0.25

0.38

0.19

0.293

0.33

0.426

0.28

0.329

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

Indeks

Keterbukaan DlmKebijakan

Keterbukaan Pem .Dlm Rekrutm en

Keterbukaan dlmKepts .Tender

Pem aham anPublik thd

Ras ional Prog.

IndikatorIndones iaNAD

Sebagai ilustrasi, rendahnya suply informasi yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat dapat dilihat dari berbagai dimensi pembentuk indikator transpransi yang selama ini dipraktikan di Propinsi NAD, yaitu: pemahaman publik terhadap rasionalitas program/kebijakan yang dibuat pemerintah, keterbukaan dalam pembuatan keputusan tender, keterbukaan dalam rekruitmen pegawai, dan keterbukaan dalam pembuatan kebijakan. Data menunjukan bahwa menurut penilaian para pemangku kepentingan di propinsi ini, pemerintah masih kurang terbuka dalam: menjelaskan rasionalitas program (0,28), pembuatan keputusan tender (0,33), rekruitmen pegawai (0,19), pembuatan kebijakan (0,25). Dalam hal keterbukaan

Grafik 5 Sub-Indikator Transparansi

43

Page 14: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

tender Grafik 5 dan 6 menunjukan bahwa sebagian besar responden mengatakan bahwa berbagai kegiatan tender perdagangan barang dan jasa di bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum dari empat indikator transparansi tersebut, keterbukaan dalam proses rekruitmen pegawai mendapat skor yang terendah. Hal ini menggambarkan betapa birokrasi di Aceh ingin mempertahankan status quo untuk tetap menjaga agar orang-orang yang direkrut menjadi pegawai merupakan orang-orang dekat mereka.

Grafik 6. Persentase Jawaban Responden Tentang Transparansi Tender

T R A N S P A R A N S I P E N G A M B IL A N K E P U T U S A N T E N D E R P R O Y E K

5 2 .1 3

5 3 .1 9 1 5 .9 6

Apa yang bisa diinterpretasikan dari temuan ini? Hasil survey menggambarkan bahwa ketika suasana damai memungkinkan masyarakat untuk mulai berani menyampaikan aspirasi mereka, ternyata perkembangan politik ini tidak mampu direspon pemerintah daerah dengan memberikan informasi yang cukup memadai kepada masyarakat. Kondisi ini menyebabkan timbulnya gap antara proses politik yang terjadi pada level masyarakat dengan kapasitas pemda untuk mengikuti proses politik tersebut. Jika hal ini dibiarkan tentunya akan berujung pada ketidakpuasan masyarakat akan kinerja pemerintah. Pada gilirannya hal ini akan menimbulkan implikasi yang serius terhadap legitimasi pemerintah daerah dalam pembuatan kebijakan dan implementasinya di lapangan. Grafik 7 menunjukan bagaimana persoalan kepercayaan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga pemerintah.

Grafik 7. Ketidakpercayaan Terhadap Instansi Pemerintah

5 3 .1 9

5 9 .5 7

5 7 .4 5 1 8 .0 9

1 2 .7 7

1 5 .9 6

1 5 .9 6

0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0

P E M B A N G U N A N P R A -S A R A N AD L M B ID A N G P E N D ID IK A N

P E N G A D A A N O B A T - O B A T A N D L MB ID A N G K E S E H A T A N

P E M B A N G U N A NIN F R A S T R U K T U R D L M B ID A N G

K E S E H A T A N

p e m b a n g u n a n d a n p e rb a ik a n ja la n

p e m b a n g u n a n d a n p e r b a ik a nje m b a ta n

P E R S E N T A S E

4 6 .6 7

6 4 .4 4

7 3 .3 3

8 3 .3 3

1 6 .6 7

1 3 .3 3

6 .6 7

3 3 .3 3

1 7 .7 8

6 .6 7

1 8 .8 9

6 .6 7

1 1 .1 1

1 1 .1 1

1 4 .4 4

4 3 .3 3

1 0 .0 0

0 .0 0 1 0 .0 0 2 0 .0 0 3 0 .0 0 4 0 .0 0 5 0 .0 0 6 0 .0 0 7 0 .0 0 8 0 .0 0 9 0 .0 0

g u b e rn u r /b u p a ti/w a lik o ta

p e n g a d ila n

k e ja k s a a n

k e p o lis ia n

d is p e n d a

b a d a n k e p e g a w a ia n d a e ra h

d e p e r in d a g

k im p ra s w il

B a p p e d a

b a d a n p e r ta n a h a n n a s io n a l

k a n to r p e la ya n a n te rp a d u /p e r i j in a n

B K P M

d in a s k e s e h a ta n

d in a s p e n d id ik a n

B U M D

D P R D

L a in n ya

P E R S E N T A S E

44

Page 15: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

C.2. Kemampuan Membuat Regulasi Berbagai macam regulasi, atau dalam bahasa yang lebih luas disebut sebagai kebijakan publik, merupakan salah satu instrumen penting bagi pemerintah daerah untuk dapat memecahkan berbagai persoalan publik; termasuk di dalamnya memfasilitasi masyarakat dengan berbagai bentuk subsidi, pengurangan pajak, hibah dan sebagainya guna memperbaiki nasib mereka. Oleh karena itu, kemampuan pemerintah daerah untuk dapat membuat kebijakan yang baik, yang biasanya diwujudkan dalam bentuk peraturan daerah (perda), akan mempengaruhi sejauh mana niat baik pemerintah untuk membantu memecahkan masalah publik dapat dilakukan. Di dalam konteks otonomi daerah, kualitas suatu perda akan diukur dari sejauh mana perda tersebut mampu memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat di daerah, terutama dalam hal: penciptaan lapangan kerja, kualitas pelayanan publik dan ketentraman. Jika hal tersebut dapat dicapai maka hakekat otonomi daerah benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat.

Grafik 8 Penilaian Terhadap Perda

45.74

23.40

32.98

30.85

34.04

30.85

36.17

23.40

54.26

15.96

45.74

21.28

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

PERSENTASE

m emperbaiki ik liminvestasi

mem perbaikiefektivitas

penegakan hukum

meningkatkanstabilitas nasional

mem perbaikikualitas pelayanan

publik

m emberdayakanUKM

m enurunkanpraktik KKN yang

ada dipem erintahan

tidak setuju setuju

Mengacu pada berbagai indikator tersebut, Grafik 8 menunjukan bahwa kualitas perda yang dihasilkan oleh eksekutif dan legislatif di Provinsi NAD masih jauh dari memuaskan di mata masyarakat, kecuali untuk perda yang dimaksudkan untuk memperbaiki efektivitas penegakan hukum dan meningkatkan stabilitas nasional. Untuk dua hal ini, dari 94 responden yang dimintai pendapat mereka tentang sejauh mana kontribusi perda dalam memperbaiki persoalan yang menyangkut dua isu tersebut persentase responden yang menyatakan setuju dan tidak setuju hampir berimbang, yaitu: 30,85% menyatakan setuju berbanding 32% tidak setuju untuk menjawab pertanyaan apakah perda yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPRD memperbaiki masalah penegakan hukum dan 30,85 % menyatakan setuju berbanding 34,04% tidak setuju untuk pertanyaan yang menyangkut peran perda terhadap penciptaan stabilitas nasional.

45

Page 16: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Penilaian yang positif tentang dua persoalan tersebut cukup masuk akal sebagai bentuk apresiasi masyarakat terhadap suasana yang semakin aman sejak MOU ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan GAM. Sementara itu untuk upaya penyelesaian masalah mengenai: penciptaan iklim investasi yang kondusif bagi investor, perbaikan kualitas pelayanan publik, pemberdayaan UKM dan penurunan praktik KKN yang ada di pemerintahan sebagaian besar responden menyatakan bahwa perda masih belum mampu memberi kontribusi yang signifikan dalam upaya pemecahan berbagai masalah tersebut. Dengan kata lain kualitas perda masih jauh dari harapan untuk dapat mengatasi berbagai problem tadi. Rendahnya penilaian masyarakat tentang kemampuan perda untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik (23,4% setuju berbanding 36,17% tidak setuju) tentu bukan berita baik bagi tujuan diterapkannya Otsus di Aceh. Sebab, sebagaimana telah diuraikan pada bagian awal profil ini, otonomi daerah diharapkan akan dapat mendorong lahirnya perda yang aspiratif, yaitu: perda yang mampu merespon persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat di daerah. Sehingga, kualitas pelayanan publik yang selama ini menjadi persoalan masyarakat di daerah, ketika kekuasaan tersentralisasi, dapat terpecahkan manakala kewenangan telah diserahkan kepada daerah.

Selain masih lemahnya kualitas perda yang mengatur pelayanan publik, persoalan lain yang belum dapat dipecahkan dengan perda adalah penciptaan iklim investasi dan pemberdayaan UKM. Padahal, dua hal ini boleh dikatakan menjadi faktor kunci bagi upaya daerah untuk memecahkan masalah kemiskinan dan pengangguran.

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Penyusunan APBD Penentuan prioritas Pembuatan perda

Jenis kegiatan pembuatan kebijakan

Pers

enta

se k

eter

libat

an

seringsedangjarang

Grafik 9 Keterlibatan Masyarakat dalam Pembuatan Regulasi

Mengapa penciptaan iklim

investasi menjadi persoalan penting? Realitas menunjukan bahwa pemerintah memiliki kemampuan terbatas dalam upaya penciptaan lapangan kerja. Selain karena efisiensi birokrasi yang menyebabkan makin menurunnya jumlah pegawai baru yang dapat direkrut pemerintah NAD, keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah menyebabkan pemerintah sulit untuk melakukan investasi sendiri guna membuka lapangan kerja baru. Dengan berbagai keterbatasan tersebut maka mau atau tidak pemprov NAD memerlukan bantuan sektor swasta

untuk berinvestasi di NAD agar tercipta berbagai peluang lapangan kerja bagi jutaan penduduk Aceh.

46

Page 17: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Selain itu, masuknya investor ke NAD Masuknya investor ini diharapkan akan mendorong kegiatan investasi yang lain (ada multiplier effect) sehingga berbagai usaha kecil dan menengah (UKM) yang dirintis oleh masyarakat dapat berkembang dengan baik. Oleh karena itu, pembuatan perda tentang penciptaan iklim investasi yang baik di NAD perlu disinergikan dengan upaya pemberdayaan UKM sehingga dalam jangka panjang struktur industri di NAD akan lebih sehat di mana di situ terdapat beberapa industri besar yang ditopang oleh banyak industri menengah atas dukungan ribuan UKM. Jika sinergi ini dapat dilakukan pada akhirnya upaya untuk mengatasi persoalan kemiskinan yang selama ini mejadi akar konflik di Aceh dapat dilakukan dengan baik. Jika kualitas regulasi akan menjamin upaya eradikasi kemiskinan di Aceh, apa yang bisa dilakukan oleh pemrov untuk mengatasi hal itu? Data Grafik 9 menunjukan bahwa penyebab rendahnya kualitas perda yang dihasilkan oleh Pemrov NAD adalah karena kurangnya partisipasi masyarakat. Grafik tersebut menunjukan bahwa dalam penyusunan APBD, penentuan prioritas program-program pembangunan dan pembuatan perda masyarakat sangat jarang dilibatkan. Implikasi dari rendahnya keterlibatan masyarakat sudah jelas: berbagai regulasi yang dihasilkan akan jauh dari aspirasi masyarakat. Jika ini terjadi maka dukungan masyarakat terhadap implementasi berbagai program atau regulasi yang dibuat pemerintah akan rendah. Hal ini semua akan bermuara pada kegagalan pemerintah. Oleh karena itu, upaya untuk menghindarkan kegagalan tersebut sudah jelas: masyarakat perlu dilibatkan dalam pembuatan perda. Pelibatan masyarakat dalam pembuatan perda, dapat dipastikan juga akan dapat memecahkan penyakit KKN dalam tubuh birokrasi NAD yang juga belum dapat dipecahkan oleh berbagai regulasi yang selama ini dibuat oleh pemda sebagaimana dinyatakan oleh masyarakat pada Grafik 8. C. 3. Kemampuan Mengelola Konflik dan Mencegah Kekerasan

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Buruh-p

erusa

haan Etnis

Agama

Penda

tang

Rakya

t-peja

bat

Ekseku

tif-leg

islatif

Pendu

kung P

artai

Kelompo

k Mas

yarak

at

Jenis Konflik

Pers

en k

ejad

ian

rendahsedangtinggi

Grafik 10. Konflik di NAD Menurut JenisnyaSebagaimana telah dipaparkan di bagaian pendahuluan dari profil ini, konflik bukan barang baru bagi Aceh. Masyarakat di daerah ini selama bertahun-tahun mengalami konflik yang seolah-olah tiada putus-putusnya sampai MOU ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan GAM. Meskipun selama bertahun-tahun Aceh dilanda konflik, namun demikian konflik tersebut pada dasarnya lebih merupakan konflik vertikal antara Aceh dengan Jakarta. Pada level yang lebih bawah, masyarakat Aceh ternyata merupakan masyarakat yang justru jarang terlibat konflik.

47

Page 18: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Grafik 10 secara jelas menunjukan kecenderungan tersebut. Dari berbagai intensitas konflik yang terjadi di NAD, masyarakat menyebut bahwa konflik yang sering muncul dibanding dengan yang lain adalah konflik antara rakyat dengan pejabat. Konflik antara rakyat dengan pejabat ini merupakan konflik vertikal, yang barangkali, mencerminkan sentimen anti pemerintah sebagai dampak keputusan-keputusan politik yang diambil oleh Jakarta yang harus diimplementasikan oleh Pemrov NAD. Boleh dikatakan Pemrov NAD dalam hal ini menerima imbas dari konflik vertikal antara Aceh dengan Jakarta yang selama ini terjadi. Di luar konflik antara rakyat dengan pemerintah, konflik yang bersifat vertikal yang lain, yaitu antara buruh dengan pengusaha di Aceh dinilai jarang terjadi alias rendah oleh masyarakat.

Jika konflik vertikal yang menonjol adalah konflik antara rakyat dengan pejabat, untuk konflik horisontal yang dipandang sering terjadi adalah konflik antara eksekutif dengan legislatif. Meskipun jenis konflik ini bukan merupakan monopoli NAD, akan tetapi jika dibiarkan tentu bukan merupakan berita positif bagi upaya untuk mensukseskan implementasi kebijakan otsus di Aceh. Di luar konflik antara eksekutif dengan legislatif, secara umum konflik horisontal yang melibatkan kelompok etnis, agama, pendatang, pendukung partai dan kelompok-kelompok masyarakat dinilai oleh masyarakat jarang terjadi. Penilaian yang demikian tentu merupakan berita baik bagi Aceh yang selama ini dinilai sebagai daerah yang rawan konflik. Bertentangan dengan pencitraan tersebut, masyarakat Aceh ternyata justru merupakan masyarakat yang jarang terlibat dalam konflik yang bersifat horisontal.

Grafik 11. Faktor Penyebab Kegagalan Usaha Melihat hasil survey tersebut,

nampak bahwa Aceh memiliki potensi untuk bersaing dengan daerah lain dalam merebut investor untuk mau berinvestasi di daerah ini. Hasil survey tentang faktor penyebab kegagalan usaha juga menunjukan justru penyebab utama kegagalan usaha di Aceh bukan karena konflik vertikal (buruh mogok) maupun konflik horisontal (konflik etnis, gangguan preman, dan lain-lain) namun justru karena birokrasi yang korup, kepastian regulasi yang rendah, serta rendahnya respon DPRD terhadap kegiatan investasi di daerah ini (lih. Grafik 11).

27.66

26.60

34.04

73.40

2.13

67.02

55.32

51.06

54.26

23.40

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00

PERSENTASE

Konflik sosial (etnis)

Gangguan preman

Konflik politik (Bupati/walikota/gubernur dan DPRD)

Birokrasi yang korup

Buruh sering mogok

Kepastian regulasi rendah

Bupati/walikota/Gubernur kurang peduli terhadap iklim usaha

DPRD kurang responsif terhadap kepentingan pengusaha

Kepastian hukum atas tanah

Lainnya

Dengan demikian upaya untuk

menarik investor ke Aceh harus dimulai dari perbaikan birokrasi dan mengkampanyekan bahwa Aceh sudah aman dari konflik untuk berinvestasi.

48

Page 19: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

C.4. Kemampuan Menciptakan Kepastian Hukum Salah satu ciri bahwa demokrasi berjalan di suatu daerah adalah apabila semua warga negara memperoleh perlakuan yang sama di depan hukum atau ada prinsip equality before the law. Dengan prinsip tersebut, siapapun warga negara yang melanggar hukum tentu akan diproses di pengadilan. Artinya tidak ada perlakuan istimewa seorang warga negara dibanding dengan warga negara yang lain. Sehingga tidak akan ditemui kasus di mana seseorang memiliki kekebalan hukum (impunity) sehingga pelanggaran hukum yang dilakukan tidak diproses di peradilan. Grafik 12. Jumlah Pelanggaran Hukum

yang Diproses di Pengadilan

62.77

28.72

8.51

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

PERSENTASE

Apakah otonomi yang diberikan kepada Aceh telah membantu meningkatkan penerapan demokrasi pada aspek hukum ini? Jika demokrasi hukum ditegakan maka masyarakat akan memiliki persepsi yang positif terhadap praktik penegakan hukum yang dilakukan oleh Pemprov NAD. Survey yang dilakukan sebagaimana terlihat pada Grafik 12 menunjukan sebagian besar masyarakat (62,77%) menyatakan bahwa jumlah pelanggaran hukum di NAD yang diproses di Pengadilan masih kecil. Hal ini menjadi indikasi bahwa kemampuan pemda untuk menciptakan kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat masih rendah.

Grafik 13. Tingkat Keadilan dalam Penegakan Hukum

54%41%

5%

rendah

sedang

tinggi

Sedikitnya pelanggaran hukum yang diproses di peradilan selanjutnya membawa implikasi pada tingginya persepsi masyarakat bahwa penegakan hukum di Propinsi NAD berjalan secara tidak adil. Hasil survey yang terangkum pada Grafik 13 menunjukan dari 94 responden dengan berbagai latar belakang ketika mereka ditanya tentang kualitas penegakan hukum di Propinsi NAD sebagian besar (54%) menjawab tidak adil, 41% menjawab cukup adil dan hanya 5% yang mengatakan adil. Apa yang terjadi di NAD barangkali

tidak terlalu mengejutkan karena hal ini mencerminkan tingkat penegakan hukum yang memang masih rendah di Indonesia.

49

Page 20: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Grafik 14 Kualitas Pelayanan dalam Bidang Hukum

63.83

28.72

7.45

71.28

23.40

5.32

72.34

21.28

6.38

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Persen Penilaian Masyarakat

Akses Prosedur BiayaDimensi Pelayanan Hukum

tinggisedangrendah

Rendahnya tingkat penegakan hukum di NAD sebagaimana ditemukan dalam paparan di atas apabila dicari akar persoalannya akan bermuara pada masih rendahnya kualitas pelayanan dalam bidang hukum kepada masyarakat. Grafik 14 secara jelas menunjukan bahwa masyarakat NAD selama ini masih belum mendapat pelayanan dalam bidang hukum sebagaimana mestinya. Dari sisi akses, sebagaian besar masyarakat (63,83%) menyatakan bahwa mereka sulit untuk mendapat pelayanan dalam bidang hukum. Atau dengan kata lain masih terdapat ketimpangan akses antara satu warga dengan warga yang lain untuk mendapat pelayanan dalam penegakan keadilan. Rendahnya akses masyarakat, terutama warga miskin, terhadap pelayanan hukum jika dicermati lebih lanjut memang tidak terlepas dari persoalan prosedur dan biaya. Grafik 14 menunjukan bahwa 71,28% masyarakat menyatakan bahwa prosedur untuk mendapatkan pelayanan hukum masih berbelit-belit alias kualitas pelayanan hukum ini masih dinilai rendah di mata masyarakat di pandang dari perspektif prosedurnya. Yang lebih menyedihkan, prosedur yang rumit tersebut kemudian menyebabkan tingginya biaya bagi masyarakat yang ingin memperoleh pelayanan hukum sebagaimana survey menunjukan bahwa 72,34% masyarakat menyatakan bahwa dilihat dari aspek biaya kualitas pelayanan hukum di NAD masih rendah. Apa yang terungkap dari survey tersebut pada dasarnya memang mewakili kegelisahan masyarakat Aceh tentang penegakan hukum di daerahnya. Dari wawancara maupun ungkapan-ungkapan yang tertangkap di media massa menunjukan bahwa meskipun otsus sudah diimplementasikan akan tetapi penegakan hukum yang adil masih jauh dari jangkauan masyarakat. Isu adanya “tebang pilih” dalam penegakan hukum masih sering terjadi. Beberapa warga masyarakat yang ditemui mengatakan bahwa hukum sering hanya berlaku bagi orang kecil, namun tidak bagi orang besar. Sebagai contoh sejak diberlakukannya hukum cambuk bagi pelanggar syariah, orang-orang yang dicambuk selama ini hanyalah orang-orang kecil. Hukum cambuk nampaknya tidak berlaku bagi orang-orang besar yang punya akses terhadap kekuasaan di Aceh.

50

Page 21: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

C.5. Kemampuan Pemberantasan Korupsi

69%

19%

12%

tinggisedangrendah

Grafik 15. Intensitas Praktik Korupsi di NAD

Korupsi bukan hanya menjadi persoalan Provinsi NAD, akan tetapi menjadi masalah nasional yang tak kunjung dapat diselesaikan. Berbagai praktik korupsi seperti penyelewenagan anggaran, mark-up, penyalahgunaan wewenang, dan sebagainya menjadi sesuatu yang dengan mudah dapat ditemui dalam tubuh birokrasi di Indonesia. Pertanyaan yang dapat diajukan kemudian adalah apakah berbagai keistimewaan yang dimiliki NAD akan dapat membantu memecahkan persoalan korupsi tersebut? Grafik 15 menunjukan bahwa harapan tersebut masih belum dapat dipenuhi oleh Propinsi NAD. Dari survey yang dilakukan, hasilnya menunjukan bahwa 69% responden mengatakan intensitas praktik korupsi yang terjadi pada aktivitas pelayanan publik di Propinsi NAD masih tinggi. Hanya 19% responden mengatakan sedang dan sisanya, 12% mengatakan rendah.

Grafik 16 Keterlibatan Lembaga dalam Audit

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%

100%

Persen Keterlibatan

Bawasda BPKP BPK AkuntanPublik

Nama Lembaga Audit

tinggisedangrendah

Mengapa intensitas praktik korupsi di Propinsi NAD masih begitu tinggi? Tentu ada berbagai faktor yang diduga menjadi penyebab tingginya kejadian korupsi tersebut. Faktor penyebab tersebut dapat berupa faktor internal (dari dalam birokrasi) dan faktor eksternal (yang ada pada masyarakat). Faktor internal terdiri dari berbagai macam aspek

yang berasal dari dalam tubuh birokrasi, baik berupa komponen struktur maupun prosedur. Dengan mencermati berbagai faktor penyebab terjadinya praktik korupsi dalam tubuh birokrasi tersebut, temuan lapangan menunjukan bahwa mekanisme kerja yang dikembangkan dalam tubuh birokrasi di Propinsi NAD memang belum mendukung upaya pencegahan korupsi ini. Sebagai ilustrasi, meskipun Pemprov sudah dinilai cukup baik dalam melibatkan beberapa lembaga audit internal, seperti: Bawasda dan BPKP (lihat Grafik 16), akan tetapi dilihat dari tingkat

keseriusan berbagai lembaga pemerintah untuk mengatasi persoalan korupsi ternyata mereka masih belum melakukannya dengan serius.

51

Page 22: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

Hal itu dapat dilihat pada Grafik 17 di mana berbagai lembaga seperti Gubernur, DPRD, Kejaksaan dan Kepolisian masih belum serius memberantas korupsi, termasuk keseriusan mereka dalam melibatkan akuntan publik dalam mengaudit anggaran pemerintah sebagaimana dapat dilihat pada Grafik 16. Dengan temuan ini dapat ditafsirkan bahwa audit internal yang selama ini digunakan lebih banyak dipakai sebagai window dressing untuk memberi kesan bahwa pemda sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi, meskipun upaya tersebut hanya bersifat formalitas.

Grafik 17 Keseriusan Sejumlah Lembaga Dalam Pemberantasan Korupsi

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

PERSENTASE

17.02

18.09

21.28 17.0235.11

35.11

70.21

65.96

59.57 59.57

46.81

34.04

Bupati/walikota/gubernur DPRD Kejaksaan Kepolisian LSM media massa

Selain faktor internal, sebab-sebab terjadinya praktik korupsi dalam tubuh birokrasi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal atau lingkungan sosial, ekonomi dan politik di mana birokrasi tersebut berada. Salah satu faktor eksternal yang penting untuk diperhatikan untuk kasus Aceh adalah adanya budaya yang berpotensi “melegitimasi” praktik korupsi di tengah-tengah masyarakat. Sebagai contoh, budaya untuk berterima kasih dengan cara memberikan uang amplop yang terjadi pada sebagian masyarakat NAD menyebabkan timbulnya sikap permisif untuk menerima amplop tanda terima kasih tersebut.

Grafik 18. Penilaian Warga Mengenai Uang Ekstra

Grafik 18 menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat (55%) menganggap bahwa memberi uang ekstra kepada petugas atau aparat birokrasi yang sudah memberikan pelayanan kepada masyarakat dianggap sebagai hal yang sangat umum. Sementara itu hanya 4,26% yang mengangggap pemberian uang esktra kepada petugas pemberi

0

10

20

30

40

50

60

PERSENTASE

55.32

19.15

10.64 10.64

4.26

sangat umum umum tidak tahu tidak umum sangat tidak umum

52

Page 23: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

pelayanan publik dianggap sebagai sesuatu yang tidak umum.

Grafik 19 Pemberitaan Media Massa Tentang Korupsi

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Persen Pemberitaan

Birokrasi

DPRD

Lem

baga rendah

sedangtinggi

Kondisi seperti ini tentu yang menjadi salah satu faktor pemicu suburnya praktik korupsi di dalam tubuh birokrasi. Kondisi budaya masyarakat NAD yang masih kurang kondusif untuk mendukung pemberantasan korupsi tersebut barangkali menjadi sulit untuk diperbaiki melihat kenyataan bahwa media massa juga kurang memberi dukungan dengan melalukan edukasi publik lewat pemberitaan-pemberitaan kasus korupsi, baik yang terjadi dalam tubuh birokrasi maupun DPRD. Temuan-temuan yang ditunjukan pada Grafik 19 menggambarkan bahwa pemberitaan-pemberitaan kasus korupsi yang terjadi dalam tubuh birokrasi dan DPRD masih cenderung rendah atau sedang. C.6. Kemampuan Menyelenggarakan Kebijakan dan Pelayanan Publik Penerapan berbagai prinsip tata pemerintahan yang baik, sebagaimana sudah diuraikan pada paparan terdahulu intinya adalah agar pemda mampu menyelenggarakan pelayanan publik dengan lebih baik. Jika tugas memberikann pelayanan publik ini dilakukan dengan baik (transparan, responsif dan bebas korupsi) maka diharapkan kesejahteraan bersama sebagaimana ingin dicapai melalui implementasi kebijakan otoda dapat diwujudkan.

Grafik 20. Akses Warga Miksin Terhadap Pelayanan Publik Apa indikator utama untuk

dapat menilai apakah pemda sudah memberikan pelayanan publik yang baik bagi masyarakat? Salah satu indikator yang penting adalah dengan mengevaluasi bagaimana akses warga miskin terhadap berbagai pelayanan publik, terutama pelayanan dasar, yang disediakan oleh pemerintah. Yaitu meliputi bidang: pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan dan modal. Jika ukuran-ukuran tersebut yang digunakan, data yang ada

62.77

7.45

65.96

9.57

46.81

15.96

89.36

2.13

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

PERSENTASE

PENDIDIKAN KESEHATAN PENGURUSANADMINISTRASI

KEPENDUDUKAN

MODAL

rendah tinggi

53

Page 24: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

(Grafik 20) menunjukan bahwa Pemrov Aceh masih dinilai oleh masyarakat belum mampu melakukan perannya dengan baik. Hal ini terlihat bahwa mayoritas responden mengatkan bahwa akses warga miskin terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan dan modal masih rendah. Temuan survey yang lebih mencerminkan persepsi para stakeholder ini tidak berbeda jauh dengan temuan UNDP mengenai kondisi pelayanan dasar, di provinsi NAD yang memang masih menunjukan kondisi yang memprihatinkan sebagaimana dipaparkan di awal tulisan ini.

Selain pelayanan dasar yang menyangkut bidang: pendidikan, kesehatan dan kependudukan, dalam hal pelayanan terhadap kebutuhan modal, kondisi yang agak ekstrim ditemukan di NAD di mana masyarakat memiliki penilaian bahwa 89,36% kelompok miskin di provinsi ini masih belum memiliki akses terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah menyangkut permodalan. Jika penilaian masyarakat benar, hal ini merupakan lampu kuning yang harus segera direspon oleh Pemrprov NAD agar upaya memerangi kemiskinan di daerah ini dapat dilakukan dengan lebih baik. Sebab tanpa adanya akses terhadap permodalan, prakarsa mandiri masyarakat untuk mengatasi kemiskinannya, misalnya melalui pendirian UKM, jelas tidak akan dapat didukung. Mengapa akses warga miskin di NAD terhadap berbagai pelayanan publik yang mestinya mereka terima masih rendah? Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya adalah dari aspek prosedur, aparatur dan sumber finansial yang dialokasikan oleh pemerintah untuk dapat meningkatkan akses warga miskin terhadap pelayanan publik.

Grafik 22 Kapasitas SDM Pelayanan Publik Grafik 21. Prosedur Pelayanan

40.43

13.83

62.77

4.26

76.60

0.00

0

10

20

30

40

50

60

70

80

PERSENTASE

PENDIDIKAN KESEHATAN PERIJINAN

sulit mudah

56.38

8.51

57.45

5.32

75.53

5.32

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

PERSENTASE

PENDIDIKAN KESEHATAN INVESTASI

rendah tinggi

Grafik 21 dan 22 menunjukan bahwa persoalan prosedur dan aparatur menjadi faktor yang dapat memberi penjelasan mengapa akses warga miskin terhadap berbagai pelayanan dasar di NAD masih rendah. Dari aspek prosedur, Grafik 21 menunjukan bahwa untuk mendapat pelayanan publik masyarakat masih harus memenuhi prosedur yang mereka anggap sulit, terutama untuk pelayanan kesehatan dan perijinan. Pada pelayanan kesehatan 62,77% masyarakat menyatakan bahwa prosedur untuk mendapatkan layanan dirasa sulit, sementara untuk mendapatkan pelayanan perijinan

54

Page 25: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

persentasenya lebih tinggi lagi ketika 76,6% persen menyatakan bahwa prosedur pelayanan dalam bidang ini sulit. Kondisi tersebut ternyata memiliki korelasi positif dengan kualitas SDM untuk masing-masing bidang pelayanan tersebut. Grafik 22 memberi petunjuk secara gamblang bahwa masyarakat menganggap kualitas SDM yang memberi pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan dan perijinan memiliki kualitas yang rendah dengan persentase masing-masing 56,38%, 57,8% dan 75,53%.

Selain prosedur dan kualitas SDM yang masih belum memadai. Rendahnya akses warga miskin untuk mendapat pelayanan publik di NAD juga memperoleh kendala dari penetapan tarif pelayanan yang mahal. Grafik 23 yang diperoleh dari pertanyaan tentang bagaimana persepsi masyarakat tentang biaya pelayanan publik menunjukan bahwa biaya pelayanan pendidikan disebut oleh 61,70% warga pengguna sebagai mahal, pelayanan kesehatan dinyatakan 70,21% mahal dan sisanya pelayanan perijinan dinyatakan oleh 72,34% warga pengguna sebagai mahal.

Grafik 23 Biaya Pelayanan Publik

61.70

8.51

70.21

9.57

72.34

3.19

0

10

20

30

40

50

60

70

80

PERSENTASE

PENDIDIKAN KESEHATAN PERIJINAN

mahal murah

Grafik 24 Alokasi APBD untuk Pelayanan Publik

PendidikanKesehatan

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Pers

en A

loka

si A

PBD

Bidang Pelayanan

tinggisedangrendah

Bagaimana menjelaskan persepsi masyarakat yang menyatakan bahwa tarif pelayanan publik untuk mereka mahal? Salah satu faktor yang dapat menjelaskan barangkali adalah masih minimnya alokasi dana yang dikucurkan oleh Pemprov lewat APBD untuk membantu perbaikan berbagai pelayanan yang diselenggarakan oleh kabupaten/kota melalui program-program yang didanai oleh APBD propinsi melalui skema

dekonsentrasi (lih. Grafik 24). Tanpa sinergi pendanaan antara pemerintah kabupaten/kota dengan propinsi maka berbagai persoalan pelayanan publik yang sering dikeluhkan oleh masyarakat NAD tersebut tentu akan sulit untuk diselesaikan. Kenyataan yang ditemui selama ini menunjukan bahwa koordinasi antara pemerintah propinsi dan kabupaten/kota dalam mengatasi berbagai masalah publik ini tidak dilakukan dengan baik. Akibatnya terjadi ketumpang-tindihan dalam alokasi dana publik yang justru merugikan masyarakat.

55

Page 26: KINERJA TATA PEMERINTAHAN DI PROVINSI · PDF fileyang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1960-an, memberikan banyak kesempatan ... Ibu Kota Banda Aceh Luas Wilayah

D. Kesimpulan Sebagaimana diuraikan di awal profil ini, Aceh pasca tsunami adalah daerah yang ditandai dengan dua karakter: rusak secara fisik tapi mengalami kebangkitan secara psikologis. Penandatanganan MOU antara Pemerintah Indonesia dengan GAM merupakan titik balik bagi kebangkitan Aceh di masa depan. Ketidakpuasan masyarakat akan pelayanan berbagai bidang yang diberikan oleh pemerintah nampak sangat jelas dari hasil survey Governance Assessment ini. Hal ini terlihat jelas dari rendahnya indeks Governance yang diperoleh Aceh dibanding dengan Provinsi-provinsi yang lain. Namun demikian isyarat optimisme juga muncul pada beberapa bidang, terutama menyangkut stabilitas politik dan penanganan konflik yang terjadi di Aceh. Dua hal ini tentunya merupakan modal pokok bagi kebangkitan seluruh masyarakat Aceh untuk membenahi aspek-aspek lain dari praktik governance yang masih tertinggal dengan daerah lain. Selain stabilitas politik dan keamanan yang makin kondusif sebagai modal pokok kebangkitan masyarakat Aceh, potensi yang selama ini dilupakan adalah kekuatan kelembagaan lokal ( dari gampong sampai kasultanan) yang selama ini telah dimiliki dan dipraktikan oleh masyarakat Aceh selama berabad-abad. Revitalisasi kelembagaan lokal tersebut diharapkan akan mampu memunculkan trust antara berbagai pemangku kepentingan, baik pemerintah, masyarakat madani, dan sektor swasta; ketika hubungan antara berbagai pemangku kepentingan tersebut dilakukan secara transparan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi. Apabila trust dapat dibangun diharapkan persoalan-persoalan yang menonjol dalam praktik governance di Aceh, seperti: penegakan hukum, korupsi, pelayanan publik, dan lain-lain dapat dipecahkan. Apabila gagasan tersebut disepakati maka upaya untuk memberdayakan kembali kelembagaan lokal di Aceh merupakan pilihan kebijakan yang mendesak untuk dilakukan. Referensi BPS, Bappenas dan UNDP. 2004. Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan

Manusia Indonesia. Jakarta: BPS, Bappenas dan UNDP. BPS. 2005. Aceh Dalam Angka 2004. Fengler, W. and A. Ihsan. 2006. ‘Hopes High for Acehnese to Emerge From Poverty’.

Jakarta Post, 22 September, h. 6. Marbun, B.N. 2005. Otonomi Daerah 1945-2005: Proses dan Realita. Jakarta: Sinar

Harapan. McCullah, L. 2005. Aceh: Then and Now. Jakarta: Minority Rights Group International. UNDP. 2004. ‘Aceh: Before Tsunami’. Akses via http://www.undp.or.id/pubs/ihdr2004/

index.asp

56