KH.wahid Hasyim

99
KH. A.Wahid Hasyim : Jalan Juang Ulama Muda Nama besar KH. A. Wahid Hasyim (1 Juni 1914 – 19 April 1953) tidak hanya diakui oleh kalangan nahdliyyin, tapi juga oleh kalangan pendidikan, politikus dan kelompok nasionalis di negeri ini. Wafat di usia masih muda (39 tahun) tetapi telah memberikan karya yang luar biasa bagi bangsa dan negara. KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato.Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku- buku ilmiah saat itu. Semenjak tahun 1939 (Usia 25 tahun) KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah, PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga kemudian duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo

description

Tokoh Besar NU

Transcript of KH.wahid Hasyim

Page 1: KH.wahid Hasyim

KH. A.Wahid Hasyim : Jalan Juang Ulama Muda

Nama besar KH. A. Wahid Hasyim (1 Juni 1914 – 19 April 1953) tidak hanya diakui oleh kalangan nahdliyyin, tapi juga oleh kalangan pendidikan, politikus dan kelompok nasionalis di negeri ini. Wafat di usia masih muda (39 tahun) tetapi telah memberikan karya yang luar biasa bagi bangsa dan negara.

KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato.Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.

Semenjak tahun 1939 (Usia 25 tahun) KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah, PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga kemudian duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).

Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr.Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.

Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa,

Page 2: KH.wahid Hasyim

dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.

Selama zaman kependudukan Jepang KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh sentral di kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid Hasyim dapat menyakinkan tentara Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang menghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan yang bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama Islam yang susunannya terdiri dari: KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua.

Oleh karena KH Hasyim Asy’ari tidak dapat aktif karena memangku Pesantren Tebuireng, maka jabatan ketua sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim. Badan inilah yang menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945) Taktik politik yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman Jepang ialah, mengambil unsur kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. ”Kerja sama” dengan Jepang (pada tingkatan pertama) dipandang perlu sebab bangsa Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik (kekuasaan ) di zaman Belanda tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan. Kezaliman-kezaliman pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh KH A. Wahid Hasyim, dijadikan pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan Al-Qur’an segalayang batil pasti akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami kemenangan yang panjang.

Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang penuh pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren.

Wafat dalam usia belum genap 40 tahun menyebabkan dunia Ulama dan Pesantren menjerit dan meratap. Kaum politik dan masyarakat baik tua maupun muda merasa kehilangan yang besar. Yang patah akan tumbuh akan tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul Wahid hasyim hanya ada satu dalam sejarah ummat manuasia. Namun sekalipun sudah wafat, namanya harum tidak pernah akan mati.

KH. A. Wahid Hasyim: Pejuang Islam yang Nasionalis15 Desember 2011 | 13:58Diterbitkan oleh: Hernoe

Page 3: KH.wahid Hasyim

Terkait1. Bani Wahid Hasyim Akan Luncuran Buku Bersama 2. Lahirnya Tokoh Baru dari Keluarga KH Wahid Hasyim Dinantikan 3. Nusron Wahid, Pejuang Aspirasi Rakyat 4. Beasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Wahid Hasyim 5. Taufiq Kiemas: Hindari Dikotomi Islam dan Nasionalis

R.A. Hadwitia Dewi Pertiwi

Judul: KH. A. Wahid Hasyim. Sejarah, Pemikiran, dan Baktinya bagi Agama dan BangsaPenulis: KH. Salahuddin Wahid, dkkPenerbit: Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa TimurCetakan: Pertama, April 2011Tebal: 418 halaman

Nama KH. A. Wahid Hasyim mungkin kurang begitu populer di telinga orang awam. Bandingkan dengan putranya Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur. Sosoknya telah dikenal luas di kalangan masyarakat. Namun peran seorang KH. A. Wahid Hasyim dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia tak bisa dianggap remeh. Ia adalah salah satu anggota Panitia Sembilan yang ikut merumuskan Pancasila. Bersama para tokoh nasional lain ia turut serta mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Terobosan yang ia buat tersebar dalam berbagai bidang mulai dari politik sampai soal pendidikan.

KH. A. Wahid Hasyim merupakan seorang intelektual. Ia adalah putra dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri dan pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang. Walaupun dibesarkan di lingkungan pesantren, namun pemikirannya sangat revolusioner. Ia tidak terkukung dalam keterbatasan pemahaman tentang Islam. Dirinya tetap menjunjung tinggi asas-asas demokrasi kebangsaan Indonesia.

Biografi ini memaparkan representasi hidup dari KH. A. Wahid Hasyim yang ditulis oleh 22 kontributor. Mereka di antaranya Prof. Dr. Phil. Muhammad Nur Kholis Setiawan, M.A, Syaifudin Zuhri, S.Sos, M.A., dan KH. Salahuddin Wahid. Sebagian besar dari mereka adalah sejarawan, dosen, dan guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN), di Semarang, Surabaya, dan

Page 4: KH.wahid Hasyim

Yogyakarta. Buku ini sendiri dibuat dalam rangka peringatan satu abad KH. A. Wahid Hasyim (6 Rajab 1332 Hijriah – 6 Rajab 1432 Hijriah).

Pembahasan dalam buku ini terbagi dalam tiga bagian ditambah satu bagian penutup. Bagian satu mengulas tentang potret keluarga dan pemikiran KH. A. Wahid Hasyim. Dijelaskan tentang masa kecilnya yang sudah menunjukkan kecerdasan istimewa. Ada pula mengenai istri dan anak-anaknya yang kesemuanya memiliki keunggulan dan keunikan masing-masing. Sampai akhir hidupnya saat ia meninggal dalam kecelakaan ketika usianya belum genap 40 tahun. Bagian dua mengkaji tentang karya dan bakti dalam bidang politik, hukum, dan kebangsaan. Bagaimana besarnya peran beliau dalam pembentukan Pancasila, yang awalnya bernama piagam Jakarta. Ia memiliki andil besar dalam penghapusan 7 kata di belakang sila pertama: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Padahal ia sendiri adalah tokoh Islam berlatar belakang pesantren yang amat kuat.

Berikutnya pada bagian ketiga pembaca akan diajak melihat karya dan bakti KH. A. Wahid Hasyim dalam bidang pendidikan. Sumbangsihnya dalam memajukan dunia edukasi di Indonesia tampak nyata. Keterbukaan Wahid Hasyim terhadap segala hal baru dan pemikirannya yang cukup maju dapat dilihat ketika ia mengusulkan perubahan kurikulum di pondok pesantren (hal.341). Meskipun hal tersebut sempat mendapat tentangan dari sang ayah. Ia juga mendirikan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) pada 26 Desember 1951 di Jogjakarta, yang kemudian berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), bahkan sekarang ini berkembang menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan Universitas Islam Negeri (UIN) (hal. 352).

Terakhir dalam penutup kita akan menemukan tulisan dari Dr. Ema Marhumah, M.Pd mengenai pemikiran KH. A. Wahid Hasyim dan implikasinya terhadap keseteraan gender. Bagaimana apresiasinya terhadap perempuan dalam kehidupan. Selanjutnya ada pemaparan berbahasa Inggris dari Prof. Drs. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. berjudul “Was Wahid Hasyim Really Just A Traditionalist?” Menarik karena ia sendiri sangat menentang fanatisme berlebihan akan Islam. Ia lebih menekankan pada proporsionalitas dan tetap menghormati perbedaan yang ada.

Kelebihan buku ini terletak pada kelengkapan cerita. Semua fase kehidupan KH. A. Wahid Hasyim tercantum dalam biografi ini. Mulai dari masa kecilnya, soal keluarga hingga kiprahnya dalam memajukan Islam dan baktinya pada bangsa Indonesia. Ditambah lagi kata pengantar serta tulisan dari KH. Salahuddin Wahid, yang merupakan salah satu putra dari KH. A. Wahid Hasyim sendiri.

Sedangkan kekurangannya ada banyak bagian dari kisah KH. A. Wahid Hasyim yang diulang-ulang. Ini karena banyaknya penulis yang berpartisipasi dalam buku ini, sehingga cerita yang dituturkan kurang lebih sama. Tentang latar belakang keluarganya, perjuangannya melawan penjajahan Belanda dan Jepang, tentang Pancasila, dan seterusnya. Selain itu ada beberapa penulis yang menyisipkan teori ilmiah terlalu banyak, sehingga kesannya menjadi bertele-tele. Seharusnya to the point saja menceritakan tentang perjalanan KH. A. Wahid Hasyim tanpa disuguhi teori-teori yang kelihatannya kurang penting. Fokus utama yang dibahas di sini adalah sosok beliau. Dengan membaca sepak terjang kehidupannya, kita pun sudah bisa meneladani beliau, tanpa adanya berbagai macam teori yang terlalu menggurui.

Page 5: KH.wahid Hasyim

Di samping itu dalam buku ini cukup banyak terdapat kesalahan pengetikan huruf dan spasi. Makin ke belakang, menuju halaman akhir kesalahan makin bertambah banyak. Mungkin karena waktu pembuatan buku ini relatif singkat sehingga koreksi terhadap tulisan menjadi kurang maksimal. Ini dapat menjadi perhatian bagi para editor dan penerbit yang bersangkutan.

Buku ini layak dibaca bagi mereka yang tertarik dengan sejarah dan perjuangan penuh dedikasi bagi agama juga bangsa. Figur Pahlawan Kemerdekaan Indonesia ini memang pantas dijadikan panutan. Pemikirannya jauh ke depan, mendobrak kebiasaan serta kewajaran yang lumrah terjadi di lingkungannya. Ia merupakan tokoh Islam dari kalangan pesantren, namun tidak bersikap fanatik dan ikut mendukung demokrasi Indonesia. KH. A. Wahid Hasyim adalah seorang pembaharu yang memiliki keberanian serta visi misi yang jelas. Keteguhannya tercermin dalam tiap langkah dan keputusan yang diambilnya. Maka buku ini patut diapresiasi karena berisi perjalanan hidup seseorang yang mampu mengabdikan hidupnya pada dua hal, religiusitas dan demokrasi, sekaligus berjasa besar mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Sungguh luar biasa.

Relevansi Pemikiran Pendidikan KH Wahid Hasyim Kini dan Mendatang Rabu, 06 April 2011 11:47 ShareThis Setelah membaca beberapa buku riwayat hidup KH Wahid Hasyim, saya berkesimpulan bahwa beliau adalah seorang pesantren yang mampu berpikir mendahului zamannya. Beliau adalah seorang pecinta ilmu pengetahuan, belajar secara otodidak, mewarisi semangat ayahnya, Kyai Hasyim Asya’ari, yang sangat terkenal sebagai petualang ilmu ke berbagai pesantren di Jawa, seperti Pesantren Wonokojo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren yang dipimpin oleh Kyai Kholis di Bangkalan, dan Pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo, hingga ke Mekkah dan belajar kepada banyak ulama ternama. KH Wahid Hasyim mewarisi khazanah intelektual sang ayah dengan cara yang paling baik. Beliau mampu mengembangkan diri jauh melebihi rekan-rekannya yang mendapatkan pendidikan formal. Ia membangun pergaulan yang amat luas, merintis dan memimpin organisasi sosial dan politik, terlibat dalam gerakan kemerdekaan, hingga menjadi menteri agama yang pertama di Republik ini. Pikiran-pikiran beliau berkarakter progresif dan berjangkauan luas ke depan. Hal ini tampak dari perspektifnya mengenai ilmu pengetahuan dan juga dari praktik mendidik putra-putrinya. Berbeda dari kebanyakan santri jebolan pesantren lainnya, KH Wahid Hasyim yang bahkan lahir dan tumbuh dari keluarga pesantren, beliau melihat pentingnya ilmu umum dan penguasaan bahasa asing selain Bahasa Arab yang diwajibkan bagi para santri. Sejalan dengan pandangannya itu semua putra-putrinya dimasukkan ke lembaga pendidikan modern, tanpa meninggalkan pengetahuan agama, yang merupakan basis intelektual dan kultural yang ditekankannya. Keenam putra-putrinya, akhirnya kelak menjadi tokoh yang berwawasan luas, tetap berwatak santri, namun mereka melampaui tradisi umumnya institusi itu. Berbekalkan ketajaman nalar dan semangat berjuang untuk membela umat, KH Wahid Hasyim melakukan langkah-langkah perubahan besar di tengah-tengah masyarakat yang masih diwarnai oleh suasana tradisional. Menurut hemat saya, Ia adalah orang yang berani dan telah melakukan lompatan berpikir yang amat jauh, keluar dari sarang tradisi masyarakatnya, lalu masuk ke dalam dunia modern, bahkan terlampau fenomenal untuk ukuran pada saat itu.

Page 6: KH.wahid Hasyim

Lompatan yang dilakukan oleh KH Wahid Hasyim adalah luar biasa untuk ukuran saat itu. Berawal dari kemampuannya membaca kemauan orang tua, pemahamannya terhadap idealisme ajaran Islam yang sedemikian tinggi, dan setelah melihat keadaan lingkungan masyarakat yang serba terbelakang, maka lahirlah semangat untuk melakukan perubahan yang luar biasa itu. Ia membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan dengan caranya sendiri, dengan otodidak, kemudian berlatih berbuat untuk orang lain lewat aktif dalam organisasi, menulis, dan bahkan juga mengajar adik-adiknya dan santri yang diasuh oleh orang tuanya. Beliau seolah-olah tidak mau berhenti bergerak untuk kepentingan umat dan bangsanya. Saya merasa gembira dipercaya oleh panitia peringatan satu abad KH Wahid Hasyim untuk menulis pandangan saya terhadap seorang tokoh besar yang telah melahirkan putra-putri yang juga menjadi tokoh nasional. Tidak semua tokoh berhasil mengantarkan anak-anaknya menjadi tokoh. KH Wahid Hasyim menunjukkan keberhasilan mewujudkan regenerasi yang sukses. Kelima putra-putrinya, semuanya, menjadi tokoh; bahkan salah seorang di antaranya, yakni KH. Abdurrahman Wahid, menjadi presiden Republik Indonesia yang keempat, dan diidolakan oleh kalangan luas. Beberapa buku dan tulisan lepas telah saya baca, dan bahkan juga bertanya kepada orang yang saya anggap mengenal riwayat hidup beliau untuk memahami aspek-aspek pribadi, kepemimpinan, dan pandangannya tentang pendidikan, sebagaimana yang diminta kepada saya untuk menulisnya. Usaha itu terlebih dahulu saya lakukan, karena selama ini saya hanya sebatas mengenal nama besar beliau secara terbatas. Hal itu disebabkan karena saya tidak mengalami masa hidup tokoh besar ini, kecuali hanya dua tahun. Saya berusia dua tahun, beliau sudah wafat. Saya lahir tahun 1951, sedangkan KH Wahid Hasyim wafat tahun 1953. Namun demikian, karena nama besarnya, maka nama KH. Wahid Hasyim serta riwayat hidupnya telah ditulis dan diketahui oleh banyak orang, sehingga memudahkan penelusuran saya untuk menyelesaikan penulisan ini. Saya mengenal nama KH Wahid Hasyim, sebagai seorang ulama, tokoh politik, dan riwayat pendidikannya yang sejak kecil. Nama itu saya dapatkan dari ayah saya, yang kebetulan juga aktif di organisasi Nahdlatul Ulama. Sebagai orang yang sehari-hari mengurus organisasi Nahdlatul Ulama, maka nama Kyai Wahid Hasyim selalu menjadi idola dan sumber rujukan pemikiran dan dasar gerakan perjuangan bagi para tokoh agama di daerah sebagai pengikutnya.

Nama Kyai putra pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, ini sehari-hari mewarnai kehidupan warga Nahdliyyin, termasuk terhadap ayah saya sendiri. Saya seringkali mengikuti ceramah atau pengajian yang disampaikan oleh ayah saya, dan mendengarnya sering menyebut-nyebut nama KH Wahid Hasyim, yang sesekali juga ayah menyitir petuah Kyai Wahid ketika mengajari saya di rumah. Nama dan pikirannya mampu menggerakkan banyak orang yang mendengarkannya. Itulah seorang tokoh, sebagaimana umumnya, memiliki kekuatan penggerak dan bahkan juga menginspirasi banyak orang. KH Wahid Hasyim, sekalipun usianya hanya sekitar 38 tahun, memiliki kekuatan itu. Membaca pikiran dan atau pandangan tentang pendidikan yang dianggap ideal oleh KH Wahid Hasyim sekarang ini adalah sangat penting, lebih-lebih tatkala bangsa Indonesia sekarang ini sedang berada pada episode mencari bentuk dan model pendidikan yang ideal. Di lingkungan

Page 7: KH.wahid Hasyim

Kementerian Pendidikan Nasional telah berkembang kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter. Sedangkan di Kementerian Agama, khususnya di tingkat perguruan tinggi, para pimpinan perguruan tinggi sedang bersemangat mencari format kajian ilmu agama dalam hubungannya dengan ilmu umum, yakni dalam format kelembagaannya, apakah perguruan tinggi Islam berbentuk sekolah tinggi, institut, atau universitas, yang lebih tepat untuk mewadahi dan mengemban visi Islam yang lebih luas, sebagaimana yang digagas atau terinspirasi oleh pemikiran dan praksis pendidikan KH. Wahid Hasyim. Buah pikiran KH Wahid Hasyim tentang bangunan ilmu dan juga cara beliau mendidik para putra-putrinya adalah sangat penting dijadikan sebagai bahan untuk merumuskan konsep pendidikan yang tepat sesuai dengan zamannya. Selain itu, riwayat hidup KH Wahid Hasyim sendiri hingga beliau menjadi tokoh nasional, pemimpin berbagai organisasi politik dan bahkan pernah duduk sebagai anggota kabinet, yakni sebagai menteri agama yang pertama di Indonesia ini, merupakan pelajaran penting tatkala bangsa ini mencari format pendidikan yang dipandang lebih tepat.

  KH Wahid Hasyim  Contoh Pribadi Otodidak Kalau di dalam ilmu pendidikan terdapat konsep pendidikan otodidak, maka hal itu telah dialami oleh KH. Wahid Hasyim. Putra Kyai besar, pendiri organisasi NU ini, hanya belajar di pesantren dan madrasah yang diasuh oleh orang tuanya sendiri. Menurut catatan sejarahnya, KH Wahid Hasyim pernah belajar di pesantren Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo, tempat ayahnya dahulu belajar, namun kesempatan ini tidak berlangsung lama, yakni hanya sebulan. Setelah dari pondok pesantren Siwalan, beliau kemudian belajar ke Lirboyo, Kediri, tetapi lagi-lagi hanya dijalani beberapa hari saja. Ayah dari KH Abdurrahman Wahid ini kemudian juga berpindah-pindah dari pesantren satu ke pesantren berikutnya, namun selalu saja dijalani hanya beberapa saat. Menurut penuturan beberapa penulis, kebanyakan orang pesantren berkeyakinan bahwa belajar di pondok pesantren, yang dipentingkan bukan ilmunya, tetapi adalah berkah kyai. Ilmu bisa dicari di mana dan kapan saja, tetapi berkah guru atau kyai harus didapatkan langsung dari guru atau kyai yang bersangkutan. Ilmu dan wawasan luas yang dimiliki oleh KH Wahid Hasyim diperoleh dari kegiatan membaca sendiri. Ia memandang bahwa bahasa adalah jendela ilmu. Oleh karena itu, ia selain belajar Bahasa Arab, juga belajar Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda. Kedua bahasa asing tersebut diperoleh melalui kursus dari orang Belanda yang sehari-hari bekerja di pabrik tebu yang bertempat tinggal tidak jauh dari rumahnya. Dengan cara itu putra kyai besar ini mampu berkomunikasi dengan tiga bahasa, yaitu Bahasa Arab, Bahasa Belanda, dan Bahasa Inggris. Berbekalkan kemampuan bahasa asing itu, maka KH Wahid Hasyim berpeluang menambah wawasan pengetahuannya dengan cara membaca buku-buku, majalah, dan lain-lain yang berbahasa asing itu. Kegemarannya membaca dan ditunjang oleh penguasaan bahasa, sehingga beliau bisa memperkaya pengetahuannya secara mandiri. Bersama kyai Ilyas, KH Wahid Hasyim pergi ke Saudi Arabia, untuk menunaikan ibadah haji, sekalligus belajar di sana hingga dua tahun lamanya, persis seperti pengalaman ayahnya, KH. Hasyim Asy’ari. Hal yang menarik, sejak belia, yakni umur tujuh tahun, beliau sudah membaca al Qurán hingga tamat. Rupanya orang tua Ir. Salahuddin Wahid, pengasuh pesantren yang dirintis oleh kakeknya sendiri, itu, sejak awal sudah diperkenalkan dan didekatkan dengan kitab suci al

Page 8: KH.wahid Hasyim

Qurán. Selain itu, sejak usia muda, ia sudah diperkenalkan dengan kegiatan mengajar. Adik-adiknya dan juga santri yang belajar di pesantren ayahnya, belajar kepadanya. Kisah pendidikan yang dialami oleh KH Wahid Hasyim ini sebenarnya sangat menarik, karena sangat berlawanan dengan kebijakan pendidikan yang diberlaklukan oleh pemerintah pada saat ini. Pada saat itu, orang lebih menghargai ilmu dari mana pun asalnya, termasuk melalui otodidak. Pada saat sekarang, pemerintah hanya mengakui kegiatan pendidikan yang diselenggarakan secara formal, sehingga umpama KH Wahid Hasyim hidup pada zaman sekarang, ilmu dan kecakapannya yang sedemikian tinggi dan luas, terpaksa tidak akan mendapatkan tempat di institusi pemerintahan, apalagi menjadi seorang menteri, hanya karena tidak memiliki ijazah pendidikan formal. Pada saat sekarang ini, apa saja dan tidak terkecuali pendidikan dijalankan melalui peraturan yang cukup ketat. Menyimpang dari peraturan dianggap salah, sekalipun bernilai tinggi. Kreativitas menjadi tersumbat dan apa saja dijalankan dengan pendekatan formal, walaupun akibatnya tidak lebih dari sekadar formalitas. Dengan mudah dapat kita lihat, banyak lembaga pendidikan hanya memenuhi syarat formal, dan bahkan ijazah dan gelar lulusannya pun berbau formalitas. Kualitas yang bersifat substansial malah tersingkirkan. Pemerintah pada saat itu lebih fleksibel, dan mampu melihat sesuatu justru dari aspek substansinya. Seorang seperti KH Wahid Hasyim tidak dipersoalkan tentang asal muasal pengetahuannya, tetapi dilihat realitasnya. Dilihat dari perspektif adm inistrasi modern mungkin harus begitu, akan tetapi semestinya ada ruang untuk melihat kenyataan secara jernih. Umpama pemerintah ketika itu kebijakannya sama dengan sekarang, maka KH Wahid Hasyim yang sedemikian cerdas tidak akan bisa terlibat sebagai anggota BPUPKI, PPKI, memimpin organisasi besar tingkat nasional, ketua MIAI, kemudian ketua Masyumi dan bahkan juga diangkat sebagai menteri agama pada periode yang pertama. Sebenarnya, yang sudah sekian lama dituntut oleh para kyai pesantren agar lulusannya diakui oleh pemerintah, melalui program mu’adalah atau penyetaraan, adalah didasarkan atas bukti empirik seperti yang dialami oleh KH Wahid Hasyim ini. Banyak alumni pesantren sebagaimana yang dialami oleh KH Wahid Hasyim berhasil menguasai berbagai bahasa asing, tidak saja bahasa Arab yang memang sehari-hari dijadikan bahan kajiannya memahami sumber-sumber ajaran Islam, tetapi juga mampu berbahasa Inggris untuk memahami ilmu-ilmu lainnya; namun selama ini tidak ada pintu untuk mendapatkan pengakuan pemerintah. Akibatnya, orang-orang yang berpengetahuan luas yang diperoleh melalui otodidak, tidak memndapatkan pengakuan dari pemerintah. Maka resikonya, orang yang tergolong pintar, yang kebanyakan berasal dari pesantren, tidak mendapatkan peluang untuk berpartisipasi di masyarakat sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya, terdapat banyak sekali orang yang memiliki ijazah formal dan bahkan hingga tingkat tinggi, katakanlah hingga master (S2) dan bahkan Dokitor (S3), namun tidak berhasil menunjukkan kemampuannya yang setara dengan gelar yang disandangnya.   KH. Wahid Hasyim Memprakarsai Lahirnya Perguruan Tinggi Islam Pertama  Berbekalkan ilmu yang diperoleh dari pesantren orang tuanya sendiri dan ditambah dari nyantri yang tidak terlalu lama dari beberapa pesantren, ternyata KH Wahid Hasyim berhasil membaca dan memahami ajaran Islam serta persoalan umatnya secara lebih jernih. Dengan bahasa sekarang, ia berhasil membaca ayat-ayat qawliyah, yakni al-Qur’an dan al-Hadis, sekaligus ayat-

Page 9: KH.wahid Hasyim

ayat kawniyah, yakni ayat-ayat Allah yang tersebar luas di alam semesta.

Sejak awal, KH Wahid Hasyim sudah menangkap betapa pentingnya para satri dan juga siswa madrasah diajari ilmu-ilmu umum. Selama itu, para santri dan juga siswa madrasah hanya kalah dari pengetahuan umumnya. Oleh karena itu, logikanya, umpama para santri dan siswa madrasah itu dibekali pengetahuan umum yang memadai dan relavan, maka pesantren dan madrasah akan lebih unggul dari sekolah umum. KH. Wahid Hasyim sangat gigih memperjuangkan agar pikirannya berhasil diwujudkan, sampai-sampai ia pernah bereksperimentasi. Dalam eksperimentasinya, beliau memilih empat orang santri untuk diberi perlakuan, yakni diajari. Dua di antaranya, tanpa keterangan yang jelas, tidak bisa mengikuti jalan pikiran beliau; namun, dua yang lain berhasil. Salah satu dari dua yang berhasil akhirnya menduduki posisi penting di organisasi Nahdlatul Ulama; sedangkan seorang lainnya, menurut informasi, memimpin SMP Muhammadiyah di salah satu daerah. Dari hasil bacaan dan keyakinannya itulah lahir pada diri KH Wahid Hasyim semangat juang yang tinggi untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang terbelakang. Untuk keperluan itu dan untuk membangun basis perjuangan yang lebih kuat, maka beliau membentuk organisasi kepemudaan yang dipimpinnya sendiri. Di dalam organisasi Nahdlatul Ulama, ia terlibat sebagai pengurus di Jombang, lalu meningkat ke tingkat wilayah Jawa Timur di Surabaya, dan akhirnya sampai menduduki posisi di tingkat pusat di Jakarta.

Melalui pergumulan dalam perjuangan itu, KH Wahid Hasyim semakin tumbuh dan berkembang, apemikirannya semakin tajam, dan kiprahnya semakin kuat dalam pembangunan umat dan bangsa. Ia ikut aktif berjuang merebut kemerdekaan, hingga ia terlibat dalam BPUPKI, PPKI, dan lain-lain. Di NU KH Wahid Hasyim menempati posisi puncak sebagai ketua PBNU, dan bahkan dalam pemerintahan, ia menjadi Menteri Agama yang pertama kali dalam Kabinet Natsir yang dibentuk oleh Bung Karno. Selain KH Wahid Hasyim yang memnjadi Menteri Agama, saat itu ada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Bahder Johan. Kedua menteri ini belakangan disimbolkan oleh Nurcholish Madjid sebagai cermin perpaduan Ulama-Sarjana dan Sarjana-Ulama (lihat Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jilid 4, [Bandung: Mizan, 2006], hlm. 3512) Ide cerdas yang dirasakan aneh oleh kebanyakan orang pada saat itu adalah KH Wahid Hasyim tidak pernah mendirikan pesantren, tetapi bersama tokoh Islam lainnya, malah mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam di Jakarta. Ternyata perguruan tinggi Islam ini selanjutnya adalah menjadi cikal bakal perguruan tinggi Islam yang ada di Indonesia sekarang ini. Boleh jadi, insan perguruan tinggi Islam selama ini tidak pernah tahu bahwa perintis lembaga pendidikan yang mengeluarkan gelar akademik formal selama ini, sebenarnya dilahirkan oleh orang yang tidak pernah memperoleh gelar akademik formal, yaitu di antaranya adalah KH Wahid Hasyim.

Dalam catatan sejarah, KH Wahid Hasyim pernah datang dan memberi sambutan pada upacara peresmian pembukaan Universitas Islam Sumatera Utara. Selain itu, ia juga datang dan memberikan sambutan pada peresmian berdirinya Perguruan Tinggi Islam Negeri di Yogyakarta. Kampus yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama ini akhirnya berubah menjadi

Page 10: KH.wahid Hasyim

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

KH Wahid Hasyim, sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah orang yang dilahirkan dari pesantren yang ternyata tidak mendirikan pesantren, melainkan mendirikan perguruan tinggi Islam. Apa yang dilakukannya ini sebenarnya adalah sebuah lompatan yang luar biasa, di mana beliau masih memelihara yang lama, tetapi sekaligus juga menciptakan yang baru. “Yang lama” dan “yang baru” bersemai dalam dialektika continuity and change, dan melahirkan sebuah perubahan yang spektakuler menurut ukuran zaman saat itu. Melalui bacaan sejarah hidupnya itu, ada pula catatan penting yang seharusnya mendapatkan perhatian dalam membangun pendidikan, di antaranya, adalah sebagai berikut:

Pertama, betapa dahsyatnya kekuatan hasil dari kegiatan membaca, baik bacaan berupa ayat-ayat qawliyah maupun kawniyah. Bacaan yang benar melahirkan semangat, etos, dan kekuatan penggerak dari dalam pribadi seseorang. Lebih-lebih ketika kekuatan itu memperoleh momentum yang tepat, dan sekaligus sebagai pemandu atau referent person. Momentum itu adalah masa perjuangan, yakni ketika bangsa Indonesia saat itu sedang melakukan perlawanan terhadap penjajah, baik kolonialis Belanda maupun selanjutnya terhadap imperialis Jepang. Sedangkan referent person dimaksud itu adalah ayahnya sendiri, yaitu KH Hasyim Asy’ari. Kedua, bahwa dalam pendidikan kegiatan membaca harus dilakukan secara benar, sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an, yakni membaca dengan Nama Tuhan Sang Pencipta (iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). Banyak orang membaca sesuatu tetapi ternyata tidak mendapatkan apa-apa dari kegiatan membacanya itu. Kegiatan membaca harus diawali dari niat yang benar. Membaca yang hanya didorong oleh maksud-maksud selainnya tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Banyak murid-murid membaca buku berukuran tebal dan bahkan berhasil menghafalkannya, manakala hal itu hanya untuk menghadapi ujian, maka kegiatannya itu tidak meninggalkan pengaruh (atsar) yang diharapkan. Selesai ujian maka semua isi buku yang dibaca akan hilang begitu saja. KH Wahid Hasyim telah melakukan kegiatan membaca secara benar dan tepat, sehingga berbagai perubahan besar dalam konteks kehidupan umat dan bangsa dapat diwujudkan dalam sejarah perjuangannya.

Ketiga, bahwa belajar adalah seharusnya dijadikan jembatan untuk meraih sesuatu yang lebih jauh dari sebatasw mengerti dan memahami apa yang sedang dibaca itu. KH Wahid Hasyim membaca dan bahkan juga belajar dengan maksud utama yaitu untuk mendapatkan ridha dari Allah. Sebagai seorang muslim, beliau selalu diyakinkan akan betapa pentingnya niat bagi semua pekerjaan yang dilakukan, yang dalam tradisi pesantren disebut sebagai berkah (barakat). Kebenaran dan kelurusan niat seseorang akan melahirkan berkah ini. Ilmu yang dihasilkan dari otodidak, oleh karena didasari dengan niat yang benar, ternyata berhasil memperkaya dan memperluas pandangan dan bahkan memperkuat semangat juang untuk mempertbaiki masyarakat dan bangsa. Filosofi niat ini sangat diegang teguh oleh orang pesantren, yang tidak lain sumbernya adalah ajaran hikmah yang disampaikan oleh Nabi, bahwa setiap perkara ada niatnya. Jika niatnya untuk duniawi (yakni yang berjangkauan pendek dan sementara), maka akan memperoleh yang duniawi dan sementara; namun jika niatnya untuk

Page 11: KH.wahid Hasyim

yang ukhrawi atau yang berjangkauan jauh ke depan, dia akan memperolehnya (Likullimri’in maa nawaa).   Pandangan KH Wahid Hasyim  tentang Pendidikan Orang, pada umumnya, akan memberikan pendidikan kepada putra-putrinya sebagaimana yang telah dialaminya sendiri. Seorang yang telah mendapatkan pendidikan pesantren dan berhasil, akan mengirimkan anak-anaknya belajar ke pesantren. Akan tetapi, KH Wahid Hasyim membalik logika itu. Ternyata, tidak semua putra-putrinya dididik lewat pesantren, malah sebaliknya, semua putra-putrinya disekolahkan ke lembaga pendidikan umum. KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, sebagai anak pertama, sejak kecil disekolahkan ke SD kemudian ke SMEP di Yogyakarta. Setelah itu, barulah Gus Dur dikirim ke pesantren. Demikian pula putra-putrinya yang lain, semua disekolahkan ke lembaga pendidikan umum. Putranya yang ketiga, setamat sekolah menengah atas, dikirim kuliah ke ITB hingga tamat sebagai seorang insinyur, Lily Chodidjah Wahid terakhir menjadi sarjana ilmu sosial dan politik, yang hingga saat ini aktif di bidang politik. Adiknya, Umar Wahid menjadi dokter dan demikian pula adiknya, Hasyim Wahid juga belajar di sekolah umum. Semua putra putrinya menuai sukses melalui pendidikan umum, sementara pendidikan agama diberikan di dalam keluarga. Mereka akhirnya berkembang menjadi tokoh hingga level nasional, dan bahkan putra yang perama Gus Dur menjadi presiden Republik Indonesia. Demikian pula putranya yang ketiga, yaitu Ir. Salahudin Wahid pernah menjadi calon wakil presiden mendampingi Jenderal Wiranto. Membaca kenyataan itu, sebenarnya telah terjadi lompatan berpikir yang luar biasa yang dialami oleh KH Wahid Hasyim. Sekalipun ia tumbuh dari dunia pesantren, tidak lantas menyiapkan putra-putrinya menjadi pengasuh pesantren. Atau setidaknya, untuk menjadi pengasuh pesantren, tidak harus melalui pendidikan di pesantren. Nyatanya kemudian, Ir Salahudin Wahid sekarang ini baru dalam waktu beberapa tahun, atas kepemimpinannya, telah berhasil membangkitkan kembali pesantren Tebu Ireng, Jombang. Pikiran modern lainnya, ketika KH. Wahid Hasyim di Jakarta, beliau juga tidak mendirikan pesantren, melainkan justru mendirikan Sekolah Tinggi Islam, sebagaimana telah saya kemukakan di atas. Institusi pendidikan yang didirikan tepatnya pada tahun 1944 adalah jenis pendidikan modern, berupa perguruan tinggi Islam. Namun demikian, ia tetap menghormati dan membela pesantren yang diasuh oleh para kyai yang ada di mana-mana, di seluruh penjuru Indonesia. Membaca pikiran KH Wahid Hasyim di atas tidaklah sederhana. Keterlibatannya di organisasi sosial-keagamaan, politik, dan pergaulannya yang sedemikian luas, juga membentuk dan mewarnai cara berpikir yang cemerlang tentang pendidikan. Saya membaca bahwa pendidikan Islam hingga melahirkan ulama tetap dianggap penting, akan tetapi para ulama juga harus memahami ilmu modern. Itulah barangkali jargon yang tepat untuk menggambarkan tipe ideal pendidikan, yakni lembaga yang mampu melahirkan ulama yang intelek dan atau intelek yang ulama, atau dalam bahasa Nurcholish Madjid tadi, Sarjana-Ulama dan Ulama-Sarjana.   Pikiran KH Wahid Hasyim dan Pendidikan  Islam Indonesia Modern      Saya tidak bisa membayangkan setelah melihat kenyataan bangsa ini setelah berubah sedemikian rupa, apakah KH Wahid Hasyim juga akan merekomendasikan agar para tokoh mendirikan pesantren sebagaimana yang beliau lihat ketika beliau masih hidup. Saya kira tidak. Malahan sebaliknya, beliau, dengan jiwa kebebasan, keterbukaan, dan jiwa demokratisnya, tidak akan melarang

Page 12: KH.wahid Hasyim

seorang kyai mendirikan pesantren salaf. Saya melihat bahwa KH Wahid Hasyim akan tetap menilai bahwa pendidikan agama semisal pesantren tetap dianggap penting. Akan tetapi, pendidikan semacam itu harus disempurnakan dengan pengetahuan umum yang cukup. Kalau beliau mengirimkan putra-putrinya ke sekolah umum, tetapi juga mendidiknya secara cukup dengan pengetahuan agama, maka itu artinya kedua-duanya harus diberikan secara seimbang dan dianggapnya sama-sama pentingnya. Saya membaca pikiran beliau, bahwa pendidikan agama harus dijadikan sebagai dasar untuk membangun pribadi bagi semua orang. Pendidikan agama adalah mutlak untuk membangun karakter atau akhlak. Tetapi, pendidikan agama semacam itu tidak akan mencukupi untuk menghadapi tantangan masa depan yang lebih terbuka secara luas. Umat Islam harus menempati posisi penting dalam segala lini kehidupan. Dengan demikian, putra-putrinya juga dibekali dengan kemampuan bahasa asing, semisal Bahasa balanda, bahasa Inggris, dan tentunya Bahasa Arab. Berangkat dari refleksi semacam itu, saya menangkap bahwa pendidikan yang ideal bagi KH Wahis Hasyim adalah pendidikan yang mampu melahirkan kedua kemampuan itu secara seimbang. Jika di rumah tangga memiliki tradisi pendidikan agama yang kuat, maka sebagaimana yang ia tempuh, maka mencukupkan menyerahkan putra-putrinya ke sekolah umum. Jika keluarga tidak cukup kuat dalam memberikan pendidikan agama, maka diperlukan lembaga pendidikan yang mampu membekali kedua ranah tersebut secara memadai. Oleh karena itu, tatkala pada saat ini sedang ramai dibicarakan tentang pendidikan kharakter, maka pendidikan agama akan dijadikan jawabannya. Sebagai bentuk pendidikan karakter adalah mengenalkan n ak-anak dengan kitab suci. Putra-putri KH Wahid Hasyim sejak usia dini sudah diperkenalkan dengan kitab suci. Dalam kisahnya, Gus Dur, sejak umur tujuh tahun telah tamat belajar membaca al-Qurán dan demikian pula para adik-adiknya. Pendidikan karakter juga dijalankan melalui tempat ibadah. Sejak kecil putra putrinya diperkenalkan dengan kegiatan ritual. Dalam Islam diajari untuk shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, dan bahkan dalam usia muda Gus Dur sudah dikirim untuk menunaikan ibadah haji, sebelum kemudian dikirim ke Mesir untuk studi lanjut. Selain itu, para putra-putrinya diperkenalkan dan bahkan ditanamkan kecintaan kepada para kyai atau ulama. Gus Dur walaupun tidak terlalu lama dikirim ke pesantren-pesantren, yang dalam bahasa pesantren untuk mendapatkan berkah, padahal sebenarnya adalah menumbuhkan kecintaan kepada para ulama itu. Itru sem ua adalah bagian dari pendidikan karakter atau akhlak. Demikian pula jika pada akhir-akhir ini muncul wacana tentang bentuk kelembagaan pendidikan tinggi Islam, di antara manakah yang paling relevena dengan kebutuhan masa depan, apakah STAIN, IAIN dan atau UIN, saya membaca gelagat, insya Allah, umpama KH Wahid Hasyim masih ada akan menyarankan mengubah STAIN dan IAIN menjadi b entuk universitas tetapi dengan catatan tidak m elupakan pendidikan Islam semacam pesantren atau ma’had. Sebab di STAIN atai IAIN tidak pernah dibuka jurusan teknik dan kedokteran. Putra putrid KH Wahid Hasyim tidak dimasukkan ke IAIN tetapi justru dimasukkan ke ITB dan di Fakultas Kewdokteran UI. Umpama saja ketika itu ada perguruan tinggi Islam yang kualitasnya melebihi ITB atau UI, saya memastikan akan dimasukkan ke perguruan tinggi Islam itu. Dan saya juga menduga, KH Wahid Hasyim tidak akan memasukkan putra putrinya ke perguruan tinggi agama yang tidak mengajarkan ilmu modern. Oleh sebab itulah, kalau pada saat ini

Page 13: KH.wahid Hasyim

Institut Keislaman Hasyim Asyari akan diubah menjadi berbentuk universitas, kiranya justru sesuai dengan visi pendidikan KH Wahid Hasyim. Wallahu a’lamu bish-shawab. *) Tulisan ini dibuat untuk memenuhi permintaan Panitia Peringatan 100 Tahun KH.Wahid Hasyim, Tebuireng, Jombang.

Biografi KH.A. Wahid Hasyim

Posted by gunawank pada Mei 11, 2011

2 Votes

Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim (lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 – meninggal di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada umur 38 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia. Ia adalah ayah dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan anak dari Hasyim Asy’arie, salah satu pahlawan nasional Indonesia. Wahid Hasjim dimakamkan di Tebuireng, Jombang.

Pada tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Saat pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 beliau ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi beliau merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944 beliau mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.

Wahid Hasyim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April 1953.

Page 14: KH.wahid Hasyim

K. H. A. Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun. Untuk memperingati satu abad kelahiran K. H. A. Wahid Hasyim, diadakan serangkaian acara di beberapa kota di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Rangkaian acara dimulai dengan Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) mengenai Wahid Hasyim yang diikuti 260 makalah dari kategori santri/pelajar dan mahasiswa/umum dan akan diakhiri dengan seminar nasional mengenai pemikiran politik Wahid Hasyim pada 25 Juni 2011.

Acara yang digagas oleh Keluarga Besar K. H. A. Wahid Hasyim ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan mengangkat pemikiran – pemikiran K. H. A. Wahid Hasyim tentang pembaharuan Islam Indonesia.

“Sebagaimana pahlawan bangsa lainnya, kita harus menghormati dan mengangkat nilai perjuangannya. Demikian juga untuk Kiai Wahid, karena ada nilai kejuangan dan peran menonjol dari dirinya untuk kemerdekaan, sebagai tokoh brilian yang progresif bahkan memberi nilai baru pada Departemen Agama.” Ungkap Ketua Umum Panitia Pelaksana Satu Abad K. H. A. Wahid Hasyim, Aisyah Hamid Baidlowi.

Abdul Wahid Hasyim adalah salah satu putra bangsa yang turut mengukir sejarah negeri ini pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.Terlahir Jumat Legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 Hijriyah atau 1 Juni 1914, Wahid mengawali kiprah kemasyarakatannya pada usia relatif muda. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekah, pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum.Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah.

Pimpinan Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, K. H. Ir. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) mengenang, “Kiai Wahid adalah seorang tokoh NU dari jenis yang tidak banyak kita temukan, yaitu pemimpin organisatoris, jenis “pekerja” bukan “pembicara”. Kiai Wahid dikenal juga sebagai man of action bukan jenis man of ideas. Ia juga tidak hanya pandai melontarkan gagasan tetapi bisa mewujudkannya”.

Meskipun ayahandanya, hadratush syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasyim untuk menimbang berbagai hal sebelum akhirnya memutuskan aktif di NU. Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian Wahid menjadi ketua MIAI.

Karier politiknya terus menanjak dengan cepat. Ketua PBNU, anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman). Banyak kontribusi penting yang diberikan Wahid bagi agama dan bangsa.

Page 15: KH.wahid Hasyim

Rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pancasila sebagai pengganti dari Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya tidak terlepas dari peran seorang Wahid Hasyim. Wahid dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif.

Ironisnya, sebagai tokoh besar yang lahir dari seorang tokoh besar (hadratus syaikh Hasyim Asy’ari) dan melahirkan tokoh besar (Abdurrahman “Gus Dur” Wahid) dengan peran dan kontribusinya yang sangat penting bagi NKRI, tak banyak yang diketahui oleh generasi bangsa saat ini tentang Wahid Hasyim. Selain karena wafat dalam usia relatif muda, 39 tahun, juga tidak banyak karya dan pemikiran Wahid yang terdokumentasi dan terpublikasi dengan baik.

Share this: Surat elektronik Cetak Digg Facebook 2 Twitter LinkedIn

KONTRIBUSI LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NAHDHATUL ULAMA’ DALAM MEMBINA LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA DEWASA INI22 Jul       Rate This

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia. Melalui pendidikan manusia dapat belajar menghadapi segala problematika yang ada di alam semesta ini demi mempertahankan

Page 16: KH.wahid Hasyim

kehidupannya (. Ali dan Ali, 2003: vii). Urgensi pendidikan disinyalir dapat membentuk kepribadian seseorang; dapat menentukan prestasi dan kapabelitas serta produktifitas; dapat mengapresiasi dan memaknai kehidupan; dapat berinovasi dan berkreasi. Atau dengan kata lain, pendidikanlah satu-satunya jalan yang dapat mengantar setiap insan mencapai pada peradaban  dan kebudayaan gemilang. Karena pentingnya arti pendidikan, maka Islam menempatkannya pada kedudukan yang tertinggi (A’la, 2006: 34), sebagaimana disabdakan oleh baginda Nabi SAW:

�م�ة� ل و�مس� � �م ل مس� ل� ك ع�ل�ى �ض�ة� ف�ر�ي � �م �ع�ل ال [ ط�ل�ب حبا ] ابن رواه

artinya: Mencari ilmu itu adalah merupakan  kewajiban bagi seorang muslim laki-laki dan muslim perempuan. (HR. Imam Ibnu Hibban ra.). (az-Zarnuji, ttp: 5)

Jika meminjam istilah E.B. Tylor (dalam Pals, 2003: 37), sejarah kemajuan manusia, bahwa dalam perjalanan sejarah, setiap generasi dengan kemampuannya sendiri mengembangkan dan melanjutkan apa yang telah dicapai oleh generasi sebelumnya. Maka, sangat logis jika kemudian umat Islam mengembangkan berbagai bentuk pendidikan yang berlangsung dari abad ke abad itu ke dalam sistem kelembagaan yang kokoh (Yafie, 1997: 25). Contoh yang nampak dengan jelas dalam lembaran sejarah dan sampai saat ini masih berdiri tegar, misalnya, al-Azhar di Kairo, az-Zaitunah di Tunisia, al-Qawariyun di Fes, Maroko, Aliwargh di India (Ali, 1992: 24 dst) dan beberapa sistem pondok pesantren di Indonesia (A’la, 2006: 15 dst, dan Yafie, 1997: 25). Umat Islam secara intensif berinovasi membentuk lembaga pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Terwujudlah lembaga pendidikan di bawah naungan Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, Hidayatullah dan Nahdlatul Ulama (Ali dan Ali, 2003: 9-22).

Secara khusus, Nahdlatul Ulama (NU) dalam Muktamar XIII di Menes, Banten, pada tanggal 11 – 16 Juni 1938  (Ensiklopedi Islam, 2001: 350, Bruinessen, 1999: 47) telah membentuk divisi pendidikan yang diberi nama lembaga pendidikan Ma’arif, dengan tujuan mewadahi dan mendirikan madrasah-madrasah/sekolah-sekolah dan pondok pesantren yang tersebar di desa-desa maupun kota, agar ajaran ahlu sunnah wal jama’ah (Aswaja) benar-benar dapat berjalan di masyarakat muslim (Thoha, 1980: 29). Terbentuknya divisi pendidikan ini merupakan implementasi dari Anggaran Dasar (AD) NU yang tertuang dalam pasal 6 yang diputuskan dalam Muktamar XIII di atas. Kemudian dalam Muktamar XXVII di Situbondo, 1984 Anggaran Dasar (AD) tersebut disempurnakan (Bruinessen, 1999: 310) sebagai mana berbunyi:

Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan berdasarkan Agama Islam untuk membina manusia muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan trampil, berkepribadian serta berguna bagi agama, bangsa dan Negara. (Thoha,1980: 31).

Pasal di atas adalah tulang punggung lembaga pendidikan Ma’arif sehingga pasal tersebut dijadikan juga sebagai visi dan missi dan sekaligus sebagai fungsi dan tujuan mendirikan lembaga pendidikan Ma’arif. Telah begitu jelas kemana lembaga ini mau di bawa. Yang secara eksplisit telah disebutkan bahwa ia mengusahakan terwujudnya penyelengaraan pendidikan dan pengajaran untuk membina umat Islam agar bertakwa kepada Allah SWT, berbudi luhur,

Page 17: KH.wahid Hasyim

disamping juga berpengatahuan luas terhadap ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu umum lainnya, yang tentunya berguna atas agama, negara dan bangsanya kelak.

Melihat betapa jelasnya fungsi dan tujuan lembaga pendidikan Ma’arif didirikan, maka akan nampak jelas pula peranan atau kontribusinya dalam upaya mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia masa kini. Kehadirannya telah membantu pemahaman yang lebih kokoh atas ajaran Islam yang berhaluan Aswaja. Juga, ia telah pula memberikan sumbangan baik segi fisik, seperti mendirikan banyak sekolah dari tingkat paling bawah sampai pada tingkat universitas. Ditambah lagi, telah memberikan sumbangan yang berupa non-fisik, seperti bagaimana cara mengatur atau memenej sebuah lembaga agar efektif dan efesien, memberikan pemikiran bagaimana cara berorganisasi yang baik, juga telah pula dirasakan banyak oleh para anak didik yang berada dalam naungan Ma’arif, bagaimana agar tetap menjadi orang Indonesia dengan berbagai adat dan budayanya dan tidak mempertentangkan syari’ah Islam dengan adat dan budaya tersebut. Itu semua merupakan faktor-faktor atau kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif.

Akan tetapi, sungguh sebuah ironi jika penulis melihat pada kenyataan yang terjadi saat ini. Lembaga pendidikan Ma’arif kurang mempunyai gairah untuk memajukan pendidikan yang semakin lama penuh tantangan. Malahan ‘konflik’ internlah yang memang biasa dalam dunia pesantren, ikut mewarnai laju keterseokan lembaga pendidikan ini (A’la, 2006: 131-134). Masih untung NU mempunyai pondok pesantren yang tetap berkibar mewarnai alam pikiran muslim nusantara yang konsisten tetap berhaluan Aswaja. Tapi sebenarnya, menurut hemat penulis, bukan NU-lah yang mempunyai pondok pesantren-pondok pesantren itu secara hakiki, tapi para kiayi-lah secara individu pemilik sebenarnya, kemudian sang kiayi tersebut mengaku bahwa pondok pesantrennya-lah bagian dari NU. Hal seperti ini yang menyebabkan ketidakseragaman pondok pesantren di bawah NU, yang disadari atau tidak, berimplikasi pada eksistensi lembaga Ma’arif.

Bagaimanapun pertumbuhan pendidikan Ma’arif sebagai mana penulis gambarkan di atas, akan tetapi ia tidak dapat dipandang sebelah mata. Kontribusinya yang menurut penulis paling besar, adalah tertanamnya ajaran Islam dengan tetap berpatokan kepada paham Aswaja dan tetap berkomitmen pada salah satu madzhab yang empat, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali, sebagaimana disebutkan dalam Anggaran Dasar NU yang diputuskan dalam Muktamar XXVII di Situbondo, 1984 pada pasal 4: Tujuan

“Nahdlatul Ulama sebagai Jami’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali”. (Bruinessen, 1999: 309).

Tentu, bila penulis kaji lebih dalam akan sangat bagus mengungkapkan kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif NU dalam upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam pada saat ini.

Maka, memperhatikan paparan di atas adalah wajar sekali jika penulis teliti dengan mendalam. Oleh karena itu, penulis memberanikan diri menggarap penelitian ini dengan sebuah judul: Kontribusi Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama dalam Upaya Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam Masa Kini”.

Page 18: KH.wahid Hasyim

1. RUMUSAN MASALAH

Menurut Riyanto (2001: 9), rumusan masalah harus researchable dalam arti masalah tersebut harus dapat diselidiki. Masalah harus jelas, karena dengan perumusan yang jelas, peneliti diharapkan dapat mengetahui variabel apa yang akan diukur dan apakah ada alat ukur yang sesuai untuk mencapai tujuan penelitian. Dengan rumusan yang jelas akan dapat dijadikan penuntun bagi langkah-langkah selanjutnya.

Arikunto (1998: 28-29) menegaskan, bahwa secara garis besar, permasalahan harus diangkat dari tiga gejala, yaitu: Pertama, mengetahui status dan mendiskripsikan fenomena; kedua, membandingkan dua fenomena atau lebih (problem komparasi); ketiga, mencari hubungan antara dua fenomena (problem korelasi).

Mengacu kepada pemikiran yang dikemukakan oleh kedua tokoh di atas dan memperhatikan pada latar belakang masalah , maka penulis dapat mengambil beberapa rumusan masalah. Adapun rumusan masalah yang penulis maksud adalah sebagai berikut:

1. Program apa saja yang dicanangkan oleh lembaga pendidikan Ma’arif NU dalam upaya mengembangkan lembaga pendidikan Islam saat ini?

2. Bagaimana Implementasi program lembaga pendidikan Ma’rif NU sehingga ia menjadi lembaga yang maju?

3. Bagaimana faktor pendorong dan faktor penghambat yang dihadapi lembaga pendidikan Ma’arif NU dalam membentuk suatu lembaga pendidikan yang bermutu?

4. Bagaimana kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif dalam upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam masa kini?

1. TUJUAN  DAN MANFAAT KAJIAN

1. Tujuan.

Arikunto (1998: 52) mengatakan, apabila masalah penelitian dikejawantahkan dalam bentuk kalimat tanya, maka tujuan penelitian harus diungkapkan melalui kalimat pernyataan. Tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu hal yang diperoleh setelah penelitian usai.

Melihat bentuk masalah seperti tersebut di atas, telah sampailah kepada tujuan apa yang hendak penulis capai dalam menyusun karya ilmiah ini. Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis adalah:

a)      Ingin menskripsikan bentuk-bentuk program lembaga pendidikan Ma’arif NU

b)      Ingin menskripsikan strategi yang digunakan lembaga pendidikan Ma’arif NU dalam mengatasi berbagai kendala yang menghadang.

c)      Ingin menskripsikan faktor pendorong dan faktor penghambat lembaga pendidikan Ma’rif NU.

Page 19: KH.wahid Hasyim

d)     Ingin menskripsikan kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif dalam upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam masa kini.

2.  Manfaat.

Pembicaraan hasil penelitian menjadi penting setelah beberapa peneliti tidak dapat mengatakan sebenarnya hasil apa yang diharapkan dan sejauhmana sumbangannya terhadap ilmu pengetahuan (Arikunto,1998: 55).

Merujuk pada pendapat tersebut, maka kegunaan atau manfaat penelitian ini dapat penulis rangkum sebagai berikut:

a)      Menambah wawasan dan pemahaman yang lebih rinci terhadap kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif NU.

b)      Dapat membantu kalangan pendidik (guru) atau kalangan akademisi lainnya, dalam melacak pola-pola atau corak lembaga pendidikan Ma’arif NU.

c)      Dapat menambah khasanah kepustakaan tentang studi historis pendidikan dan lembaganya, dan dapat menambah ilmu pengetahuan kependidikan bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.

1. ALASAN MEMILIH JUDUL

Penulis mempunyai dua alasan dalam memilih judul kajian ini, yaitu:

1. Alasan Subjektif

a)Kajian tentang tema ini sesuai dengan disiplin ilmu yang sedang penulis geluti, yaitu ilmu pendidikan Islam atau Tarbiyah.

b)      Di almamater penulis, kajian pustaka yang menggunakan metode diskriptif analisis kurang diminati mahasiswa, sehingga penulis sangat termotivasi untuk membahas tentang lembaga pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama.

1. Alasan Objektif

a)      Kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama kurang terpetakan dengan jelas walau sudah diakui bahwa kontribusi tersebut memang ada.

b)      Lembaga pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama secara sistem sangat berbeda dengan sistem pondok pesantren walaupun sama-sama di bawah naungan NU.

1. PENEGASAN JUDUL. 1. Kontribusi berarti ; sumbangan, baik sumbangan dalam bentuk fisik, seperti dana

atau iuran, maupun dalam bentuk non-fisik, seperti dalam hal sumbangan

Page 20: KH.wahid Hasyim

pemikiran atau sumbang saran (KBBI, 1999: 523). Dalam kajian ini, diartikan bahwa kontribusi adalah sumbangan, baik yang berupa fisik atau pun non-fisik yang dilakukan oleh lembaga pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama.

2. Lembaga pendidikan ma’arif  NU adalah sebuah institusi atau badan pendidikan yang dijalankan dengan seperangkat aturan atau manajemen organisasi yang berada dalam naungan NU yang bertujuan untuk membina atau mengarahkan anak didik yang sesuai dengan ajaran Islam yang berfaham Aswaja (KBBI, 1999:579,232; Ensiklopedi Islam III, 2001: 350; Bruinessen, 1999: 47).

3. Lembaga pendidikan Islam    adalah sebuah institusi atau badan pendidikan Islam yang dijalankan dengan seperangkat aturan atau manajemen organisasi yang secara umum berada di luar lembaga pendidikan Ma’arif  NU, tetapi masih ada kaitannya dengan lembaga tersebut. Atau dengan kata lain, lembaga pendidikan Ma’arif mempunyai pengaruh dan kontribusi dalam upaya pengembangan pendidikan Islam tersebut (Ali dan Ali, 2003: 67; Ensiklopedi Islam II, 2001: 250; Arifin, 1977: 12-15)

1. RUANG LINGKUP KAJIAN

Ruang lingkup masalah dalam kajian ini adalah terfokus pada Lembaga Pendidikan (LP) Ma’atif NU, yaitu penulis akan membedah sejarah perkembangannya, berupa latar belakang Lembaga Pendidikan Ma’arif. Kemudian, penulis akan menelaah secara mendalam unsur mana yang dapat membuat lembaga ini berperan dan mempunyai kontribusi dalam upaya pengembangan lembaga keislaman lainnya. Juga, penulis akan mengungkap faktor-faktor pendorong dan faktor-faktor penghambat lembaga pendidikan Ma’arif NU.

Selanjutnya, penulis akan menyusunnya dengan kajian yang runtut, objektif dan jelas dengan menggunakan panduan baku sebuah karya yang bersifat ilmiah.

1. METODE KAJIAN

1.  Jenis Penelitian

Karena sifat penelitian ini adalah teoritis-konseptual, maka jenis penelitiannya pun menggunakan penelitian pustaka (library receach), yaitu menggunakan literatur sebagai rujukan utama dalam menggali konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli terlebih dahulu, menghilangkan bias atau pengertian yang bertentangan, kemudian mengintegrasikannya dalam kalimat yang baru.

1. Sumber Data

Mengingat bahwa penelitian kepustakaan yang berisi buku-buku sebagai bahan bacaan dikaitkan dengan penggunaannya dalam kegiatan penulisan karya ilmiah, maka untuk mengumpulkan data-data dalam penelitian ini digunakanlah sumber data primer dan data sekunder.

1)      Sumber Data Primer

Page 21: KH.wahid Hasyim

a)      Kapita Selekta Pendidikan, oleh M Ali Husein dan Mukti Ali. Karya ini membahas tentang sejarah sistem pendidikan Islam di Indonesia secara umum.

b)      Reaktulisasi  Paradigma Pendidikan Islam, oleh Edi Priatna,. Karya ini membahas bagaimana orang berikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai ilmiah dan insaniah di Indonesia.

c)      Diskursus Islam dan Pendidikan, oleh Tholhah Hasan. Karya ini membahas wacana kritis antara Islam dan Pendidikan secara umum.

d)     Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, oleh Wan Mohd. Nor Wan Daud. Membahas pemikiran M. Naquib Al-Attas tentang filsafat pendidikan Islam.

e)      Perbandingan Pendidikan Islam, oleh Ali al-Jumbulati dan Abdul Fattah at-Tuwanisi (terjemahan), Sebuah studi komperatif tentang pendidikan Islam tempo dulu.

f)       Pembaharuan Pesantren, oleh Abdul A’la Ahmad Basyir AS. Menbahas cara memajukan pesantren dan lembaga keislaman lainnya.

g)      Sejarah Pendidikan, oleh I. Djumhur dan Drs. H. Danasuparta. Berisi perkembangan lembaga pendidikan dari zaman bahula sampai zaman kemerdekaan Republik Indonesia.

h)      Sejara Nasional Indonesia (SNI) Jilid V dan VI, oleh TIM Depdikbud. Berisi sejarah perjuangan bangsa Indonesia sampai Orde Baru. Juga berisi tentang perkembangan sejarah pendidikan Indonesia secara umum.

i)        Ensiklopedi Islam, terutama jilid II dan III. Kerena pada kedua jilid tersebut hal-hal yang bersangkutan dengan pendidikan Islam dan NU dibahas secara mendalam.

j)        NU, Tradisi Relasi Kuasa, oleh Martin Van Bruinessen.

k)      NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, oleh Badrun Alaena.

l)        NU, Vis-à-vis Negara. Pencarian Visi, Bentuk dan Makna, oleh Andree Feillard.

m)    . Majalah-Majalah

n)      Situs-situs internit

2)      Sumber Data Sekunder

Sumber ini bertugas sebagai pelengkap atas keberadaan data primer di atas. Sumber ini penulis ambil dari perkembangan mutakhir yang menyangkut lembaga pendidikan Islam saat ini. Kebanyakan oleh penulis diambilkan dari berbagai majalah Islam dan Umum serta harian Nasional, dan jurnal-jurnal pendidikan lainnya.

b.  Teknik Pengumpulan Data

Page 22: KH.wahid Hasyim

Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan teknik dokumenter, yaitu memanfaatkan sebanyak-banyaknya buku-buku yang ada sebelumnya, untuk kemudian diadakan penelitian dan dikomparasikan terhadap objek atau fokus yang mau dianalisis.

c.  Analisis Data

Setelah data terkumpulkan, maka langkah berikutnya adalah menganalisa melalui metode-metode sebagai berikut:

1). Metode deskriptif

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan metode deskripsi adalah suatu cara penelitian yang disusun menggunakan bentuk penjabaran kalimat demi kalimat (KBBI, 1999: 150). Kalimat demi kalimat tersebut disusun secara runtut dan logis agar syarat keilmiahan sebuah karya tulis dapat dipertanggungjawabkan di depan khalayak akademik.

Metode ini dugunakan dalam rangka untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu objek penelitian dengan cara penceritaan yang bersifat analisis dan objektif, terhindar dari unsur-unsur pendapat secara pribadi.

2). Metode analisis isi (content analysis)

Menurut Muhajir (dalam Marzuki, 2006: 62),               Contens analysis adalah suatu metode yang digunakan untuk membahas suatu permasalahan dengan cara menganalisis data secara sistematis dan objektif

Metode ini penulis gunakan karena hendak mencapai pada suatu pembahasan yang analitis dan sistematis serta objektif. Adapun manfaat penggunaan metode analisis isi bagi karya ilmiyah yang bersifat kwalitatif adalah diketahuinya dengan jelas akan suatu pendapat atau teori yang berbeda dalam permasalahan yang sama, kemudian dari perbedaan tersebut dapat lah penulis cari mana yang lebih valid (mendekati kebenaran), dan mana pendapat yang kurang shahih. Kemudian, pendapat atau teori yang lebih mendekati kebenaran itulah yang mesti penulis sajikan dalam penyusunannya kelak.

Disamping metode ini punya kelebihan yang cukup signifikan dalam penulisan karya ilmiah ini, juga ada beberapa kesulitan dalam mengaksesnya, yaitu 1). Penyusun atau penulis harus banyak membaca karya tulis yang berkenaan dengan tema bahasan; 2). Penyusun harus membuat skala perbandingan terhadap pendapat yang berbeda, kemudian memilihnya mana pendapat yang lebih otentik.

Kesulitan itu dapat penulis atasi dengan adanya referensi yang cukup memadai dalam membuat kajian pustaka ini.

1. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Page 23: KH.wahid Hasyim

Kerangka acuan  kajian ini mengunakan bentuk studi kualitatif, yaitu mengintegrasikan seluruh komponen bahasan dalam suatu bab per bab yang runtut tanpa diselingi bab metode penelitian, yang biasanya disematkan dalam bab tiga.

Sistematika kajian ini adalah Pendahuluan, yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat kajian, alasan memilih judul, penegasan judul, ruang lingkup kajian, metode kajian sistematika pembahasan. Sedangkan bagian isi, meliputi: bab II yang membahas kaitan antara NU dengan lembaga pendidikan Ma’arif; bab III membahas faktor-fakor pendorong dan faktor-faktor penghambat lembaga pendidikan Ma’arif  NU; dan pada bab IV penulis membahas tentang kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif NU dalam upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam. Yang terakhir, yaitu bab V berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

BAB II

NAHDLATUL ULAMA DAN LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF

1. SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA 1. Pengertian Nahdlatul Ulama

Ada dua pengertian yang ingin penulis kemukakan. Pengertian pertama, adalah menurut bahasa (lughawi). Kata Nahdlatul Ulama berasal dari susunan mudhaf wa mudhaf alaihi, yang diambil dari akar kata nahadla dan ‘alima. Akar kata partama mempunyai arti berdiri, bangkit. Kemudian akar kata tersebut diturunkan menjadi an-nahdlatu sehingga menjadi kebangkitan, pergerakan. Adapun arti kata dasar yang ke dua adalah ilmu, pengetahuan. Kemudian menjadi jamak taktsir sehingga menjadi ulama’ yang berarti orang-orang yang mempunyai ilmu dan berpengetahuan luas (al-Munawir, 1984: 1037, 1468-9).

Adapun pengertian dari istilah yang biasa dipahami, Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama untuk membangkitkan kesadaran umat Islam dalam upaya menjaga dan memelihara syaria’ah Islam yang berhaluan paham ahlu sunnah wal jamaah dan menganut salah satu madzhab yang empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia (Ensiklopedi Islam III, 2001: 345, Suryanegara, 1996: 28, Thoha, 1994: 24).

Memperhatikan pengertian yang terkandung dalam istilah di atas, sangat logis jika kemudian para ulama itu menamakan organiasasi yang didirikannya dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Nama ini sarat dengan makna filosofis dan sangat mengakar di tengah-tengah masyarat muslim Indonesia tradisionalis dari dulu sampai saat ini. Ada femeo yang berkembang bahwa umat Islam tidak dapat dikatakan beragama yang baik jika mereka tidak dikatakan orang NU, walaupun dalam aplikasi keseharian mereka kadang jauh dari ajaran NU.

1. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama

Embrio NU adalah Taswirul Afkar (TA), yaitu sebuah gerakan diskusi yang didirikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah (Aula, Nop., 2001: 8). TA merupakan gerakan para pemuda dan lahir

Page 24: KH.wahid Hasyim

dari ide pemuda, yang melatih diri dalam melahirkan pikiran dalam suatu acara diskusi. Apa yang dibicarakannya adalah tentang situasi zaman yang saat itu sedang bergolak dengan gerakan menanamkan kesadaran kebangsaan yang dipelopori oleh Sarikat Islam (SI). Gerakan SI ini semula memperlihatkan kekuatan politiknya di Surabaya di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto. Oleh kerana itu tidak mengherankan jika KH. Abdul Wahab Hasbullah mengambil inisiatif mendirikan organisasi TA yang banyak membicarakan masalah tanah air di Surabaya (Suryanegara, 1996: 224).

Bergabungnya KH. Mas Mansur dalam kegiatan TA maka gerakan tersebut tampil dengan nama baru, Nahdlatul Wathon (NW) pada tahun 1916. Walaupun NW dalam setiap acara atau kegiatannya membidangi pendidikan umat Islam, namun dapat dibaca dengan jelas arti nama NW kemana arah tujuannya, yaitu membangkitkan kesadaran nasional melalui pendidikan. Pilihan jalur pendidikan sebagai media rekrumen dan sosialisasi politik adalah sangat tepat, sebab pemerintah kolonial Belanda melalui Politik Etis-nya hanya merestui gerakan yang semata-mata bergerak dalam pendidikan. Akan tetapi, NW tidak berarti sebagai gerakan sosial pendidikan yang pertama dalam masa gerakan nasional (1900-1942). Sebab sebelumnya telah lahir Muhammadiyah (1912), SI (1912), Perserikatan Ulama (1915) dan lain-lain. Jadi munculnya NW sebagai upaya meluaskan gerakan sosial pendidikan umat Islam (Thoha, 1994: 27, Suryanegara, 1996: 225).

Kerja sama antara KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan KH. Mas Mansur untuk sementara tidak berlanjut akibat perbedaan pilihan sistem pemecahan masalah nasional yang dihadapi saat itu. KH. Mas Mansur memisahkan diri dan kemudia bergabung dengan Muhammadiyah tahun 1922. Sedangkan KH. Abdul Wahab Hasbullah kemudian membubarkan NW, setelah itu membentuk organisasi kepemudaan yang diberi nama Subbanul Wathon (SW) tahun1922 (Suryanegara, 1996: 225).

Memperhatikan kiprah KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam pentas nasional dalam rangka memberikan kesadaran pada masyarakat Muslim akan arti penting kemerdekaan. Silih berganti ia mendirikan organisasi sosial pendidikan dengan tujuan hal tersebut di atas. Tidak diragukan lagi, ternyata KH. Abdul Wahab Hasbullah seorang organisatoris yang handal dan mempuni. Ini terbukti kelihaian beliau dalam merespon setiap detik situasi masa itu. Termasuk nanti bagaimana ia mendirikan NU.

Kemudian, karena nama SW terkesan kurang dekat kepada para ulama yang berakibat pula para ulama tersebut kurang respek terhadap SW, maka untuk menambah agar perjuangan memajukan umat Islam didukung oleh para ulama sangat diperlukan sebuah nama yang populer di mana nanti ia akan dicintai oleh mereka.

Atas usul KH. Alwi Abdul Aziz, SW oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dirubah menjadi Nahdlatul Ulama (NU), setelah disepakati oleh para ulama yang hadir di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam rangka mendirikan organisasi sosial yang berbasis Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) (Bruinessen, 1999: 38). Kesepakatan itu berlangsung pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M. Pada hari itulah lahirnya organisasi muslim tradisionalis paling besar hingga saat sekarang ini, yang bernama NU (Ricklefs, 1998: 267, Suryanegara, 1996: 227). Organisasi ini kemudian mendapat pengakuan secara de jure dari pemerintah kolonial Belanda,

Page 25: KH.wahid Hasyim

sesuai dengan surat keputasan tanggal 6 Februari 1930. sejak saat itu, NU hadir di tengah umat Islam dalam jangka waktu yang tidak terbatas (Ensiklopedi Islam III, 2001: 353, Feillard, 1999: 12), dengan Rais Akbar (Pemimpin Besar) yang pertama adalah KH. Hashim Asy’ari, ulama paling senior tanah Jawa periode itu, sekaligus murid KH. Khalil Bangkalan yang paling berpengaruh (Ensiklopedi Islam III, 2001: 347).

Perlu juga disebutkan, bahwa dalam pertemuan di rumah kediaman KH. Abdul Wahab Hasbullah di atas para ulama menyepakati tiga butir penting dalam rangka merespon situasi dan kondisi umat Islam secara global, yaitu kondisi umat yang sejak tahun 1924 sudah tidak memiliki payung tunggal yang mau melindungi dari berbagai ancaman yang ditimbulkan oleh kolonialis kapir Eropa, yang berupa kekhilafahan di Turki Utsmani.

Tiga butir kesepakatan itu antara lain:

1. Meresmikan berdirinya komite hijaz untuk mengirim delegasi ke Saudi Arabia guna bertemu dengan raja Ibn Sa’ud. Adapun yang bertugas sebagai utusan adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghanim al-Mishri (Ricklefs, 1998:  269, Feillard, 1999: 11).

2. Membatasi masa kerja komite hijaz hingga pulang dari menjalankan tugas di Makkah, maka komite hijaz dibubarkan.

3. membentuk suatu jami’ah atau organisasi sebagai wadah untuk memperstukan para ulama menuju tercapainya ‘izzatul Islam wal Muslimin (Thoha, 1994: 28).

Sebab-sebab para ulama mendirikan NU, atau sebagai latar-belakang NU didirikan ada dua macam, yaitu:

1. Sebab Umum

Sebab umum, adalah kondisi umat Islam secara general, yaitu meliputi seluruh dunia Islam, di mana umat Islam secara merata dalam kondisi memprihatinkan. Dunia Arab berada dalam cengkraman Prancis dan Inggris. Sementara di Afrika Utara, berada dalam telapak kaki penjajah Prancis, Italia dan Spanyol. Sedangkan Asia Tengah dan Selatan berada dalam genggaman penjajah Inggris, Prancis dan Rusia. Adapun Dunia muslim Melayu, dihancur-leburkan oleh kolonialis Belanda, Inggris, Portugal, Spanyol dan Prancis.

Sebab umum yang paling mendapat respon para ulama seluruh dunia muslim, juga Indonesia, adalah tumbangnya Khilafah Islamiyah Ustmani di Turki oleh kaki tangan ziones dan penjajah Inggris yang bernama Musthafa Kamal Atturk pada bulan Maret tahun 1924 (al-Muhtasib, 1998: 1-30, Suryanegara, 1996: 227).

1. Sebab Khusus

Sebab Khusus, adalah kondisi umat Islam di Indonesia itu sendiri. Pada era akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, umat Islam Indonesia digempur paham pembaharuan yang dipelopori oleh kaum modernis, di mana paham ini mengusung Wahabisme dari Arab Saudi (Ensiklopedi Islam III, 2001: 352-353, Feillard, 1999: 11, Bruinessen, 1999: 28). Tidak henti-hentinya kaum

Page 26: KH.wahid Hasyim

Modernis mengkritik secara kasar amalan para ulama dan kaum muslim tradisionalis, di mana dalam kaca mata kaum Modernis, amalan-amalan itu semuanya bid’ah tidak bersumber pada al-Qur’an dan hadis Nabi SAW yang saheh. Amalan-amalan yang dikritik itu seperti misalnya tahlilan, baca ushalli pada takbir pertama, haul, rakaat shalat tarawih dan sebagainya.

Sebab khusus yang lainnya adalah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah Belanda (SNI Jilid V, 1993: 177).

Sampai dengan tahun 2004 kemarin, NU telah mengadakan Muktamar sebanyak 31 kali. Saat ini NU dipimpin oleh KH. Sahal Mahfudh sebagai Roisy Aam, dan KH. Hashiem Muzadi sebagai ketua Tanfidziyah (PB, Pengurus Besar).

Penulis memandang ke dua sebab di atas, merupakan alasan utama mengapa organisasi yang bernama NU itu harus segera direalisasikan di tengah umat Islam Indonesia yang sedang mengalami kegoncangan batin akibat dari hilangnya payung kekhilafahan di Turki dan akibat penjajahan Belanda atas diri negara kesatuan Indonesia.

Kiranya memang wajar jika umat Islam bereaksi seperti itu. Itulah kesatuan yang ditanamkan oleh Islam, yaitu kesatuan akidah dan nasib yang sama; sebagai umat yang terdzalimi.

1. Nahdlatul Ulama Peran dan Fungsinya Terhadap Umat Islam

Sejak semula agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 (al-Islam, edisi 344/XIV, Suryanegara, 1996: 82), telah disambut dengan antusiasme dan penuh persahabatan. Sambutan ini muncul karena Islam disebarkan dengan jalan damai dan kekeluargaan. Islam menyebar dengan massif melalui dua pintu utama, yaitu melalui perdagangan dan perkawinan (Rikclefs, 1998: 3). Dari kedua sumbu inilah Islam tertanam dengan baik di hati masyarakat Indonesia. Disamping juga, kita akan merasa takjub tatkala membaca penyebaran Islam yang dilakukan oleh para Ulama. Mereka tidak pernah berkonfrontasi dengan kepercayaan dan adat yang ada dalam masyarakat Indonesia. Malah para Ulama itu memepergunakan kepercayaan dan adat tersebut sebagai sarana penyebaran Islam ditengah masyarakat Hindu dan Budha. Terbukti wahana ini amat ampuh menarik orang-orang Hindu dan Budha untuk masuk Islam.

Metode dakwah tersebut secara turun temurun tetap dipertahankan. Sampai kemudian ia di adopsi oleh para Ulama yang bergabung dalam NU. NU, sambil tetap memelihara adat yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia, ia juga menggiring kepercayaan atau adat tersebut pada syari’ah Islam. Berbagai kepercayaan dan adat orang Indonesia dapat NU warnai dengan nuansa keislaman, seperti hari kematian kemudian ada tahlil, tingkepan, wayang, sekatenan dan lain-lain semua ada unsur keislamannya.

Sekurang-kurangnya ada dua hal yang membuat Ulama memperoleh tempat istimewa dalam sanubari muslimin Indonesia, yaitu pertama; Ulama adalah orang yang paling dapat dipertanggung jawabkan secara moral akan ilmu, amal, dan akhlaknya. Sebab Ulama sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW yang artinya Ulama adalah pewaris para Nabi. Kedua, seorang yang selalu mempunyai kewibawaan dan pengaruh di tengah-tengah masyarakatnya (Thoha, 1994: 25).

Page 27: KH.wahid Hasyim

Memperhatikan pernyataan tersebut maka wajar jika kemudian NU mempunyai tempat istimewa di sanubari Muslim Indonesia (Djumhur dan Danasuparta, 1976: 184). Peran dan fungsi NU di tengah-tengah berbagai macam aliran di Indonesia sangat dirasakan oleh warga NU. Peranan yang paling dominan adalah mensyiarkan Islam pada masyarakat awam, khususnya mereka yang berbasis pedesaan, yang asalnya mereka abangan atau kejawen, suatu istilah yang dipopulerkan Clifford Geertz (Nata, 1998: 347), menjadi masyarakat yang tahu Agama Islam. Kemudian mereka secara konsisten, menjalankan syari’ah Islam. Ini berlangsung sejak berdirinya NU sampai saat ini (Feillard, 1999: 282).

Demikian pula, secara nyata NU dapat dinyatakan sebagai pelindung pahan aswaja di Indonesia (Alaena, 2000: 57-64). Hal ini juga dapat dikatakan NU telah berfungsi sebagaimana mestinya sesuai dengan cita-cita Ulama pendiri. Dan juga dalam masa perjuangan yang dikenal dengan Revolusi Fisik dengan puncak konstelasi pada 10 Nov. 1945 di Surabaya, NU dengan Ansharnya membentuk tentara Hisbullah membela tanah air dari rongrongan penjajah (Bruinessen, 1999: 303-304). Tidak akan dilupakan dalam lembar sejarah betapa gegap gembitanya perjuangan para pemuda setelah mereka mendengar fatwa Hadratusy Syeikh Hashim Asy’ari, sebagai Raisul Akbar NU, bahwa berjuang  mengusir tentara sekutu dalam pertempuran 10 Nov. 1945 tersebut adalah wajib ‘ain bagi setiap umat Islam (Fiellard, 1999: 41).

Di era kemerdekaan, khususnya dalam rezim Soekarno, NU membentuk partai politik. Mesin politik NU sangat ampuh dalam mengerim ambisi politik Soekarno yang dikenal dengan Demokrasi Terpimpinya (Fiellard, 1999: 43). Demikian pula dalam zaman orde baru, NU sangat berperan dalam parlemen hingga melahirkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang sesuai dengan syari’ah Islam (Feillard, 1999: 195). Walaupun kemudian NU dikebiri sedemikian rupa sebagaimana diungkap oleh Robetr W. Hefneer (dalam Feillard, 1999: xviii). Akibat pengkibiran itulah NU secara total melepaskan dirinya dari dunia politik. Di Muktamar 1984 di Situbondo, NU kembali ke khittah 1926, mengkhususkan diri pada masalah diniyah Islamiyah. Konsentrasi pada pembinaan umat menjadi  hal utama bagi NU, walapun secara Implisit organusasi ini tetap berpolitik, apalagi tokoh sentralnya, KH. Idham Khalid pernah menjadi ketua DPR/MPR selama beberapa periode.

Bagi penulis, sudah jelas terpampang di depan mata bahwa NU secara nyata dan kasat mata mempunyai peran amat besar dalam membina umat Islam Indonesia. Bisa penulis katakan, fungsi dan peran NU adalah memelihara paham Aswaja dan juga menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam serta negara republik Indonesia ini.

Ingat saja dalam lembaran sejarah perebutan Kemerdekaan Indonesia. Orang yang pertama kali mengatakan bahwa perang pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya adalah fardhu ‘ain, beliau KH. Hasyim Asy’ari. Orang yang juga membasmi G.30 S/PKI bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah mereka yang bergabung dalam Gerakan Pemuda (GP) Anshor, sebuah organisasi otonom NU yang dikhususkan kepada para pemuda. Pembinaan mental spritual, juga menjadi binaan NU dalam memberdayakan umat Islam Indonesia.

1. TINJAUAN HISTORIS LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA

1. Latar Belakang Berdirinya Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama

Page 28: KH.wahid Hasyim

Jika NU lahir dari dorongan adanya konstelasi politik saat itu, baik yang bersifat nasional, misalnya penindasan rezim kolonial Belanda, ataupun bersifat internasional, yaitu lenyapnya khalifah Utsmaniyah Turki dan penguasaan kaum Wahabi atas kota Makkah dan Madinah, kemudian paham itu menyebar ke Indonesia. Maka berbeda dengan latar belakang hadirnya LP Ma’arif NU yang murni dilatarbelakangi oleh keadaan pendidikan umat Islam, utamanya keadaan pendidikan umat Islam tradisional yang berbasis pesantren dan tidak terkoordinasi dengan baik.

Suatu hal yang amat mendesak untuk segera direspon setelah adanya NU adalah mendirikan divisi pendidikan yang terorganisir dengan baik tetapi tetap berada dalam naungan NU. Hal seperti itu, di samping menandingi dan menanggapi pendirian lembaga pendidikan yang mengusung paham pembaruan sebagaimana dimotori para kaum Muslim Modernis, yang sudah melenceng dari haluan Aswaja dan tidak lagi berpatokan pada madzhab yang empat. Ditambah lagi, untuk merespon pendirian pendidikan missi zending yang disubsidi oleh kolonial Belanda. Juga hal pendorong utama LP Ma’arif didirikan adalah untuk memberikan pengajaran yang bersifat modern dengan memasukkan ilmu-ilmu keduniaan (fardhu kifayah) kepada generasi muda NU dengan tetap mempertahankan paham Aswaja.

Para tokoh NU memandang bahwa untuk menyeimbangkan pemahaman generasi penerus NU terhadap kehidupan ini sangat dibutuhkan penguasaan akan ilmu-ilmu, yang dikatakan sebagian orang dengan sebutan ilmu sekuler (Feillard, 1999: 276). Jika untuk kemaslahatan umat, mengapa ilmu-ilmu itu harus dijauhi. Tentu, jika ilmu-ilmu itu tidak dipelajari maka umat Islam, khususnya generasi NU, semakain jauh tertinggal. Sementara umat-umat yang lain berada di garis depan menguasai berbagai segi kehidupan (Sardar, 1993: 43). Padahal Allah SWT berfirman:

Æ÷tGö/$#ur !$yJ‹Ïù š9t?#uä ª!$# u‘#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š]Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u‹÷R‘‰9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šø‹s9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# ’Îû ÇÚö‘F{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä† tûïωšøÿßJø9$# ÇÐÐÈ

Atinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (al-Qashash: 77) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Kemudian dalam firma-Nya lagi:

$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? †Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râ“à±S$# (#râ“à±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?r(& zOù=Ïèø9$# ;M»y_u‘yŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-

Page 29: KH.wahid Hasyim

orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-Mujadalah: 11) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Demikian pula hadis Nabi SAW:

] البخاري ] رواه فانتظرالساعة اهله غير اداوسداالمرالى

“apabila suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah) (Junaidi, 2003: 40-41).

Dalam hadis yang lain disebutkan:

�م�ة� ل و�مس� � �م ل مس� ل� ك ع�ل�ى �ض�ة� ف�ر�ي � �م �ع�ل ال [ ط�ل�ب حبا ] ابن رواه

“ mencari ilmu wajib atas setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan” (H.R. Ibnu Hibban dan Ibnu Ali dari anas) (Junaidi, 2003: 40-41).

Inilah sebenarnya latar belakang LP Ma’arif NU didirikan. Jika disederhanakan, latar belakang tersebut menjadi dua kondisi, yaitu:

a. Kondisi Makro

Kondisi ini meliputi:

1). Respon terhadap lembaga pendidikan para Modernis, seperti Muhamadiyah, Persis, al-Irsyad dan lain-lain.

2). Respon terhadap lembaga pendidikan para missionaris Kresten (missi zending), seperti Katolik dan Protestan.

3). Respon terhadap lembaga pendidikan milik pemerintah kolonial Belanda yang sekuler.

b. Kondisi Mikro

Kondisi ini meliputi:

1). Menata lembaga pendidikan milik NU agar terorganisia dan terkoordinasi dengan baik, efektif dan efesien.

2). Mengembangkan ilmu pengetahuan di lingkungan NU secara integral agar selaras dengan perkembangan IPTEK.

3). Mementingkan paham Aswaja pada generasi muda Muslim Indonesia.

1. Sejarah Perkembangan Lembaga Pendidikan Maa’rif Nahdlatul Ulama

Page 30: KH.wahid Hasyim

Di Menes, Banten pada tanggal 11-16 Juni 1938, 12 tahun setelah NU didirikan di Surabaya, sedang berlangsunglah perhelatan akbar NU berupa Mu’tamar ke- 13 (Ensiklopedi Islam III, 2001: 354). Hal penting dari mu’tamar itu adalah didirikannya divisi khusus yang mengurusi masalah pendidikan dan diberi nama lembaga pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) NU, dengan ketuanya K.H. Abdul Wahid Hasyim (w 1953) (Thoha, 1994: 29).

Signifikansi LP Ma’arif NU didirikan merupakan cita-cita para Ulama NU yang melihat kondisi umat Islam selama dibawah penjajahan Belanda sangat terpuruk. Utamanya kondisi dalam pendidikan, umat Islam pada masa LP Ma’arif didirikan, atau kebelakang dari masa itu, dalam keadaan amat tertinggal dari lembaga pendidikan yang dikelola oleh Belanda, ataupun yang dikelola oleh organisasi-organisasi keagamaan lainnya.

LP Ma’arif didirikan merupakan wujud amanah dari Anggaran Dasar (AD) NU. Sebagaimana berbunyi:

”Di bidang pendidikan dan pengajaran, mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran … untuk membina manusia Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, berkepribadian serta berguna bagi Agama, Bangsa dan Negara” (Bruinessen, 1999: 310).

AD di atas diputuskan dalam mu’tamar ke-13, kemudian diperbarui dalam mu’tamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo (Ensiklopedi Islam III, 2001: 356).

Dimasukkannya K.H. Abdul Wahid Hasyim sebagai ketua divisi LP Ma’arif NU yang pertama memang sangat tepat. Beliau adalah alumni ponpes Tebuireng yang didirikan oleh ayahnya, Hasyim Asy’ari (w 1947), di mana sejak 1935 ponpes tersebut telah memasukkan ilmu-ilmu umum sebagai kurikulum wajib di pondok tersebut. Ini semakin nyata, sebagaimana penulis gambarkan, bahwa LP Ma’arif hadir ingin memberikan solusi bagaimana umat Islam yang berbasis tradisionalis ini, –karena K.H. Abdul Wahid Hashim telah juga memberikan kebijakan pada LP Ma’rif sebagaimana yang ia tempuh dalam membina ponpes Tebuireng di Jombang sebelum menjadi ketua LP Ma’arif, tujuannya adalah– agar mempunyai bekal dalam mengarungi kehidupan dunia kelak yang ternyata hal itu sangat membutuhkan penguasaan akan ilmu-ilmu keduniaan (Sardar, 1993: 41). Demikian di atas tentu berangkat dari ajaran Islam sebagaimana disabdakan Nabi SAW:

ابن ( و احمد و ترمدى و داود ابو راوه غدا تمو نك كاء الخرنك واعمل ابدا تعيش كاءنك لدنياك اعملمجاه)

“Bekerjalah untuk kehidupan duniamu seakan-akan kamu hidup abadi, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok” (H.R. Abu Daud, Tirmidhi, Ahmad dan Ibnu Majah).

Juga dalam sabda Nabi SAW yang lain:

( داود ( ابو راه دنياكم باءمور اعلم انتم

Page 31: KH.wahid Hasyim

“Kalian lebih mengetahui urusan-urusan keduniaan kalian” (H.R. Abu Daud) (Junaidi, 2003:41)

Demikian tersebut sangat mempengaruhi petumbuhan LP Ma’arif NU ke depan. Maka sangat masuk akal jika kemudian desain kurikulum LP Ma’arif, disamping memantapkan epistemology paha Aswaja yang tetap dengan ketat berpatokan pada madzhab yang empat, juga kemudian memasukkan ilmu-ilmu, sebagaimana pendapat al-Ghazali yang dikutip oleh Syed al-Atas (dalam Daud, 2003: 282) disebut dengan ilmu fardhu kifayah (Sardar, 1993: 44), tak ayal lagi, NU melalui LP Ma’rif menampung ilmu-ilmu umum itu ke dalam kurikulumnya.

LP Ma’arif mencapai puncak ketenarannya waktu Subcha ZE (w 1972) memimpin (Bruinesssen, 1999: 78). Subchan sebagai pemuda yang mencuat lewat aksi-aksi anti Komunis di era 1960-an, berhasil menjadi tokoh nasional pada usia 32 tahun (Aula. Juni 1991: 59-60). Ia membentuk komando aksi penggayangan Gestapu (KAP-Gestapu) (Bruinessen, 1999: 86). Dalam masanya LP Ma’arif merasa diuntungkan karena posisi Subchan yang dekat dengan berbagai kalangan di puncak pemerintahan waktu itu. Ia dekat dengan kalangan meliter, utamanya petingginya, A.H Nasution. Sikapnya yang luwes, gaya bicaranya yang mempesona dan kuatan argumentasinya yang jitu, Subchan telah membawa LP Ma’arif menjadi lebih dikenal di luar NU. Ia mendekatkan para fungsionaris LP Ma’arif pada realitas dan kondisi sosial yang berkembang saat itu. Rupanya ia berhasil mengatur kurikulum di lingkungan LP Ma’arif lebih integritas, yang lebih sesuai dengan hakikat ilmu dalam Islam (Daud, 2003: 163-188).

Cukup disayangkan, akibat konflik NU dengan rezim Soeharto di era 1970-an, akhirnya kondisi departemen Agama yang sejak masa kemerdekaan dipegang oleh Ulama NU, lepas dari genggamannya, yang pada masa terakhir itu dipimpin oleh K.H. Syaifuddin Zuhri (Bruenessen, 1999:80). Lepasnya departemen ini dari genggaman NU berimplikasi amat besar kepada institusi NU dan juga LP Ma’arif itu sendiri. Maka bulan madu antara NU, sebagai atasan LP Ma’arif, dengan pemerintah cq. Departemen Agama, akhirnya buyar sama sekali. Kebijakan pemerintah yang berpihak pada NU sebelum departemen ini jatuh pada kaum Muslim modernis, akhirnya putus. Nuansa ke-NU-an yang sangat kental pada era Orde Lama (ORLA) yang diterapkan pada madrasah atau sekolah yang dikelola oleh departemen Agama dan madrasah-madrasah swasta, oleh Ahmad Mukti Ali, pengganti K.H. Syaifuddin Zuhri, dihilangkan sama sekali. NU dan LP Ma’arifnya termarginalkan. Lembaga-lembaga pendidikan dibawah NU memperoleh perlakuan diskriminatif. Kesan ini sepertinya terus-menerus berlangsung sepanjang rezim Orde Baru (ORBA)  berkuasa (Feillard, 1999:304). Baru kemudian kesan itu hilang setelah reformasi bergulir 21 Mei 1998.

Akibat dari perlakuan diskriminatif ini sekolah-sekolah menyembunyikan keterkaitan mereka dengan NU. Saat itu, tidak lagi terdengar istilah madrasah ibtida’iyah NU (MINU), sekolah dasar NU (SDNU), madrasah tsanawiyah NU (MTSNU), sekolah menengah NU (SMPNU/SMANU). Mereka menggunakan nama-nama yang kurang mencolok, seperti sekolah “Wahid Hasyim”, nama mantan menteri Agama. Dengan alasan yang sama, pada tahun 1972, Universitas NU di Malang diberi nama Universitas Sunan Giri, nama salah seorang walisanga (Feillard, 1999:304).

Pengelolaan yang tidak baik dan pemusatan konsentrasi pada aktifitas politik juga menjadi penyebab lambannya sistem pendidikan NU. LP Ma’arif sebagai divisi pendidikan NU sejak

Page 32: KH.wahid Hasyim

awal tahun 1970-an sudah mengkhawatirkan penyusutan anggotanya. Pada masa itu, 30% sekolah telah menarik diri dari LP Ma’arif.

Pada tahun 1984, dalam upayanya untuk mendapatkan kembali sekolah yang hilang atau bersembunyi dibalik nama pinjaman, LP Ma’arif mengeluarkan peraturan baru yang meminta sekolah-sekolah yang sealiran dengan NU agar dengan jelas menyatakan identitas dan kembali mendaftarkan diri ke LP Ma’arif. Permintaan ini hingga tahun 1987, tidak begitu membuahkan hasil, dan ini membawa akibat yang sangat buruk bagi usaha mendapatkan dana yang diperlukan untuk mengurusi sekolah-sekolah NU. Namun pada tahun 1991, beberapa pengurus pendidikan di daerah melihat madrasah-madrasah mulai mendaftarkan diri ke LP Ma’arif dan nama NU mulai muncul kembali di papan nama yang dipasang di depan sekolah masing-masing (Feillard, 1999:305). Pada era itu pula, sekolah-sekolah di bawah NU kembali dilirik masyarakat muslim dan siswa yang masukpun mengalami kenaikan cukup baik. Demikian pula perguruan tinggi dibawah NU bertambah banyak dibangun. Di Malang ada Universitas Islam Malang (Unisma), di Bandung ada Universitas Islam Bandung (Unisba), di Jember ada Universitas Islam Jember (UIJ), dan di Madura ada Universitas Islam Madura (UIM). Semua ini menandakan perkembangan yang semakin baik dalam LP Ma’arif hingga masa reformasi ini.

Memperhatikan sejarah perkembangan LP Ma’arif NU yang penulis bahas di atas, dari tahun ke tahun NU berusaha semaksimal mungkin untuk mencerdaskan anak bangsa, utamanya anak-anak generasi Islam di Indonesia ini. Berbagai wadah pendidikan dari tingkat dasar sampai pada tingkat tertinggi, telah NU hadirkan di tengah-tengah umat dengan LP Ma’arifnya.

1. PROGRAM LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA

Sebuah program yang dicanangkan oleh organisasi, apapun bentuk organisasi itu mempunyai tempat yang signifikan. Sebab program, sebagaimana didefinisikan dalam KBBI, adalah rancangan mengenai asas-asas serta usaha-usaha yang akan dijalankan oleh sebuah badan atau organisasi (KBBI, 1999:789).

Sebagai sebuah badan atau organisasi yang baik LP Ma’arif  membuat program-program yang biasa digodok dalam lima tahun sekali dalam setiap muktamar yang dilaksanakan oleh organisasi induknya, NU.

Adapun program-program tersebut dapat penulis jabarkan sebagai berikut:

1. Program Jangka Panjang

Program di atas dievaluasi setiap lima tahun sekali yaitu waktu NU mengadakan Muktamar. Sebab LP Ma’arif bukan organisasi otonom NU yang mempunyai Anggaran Dasar atau Anggaran Ruma Tangga (AD/ART), seperti misalnya Muslimat NU, IPNU, IPPNU, GP Ansor. Maka LP Ma’arif dalam mewujudkan program-programnya tetap berpatokan kepada AD/ART NU dan kebijakan-kebijakan NU lainnya (Ensiklopedi Islam III, 2001: 348-352).

Pola pengembangan NU yang sekaligus diadopsi sebagai program LP Ma’arif jangka panjang adalah: tujan, landasan, dasar pengembangan dan program umum.

Page 33: KH.wahid Hasyim

a.  Tujuan

Makna dan tujuan pendidikan adalah  dua unsur yang saling berkaitan. Adanya perbedaan konseptual dan penjelasan kedua unsur ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam memahami substansi, peranan dan tujuan hidup manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kita menjumpai perbedaan pendapat dikalangan ahli pendidikan, terutama di Barat mengenai tujuan dan kurikulum pendidikan (Daud, 2003:163).

Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan. Pertama, berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik. Kedua, berorientasi pada individu, yang lebih terfokus pada kebutuhan, daya tampung dan minat  pelajar (Daud, 2003:163). Maka jika penulis memperhatikan eksistensi LP Ma’arif dapat diduga dengan jelas bahwa tujuannya mempunyai kecenderungan kepada poin pertama, yaitu berorientasi kepada masyarakat Muslim Indonesia demi mewujudkan cit-cita NU dalam bidang pendidikan dan pengajaran (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346).

b. Landasan

Adapun landasan LP Ma’arif menggunakan landasan NU sebagai lembaga, yaitu berlandaskan pada syari’at Islam yang berhaluan Ahlussunnah waljama’ah (Aswaja), pancasila,  Undang-undang dasar 1945 dan peraturan organisasi (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346).

c. Dasar Pengembangan

Dasar pengemabangan LP Ma’arif meliputi segi rohani  yaitu sikap dan tawadhu’ (rendah hati), tawasut (sederhana, pertengahan), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang), istiqamah (teguh pendirian) dan amar ma’ruf nahi mungkar (melaksanakan yang baik dan mencegah kemungkaran) (Aula,Maret 1996:74). Segi jasmani, yaitu sikap kepeloporan, kebersamaan, penyesuaian diri terhadap tuntutan zaman, kesinambungan dan kemandirian (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346).

d.  Program Umum

Program jangka panjang LP Ma’arif bersifat umum, meliputi dua macam, yaitu bidang pendidikan/pengajara dan bidang kebudayaan. Dalam bidang pendidikan membantu LP Ma’arif di wilayah atau cabang untuk mendirikan yayasan (Aula, November 2001; 42). Membantu pendanaan dalam rangka membangun gedung dan fasilitas lainnya, memberikan pemikiran kepada lembaga non formal, seperti pondok pesantren agar tanggap pada tuntutan zaman dan untuk memakai kurikulum Aswaja. Dalam kebudayaan, LP Ma’arif mencanangkan program ke wilayah atau cabang agar senantiasa memberikan fasilitas kepada yayasan pendidikan Ma’arif (YPM) setempat yang berupa penyediaan bahan pustaka, pameran-pameran kesenian, kunjungan kerohanian pada makam atau peninggalan para wali  (Aula, November 2001: 45) dan mengadakan perlombaan-perlombaan baik pidato bahasa Arab atau bahasa Inggris, diskusi dan lomba-lomba yang lainnya.

Page 34: KH.wahid Hasyim

1. Program Jangka Menengah

Program LP Ma’arif dibawah  lima tahun disebut program jangka menengah. Program ini dicanangkan dalam jangka waktu 2-3 tahun. Pada program ini LP Ma’arif pusat  mengarahkan kebijaksanaannya kepada LP Ma’arif  wilayah dimana LP Ma’arif wilayah tetap menyatu kepada NU wilayah setempat. Karena NU wilayah menjadikan musyawarah sepanjang waktu 3 tahun sekali, maka LP Ma’arif wilayah juga menyamakan segala program dengan musyawarah wilayah NU tersebut. Adapun program jangka menengah LP Ma’arif, sebenarnya implementasi dan penjabaran dari program jangka panjang (PJP) yang dicanangkan oleh LP Ma’arif pusat. Akan tetapi program ini disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing di seluruh Indonesia.

1. Program Jangka Pendek

Program LP ma’arif di bawah dua tahun disebut program jangka pendek. Durasi program ini antara satu sampai dua tahun. Program ini dilaksanakan pada setiap kegiatan taktis dan membutuhkan langkah dan gerak cepat. Sifat program ini juga mengacu kepada konferensi cabang (MUSCAB) yang dilaksanakan dua tahun sekali (Bruinessen, 1999: 302).

Melihat dari program yang penulis sebutkan di atas, nyata sekali bahwa sebenarnya NU dengan LP Ma’arifnya hendak membikin perencanaan yang memang betul-betul matang dan tidak sekedar asal-asalan. Kesimpulan ini penulis ambil berdasarkan kepada program yang berjenjang, yaitu dimulai pada skop makro, program dalam jangka lima tahun. Kemudian, disusul dengan program menengah dan program jangka pendek.

1. IMPLEMENTASI PROGRAM LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA.

LP Ma’arif dalam mengiplementasikan programnya, baik yang jangka panjang, menengah atau pun pendek, tidak menyimpang dari Pedoman Pokok NU. Pedoman Pokok ini meliputi:

1. Nilai Dasar Jamiah (NDJ), meliputi: 1. Beraqidah dengan berasasaskan kepada paham Aswaja.2. Meyakini bahwa Ulama adalah pewaris para Nabi.3. Memperjuangkan kejayaan Islam dan kaum Muslimin4. Bersyaria’ah dengan mengikuti empat madzhab (Thaha, 1994: 32).5. Pola Dasar Perjuangan (PDP), meliputi:

1. Wawasan keagamaan2. Kembali pada khittah 19263. Berkegiatan yang diarahkan kepada  masalah ‘ubudiyah (ibadah mahdah),

mubarrat (Sosial), dakwah, ma’arif (ilmu pengetahuan) dan muamalah (Alaena, 2000: 156).

4. Pola Pengembangan NU Jangka Panjang (PPNJP),

Bagian ini telah penulis singgung dengan luas di Program LP Ma’arif. Dalam pasal ini (Implementasi LP Ma’arif NU) penulis akan memfokuskan kepada bagaimana implementasi dari program-program tersebut (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346).

Page 35: KH.wahid Hasyim

Adapun implementasi program LP Ma’arif NU dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Implementasi Program Jangka Panjang

Dalam mewujudkan program jangka panjangnya,  LP Ma’arif tetap berpatokan kepada instruksi dari Pengurus Besar (PB) NU sebagai pengurus pusat yang berwenang membuat program-program pada lembaga-lembaga di bawah NU. Instruksi ini pasti bersifat mengikat dan tidak boleh tidak harus dijalankan (http://www.pb-nu.com.id.)

Implementasi program jangka panjang ini secara rutin dilaksankan meliputi:

1). Tujuan

Dalam masalah tujuan yang dimaksud adalah mewujudkan cita-cita NU dalam bidang pendidikan dan Pengajaran (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346). Tujuan ini diimplementasikan dalam bentuk rumusan kebijakan dari  PB NU, dan dalam bentuk yang umum pula, tujuan LP Ma’arif secara umum adalah untuk membina Muslim yang bertakwa, berbudi luhur berpengetahuan luas dan terampil, berkepribadian serta berguna bagi Agama, bangsa, dan Negara (Thoha, 1999: 31-32).

2). Landasan

Landasan LP Ma’arif diimplementasikan dalam bentuk rumusan yang dituangkan dalam AD/ART NU Bab II Pasal 3 (Thoha, 1994: 30). Oleh karena itu, program ini sebagaimana dalam pasal tersebut mengharuskan LP Ma’arif menyusunnya dalam kurikulum nasional tahun 1982, LP Ma’arif Pusat Jakarta, SK NO. TP/010/1-A/VIII/1982. Kurikulum ini diberi nama: Pendidikan Ke-NU-an, yang di dalamnya berisi ajaran Aswaja dengan komplit dan komprehensif (Thoha, 1994: ii). Disamping itu pula, landasan LP Ma’arif sebagai konsekuensi dari lembaga yang berada dalam Negara Kesatuan RI, yaitu Pancasila sebagai asas dalam bernegara, UUD 1945 sebagai sumber perundang-undangan atau hukum positif Negara dan peraturan-peraturan organisasi (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346).

3). Dasar Pengembangan

Implementasi LP Ma’arif dalam dasar pengembangan yang bersifat jangka panjang ini meliputi dua segi, yaitu:

a). Segi Rohani

Segi ini diimplementasikan dengan dimasukkannya nilai-nilai seperti, sikap dan tawadhu’ (rendah hati), tawasut (sederhana, pertengahan), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang), istiqamah (teguh pendirian) dan amar ma’ruf nahi mungkar (melaksanakan yang baik dan mencegah kemungkaran) (Aula, Maret 1996: 74 ) dalam kurikulum Aswaja.

b). Segi Jasmani

Page 36: KH.wahid Hasyim

Segi ini diimplementasikan dalam bentuk pelatihan fisik, seperti Pramuka, PMR, Pecinta Alam (PA), Resimen Mahasiswa (MENWA) Pagar Nusa dan bentuk-bentuk kepeloporan lainnya. Oleh LP Ma’arif, segi jasmani ini dimasukkan ke dalam ekstra kurikuler (Ensiklopedi Islam, 2001: 346).

4). Program Umum.

Implementasi Program Dasar Pengembangan LP Ma’arif yang bersifat jangka panjang ada dua macam:

a). Bidang Pendidikan dan Pengajaran

Pengimplementasian dalam bidang pendidikan adalah mengusahakan pembukaan system pendidikan di tempat wilayah dan cabang, sekaligus memberikan naungan hukum berupa yayasan pada satuan pendidikan tersebut, seperti Yayasan Pendidikan Ma’arif (YPM) Taman Sepanjang Sidoarjo yang didirikan 1 Agustus 1979, dapat menaungi satuan pendidikan yang tersebar diberbagai wilayah yang berada dalam jalur departeman Pendidikan Nasional atau pun yang berada dalam naungan departemen Agama (Aula, Nop. 1991: 42-43).

b). Bidang Kebudayaan

LP Ma’arif dalam bidang ini telah merealisasikan program yang bersifat jangka panjang. Implementasinya diserahkan kepada LP Ma’arif cabang. Maka muncullah berbagai moment yang bersifat mengembangkan budaya Islam, seperti di Madura diadakan lomba kesenian Islam Hadrah se-Madura 1996,1997, 1998, 1999, 2000 yang di khususkan  pada siswa tingkat SMA/Aliyah dan para santri yang sederajat. Lomba ini telah mengorbitkan nama Khairunnas dan Musthofa. Kedua nama ini kemudian menjadi icon akan kesenian Hadrah hingga ketanah Jawa. Kemudian di Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang dan Probolinggo terkenal kesenian Hadrah Al-jiduri yang asalnya dari Madura. Sayang, lomba seperti itu sejak tahun 2001 sampai saat ini, tidak muncul lagi, hingga kemudian membuat nama di atas hijrah dari seni hadrah. Khairunnas aktif di Gambus, sedangkan Musthafa menjadi vocal andalan kelompok Musik Al-Balazik dari Jember.

Demikian pula dalam masalah kebudayaan yang lain, LP Ma’arif  cabang menginstruksikan pada satuan pendidikan agar membiasakan siswanya berziarah pada makam para wali. Intruksi ini sangat dipatuhi oleh YPM Taman Sepanjang Sidoardjo (Aula, Nopember 2001: 44). Dalam pengembangan kebudayaan juga, LP Ma’arif senantiasa memberi sumbangan baik berupa buku-buku, kitab-kitab ataupun alat perlengkapan sekolah lainnya (Aula, Nopember 2001: 45).

b.  Implementasi Program Jangka Menengah

Program jangka menengah diimplementasikan dalam wujud dan durasi 2 sampai 3 tahun. Pola ini mengikuti musyawarah wilayah (MUSWIL) pada setiap wilayah provinsi masing-masing yang dilakukan dalam 3 tahun sekali.

Page 37: KH.wahid Hasyim

Sebagaimana penulis telah menyinggung dalam pembahasan Program Jangka Pendek (PJP), bahwa program ini merupakan hasil limpahan dari LP Ma’arif pusat kepada LP Ma’arif wilayah. Oleh karena itu wewenang  terbesar akan segala kebijakan LP Ma’arif, wilayah yang bersangkutan yang menentukan (http://www.pb-nu.id.com)

LP Ma’arif wilayah mengimplementasikan program ini dalam bentuk:

1. Pengangkatan dewan guru dan karyawan di lingkungan Yayasan Pendidikan Ma’arif. Pola ini biasanya juga dapat penulis lihat dalam sistem pengangkatan tenaga edukatif di ponpes Annuqayah yang durasinya dua tahun. Jika dalam masa itu yang bersangkutan dinilai mempunyai kinerja baik, maka akan diperpanjang selama beberapa tahun lagi dan seterusnya (Aula, Nop. 2001: 43).

2. Pergantian kepengurusan dalam tingkat jajaran LP Ma’arif. Hal ini disesuaikan dengan masa jabatan di lingkungan NU wilayah setempat yang masanya hanya tiga tahun. LP Ma’arif dalam masa itu memilih ketua, wakil, sekretaris dan bendahara, juga seksi-seksi sebagai pelaksana lapangan Dewan Pengurus.

c.  Implementasi Program Jangka Pendek

Adapun program ini berdurasi sepanjang satu sampai dua tahun kepengurusan di tingkat cabang. Pola ini mengikuti musayawarah cabang NU (MUSCAB) pada tingkat kabupaten seluruh Indonesia, yang dilaksanakan dalam jangka waktu dua tahun. Wewenang dan kebijakan diturunkan lagi yaitu ada di LP Ma’arif tingkat cabang sebagai ujung tombak oprasional kegiatan Ma’arif , pusat dan wilayah adalah sebagai perancang kebijakan. Sedangkan tingkat cabang adalah pelaksanaan di lapangan (http://www.pb-nu.id.com.)

Pengimplementasiannya dalam program jangka pendek antara  lain:

1. Pada kegiatan belajar mengajar (KBM) yaitu: 1. Evaluasi Tahap Akhir (EBTA/EBTANAS/UN)

b.   Pengadaan bimbingan belajar (bimbel)

c.  Mendirikan gedung baru di lingkungan YPM setempat dan pemeliharaannya (http://www.pb-nu.id.com.)

1. Pada kegiatan hari-hari besar Islam yang meliputi: 1. Mengadakan Kegiatan Hari-Hari Besar Islam (KHI)2. mengundang para Da’i NU di acara Maulid, Isra’ mi’raj dan lain-lain3. Takbir keliling oleh para siswa dalam satuan Pendidikan Ma’arif (Aula,

Nopember, 2001:46).

Jelas sekali bagi penulis bahwa implementasi program LP Ma’arif NU sudah mencapai kepada sasaran yang diinginkan, yaitu telah menyentuh pada penataan organisasi yang baik dan penanaman  akan nilai-nilai yang hendak NU wariskan kepada generasi Islam; nilai keislaman yang berhaluan aswaja.

Page 38: KH.wahid Hasyim

Tetapi juga penulis sadari, bahwa kesemua program itu kadang masih vakum; di lapangan kadang tidak berjalan sebagai mana mestinya, yang menurut penulis, hal seperti itu sudah lumrah terjadi atas organisasi sosial berbasis keislaman.

Dan apabila berjalan sesuai program, masih kurang memuaskan. Terkesan, implementasinya dikerjakan asal jadi. Contohnya, seperti kerja sama antara LP ma’rif dengan Jami’atul Qura’ wal Hufadh, atau kerja sama LP Ma’arif dengan Jami’atul Hadrah, semua kurang terkoordinasi dengan baik.

Disamping itu, LP ma’arif NU Pusat juga terasa kurang maksimal membina LP Ma’arif NU Wilayah atau cabang. Akibatnya, LP Ma’arif antar Cabang berjalan sendiri-sendiri, tidak merata sebagai mana misalnya lembaga pendidikan milik Muhammadiyah, yang telah merata di seantero nusantara. Mungkin ini kelemahan yang seharusnya cepat dapat di atasi.

—-@@—-

BAB III

FAKTOR PENDORONG DAN FAKTOR

PENGHAMBAT LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA.

Dalam sebuah perkembangan yang wajar, setiap sesuatu pasti ada semacam faktor yang mendorongnya untuk didirikan. Hal demikian juga terjadi pada setiap organisasi atau lembaga. Mereka mendirikan organisasi atau lembaga tersebut karena terlingkupi beberapa faktor, baik ia berasal dari faktor intern kelompok, atau pun berasal dari faktor ekstern kelompok. Kesemua faktor itu adakalanya bersifat positif, yang biasanya pendorong mengapa lembaga atau organisasi itu didirikan, ada juga yang bersifat negatif, yang biasanya sebagai penghambat dari organisasi atau lembaga itu.

LP Ma’arif NU, sebagai organisasi atau lembaga yang secara empiris berada dalam naungan NU, juga terkena dampak hukum pemfaktoran di atas. Setidaknya. LP Ma’arif didirikan karena adanya faktor pendorong dan juga faktor penghambat. Faktor pendorong adalah sebuah kondisi yang melatari mengapa LP Ma’arif didirikan. Sedangkan faktor penghambat adalah kondisi lapangan dimana LP Ma’rif berada dan berkembang dalam upaya membentuk lembaga pendidikan yang bermutu.

1. FAKTOR PENDORONG

Sebelum penulis menjabarkan lebih lanjut, ada baiknya jika penulis membahas dulu apa yang dinamakan faktor pendorong. Dalam kajian ini, yang dimaksud faktor pendorong adalah setiap kejadian yang berlandaskan sejarah di mana adanya telah mendorong LP Ma’arif NU didirikan. Kondisi tersebut dapat barlangsung sebelum adanya LP Ma’arif, atau sejak lembaga ini didirikan sampai pada kondisi perjalannya ke depan.

Maka daripada itu, di bawah ini adalah uraian tentang kondisi pendorong terebut.

Page 39: KH.wahid Hasyim

1. Kondisi Riil Umat Islam.

Menjelang di penghujung akhir abad XIX dan awal abad XX kondisi general umat Islam sangat memperihatinkan (Suryanegara, 1996: 72  ). Dalam setiap sisi kehidupannya, umat Islam tertinggal jauh dibelang umat yang lain, atau tepatnya, tertinggal dari orang-orang Barat (Ar-Rais, 1982: 203  ). Misalnya saja, pada tatanan politik; umat Islam dalam kondisi terjajah. Dalam segi ekonomi pun, umat Islam tertindas. Bahkan sumber daya alamnya oleh para penjajah dirampas sepuas-puasnya kemudian mereka angkut ke Negara asal mereka di Eropa. Kemudian dari segi pendidikan, umat Islam diperbodoh secara sistematis sehingga hampir-hampir tidak ada peluang untuk menuntut pendidikan yang layak. Maka wajar jika pada masa-masa itu umat Islam terpinggirkan dari kehidupan yang menuntut penguasaan ilmu yang bagus, seperti dalam pemerintahan, dalam penelitian, dalam keguruan dan lain sebagainya.

Muara dari semua yang penulis ungkap di atas adalah sebuah kisah sedih yang sangat menyayat kalbu. Karena semua itu baru saja terjadi dalam diri bangsa kita, tidak lebih dari satu atau dua generasi sebelum kita; ayah, kakek, nenek dan buyut kita terbodohkan secara sistematis oleh penjajah tersebut (Ricklesf, 1998: 324 ). Apalagi ternyata kesemuanya itu menimpa umat Islam yang rata-rata kaum trasionalis, di mana nantinya adalah anggota tersebar NU yang berada di desa-desa dan tersebar di Nusantara ini.

1. Kondisi Riil Dalam Pendidikan

Tantangan terbesar NU sejak ia didirikan adalah kondisi pendidikan umat Islam kaum tradisionalis. Umat ini dengan sengaja dan sistematis memang diperbodoh oleh penjajah Belanda, di mana tujuan akhirnya adalah menjadi budak-budak kolonial tersebut. Contoh yang dapat penulis baca dalam lembaran sejarah adalah tenaga-tenaga yang dibutuhkan oleh Belanda dalam mendukung kekuasaan penjajahannya; umat Islam yang diperbodoh itu ada yang menjadi buruh dengan bayaran murah atau bahkan tidak pernah dibayar (Suryanegara, 1998: 178-10)

Mereka dipekerjakan di pabrik-pabrik penggilingan gula, menjadi pemetik teh, menjadi perambas tebu, menjadi penyadap getah karet. Bahkan nasib yang amat memilukan adalah para budak yang dipekerjakan dalam merambah jalan pantai utara (pantura) tanah Jawa dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Situbondo) yang membutuhkan masa lebih 20 tahun dan korban yang mati kelaparan mencapai lebih dari 25 ribu jiwa (Ricklesf, 1998: 231 ). Semua  pekerja, atau paling tidak mayoritas, yang telibat dalam proyek ‘raksasa’ itu adalah umat Islam pedesaan yang bodoh di atas.

Sampai menjelang pendirian NU tahun 1926, kondisi pendidikan umat Islam di atas tidak beranjak dari keperihatinan. Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 hanya terfokus pada soal pendidikan umat Islam yang berkutat diperkotaan saja. SI yang juga didirikan pada tahun itu pula, hanya terfokus pada kondisi perpolitikan umat Islam. Persatuan Islam (Persis) yang berdiri tahun 1914 mempunyai sasaran muslim perkotaan sama misalnya al-Irsyad (1924) yang sasarannya hanya kaum arab yang tinggal di kota-kota besar (I. Djumhur, 1972: 47). Jadi siapa yang dapat mengentas kebodohan para Muslim pedesaan yang tempat tinggalnya jauh dari hingar-bingar keramaian itu? NU-lah yang menjawab tantangan tersebut dengan mendirikan LP Ma’arif pada tahun 1938.

Page 40: KH.wahid Hasyim

1. Kondisi Riil Dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) adalah simetris daripada pendidikan. Keduanya, ibarat dua sisi mata uang, tidak dapat diceraikan. Bila kondisi pendidikan umat Islam baik, maka kondisi IPTEK pun sudah dipastikan akan baik pula.

Hal demikian telah penulis saksikan dalam catatan sejarah umat Islam. Tatkala kekhalifahan Islam Abbasiyah mencapai kejayaanya pada masa Harun al-Rasyid, ternyata masa sebelum kejayaan itu tercapai, yaitu pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M) (Darsono dan Ibrahim, 2005: 29), kekhalifahan ini telah menanamkan pijakan dasarnya, yaitu pendidikan yang tangguh. Jauh sebelum al-Rasyid menduduki singgasananya, kakek beliau ini, telah membangun Baitul Hikmah dan perpustakaan terlengkap dan kota terbesar di dunia ketika itu yang bernama Baghdad. Jadilah Baitul Hikmah tempat berkumpulnya para mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru untuk berguru kepada para guru besar dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan (Madjid, 2000: 528-529)

Ternyata, umat Islam mencapai kejayaannya waktu itu setelah umat Islam masih memadukan ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Bahkan hakikatnya, ilmu-ilmu itu semua bersumber dari Allah SWT. Dan secara global tercantum di dalam al-Qur’an (al-Jumbulati dan at-Tuwaanisi, 2002: 66-7).

Sementara itu, di bumi belahan barat, yaitu Eropa pada abad-abad  tersebut masih diselimuti kegelapan. Ilmu pengetahuan dan teknologi kenbali mati. Para ilmuwan banyak yang disiksa di luar batas kemanusiaan oleh Gereja karena pendapat mereka sangat bertentangan dengan doktrin Gereja. Sampai akhirnya, tibalah masa Renaissance (zaman pencerahan) (jameelah, ttp: 26). Para ilmuwan bangkit dan kembali menghidupkan lembaga pendidikan yang independen yang sama sekali lepas dari unsur Gereja. Mereka dapat mengalahkan dominasi Gereja sehingga Gereja tidak mempunyai peranan signifikan lagi. Setelah para ilmuwan itu dapat melumatkan Gereja, ilmu pengetahuan di Eropa kembali berkibar dengan sempurna. Berbagai tingkat pendidikan pun berluber di seantero jagat Eropa. Celakanya, para ilmuwan itu kemudian tidak lagi percaya pada institusi Gereja. Malah, mereka menjauhkan diri darinya. Hingga kemudian, timbullah apa yang dinamakan sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan dunia (KBBI, 1999: 675).

Paham sekuler tersebut berimbas ke Indonesia melalui kaki tangan penjajah Belanda yang kemudian ikut meluber pada tatanan IPTEK. IPTEK tersekulerkan dengan sempurna karena institusi pendidikan pada zaman Belanda adalah sepenuhnya di bawah kontrol penjajah sehingga ajaran agama tidak pernah mewarnai  dalam masalah IPTEK. Seakan-akan IPTEK bukan bersumber dari Islam. Padahal agama hanif ini dalam berbagai ayatnya telah memberikan rambu-rambu bahwa IPTEK harus juga dikuasai olah umat Islam. Sebagai mana isyarat berikut ini:

È@è% (#rãÝàR$# #sŒ$tB ’Îû ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur 4 $tBur ÓÍ_øóè? àM»tƒFy$# â‘ä‹–Y9$#ur `tã 7Qöqs% žw tbqãZÏB÷sムÇÊÉÊÈ

Artinya: Katakanlah: “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”. (Yunus: 101) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Page 41: KH.wahid Hasyim

Demikian pula dalam surat berikut ini:

’n?»yètGsù ª!$# à7Î=yJø9$# ‘,ysø9$# 3 Ÿwur ö@yf÷ès? Èb#uäöà)ø9$$Î/ `ÏB È@ö6s% br& #Ó|Óø)ムšø‹s9Î) ¼çmã‹ômur ( @è%ur Éb>§‘ ’ÎT÷ŠÎ— $VJù=Ïã ÇÊÊÍÈ

Artinya: Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu,dan Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”(Thaha: 114) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Adapun dalam ayat dibawah ini Allah SWT berfirman:

óOn=sùr& (#rçŽÅ¡o„ ’Îû ÇÚö‘F{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o„ $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù Ÿw ‘yJ÷ès? ã»|Áö/F{$# `Å3»s9ur ‘yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# ’Îû Í‘r߉Á9$# ÇÍÏÈ

Artinya: Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (al-Hajj: 46) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Berikut juga firman-Nya:

öÝàR$$sù #’n<Î) Ì»rO#uä ÏMuH÷qu‘ «!$# y#ø‹Ÿ2 Ç‘øtä† uÚö‘F{$# y‰÷èt/ !$pkÌEöqtB 4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ Ç‘ósßJs9 4’tAöqyJø9$# ( uqèdur 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« փωs% ÇÎÉÈ

Artinya: Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (ar-Rum: 50) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Ada pun firman Allah SWT berikut ini juga membahas tentang IPTEK, yaitu:

“Ï%©!$# t,n=y{ yìö7y™ ;Nºuq»yJy™ $[%$t7ÏÛ ( $¨B 3“ts? †Îû È,ù=yz Ç`»uH÷q§9$# � �`ÏB ;Nâq»xÿs? ( ÆìÅ_ö‘$$sù u|Çt7ø9$# ö@yd 3“ts? `ÏB 9‘qäÜèù ÇÌÈ §NèO ÆìÅ_ö‘$# u|� � �Çt7ø9$# Èû÷üs?§x. ó=Î=s)Ztƒ y7ø‹s9Î) ç|Çt7ø9$# $Y¥Å™%s{ uqèdur ×Å¡ym ÇÍÈ� � ��    ô‰s)s9ur $¨Zƒy— uä!$yJ¡¡9$# $u‹÷R‘‰9$# yxŠÎ6»|ÁyJÎ/ $yg»oYù=yèy_ur $YBqã_â‘ ÈûüÏÜ»u‹¤±=Ïj9 ( $tRô‰tGôãr&ur öNçlm; z>#x‹tã ÎŽÏè¡¡9$# ÇÎÈ

Artinya: 3. yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang?

4. kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah.

Page 42: KH.wahid Hasyim

5. Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. (al-Mulk: 3-5) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Juga firman-Nya :

ù&tø%$# ÉOó™$$Î/ y7În/u‘ “Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ�    t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/u‘ur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   “Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ

Artinya: 1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,

2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,

4. yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (al-Falaq: 1-5) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Allah SWT dan Hadis Nabi SAW menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika Islam memang telah mangajarkan sedemikian jauh atas semua sisi kehidupan manusia, sampai pula masalah IPTEK dalam cakupan ajaran Islam, maka paham sekuler tersebut tidak mampunyai tempat di dalam agama ini.

Akan tetapi, sungguh ironis, umat Islam pada masa awal LP Ma’arif didirikan sangat jauh tertinggal dalam masalah IPTEK. Malah pada suatu kejadian, ada sebagian ulama pada masa itu yang mengharamkan pelajaran umum masuk di lembaga pondok pesantrennya. Bahkan dalam masalah berpakaian, yang tentu ini mubah, mereka juga mengharamkan pakaian seperti model pakaian Barat; jas, dasi, sepatu, celana dan lainnya. Gejala seperti itu di zaman kita masih cukup terasa walau tidak seheboh tempo dulu. Utamanya pada sebagian ponpes yang mengusung nama salaf (Sumber: Pengamatan Penulis terhadap Ponpes Karay, Ganding dan ponpes Kelaba’an, Guluk-Guluk, Sumenep, 2007).

Hal demikian itu adalah pendorong utama akan berdirinya LP Ma’arif NU.

1. Kondisi Riil Dalam Politik Ekonomi Sosial dan Budaya.

Dalam pandangan agama Islam, masalah politik tidak dapat dilepaskan dari dimensi kehidupan yang lain. Politik harus mengintegrasi dalam pengaturan ketatanegaraan. Maka, urusan politik adalah urusan agama Islam pula.

Dalam sabdanya Rasulullah SAW mengatakan :

Page 43: KH.wahid Hasyim

عنه رجل فا ن سلطا ليسفيه ببلدو ) ادانزلت عليه ( متفق

Artinya : Jika engkau berada disuatu negeri yang tidak ada kepala negaranya maka tinggalkanlah negeri itu (HR. Muttafaq alaih) (Junaidi, 2003: 41)

Juga sabdanya :

( ري ( البخا رواه وجال عليكم فاءمرف ثالثة اداكنتم

Artinya : Jika kalian bertiga, maka hendaklah seseorang diatara kalian menjadi pemimpin (HR. Bukhari). (Junaidi, 2003: 42).

Berkaitan dengan dua hadits diatas, imam al-Ghazali berkata : syariat itu pondasi dan raja itu penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan hancur dan sesuatu yang tidak ada penjaganya niscaya akan musnah (Junaidi, 2003: 54)

Semua hal diatas merupakan penjabaran dari firman Allah sebagai berikut :

Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAt“Rr& ª!$# Ÿwur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdö‘x‹÷n$#ur br& š‚qãZÏFøÿtƒ .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAt“Rr& ª!$# y7ø‹s9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ߉ƒÌムª!$# br& Nåkz:ÅÁムÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRèŒ 3 ¨bÎ)ur #ZŽÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ

Artinya: dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik (al Maidah: 49) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Sistem kenegaraan dalam Islam tegak di atas kaidah-kaidah yang sudah sempurna dan baku. Kaidah-kaidah itu merupakan kerangka pokok bagi sistem pemerintahan Islam. Menurut Hasan Al-Banna (dalam Junaidi, 2003), sistem pemerinthan Islam tegak diatas tiga pilar, yaitu pertama tanggung jawab pemerintah, kedua kesatuan masyarakat dan ketiga sikap menghargai aspirasi rakyat. (Junaidi, 2003: 54).

Nilai adi-luhung ajaran Islam sebagaimana penulis gambarkan di atas ternyata tidak bertahan dipanggung sejarah dunia. Tahun 1924 adalah hari terakhir sistem pemerintahan Islam lenyap dari muka bumi setelah khilafah Utsmaniyah Turki digulingkan oleh Mustafa Kamal Fasha. Habislah sistem pemerintahan Islam setelah lebih dari 1300 tahun bertahan dari gempuran konspirasi jahat orang-orang yahudi dan nasrani. Maka nyatalah firman Allah SWT berikut ini.

Page 44: KH.wahid Hasyim

`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã ߊqåkuŽø9$# Ÿwur 3“t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3 @è% žcÎ) “y‰èd «!$# uqèd 3“y‰çlù;$# 3 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& y‰÷èt/ “Ï%©!$# x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$#   $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <c’Í<ur Ÿwur AŽÅÁtR ÇÊËÉÈ

Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (al-Baqarah: 120) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Saat ini, bila kita berbicara masalah politik, maka dalam pikiran kita akan muncul suatu pandangan yang negatif. Politik diidentikkan dengan kekerasan, bualan, cacian, omong – kosong, intrik-intrik, tipuan dan berbagai label negatif lainnya. Hal ini tentunya, perpolitikan tersebut jauh dari ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin diatas.

Hilangnya kekhilafahan dari genggaman umat Islam, dan kemudian timbulnya paham sekulerisme, terus dilanjutkan pencaplokan penjajahan Belanda atas kekuasaan sultan-sultan di nusantara (al-Islam, edisi XVI/2007). Kemudian pembodohan umat Islam oleh penjajah. Semua itu adala faktor pendorong hadirnya LP Ma’arif NU.

Dalam pada itu, mengapa kondisi riil perpolitikan umat Islam jadi faktor adanya LP Ma’arif. Tiada lain, bila umat Islam tercerahkan dalam masalah politik yang diajarkannya melalui lembaga pendidikan, utamanya pendidikan tinggi yang berada dibawah naungan NU maka generasi muda Islam tradisional itu akan mempunyai kecerdasan dan pemahaman bahwa politik ternyata bagian dari agama Islam juga. Politik harus dikuasai dengan baik agar dalam masalah pemerintahan berjalan dengan baik dan  efektif.

Selain faktor politik sebagai pendorong LP Ma’arif, yang tidak dapat penulis kesampingkan adalah faktor ekonomi.

Faktor ekonomi sangat penting sebab diatur dalam Islam juga, sebagaiman firman Allah SWT:

ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«ó™ur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ

Artinya: bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu(An-Nisa’: 32) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#rä‹è{ ö/ä3tGt^ƒÎ— y‰ZÏã Èe@ä. 7‰Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uŽõ°$#ur Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä† tûüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÌÊÈ

Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

Page 45: KH.wahid Hasyim

orang yang berlebih-lebihan (Ali Imran: 31) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä ¨bÎ) #ZÏWŸ2 šÆÏiB Í‘$t6ômF{$# Èb$t7÷d”9$#ur �� �tbqè=ä.ù’u‹s9 tAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ šcr‘‰ÝÁtƒur `tã È@‹Î6y™ «!$# 3 šúïÏ%©!$#ur šcrã”É\õ3tƒ |=yd©%!$# spÒÏÿø9$#ur Ÿwur $pktXqà)ÏÿZム’Îû È@‹Î6y™ «!$# �Nèd÷Åe³t7sù A>#x‹yèÎ/ 5OŠÏ9r& ÇÌÍÈ�

Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (At-Taubah: 34) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4’n?tã ¾Ï&Î!qß™u‘ ô`ÏB È@÷dr& 3“tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqß™§=Ï9ur “Ï%Î!ur � �4’n1öà)ø9$# 4’yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@‹Î6¡¡9$# ö’s1 Ÿw tbqä3tƒ P’s!�rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur �öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ

Artinya: apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya (Al-Hasyr: 7) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Demikian pula sabda Nabi Muhammad SAW:

Artinya : hampir-hampir kefakiran itu menjerumuskan seseorang pada kekafiran

Demikian pula hadits dibawah ini :

شهيد فهو ماله دون مات ومن فهوشهيد عرضه دون مات من

Artinya : barang siapa yang mati dalam membela harga dirinya maka ia mati dalam keadaan syahid, dan barang siapa mati dalam membela hartanya, maka ia mati dalam keadaan syahid.

Menurut Kahruddin Yunus (1955:29-54) sistem ekonomi dalam Islam adalah paham pertengahan dari dua sistem ekonomi ekstrim saat ini, yaitu, Kapitalis dan Sosialis. Ekstrim kanan yang dipelopori oleh kapitalis mengatakan, bahwa Negara dilarang ikut campur tangan atas hak milik individu; individu harus dibiarkan berkreasi sepuas-puasnya tanpa batas dan tanpa aturan; hak pemilikan capital (kekayaan) adalah hak mutlak individu yang berlandaskan instinktif dan libido; kebebasan harus dibiarkan secara mutlak. Sedangkan ekstrim kiri yang dipelopori oleh

Page 46: KH.wahid Hasyim

sosialis mengatakan, hak kepunyaan individu harus dihapus; hak kepemilikan capital (kekayaan) adalah hak Negara; setiap individu dalam menikmati kekayaanya harus sama rasa dan sama rata.

Atas kedua sudut pandang yang sama-sama ekstrim itulah Islam menyodorkan jalan keluar melalui jalan seimbang, atau sebagaimana istilah Kahruddin, sebagai jalan tengah, yaitu jalan yang dipraktekkan Rasulullah SAW, para sahabat, kemudian diteruskan oleh para dinasti yang berkakhir pada dinasti Utsmani dan baru kemudian dicoba lagi oleh negara-negara yang menerapkan hukum Islam sebagai satu-satunya sumber hukum seperti mislanya; Iran, Arab Saudi, Pakistan, Sudan, Libia, dan negara-negara yang konsisten dengan hukum-hukum Islam sebagai satu-satuya asas negara.

Secara garis besar sistem ekonomi dalam Islam adalah: hak milik individu dikaui dan dilindungi; Negara memberikan kebebasan untuk memiliki kekayaan yang sebesar-besarnya, hanya saja jangan sampai lupa bahwa kekayaan itu ada hak milik fakir miskin yang harus dikeluarkan melalui zakat; tidak diperbolehkan adanya monopoli kekayaan yang berfungsi umum; Negara diperbolehkan mengekplorasi sumber daya alam, sekaligus harus melindungi keseimbangan lingkungan itu sendiri; sistem riba secara tegas dilarang karena akan mengeksploitasi harkat dan martabat manusia dan akan menimbulkan kemalasan untuk bekerja keras (Junaidi, 2003:61-62)

Awal abad 20 umat Islam Indonesia mengalami keterpurukan dalam masalah ekonomi. Keterpurukan tersebut disinyalir karena dampak dari ulah penjajah Belanda yang telah hadir sejak 1596 dibawah pimpinan Cornelis de Houtman ke Banten. Penjajah Belanda memperkuat diri membentuk kelompok dagang dengan nama Vereenegde Oost-Indsche Compagne (VOC) pada bulan maret 1602 (Riecklefs, 1998:39). Kemudian pada tahun 1808 resmilah Indonesia menjadi jajahan negeri kapir Belanda secara sempurna dan permanent. Awan gelap menggelantung di bumi pertiwi tercinta sejak saat itu, perekonomian bangsa Indonesia dikuras kemudian diboyong kenegeri jajahan. Semakin kayalah negeri Nederland, sementara negeri kita semakin hari semakin kurus kering, kelaparan terjadi dimana-mana, wabah sampar menjangkiti sebagian besar rakyat, dan bangsa ini diperbodoh secara sistematis.

Sadar akan hal itu, umat Islam bangkit berjuang untuk membebaskan negaranya agar merdeka dari tangan penjajah Belanda. Kemerdekaan itu sangat penting sebab darinya bangsa ini dapat berubah dan dapat mengatur dirinya sendiri dengan leluasa. Kemerdekaan itu juga akan dapat mengangkat ekonomi bangsa sehingga ia akan berwibawa dimata bangsa lain.

Faktor utama untuk memandirikan faktor ekonomi ini adalah melalui dunia pendidikan sebab pendidikan sangat berkaitan erat dengan kebangkitan ekonomi. Dengan kata lain, jika pendidikan dimandirikan dan dimajukan maka sektor ekonomi umat Islam akan ikut mandiri dan maju. Itulah pendorong para ulama NU untuk membina LP Ma’arif yang lebih bermutu dan mempuni.

Disamping faktor ekonomi, faktor berikutnya adalah pendorong LP Ma’arif NU mengejawantahkan programnya. Inilah faktor sosial budaya umat Islam Indonesia.

Sosial budaya menjadi penting, karena komponen ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Disamping itu, dalam kehidupan bermasyarakat, baik antara individu; individu dengan kelompok; kelompok dengan kelompok; atau individu dengan negara; kelompok dengan Negara;

Page 47: KH.wahid Hasyim

dan Negara dengan Negara, Islam telah memberi pengaturan dengan jelas (A.M. Junaidi,2003:64).

Dalam berinteraksi diatas, Islam tidak memandang segala perbedaan jenis kelamin atau pebedaan warna kulit serta perbedaan bangsa. Dari perbedaan keyakinan semuanya sama, sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi SAW :

Artinnya : sesungguhnya leluhurmu adala satu, adalah Adam. Karena itu manusia adalah satu dan sema. Tidak ada perbedaan antara orang arab dan bukan arab, antara berkulit merah dan berkulit hitam, kecuali kerena ketakwaanya. (H.R. Muttafaq Alaih)

Demikian pula dalam firman Allah SWT :

$pkš‰r’¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu‘$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& y‰YÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ

Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-Hujarat: 12) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Iw on#tø.Î) ’Îû ÈûïÏe$!$# ( ‰s% tû¨üt6¨? ߉ô©”9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ � � �ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ ωs)sù y7|¡ôJtGó™$# Íouróãèø9$$Î/ 4’s+øOâqø9$# Ÿw �tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ìì‹Ïÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ

Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui Al-Baqarah: 256) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ム’Îû ÈûïÏd‰9$# óOs9ur /ä.qã_Ìøƒä† `ÏiB öNä.Ì»tƒÏŠ br& óOèdr•Žy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ

Artinya :  Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil (Al-Mumtahanah: 7) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Sosial budaya yang sejak semula memang sangat dijunjung dan dihargai oleh Islam dan diatur agar tetap berlandaskan syariatnya, akan tetapi sejak keredupan melanda umat ini, kounter terhadap invasi budaya asing tidak dapat dibendung lagi. Sejak itu uma Islam terpuruk ke titik

Page 48: KH.wahid Hasyim

nadir paling bawah, umat Islam tidak mengkonsumsi budaya kecuali budaya Barat. Padahal Allah SWT sudah memperingatkan, sebagaimana firman-Nya :

tûïÏ%©!$#ur (#rãxÿx. tbqãèFyJtFtƒ tbqè=ä.ù’tƒur $yJx. ã@ä.ù’s? ãN»yè÷RF{$# â‘$¨Y9$#ur “Yq÷WtB öNçl°; ÇÊËÈ

Artinya: dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka Makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka (Muhammad: 12) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Urgensinya masalah sosial budaya, maka untuk melindungi atau memantau generasi Islam NU agar dalam segala hal ini tetap berdasarkan kepada ajaran Islam, diajarkanlah masalah tersebut dalam lembaga pendidikan Ma’arif dari berbagai tingkatan (Thoha, 1999: 4)

1. FAKTOR PENGHAMBAT

Penulis berkeyakinan, bila penulis uraikan batasan dari faktor penghambat akan bertambah fokuslah kajian ini. Yang penulis maksudkan apa yang dinamakan faktor penghambat adalah suatu vareabel yang akan membuat LP Ma’rif NU akan mengalami ketersendatan di dalam laju keorganisasiannya.

Bila demikian halnya, maka kosentrasi kajian di dalam pasal ini adalah semata-mata bahasan yang berisi kajian mendalam dan menyeluruh atas faktor-faktor penghambat itu. Kemudian penulis mengkonfrontasikannya dengan perjalanan LP Ma’arif NU. Bila ada sesuatu yang perlu penulis kritisi dan kritik maka dengan sewajarnya penulis akan melakukan hal itu demi juga ikut membantu memperbaiki LP Ma’arif NU dari segi pemikiran.

Faktor-faktor penghambat itu dapat penulis petakan sebagai berikut:

1. Kondisi Riil Dalam Sumber Daya Manusia (SDM) Umat Islam.

Untuk melangkah pada kondisi sumber daya manusia yang mendukung di dalamn  LP Ma’arif NU, ada baiknya jika penulis bahas dulu apa yang dimaksud dengan Sumber Daya Manusia (SDM) walau bahasan ini sepintas dan secara umum. Dimaksudkan, bahasan ini merupakan penunjang dalam memahami LP Ma’arif NU untuk mengimplementasikan segala programnya.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1999: 657), Sumber Daya Manusia (SDM) diuraikan sebagai “segala sesuatu yang mempunyai kekuatan yang bersifat abstrak yang ditimbulkan oleh kekuatan akal dari dalam diri manusia yang merupakan landasan berpikir, berencana, berbuat, dan mengevaluasinya dengan cermat dan tepat”. Memperhatikan definisi tersebut, dapatlah penulis sarikan bahwa pada intinya, SDM tersebut tidak dapat dilepaskan dengan pikiran dan sangat berkaitan dengan suatu perencanaan yang matang. Dengan kata lain, SDM adalah sumber kekuatan yang berasal dari diri manusia itu sendiri, baik berupa ide, akal dan pikiran.

Page 49: KH.wahid Hasyim

Inilah mungkin yang dinamakan fungsi manajemen organisasi. Dan, SDM tidak mungkin dilepaskan dari manajemen organisasi tersebut. Demikian pula dalam hal menyikapi suatu gejala dalam sebuah organisasi. Bila suatu organisasi telah mempunyai SDM yang bagus, maka pengaturan dalam hal planning, accounting, dan monitoring serta evaluating akan berjalan sesuai dengan harapan sebuah organisasi yang profesional. Jika hal demikian telah dicapai, maka problematika intern atau konflik intern akan dengan mudah dan penuh kebijaksanaan dapat diatasi dengan sempurna.

Disamping itu, dalam menghadapi persaingan dari luar, akan dihadapinya dengan wajar dan dewasa. Jadi, konflik ekstern  akan dijadikan wahana memajukan lembaga atau organisasinya sendiri bagaimana ia keluar sebagai juara dari kompetisi tersebut. Bagi lembaga atau organisasi yang telah bagus dalam SDM-nya, semua tantangan di atas merupakan keniscayaan yang telah kaprah dalam dunia yang serba kompetitif ini.

Lebih lanjut, agar penulis dapat mengetahui secara wajar dan mendalam, maka di bawah ini akan disajikan penelitian penulis atas LP Ma’arif NU.

1. Kondisi Riil Dalam Manajemen Organisasi

Sebenarnya, dalam sebuah organisasi yang baik dan tangguh harus berpedoman kepada sistem manajemen yang baik pula. Sistem manajemen yang baik tersebut dapat penulis sebutkan sebagai berikut:

1. Perencanaan

Segala sesuatu harus mempunyai ide. Dari timbulnya ide maka harus dapat direncanakan dengan matang. Perencanaan yang matang dan melihat jauh ke depan akan menggambarkan bahwa proses yang hendak dijalankannya benar-benar baik dan sempurna.

Perencanaan merupakan tahab awal dari sebuah kegiatan. Bila kelak kegiatan itu telah berangkat dari perencaan, disitulah akan tercermin bahwa akan dapat lihat hasil apa yang hendak dicapai. Dan biasanya dapat mencapai yang maksimal sesuai harapan.

1. Pencatatan

Sesuatu yang telah direncanakan maka harus pula dicatat atau dibukukan. Maksud daripada ini adalah agar setiap perencanaan yang telah matang dapat dituangkan dalam sebuah dokumen yang tersusun secara rapi.

Pencatatan tersebut mempunyai sifat yang amat penting dalam setiap manajemen organisasi. Karena sebagai dokumen maka ia dapat dijadikan acuan atau dapat diawasi dengan sempurna. Muara dari itu, dapat dijadikan penilai apakah perjalanan organisasi tersebut sesuai dengan harapan atau tidak.

1. Pengawasan

Page 50: KH.wahid Hasyim

Manajemen organisasi bagian ketiga adalah pengawasan. Pengawasan atau monitoring harus dilakukan agar roda perjalanan organisasi yang telah direncanakan dan dicatatkan tersebut dapat sesuai dengan keinginan yang telah direncankn sejak semula.

Pengawasan berjalan dengan lancar apabila dilakukan oleh sebuah tim yang independent. Maksudnya adalah agar dalam setiap penilaiannya tim monitoring tersebut dapat bersifat objektif dan tidak bertendensi pada koncoisme.

1. Penilaian

Tahab terakhir dari manajemen organisasi yang perlu dijalankan oleh setiap lembaga atau organisasi yang profesional adalah penilaian atau evaluating.

Arti signifikan dari tahab akhir ini adalah merupakan suatu yang final di mana penilaian dapat menentukan apakah akhir dari sebuah organisasi tersebut baik atau sebaliknya.

Tidak boleh tidak, kondisi riil di atas harus diakui dengan jujur oleh faunding father dari LP Ma’arif, atau warga NU secara keseluruhan. Bahwa selama ini stigma yang muncul kepermukaan menandakan bahwa lembaga yang berada di bawah naungan NU  mempunyai sistem manajerial yang lemah. Manajemen organisasi yang dijalankannya masih berpatokan kepada senioritas. Sistem ini tidak mudah melangkahi yang tua jika yang tua tersebut masih mau duduk di dalam kepengurusannya. Jadilah yang tua tersebut dijadikan panutan walau sebenarnya mereka tidak mempunyai SDM yang handal.

b.   Kondisi Riil Dalam Konflik Intern

Dalam kajian ini, penulis membumbuhi pasal mengenai konflik intern bukan hendak menjelekkan LP Ma’arif NU. Tetapi mau melacak suatu pikiran yang selama ini menggelayuti pikiran penulis mengapa lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU selama ini cenderung lambat dalam perkembangannya. Bukan pula mau membandingkan dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh, misalnya, Muhammadiyah, PERSIS, atau Hidayatullah. Tapi sekedar sebagai cambuk, bolehlah penulis sedikit membandingkan dengan lembaga-lembaga di atas.

NU, sebagai institusi induk daripada LP Ma’rif, sebagaimana dikatakan oleh Fiellard (dalam Fiellard, 1999: 110),  didukung juga oleh DR. Abdul A’la (dalam A’la, 3006: 38), adalah mempunyai kecendrungan konflik intern yang laten. Sehingga pada masa itu sampai timbul NU-ABRI/NU-PNI dan NU-ORLA/NU-ORBA.

Konflik intern yang berkembang dalam tubuh NU tak urung merembes kepada segala organisasi yang berada di dalam naungannya. Hal demikian dialami pula oleh LP Ma’arif NU (Aula, Juli 2003: 59).

LP Ma’arif NU sejak awal berdiri telah ada unsur ketidak stabilan dalam mengurus roda organisasi. Konflik bertambah meruncing tatkala Subchan ZE dutunjuk untuk memimpin LP Ma’arif menggantikan KH. Wahid Hasyim (Fiellard, 1999: 84). Penunjukan Subchan yang

Page 51: KH.wahid Hasyim

berbakat itu menjadi ketua LP Ma’arif tidak disetujui oleh ulama NU kalangan tua. KH. Idham Khilid, ketua Tanfidhiyah ketika itu, mewakili kalangan tua merespon dengan keras atas penunjukan Subchan sebagai bagian dari NU (1999: 85).

Tapi rupanya, sejak masa reformasi ini, atau setidaknya, banyak bermunculan tokoh-tokoh muda yang berbakat, seperti misalnya Masdar F. Mas’udi, Said Aqil Siraj, A. Qodri Azizy, Abd A’la, dan lain-lain, konflik intern dalam tubuh NU kerap mulai dapat diredakan (Gerbang, vol. 03, Februari-April 3000: 132). Apalagi sejak banyak bermunculannya penerbit-penerbit yang dimotori anak-anak muda NU, seperti LKiS di Yogyakarta, eLSAD di Surabaya dengan banyak menerbitkan pemikiran kaum NU muda di atas, bertambah terpadulah langkah NU ke depan. Jika hal ini terus-terusan berlangsung dengan kondusif maka rembes ke depan juga akan menyentuh LP Ma’arif NU (http://www.pb-nu.com.id.).

Maka kesimpulan yang diyakini oleh penulis, jika LP Ma’arif NU dapat dipimpin oleh orang-orang yang berbakat maka nanti lembaga pendidikan dalam naungan NU ini akan bertambah nampak kemajuannya. Dan dapat dipastikan pula lembaga pendidikan ini akan mulai sejajar dengan lembaga pendidikan lainnya, seperti Muhammadiyah, atau bahkan lembaga pendidikan Katolik-pun akan dapat disainginya. Sekali lagi lagi, jika LP Ma’arif NU mau mereformasi keadaan dirinya dari dalam.

c.   Kondisi Riil Dalam Konflik ekstern.

Penjabaran mengenai konflik ekstern adalah merupkan kajian yang hendak menyoroti tantangan yang dihadapi LP Ma’arif NU dalam kompetisinya dengan lembaga lain. Terkait dengan hal ini, LP Ma’arif mempunyai tugas amat besar menghadang pemikiran keagamaan kaum modernis yang selalu mengkritik amalan-amalan kaum tradisionalis yang diwakili oleh NU, yang menganggap amalan itu bid’ah (Aula, Agustus 2003: 10).

Tak urung, hal demikian menjadi perseteruan antara LP Ma’arif NU dengan lembaga keislaman di luar NU. Pernah suatu kejadian pada tahun 1980-an menimpa lembaga pendidikan MIM (Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif) Darul Falah di dusun Penitik, Puger, Jember, sebagaimana penulis kutib dari skripsi fathul Ulum (dalam Ulum, 2003: 67) . Dalam wawancara penulisnya dengan pengasuh, disebutkan tentang perubahan dari MIM ke SDNU, dikatakan bahwa pada waktu sekolah ini mengadakan UUB (Ulangan Umum Bersama tahun 1988) di kelas 3 ada satu item soal yang tidak mewakili amalan LP Ma’arif NU dan orang NU umumnya.

Contoh soalnya begini: Shalat Tarawih ada …… rekaat. Sedangkan jawaban ganda yang disediakan adalah: a. 10 rakaat, b. 8 rakaat, c. 14 rakaat dan d. 18 rakaat. Tak urung, soal tersebut menjadi sorotan LP Ma’arif Kecamatan Puger karena tidak ada jawaban yang mewakili amalan NU yang mengajarkan bahwa rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat. Karena tidak ada verifikasi dari kantor Departemen Agama kabupaten Jember, maka LP Ma’arif cabang Jember merekomendasikan kepada lembaga bawahannya se-kabupaten dapat pindah kepengurusan dari Departemen Agama ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maka kemudian MIM Darul falah mengubah didirnya menjadi SDNU Darul Falah di bawah naungan Depdiknas pada tahun 1989. Sampai saat ini, nama tersebut tetap bertahan. Bahkan pada 1999 lalu telah mengembangkan menjadi SMPNU Darul Falah (Ulum, 3003: 65)

Page 52: KH.wahid Hasyim

Penggambaran sebagaimana penulis sebutkan di atas adalah perwujudan bahwa antara LP Ma’arif NU dengan pihak lain memang sering terajadi  insinkronisasi. Hal demikian jika tidak disikapi dengan arif dan menanamkan saling pengertian di antara lembaga-lembaga itu maka persatuan dan kesatuan umat Islam yang  hendak kita capai, tentu sangat sulit.

Oleh karena itu, tokoh-tokoh NU terutama tokoh mudanya, harus dapat memberikan pengertian bahwa konflik antar lembaga harus sudah diakhiri. Dan tantangan ke depan bagi LP Ma’arif dan lainnya bukan pertentangan antar madzhab itu lagi, tetapi yang lebih berbahaya adalah invasi budaya Barat yang sepertinya tidak dapat kita bendung. Jadi, konflik ekstern yang jika dulu antara LP Ma’arif NU dengan lembaga-lembaga Muhammadiyah misalnya, saat ini harus kita tinggalkan. Di hadapan LP Ma’arif problematika umat Islam mendesak untuk cepat diselesaikan, yaitu ketertinggalan warga NU dari pendidikan modern dan kebobrokan budaya bangsa itu sendiri.

1. Kondisi Riil Dalam Pendanaan

Kondisi riil yang menyelimuti LP Ma’arif sehingga mengalami ketersendatan di dalam perkembangannya adalah masalah pendanaan. Di dalam aturan mainnya, sumber pendanaan LP ma’arif dapat diperoleh dari subsidi Pengurus Besar NU secara nasional, di mana hal itu dikumpulkan dari iuran para anggota NU. Sumbangan suka rela yang tidak mengikat dari para donator dan juga dari pemerintah adalah sumber pendanaan LP Ma’arif (Fiellard, 1999: 307).

Akan tetapi, karena terkait dengan kondisi riil manajemen organisasi, kemudian adanya berbagai konflik, baik intern maupun ekstern (A’la, 2003: 150), maka sumber pendanaan itu menjadi kurang berjalan dengan baik. Yang cukup memberatkan bagi pendanaan LP Ma’arif, sebagai diungkap oleh Feillard (dalam Feillard, 1999: 307) adalah bantuan pemerintah diberikan secara langsung pada sekolah-sekolah, tanpa melalui LP Ma’arif. Sehingga akibatnya, LP ma’arif dalam mengiplimentasikan segala programnya mengalami ketersendatan karena kurangnya dana pendukung dari atas. Sementara, sumber abadi dari induk organisasi, NU, keberadaannya sangat minim.

Secara faktual, banyak orang-orang sukses dalam tubuh NU ini yang siap membantu pendanaan NU dan segala perangkatnya. Tokoh-tokoh seperti Moh. Yusuf kalla, adalah juga orang NU. Para pengusaha seperti Muhammad Gobel, Toha Putra Semarang, juga orang NU. Para intelektual, seperti Prof. Ahmad Qodri Azizy, Dr. Farid F. Mas’udi, juga orang NU. Para direktur penerbit handal, di Yogyakarta ada LKiS, di Surabaya ada eLSAD, juga orang NU. Jika dari mereka itu termanajemen pemasukan rutin tiap bulan, atau jika melihat zakat 2,5% adalah tiap tahun saja, berapa uang masuk ke LP Ma’arif? Sunggguh luar biasa besar. Tapi karena manajemen organisasi di LP Ma’arif belum terkoordinasi secara optimal, jadinya mereka takut menyalurkan dananya pada lembaga ini (http://www.elsad.com).

Tentu, yang harus dioptimalkan terlebih dahulu adalah bagaimana membuat organisasi ini berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen yang baik. Tanpa ini, mustahil membuat LP Ma’arif maju.

Page 53: KH.wahid Hasyim

Dari beberapa paparan data yang penulis ungkapkan di atas dapat lah penulis simpulkan bahwa faktor pendorong adanya LP Ma’arif adalah tidak terlepas dari kondisi nyata umat Islam saat itu, yaitu dalam keadaan yang amat lemah baik dalam hal sumber daya manusia atau pun dari keadaan ekonomi, sosial, pendidikan dan politik mereka.

Adapun faktor penghambat, merupakan kondisi nyata LP Ma’arif dalam perjalanan ke depan, yaitu sejak lembaga ini didirikan, sampai pada zaman kini. Penghambat utama adalah konflik intern organisasi dan kurang memenuhi atas manajemen organisai yang telah bersifat modern, yaitu tahaban-tahaban; planning, accounting, dan monitoring serta evaluating .

—-@@—-

BAB IV

KONTRIBUSI LEMBAGA PENDIDIKAN MA’RIF NAHDLATUL ULAMA DALAM UPAYA PENGEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

1. LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

1. Pengertian Lembaga

Dalam KBBI pada edisi revisi II, pengertian lembaga secara general adalah sebuah institusi atau badan yang dijalankan dengan seperangkat aturan atau manajemen organisasi (KBBI, 1999).

Jadi penulis bisa menjabarkan berdasarkan pengertian di atas, maka jika dimaksud dengan lembaga pendidikan Islam adalah sebuah institusi atau badan pendidikan Islam yang dijalankan dengan seperangkat aturan atau manajemen organisasi yang secara umum berada di luar lembaga pendidikan Ma’arif  NU, tetapi masih ada kaitannya dengan lembaga tersebut, seperti misalnya lembaga pondok-pondok pesantren; mereka mengklaim bahwa lembaga pendidikannya berada di luar LP Ma’arif. Atau dengan kata lain, lembaga pendidikan Ma’arif mempunyai pengaruh dan kontribusi dalam upaya pengembangan pendidikan Islam tersebut (Ali dan Ali, 2003: 67; Ensiklopedi Islam II, 2001: 250; Arifin, 1977: 12-15)

1. Pengertian Pendidikan Islam

Setelah pengertian lembaga penulis uraikan sebagai mana di atas tersebut, maka penulis tidak boleh tidak, harus menguraikan pendidikan Islam secara rinci dan akurat.

Pendidikan, jika ditelusuri secara etimologi, berasal dari kata didik. Menurut KBBI, pengertian didik adalah sinonim dengan kata ayom, emban, latih dan abdi. Kesemuanya merujuk kepada pengertian untuk mengarahkan  anak agar mempunyai jiwa yang ditunjuk kata-kata di atas (1999: 356). Jika kata didik deberi awalan pen dan akhiran an, maka dalam kamus tersebut bermakna suatu proses, yaitu proses pengayoman, proses pengembanan, proses pelatihan atau proses pengabdian. Karena ia adalah proses, maka dibutuhkan suatu perjalanan panjang dan berliku, penuh onak dan duri untuk menuju pada kesempurnaan hidup. Itulah hakikat pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara (dalam Djumhur, 1972: 134) adalah proses

Page 54: KH.wahid Hasyim

memanusiakan manusia kecil (anak) agar dapat, sebagaimana al-Qur’an bilang, menjadi rahmatal lil ‘alamin. Atau dalam bahasa Pancasilanya; menjadi manusia seutuhnya, yaitu cerdas lahir dan juga cerdas dalam segi batinnya.

Pengertian di atas juga senada dengan pengertian dalam bahasa Arab. Pendidikan dalam bahasa ini disebut at Tarbiyyah. Menurut Abdurrahman an Nahlawi, kata dasar at Tarbiyah berasal dari tiga akar kata, yaitu; raba-yarbu, artinya bertambah dan timbul; rabba-yarabbu, artinya memperbaiki, menguasai urusan, menentukan dan memelihara, rabiya-yarba, artinya menjadi besar (an Nahlawi, 1992: 31).

Dari ketiga akar kata di atas, an Nahlawi mempunyai kecenderungan pada akar kata yang ke dua, yaitu rabba-yarabbu. Inilah kata Rabi/Tuhan dalam bahasa Indonesia berasal. Ar Rabbu, sebagaimana pendapat al Baidhawi yang dikutip oleh an Nahlawi bahwa makna asal ar Rabb adalah at Tarbiyyah, yaitu menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit hingga mengalami kesempurnaan (an Nahlawi, 1992: 32). Dengan kata lain, pendidikan dalam Islam pada hakikatnya adalah ikhtiar seorang muslim untuk membantu dan mengarahkan fitrah kemanusiaan manusia supaya berkembang sampai pada tahab maksimal yang dapat dicapai sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan (Junaidi, 2003: 39, Arifin, 1977: 12).

Sedangkan Ali Abdul Halim Mahmud, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir dan mantan Syaikhul al akbar (rektor) al Azhar Mesir mangatakan setelah beliau menelaah sistem pendidikan Ikhwanul Muslimin:

“pandidikan dalam pandangan Islam merupakan usaha terus-menerus yang dilakukan seorang muslim dengan kesadaran tinggi untuk mengarahkan anak didik agar mengenal Rabb-nya dan sekaligus Rasul-nya dengan pembelajaran yang selalu menitikberatkan kepada dasar keimanan dan juga dapat mengaplikasikan hukum-hukum atau syari.ah Islam dalam kehidupan ini” (Mahmud, 1997: 367).

Dari berbagai pendapat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan pendidikan dalam Islam, tidak lain, adalah menanamkan pemahaman dan hendak membentuk tingkah laku yang rabbani, yaitu selalu terpaut pada Allah SWT sebagai pencipta dan pengatur kehidupan ini, sambil tidak melepaskan tanggung-jawab sebagai khalifah di bumi demi rahmatal lil ‘alamin (kesejahteraan dunia).

1. Peranan Pendidikan Islam dalam Mengangkat Paredaban Umat Manusia.

Lukisan amat indah dikemukana oleh Sayid an-Nahlawi dalam buku monomentalnya berjudul Kerugian Dunia Atas Kemunduran Umat Islam. Disebutkan bahwa jika umat Islam mundur, maka peradaban dunia dan kemanusiannya juga akan ikut mundur. Sebaliknya, jika umat Islam maju, maka dunia akan kejeberetan kemajuan itu. Oleh karena itu, mereka juga akan ikut menikmati kemajuan peradaban dan merasakan kemuliaan kemanusiaannya (an-Nahlawi, 1978: 1-56). Itulah gambaran yang barkaitan dengan kondisi pendidikan umat secara makro.

Pendidikan Islam secara umum, terlepas dari pendidikan dalam tinjauan NU, Muhammadiyah, PERSIS, Hidayatullah, PERTI, al Irsyad dan lembaga pendidikan Islam lainnya, mempunyai

Page 55: KH.wahid Hasyim

peranan yang mata signifikan atas kemajuan umat. Sebab, Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia. Melalui pendidikan manusia dapat belajar menghadapi segala problematika yang ada di alam semesta ini demi mempertahankan kehidupannya. Urgensi pendidikan disinyalir dapat membentuk kepribadian seseorang; dapat menentukan prestasi dan kapabelitas serta produktifitas; dapat mengapresiasi dan memaknai kehidupan; dapat berinovasi dan berkreasi serta discovery and invintion dalam istilah sosiologinya yang artinya menemukan dan menciptakan. Atau dengan kata lain, pendidikanlah satu-satunya jalan yang dapat mengantar setiap insan mencapai pada peradaban  dan kebudayaan gemilang. Karena pentingnya arti pendidikan, maka Islam menempatkannya pada kedudukan yang tertinggi (A’la, 2006: 34), sebagaimana disabdakan oleh baginda Nabi SAW:

�م�ة� ل و�مس� � �م ل مس� ل� ك ع�ل�ى �ض�ة� ف�ر�ي � �م �ع�ل ال [ ط�ل�ب حبا ] ابن رواه

artinya: Mencari ilmu itu adalah merupakan  kewajiban bagi seorang muslim laki-laki dan muslim perempuan. (HR. Imam Ibnu Hibban ra.). (az-Zarnuji, ttp: 5)

Pendidikan Islam yang gemilang di atas betul-betul telah mengangkat peradaban umat dalam bentuk yang amat mengagumkan. Cordova dan Baghdad adalah contoh nyata wujud peradaban itu, sampai saat ini masih dapat penulis saksikan dengan jelas.

Tapi sayang, setelah umat dipenuhi kemunduran karena cinta dunia dan takut mati, kamudian pendidikan Islam mengalami dikotomis yang amat dahsyat, sebagaimana penulis telah menyinggungya dalam tulisan awal pada penelitian ini, maka kejayaan dan keagungan kebudayaan dan peradaban itu abad demi abad terus-menerus mengalami keredupan. Kini, penulis tinggal mengecap ampas daripada pendidikan Islam yang telah melorot itu. Tinggal tanda tanya di dada, kapan umat ini kembali bangkit.

1. KONTRIBUSI DALAM TATARAN EPISTEMOLOGI PAHAM AHLUSUNNAH WAL JAMAAH.

1. Pengertian Epistemologi

Menarik untuk penulis bahas adalah tentang pengertian daripada istilah cabang filsafat ilmu ini. dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1999: 268), pengertian tersebut dibahas sacara cukup mendetail, yaitu: dasar-dasar dan batas-batas ilmu pengetahuan; sesuatu yang paling mendasar dari sebuah ilmu; substansi ilmu pengetahuan; hakikat dari pengetahuan yang diperoleh oleh manusia; ilmunya ilmu pengetahuan.

Dari sederet pengertian yang dijabarkan oleh KBBI di atas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan epistemologi adalah ilmu yang membedah hakikat dari suatu ilmu pengetahuan yang menjadi pegangan manusia atau yang telah mempengaruhi kehidupan manusia.

Berkaitan dengan penjabaran tersebut, yang menjadi titik sentral dalam bahasan pada pasal ini adalah aspek pemikiran yang menjadi tolak ukur atau sebuah dasar/azaz daripada LP Ma’arif NU, kemudian kontribusi epistemologi penulis kaji apakah memang ada atas LP Ma’arif atau sebaliknya. Untuk itu, penulis terlebih dahulu memaparkan paham yang menjadi dasar NU dan LP Ma’arif.

Page 56: KH.wahid Hasyim

1. Epistemologi Aswaja

Secara etemologi, kalimat Ahlusunnah Wal Jama’ah terbentuk dari tiga akar kata, yaitu ahl, berarti famili, kerabat atau keluarga dekat (al-Munawir, 2002: 48). Namun menurut Fairuzzabadi, sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siraj (dalam Siraj, 1998: 11), ahl diartikan pengikut suatu aliran.

Adapun pengertian as-Sunnah dalam kamus al-Munawir diartikan sebagai perilaku (2002:600). Ia berasal dari kata sunan yang artinya jalan. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Ibnu ‘Aqil, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdul Hadi al-Misri (al-Misri, 1990: 60) menyebutkan bahwa kata as-Sunnah berarti jalan dan perilaku. Pengertian as-Sunnah ini kemudian melebar dan digunakan dalam disiplin berbagai ilmu keislaman. Sehingga as-Sunnah dapat dipandang dari ulama ilmu hadis, juga dapat dipandang dari kacamata ulama ilmu kalam (teologi) dan dari pandangan ulama ilmu ushul.

Menurut pandangan ulama ilmu hadist, as-Sunnah didefinisikan sebagai segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan perjalanan hidup Nabi SAW, baik yang demikian itu terjadi sebelum diangkat menjadi Rasul atau pun sesudah beliau di angkat menjadi Rasulullah SAW (ash-Shiddiqi, 1964: 65).

Adapun menurut ahlul ushul, as-Sunnah didefinisikan segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW secara khusus dan haditsnya tidak terdapat dalam Al-Qura’an, tetapi dinyatakan oleh Nabi sebagai penjelasan dalam Al-Quran untuk pertama kalinya (Al-Misri, 1990 : 60). Sedangkan menurut ahli fiqh as-Sunnah diartikan sebagai ketetapan dari Nabi yang bukan fardu dan tidak wajib (Al-Misri, 1990:60). Itulah pengertian as-Sunnah sebelum timbulnya perpecahan diatara golongan umat Islam.

Akan tetapi setelah timbul perpecahan, yang seterusnya diikuti oleh munculnya bid’ah, kata as-Sunnah sering digunakan untuk membedakan denga ahlu bid’ah. Dalam perkembangannya, banyak ulama yang kemudian mengidentifikasi kata as-Sunnah dengan keselamatan dari subhat; seputar akidah, khususnya dalam keimanan pada Allah, kitab-kitabnya, para utusannya dan hari kiamat. Begitupun keimanan masalah takdir dan keutamaan para sahabat (Al-Misri, 1990: 62).

Dalam konteks ke-NU-an pengertian as-Sunnah dipahami oleh masyarakat bukan hanya terbatas pada perilaku yang dirujukkan pada Nabi SAW, melainkan pada sahabat-sahabat Nabi (Alaena, 2000: 25).

Adapun pengertian al-Jamaah dilihat dari segi bahasa berarti kelompok. Ia berasal dari kata “jamaa” yang artinya perhimpunan (Al-Munawir, 2002: 208). Sedangkan pengertian al-jamaah dari segi istilah sangat berbeda bahkan kadang-kadang antara pengertian yang satu dengan yang lainnya saling bertolak belakang. Hal ini disebabkan ketika para ulama mendefinisikan kata al-jamaah selalu dipengaruhi oleh kondisi masyarakat saat itu  (Alaena, 2000: 31).

Definisi al-jamaah yang dierikan oleh imam Al-Bukhari Ra adalah ahlul ilmi, yaitu kaum ulama atau kaum intelektual. Sedangkan imam at-Thabari mengartikan al-jamaah sebagai golongan mayoritas. Adapun imam As-Zarkasi Ra, al-jamaah diartikan sebagai golonngan kaum 

Page 57: KH.wahid Hasyim

muslimin yang termasuk orang-orang yang mempertahankan kebenaran dimanapun mereka berada (Ismail, 1995: 17).

Kata al-jamaah juga muncul dalam sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani sebagai mana terbunyi :

Artinya: demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditangannya, akan pecah umatku sebanyak 73 firqoh, yang satu masuk surga dan yang lainnya masuk neraka, bertanya para sahabat : “ siapakah firqoh yang tidak masuk neraka itu Rasulullah? Nabi menjawab : “Ahlus sunnah wal jemaah” (HR. Imam Tabrani).

Menurut Imam Thabari, maksud hadits di atas adalah komitmen persatuan untuk mentaati perintah pimpinan, dan yang melepaskan bai’at berarti keluar dari jamaah (Ismail, 1995: 47). Definisi yang diberikan oleh Imam Thabari memang cukup tepat jika dihubungkan dengan salah satu hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hurairah yang dinyatakan bahwa: “ barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memecah belah jamaah, maka akan mati dalam keadaan jahiliyah” (Alaena, 2000:33)

Al-Mubarrok mendefinisikan al-jamaah sebagia orang-orang yang memiliki sifat-sifat keteladanan yang sempurna bedasarkan al-quran dan hadits. Sedangkan As-Syatibi, membatsi al-jamaah hanya pada para sahabat saja, dan orang-orang sesudah mereka tidak digolongkan sebagai al-jamaah (Alaena, 2000:33).

Berdasarkan uraian di atas dapat diberi kesimpulan bahwa yang dimaksud Ahlussunnah Wal Jamaah adalah suatu golongan yang mayoritas muslim yang mengklaim sebagai pengikut Nabi SAW dan menerima konsensus para sahabat dan imam mujtahid setelahnya (Alaena, 2000:34)

Apabila dirunut dari munculnya, paham aswaja tidak dapat dilepaskan dengan sejarah perkembangan Islam itu sendiri. Sebagaimana dicatat dalam sejarah Islam paling awal misalnya, dalam Sirah ibnu Hisyam, Sirah ibnu Ishak, At-Thabaqatnya At-Thabari, At-Thabaqatnya ibnu As’ad, An-Niwal Wa Nihal-nya As-syahrastani dan lain-lain disebutkan; bahwa munculnya firqoh-firqoh dalam Islam adalah bermula sejak khalifah Utsman bin Affan Ra terbunuh tahun 35 H, yang kemudian diikuti oleh pengangkatan Ali bin Abi Thalib, ternyata timbul protes keras dari Muawiyah bin Abu Sofyan yang terhitung masih kerabat dekat Utsman Bin Affan. Protes kedua dilakukan oleh Aisyah, Tolhah, dan Zubair. Mereka menuduh Ali sebagai biang keladi terbunuhnya Utsman bin Affan. Gerakan oposisi diatas menjadi perang terbuka; yang pertama pecah dalam perang Siffin, sedangkan kedua meledak dalam perang Jamal (Alaena, 2000: 35).

Dalam perang Siffin, pasukan Muawiyah hampir dapat dikalahkan. Merasa terjepit demikian, pihak Muawiyah mengajak berunding yang dikenal dengan peristiwa Tahkim. Strategi perundingan ini ternyata menguntungkan pihak Muawiyah. Akibatnya, dalam barisan Ali pecah memjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang menolak perundingan dan ingin melanjutkan perang sampai diketahui siapa yang menang. Sedangkan pihak kedua setuju menerima arbitrasi di atas. Kelompok pertama kemudian dikenal dengan Khawarij. Sedangkan kelompok yang kedua lebih dikenal dengan Syi’ah (Abbas, 1994: 24).

Page 58: KH.wahid Hasyim

Munculnya sekte-sekte keagamaan yang lebih bernuansa politis tersebut agaknya telah melahirkan trauma yang cukup mendalam disebagian kaum Muslimin. Sebabnya adalah bahwa pretensi-pretensi politik itu pada gilirannya justru yang lebih dominan dalam mewarnai corak dan fatwa keagamaan yang kemudian mereka munculkan (Alaena, 2000: 36).

Pada tahap inilah paham Aswaja muncul, yaitu setelah menyatukan para pendukung Muawiyah yang mayoritas dengan golongan as-Sunnah yang netral, tidak mendukung salah satu kubu politik diatas yang dipelopori oleh Abdullah ibnu Umar ibnu Khattab. Dari penggabungan ini kemudian melahirkan golongan yang dinamakan Ahlussunnah Wal Jamaah (Madjid, 1986: 15).

Senada dengan pandangan di atas, Al-Misri (dalam Al-Misri 1995: 65)   mencatat bahwa faktor yang melatar belakangi munculnya paham Aswaja adalah karena konflik politik golongan saat itu. Dalam konteks ini golongan Aswaja merasa berkepentingan untuk menunjukkan identitas yang dimilikinya. Mereka pada dasarnya merupak golongan yang sering mengklaim sebagai pelanjut dari jalan yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabat (Alaena, 2000:37)

Gambaran yang berbeda dikemukakan oleh Umar Hasyim (dalam Hasyim, 1978:105). Menurut Hasyim, munculnya paham Aswaja digambarkan  sebagi berikut; pada saat itu muncul suatu perdebatan seputar masalah apakah Ra’yu (akal) dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum sesudah al- Quran dan hadits? Perdebatan itu pada gilirannya menimbulkan dua pemikiran besar dikalangan para Mujtahid.

Pertama, ahlul Hadits; mereka hanya berpatokan pada hadits, setelah al-Quran. Hukum-hukum yang dikeluarkannya pun berpatokan kepada hadist tersebut dan tidak menggunakan ra’yu dan qiyas terhadap suatu masalah yang tidak ada dalilnya dalam hadist.

Kedua, ahlul-Ra’yu; mereka tetap berpatokan kepada al-Qur’an dan Hadits. Kemudian bila dalam keduanya tidak terdapat dalil yang qath’i, maka mereka menggunakan ra’yu atau qiyas dalam menjabarkan suatu hukum-hukum syari’ah. Jadi mereka berijtihad dengan cara mengoptimalkan kekuatan akal sebagai jalan keluar dari kebuntuan hukum di atas.

Kendati demikian, klasifikasi di atas bukanlah harga mati, sebab dalam kenyataan, ahlul Hadits tidak berarti meninggalkan akal sama sekali, demikian pula, ahlu Ra’yu tidak sama sekali meninggalkan Hadits. (Yafie, 1990: 201).

Bersamaan dengan munculnya berbagai aliran dalan Islam, timbul pula imam-imam Mujtahid yang melahirkan berbagai pemikiran dan fatwa buah dari ijtihad yang mereka lakukan, seperti misalnya Imam maliki, Imam Hambali, Imam Syafi’i , Imam Hanafi, Imam Dhahiri dan Imam at-Thabari serta lainnya yang tidak sampai pada zaman kita ini.

Pandangan yang juga sangat berbeda dikemukakan oleh Sirajuddiin Abbas, dikemukakan oleh Abbas (Abbas, 1992:16) munculnya Aswaja sejak adanya Imam Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Dengan mengutip kitab “Ikhtilaf sadatul Muttaqin” karangan Az-Zabidi yaitu :

Artinya: Apabila disebut kaum Ahlussunnah Waljamaah maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti rumusan Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. (Abbas, 1992: 14)

Page 59: KH.wahid Hasyim

Mengidentifikasi bahwa paham Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan rumusan Imam Asy’ari dan Maturidi dalam wilayah ilmu teologi atau ilmu kalam, maka faham ini mempunyai persoalan yang bertambah rumit, sebab ia telah menafikan paham Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah (Alaena, 2000: 45).

Jika suatu identitas kemadzhaban diukur berdasarkan konsistensi mereka dalam memegang sandi-sandi syariah, maka sulit sekali untuk tidak menyatakan bahwa Mu’tazilah bukanlah teologi Aswaja. Tidak terlalu sulit memberikan alasan bahwa kebanyakan pengikut Mu’tazilah itu pengikut setia dari salah satu madzhab dalam fiqih yaitu madzhab Maliki, Syafi’ie, Hanafi dan Hambali. Abdul Jabbar misalnya yang dikenal sebagai tokoh Mu’tazilah yang sangat produktif, ternyata ia bermadzhab Syafi’ie. Sementara tokoh-tokoh lainnya benyak mengikuti madzhab Hanafi. Data ini diperkuat lagi dengan fakta bahwa para penguasa Abbasiyah saat itu juga mayoritas salah satu pengikut dari empat madzhab itu (Alaena, 2000: 43).

Ketegangan pemikiran atau terangnya dialektika pemikiran, memang tidak mungkin dihindari. Sejarah telah memberikan kesaksian bahwa ketegangan yang lebih menjurus pada pertentangan justru terjadi pada ahlul hadits dan ahlul kalam. Aliran teologi yang dipelopori oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah selalu berhadapan dengan kelompok ahlul hadits yang dipelopori oleh Hanabilah seperti Ibnu Taimiyah kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya semisal Muhammad bin Abdul Wahab (Alaena, 2000: 44).

Dalam tradisi jamiyah NU yang kemudian diformalkan menjadi kurikulum LP Ma’arif dalam mata pelajaran ke-NU-an, NU mencoba menerjemahkan ide-ide Aswaja dalam rumusan-rumusan sosial, politik dan keagamaan. Paham Aswaja yang dikembangkasn NU berpangkal pada tiga pandangan pokok yaitu mengikuti Asy’ari dan Maturidi dalam teologi; menganut  salah satu madzhab yang empat dalam fiqh dan mengikuti paham Al-Junaidi dan Al-Baqillani serta Al-Ghazali dalam tasawuf  (Haris, 1991: 75). Dengan berpangkal pada tiga pandangan pokok tersebut LP Ma’arif NU hendak mengantisipasi perubahan zaman terutama dalam bidang hukum dan politik, disamping menggunakan hukum Islam yakni Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas (Alaena, 2000: 51).

1. Wujud Kontribusi LP Ma’arif dalam Epistemologi Aswaja

Dari paparan panjang yang penulis kemukakan diatas, kontribusi NU yang dikejewantahkan oleh kurikulum LP Ma’arif yang bersifat Nasional, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. a.      Mengajarkan paham Aswaja, yang secara teologi berpedoman pada Asy’ari dan Maturidi. Dalam fiqh berpedoman pada empat madzhab dan dalam Tasawwuf berpedoman kepada ajaran Al-Juanidi, Al-Baqillani, dan Al-Gazali (Alaena, 2000: 55)

2. b.      Tertanamnya faham Aswaja, secara merata dalam hati kaum Muslimin Indonesia.3. c.      Toleransi umat Islam luar biasa tinggi akibat dari paham Aswaja yang diajarkan

adalah paham moderat. (http://www.pb-nu.com.id).

1. KONTRIBUSI DALAM PENGEMBANGAN LEMBAGA FORMAL

Page 60: KH.wahid Hasyim

LP Ma’arif NU dalam mengembangkan Madrasah atau sekolah sangat kita rasakan peranannya, diberbagai pelosok desa, sampai ke kota, madrasah atau atau sekolah yang berafiliasi dengan NU, walau tidak menggunakan nama Ma’arif NU, diyakini semakin berkembang.

Satu misal adalah Madura yang dikatakan sebagai kantong NU, berbagai lembaga dari berbagai tingkatan terus menerus bermunculan. Di Sumenep, LP Ma’arif mendirikan sekolah bercorak umum sampai pada tingkat SMA. SMA Ma’rif 1 Sumenep yang berlokasi di samping masjid Jamik Sumenep, sampai saat ini berkembang dengan eksis dengan membuka penjurusan IPA dan IPS, dengan jumlah siswa keseluruhan kelas 125 (Data di kantor TU SMA Ma’arif Sumenep, 24 Mei 2007). Walau pun sekolah ini masih jauh kalah dengan SMA 1 Muhammadiyah Sumenep yang telah memiliki siswa lebih dari 600 orang. Di Pamekasan, Sampang dan Bangkalan lembaga milik NU ini terus-menerus mengembangkan diri dengan massif walaupun terkadang, lembaga-lembaga tersebut tidak mencantumkan kaitan resmi dengan LP Ma’arif NU, akan tetapi mereka jelas sekali ke-NU-annya. Universitas Islam Madura, walau ia berada dalam lingkunga pondok Peddet, Pamekasan, akat tetapi perguruan tinggi ini adalah milik NU, oleh karena itu ia masuk dalam lingkunga LP Ma’arif NU tersebut (http://www.uim.com.id.).

Kontribusi dalam pendirian lembaga juga sangat nampak di Taman Sepanjang Sidoarjo. Dengan nama Yayasan Pendidikan Ma’arif (YPM), telah mempunyai lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi. Malah lembaga pendidikan yang berada dalam naungan YPM telah ada di berbagai kabupaten Jawa Timur dan luar Jawa, seperti di Lamongan, Trenggalek, Madiun, Surabaya, Tuban, Gresik, Nganjuk. Di luar Jawa, lembaga yang berada dalam naungan YPM adalah di Sinjai, Banjarmasin Kalimantan Selatan, Pontianak di Kalimantan Barat (Aula, Nop. 2001, http://www.pb-nu.com.id)

Di Jember, kontribusi LP Ma’arif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa juga sangat menonjol. Universitas Islam Jember (UIJ) merupakan salah satu wujud perjuangan LP Ma’arif NU Cabang Jember dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut. UIJ berdiri sejak tahun 1984 dan sampai saat ini telah memiliki fakultas-fakultas, yaitu Tarbiyah, Hukum, FISIP, Teknik, Pertanian, FKIP dan Ekonomi. Kesemuanya telah terakreditasi dengan nilai B (http://www.uij.com.). Dalam kompleks UIJ ini juga berdiri SMA NU 1 Jember.

Di Malang, di kota dingin ini sejak tahun 1970-an telah berdiri universitas Islam, yang kemudian universitas ini bernama Universitas Islam Malang (UNISMA) yang cukup bergengsi milik LP Ma’arif. Sampai tahun 2007 ini, sebagaimana penulis lansir dari situs www.unisma.id, telah memiliki tujuh fakultas, antara lain, FKIP, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, FISIP, Fakultas Teknik, Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Sastra dengan akreditasi yang sangat memuaskan, yaitu dengan nilai A pada masing-masing fakultas (http://www.unisma.id). Di sini berada juga jurusan Akuntansi dan Akademi bahasa asing, tetapi setingkat diploma tiga.

Juga di kota kembang, Bandung, dengan megah berdiri perguruan tinggi milik NU dengan nama Universitas Islam Bandung (Unisba). Universitas ini juga telah mempunyai berbagai fakultas yang mutunya ternyata  sangat baik. Sampai pada tahun 2007 ini, sebagaimana penulis lacak dalam situs resminya, www.unisba.com.id, universitas ini telah memiliki tujuh fakultas dan empat diploma tiga, dengan fakultas komunikasinya sebagai fakultas favorit setalah fakultas komunikasi Universitas Padjadjaran. Fakultas di UNISBA antara lain; Hukum, Pertanian,

Page 61: KH.wahid Hasyim

Teknik, FKIP, Komunikasi, Tarbiyah, dan FISIP. Adapun diploma di UNISBA adalah Keperawatan/Kebidanan, Parawisata dan Akuntansi (http://www.unisba.com.id).

Jakarta juga LP Ma’arif tidak ketinggalan mendirikan barbagai sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Perguruan tinggi kepunyaan LP Ma’arif NU di Jakarta adalah Universitas Islam Jakarta (UNISJA) yang juga telah memiliki berbagai fakultas. Baik agama seperti syari’ah, tarbiyah, ushuludin dan adab, juga telah membuka fakultas-fakultas umum, seperti hukum, FKIP, ekonomi, FISIP, teknik dan kedokteran (http://www.unisja.com).

Juga, di Sumatera Utama NU mempunyai lembaga tinggi yang cukup disegani dengan nama Universitas Islam Sumatera Utara yang berada lokasi strategis di Medan. UISU, demikian universitas ini sering disebut, telah mempunyai berbagai fakultas dengan fakultas kedokterannya sebagai terfavorit. Sebagaimana penulis kutip dari www.uisu.com, universitas ini memiliki delapan fakultas, dengan enam belas jurusan, antara lain; Hukum, Tarbiyah, Ekonomi, FISIP, Sastra, Teknik, Pertanian dan Komunikasi serta beberapa diploma tiga sebagai program studi tepat guna (http://www.uisu.com.).

Di Jogjakarta sebagai kota pelajar, Universitas NU juga berdiri dengan megah. Serta di Jombang, LP Ma’arif mempunyai lembaga pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Nama perguruan tinggi itu adalah Universitas Darul Ulum (UNDAR).

Lembaga-lembaga formal di atas, bukan saja berada dalam lokasi atau wilayah sebagaimana penulis sebutkan di atas. Di kantong-kantong NU lainnya, seperti di Kalimantan Selatan, apalagi di kabupaten Kandanggannya, juga di Sulawesi Selatan dengan Universitas Muslimin Indonesia-nya, dan di Gorontalo serta di Ternate, Maluku Utara. Tidak ketinggalan juga di Jayapura. Semua tempat strategis umat Islam, utamanya kaum Nahdhiyyin telah mempunyai lembaga pendidikan dari dasar sampai pun juga pada perguruan tinggi (http://www.pb-nu.com.id).

Penulis dapat menyimpulkan dalam bahasan ini, bahwa paparan fakta yang dapat penulis buktikan sebagai data, telah diketahui dengan jelas bahwa sesungguhnya NU dengan LP Ma’arif-nya telah benar-benar mempunyai nilai kontribusi yang amat besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia untuk mengisi alam kemerdekaan ini dengan mendirikan lembaga pendidikan yang sesuai dengan kemajuan zaman.

1. KONTRIBUSI DALAM PENGEMBANGAN LEMBAGA NON FORMAL

Penulis maksudkan dengan lembaga non formal dalam bahasan ini adalah suatu pengertian yang dapat mencakup pada lembaga pondok pesantren. Inilah yang penulis maksudkan dengan istilah non formal.

Pondok pesantren yang penyebarannya merata di seluruh wilayah nusantara ini merupakan lembaga tertua yang khusus menyebarkan agama Islam (Dhafir, 1984: 12). Pendiri tertua adanya pondok pesantren adalah para mubaligh yang biasanya mereka merangkap menjadi saudagar Islam di nusantara ini sejak abad VII (Suryanegara, 1997: 231),  kemudian pendirian pondok pesantren itu diteruskan oleh para wali di tanah Jawa pada abad XIII, dan seterusnya pondok pesantren menjadi landasan institusi NU. Itulah sebenarnya basis daripada NU. Dengan kata lain,

Page 62: KH.wahid Hasyim

NU sejak dari semula berdiri memang tidak dapat dilepaskan dari adanya pondok pesantren (Ulum, 2003: 65).

Dalam pada itu, LP Ma’arif NU sebagai departemen pendidikan dalam organisasi NU, diplot untuk mendirikan sekolah baik yang berbasis agama, atau pun juga yang berbasis umum, dimaksudkan untuk membina lembaga pendidikan yang telah ada, dalam hal ini lembaga-lembaga pendidikan di bawah pondok pesantren di atas (Thaha, 1994: 34).

Di mulai dari ponpes Darul Ulum Jombang, pada tuhun 1923 M telah mamasukkan kurikulum berbasis keduniaan, seperti matematika, fisika, kimia, fisika, ekonomi dan lainnya ke dalam sistem pengajaran yang diterapkan secara klasikal (Bruinessen, 1999: 356). Pemasukan kurikulum bersifat keduniaan di atas adalah merupakan jasa besar KH Wahid Hasyim Asy’ari yang memang sangat menyadari bahwa jika umat ingin maju kembali, sebaiknya pemahaman yang integral atas hakikat ilmu harus dikedepankan. Dalam bahasa yang lain, jika umat masih mendikotomi sebuah ilmu, yaitu bahwa ilmu ada yang Islam dan ada yang non Islam, maka sampai kapan pun umat ini tidak akan mengalami kemajuan.

Peran yang sama dengan pertumbuhan ponpes Darul Ulum juga diterapkan dalam kurikulum LP Ma’arif secara nasional. Maka kontribusi yang sangat nampak atas peran pemikiran KH Wahid Hashem Asy’ari di atas terhadap eksistensi LP Ma’arif tiada lain adalah dimasukkannya sistem pengajaran yang bersifat keduniaan itu dalam setiap sub-sistem pengajaran pondok pesantren di naungan NU di seluruh persada nusantara (Bruinessen, 1999: 332), setelah LP Ma’arif NU didirikan pada 1938 dan sekaligus KH Wahid Hashem Asy’ari sebagai ketua pertamanya (Feillard, 1999: 234).

Kontribusi LP Ma’arif NU terhadap pondok-pondok pesantren yang berafiliasi kepada NU memang tidak secara langsung dapat penulis ukur secara akurat, sebab kesulitan yang hendak penulis identifikasi adalah pondok-pondok yang secara riil tidak menggabungkan lembaga-lembaga pendidikannya pada LP Ma’arif NU (Fiellard, 1999: 314), tetapi mereka –para pengasuh pondok itu- mengaku bagian dari NU dan sistem pendidikannya juga direformasi sesuai dengan kurikulum LP Ma’arif NU, yaitu menitik beratkan kepada paham aswaja sebagai pondasi NU itu sendiri.

Dari yang sedikit atau samar jika ditarik benang merahnya itu, LP Ma’arif masih sangat berkontribusi pada lembaga non formal itu. Kontribusi yang paling utama adalah bersifat pemikiran. Demikian itu diakui oleh DR. KH Thalhah Hasan, seorang tokoh pendidikan di lembaga NU dan sekaligus sebagai pembaharu pendidikan di tubuh NU. LP Ma’arif, dan yang sering nampak kepermukaan adalah pemikiran para tokohnya, dan tidak mengatas namakan institusi tersebut, telah berhasil mencairkan citra negatif ilmu-ilmu hadhari (keduniaan) dan mamasukkannya ke kurikulum pesantren, sehingga saat ini telah sepenuhnya sama anatara kurikulum LP Ma’arif dengan kurikulum pesantren tersebut (Hasan, 2004: 270).

Di samping mempunyai kontribusi terhadap pondok-pondok pesantren yang berada dalam naungan NU, kontribusi yang lainnya juga sangat nampak kelihatan dalam lembaga non formal. Bukti konkritnya adalah pembinaan prestasi pelajar dan santri dalam naungan LP Ma’arif. LP Ma’arif secara konsisten mengadakan pelatihan pembinaan minat dan bakat, seperti pelatihan

Page 63: KH.wahid Hasyim

qiro’ah dan musabaqah tilatil qur’an bekerja sama dengan Jamiah al Qurra’ Wa al Huffadh, mengadakan lomba hadrah bekerja sama dengan Jam’atul Hadrah Indonesia, mengadakan pelatihan pencak silat bekerja sama dengan Pagar Nusa Indonesia. Pelatihan kepemimpinan dan kepemudaan dengan bekerja sama pada GP Ansor. Juga LP Ma’arif selalu membekalkan diri para siswanya dengan menganjurkan ikut kepanduan bekerja sama dengan kwartir nasional. Pada segi kesehatan, para siswa itu juga dianjurkan aktif pada PMR dab PMI. Itu semua segi kontribusi LP Ma’arif dari segi non formal (http://www.bp-nu.id.com).

Dari paparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa LP Ma’arif NU mempunyai kontribusi yang amat banyak terhadap pengembangan lembaga pendidikan yang berorientasi pada non formal sebagaimana telah penulis kemukakan di atas, yaitu pada ponpes dan lembaga di bawahnya, juga pembinaan prestasi siswa yang berkaitan dengan minat dan bakat mereka.

–@@–

Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul UlamaDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebasBelum Diperiksa

Langsung ke: navigasi, cari

Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU) merupakan aparat departentasi Nahdlatul Ulama (NU) yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan pendidikan Nahdlatul Ulama, yang ada di tingkat Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, dan Pengurus Majelis Wakil Cabang. LP Ma'arif NU dalam perjalannya secara aktif melibatkan diri dalam proses-proses pengembangan pendidikan di Indonesia. Secara institusional, LP Ma'arif NU juga mendirikan satuan-satuan pendidikan mulai dari tingkat dasar, menangah hingga perguruan tinggi; sekolah yang bernaung di bawah Departemen Nasional RI (dulu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI) maupun madrasah; maupun Departemen Agama RI) yang menjalankan Hingga saat ini tercatat tidak kurang dari 6000 lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air bernaung di bawahnya, mulai dari TK, SD, SLTP, SMU/SMK, MI, MTs, MA, dan beberapa perguruan tinggi.

Sejarah

Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (PP LP Ma'arif NU) merupakan salah satu aparat departementasi di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Didirikannya lembaga ini di NU bertujuan untuk mewujudkan cita-cita pendidikan NU. Bagi NU, pendidikan menjadi pilar utama yang harus ditegakkan demi mewujudkan masyarakat yang mandiri. Gagasan dan gerakan pendidikan ini telah dimulai sejak perintisan pendirian NU di Indonesia. Dimulai dari gerakan ekonomi kerakyatan melalui Nadlatut Tujjar (1918), disusul dengan Tashwirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, hingga Nahdlatul Wathan (1924) yang merupakan gerakan politik di bidang pendidikan, maka ditemukanlah tiga pilar penting bagi Nadhlatul

Page 64: KH.wahid Hasyim

Ulama yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1334 H, yaitu: (1) wawasan ekonomi kerakyatan; (2) wawasan keilmuan, sosial, budaya; dan (3) wawasan kebangsaan.

Untuk merealisasikan pilar-pilar tersebut ke dalam kehidupan bangsa Indonesia, NU secara aktif melibatkan diri dalam gerakan-gerakan sosial-keagamaan untuk memberdayakan umat. Di sini dirasakan pentingnya membuat lini organisasi yang efektif dan mampu merepresentasikan cita-cita NU; dan lahirlah lembaga-lembaga dan lajnah: seperti Lembaga Dakwah, Lembaga Pendidikan Ma'arif, Lembaga Sosial Mabarrot, Lembaga Pengembangan Pertanian, dan lain sebagainya--, yang berfungsi menjalankan program-program NU di semua lini dan sendi kehidupan masyarakat. Gerakan pemberdayaan umat di bidang pendidikan yang sejak semula menjadi perhatian para ulama pendiri ( the founding fathers ) NU kemudian dijalankan melalui lembaga yang bernama Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU). Lembaga ini bersama-sama dengan jam'iyah NU secara keseluruhan melakukan strategi-strategi yang dianggap mampu mengcover program-program pendidikan yang dicita-citakan NU.

LP Ma'arif NU dan Satuan Pendidikan di Lingkungan NUPrint Download Send

ShareSenin, 04/06/2012 09:06

Tags:

LPMa arifNUdanSatuanPendidikandiLingkunganNU

Space Iklan300 x 80 Pixel

Oleh Zamzami

Sejarah Nahdlatul Ulama (NU) adalah sejarah panjang pergerakan umat Islam di Indonesia yang melibatkan proses institusionalisasi pendidikan sebagai bagian penting di dalamnya. Pendidikan, bagi tokoh dan warga NU merupakan lembaga paling strategis untuk mewujudkan semangat “al-muhaafazhah 'ala qadiimish shaalih wal akhdz bil jadiidil ashlah” (melestarikan hal terdahulu yang baik dan menerapkan hal baru yang lebih baik). Melalui pendidikan, khazanah dan paham

Page 65: KH.wahid Hasyim

keagamaan serta upaya penguatan umat dapat dilakukan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. 

Saat ini, terdapat ribuan satuan pendidikan di lingkungan NU mulai dari yang formal hingga non formal, baik yang dikelola oleh jama'ah (warga NU) maupun jamiyyah (organisasi). Kedua bentuk satuan pendidikan tersebut, meskipun tidak terkoordinasi menurut kacamata organisasi modern, ternyata menyatu dalam kekuatan kultural dan ideologis untuk sama-sama mengibarkan semangat pendidikan berhaluan ahlussunnah waljamaah. Satuan pendidikan yang berdiri di tengah-tengah warga NU biasanya merupakan inisiatif perorangan ataupun kelompok tertentu di lingkungan NU yang ingin mengambil peran pelayanan dan pengembangan pendidikan. Tidak sedikit, mereka bahkan menggunakan nama dan lambang organisasi sebagai wujud kebanggaan mereka sebagai warga NU. 

Kenyataan seperti itu secara manajerial tentu kurang ideal, namun menjadi kekuatan tersendiri yang sesungguhnya menguntungkan NU. Semangat untuk mengelola pendidikan demi memperjuangan terwujudnya cita-cita NU tenyata tumbuh begitu kuat di kalangan warga NU. 

Potret kelambagaan pendidikan lainnya menunjukkan bahwa satuan pendidikan di lingkungan NU lebih banyak melayani kalangan masyarakat bawah. Bahkan ada anggapan bahwa, madrasah atau sekolah NU hanya cocok untuk masyarakat di desa-desa dari kalangan petani, nelayan dan buruh, dan sebagainya. Boleh jadi, kenyataan tersebut menyebabkan model pendidikan yang dikembangkan kemudian “kurang bermutu”. Hal inilah yang kemudian menyebabkan lahirnya gagasan-gagasan baru di lingkungan NU untuk mengembangkan madrasah, sekolah, maupun perguruan tinggi unggulan. Tapi, di luar kekurangannya, banyaknya peserta didik dari masyarakat kalangan bawah di satuan pendidikan NU membuktikan bahwa NU tetap konsisten memperjuangkan harkat dan martabat masyarakat kelas bawah.

Di era kompetitif sekarang ini, tuntutan untuk mengembangkan pendidikan yang lebih terorganisasi dan bermutu menjadi keharusan. Tetapi bagi NU, semestinya hal itu dilakukan tanpa meninggalkan komitmen dasarnya dalam melayani dan memperjuangkan umat, terutama masyarakat kelas bawah.

Apa yang perlu dilakukan oleh NU ke depan untuk memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikannya? Ini merupakan pertanyaan yang barangkali sampai saat ini belum terjawab tuntas di lingkungan NU. Kalau melihat keputusan-keputusan organisasi dalam bidang pendidikan, apa yang sudah berjalan selama ini sesunggunya tidaklah menjadi masalah. Pada Muktamar NU tahun 1927, warga NU bersepakat menggalang dana untuk mendirikan madrasah dan sekolah. Pada Muktamar berikutnya di 1928, para elite NU yang dipimpin oleh KH Wahab Chasbullah mengadakan gerakan peduli pendidikan dengan mengunjungi pesantren-pesantren kenamaan di Jombang dan Nganjuk Jawa Timur. Penting untuk dicatat bahwa, pesantren dengan berbagai kegiatan pendidikan di dalamnya, termasuk yang menggunakan sistem klasikan modern, pada masa-masa itu sudah berkembang mendahului gagasan pengembangan pendidikan yang dikembangkan oleh organisasi.

Page 66: KH.wahid Hasyim

Gagasan untuk mewadahi satuan-satuan pendidikan dalam sebuah badan hukum barangkali muncul pada Muktamar tahun 1929 yang memutuskan ada badan khusus di tubuh Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang menangani bidang pendidikan yang waktu itu diketuai oleh Abdullah Ubaid. Namun gagasan itu baru menemukan bentuknya secara organisatorik pada saat didirikannya Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU) di tahun 1959.

Di tahun itu, satuan-satuan pendidikan yang ada di dalam maupun di luar pesantren yang dikembangkan oleh warga NU sudah demikian banyak jumlahnya. Mereka mengembangkan pendidikan sebagai bentuk komitmen dari apa yang sudah dicita-citakan oleh NU. Dalam konteks ini, tugas organisasi sesungguhnya lebih pada menganyomi, mengkoordinasikan dan meningkatkan mutu pendidikan yang sudah dikembangkan. Tentu saja, NU berkepentingan untuk mendirikan, menyelenggara dan mengelola beberapa satuan pendidikan yang secara hukum menjadi aset organisasi. Satuan-satuan pendidikan ini idealnya berfungsi sebagai pionir dan model percontohan bagi satuan-satuan pendidikan di lingkungan NU lainnya.

Muktamar ke-30 tahun 1999 di Lirboyo Kediri membuat kebijakan penting di bidang pendidikan. Ditegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu maistream dalam program kerja NU, mengingat organisasi ini sendiri dilahirkan dari serangkaian proses sejarah yang didalamnya terjadi pergulatan pemikiran keagamaan dan keummatan. LP Ma'arif NU sendiri pada Rakernas Tahun 2001 kemudian memetakan adanya 3 (tiga) kelompok satuan pendidikan di lingkungan NU, yaitu: (1) satuan pendidikan yang didirikan oleh LP Ma'arif NU, (2) satuan pendidikan yang didirikan oleh jama'ah atau lembaga lain di lingkungan NU yang bekerjasama dengan LP Ma'arif NU dalam pengelolaannya, dan (3) satuan pendidikan yang didirikan dan dikelola secara mandiri oleh jama'ah atau lembaga lain di lingkungan NU. Ketiga kelompok tersebut dianggap sebagai satuan pendidikan yang bernaung di bawah LP Ma'arif NU. 

Dengan difokuskannya tugas LP Ma'arif NU pada satuan pendidikan formal sesuai dengan keputusan Muktamar NU ke-31 di Boyolali, perlu dirumuskan kembali langkah-langkah strategis untuk memberdayakan pendidikan di lingkungan NU. Semua perlu dilakukan tanpa mengurangi nilai-nilai luhur yang tercermian dari partisipasi warga NU dalam mengembangkan lembaga pendidikan selama ini. Pemikiran untuk menyatukan satuan-satuan pendidikan di bawah naungan NU saat ini perlu diterjemahkan sebagai upaya pemberdayaan dan penguatan jama'ah dan jam'iyah untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan, bukan sekedar penyelamatan aset fisik yang hanya berkutat soal kekayaan-kekayaan material organisasi yang kemudian tidak pernah menemukan titik terang pemanfaatannya. 

Harus diakui, ada beberapa aset (fisik) organisasi karena tidak mendapatkan perhatian di bidang advokasi lagalitasnya kemudian menguap dan berganti kepemilikan. Tapi, jangan pula dilupakan ada beberapa aset yang secara legal-formal merupakan milik organisasi, tetapi pihak lainlah yang piawai dalam pemanfaatannya. Dua masalah ini juga harus menjadi bagian dari perhatian LP Ma'arif NU saat ini.

Page 67: KH.wahid Hasyim

Pada soal pemberdayaan, LP Ma'arif NU perlu memperkuat perannya sebagai regulator dan fasilitator bagi seluruh satuan pendidikan di lingkungan NU, baik milik jam'iyah maupun jama'ah. Di sini, LP Ma'arif NU perlu merumuskan karekteristik dasar dari pendidikan NU yang perlu diterapkan, sehingga menjadi platform pendidikan Ma'arif. Nilai-nilai ahlussunnah waljama'ah tidak hanya diperjuangkan melalui mata pelajaran Aswaja dan Ke-NU-an, tetapi secara kultural harus ditanamkan ke dalam seluruh aspek yang ada di lingkungan satuan pendidikan NU, baik manajemen, standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar evaluasi dan lain sebagainya. Peran fasilitator ini ditandai dengan produk-produk regulasi, penyediaan pusat-pusat informasi pendidikan, advokasi pendidikan yang bermanfaat bagi jam'iyah dan jama'ah dalam penyelenggaraan pendidikan.

Tidak perlu berpikir ke belakang untuk menata ulang dari nol bagaimana satuan pendidikan di lingkungan NU berada dalam satu payung hukum, yakni NU atau LP Ma'arif NU. Berpikir seperti ini sama dengan tidak megembangkan potensi besar partisipasi warga NU dalam dunia pendidikan. Bahkan bisa jadi wajah pendidikan NU yang selama ini bersifat “partisipatorik”, kemudian berubah menjadi “instruktif”. Jadi, yang perlu dilakukan LP Ma'arif NU adalah bagaimana memaksimalkan peran regulatif dan fasilitasi pendidikannya. 

Adapun bidang hukum sangat terkait dengan penyelamatan dan pemanfaatan aset. Adanya 3 kelompok satuan pendidikan sebagaimana disebutkan di atas bisa dijadikan dasar bagi LP Ma'arif NU untuk melakukan penataan aset. Karena merupakan bidang hukum, maka strategi dan cara-cara yang digunakan selayaknya berdasar pada aturan main hukum. Sebut saja, misalnya satuan pendidikan yang didirikan oleh organisasi dan menjadi aset organisasi, maka nama dan lambang organisasi sudah seharusnya digunakan. Adapun tipe yang lainnya yang secara legal formal bukan merupakan aset organisasi, perlu dipertimbangkan jika nama dan lambang organisasi bebas-bebas saja digunakan, seperti apa dampaknya bagi keteraturan organisasi. Sebab, hal ini akan menjadi kendala tersendiri bagi proses penataan aset organisasi.

Sebagai lembaga yang berkekuatan hukum, LP Ma'arif NU bisa mendirikan, menyelenggarakan dan mengelola satuan pendidikan. Satuan pendidikan yang didirikan dengan cara ini adalah aset penuh organisasi. Pada saat yang sama, lembaga ini juga merupakan regulator dan fasilitator satuan pendidikan yang ada di lingkungan NU yang tidak didirikan oleh organisasi. Satuan pendidikan terakhir ini merupakan bentuk partisipasi jama'ah dalam pendidikan NU yang harus dikembangkan secara bersamaan dengan satuan pendidikan yang merupakan aset penuh organisasi 

* Dosen STAINU Jakarta; Bendahara Pengurus Pusat LP Ma’arif NU

Page 68: KH.wahid Hasyim