KGD Maternal Neonatal

40
KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL BAB II PEMBAHASAN 1. Definisi Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba, seringkali merupakan kejadian yang berrbahaya (Dorlan, 2011). Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000). Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya (Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999). Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat kematian ibu dan

Transcript of KGD Maternal Neonatal

Page 1: KGD Maternal Neonatal

KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL

BAB II

PEMBAHASAN

1.      Definisi Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal

Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba,

seringkali merupakan kejadian yang berrbahaya (Dorlan, 2011).

Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya

yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna

menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).

Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi

dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak

penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya

(Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999).

Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani

akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu janin

dan bayi baru lahir. (Saifuddin, 2002)

Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan manajemen

yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( ≤ usia 28 hari) membutuhkan pengetahuan

yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang

bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).

Page 2: KGD Maternal Neonatal

2.      Prinsip Dasar Penanganan Kegawatdaruratan

Kasus kegawatdaruratan obstetri ialah kasus yang apabila tidak segera ditangani akan

berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinya. Kasus ini menjadi penyebab

utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir. Secara umum terdapat 4 penyebab utama

kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir dari sisi obstetri, yaitu (1) perdarahan; (2) infeksi sepsis;

(3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; dan (4) persalinan macet (distosia). Persalinan macet

hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung, sedangkan ketiga penyebab yang lain dapat

terjadi dalam kehamilan, persalinan, dan masa nifas. Kasus perdarahan yang dimaksud di sini

adalah perdarahan yang diakibatkan oleh perlukaan jalan lahir mencakup juga kasus ruptur uteri.

Selain keempat penyebab kematian tersebut, masih banyak jenis kasus kegawatdaruratan

obstetrik baik yang terkait langsung dengan kehamilan dan persalinan, misalnya emboli air

ketuban, kehamilan ektopik, maupun yang tidak terkait langsung dengan kehamilan dan

persalinan, misalnya luka bakar, syok anafilaktik karena obat dan cidera akbita kecelakaan

lalulintas.

Manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan tersebut berbeda-beda dalam rentang yang

cukup luas.

1.      Kasus perdarahan, dapat bermanifestasi mulai dari perdarahan berwujud bercak merembes,

profus, sampai syok.

2.      Kasus infeksi dan sepsis, dapat bermanifestasi mulai dari pengeluaran cairan pervagianam yang

berbau, air ketuban hijau, demam, sampai syok.

Page 3: KGD Maternal Neonatal

3.      Kasus hipertensi dan preeklampsia/eklampsia,dapat bermanifestasi mulai dari keluhan sakit/

pusing kepala, bengkak, penglihatan kabur, kejang-kejang, sampai koma/pingsan/ tidak sadar.

4.      Kasus persalinan macet, lebih mudah dikenal apabila kemajuan persalinan tidak berlangsung

sesuai dengan batas waktu yang normal, tetapi kasus persalinan macet ini dapat merupakan

manifestasi ruptur uteri.

5.      Kasus kegawatdaruratan lain, bermanifestasi klinik sesuai dengan penyebabnya.

Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat penting agar pertolongan

yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan

obstetri yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, mengenal kasus tersebut tidak selalu

mudah dilakukan, bergantung pada pengetahuan, kemampuan daya pikir dan daya analisis, serta

pengalaman tenaga penolong. Kesalahan ataupun kelambatan dalam menentukan kasus dapat

berakibat fatal. Dalam prinsip, padad saat menerima setiap kasus yang dihadapi harus dianggap

gawatdarurat atau setidak-tidaknya dianggap berpotensi gawatdarurat, sampai ternyata setelah

pemeriksaan selesai kasus itu ternyata bukan kasus gawatdarurat.

Dalam menanagani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama (diagnosa)

dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang tidak panik,

walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam kepanikan. Semuanya

dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun prosedur pemeriksaan dan pertolongan

dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan hubungan antara dokter-pasien dalam menerima

dan menangani pasien harus tetap diperhatikan.

3.      Kegawatdaruratan Maternal

3.1.Perdarahan Postpartum

Page 4: KGD Maternal Neonatal

3.1.1.      Definisi Perdarahan Postpartum

Secara tradisional perdarahan postpartum didefinisikan sebagai kehilangan darah

sebanyak 500 mL atau lebih setelah selesainya kala III. Oleh karena itu, wanita melahirkan

secara pervaginam mengeluarkan darah sebanyak itu atau lebih, ketika diukur secara kuantitatif.

Hal ini dibandingkan dengan kehilangan darah sebanyak 1000 mL pada sectio cesaria, 1400 mL

pada histerektomi cesaria elektif, dan 3000 sampai 3500 mL untuk histerektomi cesaria

emergensi (Chestnut dkk, 1985; Clark  and colleagues, 1984).

Perdarahan postpartum merupakan suatu komplikasi potensial yang mengancam jiwa

pada persalinan pervaginam dan sectio cesaria. Meskipun beberapa penelitian mengatakan

persalinan normal seringkali menyebabkan perdarahan lebih dari 500 mL tanpa adanya suatu

gangguan pada kondisi ibu. Hal ini mengakibatkan penerapan definisi yang lebih luas untuk

perdarahan postpartum yang didefinisikan sebagai perdarahan yang mengakibatkan tanda-tanda

dan gejala-gejala dari ketidakstabilan hemodinamik, atau perdarahan yang mengakibatkan

ketidakstabilan hemodinamik jika tidak diterapi. Kehilangan darah lebih dari 1000 mL dengan

persalinan pervaginam atau penurunan kadar hematokrit lebih dari 10% dari sebelum melahirkan

juga dapat dianggap sebagai perdarahan post partum.

Wanita dengan kehamilan normal yang mengakibatkan hipervolemia yang biasanya

meningkatkan volume darah 30 – 60 %, dimana pada rata-rata wanita sebesar 1-2 L (Pitchard,

1965). Wanita tersebut akan mentoleransi kehilangan darah, tanpa ada perubahan kadar

hematokrit postpartum, karena kehilangan darah pada saat melahirkan mendekati banyaknya

volume darah yang ditambahkan saat kehamilan.

Saat ini perdarahan postpartum dibagi dalam 2 kategori yaitu :

a.       Perdarahan post partum primer, bila perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama.

Page 5: KGD Maternal Neonatal

b.      Perdarahan post partum sekunder, bila perdarahan terjadi setelah 24 jam pertama hingga 6

minggu setelah persalinan

3.1.2.      Epidemiologi

3.1.2.1.Insiden

Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8 %.

Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada

kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah

yang hilang setelah persalinan.

3.1.2.2.Peningkatan Angka Kematian di Negara Berkembang

Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal hal ini

disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya

layanan operasi.

3.1.3.      Etiologi

Kebanyakan penyebab perdarahan postpartum adalah atonia uteri, suatu kondisi dimana

korpus uteri tidak berkontraksi dengan baik, mengakibatkan perdarahan yang terus menerus dari

plasenta.

Faktor resiko dari atonia uteri adalah:

a)       Uterus yang teregang berlebihan (misalnya pada multigravida, makrosomia, hidramnion)

b)       Kelelahan uterus (misalnya pada percepatan atau persalinan yang lama, amnionitis)

c)       Obstruksi uterus (misal pada retensio plasenta atau bagian dari janin, plasenta akreta)

Penyebab terbanyak kedua adalah trauma uterus, servik dan/atau vagina. Faktor resiko

terjadinya trauma adalah.

Page 6: KGD Maternal Neonatal

a)       Persalinan pada bayi besar

b)       Instrumentasi atau manipulasi intrauterine (misalnya forsep, Vakum)

c)       Persalinan pervaginam pada bekas operasi secsio cesarea.

d)       Episiotomi

Gangguan koagulasi dan trombositopenia, yang terjadi sebelum atau pada saat kala II

atau III, dapat berhubungan dengan perdarahan masif.

Trauma selama persalianan dapat mengakibatkan hematom pada perineum atau pelvis.

Hematom ini dapat diraba dan seharusnya diduga bila tanda vital pasien tidak stabil dan sedikit

atau tidak ada perdarahan luar.

Inversi uteri dapat dihubungkan dengan perdarahan kurang lebih sebanyak 2 L. Tidak ada

penelitian yang menunjukkan hubungan antara tarikan pada tali pusat dan inverse urteri,

meskipun banyak praktisi klinis mengindikasikan bahwa hubungan tersebut dapat terjadi.

Ruptur uteri dapat dihubungkan dengan perdarahan pervaginam yang sedikt tetapi harus

dipertimbangkan bila terjadi nyeri abdomen yang hebat dan hemodinamik yang tidak stabil.

Faktor resiko lainnya perdarahan postpartum:

a)                  Preeklampsia

b)                  Riwayat perdarahan postpartum sebelumnya

c)                  Etnis Asia dan Hispanik

d)                 Nulipara atau multipara

Penyebab perdarahan postpartum disebabkan 4 T yaitu.

a.       Tone (atonia uteri )

Atonia uteri dan kegagalan kontraksi dan relaksasi miometrium dapat mengakibatkan

perdarahan yang cepat dan massif dan hipovolemik syok. Uterus yang terlalu meregang baik

Page 7: KGD Maternal Neonatal

absolute maupun relative, adalah factor resiko mayor untuk atonia uteri. Uterus yang terlalu

teregang dapat diakibatkan oleh gestasi multifetal, makrosomia, polihidramnion atau

abnormalitas janin ( misalnya hidrosefalus berat); suatu struktur uteri yang abnormal; atau

gangguan persalinan plasenta atau distensi dengan perdarahan sebelum plasenta dilahirkan.

Kontraksi miometrium yang buruk dapat diakibatkan karena kelelahan akibat persalinan

yang lama atau percepatan persalinan, khususnya jika distimulasi. Dapat juga merupakan hasil

dari inhibisi kontraksi oleh obat seperti anestesi halogen, nitrat, AINS, MgSO4, beta-

simpatomimetik, dan nifedipin. Penyebab lain plasenta letak rendah, toksin bakteri, hipoksia, dan

hipotermia.

b.      Trauma      - Trauma Uteri, Servik, atau Vagina

Trauma dapat terjadi pada persalinan yang lama dan sulit, khususnya jika pasien

memiliki CPD ( cefalopelvic disproportion) relatif atau absolute dan uterus telah distimulasi

dengan oksitosin atau prostaglandin. Pengontrolan tekanan intrauterin dapat mengurangi risiko

terjadinya trauma. Trauma juga dapat terjadi pada manipulasi janin intra maupun ekstra uterin.

Risiko yang paling besar mungkin dihubungkan dengan versi internal dan ekstraksi pada kembar

kedua; bagaimanapun, ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat versi eksternal. Akhirnya, trauma

mengakibatkan usaha untuk mengeluarkan retensi plasenta secara manual atau dengan

menggunakan instrument. Uterus harus selalu berada dalam kendali dengan cara meletakkan

tangan di atas abdomen pada prosedur tersebut. Injeksi salin/oksitosin intravena umbilical dapat

mengurangi kebutuhan teknik pengeluaran yang lebih invasif.

Laserasi servikal sering dihubungkan dengan persalinan menggunakan forceps dan

serviks harus diinspeksi pada persalinan tersebut. Persalinan per vaginam dengan bantuan

Page 8: KGD Maternal Neonatal

(forceps atau vakum) tidak boleh dilakukan tanpa adanya pembukaan lengkap. Laserasi servikal

dapat terjadi secara spontan. Pada kasus ini, ibu sering tidak dapat menahan untuk tidak

mengedan sebelum terjadi dilatasi penuh dari serviks. Terkadang eksplorasi manual atau

instrumentasi dari uterus dapat mengakibatkan kerusakan serviks. Sangat jarang, serviks sengaja

diinsisi pada posisi jam 2 dan/atau jam 10 untuk mengeluarkan kepala bayi yang terjebak pada

persalinan sungsang (insisi Dührssen).

Laserasi dinding vagina sering dijumpai pada persalinan pervaginam operatif, tetapi hal

ini terjadi secara spontan, khususnya jika tangan janin bersamaan dengan kepala. Laserasi dapat

terjadi pada saat manipulasi pada distosia bahu. Trauma vagina letak rendah terjadi baik secara

spontan maupun karena episiotomi.

c.       Tissue (Retensio Plasenta Atau Bekuan Darah)

Kontraksi dan retraksi uterus menyebabkan terlepasnya plasenta. Pelepasan plasenta yang

lengkap mengakibatkan retraksi yang berkelanjutan dan oklusi pembuluh darah yang optimal.

Retensi plasenta lebih sering bila plasenta suksenturiata atau lobus aksesoris. Setelah

plasenta dilahirkan dan dijumpai perdarahan minimal, plasenta harus diperiksa apakah plasenta

lengkap dan tidak ada bagian yang terlepas.

Plasenta memiliki kecenderungan untuk menjadi retensi pada kondisi kehamilan preterm

yang ekstrim (khususnya < 24 minggu), dan perdarahan yang hebat dapat terjadi. Ini harus

dijadikan pertimbangan pada persalinan pada awal kehamilan, baik mereka spontan ataupun

diinduksi. Penelitian terakhir menganjurkan penggunaan misoprostol pada terminasi kehamilan

trimester kedua mengurangi risiko terjadinya retensio plasenta dibandingkan dengan penggunaan

prostaglandin intrauterine atau saline hipertonik. Sebuah percobaan melaporkan retensio plasenta

Page 9: KGD Maternal Neonatal

membutuhkan dilatasi dan kuretase dari 3.4 % misoprostol oral dibandingkan dengan 22.4 %

yang menggunakan prostaglandin intra-amnion (Marquette, 2005).

Kegagalan pelepasan menyeluruh dari plasenta terjadi pada plasenta akreta dan

variannya. Pada kondisi ini plasenta lebih masuk dan lebih lengket. Perdarahan signifikan  yang

terjadi dari tempat perlekatan dan pelepasan yang normal menandakan adanya akreta sebagian.

Akreta lengkap dimana seluruh permukaan plasenta melekat abnormal, atau masuk lebih dalam 

(plasenta inkreta atau perkreta), muungkin tidak menyebabkan perdarahan masif secara

langsung, tapi dapat mengakibatkan adanya usaha yang lebih agresif untuk melepaskan plasenta.

Kondisi seperti ini harus dipertimbangkan jika plasenta terimplantasi pada jaringan parut di

uterus sebelumya, khususnya jika dihubungkan dengan plasenta previa.

Semua pasien dengan plasenta previa harus diinformasikan risiko terjadinya perdarahan

post partum yang berat,  termasuk kemungkinan dibutuhkannya transfuse dan histerektomi.

Darah mungkin dapat menahan uterus dan mencegah terjadinya kontraksi yang efektif.

Akhirnya, darah yang tertinggal dapat mengakibatnya distensi uterus dan menghambat

kontraksi yang efektif.

d.                  Trombosis

Pada awal periode postpartum, gangguan koagulasi dan platelet biasanya tidak selalu

mengakibatkan perdarahan yang massif, hal ini dikarenakan adanya kontraksi uterus yang

mencegah  terjadinya perdarahan (Baskett,1999). Fibrin pada plasenta dan bekuan darah pada

pembuluh darah berperan pada awal masa postpartum, gangguan padahal ini dapat menyebabkan

perdarahan postpartum tipe lambat atau eksaserbasi perdarahan karena sebab lain terutama

paling sering disebabkan trauma.

Page 10: KGD Maternal Neonatal

Abnormalitas dapat terjadi sebelumnya atau didapat. Trombositopenia dapat berhubungan

dengan penyakit lain yang menyertai, seperti ITP atau HELLP sindrom (hemolisis, peningkatan

enzim hati, dan penurunan platelet), abruptio plasenta, DIC, atau sepsis. Kebanyakan hal ini

terjadi bersamaan meskipun tidak didiagnosa sebelumnya.

3.1.4.      Patofisiologi

Dalam masa kehamilan, volume darah ibu meningkat kurang lebih 50% (dari 4 L menjadi

6 L). Volume plasma meningkat melebihi jumlah total sel darah merah, yang mengakibatkan

penurunan konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Peningkatan volume darah digunakan untuk

memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta dan persiapan terhadap hilangnya darah saat

persalinan (Cunningham, 2001).

Diperkirakan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 mL/menit, yang berarti 10-15%

dari curah jantung. Kebanyakan dari aliran ini melewati plasenta yang memiliki resistensi yang

rendah. Pembuluh darah uterus menyuplai sisi plasenta melewati serat miometrium. Ketika serat

ini berkontraksi pada saat persalinan, terjadi retraksi miometrium. Retraksi merupakan

karakteristik yang unik pada otot uterus untuk melakukan hal tersebut serat memendek mengikuti

tiap kontraksi. Pembuluh darah terjepit pada proses kontraksi ini, dan normalnya perdarahan

akan terhenti. Hal ini merupakan ’ligasi hidup’ atau ’jahitan fisiologis’ dari uterus

(Baskett,1999).

Atonia uteri adalah kegagalan otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan beretraksi.

Hal ini merupakan penyebab penting dari Perdarahan post partum dan biasanya terjadi segera

setelah bayi dilahirkan hingga 4 jam setelah persalinan. Trauma traktus genitalia (uterus, serviks,

vagina, labia, klitoris) pada persalinan mengakibatkan perdarahan  yang lebih banyak

Page 11: KGD Maternal Neonatal

dibandingkan pada wanita yang tidak hamil karena adanya peningkatan suplai darah terhadap

jaringan ini. Trauma khususnya berhubungan dengan persalinan, baik persalinan pervaginam

maupun persalinan sesar.

3.1.5.      Gambaran Klinis

3.1.5.1.Anamnesa

Selain menanyakan hal umum tentang periode perinatal, tanyakan tentang episode

perdarahan postpartum sebelumnya, riwayat seksio sesaria, paritas, dan riwayat fetus gandaatau

polihidramnion.

a)      Tentukan jika pasien atau keluarganya memiliki riwayat gangguan koagulasi atau perdarahan

massif dengan prosedur operasi atau menstruasi.

b)      Dapatkan informasi mengenai pengobatan, dengan pengobatan hipertensi (calcium-channel

blocker) atau penyakit jantung ( missal digoxin, warfarin). Informasi ini penting jika koagulopati

dan pasien memerlukan transfusi.

c)      Tentukan jika plasenta sudah dilahirkan.

Tabel 1. Perdarahan Post Partum

Kehilangan Darah Tekanan Darah

(Sistolik)

Tanda dan Gejala Derajat Syok

500-1000 mL

(10-15%)

Normal Palpitasi, Takikardi, Gelisah Terkompensasi

1000-1500 mL

(15-25%)

Menurun ringan

(80-100 mm Hg)

Lemah, Takikardi,

Berkeringat

Ringan

1500-2000 mL

(25-35%)

menurun sedang (70-80

mm Hg)

Sangat lemah, Pucat, oliguria Sedang

2000-3000 mL

(35-50%)

Sangat turun

(50-70 mm Hg)

Kolaps, Sesak nafas, Anuria Berat

Page 12: KGD Maternal Neonatal

Pendeteksian dan pendiagnosisan yang cepat dari kasus perdarahan postpartum sangat

penting untuk keberhasilan penatalaksanaan. Resusitasi dan pencarian penyebab harus

dilaksanakan dengan cepat sebelum terjadi sekuele dari hipovolemia yang berat.

3.1.6.      Pemeriksaan Penunjang

3.1.6.1.Laboratorium

a)      Darah Lengkap

1)      Untuk memeriksa kadar Hb dan hematokrit

2)      Perhatikan adanya trombositopenia

b)      PT dan aPTT diperiksa untuk menentukan adanya gangguan koagulasi.

c)      Kadar fibrinogen diperiksa untuk menilai adanya konsumtif koagulopati. Kadarnya secara

normal meningkat dari 300-600 pda kehamilan, pada kadar yang terlalu rendah atau dibawah

normal mengindikasikan adanya konsumtif koagulopati.

3.1.6.2.Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan yang dilakukan yaitu.

a)      USG dapat membantu menemukan abnormalitas dalam kavum uteri dan adanya hematom.

b)      Angiografi dapat digunakan pada kemungkinan embolisasi  dari pembuluh darah.

3.1.6.3.Pemeriksaan Lain

Tes D-dimer (tes monoklonal antibodi) untuk menentukan jika kadar serum produk

degradasi fibrin meningkat. Penemuan ini mengindikasikan gangguan koagulasi.

3.1.7.      Manajemen

Page 13: KGD Maternal Neonatal

Tujuan utama pertrolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum adalah

menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepa mungkin.

Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 2 bagian pokok :

a)      Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan

Pasien dengan hemorraghe postpartum memerlukan penggantian cairan dan pemeliharaan

volume sirkulasi darah ke organ – organ penting. Pantau terus perdarahan, kesadaran dan tanda-

tanda vital pasien.

Pastikan dua kateler intravena ukuran besar (16) untuk memudahkan pemberian cairan

dan darah secara bersamaan apabila diperlukan resusitasi cairan cepat.

1.      Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate

2.      Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell

3.      Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urin (dikatakan perfusi cairan ke ginjal

adekuat bila produksi urin dalam 1jam 30 cc atau lebih)

b)      Manajemen penyebab hemorraghe postpartum

Tentukan penyebab hemorraghe postpartum :

1)      Atonia uteri

Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di fundus uteri dan

lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina. Apabila terus teraba

lembek dan tidak berkontraksi dengan baik perlu dilakukan massase yang lebih keras dan

pemberian oxytocin. Pengosongan kandung kemih bisa mempermudah kontraksi uterus dan

memudahkan tindakan selanjutnya. Lakukan kompres bimanual apabila perdarahan masih

berlanjut, letakkan satu tangan di belakang fundus uteri dan tangan yang satunya dimasukkan

Page 14: KGD Maternal Neonatal

lewat jalan lahir dan ditekankan pada fornix anterior. Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan

apabila setelah pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal menghentikan perdarahan,

pilihan berikutnya adalah ergotamine.

2)      Sisa plasenta

Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi bimanual ataupun

massase dihentikan, bersamaan pemberian uterotonica lakukan eksplorasi. Beberapa ahli

menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan tanpa general anestesi

kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan

eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi bimanual ulang tanpa

menghentikan pemberian uterotonica.

Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi dan manual removal.

Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak baik bisa dipertimbangkan

untuk dilakukan laparatomi. Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup berguna untuk

menghentikan perdarahan selama persiapan operas

3)      Trauma jalan lahir

Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus sudah berkontraksi

dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari

perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan reparasi penjahitan setelah

diketahui sumber perdarahan, pastikan penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir

dibawah dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan setelah penjahitan selesai.

Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi laserasi pembuluh

darah dibawah mukosa, penetalaksanaannya bisa dilakukan incise dan drainase.Apabila

Page 15: KGD Maternal Neonatal

hematom sangat besar curigai sumber hematom karena pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi

untuk menghentikan perdarahan.

4)      Gangguan Pembekuan Darah

Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri, sisa plasenta dan

perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik mak kecurigaan penyebab perdarahan

adalah gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian produk darah pengganti

( trombosit,fibrinogen).

4.      Kegawatdaruratan Neonatal

Salah satu kegawatdaruratan neonatal adalah hipotermi.

4.1.Hipotermia pada Bayi Baru Lahir

4.1.1.      Definisi

Hipotermia adalah suatu kondisi di mana mekanisme tubuh mengatasi tekanan suhu

dingin. Hipotermia juga dapat didefinisikan sebagai suhu bagian dalam tubuh di bawah 35 °C.

Tubuh manusia mampu mengatur suhu pada zona termonetra l , yaitu antara 36,5-37,5 °C. Di luar

suhu tersebut, respon tubuh untuk mengatur suhu akan aktif menyeimbangkan produksi panas

dan kehilangan panas dalam tubuh. (Rukiyah dkk, 2010:283 ).

Bayi Hipotermi adalah bayi dengan suhu badan di bawah normal. Adapun suhu normal

bayi adalah 36,5-37,5 ºC (Suhu axila). Gejala awal hipotermi apabila suhu awal <36 ºC atau

kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi sudah

mengalami hipotermi sedang (suhu 32-36ºC). Disebut hipotermi berat bila suhu <32 ºC,

diperlukan termometer ukuran rendah (low reading thermometer ) yang dapat mengukur sampai

25 ºC.

Page 16: KGD Maternal Neonatal

Hipotermia dapat terjadi dengan cepat pada bayi yang sangat kecil atau bayi yang

diresusitasi atau dipisahkan dari ibu, dalam kasus-kasus ini suhu dapat cepat turun <35˚C

( Sarwono, 2006 : 288).

Hipotermi pada BBL adalah suhu di bawah 36,5 ºC, yang terbagi atas : hipotermi ringan

(cold stres) yaitu suhu antara 36-36,5 ºC, hipotermi sedang yaitu antara 32-36ºC, dan hipotermi

berat yaitu suhu tubuh <32 ºC. (Yunanto, 2008:40).

4.1.2.      Klasifikasi Hipotermi pada Bayi Baru Lahir

Menurut (Yunanto, 2008:42) penurunan suhu tubuh dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Anamnesa Pemeriksaan Klasifikasi

a.       Bayi terpapar suhu

lingkungan yang rendah

b.      Waktu timbulnya

kurang dari 2 hari

a.       Suhu tubuh 32˚ C –

36,4˚ C

b.      Gangguan napas

c.       Denyut jantung <100

kali permenit

d.      Malas minum

e.       letargi

Hipotermia sedang

a.       bayi terpapar suhu

lingkungan yang rendah

b.      waktu timbulnya

kurang dari 2 jam

a.       Suhu tubuh < 32˚ C

b.      Tanda hipotermia

sedang

c.       Kulit teraba keras

d.      Napas pelan dan dalam

Hipotermia berat

4.1.3.      Diagnosis

Page 17: KGD Maternal Neonatal

Menurut (Yunanto,2008:41) diagnosis hipotermi dapat ditegakkan dengan pengukuran

suhu baik suhu tubuh atau kulit bayi. Pengukuran suhu ini sangat bermanfaat sebagai salah satu

petunjuk penting untuk deteksi awal adanya suatu penyakit, dan pengukuranya dapat dilakukan

melalui aksila, rektal atau kulit. Melalui aksila merupakan prosedur pengukuran suhu bayi yang

dianjurkan, oleh karena mudah, sederhana dan aman. Tetapi pengukuran melalui rektal sangat

dianjurkan untuk dilakukan pertama kali pada semua BBL, oleh karena sekaligus sebagai tes

skrining untuk kemungkinan adanya anus imperforatus. Pengukuran suhu rektal tidak dilakukan

sebagai prosedur pemeriksaan yang rutin kecuali pada bayi-bayi sakit.

4.1.4.      Etiologi

Perinatal adalah bayi yang baru mengalami proses kelahiran dan harus menyesuaikan diri

dari kehidupan intera uterin ke kehidupan ekstra uterin selama 28 hari. Empat aspek transisi pada

bayi baru lahir dimasa perinatal yang cepat berlangsung adalah sistem pernapasan, sirkulasi, dan

kemampuan menghasilkan sumber glukosa. (Rukiyah dkk, 2010:2).

Penyebab terjadinya hipotermi pada BBL di masa perinatal yaitu:

a.       jaringan lemak subkutan tipis,

b.      perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar,

c.       bayi baru lahir tidak mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan,

d.      asfiksia yang hebat,

e.       resusitasi yang ekstensif,

f.       lambat sewaktu mengeringkan bayi,

g.      distress pernapasan,

h.      sepsis

i.        pada bayi prematur atau bayi kecil memiliki cadangan glukosa yang sedikit.

Page 18: KGD Maternal Neonatal

Neonatus mudah sekali terkena hipotermi yang disebabkan oleh:

a)      Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dengan sempurna

b)      Permukaan tubuh bayi relatif lebih luas

c)      Tubuh bayi terlalu kecil untuk memproduksi dan menyimpan panas

d)     Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakainnya agar dia tidak kedinginan

e)      Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan, seperti lingkungan dingin,

basah, atau bayi yang telanjang,cold linen, selama perjalanan dan beberapa keadaan seperti

mandi, pengambilan sampel darah, pemberian infus, serta pembedahan. Juga peningkatan

aliran udara dan penguapan.

f)       Ketidaksanggupan menahan panas, seperti pada permukaan tubuh yang relatif luas, kurang

lemak, ketidaksanggupan mengurangi permukaan tubuh, yaitu dengan memfleksikan tubuh dan

tonus otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya panas yang lebih besar pada BBLR.

g)      Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat, misalnya bayi

preterm, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem syaraf pusat sehubungan dengan anoksia,

hemoragi intra kranial, hipoksia, dan hipoglikemia.

Hipotermi dapat terjadi setiap saat apabila suhu disekelilingi bayi rendah dan upaya

mempertahankan suhu tubuh tidak di terapkan secara tepat,terutama pada masa stabilisasi

yaitu:6-12 jam pertama setelah lahir.

Untuk memfungsikan otak memerlukan glukosa dalam jumlah tertentu. Pada BBL jumlah

glukosa akan turun dalam waktu cepat. BBL yang tidak dapat mencerna glukosa dari glikogen

dalam hal ini terjadi bila bayi mempunyai persediaan glikogen cukup yang disimpan dalam hati.

Koreksi penurunan kadar gula darah dapat dilakukan dengan 3 cara : (1) melalui penggunaan

Page 19: KGD Maternal Neonatal

ASI, (2) melalui penggunaan cadangan glikogen, (3) melalui pembuatan glukosa dari sumber

lain terutama lemak. (Rukiyah dkk, 2010:283).

4.1.5.      Mekanisme Hilangnya Panas pada Bayi Baru Lahir

Menurut ( Yunanto, 2008:44 ) BBL dapat mengalami dapat mengalami hipotermi melalui

beberapa mekanisme, yang berkaitan dengan kemampuan tubuh untuk menjaga

keseimbanganantara produksi panas dan kehilangan panas yaitu:

1.      Penurunan produksi panas.

Hal ini dapat disebabkan kegagalan dalam sistem endokrin dan terjadi penurunan basal

metabolisme tubuh, sehingga timbul proses penurunan produksi panas, misalnya pada keadaan

disfungsi kelenjar tiroid, adrenal ataupun pituitari.

2.      Peningkatan panas yang hilang

Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh kehilangan panas. Adapun

mekanisme tubuh kehilangan panas dapat terjadi secara:

1)      Konduksi

Perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedan suhu antara kedua obyek. Kehilangan

panas terjadi saat terjadi kontak langsung antara kulit BBL dengan permukaan yang lebih dingin.

Sumber kehilangan panas terjadipada BBL yang berada pada permukaan/alas yang dingin,

seperti pada waktu proses penimbangan.

2)      Konveksi

Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara permukaankulit bayi dan aliran

udara yang dingin di permukaan tubuh bayi. Sumber kehilangan panas disini dapat berupa:

inkubator dengan jendela yang terbuka,atau pada waktu proses transportasi BBL ke rumah sakit.

3)      Radiasi

Page 20: KGD Maternal Neonatal

Perpindahan suhu dari suatu objek yang dingin, misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat

dikelilingi lingkungan yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu

lingkungan yang dingin atau suhu inkubator yang dingin.

4)      Evaporasi

Panas terbuang akibat penguapan, melalui permukaan kulit dan traktus repiratoris. Sumber

kehilangan panas dapat berupa BBL yang basah setelah lahir,atau pada waktu dimandikan.

3.      Kegagalan Termoregulasi

Kegagalan termoregulasi secara umum disebabkan kegagalan hipotalamus dalam

menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai penyebab. Keadaan hipoksia intrauterin/saat

persalinan/post partum, defek neurologik dan paparan obat prenatal (analgesik/anestesi) dapat

menekan respons neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan

mengalami masalah dalam pengaturan suhu dapat menjadi hipotermi atau hipertermi.

4.1.6.      Akibat yang dapat Ditimbulkan Hipotermi

Akibat yang ditimbulkan antara lain.

a.       Hipoglikemia-sidosis metabolik

b.      Karena vasokontriksi perifer dengan metabolisme anaerob

c.       Kebutuhan oksigen yang meningkat

d.      Metabolisme meningkat sehingga metabolisme terganggu

e.       Gangguan pembekuan darah sehingga meningkatkan pulmonal yang menyertai hipotermi berat

f.       Shock

g.      Apnea

h.      Perdarahan Intra Ventrikuler

i.        Hipoksemia, dan berlanjut dengan kematian

Page 21: KGD Maternal Neonatal

4.1.7.      Ciri-ciri Hipotermi pada Bayi Baru Lahir Normal

Menurut (Rukiyah dkk, 2010:287) beberapa ciri jika seorang bayi terkena hipotermi

antara lain :

a.       Bayi menggigil (walau biasanya ciri ini tidak mudah terlihat pada bayi kecil)

b.      Kulit anak terlihat belang-belang, merah campur putih atau timbul bercak-bercak.

c.       Anak terlihat apatis atau diam saja.

d.      Gerakan bayi kurang dari normal.

e.       Lebih parah lagi jika anak menjadi biru yang bisa dilihat pada bibir dan ujung-ujung jarinya.

4.1.8.      Penanganan Hipotermia Secara Umum untuk Bayi Baru Lahir

Ada prinsip dasar untuk mempertahankan suhu tubuh bayi baru lahir,yaitu.

a)      Mengeringkan bayi segera setelah lahir

Bayi lahir dengan tubuh basah oleh air ketuban. Aliran udara melalui jendela/pintu yang terbuka

akan mempercepat terjadinya penguapan dan bayi lebih cepat kehilangan panas tubuh. Akibatnya

dapat timbul serangan dingin (cold stress) yang merupakan gejala awal hipotermia. Bayi

kedinginan biasanya tidak memperlihatkan gejala menggigil oleh karena kontrol suhunya masih

belum sempurna. Hal ini menyebabkan gejala awal hipotermia seringkali tidak terdeteksi oleh

ibu atau keluarga bayi atau penolong persalinan.

Untuk mencengah terjadinya serangan dingin setiap bayi lahir harus segera dikeringkan dengan

handuk yang kering dan bersih (sebaiknya handuk tersebut dihangatkan terlebih dahulu).

Mengeringkan tubuh bayi harus dilakukan dengan cepat.dimulai dari kepala kemudian seluruh

tubuh bayi. Handuk yang basah harus diganti dengan handuk lain yang kering dan hangat.

Page 22: KGD Maternal Neonatal

b)      Setelah tubuh bayi kering segera dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup kepala,kaos

tangan dan kaki. Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu untuk mendapatkan

kehangatan dari dekapan ibu.

c)      Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat merangsang rooting refleks

dan bayi mendapat kalori.

d)     Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.

e)      Memberikan penghangatan pada bayi baru lahir secara mandiri.

f)       Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan.

g)      Menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil.

Menurut (Yunanto, 2008:45) kesempatan untuk bertahan hidup pada BBL ditandai

dengan keberhasilan usahanya dalam mencegah hilangnya panas dari tubuh.Untuk itu, BBL

haruslah dirawat dalam lingkungan suhu netral.

Menurut (Rukiyah dkk, 2010:290) bayi yang mengalami hipotermia biasanya mudah

sekali meninggal. Tindakan yang harus dilakukan adalah segera  menghangatkan bayi di dalam

incubator atau melalui penyinaran lampu. Cara lain yang sangat sederhana dan mudah dilakukan

oleh setiap ibu adalah menghangatkan bayi melalui panas tubuh ibu. Bayi diletakkan telungkup

di dada ibu agar terjadi kontak kulit langsung ibu dan bayi. Untuk menjaga agar bayi tetap

hangat, tubuh ibu dan bayi harus berada di dalam satu pakaian (merupakan teknologi tepat guna

baru) disebut sebagai metoda kangguru. Sebaiknya ibu menggunakan pakaian longgar

berkancing depan. Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang disetrika

terlebih dahulu, yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu.Lakukanlah berulang kali

sampai tubuh bayi hangat. Biasanya bayi hipotermia menderita hipoglikemia , sehingga bayi

Page 23: KGD Maternal Neonatal

harus diberi ASI sedikit-sedikit sesering mungkin. Bila bayi tidak menghisap, diberi infus

glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kgper hari.

4.1.9.      Metode Kanguru untuk Merawat Bayi Hipotermi

Menurut Agustinayanto (2008) metode kanguru atau perawatan bayi lekat ditemukan

sejak tahun 1983, sangat bermanfaat untuk merawat bayi yang lahir dengan hipotermi baik

selama perawatan di rumah sakit ataupun di rumah. Perawatan bayi dengan metode kanguru bisa

digunakan sebagai pengganti perawatan dengan inkubator. Caranya, dengan mengenakan popok

dan tutup kepala pada bayi yang baru lahir. Kemudian, bayi diletakkan di antara payudara ibu

dan ditutupi baju ibu yang berfungsi sebagai kantung kanguru. Posisi bayi tegak ketika ibu

berdiri atau duduk,dan tengkurap atau miring ketika ibu berbaring. Hal ini dilakukan sepanjang

hari oleh ibu atau pengganti ibu (ayah atau anggota keluarga lain). Suhu optimal didapat lewat

kontak langsung kulit ibu dengan kulit bayi (skin to skin contact). Suhu ibu merupakan sumber

panas yang efisien dan murah. Kontak erat dan interaksi ibu-bayi akan membuat bayi merasa

nyaman dan aman, serta meningkatkan perkembanganpsikomotor bayi sebagai reaksi rangsangan

sensoris dari ibu ke bayi.

Keuntungan yang di dapat dari metode kanguru bagi perawatan bayi yaitu.

a.       Meningkatkan hubungan emosi ibu anak 

b.      Menstabilkan suhu tubuh, denyut jantung, dan pernafasan bayi.

c.       Meningkatkan pertumbuhan dan berat badan bayi dengan lebih baik.

d.      Mengurangi stres pada ibu dan bayi. Mengurangi lama menangis pada bayi.

e.       Memperbaiki keadaan emosi ibu dan bayi.

f.       Meningkatkan produksi asi.

Page 24: KGD Maternal Neonatal

g.      Menurunkan resiko terinfeksi selama perawatan di rumah sakit.

h.      Mempersingkat masa rawat di rumah sakit

Kriteria bayi untuk metode kanguru:

a.       Bayi dengan berat badan ≤ 2000 g

b.      Tidak ada kelainan atau penyakit yang menyertai.

c.       Refleks dan kordinasi isap dan menelan yang baik.

d.      Perkembangan selama di inkubator baik.

e.       Kesiapan dan keikutsertaan orang tua, sangat mendukung dalam keberhasilan.

Cara Melakukan Metode Kanguru

a.       Beri bayi pakaian, topi, popok dan kaus kaki yang telah dihangatkan lebih dahulu.

b.      Letakkan bayi di dada ibu, dengan posisi tegak langsung ke kulit ibu dan pastikan kepala bayi

sudah terfiksasi pada dada ibu. Posisikan bayi dengan siku dan tungkai tertekuk, kepala dan dada

bayi terletak di dada ibu dengan kepala agak sedikit mendongak.

c.       Dapat pula memakai baju dengan ukuran lebih besar dari badan ibu,dan bayi diletakkan di

antara payudara ibu, baju ditangkupkan, kemudian ibu memakai selendang yang dililitkan di

perut ibu agar bayi tidak terjatuh.

d.      Bila baju ibu tidak dapat menyokong bayi , dapat digunakan handuk atau kain lebar yang elastik

atau kantong yang dibuat sedemikian untuk menjaga tubuh bayi.

e.       Ibu dapat beraktivitas dengan bebas, dapat bebas bergerak walau berdiri,duduk, jalan, makan

dan mengobrol. Pada waktu tidur, posisi ibu setengah duduk atau dengan jalan meletakkan

beberapa bantal dibelakang punggung ibu

f.       Bila ibu perlu istirahat, dapat digantikan oleh ayah atau orang lain.

Page 25: KGD Maternal Neonatal

g.      Dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan persiapan ibu, bayi, posisi bayi,pemantauan bayi, cara

pamberian asi, dan kebersihan ibu dan bayi.

BAB IIIPENUTUP

A.    SimpulanKegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi

dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak

penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya

(Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999).

Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan manajemen

yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( ≤ usia 28 hari) membutuhkan pengetahuan

yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang

bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).

Kasus kegawatdaruratan obstetri dan noenatal apabila tidak segera ditangani akan

berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinya. Kasus ini menjadi penyebab

utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir. Secara umum terdapat 4 penyebab utama

kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir dari sisi obstetri, yaitu (1) perdarahan; (2) infeksi sepsis;

(3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; dan (4) persalinan macet (distosia). Terdapat lebih

dari ¾ ( tiga perempat) kematian noenatal disebabkan kesulitan bernapas saat lahir ( asfiksia),

infeksi, komplikasi lahir, dan berat badan lahir yang rendah.

B.     Saran

Page 26: KGD Maternal Neonatal

Kasus kegawatdaruratan merupakan hal yang saat ini mendapat perhatian yang begitu

besar. Oleh karena itu, diharapkan seluruh pihak memberikan kontribusinya dalam merespon

kasus kegawatdaruratan ini. Bagi mahasiswa, sudah seyogyanya memberikan peran dengan

mempelajari dengan sungguh-sunggu kasus-kasus kegawatadaruratan dan memaksimalkan

keterampilan dalam melakukan penanganan kegawatdaruratan yang berada dalam koridor

wewenang bidan.

  DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F.Gary, Norman F. Gant, et all. Williams Obstetrics international

edition. 21 st edition. Page 619-663.

Bobak, Lowdermilk, & Jensen. (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi

4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Wiknjosastro Hanifa, Ilmu Kebidanan. 2009. Jakarta : PT. Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardo.

Murray, Sharon Smith & Emily Slone McKinney. (2007). Foundations of

Maternal-Newborn Nursing 4th Edition. Singapore: Saunders.

Ambarwati, 2008. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra Cendikia.

http://nurramayanti.blogspot.com/2013/04/kegawatdaruratan-maternal-dan-neonatal.html