KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM …

of 87 /87
KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : NURDIANSYAH 1111048000049 K O N S E N T R A S I K E L E M B A G A A N N E G A R A P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2015 M

Embed Size (px)

Transcript of KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM …

SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
NURDIANSYAH
1111048000049
K O N S E N T R A S I K E L E M B A G A A N N E G A R A
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
1436 H/2015 M
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1436 H/2015 M.
Masalah yang akan diteliti dalam penetian ini adalah kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. Dari
permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan meneliti lebih
dalam tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi, khususnya dalam
penuntutan tindak pidana pencucian uang dengan menelaah peraturan perundangan-
undangan yang terkait serta melihat dissenting opinion hakim tindak pidana korupsi
dalam menafsirkan tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai bahan pertimbangan analisis atas
permasalahan yang akan diteliti.
dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). Adapun data yang
digunakan yaitu data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Dalam pengumpulan data menggunakan teknik
pengumpulan data secara library research (studi kepustakaan), baik bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dikumpulkan
berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi untuk dikaji secara
komprehensif. Dalam menganalisis data menggunakan metode penalaran (logika)
deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa mengacu kepada peraturan perundang-
undangan yang terkait tindak pidana pencucian uang tidak dijelaskan bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang.
Kata Kunci : Kewenangan, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Penuntutan, Tindak Pidana Pencucian Uang
Pembimbing I : Dr. Wahiduddin Adams, SH, MA
Pembimbing II : Arip Purkon, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1981 s.d. Tahun 2014
v
Alhamdulillah, segala piji bagi Allah S.W.T., Tuhan semesta alam. Tiada
daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Shalawat serta salam selalu
tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad S.A.W. beserta keluarga, sahabat,
dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Tiada cipta karya melainkan atas petunjuk
dari-Nya. Karena rahmat dan ridho-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini dengan judul “KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN
KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG”.
Dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini tidaklah mudah. Namun, segala
hambatan akan menjadi ringan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Bapak Dr. JM. Muslimin, MA periode
2014-2015 dan Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA yang telah mengayomi
kami.
2. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu, Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH.
MH dan Bapak Arip Purkon, MA yang telah membimbing, meluangkan waktu
dan mengarahkan segenap aktifitas yang berkenaan dengan Program Studi Ilmu
Hukum.
vi
3. Pembimbing Skripsi Penulis, Bapak Dr. Wahiduddin Adams, SH, MA dan Bapak
Arip Purkon, MA yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan
memberi arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik.
4. Penguji Skripsi Penulis Bapak Dr. Alfitra, SH. MA dan Bapak Nur Rohim Yunus
L. LM yang telah menguji skripsi penulis dan memberikan arahan dalam
penulisan skripsi.
5. Pembimbing Akademik, Bapak Ahmad Bachtiar, M. Hum dan Bapak Nur Rohim
Yunus, L. LM yang sudah banyak membantu penulis selama ini.
6. Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Bapak Wawan
Yunarwanto,SH yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan wawancara pribadi sebagai bahan dalam skripsi ini.
7. Spesialis Kerjasama Pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK, Bapak Boby
Mokosugianta, SH dan Ibu Dhiyah Ferawati, SH yang memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melakukan wawancara pribadi sebagai bahan dalam skripsi
ini.
8. Segenap dosen yang telah mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada penulis,
Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta baik perputakaan
Fakultas maupun Perpustakaan Utama yang telah member fasilitas untuk
melakukan studi kepustakaan, Karyawan serta petugas umum Fakultas Syariah
dan Hukum pada khususnya dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya.
vii
9. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Ayahanda Khaerul Saleh, MH dan Ibunda Siti
Syamsiati, SH dengan segala pengorbanannya baik materiil maupun formil dan
yang terutama doanya serta motivasi yang tiada henti-hentinya sehingga penulis
dapat menyelesaikan studi tepat waktu, juga adik-adikku tercinta dan segenap
keluargaku yang telah memberikan dorongan dan doa selama kuliah sampai
selesainya skripsi ini. Serta teman special penuli,
10. Teman spesial yaitu Verina pradita Agusti yang selalu menemani, memberi
motivasi serta semangat untuk terus percaya diri dan memberikan sumbangsih
pemikiran kepada penulis sampai selesainya skripsi ini.
11. Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum khususnya Program Studi Ilmu
Hukum angkatan 2011 dan semua pihak yang belum tersebut, terima kasih telah
memberikan dan inspirasi, motivasi dan bantuan serta dukungan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Demikian ucapan terima kasih penulis, semoga Allah S.W.T. memberikan
pahala dan balasan yang setimpal atas semua jasa-jasa mereka. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang banyak.
Jakarta, 18 Maret 2015 M
Nurdiansyah
viii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................................ 7
E. Kerangka Konseptual .................................................................................... 11
NEGARA
1. Pengertian Kewenangan .......................................................................... 20
2. Jenis-jenis Kewenangan ......................................................................... 24
B. Teori Tentang Lembaga Negara.................................................................... 27
3. Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organs) ........................... 30
ix
A. Komisi Pemberantasan Korupsi .................................................................... 33
1. Latar Belakang dan Tujuan Pembentukan Komisi Pemberantasan
Korupsi ................................................................................................... 33
3. Visi dan Misi Komisi Pemberantasan Korupsi ....................................... 37
4. Landasan Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi................................. 38
B. Pencucian Uang ............................................................................................ 39
2. Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana
Korupsi ................................................................................................... 42
DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
A. Konstruksi Hukum Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang ...................................... 46
B. Dissenting Opinion para hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam
menafsirkan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penuntutan
Tindak Pidana Pencucian Uang ................................................................... 59
C. Prospek Pengaturan Kewenangan Penuntutan Tindak Pidana Pencucian
Uang Yang Terkait Dengan Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Masa
Mendatang ..................................................................................................... 68
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), dan menjamin semua warga
negara dengan kedudukan yang sama dimata hukum dan pemerintahan serta wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Di berbagai
belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan
dengan tindak pidana lainnya termasuk di Negara Indonesia. Secara umum,
pengertian tindak tidana korupsi adalah suatu perbuatan curang yang merugikan
keuangan negara. 1 Menurut Adnan Buyung Nasution, korupsi yang sudah terjadi
secara sistematis dan meluas ini bukan hanya merupakan tindakan yang merugikan
keuangan negara melainkan juga merupakan satu pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM). 2
Munurut Andi Hamzah, korupsi secara etimologis berasal dari bahasa latin
yaitu “corruptio” atau “corruptus” yang dalam bahasa Eropa seperti Inggris yaitu
“coruption”, dalam bahasa Belanda “korruptie” yang selanjutnya muncul pula dalam
1 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, cet.III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 15.
2 Adnan Buyung Nasution, Pentingnya Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Trisakti, 2002), h. 2- 5.
2
perbendaharaan bahasa Indonesia: korupsi, yang dapat berarti suka di suap. 3 Lalu bila
dilihat di dalam Black’s Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah,
Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan
untuk dirinya sendiri atau orang lain. 4 Arti harfiah dari kata itu adalah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan
dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. 5 Dalam Kamus
Bahasa Indonesia kata „korupsi diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang , penerimaan uang sogok dan sebagainya. 6
Seiring dengan perkembangan zaman, tindak pidana korupsi dan tindak
pidana pencucian uang sangat erat kaitannya. Hal tersebut dikarenakan di dalam
tindak pidana pencucian uang, korupsi dapat menjadi predicate crime (tindak pidana
asal) dalam tindak pidana pencucian uang. Pada hakikatnya pencucian uang adalah
suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
uang/dana atau harta kekayaanhasil tindak pidana melalui berbagai transaksi
keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari
3 Andi Hamzah, Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP dengan Komentar (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1995), h. 135. 4 Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi (Pena Multi Media, 2008), h. 2.
5 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi:Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 4-5. 6 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi:Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
h. 6.
kegiatan yang sah/legal. 7 Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana Pencucian
Uang memiliki hubungan atau keterkaitan yang sangat fundamental. Hal tersebut
secara jelas dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.Dalam
Undang-Undang itu sendiri dikenal satu istilah yang disebut dengan “tindak pidana
asal” (predicate crime).Tindak pidana asal (predicate crime) didefenisikan sebagai
tindak pidana yang memicu (sumber) terjadinya tindak pidana pencucian uang. Hasil
tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. Korupsi, b.
Penyuapan, c. Narkotika, d. Psikotropika, e. Penyelundupan tenaga kerja, f.
Penyelundupan migrant, g. Di bidang perbankan, h. Di bidang pasar modal, i. Di
bidang perasuransian, j. Kepabeanan, k. Cukai, l. Perdagangan orang, m.
Perdagangan senjata gelap, n. Terorisme, o. Penculikan, p. Pencurian, q.
Penggelapan, r. Penipuan, s. Pemalsuan, t. Perjudian, u. Prostitusi, v. Di bidang
perpajakan, w. Di bidang kehutanan, x. Di bidang lingkungan hidup, y. z. Di bidang
kelautan dan perikanan dan Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4
(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuaan Republik Indonesia dan tindak
pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Pada umumnya pelaku tindak pidana Pencucian Uang berusaha
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil
7 Wikipedia, “Pencucian Uang”, artikel diakses pada 1 November 2014 dari
dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit
ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta
Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu,
tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem
perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-
sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 8
Dalam pemberantasan korupsi, lembaga yang khusus menangani
pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KPK sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya bersifat Independen dan Bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Tujuan dibentuknya KPK adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.Kaitannya dengan tindak pidana
pencucian uang, KPK mempunyai wewenang dalam menangani kasus tindak pidana
pencucian uang yang tindak pidana asalnya (predicate crime) Korupsi. Hal tersebut
telah Diatur dalam Pasal 74 Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu: “Penyidikan tindak pidana
Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-undang ini.”
8 Wikipedia, “Pencucian Uang”.
Penjelasan Pasal 74, yaitu yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana
asal” dalam Undang-undang No. 8 tahun 2008 adalah pejabat dari instansi yang diberi
kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional,
serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian
Keuangan Republik Indonesia.
Dalam melakukan upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
untuk pertama kalinya, KPK menjerat M. Nazaruddin dalam kasus tindak pidana
pencucian uang saham Garuda pada Februari 2012. KPK mulai sering menggunakan
UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang untuk menjerat tersangka korupsi. Mereka antara lain Wa Ode
Nurhayati, Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah, Rudi Rubiandini,
M. Akil Mochtar, dan Anas Urbaningrum. 9 Penerapan Undang-undang Tindak Pidana
Pencucian Uang adalah cara efektif untuk membuka peluang lebih besar terhadap
pengembalian keuangan negara. Hampir semua kasus yang ditangani KPK
menggunakan Undang-undangTindak Pidana Pencucian Uang. Penggabungan kasus
korupsi dengan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan keuntungan tersendiri
bagi KPK dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi. Pertama, lebih banyak
aktor yang terjerat, termasuk korporasi. Kedua, hukuman lebih maksimal. Ketiga,
9 HukumOnline.com, “Grey Area Penanganan TPPU”, artikel diakses pada 1 November
2014 dari http://www.hukumonline.com/ berita/baca/lt52f0d3968ed1f/grey-area-penanganan-tppu-
koruptor. 10
Pencucian Uang yaitu dalam hal penuntutan. Hal tersebut dikarenakan tidak diaturnya
secara jelas kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang di
dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uangkewenangan KPK dalam hal penuntutan.
Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) para hakim TIPIKOR yang dapat
dilihat terjadi pada perkara Lutfi Hasan Ishaq dan Ahmad Fathanah dimana ada 2
majelis hakim yaitu menyatakan setuju bila KPK dapat melakukan penuntutan
terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang,yaitu Hakim I Made Hendra dan Joko
Subagyo ,dimana kedua hakim tersebut menyatakan bahwa jaksa KPK tidak
berwenang menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang. 11
Perbedaan pendapat ini
memang tidak mengatur kewenangan jaksa KPK menuntut perkara Tindak Pidana
Pencucian Uang tetapi dalam kenyataannya jaksa KPK dapat melakukan penuntutan
terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang. 12
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
10
HukumOnline.com, “Grey Area Penanganan TPPU”. 11
HukumOnline.com, KPK “Berwenang Tangani TPPU Sejak 2002”, artikel diakses pada 2
November 2014 darihttp:// www.hukumonline.com/berita/baca/lt52267e44e3133/kpk-berwenang-
Muhammad Fadli, “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam
Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang”, Jurnal Legislasi Indonesia, no. 1 Vol 11 (2014): h. 15.
7
penulis merasa perlu untuk membahas dan meneliti secara lebih mendalam atas
berbagai fenomena tersebut serta penelitian ini dapat dijadikan sebagai skripsi dengan
tema atau judul tentang “KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN
KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penututan Tindak
Pidana Pencucian Uang yang dihubungkan dengan Undang-undang, teori-teori,
kasus-kasus dan wawancara pihak-pihak yang terkait, serta Dissenting Opinion
para hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Berdasar dari latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah
diuraikan, menurut peraturan perundang-undangan tidak dijelaskan tentang
kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana
Pencucian Uang tetapi dalam kenyataannya Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
melalukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. Rumusan tersebut di atas
penulis rinci dalam bentuk pertanyaan yaitu sebagai berikut:
8
Pemberantasan Korupsi merasa berwenang dalam penuntutan Tindak Pidana
Pencucian Uang?
(TIPIKOR) dalam menafsirkan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang?
3. Bagaimana prospek pengaturan kewenangan penuntutan Tindak Pidana
Pencucian Uang yang terkait dengan kasus Tindak Pidana Korupsi di masa
mendatang?
1. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki tujuan yaitu sebagai berikut:
a. Tujuan secara Umum
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
2) Untuk mengetahui Dissenting Opinion para hakim Tindak Pidana Korupsi
(TIPIKOR) dalam menafsirkan Kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang.
9
Pidana Pencucian Uang yang terkait dengan kasus Tindak Pidana Korupsi
di masa mendatang.
b. Tujuan secara khusus yaitu untuk memenuhi persyaratan akademis guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Konsentrasi Kelembagaan
Negara, Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Penelitian
mengharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
penelitian ini. Adapun manfaat yang diharapkan dan dihasilkan dalam penelitian
ini antara lain:
a. Manfaat Teoritis
khususnya lembaga negara yang bertugas melakukan pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang .
2) Menambah dan memperkaya referensi dan literature kepustakaan hukum
tata negara yang kaitannya tentang Kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang.
b. Manfaat Praktis
penalaran dan pola pikir ilmiah serta dapat menguji dan mengetahui
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh.
2) Memberi sumbangan pemikiran bagi institusi atau lembaga yang terkait
langsung terhadap penelitian ini.
3) Dapat menjadi jawaban atas masalah yang diteliti dalam penelitian ini.
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu
Dalam melakukan penelitian ini, penulis melihat kajian atau review terdahulu
sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini. Adapun kajian
atau review terdahulu yang menjadi acuan antara lain:
1. Skripsi mengenai “Eksistensi State Auxiliary Organs Dalam Rangka
Mewujudkan Good Governance” oleh Angga Martandy Prihantoro,
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun
2010, skripsi ini membahas tentang keberadaan dan kedudukan State Auxiliary
Organs yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia serta dalam mewujudkan Good Governance di Indonesia, sedangkan
penelitian ini membahas tentang kewenangan Komisi Pemberantasan korupsi
dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya dalam hal penuntutan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pemberantasan Korupsi dalam penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
11
membahas kewenangan Komisi Pemberansan Korupsi dalam penuntutan Tindak
Pidana Pencucian Uang .
3. Skripsi mengenai “Indepedensi Yuridis KPK: Telaah Teoritis dan Praktis”
oleh Benu Pangestu, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013, Skripsi ini membahas
tentang urgensi dan tantangan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,
serta mengkaji lebih tentang peran dan kedudukan KPK di dalam struktur
kelembagaan Negara berdasarkan undang-undang yang terkait, sedangkan
penelitian ini khusus membahas tentang kewenangan Komisi Pemberansan
Korupsi dalam pentuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang.
E. Kerangka Konseptual
konsep satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang inginditeliti. Kerangka
konsep ini gunanya untuk menghubungkan ataumenjelaskan secara panjang lebar
tentang suatu topik yang akan dibahas. Kerangka konseptual menjelaskan pengertian-
12
antara lain:
1. Menurut Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat Independen dan Bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dan dibentuk
dengan Tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Kewenangan adalah hak seorang individu untuk melakukan sesuatu tindakan
dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh subjek hukum dalam suatu kelompok
tertentu.
3. Menurut Pasal 1 angka 6 KUHAP, Penuntut Umum adalah jaksa yang telah
diberi wewenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
4. Menurut Pasal 1 angka 6 KUHAP, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang
melakukan penuntutan serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
5. Menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jaksa KPK adalah penuntut umum pada
Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
6. Menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, Penuntutan adalah tindakan penuntut untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
13
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan.
7. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang diancam dengan pidana oleh
undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh
seseorang yang mampu bertanggung jawab. 13
8. Pencucian Uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-asul uang atau harta kekayaan yang
diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan
yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. 14
9. Korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
koorporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian Negara. 15
10. Dissenting Opinion adalah suatu pendapat berbeda yang dilakukan oleh seorang
anggota/beberapa majelis hakim minoritas, yang wajib dimuat dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
F. Metode Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya adalah suatu proses sistematis dan terencana
untuk menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, serta doktrin-doktrin
13
Roni Wiyanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia (Bandung, C.V.Mandar Maju, 2012),
h. 160. 14
Aziz syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 19. 15
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Cet II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 9.
14
Adapun Metode
berikut:
Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan di
dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang
ada. 17
Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian
disusun secara sistematis, dikaji, dan kemudian ditarik kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti. Masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini adalah Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian uang.
2. Jenis Pendekatan
undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach).Pendekatan
undang-undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.Selain
itu, penulis juga menggunakan Pendekatan kasus (case approach) yang dilakukan
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Prenada Media: Jakarta, 2005), h. 35. 17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
cet XI, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 13–14.
15
masalah yang diteliti yang telah menjadi putusan pengadilan serta melihat
dissenting opinion hakim Tindak Pidana Korupsi dalam menafsirkan
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan terhadap Tindak
Pidana Pencucian Uang.
3. Sumber Data
Dalam penelitian normatif ini jenis data yang digunakan adalah data
hukum sekunder. Menurut Soerjono Soekanto, data hukum sekunder dibagi
menjadi: 18
ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundang-
undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan, dan putusan-putusan hakim. 19
Bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
Acara Pidana;
Korupsi;
18
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
cet XI, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 59. 19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet VI, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 141.
16
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
b. Bahan Hukum Sekunder
penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan penelitian
ini, yang memberikan penjelasan mendalam mengenai bahan hukum primer
dan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah buku-
buku, skripsi, tesis, majalah, jurnal hukum, wawancara ahli, dan lain
sebagainya yang berkaitan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Tindak Pidana Pencucian Uang serta artikel ilmiah dan tulisan di internet.
c. Bahan Hukum Tersier
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Dalam hal ini penulis
membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mencari istilah-istilah yang
berkaitan dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
secara library research (studi kepustakaan) serta wawancara ahli/seseorang yang
berwenang atau berkompeten, baik bahan hukum primer dan bahan
permasalahan yang telah diklasifikasi untuk dikaji secara komprehensif. 20
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini mendeskripiskan data-data yang diperoleh selama penelitian,
yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan
dalam penelitian hukum kepustakaan. 21
Data kualitatif adalah fokus dari
penelitian ini. Dengan demikian penulis berharap untuk dapat memberikan
gambaran utuh dan menyeluruh bagi berbagai fenomena yang ingin diteliti, yaitu
seputar permasalahan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang dan pada akhirnya memberikan
simpulan yang solutif untuk memecahkan permasalahan yang diteliti dengan
memberikan rekomendasi seperlunya.Metode penalaran yang dipilih oleh penulis
adalah metode penalaran (logika) deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu
masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
6. Metode Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini mulai dari awal hingga akhir mengacu
pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
20
Suratman dan H. Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Alfabeta, 2013), h.
123. 21
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2004), h. 52.
berjudul “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penuntutan Tindak
Pidana Pencucian Uang” penulis merasa perlu untuk menguraikan terlebih dahulu
sistematika penulisan sebagai gambaran singkat. Sesuai dengan buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Penulis menyusun sistematika yang terbagi dalam
lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun rinciannya
yaitu sebagai berikut:
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review)
studi terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penelitian.
BAB Kedua, LANDASAN TEORI TENTANG KEWENANGAN DAN
LEMBAGA NEGARA yang berisi teori tentang kewenangan dan teori tentang
lembaga Negara. Dimana teori tentang kewenangan menjelaskan pengertian
kewenangan dan jenis-jenis kewenangan, sedangkan teori tentang lembaga Negara
menjelaskan tentang pengertian lembaga Negara, jenis-jenis lembaga Negara, dan
lembaga negara penunjang (auxiliary state organs).
BAB Ketiga, KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN PENCUCIAN
UANG yang berisi tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pencucian uang,
dimana Komisi pemberantasan Korupsi menjelasakan latar belakang dan tujuan
19
menjelaskan tentang Pemahaman Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana Korupsi.
BAB Keempat, ANALISA KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN
KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
yang berisi tentang deskripsi hasil penelitian atas permasalahan yang telah
dirumuskan oleh penulis yaitu Pertama, Konstruksi Hukum/Argumentasi Yuridis
kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Kedua, Dissenting Opinion para hakim tindak pidana korupsi
(TIPIKOR) dalam menafsirkan kewenangan komisi pemberantasan korupsi dalam
penuntutan tindak pidana pencucian uang.Ketiga, Prospek pengaturan kewenangan
penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang yang terkait dengan kasus Tindak Pidana
Korupsi di masa mendatang.
BAB Kelima, PENUTUP yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian,
serta memberi saran-saran sebagai evaluasi dari penelitian.
20
LEMBAGA NEGARA
kewenangan, dimana istilah kewenangan diberikan kepada suatu organ
Negara/lembaga Negara. Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan
penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu
pentingnya kedudukan wewenang ini sehingga F.A.M. Stroik dan J.G.
Steenbeek menyatakan: “Het begrip bevoegdheid is dan ook een kembegrip in
het staats-en administratief recht”. 22
Dari pernyataan tersebut dapat diartikan
bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum
administrasi.
oleh Kamal Hidjaz, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan,
yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan
membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada
22
E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht
(Alphen aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985), h. 26.
20
21
sebutan Authority yang dalam Black S Law Dictionary diartikan sebagai
“Legal power; a right to command or to act; the right and power of public
officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their
public duties”. 24
atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau
bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum
dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik.
Dalam mendefinisikan kewenangan terdapat banyak definisi yang
dijelaskan oleh pakar/ahli yaitu antara lain:
a. Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan
sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum
publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. 25
b. Menurut F.P.C.L. Tonner berpendapat sebagaimana dikutip oleh Ridwan
HR “Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het
vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen
tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen”. Dari
kalimat tersebut dapat diterjemahkan bahwa kewenangan pemerintah
dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan
23
Daerah Di Indonesia (Makasar: Pustaka Refleksi, 2010), h. 35. 24
Henry Campbell Black, Black’S Law Dictionary ( West Publishing, 1990), h. 133. 25
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang”, YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII, September –
Desember, 1997 , h.1.
antara pemerintahan dengan warga Negara. 26
c. Menurut Ferrazi kewenangan yaitu sebagai hak untuk menjalankan satu
atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan
standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) atau
suatu urusan tertentu. 27
kewenangan dan wewenang. 28
bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,
kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-
undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”
(bagian) tertentu saja dari kewenangan.
e. Menurut S. F. Marbun, Kewenangan dan wewenang harus dibedakan.
Kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik
terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap sesuatu bidang
pemerintahan tertentu secara bulat. Sedangkan wewenang (competence,
bevoegdheid) hanya mengenal bidang tertentu saja. Dengan demikian,
kewenangan berarti kumpulan dari wewenang-wewenang
26
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 100. 27
Ganjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia,
2007), h. 93. 28
23
diberikan peraturan perundang-undangan untuk melakukan hubungan
hukum. 29
Dari definisi yang dijelaskan oleh para ahli, bila dilihat dari sisi tata
Negara dan administrasi Negara, penulis berpendapat bahwa kewenangan
adalah suatu hak yang dimiliki oleh suatu organ Negara/lembaga Negara
berupa wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan
atau peraturan tertentu untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai organ
Negara/lembaga Negara. Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang
kepada suatu organ Negara/lembaga Negara adalah kewenangan yang
memiliki legitimasi, sehingga munculnya kewenangan adalah membatasi agar
penyelenggara negara dalam melaksanakan pemerintahan dapat dibatasi
kewenangannya agar tidak berlaku sewenang-wenang. Dalam
mengaplikasikan suatu kewenangan yang dimiliki oleh suatu organ
Negara/lembaga Negara, penulis memberi contoh yaitu mengenai
kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dalam pasal 12
ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu member wewenang kepada KPK
untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
29
Daerah Di Indonesia (Pustaka Refleksi, Makasar, 2010), h. 35.
24
voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup
wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat
keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka
pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang
utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis,
pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. 30
Dalam
antara lain:
sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun
yang baru sama sekali. 31
Artinya kewenangan itu bersifat melekat
terhadap organ pemerintahan tersebut yang dituju atas jabatan dan
kewenangan yang diberikan kepada organ pemerintahan tersebut.
b. Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ
pemerintahan kepada organ yang lain. 32
Dalam delegasi mengandung
suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk
30
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1994), h. 65. 31
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008), h. 104. 32
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, h. 105.
25
oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima
wewenang.
gungmembuat keputusan a/n pejabat Tata Usaha Negara yang memberi
mandat. 33
tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini dapat
dilihat dan kata a.n (atas nama). Dengan demikian, semua akibat hukum
yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh
mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat. 34
Jika melihat cara-cara memperoleh suatu kewenangan organ
pemerintahan/lembaga Negara, penulis menghubungkan teori kewenangan ini
dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Pertama, dengan cara atribusi kewenangan
dimana dalam Pasal 68 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan
bahwa“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta
pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap
tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang ini dilakukan
33
Justitia Tahun XVI, no.I (Januari 1998), h. 90. 34
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”, h. 94.
26
lain dalam undang-undang ini”. Disitu ada kata-kata “dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan” artinya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 sifatnya tidak menutup dari undang-undang lain, dalam hal ini
masih ada kemungkinan KPK menggunakan Undang-Undang no. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang memberikan KPK
kewenangan penuntutan.
pidana pencucian uang yang dilakukan oleh penyidik KPK, apabila dalam
penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik KPK ada
indikasi tindak pidana pencucian uang, maka berdasarkan pasal 75 Undang-
Undang Nomor 8 tahun 2010, maka penyidik KPK dapat menggabungkan
antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang. kemudian
setelah penyidikan selesai, maka penyidik KPK melaporkan atau
berkoordinasi dengan penuntut umum KPK untuk selanjutnya diteruskan ke
tahap penuntutan oleh jaksa KPK.
Ketiga, dengan cara Mandat dimana Komisi Pemberantasan Korupsi
memberi mandat kepada jaksa KPK untuk melakukan penuntutan atas perkara
tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah korupsi
sebagai penuntut umum KPK dengan bertindak atas nama Komisi
Pemberantasan Korupsi.
1. Pengertian Lembaga Negara
biasa disebut dengan istilah Lembaga Negara. Istilah lembaga Negara dalam
kepustakaan Inggris, biasa disebut dengan istilah Political Institution,
sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah Staat Organen.
Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara, badan negara,
atau organ Negara. 35
dapat dilihat dari pandangan Hans Kelsen sebagaimana yang dikutip oleh
Jimly Asshidiqie mengenai “The concept of state organ” dalam bukunya
“General Theory of Law and State”, dimana dalam bukunya tersebut Hans
Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the
legal order is an organ”. 36
Dari kalimat tersebut dapat diartikan bahwa siapa
saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu hukum (legal
order) adalah suatu organ. Artinya, organ Negara itu tidak selalu berbentuk
organik. Di samping organ Negara yang berbentuk organik, lebih luas lagi,
setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat juga disebut sebagai organ,
35
Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), h. 88. 36
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 36-38.
28
dan/atau menjalankan norma (norm applying).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana yang dikutip oleh
Firmansyah Arifin, dkk, kata “lembaga” memiliki beberapa arti, salah satu arti
yang paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah badan atau
organisasi yang tujuannya melakukan suatu usaha. Kamus tersebut juga
memberi contoh frase yang menggunakan kata lembaga, yaitu “lembaga
pemerintah” yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan dalam
lingkungan eksekutif. Apabila kata “pemerintah” diganti dengan kata
“negara”, maka frase “lembaga negara” diartikan sebagai badan-badan negara
di semua lingkungan pemerintahan Negara (khususnya di lingkungan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif). 37
Seiring dengan perkembangannya, pemahaman tentang lembaga
Negara muncul dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-
1/2003 atas pengujian Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang
Penyiaran yang menyatakan bahwa “dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
istilah lembaga Negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga Negara
yang dimaksudkan dalam UUD yang keberadaannya atas dasar perintah
konstitusi, tetapi juga ada yang dibentuk atas perintah undang-undang dan
bahkan ada lembaga Negara yang dibentuk atas dasar keputusan presiden”.
37
(Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), h. 30.
29
2002 tentang Penyiaran.
sependapat dengan pendapat mahkamah konstitusi di dalam putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-1/2003 dan menarik kesimpulan
bahwa lembaga Negara adalah suatu organ Negara yang dibentuk oleh Negara
baik melalui UUD 1945, Undang-undang maupun Keputusan Presiden yang
memiliki tugas dan fungsinya serta wewenang yang diatur oleh peraturan
yang terkait sebagai penyelenggara Negara.
2. Jenis-jenis Lembaga Negara
Ketentuan UUD 1945 tidak mengklasifikasikan jenis-jenis lembaga
Negara. dalam memahami jenis-jenis Lembaga Negara secara teori ada 3 jenis
lembaga Negara yaitu antara lain: Lembaga Negara Utama, Lembaga Negara
Kedua, Lembaga Negara Ketiga. Sebagaimana penjelasan sebagai berikut:
a. Lembaga Negara Utama
tugas dan wewenangnya diatur oleh Undang-undang dasar 1945. Lembaga
tinggi Negara ini terbagi atas Lembaga Legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Adapun organ Negara yang termasuk lembaga Negara utama antara lain:
DPR, DPD, MPR, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, dan BPK.
30
kewenangannya disebutkan di dalam UUD 1945 dan Undang-undang.
Lembaga Negara kedua ini disebutkan secara eksplisit ataupun Implisit di
dalam Undang-undang dasar 1945 selain lembaga Negara Utama/lembaga
tinggi Negara. 38
kedua antara lain: Kementerian, Kepolisian RI, Kejaksaan RI, TNI, Bank
Sentral, dan lain sebagainya.
c. Lembaga Negara Ketiga
Negara ketiga antara lain: Gubernur/Bupati/Walikota Pemerintahan
Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.
3. Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organs)
Dalam memahami istilah Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State
Organs), ada beberapa istilah-istilah yang disamakan dengan Auxiliary State
Organs, ada yang menyebutkan komisi Negara, ada yang menyebutkan
Auxiliary State bodies, Auxiliary State Agencies dan adapula yang
menyebutkan sebagai lembaga Negara Independen.
38
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945 (Jakarta: Kencana, 2010), h. 179.
31
sebagai komisi Negara memberikan definisi yaitu komisi Negara adalah organ
Negara (state organ) yang diedealkan independen dan karenanya berada
diluar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 39
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa Lembaga Negara penunjang ini bebas dari pengaruh dan
intervensi manapun. Lembaga Negara penunjang (Auxiliary State Organs)
dibagi menjadi 2 yaitu: 40
a. Komisi Negara Eksekutif (Executive Branches Agencies)
Komisi Negara Eksekutif adalah Komisi Negara yang tugas dan
fungsinya dimaksudkan untuk membantu kinerja dari lembaga eksekutif.
Adapun organ Negara yang termasuk dalam Komisi Negara Eksekutif
antara lain: Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Hukum
Nasional, ,Komite Akreditasi Nasional, dan lain sebagainya.
b. Komisi Negara Independen (Independent Regulatory Agencies)
Komisi Negara Independen adalah Suatu organ Negara/komisi
yang independen, karena berada diluar dari kekuasaan manapun
(kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dan bertanggung jawab
langsung kepada rakyat melalui DPR sebagai representatif dari rakyat,
namun mempunyai fungsi dari ketiga lembaga tersebut (legislatif,
39
Denny Indrayana, Negara Antara Ada Dan Tiada Refomasi Hukum Ketatanegaraan
(Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008), h. 265-266. 40
Sri Sumantri, Lembaga Dan Auxikiary Bodies Dalam Sitem Ketatanegaraan Mnurut UUD
1945 (Surabaya, Airlangga University Press, 2002), h. 204.
32
Komisi Negara Eksekutif antara lain: Komisi Pemberantasan Korupsi,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran Indonesia,
PPATK, Komnas HAM, dan lain sebagainya. 41
Dalam hal ini, penulis menghubungkan teori tentang Lembaga
Negara Penunjang/Independen (auxiliary state organs) dengan penelitian
ini karena Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu dari
Lembaga Negara Penunjang/Independen (auxiliary state organs). KPK
merupakan Lembaga Negara yang dalam menjalankan kewenangannya
bebas dari pengaruh dan intervensi pihak atau lembaga manapun baik
dalam upaya pemberantasan korupsi maupun tindak pidana pencucian
uang termasuk kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana
pencucian, meskipun dalam banyak pihak memperdebatkan perihal
kewenangan KPK dalam penuntutan TPPU seperti halnya dissenting
opinion hakim TIPIKOR dalam putusan pengadilan terkait tindak pidana
pencucian uang.
41
Sri Sumantri, Dan Auxikiary Bodies Dalam Sitem Ketatanegaraan Mnurut UUD 1945, h.
208.
33
A. Komisi Pemberatasan Korupsi
Dalam penanganan tindak pidana korupsi, harus diakui bahwa
eksistensi lembaga pemerintahan yang menangani perkara korupsi belum
berfungsi secara efektif dan effesien dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi. Hal demikian diperparah oleh indikasi adanya keterlibatan aparat
penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi. Paling tidak terdapat 3
alasan yang membuat hal demikian terjadi yaitu: Pertama, melalui media
massa seringkali ditemukan adanya beberapa kasus korupsi besar yang tidak
pernah jelas ujung akhir penanganannya. Kedua, pada kasus tertentu juga
sering terjadi adanya pengeluaran SP3 (surat perintah penghentian
penyidikan) oleh aparat terkait sekalipun bukti awal secara yuridis dalam
kasus tersebut sesungguhnya cukup kuat. Ketiga, kalaupun suatu kasus
korupsi penanganannya sudah sampai di persidangan pengadilan, seringkali
public dikejutkan bahkan dikecewakan oleh adanya vonis-vonis yang
melawan arus dan rasa keadilan masyarakat. 42
Selain itu, penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana
korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami
42
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2011), h.169.
33
34
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan
secara optimal, intensif, efektif, propesional serta berkesinambungan. 43
Pembentukan lembaga yang diharapkan mampu memberantas atau paling
tidak meminimalisir maraknya kasus korupsi salah satunya adalah dengan
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam bagian konsideran
huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, bahwa debentuknya
Komisi tersebuat karena di satu sisi realitas korupsi di Indonesia dinilai
semakin memperihatinkan dan menimbulkan kerugian besar terhadap
keuangan maupun perekonomian Negara sehingga menghambat
pembangunan nasional dalam mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan dan
keadilan masyarakat. Pada sisi lain, upaya pemberantasan korupsi yang telah
berjalan selama ini dinilai pula belum terlaksana secara optimal. Karena
aparat penegak hukum yang bertugas menangani perkara tindak pidana
korupsi dipandang belum dapat berfungsi secara efektif dan effesien. 44
Mengenai latar belakang dan tujuan terbentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, penulis sependapat dengan pendapat yang
43
(Bandung: Mandar Maju, 2004), h. 26-29. 44
Artidjo Alkostar,Korupsi Politik Di Negara Modern (Yogyakarta: UII Press, 2008), h. 377.
35
dikemukakan oleh Ryaas Rasyid sebagaimana dikutip oleh Nimatul Huda
yang menyatakan “Fenomena menjamurnya komisi Negara memberi kesan
bahwa Indonesia berada dalam darurat karena pelbagai institusi yang ada
selama ini tidak berperan serta berjalan efektif sesuai dengan ketatanegaraan
dan konstitusi. DPR belum mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap
kinerja lembaga Negara yang berada di bawah lembaga eksekutif. Di sisi lain,
lembaga kuasi Negara adalah terobosan sekaligus perwujudan
ketidakpercayaan rakyat dan pimpinan Negara terhadap lembaga kenegaraan
yang ada”. 45
pemberantasan tindak pidana korupsi yang sulit diwujudkan jika masih
mengandalkan lembaga penegak hukum yang telah ada seperti kepolisian dan
kejaksaan. Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya aparat penegak
hukum itu sendiri seringkali terlibat dalam praktik korupsi atas perkara yang
mereka tangani.
Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa
terdapat lima tugas Komisi Pemberantasan Korupsi yang harus dilaksanakan
yaitu Pertama, Koordinasi dengan dengan instansi yang berwenang
45
Nimatul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi (Yogyakarta: UII
Press, 2007), h. 207.
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga,
Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi. Keempat, Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi, dan Kelima, Melakukan monitor terhadap penyelenggara
pemerintahan Negara.
efektif dan dapat mewujudkan tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi diberi kewenangan-kewenangan hukum yang secara eksplisit
tercantum dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi. 46
Pemberantasan Komisi Korupsi diberikan kewenangan hukum berdasarkan
ketentuan pasal 7 yaitu Pertama, Mengkoordinasikan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Kedua, Menetapkan sistem
pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga,
Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait. Keempat, Melaksanakan dengar pendapat atau
pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
46
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 170-176.
37
pencegahan tindak pidana korupsi.
undang-undang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi agar tidak
disalahgunakan, maka ketentuan pasal 15 di undang-undang Komisi
Pemberantasan Korupsi membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu Pertama, Memberikan perlindungan
terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan
keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Kedua, Memberikan
informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan
untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak
pidana korupsi yang ditanganinya. Ketiga, Menyusun laporan tahunan dan
menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Keempat,
Menegakkan sumpah jabatan. Kelima, Menjalankan tugas, tanggungjawab,
dan wewenangnya berdasarkan asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas
akuntabilitas, asas kepentingan umum, dan asas proporsionalitas.
3. Visi dan Misi Komisi Pemberantasan Korupsi
Sebuah lembaga Negara memiliki Visi dan Misi dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya.Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki Visi dan
Misi yang diharapkan dan hendak dicapai. Visi Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah “Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi”. Visi ini
38
menunjukan suatu tekad kuat dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dapat
segera menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut korupsi, kolusi
dan nepotisme.Lalu adapun misi dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah
“Penggerak Perubahan Untuk Mewujudkan Bangsa yang Antikorupsi”.
Dengan misi tersebut diharapkan nantinya komisi ini dapat menjadi sebuah
lembaga yang mampu membudayakan antikorupsi di masyarakat, pemerintah
dan swasta.
Adapun Landasan/Dasar hukum KPK dalam menjalankan tugas dan
fungsinya adalah sebagai berikut:
Tindak Pidana Korupsi;
3. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
pencucian uang dan kaitannya dengan kejahatan pencucian uang sebagai salah
satu jenis kejahatan yang mendunia. Kejahatan merupakan sebuah istilah yang
sudah lazim dan populer di kalangan masyarakat Indonesia atau crime bagi
orang inggris. Menurut Howard Abadinsky sebagaimana yang dikutip oleh
Arief Amrullah yaitu, kejahatan dipandang sebagai mala in se atau mala in
prohibita. Mala in se menunjuk kepada perbuatan yang pada hakikatnya
adalah kejahatan, seperti pembunuhan. Sedangkan mala in prohibita
menunjuk kepada perbuatan yang oleh Negara ditetapkan sebagai perbuatan
yang dilarang (unlawful). 47
dengan pengertian tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian
uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-asul uang atau harta kekayaan yang
diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta
kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. 48
Pada awalnya objek pencucian uang yang paling utama dilakukan
adalah hasil dari penjualan obat-obatan terlarang/narkotika dan
47
h. 2. 48
Aziz syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 19.
40
maraknya terjadi korupsi menjadi objek utama dalam tindak pidana asal
(predicate crime) dalam tindak pidana pencucian uang. Di dalam undang-
undang tindak pidana pencucian uang telah disebutkan beberapa tindak pidana
asal (predicate crime) yaitu Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
yaitu Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana: Korupsi, Penyuapan, Narkotika, Psikotropika, Penyelundupan tenaga
kerja, dan lain sebagainya serta Tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuaan Republik
Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut
hukum Indonesia.
dalam pemberantasannya. Faktor penyebab timbulnya money laundering
yaitu, 49
Kemajuan teknologi di bidang perbankan yang menciptakan electronic
banking dan e-money sehingga pelayanan bank dapat dilakukan dengan
internet. Ketiga, Kerahasian bank untuk setiap rekening para nasabahnya
sehingga memungkinkan para nasabahnya menggunakan nama samara
49
Pathorang Halim, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang Di Era
Globalisasi (Yogyakarta: Total Media, 2013), h. 34-37.
41
tidak diketahui jelas karena deposan yang terakhir hanyalan sekedar
ditugaskan untuk mendepositkan di suatu bank. Keempat, Ketentuan hukum
dimana hubungan lawyer dengan klien adalah hubungan kerahasiaan yang
tidak boleh diungkapkan. Kelima, Belum adanya peraturan money laundering
di dalam suatu Negara tertentu.
Dalam membuktikan suatu tindak pidana pencucian uang, tidak mudah
untuk membuktikan adanya suatu money laundering, karena kegiatannya
sangat komplek sekali, namun para pakar berhasil menggolongkan proses
money laundering kedalam tiga tahap, yaitu:
a. Tahap Penempatan Uang (Placement)
Pada tahap ini, pelaku menempatkan dana haramnya ke dalam
sistem keuangan melalui perbankan dengan menyimpan dananya pada
suatu bank. Kemudian, pelaku memindahkan dananya ke bank lain yang
berada diluar negera tempat ia menempatkan dananya pertama kali. Pada
saat itulah, dana haram milik pelaku kegiatan pencucian uang tersebut
masuk dalam suatu jaringan keuangan global. Dengan demikian, bank
merupakan pintu utama dari tahap pertama kegiatan pencucian uang. 50
b. Tahap Pelapisan Uang (Layering)
50
Alfitra, Modus Operandi Tindak Pidana Khusus Di Luar KUHP (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2014), h. 57.
Pada tahap ini, pelaku telah memecah uang haramnya ke dalam
beberapa rekening atas nama beberapa nasabah yang tidak saling
mengenal satu sama lain dalam jumlah nominal yang tidak mencurigakan
otoritas moneter dan dilakukan antarnegara. Kegiatan pemecahan ke
dalam beberapa lapis nasabah melalui beberapa lapis rekening antarbank
antarnegara disebut pelapisan dengan maksud menyamarkan asal-usul
dana tersebut. Dengan demikian dilakukan layering, akan semakin sulit
bagi aparat penegak hukum untuk dapat mengetahui asal-usul dana
tersebut. 51
Pada tahap ini, pelaku menyatukan kembali uang hasil kejahatan
yang telah melalui proses arus keuangan yang sah. Pada tahap ini uang
hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai
hasil dari kejahatan.
2. Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana Korupsi
Kejahatan merupakan suatu perilaku yang menyimpang, selalu
melekat pada tiap bentuk masyarakat yang tidak pernah sepi dari kejahatan.
Perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata, serta dapat
menimbulkan ketegangan social yang mengancam berlangsungnya ketertiban
sosial. Salah satu kejahatan yang memiliki dimensi yang menimbulkan
berbagai kejahatan lanjutan dengan kejahatan tipologi lainnya adalah tindak
51
Alfitra, Modus Operandi Tindak Pidana Khusus Di Luar KUHP, h. 58.
43
pidana pencucian uang (money laundering). Tindak pidana pencucian uang
(money laundering) adalah suatu proses yang dengan cara itu asset, terutama
asset tunai yang diperoleh dari tindak pidana dimanipulasi sedemikian rupa
sehingga asset tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Tindak
pidana pencucian uang merupakan salah satu kejahatan terorganisasi yang
pada dasarnya termasuk kejahatan terhadap pembangunan dan kesejahteraan
sosial yang menjadi pusat perhatian dan keperihatinan internal nasional dan
eksternal internasional.
Tindak pidana pencucian uang memiliki keterkaitan dengan tindak
pidana korupsi. Di dalam dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.Dalam Undang-Undang itu sendiri dikenal satu istilah yang disebut
dengan “tindak pidana asal” (predicate crime).Tindak pidana asal (predicate
crime) didefenisikan sebagai tindak pidana yang memicu (sumber) terjadinya
tindak pidana pencucian uang. Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan
yang diperoleh dari tindak pidana: Korupsi, Penyuapan, Narkotika,
Psikotropika, Penyelundupan tenaga kerja, dan lain sebagainya serta Tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih, yang
dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah
44
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. 52
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan korupsi merupakan salah
satu tindak pidana asal/tindak pidana lanjutan/predicate crime dari tindak
pidana pencucian uang. Dalam hal penegakan hukum tindak pidana korupsi,
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menggunakan Undang-Undang No. 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. Mengingat semakin canggihnya cara atau modus yang digunakan oleh
para pelaku tindak pidana korupsi yaitu salah satunya adalah dengan
melakukan pencucian uang.
dapat memperluas makna pembuktiannya dengan dukungan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yakni salah
satunya adalah undang-undang tindak pidana pencucian uang. 53
Dimana
lembaga yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
yang setiap tahunnya melaporkan adanya indikasi kuat terjadinya tindak
pidana pencucian uang kepada para penegak hukum, termasuk Komisi
Pemberantasan Korupsi apabila ada indikasi terjadinya tindak pidana
52
Kejahatan (Bandung: PT. Citra Adhitya Bakti, 2010), h. 213. 53
NLRP, Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(Jakarta: Netherlads Reform Program, 2011), h. 470.
45
bentuk korupsi termasuk tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana
asalnya adalah korupsi. Menurut penulis, pada dasarnya tindak pidana
pencucian uang adalah suatu tindak pidana yang tidak dapat berdiri sendiri,
dimana setiap ada tindak pidana pencucian pastilah ada tindak pidana
asal/unsure tindak pidana lain seperti korupsi.
46
DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
A. Konstruksi Hukum KewenanganKomisi Pemberantasan Korupsi Dalam
Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang
Sebelum menguraikan tentang kewenangan KPK dalam penuntutan tindak
pidana pencucian uang, Terlebih dahulu penulis akan menguraikan yaitu, Pertama
tentang subjek yang melakukan penuntutan yang di dalamnya juga akan
membahas mengkaji tentang jaksa KPK dan jaksa pada Kejaksaan, Kedua, akan
diuraikan tentang kewenangan, Ketiga, akan menguraikan sedikit tentang
pencucian uang. Setelah itu Penulis akan mengkaitkan ketiga hal tersebut
sebagaimana telah dirinci dalam penelitian ini yaitu kewenangan KPK (jaksa
KPK) dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian.
Pertama, penulis akan menguraikan tentang subjek yang melakukan
penuntutan atas suatu tindak pidana yang dalam hal ini disebut jaksa. Dalam hal
ini ada istilah jaksa dan kejaksaan. Dapat dibedakan antara jaksa dengan
kejaksaan yaitu, Jaksa adalah tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan
utama sedangkan Kejaksaan adalah sebutan bagi institusi dalam sistem peradilan
pidana yang memiliki fungsi menuntut dan membuat dokumen seperti surat
46
47
Menurut Pasal 1 angka 6 KUHAP, Jaksa adalah
pejabat yang diberi wewenang melakukan penuntutan serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan Penuntut
Umum sebagaimana dalam Pasal 1 angka 6 KUHAP, adalah jaksa yang telah
diberi wewenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Kejaksaan sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah satu dan tidak terpisahkan
dalam melaksanakan tugas penuntutan tindak pidana dan kewenangan lain. 55
Jadi
dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa dimanapun jaksa berada, fungsi jaksa
sebagai penuntut umum dalam melakukan penuntutan tindak pidana tetap
melakat. Lalu kaitannya dengan KPK, Dalam hal ini KPK memiliki Jaksa
penuntut umum yang berasal dari KPK yang sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 bahwa “Penuntut adalah
penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”. Dalam hal ini maka timbul
suatu pemikiran tentang bagaimana kedudukan Jaksa KPK dengan Jaksa pada
kejaksaan.
54
Suradji, Mudiyati, dan Sutriya (Editor), Analisis dan Evaluasi Hukum Penunututan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), h. 8. 55
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Cet. V, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 66.
48
Dalam wawancara dengan Jaksa Penuntut Umum KPK yaitu Wawan
Yunarwanto pada tanggal 10 maret 2015 yang menjelaskan kedudukan jaksa KPK
dan jaksa pada kejaksaan agung bahwa: 56
“Dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejakasaan Republik Indonesia bahwa jaksa adalah satu dan tidak
terpisahkan. Seluruh jaksa yang ada di KPK adalah berasal dari Kejaksaan
Agung. Jadi dalam hal ini jaksa yang ada di KPK hanya diberhentikan
sementara oleh kejaksaan agung dan kemudian diangkat oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan secara fungsi
antara jaksa yang ada di KPK dengan jaksa yang ada di Kejaksaan Agung.
Perihal pengangkatan dan pemberhentian, sebagaimana jaksa KPK
diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
sedangkan jaksa diangkat dan diberhentikan oleh jaksa agung itu hanya
perbedaan dalam segi administratif.”
Penyataan yang sama terkait kedudukan jaksa KPK dan jaksa pada
kejaksaan agung juga diutarakan oleh Boby Mokosugianta selaku spesialis
Kerjasama pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK yang menjelaskan
bahwa:
“Sebenarnya tidak ada perbedaan antara jaksa yang di KPK dengan jaksa
yang di kejaksaan agung, karena jika dilihat dari sisi penegakan hukum
sama saja karena fungsinya sama, lalu jika dilihat dari lembaga negaranya
sama-sama lembaga Negara non kementerian. Perihal pengangkatan
seperti halnya jaksa KPK diangkat oleh KPK dan jaksa di kejaksaan
agung diangkat oleh jaksa agung itu perbedaan dalam hal kepegawaian
bukan dalam hal kedudukan.” 57
Dari penyataan tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa tidak ada
perbedaan dalam hal kedudukan antara jaksa KPK dengan jaksa dari kejaksaan
56
Pribadi, Jakarta, 10 Maret 2015. 57
Boby Mokosugianta, Spesialis Kerjasama Pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK,
Wawancara Pribadi, Jakarta, 09 Maret 2015.
49
dalam hal fungsi melakukan penuntutan. Hanya saja berbeda dari segi
pengangkatan dan pemberhentiannya.
Administrasi Negara, Kewenangan adalah suatu hak yang dimiliki oleh suatu
organ Negara/lembaga Negara berupa wewenang yang diberikan oleh suatu
peraturan perundang-undangan atau peraturan tertentu untuk menjalankan tugas
dan fungsinya sebagai organ Negara/lembaga Negara. Adapun tujuan dari
kewenangan yaitu memiliki legitimasi, sehingga munculnya kewenangan adalah
untuk membatasi agar penyelenggara negara dalam melaksanakan pemerintahan
dapat dibatasi kewenangannya agar tidak berlaku sewenang-wenang. Menurut
teori kewenangan ada 3 cara dalam memperoleh kewenangan yaitu sebagai
berikut:
1. Atribusi, yaitu pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri
kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun yang baru
sama sekali. 58
pemerintahan tersebut yang dituju atas jabatan dan kewenangan yang
diberikan kepada organ pemerintahan tersebut.
2. Delegasi adalah penyerahan/pelimpahan wewenang yang dipunyai oleh organ
pemerintahan kepada organ yang lain. 59
Dalam delegasi mengandung suatu
penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya
58
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008), h. 104. 59
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, h. 105.
50
menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi
delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang.
3. Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahari
itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat
keputusan a/n pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. 60
Tanggungjawab tidak berpindah ke mandataris, melainkan tanggungjawab
tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas
nama). Dengan demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya
keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si
pemberi mandat. 61
Ketiga, penulis akan menguraikan tentang tindak pidana pencucian uang.
pengertian dari Tindak pidana pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan
yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-asul uang atau
harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah
menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. 62
Pada
awalnya objek pencucian uang yang paling utama dilakukan adalah hasil dari
penjualan obat-obatan terlarang/narkotika dan penyelundupan. Namun seiring
dengan perkembangan zaman, dimana maraknya terjadi korupsi menjadi objek
utama dalam tindak pidana asal (predicate crime) dalam tindak pidana pencucian
60
Justitia Tahun XVI, no.I (Januari 1998), h. 90. 61
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”, h. 94. 62
Aziz syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 19.
51
uang. Di dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang telah disebutkan
beberapa tindak pidana asal (predicate crime) yaitu Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa salah satu tindak pidana asal
(predicate crime) dari Tindak pidana pencucian uang adalah “korupsi”. Dalam
penanganan tindak pidana korupsi adalah termasuk dari tugas dan kewenangan
KPK.
Setelah ketiga hal yang telah disebutkan diatas, dapat dikaitkan dengan
penelitian ini yang akan mengkaji secara luas tentang Kewenangan KPK dalam
penuntutan tindak pidana pencucian uang. Menurut teori kewenangan ada 3 cara
dalam memperoleh kewenangan yaitu, Atribusi, Delegasi dan Mandat. 63
Kewenangan dengan cara Atribusi, Kewenangan secara Atribusi ini penulis
hubungkan dengan kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana
pencucian uang, dimana dalam Pasal 68 Undang-undang No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
menjelaskan bahwa“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang ini
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Dari pasal tersebut ada kata-kata
63
Juniarso Ridwan dan Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan
Pelayanan Publik, Cet. IV, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2014), h. 138-139.
52
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sifatnya tidak menutup dari undang-
undang lain, dalam hal ini masih ada kemungkinan KPK menggunakan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang
memberikan KPK kewenangan penuntutan.
dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang, dimana dalam hal
penyidikan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh penyidik KPK,
apabila dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik
KPK ada indikasi tindak pidana pencucian uang, maka berdasarkan pasal 75
Undang-undang Nomor 8 tahun 2010, maka penyidik KPK dapat menggabungkan
antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang. kemudian
setelah penyidikan selesai, maka penyidik KPK melaporkan atau berkoordinasi
dengan penuntut umum KPK untuk selanjutnya diteruskan ke tahap penuntutan
oleh jaksa KPK.
cara Mandat. Kewenangan secara Mandat ini penulis hubungkan dengan
kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang,
dimana Komisi Pemberantasan Korupsi memberi mandat kepada jaksa KPK
untuk melakukan penuntutan atas perkara tindak pidana pencucian uang yang
53
tindak pidana asalnya adalah korupsi sebagai penuntut umum KPK dengan
bertindak atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi.
Di dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memang tidak secara eksplisit
menjelaskan bahwa KPK berwenang dalam penututan tindak pidana pencucian,
sehingga dalam beberapa perkara muncul dissenting opinion hakim tipikor yang
menyatakan bahwa KPK tidak berwenang dalam menuntut tindak pidana
pencucian uang karena menurut beberapa hakim tipikor yang dissenting opinion
menggangap tidak ada satupun pasal yang menyatakan kewenangan KPK dapat
menuntut tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut yang seringkali menjadi
kendala KPK khususnya jaksa penuntut umum KPK dalam melakukan
penuntutan tindak pidana pencucian uang.
Dalam wawancara dengan Jaksa Penuntut Umum KPK yaitu Wawan
Yunarwanto yang mengemukakan Konstruksi hukum/alasan yuridis sehingga
KPK merasa berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang
menjelasakan: 64
“Alasan yuridis sehingga KPK merasa berwenang dalam penuntutan
tindak pidana pencucian uang yaitu: Pada umumnya pemberantasan
korupsi ada berbagai macam cara, secara universal bahwa salah satu cara
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah melalui tindak pidana
pencucian uang. Jadi bila KPK menemukan tindak pidana pencucian maka
disitu juga KPK melakukan upaya untuk pemberantasan tindak pidana
korupsi. Pertama berdasarkan undang-undang yang terkait yaitu Undang-
64
Pribadi, Jakarta, 10 Maret 2015.
54
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-
undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lalu
berdasarkan Yurisprudensi dari perkara-perkara tindak pidana pencucian
uang yang ditangani KPK. Kemudian yang terbaru adalah Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 tanggal 12 februari 2015
Dalam hal ini MK menolak seluruh permohonan Akil mochtar sehingga
tidak ada satupun putusan MK yang menyatakan bahwa KPK tidak
berwenang dalam penuntutan TPPU.”
Mokosugianta selaku speseialis Kerjasama pada Direktorat Kerjasama dan Humas
PPATK yang menjelaskan:
selama ini pengadilan menerima, Jadi apabila penyidik KPK telah selesai
melakukan penyidikan maka penyidik KPK melaporkan atau
berkoordinasi dengan penuntut umum KPK. Jadi tidak dapat dipisahkan
antara penyidikan di KPK dengan penuntutan di KPK karena secara
struktural keduanya terikat dan secara sah undang-undang KPK mengatur
hal tersebut. Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi yang setara dengan
undang-undang. Namanya tetap putusan juga tetapi dapat merubah
undang-undang, maka dengan adanya putusan Mahkamah Kontitusi dapat
memperkuat kewenangan KPK dalam penuntutan TPPU”. 65
Dalam hal ini penulis sependapat dengan kedua narasumber tersebut
bahwa KPK berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang.
Pertama, secara filosofi pada umumnya pemberantasan korupsi ada berbagai
macam cara, secara universal salah satu cara dalam pemberantasan tindak pidana
65
Wawancara Pribadi, Jakarta, 09 Maret 2015.
55
korupsi adalah melalui tindak pidana pencucian uang. Hal itulah yang harus
menjadi dasar filosofi yang harus dipegang oleh KPK. Jadi bila KPK menemukan
tindak pidana pencucian yang tindak pidana asalnya adalah korupsi, maka disitu
juga KPK melakukan upaya untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK
sebagai lembaga Independen (Auxiliary State Organ) merupakan Lembaga
Negara yang dalam menjalankan kewenangannya bebas dari pengaruh dan
intervensi pihak atau lembaga manapun baik dalam upaya pemberantasan korupsi
maupun tindak pidana pencucian uang termasuk kewenangan KPK dalam
penuntutan tindak pidana pencucian, meskipun dalam banyak pihak
memperdebatkan perihal kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana
pencucian uang seperti halnya dissenting opinion hakim TIPIKOR dalam putusan
pengadilan terkait tindak pidana pencucian uang.
Kedua, menganilisis dari aturan Perundang-Undangan yang berlaku. Jika
melihat Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan “penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang ini dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang ini”. Dari ketentuan tersebut ada kata-kata “dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ada ketentuan lain dalam
undang-undang ini” artinya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sifatnya tidak
56
menutup dari undang-undang lain, dalam hal ini masih ada kemungkinan KPK
menggunakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang
memberikan KPK kewenangan penuntutan. KPK sebagaimana Pasal 6 huruf c
dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan bahwa “Komisi
Pemberantasan Korupsi memiliki tugas dan wewenang melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”. Mengacu pada dasar
hukum tersebut maka dapat dipahami bahwa KPK memiliki kewewenang dalam
hal penuntutan.
berasal dari internal KPK sebagaimana dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terkait
dengan kedudukan jaksa KPK dengan jaksa pada Kejaksaan sebagaimana Pasal 2
ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan dalam menjalankan fungsi
penuntutan terhadap tindak pidana. Pada kenyataannya seluruh jaksa di KPK
adalah berasal dari Kejaksaan Agung dan KPK tidak merekrut penuntut umum
yang berasal dari luar kejaksaan. Dengan demikian, penuntut umum di KPK dan
penuntut umum di kejaksaan adalah satu kesatuan dan memiliki fungsi yang sama
yaitu sebagai penuntut umum.
“dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak
57
penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang
dan memberitahukannya kepada PPATK”. Dari Pasal 75 tersebut maka KPK
dapat menggabungkan antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian
uang. Dalam hal ini apabila penyidik KPK dalam melakukan penyidikan tindak
pidana pencucian uang kemudian memisahkan antara penyidikan tindak pidana
pencucian uang penuntutan tindak pidana pencucian, dimana penyidikan tindak
pidana korupsinya ditangani KPK sedangkan penuntutan tindak pidana pencucian
uangnya ditangani Kejaksaan maka hal tersebut tidak akan efisien. Apabila tidak
efisien maka akan bertentangan dengan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang penyebutkan “peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. Dasar hukum tersebut telah
dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung bahwa setiap peradilan itu harus
mengacu pada asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Jadi pada intinya
penuntutan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh penuntut umum
KPK akan lebih baik dilakukan dibandingkan bila harus diserahkan penuntutan
kepada penuntut umum kejaksaan karena prosesnya akan lebih sederhana, cepat
dan biaya ringan serta prosesnya akan berjalan efisien dengan adanya koordinasi
intern antara penyidik KPK dengan penuntut umum KPK dalam penanganan
perkara tindak pidana pencucian uang, sehingga penunututan tindak pidana
pencucian uang akan berjalan efesien.
58
Ketiga,Yurisprudensi atau putusan-putusan hakim terdahulu. Jika melihat
kasus-kasus yang ditangani oleh KPK terkait tindak pidana pencucian uang, ada
beberapa perkara-perkara KPK yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yang
tidak ada satupun amar dari tingkat Pengadilan Negeri/Tipikor, Pengadilan Tinggi
maupun Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang. Ada
beberapa perkara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap diantaranya yaitu:
Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Lutfi Hasan Ishaq, Ahmad Fathanah dan
terakhir Akil Mochtar. 66
pengadilan menerima penunutan tindak pidana pencucian uang yang ditangani
KPK.
Keempat, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014
tanggal 12 februari 2015 yang menolak seluruh permohanan uji materi yang
dimohonkan oleh Akil Mochtar yang salah satunya menguji tentang kewenangan
KPK dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yaitu Pasal 76 ayat (1) yang
menyebutkan “penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana
pencucian uang kepada pengadilan negeri paling lama 30 hari kerja terhitung
sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap”. Hal
tersebut menurut pemohon yaitu Akil Mochtar hanya penuntut umum pada
kejaksaan RI bukan penuntut umum dari KPK. Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa penuntut umum adalah satu kesatuan, baik yang bertugas di
66
Pribadi, Jakarta, 10 Maret 2015.
59
kejaksaan RI ataupun di KPK. Dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, tidak
ada satupun putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa KPK tidak
berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang.
B. Dissenting Opinion Para Hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Dalam
Menafsirkan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam
Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang
Dalam putusan No.38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. dalam perkara
Lutfhi Hasan Ishaq dan putusan No. 39/ PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST.
Dalam perkara Lutfhi Hasan Ishaq dan Ahmad Fathanah ini terdapat ada 2 hakim
yang sama yang memberikan dissenting opinion mengenai kewenangan penuntut
umum KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. yaitu majelis hakim
I made Hendra Kusuma dan Joko Subagyo. Pada dasarnya dissenting opinion
merupakan pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang
tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis
hakim. 67
tersebut adalah sebagai berikut:
semua tindak pidana yang tidak dikecualikan dalam suatu ketentuan khusus
67 Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui putusan Pengadilan dalam Perkara
Pidana (Bandung: PT. Alumni, 2005), h. 111.
60
adalah jaksa. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tidak diatur ketentuan khusus (lex specialist) siapa yang berwenang
melakukan penuntutan atas tindak pidana pencucian uang, maka yang berlaku
adalah ketentuan umum sebagaimana Pasal 1 angka 6 dan Pasal 13 KUHAP,
bahwa yang berwenang melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang
adalah jaksa. Hal mana memperoleh penegasan dalam penjelasan pasal 71
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menjelaskan bahwa
surat permintaan pemblokiran yang dikirimkan kepada penyedia jasa
keuangan tersebut harus ditandatangani oleh:
a. Kordinator penyidik/ketua tim penyidik untuk tingkat penyidikan.
b. Kepala kejaksaan negeri untuk tingkat penuntutan.
c. Hakim ketua majelis untuk tingkat pemeriksaan pengadilan.
Dari penjelasan pasal 71 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan