KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI SUMATERA … · ketimpangan distribusi pendapatan di sumatera...
Transcript of KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI SUMATERA … · ketimpangan distribusi pendapatan di sumatera...
KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
DI SUMATERA BARAT
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PUTRI IRINA MAYANG SARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ketimpangan Distribusi
Pendapatan di Sumatera Barat dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Putri Irina Mayang Sari
NIM H151114031
RINGKASAN
PUTRI IRINA MAYANG SARI. Ketimpangan Distribusi Pendapatan di
Sumatera Barat dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi. Dibimbing oleh SRI
MULATSIH dan IDQAN FAHMI.
Ketimpangan distribusi pendapatan merupakan masalah yang sering kali
menjadi topik penting karena kecenderungannya yang terus mengalami
peningkatan. Provinsi Sumatera Barat memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi
yang relatif tinggi, walaupun demikian provinsi ini juga mengalami masalah
peningkatan nilai Gini ratio yang berarti terjadi peningkatan ketimpangan
distribusi pendapatan. Adanya ketimpangan distribusi pendapatan dikhawatirkan
akan menyebabkan banyak permasalahan tidak hanya masalah ekonomi tetapi
juga masalah sosial bahkan politik. Untuk mengurangi ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat dapat dilakukan melalui pengurangan ketimpangan
distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota karena otonomi daerah ada di
tingkat Kabupaten/Kota.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kondisi ketimpangan
distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat sejak tahun
2006 sampai 2011. Selanjutnya, penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor
yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat. Hasil
analisis menggunakan perhitungan Gini ratio menunjukkan bahwa ketimpangan
distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat sejak tahun
2006 sampai 2011 mengalami kecenderungan peningkatan. Regresi data panel
2006 sampai 2011 digunakan untuk memperoleh faktor-faktor yang memengaruhi
ketimpangan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi, pengeluaran
pemerintah untuk belanja pegawai dan gempa bumi terbukti memperburuk
terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan, sedangkan share sektor industri
terhadap PDRB, tenaga kerja sektor industri, pengeluaran pemerintah untuk
belanja non pegawai dan pertumbuhan penduduk dapat mengurangi terjadinya
ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat.
Rekomendasi kebijakan yang dapat disarankan dari penelitian ini adalah,
pertama, pemerintah tetap mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang
berbasis pada pemerataan melalui kontribusi sektor industri yang dominan dan
pengeluaran pemerintah untuk pembangunan. Kedua, mendorong sektor industri
terutama industri padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja lebih besar.
Ketiga, mengupayakan masyarakat memperoleh pendidikan dan menyediakan
sarana dan prasarana yang layak agar seluruh masyarakat memiliki kesempatan
yang sama dalam memperoleh pendidikan dan meningkatkan kemampuan untuk
dapat bekerja di sektor industri. Keempat, lebih fokus pada peningkatan
pengeluaran pemerintah non-belanja pegawai terutama untuk transfer sosial dan
pengeluaran publik. Kelima, menciptakan program pertumbuhan penduduk yang
lebih produktif. Seperti mencanangkan program, adanya sarjana pada setiap
keluarga miskin. Terakhir, mempersiapkan mekanisme bantuan dan transfer sosial
yang tepat sasaran ketika terjadi bencana. Efektifitas bantuan dan transfer sosial
juga harus dipertajam melalui evaluasi dan pengawasan.
Kata kunci: ketimpangan, distribusi pendapatan, Sumatera Barat
SUMMARY
PUTRI IRINA MAYANG SARI. Income Distribution Inequality in West
Sumatera and The Related Factors. Supervised by SRI MULATSIH and IDQAN
FAHMI.
Income distribution inequality is a problem that often becomes important
due to its tendency to have an increase. Province of West Sumatera has relatively
high economic growth, however, this province also experiencing an increase in
Gini ratio value which means income distribution inequality. Income distribution
inequality is feared to cause many problems, not only economical but also socio
politic. Income distribution inequality in West Sumatera can be reduced by
reduction of income distribution inequality in Regencies/Municipalities level due
to regional autonomy.
The objective of this research is to analyze income distribution inequality in
Regencies/Municipalities level from 2006 to 2011. Moreover, this research also
analyzes factors affecting income distribution inequality in West Sumatera.
Analysis result using Gini ratio calculation suggests that income distribution
inequality in Regencies/Municipalities level in West Sumatera from 2006 to 2011
tends to increase over the year. Panel data regression from 2006 to 2011 is used to
obtain factors affecting income distribution inequality. Economic growth,
government’s spending on personal expenditure and earthquake are proved to
have negative effect on income distribution inequality, while industrial sector’s
share towards GRDP (Gross Regional Domestic Product), workers on industrial
sector, government’s spending on non-personal expenditure and population
growth can reduce income distribution inequality in West Sumatera.
As for policy recommendation from this research; First, The government to
keep pursue economic growth which is based on equity through dominant
contribution in industrial sector and government’s spending on development.
Second, to push industrial sector especially in labor intensive part that is able to
absorb more workers. Third, to provide adequate education and infrastructure to
the people so that everyone has equal opportunity in getting income. Fourth, to
focus more on increment of government’s spending on non-personal expenditure
especially for social transfer and public spending. Fifth, to create more productive
population growth program, such as initiating a program to have one college
graduate from each poor family. Lastly, to prepare accurate assistance mechanism
and social transfer in case of natural disaster. The affectivity of assistance and
social transfer has to be sharpen through evaluation and monitoring.
Keyword: inequality, income distribution, West Sumatera
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
DI SUMATERA BARAT
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PUTRI IRINA MAYANG SARI
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Alla Asmara, SPt MSi
Judul Tesis : Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Sumatera Barat dan Faktor-
Faktor yang Memengaruhi
Nama : Putri Irina Mayang Sari
NIM : H151114031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Sri Mulatsih, MSc Agr
Ketua
Dr Ir Idqan Fahmi, MEc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi
Dr Ir Nunung Nuryartono, MSi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 7 Februari 2014
Tanggal Lulus:
Judul Tesis : Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Sumatera Barat dan FaktorFaktor yang Memengaruhi
Nama : Putli lIina Mayang SaIi NIM : H151114031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
(
Dr Ir Sri Mulatsih. MSc Agr Dr Ir Idqan Fahmi, MEc Ketua Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
~ Dr IT Nun ng ~art~no, MSi
Tanggal Ujian: 7 Februari 2014 Tanggal Lulus: 17 MA R 2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala berkat, rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil
menyelesaikan tesis yang berjudul Ketimpangan Distribusi Pendapatan di
Sumatera Barat dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi. Penulis menyadari bahwa
tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis akan mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tesis ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada pihak-pihak
yang telah memberikan dukungan moral, spiritual dan material kepada penulis
dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini, khususnya kepada:
1. Dr Ir Sri Mulatsih, MSc Agr selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir
Idqan Fahmi MEc selaku anggota komisi pembimbing yang selalu
memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat bermanfaat dalam
penyusunan tesis ini.
2. Dr Alla Asmara, SPt MSi selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Wiwiek
Rindayati, Msi selaku penguji perwakilan Mayor IE FEM SPs IPB atas saran
dan kritik yang membangun terkait penyempurnaan tesis ini.
3. Orang tua penulis Dr Ir Muhammad Irnad MSc dan Ir Sevina Rozalen serta
saurada penulis Arif Randi Ronaza dan Muhammad Andri Ronaza dan
seluruh keluarga besar penulis atas kasih sayang, pengertian, doa dan
dukungannya yang tidak pernah putus.
4. Rekan-rekan kelas IE FEM reguler angkatan VI dan V, BPS IE FEM Batch
IV serta Kemendag Batch I atas kebersamaan dan kerjasama selama
perkuliahan dan penyusunan tesis ini.
5. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini meskipun
namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Tesis ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir dan sebagai prasyarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor IE FEM SPs IPB. Meskipun
demikian, penulis sangat menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna
dimana dalam penyusunannya terdapat banyak kekurangan yang dikarenakan
berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun guna penyempurnaan tesis ini. Akhir kata, penulis berharap
bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Maret 2014
Putri Irina Mayang Sari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Tinjauan Teori 5
Tinjauan Empiris 11
Kerangka Pemikiran 16
Hipotesis Penelitian 17
3 METODE PENELITIAN 17
Jenis dan Sumber Data 17
Metode Analisis Data 18
1. Analisis Deskriptif 18
2. Analisis Gini ratio 18
3. Analisis Data Panel 19
Pemilihan Model Data Panel Statis 23
Uji Asumsi 24
Evaluasi Model 25
Spesifikasi Model 26
4 GAMBARAN UMUM 27
Kondisi Geografis 27
Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita 28
Sektor Industri 30
Tenaga Kerja Sektor Industri 32
Pengeluaran Pemerintah 34
Pertumbuhan Penduduk 36
Potensi Gempa Bumi di Sumatera Barat 38
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 40
Ketimpangan Distribusi Pendapatan Masing-Masing Kabupaten/Kota di
Sumatera Barat 40
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Distribusi Pendapatan di
Sumatera Barat 41
6 SIMPULAN DAN SARAN 46
Simpulan 46
Saran 47
DAFTAR PUSTAKA 48
LAMPIRAN 51
RIWAYAT HIDUP 58
DAFTAR TABEL
1. Jenis data penelitian 18 2. Nilai dan arti statistik Durbin Watson (DW) 25 3. Pertumbuhan riil sektor ekonomi di Sumatera Barat (persen) 30 4. Distribusi persentase sektor industri pengolahan menurut sub-sektor 31 5. Laju pertumbuhan sektor industri pengolahan menurut sub-sektor
(persen) 31
6. Tenaga kerja sektor industri di tingkat Kabupaten/Kota tahun 2012 33 7. Belanja pemerintah daerah dan belanja pegawai di Sumbar tahun 2012 35 8. Pertumbuhan penduduk di Sumatera Barat 36 9.Gini ratio di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada 2006-
2011 41 10. Hasil uji Hausman 41 11. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan 42
DAFTAR GAMBAR
1. Gini ratio Sumatera Barat tahun 2008-2012 2 2. Distribusi pendapatan di Sumatera Barat tahun 2012 2 3. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan Gini ratio di Sumatera
Barat tahun 2008-2012 3 4. Kurva Lorenz 7 5. Kurva U-terbalik hipotesis Kuznets 9 6. Kerangka pemikiran 16 7. Peta wilayah Provinsi Sumatera Barat 27
8. PDRB Perkapita Sumatera Barat atas dasar harga berlaku dan konstan
serta pertumbuhannya tahun 2008-2012 28 9. Distribusi persentase PDRB menurut sektor lapangan usaha di
Sumatera Barat tahun 2011-2012 29 10. Perkembangan jumlah tenaga kerja di Sumatera Barat per-sektor
(orang) 32 11. Realisasi belanja apatur pemerintah Sumatera Barat tahun 2012 34 12. Jumlah penduduk menurut golongan umur tahun 2012 36
13. Jumlah penduduk ditingkat Kabupaten/Kota tahun 2012 37 14. Peta potensi gempa Sumatera Barat 38 15. Pangsa konsumsi menurut kelompok pengeluaran di Sumatera Barat 43 16. Ketimpangan dan pendapatan rata-rata Kab/Kota di Sumatera Barat 44
DAFTAR LAMPIRAN
1. Gini ratio masing-masing Kabupaten/kota di Sumatera Barat 51 2. Hasil uji hausman 52 3. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan
metode Random Effect 53 4. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan
metode PLS 54 5. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan
metode Fixed Efeect 55 6. Uji Chow 56 7. Uji Normalitas 57
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hubungan ketimpangan distribusi pendapatan dan kinerja perekonomian
terus menjadi perdebatan tidak hanya dikalangan ekonom melainkan juga oleh
para pembuat kebijakan (Eicher dan García-Peñalosa 2000). Pada satu sisi tingkat
pertumbuhan pendapatan perkapita merupakan suatu hal yang sangat penting dan
dibutuhkan karena menjadi tolok ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan
sebuah negara. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses perubahan kondisi
perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih
baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai
proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam
bentuk kenaikan pendapatan nasional. Namun demikian, pada sisi lain tingkat
pertumbuhan pendapatan perkapita sering dihubungkan dengan peningkatan
ketimpangan distribusi pendapatan. Pengaruh pendapatan perkapita terhadap
ketimpangan distribusi pendapatan, terkenal dengan hubungan inverted U-shape
yang banyak diketahui dengan sebutan kurva Kuznets. Penelitian tentang kurva ini
pertama sekali dilakukan oleh Kuznets pada tahun 1955 dan menyatakan bahwa
pada tahap awal pembangunan, pertumbuhan pendapatan perkapita cenderung
akan mempertinggi ketimpangan distribusi pendapatan (Barro 2008).
Untuk mencapai tujuan kebijakan pembangunan ekonomi yang efektif,
mengurangi tingkat ketimpangan distribusi pendapatan sama pentingnya dengan
meningkatkan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi negara secara
keseluruhan (Kassa 2003). Adanya peningkatan ketimpangan distribusi
pendapatan akan sangat merugikan masyarakat, bahkan tingginya pertumbuhan
ekonomi tidak memiliki banyak arti bagi masyarakat dengan tingkat pendapatan
rendah. Birdsall (2006) menyatakan bahwa dampak dari adanya ketimpangan
distribusi pendapatan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang akan cenderung
melambat. Hal ini didukung oleh temuan Basdevant et al. (2012) yang
mengungkapkan distribusi pendapatan merupakan faktor penentu utama yang
memengaruhi durasi pertumbuhan ekonomi selain keterbukaan perdagangan dan
kelembagaan politik. Tidak meratanya distribusi pendapatan juga merupakan awal
dari munculnya masalah kemiskinan. Hal ini sesuai dengan pendapat Arsyad
(1997) yang mengatakan bahwa banyak negara sedang berkembang yang
mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi kemudian menyadari bahwa
pertumbuhan yang semacam itu tidak bermanfaat dalam memecahkan masalah
kemiskinan. Selain itu, Todaro dan Smith (2006) mengungkapkan bahwa
ketimpangan distribusi pendapatan yang tidak merata akan menyebabkan
inefisiensi ekonomi, alokasi asset tidak efisien dan melemahkan stabilitas sosial
dan solidaritas. Inefisiensi ekonomi muncul akibat semakin kecilnya populasi
yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman atau sumber kredit, sehingga
mereka tidak mampu menyediakan pendidikan yang memadai untuk anak-
anaknya maupun memulai dan mengembangkan bisnis. Ketimpangan yang tinggi
juga akan mengurangi tingkat tabungan secara keseluruhan karena tingkat
tabungan marginal tertinggi biasanya ditemukan pada kelas menengah.
2
Gambar 1. Gini ratio Sumatera Barat tahun 2008-2012
Sumber: BPS 2008-2012
Sekretaris Jenderal Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) menyebutkan adanya ketimpangan distribusi pendapatan
merupakan masalah serius yang perlu mendapat prioritas penting bagi pemerintah
agar segera diatasi (Beritasore.com 2012). Oleh karena itu, ketimpangan distribusi
pendapatan merupakan topik yang penting untuk diteliti.
Tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang dikuti oleh peningkatan
ketimpangan distribusi pendapatan terjadi di Sumatera Barat. Kajian Ekonomi
Regional Sumatera Barat menyatakan pertumbuhan ekonomi provinsi ini pada
triwulan I tahun 2013 mencapai 7.2%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun yang sama yaitu 6.0% (Bank
Indonesia 2013). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut juga diikuti oleh
peningkatan Gini ratio yang merupakan ratio dalam pengukuran ketimpangan
distribusi pendapatan. Badan Pusat Statistik (BPS 2008-2012) mencatat pada
tahun 2008, Gini ratio Sumatera Barat berada pada angka 0.29, kemudian
meningkat ditahun 2009 menjadi 0.30 dan ditahun 2012 Gini ratio Sumatera Barat
mencapai 0.36 (Gambar 1).
Jika dilihat dari data distribusi pendapatan di Sumatera Barat pada tahun
2012, 45% pendapatan dinikmati oleh 20% penduduk golongan pendapatan
tinggi, 36% pendapatan dinikmati oleh 40% penduduk golongan pendapatan
menengah sedangkan hanya 19% pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk
Golongan
pendapatan
rendah
19%
Golongan
pendapatan
menengah
36%
Golongan
pendapatan
tinggi
45%
Sumber: BPS Susenas 2012
Gambar 2. Distribusi pendapatan di Sumatera Barat tahun 2012
3
golongan pendapatan rendah (Gambar 2). Ini mencerminkan bahwa, walaupun
terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun manfaatnya lebih banyak
dinikmati oleh penduduk pada golongan dengan pendapatan tinggi saja.
Perumusan Masalah
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi menjanjikan kesejahteraan yang
lebih baik bagi perekonomian secara keseluruhan. Sumatera Barat merupakan
provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi relatif tinggi. Akan tetapi
tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut diiringi oleh
peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur melalui Gini ratio.
Gambar 3 memperlihatkan perkembangan pertumbuhan ekonomi dan Gini ratio di
Sumatera Barat. Tingkat pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat sejak tahun
2008 sampai 2012 selalu bernilai positif walaupun mengalami penurunan pada
tahun 2009 akibat adanya tekanan krisis ekonomi global. Pada tahun 2008
pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat mencapai 6.88% menurun menjadi
4.28% di tahun 2009 kemudian di tahun 2012 kembali meningkat menjadi 6.35%.
Di sisi lain Gini ratio di Sumatera Barat sejak tahun 2008 sampai 2012 juga
menunjukkan perkembangan adanya peningkatan (Gambar 3).
Untuk mengurangi terjadinya peningkatan ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat dapat dilakukan melalui pengurangan ketimpangan
distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Barat.
Kabupaten/Kota memiliki peran yang sangat penting sejak diberlakukannya
desentralisasi kebijakan melalui otonomi daerah. Otonomi daerah dapat diartikan
sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
Gambar 3. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan Gini ratio di Sumatera
Barat tahun 2008-2012
Sumber: BPS 2008-2012
4
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
(Wikipedia 2014). Oleh karena itu, dengan adanya otonomi daerah, pemerintah
daerah dapat merespon lebih cepat mekanisme kebijakan yang harus ditetapkan
dalam melakukan penanggulangan peningkatan ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat.
Ray (1998) mengungkapkan bahwa, setidaknya terdapat dua faktor yang
mendasari penelitian mengenai ketimpangan pendapatan, pertama adalah faktor
intrinsik yaitu untuk mengukur tingkat ketimpangan itu sendiri. Ukuran
ketimpangan tersebut digunakan sebagai bahan evaluasi dari kebijakan yang
bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Kedua, keterkaitan antara
ketimpangan pendapatan dan variabel-variabel makro ekonomi seperti tingkat
pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi.
Distribusi pendapatan di Sumatera Barat yang bergerak semakin timpang,
mengindikasikan adanya peran faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya
ketimpangan tersebut. Pemahaman mengenai faktor-faktor mendasar yang
memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan akan membantu para pengambil
kebijakan, khususnya pemerintah daerah Sumatera Barat dalam merancang pilihan
kebijakan untuk memperkecil ketimpangan distribusi pendapatan disamping tetap
mempertahankan pola pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Dari uraian pada latarbelakang, permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi ketimpangan distribusi pendapatan pada masing-
masing Kabupaten/Kota di Sumatera Barat?
2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di tingkat
Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada
pembaca mengenai kondisi ketimpangan distribusi pendapatan untuk tingkat
Kabupaten/Kota di Sumatera Barat serta dapat memaparkan dengan jelas faktor-
faktor apa saja yang memengaruhi adanya ketimpangan distribusi pendapatan
tersebut. Dengan adanya informasi tersebut diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat
dan menjadi pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menentukan strategi
pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan pengurangan ketimpangan
5
distribusi pendapatan agar setiap masyarakat dapat memperoleh kesejahteraan
yang lebih baik.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini hanya dibatasi pada ketimpangan
distribusi pendapatan di Sumatera Barat yang di proksi menggunakan pengeluran
rumah tangga, tanpa melihat ketimpangan antar Kabupaten/Kota di Sumatera
Barat. Sehingga bahasan dalam penelitian ini hanya meliputi Sumatera Barat tidak
menjelaskan tentang kondisi Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah ukuran ketimpangan yang
digunakan hanya menggunakan pendekatan rumah tangga dengan indikator Gini
ratio (ketimpangan distribusi pendapatan), tanpa mempertimbangkan adanya
ukuran ketimpangan lainnya. Dimana masalah ketimpangan distribusi pendapatan
hanya merupakan bagian kecil dari masalah ketimpangan yang sebenarnya jauh
lebih luas, yaitu yang mencakup ketimpangan kekuasaan, prestise, status, gender,
kepuasan kerja, kondisi kerja, derajat partisipasi, kebebasan memilih serta dimensi
lain dari masalah tersebut yang berkaitan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Literatur mengenai evolusi atau perubahan ketimpangan dalam distribusi
pendapatan pada awalnya didominasi oleh temuan Simon Kuznets yang disebut
dengan Hipotesis Kuznets pada tahun 1955. Dengan menggunakan data antar
Negara (cross section) dan data runtun waktu di setiap Negara (time series),
Kuznets menemukan relasi antara ketimpangan pendapatan dan partumbuhan
pendapatan per kapita berbentuk “U” terbalik (Inverted U Hypothesis). Beliau
berpendapat bahwa mula-mula ketika pembangunan dimulai, distribusi
pendapatan akan makin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat
pembangunan tertentu, distribusi pendapatan makin merata.
Hayami (2001) mengemukakan bahwa ketimpangan pendapatan dapat
didefinisikan sebagai distribusi pendapatan yang tidak merata antar rumah tangga.
Rumah tangga dipilih sebagai unit observasi untuk ketimpangan karena unit
individu adalah rumah tangga. Ketimpangan pendapatan antar rumah tangga
umumnya diukur dengan distribusi pendapatan berdasarkan tingkat pendapatan
antar rumah tangga. Semakin kecil persentase pendapatan yang diperoleh
kelompok dengan tingkat pendapatan tertinggi dan semakin besar persentase
pendapatan pada kelompok dengan tingkat pendapatan terendah menunjukkan
distribusi pendapatan yang semakin merata atau dengan kata lain ketimpangan
pendapatan yang semakin rendah. Selain itu, Ray (1998) mengungkapkan bahwa
ketimpangan ekonomi merupakan suatu kondisi disparitas mendasar dimana
6
seseorang memiliki pilihan sementara individu lain tidak memiliki pilihan yang
sama.
David Ricardo yang mengemukakan teori ekonomi klasik menyatakan
pendapatan nasional dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu upah sebagai
balas jasa tenaga kerja, keuntungan sebagai balas jasa pemilik modal dan sewa
sebagai keuntungan pemilik lahan. Ricardo menekankan bahwa aktor ekonomi
yang berperan pada pembagian pendapatan nasional adalah pekerja, pemilik
modal dan tuan tanah. Hasil analisis Ricardo memperkirakan bahwa ketimpangan
akan meningkat seiring proses pertumbuhan ekonomi berdasarkan akumulasi
modal dalam perekonomian modern atau industrialisasi karena porsi terbesar dari
pertumbuhan ekonomi akan dinikmati oleh para tuan tanah yang kaya selama
supply produk pangan bersandar pada produksi domestik.
Setengah abad kemudian, Marx memperkirakan peningkatan ketimpangan
sepanjang proses pembangunan dalam perekonomian kapitalis. Perkembangan
proses industrialisasi membuat penggunaan lahan pada era Marx tidak sepenting
pada era Ricardo, oleh karena itu Marx mengkategorikan distribusi pendapatan
nasional pada upah dan keuntungan yang menggambarkan pendapatan yang
diperoleh pekerja dan pemilik modal. Marx menemukan bahwa jika peningkatan
keuntungan lebih besar dibandingkan kenaikan upah, maka pendapatan nasional
lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal dan akan meningkatkan kemiskinan
pada kelompok pekerja.
Todaro dan Smith (2006) mengungkapkan bahwa distribusi pendapatan
merepresentasikan besarnya porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu
atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Besarnya pendapatan yang diterima
individu tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam aktivitas
perekonomian. Distribusi pendapatan sebagai suatu ukuran dibedakan menjadi
dua ukuran pokok, baik untuk tujuan analisis maupun untuk tujuan kuantitatif
yaitu:
1. Pendapatan ”personal” atau distribusi pendapatan berdasarkan ukuran atau
besarnya pendapatan. Distribusi pendapatan personal berdasarkan
besarnya pendapatan adalah ukuran yang paling sering digunakan oleh ahli
ekonomi. Distribusi ini hanya membahas orang per orang atau rumah
tangga dan total pendapatan yang diterima, sedangkan dari mana
pendapatan yang diperoleh tidak diperhitungkan. Selain itu juga diabaikan
sumber-sumber pendapatan yang menyangkut lokasi (apakah di wilayah
desa atau kota) dan jenis pekerjaan.
2. Distribusi pendapatan “fungsional” atau distribusi pendapatan menurut
bagian faktor distribusi. Distribusi fungsional melihat pangsa pendapatan
menurut faktor produksi yakni menghitung total pendapatan yang
diperoleh setiap faktor produksi baik tanah, tenaga kerja, maupun modal.
Sistem distribusi ini mempertimbangkan individu-individu sebagai
totalitas yang terpisah-pisah.
Ukuran Ketimpangan Pendapatan
Ada beberapa ukuran distribusi pendapatan personal yang sering
digunakan untuk menganalisis dan membandingkan ketimpangan pendapatan
antar waktu dan antar wilayah. Beberapa diantaranya adalah ukuran kuintil, desil,
7
persentil, rasio Kuznets, ukuran Bank Dunia, kurva Lorenz dan Gini ratio. Ukuran
kuintil, desil maupun persentil dilakukan dengan mengelompokkan pendapatan
perkapita penduduk yang telah diurutkan dari yang terendah sampai yang tertinggi
serta dibagi ke dalam 5 kelompok (kuintil), 10 kelompok (desil) dan 100
kelompok (persentil). Pangsa pendapatan dari setiap kelompok dihitung dari
persentase jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap kelompok dibagi dengan
total pendapatan penduduk di wilayah tersebut.
Rasio Kuznets merupakan rasio jumlah pendapatan yang diterima oleh
20% penduduk berpenghasilan tinggi dibagi dengan jumlah pendapatan 40%
penduduk berpenghasilan rendah. Semakin tinggi nilai rasio Kuznets
menunjukkan tingkat ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang semakin
tinggi atau tingkat pemerataan yang semakin rendah. Hampir sama dengan rasio
Kuznets, ukuran Bank Dunia membagi pendapatan yang diterima penduduk
menjadi tiga kelompok, yakni 40% penduduk berpenghasilan rendah, 40%
penduduk berpenghasilan menengah, dan 20% penduduk berpenghasilan tinggi.
Kategori ketimpangan ditentukan dengan melihat besarnya proporsi pendapatan
yang diterima oleh 40% penduduk yang berpendapatan rendah. Kriterianya adalah
ketimpangan tinggi jika proporsinya < 12%; ketimpangan sedang jika berkisar 12-
17%; dan ketimpangan rendah jika >17% (Todaro dan Smith, 2006).
Kurva Lorenz menggambarkan hubungan kuantitatif antara penduduk atau
rumah tangga sebagai penerima pendapatan dengan jumlah pendapatan yang
diterima selama periode tertentu (Gambar 4). Sumbu horizontal menunjukkan
jumlah populasi penduduk atau rumah tangga penerima pendapatan dan sumbu
vertikal menunjukkan jumlah persentase pendapatan yang diterima oleh setiap
kelompok yang disusun secara kumulatif (dari kelompok penduduk atau rumah
tangga yang berpendapatan terendah hingga yang tertinggi). Garis diagonal utama
Gambar 4. Kurva Lorenz
Sumber: Todaro dan Smith 2006
per
senta
se p
endap
atan
persentase popolasi
100
100
0 50
I
garis pemerataan
II
bidang I
bidang I + II
Gini ratio =
50
8
mencerminkan garis pemerataan pendapatan. Kurva Lorenz yang semakin
mendekati garis diagonal utama, menunjukkan distribusi pendapatan yang
semakin merata atau ketimpangan yang semakin rendah. Kurva Lorenz yang
berimpit dengan garis pemerataan menunjukkan tingkat pemerataan yang
sempurna atau tidak terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Sebaliknya,
jika kurva Lorenz semakin menyimpang atau semakin menjauh dari garis
pemerataan maka ketidakmerataan semakin besar atau ketimpangan semakin
meningkat.
Ukuran formal kesenjangan pendapatan yang diturunkan dari kurva
Lorenz adalah Gini ratio. Gini ratio merupakan rasio luas wilayah bidang I pada
kurva Lorenz dengan luas wilayah segitiga dibawah garis 450 (bidang I+II). Gini
ratio merupakan ukuran ketimpangan yang memenuhi empat prinsip pengukuran,
sehingga dapat digunakan untuk membandingkan ketimpangan distribusi
pendapatan antar waktu maupun antar wilayah (Todaro dan Smith, 2006).
Keempat kriteria atau prinsip pengukuran tersebut didefinisikan sebagai berikut:
1. Prinsip anonimitas (anonimity principle), artinya ukuran ketimpangan
seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang
lebih tinggi atau apakah itu orang kaya atau miskin.
2. Prinsip independensi skala (scale independence pronciple), ukuran
ketimpangan tidak tergantung pada ukuran perekonomian suatu negara dan
cara mengukur pendapatannya. Artinya, tidak tergantung apakah kondisi
negara kaya atau miskin serta diukur dalam dolar atau mata uang lainnya.
3. Prinsip independensi populasi (population independence principle), ukuran
ketimpangan tidak tergantung pada jumlah penduduk suatu negara/wilayah,
sehingga perekonomian Indonesia tidak boleh dikatakan lebih
merata/timpang dari Vietnam hanya karena jumlah penduduk Indonesia
lebih banyak.
4. Prinsip transfer Pique-Dalton (Pique-Dalton transfer principle), jika
diasumsikan semua pendapatan lain konstan maka dengan mentransfer
sejumlah pendapatan dari orang kaya kepada orang miskin maka akan
dihasilkan distribusi pendapatan yang baru dan lebih merata.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Adanya kecenderungan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan
setiap tahunnya mengakibatkan banyak peneliti mencoba menganalisis faktor-
faktor yang memengaruhi ketimpangan tersebut. Pada penelitian ini, faktor-faktor
yang memengaruhi ketimpangan dikelompokkan menjadi beberapa bagian utama,
yaitu:
1) Pertumbuhan dan tingkat pembangunan
Banyak peneliti yang telah mencoba mencari hubungan antara GDP
perkapita dan pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan sejak pertengahan
tahun 1950. Dimulai oleh penemuan Kuznets pada tahun 1955 yang sampai saat
ini sangat fenomenal menyatakan bahwa pada tahap awal pembangunan, baik
pertumbuhan ekonomi maupun ketimpangan akan cenderung mengalami
peningkatan. Sederhananya, Kuznets mengungkapkan akan terjadi perubahan
secara bertahap dari keadaan dimana ketimpangan dan tingkat pendapatan yang
rendah menjadi keadaan dengan tingkat pendapatan tinggi dan adanya
9
ketimpangan ekonomi. Perubahan ini yang banyak dikenal dengan sebutan
inverted U-shaped (kurva U-terbalik) yang menghubungkan antara GDP perkapita
dan ketimpangan distribusi pendapatan (Gambar 5).
Kuznets menyatakan bahwa pertanian mewakili sebagian besar
perekonomian dan juga ditandai oleh rendahnya tingkat ketimpangan pada periode
awal pembangunan. Seiring terjadinya proses pembangunan, maka struktur
perekonomian secara berangsur-angsur beralih pada sektor sekunder bahkan
tersier. Perubahan menuju sektor sekunder dan tersier pada dasarnya memiliki dua
efek dalam jangka pendek (Nikoloski 2009). Efek pertama adalah perubahan itu
akan mempercepat pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada peningkatan PDB
perkapita. Efek kedua dan yang paling dramatis adalah bahwa perubahan tersebut
akan menyebabkan peningkatan tingkat ketimpangan. Akibatnya, pada tahap awal
pembangunan, PDB per kapita dan ketimpangan akan berkorelasi positif. Seiring
proses pembangunan, terjadi pengalihan sumber daya yang lebih banyak dari
sektor pertanian ke sektor industri, bahkan jasa dan berangsur-angsur akan
mengurangi ketimpangan pendapatan antara sektor industri dan pertanian karena
terjadi perpindahan tenaga kerja ke sektor industri. Akibatnya, tercipta hubungan
jangka panjang yang negatif antara ketimpangan pendapatan dan PDB perkapita.
2) Faktor Makroekonomi
Pada kelompok ini yang termasuk faktor yang memengaruhi ketimpangan
distribusi pendapatan salah satunya adalah tingkat pengeluaran pemerintah. Peran
pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan distribusi pendapatan dipengaruhi
oleh komposisi pengeluaran tersebut, terutama pada bagian transfer sosial untuk
pengeluaran public (Cornia dan Kiiski 2001). Sebagai contoh, apabila hutang
external meningkat, maka bunga pembayaran juga akan meningkat yang
menyebabkan berkurangnya transfer sosial dan terjadi efek redistribusi pada
pengeluaran sektor publik yang juga akan mengalami penurunan. Sehingga dalam
Gambar 5. Kurva U-terbalik hipotesis Kuznets
ketimpangan
meningkat
ketimpangan
menurun
Gin
i ra
tio
pendapatan perkapita
Sumber: Kuznets 1955
10
kasus ini, pengeluaran pemerintah justru tidak memiliki pengaruh terhadap
pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan.
Dalam Wells (2006), Sylwester pada tahun 2002 melaporkan terdapat
hubungan yang negatif antara ketimpangan dan pengeluaran pemerintah bidang
pendidikan. Sedangkan penelitian lain oleh Checchi pada tahun 2000 dan
Deininger & Squire pada tahun 1998 menemukan pengeluaran pemerintah dalam
bidang pendidikan berhubungan positif terhadap ketimpangan, walaupun
hubungan sebab akibat yang dihasilkannya sangat ambigu. Penelitian lain juga
dilakukan oleh Shanahan pada tahun 1994 yang bahkan mengemukakan bahwa
tidak terdapat hubungan antara pengeluaran bidang pendidikan dengan
ketimpangan pendapatan. Namun, Bouillon, Legovini, & Lustig pada tahun 2001
menyatakan ekspansi pendidikan (pengeluaran pemerintah bidang pendidikan)
dapat memperlebar kesenjangan tingkat pendidikan yang pada akhirnya juga akan
berkontribusi terhadap terjadinya peningkatan dalam ketimpangan distribusi
pendapatan.
3) Faktor Demografi
Kelompok ini meliputi proses pembangunan demografi, seperti
pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk dan tingkat modal manusia
(termasuk pada tingkat pendidikan dan kondisi kesehatan penduduk).
Ketimpangan cenderung lebih rendah pada negara yang penduduknya lebih padat
dibandingkan dengan negara dengan tingkat kepadatan yang lebih rendah. Daerah
dengan jumlah penduduk rendah akan mengalami kemungkinan yang kuat untuk
terjadinya konsentrasi lahan yang mendorong peningkatan ketimpangan melalui
capital income (Kaasa 2003). Sylwester (2003) menyatakan daerah dengan tingkat
kepadatan yang tinggi mencermikan keadaan penduduk yang lebih beragam dan
produktifitas tinggi sehingga akan tercipta mobile society pada wilayah tersebut
yang berakibat pada distribusi pendapatan yang akan lebih merata.
Tingkat modal manusia dan pendidikan merupakan faktor yang sangat
penting (Eicher dan Garcia-Penalosa. 2000, Bouillon, Legovini, & Lustig 2001).
Beberapa penelitian seperti De Gregorio dan Lee pada tahun 2002, Park pada
tahun 1996, Psacharopoulos, Morley, Fiszbein, Lee, dan Wood pada tahun 1995,
dan Ram pada tahun 1984 menemukan hubungan yang negatif antara
ketimpangan pendapatan dan rata-rata tingkat pendidikan suatu negara.
Sedangkan peneliti lain seperti Deininger & Squire pada tahun 1998 menemukan
hubungan positif antara keduanya. Barro pada tahun 1999 mempelajari dampak
dari tingkat pendidikan terhadap ketimpangan menemukan hubungan yang negatif
untuk tingkat pendidikan dasar dan hubungan positif untuk tingkat pendidikan
tinggi (Wells 2006). Cornia dan Kiiski (2001) menyimpulkan bahwa terdapat
indikasi hubungan antara pengembangan pendidikan dan ketimpangan seperti
kurva U-terbalik. Pada fase awal pembangunan, pertumbuhan tingkat pendidikan
penduduk meningkatkan ketimpangan karena hanya tenaga kerja terampil saja
yang mendapatkan pendapatan lebih tinggi. Semakin berkembangnya
pembangunan maka tercipta pemerataan tingkat pendidikan pendudukan yang
membawa pada distribusi pendapatan yang lebih merata sehingga ketimpangan
akan berkurang (Cornia dan Kiiski 2001).
11
4) Bencana Alam
Pada dasarnya, bencana alam dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu
yang dapat diprediksi sampai batas tertentu dan yang tidak dapat diprediksi.
Bencana alam seperti angin topan, banjir dan tsunami merupakan bencana alam
yang dapat diprediksi dan diketahui sejak dini akan lebih menguntungkan
masyarakat atau kelompok dengan tingkat pendapatan lebih tinggi. Yamamura
(2013) berpendapat bahwa masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi akan
cenderung memilih untuk tinggal pada daerah yang jarang mengalami bencana.
Disisi lain, masyarakat yang berpendapatan rendah ataupun miskin tidak dapat
memilih untuk tinggal di daerah yang aman dari bencana. Akibatnya mereka akan
cenderung langsung terkena bencana alam. Selain itu, sebelum terjadinya bencana
masyarakat miskin cederung tidak mampu berinvestasi untuk melakukan
pencegahan bencana karena mereka memiliki keterbatasan penghasilan. Bencana
alam juga cenderung akan menyebabkan peningkatan kemiskinan (Rodriguez-
Oreggia et al. 2013).
Jenis bencana lain yang memiliki tipe berbeda dengan angin topan, banjir
dan tsunami yaitu gempa bumi yang kurang terprediksi dengan baik juga
memperburuk keadaan masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah. Masyarakat
dengan penghasilan tinggi memiliki peluang lebih besar untuk dapat
mempersiapkan tindakan yang harus dilakukan untuk menghadapi bencana yang
tidak dapat diprediksi seperti membangun bangunan tahan gempa, bahkan apabila
sulit untuk mengetahui area mana yang akan terkena gempa (Yamamura 2013).
Oleh karena itu, baik itu bencana alam yang dapat diprediksi sejak awal maupun
bencana alam yang tidak dapat diprediksi hanya akan lebih merugikan kelompok
atau masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah. Yang terpenting, dampak ini
tidak tergantung pada apakah bencana alam dapat diprediksi atau tidak. Besar
kemungkinan bagi masyarakat miskin terluka parah bahkan meninggal dunia
sehingga tidak mampu bekerja yang menyebabkan penurunan pendapatannya, dan
disisi lain masyarakat cenderung lebih aman dan tetap bisa melakukan pekerjaan
seperti biasa setelah terjadinya bencana, yang mana ini berarti bahwa tingkat
pendapatannya tidak dipengaruhi oleh bencana alam. Maka dapat disimpulkan
bahwa ketimpangan distribusi pendapatan akan semakin melebar setelah
terjadinya bencana alam.
Tinjauan Empiris
Terdapat banyak literatur yang mengkaji faktor-faktor yang berkontribusi
pada terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Penelitian pertama yang
menjadi perintis penelitian-penelitian berikutnya mengemukakan adanya kurva
U-terbalik untuk hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
distribusi pendapatan adalah temuan Kuznets (1955). Dengan kata lain,
meningkatnya pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan pada
ketimpangan pada tahap awal pembangunan, akan tetapi, kemudian akan
berpindah pada suatu keadaan dimana pertumbuhan ekonomi akan mendorong
penurunan ketimpangan. Akan tetapi hasil penelitian ini banyak ditentang dan
dibantah oleh peneliti-peneliti selanjutnya.
12
Kassa (2003) dalam penelitiannya mencoba menemukan faktor-faktor
yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan pada negara yang
mengalami transisi ekonomi. Kassa menggunakan Principal Component Analysis
(PCA) dalam menganalisis banyak variabel yang berbeda disamping untuk
menghindari terjadinya multikolinieritas. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini mencakup GDP perkapita, pertumbuhan penduduk, persentase
penduduk perkotaan, kepadatan penduduk, persentase penduduk dibawah 15
tahun, inflasi, pengangguran, persentase sektor privat, persentase sektor industri,
persentase sektor pertanian, dan sektor jasa terhadap GDP, pengeluaran
pemerintah, pengeluaran pemerintah untuk human capital sebagai persentase
terhadap GDP dan partisipasi sekolah dasar. Variabel tersebut dipilih
menggunakan analisis korelasi dan kemudian dikelompokkan menggunakan
analisis PCA. PCA menghasilkan empat komponen utama, yaitu tingkat proses
pembangunan demografi, tingkat pembangunan negara, tingkat proses transisi dan
modal manusia sebagai indikator utama yang berkontribusi terhadap terjadinya
ketimpangan distribusi pendapatan.
Penelitian lain yang juga membahas tentang ketimpangan pendapatan
adalah yang dilakukan oleh Yamamura (2013). Penelitian ini sedikit berbeda
dengan penelitian-penelitian lainnya dimana Yamamura melihat pengaruh
bencana alam terhadap ketimpangan pendapatan. Yamamura mengungkapkan
bahwa, walaupun benca alam ditemukan memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi, akan tetapi dampaknya terhadap ketimpangan pendapatan
belum banyak dibahas, oleh karena itu Yamamura menggunakan data cross-
country panel selama periode 1965 sampai 2004 untuk mengkaji bagaimana
bencana alam memengaruhi ketimpangan pendapatan. Hasil penelitiannya
menemukan bahwa, walaupun bencana alam memiliki efek jangka pendek
terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan, efek ini akan menghilang dalam
jangka menengah.
Nikoloski (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Economic and
Political Determinants of Income Inequality menggunakan metode GMM untuk
mencari hubungan ketimpangan distribusi pendapatan dengan faktor ekonomi dan
politik. Nikoloski tidak menemukan adanya hubungan antara meningkatnya
demokrasi terhadap penurunan ketimpangan. Sedangkan terdapat hubungan yang
kuat antara sumber daya alam yang melimpah, diukur menggunakan produksi
minyak dan gas serta eksport logam dan biji besi terhadap meningkatnya
ketimpangan pendapatan. Selain itu, ditemukan juga hubungan yang kuat antara
industrialisasi terhadap penurunan ketimpangan. Nikoloski juga menemukan
hubungan untuk keberadaan kurva Kuznets. Dimana beliau menemukan bukti
bahwa GDP perkapita dalam jangka pendek meningkatkan tingkat ketimpangan
distribusi pendapatan dan kemudian akan menurun dalam jangka panjang. Beliau
juga membangun hubungan positif antara ketimpangan dan pengembangan sektor
keuangan serta keterbukaan perdagangan berhubungan dengan penurunan
ketimpangan.
Sylwester (2003) dengan penelitiannya yang berjudul Income Inequality
and Population Density 1500 AD: A Connection. Menggunakan data cross section
negara Sylwester menganalisis hubungan antara kepadatan penduduk regional di
1500 AD dan ketimpangan pendapatan. Sylwester menemukan hubungan negatif
antara kepadatan penduduk dan ketimpangan distribusi pendapatan. Wilayah
13
dengan tingkat kepadatan tinggi diprediksi memiliki tingkat ketimpangan
pendapatan relatif lebih rendah. Hasil penelitian ini didukung oleh alasan bahwa
wilayah dengan tingkat kepadatan tinggi memiliki keberagaman lebih tinggi yang
mendorong terjadinya mobile society yang berdampak pada pengurangan
ketimpangan distribusi pendapatan.
Gustafsson dan Johansson (1997) melakukan penelitian yang berjudul
“What Makes Income Inequality Vary Over Time in Different Countries?”.
Gustafsson dan Johansson berusaha menemukan faktor yang memengaruhi
perkembangan distribusi pendapatan di negara-negara OECD menggunakan
analisis “unbalanced panel” untuk 16 negara pada tahun 1966 sampai 1994.
Ketimpangan pendapatan yang digunakan diukur melalui rasio Gini atau setara
dengan pendapatan disposable. Gustafsson dan Johansson mengungkapkan bahwa
terdapat banyak faktor yang memengaruhi perkembangan ketimpangan.
Penurunan dalam sektor industri menjadi pendorong terjadinya ketimpangan.
Hasil tersebut lebih signifikan dibandingkan dengan hubungannya dengan inflasi
dan tingkat PDB. Selanjutnya, ditemukan bahwa meningkatnya perdangangan dari
negara sedang berkembang akan mendorong peningkatan pula dalam
ketimpangan. Terakhir, tingkat ketimpangan yang rendah muncul apabila
sebagian besar tenaga kerja bergabung dalam serikat buruh serta adanya sektor
publik yang lebih besar.
Penelitian lainnya tentang faktor yang memiliki dampak terhadap
distribusi pendapatan dilakukan Sarel (1997). Sarel, mengembangkan kerangka
penelitian cross-section untuk memeriksa hubungan antara variabel
makroekonomi dengan tren pada distribusi pendapatan. Variabel makroekonomi
yang secara signifikan memiliki efek negative terhadap ketimpangan adalah
tingginya pertumbuhan ekonomi, tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat investasi
yang tinggi, depresiasi real (akan lebih penting pada negara dengan pendapatan
rendah) dan peningkatan dalam term of trade.
Afonso et al. (2008) dalam penelitiannya tentang determinan distribusi
pendapatan dan efisiensi pengeluaran publik. Penelitian ini menguji dampak dari
pengeluaran publik, pendidikan dan institusi pada distribusi pendapatan pada
wilayah dengan ekonomi maju. Afonsi juga mengevaluasi efisiensi pengeluaran
publik dalam redistribusi pendapatan dengan menggunakan pendekatan non
parametric yaitu DEA (Data Envelopment Analysis). Hasil penelitian ini
menyebutkan bahwa kebijakan publik secara signifikan memengaruhi distribusi
pendapatan terutama melalui pengeluaran sosial, secara tidak langsung melalui
kualitas yang tinggi pada tingkat pendidikan/modal manusia dan lembaga-
lembaga ekonomi yang sehat.
Jaumotte et al. (2008) juga mengkaji tentang peningkatan ketimpangan
pendapatan dengan judul penelitian, “Rising Income Inequality: Technology, or
Trade and Financial Globalization?”. Dalam penelitiannya Jaumotte mengupas
tentang hubungan antara perdagangan dan globalisasi keuangan dan peningkatan
ketimpangan yang sering terjadi di beberapa negara belakangan ini. Jaumotte
menyimpulkan bahwa technological progress memiliki dampak yang besar
terhadap ketimpangan dibandingkan dengan globalisasi. Terbatasnya peran
globalisasi memperlihatkan dua kecenderungan yang saling bertolak belakang,
yaitu: pertama, peran globalisasi perdagangan berkaitan dengan penurunan
ketimpangan, kedua, peran globalisasi keuangan (khususnya: Foreign Direct
14
Investment) justru berkaitan dengan peningkatan ketimpangan. Temuan utama
dalam penelitian ini adalah, globalisasi dan kemajuan tekhnologi mengakibatkan
peningkatan penerimaan pada modal manusia, sehingga hal ini menekankan
pentingnya pendidikan dan pelatihan baik pada negara maju maupun sedang
berkembang dalam rangka mengatasi meningkatnya ketimpangan.
Kemudian pada tahun 2006, Wells melakukan penelitian dengan judul
“Education’s Effect on Income Inequality : A Further Look”. Wells
mengemukakan bahwa pendidikan memiliki pengaruh yang sangat signifikan
terhadap ketimpangan pendapatan. Efek pendidikan terhadap ketimpangan
pendapatan dipengaruhi oleh tingkat kebebasan ekonomi suatu negara dan secara
spesifik kebebasan ekonomi akan memengaruhi tingkat partisipasi sekolah.
Penelitian lain dilakukan oleh Bulir pada tahun 1998. Dalam
penelitiannya, Bulir menjadikan model Kuznets sebagai tolok ukur dalam
ketimpangan distribusi pendapatan. Bulir menemukan bahwa stabilitas harga,
financial deepening, tingkat pembangunan, tenaga kerja dan redistribusi fiskal
dapat mempertinggi pemerataan pendapatan pada suatu negara. Sementara, efek
stabilitas harga seragam untuk semua tingkat PDB per kapita, efek pada financial
deepening ditemukan meningkat sejalan dengan adanya peningkatan pada tingkat
pembangunan. Selain itu, pengetatan kebijakan moneter tidak menunjukkan
adanya efek yang dominan, seperti rendahnya tingkat inflasi justru memperkuat
bukannya menetralkan pemerataan pendapatan pada redistribusi fiskal.
Penelitian yang juga membahas tentang ketimpangan distribusi
pendapatan adalah yang dilakukan oleh Addison dan Cornia (2001). Addison dan
Cornia mengungkapkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan merupakan
penghambat dalam penurunan tingkat kemiskinan. Penelitian ini memperoleh
hasil dimana terdapat concave relationship antara ketimpangan distribusi
pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan rendah pada
tingkat ketimpangan yang rendah (karena disincentive effect) dan akan rendah
pula pada tingkat ketimpangan tinggi (karena efek pengurangan investasi privat
untuk konflik sosial yang akan mengakibatkan ketimpangan tinggi). Sumber
tradisional dari ketimpangan dapat ditanggulangi melalui land reform, dan
peningkatan pengeluaran publik untuk human capital bagi masyarakat miskin.
Barro (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Inequality and Growth
Revisited memperbarui temuannya pada tahun 2000. Data internasional
mengkonfimasi hubungan antara ketimpangan pendapatan dan pendapatan
perkapita (kurva Kuznets) terbukti stabil sejak tahun 1960 sampai 2000. Selain
itu, ditemukan juga efek langsung dari keterbukaan internasional terhadap
ketimpangan distribusi pendapatan yang berhubungan positif. Di sisi lain
pertumbuhan pertumbuhan ekonomi ditemukan berhubungan negatif terhadap
terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan.
Ortiz dan Cummins (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Global
Inequality: Beyond The Bottom Billion mengemukakan ketimpangan pendapatan
secara global, nasional dan regional menggunakan data dari Bank Dunia, UNU-
WIDER dan Eurostat. Ortiz dan Cummins juga membahas implikasi negatif yang
ditimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan untuk pembangunan,
kemungkinan adanya peningkatan ketimpangan yang diperburuk oleh adanya
krisis global dan mendorong advokasi untuk perubahan kebijakan di tingkat
nasional dan internasional untuk memastikan "Recovery for All". Ortiz dan
15
Cummins menemukan selain memperlambat pertumbuhan ekonomi, ketimpangan
akan berdampak pada kesehatan dan masalah sosial yang akan mendorong
terjadinya ketidakstabilan politik. Sebagai alternatif, Ortiz dan Cummins
merangkum agenda pembangunan PBB yang bertujuan untuk menyeimbangkan
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan proses pembangunan.
Selain penelitian yang diadakan di luar negeri, masalah ketimpangan
distibusi pendapatan juga telah banyak dibahas didalam negeri. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Prapti (2006) yang meneliti tentang keterkaitan antara
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan untuk 35 Kabupaten/Kota di
Jawa Tengah tahun 2000-2004. Prapti membandingkan hubungan pertumbuhan
ekonomi dan distribusi pendapatan dengan mengkorelasikannya pada hipotesis
“U” terbalik yang diajukan Simon Kuznets. Sedangkan pola keterkaitannya dilihat
melalui diagram tipologi yang terdiri dari 4 kuadran. Adapun hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang tinggi antara pertumbuhan
ekonomi dengan kesenjangan pendapatan. Apabila terjadi peningkatan dalam
pertumbuhan ekonomi maka akan diikuti dengan meningkatnya tingkat
kesenjangan pendapatan penduduk di sebagian besar Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Hartono (2008) yang menganalisis
ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu
1981 sampai 2005, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi
ketimpangan pembangunan. Hartono menggunakan Indeks Williamson sebagai
variabel yang menggambarkan ketimpangan. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa ketimpangan di Jawa Tengah cenderung meningkat setiap tahunnya.
Peningkatan ini dikarenakan investasi swasta perkapita, ratio angkatan kerja, dan
alokasi dana pembangunan perkapita yang secara signifikan berpengaruh pada
ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah.
Selain itu, penelitian lain juga dilakukan oleh Sihotang (2006) tentang
faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan pendapatan antar provinsi di
Indonesia. Dalam thesisnya Sihotang menggunakan metode Ordinary Least
Square (OLS) serta data time series dari tahun 1984 sampai 2003. Berdasarkan
estimasi, maka disimpulkan bahwa, ketimpangan pengeluaran pemerintah daerah,
ketimpangan persebaran industri dan ketimpangan jumlah siswa tamat SMA
berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar
provinsi di Indonesia.
Penelitian oleh Chrisyanto (2006) yang membahas tentang faktor-faktor
yang memengaruhi ketimpangan perekonomian antar daerah di Indonesia.
Indikator yang digunakan untuk mengukur ketimpangan adalah Indeks
Williamson. Metode analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda
dengan 30 provinsi di Indonesia pada tahun 1989 sampai 2003. Chrisyanto
menemukan adanya ketimpangan daerah apabila memperhatikan faktor migas
dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah daerah pada saat dua tahun sebelumnya
dan terjadinya krisis ekonomi. Sedangkan ketimpangan daerah tanpa melihat
faktor migas dipengaruhi oleh pendapatan perkapita daerah dan pengeluaran
pemerintah.
16
Kerangka Pemikiran
Pertumbuhan ekonomi adalah tolok ukur adanya peningkatan
kesejahteraan dan kesempatan kerja bagi perekonomian secara keseluruhan
apabila diiringi oleh pemerataan distribusi pendapatan. Sumatera Barat merupakan
provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi relatif tinggi dibandingkan
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Akan tetapi pertumbuhan
ekonomi Sumatera Barat yang tinggi tersebut diikuti oleh peningkatan Gini ratio
yang menggambarkan indeks ketimpangan distribusi pendapatan. Jika
dibandingkan dengan tingkat nasional, Gini ratio Sumatera Barat masih dapat
dikatakan relatif rendah, akan tetapi perkembangannya dari waktu ke waktu bisa
menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan. Peningkatan Gini ratio yang terjadi di
Sumatera Barat erat kaitannya dengan tingkat ketimpangan yang terjadi di
Kabupaten/Kota yang ada di dalamnya, oleh karena itu untuk mengurangi
ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi di Sumatera Barat dapat dilakukan
melalui pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan di tingkat
Kabupaten/Kota.
\\
Sumatera
Barat
Pertumbuhan ekonomi tinggi
Ketimpangan distribusi
pendapatan meningkat
Ketimpangan distribusi
pendapatan masing-masing
Kabupaten/kota
Menghitung Indek Gini di
tingkat Kabupaten/kota
Analisis data panel
Faktor penyebab:
1. Pertumbuhan ekonomi
tingkat pembangunan
Pertumbuhan ekonomi
Struktur perekonomian
Ketenagakerjaan
2. Faktor Makroekonomi
Pengeluaran
pemerintah
3. Faktor Demografi
Kependudukan
4. Bencana Alam
Gempa bumi
Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketimpangan
distribusi pendapatan
Strategi pengambilan
kebijakan pengurangan
ketimpangan distribusi
pendapatan
Gambar 6. Kerangka pemikiran
17
Penelitian ini betujuan untuk menganalisis kondisi ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat melalui perhitungan Gini ratio pada 19
Kabupaten/Kota yang ada. Kemudian melalui data Gini ratio tersebut dilakukan
analisis data panel untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat. Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat didekati
melalui beberapa data, pertama, pertumbuhan dan tingkat pembangunan ekonomi
dengan menggunakan kriteria pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian dan
ketenagakerjaan, kedua, faktor makroekonomi dengan kriteria pengeluaran
pemerintah, ketiga, faktor demografi dengan kriteria kependudukan dan terakhir
bencana alam dengan kriteria gempa bumi. Hasil penelitian ini diharapkan mampu
menjadi masukan dalam strategi pengambilan kebijakan pembangunan yang
efektif terkait mengenai pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan di
Sumatera Barat (Gambar 6).
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori-teori yang mendasari penelitian dan hasil penelitian-
penelitian sebelumnya maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. PDRB perkapita, pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai dan
dummy gempa secara signifikan memperparah terjadinya ketimpangan
distribusi pendapatan di Sumatera Barat
2. Share sektor industri terhadap PDRB, jumlah tenaga kerja sektor industri,
pengeluaran pemerintah untuk belanja non pegawai dan pertumbuhan
penduduk secara signifikan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan
di Sumatera Barat.
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS 2007-2012) dan Kementrian Keuangan
Indonesia. Data yang digunakan merupakan gabungan dari data time series tahun
2006-2011 dan cross section Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat. Selain itu
digunakan juga data Susenas untuk menghitung Gini ratio pada 19 Kabupaten/Kota
di Sumatera Barat.
Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
software Microsoft Excel 2010, IBM SPSS Statistic 19 dan Eviews 6.0. Software
Microsoft Excel digunakan sebagai sarana untuk input data, IBM SPSS Statistic 19
digunakan untuk menghitung Gini ratio pada masing-masing Kabupaten/Kota di
Sumatera Barat, dan Eviews 6.0 digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang
memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan. Secara ringkas jenis data yang
digunakan disajikan dalam Table 1.
18
Data Kriteria Indikator
Pertumbuhan dan
tingkat pembangunan
1. Pertumbuhan
2. Struktur perekonomian
3. Ketenagakerjaan
PDRB per kapita
Share sektor industri
terhadap PDRB
Jumlah tenaga kerja
sektor industri
Faktor
makroekonomi
Pengeluaran pemerintah Belanja pegawai
Belanja non pegawai
Faktor demografi Kependudukan Pertumbuhan
penduduk
Bencana alam Gempa bumi Dummy gempa
Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini terbagi menjadi 3 bentuk
analisis, yaitu:
1. Analisis Deskriptif
Dalam penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk memaparkan
kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat baik menggunakan
tabel, grafik dan diagram. Serta memberi penjelasan berkaitan tentang faktor-
faktor yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat.
2. Analisis Gini ratio
Dilakukan perhitungan Gini ratio untuk menjawab permasalahan pertama
mengenai kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat.
Perhitungan Gini ratio dilakukan sejak tahun 2006 sampai 2010 menggunakan
data Susenas sedangkan untuk tahun 2011 data Gini ratio diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS) untuk 19 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat. Untuk
menjaga konsistensi analisis, perhitungan Gini ratio sejak tahun 2006 sampai
2010 menggunakan metode dan rumus yang sama dengan yang digunakan Badan
Pusat Statistik.
Nilai Gini ratio dihitung berdasarkan perbandingan luas daerah I dengan
luas daerah (I+II) dalam kurva Lorenz (Gambar 4). Kurva Lorenz
menggambarkan hubungan kuantitatif antara penduduk atau rumah tangga sebagai
penerima pendapatan dengan jumlah pendapatan yang diterima selama periode
tertentu. Sumbu horizontal menunjukkan jumlah populasi penduduk atau rumah
tangga penerima pendapatan dan sumbu vertikal menunjukkan jumlah persentase
pendapatan yang diterima oleh setiap kelompok yang disusun secara kumulatif
(dari kelompok penduduk atau rumah tangga yang berpendapatan terendah hingga
yang tertinggi). Garis diagonal utama mencerminkan garis pemerataan
pendapatan. Kurva Lorenz yang semakin mendekati garis diagonal utama,
menunjukkan distribusi pendapatan yang semakin merata atau ketimpangan yang
semakin rendah. Kurva Lorenz yang berimpit dengan garis pemerataan
menunjukkan tingkat pemerataan yang sempurna atau tidak terjadi ketimpangan
dalam distribusi pendapatan. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin menyimpang
Tabel 1. Jenis data penelitian
19
atau semakin menjauh dari garis pemerataan maka ketidakmerataan semakin besar
atau ketimpangan semakin meningkat.
Secara matematis, Ray (1998) menyajikan formula untuk menghitung Gini
ratio sebagai berikut. Rumus Gini ratio yang digunakan Ray (1998) juga
digunakan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) untuk menghitung Gini ratio
ditingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada tahun 2011.
∑
dimana:
: Gini ratio,
: persentase penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i,
: persentase kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i,
: persentase kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke i-1
Nilai Gini ratio berkisar antara nol sampai satu, semakin mendekati nol
menunjukkan tingkat distribusi pendapatan yang semakin merata. Sebaliknya, jika
nilai Gini ratio semakin mendekati satu menunjukkan distribusi pendapatan yang
semakin tidak merata atau semakin timpang.
3. Analisis Data Panel
Analisis regresi data panel digunakan untuk menjawab permasalah kedua
mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat. Data panel (panel data) merupakan gabungan data
cross section dan data time series atau dengan kata lain, data panel merupakan
unit-unit individu yang sama yang diamati dalam kurun waktu tertentu (Nachrowi
dan Usman, 2006). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time
series yang sama maka disebut sebagai balanced panel dan jika jumlah waktu
observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.
Gujarati (2004) menyebutkan bahwa data panel adalah data yang memiliki
dimensi ruang (individu) dan waktu. Secara umum, data panel dicirikan oleh T
periode waktu (t = 1,2,...,T) yang kecil dan n jumlah individu (i = 1,2,...,n) yang
besar.
Regresi dengan menggunakan data panel disebut dengan model regresi
data panel. Analisis regresi secara terpisah, menggunakan cross section saja atau
time series saja, akan memberikan beberapa kelemahan dalam hasil estimasi.
Sehingga pendekatan data panel menggunakan informasi dari gabungan
pendekatan cross section dan time series akan meminimalisir kelemahan masing-
masing pendekatan. Baltagi (2005) mengemukakan bahwa penggunaan data panel
memberikan banyak keuntungan, diantaranya:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan menerapkan metode ini,
estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur
heterogenitas individu.
2. Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar
peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien.
3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan
observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam
mempelajari perubahan dinamis.
20
4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara
sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time
series saja.
Selain keuntungan yang diperoleh dari penggunaan data panel, metode ini juga
memiliki keterbatasan, yaitu:
1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data.
Masalah yang sering dihadapi diantaranya adalah cakupan (coverage),
nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu
wawancara.
2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors) yang pada umumnya
terjadi karena respon yang tidak sesuai.
3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup:
a. Self-selectivity: permasalahan yang muncul karena data-data yang
dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap
fenomena yang ada.
b. Nonresponse: permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada
ketidaklengkapan data atau jawaban yang diberikan oleh responden.
c. Attrition: jumlah responden yang cenderung berkurang pada survey
lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal
dunia, atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi.
4. Dimensi waktu (time series) yang pendek.
5. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan
analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan
cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah
(misleading inference).
Data panel memiliki karakteristik jumlah unit cross section lebih dari 1
(N>1) dan unit time series lebih dari satu (T>1). Jika unit cross section sama
dengan satu (N=1) dan unit time series banyak (T>1) maka dikenal data time
series murni atau sebaliknya jika unit cross section banyak (N>1) dan unit time
series sama dengan satu (T=1) maka dikenal dengan struktur data cross section
murni. Pengamatan dengan analisis data cross section hanya dilakukan pada satu
titik waktu saja, sehingga perkembangan setiap unit individu tidak dapat diamati.
Sebaliknya, model time series menggunakan satu unit individu yang diamati
sepanjang waktu t sehingga menimbulkan permasalahan jika peubah yang
diobservasi merupakan data hasil agregasi karena memiliki kemungkinan untuk
menghasilkan estimasi yang bias. Analisis data panel mampu menggabungkan
keduanya untuk mereduksi kekurangan dari kedua jenis data.
Notasi yang digunakan dalam data panel terdiri dari dua subscript pada
setiap peubahnya. Misalkan 𝑦𝑖𝑡 merupakan nilai peubah tak bebas (dependent
variable), maka 𝑖 menyatakan unit cross section yang dapat berupa individu,
rumah tangga, perusahaan, wilayah, negara atau yang lainnya (𝑖=1,2,…,𝑁) dan 𝑡 menyatakan unit waktu dalam bulan, triwulan, tahun atau yang lainnya
(𝑡=1,2,…,𝑇). Jika 𝐾 menyatakan jumlah peubah bebas yang masing-masing diberi
indeks antara 1, 2,…, K maka notasi 𝑋’𝑖𝑡 menyatakan nilai variabel penjelas ke-j,
unit individu ke-i pada waktu ke-t. Untuk mempermudah dalam mengorganisir
data panel maka dapat dituliskan ke dalam bentuk matriks sebagai berikut:
21
𝑦 [
𝑦 𝑦
𝑦
] 𝑋
[ 𝑋
𝑋 𝑋
𝑋
𝑋
𝑋
𝑋
𝑋 𝑋
]
[
]
𝑦𝑖 menyatakan nilai peubah tak bebas ke-i pada period ke-t; 𝑋𝑖 menyatakan nilai
peubah bebas ke-i pada period ke-t; 𝑖 menyatakan gangguan acak unit ke- 𝑖 pada
waktu ke- 𝑡. Struktur data panel dengan jumlah peubah bebas sebanyak K adalah:
Penulisan notasi matrik dalam persamaan (3.1) dapat disederhanakan menjadi:
𝑦 [
𝑦
𝑦
𝑦
] 𝑋 [
𝑋
𝑋
𝑋
] [
]
𝑦 adalah matriks berukuran NTx1, 𝑋 adalah martiks berukuran NTxK dan
adalah matriks berukuran NTx1. Model standar regresi data panel linier dapat
dituliskan sebagai:
𝑦 𝑋 𝑡 𝑦 𝑋 β merupakan matriks berukuran NTx1 yang dapat diekspresikan sebagai:
[
]
Secara garis besar, pendekatan dalam analisis data panel dibedakan
menjadi dua, yaitu panel statis dan panel dinamis. Analisis data panel dinamis
dicirikan oleh regressor yang mengandung lag dari variabel tak bebas. Pemilihan
metode statis maupun dinamis sangat tergantung pada jenis variabel yang
digunakan dan pertimbangan hubungan secara ekonomi (Firdaus 2011).
Regresi Data Panel Statis
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi
parameter dalam model regresi data panel statis, yakni Pooled Least Square
Estimator (PLS), metode efek tetap atau Fixed Effects Model (FEM) dan metode
efek random atau Random Effects Model (REM). Metode yang paling sederhana
(3.4)
Individu ke-1
Individu ke-2
Individu ke-N
Variabel ke-1 Variabel ke-K
Periode ke-1
Periode ke-2
Periode ke-T
(3.1)
(3.2)
(3.3)
22
digunakan adalah PLS atau dikenal sebagai metode kuadrat terkecil seperti yang
digunakan pada model cross section dan time series murni. Karena data panel
memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time
series murni, maka ketika data digabungkan menjadi pool data regresi yang
dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan dengan regresi yang menggunakan
data cross section dan time series murni. Meskipun demikian, penggabungan data
akan menyebabkan variasi atau perbedaan keragaman baik antara individu
maupun antar waktu menjadi tidak dapat dibedakan. Permasalahan ini kurang
sesuai dengan tujuan penggunaan metode data panel, sehingga untuk banyak
kasus penduga least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data. Permasalahan tersebut dapat diatasi melalui dua pendekatan metode data
panel yang lain, yakni FEM dan REM. Kedua metode dibedakan berdasarkan
asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas
(regressor). Dalam bentuk umum persamaan regresi data panel 𝑦𝑖𝑡=𝑋’𝑖𝑡 + 𝑖𝑡,
komponen error atau gangguan acak one way error component model,
dispesifikasikan sebagai:
𝑖𝑡=𝛼𝑖+ 𝑖𝑡
Untuk two way error component model, komponen error atau gangguan acak
dispesifikasikan sebagai:
𝑖𝑡=𝛼𝑖+𝛾𝑡+ 𝑖𝑡
Error term dalam pendekatan one way error component model hanya mencakup
komponen error dari efek dari individu (𝛼𝑖). Pada two way error component
model, komponen error term juga mencakup efek waktu (𝛾𝑡). Perbedaan antara
FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara efek individu 𝛼𝑖
dan/atau efek waktu 𝛾𝑡 dengan variabel bebas 𝑋𝑖𝑡. Untuk menentukan penggunaan
metode FEM atau REM dilakukan dengan uji Hausman.
1. Fixed Effect Model (FEM)
Apabila 𝛼𝑖 diperlakukan sebagai parameter tetap atau konstanta dan
nilainya bervariasi untuk setiap individu ke-i (i= 1, 2,…, N), maka model ini
disebut sebagai FEM. Pendekatan FEM mengasumsikan efek individu dan
variabel bebas memiliki korelasi atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak.
Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi
bagian dari intersep. Pada umumnya pendekatan FEM terjadi ketika jumlah
individu N relatif kecil dan periode waktu T relatif besar. Secara umum persamaan
FEM dapat diekspresikan dalam persamaan berikut:
untuk one way error component model:
𝑦𝑖𝑡=𝛼𝑖+𝑋’𝑖𝑡 + 𝑖𝑡
untuk two way error component model:
𝑦𝑖𝑡=𝛼𝑖+𝛾𝑡+𝑋’𝑖𝑡 + 𝑖𝑡
dengan asumsi bahwa 𝑖𝑡~𝑖𝑖𝑑(𝑜, ) dan 𝑋’𝑖𝑡 memiliki korelasi dengan 𝛼𝑖.
Pendugaan parameter dalam metode FEM dapat dilakukan dengan beberapa cara.
i. Pooled Least Square (PLS)
Tehnik ini menggunakan gabungan dari seluruh data, model yang digunakan
adalah : 𝑦 𝛼 𝑋 , dimana 𝛼 adalah konstan untuk semua
observasi. Dengan menggunakan metode ini heterogenitas individu akan
terjaga, tetapi estimasinya akan biased.
ii. Within Group (WG)
(3.5)
(3.6)
(3.7)
(3.8)
23
Tehnik ini digunakan dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata
individu. Tehnik ini menghasilkan parameter yang unbiased tetapi akan
menghilangkan intersep.
iii. Least Square Dummy Variable (LSDV)
Tehnik ini digunakan dengan menambahkan dummy variable sebanyak n-1,
tetapi akan mengurangi derajat bebas dan membuat ketidakefisienan.
iv. Two Way Error Component FEM
Tehnik ini memasukkan variasi antar waktu sehingga model dasarnya
menjadi 𝑦 𝛼 𝛾 𝑋 .
2. Random Effect Model / REM)
Pendekatan REM muncul dengan asumsi efek individu (𝛼𝑖) dan peubah
bebas tidak memiliki korelasi atau 𝛼𝑖 diperlakukan sebagai parameter random.
Asumsi tersebut membuat komponen efek individu maupun efek waktu
dimasukkan ke dalam error term. Pendekatan REM umumnya digunakan bila unit
cross section N relatif besar dan unit time series T relatif kecil. Secara umum
bentuk model REM dapat diekspresikan dalam persamaan berikut:
𝑦 𝑋 𝑖=𝜆𝑖 untuk one way error component model dan 𝑖=𝜆𝑖+𝛾𝑡 untuk two way error
component model serta menggunakan asumsi 𝑖𝑡~(𝑜, ) dan 𝑖~𝑖𝑖𝑑(𝑜,
).
Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM adalah :
E ( | ) = 0
E ( | ) =
E ( | ) = 0 untuk semua i dan t
E ( | ) =
untuk semua i dan t
E ( ) = 0 untuk semua i,t, dan j
E ( ) = 0 untuk i ≠ j atau t ≠ s
E ( ) = 0 untuk i ≠ j
Asumsi yang terpenting diantara semua asumsi dalam REM adalah nilai harapan
dari 𝑖𝑡 untuk setiap 𝑖 adalah nol atau ( 𝑖| 𝑖𝑡) = 0 atau tidak ada korelasi antara
variabel independen dengan 𝑖. Estimator dalam REM dapat dilakukan melalui
dua pendekatan yakni:
i. Between Estimator
Tehnik ini mengasumsikan bahwa peubah bebas dengan error tidak saling
berkorelasi.
ii. Generalized Least Square (GLS)
Tehnik ini mengombinasikan informasi antar dan dalam data secara efisien.
GLS dipandang sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between
dan within, dengan persamaan:
Pemilihan Model Data Panel Statis
Pemilihan antara model fixed effect dengan random effect dapat dilakukan
dengan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regressor dan efek
individu. Pengujian tersebut adalah Uji Chow untuk memilih antara PLS dan FEM
serta Uji Hausman untuk memilih antara FEM dan REM.
1. Uji Chow
Beberapa buku menyebut uji Chow dengan pengujian F statistik. Dalam
pengujian ini dilakukan hipotesis sebagai berikut:
(3.9)
(3.10) (3.11)
(3.12)
(3.13)
(3.14)
(3.15)
(3.16)
24
H0 : Model Pooled Least Square (PLS)
H1 : Fixed Effect Model (FEM)
F Statistik seperti yang dirumuskan:
dimana:
RRSS = Restricted Residual Sum Square yaitu jumlah error kuadrat yang
diperoleh dari estimasi data panel dengan metode Pooled Least
Square.
URSS = Unrestricted Residual Sum Square yaitu jumlah error kuadrat yang
diperoleh dari estimasi data panel dengan metode fixed effect.
N = Jumlah data cross section
T = Jumlah data time series
K = Jumlah variabel penjelas
Pengujian ini mengikuti distribusi F dengan derajat bebas N-1 dan NT-N-K.
Jika nilai Chow Statistics (F stat) hasil pengujian lebih besar dari F tabel, maka
cukup bukti bagi kita untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol
sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga
sebaliknya.
2. Uji Hausman
Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H0: E(τi xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat
H1: E(τi xit)≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat
Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan
membandingkannya dengan chi square. Statistik Hausman dirumuskan
dengan:
H = (βREM– βFEM )’ (MFEM–MREM)-1
(βREM– βFEM) ~
dimana:
M= matriks kovarians untuk parameter β
k = degrees of freedom
Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk
melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah
model fixed effects, begitu juga sebaliknya.
Uji Asumsi
Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan sebuah model yang
akan digunakan. Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model
tertentu (FEM atau REM) berdasarkan Hausman Test, maka kita dapat melakukan
uji terhadap asumsi klasik yang digunakan dalam model.
1. Uji Multikolinearitas
Salah satu asumsi dari model regresi ganda adalah bahwa tidak ada
hubungan linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut, jika
hubungan tersebut ada maka peubah bebasnya dikatakan multikolinearitas
sempurna. Apabila hal tersebut terjadi maka dugaan parameter koefisien
regresi masih mungkin dapat diperoleh, tapi interpretasinya menjadi sulit.
Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilakukan dengan uji
korefisien korelasi sederhana antar peubah bebas dalam model, jika
korelasinya sangat tinggi dan nyata maka berarti terjadi multikolinearitas.
(3.17)
(3.18)
25
Selain itu juga dapat dilihat dari statistik uji F dan nilai koefisien
determinasi, apabila nilai Rj2 tinggi atau dari uji F modelnya signifikan
berarti ada multikolinearitas.
2. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi
adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best
Linier Unbiased Estimate) maka var ( ) harus sama dengan σ2 (konstan),
atau semua error mempunyai varians yang sama (Juanda 2009). Kondisi ini
disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau
berubah-ubah disebut heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya
heteroskedastisitas dapat menggunakan metode General Least Square
(Cross Section Weights) yaitu dengan membandingkan Sum Square Residu
pada Weighted Statistics dengan Sum Square Residu Unweighted Statistics.
Jika Sum Square Residu pada Weighted Statistics lebih besar dari Sum
Square Residu Unweighted Statistics, maka terjadi
heteroskedastisitas.Metode lain dengan uji Goldfeld-Quandt, uji Breusch-
Pagan dan uji White.
3. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu
peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa yang
sekarang. Terjadinya autokorelasi dapat berpengaruh terhadap efisiensi dari
estimator yang diperoleh. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat
menggunakan statistik Durbin Watson (DW). Untuk mengetahui ada
autokorelasi atau tidak dilakukan dengan embandingkan nilai statistik DW
dengan nilai DW-tabel. Gujarati (2004) mengelompokkan nilai DW-tabel
untuk identifikasi autokorelasi (Tabel 2).
Nilai DW Arti/Hasil
4-dl < DW < 4 Terdapat korelasi serial negatif
4-du < DW < 4-dl Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4-du Tidak ada korelasi serial
du < DW < 2 Tidak ada korelasi serial
dl < DW < du Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < dl Terdapat korelasi serial positif
Evaluasi Model
Untuk mengevaluasi model yang diperoleh, beberapa uji yang dilakukan
sebagai berikut:
1. Uji-F
Uji-F digunakan untuk menguji hipotesis koefisien regresi (slope) secara
simultan. Hipotesis yang diuji adalah:
H0 : (j adalah jumlah variabel bebas)
H1 : Paling sedikit ada satu
Tabel 2. Nilai dan arti statistik Durbin Watson (DW)
Sumber: Gujarati 2004
26
Kriteria pengujiannya adalah jika nilai F-statistic > F-tabel maka H0 ditolak
yang berarti minimal ada salah satu variabel bebas yang berpengaruh
terhadap variabel tak bebas.
2. Uji-t
Uji-t digunakan untuk menguji parameter regresi secara individual (parsial).
Hipotesis yang diuji adalah:
H0 : H1 :
Kriteria pengujiannya adalah jika t-hitung > t-tabel maka H0 ditolak yang
berarti bahwa variabel bebas tersebut berpengaruh pada taraf nyata terhadap
variabel tak bebas.
3. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi dalam regresi dapat juga disebut goodness of fit
merupakan ukuran yang menggambarkan seberapa besar variasi dari variabel
tak bebas Y yang diterangkan oleh variabel-variabel bebas yang digunakan
(X). Nilai R2
berkisar antara 0 dan 1. Makin besar koefisien determinasi, model
semakin fit.
Spesifikasi Model
Spesifikasi model data panel yang digunakan mengacu pada model
penelitian Kassa (2003) yang telah dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan
dengan penambahan indikator bencana alam (variabel dummy gempa) dan
pengurangan variabel share penduduk perkotaan, share penduduk dibawah 15
tahun, kepadapatan penduduk, inflasi, pengangguran, share sektor privat dan jasa
terhadap GDP, tingkat partisipasi sekolah, dan pengeluaran pemerintah untuk
modal manusia. Pengurangan dilakukan setelah adanya simulasi pemilihan model
terbaik menggunakan variabel-variabel yang telah digunakan oleh Kassa.
Berdasarkan simulasi, maka diperoleh spesifikasi model ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat sebagai berikut:
Dimana:
GINI = Gini ratio
KAP = PDRB perkapita (juta rupiah)
SIND = share sektor industri terhadap PDRB (persen)
LIND = jumlah tenaga kerja sektor industri (orang)
BLJPGW = pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai (juta rupiah)
NBLJ = pengeluaran pemerintah non-belanja pegawai (juta rupiah)
GPOP = pertumbuhan penduduk (persen)
DUM = dummy variabel, bernilai 1 untuk Kabupaten/Kota yang terkena
gempa setelah terjadi gempa dan bernilai 0 untuk lainnya.
= logaritma natural
= error term
= konstanta/intercept
𝑖 = Kabupaten/Kota di Sumatera Barat
𝑡 = tahun
27
4 GAMBARAN UMUM
Kondisi Geografis
Provinsi Sumatera Barat terletak di ujung barat Pulau Sumatera yang
memanjang dari utara ke salatan. Provinsi dengan ibukota Padang ini, secara
geografis berada antara 0o 54’ Lintang Utara dan 3
o 30’ Lintang Selatan serta 98
o
36’ dan 101o 53’ Bujur Timur dengan landscape yang meliputi wilayah perairan,
kepulauan dan dataran rendah dipantai barat serta dataran tinggi vulkanik yang
dibentuk oleh Bukit Barisan.
Provinsi Sumatera Barat berbatasan langsung dengan Samudera Hindia di
sebelah Barat, Provinsi Riau di sebelah Timur, Provinsi Jambi di sebelah Selatan
dan Provinsi Sumatera Utara di sebelah Utara. Garis pantai provinsi ini
seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 2 420 357 km dengan
luas perairan laut 186 580 km2. Provinsi ini memiliki daratan seluas 42 297.30
km2 dan gugusan pulau terdiri dari 391 buah pulau. Luas tersebut setara dengan
2.20% dari luas Republik Indonesia (Gambar 7).
Gambar 7. Peta wilayah Provinsi Sumatera Barat
Sumber: en.wikipedia.org 2014
28
Provinsi Sumatera Barat secara administratif terdiri dari 12 Kabupaten dan
7 kota. Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki wilayah terluas, yaitu 6.01 ribu
km2 atau sekitar 14.21% dari 42 297.30 km
2 luas Provinsi Sumatera Barat.
Sedangkan Kota Padang Panjang memiliki luas daerah terkecil, yakni 23 km2
(0.05%).
Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita
Pendapatan perkapita yang diukur dengan pendekatan PDRB perkapita
mencerminkan tingkat kesejahteraan penduduk secara rata-rata dalam suatu
wilayah. Perkembangan PDRB perkapita penduduk Sumatera Barat selama
periode 2008-2012 sajikan dalam Gambar 8. Secara umum, level PDRB perkapita
per tahun atas dasar harga berlaku (ADHB) maupun atas dasar harga konstan
(ADHK) tahun 2000 menunjukkan kecenderungan terjadinya peningkatan. Pada
tahun 2008, PDRB perkapita atas dasar harga berlaku di Sumatera Barat berada
pada angka 15.00 juta dan secara bertahap meningkat hingga 22.21 juta di tahun
2012. Atas dasar harga konstan, maka nilai PDRB di Sumatera Barat setara
dengan 7.41 juta di tahun 2008 meningkat menjadi 8.86 juta di tahun 2012
(Gambar 8). Perkembangan PDRB perkapita di Sumatera Barat yang selalu
meningkat ini menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk secara rata-rata
yang semakin membaik.
Pola pertumbuhan pendapatan perkapita selama periode 2008 sampai 2012
di Sumatera Barat hampir sama dengan pola pertumbuhan ekonomi, namun level
pertumbuhannya selalu lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Secara umum,
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Barat 2008-2012
Gambar 8. PDRB Perkapita Sumatera Barat atas dasar harga berlaku dan
konstan serta pertumbuhannya tahun 2008-2012
15.00 16.02
19.73 20.18
22.21
7.41 7.65 7.99 8.42 8.86
6.88
4.28
5.94 6.25 6.35
5.17
3.12 4.46
5.42 5.20
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
2008 2009 2010 2011 2012
PDRB Perkapita ADHB (juta) PDRB Perkapita ADHK (juta)
Pertumbuhan ekonomi ADHK (persen) Pertumbuhan PDRB Perkapita ADHK (persen)
29
perubahan pendapatan perkapita selama periode tersebut memiliki tren yang
positif sebesar 0.0467. Hal ini berarti pendapatan perkapita Sumatera Barat setiap
tahun mengalami pertumbuhan dengan rata-rata sebesar 4.67%. Nilai tersebut
sedikit lebih rendah dari tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rata-rata
pertumbuhannya mencapai 5.94%. Pada lima tahun terakhir baik pertumbuhan
ekonomi maupun pertumbuhan pendapatan perkapita mengalami tingkat
pertumbuhan terendah pada tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh
sebesar 4.28% sedangkan pendapatan perkapita hanya tumbuh sebesar 3.12%
(Gambar 8). Pertumbuhan ekonomi yang rendah ini selain disebabkan oleh krisis
ekonomi global juga disebabkan oleh adanya gempa besar dengan kekuatan 7.6
skala richter yang melanda Sumatera Barat.
Bila digolongkan menurut sektor lapangan usaha, maka sektor pertanian
memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB Provinsi Sumatera
Barat. Pada tahun 2012 kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB berada pada
angka 23.01%. Angka tersebut lebih rendah dari kontribusi sektor pertanian satu
tahun sebelumnya yang mencapai 23.84%. Selanjutnya sektor yang memberikan
andil cukup besar dalam pembentukan PDRB Sumatera Barat adalah sektor
perdagangan hotel dan restoran. Sektor ini memberikan kontribusi sebesar 18.45%
pada tahun 2012 meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya berkontribusi
sebesar 17.74%. Sementara itu, sektor jasa-jasa menjadi penyumbang ketiga
terbesar dalam pembentukan PDRB Sumatera Barat. Pada tahun 2011 kontribusi
sektor jasa adalah 16.03% mengalami peningkatan menjadi 16.45% di tahun 2012.
Disamping ketiga sektor diatas, sektor lainnya yang cukup besar peranannya
adalah sektor angkutan dan komunikasi serta sektor industri pengolahan yang
secara berturut-turut kontribusinya terhadap PDRB pada tahun 2012 adalah
15.89% dan 11.15% (Gambar 9).
Sumber: BPS 2012
Gambar 9. Distribusi persentase PDRB menurut sektor lapangan usaha di Sumatera
Barat tahun 2011-2012
Pertanian
23.84%
Pertamb.&
Penggalian
3.17%
Industri
11.69%
Listrik dan
Air Minum
1.06%
Bangunan
/Konstruksi
6.3
Perdagangan
Hotel &
Rest.
17.74%
Angkutan &
Komunikasi
15.41%
Bank&Lemb
aga Keu.
Lain
4.75%
Jasa-jasa
16.03% Pertanian
23.01%
Pertamb.&
Penggalian
2.9%
Industri
11.15%
Listrik &
Air Minum
0.95%
Bangunan
/Konstruksi
6.68
Perdaganga
n Hotel &
Rest.
18.45%
Angkutan
&Komunik
asi
15.89%
Bank&Lem
baga Keu.
Lain
4.52%
Jasa-jasa
16.45%
30
Jika dilihat dari pertumbuhan riil sektor ekonomi di Sumatera Barat, maka
seluruh sektor mengalami peningkatan. Pada pertumbuhan sektor ekonomi di
tahun 2012, terdapat beberapa sektor yang pertumbuhannya lebih rendah dari
pertumbuhan di tahun sebelumnya. Sektor tersebut yaitu sektor industri
pengolahan, bangunan dan jasa. Walaupun mengalami pertumbuhan yang lebih
rendah ditahun 2012, sektor bangunan tetap menjadi sektor kedua tertinggi setelah
sektor pengangkutan dan komunikasi yang memiliki rata-rata pertumbuhan cukup
besar selama lima tahun belakangan. Rata-rata pertumbuhan sektor bangunan
mencapai 8.28% pertahun. Sektor yang mengalami pertumbuhan paling tinggi
sejak tahun 2008 sampai 2012 adalah sektor pengangkutan dan komunikasi
dengan rata-rata pertumbuhan pertahun adalah 8.63% (Tabel 3).
Sektor 2008 2009 2010 2011* 2012** rata-
rata
Pertanian 5.47 3.47 4.09 3.79 4.07 4.18
Pertambangan & penggalian 5.66 4.66 5.8 3.75 4.41 4.86
Industri pengolahan 7.14 3.57 2.51 4.65 4.04 4.38
Listrik, gas & air bersih 3.33 5.8 2.35 3.87 4.91 4.05
Bangunan 7.64 4.04 13.67 8.96 7.07 8.28
Perdagangan, hotel &
restoran 6.74 3.76 3.48 6.89 7.5 5.67
Pengangkutan & komunikasi 9.55 5.99 9.73 8.84 9.03 8.63
Keuangan, persewaan & jasa
perusahaan 7.97 4.08 5.66 4.64 6.35 5.74
Jasa‐jasa 6.59 5.12 8.78 8.17 7.63 7.26
PDRB 6.88 4.28 5.94 6.25 6.35 5.94
Sektor Industri
Kontribusi sektor industri dalam pembentukan PDRB Sumatera Barat
dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan. Rata-rata kontribusi sektor ini
sejak tahun 2008 sampai 2012 mencapai 11.68%. Pada tahun 2008 kontribusi
sektor Industri pengolahan terhadap PDRB Sumatera Barat sebesar 12.12%, pada
tahun 2009 menjadi 12.09%, menurun lagi menjadi 11.69% pada tahun 2010,
tahun 2011 kembali mengalami penurunan menjadi 11.39%, dan semakin turun
menjadi 11.15% di tahun 2012 (Tabel 4). Subsektor yang memiliki kontribusi
paling besar terhadap sektor industri di Sumatera Barat adalah tekstil, pakaian jadi
dan kulit diikuti oleh subsektor makanan, minuman dan tembakau. Peran dua
subsektor ini terhadap sektor industri memperlihatkan adanya penyerapan banyak
tenaga kerja sebab kedua sektor tersebut memiliki kecenderungan padat karya
atau padat tenaga kerja. Subsektor berikutnya yang memiliki kontribusi terbesar
ketiga adalah semen dan barang galian bukan logam.
Tabel 3. Pertumbuhan riil sektor ekonomi di Sumatera Barat (persen)
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Barat 2008-2012
31
Sektor 2008 2009 2010 2011* 2012**
Industri pengolahan bukan migas 12.12 12.09 11.69 11.39 11.15
1. makanan, minuman dan tembakau 3.07 3.12 3.14 3.15 3.03
2. tekstil, pakaian jadi dan kulit 4.86 4.85 4.71 4.67 4.62
3. kayu, bambu dan rotan 0.40 0.39 0.38 0.35 0.32
4. kertas dan barang cetakan 0.03 0.03 0.03 0.03 0.02
5. pupuk, kimia dan barang dari karet 0.72 0.70 0.64 0.58 0.53
6. semen & barang galian bukan logam 2.80 2.77 2.60 2.43 2.46
7. logam dasar besi dan baja 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
8. alat angkutan mesin dan
peralatannya 0.24 0.22 0.20 0.19 0.17
9. lainnya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Bukan Industri 87.99 87.88 87.91 88.31 88.61
PDRB 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 * angka sementara
** angka sangat sementara
Kemudian, dilihat dari laju pertumbuhannya, sektor industri pengolahan di
Sumatera Barat mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Pada tahun 2008 laju
pertumbuhan sektor industri Sumatera Barat berada pada angka 7.14%, pada
tahun 2009 mengalami perlambatan pertumbuhan menjadi 3.57%, dan jauh lebih
lambat di tahun 2010 menjadi 2.51%. Namun pada tahun 2011 mengalami
peningkatan pertumbuhan menjadi 4.65%. Pertumbuhan sektor industri tersebut
tidak berlangsung lama dimana pada tahun 2012 pertumbuhan sektor industri ini
kembali melemah menjadi 4.04% (Tabel 5).
SEKTOR 2008 2009 2010 2011* 2012**
Industri pengolahan bukan migas 7.14 3.57 2.51 4.65 4.04
1. makanan, minuman dan tembakau 8.70 4.29 4.49 6.35 2.95
2. tekstil, pakaian jadi dan kulit 5.89 3.00 1.32 5.56 4.51
3. kayu, bambu dan rotan 2.34 6.53 4.36 1.62 -0.28
4. kertas dan barang cetakan 2.97 1.79 2.23 1.94 2.73
5. pupuk, kimia dan barang dari karet 5.64 3.61 1.43 0.23 -2.52
6. semen & barang galian bukan logam 9.19 3.42 2.37 2.95 7.80
7. logam dasar besi dan baja 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
8. alat angkutan mesin dan peralatannya 3.47 2.41 1.14 0.85 -0.93
9. lainnya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 * Angka Sementara
** Angka Sangat Sementara
Sumber: BPS 2008-2012
Tabel 4. Distribusi persentase sektor industri pengolahan menurut sub-sektor
Tabel 5. Laju pertumbuhan sektor industri pengolahan menurut sub-sektor (persen)
32
Tenaga Kerja Sektor Industri
Tenaga kerja sektor industri di Sumatera Barat sejak tahun 2008 sampai
2012 selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tercatat bahwa jumlah
tenaga kerja sektor industri di Sumatera Barat pada tahun 2008 adalah sebanyak
128 357 orang, meningkat menjadi 138 312 orang pada tahun 2010 hingga di
tahun 2012 jumlah tenanga kerja sektor industri ini mencapai 159 038 orang
(Gambar 10). Walaupun terus mengalami peningkatan selama lima tahun
belakangan, jumlah tenaga kerja sektor industri di Sumatera Barat masih
menunjukkan jumlah yang paling rendah dibandingkan sektor pertanian,
perdagangan, jasa dan lainnya (pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan air,
bangunan, angkutan, pergudangan, komunikasi, keuangan, asuransi, usaha
persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan).
Tenaga kerja terbanyak diserap oleh sektor pertanian yang termasuk
kedalamnnya kehutanan, perburuan dan perikanan. Jumlah tenaga kerja sektor
pertanian pada tahun 2012 mencapai 827 302 orang atau sekitar 40.6% dari
seluruh angkatan kerja yang bekerja, sedangkan tenaga kerja sektor industri hanya
berada pada angka 7.80%. Akan tetapi, apabila dilihat dari perkembangan jumlah
tenaga kerja di sektor pertanian ini sejak tahun 2008 sampai 2012, jumlahnya
selalu mengalami penurunan. Pada tahun 2008, jumlah tenaga kerja sektor
pertanian mencapai 924 314 orang menurun menjadi 900 306 orang pada tahun
2010 dan terus menurun hingga tahun 2012. Penurunan jumlah tenaga kerja pada
sektor ini, tidak hanya diikuti oleh peningkatan jumlah tenaga kerja pada sektor
industri tetapi juga oleh sektor-sektor lainnya (Gambar 10).
Gambar 10. Perkembangan jumlah tenaga kerja di Sumatera Barat per-sektor
(orang)
Sumber: BPS 2008-2012
2008 2009 2010 2011 2012
Lainnya 253093 258923 258923 314400 293604
Jasa 254590 286660 339429 347710 325927
Perdagangan 396024 415023 406197 441786 431771
Industri 128357 131060 138312 153130 159038
Pertanian 924314 907256 900306 813699 827302
0
500000
1000000
1500000
2000000
33
Apabila dilihat dari tingkat Kabupaten/Kota, persentase jumlah tenaga
kerja sektor industri terhadap jumlah tenaga kerja yang bekerja pada wilayah
tersebut pada tahun 2012, maka Kota Bukittinggi memiliki persentase jumlah
tenaga kerja sektor industri terbesar yaitu sebesar 16.07%. Tenaga kerja yang
bekerja di sektor industri di Kota Bukittinggi adalah sebesar 7 920 orang dari 49
272 orang tenaga kerja yang bekerja. Di urutan kedua ada Kabupaten Agam
dengan persentase tenaga kerja sektor industrinya adalah sebesar 15.55% dari
jumlah tenaga kerja yang bekerja di Kabupaten Agam pada tahun 2012. Terdapat
33 457 orang yang bekerja di sektor industri dari 161 449 orang yang bekerja di
Kabupaten Agam (Tabel 6).
Tenaga kerja sektor industri terendah pada tahun 2012 terdapat pada
Kabupaten Pasaman dengan persentase tenaga kerja sektor industri terhadap total
tenaga kerja yang bekerja di wilayah tersebut sebesar 1.47%. Sebesar 1 800 orang
bekerja di sektor industri dari 122 131 orang tenaga kerja yang bekerja di
Kabupaten Pasaman. Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki tenaga kerja yang
berkerja di sektor industri kedua terendah setelah Kabupaten Pasaman. Jumlah
tenaga kerja yang bekerja di sektor industri pada Kabupaten Kepulauan Mentawai
hanya sebesar 616 orang dari 35 981 orang tenaga kerja yang bekerja atau sebesar
1.71% (Tabel 6).
Kab/Kota TK. Sektor Industri
(orang)
TK. Bekerja
(orang)
Persentase
(%)
Kab. Kep. Mentawai 616 35 981 1.71
Kab. Pesisir Selatan 3 305 160 455 2.06
Kab. Solok 5 879 141 543 4.15
Kab. Sijunjung 3 891 86 346 4.51
Kab. Tanah Datar 17 328 161 449 10.73
Kab. Padang Pariaman 20 622 156 765 13.15
Kab. Agam 33 457 215 123 15.55
Kab. 50 Kota 21 397 173 279 12.35
Kab. Pasaman 1 800 122 131 1.47
Kab. Solok Selatan 1 858 57 275 3.24
Kab. Dhamasraya 2 151 90 370 2.38
Kab. Pasaman Barat 6 384 140 985 4.53
Kota Padang 19 564 296 263 6.60
Kota Solok 1 686 24 357 6.92
Kota Sawah Lunto 1 876 27 490 6.82
Kota Padang Panjang 1 287 19 576 6.57
Kota Bukittinggi 7 920 49 272 16.07
Kota Payakumbuh 4 685 51 084 9.17
Kota Pariaman 3 332 27 898 11.94
Jumlah tenaga kerja sektor industri pada tahun 2012 terbesar dimiliki oleh
Kabupaten Agam, akan tetapi jumlah tersebut diikuti oleh jumlah yang besar pula
Sumber: BPS 2008-2012
Tabel 6. Tenaga kerja sektor industri di tingkat Kabupaten/Kota tahun 2012
34
pada tenaga kerja yang berkerja di wilayah tersebut, sehingga persentase jumlah
tenaga kerja sektor industrinya berada di urutan kedua setelah Kota Bukittinggi.
Begitu juga jumlah tenaga kerja terendah sektor industri dimiliki oleh Kabupaten
Kepulauan Mentawai, akan tetapi jumlah yang rendah tersebut dibarengi oleh
jumlah yang rendah pada tenaga kerja yang bekerja di wilayah tersebut yang
menyebabkan persentase tenaga kerja sektor industri di Kabupaten Kepulauan
Mentawai berada di urutan kedua terendah setelah Kabupaten Pasaman.
Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah daerah di Sumatera Barat dipecah menjadi
beberapa komponen utama, yaitu belanja pegawai, belanja hibah, belanja bantuan
sosial, belanja bagi hasil kepada Provinsi/Kab/Kota dan pemerintah daerah,
belanja bantuan keuangan kepada Provinsi/Kab/Kota dan pemerintah daerah,
belanja tak terduga, belanja barang dan jasa serta belanja modal. Dari seluruh
komponen pengeluaran pemerintah daerah tersebut, pengeluaran terbesar berada
pada belanja hibah yang berkontribusi sebesar 21.84% terhadap total pengeluaran
yang diikuti oleh belanja modal yang berkontribusi sebesar 21.78%. Sedangkan
belanja pegawai, berkontribusi terhadap pengeluaran pemerintah daerah sebesar
21.65%. Pengeluaran pemerintah daerah untuk belanja pegawai berada pada
urutan ketiga tertinggi setelah belanja modal (Gambar 11).
Belanja bantuan sosial, belanja bantuan keuangan kepada
Provinsi/Kabupaten/Kota dan pemerintah desa serta belanja tak terduga memiliki
kontribusi yang relatif rendah terhadap pengeluaran pemerintah daerah di
Sumatera Barat. Secara berurutan proporsinya terhadap pengeluaran perintah
adalah 0.47%, 0.52% dan 0.08%.
Gambar 11. Realisasi belanja apatur pemerintah Sumatera Barat tahun 2012
Sumber: Kementrian Keuangan 2012
Belanja Pegawai
21.65%
Belanja Hibah
21.84%
Belanja Bantuan
Sosial
0.47%
Belanja Bagi Hasil
kepada
Provinsi/Kab/Kota
dan Pemerintah
Desa
13.19%
Belanja Bantuan
Keuangan kepada
Provinsi/Kab/Kota
dan Pemerintah
Desa
0.52%
Belanja Tidak
Terduga
0.08%
Belanja Barang dan
Jasa
20.47%
Belanja Modal
21.78%
35
Tabel 7 memperlihatkan belanja pemerintah daerah dan belanja pegawai di
Sumatera Barat. Kota Padang merupakan Kota dengan tingkat belanja daerah
tertinggi di Sumatera Barat, yakni mencapai 11.74% dari total belanja pemerintah
daerah secara keseluruhan. Angka ini sebesar Rp. 1 400 212.397 pada tahun 2012.
Sedangkan belanja pemerintah daerah terkecil ada pada Kota Padang Panjang
dengan realisasi belanja daerahnya sebesar Rp. 350 108.75 juta atau hanya sekitar
2.93% dari total pengeluaran pemerintah daerah di Sumatera Barat.
Sementara itu, dilihat dari jumlah belanja pegawai masing-masing
Kabupaten/Kota di Sumatera Barat, maka belanja pegawai tertinggi juga ada pada
Kota Padang yang mencapai 12.45% dari total belanja pegawai Sumatera Barat
secara keseluruhan. Jumlah belanja pegawai di Kota Padang ini berjumlah Rp.
806 590.21 juta. Sedangkan belanja pegawai terendah ada pada Kabupaten
Kepulauan Mentawai yang hanya sebesar Rp. 175 775.29 juta atau hanya 2.71%
dari total belanja pegawai secara keseluruhan (Tabel 7).
Belanja Daerah Belanja Pegawai
Kab/Kota (juta Rp) Persentase
(%) (juta Rp)
Persentase
(%)
Kab. Kep. Mentawai 515 944.48 4.33 175 775.29 2.71
Kab. Pesisir Selatan 859 367.11 7.20 485 976.96 7.50
Kab. Solok 743 201.26 6.23 408 845.48 6.31
Kab. Sijunjung 546 754.50 4.58 280 689.05 4.33
Kab. Tanah Datar 730 081.47 6.12 465 621.96 7.18
Kab. Padang Pariaman 813 804.46 6.82 491 898.00 7.59
Kab. Agam 832 727.66 6.98 550 252.78 8.49
Kab. 50 Kota 766 392.76 6.42 440 860.07 6.80
Kab. Pasaman 592 258.09 4.96 319 436.29 4.93
Kab. Solok Selatan 487 389.72 4.09 188 688.04 2.91
Kab. Dhamasraya 544 859.58 4.57 246 987.24 3.81
Kab. Pasaman Barat 659 236.02 5.53 319 872.99 4.94
Kota Padang 1 400 212.40 11.74 806 590.21 12.45
Kota Solok 397 859.89 3.34 183 376.85 2.83
Kota Sawah Lunto 373 245.71 3.13 189 817.73 2.93
Kota Padang Panjang 350 108.75 2.93 183 651.96 2.83
Kota Bukittinggi 447 442.75 3.75 276 988.98 4.27
Kota Payakumbuh 468 917.13 3.93 265 128.23 4.09
Kota Pariaman 399 439.52 3.35 200 321.15 3.09
Sumbar 11 929 243.25 100.00 6 480 779.24 100.00
Sumber: Kementrian Keuangan 2012
Tabel 7. Belanja pemerintah daerah dan belanja pegawai di Sumbar tahun 2012
36
Muda
31%
Menengah
64%
Tua
5%
Sumber: BPS 2012
Gambar 12. Jumlah penduduk menurut golongan umur tahun 2012
Besarnya jumlah belanja daerah maupun belanja pegawai pegawai di
Sumatera Barat, erat kaitannya dengan jumlah penduduk yang mendiami wilayah
tersebut. Data jumlah penduduk di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat
pada tahun 2012 memperlihatkan jumlah penduduk terbanyak dimiliki oleh Kota
Padang yang sekaligus merupakan Ibu Kota Provinsi di Sumatera Barat. Di sisi
lain, jumlah penduduk terendah di Sumatera Barat berada pada Kota Padang
Panjang.
Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk di Sumatera Barat mengalami peningkatan yang
masih terkendali sejak tahun 2006 sampai 2012. Penduduk Sumatera Barat tahun
2012 hasil proyeksi penduduk diperoleh sebanyak 4.96 juta jiwa yang terdiri dari
2.46 juta laki-laki dan 2.50 juta perempuan. Dibandingkan tahun sebelumnya
penduduk Sumatera Barat telah bertambah 53.3 ribu orang atau meningkat 1.09%
dari tahun 2011 ke 2012. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan tingkat
Tahun Laki-laki
(jiwa)
Perempuan
(jiwa)
Jumlah penduduk
(jiwa)
Pertumbuhan
(%)
2012 2 455 782 2 501 937 4 957 719 1.09
2011 2 432 826 2 471 634 4 904 460 1.19
2010 2 404 377 2 442 532 4 846 909 0.39
2009 2 367 599 2 460 374 4 827 973 1.36
2008 2 346 299 2 416 800 4 763 099 1.39
2007 2 311 652 2 386 112 4 697 764 1.42
2006 2 285 480 2 346 672 4 632 152 0.61
pertumbuhan penduduk dari tahun 2010 ke 2011 angka tersebut mengalami
penurunan pertumbuhan. Dari tabel 8, terlihat bahwa pertumbuhan penduduk pada
tahun 2010 ke 2011 yang berada pada angka 1.19% dengan jumlah penduduk 4.90
juta jiwa yang terdiri dari 2.43 juta laki-laki dan 2.47 juta perempuan (Tabel 8).
Sumber: BPS 20006-2012
Tabel 8. Pertumbuhan penduduk di Sumatera Barat
37
Struktur umur penduduk Sumatera Barat masuk pada kategori kelompok
umur penduduk “muda”. Dapat dilihat pada gambar 12, persentase penduduk usia
mudanya (di bawah 15 tahun) di Sumatera Barat tahun 2012 tergolong tinggi yaitu
sebesar 31%, penduduk usia menengah (antara 15 sampai 64 tahun) mencapai
64%, sedangkan komposisi penduduk usia tua (65 tahun ke atas) hanya 5%.
Tingkat kepadatan penduduk Sumatera Barat tahun 2012, rata-rata 117
orang per km2. Kepadatan penduduk tertinggi berada di Kota Bukittinggi yang
hampir mencapai 4 533 orang per km2, sedangkan yang paling rendah terdapat di
Kabupaten Kepulauan Mentawai yaitu sekitar 13 orang per km2.
Dilihat dari jumlah penduduk pada masing-masing Kabupaten Kota tahun
2012, dapat diketahui bahwa terjadi keragaman jumlah penduduk yang menghuni
suatu wilayah di Sumatera Barat. Gambar 13 memperlihatkan bahwa daerah yang
memiliki jumlah penduduk paling tinggi adalah Kota Padang dengan persentase
jumlah penduduk terhadap Sumatera Barat sebesar 17.23%. Ini dikarenakan Kota
Padang merupakan ibu Kota Provinsi Sumatera Barat. Jumlah penduduk terendah
berada pada Kota Padang Panjang dengan persentase jumlah penduduknya sebesar
0.97%.
Gambar 13. Jumlah penduduk ditingkat Kabupaten/Kota tahun 2012
0 100000200000300000400000500000600000700000800000900000
Kep. Mentawai
Pesisir Selatan
Solok
Sijunjung
Tanah Datar
Padang Pariaman
Agam
50 Kota
Pasaman
Solok Selatan
Dhamasraya
Pasaman Barat
Padang
Solok
Sawah Lunto
Padang Panjang
Bukittinggi
Payakumbuh
Pariaman
78 511
437 638
355 077
207 474
342 991
396 883
463 719
355 928
258 929
148 437
198 614
376 548
854 336
61 152
58 068
48 187
114 415
119 942
80 870
Sumber: BPS 2012
38
Potensi Gempa Bumi di Sumatera Barat
Sumatera Barat memiliki potensi benca alam, terutama gempa bumi baik
itu gempa tektonik maupun gempa vulkanik. Gempa vulkanik di Sumatera Barat
dilatarbelakangi oleh adanya empat gunung berapi aktif, yaitu Gunung Merapi,
Gunung Tandikat, Gunung Talang dan Gunung Kerinci. Sedangkan untuk gempa
tektonik yang terjadi di Sumatera Barat dilatarbelakangi oleh zona gempa bumi
Sumatera Barat yang tersusun atas dua generator gempa bumi. Pertama, adanya
zona subduksi yaitu pertemuan Lempeng Indo‐Australia dengan Lempeng Eurasia
±250 km dari garis pantai ke arah barat. Zona subduksi ini berpotensi
menimbulkan gempa kuat dan berkemungkinan besar akan diikuti oleh gelombang
besar (tsunami). Gempa-gempa ini dipicu oleh aktivitas penyusupan lempeng
sebagian besar yang hiposenternya berpusat di perairan sebelah barat Sumatera.
Potensi gempa besar akibat aktivitas lempeng dizona subduksi dicirikan dengan
magnitudonya yang relatif lebih besar. Kedua, adanya zona patahan Sumatera atau
yang populer dikenal sebagai Semangko Fault. Patahan Sumatera merupakan
patahan sangat aktif di daratan yang membelah Pulau Sumatera menjadi dua,
membentang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, mulai dari Teluk Semangko di
Selat Sunda sampai ke wilayah Aceh di Utara (Gambar 14).
National Geophysical Data Center (pusat pencatatan data gempa dan
tsunami Amerika) mencatat telah terjadi delapan gempa dengan kategori
megathrust atau gempa berkekuatan besar yang pernah terjadi di Sumatra Barat
yakni tahun 1797, 1833, 1926, 2004, 2005, 2007, 2009, dan 2010. Menurut data
Gambar 14. Peta potensi gempa Sumatera Barat
Sumber: gempapadang.wordpress.com 2011
39
tersebut juga, sejarah kegempaan Sumatera Barat juga pernah dibarengi tsunami
seperti gempa tahun 1797, 1883, dan 2010 (Metrotvnews 2013).
Pada tahun 2005 terjadi gempa tektonik yang berpusat di bawah laut, di
1'76 Lintang Selatan dan 99 '70 Bujur Timur di kedalaman 30 kilometer atau 105
kilometer Barat Daya Kota Padang atau sekitar Kepulauan Mentawai Sumatera
Barat. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) wilayah I Sumatera bagian Utara
menyatakan gempa terjadi pukul 17.29 WIB dengan kekuatan 6.7 skala Richter.
Gempa berada di sistem besar Mentawai akibat aktivitas pertemuan lempeng
Indo-Australia dengan Euro-Asia. Gempa terasa hingga di Padang dengan
kekuatan 4-5 MMI (Modified Mercalli Intensity). Dengan kekuatan gempa sebesar
itu, dampak gempa bisa dirasakan oleh seluruh penduduk di wilayah tersebut dan
bisa menimbulkan kaca-kaca pecah, dan bangunan, pohon serta tiang listrik
bergoyang. Akan tetapi, kemungkinan bangunan runtuh akibat gempa sangat
kecil.
Gempa bumi berikutnya kembali mengguncang Sumatera Barat pada
Maret 2007. Badan Meteorologi dan Geofisika melaporkan terjadi tiga kali
gempa. Gempa pertama berkekuatan 5.8 pada skala Richter terjadi di koordinat
0.480° LS, 100.370 BT pada kedalaman 33 km dengan lokasi 19 km selatan Kota
Bukittinggi. Gempa kedua berkekuatan 5.8 SR pada koordinat 0.5 LS dan 100.4
BT di sebelah barat daya Batusangkar, terjadi pukul 10.49. Gempa ketiga, dengan
pusat gempa tak jauh dari gempa sebelumnya, memiliki koordinat 0.5 LS dan
100.5 BT berkekuatan 5.8 SR pada pukul 12.49. Guncangan gempa terasa hingga
ke Singapura dan Malaysia. Korban meninggal akibat gempa ini tercatat
sebanyak 52 orang.
Gempa terbesar yang terjadi di Sumatera Barat beberapa tahun belakangan
ini adalah yang terjadi pada tahun 2009 dengan kekuatan 7.6 skala Richter pada
pukul 17:16:10 WIB tanggal 30 September 2009. Gempa ini terjadi di lepas pantai
Sumatera, sekitar 50 km barat laut Kota Padang. Gempa menyebabkan kerusakan
parah pada 12 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat yaitu Kota Padang, Kab.
Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kab. Agam, Kab. Pesisir Selatan, Kab. Solok,
Kab. Kepulauan Mentawai, Kab. Pasaman Barat, Kab. Pasaman, Kota Padang
Panjang, Kota Solok dan Kab. Tanah Datar. Kerusakan yang terjadi akibat gempa
ini tercatat sebanyak 135 448 rumah rusak berat, 65 380 rumah rusak sedang, dan
78 604 rumah rusak ringan. Sedangkan menurut data Satkorlak PB mencatat
tedapat sebanyak 1 117 korban meninggal dunia akibat gempa ini yang tersebar di
3 Kota & 4 Kabupaten di Sumatera Barat, korban luka berat mencapai 1 214
orang, luka ringan 1 688 orang, korban hilang 1 orang.
Pada 25 Oktober 2010 terjadi Gempa bumi di Kepulauan Mentawai.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa
gempa Bumi terjadi dengan kekuatan 7.2 skala richter dilepas pantai Sumatera.
BMKG mengeluarkan peringatan tsunami yang kemudian peringatan tersebut
dicabut setelah kemungkinan ancaman tsunami berlalu. Namun, setelah
peringatan dari BMKG dicabut, Tsunami terjadi setinggi 3-10 meter dan
setidaknya 77 desa hancur. Berdasarkan Pacific Tsunami Warning Center, gempa
menyebabkan sebuah tsunami yang melanda Resor Selancar Macaronis di
Kepulauan Mentawai yang menghantam dua perahu sewaan. Akibatnya 286 orang
dilaporkan meninggal dunia dan 252 orang lainnya dilaporkan hilang.
40
Terpencilnya lokasi gempa dan hanya dapat dijangkau dengan kapal laut membuat
terjadinya keterlambatan dalam pemberian bantuan.
Dari seluruh gempa-gempa besar yang terjadi sejak tahun 2005 sampai
2010, hanya gempa pada tahun 2009 yang dianalisis sebagai variabel dummy
dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan karena pada gempa tahun tersebut
memiliki dampak secara ekonomi paling besar terhadap Sumatera Barat secara
keseluruhan. Sementara gempa-gempa yang lain lebih bersifat lokal atau hanya
meliputi satu daerah otonomi saja, seperti Kabupaten Kepulauan Mentawai.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketimpangan Distribusi Pendapatan Masing-Masing Kabupaten/Kota di
Sumatera Barat
Berdasarkan perhitungan Gini ratio sejak tahun 2006 sampai 2011 dapat
diketahui bahwa Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki rata-rata Gini ratio
tertinggi yang berada pada angka 0.311. Angka ini mengindikasikan bahwa
Kabupaten kepulauan Mentawai memiliki tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan terparah dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya. Sedangkan
rata-rata ketimpangan distribusi pendapatan terendah berada pada Kabupaten
Pesisir Selatan dimana rata-rata Gini ratio-nya berada pada angka 0.217.
Perkembangan Gini ratio Kabupaten/Kota di Sumatera Barat
memperlihatkan adanya kecenderungan terjadinya peningkatan. Pada tahun 2006,
Gini ratio terendah berada pada angka 0.212 yang dimiliki oleh Kabupaten Pesisir
Selatan, sedangkan Gini ratio terendah di tahun 2011 meningkat menjadi 0.255
yang dimiliki oleh Kabupaten Lima Puluh Kota. Begitu juga dengan nilai Gini
ratio tertinggi yang mengalami peningkatan yang cukup drastis, dimana nilai Gini
ratio tertinggi pada tahun 2006 berada pada angka 0.312 yang dimiliki oleh Kota
Solok meningkat menjadi 0.399 ditahun 2011 yang dimiliki oleh Kota Padang
Panjang. Nilai Gini ratio pada masing-masing Kabupaten/Kota di Sumatera Barat
dapat dilihat pada Tabel 9.
Timmer (2004) membagi kategori ketimpangan distribusi pendapatan
menjadi tiga kelompok berdasarkan ukuran Gini ratio, yaitu:
1. Ketimpangan distribusi pendapatan rendah apabila nilai Gini ratio lebih kecil
dari 0.30,
2. Ketimpangan distribusi pendapatan sedang apabila nilai Gini ratio terletak
antara 0.30 sampai 0.40,
3. Ketimpangan distribusi pendapatan tinggi apabila nilai Gini ratio lebih besar
dari 0.40.
Berdasarkan kategori tersebut, maka ketimpangan distribusi pendapatan di tingkat
Kabupaten/Kota di Sumatera Barat masih berada pada tingkat ketimpangan yang
rendah, akan tetapi adanya trend peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan
beberapa tahun terakhir perlu diwaspadai dan mendapat perhatian lebih. Jika trend
tersebut terus berlanjut maka akan berpotensi menimbulkan kerawanan sosial
yang akhirnya dapat memunculkan gejolak sosial.
41
Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-
rata
Kep. Mentawai 0.304 0.325 0.327 0.276 0.309 0.326 0.311
Kab. Pesisir Selatan 0.212 0.194 0.217 0.195 0.219 0.264 0.217
Kab. Solok 0.285 0.285 0.283 0.278 0.237 0.285 0.276
Kab. Sijunjung 0.268 0.222 0.308 0.284 0.279 0.299 0.276
Kab. Tanah Datar 0.261 0.249 0.234 0.272 0.247 0.345 0.268
Kab. Padang Pariaman 0.265 0.210 0.268 0.297 0.244 0.314 0.266
Kab. Agam 0.274 0.264 0.257 0.258 0.256 0.277 0.264
Kab. 50 Kota 0.221 0.203 0.258 0.242 0.228 0.255 0.234
Kab. Pasaman 0.268 0.220 0.271 0.261 0.255 0.291 0.261
Kab. Solok Selatan 0.242 0.204 0.262 0.287 0.270 0.292 0.259
Kab. Dhamasraya 0.268 0.258 0.258 0.264 0.298 0.369 0.286
Kab. Pasaman Barat 0.220 0.254 0.228 0.247 0.233 0.268 0.242
Kota Padang 0.285 0.217 0.278 0.284 0.289 0.304 0.276
Kota Solok 0.312 0.256 0.295 0.266 0.234 0.345 0.285
Kota Sawah Lunto 0.280 0.263 0.288 0.251 0.282 0.336 0.283
Kota Padang Panjang 0.309 0.255 0.231 0.273 0.309 0.399 0.296
Kota Bukittinggi 0.290 0.239 0.311 0.311 0.287 0.329 0.294
Kota Payakumbuh 0.291 0.304 0.271 0.269 0.263 0.320 0.286
Kota Pariaman 0.259 0.220 0.279 0.293 0.282 0.349 0.280
Peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi di Sumatera
Barat ataupun di tingkat Kabupaten/Kota-nya di pengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan tersebut
akan dibahas pada pembahasan dibawah ini
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Distribusi Pendapatan di
Sumatera Barat
Dari hasil Uji Hausman didapatkan nilai probabilita sebesar 0.1358 (Tabel
10) yang lebih besar dari taraf nyata 0.05 yang berarti bahwa telah cukup bukti
untuk tidak menolak H0 dan dapat disimpulkan estimasi model ketimpangan
distribusi pendapatan menggunakan metode Random Effect (REM). Penggunaan
metode REM ini mencerminkan bahwa tidak terdapat korelasi antara efek
individu dengan variabel bebas didalam model. Teknik pendugaan dalam model
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 11.064443 7 0.1358
Sumber: Hasil pengolahan dengan IBM SPSS Statistic 19 dan Microsoft Excel 2010
Sumber: Hasil pengolahan dengan EViews 6
Tabel 9.Gini ratio di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada 2006-2011
Tabel 10. Hasil uji Hausman
42
Random Effect dilakukan dengan metode Generalized Least Square (GLS)
sehingga secara otomatis mampu mengurangi permasalahan autokorelasi dan
gejala heteroskedastisitas yang disebabkan variasi sisaan yang tidak konstan
(Gujarati, 2004).
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan
distribusi di Sumatera Barat digunakan model ketimpangan distribusi pendapatan
yang mana Gini ratio di tingkat Kabupaten/Kota merupakan variabel terikat
(dependent variabel). Hasil estimasi model tersebut memiliki R-square sebesar
40.66% yang berarti bahwa 40.66% keragaman dari ketimpangan distribusi
pendapatan di Sumatera Barat dapat dijelaskan oleh keragaman variabel PDRB
perkapita, share sektor industri terhadap PDRB, jumlah tenaga kerja sektor
industri, pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai, pengeluaran pemerintah
non-belanja pegawai, pertumbuhan penduduk dan variabel dummy gempa.
Sisanya sebesar 59.34% diakibatkan oleh faktor lain yang tidak disertakan dalam
model, namun dtampung dalam variabel acak. Pengujian parameter hasil estimasi
secara menyeluruh menggunakan uji F menghasilkan nilai statistik F sebesar
9.919753 dan probabilita sebesar 0.000000, yang signifikan pada taraf nyata 1%.
Ini mengindikasikan bahwa seluruh variabel bebas (independent variabel) atau
minimal ada satu variabel bebas yang terbukti signifikan mempengaruhi
ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat (Tabel 11).
Variable Coefficient Prob.
KAP+ (PDRB perkapita) 0.065801* 0.0000
SIND (share sektor industri terhadap PDRB) -0.002818* 0.0003
LIND+
(jumlah tenaga kerja sektor industri) -0.011744* 0.0007
BLJPGW+ (belanja pegawai) 0.017236*** 0.0561
NBLJ+
(belanja non pegawai) -0.024972** 0.0299
GPOP (pertumbuhan penduduk) -0.030804** 0.0451
DUM (dummy gempa) 0.014130*** 0.0736
C (konstanta) 0.359227* 0.0016
R-squared 0.406610
Adjusted R-squared 0.367424
F-statistic 10.37637
Prob(F-statistic) 0.000000
Pendapatan Perkapita
Pendapatan perkapita (KAP) signifikan pada taraf 1% searah terhadap
peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan. Pendapatan perkapita memiliki
pengaruh paling tinggi terhadap peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan
di Sumatera Barat dengan elastisitas sebesar 0.069834. Nilai ini bermakna setiap
adanya pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 1% akan meningkatkan
ketimpangan distribusi pendapatan sebesar 0.0698% ceteris paribus. Temuan ini
sejalan dengan penelitian yang dihasilkan oleh Nikoloski (2009) bahwa
Tabel 11. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan
Ket: *signifikan pada taraf 1%, ** pada taraf 5%, *** pada taraf 10%
: + Variabel yang digunakan berbentuk logaritma natural
Sumber: Hasil pengolahan dengan EViews 6
43
pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan ketimpangan pendapatan antar
penduduk.
Hasil penelitian ini dapat dijelaskan oleh fenomena distribusi manfaat hasil
pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat yang lebih banyak dinikmati oleh 10%
penduduk pada golongan pendapatan teratas. Secara proporsional, bagian dari
pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi oleh penduduk pada golongan
pendapatan atas selama periode 2006 sampai 2011 meningkat jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan konsumsi penduduk pada golongan pendapatan di
bawahnya (Gambar 15).
Hubungan antara pendapatan perkapita dengan Gini ratio di tingkat
Kabupaten/Kota di Sumatera Barat tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 13.
Garis yang tegak lurus pada pendapatan perkapita merupakan rata-rata pendapatan
perkapita di Sumatera Barat yang bernilai Rp.8.03 juta, sedangkan garis yang
tegak lurus pada Gini ratio merupakan rata-rata Gini ratio di Sumatera Barat yang
bernilai 0.31. Kuadran I adalah kondisi terburuk yang mana menggambarkan
wilayah dengan kondisi ketimpangan pendapatan (Gini ratio) diatas rata-rata dan
tingkat pendapatan dibawah rata-rata. Kab. Dhamasraya, Kabupaten Tanah Datar,
Kepulauan Mentawai, Padang Pariaman dan Kota Payakumbuh masuk pada
wilayah di kuadran I. Kuadran II merupakan daerah yang memiliki pendapatan
perkapita relatif tinggi dan diikuti oleh ketimpangan (Gini ratio) yang juga diatas
rata-rata. Terdapat lima Kabupaten/Kota yang berada pada kuadran II, yaitu: Kota
Padang Panjang, Kota Pariaman, Kota Solok, Kota Sawah Lunto dan Kota
Bukittinggi. Kuadran III merupakan kebalikan dari kuadran I, kondisi ini
merupakan kondisi ideal yang mana tingkat pendapatan perkapitanya diatas rata-
rata dan memiliki ketimpangan distribusi pendapatan dibawah tingkat rata-
ratanya. Hanya dua Kabupaten/Kota yang masuk pada kondisi ini, yaitu Kota
Padang dan Kabupaten Lima Puluh Kota. Kondisi terbanyak yang dimiliki oleh
Kab/Kota di Sumatera Barat berada pada kuadran IV dengan ketimpangan
distribusi pendapatan rendah akan tetapi pendapatan perkapitanya juga berada
0
200000
400000
600000
800000
1000000
1200000
1400000
1600000
1800000
2000000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pen
gel
uar
an
Kelompok kuintil
2006 2011
Gambar 15. Pangsa konsumsi menurut kelompok pengeluaran di Sumatera Barat
Sumber: Hasil pengolahan dengan IBM SPSS Statistic 19 tahun 2006 dan 2011
44
dibawah tingkat rata-rata. Kondisi ini dialami oleh tujuh Kab/Kota, yaitu
Kabupaten Sawah Lunto, Solok Selatan, Pasaman, Pasaman Barat dan Pesisir
Selatan (Gambar 16).
Share Sektor Industri Terhadap PDRB
Variabel kedua yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan
adalah share sektor industri terhadap PDRB (SIND) yang signifikan pada taraf
1% secara berlawanan arah. Variabel ini memiliki elastisitas sebesar -0.031069
yang berarti apabila terjadi peningkatan share sektor industri terhadap PDRB
sebesar 1% akan berpengaruh terhadap penurunan ketimpangan distribusi
pendapatan sebesar 0.0301% ceteris paribus. Hasil penelitian ini, sejalan dengan
temuan Kassa (2003).
Share sektor industri terhadap PDRB akan mengurangi ketimpangan
distribusi pendapatan melalui kontribusi sektor tersebut dalam menyerap angkatan
kerja terutama pada bagian yang padat karya. Loayza dan Raddatz (2010)
mengungkapkan bahwa sektor yang padat karya cenderung memiliki pengaruh
yang lebih kuat dalam mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Sehingga
share sektor industri terhadap PDRB akan berimplikasi ke depan (forward
linkage) terhadap jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri.
Peningkatan share sektor industri terhadap PDRB mengindikasikan
terjadinya peningkatan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja yang akan
mendorong pada peningkatan pendapatan masyarakat terutama pada kelompok
masyarakat berpendapatan rendah. Selain itu, sektor industri juga memiliki
produktifitas dan tingkat upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor
pertanian. Kuznets (1955) mengungkapkan terjadinya pengalihan sumber daya
dari sektor pertanian ke sektor industri secara berangsur-angsur akan mengurangi
II I
IV III
Gambar 16. Ketimpangan dan pendapatan rata-rata Kab/Kota di Sumatera Barat
Sumber: BPS 2011
Kab. Kep.Mentawai
Kab. Pesisir Selatan
Kab. Solok
Kab. Sawahlunto
Kab. Tanah Datar
Kab. PadangPariaman
Kab. Agam
Kab. Lima Puluh Kota
Kab. Pasaman
Kab. Solok Selatan
Kab. Dharmasraya
Kab. Pasaman Barat
Kota Padang
Kota Solok Kota Sawahlunto
Kota Padangpanjang
Kota Bukittinggi Kota
Payakumbuh
Kota Pariaman
0.25
0.27
0.29
0.31
0.33
0.35
0.37
0.39
0.41
2 4 6 8 10 12 14 16
Gin
i ra
sio
PDRB perkapita
45
ketimpangan distribusi pendapatan. Oleh karena itu, peningkatan kontribusi sektor
industri terhadap PDRB akan menimbulkan forward linkage yang positif pada
tenaga kerja yang bekerja di sektor tersebut dan pada akhirnya akan mengurangi
jurang ketimpangan distribusi pendapatan antar penduduk.
Tenaga Kerja Sektor Industri
Hasil temuan ini, mendukung variabel sebelumnya, yaitu share sektor
industri terhadap PDRB. Jumlah tenaga kerja sektor industri (LIND) signifikan
mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat. Elastisitas
variabel jumlah tenaga kerja sektor industri sebesar -0.011172 yang berarti bahwa
setiap kenaikan jumlah tenaga kerja sektor industri sebesar 1% akan mengurangi
ketimpangan distribusi pendapatan sebesar 0.0111%, ceteris paribus. Peningkatan
jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri mengindikasikan terjadinya
peningkatan penyerapan tenaga kerja baik bagi angkatan kerja terdidik maupun
tidak terdidik. Penyerapan angkatan kerja tidak terdidik pada umumnya berasal
dari rumah tangga miskin. Penyerapan tenaga kerja pada kelompok ini akan
meningkatkan pendapatan masyarakat miskin secara keseluruhan dan secara
berangsur-angsur akan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan.
Pengeluaran Pemerintah Non-Belanja Pegawai
Pengeluaran pemerintah non-belanja pegawai berpengaruh signifikan pada
taraf 5% secara berlawanan arah terhadap ketimpangan distribusi pendapatan.
Variabel ini memiliki elastisitas sebesar -0.025881 yang berarti apabila terjadi
peningkatan pengeluaran pemerintah untuk komponen selain belanja pegawai
sebesar 1% maka ketimpangan distribusi pendapatan akan menurun sebesar
0.0258% ceteris paribus. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Afonso et al.
(2008).
Cornia dan Kiiski (2001) mengungkapkan bahwa peran pengeluaran
pemerintah terhadap ketimpangan distribusi pendapatan dipengaruhi oleh
komposisi pengeluaran tersebut terutama pada bagian transfer sosial untuk
pengeluaran publik. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah non-belanja pegawai
seperti subsidi, transfer dan belanja modal untuk pembangunan akan mengurangi
ketimpangan distribusi pendapatan karena akan meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat golongan rendah dan menengah.
Pengeluaran Pemerintah Untuk Belanja Pegawai
Berlawanan dengan variabel pengeluaran pemerintah non-belanja pegawai,
variabel pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai berpengaruh signifikan
pada taraf 10% mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan distribusi
pendapatan. Variabel ini memiliki elastisitas sebesar 0.017330 yang berarti
apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai
sebesar 1%, maka ketimpangan distribusi pendapatan akan meningkat sebesar
0.0173% ceteris paribus.
Pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai hanya akan diterima oleh
masyarakat golongan menengah yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan
efeknya tidak dirasakan oleh seluruh masyarakat. Pengeluran pemerintah untuk
belanja pegawai yang justru meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan ini
juga bisa mengindikasikan adanya aliran keuntungan dari anggaran pemerintah
46
kepada kelompok elite tertentu yang justru akan mempertajam jurang
ketimpangan distribusi pendapatan. Afonso et al. (2008) mengungkapkan ketika
tidak ada penegakan hukum, termasuk dalam kasus korupsi, masyarakat miskin
atau golongan pendapatan rendah cenderung akan menerima eksploitasi dari
kelompok yang lebih kaya.
Pertumbuhan Penduduk
Variabel berikutnya yang terbukti signifikan memengaruhi ketimpangan
distribusi pendapatan di Sumatera Barat adalah pertumbuhan penduduk yang
signifikan pada taraf 10% dengan arah berlawanan. Pertumbuhan penduduk
memiliki elastisitas sebesar -0.030093, yang berarti apabila terjadi peningkatan
pertumbuhan penduduk sebesar 1%, maka ketimpangan distribusi pendapatan
akan turun sebesar 0.0300% ceteris paribus. Hasil penelitian ini sejalan dengan
temuan oleh Kassa (2003) dan Sylwester (2003).
Pertumbuhan penduduk menggambarkan pertambahan penduduk pada
suatu wilayah yang dapat terjadi memalui adanya kelahiran. Meningkatnya
kelahiran penduduk mengandung arti jumlah penduduk muda atau usia produktif
meningkat, sehingga dapat mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Daerah dengan tingkat kepadatan yang tinggi mencermikan keadaan penduduk yang
lebih beragam dan produktifitas tinggi yang akan menciptakan mobile society yang
berakibat pada distribusi pendapatan yang lebih merata dalam jangka panjang
(Sylwester 2003). Kassa (2003) berpendapat wilayah dengan jumlah penduduk
rendah memiliki kemungkinan lebih tinggi dalam melakukan land concentration
yang akan mendorong peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan.
Dummy Gempa
Variabel lain yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan
adalah dummy gempa. Variabel dummy gempa memiliki koefisien yang bertanda
positif yang berarti bahwa ketimpangan distribusi pendapatan berhubungan positif
terhadap terjadinya gempa bumi di Sumatera Barat. Variabel dummy gempa ini
mengindikasikan ketimpangan distribusi pendapatan akan semakin tinggi setelah
terjadinya gempa pada Kabupaten/Kota yang terkena gempa.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yamamura (2013) dan
Rodriguez-Oreggia et al. (2013). Dampak gempa bumi akan memperburuk
keadaan pada kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah karena
masyarakat dengan penghasilan rendah memiliki keterbatasan penghasilan
sehingga tidak dapat berinvestasi untuk melakukan pencegahan terhadap gempa
dan akan mengalami kesulitan untuk bangkit dan pulih dari efek gempa. Bencana
alam juga cenderung akan menyebabkan peningkatan kemiskinan (Rodriguez-
Oreggia et al. 2013).
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya dan sesuai
dengan tujuan dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
47
1. Nilai Gini ratio pada tahun 2006 sampai 2011 untuk masing-masing
Kabupaten/Kota di Sumatera Barat menunjukkan trend yang beragam,
walaupun terdapat kecenderungan masing-masing Kabupaten/Kota
mengalami peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan.
2. Ketimpangan distribusi pendapatan tertinggi secara rata-rata dilihat dari
nilai Gini ratio di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat sejak tahun
2006 sampai 2011 dimiliki oleh Kabupaten Kepulauan Mentawai,
sedangkan ketimpangan distribusi pendapatan terendah secara rata-rata
dilihat dari nilai Gini ratio dimiliki oleh Kabupaten Pesisir Selatan.
3. Faktor-faktor yang terbukti meningkatkan terjadinya ketimpangan
distribusi pendapatan di Sumatera Barat adalah pertumbuhan ekonomi,
pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai dan gempa bumi.
4. Ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat akan berkurang
melalui peningkatan share sektor industri terhadap PDRB, jumlah tenaga
kerja yang bekerja di sektor industri, pengeluaran pemerintah non-belanja
pegawai dan pertumbuhan penduduk.
Saran
Beberapa hal yang dapat disarankan pada pemerintah dan penelitian selanjutnya,
berdasarkan kesimpulan adalah:
1. Pemerintah Sumatera Barat tetap mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi
tinggi yang berbasis pada pemerataan melalui kontribusi sektor industri
yang dominan serta pengeluran pemerintah untuk pembangunan.
2. Pentingnya peran sektor industri dalam pengurangan ketimpangan
distribusi pendapatan di Sumatera Barat perlu disikapi pemerintah dengan
kebijakan yang diarahkan pada peningkatan dan mendorong sektor industri
terutama industri padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja lebih
besar.
3. Pemerintah Sumatera Barat diharapkan mampu berperan dalam
mendorong masyarakat memperoleh pendidikan dan menyediakan sarana
dan prasarana yang layak agar seluruh masyarakat memiliki kesempatan
yang sama dalam memperoleh pendidikan dan meningkatkan kemampuan
untuk dapat bekerja di sektor industri.
4. Pengeluaran pemerintah di Sumatera Barat seharusnya lebih fokus pada
peningkatan pengeluaran pemerintah non-belanja pegawai terutama untuk
transfer sosial dan pengeluaran publik seperti subsidi dan pembanguan.
5. Pertumbuhan penduduk memiliki peran yang cukup penting dalam
pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan, oleh karena itu
pemerintah sebaiknya berupaya menciptakan program pertumbuhan
penduduk yang lebih produktif. Seperti mencanangkan program, adanya
sarjana pada setiap keluarga miskin.
6. Mempersiapkan mekanisme bantuan dan transfer sosial yang tepat sasaran
dan memperhatikan kelangsungan hidup korban bencana terutama pada
korban yang memiliki tingkat pendapatan rendah. Efektifitas bantuan dan
transfer sosial yang dilakukan juga harus dipertajam melalui evaluasi dan
pengawasan terhadap mekanisme dan sasaran.
48
DAFTAR PUSTAKA
Addison T, Cornia GA. 2001. Income Distribution Policies For Faster Poverty
Reduction. Discussion Paper No. 2001/93. United Nations (UN): World
Institute for Development Economics Research (WIDER)
Afonso A, Schuknecht L, Tanzi V. 2008. Income Distribution Determinants and
Public Spending Efficiency. Working Paper No.861. Eropa: European
Central Bank
Arsyad L. 1997. Ekonomi Pembangunan. Ed 3 Yogyakarta (ID): Bagian
Penerbitan STIE YKPN
Baltagi BH. 2005. Econometrics analysis of Panel Data 3rd Edition. Chicester:
John Wiley and Sons. Ltd
Barro RJ. 2008. Inequality and Growth Revisited. Working Paper Series On
Regional Economic Integration No. 11. Asian Development Bank (ABD)
Basdevant O, Benicio D, Yakhshilikov. 2012. Inequalities and growth in the
Southern African Customs Union (SACU) Region. Afrika Selatan (tZA):
IMF Working Paper
Beritasore. 2012. Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Mengkhawatirkan.
Berita Sore : http://beritasore.com/2012/08/15/ketimpangan-pendapatan-
di-indonesia-mengkhawatirkan/ diakses 2013 Juni 14, 7.50PM
[BI] Bank Indonesia. 2013. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sumatera Barat.
Padang (ID): BI Wilayah VIII
Birdsall N. 2005. Rising Inequality in The New Global Economy. No2/2005
World Institute for Development Economics Research. Amerika Serikat
(US): WIDER ANGEL
Bouillon C, Legovini A, Lustig N. 2001. Can Education Explain Income
Inequality Changes in Mexico?. IADP Working Paper 12/01. Washington
(US): Inter-American Development Bank
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. 2007-2012. Daerah Dalam
Angka Provinsi Sumatera Barat. Padang (ID): BPS Provinsi Sumatera
Barat
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008-2012. Perkembangan Beberapa Indikator
Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta (ID): BPS Jakarta,Indonesia
Bulir A. 1998. Income Inequality: Does Inflation Matter?. Working Paper/98/7.
Amerika Serikat (US): International Monetary Fund
Charisyanto C. 2006. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan
Perekonomian Antar Daerah di Indonesia. [Thesis]. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia
Cornia GA, Kiiski S. 2001. Trends in Income Distribution in the Post-World War
II Period. Discussion Paper No.2001/89 Amerika Serikat (US):
UNU/WIDER
Eicher T, Garcia-Penalosa C. 2000. Inequality And Growth: The Dual Role Of
Human Capital In Development. Working Paper No. 355. Jerman (DE):
Leibniz Institute for Economic Research at the University of Munich
(CESifo)
Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series.
Bogor (ID): IPB Press
49
Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics 4th
Edition. New York: McGraw Hill
Gustafsson B, Johansson M. 1997. In search for a smoking gun: What Makes
Income Inequality Vary Over Time in Different Countries?. Luxembourg:
LIS Working Paper
Hartono B. 2008. Analisis Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Jawa
Tengah.[Thesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro
Hayami I. 2001. Development Economic From The Poverty to The Wealth of
Nation. 2nd
ed. New York (US): Oxford University Pers Inc
Jaumotte F, Lall S, Papageorgiou C. 2008. Rising Income Inequality: Technology,
or Trade and Financial Globalization?. Working Paper/08/185. Amerika
Serikat (US): International Monetary Fund
Juanda B. 2009. EKONOMETRIKA: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB
Press
Kassa A. 2003. Factors Influencing Income Inequality in Transition Economies.
Tartu: Tartu University Press
Kuznets S. 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American
Economic Review. Vol 45, Issue 1 (Mar.,1955), 1-28. Amerika Serikat
(AS): JSTOR
Loayza NV, Raddatz C. 2010. The Composition of Growth Matters for Poverty
Alleviation No. 93(1), 137-151. Journal of Development Economics
Metrotvnews. 2013. Ada Potensi Gempa Besar di Sumbar. Metrotvnews:
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/07/04/6/165937/Ada-
Potensi-Gempa-Besar-di-Sumbar diakses 2013 November 18, 7.50 PM Nachrowi DN, Usman H. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk
Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Universitas
Indonesia Nikoloski Z. 2009. Economic and Political Determinants of Income Inequality.
London (GB): University College London
Ortiz I, Cummins M. 2011. Global Inequality: Boyond The Bottom Billion: A
Rapid Review of Income Distribution in 141 Countries. Unicef Social And
Economic Policy Working Paper
Prapti L. 2006. Keterkaitan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi
Pendapatan: Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota Jawa Tengah 2000-2004.
[Thesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro
Ray D. 1998. Development Economics. New Jersey: Princeton University Press
Rodriguez-Oreggia E, Fuente A, Torre R, Moreno H, Rodriguez C. 2013. The
Impact of Natural Disaster on Human Development and Poverty at the
Municipal Level in Mexico. CID Working Paper No. 43. Harvard (US):
Center for International Development at Harvard University
Sarel M. 1997. How Macroeconomic Factors Affect Income Distribution: The
Cross-Country Evidence. Working Paper/97/152. Amerika Serikat (US):
International Monetary Fund
Sihotang JS. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketimpangan
Pendapatan Antar Provinsi di Indonesia. [Thesis]. Medan (ID):
Universitas Sumatera Utara
Sylwester K. 2003. Income Inequality and Population Density 1500 AD: A
Connection. Journal of Economic Development. Vol XXVIII No.2.
Carbondale (US): Department of Economics
50
Timmer CP. 2004. The road to pro-poor growth: the Indonesian experience in
regional perspective. Working Paper No.38. Center for Global
Development
Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Ed 9. Yelvi A,
penerjemah; Barnadi D, Hardani W, editor. Jakarta (ID): Penerbit
Erlangga
Wells R. 2006. Education's Effect on Income Inequality: An Economic
Globalisation Perspective. Vol. 4 No.3 p371-391. Amerika Serikat (US):
ERIC
Wikipedia
Yamamura E. 2013. Impact of Natural Disaster on Income Inequality: Analysis
Using Panel Data During the Period 1965 to 2004. MPRA Paper No.
45623. Muenchen: Munich Personal RePEc Archive MPRA
51
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gini ratio masing-masing Kabupaten/kota di Sumatera Barat
Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Kep. Mentawai 0.304 0.325 0.327 0.276 0.309 0.326
Kab. Pesisir Selatan 0.212 0.194 0.217 0.195 0.219 0.264
Kab. Solok 0.285 0.285 0.283 0.278 0.237 0.285
Kab. Sijunjung 0.268 0.222 0.308 0.284 0.279 0.299
Kab. Tanah Datar 0.261 0.249 0.234 0.272 0.247 0.345
Kab. Padang Pariaman 0.265 0.210 0.268 0.297 0.244 0.314
Kab. Agam 0.274 0.264 0.257 0.258 0.256 0.277
Kab. 50 Kota 0.221 0.203 0.258 0.242 0.228 0.255
Kab. Pasaman 0.268 0.220 0.271 0.261 0.255 0.291
Kab. Solok Selatan 0.242 0.204 0.262 0.287 0.270 0.292
Kab. Dhamasraya 0.268 0.258 0.258 0.264 0.298 0.369
Kab. Pasaman Barat 0.220 0.254 0.228 0.247 0.233 0.268
Kota Padang 0.285 0.217 0.278 0.284 0.289 0.304
Kota Solok 0.312 0.256 0.295 0.266 0.234 0.345
Kota Sawah Lunto 0.280 0.263 0.288 0.251 0.282 0.336
Kota Padang Panjang 0.309 0.255 0.231 0.273 0.309 0.399
Kota Bukittinggi 0.290 0.239 0.311 0.311 0.287 0.329
Kota Payakumbuh 0.291 0.304 0.271 0.269 0.263 0.320
Kota Pariaman 0.259 0.220 0.279 0.293 0.282 0.349
52
Lampiran 2. Hasil uji hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 11.064443 7 0.1358
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. DUM -0.000522 0.014130 0.000035 0.0138
GWTPOP -0.031185 -0.030804 0.000008 0.8905
SIND -0.006297 -0.002818 0.000079 0.6961
LN_BLJPGW 0.006112 0.017236 0.000278 0.5050
LN_KAP 0.197930 0.065801 0.006681 0.1060
LN_LIND -0.002965 -0.011744 0.000060 0.2590
LN_NBLJ -0.019589 -0.024972 0.000053 0.4594
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: GINI
Method: Panel Least Squares
Date: 02/19/14 Time: 00:55
Sample: 2006 2011
Periods included: 6
Cross-sections included: 19
Total panel (balanced) observations: 114
Variable Coefficient Std.
Error t-
Statistic Prob
. C 0.138267 0.180903 0.764314 0.4467
DUM -0.000522 0.009825 -0.053177 0.9577
GWTPOP -0.031185 0.015442 -2.019417 0.0465
SIND -0.006297 0.008936 -0.704616 0.4829
LN_BLJPGW 0.006112 0.018921 0.323018 0.7474
LN_KAP 0.197930 0.082519 2.398586 0.0186
LN_LIND -0.002965 0.008476 -0.349768 0.7273
LN_NBLJ -0.019589 0.013479 -1.453357 0.1497 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.545204 Mean dependent var 0.271657
Adjusted R-squared 0.416000 S.D. dependent var 0.036960
S.E. of regression 0.028245 Akaike info criterion -4.098535
Sum squared resid 0.070204 Schwarz criterion -3.474490
Log likelihood 259.6165 Hannan-Quinn criter. -3.845270
F-statistic 4.219729 Durbin-Watson stat 2.148058
Prob(F-statistic) 0.000000
53
Lampiran 3. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan
menggunakan metode Random Effect
Dependent Variable: GINI
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 02/19/14 Time: 00:54
Sample: 2006 2011
Periods included: 6
Cross-sections included: 19
Total panel (balanced) observations: 114
Swamy and Arora estimator of component variances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DUM 0.014130 0.007819 1.807187 0.0736
GWTPOP -0.030804 0.015193 -2.027561 0.0451
SIND -0.002818 0.000748 -3.767995 0.0003
LN_BLJPGW 0.017236 0.008924 1.931282 0.0561
LN_KAP 0.065801 0.011317 5.814533 0.0000
LN_LIND -0.011744 0.003369 -3.485375 0.0007
LN_NBLJ -0.024972 0.011347 -2.200762 0.0299
C 0.359227 0.111207 3.230241 0.0016 Effects Specification
S.D. Rho Cross-section random 0.004175 0.0214
Idiosyncratic random 0.028245 0.9786 Weighted Statistics R-squared 0.406610 Mean dependent var 0.255428
Adjusted R-squared 0.367424 S.D. dependent var 0.036187
S.E. of regression 0.028781 Sum squared resid 0.087806
F-statistic 10.37637 Durbin-Watson stat 1.894280
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.420777 Mean dependent var 0.271657
Sum squared resid 0.089411 Durbin-Watson stat 1.860286
54
Lampiran 4. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan
menggunakan metode PLS
Dependent Variable: GINI
Method: Panel Least Squares
Date: 02/19/14 Time: 00:50
Sample: 2006 2011
Periods included: 6
Cross-sections included: 19
Total panel (balanced) observations: 114 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DUM 0.014542 0.007939 1.831779 0.0698
GWTPOP -0.030853 0.015591 -1.978848 0.0504
SIND -0.002786 0.000726 -3.837585 0.0002
LN_BLJPGW 0.016730 0.008965 1.866167 0.0648
LN_KAP 0.065139 0.010971 5.937531 0.0000
LN_LIND -0.011632 0.003340 -3.482592 0.0007
LN_NBLJ -0.025788 0.011493 -2.243792 0.0269
C 0.375219 0.111944 3.351842 0.0011 R-squared 0.420916 Mean dependent var 0.271657
Adjusted R-squared 0.382675 S.D. dependent var 0.036960
S.E. of regression 0.029040 Akaike info criterion -4.172727
Sum squared resid 0.089389 Schwarz criterion -3.980713
Log likelihood 245.8454 Hannan-Quinn criter. -4.094799
F-statistic 11.00682 Durbin-Watson stat 1.866543
Prob(F-statistic) 0.000000
55
Lampiran 5. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan
menggunakan metode Fixed Efeect
Dependent Variable: GINI
Method: Panel Least Squares
Date: 02/19/14 Time: 00:51
Sample: 2006 2011
Periods included: 6
Cross-sections included: 19
Total panel (balanced) observations: 114 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
DUM2 -0.000522 0.009825 -0.053177 0.9577
GWTPOP -0.031185 0.015442 -2.019417 0.0465
SIND -0.006297 0.008936 -0.704616 0.4829
LN_BLJPGW 0.006112 0.018921 0.323018 0.7474
LN_KAP 0.197930 0.082519 2.398586 0.0186
LN_LIND -0.002965 0.008476 -0.349768 0.7273
LN_NBLJ -0.019589 0.013479 -1.453357 0.1497
C 0.138267 0.180903 0.764314 0.4467 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.545204 Mean dependent var 0.271657
Adjusted R-squared 0.416000 S.D. dependent var 0.036960
S.E. of regression 0.028245 Akaike info criterion -4.098535
Sum squared resid 0.070204 Schwarz criterion -3.474490
Log likelihood 259.6165 Hannan-Quinn criter. -3.845270
F-statistic 4.219729 Durbin-Watson stat 2.148058
Prob(F-statistic) 0.000000
56
Lampiran 6. Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 1.336045 (18,88) 0.1860
Cross-section Chi-square 27.542145 18 0.0494
Cross-section fixed effects test equation:
Dependent Variable: GINI
Method: Panel Least Squares
Date: 02/19/14 Time: 00:52
Sample: 2006 2011
Periods included: 6
Cross-sections included: 19
Total panel (balanced) observations: 114 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DUM2 0.014542 0.007939 1.831779 0.0698
GWTPOP -0.030853 0.015591 -1.978848 0.0504
SIND -0.002786 0.000726 -3.837585 0.0002
LN_BLJPGW 0.016730 0.008965 1.866167 0.0648
LN_KAP 0.065139 0.010971 5.937531 0.0000
LN_LIND -0.011632 0.003340 -3.482592 0.0007
LN_NBLJ -0.025788 0.011493 -2.243792 0.0269
C 0.375219 0.111944 3.351842 0.0011 R-squared 0.420916 Mean dependent var 0.271657
Adjusted R-squared 0.382675 S.D. dependent var 0.036960
S.E. of regression 0.029040 Akaike info criterion -4.172727
Sum squared resid 0.089389 Schwarz criterion -3.980713
Log likelihood 245.8454 Hannan-Quinn criter. -4.094799
F-statistic 11.00682 Durbin-Watson stat 1.866543
Prob(F-statistic) 0.000000
57
Lampiran 7. Uji Normalitas
0
2
4
6
8
10
12
14
-0.075 -0.050 -0.025 0.000 0.025 0.050 0.075
Series: Standardized Residuals
Sample 2006 2011
Observations 114
Mean -2.19e-17
Median -0.001901
Maximum 0.088614
Minimum -0.083712
Std. Dev. 0.028129
Skewness 0.029076
Kurtosis 3.689345
Jarque-Bera 2.273245
Probability 0.320901
58
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Putri Irina Mayang Sari, dilahirkan di Bukittinggi pada
tanggal 28 Juni 1990 dari pasangan Muhammad Irnad dan Sevina Rozalen.
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis memiliki dua
saudara laki-laki yang bernama Arif Randi Ronaza dan Muhammad Andri
Ronaza.
Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Muhammadiah Payakumbuh
dari tahun 1996 sampai 1997 yang kemudian dilanjutkan di SD Negeri 21
Bengkulu sampai tahun 2000. Kembali pindah pada SD N 26 Bunian
Payakumbuh dan menyelesaikan sekolah dasar di tahun 2002. Penulis menjalani
Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Payakumbuh sejak tahun 2002
sampai 2005 dan menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA
Negeri 1 Payakumbuh pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan
pendidikan jenjang S1 di Universitas Andalas (UNAND) Padang pada jurusan
Ilmu Ekonomi Internasional dan berhasil memperoleh gelar sarjana pada tanggal
25 Juli 2011 dan di wisuda pada bulan September 2011. Setelah lulus, penulis
menjadi asisten dosen untuk beberapa mata kuliah di jurusan Ilmu Ekonomi
Universitas Andalas. Di tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan di tingkat S2
di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada jurusan yang sama, yaitu Ilmu Ekonomi.
Selama kuliah penulis berhasil memperoleh Beasiswa Unggulan Dikti 2012
program On Going.