Ketika Roh Suci Menjaga Alam Tetap Lestari - cifor.org fileJauh melangkah ke dalam hutan dengan...

5
DHARMA WIJAYANTO Ketika Roh Suci Menjaga Alam Tetap Lestari Seli Kaitahu:

Transcript of Ketika Roh Suci Menjaga Alam Tetap Lestari - cifor.org fileJauh melangkah ke dalam hutan dengan...

DH

ARM

A W

IJAYA

NTO

Ketika Roh Suci Menjaga Alam Tetap Lestari

Seli Kaitahu:

ragam 40-a.indd 47 6/8/12 10:45:39 AM

48 GATRA 15 AGUSTUS 2012

Suatu hari di tahun 1986, tersebutlah kisah seorang pemburu bernama A. Li dari Desa Ekano di Pulau Seram, Maluku. Bersama seorang saudaranya, A.

Li memasuki sebuah kawasan hutan Akalautotu, milik warga dari sub-suku Amanukuany, untuk berburu binatang. Jauh melangkah ke dalam hutan dengan lembing dan golok tajam di tangan, sampailah ia ke kawasan hutan lain yang diberi nama Amano oho. Di kerapatan dedaunan hutan dari pohon-pohon yang menjulang tinggi, mata pemburu A. Li yang tajam melihat seekor kuskus sedang bersembunyi.

Dengan sigap A. Li segera menebang pohon tempat kuskus bersembunyi. Crasss...! Dengan sekali tebas, putuslah dahan pohon itu. Sang kuskus pun pasrah untuk menjadi mangsa lembing tajam A. Li yang siap menghunjam tubuhnya begitu jatuh ke tanah bersama pohon tempatnya bersembunyi. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, tanpa disadari A. Li, tumbangnya pohon tempat kuskus bersembunyi itu ternyata menyeret sebatang pohon lain. Tak ayal, batang pohon yang berat itu pun menimpa tubuh A. Li yang tak menduganya sama sekali. Bummm...! A. Li pun tewas mengenaskan.

Karma! Itulah yang dipercaya warga setempat terhadap nasib malang yang menimpa A. Li. Rupanya, sang pemburu nahas itu pergi pada saat yang salah. Saat itu, di wilayah perburuan milik suku Amanukuany tengah diberlakukan seli kaitahu, hukum adat berupa larangan berburu pada musim tertentu ketika jumlah hewan buruan di hutan menyusut. Dengan seli kaitahu, warga Desa Amano oho memohon kepada kekuatan roh nenek moyang agar mereka memulihkan kembali populasi hewan buruan.

Pada saat-saat itulah, seluruh warga dilarang pergi ke hutan dan memburu hewan-hewan hingga pemberlakuan seli kaitahu dicabut. Ketika aturan adat itu dicabut, diyakini arwah para nenek moyang telah memulihkan kembali populasi hewan buruan. Tak ada hukuman tertentu yang membuat seli kaitahu dipatuhi oleh setiap warga. Hanya saja, mereka percaya, pelanggaran terhadap hukum adat itu akan membuat para arwah nenek moyang marah, dan kemarahan

itu akan membawa bala atau karma bagi siapa saja yang melanggar. Apa yang terjadi pada A. Li adalah salah satu buktinya.

Sebagai masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, berburu memang merupakan salah satu mata pencaharian penting bagi masyarakat Desa Amano oho. Masyarakat berburu hewan untuk memenuhi kebutuhan akan sumber protein. Sebab makanan pokok mereka, yaitu sagu, meski sangat kaya karbohidrat, ternyata miskin sumber protein. Di hutan di kawasan tersebut, habitat kuskus, babi hutan, dan rusa selama ini menjadi sumber protein masyarakat setempat.

Karena itulah, sejak ratusan tahun lalu, masyarakat Amano oho menyadari perlunya menjaga keberlangsungan hidup sumber protein penting bagi

Kepercayaan supranatural dapat memainkan peran penting dalam menjaga kelestarian alam dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam. Penelitian yang dilakukan peneliti Jepang, Masao Sasaoka, terhadap masyarakat Amano oho di Pulau Seram membuktikan betapa efektifnya kepercayaan lokal pada kekuatan roh leluhur dan roh alam dalam menjaga kelestarian alam.

DH

ARM

A W

IJAYA

NTO

ragam 40-a.indd 48 6/8/12 10:46:00 AM

49GATRA 15 AGUSTUS 2012

besar masyarakat mulai menganut kepercayaan Kristen. Meski agama Kristen masuk ke Maluku sejak abad ke-19, masyarakat Amano oho baru mulai menganut agama itu pada 1980-an. Walau demikian, kepercayaan animisme mereka tidaklah luntur. Kepercayaan animisme mereka memainkan peran tak tergantikan sebagaimana kepercayaan mereka terhadap Kristen. Karenanya, dua kepercayaan itu dapat saling menunjang.

Dalam konteks inilah, pada tahun 2000, masyarakat Amano oho memberlakukan sistem kepercayaan sasi greja untuk melindungi tanaman pertanian mereka, seperti kelapa, sagu, dan pinang. Sasi adalah sistem adat dalam mengelola sumber daya alam yang banyak dianut masyarakat

mereka. Untuk melindungi hewan-hewan itu dari eksploitasi berlebihan, mereka mengembangkan sebuah sistem kepercayaan adat untuk dipatuhi seluruh anggota masyarakat. Warga Amano oho sejak dulu mengenal kekuatan supranatural yang mereka sebut awa, sira tana, dan mutuaila. Mereka percaya, tiga kekuatan inilah yang akan menjaga kehidupan mereka, dan siapa saja yang membuat marah ketiganya akan mendapatkan bala.

Transisi Seli Kaitahu ke Sasi Greja

Hingga kini, sistem kepercayaan itu tetap berlaku di mayarakat Amano oho, bahkan ketika sebagian

di kawasan timur Indonesia, seperti Maluku, Sulawesi Utara, dan Papua Barat. Sasi adalah seperangkat larangan yang mencakup ruang dan waktu tertentu untuk memanen tanaman, menebang kayu, dan mengambil hasil-hasil hutan, area pantai, atau hasil laut.

Sasi greja adalah salah satu bentuk sasi ketika gereja memainkan peran penting dalam menerapkan larangan. Dalam sasi greja, pendeta desa memainkan peran mengumumkan pembukaan dan penutupan suatu sasi atau larangan yang berlaku di wilayah tertentu. Anggota masyarakat yang ingin dikecualikan dari pemberlakuan aturan itu dikenai semacam denda oleh majelis gereja desa. Warga melaporkan kepada dewan menyangkut tanaman apa yang terkena sasi dan lokasinya. Mereka lantas membayar semacam denda Rp

DO

K. C

IFO

R

Permukiman warga di pedalaman Pulau Seram, Maluku

ragam 40-a.indd 49 6/8/12 10:46:10 AM

50 GATRA 15 AGUSTUS 2012

si tersangka mengalami cedera serius pada lututnya terkena golok, beberapa waktu sebelum sasi greja dibuka. Serangkaian kesialan yang diderita X dan keluarganya ini dipercaya sebagai bentuk hukuman Tuhan akibat melanggar sasi greja.

Memohon Arwah Menjaga Alam

Pada banyak kasus, masyarakat adat --terutama yang hidupnya bergantung secara langsung pada sumber-sumber alam-- kerap mengembangkan seperangkat norma untuk mengontrol penggunaan sumber daya alam. Norma itu bisa berupa larangan sementara untuk mengakses area tertentu atau pelarangan penggunaan sumber daya alam tertentu, atau aturan pembatasan jumlah sumber daya yang bisa diambil dan aturan menyangkut metode pemanenan. Untuk menegakkan aturan ini, masyarakat adat menerapkan kepercayaan supranatural, seperti arwah leluhur, dewa, atau arwah-arwah lain sebagai agen penjaga ketertiban.

Mereka percaya, pelanggaran terhadap aturan akan menyebabkan para arwah tadi marah dan mendatangkan bencana bagi pelanggarnya. Sistem ini telah berjalan ratusan tahun dan terbukti efektif menjaga keseimbangan alam pada masyarakat adat. Hal inilah yang menarik seorang peniliti dari Jepang, Masao Sasaoka, PhD, bersama rekannya, Yves Lamounier, untuk melakukan penelitian menyangkut sejauh mana sistem kepercayaan supranatural terbukti mampu menjadi agen penjaga keseimbangan lingkungan.

Sasaoka menyebut sistem kepercayaan ini dengan istilah indigenous resource management (IRM) atau pengelolaan sumber kekayaan alam melalui kearifan lokal. Tujuan penerapan norma ini, kata Sasaoka, dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, tujuan sosio-ekonomi seperti mencegah degradasi sumber daya, peningkatan efektivitas pemanenan, mencegah konflik, dan memperkuat kesatuan sosial. Kedua, tujuan religius, yakni menenangkan dan mendamaikan para arwah.

Sementara itu, dalam sasi greja, dipercaya Tuhan akan menjatuhkan hukum kepada para pelanggar seketika itu juga, pada saat terjadi pelanggaran. Raja Amano oho menerapkan sasi greja di dua kawasan hutan itu karena ingin para pemburu liar mendapat hukuman setimpal secepat mungkin. Sebelumnya, di dua kawasan hutan itu sering terjadi perburuan hewan, bahkan ketika seli kaitahu diberlakukan. Kepercayaan ini terbukti kemudian, ketika pada Desember 2006, raja mengumumkan penutupan pemberlakuan sasi greja, yang artinya perburuan kembali diizinkan.

Saat itu, menantu raja pergi untuk berburu dan di dalam hutan menemukan jejak-jejak bekas torehan golok di pohon yang biasa dipakai untuk pijakan memanjat yang disebut totoi. Adanya totoi ini menunjukkan adanya pelanggaran oleh seseorang terhadap sasi greja. Seseorang yang tak disebutkan namanya dicurigai melanggar aturan itu. Indikasinya, pada saat pemberlakuan sasi greja, orang itu tetap menjual kuskus kepada warga dan si pelanggar (disebut si X) memang terkenal mahir memanjat dan berburu kuskus dengan tombak.

Warga makin percaya bahwa si X telah melanggar karena ia dan keluarganya mengalami kesialan secara beruntun. Si X terserang malaria yang hampir merenggut nyawanya, sekitar Oktober 2006. Istri X juga terkena malaria dan saudara laki-laki

1.000-Rp 10.000 kepada gereja.Penutupan sasi diumumkan

oleh pendeta dalam kebaktian hari Minggu. Dalam pengumuman itu, pendeta mendoakan hasil panen yang baik dan menasihati warga agar tidak melanggar sasi. Pendeta juga berdoa, jika ada seseorang yang melanggar pemberlakuan sasi, maka Tuhan akan menghukumnya.

Kepercayaan adanya kekuatan supranatural yang akan menghukum para pelanggar itu sangat mirip dengan kepercayaan seli kaitahu. Saat ini, beberapa warga desa mulai mengadopsi sistem sasi greja daripada seli kaitahu untuk melarang pemanfaatan sumber daya hutan dalam jangka waktu tertentu. Desa Amano oho pun memberlakukan sistem ini dengan efektivitas yang serupa dengan seli kaitahu.

Sasi greja pertama di Amano oho diberlakukan pada Oktober 2005. Kepala Desa (Raja) Amano oho memasang sebuah papan larangan yang menyatakan bahwa pada hutan di kawasan Sewatinueni dan Ahahae diterapkan sasi greja. Penerapan ini tidak berarti masyarakat tidak lagi percaya pada seli kaitahu. Tetapi, menurut kepercayaan masyarakat, dalam seli kaitahu, mutuaila, awa, dan sira tana terkadang menjatuhkan akeake (hukuman) kepada pelanggar aturan seketika itu juga. Namun bisa juga hukuman itu dijatuhkan beberapa waktu setelahnya.

Kuskus yang ditangkap warga

DO

K. C

IFO

R

ragam 40-a.indd 50 6/8/12 10:46:26 AM

51GATRA 15 AGUSTUS 2012

Namun, dengan bantuan kepercayaan supranatural tadi, biaya mahal itu tidak diperlukan. “Karena itu bisa dikatakan, sistem IRM berbasis mekanisme penegakan supranatural sangat bisa diterapkan dan efektif sepanjang nilai-nilai kultural dan norma yang menunjangnya dipahami secara luas oleh masyarakat,” ujarnya.

Dari Lokal Menuju Nasional Sasaoka menyatakan, sistem

kepercayaan itu sebenarnya dapat dipakai pemerintah untuk melestarikan sumber daya alam di berbagai daerah di Indonesia, dengan cara memelihara kepercayaan adat seperti yang terjadi di Amano oho. “Sangat penting untuk mempertimbangkan peran agen lainnya, seperti pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, untuk mempromosikan model manajemen berbasis kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam ini,” katanya.

Hal itu, kata Sasaoka, juga bisa diterapkan dalam manajemen taman nasional yang selama ini memberlakukan larangan total berburu dan menangkap hewan. Aturan semacam ini berpotensi mengganggu hubungan antara masyarakat lokal dan kepercayaan supranatural mereka. Kepercayaan lokal juga terbukti bisa adaptif terhadap perubahan sosial, seperti ditunjukkan warga Amano oho dari sistem seli kaitahu ke sasi greja.

Annas Radi Syarif dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat adat, setuju dengan pandangan Sasaoka. “Sistem kepercayaan adat dapat digunakan sebagai strategi nasional pelestarian dan pengelolaan hutan,” katanya kepada Deni Muliya Barus dari GATRA. Karena itu, sistem pembangunan di bidang kehutanan seharusnya memperhatikan kebutuhan yang ada di masyarakat, terutama masyarakat adat yang didasari kepercayaan.

Ia menilai, melestarikan budaya dan kepercayaan yang dijaga masyarakat adat itu lebih efektif ketimbang dengan aturan perundang-undangan pemerintah. “Ketika masyarakat percaya, ada kepercayaan terhadap tempat itu tidak boleh dirusak,” ungkapnya.

M. Agung Riyadi

sejak tahun 2003. “Sampai sekarang, penelitian ini masih berlanjut,” ujar Sasaoka, yang kini sedang mengambil program post-doctoral.

Data penelitian yang disampaikan Sasaoka saat ini adalah data yang diambil dari tahun 2003 hingga 2010. Lewat penelitian ini, Sasaoka membuktikan, kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan arwah leluhur dan roh-roh alam dalam memberikan hukuman kepada para perusak alam memainkan peran penting dalam

menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Yang menarik, dengan sistem kepercayaan ini, warga Amano oho tidak perlu mengeluarkan ongkos sosial yang besar untuk memonitor pemanfaatan sumber daya alam dan menegakkan aturan untuk mengontrol pemanfaatan sumber daya alam.

Sasaoka mengatakan, kawasan hutan milik masyarakat Amano oho terbagi menjadi lebih dari 250 lokal hutan. Dari jumlah itu, 80%-nya secara berkala ditetapkan sebagai hutan tempat diberlakukannya aturan seli kaitahu atau sasi greja. “Tentu akan sangat sulit dan memerlukan ongkos besar untuk memonitor area seluas itu,” katanya.

Mekanisme penegakan hukumnya dapat dibedakan menjadi dua juga. Pertama, mekanisme penegakan sosial, yaitu warga masyarakat di sekitar area memantau kepatuhan dan menerapkan sanksi (baik fisik maupun sanksi moral) kepada pelanggar norma aturan. Kedua, mekanisme penegakan supranatural, yakni masyarakat percaya bahwa para arwah ataupun roh leluhur memantau perilaku manusia dan akan menjatuhkan hukuman kepada para pelanggar.

Ketertarikan Sasaoka pada tema ini sebenarnya terjadi secara tidak sengaja. Ketika itu, pada 1998, ia sedang mencari ide untuk penelitian bagi program masternya di Universitas Tokyo. Sasaoka mengambil program studi antropologi lingkungan, khususnya untuk area studi Indonesia. Kebetulan ia tengah berada di Pulau Seram bagian tengah dan tinggal di sebuah desa bernama Amano oho. “Nama desa itu sebenarnya nama fiksi saja yang sengaja saya berikan,” katanya kepada GATRA.

Sasaoka tinggal di sana selama satu bulan dan mulai banyak mendengar kisah tentang aturan adat seli kaitahu. “Secara kebetulan saya berkunjung ke sana dan mendapat informasi itu (soal seli kaitahu --Red.) dan saya ingin menelitinya,” ujarnya. Ide dasarnya, menurut Sasaoka, sederhana saja: dalam bidang antropologi lingkungan, selama ini masalah pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan menjadi isu yang sangat penting.

Namun kebanyakan studi itu lebih fokus pada mekanisme penegakan norma sosial terkait tujuan sosio-ekonomi (IRM tipe A). Masih jarang yang meneliti bagaimana penerapan IRM yang berbasis penegakan secara supranatural. “Sangat penting untuk fokus pada pandangan masyarakat lokal mengenai peran agen supranatural dalam menjembatani hubungan antara manusia dan alam,” kata Sasaoka.

Karena itu, Sasaoka ingin melihat bagaimana manajemen sumber daya hutan yang baik diciptakan dan dikelola melalui interaksi antara manusia dan agen supranatural. Penelitian ini juga berupaya menjelaskan bagaimana IRM berbasis mekanisme penegakan norma lewat agen-agen supranatural dapat diterapkan dalam konteks sosial-kultural masyarakat setempat. Penelitian itu dilakukan Sasaoka

CIFO

R/D

ITA

ALAN

GKA

RA

Masao Sasaoka

ragam 40-a.indd 51 6/8/12 10:46:37 AM