Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5...

59
Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta Macet adalah keadaan yang hampir setiap saat dialami masyarakat Jakarta. Sebelumnya, macet hanya dialami, saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan setiap kesempatan, macet akan terus menyertai, kemana pun mayarakat bepergian. Hal ini mungkin dapat dimaklumi, mengingat perbandingan jumlah pertumbuhan jalan dan pertumbuhan kendaraan bermotor tidak seimbang. Tercatat. pertumbuhan jalan di Jakarta kurang dari 1% per tahun padahal setiap hari setidaknya ada 1000 lebih kendaraan bermotor baru turun ke jalan di Jakarta. Menurut Pakar Transportasi Dr.Techn. Ir. Danang Parikesit, M. Sc.(Eng), dampak secara ekonomi akibat kemacetan ini, begitu nyata. Bahkan menurut survey, Danang menyatakan, masyarakat Jakarta, akan menghabiskan 6-8%PDB untuk biaya transportasi. Padahal menurut standart Internasional, biaya transportasi dikeluarkan oleh seseorang, idealnya adalah 4% dari PDB. Angka senada juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2005. Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta ditaksir Rp 12,8triliun/tahun yang meliputi nilai waktu, biaya bahan bakar dan biaya kesehatan. Sementara berdasarkan SITRAMP II tahun 2004 menunjukan bahwa bila sampai 2020tidak ada perbaikan yang dilakukan pada sistem transportasi maka perkiraan kerugian ekonomi mencapai Rp 65 triliun/tahun. Berdasarkan studi tersebut, maka jelas Jakarta sangat membutuhkan angkutan massal yang lebih andal. Salah satu alternatifnya adalah MRT. Menurut Danang Parikesit, yang lahir Yogyakarta, 3 Juni 1965 silam, MRT memiliki nilai lebih, yang tidak bisa didapatkan dari jenis angkutan yang lain. Berikut, wawancara singkat, mengenai efektivitas pemilihan angkutan missal yaitu MRT, untuk mengurai menyelesaikan permasalahan kemacetan di Jakarta khususnya dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Bagaimana pendapat Prof. Danang mengenai keadaan transportasi di Indonesia, khususnya di Jakarta? Kalau kita lihat secara kinerja, kecepatan rata-rata orang melakukan kendaraan pribadi dengan tidak mencapai 15 km/jam , kita sudah tidak kompetitif lagi. Thailand kin, sudah mencapai 18 km/jam, Tokyo 20-22 km/jam.

Transcript of Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5...

Page 1: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta

Macet adalah keadaan yang hampir setiap saat dialami

masyarakat Jakarta. Sebelumnya, macet hanya dialami,

saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun

kini, setiap saat dan setiap kesempatan, macet akan terus

menyertai, kemana pun mayarakat bepergian. Hal ini

mungkin dapat dimaklumi, mengingat perbandingan

jumlah pertumbuhan jalan dan pertumbuhan kendaraan

bermotor tidak seimbang. Tercatat. pertumbuhan jalan di

Jakarta kurang dari 1% per tahun padahal setiap hari

setidaknya ada 1000 lebih kendaraan bermotor baru turun

ke jalan di Jakarta.

Menurut Pakar Transportasi Dr.Techn. Ir. Danang Parikesit, M. Sc.(Eng), dampak secara

ekonomi akibat kemacetan ini, begitu nyata. Bahkan menurut survey, Danang

menyatakan, masyarakat Jakarta, akan menghabiskan 6-8%PDB untuk biaya transportasi.

Padahal menurut standart Internasional, biaya transportasi dikeluarkan oleh seseorang,

idealnya adalah 4% dari PDB.

Angka senada juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2005.

Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta ditaksir Rp 12,8triliun/tahun

yang meliputi nilai waktu, biaya bahan bakar dan biaya kesehatan.

Sementara berdasarkan SITRAMP II tahun 2004 menunjukan bahwa bila sampai

2020tidak ada perbaikan yang dilakukan pada sistem transportasi maka perkiraan

kerugian ekonomi mencapai Rp 65 triliun/tahun.

Berdasarkan studi tersebut, maka jelas Jakarta sangat membutuhkan angkutan massal

yang lebih andal. Salah satu alternatifnya adalah MRT. Menurut Danang Parikesit, yang

lahir Yogyakarta, 3 Juni 1965 silam, MRT memiliki nilai lebih, yang tidak bisa

didapatkan dari jenis angkutan yang lain. Berikut, wawancara singkat, mengenai

efektivitas pemilihan angkutan missal yaitu MRT, untuk mengurai menyelesaikan

permasalahan kemacetan di Jakarta khususnya dan di kota-kota besar lainnya di

Indonesia.

Bagaimana pendapat Prof. Danang mengenai keadaan transportasi di Indonesia,

khususnya di Jakarta?

Kalau kita lihat secara kinerja, kecepatan rata-rata orang melakukan kendaraan pribadi

dengan tidak mencapai 15 km/jam , kita sudah tidak kompetitif lagi. Thailand kin, sudah

mencapai 18 km/jam, Tokyo 20-22 km/jam.

Page 2: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Mengapa dikatakan tidak kompetitif?

Karena, akibat kemacetan ini, sejumlah kerugian akan melanda. Salah satunya adalah

kerugian secara ekonomi. Bahkan jika dikalikan setahun, kerugian secara ekonomi bisa

mencapai trilyunan rupiah. Dan, ternyata menurut survey per okober kemarin, kita

menghabiskan 6-8% PDB untuk biaya transport. Ini angka yang besar. Bahkan standart

internasional saja, hanya 4%.

Lalu, bagaimana penyelesaian kemacetan di Jakarta ini?

Kalau bicara tentang menyelesaikan transportasi, harus dipastikan orang yang ada di

dekat Jakarta misalnya Jabodetabek, mengalami kemajuan. Misalnya dalam kurun waktu

5-10 tahun, kecepatan tempuh meningkat dari 13 km/jam menjadi 18 km/jam. Tapi di

Jakarta khususnya, tidak ada progress, dulu macet, sekarang tambah macet. Salah satu

sebabnya adalah arus urbanisasi semakin lama semakin bertambah.

Dan, kecenderungannya adalah, mereka memiliki mobilitas yang tinggi. Mengingat

kendaraan massal kurang memadai maka, mereka lebih memilih menggunakan kendaraan

pribadi. Inilah salah satu sebab, kemacetan, setiap hari bertambah.

Apa skema yang tepat, untuk mengurai kemacetan ini?

Perjalanan tiap hari di Jakarta mencapai 40 Juta. Dari 40 juta perjalanan, 56%

menggunakan angkutan massal, dan 44% menggunakan kendaraan pribadi. Dimana,

untuk pengguna angkutan missal terbagi menjadi, 3% menggunakan KRL, 3%

menggunakan transjakarta, dan 50% menggunakan bis non transjakarta dan KRL. Jika

hal ini terus dibiarkan, saya khawatir kondisi di Jakarta akan semakin parah, karena

masyarakat akan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Bagaimana dengan wacana tentang MRT?

MRT, kini bukanlah wacana lagi. Namun, penyediaan MRT telah tertuang dalam Perpres

No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Ada dua perspektif

penting yang harus diperhatikan dalam mengatasi masalah transportasi. Yakni, jangka

pendek terkait mengatasi kemacetan dan jangka panjang adalah pengaturan pemanfaatan

ruang. Pembangunan MRT untuk Jakarta jelas sangat diperlukan demi mengatasi

kemacetan. Pembangunan MRT beserta sistem pendukungnya merupakan solusi yang

harus terus diupayakan. Juga diperlukan master plan untuk mengintegrasikan sistem

busway, monorel, shelter bus, serta kereta listrik sebagai MRT andalan di masa datang.

Dibutuhkan strategi untuk mengarahkan pilihan masyarakat menggunakan sarana

transportasi massal atau melepaskan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi

sehingga sistem transportasi massal dapat berjalan efektif.

Apakah MRT ini mampu mengurai kemacetan?

MRT bagian dari solusi transportasi. MRT mampu mengangkut penumpang dari satu

titik asal ke titik tujuan secara cepat, dan dalam jumlah yang besar. Namun, selain MRT

Page 3: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

untuk mengatasi kemacetan diperlukan langkah-langkah lain seperti, peningkatan disiplin

lalu lintas, pembatasan volume lalu lintas, mendorong pengguna kendaraan pribadi

beralih ke MRT seperti dengan menyediakan fasilitas park & ride. Dan, yang paling

penting adalah mengintegrasikan sistem MRT dengan sistem angkutan massal lainnya

seperti bus umum, busway, dan kereta Jabodetabek. Sehingga sebelum ada pembatasan

jumlah kendaraan, Pemerintah hendaknya berupaya untuk menyediakan moda

transportasi massal yang andal, layak dan memadai sehingga masyarakatdengan

sendirinya akan lebih tertarik naik angkutan umum ketimbang bawa kendaraan sendiri.

Dengan begitu, penggunaan kendaraan umum dapat menjadi pilihan yang setara dengan

penggunaan kendaraan pribadi. Sehingga pengguna kendaraan pribadi bisa beralih

menggunakan transportasi publik.

Sistem MRT Jakarta sendiri dibangun untuk menjawab tantangan mobilitasyang rendah

karena terbatasnya ruang untuk bermobilitas. Kemacetan di jalanraya disebabkan oleh

ketidakseimbangan kapasitas jalan dengan volume kendaraan yang melaluinya.

Keunggulan sistem MRT Jakarta yang andal, tepat waktu, danharga tiketnya terjangkau

memberikan pilihan bagi pengguna kendaraan pribadikhususnya untuk beralih ke MRT.

Berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi iniakan meningkatkan ruang gerak di jalan

raya yang berdampak pada berkurangnyatingkat kemacetan serta tingkat polusi

Bagaimana mekanisme penyediaan MRT yang baik?

Terkait penyediaan MRT harus terintegrasi dengan penataan ruang. Harus ada

keterkaitan antara penataan ruang dengan sistem transportasi. Oleh karena itu,

diperlukan konsistensi dari pemangku kepentingan mulai tahap penyusunan

hingga implementasinya. Jakarta harus mencontoh negara-negara tetangganya

seperti Singapura dan Thailand yang telah berhasil mengatasi masalah kemacetan

dengan melakukan tindakan tersebut. Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta yang

Page 4: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

saat ini dalam tahap penyusunan juga harus menyiapkan ruang yang diperlukan

MRT adalah singkatan dari Mass Rapid Transit yang secara harafiah berarti

angkutan yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar secara cepat.

Mass Rapid Transit Jakarta (MRT Jakarta) yang berbasis rel. Rencananya, MRT

akan membentang kurang lebih ±108.7 km , yang terdiri dari Koridor Selatan –

Utara (Koridor Lebak Bulus - Kampung Bandan) sepanjang kurang lebih ±21,7

km dan Koridor Timur – Barat sepanjang kurang lebih ±87 km.

Pembangunan Koridor Selatan-Utara dari Lebak Bulus – Kampung Bandan dilakukan

dalam 2 tahap.Tahap I yang akan dibangun terlebih dahulu menghubungkan Lebak Bulus

sampai dengan Bundaran HI sepanjang 15.5 km dengan 13 stasiun (7 stasiun layang dan

6 stasiun bawah tanah) ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2016.Tahap II akan

melanjutkan jalur Selatan-Utara dari Bundaran HI ke Kampung Bandan yang akan mulai

dibangun sebelum tahap I beroperasi dan ditargetkan beroperasi paling lambat

2020.Koridor Barat-Timur saat ini sedang dalam tahap pre-feasibility study. Koridor ini

ditargetkan paling lambat beroperasi pada 2027.

Apa kelebihan MRT ini?

MRT, adalah jenis angkutan massal yang mahal dalam pengadaannya, salah satunya

untuk biaya infrastruktur. Perhitungan kasarnya, 1 Km akan memakan biaya 1 trilyun.

Sehingga praktis jika ingin membangun MRT sepanjang 12 Km maka, biaya yang harus

dikeluarkan sebesar 12 trilyun sampai 14 trilyun. Dengan jumlah biaya yang demikian,

jika pemaknaan pembangunan MRT ini hanya untuk mengangut orang saja, kurang. Nah,

yang menjadi sisi keunggulan dari MRT ini adalah mampu mengembangkan daerah-

daerah sekitar MRT sesuai dengan tata ruang kota. Seperti di negara-negara yang telah

berhasil menggunakan moda ini, kawasan di sekitar MRT menjadi kawasan yang

berkembang. Ruang-ruang public maupun bisnis, akan sangat tertarik untuk

mengembangkan investasinya di sekitar MRT. Sehingga makin lama, kawasan sekitar

MRT akan berkembang, sehingga biaya operasional MRT yang cukup mahal jika hanya

untuk angkutan missal tersebut, dapat tertututi oleh berkembangnya daerah sekitar MRT.

Selain itu, MRT ini tidak hanya sekedar membantu mengatasi kemacetan, namun juga

sebagai pendorong bagi Pemprov DKI Jakarta untuk merestorasi tata ruang kota. Agar

lebih efektif dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Caranya adalah MRT

Jakarta diintergrasikan dengan tata ruang di kawasannya. Integrasi diwujudkan dengan

pembangunan jalan menuju stasiun atau menyediakan angkutan umum lain yang

memudahkan warga datang atau meninggalkan stasiun MRT.

Pada beberapa lokasi stasiun, dimungkinkan untuk membangun tempat parkir di stasiun

dan trotoar yang memadai untuk mengakses stasiun. Dengan cara ini, warga yang tinggal

atau beraktivitas di sekitar jalur MRT dapat merasakan manfaat langsungnya. Sementara

warga yang tinggal agak jauh juga dapat meninggalkan kendaraan pribadi dan mengakses

MRT dengan angkutan umum pendukung. Pemilik kendaraan pribadi juga dapat

memarkir kendaraan di dekat stasiun.

Page 5: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Terhubungnya stasiun MRT dengan pusat perbelanjaan, perkantoran dan pusat-pusat

aktivitas sosial lainnya akan memberikan manfaat tersendiri bagi pusat-pusat kegiatan

ini.Dengan laju manusia yang lebih baik, pusat perbelanjaan menjadi ramai dan

perkantoranterjamintingkathuniannya.

Lalu, Bagaimana pembiayan MRT ini?

Sekarang sudah ada sumber pembiayaannya. Tercatat, Pendanaan untuk proyek MRT ini

diperoleh pinjaman dari JICA dan jaminan dari pemerintah pusat. Dengan kata lain,

proyek MRT ini merupakan proyek nasional yang diselenggarakan oleh Pemprov DKI

Jakarta. Pada Oktober 2005 telah dikeluarkan surat keputusan Menko Perekonomian no.

057/2005 yang menetapkan pembayaran pinjaman tersebut ditanggung bersama oleh

Pemerintah dan Pemprov DKI Jakarta dengan komposisi 42% : 58%. Segera setelah

keluarnya SK tersebut, pada tahun2005, juga disepakati struktur proyek dan konsep

pendanaan yang disepakati oleh Bappenas, Departemen Perhubungan, Departemen

Keuangan, Pemerintah Provinsi DKIJakarta dan JICA.

Terkait dengan kota Jakarta yang rawan bencana, terutama banjir, bagaimana

menurut Prof. Danang, tingkat keamanan MRT ini?

Sekarang kan sudah ada teknologinya untuk menyiasatinya. Berdasarkan pengalaman di

negara lain yang rawan gempa seperti di Jepang, begitu juga dengan masalah banjir,

transportasi MRT tetap bisa dijalankan. Persoalan banjir, tanah lembek dan gempa dapat

diatasi dengan rekayasa teknik. Misalnya saja di Hong Kong dan Bangkok, yang rawan

banjir. Rekayasa teknik yang dipergunakan untuk mengatasi banjir antara lain dengan

cara peninggian pintu masuk. Sedangkan untuk tanah lembek dapat diatasi dengan teknik

perbaikan tanah (soil improvement). Selain itu, struktur bangunan yang relatif pendek

pada MRT, membuat pengaruh gempa relatif tidak signifikan dibandingkan dengan

pengaruh gempa pada gedung-gedung tinggi. (berbagai sumber)

Page 6: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

WATERFRONT CITY, BANJARMASIN

Sebuah Upaya Inovatif Pengembalian Citra Kota Oleh:

Raditya PU *

Kepala Bappeda Banjarmasin

Kota Seribu Sungai. Sudah sewajarnya jika sebutan tersebut diberikan masyarakat untuk

Banjarmasin. Kota yang dilalui oleh dua sungai terbesar di Pulau Kalimantan, yaitu

Sungai Martapura dan Sungai Barito sehingga kota ini pun memiliki berpuluh-puluh

sungai, anak sungai dan bahkan kanal – kanal. Sungai memiliki arti yang sangat penting

bagi masyarakat Banjarmasin. Pasar Terapung yang sangat khas Banjarmasin menjadi

bukti penting eksistensi sungai di tengah kehidupan masyarakat. Aktivitas

perdagangannya „terapung‟, baik penjual maupun pembeli bertransaksi diatas sungai

dengan menggunakan perahu khas Banjar, Jukung.

Foto 1. Banjarmasin, Kota Seribu Sungai

Meskipun disebut sebagai kota seribu sungai,

namun kenyataannya Banjarmasin justru

kehilangan sungai dari sebelumnya 107 buah

menjadi 71 buah pada saat ini. (Foto: Paparan

Wakil Tentang Sungai, 2010)

Foto 2. Pasar Terapung Banjarmasin

Pasar terapung yang merupakan

cerminan kuatnya kultur kehidupan

perairan masyarakat Banjarmasin saat ini

menjadi salah satu daya tarik pariwisata

khas. (Foto: Paparan Wakil Tentang

Sungai, 2010)

Secara historis, Banjarmasin bahkan memiliki peran yang sangat strategis dalam

perdagangan antar pulau karena merupakan wilayah pertemuan Sungai Barito dan Sungai

Martapura. Di masa kolonial Belanda, Banjarmasin dengan aliran Sungai Barito yang

luas menjadi pelabuhan keluar-masuk barang dari Singapura dan Jawa menuju ke pantai

timur Kalimantan. Selain itu, secara internal, Suku Banjar banyak memanfaatkan

keberadaan sungai tersebut beserta anak sungainya sebagai jalur transportasi utama

dengan jukung sebagai „kendaraan‟ utama dalam pergerakan masyarakat. Pengaruhnya,

Page 7: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

sebagian besar aktivitas dan permukiman masyarakat Banjarmasin berkembang di sekitar

sungai dengan karakteristik rumah mengapung, atau mereka sering menyebut sebagai

Rumah Lamin. Lebih jauh lagi, penggunaan sungai sebagai jalur transportasi

mempengaruhi orientasi muka bangunan, entrance bangunan menghadap ke sungai yang

merupakan salah satu karakteristik dari waterfront city.

Foto 3 : Karakteristik Permukiman waterfront

Banjarmasin selain memiliki tiga sungai besar (lebar lebih dari 500 meter) yakni Sungai

Barito, Sungai Martapura dan Sungai Alalak, juga memiliki sungai-sungai berukuran

sedang (lebar di atas 25 m hingga 500 m) seperti Sungai Andai, Sungai Duyung, Sungai

Kuin dan Sungai Awang. Sedangkan sungai kecil (lebar kurang dari 25 m) jumlahnya

sekitar 77 sungai, antara lain Sungai Guring, Sungai Keramat, Sungai Kuripan, dan

Sungai Tatas. Tidak mengherankan apabila kehidupan berbasis sungai menjadi daya tarik

unik bagi kota yang pernah menjadi ibukota Kesultanan Banjar dan dijuluki Venesia dari

timur ini.

Pemandangan yang khas dari kota sungai ini adalah adanya rumah-rumah dengan tipe

rumah panggung yang dibangun berderet menghadap sungai dan rumah lanting (rumah

terapung) yang berada di atas air di tepi sungai. Penduduk yang bermukim di sepanjang

aliran sungai memanfaatkan sungai sebagai prasarana transportasi. Selain itu terdapat

pula lanting atau batang, yaitu sejenis rakit yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai

tempat untuk MCK serta sebagai dermaga untuk menambatkan jukung.

Namun dalam perkembangannya, keunikan Banjarmasin tergerus oleh perkembangan

zaman. Simbiosis kehidupan yang terjadi antara masyarakat dan sungai tidak selamanya

berjalan secara mutualisme. Pengaruh kolonialisasi Belanda sejak tahun 1860 secara

tidak langsung mengubah orientasi wajah kota melalui pembangunan jalan darat untuk

keperluan pengawasan terhadap pergerakan masyarakat Banjar. Penggunaan jalan seolah

berkompetisi dengan peran sungai sebagai jalur transportasi utama. Perlahan-lahan,

Foto 3. Karakteristik ideal sebuah waterfront city

Salah satu karakteristik ideal sebuah waterfront city yang juga diimpikan oleh Banjarmasin adalah muka bangunan yang menghadap ke

sungai. Dengan demikian, kebersihan sungai sebagai halaman depan rumah akan selalu menjadi prioritas para penghuninya. (Foto:

Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)

Page 8: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

tumpuan aktivitas sungai tergantikan oleh dinamisme perkembangan jalan, penggunaan

jukung mulai digantikan oleh mobil dan motor.

Secara historis, jalan utama yang ada di Kota Banjarmasin berasal dari jalan lingkungan

perumahan yang dulunya merupakan jalur air dan berawa sehingga meskipun saat ini

telah mengalami perkerasan, namun jika dilewati beban yang cukup berat, jalan ini cepat

rusak karena kondisi fisik tanahnya yang labil. Kondisi tanah yang berawa dan seringkali

menimbulkan serangan nyamuk ini pulalah yang memunculkan gagasan dari dr. Murdjani

sebagai Gubernur Kalimantan pada awal tahun 1950-an untuk memindahkan ibukota

provinsi ke tempat yang dianggap lebih tinggi, yang sekarang dikenal sebagai

Banjarbaru.

Kota Banjarmasin sendiri mulai mengalami pergeseran orientasi dimana sungai tidak lagi

menjadi „muka depan‟ aktivitas namun justru menjadi „muka belakang‟, permukiman

menghadap ke jalan sebagai akses utama aktivitas. Perubahan orientasi tersebut secara

tidak langsung ternyata memberikan andil besar terhadap perubahan „perlakuan‟ terhadap

sungai, contohnya sungai menjadi lokasi bagi pembuangan sampah rumah tangga serta

aktivitas „belakang‟ lainnya seperti MCK. Hal tersebut mengubah wajah sungai menjadi

tidak teratur, kotor dan bahkan tidak sehat.

Hal ini menyebabkan penurunan kondisi sungai-sungai di kota tersebut, mulai dari

permasalahan penyempitan alur sungai, pendangkalan sungai, penggerusan tebing sungai

oleh aliran air, hilangnya sungai (baik tertutup bangunan maupun digunakan sebagai

lahan parkir), dan maupun terjadinya genangan permanen. Hal ini diperparah oleh

kondisi topografis Kota Banjarmasin yang rawan tergenang oleh air hujan dan air pasang.

Secara geografis, kota ini terletak pada ketinggian rata-rata 0,16 meter di bawah

permukaan laut dengan kondisi daerah berpaya-paya dan relatif datar. Di sisi lain,

pembangunan sektor jasa seperti pertokoan yang berjalan pesat di Kota Banjarmasin juga

tidak diimbangi oleh penyediaan drainase yang memadai. Bantaran sungai cenderung

berubah menjadi permukiman liar sehingga mengurangi badan air. Di sisi lain, terdapat

pula ancaman lain. Penelitian yang dilakukan oleh Armi Susandi dkk dari Program Studi

Meteorologi ITB memperlihatkan bahwa Kota Banjarmasin memiliki kerawanan

terhadap kenaikan muka air laut yang cukup tinggi, yang dapat mencapai 0,48 meter pada

tahun 2050.

Foto 4 dan 5. Permukiman yang tidak teratur

Foto-foto yang diambil pada tahun 2005 dan 2006 di atas memperlihatkan contoh-

Page 9: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

contoh permukiman yang tidak teratur. Situasi ini sangat kontras dengan citra

Banjarmasin sebagai Kota Seribu Sungai.

Sungguh sangat disayangkan, citra Kota Banjarmasin sebagai waterfront city pada

jamannnya seolah hilang ditelan modernitas perkembangan perkotaan melalui dinamisme

pembangunan jalan. Padahal keberadaan sungai di Banjarmasin dan seluruh aktivitas

khas di sepanjang aliran sungai merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi Kota

Banjarmasin yang mampu menjadi daya tarik wisata serta penanda citra kota.

Lantas, apa yang dilakukan pemerintah?

Menyadari urgensi permasalahan tersebut, pemerintah Kota Banjarmasin tidak tinggal

diam. Degradasi lingkungan perkotaan yang terus meluas, ditambah lagi isu global

mengenai perubahan iklim akan semakin memperparah kondisi kota Banjarmasin.

Permukiman di sepanjang sungai semakin tidak terawat, masyarakat semakin buruk

dalam memperlakukan sungai. Kualitas air semakin menurun, penumpukan sampah

terjadi semakin banyak sehingga jukung semakin kesulitan melewati sungai. Dengan visi

pemerintahan mewujudkan kota yang harmonis dengan alam, keberlanjutan lingkungan

menjadi faktor kunci dalam perkembangan kota. Untuk mewujudkannya, langkah awal

yang dilakukan, pada tahun 2009, pemerintah membentuk SKPD baru yaitu Dinas Sungai

dan Drainase yang tugas pokok dan fungsinya mengarah pada perbaikan dan revitalisasi

sungai untuk mampu mendukung kembali aktivitas perkotaan.

Pembentukan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan kota. Dengan jumlah penduduk

mencapai 627.245 jiwa pada tahun 2008 dengan laju pertumbuhan penduduk 2,07% per

tahun, kota ini menunjukkan perkembangan yang pesat terutama di sektor perdagangan

dan jasa. Pembangunan fasilitas perdagangan, seperti ruko yang menjadi salah satu

pemandangan yang acap dijumpai di berbagai sudut kota, seringkali tidak mengindahkan

struktur kota, khususnya jaringan drainase. Di sinilah SKPD baru tersebut berperan

dalam memastikan bahwa drainase pendukung aktivitas perkotaan tersedia secara baik, di

samping menormalisasi kembali fungsi sungai-sungai yang ada. Hal ini ditempuh melalui

pemeliharaan rutin harian seperti pembersihan sungai maupun pemeliharaan drainase

yang pada tahun 2010 mencakup 42 titik.

Page 10: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Satu catatan menarik dari apa yang dilakukan oleh Kota Banjarmasin, upaya perubahan

citra kota yang dilakukan cukup inovatif. Selain secara normatif, pemerintah

memasukkan konsep penataan kota yang berbasis sungai pada konsep struktur Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini ditempuh antara lain melalui pemantapan fungsi

jaringan Sungai Barito sebagai jalur pergerakan regional, pemantapan fungsi jaringan

Sungai Martapura sebagai jalur pergerakan regional dan jalur pergerakan dalam Kota

Banjarmasin, serta pemantapan fungsi jaringan Sungai Kuin, Sungai Alalak dan Sungai

Kelayan, sebagai jalur pergerakan dalam Kota Banjarmasin. Pemerintah Kota juga

meningkatkan kapasitas pelayanan dan efektivitas kebersihan kota melalui penambahan

personil petugas kebersihan kota menjadi 300 orang serta upaya penghijauan dan

pembangunan sarana persampahan yang lebih memadai, antara lain melalui

pembangunan TPA Basiri.

Lebih jauh lagi, Kota Banjarmasin juga melakukan upaya yang revolusioner dengan

mengadakan sayembara internasional untuk penataan tepian Sungai Martapura di

Kawasan Pusat Kota Banjarmasin dimana pemenang penataan kota dalam sayembara

tersebut akan dijadikan acuan dalam penataan waterfront city Banjarmasin saat ini.

Sayembara tersebut tidak bisa dipandang sebagai sebuah kompetisi semata, dibalik proses

tersebut, terdapat sebuah pembelajaran penting bagi pemerintah dan masyarakat

mengenai kepedulian terhadap perbaikan citra kota Banjarmasin terutama dalam upaya

mengembalikan fungsi sungai di Banjarmasin sebagai bagian dari aktivitas masyarakat

yang pernah ditinggalkan. Bahkan, terlihat dari besarnya animo pihak asing untuk

mengikuti sayembara tersebut, maka diharapkan penataan Kota Banjarmasin akan

semakin variatif dan adaptif terhadap perkembangan.

Secara teknis, perencanaan tepian sungai tersebut dilakukan dengan memperhitungkan

aspek hidrologis dan perilaku sungai. Bantaran sungai sendiri akan dikembangkan

sebagai ruang terbuka publik dengan konsep riverwalk. Akses untuk masyarakat ke

sungai sebagai milik umum juga akan dibuka seluas-luasnya. Hal menarik lainnya adalah

kawasan perdagangan dan jasa eksisting yang seringkali menimbulkan konflik, akan

ditata secara terintegrasi dengan konsep revitalisasi kawasan. Bangunan yang akan

dibangun pun disesuaikan secara teknis, yaitu dengan konsep rumah panggung dengan

material yang ringan. Upaya fisik yang telah dilakukan adalah pembangunan tanggul atau

siring di sepanjang Sungai Martapura, yang saat ini telah mencapai panjang 1 km dari

sekitar 5 km yang direncanakan.

Berhasilkah rencana tersebut?

Perlahan tapi pasti, mungkin kalimat tersebut sangat tepat untuk menggambarkan

bagaimana transformasi wajah kota Banjarmasin di sepanjang sungai. Upaya penanganan

drainase wilayah kumuh melalui pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan sungai yang

ada dan normalisasi sungai mati, dan revitalisasi bantaran sungai-sungai besar mulai

menampakkan hasil. Hal ini tak terlepas dari dukungan masyarakat yang juga ingin

melihat kotanya kembali bersih.

Page 11: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Foto 7. Penataan Sungai Miai

Foto di sebelah kiri memperlihatkan situasi Sungai Miai sebagai salah satu contoh sungai

kecil sebelum normalisasi, sedangkan foto sebelah kanan memperlihatkan situasi Sungai

Miai saat ini. Normalisasi serupa dilakukan pula pada sungai-sungai yang lain, seperti

Sungai Cemara, Sungai Beruntung, Sungai Belitung, Sungai Pandu, dan lain-lain. (Foto:

Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)

Foto 8. Penataan Kawasan Tendean

Kawasan Tendean merupakan bagian dari penataan tepi sungai di pusat kota. Gambar atas

memperlihatkan desain situasi yang diharapkan. Sedangkan foto pada bagian bawah

memperlihatkan situasi saat ini kawasan tersebut setelah pembangunan siring dan penataan

kawasan. (Foto: Pemkot Banjarmasin)

Namun meskipun begitu, beberapa hambatan masih dialami oleh pemerintah dalam

upaya merealisasikannya. Pergeseran perlakuan sungai bagi masyarakat Banjarmasin

ternyata justru sudah menjadi „budaya baru‟ dalam konteks kekinian. Memandang sungai

Page 12: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

sebagai „bagian belakang‟ aktivitas masyarakat menjadi lebih familiar. Hal tersebut

terlihat melalui banyaknya timbunan sampah yang terbuang ke sungai, bahkan lama-

kelamaan sungai seakan dianggap sebagai TPA kota. Kultur tersebut menjadi salah satu

hambatan signifikan dalam penataan kota. Keberhasilan penataan tersebut harus

dibarengi dengan perubahan kembali pola pikir masyarakat terhadap keberadaan sungai

sebagai bagian penting dalam pembentukan citra Kota Banjarmasin sehingga warisan

citra waterfront bisa dikembalikan kembali.

Selain itu, permasalahan lahan juga memiliki andil yang sangat besar dalam menghambat

realisasi rencana tersebut. Sebagian lahan di sepanjang sungai yang akan diremajakan

ternyata sudah dikuasai oleh „preman‟ penguasa lahan yang memiliki konsekuensi

terhadap sulitnya proses pembebasan lahan. Namun, ternyata partisipasi masyarakat patut

diapresiasi. Dalam upaya relokasi dan pembongkaran bangunan, masyarakat yang

bertempat tinggal di sepanjang sungai mendukung sepenuhnya upaya tersebut, mereka

bahkan rela untuk direlokasi. Di Banjarmasin yang kehidupan masyarakatnya sangat

terikat dengan sungai, kesediaan ini adalah sesuatu yang luar biasa. Namun, dengan

dukungan dan partisipasi seluruh masyarakat, Adipura yang didambakan nampaknya

bukanlah hal yang mustahil.

Pemindahan pusat pemerintahan provinsi

Di sisi lain, Banjarmasin harus pula mempersiapkan pemindahan pusat pemerintahan

Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru. Pemindahan ini, yang merupakan

wacana lama, ketika Gubernur Kalimantan pada tahun 1951, dr. Murdjani, mengeluhkan

aktivitas pemerintahan yang seringkali terganggu akibat genangan air dan gelombang

pasang. Di sisi lain, kondisi Banjarmasin yang berawa-rawa juga menimbulkan ancaman

berbagai penyakit. Murdjani kemudian menganggap bahwa perlu mencari lokasi ibukota

Kalimantan Selatan yang baru.

Banjarbaru dipilih karena terletak di perbukitan yang bertanah padat, berbeda dengan

wilayah di sekitarnya yang cenderung berawa-rawa, sehingga dianggap layak sebagai

lokasi sebuah ibukota baru. Sebuah tim kajian kelayakan yang dipimpin oleh D.A.W.

Van der Peijl bekerjasama dengan Tim Planologi dari ITB merancang Banjarbaru sebagai

sebuah kota baru (new town) dalam waktu yang hampir bersamaan dengan Palangkaraya.

Selanjutnya, kota baru ini mendapatkan status kota administratif selama 23 tahun, hingga

pada tahun 1997 kota ini ditetapkan sebagai Kotamadya.

Page 13: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Foto 9. Rencana Pemanfaatan Lahan di

sekitar kantor pemerintahan Provinsi

Gambar di samping memperlihatkan

rencana pemanfaatan ruang Kota

Banjarbaru di sekitar perkantoran provinsi,

yang terdiri atas perumahan dan fasilitas

pendukung, perhotelan, sekolah, hutan

kota, danau buatan dan alun-alun kota.

(Sumber: Distako Banjarbaru, 2010)

Saat ini Banjarbaru telah berkembang menjadi suatu kota yang berkembang pesat dan

mandiri, hingga telah sepenuhnya lepas dari Banjarmasin sebagai induknya. Kota baru ini

pun telah siap menerima rencana pemindahan perkantoran provinsi, antara lain dengan

mengakomodasi rencana pemindahan tersebut dalam Rencana Teknik Ruang Kawasan

Perkotaan Kota Banjarbaru. Wilayah perencanaannya berada di sekeliling kawasan

perkantoran Provinsi, agar kualitas ruangnya selaras dengan kualitas ruang kawasan

perkantoran provinsi. Perencanaan ini juga diperlukan untuk menghindari praktik

spekulasi lahan, yang merupakan praktik jamak yang mengiringi rencana pembangunan

suatu pusat baru. Perencanaan ini meliputi pengaturan perumahan dengan gradasi

kepadatan yang dikombinasikan dengan ruang terbuka hijau.

Bagaimana dengan Banjarmasin sendiri setelah pemindahan ini? Banjarmasin tampaknya

telah siap dengan isu ini. Pemindahan ini sekaligus membantu Banjarmasin mengurangi

beban kota, yang selama ini tertumpu khususnya di Kecamatan Banjarmasin Barat yang

mencapai 10.763 jiwa/km2. Sangat menarik untuk melihat bagaimana Banjarmasin dan

Banjarbaru akan berkembang di masa depan karena keduanya mewakili dua proses

perkembangan kota yang berbeda: Banjarmasin tumbuh sebagai kota yang organis,

sedangkan Banjarbaru tumbuh sebagai kota baru yang direncanakan. Namun keduanya

sama-sama menyiratkan optimisme di masa depan.

Page 14: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

ALUN-ALUN

Oleh:

Suwardjoko P Warpani

SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota

Dalam peradaban Jawa, rumah kediaman penguasa (Keraton, Kabupaten) selalu

dilengkapi dengan sebidang alun-alun yang melambangkan konsep Ketuhanan, atau

dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Begitu

juga dengan konsep kerajaan besar yang menghadap samudera dengan pelabuhan

besarnya, dan membelakangi gunung yang memberikan kemakmuran (Mardiono, 2009).

Salah satu ciri pusat kota maupun pusat pemerintahan, baik itu kerajaan maupun

kabupaten ditandai dengan hamparan lapangan rumput yang cukup luas dan sepasang

pohon beringin di tengahnya yang dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor

kabupaten yang biasanya juga menjadi kediaman dinas bupati. Lapangan inilah yang

dinamakan “Alun-alun”. Pola ini tentunya mengikuti pola kerajaan pada masa Majapahit

yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Ada perbedaan antara Alun-alun Keraton (Istana Raja) dengan Alun-alun Kabupaten

(kediaman Bupati). Pada Keraton memiliki dua alun-alun, di depan dan di belakang

istana, sedangkan tempat tinggal resmi Adipati (Kadipaten) hanya memiliki satu alun-

alun yang terletak hanya di depan istana, seperti Mangkunegaran-Surakarta dan

Pakualaman-Yogyakarta. Begitu juga tempat tinggal resmi Bupati (Kabupaten) yang

hanya mempunyai satu alun-alun di depan kabupaten. Saat ini dalam pemerintahan,

kabupaten menjadi sebuah daerah otonomi yang dikepalai oleh seorang Bupati, atau

pemerintahan setingkat di bawah propinsi.

Di samping fungsinya sebagai lambang kebesaran dan wibawa penguasa, sejak dulu alun-

alun bukan sekedar lapangan, tetapi juga memiliki fungsi ganda, yakni: di samping

sebagai ruang terbuka kota, saat ini kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat rekreasi tak

jarang digelar pula di alun-alun. Kini, fungsi dan sejumlah alun-alun sudah berubah

wajah, namun sebagai elemen kota berupa “ruang terbuka umum”, ruang publik, masih

sangat diperlukan.

Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul

Sejak masa Kerajaan Majapahit alun-alun telah dikenal, namanya pun terabadikan dalam sebuah

riwayat, yakni Alun-alun Bubat. Kota-kota kerajaan kuno (seperti Surakarta dan

Yogyakarta), mempunyai dua buah alun-alun, satu terletak di utara Keraton dan satu lagi

terletak di selatan Keraton. Permukaan Alun-alun Keraton tersebut tidak berumput tetapi

berupa hamparan pasir halus (Kisdarjono, 2009), sedangkan Alun-alun Kabupaten

Page 15: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

biasanya berumput. Bahkan halaman dalam Keraton berupa pasir halus yang konon

diambil dari pantai selatan Pulau Jawa, seperti isyarat dalam mitologi Laut Kidul.

Penggunaan hamparan pasir dilakukan atas dasar pertimbangan filosofis. Pada siang hari,

pasir menghadirkan suasana panas namun di malam hari udara semilir sejuk. Hal ini

diibaratkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan dunia ini berpasang-pasangan.

Siang-malam, bahagia-duka, panas-dingin, dan seterusnya (Brongtodiningrat, 1978).

Selain itu, secara teknis dan praktis pun ternyata benar. Busana resmi keraton tanpa alas

kaki (kecuali Raja), dan para sentana dan abdidalem duduk bersila (bila terpaksa di

halaman). Pasir tidak akan mengotori telapak kaki meskipun basah, sehingga paseban

pun tidak kotor. Tak hanya itu, duduk bersila di atas pasir pun tidak akan mengotori kain,

bahkan air hujan pun cepat meresap ke perut bumi.

Di depan bangunan keraton terdapat pintu masuk yang menuju Sitinggil (Pendopo

Keraton), begitu pula di depan bangunan kabupaten terdapat pintu masuk menuju

Pendopo. Pendopo juga dinamakan Paseban, yang berasal dari kata seba (Kisdarjono,

2009). Sementara itu, dari tutur Ki Dalang Wayang, dikenal Paseban Jawi (paseban luar)

yang berfungsi sebagai tempat menunggu bagi para tamu yang hendak menghadap raja,

untuk hal ini tidak terdapat pada kabupaten.

Alun-alun Lor (utara) dikelilingi oleh bangunan di penjuru mata angin, yakni: Masjid

Agung di sebelah Barat, bangunan keraton di sebelah Selatan, pasar di sebelah Utara, dan

sebelah Timur (dahulu) ada kebun binatang. Hal sedikit berbeda terdapat pada Alun-alun

Kabupaten, pasalnya pada sisi sebelah Timur biasanya berdiri bangunan penjara. Konon

letak penjara ini didasarkan pada pemikiran agar para terpidana segera menyadari

kekeliruannya dan bertobat, karena dipenjara berseberangan dengan tempat ibadah.

Alun-alun di depan masjid biasanya dimanfaatkan untuk shalat Ied pada waktunya.

Kemudian tak jauh dari masjid atau sebelahnya terdapat permukiman yang disebut

Kauman, kampung para santri. Barangkali, karena faktor masjid inilah maka bangunan

keraton di Jawa selalu menghadap Utara-Selatan, demikian pula pendopo kabupaten pada

umumnya menghadap Utara atau Selatan, kecuali Pendopo Kabupaten Kediri yang

menghadap ke Barat.

Disisi lain, jalan masuk terdapat di tengah-tengah membelah alun-alun. Kemudian pada

sisi kanan dan kiri selalu ditanami pohon beringin yang berpagar, karena itu masyarakat

(di Jawa) menyebutnya Ringin Kurung, dan biasanya dikeramatkan serta diberi nama

Kyai Jayandaru (kemenangan) dan Kyai Dewandaru (keluhuran). Sedangkan sebagian

masyarakat menyebutnya Ringin Kembar. Sebagai lambang kebesaran, Ringin Kurung

hanya ada di Keraton dan Kabupaten, sedangkan Kadipaten (meskipun memiliki

pemerintahan seperti daerah otonom) tidak memilikinya.

Di tempat itu, pada saat paseban rakyat yang ingin seba (menghadap raja), harus duduk

menunggu berjemur di alun-alun (dalam Bahasa Jawa disebut pepe) sampai waktunya

dipanggil jika raja berkenan menerimanya. Rakyat yang pepe adalah rakyat yang akan

menyampaikan keluhannya atau ingin melaporkan sesuatu langsung kepada raja.

Page 16: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Sementara itu, Ringin Kembar mengandung makna atau pesan simbolik bahwa Raja atau

Bupati bukan sekedar penguasa melainkan juga pengayom (pelindung) bagi rakyatnya.

Ini hendaknya “dibaca” dari kanopi pohon beringin yang rindang memberi keteduhan

bagi siapapun yang kepanasan terik matahari, sedangkan akar yang tertanam kuat seolah-

olah menyiratkan kuasa raja yang mengakar pada rakyatnya. Dari sini pula bisa diartikan

lebih dalam makna keberadaan pohon beringin di alun-alun, sedangkan lapangnya

(jembar : Jawa) alun-alun menyiratkan kesan seorang penguasa (Raja, Bupati) yang

berpandangan luas (jembar nalare) sebagaimana konsep kepemimpinan Astabrata.

Perihal Ringin Kurung, juga memiliki makna dalam model busana, gaya tari, dan gaya

bahasa. Terdapat perbedaan antara Keraton Surakarta dengan Yogyakarta. serupa tapi

tak sama. Menurut versi Surakarta, di tengah-tengah alun-alun terdapat dua pohon

beringin, yakni: Kyai Jayadaru di sebelah Timur dan Kyai Dewadaru di sebelah Barat. Di

samping itu masih terdapat empat pohon beringin jantan, seperti Kyai Jenggot tumbuh di

Baratdaya, dan beringin betina Wok di Timurlaut, sementara itu beringin Gung terdapat

di Tenggara dan beringin Bitur menempati sisi sebelah Baratlaut.

Tak hanya itu, sejumlah beringin lain juga tumbuh rapat di Jalan Gladhag tak lebih

sebagai pohon peneduh (Setiadi, dkk; 2001). Tetapi jika menengok versi Yogyakarta, bila

kita dari Selatan masuk melalui Plengkung Gadhing (Nirbaya) ke komplek keraton, di

pinggir Alun-alun Selatan, tumbuh dua pohon beringin bernama Wok yang berasal dari

kata brewok, sedangkan dua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun

menggambarkan bagian tubuh yang rahasia sekali, maka dari itu diberi pagar batu bata,

namanya Supit Urang, lambang perempuan, sedangkan pagarnya terdapat ornamen buser

yang melambangkan sifat pemuda-pemudi. Di sisi lain, sebelah Utara terdapat dua pohon

beringin.

Selain pohon beringin yang ditanam dengan landasan filosofi pemerintahan, halaman

Keraton, Kadipaten, dan Kabupaten biasanya juga ditanami pohon yang mengandung

filosofi hubungan antar sesama, yaitu pohon Sawo Kecik (sawo mini), yang konon

mengandung pesan agar manusia hendaknya selalu nandur kabecikan (berbuat kebaikan)

kepada sesama. Bahkan biji buah sawo kecik dijadikan bahan mainan anak-anak masa

itu, anak-anak lelaki menggunakannya untuk diadu kekerasannya sesama teman

(ditumpangkan satu di atas yang lain, lantas diinjak sambil dihentakkan dengan tumit),

sedangkan anak-anak perempuan menggunakannya untuk main dakon (keterampilan

berhitung dan memindahkan biji kecik dari satu cekungan ke cekungan lain pada

semacam nampan kayu). Selain itu rindangnya pohon-pohon sawo kecik di halaman

digunakan sebagai peneduh yang menebar kesejukan. Konon ini pun mengandung pesan

bagi penguasa agar mampu memberi kesejukan kepada kawulanya.

Pada masa lampau, alun-alun dapat dikatakan sebagai pusat kemasyarakatan (civic

centre), di antaranya sebagai tempat upacara kegiatan kerajaan, rekreasi, hiburan, pasar

malam, kegiatan ekonomi, dan sebagainya; bahkan keberadaan pasar menjadi satu

kesatuan lokasi dengan alun-alun. Pasar Kabupaten pada masa lalu, selalu berdekatan

dengan alun-alun (di seberang jalan). Uniknya, pusat kemasyarakatan ini (berlaku bagi

Page 17: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Keraton) justru terletak di belakang Keraton (Surakarta dan Yogyakarta), yakni di Alun-

Alun Lor (Utara), karena Keraton menghadap ke Selatan. Buktinya, Dalem Ageng Praba

Suyasa sebagai pusat dari seluruh bangunan keraton, jelas menghadap ke arah selatan.

Ada riwayat yang mengungkapkan: “Kyai Tumenggung Wiraguna dumugi alun-alun

pengkeran lajeng nyengkal masjid ageng, beteng dalah sedaya griyanipun Kumpeni”.

Artinya: Kyai Tumenggung Wiraguna, sampai di alun-alun belakang lalu mengukur

masjid besar, benteng serta loji/rumah Kumpeni. Padahal keseluruhan bangunan itu tidak

terletak di Alun-alun Kidul (Setiadi, dkk; 2001).

Alun-alun Kidul (Selatan) Keraton biasanya menyatu berada di dalam benteng (tembok

tinggi) sebagai salah satu sistem pertahanan tempo dulu. Ciri ini masih dapat ditemui di

Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pada Alun-alun Kidul

biasanya diselenggarakan gladen, latihan perang bagi para prajurit kerajaan secara

berkala. Pada saat tertentu gladen ini digelar menjadi tontonan masyarakat;

dipertontonkan keahlian sodoran (pertandingan keterampilan berkuda dan memainkan

tombak). Kira-kira analog dengan “gelar siaga” militer pada masa sekarang lengkap

dengan pasukan kavaleri untuk unjuk kesiagaan (show of force).

Ringin Kurung dan Gapura Alun-alun Kidul Yogyakarta 1920 (Dok. Ginong)

Sodoran atau rampogan

diadakan di alun-alun tiap

hari Sabtu atau Senin

(Seton atau Senenan).

Rampogan adalah laga

prajurit beramai-ramai

melawan seekor macan

(harimau); macan dirampog

(Jawa). Di alun-alun pula

biasanya digelar berbagai

upacara maupun keramaian,

seperti upacara Gerebeg, Sekaten, apel prajurit, dan pasar malam. Seperti disebutkan olah

Adrisijanti, peran alun-alun merambah aspek kehidupan sosial, politik, keagamaan, dan

ekonomi. Menariknya, Kisdarjono (2009) menengarai bahwa di Jawa Barat juga terdapat

alun-alun kecil di depan rumah kepala desa, tetapi alun-alun tersebut tanpa pohon

beringin. Masjid seringkali terdapat di sebelah Barat alun-alun.

Alun-alun Kota Bandung tempo dulu pernah menjadi lapangan sepakbola sebelum pindah

di lapangan Gasibu (di depan Gedong Sate) dan kemudian pindah ke Sidolig. Pada masa

silam, di seberang Alun-alun Kabupaten Cilacap adalah tempat “perantaian”, yaitu

hukuman kepada orang yang dirantai dan dijemur tak jauh dari penjara (di sebelah Timur

alun-alun), juga pernah menjadi lapangan olah raga sejumlah sekolah, dan arena

Page 18: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

kampanye pemilu 1955. Ini juga membuktikan bahwa kala itu alun-alun menyandang

aneka guna.

Alun-Alun Sekarang

Kini alun-alun pada umumnya sudah kehilangan atau ditinggalkan masyarakat, apalagi

makna filosofi yang terkandung didalamnya. Banyak alun-alun yang sudah tidak lagi

menampilkan ciri khasnya kecuali letaknya di depan kantor Bupati. Tidak ada lagi Ringin

Kurung atau Ringin Kembar yang tumbuh di kanan kiri akses jalan masuk kantor Bupati.

Dua contoh ekstrim, adalah Alun-alun Kota Blitar dan Alun-alun Kota Bandung.

Dua batang pohon beringin sebagai elemen Alun-alun Kota Blitar dikorbankan demi

pelebaran jalan karena tuntutan perkembangan lalu lintas. Elemen pohon di dalam

kawasan alun-alun diubah, tidak hanya pohon beringin, tetapi ditambah dengan pohon

yang dianggap lebih modern, yakni palem. Pohon baru ini ditanam dalam jumlah yang

cukup banyak sehingga menimbulkan kesan yang lebih menonjol daripada beringinnya

(Gunawan, Myra P; 2009). Tidak tahu apa pertimbangannya, maka sejumlah pohon

beringin di Alun-alun Kota Blitar diganti dengan pohon palem. Tatanan wajah alun-alun

pun sudah berbeda dibandingkan dengan alun-alun tradisional.

Bagian dalam Alun-alun Kota Blitar (2009)

Jalan masuk di antara jajaran pohon palem;

pohon beringin di dalam “kurungan”.

[Dok. PWK - SAPPK ITB]

Ringin Kurung yang menjadi ciri suatu

alun-alun, nampak kehilangan makna.

Pohon beringin tidak lagi di kanan-kiri

akses masuk Kabupaten, bahkan pagarnya “sangat” tinggi, terkesan seperti kurungan

(sangkar).

Zaman dulu, meskipun pohon beringin dipagari, masyarakat dengan bebas dapat masuk.

Bedanya, pohon beringin tempo dulu dikeramatkan, sedangkan kini hanya dianggap

sebagai tanaman biasa. Citra Alun-alun Kota Blitar seluas ± 20.000 m2

yang dibangun

pada tahun 1875 juga sudah hilang, hanya meninggalkan sebutan Alun-alun saja. Sudah

tidak lagi menjadi satu kesatuan jiwa tak terpisahkan dengan fungsi Kabupaten karena

rancangannya memang tidak berlandaskan filosofi alun-alun, tetapi sudah murni menjadi

salah satu elemen ruang terbuka kota, tempat aktivitas masyarakat.

Keadaan serupa juga dialami oleh Alun-alun Kota Bandung. Karena kehilangan makna

filosofi pohon beringin sudah enggan tumbuh dan memang tidak lagi ditanam karena

hamparannya sudah dilapisi perkerasan dan berubah fungsi. Alun-alun Kota Bandung

Page 19: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

bahkan sudah bukan lagi alun-alun, hilangnya Alun-alun Kota Bandung sudah dirasakan

sejak 1984 (Warpani, Suwardjoko; 1984).

Alun-alun Kota Bandung sudah bermetamorfosa menjadi elemen ruang terbuka kota,

menjadi halaman Masjid Agung yang juga berubah nama menjadi Masjid Raya Bandung.

Tidak ada lagi ciri-ciri sebuah alun-alun. Citra lapangan pun telah lenyap, padahal alun-

alun ini pernah menjadi lapangan sepak bola. Di bawah alun-alun dijadikan ruang bawah

tanah bagi PKL dan fasilitas umum, namun kurang diminati. PKL tetap bertebaran di

sekitar alun-alun bahkan tak jarang masuk meramaikan isi halaman Mesjid Raya ini.

Kasus Alun-alun Kota Bandung dan Blitar menunjukkan bahwa nasib alun-alun itu

berada di tangan pemangku kepentingan, yang saat ini lebih dikenal sebagai Pemerintah

Kota.

Karena melupakan filosofi keberadaan sebidang alun-alun serta tergoda oleh suatu

kepentingan, maka yang dipertimbangkan hanyalah ketersediaan lahan. Pameo yang

beredar perihal Alun-alun Kota Bandung adalah: ‘Ganti Walikota, diubah wajah alun-

alun’, seolah-olah di alun-alunlah potret karya bakti seorang walikota. Ada satu lagi:

Alun-alun Kota Semarang hilang akibat korban dari kepentingan ekonomi.

Alun-alun Kota Bandung tahun 1999

Bukan lagi alun-alun melainkan plasa.

Oleh karena itu, mau atau tidak

mau, pemangku otoritas harus

memiliki pemahaman yang

komprehensif. Keberpihakan

kepada kepentingan yang mana

harus jelas dan konsisten.

Ujungnya, nasib objek peninggalan

budaya itu berada dalam

keputusannya. Untuk

mengantisipasi proses tarik menarik

kepentingan itu, mau tidak mau,

pemangku otoritas harus

mempelajari juga medan kekuatan

kepentingan yang akan terlibat

dalam tarik-menarik itu (Kisdarjono, 2010), tetapi apakah harus melupakan filosofi

keberadaan suatu elemen kota ?

Ruang Terbuka Umum

Ruang terbuka umum sesungguhnya bukan entitas spesifik, melainkan sebuah kategori

yang berisi banyak varian. Terbuka bisa berarti berada dalam ruang terbuka, bukan dalam

gedung tertutup, tetapi bisa juga diartikan sebagai terbuka bagi pengunjung umum, dalam

arti siapa saja bisa masuk. Sebuah pusat perbelanjaan, misalnya, terbuka untuk

pengunjung umum, walaupun ia berbentuk gedung tertutup. Sebaliknya, lapangan golf

Page 20: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

berada di udara terbuka, tetapi tidak semua orang bisa masuk, terbatas pada anggota atau

tamu yang harus membayar (Kisdarjono, 2009).

Monumen Mayor Bismo di Alun-alun Kediri

luas ± 1,5 Ha; umur ± 150 tahun

Tak bisa lagi disebut “Alun-alun”

Fungsi saat ini:

RTH, PKL, upacara; sebagian bekas standplat bis

OJC sekarang menjadi pertokoan. [Dok. PWK - SAPPK ITB]

Bagian dalam Alun-alun Madiun

Jalan berbelok dan tak ada Ringin Kurung

[Dok. PWK - SAPPK ITB]

Sebelah timur Alun-alun Madiun; bukan pohon peneduh, melainkan atap parabola

[Dok. PWK - SAPPK ITB]

Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang keberadaannya

menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciri-ciri sebidang alun-alun yang

sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan

waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi

sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan. Banyak

anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan paham

berhak melakukan apa saja.

Banyak alun-alun yang tidak lagi bisa disebut alun-alun dalam makna tradisional. Alun-

alun sekarang adalah ruang terbuka umum, namun tidak seharusnya kehilangan makna

filosifis yang terkandung di dalamnya agar alun-alun masih menunjukkan ikatan budaya

dengan masyarakat dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan jaman. Alun-alun,

sejak dahulu kala sampai sekarang, bagi sebagian anggota masyarakat adalah tempat

Page 21: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

mencari nafkah. PKL sudah ada sejak dahulu, perbedaannya dahulu lebih sebagai

pedagang keliling sedangkan sekarang lebih banyak membangun jongko.

Wajah berubah, elemen dan tatanannya berganti, namun peran alun-alun sebagai ruang

terbuka umum tak bisa dihilangkan dari sebuah hunian, bahkan seharusnya diperkuat

peran dan fungsinya. Selain berfungsi sebagai taman untuk menghirup udara segar,

rekreasi bersama keluarga, olah raga ringan, tempat upacara, juga bisa menjadi wahana

pendidikan.

Filosofi alun-alun yang sudah cukup tua, dan gagasan pengadaannya, memiliki nilai kesejarahan

dan pendidikan. Nilai-nilai ini seharusnya juga bisa menjadi aset kekayaan daerah yang bisa

dijual sebagai objek pariwisata. Masalahnya adalah bagaimana cara pengemasan dan kiat penjualan sebagai objek peninggalan budaya. Alun-alun sedikit banyak bisa “berceritera” tentang

sejarah suatu kota di masa feodal, baik itu alun-alun dalam skala Keraton maupun dalam skala

Kabupaten. Menjadi objek maka alun-alun tidak boleh kehilangan makna filosofi yang

terkandung sebagai warisan kekayaan budaya nasional.

Page 22: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

MRT: Angkutan perkotaan masa depan?

Oleh:

Delik Hudalah1) dan Yudistira Pratama2)

1)Staf pengajar pada Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan,

ITB 2)

Peneliti pada Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, ITB

Apakah itu MRT? MRT (mass rapid transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai moda angkutan yang

mampu mengangkut penumpang dalam jumlah yang banyak (massal) dengan frekuensi

dan kecepatan yang sangat tinggi (rapid). Menurut modanya, MRT dapat dikelompokkan

menjadi beberapa jenis, antara lain: bus (buslane/busway), subway, tram, dan monorail.

Bus MRT dapat dibedakan dengan bus angkutan

biasa dan kendaraan lain karena biasanya

merupakan shuttle bus yang memiliki rute

perjalanan tertentu dan beroperasi pada lajur

khusus, sehingga sering disebut buslane/busway.

Pemisahan lajur ini dilakukan agar penumpang

tidak mengalami penundaan waktu perjalanan dan

tidak terganggu oleh aktivitas moda angkutan lain

yang melintasi rute perjalanan yang sama. Busway

sendiri biasanya bervariasi ada yang berbentuk

ganda (bus gandeng), bus tunggal, dan bus

bertingkat. MRT jenis busway biasanya lebih banyak dipilih oleh kota-kota di negara

berkembang karena pengembangannya membutuhkan biaya yang lebih murah

dibandingkan dengan subway, monorel, ataupun tram. Kota Bogota di Kolombia

merupakan salah satu contoh sukses penerapan sistem busway.

MRT dalam bentuk subway pada prinsipnya

memiliki kesamaan sistem operasi dengan kereta

api. Namun, konstruksi teknisnya terdapat

perbedaan karena subway terletak di bawah

tanah (underground) tetapi stasiun-stasiunnya

langsung terhubung ke lokasi pusat kegiatan. Di

Eropa Barat, subway merupakan salah satu moda

angkutan yang sangat populer dan seringkali

dikenal dengan istilah metro system. Kota

London merupakan kota pertama yang

menerapkan sistem subway sebagai moda angkutan massal berkecepatan tinggi pada

tahun 1863.

Bogota, kota yang berhasil mengembangkan

busway

London, kota pertama yang

mengembangkan subway

Page 23: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Tram merupakan bentuk MRT dengan moda angkutan mirip dengan kereta api, tetapi

jalur operasinya dapat terintegrasi dengan jalan raya. Tram dapat ditemukan di hampir

semua kota menengah dan besar di Eropa dan di beberapa kota besar di Amerika. Tram

pertama kali diperkenalkan pada tahun 1807 di Inggris dan merupakan bentuk awal MRT

di dunia. Dalam operasionalnya, dikenal dua jenis tram: (1) tram yang jalur operasinya

menyatu dengan jalur lalu-lintas kendaraan; dan (2) tram yang memiliki jalur operasional

tersendiri yang dikenal dengan istilah light rail.

Monorail merupakan MRT yang memiliki jalur tertentu dan biasanya tidak mengambil

ruang kota yang luas. MRT jenis ini biasanya memiliki jalur di atas jalan raya dan yang

ditopang dengan tiang-tiang yang sekaligus berfungsi untuk membentuk lintasan

monorail. Berbeda dengan MRT lainnya, monorail biasanya hanya terdiri atas satu rute

dengan sistem lintasan loop dengan beberapa stasiun pemberhentian yang

menghubungkan dengan MRT lainnya maupun langsung ke lokasi kegiatan tertentu.

Penggunaan monorail sudah banyak dikembangkan di kota-kota metropolitan di dunia

antara lain Moskow, Tokyo, dan Sydney.

Di mana MRT sukses diterapkan?

Konsep MRT sudah banyak diterapkan di kota-kota besar di negara maju maupun negara-

negara berkembang. Biasanya, MRT merupakan bagian dari implementasi sistem

transportasi umum terpadu, yaitu sistem transportasi yang mampu menghubungkan orang

dan barang dari satu titik ke titik lain secara efisien dan memiliki kemudahan dalam

melakukan perpindahan dari satu moda ke moda lain (modal shift) tanpa mengurangi

waktu tempuh perjalanan. Pengembangan yang terpadu akan menjadikan MRT tidak

hanya berfungsi sebagai sarana angkutan yang efisien, tetapi juga instrumen yang handal

untuk mengarahkan perkembangan kota besar.

Salah satu negara tetangga terdekat yang sukses dalam mengembangkan MRT sebagai

sistem terpadu ini adalah Singapura. MRT di Singapura sudah dapat dikatakan sebagai

“urat nadi” pertumbuhan ekonomi dan daya tarik investasi. MRT yang dikembangkan di

Singapura terdiri busway dan monorail. Terdapat empat jalur monorail MRT di

Singapura dan semuanya saling terhubung antara satu dengan yang lainnya sehingga

penumpang dapat mengakses seluruh bagian negara Singapura dengan mudah. Selain itu,

sistem ini juga terhubung dengan sistem busway sehingga memudahkan penumpang

untuk mengakses lokasi yang tidak terhubung oleh sistem monorail.

Monorail di Singapura memiliki 87 stasiun

dengan panjang lintasan keseluruhan

sepanjang 129,7 km. Kemudahan lain dari

MRT ini ialah adanya sistem fares and

ticketing yang mudah dan murah. Sistem

pembayaran tiket dilakukan dengan

mempergunakan kartu prabayar yang sudah

terisi sejumlah uang maupun uang logam.

Singapura, negara yang berhasil

mengembangkan monorail

Page 24: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Keunggulan sistem ini ialah penumpang hanya perlu satu kali membayar pada saat masuk

sehingga memberikan kemudahan untuk pindah lintasan, pindah moda, maupun keluar

menuju tujuan akhir. Sistem ini dikoordinasikan secara terintegrasi oleh suatu perusahaan

yang khusus menagani masalah fare and ticketing MRT di Singapura.

Contoh sukses lainnya adalah pengembangan Busway TransMillenio di Kota Bogota

Columbia. Pengembangan tahap pertama dilakukan dari tahun 1999 sampai dengan 2002

yang meliputi 470 bus dalam jalur sepanjang 41 km. Pengembangan TransMillenio tahap

dua dilakukan pada tahun 2002 sampai dengan 2006 dengan penambahan untuk lahan

ruang terbuka dan pedestrian, serta pengembangan sistem pengelolaan. Unsur utamanya

pengembangan armada berkapasitas tinggi, pembangunan jalur busway, dan stasiun

pemberhentian. Hingga saat ini, kapasitas pelayanan TransMillenio Busway merupakan

yang terbesar di dunia karena mampu melayani kebutuhan perangkutan penumpang

sekitar 35-40 ribu penumpang per jam. Untuk mempermudah proses ticketing, pihak

pengelola memberlakukan sistem smart card dimana pengguna hanya perlu mengisi kartu

dengan sejumlah nilai uang untuk mendapatkan layanan busway. Jalur busway dibuat dua

lajur, sehingga memungkinkan bus lain untuk menyalip jika bus yang ada di depannya

sedang berhenti.

Suatu keniscayaan Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan

perangkutan memiliki peran penting

dalam menggerakkan perekonomian kota-

kota besar di Indonesia. Permintaan akan

perangkutan akan semakin meningkat

seiring dengan pertumbuhan permintaan

akan barang dan jasa. Permintaan layanan

perangkutan juga akan semakin

meningkat seiring dengan semakin

besarnya jumlah penduduk. Karena ruang

yang terbatas, kota-kota besar seperti

Jakarta tidak mampu memenuhi tingginya permintaan pergerakan penduduk hanya

melalui penambahan jalan dan angkutan umum berkapasitas kecil. Akibatnya terjadi

penurunan tingkat pelayanan jalan pada ruas-ruas tertentu di mana pergerakan kendaraan

menjadi tersendat (fenomena bottleneck). Kondisi tersebut semakin parah dengan

munculnya emisi kendaraan yang dapat menimbulkan gangguan kondisi kesehatan dan

penurunan kualitas lingkungan. Selain itu, lamanya waktu yang dihabiskan di jalan dapat

menimbulkan dampak psikologis berupa penurunan ketidakstabilan emosi dan dampak

ekonomis berupa penurunan tingkat produktivitas kerja.

Pengembangan MRT dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi persoalan

perangkutan di kota-kota besar tersebut. Keunggulan sistem ini ialah kemampuannya

mengangkut penumpang dalam jumlah besar, cepat, dan dapat diandalkan dalam berbagai

situasi. Dengan mempergunakan MRT, ruang jalan akan jauh lebih efisien karena

penggunaan kendaraan pribadi dapat diminimalisasi.

Kemacetan telah menjadi keseharian di

kota besar seperti Jakarta

Page 25: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Kereta rel listrik (KRL), kereta rel diesel (KRD), dan busway yang sudah dikembangkan

di kota-kota metropolitan di Indonesia sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai

sarana transportasi massal. Namun, di berbagai kota, ketiganya belum dapat sepenuhnya

dikategorikan sebagai MRT karena belum memenuhi kriteria sebagai sarana transportasi

yang benar-benar cepat dan handal dalam segala situasi.

Berangkat dari permasalahan lingkaran setan kemacetan di Ibukota Negara, busway

misalnya telah menjadi pilihan angkutan umum massal dan telah direalisasikan dalam

waktu yang relatif cepat sehingga mampu mengalahkan sistem angkutan berbasis rel

(KRL) yang sudah ada di Jakarta. Perlu dicatat bahwa hadirnya busway ini tidaklah

dimaksudkan untuk menghilangkan penggunaan kendaraan pribadi tetapi sebagai suatu

usaha untuk menyeimbangkan antara supply dan demand transportasi. Busway

diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan jalan yang sudah ada dengan cara

mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat tidak seimbangnya antara kecepatan

penambahan jalan dengan kecepatan pertumbuhan penggunaan kendaraan. Pada proyek

sebelumnya, DKI Jakarta berencana membuat monorel tetapi proyek tersebut belum

terealisasi hingga sekarang karena terkendala penyediaan dana.

Pengembangan MRT di beberapa kota terbesar di Indonesia, khususnya di Jakarta, dapat

dikatakan cukup telat dan kurang antisipatif karena dilakukan setelah situasi terdesak

akibat semakin parahnya tingkat kemacetan. Padahal, kinerja penataan ruang kota besar

dapat dilihat diantaranya dari berhasil tidaknya penerapan MRT di kota tersebut.

Memang lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Namun, sebagai konsekuensinya,

kita harus siap menanggung biaya sosial yang sangat mahal. Beberapa ide pengembangan

MRT seperti busway di luar Jakarta dapat dikatakan cukup antisipatif dengan belajar dari

keterlambatan yang pernah dialami Jakarta. Namun, ini masih merupakan inisiasi dari

atas, belum asli berasal dari prioritas pemerintah lokal. Padahal yang akan merasakan

langsung manfaat MRT adalah pemerintah dan masyarakat lokal, bukan pemerintah

pusat.

Rencana pembangunan subway melalui PT MRT Jakarta dapat menjadi terobosan

mutakhir dalam pengembangan sistem angkutan massal, khususnya perkeretaapian, di

Indonesia. Dengan menawarkan kenyamanan, kecepatan dan kapasitas angkut yang yang

lebih besar, MRT berbentuk subway dapat menjadi moda transportasi yang sangat dinanti

untuk keberlanjutan sistem transportasi di Indonesia di masa depan. MRT ini

direncanakan akan mulai beroperasi pada tahun 2016. Proyek MRT Jakarta yang akan

dibangun membentang dari Lebak Bulus di Jakarta Selatan dan Dukuh Atas di Jakarta

Pusat sepanjang 14,5 km. Empat kilometer diantaranya (4 stasiun) dibangun di bawah

tanah dan 10,5 km dibangun melayang di atas jalan (8 stasiun). Proyek ini adalah tahap 1

dari rencana 3 tahap pembangunan MRT di Jakarta. Tahap 2 adalah dari Dukuh Atas ke

Kota; dan tahap 3 adalah jalur Timur-Barat. Untuk pembangunan Tahap 2 dan tahap 3

saat ini sedang dalam pembuatan feasibility study.

Page 26: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Rencana Pembangunan MRT di DKI Jakarta

Benturan gaya hidup

Serba Salah

NafaskuTerasaSesak

BerimpitanBerdesakkan

Bergantungan

MemangSusah

JadiOrangYangTakPunya

Kemanapun Naik Bis Kota

Penggalan lirik di atas berasal dari salah satu lagu Achmad Albar yang cukup populer di

tahun delapan puluhan. Penggalan tersebut sebenarnya merefleksikan pandangan umum

masyarakat kita terhadap angkutan umum massal. Di Indonesia, kendaraan umum,

apalagi yang sifatnya massal, seringkali diidentikkan dengan kendaraan untuk orang

miskin. Jika tidak ditanggulangi, cara pandang yang keliru seperti ini dapat menjadi

momok bagi pengembangan MRT sebagai angkutan publik masa depan.

Masyarakat Indonesia pada umumnya

masihberpandangan bahwa menggunakan

kendaraan pribadi merupakan simbol

yang dapat secara efektif menunjukkan

kekayaan, status sosial, dan martabat

seseorang. Cara pandang ini tidak

terlepas dari berkembangnya perilaku

Menerobos lintasan kereta api merupakan

perilaku yang membahayakan keselamatan

Page 27: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

konsumerisme dan individualisme yang telah lama menggantikan norma kesederhanaan,

tenggang rasa, dan kesetiakawananan sosial yang dulu dikenal sebagai Adat Timur.

Globalisasi yang ditunjukkan dengan derasnya impor gaya hidup liberal dari negara-

negara maju telah mengisi norma baru dalam masyarakat. Misalnya melalui film-film dan

produk-produk yang mengedepankan konsumerisme dan gengsi. Gemerlap kehidupan

artis papan atas Hollywood yang tinggal di rumah-rumah mewah di kawasan pinggiran

telah menjadi acuan puncak kualitas hidup yang mengedepankan sisi materi. Kegiatan

melaju dengan menempuh jarak yang jauh dan sangat tergantung dengan penggunaan

kendaraan pribadi telah menjadi gaya hidup tersendiri.

Di Indonesia, angkutan umum khususnya

massal tidak hanya belum digemari

masyarakat, bahkan masih dianggap

sebagai salah satu biang persoalan

perkotaan. Jika ada kecelakaan di pintu

rel, seringkali yang disalahkan adalah

perusahaan kereta api karena dianggap

tidak mampu menjamin keamanan

pengendara mobil atau, yang lebih parah

lagi kereta api itu sendiri sudah dicap

sebagai angkutan yang membahayakan

keselamatan masyarakat. Baru-baru ini,

pola pikir yang terbalik seperti ini juga diterapkan dalam menyikapi beberapa kecelakaan

akibat menyebrang jalan pada lintasan busway di Jakarta. Atau persoalan keseharian, jika

kita mengendarai kendaraan pribadi melewati kemacetan, maka kita cenderung lebih

menyalahkan bus atau angkutan kota sebagai sumber utama kemacetan karena

pemngemudinya sering menaikkan dan menurunkan penumpang sembarangan.

Mungkin pola pikir seperti ini

pulalah yang secara berangsur telah

menyebabkan punahnya tram yang

dulu pada zaman pendudukan

Belanda cukup diandalkan sebagai

sarana angkutan massal di kota-kota

besar seperti Jakarta dan Semarang.

Kondisi ini sungguh ironi karena di

negara-negara asalnya pemerintah

justru rela menggelontorkan subsidi

dalam jumlah yang besar untuk

menjamin kelangsungan hidup tram ini.

Pengembangan MRT yang harmonis dan berkelanjutan haruslah berangkat dari gerakan

budaya. Kesadaran untuk beralih ke MRT sebaiknya tidak sekedar karena keterpaksaan

tetapi menjadi gaya hidup baru sehingga penerapannya akan menjadi mudah. Sebelum

MRT berkembang, warga Eropa Barat dan Cina terkenal sebagai pecinta sepeda, sebagai

cerminan moda transportasi yang sederhana dan ramah lingkungan. Dengan modal

Tram melewati kawasan Glodok,

Jakarta pada tahun 40an

Menggunakan jalur busway merupakan

perbuatan yang melanggar tata tertib lalu lintas

Page 28: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

budaya seperti ini, tidaklah terlalu sulit bagi pemerintah untuk memperkenalkan MRT,

sebagai moda transportasi masa depan, kepada masyarakatnya.

Rekomendasi: Membudayakan MRT

Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap

MRT? Pertama, penerapan MRT yang sukses sebagai gerakan budaya memerlukan

kepemimpinan yang kuat. Ini tidak serta merta dapat dimaknai dengan pemimpin yang

otoriter. Pemimpin yang diperlukan adalah yang dapat menjadi teladan yang baik bagi

masyarakatnya. Pemerintah misalnya dapat melakukan gerakan pejabat naik kendaraan

umum. Para pejabat juga seyogyanya memberikan contoh dengan tinggal pada jarak dan

lokasi permukiman yang masih memungkinkan untuk dapat diakses dengan kendaraan

umum.

Upaya-upaya terobosan yang cukup kreatif yang dapat secara tidak langsung menunjang

pengembangan MRT pun perlu terus dikembangkan. Misalnya, program car free day di

ruas-ruas jalan tertentu seyogyanya jangan hanya dipandang sebagai program populis

atau sekedar memindahkan simpul kemacetan. Sebaliknya, program seperti ini, terlepas

dari berbagai keterbatasannya, perlu diapresiasi dan didukung karena secara bertahap

dalam jangka panjang dapat berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan

masyarakat akan gaya hidup yang lebih efisien, sehat, dan ramah lingkungan.

Kedua, penerapan MRT yang berkelanjutan memerlukan koordinasi antar sektor dan

antar tingkat pemerintahan. Peningkatan penggunaan kendaraan umum oleh masyarakat

luas akan lebih realistis jika diiringi dengan mekanisme disinsentif bagi pengguna

kendaraan pribadi dan insentif bagi pengguna kendaraan umum. Pemerintah perlu secara

konsisten mengelola dampak industri kendaraan melalui misalnya penerapan pajak yang

tinggi dan subsidi BBM yang lebih selektif. Sebagai kompensasinya, pemerintah dapat

mengalihkan dana yang ada untuk pengembangan infrastruktur massal dan penunjangnya.

Pembangunan rel kereta api misalnya menjadi prioritas sehingga tidak terlalu tergantung

dengan jalan tol.

Ketiga, seringkali kendala yang dihadapi bukanlah pada kualitas pelayanan MRT, tetapi

fasilitas penunjangnya. Untuk itu, dalam kerangka pengembangan MRT yang terpadu,

pemerintah harus mulai memikirkan misalnya sarana angkutan feeder (antara) yang

handal yang dapat menghubungkan rute MRT dengan pusat-pusat permukiman.

Pemerintah juga perlu memperbaiki jalur-jalur pejalan kaki yang menghubungkan halte-

halte dengan pusat-pusat kegiatan.

Dalam jangka panjang, pengembangan pusat-pusat permukiman maupun pusat-pusat

kegiatan baru di suatu kota perlu terintegrasi dengan master plan MRT. MRT sebagai

sarana angkutan skala perkotaan juga perlu lebih terintegrasi dengan sistem transportasi

skala wilayah maupun nasional. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan

mengembangkan simpul-simpul penghubung antar-moda seperti pengembangan halte

MRT yang dipadukan dengan pengembangan lokasi terminal bus, stasiun kereta api, atau

bahkan bandar udara dan pelabuhan. Lebih jauh lagi, sistem pembayaran sebaiknya

Page 29: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

memanfaatkan teknologi otomatis seperti kartu prabayar atau chip dan sebaiknya dapat

terintegrasi dengan moda angkutan umum lain sehingga lebih efisien bagi pengguna.

Keempat, pengembangan MRT yang tangguh harus bertahap dan memperhatikan dampak

sosial selama proses transisi. Pengembangan MRT sebaiknya dimulai dengan yang

sederhana seperti busway. Lalu, seiring dengan bertambah rumitnya sistem pergerakan di

suatu kota, program berikutnya dapat melibatkan moda yang lebih rumit pula seperti

monorail, tram, atau subway.

Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan MRT berkonsekuensi pada

pengurangan lapangan kerja sektor transportasi kota karena operasinya relatif lebih padat

modal. Pemerintah harus memikirkan proses adaptasi dan pengalihan sebagian tenaga

kerja dan pengusaha sektor transportasi secara bertahap melalui peningkatan kapasitas,

bantuan permodalan, ataupun penyediaan lapangan kerja baru.

Page 30: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau

untuk Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Oleh:

Catrini Pratihari Kubontubuh

Direktur Eksekutif BPPI dan Executive Committee for International of National Trusts

Organisation – Asian Region serta bekerja di Bank Dunia - Jakarta sebagai tim Social

Safeguard

Ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang telah berkembang

menuntut adanya penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan

partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan

(Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang)

I. Pendahuluan

Tantangan dalam melakukan penataan

ruang sebuah Kota Pusaka saat ini

adalah bagaimana merumuskan

langkah strategi penataan ruang kota

dalam sinergi kegiatan pelestarian yang

tepat. Tidak hanya melibatkan

kebijakan/keputusan dan berbagai

bentuk advokasi maupun mitigasi

terkini, namun penting

mempertimbangkan kota dalam

peradabannya di masa lampau.

Salah satunya adalah dengan mempelajari tipologi perkembangan sebuah kota, yang

tentunya akan memberikan gambaran tentang pengaruh-pengaruh bentuk tata ruang

kota, perbedaan-perbedaannya serta menemukenali kearifan lokal yang bisa diterapkan

di masa kini.

Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang besar yang terwujud

dan berisikan keragaman pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak ragawi, serta

saujana (Adishakti, 2008). Walau kota-kota di Indonesia banyak yang memiliki

kelimpahan keragaman pusaka, tetapi klasifikasi sebagai kota pusaka (atau sebutan lain

kota bersejarah, kota warisan, ataupun kota cagar budaya) baru mulai dipakai setelah

Konferensi Organisasi Kota-kota Pusaka Dunia di Surakarta bulan Oktober 2008 yang

berhasil membentuk Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI/Indonesian Heritage Cities

Network).

Page 31: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Terminologi “Kota Pusaka” dipakai untuk mendefinisikan sebuah bentuk kota yang

menempatkan penerapan kegiatan pelestarian pusaka (heritage) sebagai strategi utama

pengembangan kotanya. JKPI hingga kini telah beranggotakan 33 kota pusaka,

termasuk DI Yogyakarta. Inisiatif pembentukan jaringan ini merupakan sebuah upaya

strategis untuk membantu penataan ruang kota berbasis pelestarian dalam berbagai kota

yang sarat dengan kekentalan tradisi dan keragaman pusaka yang dimilikinya.

II. Pemahaman Sejarah Perkembangan Kota

Pemahaman sejarah memiliki kandungan akan “sesuatu yang tetap” yang perlu

dipertahankan, bukan berarti tidak bisa menerima perubahan, walau memang ada yang

tidak boleh diubah sama sekali. Pembangunan masa depan secara berkelanjutan

hendaknya mampu menyinambungkan berbagai peninggalan yang bernilai dengan

dinamika zaman secara terseleksi. Termasuk menjadi alat dan modal untuk

pengembangan budaya dan ekonomi. Apresiasi dan rasa yang dimiliki insan di bumi

terhadap pusaka yang ada menjadi kekuatan utama mencapai tujuan tersebut. Sehingga

perkembangan kota merupakan manifestasi dari upaya manusia mengembangkan

peradaban yang dimilikinya di masa lalu.

Studi sejarah kota di Indonesia meliputi pengenalan konsepsi, struktur dan bentuk kota

sebelum zaman kolonial yang didominasi oleh sistem kerajaan. Kota Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY) merupakan kota yang berperan penting dalam menentukan

perkembangan sejarah Jawa. Pusat kerajaan di masa lampau merupakan tempat

pemusatan hampir seluruh aspek kehidupan kota baik tata ruang, arsitektur dan

aktivitas masyarakatnya. Dalam hal ini pusat kerajaan berarti sebuah wilayah kota yang

melingkupi keraton serta kompleksnya yang berada di dalam tembok benteng yang

mengelilinginya (Santoso, 2008). Dimensi ruang kota sudah terbentuk di masa tersebut

dengan pola catur pathus yaitu pusat kota berupa alun-alun dengan bagian sebelah utara

adalah lapangan bubat, sebelah timur adalah tempat persembahyangan, sebelah selatan

adalah keraton, dan sebelah barat adalah kompleks pemukiman. Salah satu instrumen

yang kuat dalam sejarah perkotaaan adalah pengaturan teritorial, ruang dan bangunan

berdasarkan konsepsi kosmografis serta kaidah penataannya.

Page 32: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

III. Pengembangan Kota di Masa Lampau dan Masa Kini

Salah satu bentuk penanganan pengelolaan Kota Pusaka adalah dengan pelaksanaan

revitalisasi kawasan-kawasan pusaka yang berada di kota-kota tersebut. Revitalisasi

kawasan pusaka adalah upaya mengembalikan dan meningkatan vitalitas kawasan yang

memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Walau seringkali revitalisasi masih diartikan

dengan tidak tepat sebagai memperindah fisik kawasan semata, tanpa memikirkan

pemanfaatan baik dari segi sosial, budaya dan ekonomi.

Langkah awal untuk menunjang upaya revitalisasi adalah registrasi dan dokumentasi

semua pusaka yang dimiliki sebuah kota baik alam, budaya maupun saujana, adi pusaka

maupun pusaka rakyat. Berbagai sektor perlu diajak bersama-sama memahami,

mengamati, mengkaji berbagai aset pusaka di daerahnya, serta mendalami potensi dan

hambatan yang dihadapinya.

Selain itu, berbagai sektor dalam pemerintah kota perlu diajak menggarap kawasan

pusaka di daerahnya, meninjaunya dari berbagai aspek, dan mencoba menyepakati

kebijakan dan program yang optimal serta langkah apa yang perlu diambil.

Dalam hal ini dibutuhkan kreativitas dan pemahaman realistik dalam mengembangkan

program dan pencapaiannya. Termasuk perencanaan mengenai peraturan/panduan serta

sarana yang diperlukan misalnya, pengembangan organisasi, penyediaan SDM,

perlengkapan operasional, anggaran, promosi dan sebagainya. Pemerintah kota juga

perlu mengembangkan kerjasama antar kota/kabupaten, dalam sinkronisasi kebijakan

dan pengembangan program bersama terutama diantara para anggota JKPI.

Dalam kenyataan, mengelola suatu lingkungan pusaka, apapun bentuknya – saujana,

kota, desa, kawasan, area – akan menyangkut persoalan kepekaan, selera dan kreasi

pengelolanya terhadap pusaka-pusaka yang dimiliki wilayahnya (Adishakti, 2008). Bila

ditelaah, persoalan kepekaan menjadi dasar penting dalam prinsip tersebut. Ketika

melakukan inventarisasi berbagai pusaka yang ada diperlukan kepekaan dalam

menelaah dan menetapkan apa saja yang masuk dalam klasifikasi pusaka. Demikian

pula dalam proses yang sistematik untuk inventarisasi, penelitian, dan penilaian suatu

aset pelestarian, termasuk dalam mengelola keterlibatan masyarakat. Kemudian juga

dengan prinsip bahwa pelestarian pusaka itu unik. Untuk dapat memahami keunikan ini

kepekaan adalah kuncinya.

Selera dan kreasi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkah ketika menindak

lanjuti hasil identifikasi dan melaksanakan proses sistimatik pelestarian beserta

perencanaan selanjutnya. Memadukan antara pelestarian pusaka dan pembangunan

ekonomi sebenarnya adalah pilihan dari pengelola kota dan daerah. Bila memiliki

selera memadukannya dan mampu berkreasi, prinsip universal tujuan pelestarian

terpadu dapat diikuti. Demikian pula dalam kewenangan penentu kebijakan dalam

menata keuangan dan peraturan yang menunjukkan keberpihakan pada pelestarian

pusaka yang komprehensif.

Arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi kawasan

pusaka. Dalam hal ini aspek legal yaitu UU No. 5 tahun 1992 dan revisinya belum

Page 33: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

secara optimal dapat mengakomodasi pemanfaatan kembali dan olah disain arsitektur

pusaka. Demikian pula undang-undang yang lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang

Bangunan Gedung. Di dalamnya berisikan pula peraturan untuk pelestarian bangunan

gedung, namun pedoman teknis pelaksanaan untuk pelestarian bangunan gedung itu

sendiri hingga kini belum diterbitkan. Undang Undang 26/2007 tentang Penataan

Ruang telah menyertakan Perencanaan Persiapan Resiko Bencana untuk Pusaka. DI

Yogyakarta sangat rentan terhadap bencana alam. Sudah saatnya perencanaan tata

ruang dan bangunan kota pusaka mengantisipasi pula persoalan resiko bencana untuk

pusaka.

.

IV. Pengembangan Yogyakarta sebagai Kota Pusaka

Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan lingkungan pusaka masih

merupakan hal yang relatif baru. Konsentrasi yang sudah dijalankan lebih pada

persoalan pusaka tunggal atau beberapa pusaka dengan perwujudan yang sama.

Di Indonesia, indikator kota pusaka apakah dikelola dengan benar, dapat dicermati dari

sistem pengelolaan dan aspek legal yang melindunginya. Sistem pengelolaan ini dapat

ditunjukkan dengan:

- Apakah daftar pusaka kota yang telah ditetapkan oleh kota itu sendiri telah

dimiliki?

- Adakah dinas khusus pemerintah kota yang menangani pusaka kota baik fisik

maupun non fisik?

- Adakah kebijakan untuk investasi pusaka, karena pada dasarnya banyak komponen

kota pusaka yang membutuhkan investasi bagi pengembangannya yang tepat?

Dengan adanya undang-undang otonomi daerah, sebenarnya pengelola kota memiliki

kewenangan untuk mengembangkan aset pusakanya secara mandiri. Hal ini juga

menjadi indikator yang kuat akan ada dan tidaknya kepedulian kota terhadap

pusakanya. Termasuk selera dan tingkat kreasi pengelola kota tercermin dengan

langkah-langkah pengelolaannya.

Beberapa penanganan pelestarian kawasan menunjukkan bahwa kepekaan dan

kreativitas terhadap pusaka tunggal tidaklah cukup. Perlu dikembangkan kerjasama

dalam menangani keragaman pusaka dalam kawasan secara komprehensif. Pendekatan

holistik dalam pelestarian kawasan ini sangat diperlukan, bahkan di dalam menghadapi

kegiatan pemulihan kawasan akibat bencana sekalipun.

Bencana yang merupakan ancaman dapat menjadi sebuah peluang. Namun peluang

tersebut memerlukan kreativitas. Dan, kreasi ini perlu kolaborasi. Contoh pemulihan

Kawasan Pusaka Kotagede pasca gempa 2006 yang sedang dilakukan dan hasilnya

masih belum dapat dilihat. Menangani bangunan tradisional saja di kawasan yang

memiliki keragaman pusaka tidak akan memberikan dampak yang berarti. Ekonomi

lokal yang tergantung pada pengembangan pusaka budaya non-tangible seperti

makanan, kerajinan perlu dihidupkan bersamaan dengan wadah fisiknya. Kenyataan

Page 34: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

menunjukkan kawasan pusaka di Daerah Istimewa Yogyakarta dan umumnya di

Indonesia masih belum menjadi bagian dari pembangunan daerah.

Menurut Adishakti, ada beberapa indikator yang mendukung kesimpulan ini. Pertama,

belum ada aspek legal yang tepat untuk melindunginya. Revisi Undang-undang No. 5

tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yaitu UU no. 12 tahun 2010 diharapkan mulai

mengakomodasi persoalan kawasan. Di sisi lain pengelolaan pelestarian kawasan

pusaka bukanlah bertujuan untuk mengawetkan/preservasi kawasan tersebut. Kawasan

pusaka perlu dapat terus tumbuh dan berkembang mengikuti zaman, namun tetap harus

memperhatikan proteksi dan kesinambungan pusaka-pusaka di dalam teritori kawasan.

Perlu kita cermati. Perda Propinsi DIY No. 11 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Kawasan Cagar Budaya. Tepatkah penggunaan terminologi Kawasan Cagar Budaya?

Kedua, tentang aspek kelembagaan yang perlu mengakomodasi berbagai persoalan

pelestarian pusaka maupun umum secara komprehensif dan sistematik dalam

mengelolanya. Suatu kawasan perlu pengelolaan dari banyak sektor. Sementara pusaka

di dalam kawasan yang kemudian membentuk kawasan pusaka juga terdiri banyak aset

mulai dari pusaka alam, pusaka budaya tangible dan intangible, serta pusaka saujana.

Sudahkah kelembagaan di DIY mencerminkan hal tersebut?

Ketiga, pengelolaan pelestarian kawasan pusaka mensyaratkan adanya regristasi dan

dokumentasi semua pusaka yang dimilikinya baik alam, budaya maupun saujana, adi

pusaka maupun pusaka rakyat. Registrasi ini harus terus diperbaharui dan menjadi

acuan dalam perencanaan pembangunan daerah maupun informasi terbuka kepada

publik luas dan masyarakat. Sudahkah registriasi yang selalu diperbaharui dilakukan?

Dimanakah di DIY lembaga yang secara terpadu melakukan hal ini?

Keempat, sudahkah ruang lingkup perencanaan kawasan menyertakan keseluruhan

pusaka kawasan yang dimiliki sebagai bagian yang tidak terpisahkan baik dalam

penataan ruang maupun bangunan, termasuk Perencanaan Persiapan Resiko Bencana

untuk Pusaka.? Kenyataan menunjukkan pula bahwa pelestarian pusaka tidak

terakomodasi dalam UU RI No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Gempa Jogja tahun 2006 dan pemulihan Kawasan Pusaka Kotagede justru telah

membangunkan banyak pihak akan terpinggirkannya persoalan pusaka dalam

pembangunan daerah.

Kelima, arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi

kawasan pusaka. Kembali di sini aspek legal untuk mengakomodasi pemanfaatan

kembali dan olah disain arsitektur pusaka dipertanyakan. UU No. 12 Tahun 2010

tentang Cagar Budaya sangat diharapkan dapat digunakan untuk melingkupi bangunan

pusaka yang dalam upaya pelestariannya perlu seleksi mana yang harus diawetkan

mana yang bisa dibongkar atau ditambah baru. Demikian pula undang-undang yang

lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalamnya berisikan pula

peraturan untuk pelestarian bangunan gedung, namun pedoman teknis pelaksanaan

untuk pelestarian bangunan gedung itu sendiri hingga kini belum diterbitkan.

Keenam, pelestarian pusaka pada dasarnya adalah pengelolaan perubahan. Kesuksesan

pengelolaan perubahan selain didasari peraturan juga ditentukan oleh sumber daya

manusia pengelolanya. Seberapa banyak eksekutif dan legislatif memiliki kompetensi

di bidang pelestarian pusaka yang holistik dan komprehensif?

Page 35: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan
Page 36: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

“MENDAMBAKAN KOTA LAYAK ANAK”

KOTA DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN RUANG BERMAIN ANAK

Oleh:

DR. Seto Mulyadi

Ketua Komisi Perlindungan Anak

Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa, di dalamnya terdapat anak-

anak yang menyimpan banyak potensi. Mereka adalah calon-calon pemimpin masa depan

yang diharapkan bisa membawa bangsa Indonesia menuju pada kemajuan. Karena di

antara jutaan anak-anak Indonesia, ada calon-calon pemimpin yang akan mengelola

negeri ini. Namun sampai saat ini penghargaan dan pemenuhan kebutuhan untuk anak-

anak di Indonesia sendiri masih harus terus ditingkatkan.

Pemerintah kini telah menjamin hak-hak dan kewajiban anak-anak Indonesia melalui

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-

undang itu, terdapat pasal yang berbunyi, setiap anak berhak untuk beristirahat dan

memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan

berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan

diri. Selain itu, di pasal lainnya disebutkan bahwa anak-anak Indonesia berhak

memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.

Page 37: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Pemerintah terus berusaha untuk mengakomodir kebutuhan anak-anak Indonesia

sesuai yang diamanatkan Undang-undang Perlindungan Anak Indonesia itu. Untuk

mewujudkan tuntutan pasal yang telah disebutkan tersebut, maka perlu diciptakan sarana

dan kawasan yang memang diciptakan untuk kawasan bermain anak. Perlu diakui

hampir di setiap kota di Indonesia masih sangat minim sekali ketersediaan ruang publik,

khususnya taman bermain. Yang dimaksud dengan taman bermain anak adalah, anak

masih sangat kekurangan ruang bermain anak. Taman-taman bermain dengan udara yang

lepas kini harus berbagi tempat dengan mall dan real estat. Lebih kepada kepentingan

komersial dengan akses terbatas, hanya untuk kalangan ekonomi menengah ke atas

Fenomena seperti ini mengundang keprihatinan Ketua Komisi Nasional Anak, Seto

Mulyadi yang lebih dikenal dengan nama Kak Seto. Menurut Kak Seto, kawasan bermain

yang sudah ada dan berkembang saat ini, seperti di mall dan taman- taman bermain,

bukanlah sebuah konsep yang ideal bagi sebuah kawasan ruang bermain anak. Kawasan

itu, selain komersial, menurut Kak Seto juga sangat diskriminatif, karena hanya

kalangan yang berekonomi kecukupan yang bisa mengakses kawasan bermain anak

semacam itu. ” Cenderung lebih mengutamakan unsur bisnis dan kurang sekali menjawab

kebutuhan pemenuhan hak anak untuk bermain,” tekannya.

Kepentingan bisnis itu, dalam pandangan Kak Seto tampak pada rancang bangun Mall

yang hanya memenuhi kebutuhan untuk belanja. Padahal semua anak membutuhkan

udara udara segar dan tempat lapang, sehingga anak-anak bisa berlari-lari dan berkejar-

kejaran. ”Itu sangat bagus bagi pertumbuhan fisiknya dan baik pula untuk perkembangan

jiwanya. Bebas lepas dan lebih kreatif!” tegas Kak Seto.

Dalam pandangan pemerhati dan pencinta anak ini, konsep taman bermain anak yang

bergabung dengan kawasan pertokoan seperti di atas belum bisa dikatakan sebagai taman

bermain yang ideal. Tempat bermain itu, menurut pandangan ideal Kak Seto, sebaiknya

berupa tempat lapang dengan udara segar, yang bersifat alamiah. Jika terpaksa berada di

dalam ruangan, maka harus diusahakan ada keseimbangan dengan kegiatan di luar

ruangan. ”Anak Indonesia termasuk kurang beraktivitas di luar ruangan,” ungkap Kak

Seto.

Tempat bermain di alam, dengan ayunan atau panjatan dari kayu akan memberi

kegembiraan dan tantangan kepada anak-anak. Fasilitas-fasilitas seperti itu bisa

merangsang kecerdasan anak, tidak hanya kecerdasan kognitif dan kecerdasan sosial,

tetapi juga kecerdasan fisik/ keterampilan kinestetik. Hal-hal ini, menurut Kak Seto

sangat penting. Dia menyebut contoh, Taman Ria Pak Ooq di Lapangan golf Senayan

yang pernah ada pada tahun 1970-an.

Tugas Pemerintah Kota

Pemerintah Kota (Pemkot), menurut Kak Seto berkepentingan untuk mewujudkan

kawasan atau tempat bermain anak. Kepentingan ini dilandasi oleh keinginan untuk

mewujudkan generasi unggul. Oleh karena itu Pemkot harus memenuhi kebutuhan untuk

bermain anak-anak.

Page 38: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Kak Seto menguraikan, pada saat anak –anak bermain adalah proses belajar, kemudian

pada proses belajar ada proses mengasah potensi-potensi kecerdasan. Itulah pentingnya

menyediakan fasilitas bermain untuk anak-anak.

Di sisi lain, menyediakan fasilitas bermain anak juga merupakan amanat Undang –

undang Perlindungan Anak. Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, juga

mencanangkan program Kota Layak Anak. Program ini, demikian Kak Seto,

mensyaratkan adanya ruang-ruang publik yang bisa dipakai untuk anak-anak bermain

layang-layang seperti dulu. ”Sekarang, anak-anak terpaksa bermain layang-layang di atas

genteng atau di pinggir rel kereta api,” tegasnya.

Konkritnya, harap Kak Seto, suatu wilayah harus menyediakan minimal 5 persen dari

wilayahnya untuk ruang publik anak-anak. ”Sekarang ini satu persen juga tidak ada,”

tuturnya. Menurut pengamatan Kak Seto, di Indonesia belum ada kawasan bermain anak

yang ideal. Kenyataan ini, harap Kak Seto, bisa memacu semangat para pimpinan daerah

untuk tidak mendeskriminasi anak – anak, sehingga mengabaikan kepentingan tempat

bermain anak. Untuk itu Pemda/Pemkot harus menyediakan anggaran untuk anak dan

memberikan political will. Sebab, bangsa yang besar tidak hanya bisa menghargai jasa

para pahlawan, tapi juga bisa menghargai anak-anaknya. ”Masa lalu adalah penting, tapi

yang lebih penting lagi adalah masa depan. Yakni, dengan memberikan perhatian yang

serius pada anak-anaknya,” demikian Kak Seto.

Page 39: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Mengatasi Backlog Perumahan Bagi Masyarakat Perkotaan

Oleh:

Muh. Dimyati *)

Peminat Masalah Tata Ruang dan Perkotaan, bekerja di Kemenpera

1. Pendahuluan

Melihat judul tulisan ini, maka ada tiga kata kunci yang akan dibahas. Kata kunci

pertama adalah Backlog. Memasuki tahun 2008, penduduk Indonesia telah berjumlah

sekitar 225 juta jiwa. Dimana dari angka tersebut tercatat 57 juta sebagai kepala keluarga.

Apabila satu keluarga memiliki rumah sendiri, maka diperlukan 57 juta unit rumah,

namun kenyataannya hanya tercatat 51 juta unit rumah, sehingga masih terdapat

kekurangan (backlog) 6 juta unit rumah.

Sementara itu, pertumbuhan penduduk Indonesia tercatat rata-rata 1,7% setiap tahun,

maka dapat dikatakan setiap tahun terdapat kelahiran bayi hingga 3,8 juta jiwa. Jika

setiap rumah diasumsikan dihuni oleh satu keluarga yang terdiri dari 4 orang (Ibu, Bapak,

dan dua anak), maka diperlukan sebanyak 950.000 unit rumah baru. Artinya setiap tahun

(paling tidak tahun 2008) diperlukan sejumlah 950.000 unit rumah baru. Kalau angka

tersebut ditambah dengan backlog di atas, berarti pada tahun 2008 terdapat kekurangan

6,95 juta unit rumah.

Saat ini rata-rata pembangunan rumah hanya sekitar 350.000 unit per tahun. Karena

itulah maka setiap tahunnya mengalami kekurangan 600.000 unit rumah. (P.

Simanungkalit, 2008). Ternyata perhitungan itu sejalan dengan angka backlog dari

Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) yang mengacu asumsi ‘menghuni rumah’,

yaitu sebesar 7,4 juta unit untuk tahun 2009. Untuk memenuhi kekurangan rumah itu

diperlukan waktu sangat lama apabila tidak dilakukan upaya-upaya sistematis.

Melalui berbagai pertimbangan, maka dalam waktu lima tahun kedepan Kemenpera

merencanakan untuk menangani sekitar 25% backlog di atas, yaitu sekitar 1.842.994

unit. Apabila diasumsikan (asumsi rendah) rata-rata tambahan rumah tangga baru dalam

lima tahun ke depan sekitar 710.000 per tahun, maka yang akan ditangani dalam lima

tahun ke depan (2010-2014) sekitar 5.392.994 unit. Melihat pengalaman lima tahun lalu,

dimana potensi swadaya lebih tinggi dari yang difasilitasi pemerintah, maka asumsi

program Kemenpera untuk melakukan fasilitasi melalui Pemerintah sebesar 2.070.000

unit dan yang dikelola oleh swadaya masyarakat sekitar 3.322.994 unit, cukup beralasan

(Bahan Sosialisasi Dekonsentrasi Kemenpera, 2010).

Kemudian kata kunci kedua adalah Perumahan. Perumahan merupakan kelompok rumah

yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang

dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (UU No. 4 Tahun 1992). Dari

pengertian tersebut jelas sarana dan prasarana lingkungan hanyalah pelengkap kelompok

Page 40: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

rumah. Namun pendapat lain mengatakan sarana dan prasarana lingkungan bukanlah

pelengkap, tetapi bagian satu bagian kelompok rumah agar dapat disebut perumahan.

Sehingga pengertian perumahan menjadi kelompok rumah dengan sarana dan prasarana

lingkungan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian.

Menurut penulis, pengertian kedua mempunyai makna adanya kewajiban membangun

sarana dan prasarana lingkungan sebelum dibangun kelompok rumah. Sedangkan

pengertian pertama tidaklah demikian. Tulisan ini masih mengacu pengertian yang

disebutkan dalam Undang-Undang No 4 tahun 1992 tersebut, karena dokumen itu masih

dipergunakan dalam sistem penyelenggaraan perumahan, kecuali hasil revisi yang sedang

dalam proses di DPR nantinya diputuskan lain.

Jadi pengertian backlog perumahan lebih dimaknakan kekurangan rumah, tidak wajib ada

prasarana dan sarana lingkungan tetapi dilengkapi prasarana dan sarana lingkungan.

Terminologi ‘yang dilengkapi’ dan ‘dengan atau menjadi bagian’ akan mempunyai

konsekuensi turunan yang sangat berbeda dalam pelaksanaannya, tidak hanya terkait cost

tetapi banyak masalah lainnya. Sehingga apabila saat ini banyak keluh kesah melalui

berbgai media tentang tidak optimalnya prasarana dan sarana lingkungan di permukiman

dan kurang mendapat respons, sangat bisa dimaklumi. Pasalnya hulu dari amanat perintah

di dalam undang-undangnya demikian adanya. Tentu penulis yakin sejatinya bukan hal

tersebut alasannya, tetapi karena memang adanya prioritas penanganan oleh pemerintah

karena terbatasnya penganggaran, atau pemeliharaan prasarana dan sarana lingkungan

yang dimaksud bukan menjadi tanggungjawab pemerintah.

Kata kunci ketiga adalah Masyarakat Perkotaan. Masyarakat perkotaan atau urban

community diartikan sebagai masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan. Mereka

adalah yang sifat dan ciri kehidupannya lebih individualistis, pembagian kerja antar

warganya lebih tegas dan nyata, interaksi antar warganya lebih berdasarkan faktor pribadi

atau kepentingan, dan interaksi sosial antar warganya kurang. Kawasan perkotaan adalah

wilayah yang mempunyai kegiatan

utama bukan pertanian dengan susunan

fungsi kawasan sebagai tempat

permukiman perkotaan, pemusatan dan

distribusi pelayanan jasa pemerintahan,

pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi

(Undang-Undang 26/2007). Badan Pusat

Statistik memberi makna suatu wilayah

disebut kawasan perkotaan apabila

kepadatan penduduknya 500 orang/km2

atau lebih, kurang dari 25%

penduduknya hidup dari pertanian, dan

sekurang-kurangnya mempunyai delapan

fasilitas pelayanan umum, seperti: pasar,

sekolah, pusat kesehatan, dan

perkantoran.

Gambar 1.

Sebaran Penduduk Indonesia

(Sumber: Modifikasi Purnawan, 2010)

Page 41: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

2. Kondisi Penyediaan Perumahan Saat ini di Perkotaan

Sebagai mukiman pasar (Max Weber, 1958) atau sebagai penyebar norma konsumsi

global (Potter, 1990), atau sebagai pusat pengembangan dan penyebaran budaya, kota

merupakan tempat yang berpenduduk sepuluh ribu orang atau lebih (Dwight Sanderson).

Merujuk pada faktor kepadatan dan

jumlah penduduk, perkembangan

persentase penduduk dunia dari tahun

1950, tahun 2000 sampai 2030

menunjukkan kecenderungan yang

sangat luar biasa, yaitu bahwa persentase

penduduk kota berkembang dari 29,7%

(Tahun 1950) menjadi 47,4% (Tahun

2000) dan menjadi 61,1% (perkiraan

Tahun 2030).

Sebaran penduduk Indonesia di

perkotaan pun mengikuti pola yang tak

jauh berbeda dengan sebaran penduduk

dunia, sebagaimana terlihat pada

Gambar 1 (Purnawan, 2010).

Mencermati hal tersebut, penulis

berpendapat tidak ada pilihan lain selain

untuk mengharuskan pemerintah lebih

concern dalam mengurus masyarakat perkotaan, tanpa harus meninggalkan masyarakat

perdesaan, karena masalahnya saling berkaitan erat.

Salah satu urusan yang amat penting harus diprioritaskan oleh pemerintah adalah

mengurus perumahan di perkotaan, tanpa meninggalkan urusan perumahan di perdesaan

(Gambar 2). Trend kebutuhan perumahan perkotaan terlihat lebih besar dibandingkan

kebutuhan perumahan perdesaan mulai tahun 2010. Selain itu jumlah rumah tidak layak

huni tercatat 12,88 juta rumah tangga (2007) dan luas kawasan permukiman kumuh

(Gambar 3) meningkat mencapai sekitar 57.800 ha (2009).

Dalam lima tahun ke depan, Kemenpera menargetkan sasaran pembangunan rusunawa

36.480 unit (380 twin blok), pembangunan rumah khusus 5.000 unit, fasilitasi

pembangunan rumah swadaya pembangunan baru 50.000 unit dan peningkatan kualitas

50.000 unit, penataan lingkungan permukiman kumuh 655 Ha, fasilitasi PSU kawasan

untuk mendukung 700.000 unit rumah, dan penyaluran bantuan subsidi perumahan

1.350.000 unit. (Renstra Kemenpera Tahun 2010-2014).

Seperti dapat diduga bahwa pencapaian sasaran tersebut tidak semulus dalam rencana,

tetapi sangat tergantung dinamika perekonomian nasional serta kesiapan pemerintah dan

pelaku lainnya. Sebagai contoh rencana penanganan 380 twin blok rumah susun yang

mendapat pengesahan untuk mendapatkan alokasi anggaran dalam Rencana Kerja

Pemerintah tahun 2011 sebanyak 100 twin blok. Rencana pembangunan swadaya yang

Gambar 2.

Tren Kebutuhan Rumah di Indonesia

(Sumber: Modifikasi Purnawan, 2010)

Page 42: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

100.000 unit mendapat alokasi 25.000 unit, dan fasilitasi PSU kawasan yang 700.000 unit

mendapat alokasi 117.010 unit (Perpres 29/2010). Realisasi atas rencana kerja

pemerintah tersebut masih harus diuji sampai akhir tahun 2011. Angka-angka tersebut

memberikan gambaran bahwa guna mewujudkan rencana yang sudah ditetapkan dalam

Renstra memerlukan kesungguhan, kejujuran, kerja cerdas dan istiqomah seluruh

pemangku kepentingan, utamanya pemerintah dalam memperjuangkan keberlanjutan dan

kesinambungan program pada tahun-tahun mendatang.

Pencapaian lima tahun lalu (2004-2009) dapat menjadi lesson learned yang baik dalam

upaya peningkatan penimbunan backlog perumahan dan pengentasan lingkungan

permukiman kumuh. Melalui pasang surut yang ada, lima tahun lalu (Realisasi per 30

September 2009) Kementerian Perumahan Rakyat telah mampu mencapai sasaran

1.145.113 unit (90,5%) rumah baru layak huni atas target sasaran yang 1.265.000 unit,

rusunawa 31.510 unit (52,5%) atas target sasaran 60.000 unit, dan perumahan swadaya

3.139.523 unit (87,2%) atas target sasaran 3.600.000 unit, serta penataan kawasan seluas

7.369 Ha (68,8%) atas target sasaran 10.700 Ha (Memori Akhir Jabatan Menpera 2004-

2009).

Memang lingkungan strategis lima tahun lalu akan sangat berbeda dengan lima tahun ke

depan, tetapi keprihatinan para pemangku kepentingan yang menjadi hambatan dan

kendala serta semangatnya yang menjadi pendorong dan motivator pencapaian sasaran

perlu dipelajari untuk menyusun strategi yang lebih baik. Knowledge tersebut perlu

dikelola dan didokumentasikan dengan cermat, agar dapat dijadikan rujukan tertulis,

bukan sekedar menjadi personal knowledge yang disimpan dalam ingatan dan kenangan

pelakunya sendiri sehingga bermanfaat besar bagi upaya menimbun backlog yang

semakin besar tersebut.

3. Bagaimana Peran Pemangku Kepentingan

Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 menyatakan bahwa perumahan merupakan

urusan wajib pemerintahan daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal tersebut berarti

bahwa pemerintah daerah Kabupaten/Kota menjadi ujung tombak dalam melaksanakan

kewajiban menjamin perwujudan akan rumah bagi masyarakat, khususnya masyarakat

menengah ke bawah. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa kemampuan

pemerintah Kabupaten/Kota masih banyak yang terbatas.

Hal tersebut tampak antara lain dalam potret kemampuan fiskal daerah yang rata-rata

masih tergolong sedang, yaitu dari 25% (Tahun 2007) menjadi 23,2% (Tahun 2008) dan

yang tergolong rendah, yaitu dari 46,9% (tahun 2007) menjadi 47,6% (Tahun 2008) dari

seluruh jumlah Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Untuk itu dalam menjalankan

amanat UUD 1945 pasal 28H ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan”, seluruh pemangku kepentingan baik Pemerintah

(Pusat dan Daerah), Para Pengembang/Swasta dan Masyarakat maupun Badan Nirlaba

perlu bersatu padu dalam karsa dan karya.

Page 43: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Dalam bersinergi, ketiga pilar utama pembangunan perumahan tersebut dapat berupaya

mewujudkan keberpihakannya kepada masyarakat menengah ke bawah melalui

penerapan konsep kerjasama

kemitraan (Gambar 4).

Dari gambaran tersebut jelas bahwa

dalam membangun perumahan untuk

masyarakat yang dilakukan bukan

secara swadaya, Pemerintah Daerah

bertugas memastikan ketersediaan

lahan, Pemerintah Pusat

memfasilitasi terwujudnya prasarana

dan sarana yang terkoneksi dengan

sistem perkotaan, dan Pengembang

bertugas membangun rumah beserta

parasarana dan sarana lingkungannya.

Sementara Perbankan menjadi

institusi yang mem- back up

manajemen penyaluran dananya.

Hasil kerjasama ketiga pilar tersebut akan membentuk suatu aset daerah dan aset

penduduk yang akan berkontribusi melalui perpajakan. Pajak tersebutlah yang akan

menjadi sumber dana pembangunan yang diandalkan. Circle tersebut akan mendorong

terwujudnya cadangan lahan (land banking) yang mencukupi dan dapat dikelola oleh

pemerintah daerah. Lahan tersebut pada saatnya akan dapat dimanfaatkan untuk

pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah.

4. Apakah Rumah Susun Mampu Menjawab Persoalan Yang Ada

Telah diketahui bersama bahwa perkotaan semakin padat, sementara ketersediaan lahan

untuk perumahan semakin terbatas. Dengan demikian perumahan di perkotaan akan

sangat sulit dibangun, kecuali dengan pembangunan secara vertikal. Seperti dijelaskan

dalam pencapaian lima tahun lalu, pembangunan rumah susun sederhana (rusunawa dan

rusunami dengan peran swasta) dicapai 40,1% atau 34.143 unit atas target sasaran 85.000

unit (Realisasi akhir September 2009).

Membangun rumah susun di Indonesia, utamanya bagi masyarakat menengah ke bawah

memang menghadapi multi kendala. Tidak hanya kendala teknis pembangunan yang

relatif lebih dapat dikalkulasi secara matematis, tetapi juga kendala sosial, ekonomi, dan

budaya calon penghuninya yang terkadang tidak mudah dikalkulasi dan memerlukan

waktu yang tidak sebentar untuk mensosialisasikannya. Menghuni rumah susun, terutama

bagi masyarakat menengah ke bawah, memerlukan perjuangan ”melawan kultur” yang

perlu waktu untuk menyesuaikannya.

Gambar 4.

Skema Pemikiran Public Private Partnership

Bidang Pengembangan Perumahan Berbasis

Kawasan

Page 44: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Untuk itu, pembangunan rumah susun selain memang harus matang dalam perencanaan

bangunannya, harus pula disiapkan secara baik aspek kepenghuniannya. Beberapa kasus

tidak dihuninya rumah susun sederhana secara optimal menjadi pembelajaran tersendiri

bagi pemerintah dan kita semua. Memang beberapa ungkapan tersebut bukan alasan

untuk menghindar dari tanggungjawab, tetapi lebih kepada awarness yang perlu disikapi

dalam membangun rumah susun bagi masyarakat menengah ke bawah. Sebagai bangsa

yang besar, kita harus yakin bahwa untuk jangka panjang, hunian vertikal dapat menjadi

solusi pilihan yang mendapat dukungan publik secara luas.

Dari uraian singkat tersebut jelas bahwa hunian vertikal bukan satu-satunya alternatif

yang dapat menjawab masalah perumahan di perkotaan. Selain hunian vertikal, upaya

menghadirkan angkutan massal yang menghubungkan kawasan padat penduduk di

pinggiran kota, yang kebanyakan masih landed house, ke tempat mereka bekerja, untuk

sementara waktu menjadi alternatif yang masih elok untuk dipertimbangkan.

5. Bagaimana Strategi Agar Perumahan Yang Dibangun Dapat Tepat Sasaran

Kalau tepat sasaran diberi makna rumah yang dibangun dihuni oleh yang berhak dan

mampu menghuni, maka perlu didata sebenarnya seberapa besar segmen pasar riil

kebutuhan rumah, baik yang menengah ke bawah maupun yang menengah ke atas.

Namun mencari data seperti itu tidaklah mudah, karena sistem pendataan oleh BPS

belum benar-benar match dengan yang diperlukan oleh Kemenpera.

Mencari data berapa orang yang berhak dan berapa orang yang mampu menghuni

(memiliki) sementara ini masih dilakukan dengan berbagai pendekatan atau bahkan

estimasi. Itu pun validitasnya masih perlu diuji. Misalnya jumlah warga masyarakat yang

berhak menghuni rumah masih didekati dengan menghitung pertumbuhan penduduk dan

rata-rata hunian setiap rumahnya. Dari pendekatan yang dilakukan atau diestimasi

tersebut misalnya ketemu angka misalnya 7,4 juta kepala keluarga yang kemudian

dimaknakan sebagai 7,4 juta rumah (Estimasi untuk Tahun 2009). Jumlah yang mampu

memiliki didekati dengan berbagai pendekatan atau estimasi daya beli, misalnya melalui

variabel gaji pegawai, dan tentu ketemu angka yang lebih kecil jumlahnya.

Tanpa mengetahui data tersebut rasanya tidak mudah untuk membangun rumah yang

tepat sasaran, baik tepat dalam jumlah maupun tepat penghuninya. Belum lagi adanya

sikap dan kebiasaan sebagian warga masyarakat yang senang ”menyiasati” peraturan,

bukan mentaati peraturan. Misalnya persyaratan untuk mendapatkan bantuan perumahan

harus mempunyai bukti penghasilan kurang dari 2,5 juta rupiah per bulan.

Persyaratan tersebut bukannya ditaati tetapi justru dicari siasat bagaimana agar bisa

mendapatkan dukungan ”aspal” tetapi legal untuk memenuhi syarat tersebut sehingga

bisa memiliki rumah dengan cara subsidi, walau sebenarnya mereka itu tergolong warga

masyarakat yang tidak patut untuk disubsidi. Ini sudah masalah moral kebangsaan.

Banyak lagi contoh penyiasatan dalam berbagai bentuk. Praktek-praktek tersebut semakin

menjadikan perencanaan pembangunan rumah agar tepat sasaran semakin jauh dari

harapan.

Page 45: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Untuk itu pengawasan secara tegas dan penerapan sanksi yang adil, seperti misalnya

pembuktian terbalik bagi penghuni rumah bersubsidi atau pencabutan hak bagi yang

ternyata di kemudian hari terbukti menyiasati persyaratan yang ditentukan. Apabila

penegakan hukum dilakukan dengan tegas, jujur dan adil di bidang perumahan akan

dimungkinkan moral hazard seperti tersebut di atas akan berkurang dan bahkan

menghilang. Upaya terapi kejut (shock terapi) seperti itu perlu dilakukan, disamping juga

pembenahan berbagai peraturan yang masih lemah dan multi tafsir.

Di dalam keterbatasan yang ada, tentu perlu dirumuskan strategi pembangunan

perumahan yang jitu, termasuk mempertimbangkan ketepatan sasaran penghunian.

Strategi dimaksud antara lain dapat berupa: penyusunan kebijakan (NSPK) yang

mendorong kondusifitas pembangunan perumahan bagi seluruh pemangku kepentingan,

meningkatkan koordinasi dan kerjasama kemitraan dengan seluruh pemangku

kepentingan, mendorong perwujudan kelembagaan tingkat daerah dalam menangani

perumahan, memanfaatkan sumberdaya perumahan dan iptek serta kearifan lokal bidang

perumahan, serta terus mengupayakan perbaikan dan dukungan sistem pembiayaan

perumahan, dan juga pendataan dan penegakan hukum di bidang perumahan. Strategi

saja belum cukup, tentu harus diikuti berbagai program aksi untuk mewujudkannya.

Dalam beberapa hal Kemenpera terlihat terus berbenah. Beberapa kebijakan yang

menonjol akhir-akhir ini adalah peluncuran Skim Fasilitas Likuiditas Pembiayaan

Perumahan (FLPP) yang prinsipnya memberi dorongan keringanan dalam kepemilikan

rumah dengan kepastian bunga rendah dengan masa tenor yang lebih panjang. Selain itu

peluncuran program Dana Alokasi Khusus dalam bidang perumahan yang akan dimulai

pada tahun 2011 serta pelaksanaan program Dekonsentrasi yang dimulai tahun 2010 juga

ikut mewarnai upaya reformasi program perumahan ke depan.

6. Penutup

Mengatasi kekurangan perumahan bagi masyarakat perkotaan bukanlah kerja sesaat,

melainkan satu pekerjaan besar yang harus sistematis dan berkelanjutan oleh seluruh

pemangku kepentingan. Langkah-langkah untuk mendorong terwujudnya berbagai

milestone yang memberikan multiplier effect terhadap penambahan terbangunnya unit

rumah perlu terus digali dan dilaksanakan secara sinergis. Karena hanya dengan cara

tersebut, kerja keras dan kerja cerdas yang selama ini dilakukan akan membawa hasil.

Page 46: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

STRATEGI PENGEMBANGAN DAN MANAJEMEN KAWASAN CEPAT

TUMBUH

Oleh:

Bambang Tata Samiadji*

Konsultan Keuangan Publik. Sekarang bekerja di Kementerian Keuangan untuk

kegiatan Local Government Finance and Governance Reform – ADB/Kemenkeu

Sudah menjadi fenomena umum bahwa pertumbuhan kawasan tidak ada yang sama atau

merata. Pertumbuhan kawasan selalu menunjukkan adanya corak di mana lokasi-lokasi

tertentu tumbuh cepat, tumbuh secara pelan, tumbuh sangat lambat atau stagnan, dan

malah ada yang cenderung merosot atau “deterioration”. Walaupun corak pertumbuhan

kawasan-kawasan itu berbeda-beda, namun saling berkaitan dan bermitra secara

keruangan (spatial interaction).

Untuk ini patut diduga bahwa masing-masing kawasan saling menarik (pull) dan

mendorong (push) satu sama lain. Pada gilirannya, kawasan yang memiliki keunggulan

akan menjadi kawasan yang lebih cepat tumbuh dibanding kawasan-kawasan mitranya.

Di sinilah perlunya strategi untuk tetap menjaga posisioning pertumbuhan kawasan-

kawasan yang cepat tumbuh agar tetap tumbuh dalam hubungan ruang yang

komplementer dengan kawasan-kawasan lainnya.

Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) selalu berbasis ekonomi dan kota merupakan simpul

basis ekonomi atau kutub (bagian penting) bagi KCT. Sejauh ini belum ada KCT tanpa

atribut kota di dalamnya. Dengan demikian kota menjadi tumpuan bagi berlangsungnya

KCT. Namun demikian tidak semua kota menjadi simpul pertumbuhan kawasan, dan

kiranya hanya beberapa simpul atau kota-kota tertentu yang mampu me-“leverage”

pertumbuhan KCT.

Pada umumnya kota demikian itu mempunyai 2 keunggulan, yaitu “Comparative

Advantages” atau keunggulan alamiah - utamanya keunggulan lokasi (yang strategis);

dan “Competitive Advantages” atau keunggulan buatan yang diciptakan. Terbukti sejauh

ini bahwa Kawasan Metropolitan sebagai KCT mempunyai keunggulan lokasi dan

keunggulan kelengkapan prasarana yang mendorong semakin cepatnya tumbuh suatu

kawasan.

Potensi Kawasan Cepat Tumbuh (KCT)

Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) mudah dikenali dengan indikator pertumbuhan ekonomi

yang relatif lebih tinggi bahkan di atas pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional. Kalau

pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional sekitar 5-7% pertahun, maka KCT diperkirakan

bisa tumbuh lebih dari 7% pertahun, atau bisa sekitar 9% pertahun bersama dengan

pertumbuhan ekonomi kota-kotanya bisa sampai 11% pertahun1 . Kawasan-kawasan ini

umumnya membentuk struktur Metropolitan yang kita kenal selama ini seperti :

Metropolitan Jakarta, Metropolitan Bandung, Metropolitan Surabaya, Metropolitan

Medan, dan Metropolitan Makasar serta beberapa metropolitan lainnya. Umumnya KCT-

KCT tersebut berada di Jawa yang memang sudah sejak lama sudah tumbuh cepat.

Namun belakangan juga telah muncul KCT-KCT baru di Luar Jawa seperti KCT Batam,

1 Hasil penelitian yang dilakukan Penulis dalam Paper yang berjudul “ Pertumbuhan Ekonomi Kota-kota

Sebelum dan Pasca Krisis”, URDI, 2002.

Page 47: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

KCT Samarinda-Balikpapan, dan KCT Banjarmasin. Ada kemungkinan kawasan-

kawasan lain di Luar Jawa pada masa mendatang menjadi KCT-KCT baru yang

kompetitif. Perkembangan ini akan tergantung pada pengungkitan (Leveraging)

“Comparative Advantages” dan “Competitive Advantages” dari kota-kota bersangkutan.

Sebagai basis dan simpul kegiatan ekonomi, KCT dengan kota-kota utamanya

mempunyai peran penting bagi perekonomian negara antara lain 2. Antara lain sekitar 14

KCT metropolitan, atau hanya sekitar 3% dari seluruh kota-kota di Indonesia telah

mampu menyumbang sekitar 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Selain

itu, KCT Metropolitan juga mempunyai peranan penting sebagai sumber penerimaan

fiskal nasional (APBN). Seperti diketahui bahwa 80% dari APBN berasal dari pajak dan

sekitar 70% berasal pajak badan, pajak pribadi, PPN, pajak final yang kesemuanya

bersumber di perkotaan. Diperkirakan 50% dari APBN disumbang oleh ke-14 KCT-KCT

Metropolitan.

Berdasarkan kenyataan di atas, KCT merupakan kunci atau andalan keekonomian

nasional dan oleh karenanya KCT-KCT harus terus ditumbuhkan demi pertumbuhan

ekonomi nasional. Ekonomi nasional yang kuat akan menjamin kestabilan politik dan

memberi kesempatan bagi tumbuhnya sektor lain yang pada gilirannya pula mampu

mengangkat kesejahteraan sosial bersama. Hal ini sesuai dengan visi Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) demi tercapainya pertumbuhan

ekonomi yang berkualitas dan bersinambungan sehingga pendapatan perkapita nasional

setara dengan Negara-negara maju lainnya (Lampiran UU No 17 tahun 2007 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang).

Namun tak dapat disangkal bahwa kemumpunian pertumbuhan KCT yang mampu

mengangkat perekonomian nasional itu tak bebas dari rundung permasalahan.

Diantaranya tingginya pertumbuhan penduduk terutama akibat migrasi (urbanisasi)

seiring dengan pertumbuhan ekonomi kota. Bertambahnya penduduk sebenarnya mampu

mendorong percepatan pertumbuhan lebih melesat bila kualitas sumber daya manusia itu

mumpuni, tetapi sebaliknya akan memburuk dan menuju kritis bila sebagian besar

kualitas penduduk non-trampil dan parasitis. Bertumbuhnya jumlah penduduk yang non-

trampil dan parasitis ini memungkinkan potensi kota sebagai basis pertumbuhan ekonomi

akan tergerus dan muncul persoalan-persoalan seperti kemiskinan kota, kesemrawutan

mobilitas penduduk, rendahnya pelayanan kepada masyarakat, dan kerusakan lingkungan

sebagai akibat daya dukung dan daya tampung lingkungan yang tak ditingkatkan.

Persoalan lain akibat semakin bertumbuhnya KCT adalah ketimpangan antar daerah di

mana di satu pihak KCT semakin melaju, tetapi kawasan-kawasan lain semakin

tertinggal. Ketimpangan yang semakin melebar akan menciptakan mobilitas penduduk ke

KCT-KCT. Akibat lebih jauh pertumbuhan KCT menjadi sosok kawasan obesitas dan

invaliditas yang pada gilirannya bisa menganggu pertumbuhan ekonomi nasonal itu

sendiri.

Persoalan baru yang secara tak langsung sebagai akibat dari butir 1 dan 2 tersebut bahwa

KCT seringkali mendorong semakin membesarnya emisi karbon di kota-kota KCT yang

ada. Dampaknya akan menganggu lingkungan melalui perubahan cuaca yang ekstrem di

KCT sendiri maupun kawasan-kawasan lainnya.

2 Baca “Ekonomi Perkotaan” dari Bunga Rampai METROPOLITAN DI INDONESIA : KENYATAAN DAN

TANTANGAN DALAM PENATAAN RUANG, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, 2006

Page 48: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Berdasarkan kajian potensi KCT tersebut telah memberi sinyal bahwa KCT bagaikan

pisau bermata dua, yaitu selain sisi berjasa sebagai pendorong ekonomi nasional maupun

sumbangan yang besar terhadap kemampuan fiskal Negara dan daerah, tetapi sekaligus

juga sisi yang semakin meningkatnya pesoalan-persoalan kritis yang bisa meluas.

Strategi Pengembangan

Sesuai dengan tujuan nasional jangka panjang untuk menjaga pertumbuhan ekonomi

yang berkualitas dan bersinambung, maka strategi pengembangan bisa ditawarkan

sebagai berikut :

1. Pengembangan KCT di seluruh Indonesia dilakukan sebagai bagian dari Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sehingga KCT menjadi bagian dari pembentukan

struktur wilayah nasional yang harmonis dan pemanfaatan ruang yang optimal sesuai

dengan potensi KCT. Boleh jadi KCT menjadi bagian dari pengembangan Kawasan

Strategis di samping kawasan-kawasan strategis lain yang ada.

2. Menjaga dan semakin memantapkan laju pertumbuhan pada masing-masing KCT

maupun kerja sama antar KCT membentuk jaringan KCT bersinerji mutualistis dalam

rangka “forward looking” pengembangan produk-produk ekonomi unggulan.

3. Mendorong pengembangan ekonomi KCT dengan memanfaatkan basis kawasan-

kawasan buritan (hinterland) sebagai basis rantai pasokan (supply chain). Dengan

demikian pengembangan KCT tidak berjalan sendiri maju ke depan, tetapi juga mampu

menarik kawasan-kawasan buritan untuk ikut maju. Dan dengan demikian percepatan

tumbuhnya KCT tidak meninggalkan posisi kawasan mitra di buritan, tetapi sebaliknya

mampu memacu tumbuhnya KCT-KCT baru dan perluasan jaringan KCT pada masa

lebih lanjut.

4. Mengawal pertumbuhan KCT dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan

menahan sebesar mungkin kegiatan-kegiatan pelepasan karbon hasil residu kegiatan

ekonomi KCT. Hal ini untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan produktivitas

dengan pelestarian lingkungan KCT, khususnya di lingkungan perkotaannya.

Melalui keempat strategi tersebut, maka implikasi kemungkinan perkembangannya

antara lain sebagai berikut :

1. Pertumbuhan KCT akan tetap berlangsung dengan kinerja yang lebih produktif

sehingga pertumbuhan itu mampu mendorong pertumbuhan lainnya serta mampu

menyerap kelebihan tenaga kerja dan mengurangi jumlah kemiskinan, khususnya

kemiskinan di perkotaan yang terus bertambah. Implikasi lain yang tak kalah pentingnya

bahwa pendorongan pertumbuhan KCT langsung akan mengangkat laju pertumbuhan

ekonomi nasional dan sekaligus juga mampu memberikan tambahan penerimaan fiskal

secara signifikan bagi pemerintah maupun pemerintahan daerah bersangkutan.

2. Pertumbuhan KCT bisa mendorong terbentuknya struktur tata ruang nasional yang

lebih hierarki dan efisien sehingga lebih mudah pengendaliannya menuju sistem tata

ruang yang lebih kokoh, dinamis dan seimbang antar kawasan.

3. Pertumbuhan KCT akan banyak menuntut perubahan paradigma pembangunan

kawasan yang boleh jadi munculnya banyak inisiatif pengembangan seperti pelibatan

swasta dan masyarakat dalam proses pembangunan kawasan, reformasi birokrasi

pemerintahan yang lebih fokus, perhatian lebih serius pada masalah lingkungan

khususnya dampak perubahan iklim, dan terobosan skim pembiayaan untuk mendanai

berbagai kebutuhan percepatan KCT.

Page 49: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

4. Munculnya problem ikutan berupa krisis akibat tingginya kebutuhan KCT, khususnya

krisis enerji yang bakal muncul dan marjinalisasi kelompok tertentu, yaitu kelompok

tradisional yang non-trampil atau “outsider” dalam mekanisme percepatan KCT.

Mengingat KCT merupakan fenomena pertumbuhan kawasan dan “exist” bagi

pertumbuhan ekonomi nasional termasuk daerah serta handal sebagai “prime mover”

bagi pembentukan struktur pengembangan wilayah. Namun di pihak lain bisa berpotensi

mencuatkan permasalahan baru yang serius, maka perlu antisipasi berupa langkah kelola

yang efektif bagi percepatan pengembangan KCT. Langkah kelola kelola ini juga untuk

mengeliminir dampak-dampak yang tidak diinginkan. Langkah-langkah tersebut

diantaranya:

1. Manajemen KCT

Pengembangan KCT merupakan ranah publik dan dengan demikian merupakan tanggung

jawab Pemerintah untuk mengelolanya melalui sistem kelembagaan. Tata kelola yang

perlu dilakukan tidak harus terbetuknya lembaga baru khusus menangani percepatan

KCT, tetapi setidaknya melalui 3 pendekatan yaitu : (1) Regulasi; (2) Kebijakan Fiskal;

dan (3) Bantuan Teknis.

2. Regulasi

Yaitu kebijakan pengembangan KCT melalui penetapan peraturan perundangan. Hal

yang dibutuhkan bahwa KCT adalah bagian integral dari penataan ruang nasional . Oleh

karena itu langkah yang perlu dilakukan adalah :

Pertama perlu penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis Nasional. Dengan ketetapan

ini, maka ada landasan bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah pengelolaan

percepatan KCT. Penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis Nasional perlu dirumuskan

dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) sebagai implementasi Kawasan Strategis

Nasional yang didefinisikan dalam PP Nomer 26 atahun 2008 tentang RTRWN.

Kedua, setelah penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis, maka dirumuskan lebih fokus

dalam suatu perencanaan strategis dan pelaksanaannya. Perencanaan dan pelaksanaan

pengembangan KCT tentunya akan melibatkan banyak sektor terkait termasuk dengan

pemerintah daerah bersangkutan. Oleh karenanya perlu ditetapkan secara tegas dalam

Instruksi Presiden (Inpres) tentang pengembangan KCT-KCT masa depan. Dalam Inpres

ini tentunya juga memasukkan aspek-aspek lingkungan (khususnya soal berkaitan dengan

emisi karbon) dan efisiensi pemanfaatan enerji sebagaimana bagian dari strategi.

Ketiga, di tingkat daerah perlu melengkapi langkah-langkah nasional tersebut

diantaranya, penetapan Peraturan Daerah (perda) atau setidaknya Peraturan Kepala

Daerah terkait dengan Perpres dan Inpres yang ada.

3. Kebijakan Fiskal

Yaitu langkah-langkah fiskal atau penganggaran dari APBN di tingkat nasional dan

APBD di tingkat daerah. Langkah-langkah fiskal ini landasannya adalah regulasi yang

ditetapkan di atas dan perundangan yang berlaku, antara lain UU Nomer 17 tahun 2003

tentang Keuangan Negara dan perundangan tentang Desentralisasi Fiskal yang ada (UU

Nomer 33 tahun 2004 yang sebentar lagi akan direvisi). Kebijakan Fiskal yang perlu

dilakukan yaitu :

Pemerintah menganggarkan belanja operasional maupun belanja modal guna

memfasilitasi pengembangan di KCT-KCT yang ditetapkan. Dana-dana ini biasanya

dikelola oleh kementerian atau lembaga terkait untuk dikelola langsung maupun

Page 50: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

diperbantukan ke daerah-daerah KCT selain tetap melanjutkan transfer ke daerah oleh

Kementerian Keuangan dalam rangka desentralisasi fiskal. Kebijakan Fiskal melalui

langkah-langkah penganggaran ini sangat penting dan terbukti sangat efektif3.

Walaupun Kebijakan Fiskal cukup efektif sebagai stimulus pengembangan kawasan,

bagaimanapun kapasitas fiskal sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan yang

sangat besar bagi pengembangan KCT khususnya kebutuhan investasi. Untuk itu perlu

ditetapkan strategi pengelolaan yang fokus terhadap penggalangan dana dari pihak

swasta dan masyarakat sendiri sesuai dengan peraturan dan perundangan. Strategi

pengelolaan dengan melibatkan swasta dan masyarakat juga terbukti ampuh dan pada

kenyataannya peran mereka justru lebih dominan dalam pembangunan ekonomi kawasan

selama ini, termasuk juga pelibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur.

Pemerintah Daerah juga menetapkan program-program strategis bagi KCT di daerahnya

khususnya dalam investasi. Kegiatan investasi ini selain bisa dilakukan secara rutin

melalui Belanja Modal, juga perlu dikembangkannya skim pembiayaan seperti pinjaman

daerah baik pinjaman dari Pemerintah, dari daerah lain, ataupun dari masyarakat berupa

Obligasi Daerah.

4. Bantuan Teknik

Bantuan Teknik adalah personal tenaga ahli yang diperbantukan kepada

kementerian/lembaga ataupun kepada daerah. Bantuan ini biasanya didanai oleh

Pemerintah dan bisa juga bantuan dari Negara Donor (Development Partner) berupa

technical Assistance. Tugas utama dari personel tenaga ahli ini kecuali membantu secara

teknis kepada kementerian/lembaga atupun daerah, adalah membantu memecahkan

masalah atau hambatan-hambatan di KCT dan pembinaan “Capacity Building” di

Pemerintah maupun pemerintah daerah. Dalam prakteknya, bantuan Teknis dari

Pemerintah itu tidak harus selalu ada. Oleh karenanya keberadaannya harus sesuai

dengan yang dibutuhkan.

5. Peranan “Stakeholder”

Walaupun pengembangan KCT merupakan ranah publik yang ditangani langsung oleh

Pemerintah, yang berkepentingan tidak hanya Pemerintah sendiri, tetapi juga seluruh

masyarakat baik masyarakat pengusaha atau swasta, juga masyarakat umumnya yang

selama ini menjadi subjek pembangunan itu sendiri. Untuk itu perlu ada 2 hal prinsip

yaitu : (1) Keterbukaan dan Transparansi dari Pemerintah, dan (2) Partisipasi masyarakat

dan swasta dalam percepatan pengembangan KCT.

Keterbukaan yang dilakukan oleh Pemerintah utamanya adalah informasi secara terbuka

dan langsung kepada masyarakat tentang rencana, program (dan pendanaan), target

(output) dan efek (outcome)-nya pengembangan KCT serta siapa saja yang terlibat

langsung dalam pengembangannya. Begitu juga perkembangannya secara kuartalan juga

disampaikan agar semua pihak mengetahui dan bisa memberi penilaian baik berupa

kesetujuannya, masukan-masukannya, termasuk juga kritikan yang diperlukan. Distribusi

informasi tersebut dilakukan dengan teknologi yang ada dan mudah di-akses oleh

masyarakat baik berupa media cetak maupun elektronik.

3 Bukti keefektifan kebijakan fiskal dalam pembangunan adalah penerapan Desentralisasi Fiskal sejak diterapkan tahun 2000 yang lalu telah berhasil mempertahankan kesenjangan antar daerah untuk tidak semakin timpang (melalui model Index Williamson). Penelitian dilakukan oleh DR. Hafrizal dalam papernya yang berjudul “Assessment of the Medium Term Expenditures Framework”, LGFGR (ADB), 2010.

Page 51: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Sedangkan partisipasi masyarakat bisa dilakukan melalui format yang sudah ada baik

dalam proses penganggaran seperti Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang)

yang lebih terarah4, juga peningkatan Kerja Sama Pemerintah-Swasta-Masyarakat

(Public Private Partnership) untuk lebih dimasyarakatkan dan dikembangkan peluang

sebesar-besarnya. Namun diakui bahwa partisipasi masyarakat khususnya dalam skala

perencanaan yang luas seperti KCT ini tidak bisa seintensif skala perencanaan kecil

seperti pemukiman yang langsung terkait dengan kepentingannya. Oleh karenanya

Pemerintah bersama dengan pemerintah daerah yang harus aktif dan tidak menunggu

inisiatif masyarakat untuk berpartisipasi.

Di antara “stakeholder” lainnya, peranan pemerintah daerah adalah yang sangat utama

karena menyangkut daerah otonomnya dan manfaat serta dampak pengembangan KCT

ada di daerah bersangkutan. Kepentingan daerah ini tidak sendiri, tetapi terkait dengan

daerah-daerah mitra maupun daerah-daerah burit (hinterland). Oleh karenanya kerja sama

antar daerah (inter-regional cooperation) adalah keharusan sebagaimana diatur dalam PP

Nomer 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.

Rangkuman

Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) adalah kenyataan sebagai fenomena dalam

perkembangan wilayah. Pengaruh ekonomi KCT sangat besar baik kepada keekonomian

nasional, keekonomian masyarakat, bahkan punya pengaruh signifikan terhadap kapasitas

fiskal nasional. Sesuai dengan rencana jangka panjang nasional untuk peningkatan

ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan, maka KCT perlu tetap dikembangkan

dan lebih ditumbuhkan. Namun KCT juga melahirkan banyak dampak, utamanya

urbanisasi, ketimpangan antar daerah, dan juga aspek lingkungan bila tidak dikelola

secara strategis dan sistematis.

Berkenaan dengan hal tersebut, maka KCT selayaknya ditetapkan sebagai Kawasan

Strategis Nasional secara lebih legalistik melalui penetapan peraturan perundangan yang

kemudian diikuti dengan berbagai komitmen oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan

masyarakat, khususnya pihak swasta di bidang investasi.

4 Selama ini Musrenbang kurang terarah dan mulai kurang diminati oleh masyarakat karena hanya

“shopping list” keinginan tanpa dasar kapasitas anggaran. Reformasi model Musrenbang perlu dilakukan, antara lain Pemerintah/pemerintah daerah harus mampu menetapkan plafon tentative anggaran bagi kawasan.

Page 52: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Pemindahan Ibukota Negara

Oleh:

Deden Rukmana5

Asisten profesor dan koordinator program studi perencanaan

dan studi perkotaan di Savannah State University, AS

Ide pemindahan ibukota negara telah banyak dibicarakan berbagai pihak sejak beberapa

tahun lalu. Bahkan pada saat kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007

mulai banyak dibahas wacana pemindahan ibukota negara menyusul banjir besar yang

melanda Jakarta pada bulan Februari 2007. Pasalnya, Jakarta dianggap tidak mampu

mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas yang akan mengganggu peran Jakarta

sebagai ibukota negara.

5 Penulis adalah asisten profesor dan koordinator program studi perencanaan dan studi perkotaan di

Savannah State University, AS

Page 53: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai membicarakan wacana pemindahan

ibukota negara dari Jakarta ketika menghadiri Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah

Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya pada awal Desember 2009. Menurut

SBY, beban fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta sebagai ibukota negara makin berat.

Pembahasan pemindahan ibukota negara harus dikaji dari berbagai aspek dan tidak hanya

melihat faktor kemacetan di Jakarta sebagai alasan pemindahan ibukota negara, tetapi

juga dilihat sebagai upaya strategis untuk mendistribusikan pembangunan secara merata.

(Kompas, 5 Agustus 2010).

Sementara itu, diawal September 2010, Presiden SBY mengemukakan pembentukan tim

kecil yang ditugaskan untuk mengkaji ide pemindahan ibukota negara. Kemudian muncul

tiga skenario dalam pemindahan ibukota negara, yakni :(1) tetap mempertahankan Jakarta

sebagai ibukota negara dan dilakukan pembenahan terhadap semua permasalahan; (2)

memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru yang tetap berada di pulau

Jawa; (3) memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar

pulau Jawa (Kompas, 13 September 2010).

Meski demikian, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas ketiga skenario

pemindahan ibukota negara tersebut, melainkan hanya mencoba untuk menjelaskan

gagasan pemindahan ibukota negara berdasarkan pengalaman Indonesia sebelumnya dan

pengalaman negara-negara lainnya di dunia yang pernah berhasil ataupun gagal dalam

memindahkan ibukotanya.

Pemindahan Ibukota RI keluar Jakarta

Peran Jakarta sebagai ibukota negara tidak terlepas dari proses sejarah, sejak awal

penjajahan Belanda dulu yang menempatkan Jakarta sebagai pusat keluar masuk barang-

barang dari dan ke Indonesia. Posisi sebagai pusat distribusi ini semakin menguat dan

melebar ke dominasi politik dan ekonomi terhadap daerah-daerah lainnya di Indonesia

hingga saat ini.

Bahkan, saat ini Jakarta menjadi pusat segala aspek kehidupan di Indonesia. Selain

sebagai pusat pemerintahan RI, juga sebagai pusat perdagangan, keuangan, jasa, hiburan,

olahraga, budaya, transportasi, dan penelitian. Sehingga tidak mengherankan dengan

peran sebagai pusat berbagai aktivitas di Indonesia itu, Jakarta mengalami proses

urbanisasi yang sangat cepat. Penduduk Jabodetabek bertambah dari 16,8 juta pada tahun

1990 menjadi 28,0 juta jiwa pada tahun 2010. Jumlah penduduk ini sebanyak hampir 12

% dari total penduduk Indonesia, tetapi hanya menempati 0.3 % dari total wilayah

Indonesia.

Pesatnya urbanisasi di Jabodetabek ini ternyata tidak dapat diimbangi oleh tersedianya

fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang memadai, sehingga berbagai masalah seperti,

banjir, kemacetan lalu lintas dan permukiman kumuh menjadi semakin sulit diatasi.

Ketidakberdayaan Jakarta untuk mengatasi masalah banjir dan kemacetan seringkali

dijadikan salah satu pertimbangan untuk memindahkan ibukota dari Jakarta.

Page 54: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Sementara itu, gagasan pemindahan ibukota dari Jakarta sebenarnya bukan hal yang baru.

Pemerintah Hindia Belanda telah merencanakan pemindahan ibukota dari Jakarta ke

Bandung pada tahun 1906 (Hartono 2009; Suganda 2007). Kota Bandung pun dijadikan

sebagai pusat komando militer pemerintah Hindia Belanda. Departemen Peperangan

(Departement van Oorlog) memindahkan berbagai instalasi dan personil sejak tahun 1816

sampai tahun 1920. Pabrik senjata Artillerie Constructie Winkel (Pindad) yang semula

berada di Surabaya dipindahkan ke Bandung mulai tahun 1889 sampai 1920

(Wiartakusumah 2006).

Rencana pemindahan ibukota dari Jakarta disebabkan juga oleh kondisi Jakarta yang

berada di daerah pantai yang rendah dan akrab dengan berbagai penyakit menular seperti

malaria dan diare (Suganda 2007). Meskipun rencana pemindahan ibukota ini kurang

mendapat dukungan Volksraad (Dewan Rakyat) tetapi Gubernur Jenderal J.P. Graaf van

Limburg Stirum (1916-1921) sangat bersikeras untuk memindahkan ibukota ke Bandung

(Suganda 2007).

Lahan seluas 27 hektar sumbangan Gemeente Bandoeng telah disiapkan untuk menjadi

kawasan pusat pemerintahan sipil di Bandung. Secara bertahap beberapa kantor

dipindahkan dari Jakarta ke Bandung termasuk Kantor Pertambangan dan Energi (1924),

gedung Geologisch Laboratorium (1928), Gedung Pensiun (1940), Perum Bio Farma

(1923), Kantor Pos Besar (1928) dan Kantor Pusat Kereta Api (1928). Di lahan yang

disiapkan untuk kawasan pusat pemerintahan sipil hanya sempat diselesaikan dua

bangunan yaitu Departement Verker en Gemeentewerken (1920) dan Hoofdbureu Post

Telegraf en Telefoon (1920). Sedangkan 12 bangunan lain yang direncanakan, tidak

sempat terealisasikan karena resesi dan korupsi yang juga menyebabkan gagalnya

kepindahan ibukota dari Jakarta ke Bandung (Suganda 2007).

Kemudian pada periode setelah kemerdekaan, Presiden Sukarno sempat menggagas

pemindahan ibukota negara ke Palangkaraya pada saat peresmian Palangkaraya sebagai

Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957. Bahkan Presiden Sukarno sempat

dua kali mengunjungi langsung potensi kota Palangkaraya untuk menjadi ibukota negara

(Wijanarka 2006). Posisi geografis Palangkaraya dianggap unik karena berada tepat di

tengah-tengah Indonesia. Namun rencana kepindahan ibukota ke Palangkaraya gagal

karena kesulitan penyediaan barang bangunan dan desakan dari beberapa duta besar yang

menginginkan Jakarta tetap sebagai ibukota negara. Setelah mengeluarkan Dekrit 5 Juli

1959, Presiden Sukarno meninggalkan gagasan pemindahan ibukota dan kembali

memfokuskan pembangunan di Jakarta yang kemudian dijadikan simbol kebangkitan

Indonesia.

Rencana pemindahan ibukota pun terus berlanjut, pada periode pemerintahan Orde Baru,

Presiden Suharto sempat juga menggagas pemindahan ibukota negara ke Jonggol, Jawa

Barat melalui Keppres 1 tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan

Jonggol sebagai Kota Mandiri. Keputusan ini mendukung rencana pengembangan kota

mandiri di Jonggol, Jawa Barat seluas 30 ribu hektar yang digagaskan oleh salah seorang

putra Soeharto, Bambang Trihatmodjo (Firman, 1997). Rencana pemindahan ibukota

Page 55: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Jonggol tidak berlanjut seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei

1998.

Alasan Pemindahan Ibukota

Ibukota negara adalah pusat kegiatan pemerintahan yang mencakup administrasi atau

eksekutif, legislatif dan judikatif. Ketiga kegiatan pemerintahan tersebut bisa berlokasi

dalam satu kota (classic capital) ataupun di beberapa kota (split capital). Sebagian besar

negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, memiliki satu ibukota. Tetapi ada juga

negara yang menerapkan split capital seperti Belanda (Amsterdam dan the Hague),

Afrika Selatan (Pretoria, Bloemfontein dan Cape Town), Bolivia (La Paz dan Sucre),

Israel (Jerusalem and Tel Aviv), Swaziland (Lobamba dan Mbabane), Malaysia (Kuala

Lumpur dan Putrajaya) dan Sri Lanka (Colombo dan Sri Jayawardenapura-Kotte).

Sejak Perang Dunia II berakhir, terdapat lebih dari sepuluh negara di dunia yang telah

memindahkan ibukotanya seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Alasan pemindahan ibukota

dari negara-negara itu sangat beragam. Mauritania dan Botswana memindahkan

ibukotanya karena kedua negara ini tidak memiliki ibukota di negaranya sendiri pada saat

memperoleh kemerdekaan. Ibukota Mauritania dan Ibukota Botswana sebelum merdeka

terletak diluar kedua negara tersebut. Ibukota Mauritania sebelum merdeka adalah Saint

Louis yang terletak di Senegal. Sementara itu, Ibukota Botswana sebelum merdeka

adalah Mafeking di Afrika Selatan (Gilbert 1989). Sementara itu, kepindahan Ibukota

Jerman dari Bonn ke Berlin adalah sebagai akibat dari penyatuan kembali Jerman Barat

dan Jerman Timur pada tahun 1990.

Table 1

Relokasi Ibukota-ibukota Negara di Dunia setelah Perang Dunia II

No. Negara Ibukota lamaIbukota baru Tahun

Relokasi

1. Mauritania Saint Louis Nouakchott 1957

2. Pakistan Karachi Islamabad 1959

3. Brazil Rio de JaineroBrasilia 1960

4. Botswana Mafeking Gaberone 1961

5. Malawi Zomba Lilongwe 1965

6. Belize Belize City Belmopan 1970

7. Tanzania Dar Es Salaam Dodoma 1973

8. Sri Lanka Colombo Sri Jayawardenapura-Kotte 1982

9. Pantai Gading Abidjan Yamoussoukro 1983

10. Jerman Bonn Berlin 1990

11. Nigeria Lagos Abuja 1991

12. Kazakhstan Astana Almaty 1997

13. Malaysia Kuala Lumpur Putrajaya 2000

14. Myanmar Rangoon Pyinmana 2006

Page 56: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Sumber: Corey (2004); Rawat (2005); Schatz (2003); Paddock (2006)

Sementara itu terdapat tiga alasan umum pemindahan ibukota, yaitu : pertimbangan

politik, pertimbangan sosio-ekonomi dan pertimbangan fisik. Pertimbangan politik

seringkali menjadi pertimbangan utama dalam pemindahan ibukota. Dalam pertimbangan

ini berguna untuk meningkatkan persatuan nasional (national cohesion), membangun

simbol kebangkitan negara dan merepresentasikan lebih baik keragaman suku bangsa

adalah pertimbangan yang digunakan pemerintah Brazil, Nigeria dan Pakistan dalam

memindahkan ibukota negaranya masing-masing (Nwafor 1980; Stephenson 1970).

Selain itu, pemindahan ibukota juga dapat dijadikan cara untuk menegaskan arah politik

negara seperti saat pemerintah Tanzania memindahkan ibukotanya dari Dar es Salaam ke

Dodoma untuk lebih mengembangkan politik Sosialisme dengan membangun kawasan

pedesaan di Dodoma (Hoyle 1979). Pertimbangan sosio-ekonomi menjadi pertimbangan

penting dalam memindahkan ibukota khususnya untuk mengurangi ketimpangan wilayah

di negara-negara tersebut. Diharapkan dengan pembangunan ibukota baru dapat

mengembangkan kawasan baru yang dapat mengurangi pemusatan kegiatan di lokasi

ibukota yang lama. Ibukota-ibukota lama, seperti Rio de Jainero, Lagos, Dar es Salaam,

Zomba dan Belize City merupakan pusat pertumbuhan utama dan primate city di

negaranya masing-masing. Pertumbuhan ekonomi di ibukota-ibukota lama ini jauh lebih

cepat dibandingkan wilayah-wilayah lainnya di negara-negara tersebut (Nwafor 1980;

Potts 1985; Stephenson 1970).

Keterbatasan kondisi fisik di ibukota lama juga menjadi pertimbangan pemindahan

ibukota di beberapa negara seperti Nigeria, Brazil dan Pakistan. Ibukota-ibukota lama

termasuk Lagos, Rio de Jainero and Karachi dianggap sudah terlalu padat dan tidak

mampu lagi menampung kebutuhan ruang bagi pengembangan kota. Kota-kota tersebut

dianggap tidak mampu menyediakan infrastruktur dan fasilitas perkotaan yang memadai

serta memiliki harga lahan yang tinggi (Botka 1995; Doxiadis 1965).

Keputusan memindahkan Ibukota Belize dari Belize City ke Belmopan adalah akibat

seringnya bencana hurricane yang melanda Belize City (Gilbert 1989; Kearns 1973).

Bencana hurricane yang menimpa Belize City seringkali melumpuhkan kegiatan

pemerintahan Belize dan bahkan menyebabkan kerusakan dan kehilangan dokumen-

dokumen penting pemerintahan Belize (Kearns 1973).

Lokasi Ibukota Baru

Pertimbangan utama yang sering digunakan dalam memilih lokasi ibukota baru adalah

keterpusatan (centrality). Lokasi geografis ibukota baru yang berada di tengah-tengah

negara akan mendekatkan ibukota ke berbagai bagian negara secara lebih merata dan

memudahkan pelaksanaan tugas pemerintahan (Nwafor 1980). Pertimbangan

keterpusatan ini digunakan oleh beberapa negara dalam memindahkan ibukotanya

termasuk Brazil, Nigeria, Tanzania and Malawi (Hoyle 1979; Nwafor 1980; Potts 1985;

Stephenson 1970).

Page 57: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Kriteria utama yang digunakan oleh pemerintah Belize dalam memilih lokasi ibukota

barunya adalah lokasi yang jauh dari pantai dan bebas dari ancaman hurricane. Lokasi

ibukota baru dipilih di daerah pedalaman (interior region) adalah juga untuk memberikan

perhatian kepada kawasan yang sebelumnya tidak mendapatkan perhatian. Pemilihan

ibukota di daerah pedalaman juga diharapkan dapat mengembangkan sektor pertanian

yang sebelumnya kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah Belize (Kearns 1973).

Beberapa negara diantaranya Malaysia dan Sri Lanka memindahkan ibukota barunya

tidak jauh dari ibukota lamanya. Malaysia memindahkan pusat pemerintahannya dari

Kuala Lumpur ke Putrajaya yang berjarak kurang lebih 25 km ke arah Selatan Kuala

Lumpur. Sri Lanka memindahkan pusat parlemennya dari Colombo ke Sri

Jayawardenapura-Kotte yang jaraknya sekitar 30 km dari Colombo. Pemilihan lokasi

yang tidak terlalu jauh agar menghemat biaya pembangunan ibukota baru.

Penutup

yang sangat mahal. Pengalaman dari beberapa negara misalnya Brazil dan Nigeria

menunjukkan bahwa pemindahan ibukota memakan proses yang sangat panjang. Brazil

memutuskan untuk memindahkan ibukotanya dari Rio de Jainero ke Brasilia melalui

konstitusi Brazil pada tahun 1834 dan 1946 dan baru direalisasikan pada pemerintahan di

bawah Presiden Kubitschek pada tahun 1960. Pemerintah Nigeria menyetujui

pemindahan ibukota keluar Lagos pada tahun 1975 dan baru pada tahun 1990 Abuja

ditetapkan secara resmi sebagai ibukota Nigeria (Nwafor 1980; Stephenson 1970).

Kegagalan memindahkan ibukota akibat kekurangan biaya seperti dialami oleh

pemerintah Hindia Belanda juga dialami Argentina pada tahun 1989. Argentina sempat

merencanakan memindahkan ibukotanya dari Buenos Aires ke Viedma. Kepindahan

ibukota negara sudah diputuskan oleh Kongres Nasional Argentina pada bulan Mei 1987

(Gilbert 1989). Namun upaya tersebut berhenti karena masalah ekonomi yang menimpa

Argentina pada tahun 1989.

Mewacanakan pemindahan ibukota keluar Jakarta mesti dipahami sebagai suatu proses

penting sebelum menentukan keputusan besar untuk memindahkan ibukota keluar Jakarta

atau tetap menempatkan Jakarta sebagai ibukota negara. Pengalaman dari berbagai

negara menunjukkan bahwa pemindahan ibukota tidak semata didorong oleh

pertimbangan kondisi ibukota lama yang sudah terlalu padat dan kurang tersedianya

infrastruktur dan fasilitas perkotaan. Pertimbangan politik dan sosio-ekonomi juga

menjadi faktor penting dalam keputusan pemindahan ibukota negara.

Indonesia perlu dengan sangat seksama membahas wacana pemindahan ibukota negara

ini. Studi yang mendalam dan melibatkan berbagai pihak di pusat maupun di daerah

diperlukan untuk menentukan pilihan terbaik dari ketiga skenario pemindahan ibukota

negara. Setelah pilihan tersebut ditetapkan akan diperlukan pula suatu perencanaan yang

komprehensif agar implementasi pilihan tersebut berjalan dengan sebaik-baiknya.

Page 58: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan

Keputusan pemindahan ibukota negara akan menjadi proyek publik terbesar dan

terpenting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Page 59: Ketika MRT Urai Kemacetan Jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5 full...saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan