Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...
-
Upload
hoangtuong -
Category
Documents
-
view
316 -
download
6
Transcript of Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehidupan umat Kristen dalam ibadah tidak dapat dilepaskan dari nyanyian
rohani. Nyanyian rohani atau biasanya disebut Kidung Rohani memegang peran
penting (Abineno, 1966.105) di samping kotbah dan doa. Nyanyian rohani
merupakan ungkapan pujian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun, nyanyian
rohani tidak saja sebagai pujian atas keagungan Tuhan, artinya relasi atas-bawah
antara Tuhan dan manusia (baca, umat), tetapi nyanyian rohani dalam liturgi juga
berfungsi sebagai panggilan atau ajakan kepada sesama umat untuk datang
beribadah. Dalam hal ini, nyanyian rohani berfungsi sebagai relasi antarumat. Selain
dua fungsi di atas, nyanyian rohani juga dapat berfungsi sebagai ungkapan
penyesalan umat atas segala dosa-dosanya. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa
nyanyian rohani mempunyai dimensi dan fungsi yang beragam dalam relasi
antarumat serta antara umat dan Tuhan Sang Pencipta.
Nyanyian rohani dalam sejarah perkembangan agama Kristen dapat
ditelusuri jauh sebelum agama Kristen muncul sebagai satu agama. Perlu
ditambahkan bahwa sebagai agama, kekristenan adalah sekte dari agama Yahudi.
Dalam kitab Injil Agama Kristen, dikenal ada lima kitab Taurat, yaitu Kitab
Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Dalam kitab Taurat itu, sudah
ditemukan nyanyian rohani yang dinyanyikan oleh umat baik sebagai ungkapan
keagungan Allah Yang Maha Kuasa atau sebagai ungkapan penyesalan akan
2
kesalahan dan dosa umat kepada Tuhan. Contohnya dapat dilihat dalam kitab
Keluaran 15 ayat 1 - 18 yang disebut sebagai nyanyian Musa dan umat Israel.
Nyanyian rohani tersebut adalah pujian dan ungkapan syukur karena Tuhan
melepaskan mereka dari tangan tentara Mesir. Dalam Kitab Suci Kristen pada bagian
Perjanjian Lama, bahkan ditemukan satu kitab yang isi keseluruhannya adalah
nyanyian rohani, yaitu Kitab Mazmur. Mazmur artinya nyanyian. Kitab Mazmur
ditulis sebagian besar oleh Raja Daud dan beberapa bagian lain ditulis oleh penulis
yang lain. Nyanyian rohani Mazmur di atas tidak dapat lagi dilagukan oleh umat
kristen pada zaman sekarang ini. Namun demikian, nyanyian rohani Mazmur tetap
dipakai dalam liturgi ibadah umat Kristen, tetapi tidak lagi dinyanyikan akan tetapi
dibaca secara litani yaitu membaca secara bersahut-sahutan antara pemimpin
ibadah dan umat.
Nyanyian rohani baik yang diciptakan pada zaman dahulu maupun pada
zaman sekarang adalah sebuah ungkapan dari penciptanya, yaitu ketika penciptanya
merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam kehidupannya. Salah satu
contoh adalah ungkapan Raja Daud dalam Mazmur 23 ayat 1 – 4 :
“Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku dipadang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang, Iamenyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karenanamaNya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman aku tidak takutbahaya sebab Engkau besertaku, gadamu dan tongkat Mu itulah yangmenghibur aku”
Teks nyanyian rohani di atas adalah ungkapan dari Raja Daud. Sebagai
seorang Raja, ia merasakan penyertaan dan kehadiran Tuhan layaknya seperti seorang
gembala yang menjaga kawanan ternaknya dari ancaman bahaya.
3
Dalam perkembangan liturgi selanjutnya, umat Kristen tidak hanya memakai
nyanyian rohani yang sudah ada, yaitu ciptaan dari umat pada masa lampau seperti
nyanyian rohani di atas , tetapi nyanyian rohani sebagai ungkapan iman umat terus
diciptakan sesuai dengan perkembangan dan pergumulan umat. Artinya, nyanyian
rohani terus berkembang sesuai dengan perkembangan umat Kristen. Bahkan,
nyanyian rohani juga berkembang ke dalam berbagai bahasa di mana umat Kristen
ada dan berkembang, termasuk di Bali
Gereja Kristen Protestan di Bali (kemudian disebut GKPB) adalah gereja yang
lahir dari perjalanan panjang sejarah zendeling di Bali. Zendeling pertama datang
ke Bali pada tahun 1846 (Wijaya, 2003, 26 ; Ayub, 1999: 21). Namun, secara de
facto GKPB baru lahir pada abad 20-an, yaitu pada tanggal 11 November 1931 dan
berbadan hukum nomor 8, tanggal 11 Agustus 1949 berdasarkan Staadblad nomor
214 (Tata Gereja GKPB 2002, vii). GKPB sebagai gereja yang lahir dari zendeling
menganut sistem Presbyterial-Sinodal dan beraliran Calvinistik. GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang yang berkedudukan di Desa Canggu, Kecamatan
Kuta Utara adalah bagian dari gereja yang disebutkan di atas. Sebagai sebuah gereja
yang lahir dan berkembang di Bali, GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang juga menyerap unsur-unsur budaya Bali dalam mengungkapkan imannya.
Coe (1992: 14-15) mengatakan bahwa pemribumian atau kontekstualisasi harus
dilakukan manakala Injil bergerak dari satu lahan budaya ke dalam budaya lainnya
dan mesti diterjemahkan ulang, ditafsirkan ulang, dan diungkapkan secara segar
dalam budaya yang baru. Diadopsinya unsur-unsur budaya Bali dapat dilihat dari segi
4
arsitektur bangunan gereja, cara berpakaian, kegiatan keagamaan termasuk juga
liturgi, dan nyanyian rohani dalam ibadah. Umat Kristen GKPB yang sebagian besar
(90%) adalah orang Bali tetap memakai bahasa Bali baik sebagai percakapan sehari-
hari maupun dalam ibadah. Salah satu contoh dapat dilihat dari nama GKPB Marga
Pakerti yang artinya jalan menuju keselamatan adalah nama yang diambil dari
bahasa Bali.
Nyanyian rohani berbahasa Bali juga telah dipakai oleh umat Kristen di Bali
sejak awal perkembangannya. Salah satu nyanyian rohani berbahasa Bali dalam
perkembangan awal GKPB dinyanyikan oleh I Ketoet Jahja. Lihatlah Sang Hyang
Isah, pujilah Sang Hyang Isah, Sang Hyang kabentang di Golgota, pujilah Ida Sang
Hyang Yesus”. Nyanyian rohani di atas dinyanyikan oleh I Ketoet Jahja pada tahun
1931 (Wijaya, 2003: 159). Dalam perkembangan selanjutnya, nyanyian rohani
berbahasa Bali menjadi nyanyian yang memegang peran penting dalam liturgi umat
GKPB, termasuk di dalamnya GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang.
Sampai akhir tahun 1990-an, paling tidak ada tiga buku nyanyian rohani
berbahasa Bali yang diterbitkan baik secara pribadi maupun secara lembaga oleh
GKPB. Buku pertama, nyanyian rohani berbahasa Bali hasil terjemahan dari
nyanyian rohani dari abad ke-15 sampai dengan abad ke-19, yang diterjemahkan
adalah nyanyian rohani berbahasa Belanda, Jerman, Inggris maupun bahasa lainya.
Nyanyian rohani ini dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Kidung Pamuji yang
terdiri atas 109 nyanyian rohani. Kidung Pamuji ini dipakai secara luas oleh jemaat-
5
jemaat GKPB, baik dalam ibadah minggu maupun ibadah- ibadah lain yang dilakukan
oleh umat. Selain itu, pada tahun 1964, Pendeta Made R. Ayub juga menulis
geguritan yang didokumentasikan dalam buku Marga Pakerti (Ayub, 1964).
Selain nyanyian rohani berbahasa Bali di atas, juga ada kumpulan nyanyian
rohani berbahasa Bali yang diciptakan oleh umat atau rohaniwan GKPB misalnya
buku Tembang-tembang Kaula, Seri Lagu-Lagu Rohani Baru ; Bernada dan
Berbahasa Bali, (Yohanes, 1993) yang diciptakan oleh Pdt. I Nyoman Yohanes, S,Th.
Kumpulan nyanyian rohani ini terdiri atas 17 nyanyian rohani berbahasa Bali.
Nyanyian rohani berbahasa Bali tersebut diciptakan sepanjang tahun 1990 sampai
dengan 1993.
Pada tahun 1990-an, muncul ciptaan-ciptaan nyanyian rohani berbahasa Bali
yang baru. Tercatat ada satu buku nyanyian rohani berbahasa Bali yang terbit dengan
judul Gita Suksma. Buku Gita Suksama adalah kumpulan nyanyian rohani Bali dari
beberapa pencipta. Buku nyanyian rohani ini diterbitkan oleh Divya Pradana Bhakti,
Biro Seni dan Komunikasi GKPB (1999). Nyanyian rohani berbahasa Bali tidak
hanya berkembang dalam bentuk buku, tetapi juga dalam bentuk kaset di antaranya
kaset nyanyian rohani Bali dengan judul Putra Surga yang direkam oleh Apel
Studio. Kaset ini beredar luas di kalangan umat GKPB. Kaset kedua, nyanyian rohani
berbahasa Bali yang dikeluarkan oleh GKPB jemaat Tirta Amerta Pelambingan
dengan judul Tangkil. Kaset ini direkam oleh Midi Quest Studio.
Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali
mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai dengan tahun 1980-an. Dari segi
6
pemakaiannya dalam liturgi, sampai dengan akhir tahun 1980-an, nyanyian rohani
berbahasa Bali menjadi nyanyian utama dalam liturgi minggu dan ibadah-ibadah
lainnya. Hal itu secara sepintas dapat dijelaskan demikian, sejak tahun 1940 hingga
1970-an akhir, dalam liturgi gereja, nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai lebih
dominan daripada nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Dalam satu bulan, kalau
dihitung ada empat hari minggu, maka dalam tiga kali ibadah dipakai nyanyian
rohani berbahasa Bali dan satu kali bahasa Indonesia.
Sejak tahun 1980-an, secara perlahan nyanyian rohani berbahasa Bali mulai
terpinggirkan, tergeser oleh nyayian rohani berbahasa Indonesia. Jika diamati secara
sepintas keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dipengaruhi oleh “banjirnya”
nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Pertama, terbitnya buku nyanyian rohani
berbahasa Indonesia yaitu buku Kidung Jemaat yang terbit pertama kali tahun 1984.
Buku kedua yang telah terbit lebih dulu yaitu tahun 1975 tetapi baru dipakai di GKPB
sejak tahun 2000-an adalah buku Nyanyikanlah Kidung Baru. Buku-buku nyanyian
rohani tersebut dengan cepat diterima dan dipakai oleh gereja-gereja yang ada di
Indonesia termasuk juga GKPB. Namun demikian, ada faktor yang jauh lebih dalam
dari sekedar faktor-faktor yang dipaparkan di atas, yaitu apa yang disebut sebagai
pengaruh globalisasi. Seiring dengan perkembangan zaman, meluasnya globalisasi
menyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupan manusia, termasuk di dalamnya
runtuhnya batas-batas kebudayaan. Masyarakat hidup dalam dunia yang kehilangan
batas (Piliang, 2010: 31; Agger ,2003: 72; Hoed, 2011: 197). Dinyatakan bahwa
globalisasi adalah era di mana bangsa dan wilayah semakin terhubung satu sama
7
lainnya sehingga mengaburkan perbedaan antara bangsa maju (dunia pertama) dan
bangsa terkebelakang (dunia ketiga). Atmadja (2010: 7) mengatakan bahwa
perubahan sosial budaya tidak dapat dihindarkan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor, yaitu faktor inovasi yang dilakukan oleh masyarakat, kontak sosial satu
masyarakat dan masyarakat lainnya yang menimbulkan difusi kebudayaan. Globalisasi
dengan kemajuan teknologi transportasi, informasi, dan telekomunikasi telah
mengubah bukan saja tampilan fisik, tetapi juga pola pikir masyarakat. Menghadapi
situasi seperti di atas, ada dua hal yang bisa terjadi dalam kehidupan umat, yaitu
beradaptasi atau melakukan penolakan terhadap situasi yang terjadi. Beradaptasi
berarti menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan. Parsons (dalam Beilharz, 2003:
298) mengatakan bahwa adaptasi merupakan upaya manusiawi yang menghasilkan
keseimbangan yang kompleks antara faktor-faktor yang menghalangi dan yang
memperlancar perubahan.
Dipakainya nyanyian rohani berbahasa Indonesia tentu saja menimbulkan
persoalan bagi kehidupan umat secara keseluruhan. Bagi generasi muda yang tidak
menguasai bahasa Bali dengan baik, digantinya nyanyian rohani berbahasa Bali
dengan nyanyian rohani berbahasa Indonesia menjadikan mereka kehilangan identitas
kebaliannya. Atmadja (2010: 67) mengatakan bahasa sebagai sebuah alat komunikasi
di dalamnya mengandung nilai dan identitas penggunanya. Lebih lanjut, generasi tua
yang terbiasa memakai nyanyian rohani berbahasa Bali mendapatkan kesulitan dalam
memahami dan menghayati nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Padahal, yang
8
mengikuti ibadah bukan saja dari generasi muda tetapi bercampur dengan generasi
tua.
Berdasarkan pemaparan di atas, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali
menarik untuk diteliti karena nyanyian rohani berbahasa Bali baik sebagai ungkapan
penyembahan, ungkapan syukur, dan doa (komunikasi antara umat dan Tuhan) dalam
liturgi tidak lagi mendapat tempat yang utama. Nyanyian rohani berbahasa Bali
justru terpinggirkan.
Fenomena di atas menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, yang menggugah
peneliti untuk melakukan penelitian. Mengapa umat yang nota bene orang Bali
dengan mudah meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan kemudian beralih
menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Apa yang melatarbelakangi
tindakan tersebut. Apakah dengan meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan
beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia umat dapat menghayati
iman kristen dengan lebih baik. Apakah ada faktor internal maupun eksternal yang
mendorong umat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali. Apakah dengan
ditinggalkannya nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian
rohani berbahasa Indonesia mempengaruhi kehidupan umat. Pertanyaan inilah yang
akan digali dalam penelitian.
Untuk menemukan jawaban terhadap masalah di atas, peneliti menggali
faktor-faktor yang mendorong keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam
liturgi GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Dari faktor-faktor tersebut
dapat ditemukan alasan-alasan, mengapa jemaat meninggalkan nyanyian rohani
9
berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
Selanjutnya, peneliti menggali proses terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani
berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti. Dengan menggali proses
terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali di atas, dapat diungkapkan
alasan-alasan mengapa jemaat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan
beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia atau Inggris.
Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali tentu mempunyai implikasi terhadap
kerohanian umat. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dapat
menyebabkan kerohanian umat semakin kuat atau sebaliknya kerohanian umat
semakin lemah. Dengan mengetahui implikasi keterpinggiran nyanyian rohani
berbahasa Bali, umat dapat mengambil tindakan yang sesuai untuk kemajuan
kerohanian umat di masa yang akan datang.
Tiga pokok bahasan di atas penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan
fenomena keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi yang terjadi di
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, Kecamatan Kuta Utara.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dapat ditarik permasalahan yang
kemudian akan dibahas dalam bab-bab berikutnya. Adapun permasalahan tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani
berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang?
10
2. Bagaimana proses terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang ?
3. Bagaimana implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam
liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang?
1.3. Tujuan Penelitian.
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitan ini adalah untuk mengetahui gejala-gejala perubahan
budaya yang terjadi dalam perkembangan liturgi gereja dan sekaligus menghasilkan
sebuah deskripsi analitis tentang perubahan-perubahan tersebut.
1.3.2. Tujuan Khusus
Sesuai dengan permasalahan di atas, tujuan khusus penelitian adalah sebagai
berikut.
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong keterpinggiran nyanyian
rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang.
2. Untuk mengungkap proses terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani
berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang.
3. Untuk mengetahui implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali
dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang.
11
1.4. Manfaat Penelitian.
1.4.1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian bertujuan untuk memberikan sumbangan sekaligus
menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam masalah-masalah sosial
dan dalam kehidupan bergereja di Bali, dan lebih khusus lagi mengenai
perkembangan nyanyian rohani berbahasa Bali disoroti dari sisi kajian budaya.
Manfaat teoretis lainnya terkait dengan aplikasi teori-teori kontemporer dalam
menganalisis perubahan-perubahan sosial pada masa kini.
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak
berkepentingan, yaitu institusi gereja khususnya para pembuat kebijakan untuk
menjadi masukan berkenaan dengan pembangunan bidang keimanan jemaat dan
dalam mengantisipasi perkembangan zaman dan iman umat ke depan. Masukan
dalam hal ini adalah berupa gagasan atau model strategi pengelolaan atau
penanganan masalah terpinggirkannya nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai salah
satu sarana membangun iman umat.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,DAN MODEL PENELITIAN.
2.1. Kajian Pustaka
Penelitian maupun pustaka yang berkaitan dengan topik penelitian ini, belum
banyak. Namun demikian, ada beberapa hasil penelitian yang dianggap relevan
dengan judul proposal, yaitu sebagai berikut ini.
Yang pertama adalah, tesis yang ditulis oleh Suarningsih (2004) dengan judul
Lagu Pop Bali Anak-anak dalam Kajian Budaya. Sesuai dengan judulnya, penekanan
tesis ini lebih pada perkembangan lagu pop Bali anak-anak yang dipengaruhi oleh
kemajuan teknologi dan kapitalisme atau industri musik khususnya di Bali.
Suarningsih memberi kesimpulan bahwa perkembangan lagu pop Bali anak-anak
yang berkembang di Bali akhir-akhir ini sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh
industri musik dan teknologi, khususnya televisi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa batasan objek tesis Suarningsih
hanya pada lagu-lagu pop Bali anak-anak yang dikaitkan dengan perkembangan
industri musik dan televisi, sedangkan penelitian ini mengambil objek penelitian
secara khusus pada nyanyian rohani berbahasa Bali yang dipakai dalam liturgi gereja.
Dalam pembahasannya, Suarningsih tidak menekankan perubahan pemakaian bahasa
dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia akan tetapi lagu-lagu pop Bali anak-anak tetap
memakai bahasa Bali. Perbedaan yang lainnya terletak pada teori-teori yang dipakai
untuk membedah persoalan yang dihadapi oleh peneliti. Penelitian yang dilakukan
13
Suarningsih memakai tiga teori, yaitu teori estetika, teori komodifikasi, dan teori
budaya populer, sedangkan penelitian ini memakai tiga teori, yaitu teori adaptasi,
teori perubahan budaya, dan teori dekonstruksi. Namun demikian, hasil penelitian
Suarningsih memberikan wawasan dan motivasi untuk melakukan penelitian ini.
Hasil penelitian yang kedua yang cukup relevan dengan judul proposal ini
adalah tesis yang berjudul Eksistensi Lagu Pop Minangkabau di Sumatera Barat
(Perspektif Kajian Budaya) oleh Nurmala (2005). Penelitian ini lebih menekankan
pada perkembangan dan eksistensi lagu-lagu daerah Minangkabau yang juga sangat
dipengaruhi oleh faktor eksternal, baik itu budaya global maupun perkembangan
teknologi.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurmala terbatas pada lagu-lagu Minangkabu
yang berkembang di daerah Minangkabau. Artinya penelitian yang dilakukan oleh
Nurmala mempunyai ruang lingkup yang berbeda dengan penelitian dalam tesis ini.
Berkaitan dengan teori yang dipakai untuk membedah masalah yang dihadapi,
Nurmala menggunakan lima teori, yaitu teori perubahan, teori budaya popular, teori
fungsional, teori semiotika, dan teori estetika.
Kajian pustaka ketiga yang cukup relevan dengan penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh I Komang Darmayuda (2006) dengan judul
Dinamika Lagu Pop Bali Periode 1990-2005 (Sebuah Kajian Budaya). Darmayuda
memberikan kesimpulan bahwa oleh karena pengaruh media dan perkembangan alat
musik moderen, lagu pop Bali telah mengalami perubahan. Semula lagu pop Bali
punya identitas yang jelas, tetapi sejalan dengan perubahan yang banyak dipengaruhi
14
oleh globalisasi, lagu pop Bali cenderung mengarah pada trand musik moderen.
Lebih tegas lagi, Darmayuda menyimpulkan bahwa sejak tahun 1990-an identitas
lagu pop Bali mengalami pengaburan. Artinya, dalam pembahasannya Darmayuda
lebih menekan pada perubahan dan perkembangan lagu pop Bali yang cenderung
mengikuti genre lagu pop Indonesia moderen, tetapi bahasa yang digunakan dalam
lagu pop Bali tetap memakai bahasa Bali. Hal ini tidak terlepas dari trand musik
yang berkembang pada saat itu.
Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Darmayuda dengan
penelitian ini adalah bahwa penelitian ini lebih menekankan pada perubahan
pemakaian bahasa, yaitu dari nyanyian rohani berbahasa Bali menjadi nyanyian
rohani berbahasa Indonesia atau Inggris. Perubahan ini sangat dipengaruhi oleh
budaya global.
Berkaitan dengan teori, Darmayuda menggunakan lima teori untuk
membedah permasalahannya, yaitu teori estetika, teori struktural fungsional, teori
budaya popular, teori komodifikasi, dan teori hegemoni, sedangkan penelitian ini
menggunakan tiga teori sebagaimana disebutkan di atas.
Kajian pustaka keempat yang cukup relevan dengan penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Ni Made Merti (2006) dengan judul Pemertahanan
Bahasa Bali dalam Masyarakat Multikultural di Kota Denpasar dalam bentuk tesis.
Tesis ini membahas tentang upaya-upaya pemertahanan bahasa Bali dalam realitas
sehari-hari yang mencakup penggunaan dalam keluarga, pasar tradisional, kegiatan
keagamaan, pementasan kesenian, dan kebijakan pemerintah.
15
Dari hasil penelitiannya, Merti memberi kesimpulan bahwa bahasa Bali telah
mengalami degradasi dan keterpinggiran khususnya di kota Denpasar.
Keterpinggiran dan degradasi bahasa Bali terjadi baik dalam pemakaian sehari-hari di
keluarga, pasar tradisional, kegiatan keagamaan, dan pementasan kesenian. Dalam
ruang lingkup pemakaian di atas, bahasa Bali seringkali dicampur dengan bahasa
Indonesia, artinya bahasa Bali tidak dipakai secara utuh dan benar.
Tesis yang ditulis oleh Merti dan penelitian ini mempunyai kesamaan dalam
hal sama-sama membahas tentang keterpinggiran, tetapi mempunyai objek dan
lingkup penelitian yang berbeda. Objek penelitian yang dilakukan oleh Merti yaitu
bahasa Bali dalam pemakaian sehari-hari dengan lingkup penelitian di kota Denpasar
sedangkan objek penelitian ini adalah nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi
gereja. Demikian juga halnya berkaitan dengan teori yang dipergunakan untuk
membedah persoalan yang dihadapi; kedua penelitian ini menggunakan teori-teori
yang berbeda. Penelitian Merti menggunakan teori sosiolinguistik, teori perubahan
sosial, dan teori motivasi sedangkan penelitian ini menggunakan teori adaptasi, teori
perubahan budaya, dan teori dekonstruksi.
Jadi, dapat dikatakan bahwa dari penelusuran pustaka di atas, penelitian ini
mempunyai perbedaan baik dari segi objek dan lingkup penelitian maupun dari teori-
teori yang dipergunakan untuk membedah persoalan. Namun demikian, keempat
penelitian di atas memberikan motivasi dan wawasan kepada peneliti dalam
melakukan penelitian.
16
2.2. Konsep
Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat
perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, penelitian diharapkan akan dapat membatasi
ruang lingkup pemikiran dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian
yang berkaitan satu dengan lainnya. Peranan konsep dalam penelitian sangat besar
karena konsep adalah yang menghubungkan dunia teori dan dunia observasi, antara
abstraksi dan realitas (Sangarimbun, 1989: 33).
Konsep berarti batasan terhadap sebuah masalah, sehingga memudahkan arti
atau pemikiran, ide serta hal-hal maupun gejala sosial yang digunakan agar pembaca
dengan segera dapat memahami maksudnya sesuai dengan keinginan peneliti dalam
menggunakan konsep tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, konsep yang akan dijelaskan dalam penelitian ini
terdiri atas keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali, liturgi Gereja Kristen
Protestan jemaat Marga Pakerti, dan Banjar Padang Tawang Kecamatan Kuta Utara.
2.2.1. Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali
Keterpinggiran mengacu pada suatu posisi yang diperbandingkan dengan
posisi yang lain. Keterpinggiran tidak dapat berdiri sendiri, keberadaannya dan
pengertiannya sangat tergantung pada antitesenya, yakni posisi yang bukan dipinggir
(biasanya disebut “pusat” atau “tengah”). Kontras antara tengah dan pinggir dalam
pengertian keterpinggiran biasanya dikaitkan dengan distribusi kekuasaan atau yang
17
lebih tepat keberdayaan, yang bergradasi menurun dari pusat ke pinggir. Pusat atau
tengah adalah posisi yang paling berdaya. Mereka yang menduduki tempat tersebut
dianggap penting sebagai inti atau sumber acuan dan karenanya mendapat perhatian.
Sebaliknya, posisi pinggiran paling jauh dari keberdayaan karena dianggap kurang
penting. Keterpinggiran juga dapat diartikan sebagai suatu posisi yang berada pada
perbatasan, yang tidak dimiliki atau memiliki yang berada di tengah karena identitas
yang tidak jelas (Wahyudi, 2004: 87-88).
Dalam kaitan dengan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam
liturgi gereja, dapat dikatakan bahwa pada awalnya nyanyian rohani berbahasa Bali
menduduki tempat yang sentral (tengah) atau yang utama jika dibandingkan dengan
nyanyian rohani berbahasa Indonesia atau Inggris. Tengah atau sentral mengandung
pengertian, bahwa nyanyian rohani dipakai dalam semua liturgi baik itu dalam liturgi
gereja maupun dalam liturgi rumah tangga. Sebagai nyanyian yang utama, nyanyian
rohani berbahasa Bali mempengaruhi kehidupan umat baik dalam hubungan umat
dengan Tuhan maupun hubungan sesama umat.
Nyanyian rohani berbahasa Bali adalah kumpulan nyanyian rohani yang
dipakai oleh umat dalam ibadah, baik untuk penyembahan, ungkapan doa, pengajaran
ajaran agama kepada umat maupun pujian kepada Tuhan. Nyanyian rohani berbahasa
Bali ini beberapa di antaranya adalah terjemahan dari berbagai bahasa seperti bahasa
Jerman, Inggris, Belanda, Latin maupun dari Ibrani. Nyanyian rohani ini telah
dibukukan dalam buku berjudul Kidung Pamuji. Sebagian dari nyayian rohani
berbahasa Bali ini adalah asli ciptaan dari orang-orang Kristen Bali. Nyanyian rohani
18
ini selain memakai bahasa Bali juga memakai tembang yang khas Bali, misalnya
geguritan. Contohnya adalah geguritan yang dikarang oleh Pendeta Made R. Ayub
(1964). Geguritan ini dikemas dalam Pupuh Durma, Pupuh Sinom, dan Pupuh
Ginada. Selain geguritan yang dikarang Oleh Pendeta Made R. Ayub, nyanyian
rohani berbahasa Bali yang kental dengan tembang Bali banyak dikarang oleh
Pendeta Nyoman Yohanes, STh.
Nyanyian-nyanyian rohani di atas dalam liturgi gereja kini tidak lagi
mendapat tempat yang utama dalam ibadah. Artinya, nyanyian rohani berbahasa
Bali hanya dipakai sebagai selingan. Dengan kata lain, nyanyian rohani tersebut
mengalami keterpinggiran.
2.2.2. Liturgi Gereja Kristen Protestan Jemaat Marga Pakerti
Kata liturgi berasal dari bahasa Yunani leiturgia yang terdiri atas dua kata
yaitu leitos yang berarti umat dan kata ergon yang berarti pekerjaan. Dari dua kata
leitos dan ergon terbentuk kata leiturgia yang berarti melakukan sebuah pekerjaan
atau pelayanan kepada umat. Dalam kitab Injil, kata leiturgia dipakai untuk
menunjuk kepada tugas Imam, Menguraikan pekerjaan Tuhan Yesus sebagai Imam,
menunjuk kepada pekerjaan Rasul dalam pekabaran Injil, menunjuk kepada
pekerjaan Malaikat-Malaikat dalam melayani, menunjuk kepada pekerjaan
pengumpulan persembahan untuk orang miskin, dan menunjuk kepada kumpulan
orang yang berdoa dan berpuasa (Ayub. 2001: i). Dalam ibadah gereja, kata liturgi
telah menjadi istilah teknis untuk menunjuk kepada tata kebaktian umat.
19
Gereja Kristen Protestan di Bali (disingkat GKPB) Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang adalah gereja yang ada di lingkup Sinode Gereja Kristen Protestan di
Bali. GKPB Marga Pakerti sebagai sebuah gereja lokal adalah gereja yang mandiri.
Gereja tersebut memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan gereja-
gereja lainnya yang ada di bawah sinode GKPB, maupun gereja-gereja lain yang
berbeda aliran (denominasi). GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang adalah gereja yang homogen. Hampir sebagian besar anggotanya adalah dari
suku Bali yang memakai bahasa Bali sebagai bahasa pengantar pergaulan sehari-
hari. Sebagian besar anggotanya tinggal di dua banjar, yaitu Banjar Padang Tawang
dan Babakan. Kedua banjar ini terletak di Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara.
2.2.3. Banjar Padang Tawang Kecamatan Kuta Utara
Banjar Padang Tawang adalah sebuah banjar yang terletak di jalur pariwisata
antara objek wisata Kuta dan Tanah Lot. Padang Tawang termasuk bagian dari Desa
Canggu yang berbatasan langsung dengan Desa Buduk Kecamatan Mengwi. Secara
kependudukan, Banjar Padang Tawang adalah homogen. Sebagian besar
penduduknya adalah etnis Bali yang beragama Kristen, baik Protestan maupun
Katolik.
Dengan penjelasan konsep seperti di atas, maka batasan penelitian ini
menjadi cukup jelas baik dalam cakupan materi penelitian sebagai objek penelitian
dan batasan tempat penelitiannya. Ruang lingkup penelitian ini meliputi materi
penelitian sebagai objek penelitian yaitu keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
20
Bali dalam liturgi dan tempat penelitian yaitu di Gereja Kristen Protestan Bali jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang.
2.3. Landasan Teori.
Pembahasan penelitian ini menggunakan tiga buah teori, yaitu teori
perubahan budaya, teori dekonstruksi, dan teori adaptasi. Untuk membahas pokok
permasalahan pertama yaitu latarbelakang keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, penulis
bertumpu pada acuan konsep dan teori perubahan budaya. Keterpinggiran nyanyian
rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang tidak terjadi begitu saja. Ada latarbelakang tertentu yang melatarbelakangi
sehingga jemaat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan memilih nyanyian
rohani berbahasa Indonesia atau Inggris. Oleh karena itu, keterpinggiran nyanyian
rohani berbahasa Bali dapat diduga terjadi karena adanya perubahan budaya dalam
kehidupan anggota jemaat. Dengan teori perubahan budaya, penelitian ini
diharapkan dapat mengungkapkan sejauh mana perubahan budaya tersebut
mempengaruhi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali.
Teori dekonstruksi dipakai untuk membahas pokok permasalahan yang kedua
yaitu proses terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi
GKPB jemaat Marga Pakerti di banjar Padang Tawang. Dengan terori dekontruksi,
dapat diungkapkan proses keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali di GKPB
jemaat Marga pakerti di Banjar Padang Tawang.
21
Teori adaptasi, khususnya mengacu pada teori adaptasi Bennet dipakai untuk
membahas pokok permasalahan yang ketiga, yaitu implikasi keterpinggiran
nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang. Setiap perubahan tentu berimplikasi pada kehidupan masyarakat.
Dalam hal ini, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali juga berimplikasi pada
kehidupan umat khususnya di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang. Seperti apa implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali
terhadap kehidupan umat. Dengan teori adaptasi, penelitian ini diharapkan dapat
mengungkapkan implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam
liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang.
Ketiga teori di atas dipakai sebagai titik berangkat dan landasan bagi peneliti
dalam menganalisis dan memahami realitas yang ditelitinya. Peneliti mencoba
menganalisis bagaimana latarbelakang keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Peneliti
menggali bagaimana proses keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam
liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Pada bagian akhir
dari kedua proses di atas, dengan memakai teori adaptasi, penulis mencoba menggali
apa implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali terhadap kerohanian
umat.
2.3.1. Teori Perubahan Budaya
Substansi masalah yang pertama, adalah apa yang menjadi latarbelakang
keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali. Terpinggirkannya nyanyian rohani
22
berbahasa Bali dan masuknya nyanyian rohani berbahasa Indonesia adalah sebuah
proses yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi proses pengalihan yaitu, menyangkut berubahnya gaya hidup dan
pemikiran jemaat yang mengangggap bahwa nyanyian rohani berbahasa Indonesia
dirasakan lebih modern jika dibandingkan dengan nyanyian rohani berbahasa Bali.
Hal ini sangat erat kaitannya dengan budaya global yang memahami bahasa
Indonesia, Inggris dan lainnya sebagai bahasa yang modern sedangkan bahasa Bali
sebagai bahasa yang tradisional (Atmadja, 2010: 69). Faktor perkembangan
teknologi, media, dan ekonomi global melanda kehidupan umat. Di samping itu,
masuknya nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan Inggris nampaknya
lebih cocok dengan selera umat pada jaman sekarang.
Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini mempergunakan teori
perubahan budaya. Linton (dalam Koentjaraningrat, 1990: 97) mengatakan bahwa
dalam proses perubahan budaya di mana di dalamnya terjadi akulturasi, ada unsur-
unsur kebudayaan yang mudah berubah dan ada unsur kebudayaan yang sukar
berubah bila dihadapkan dengan pengaruh asing. Linton menyebut bagian yang sulit
atau lambat berubah disebut sebagai bagian inti (covert culture) dari suatu
kebudayaan. Bagian inti dari suatu kebudayaan menyangkut sistem nilai budaya,
keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, beberapa adat yang sudah dipelajari
sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, dan beberapa adat
yang mempunyai fungsi yang sangat luas dalam masyarakat. Bagian yang mudah
23
berubah adalah perwujudan luar (overt culture). Bagian luar yang dimaksud adalah
seperti alat-alat, benda yang berguna, tatacara, dan gaya hidup.
Dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami masa transisi dari
kebudayaan tradisional ke kebudayaan masa kini, tentu akan terjadi tarik menarik
antara mereka yang suka dan tidak suka perubahan, antara yang pro kepada
perubahan dan kontra perubahan. Menurut Koentjaraningrat (1990: 112), mereka
adalah orang-orang yang dapat menyesuaikan diri dan yang tidak dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan krisis tersebut. Mereka yang tidak dapat
menyesuaikan diri adalah orang-orang kolot yang tidak suka pada perubahan. Jika
golongan kolot kuat, mereka akan dapat menghambat proses akulturasi untuk
sementara waktu.
Perubahan sosial dan kebudayaan adalah merupakan dua bidang yang saling
berkaitan. Kingsley Davis mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan bagian
dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian,
yaitu kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya. Hal yang sama
diungkapkan oleh Selo Sumarjan (dalam Soekamto, 2001 : 342) dengan mengatakan
bahwa perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang
sama, yaitu kedua-duanya bersangkut-paut dengan penerimaan cara-cara baru atau
suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.
Teori perubahan budaya dipakai untuk menganalisis bagian pertama dari
penelitian ini, yaitu berkaitan dengan latarbelakang keterpinggiran nyanyian rohani
berbahasa Bali dalam liturgi gereja.
24
2.3.2. Teori Dekonstruksi
Istilah dekonstruksi (deconstruction) tidak dapat dilepaskan dari nama
Jacques Derrida. Derrida lahir tahun 1930 di El Biar dekat Aljazair dari orang tua
berdarah Yahudi Sephardic (Beilharz, 2003. 73). Latar belakang pemikiran Derrida
adalah filsafat fenomenologi dan strukturalisme terutama fenomenologi dari Husserl
dan strukturalisme Saussure dan Levi Strause (Santoso, 2010. 248)
Ciri dari dekonstruksi yang dikemukakan oleh Derrida (Ratna, 2006: 222)
adalah penolakan terhadap logosentrisme dan fenosentrisme secara keseluruhan yang
melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir yang bersifat hirarki dikotomis.
Kecenderungan dari oposisi biner (binary opposition) ini adalah anggapan bahwa
unsur-unsur pertama yang menjadi pusat, asal-usul, dan prinsip dengan konsekuensi
logis yang lain menjadi sekunder, marginal, manifestasi, dan padanan lainnya.
Istilah dekonstruksi muncul pertama kali dalam tulisan karya Derrida. Kata
dekonstruksi adalah terjemahan dari dua kata dalam bahasa Jerman yang dipakai oleh
Martin Heidegger dalam tulisannya berjudul Being and Time, yaitu destruction dan
abbau. Menurut kata kerjanya mendekonstruksi berarti membongkar bagian-bagian
dari suatu keseluruhan (Beilharz, 2003. 74-75). Namun demikian, dekonstruksi yang
dimaksudkan di sini bukanlah pembongkaran atau penghancuran yang berakhir
dengan pandangan monisme atau bahkan kekosongan. Dekonstruksi yang dimaksud
juga bukan metode tafsir yang dilengkapi dengan perangkat-perang konseptual yang
serba argumentatif dan koheren, bahkan dekonstruksi justru antimetode,
25
antiargumentasi dan antikoherensi karena pandangan itu berbau ilmiah dan
positivistik (Santoso, 2010. 252)
Teori dekonstruksi sesungguhnya bertolak dari teori De Saussure tentang
tanda yang berpijak pada relasi antara signifiant dan segi signifie. Namun, bagi
Derrida relasi itu tidak statis, tidak tetap, dan tidak stabil melainkan dapat berubah-
ubah sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu (Hoed, 2011: 77).
Menurut Derrida, dalam kenyataannya, relasi itu dapat ditunda untuk mendapat relasi
yang lain atau baru. Proses ini dikenal sebagai proses dekonstruksi. Dengan
demikian, makna suatu tanda diperoleh tidak sekedar berdasarkan pembedaan
antartanda semata yang hubungan antarpenanda-petandanya bersifat tetap, melainkan
dapat berubah-ubah sesuai kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu. Jadi, makna
suatu tanda tidak hanya terlihat dalam satu kali jadi, melainkan dalam ruang dan
waktu yang berbeda diperoleh makna yang berbeda pula. Bahkan, Derrida
mendorong untuk melakukan penundaan itu secara sadar sebagi suatu tindakan
berpikir kritis. Proses dalam hubungan yang baru ini disebutnya differance (Hoed,
2011: 77).
Differance menurut Derrida bukan kata dan bukan konsep. Differance adalah
segala sesuatu yang mempersoalkan hal-hal yang sudah dianggap mantap. Defferance
dan dekonstruksi adalah berpikir kritis, tidak menerima begitu saja pemikiran-
pemikiran akademis yang sudah menahun dalam pikiran, khususnya dalam hal ini
yang dimaksudkan adalah pemikiran-pemikiran dari para strukturalis (Hoed, 2011:
26
78). Secara sederhana, dapat dipahami bahwa teori dekonstruksi menyarankan agar
penelitian tetap terbuka terhadap fenomena yang lain.
2.3.3. Teori Adaptasi
Substansi masalah yang ketiga, bagaimana implikasi keterpinggiran nyanyian
rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga Pakerti di banjar Padang Tawang.
Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga Pakerti di
Banjar Padang Tawang tidak terlepas dari adaptasi yang dilakukan oleh umat untuk
menjawab perubahan jaman.
Adaptasi menyangkut upaya penyesuaian yang mengandung arti ganda, yaitu
manusia berusaha menyesuaikan keinginan atau kehidupannya dengan lingkungan
yang berubah. Sebaliknya, manusia berusaha pula menyesuaikan lingkungan dengan
keinginan dan tujuannya. Lingkungan meliputi aspek fisik, biologik, dan sosial
(Bennett, 1976: 145). Dengan demikian, adaptasi manusia dapat berproses dalam
dimensi lingkungan yang sangat luas dan terus berubah.
Mengingat bahwa lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah, maka
dalam upaya mengadaptasinya, manusia akan terus mengikuti, mengamati, dan
menginterpretasi perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Jika
manusia menganggap cara penyesuaian yang dilakukan sebelumnya kurang cocok,
maka cara itu akan digantinya dengan cara yang lebih cocok. Untuk menentukan dan
menetapkan cara-cara penyesuaian yang lebih cocok itulah, manusia memilih cara-
cara berhubungan dengan dan memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi keinginan,
kebutuhan, dan mencapai tujuannya. Namun, adaptasi manusia tidak semata-mata
27
ditentukan oleh keinginan, kebutuhan, dan tujuannya, tetapi ditentukan pula oleh
situasi lingkungan setempat (Bennett, 1976: 257).
Untuk beradaptasi pada lingkungan yang terus berubah, manusia dituntut
untuk bersifat dinamis. Menurut Bennett (1976: 271-272), ada tiga konsep kunci
untuk membahas dan memahami dinamika kehidupan manusia dalam beradaptasi
dengan perubahan lingkungan. Tiga konsep kunci itu adalah perilaku adaptif,
tindakan strategi, dan strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan bentuk-bentuk
perilaku yang menunjukkan penyesuaian cara-cara mencapai tujuan, melakukan
pilihan, dan menolak untuk melakukan tindakan atau keterlibatan, dengan maksud
untuk beradaptasi. Selanjutnya, strategi tindakan merupakan tindakan-tindakan yang
khusus direncanakan untuk menyelesaikan upaya penyesuaian demi tercapainya
kemajuan-kemajuan yang merupakan tujuan dalam proses pemanfaatan sumber daya.
Dalam pengertian strategi tindakan, tercakup upaya rasionalisasi, mekanisasi,
orientasi pada kemajuan, yang mengutamakan hasil dari perilaku manusia. Lebih
lanjut, konsep strategi adaptif mengacu lebih khusus pada tindakan-tindakan yang
dipilih oleh manusia dalam proses pengambilan keputusannya, karena
keberhasilannya telah dapat diprediksinya.
Serupa dengan di atas, Suparlan (1981: 9) mengatakan bahwa adaptasi dapat
dikatakan sebagai suatu proses untuk mengatasi berbagai masalah yang ada dalam
lingkungan atau fisik guna kelangsungan hidup. Sehubungan degan hal itu, Freire
(1984: 3-4) menyebutkan bahwa adaptasi manusia berproses dalam dimensi
lingkungan yang amat luas. Manusia berhubungan dengan dunia secara kritis. Mereka
28
memahami data yang ada di lingkungannya. Mereka menyadari temporalitasnya.
Dimensi waktu yaitu kemarin, hari ini, dan esok adalah suatu penemuan yang sangat
mendasar dalam sejarah kebudayaan manusia. Manusia tidak terkungkung dalam
satu dimensi waktu, yaitu kemarin atau pun hari ini. Oleh karena ia menyadari
temporalitasnya dan membebaskan diri dari “hari ini”, maka manusia melakukan apa
yang disebut sebagai adaptasi.
Mengingat lingkungan yang diadaptasi oleh manusia selalu mengalami
perubahan, maka dalam upaya mengadaptasinya, manusia akan terus mengikuti,
mengamati dan menginterpretasi gejala-gejala perubahan yang terjadi di dalam
lingkungan. Oleh karena itu, masing-masing kelompok manusia mempunyai pola
adaptasi yang tertentu dengan memahami secara baik lingkungan fisiknya agar dapat
memberi respon secara stabil (Hunter dan Phillip, 1976: 5).
Adaptasi merupakan suatu proses untuk memenuhi beberapa syarat dasar
tertentu untuk dapat melangsungkan hidupnya. Dalam hal ini ada tiga syarat dasar
yang harus dipenuhi, yaitu syarat biologis, kejiwaan, dan sosial. Dalam usaha untuk
memenuhi ketiga syarat tersebut, manusia menggunakan kebudayaan yang dimiliki
sebagai kerangka dasarnya (Suparlan, 1981: 241-243). Teori adaptasi
memandang perubahan terhadap lingkungan, baik yang terjadi dengan cepat maupun
lambat, orang akan berusaha mengadaptasi dirinya terhadap perubahan itu.
Adakalanya orang tidak berhasil mengadaptasi perubahan itu, sehingga menghasilkan
sifat (perilaku) yang tidak sesuai dengan lingkungan. Jelasnya, jika lingkungan
29
mengalami perubahan, maka langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi
penghuninya (Soemarwoto, 1997 : 48).
2.4.Model Penelitian
Gambar 2.1 Model Penelitian
Keterangan model penelitian.
Globalisasi merupakan fenomena yang multidimensional dan kompleks.
Globalisasi dengan media massa sebagai salah satu penggeraknya, telah mengubah
tatanan hidup masyarakat termasuk di dalamnya budaya dan tradisi-tradisi lokal
Globalisasi Budaya Lokal
Keterpinggiran Nyanyian RohaniBerbahasa Balidalam Liturgi
Gereja Kristen Protestan BaliJemaat Marga Pakerti di BanjarPadang Tawang Kecamatan Kuta
Utara
Teknologi danmedia
Pendidikan Ekonomi
Tradisi Tingkat
Pendidikan
Implikasiketerpinggiran nyanyian
rohani berbahasa Bali
Proses terjadinyaketerpinggiran nyanyian
rohani berbahasa Bali
Faktor yang mendorongketerpinggiran nyanyian
rohani berbahasa Bali
Keterangan tanda :: Hubungan langsung (searah): Hubungan langsung (dwiarah)
30
yang sudah ada sebelumnya (Gambar 2.1). Akibatnya, budaya dan tradisi yang
sudah ada sebelumnya secara perlahan terpinggirkan.
Dalam alur pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa nyanyian rohani
berbahasa Bali yang dipakai dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang adalah tradisi yang mengalami keterpinggiran akibat globalisasi.
Sebagai sebuah sarana, nyanyian rohani berbahasa Bali memegang peran yang sangat
penting. Nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan
rasa syukur, untuk mengungkapkan penyembahan, dan juga pujian kepada Tuhan.
Selain itu, sebagai etnis Bali, nyanyian rohani berbahasa Bali juga menjadi identitas
yang bermakna dan bernilai bagi umat. Nyanyian rohani berbahasa Bali sudah
mentradisi dalam ibadah umat Kristen di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang. Namun, karena berbagai faktor, yaitu budaya global, media massa,
dan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia, nyanyian rohani
berbahasa Bali terpinggirkan.
Dengan judul penelitian di atas, maka penelitian ini hendak mengungkapkan
tentang faktor-faktor, tentang proses terjadinya, dan tentang implikasi keterpinggiran
nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang.
31
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian dengan judul Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali
dalam Liturgi Gereja Kristen Protestan Bali Jemaat Marga Pakerti di Banjar Tawang
Kecamatan Kuta Utara adalah studi kualitatif yang berada dalam wilayah kajian
budaya. Sesuai dengan hakikat ilmu humaniora, objektivitas hasil penelitian tidak
didasarkan atas pembuktian, generalisasi, melainkan pemahaman, sebagai konstruksi
transferabilitas.
Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai objek penelitian ini
dikaji dengan menggunakan pendekatan teori-teori yang sudah ada sebagai teori
formal, tetapi disesuaikan dengan objek penelitian, sebagai teori yang dimodifikasi.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara. Secara geografis, Banjar Padang
Tawang berbatasan di sebelah utara dengan Desa Tuka, di sebelah barat dengan Desa
Buduk, di sebelah selatan dengan Desa Canggu dan di sebelah timur dengan Desa
Pegending. GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang mempunyai
jemaat yang homogen; sebagaian besar (99%) anggotanya berasal dari etnis Bali.
Dalam pergaulan sehari-hari, mereka memakai bahasa pengantar bahasa Bali.
32
3.3. Jenis dan Sumber Data.
Jenis data penelitian adalah kualitatif dan kuantitatif. Data dinyatakan dalam
bentuk kata-kata, kalimat, narasi, uraian, tabel dan berbagai bentuk pemahaman
lainnya. Secara konkret, data yang dikumpulkan terdiri atas rekaman hasil
wawancara mendalam dengan para informan dan data yang dikumpulkan melalui
observasi dan studi dokumen yang dianggap perlu.
Untuk memperoleh data di atas, penelitian ini menggunakan dua jenis sumber
data, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah para
informan dan objek yang diteliti, sedangkan sumber data sekundernya adalah
berbagai sumber tertulis, misalnya buku, majalah, tesis, dan monografi desa.
3.4. Teknik Penentuan Informan
Berkenaan dengan penelitian ini, informan ditentukan secara purposif, yakni
berdasarkan keahlian, kemampuan, dan pengalaman di bidang masing-masin. Mantra
(2004: 29) mengatakan bahwa ada tiga kelompok informan yaitu informan kunci,
informan ahli, dan informan insendental. Oleh karena itu, ada beberapa informan
yang dapat memberikan keterangan seperti, pendeta, majelis jemaat, penatua jemaat,
anggota jemaat biasa.
Merujuk kepada kelompok informan di atas, maka yang dikelompokkan
sebagai informan kunci antara lain para pendeta yang pernah bertugas di GKPB
Marga Pakerti Padang Tawang, dan para majelis jemaat. Kedua kelompok tersebut
adalah mereka yang terlibat langsung dalam kegiatan jemaat atau mereka yang turut
mengambil bagian dalam membuat keputusan-keputusan jemaat. Informan ahli
33
adalah mereka yang mempunyai kemampuan menciptakan nyanyian rohani atau
mereka yang tahu tentang seluk- beluk nyanyian rohani berbahasa Bali.
Informan insendental adalah informan yang posisinya di luar kategori di atas
yang juga dianggap pantas memberikan informasi atau keterangan yang terkait
dengan topik penelitian ini. Informan insendental adalah anggota jemaat biasa yang
tidak ikut ambil bagian dalam membuat keputusan-keputusan. Mereka adalah para
pemuda yang berumur rata-rata di bawah duapuluh lima tahun dan anggota jemaat
dewasa tetapi tidak pernah menduduki jabatan di gereja.
3.5. Instrumen Penelitian
Instrumen terpenting dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan
peralatan utama yang disebut sebagai pemahaman. Penelitian ini menggunakan alat
(instrumen) penelitian berupa pedoman wawancara dan didukung dengan kamera dan
alat rekam. Menurut Nawawi (1992: 69), dalam pengumpulan data diperlukan alat
yang tepat agar data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat
dikumpulkan secara lengkap. Lebih lanjut, Nawawi (1992: 74) mengatakan bahwa
dalam melakukan observasi, munculnya fenomena penelitian harus segera dicatat
meskipun dengan cara yang paling sederhana.
3.6. Teknik Pengumpulan Data
Secara garis besar, penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan
data, yaitu teknik wawancara, teknik observasi, dan teknik studi dokumen.
34
3.6.1. Teknik Wawancara
Teknik wawancara menurut Endaswara (2003: 212) adalah percakapan
dengan tujuan yang khusus. Tujuan utama dilakukan wawancara adalah untuk
menggali pemikiran konstruktif seorang informan yang menyangkut peristiwa,
organisasi, dan sebagainya, serta untuk merekonstruksi ulang pemikiran atau hal-
ikhwal yang dialami oleh informan di masa lalu. Lebih lanjut, tujuan wawancara
adalah untuk menyingkap atau menggali proyeksi pemikiran informan tentang
kemungkinan budaya yang dimilikinya di masa mendatang.
Dari berbagai bentuk teknik wawancara, dalam penelitian ini, digunakan
teknik wawancara mendalam, yang dilakukan secara langsung dengan informan. Hal
ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan gambaran yang lengkap tentang
topik yang diteliti (Bungin, 2001: 145). Wawancara mendalam dilakukan baik dengan
informan kunci, informan ahli, maupun dengan informan insendental.
3.6.2. Teknik Observasi
Teknik observasi atau pengamatan dapat diartikan sebagai pengamatan secara
sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki (Hadi, 2000: 151). Dalam hal
ini, pengamatan dimaksud untuk melakukan pengamatan langsung terhadap objek
penelitian. Pengamatan dilakukan dengan cermat yang disertai dengan pencatatan
hal-hal yang dianggap penting untuk memperkuat observasi data.
3.6.3. Teknik Studi Dokumen
Studi dokumen digunakan untuk memperoleh data yang bersifat konkret. Data
tersebut diperoleh dari buku laporan tahunan jemaat, majalah berkala yang diterbitkan
35
oleh GKPB, artikel atau literatur yang berkaitan dengan topik yang dibahas, catatan-
catatan dari jemaat, dan juga foto-foto yang menggambarkan kegiatan jemaat. Studi
dokumen digunakan untuk mencari dan mengumpulkan data mengenai hal-hal
tertentu yang ada relevansinya dengan penelitian. Hal ini dilakukan untuk
mendukung hasil penelitian.
3.7. Teknik Analisis Data.
Dalam penelitian ini, digunakan analisis data kualitatif dan interpretatif.
Menurut Moleong (2002: 103), analisis data adalah proses mengorganisasikan dan
mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh
data. Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data yang terkumpul
(Sangarimbun, 1989: 236), menyajikan secara sistematis kemudian mengolah,
menafsirkan, dan memaknainya. Selanjutnya, dilakukan penarikan simpulan yang
disertai dengan penyajian saran yang diperlukan. Menarik suatu simpulan adalah
suatu kegiatan konfigurasi yang utuh atau tinjauan ulang terhadap catatan-catatan
lapangan. Maksudnya adalah untuk menguji kebenaran, kekokohan, kecocokan, dan
validitas dari makna-makna yang muncul di lokasi penelitian (Miles, dan Huberman,
1992: 16-19)
3.8. Penyajian Hasil Analisis Data
Moleong (2002: 233) mengemukakan bahwa penulisan laporan hasil
penelitian merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, hasil
penelitian ini sebagian besar disajikan secara deskriptif melalui kata-kata, kalimat,
36
dan bentuk-bentuk narasi lainnya. Untuk mendukung kualitas narasi, penyajian di
atas akan didukung oleh hasil penelitian dalam bentuk tabel, gambar, bagan, foto,
dan peta. Secara keseluruhan, hasil penelitian disajikan dalam delapan bab, dan
dilengkapi dengan indeks dan lampiran-lampiran lain yang diperlukan.
37
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Dalam bab sebelumnya, sudah dipaparkan bahwa objek penelitian ini adalah
keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi gereja, dan lokasi
penelitian ini adalah di jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang,
Kecamatan Kuta Utara. Sebagai gambaran umum, kiranya perlu dibahas terlebih
dahulu lokasi penelitian tersebut.
4.1. Letak Geografis
Secara geografis, Banjar Padang Tawang adalah bagian dari Desa Canggu,
Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung (Gambar 4.1). Banjar Padang Tawang
berbatasan langsung di sebelah utara dengan Desa Tuka, di sebelah timur dengan
Desa Pegending , di sebelah selatan dengan Banjar Babakan Desa Canggu, Kuta
Utara, dan di sebelah barat Desa Buduk, Mengwi.
Banjar Padang Tawang berada cukup dekat dengan dua pusat
pemerintahan, yaitu Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Pusat pemerintahan
Kabupaten Badung terletak sekitar 5 km ke arah utara dari Banjar Padang Tawang,
sedangkan Kota Denpasar berjarak sekitar 10 km ke arah timur Banjar Padang
Tawang. Selain itu, Banjar Padang Tawang juga berada pada jalur pariwisata Kuta
dan Tanah Lot. Posisi ini memberikan keuntungan secara tidak langsung bagi
Banjar Padang Tawang, yaitu untuk mendapat akses yang lebih luas dalam lapangan
pekerjaan. Dengan posisi itu, Banjar Padang Tawang menjadi daerah penyangga
38
bagi pusat pemerintahan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, dan menjadi
penyangga bagi kedua daerah pariwisata yaitu Kuta dan Tanah Lot.
4.2. Keadaan Alam
Banjar Padang Tawang beriklim tropis dengan udara yang cukup segar dan
bersih. Curah hujan rata-rata pertahun 2.000 mm, sedangkan suhu udara rata-rata
32º. Banjar Padang Tawang terletak 10-15 m dari permukaan laut (Profil Desa
Canggu, 2011) ( Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Peta Letak Lokasi Penelitian(sumber: maps.google.co.id)
Lingkungan alam Padang Tawang masih tampak asri dan hijau. Hal ini tidak
terlepas dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah desa dan kesadaran penduduk
untuk tidak mengijinkan lingkungan Padang Tawang menjadi perumahan atau
Br.PADANGTAWANG
39
pemukiman baru ( Gambar 4.2). Mereka tetap mempertahankan tanah-tanah pertanian
sebagai lahan pertanian.
Gambar 4.2 Keadaan Alam Banjar Padang Tawang(Dok. : Parwita, 2011)
Dari gambar di atas (Gambar 4.2) terlihat bahwa daerah Padang Tawang masih
berupa lahan pertanian yang subur dan produktif. Sebagian kecil dari tanah-tanah itu
dipakai untuk pemukiman dan tempat usaha. Pemukiman dan tempat usaha penduduk
Banjar Padang Tawang berdiri mengikuti jalan utama yang membelah Banjar Padang
Tawang dari arah utara ke selatan.
4.3. Mata Pencaharian.
Sebagaimana desa-desa lainnya di Bali, sebelum tahun 1980-an, mata
pencaharian utama penduduk Banjar Padang Tawang adalah pertanian. Sebagian
besar penduduk Banjar Padang Tawang menggarap tanah-tanah yang diwariskan
turun-temurun oleh orang tua mereka. Tanah yang subur, didukung dengan sistem
pengairan yang baik, memungkinkan mereka menggarap, menanam padi, dan
memanen hasil sawah sepanjang tahun tanpa terganggu oleh musim. Biasanya, hasil
panen berupa padi tidak dijual langsung kepada pengijon, sebagaimana lazim
40
dilakukan oleh petani di daerah lain, tetapi mereka memanen sendiri hasil panennya
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pada dewasa ini, seiring dengan perkembangan pariwisata di Bali, mata
pencaharian penduduk Padang Tawang telah mengalami pergeseran. Pertanian tidak
lagi menjadi mata pencaharian utama penduduk Banjar Padang Tawang tetapi
sebagai sampingan. Anak-anak muda yang telah mengenyam pendidikan yang lebih
tinggi, terutama pendidikan pariwisata, tidak lagi menekuni pertanian sebagai mata
pencaharian tetapi memilih profesi yang lain. Banyak di antara mereka ikut ambil
bagian di sektor pariwisata sebagai pegawai hotel, restoran, dan sektor jasa
pariwisata lainnya (Tabel 4.1). Hal ini tentu saja sangat didukung oleh posisi Banjar
Padang Tawang yang cukup dekat dengan pusat-pusat pariwisata seperti Kuta dan
Tanah Lot.
Tabel 4.1. Jenis Pekerjaan Penduduk Banjar Padang Tawang
No. Jenis Pekerjaan Jumlah(orang)
Persentase(%)
1 Petani 21 9,42 Buruh 6 2,63 Swasta / Karyawan hotel 113 50,04 Wiraswasta 30 13,45 PNS 19 8,56 ABRI 2 0,97 Ibu rumah tangga 37 16,68 Dan lainya 22 9,8
Jumlah 223 100
Sumber : Buku Induk Kependudukan Banjar Padang Tawang 2011
Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa pertanian bukan lagi menjadi mata pencaharian
pokok bagi penduduk Padang Tawang. Pekerjaan sebagai penjual jasa pariwisata dan
41
pegawai swasta sudah lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya (Tabel 4.1). Hal ini
tentu saja sangat didukung oleh luasnya lapangan pekerjaan di sektor pariwisata dan
keberadaan Banjar Padang Tawang, yang cukup dekat dengan daerah pariwisata
Kuta dan Tanah Lot dan tingkat pendidikan khususnya bidang pariwisata.
Usaha masyarakat untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi cukup tinggi.
Hal itu ditunjukkan dengan data pada tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4. 2. Data Tingkat Pendidikan
No Keterangan Laki-laki(orang)
Perempun(orang)
1 Sekolah Dasar 24 29
2 Sekolah Menengah Pertama 13 14
3 Sekolah Menengah Atas 49 48
4 Diploma 1 dan 2 14 15
5 Diploma 3 18 6
6 S1 (Sarjana) 29 18
7 S2 (Master) 4 1
Jumlah 151 131
Sumber : Buku Induk Penduduk Br. Padang Tawang 2011
Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Br. Padang Tawang
cukup tinggi. Persentase tingkat pendidikan paling tinggi diduduki oleh mereka yang
mempunyai pendidikan diploma dan sarjana khususnya bidang pariwisata (Tabel 4.2).
Sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.1, hampir setengah (50%) dari angkatan kerja
bekerja di sektor pariwisata. Dengan tingkat pendidikan yang cukup, masyarakat Br.
Padang Tawang memiliki kesempatan yang lebih besar dalam merebut peluang kerja
di sektor pariwisata.
42
4.4. Sumber-Sumber Ekonomi.
Terkait dengan sumber-sumber ekonomi, Banjar Padang Tawang memiliki
beragam sumber ekonomi, yaitu tanah pertanian, kelompok ternak babi dan unggas,
serta kelompok pengembang kodok dan ikan air tawar. Sumber ekonomi yang
utama adalah tanah pertanian yang subur yang dapat berproduksi tiga kali dalam
setahun. Sebagai daerah pertanian, Banjar Padang Tawang memiliki areal pertanian
yang cukup luas. Hasil pertanian berupa padi, sayur, dan palawija tidak saja dapat
mencukupi kebutuhan mereka, sebagian hasil produksinya dijual ke pasar-pasar
yang ada di sekitar Banjar Padang Tawang
Ada beberapa sumber ekonomi lainnya yang dikembangkan oleh dua
kelompok. Pertama, kelompok ternak babi, selain bibit babi juga mengembangkan
babi untuk penggemukan (konsumsi) (Tabel 4.3). Sebagian besar hasil ternak, baik
berupa babi penggemukan maupun bibit dijual ke pasar-pasar atau pedagang yang ada
di sekitar Banjar Padang Tawang. Kelompok-kelompok ini mengembangkan
peternakan dalam skala kecil (rumah tangga) dan menengah . Rata-rata setiap rumah
tangga memelihara ternak babi antara 5 sampai 10 ekor dan skala menengah yang
memelihara babi antara 50 sampai 100 ekor. Dalam usaha peternakan babi,
masyarakat memanfaatkan sisa-sisa makanan dari rumah -rumah makan dan hotel
yang ada di sekitar daerah pariwisata Kuta. Hal ini sangat menguntungkan, selain
mereka mendapat harga pakan ternak yang murah jika dibandingkan pakan ternak
yang dijual di pasar berupa konsentrat, sisa-sisa makanan yang terbuang dari rumah
43
makan dianggap memiliki kandungan gizi yang lebih komplit sehingga babi lebih
cepat besar.
Kedua, kelompok pengembang kodok Thailand dan ikan air tawar juga
memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pengembangan ekonomi
masyarakat. Sebagai kelompok pengembang kodok Thailand, kelompok kodok telah
mendapat apresiasi yang cukup baik dari Pemerintah Kabupaten Badung. Kelompok
ini selain menghasilkan kodok untuk konsumsi juga bibit kodok (kecebong) yang
sangat menguntungkan.
Sumber ekonomi yang cukup mempengaruhi perkembangan ekonomi
masyarakat adalah usaha jasa pariwisata. Tercatat ada tiga usaha jasa pariwisata yang
menyediakan sarana transportasi, satu usaha jasa pemotretan, satu koperasi yang
dikembangkan oleh gereja, dan warung-warung kecil yang menyediakan kebutuhan
hidup sehari-hari (Tabel 4.3). Sumber-sumber ekonomi di atas, memberikan
kontribusi yang cukup besar dalam kemajuan ekonomi mayarakat. Dapat dikatakan
bahwa masyarakat Banjar Padang Tawang sudah hidup di atas garis kemiskinan.
Tabel 4.3 Sumber-Sumber EkonomiNo Keterangan Jumlah
1. Jasa Transportasi Pariwisata 3
2 Jasa Pemotretan 1
3 Warung 4
4 Kelompok Pengembang Kodok Thailand 1
5 Kelompok Ternak Babi 1
6 Kelompok Pengembang Ikan Air Tawar 1
7 Koperasi 1
8 Bengkel Las 1
9 Rumah Penginapan (vila) 8
10 Mebel (Mebulair) 1
11 Jasa Pelayanan Makanan untuk Pesta 2
Sumber: Buku Induk Penduduk Br. Padang Tawang 2011
44
Sarana dan prasarana ekonomi yang ada dapat dikatakan cukup memadai.
Jalan-jalan yang ada, selain cukup lebar dan terawat dengan baik, juga telah
menjangkau hampir semua sudut banjar. Jalan utama yang membelah banjar dari
utara ke selatan sudah dilapisi aspal. Jalan ini menjadi jalan alternatif bagi
masyarakat di sebelah utara Banjar Padang Tawang, yaitu Tuka, Buduk, dan
sekitarnya, untuk bepergian terutama menuju daerah pariwisata Kuta dan Tanah Lot.
Hal ini tentu saja menjadi keuntungan tersendiri bagi perkembangan ekonomi
masyarakat. Banyaknya anggota masyarakat yang melewati Banjar Padang Tawang
membuat warung-warung yang ada di sepanjang jalan utama menjadi hidup dan laris.
4.5. Keadaan Penduduk
Pola perkampungan Banjar Padang Tawang membentuk satu kelompok
dalam satu wilayah. Semua rumah penduduk dibangun di pinggir jalan, yang
melintasi Banjar Padang Tawang, dari arah utara menuju ke selatan. Setiap keluarga
menempati tanah milik sendiri sebagai pekarangan rumah. Rata-rata setiap keluarga
menempati pekarangan rumah yang luasnya antara 3 – 5 are.
Pola pembangunan rumah hampir memiliki kesamaan, yaitu menghadap ke
arah jalan raya dan bagian belakang menjadi teba. Hal ini merupakan campuran
pola pembangunan rumah-rumah tradisional Bali dan modern. Rumah utama terletak
di bagian depan dan tengah, dibangun secara permanen menghadap ke jalan,
sedangkan bagian belakang disebut teba. Sebagian keluarga memanfaatkan teba
45
untuk memelihara ternak atau kolam ikan, sebagian yang lainnya memanfaatkan
untuk menanam pisang atau tanaman lain yang bermanfaat untuk keluarga.
Menurut data kependudukan Banjar Padang Tawang tahun 20011, jumlah
penduduk Banjar Padang Tawang adalah 378 orang (Tabel 4.4). Sebagian besar (
92 %) adalah penduduk asli Padang Tawang (Bali). Artinya, mereka lahir dan tinggal
di Banjar Padang Tawang sejak dari nenek moyangnya. Sebagian kecil dari mereka
adalah para pendatang yang menetap di Banjar Padang Tawang oleh karena beberapa
sebab, yaitu karena menikah dengan orang Padang Tawang, atau orang asing yang
tinggal sementara di Padang Tawang.
Tabel 4.4. Data Asal Penduduk
NO KETERANGAN JUMLAH(orang)
PERSENTASE(%)
1 Bali 351 92,8
2 Jawa 16 4,2
3 Kalimantan 5 1,4
4 Sulawesi 3 0,7
5 Papua 2 0,5
6 Asing (Belanda) 1 0,2
Jumlah 378 100
Sumber : Buku Induk Penduduk Br. Padang Tawang 2011
Ikatan kekeluargaan masyarakat Padang Tawang sangat erat. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan di antara anggota banjar yang mekilit.
Menurut wawancara dengan Wayan Sarjana Tarsisius, Kelihan Banjar Padang
Tawang, pada awalnya sebelum terbentuk sebuah banjar, penduduk Banjar Padang
Tawang hanya terdiri atas lima kepala keluarga. Sebelumnya, lima kepala keluarga
46
ini menetap di perbatasan antara Banjar Padang Tawang sekarang dengan Banjar
Babakan yang ada di sebelah selatan. Oleh karena beberapa sebab, yaitu tempat
tinggal mereka banyak dihuni sarang semut dan keinginan untuk mencari tempat
perumahan yang lebih baik, mereka memutuskan pindah ke tempat yang mereka
tempati sampai sekarang. Dalam perkembangan, keturunan dari beberapa keluarga
ini melakukan perkawinan di antara kelompok sendiri sehingga terbentuk Banjar
Padang Tawang.
Seperti masyarakat Bali pada umumnya, mereka masih menjaga adat dan
tradisi Bali dalam kehidupan sehari-hari. Adat dan tradisi Bali dijaga dan dipakai oleh
masyarakat Banjar Padang Tawang, baik menyangkut fisik maupun dalam hubungan
sosial kemasyarakatan. Secara fisik, pola perkampungan Banjar Padang Tawang
mengikuti adat dan kebiasaan Bali. Tempat ibadah, dalam hal ini gereja, dibangun
pada bagian hulu (utara), balai banjar sebagi pusat kegiatan banjar dibangun di
tengah perkampungan. Demikian juga halnya dalam hubungan sosial
kemasyarakatan, adat, dan tradisi Bali masih dijaga dan dipertahankan, misalnya
dalam hal pernikahan. Pernikahan dimulai dengan ngidih, yaitu keluarga mempelai
laki-laki datang ke rumah mempelai perempuan untuk membicarakan rencana
pernikahan. Selanjutnya, dilakukan upacara mapamit, yang disebut juga ngaba
ketipat bantal, membawa ketupat dan aneka kue ke rumah mempelai perempuan.
Acara pernikahan dilanjutkan dengan pemberkatan nikah di gereja yang diakhiri
dengan pesta pernikahan. Adat dan tradisi Bali lain yang masih dipertahankan, yaitu
tradisi nglawar, membuat dan mempersiapkan masakan khas Bali, baik untuk
47
pernikahan, maupun upacara hari-hari besar agama Kristen seperti hari Natal dan
hari raya yang lainnya. Semua kegiatan di atas dilakukan dengan bergotong royong.
Tradisi Bali lain yang masih dipertahankan adalah penggunaan kulkul, baik untuk
tanda panggilan kepada masyarakat, maupun untuk tanda kedukaan karena ada
kematian di antara warga banjar.
4.6. Agama.
Sebelum masuknya agama Kristen, sekitar tahun 1937, penduduk Padang
Tawang semuanya menganut agama Hindu. Masuknya agama Kristen ke Bali, yang
dibawa oleh para zendeling Belanda juga mempengaruhi kehidupan beragama
penduduk Padang Tawang. Berawal dari dua warga Banjar Padang Tawang yang
beralih agama, dari agama Hindu menjadi Kristen sekitar tahun 1937, agama
Kristen terus berkembang (Wijaya, 2003: 182). Missi Katholik yang datang
berikutnya juga mempengaruhi penduduk Banjar Padang Tawang, sehingga ada dua
kekristenan yang berkembang di Padang Tawang, yaitu Kristen Protestan yang
dibawa oleh zendeling dan Kristen Katholik yang dibawa oleh missi.
Menurut data kependudukan Banjar Padang tahun 2011, jumlah pemeluk
agama Kristen Protestan adalah 163 orang (43,2%) dan Kristen Katholik berjumlah
207 orang (54,7%) Agama Hindu 5 orang (1,3%) agama Islam 3 orang (0,8%) dari
jumlah penduduk keseluruhan, seperti yang ditunjukan oleh Tabel 4.5 di bawah ini.
48
Tabel 4.5. Jumlah dan Persentase Pemeluk Agama
No Agama Jumlah(orang)
Persentase(%)
1 Hindu 5 1,32 Kristen Protestan 163 43,23 Kristen Katholik 207 54,74 Islam 3 0,85 Budha 0 0,0
Jumlah 378 100
Sumber : Buku Induk Penduduk Banjar Padang Tawang 2011
4.7. Gambaran Umum Gereja Kristen Protestan Bali Jemaat Marga Pakerti diBanjar Padang Tawang
Dalam pemaparan sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa lokasi penelitian ini
adalah di GKPB Marga Pakerti (Gambar 4.3).
Gambar 4.3. Papan Nama GKPB Jemaat Marga Pakertidi Banjar Padang Tawang
(Dok. : Parwita, 2012)
49
GKPB Marga Pakerti sebagai gereja lokal, adalah sebuah jemaat yang mandiri.
Sesuai dengan Tata Gereja GKPB Tahun 2006, bab XI, pasal 49 dan 50, yang
masing-masing menyebutkan, bahwa jemaat adalah persekutuan orang-orang
percaya yang merupakan penyataan GKPB (pasal 49). Suatu persekutuan
sebagaimana disebutkan dalam pasal 49 di atas, baru dapat menjadi satu jemaat jika
persekutuan itu terdiri atas sekurang-kurangnya 4 (empat) kepala keluarga dan atau
sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang anggota sidi (pasal 50).
Tabel 4.6. Jumlah Anggota Jemaat GKPB Marga PakertiBerdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah(orang)
1 Laki-Laki 125
2 Perempuan 134
Jumlah 259
Sumber : Laporan Pelaksanaan Program GKPB Marga Pakerti Tahun 2011
Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa GKPB Jemaat Marga Pakerti
Padang Tawang yang terdiri atas 79 kepala keluarga dan jumlah anggotanya 259
orang (Majelis Jemaat GKPB Marga Pakerti, 2012: 42-49) dapat disebut sebagai
jemaat yang mandiri (Tabel 4.6).
Satu jemaat dikatakan sebagai sebuah jemaat yang mandiri, selain ditentukan
dari jumlah anggota jemaatnya, juga dilihat dari beberapa kriteria lainnya yaitu,
memiliki tempat ibadah (gedung gereja) yang tetap (Gambar 4.4), melakukan
kegiatan pelayanan seperti ibadah minggu (Gambar 4.7) dan pelayanan lainnya secara
rutin.
50
Gambar 4.4. Tampak Luar Gedung GKPB Jemaat Marga Pakertidi Banjar Padang Tawang
(Dok. :Parwita, 2012)
Secara organisasi gereja bersama-sama dengan gereja lain yang satu asas,
GKPB Marga Pakerti di Bajar Padang Tawang berada di bawah Sinode GKPB.
Sesuai dengan Tata Gereja GKPB tahun 2006, Bab XV, pasal 90, disebutkan bahwa
sinode merupakan salah satu penjelmaan keesaan gereja dan pemegang wewenang
tertinggi gereja melalui persidangan berdasarkan firman Allah di dalam Alkitab.
Artinya, dalam ber-sinode, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang
bertanggung jawab baik secara moral maupun material kepada Sinode GKPB.
Dalam menjalankan organisasi, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang dipimpin oleh seorang pendeta sebagai ketua jemaat, dan sepuluh orang
majelis jemaat. Seorang pendeta, selain menjadi ketua, juga melaksanakan tugas-
tugas sebagaimana yang telah diatur dalam Tata Gereja GKPB Tahun 2006, Bab XIII,
pasal 83, ayat 1, menyebutkan bahwa pendeta adalah jabatan gerejawi yang
ditetapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pelayanan firman, sakramen,
51
pastoral, dan pelayanan-pelayanan gereja lainnya. Dalam menjalankan tugas
pelayanan gereja, pendeta dibantu oleh majelis jemaat. Dari sepuluh orang jumlah
majelis jemaat GKPB Marga Pakerti, mereka dibagi dalam tiga kelompok sesuai
dengan tugas-tugas khusus yang harus diemban. Ketiga kelompok itu adalah penatua,
penginjil, dan diaken. Sesuai dengan Tata Gereja GKPB tahun 2006, Bab XIII, ketiga
kelompok di atas dijelaskan sebagai berikut; Penatua adalah jabatan gerejawi yang
ditetapkan secara khusus untuk menyelenggarakan tugas persekutuan di jemaat (pasal
80, ayat 1). Penginjil adalah jabatan gerejawi yang ditetapkan secara khusus untuk
mengupayakan terselenggaranya tugas pemberitaan Injil (pasal 81, ayat 1). Diaken
adalah jabatan gerejawi yang ditetapkan secara khusus untuk mengupayakan
terselenggaranya tugas pelayanan kasih (pasal 82, ayat 1).
Dalam melaksanakan pelayanan gereja, pendeta dan majelis membentuk
pengurus-pengurus sesuai dengan kelompok usia atau jenis kelamin. Pengurus kaum
bapak, pengurus kaum ibu, pengurus usia lanjut, pengurus pemuda dan remaja, dan
pengurus anak-anak. Setiap pengurus melaksanakan kegiatan pelayanan sesuai
dengan kelompoknya masing-masing. Setiap pengurus bertanggung jawab kepada
pendeta dan majelis jemaat.
Sebagai jemaat mandiri, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang
melaksanakan berbagai macam kegiatan ibadah, yaitu ibadah umum dilaksanakan
setiap hari minggu, ibadah keluarga, ibadah kaum muda dan remaja, dan ibadah untuk
anak-anak yang lazim disebut sekolah minggu. Ibadah sekolah minggu adalah ibadah
yang dikhususkan bagi anak-anak umur 0 – 16 tahun. Ibadah umum dilaksanakan di
52
gedung gereja, yang dipimpin oleh pendeta dan majelis jemaat. Ibadah umum
dikhususkan untuk anggota jemaat dewasa umur 17 tahun ke atas (Tabel 4.7)
Menurut catatan laporan jemaat tahun 2011 anggota jemaat didominasi oleh
kaum muda yang berumur antara 20 – 50 tahun. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh
tabel 4.7, jumlah mereka sekitar 50,6 % dari jumlah keseluruhan anggota jemaat.
Tabel 4.7. Anggota Jemaat Menurut Kelompok Umur
NO Kelompok Umur(tahun)
Jumlah(orang)
Persentase(%)
1 0 - 10 32 12,3
2 11 - 20 39 15,1
3 21 – 30 50 19,3
4 31 - 40 31 11,9
5 41 – 50 50 19,4
6 51 - 60 27 10,4
7 61 – ke atas 30 11,6
Jumlah 259 100,0
Sumber Laporan Pelaksanaan Program GKPB Marga Pakerti 2011
Pelaksanaan ibadah diiringi dengan alat-alat musik, baik tradisional seperti
angklung bambu. Alat musik angklung bambu banyak digunakan untuk mengiringi
nyanyian rohani berbahasa Bali (Gambar 4.5).
53
Gambar 4.5. Alat Musik Angklung Bambu(Dok. :Parwita, 2012)
Selain menggunakan alat musik tradisional, ibadah juga diiringi dengan alat-alat
musik moderen seperti seperti piano, keyboard maupun alat musik band lengkap
seperti gambar di bawah (Gambar 4.6).
Gambar 4.6. Alat Musik Band(Dok. :Parwita, 2012)
Ibadah menggunakan liturgi dan nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan
Bali. Pelaksanaan ibadah diatur sebagai berikut, minggu pertama setiap bulan
54
ibadah menggunakan liturgi dengan pengantar dan nyanyian rohani berbahasa Bali,
sedangkan minggu kedua, ketiga, dan keempat menggunakan bahasa Indonesia
sebagai pengantar dan nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
Gambar 4.7. Ibadah Minggu Anggota Jemaat Dewasa(Dok. :Parwita, 2012)
Rata-rata ibadah umum (ibadah untuk orang dewasa) dihadiri oleh 165 orang
setiap minggu (Gambar 4.7). Ibadah sekolah minggu (ibadah untuk anak-anak) rata-
rata dihadiri oleh 35 orang setiap minggu.
4.8. Sejarah Singkat Gereja Kristen Protestan Bali Jemaat Marga Pakerti diBanjar Padang Tawang
Masuknya agama Kristen ke Banjar Padang Tawang tidak dapat dilepaskan
dari peran I Goesti Poetoe Sanoer. Goesti Poetoe Sanoer adalah salah satu orang
Bali yang dibaptis oleh Pendeta R.A. Jaffray pada tanggal 11 Desember 1931 di
Tukad Yeh Poh, Dalung. Ia dibaptis bersama dengan Pan Loting, Pan Boengkalan,
Pekak Panggih, Pekak Poeter, Pan Soepreg, dan Pekak Rayoe (Wijaya, 2003: 80 ;
Ayub, 1999: 32). Pembaptisan yang pertama di Tukad Yeh Poh menjadi peristiwa
penting dalam penyebaran agama Kristen di Bali. Sejak peristiwa pembaptisan yang
dilakukan di Tukad Yeh Poh, agama Kristen kemudian menyebar ke daerah-daerah di
55
sekitarnya, seperti Abianbase, Buduk, dan termasuk juga Padang Tawang. Agama
Kristen dibawa oleh I Goesti Poetoe Sanoer masuk ke Padang Tawang sekitar tahun
1937, enam tahun setelah pembaptisan di Tukad Yeh Poh.
I Nyoman Moeg alias Pekak Esti, Pekak Simpang, Pekak Sara, dan Pekak
Seregana adalah empat orang pertama yang beralih agama menjadi pemeluk agama
Kristen di Banjar Padang Tawang. Keempat orang ini telah menjadi murid-murid
dari I Goesti Poetoe Sanoer. Menurut cerita, I Goesti Poetoe Sanoer adalah orang
yang sangat sakti dan menguasai ilmu panengen. Ilmu panengen berlawanan dengan
ilmu pangiwa. Dalam kehidupan orang Bali, Ilmu panengen dikaitkan dengan ilmu
putih, yang berkaitan dengan hal-hal yang baik, seperti ilmu pengobatan, sedangkan
ilmu pangiwa dikaitkan dengan ilmu hitam seperti pangleakan. Ketika I Goesti
Poetoe Sanoer belajar agama Kristen dan kemudian masuk agama Kristen, keempat
muridnya mengikuti jejak langkah gurunya. Guru bagi masyarakat Bali adalah orang
yang patut dihormati, sesuai dengan konsep catur guru dalam tradisi Bali-Hindu.
Apa pun yang dilakukan oleh guru, itulah yang terbaik dan patut diikuti oleh murid-
muridnya. Tidak ada yang berani berkhianat terhadapnya, karena tidak ingin terkena
kutukan. Hal ini sesuai dengan konsep alpaka guru. Jika guru sudah meninggal,
murid wajib meneruskan ilmu kepada generasi penerusnya. Hal inilah yang kemudian
dilakukan oleh keempat orang tersebut (Wijaya, 2003: 182).
Konsep tentang guru, juga dikenal dalam ajaran agama Kristen. Isa Almasih
atau Yesus Kristus juga dikenal sebagai guru, yaitu guru yang mengajar,
membimbing, dan memberi pencerahan kepada murid. Dalam hal ini, I Goesti Poetoe
56
Sanoer, juga berposisi sebagai guru yang mengajar, membimbing dan memberi
pencerahan tentang agama Kristen kepada keempat orang tersebut. Tampaknya,
hubungan antara guru dan murid inilah kemudian membawa keempat orang itu
beralih agama dengan memeluk agama Kristen. Keempatnya kemudian dibaptis oleh
Mas Darmoadi pada tahun 1937 di Buduk
Perjalanan sejarah terus berlanjut, setelah keempat orang itu menerima
baptisan, mereka mengajak saudara-saudaranya yang lain masuk agama Kristen.
Kewajiban ini, tentu saja sangat berkaitan erat dengan ajaran agama Kristen,
sebagaimana yang tertulis dalam Alkitab (kitab suci agama Kristen). Dalam Injil
Matius pasal 28, ayat 19, tertulis bahwa, Karena itu pergilah, jadikanlah semua
bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus”.
Tentu saja, I Goesti Poetoe Sanoer mengajarkan hal ini kepada keempat muridnya,
kemudian keempat muridnya ini melanjutkan ajaran itu kepada murid berikutnya.
Setelah menerima pembaptisan di Buduk, I Nyoman Moeg mencari saudara
kandungnya Ni Ketoet Perning. Ni Ketoet Perning sendiri sebelumnya sudah
mendengar peristiwa baptisan di Tukad Yeh Poh dan sangat tertarik untuk ikut
beralih agama menjadi agama Kristen, sehingga tidaklah sulit bagi I Nyoman Moeg
untuk mengajak Ni Ketoet Perning untuk beralih agama. Selain saudara kandungnya
I Ketoet Perning, I Nyoman Moeg juga mencari saudaranya yang lain bernama I
Moenting dan Nang Gendol. Kedua orang ini lalu juga mengajak anak-anaknya
masing-masing, sehingga dalam kurun waktu dua tahun jumlah orang kristen di
Padang Tawang menjadi sekitar sepuluh orang.
57
Seiring berjalannya waktu, jumlah pemeluk agama Kristen terus mengalami
peningkatan. Penambahan jumlah itu terjadi lebih banyak lewat hubungan
kekerabatan, sebagaimana yang dilakukan oleh I Nyoman Moeg. Namun demikian,
bertambahnya jumlah orang kristen, juga terjadi karena pernikahan, sebagaimana
yang dialami oleh I Ketut Rendig. I Ketut Rendig yang dulunya beragama Hindu,
beralih agama menjadi kristen karena menikah dengan Ni Wayan Pimpin yang
sudah lebih dulu memeluk agama Kristen. Pertimbangan I Ketut Rendig mau beralih
agama, karena menganggap menikah dengan cara kristen lebih murah dan mudah
(Wijaya, 2003: 188-189).
Berbeda dengan I Ketoet Rendig yang beralih agama ke agama Kristen karena
pernikahan, I Soeploeg beralih agama karena merasa disembuhkan dari penyakit TBC
yang dideritanya. Ketika I Soeploeg mendengar bahwa orang-orang Kristen dengan
berdoa dapat menyembuhkan penyakit, ia lalu menemui orang-orang Kristen untuk
didoakan. Dengan doa-doa orang Kristen itu, I Soeploeg benar-benar disembuhkan
dari penyakitnya. Dengan alasan itulah, I Soeploeg beralih agama menjadi pemeluk
agama Kristen. Dari empat orang pada tahun 1939, jumlah orang kristen terus
bertambah. Pada tahun 1954 jumlah orang beragama Kristen di Banjar Padang
Tawang, telah mencapai 54 orang.
58
BAB V
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG KETERPINGGIRANNYANYIAN ROHANI BERBAHASA BALI DALAM LITURGI GEREJA
KRISTEN PROTESTAN BALI JEMAAT MARGA PAKERTI DI BANJARPADANG TAWANG
Faktor-faktor yang mempengaruhi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang dapat
diungkap melalui kehidupan sosial umat. Kehidupan sosial adalah serangkaian
agregat perbedaan yang saling terkait dan terartikulasi atau terjalin bersama sehingga
kehidupan sosial sangat berpotensi terhadap munculnya perubahan sosial dan masalah
sosial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Laclau dan Mouffe ( dalam Chris Barker
2006: 87) kehidupan sosial meliputi berbagai hal yang terkait dengan kekuasaan dan
antagonisme ketimbang melekat dalam konflik kelas. Bidang kompleks dari berbagai
bentuk kekuasaan, subordinasi dan antagonisme yang tidak dapat direduksi menjadi
bidang atau kontradiksi tunggal.
5.1. Perubahan Sosial
Nyanyian rohani berbahasa Bali sesungguhnya muncul dari pergumulan umat
yang mengalami masa-masa sulit pada awal perkembangan agama Kristen di Bali.
Pengarang nyanyian rohani berbahasa Bali ingin mengungkapkan imannya atau apa
yang dialaminya dalam nyanyian rohani tersebut. Artinya, sebuah nyannyian rohani
berbahasa Bali lahir dari konteks pengarangnya. Apa yang dialami dan dirasakan oleh
pengarang nyanyian rohani tersebut diungkapkan dalam syair-syair nyanyian rohani.
Dalam kaitan tersebut, nyanyian rohani berbahasa Bali lahir dari konteks kehidupan
59
orang-orang Kristen Bali di akhir tahun 1930-an. Mereka adalah orang-orang yang
baru saja beralih agama, dari sebelumnya memeluk agama Hindu kemudian mereka
memeluk agama Kristen.
Sebagai orang-orang Bali yang baru beralih agama, mereka diperhadapkan
dengan berbagai macam kesulitan. Secara sosial kemasyarakatan, mereka dicap
sebagai orang-orang Bali yang murtad (Waspada, 2012: 176). Orang-orang Kristen
Bali banyak mengalami tekanan dan penolakan, sehingga nyanyian rohani yang
muncul pada saat itu adalah nyanyian rohani yang sangat kental dengan ungkapan
pengharapan atau nyanyian rohani yang mengajak umatnya untuk tetap kuat dan setia
di dalam menghadapi kesulitan. Salah satu contoh nyanyian rohani berbahasa Bali
yang kental mengungkapkan keadaan yang dialami orang-orang Kristen Bali pada
masa itu, seperti nyanyian rohani dalam buku Kidung Pamuji no. 103 dengan judul
Sampunang Ajrih Kakewuhan. Syair nyanyian rohani berbahasa Bali tersebut sebagi
berikut.
Sampunang ajrih kakewuhanHyang Yesus matininginIrika wenten pasayubanIda matiningin, pagehang kahyuneJanten Ida matininginMatiningin iraga, saumur iraga
Yen kakutang antuk reramaHyang Yesus matininginYening tinilar olih sawitraIda tan nilarin, pagehang kahyunneJanten Ida matininginMatiningin iraga, saumur iraga
60
Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
Jangan takut dengan kesulitanTuhan Yesus menjagaDi sana ada tempat perlindunganIa yang menjaga, kuatkan hatiSebab Ia yang menjagaMenjaga kita semua, selama hidup kita
Jika dibuang oleh orang tuaTuhan Yesus menjagaJika ditinggal oleh sahabatIa tidak meninggalkan kita, kuatkan hatiSebab Ia yang menjagaMenjaga kita semua, selama hidup kita.
Syair nyanyian rohani berbahasa Bali di atas menggambarkan keadaan dan
situasi yang dihadapi oleh jemaat pada masa itu. Mereka ditinggalkan oleh orang tua
yang mereka kasihi. Mereka ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya. Namun
demikian, pengarangnya mengajak jemaat untuk tetap kuat dan teguh, sebab
pengharapan mereka ada di dalam Tuhan Yesus yang menjaga kehidupan mereka.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh I Gede Trisna Putra, seorang mantan majelis
jemaat dengan mengatakan sebagai berikut.
“Nyanyian rohani berbahasa Bali sangat kental dengan masa lalu, sejarahmasa lalu, yaitu tentang lahirnya Gereja Bali. Yang dimaksud adalah padamasa kelahiran gereja di Bali, gereja mengalami banyak kesulitan, gerejabanyak mengalami tantangan. Orang-rang yang mengalami tantangan dankesulitan itu menuangkan perasaannya dalam nyanyian” (Wawancara, 8Agustus 2012)
Ungkapan di atas menjelaskan bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali tidak dapat
dilepaskan dari keadaan dan situasi sosial yang dialami oleh pengarangnya.
61
Dalam konteks yang lain, munculnya nyanyian rohani berbahasa Bali adalah
ketika jemaat mengalami kesulitan ekonomi dalam pengertian keseluruhan. Mereka
merupakan orang-orang miskin yang mengalami masalah sandang, papan, dan
pangan. Pada masa itu, lazim disebut sebagai masa malaise. Masa malaise dialami
oleh hampir sebagian besar penduduk Bali, termasuk di dalamnya orang-orang Bali
yang beragama Kristen (Puspitha, 2012: 44). Salah satu contoh nyanyian rohani
berbahasa Bali yang mengungkapkan situasi tersebut adalah nyanyian rohani no. 63
dalam buku Kidung Pamuji dengan judul, Sang Hyang Widi Ngempu Titiang. Syair
nyanyian tersebut sebagai berikut:
Sang Hyang Widi ngempu titiangTitiang sami druwen IdaJanten nenten kekirangan.Reh kapiara antuk IdaDiastu ngentap jurang bayaNenten wenten sumangsayaReh Ida ne nantan titiangTur ngicen pikukuh manah
Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah sebagi berikut.
Tuhan yang memelihara hidup sayaKami semua adalah milikNyaTidak akan kekuranganSebab Ia yang memeliharaBiarpun menyebrangi bahayaTidak pernah merasa raguSebab Ia yang menuntun sayaDan memberi kekuatan.
Syair nyanyian rohani berbahasa Bali di atas menggambarkan bahwa mereka ada di
dalam masa-masa sulit. Namun demikian, mereka tidak merasa takut karena mereka
62
dipelihara dan dituntun oleh Tuhan. Tuhan yang mereka percayai akan memberikan
dan mencukupkan apa yang mereka perlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam realitas kehidupan umat Krsiten pada masa 1930-an sampai dengan
1960-an, nyanyian rohani berbahasa Bali sangat menolong umat Kristen untuk
membangkitkan semangat dan membangun iman. Seperti yang diungkapkan oleh I
Nyoma Ruja, seorang anggota jemaat yang lahir tahun 1947. Sebagai warga jemaat
generasi kedua dan mantan majelis jemaat, ia mengatakan sebagai berikut.
“Saya masih ingat bagaimana nyanyian rohani berbahasa Bali, ketika masihdipakai secara penuh dalam setiap ibadah, baik ibadah minggu, ibadah hariraya, maupun penguburan untuk jemaat yang meninggal. Dulu ketika kamiberjalan dari rumah duka ke kuburan, kami menyanyikan lagu-lagu pujianmenggunakan bahasa Bali. dan kadang-kadang saya menangis dan tidakdapat menyanyi, mulut saya terkunci, karena apa yang dinyanyikan sangatmeresap dalam hati saya. Saya merasa dikuatkan dalam menghadapi situasisulit ketika itu” (Wawancara, 9 Agustus 2012)
Dari ungkapan di atas, dapat dikatakan bahwa jemaat, khususnya mereka yang
melalui masa tahun 1940-an sampai dengan 1980-an, sangat merasakan dan
menikmati nyanyian rohani berbahasa Bali. Begitu kuatnya nyanyian rohani
berbahasa Bali merasuki hati mereka sehingga mereka menitikkan air mata ketika
menyanyikan nyanyian tersebut. Hal ini menunjukan bahwa nyanyian rohani
berbahasa Bali meresap dalam kehidupan mereka.
Apa yang diungkapakan oleh Nyoman Ruja dan Gede Trisna Putra di atas,
berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Piter Kristianus anggota GKPB jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang dari generasi ketiga. Piter Kristianus yang
lahir tahun 1980-an, seorang pemuda jemaat mengatakan sebagai berikut.
63
“Setiap kali ibadah minggu memakai bahasa dan nyanyian rohani berbahasaBali, saya banyak tidak nyambungnya. Saya tidak tahu apa makna darisyair-syair nyanyian rohani berbahasa Bali itu, lagi pula, lagunya sedih danmendayu. Kadang saya hanya bengong. Apalagi kalau kotbahnya memakaibahasa Bali, hampir-hampir saya tidak mengerti apa yang dikatakan olehpendeta. Jadi saya sering memilih tidak ikut ibadah. Saya berpikir toh nantiada waktu lain” (Wawancara, 7 Agustus 2012)
Sebagai warga jemaat generasi ketiga, Piter Kristianus tidak lagi memahami
apa makna dan arti nyanyian rohani berbahasa Bali, ketika nyanyian itu dinyanyikan
dalam ibadah. Hal ini menjadi wajar terjadi dalam diri Piter Kristianus, yang
mewakili warga jemaat generasi ketiga.
Apa yang melatarbelakangi hal di atas adalah perbedaan konteks antara
generasi pertama dan generasi ketiga yang disebabkan oleh adanya perubahan sosial.
Kehidupan warga jemaat generasi pertama sangat kental dengan kesulitan dan
tekanan. Hal ini berbeda dengan generasi ketiga, yang hidup dalam kecukupan secara
materi dan tidak mengalami tekanan secara sosial. Salah satu contoh nyanyian
berbahasa Indonesia yang mengungkapkan sukacita sebagai berikut:
Kasih Allah tak berkesudahan,Selalu baru setiap hariRahmatNya pun tak pernah berakhirSeumur hidupkuDengan sukacita aku akan menariDengan sorak-sorai memujiKunaikkan pujian haleluyaNyanyi bagi Dia sang RajaNyanyi bagi Dia sang Raja selamanya
Nyanyian rohani seperti di atas, mengungkapkan akan kasih dan rahmat Allah yang
tidak pernah berhenti. Allah sebagai sumber berkat memberikan apa yang dibutuhkan
dan memberikan dengan berkelimpahan.
64
Perubahan konteks sosial dari generasi pertama dengan generasi ketiga
menimbulkan sebuah krisis (Koentjaraningrat 1990: 112). Dalam krisis tersebut
generasi pertama yang pro terhadap kebudayaan tradisional akan menolak sebaliknya
generasi kedua dan ketiga yang pro kepada kebudayaan masa kini menginginkan
perubahan.
Perbedaan konteks sosial antara generasi pertama dan ketiga menimbulkan
berbagai persoalan lainya. Salah satu persoalan adalah semakin berkurangnya warga
jemaat yang memahami dan dapat berbahasa Bali dengan baik. Wawancara dengan
Nengah Yakobus Wirasa, tanggal 26 Agustus 2012, yang termasuk golongan
generasi kedua mengatakan bahwa jumlah warga jemaat di tahun 2012 yang dapat
dan memahami bahasa Bali tidak lebih dari 10 sampai 15 orang saja dari 260 warga
jemaat. Itu artinya hanya satu persen saja dari keseluruhan warga jemaat memahami
bahasa Bali yang lainnya lebih memahami bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Bali.
Hal di atas terjadi karena generasi pertama maupun kedua tidak mengajarkan
bahasa maupun nyanyian rohani berbahasa Bali kepada generasi ketiga. Hampir
semua informan yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka tidak mengajarkan
bahasa Bali kepada anak-anak mereka. Mereka memakai bahasa Indonesia ketika
berkomunikasi dengan anak-anak. Alasanya adalah bahwa bahasa Indonesia lebih
dibutuhkan ketika mereka bersekolah dan nantinya masuk dalam dunia kerja. Seperti
diungkapkan oleh seorang informan warga jemaat dari generasi ke tiga Nyoman
Daud Sunarka dalam wawancara demikian.
“Saya tidak mengajarkan bahasa Bali kepada anak saya sebab di sekolahmereka, ibu dan bapak gurunya memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa
65
pengantar. Saya takut anak saya tidak dapat mengikuti pelajaran. Dan jugaketika di rumah, saya coba memakai bahasa Bali ketika komunikasi dengananak, sering kali anak saya menjawab apa ta (ungkapan dari anak bahwa iatidak memahami apa yang dikatakan oleh bapaknya). Dia tidak maumenjawab, sehingga saya lebih memilih memakai bahasa Indonesia”(Wawancara, 30 Juli 2012)
Ungkapan di atas menggambarkan bahwa ada alasan yang masuk akal mengapa
orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa Bali kepada anak-anak mereka. Pertama,
karena alasan bahasa pengantar di sekolah yang memakai bahasa Indonesia. Kedua,
ada rasa enggan dari pihak anak yang tidak mau memakai bahasa Bali. Anak tidak
mau merespon apa yang dikatakan oleh bapaknya. Namun secara tidak langsung,
informan di atas mengatakan bahwa telah terjadi perubahan sosial di tengah
kehidupan GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Perubahan sosial
tersebut berdampak kepada pemakaian bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari.
Kellner (2010:19) mengatakan bahwa sejak tahun 1960-an, telah terjadi serangkaian
perubahan menakjubkan dalam budaya dan masyarakat di seluruh dunia. Tahun 1960-
an merupakan era kekacauan sosial yang panjang, yang ditandai oleh menjamurnya
berbagai gerakan sosial baru yang menantang berbagai bentuk masyarakat dan
budaya yang mapan dan menghasilkan budaya tandingan baru dan berbagai bentuk
alternatif dari kehidupan sehari-hari. Era ini disebutnya sebagai era “perang budaya”.
Perubahan sosial di atas, menyentuh secara langsung hampir semua sendi
kehidupan. Tourane (dalam Piliang, 2010: 176) mengatakan bahwa kehidupan sosial
kini telah kehilangan kesatuannya dan kini tidak lebih dari sebuah arus perubahan
yang tidak henti-hentinya yang di dalamnya aktor-aktor individu maupun kolektif
66
tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai ataupun norma sosial. Hal seperti itu tidak
hanya melanda masyarakat perkotaan, akan tetapi juga masyarakat yang hidup di
pedesaan termasuk di dalamnya GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang.
Pada tahun 1940-an, ketika kehidupan mereka belum banyak berinteraksi
dengan masyarakat luar, terutama yang berbeda suku bangsa, mereka masih
menganggap bahasa Bali sudah cukup. Hal yang berbeda terjadi ketika warga jemaat
memasuki tahun 1980-an, di mana pada tahun itu, Bali mengalami “ledakan”
pariwisata. Jalan-jalan mulai dibangun dan diperbaiki dengan pengaspalan, sehingga
desa-desa yang dulu terisolir menjadi desa yang terbuka, termasuk Banjar Padang
Tawang yang mengalami perubahan dalam berbagai bidang. Seperti tampak pada
gambar di bawah ini (Gambar 5.1).
Gambar 5.1 Jalan Utama Banjar Padang Tawang(Dok. :Parwita, 2012)
Gambar 5.1 di atas menunjukkan jalan utama Banjar Padang Tawang yang
dahulunya sempit, mulai diperlebar dan diaspal. Hal ini menjadikan Banjar Padang
Tawang terbuka, bahkan menjadi sangat dekat dengan dua tempat pariwisata yang
67
terkenal, yaitu Kuta dan Tanah Lot. Perubahan tersebut juga telah mengubah cara
berpikir warga jemaat, seperti yang dikatakan oleh seorang informan I Ketut Sadrah
sebagai berikut.
“Sejak Banjar Padang Tawang mulai terbuka yang ditandai dengan diperlebardan diaspalnya jalan, membuat pola pikir dan cara pandang warga banjarberubah. Salah satu contohnya adalah pandangan orang tua terhadap anak-nak. Orang tua beranggapan kalau jaman sekarang anak-anak tidak bisaberbahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia maka, ia dianggapkuno”(Wawancara tanggal 8 Agustus 2012)
Dengan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa dengan berlalunya waktu
telah terjadi perubahan sosial. Berdasarkan sifatnya, perubahan sosial terjadi bukan
hanya menuju ke arah kemajuan, tetapi dapat juga menuju ke arah kemunduran. Ada
kalanya perubahan sosial yang terjadi berlangsung demikian cepat sehingga
membingungkan manusia yang menghadapinya (Ningsing: 2006:3). Perubahan sosial
merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena
perubahan kondisi geografis, kebudayaan, dinamika dan komposisi penduduk,
ideologi, ataupun karena adanya penemuan-penemuan baru di dalam masyarakat.
Perubahan sosial menunjuk pada berbagai modifikasi yang terjadi dalam pola
kehidupan manusia (Samuel Koening dalam Ningsing, 2006: 3).
Perubahan sosial yang dialami masyarakat merupakan faktor penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan budaya. Perubahan sosial dan kebudayaan
merupakan dua bidang yang saling berkaitan. Menyitir apa yang dikatakan oleh
Kingsley Davis, bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan
kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yaitu kesenian,
ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya. Hal yang sama diungkapkan
68
oleh Selo Sumarjan (dalam Soekamto, 2001:342) bahwa perubahan-perubahan sosial
dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu kedua-duanya bersangkut-
paut dengan penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu
masyarakat memenuhi kebutuhannya.
Berdasarkan pada pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial
yang terjadi di tengah-tengah kehidupan jemaat menjadi latarbelakang keterpinggiran
nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang. Ketika kehidupan sosial berubah, jemaat tidak lagi melihat dan
merasakan nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah sarana yang dapat
memenuhi kebutuhan jemaat dalam melaksanakan ibadah. Jemaat menolak nyanyian
rohani berbahasa Bali dan memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan Inggris
karena menganggap nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sesuatu yang kuno dan
nyanyian rohani berbahasa Indonesia atau Inggris lebih modern. Hal ini sesuai
dengan pendapat Atmaja (, 2010: 69) mengatakan bahwa konsep modern yang
berlaku pada masyarakat Bali yang memposisikan kemajuan identik dengan
kebudayaan putih, di mana salah satu unsurnya adalah bahasa Inggris.
5.2. Perubahan Lingkungan
Berbicara tentang lingkungan maka dalam hal ini ada dua hal yang dapat
dijelaskan, yaitu lingkungan dalam skala kecil dan skala luas. Lingkungan kecil
adalah lingkungan rumah tangga di mana para anggota masyarakat atau keluarga
dapat berkumpul kesehariannya. Keluarga merupakan faktor pertama yang
69
mempengaruhi pertumbuhkembangan anak. Dalam lingkungan kecil di atas, juga
diwariskan kebudayaan atau tradisi kepada generasi penerusnya.
Sebuah kebudayaan atau tradisi akan dapat diwariskan kepada generasi
berikutnya jika generasi yang lebih tua mengajarkan budaya atau tradisi tersebut.
Ada berbagai cara atau media yang dapat digunakan untuk mewariskan budaya atau
sebuah tradisi kepada generasi yang lebih muda. Pada jaman dahulu, orang tua
mengajarkan secara lisan tradisi-tradisi nenek moyang kepada anak-anaknya.
Transmisi budaya dilakukan dengan cerita-cerita pada waktu menjelang tidur oleh
ibu atau bapak kepada anak-anak atau oleh kakek atau nenek kepada cucu-cucunya.
Saat ini, pemindahan nilai-nilai budaya secara lisan sudah sangat jarang
dilakukan, bahkan dapat dikatakan tidak ada lagi. Orang tua seakan-akan tidak lagi
perduli dengan keberlanjutan tradisi yang menjadi ciri khas etniknya. Secara tidak
disadari, orang tua lebih mempercayakan kepada media televisi untuk membimbing
dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan daripada mengajarkan secara langsung, seperti
yang diungkapkan oleh seorang informan I Nyoman Rubin umur 62 tahun, yang
mengatakan sebagai berikut.
“Jangankan untuk mengajarkan nyanyian rohani, bertemu saja kami jarang.Saya cukup sibuk dengan tugas saya sebagai pegawai. Anak-anak juga sibukdengan kegiatannya sendiri, kalaupun kami bertemu lalu ibadah di rumahdan kami memakai nyanyian rohani berbahasa Bali, anak-anak tidak maumenyanyi, dari pada begitu kami memilih nyanyian rohani berbahasaIndonesia. Kami memberikan fasilitas seperti video di mana mereka dapatbelajar secara mandiri” (Wawancara, 27 Juli 2012).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa ada rasa enggan dari orang tua untuk
mengajarkan nyanyian rohani berbahasa Bali kepada anak-anak. Selain karena
70
alasan kesibukan dan jarang bertemu, generasi muda jemaat GKPB Marga Pakerti di
Banjar Padang Tawang tidak lagi mengetahui dan memahami nyanyian rohani
berbahasa Bali. Hal ini terjadi oleh karena orang tua sebagai generasi yang
bertanggungjawab untuk meneruskan tradisi, tidak mentransmisikan tradisi dan
budaya kepada generasi muda.
Ketertarikan anak-anak muda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang terhadap tradisi, khususnya nyanyian rohani berbahasa Bali semakin hari
semakin berkurang. Ada indikasi bahwa 5 – 10 tahun mendatang, nyanyian rohani
berbahasa Bali akan betul-betul ditinggalkan. Seorang informan Ketut Yusuf umur
45 tahun, seorang guru Sekolah Minggu, mengatakan sebagai berikut.
“Nyanyian rohani berbahasa Bali memang perlu dilestarikan, tetapi olehkarena desakan kebutuhan dan perubahan jaman nampaknya nyanyianrohani berbahasa Bali tidak lagi dapat menjawab tantangan jaman.Sekarang misalnya, seperti anak saya sama sekali tidak dapat menyanyikannyanyian rohani berbahasa Bali selain juga mereka tidak memahaminya.Di rumah yang mereka putar adalah nyanyian-nyanyian rohani populerberbahasa Indonesia” (Wawancara, 29 Juli 2012).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa kondisi nyanyian rohani berbahasa Bali yang
menjadi identitas lokal bagi gereja sedang mengalami tantangan. Tantangan itu
datang dari dua pihak, yaitu generasi tua yang enggan mentransmisikan budaya dan
tradisi kepada generasi muda dan di lain pihak, generasi muda lebih tertarik kepada
yang berbau modern. Abdullah (2006: 52) mengatakan bahwa proses semacam itu
disebut sebagai proses “eklusi sosial”. Suatu kelompok cenderung membangun
wilayah simboliknya sendiri yang membedakan diri dari orang lain. Hal inilah yang
dilakukan oleh generasi muda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
71
Tawang. Generasi muda lebih condong mempelajari sesuatu yang berbau modern
dan tidak tertarik dengan tradisi. Bhaba (dalam Gandhi, 2006: viii) mengatakan
bahwa seluruh pernyataan dan sistem kultural dikonstruksikan dalam sebuah tempat
yang disebut “tempat pengucapan ketiga”. Artinya, identitas kultural selalu berada
dalam wilayah kontradiksi dan ambivalensi sehingga klaim terhadap sebuah hirarki
kemurnian budaya tidak dapat dipertahankan lagi.
Dalam lingkungan yang luas, yang menjadi latar belakang terpinggirkannya
nyanyian rohani berbahasa Bali adalah kurangnya pengetahuan generasi muda
GKPB jemaat Marga Pakerti tentang nyanyian rohani berbahasa Bali. Generasi
muda adalah mereka yang diharapkan akan melanjutkan dan menjaga tradisi-tradisi
nenek moyang. Namun, tidak adanya pengetahuan dan minimnya minat generasi
muda untuk mempelajari nyanyian rohani berbahasa Bali menyebabkan harapan
untuk lestarinya tradisi menjadi sirna. Tradisi, dalam hal ini nyanyian rohani
berbahasa Bali cenderung terpinggirkan. Sztomka (2004: 57) menyatakan bahwa
dalam era mondial tempat terjadinya pertarungan antara nilai-nilai tradisi dan nilai-
nilai global, diharuskan perubahan tradisi menjadi suatu yang bermakna bagi
masyarakat pendukungnya. Jika tidak demikian, maka tradisi masyarakat pribumi
dipengaruhi dan bahkan disapu bersih oleh globalisasi.
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, Kecamatan Kuta
Utara sedang menghadapi tantangan globalisasi. Generasi muda GKPB jemaat
Marga Pakerti lebih cenderung mempelajari hal-hal yang menurut mereka baru dan
72
bersifat modern (Gambar 5.2). Hal-hal yang baru dan modern, yang menurut
anggapan mereka, lebih bergengsi dan dapat menjadikan mereka populer.
Gambar 5.2 Anak-anak Muda GKPB Jemaat Marga Pakerti Bermain Band(Dok. :GKPB Marga Pakerti, 2011)
Gambar 5.3 Anak-anak Muda GKPB Jemaat Marga PakertiSedang Berlatih Band(Dok. :Parwita, 2012)
Gambar 5.3 di atas menunjukkan bahwa anak-anak sebagai generasi muda
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang di Banjar Tawang, lebih memilih
73
memainkan alat-lat musik modern daripada alat musik tradisional. Mereka memilih
belajar memainkan musik band dan menyanyikan nyanyian rohani populer berbahasa
Indonesia daripada belajar memainkan musik tradisi seperti angklung bambu. Mereka
berpikir bahwa dengan mahir memainkan alat musik band dan menyanyikan
nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia, mereka dapat menjadi populer dan
tidak dikatakan “jadul” (jaman dulu). Itu merupakan sebuah istilah yang sering
dipakai oleh anak-anak muda untuk mengatakan kepada seseorang yang tidak
mengerti tentang teknologi atau budaya modern.
Gambar 5.4 di bawah ini menunjukkan bahwa peminat musik tradisi adalah
mereka dari kalangan generasi tua.
Gambar 5.4 Sekehe Angklung Bambu Melakukan Latihan(Dok. :GKPB Jemaat Marga Pakerti, 2011)
Pemikiran di atas merasuki pemikiran anak-anak muda GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang. Seorang informan Wayan Suartha penatua
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang mengatakan sebagai berikut.
74
“Anak-anak seperti anak saya banyak kosa kata bahasa Bali tidak merekamengerti. Mereka sering bertanya kalau misalnya mereka mendengar kosakata yang baru. Anak-anak muda sekarang nampaknya lebih suka belajarhal-hal yang modern. Contohnya seperti di gereja, gereja menyediakanangklung bambu lengkap dengan harapan semua anggota jemaat termasukanak muda yang berminat mau belajar supaya nanti dapat dipakai untukmengiringi ibadah. Tetapi kita lihat alat musik itu sekarang nongkrong digudang sampai berdebu, mungkin juga sekarang sudah rusak, sepertinyaanak-anak menganggap tidak gaul kalau belajar atau memakai musikangklung“ (Wawancara, 29 Juli 2012)
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ada kesan bahwa anak-anak muda
tidak berminat belajar atau memakai sesuatu yang bersifat tradisi. Generasi muda
cenderung menyukai hal-ahal yang berbau modern. Kalau hal ini dibiarkan terus
tidak tertutup kemungkinan bahwa tradisi, dalam hal ini nyanyian rohani berbahasa
Bali, akan musnah. Dengan meminjam istilah yang dikatakan oleh Storey (2007: 54),
globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan
menggiring masyarakat ke persamaan atau homogenitas budaya serta menentang
nilai-nilai dan identitas kelompok.
Dengan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang ada dalam situasi atau masa transisi. Transisi yang
dimaksud adalah peralihan dari tradisi lama kepada tradisi baru. Pada satu sisi,
tradisi lama masih dijalani oleh generasi tua dan pada saat yang sama ditolak oleh
generasi muda. Dalam masa transisi, akan terjadi tarik menarik antara mereka yang
pro dan kontra perubahan (Koentjaraningrat, 1990: 112). Fenomena seperti inilah
yang terjadi dalam kehidupan GKPB jemaat Marga pakerti di Banjar Padang
Tawang.
75
5.3. Peningkatan Pendidikan .
Pendidikan baik yang bersifat formal maupun nonformal dapat menjadi
sebuah sarana untuk meningkatkan sumber daya manusia. Perkembangan pendidikan
di era informasi yang begitu cepat telah mengubah dan mengembangkan berbagai
macam pendidikan. Beragamnya jenis pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah-
sekolah maupun lembaga-lembaga pendidikan membuka kesempatan bagi warga
masyarakat untuk memilih jenis pendidikan yang diminati.
Anak-anak muda yang telah menamatkan pendidikan menengah atas dapat
memilih melanjutkan ke perguruan tinggi atau mengikuti kursus-kursus singkat yang
menawarkan kompetensi. Namun, harus diakui bahwa pendidikan formal dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dituntut untuk
mengikuti kurikulum yang sudah diatur sedemikian rupa menjadi paket-paket untuk
kepentingan tertentu tanpa memperhatikan kondisi, kepentingan, kebutuhan, atau
spesifikasi sekolah atau daerahnya (Wibowo, 2007: 52)
Fenomena di atas juga terjadi di Banjar Padang Tawang karena beragamnya
jenis pendidikan berpengaruh terhadap meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat.
Dibandingkan dengan dua puluh atau tiga puluh tahun sebelumnya, tingkat
pendidikan anggota GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang hanya Sekolah
Dasar, tetapi sekarang tingkat pendidikan anggota GKPB jemaat Marga Pakerti di
Banjar Padang Tawang sudah setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) (lihat Tabel
4.2). Bahkan, beberapa anggota jemaat Marga Pakerti Padang Tawang sudah
mencapai tingkat magister.
76
Meningkatnya tingkat pendidikan warga jemaat GKPB Marga Pakerti Padang
Tawang tentu saja mempengaruhi pola pikir dan cara pandang terhadap realitas
sosial dan kehidupan. Generasi tua yang rata-rata tingkat pendidikan formalnya
rendah dalam kehidupan kesehariannya masih memegang tradisi dan budaya dengan
kuat. Mereka beranggapan bahwa tradisi dan budaya yang diwariskan oleh nenek
moyang mereka harus dijaga dan dilestarikan. Tradisi dan budaya tersebut dipahami
sebagai sesuatu yang keramat, kalau tidak dijaga dan diindahkan akan berdampak
pada kehidupan sosial mereka.
Pemahaman generasi tua di atas tentu saja bertolak belakang dengan generasi
muda yang memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. Tradisi dan budaya
bukan sebagai sesuatu yang keramat tetapi tradisi dan budaya dipahami sebagai
tradisi yang berkembang di masa lalu dan tidak selalu harus dipakai dan dilestarikan.
Menurut Abdullah (2009: 172), kebudayaan atau tradisi sebagi sesuatu yang
“dipilih” bukan “diterima”. Abdullah juga melihat bahwa orientasi nilai yang
berubah dalam masyarakat pada dasarnya menjadi basis munculnya perbedaan sosial
yang kemudian menjadi basis struktural dalam pendefinisian budaya. Kebudayaan
menjadi lain artinya pada kalangan menengah dan pada kelompok “anak baru gede”
(ABG) atau kelompok profesional. Pemikiran ini kalau diterapkan dalam fenomena
di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, maka ada perbedaan
dalam cara pandang terhadap budaya atau tradisi yang ada. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh perbedaan tingkat pendidikan di antara keduanya. Seorang informan
77
Ferdi Nugroho seorang pemuda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang umur 27 tahun mengatakan sebagai berikut ini.
“Nyanyaian rohani berbahasa Bali adalah bagian dari masa lalu yang tidakcocok lagi dengan situasi atau keadaan pada jaman kami. Kami hidup dizaman yang berbeda dengan orang tua, kakek dan nenek kami. Kami punyapemikiran dan budaya yang berbeda. Walaupun dalam keseharian kamimemakai bahasa Bali untuk berkomunikasi tetapi ketika ibadah memakainyanyian rohani berbahasa Bali, kami tidak memahami nyanyian rohanitersebut. Lagunya seperti orang sedih dan menderita, sedangkan kami inginlagu-lagu yang lebih semangat dan lebih gembira. Ibadah menurut kamiadalah mengungkapkan rasa syukur dan nyanyian yang dipakai harusnyayang bernuansa gembira” (Wawancara, 7 Agustus 2012).
Penuturan Ferdi Nugroho di atas menunjukkan bahwa anak-anak muda yang
mempunyai pendidikan yang lebih tinggi adalah lebih terbuka. Sebagai anak-anak
muda, mereka menginginkan hal-hal yang baru, dibandingkan melanjutkan tradisi
yang diwariskan oleh orang tuanya. Sebagai anak-anak muda, mereka tidak merasa
perlu atau berkepentingan untuk mempertahankan tradisi nenek moyang mereka.
Mereka beranggapan bahwa tradisi yang lalu adalah milik orang tua yang tidak cocok
dengan budaya dan gaya hidup mereka pada masa kini. Keterbukaan yang
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dapat menyebabkan landasan budaya seseorang
menjadi sangat terbuka jika dibandingkan dengan sebelumnya, sehingga “budaya
asal” tidak dikenal atau tidak diinginkan. Mereka kehilangan identitas terhadap
budaya yang lalu (Abdullah, 2009: 173).
Faktor pendidikan telah mengambil peran yang menyebabkan berubahnya
cara pandang jemaat terhadap tradisi dan budaya yang seharusnya mereka wariskan.
Jika fenomena yang dialami oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang di atas disoroti dari pemikiran Giddens, maka hal itu sangat sesuai. Giddens
78
(2003: 8) mengatakan bahwa kehancuran budaya lokal diakibatkan oleh masyarakat
lokal itu sendiri yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengimbangi derasnya
arus globalisasi yang melanda tradisi lokal. Fenomena inilah yang sedang dihadapi
oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang yang melatarbelakangi
keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang.
5.4. Perkembangan Media dan Teknologi
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang adalah jemaat yang
sebagian besar anggotanya (93%) dari etnis Bali (lihat Tabel 4.4). Sebagai orang Bali,
dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang masih memegang tradisi dan budaya Bali. Budaya dalam konteks
norma dan sistem sosial masyarakat masih tercermin dalam semua segi kehidupan.
Akan tetapi, saat ini GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang sedang
mengalami berbagai perubahan oleh karena derasnya perkembangan media dan
teknologi.
Nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah warisan budaya telah dipakai
oleh jemaat sebagai sarana atau media untuk menyembah dan mengungkapkan
keagungan Tuhan. Nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai dalam seluruh
ibadah, baik ibadah minggu maupun ibadah keluarga. Sebagai sebuah sarana,
nyanyian-yanyian rohani berbahasa Bali sangat menolong umat untuk
mengungkapkan segala rasa syukur dan hormat kepada Tuhan. Hal seperti ini masih
79
dirasakan oleh generasi kedua jemaat, seperti yang dikatakan oleh Wayan Gama
umur 61 tahun dan mantan anggota majelis jemaat, sebagai berikut.
“Saya hapal semua lagu-lagu rohani berbahasa Bali yang ada di dalamKidung Pamuji. Saya suka menyanyikannya karena nyanyian itumenguatkan iman saya. Kalau saya sedang susah atau sedih dan kadangdalam masalah, saya menyanyikan lagu-lagu itu, apa lagi ibu saya,sekalipun sudah tua tetapi masih selalu menyanyikan kidung Bali.Rasanya saya dekat sekali dengan Tuhan ketika menyanyikan kidungrohani Bali” (Wawancara, tanggal 27 Juli 2012).
Dari ungkapan di atas tersirat, bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali sangat
mempengaruhi kehidupan kerohanian umat GKPB Jemaat Marga Pakerti. Namun
demikian, hal seperti di atas tidak lagi dirasakan oleh anak-anak muda GKPB
jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Kehidupan generasi mudanya telah
terkontaminasi dan termodifikasi oleh berbagai gaya hidup. Hal ini terjadi oleh
karena pengaruh media dan teknologi, baik media elektronik seperti televisi, internet
maupun media cetak seperti surat kabar. Selain itu, media telekomunikasi seperti
telpon genggam telah mengubah gaya hidup jemaat khususnya dalam pergaulan
antarsesama.
Televisi sebagai media elektronik, dengan berbagai macam tayangan
programnya, memberikan berbagai macam pilihan gaya hidup modern yang berbeda
dengan gaya hidup yang diwariskan oleh orang tua mereka. Dengan kata lain, televisi
secara langsung telah mentransformasikan sistem nilai yang berbeda dengan sistem
nilai yang dianut oleh pemirsanya, sehingga mengaburkan batas-batas budaya.
Menyitir apa yang dikatakan oleh Abdullah (2009: 55-56), televisi sesungguhnya
telah mengaburkan batas-batas fisik dan budaya sehingga menciptakan
80
deteritorialisasi, yaitu suatu dunia yang baru dengan batas-batas wilayah dan nilai
yang bersifat relatif. Dengan demikian, hendak dikatakan bahwa kehadiran televisi
sebagai media elektronik di tengah-tengah keluarga telah mendorong perubahan
budaya semakin cepat. Hal itu diungkapkan oleh seorang informan Ketut Sadrah.
“Televisi sekarang telah menguasai kehidupan anak-anak. Setiap keluargasekarang punya televisi dan jika dibandingkan dengan saya dulu yanghanya mendengar cerita dari orang tua anak-anak sekarang diceritai olehtelevisi. Film kartun misalnya jauh lebih menarik daripada mendengarcerita orang tua. Anak-anak betah berjam-jam di depan televisi tentu sajatanpa disadari oleh orang tua anak-anak perlahan-lahan mengikuti gayadan apa yang ditonton di televisi. Singkatnya anak-anak kita sudahkebarat-baratan” (Wawancara, 8 Agustus 2013)
Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah
budaya yang dapat menjadi media untuk mentransformasikan nilai-nilai kehidupan
secara perlahan terpinggirkan. Televisi sebagai media elektronik dengan berbagai
macam program tayangannya tidak mendorong keberlangsungan hidup sebuah
budaya, tetapi sebaliknya mematikan budaya yang sudah dianut sebelumnya.
Kondisi ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Storey (2003: 54) bahwa
globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisioanl dan
menggiring umat manusia pada pola persamaan budaya atau homogenitas budaya
yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini mengakibatkan atau
mengancam eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya
lokal menuju kepunahan.
Besarnya pengaruh televisi dan teknologi modern terhadap perubahan budaya
jemaat tercermin dari apa yang dikatakan oleh seorang informan, Piter Kristianus
81
seorang anggota pemuda GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang, umur 25
tahun demikian.
“Kalau ibadah di gereja memakai nyanyian rohani berbahasa Bali sayaseperti orang kuno. Saya lebih senang dan merasa enjoy kalau ibadahmemakai lagu rohani populer, bila perlu sedikit nge- rock karena lebihhidup, tidak melempem seperti lagu-lagu rohani Bali. Seperti di televisi,ibadah diiringi dengan musik band dan kita dapat menyanyi denganekspresi bebas, mau berdiri, bertepuk tangan atau berjingkrak-jingkrakboleh-boleh saja” (Wawancara, tanggal 7 Agustus 2012).
Ungkapan Pieter di atas menunjukkan bahwa anak-anak muda GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang lebih memilih nyanyian rohani yang berbau pop
atau rock, seperti yang mereka saksikan di televisi. Mereka tidak menyukai nyanyian
rohani berbahasa Bali seperti yang sudah ada karena nyanyian rohani berbahasa Bali
cenderung tenang, lambat, dan kurang bersemangat.
Pengaruh televisi terhadap kehidupan anak-anak muda tidak terbatas pada
pilihan nyanyian rohani yang ingin mereka pakai, tetapi juga menyangkut pilihan
gaya dan style yang ditampilkan di layar televisi. Ketika seorang artis di televisi
menyanyikan sebuah lagu dengan bergoyang, berjingkrak menggerakkan seluruh
badannya dan menyanyikan lagunya sambil berteriak mengacungkan jari tangan
mereka sebagai simbol-simbol, gaya seperti itulah yang diadopsi oleh anak-anak
muda ketika melakukan ibadah. Menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Hal itu dapat dilihat pada saat anak-anak muda ketika berjumpa dengan
teman-temanya. Mereka memberi salam dengan mengacungkan dua jari tangannya,
jari telunjuk dan jari tengah dan mengepalkan jari yang lainnya lalu mengatakan
peace . Tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan dengan kata-kata dan simbul
82
seperti itu. Anak-anak muda melihat dan meniru dari para selebritis di televisi yang
melakukan hal yang sama. Mereka meniru, mengadopsi, dan menjadikan sebagai
gaya hidup mereka. Cara-cara seperti itu mereka tafsirkan sebagai gaya hidup
modern yang cocok dengan style anak muda.
Dalam proses perubahan gaya hidup di atas, menyitir yang dikatakan oleh
Abdullah (2009: 58), bahwa dalam proses kehidupan dewasa ini, sistem nilai
tradisional mulai digantikan oleh sistem nilai modern. Sistem nilai tidak lagi berkiblat
pada tradisi, tetapi pada nilai-nilai modernitas dengan logika berpikir yang berbeda.
Lebih lanjut, Abdullah mengatakan bahwa berubahnya nilai dalam masyarakat,
ketika kehidupan bukan hanya melanjutkan naluri masa lalu tetapi telah menjadi
arena negosiasi berbagai tata nilai yang tidak hanya lokal dan nasional, bahkan juga
global sifatnya. Media dan teknologi memegang peranan yang sangat penting dalam
terjadinya perubahan.
Pilihan gaya hidup yang sangat dipengaruhi oleh televisi seperti di atas juga
mempengaruhi pilihan mereka terhadap apa yang mereka pelajari dan apa yang
mereka tolak untuk dipelajari. Mereka tidak tertarik untuk mempelajari alat-alat
musik Bali dan nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali. Mereka memilih untuk
mempelajari alat-alat musik gitar dan perangkat alat musik band yang dipersepsikan
sebagai yang modern. Mereka menganggap bisa bermain gitar dan menyanyikan
nyanyian pop lebih bergengsi dan dapat menjadi populer daripada menyanyikan
nyanyian rohani berbahasa Bali dan bermain alat musik angklung bambu. Life style
yang memungkinkan mereka populer dan dianggap bergengsi lebih diutamakan
83
daripada belajar tradisi atau budaya Bali yang lebih menekankan pada ajaran norma
dan nilai-nilai kehidupan.
Pilihan gaya hidup di atas sejalan dengan pemikiran Hall (1977: 140) yang
mengatakan bahwa televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif
pengetahuan sosial, imajinasi sosial, di mana seseorang mempersepsikan “dunia”,
realitas yang dijalani orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan yang
ada, yang sudah dijalani selama ini. Analisis di atas, jika dikaitkan dengan realitas
sekarang, khususnya yang terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang sangat tepat. Kehidupan jemaat dan khususnya anak-anak muda yang
terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang telah banyak
mengalami pergeseran dari tradisi ke modern. Pergeseran kebiasaan ini tidak
terlepas dari pengaruh media massa sebagai model yang mereka tiru.
Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan
totalitas, kesatuan nilai budaya lokal. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya
lokal ke dalam tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi
basis dalam pembentukan sub-subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan
kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan
dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal
dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan
mengalami redefinisi dan diferensiasi yang terjadi secara meluas dan menunjukkan
sifat relatif suatu praktik sosial. Kleden (2000: 138) mengatakan bahwa kondisi
seperti itu disebut sebagai kondisi masyarakat yang mengalami perubahan. Perubahan
84
tersebut mencakup hampir semua segi kehidupan termasuk di dalamnya perubahan
budaya.
Globalisasi juga telah membuat cara-cara mempraktikkan ajaran nenek
moyang, khususnya tradisi menyanyikan nyanyian rohani berbahasa Bali mengalami
perubahan. Kondisi ini diakibatkan oleh cara berpikir masyarakat yang selalu
menginginkan sesuatu yang baru. Iklim yang kondusif bagi perbedaan-perbedaan cara
hidup tersebut telah melahirkan proses individualisasi yang meluas, menjauhkan
manusia dari konteks hidup kesehariannya (Simmel, 1991: 17). Pandangan Simmel di
atas sejalan dengan fenomena yang terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang yang selalu menginginkan kebaruan.
5.5. Kemajuan Ekonomi
Ekonomi juga membawa dampak keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali. Hal ini tidak terlepas dari prilaku atau dorongan keinginan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan keinginan itu, manusia terus berusaha
dengan berbagai cara dan upaya agar terpenuhi kebutuhannya. Sifat manusia yang
selalu ingin meningkatkan kehidupannya merupakan kenyataan bahwa manusia
adalah mahkluk ekonomi (homo economicus). Homo ‘manusia’, economicus ‘yang
hidup menurut kepentingan diri sendiri’. Manusia sebagai mahkluk ekonomi berarti
manusia dalam upayanya mencari dan memperoleh kemakmuran selalu ingin
melepaskan diri dari faktor moral dan bertindak sebagai mahkluk ekonomi saja
(Nurdin, 2008: 63). Berkaitan dengan penelitian ini, faktor ekonomi yang
menyebabkan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali adalah ekonomi
85
kapitalisme di mana pariwisata menjadi ujung tombaknya. Berikut ungkapan seorang
informan Nengah Yakobus Wirasa :
“Dalam kenyataan sekarang, anggota jemaat tidak dapat dilepaskan daripengaruh pariwisata. Ekonomi jemaat sebagian besar bergantung pada‘kucuran dolar’ sektor pariwisata. Pengaruh itu sesungguhnyamempengaruhi keseluruhan kehidupan jemaat. Coba kita perhatikan polapikir dan tindak jemaat, orientasi mereka adalah uang. Apapun yangmereka lakukan maka pertanyaannya adalah apakah hal itu memberikankeuntungan atau tidak. Itulah sebabnya ketika anak saya menyelasaikanSMA-nya, saya anjurkan masuk jurusan sastra Inggris karena tanpamengusai bahasa Inggris kita akan kalah bersaing” (Wawancara, 26 Juli2012)
Gerakan globalisasi yang paling nyata dirasakan oleh masyarakat khususnya
di Bali adalah aktivitas pariwisata yang semakin meningkat. Pariwisata sebagai
sebuah aktivitas telah mendatangkan berbagai keuntungan ekonomi bagi masyarakat
di sekitarnya. Masyarakat banjar Padang Tawang yang sangat dekat dengan pusat-
pusat pariwisata yang ada di Kabupaten Badung juga menikmati keuntungan-
keuntungan yang diberikan oleh pariwisata. Catatan kependudukan berkaitan dengan
pekerjaan menunjukkan bahwa sebagian besar angkatan kerja produktif Banjar
Padang Tawang berkecimpung di bidang pariwisata (Tabel 4.1).
Dalam kegiatan pariwisata, terjadi berbagai aktivitas yang tidak terbatas pada
ruang dan waktu, tetapi juga melibatkan manusia dari berbagai belahan dunia.
Mereka saling berinteraksi satu sama lain sesuai dengan bidang pekerjaannya. Dalam
sistuasi seperti ini, akan timbul proses akulturasi. Menurut Poespowardoyo (1989:
122), proses akulturasi dapat mendatangkan dominasi dan integrasi kebudayaan. Jika
akulturasi mendatangkan dominasi kebudayaan asing, itu akan menimbulkan
keterpinggiran budaya lokal yang menjadi cermin budaya setempat. Pendapat
86
Poespowardoyo di atas, juga dialami oleh Jemaat GKPB Marga Pakerti. Seorang
informan, Gede Trisna Putra mantan majelis Jemaat mengatakan:
“Pariwisata yang berkembang sekarang ini, identik dengan bahasa Inggris.Kalau kita tidak memahami bahasa Inggris, maka kita akan ketinggalankereta. Sementara itu, harus kita akui bahwa secara ekonomi, kita diBali sangat tergantung pada pariwisata. Coba bayangkan kalaupariwisata tidak ada, atau tidak berkembang pesat seperti sekarang ini,siapa yang akan membeli produk-produk pertanian seperti sayur danlain-lainnya. Siapa yang akan mendanai kegiatan-kegiatan budaya atauupacara-upacara yang begitu banyak. Tidak ada! Itu artinya kita sangattergantung dengan pariwisata, sehingga kalau kita tetap ingin eksis dalamdunia pariwisata, kita harus dapat berkomunikasi dan memahami bahasaInggris” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
Ungkapan di atas mengatakan bahwa bahasa Inggris unggul terhadap bahasa yang
lain. Bahasa Inggris menjadi bahasa yang dominan dan bahkan harus dipahami oleh
orang-orang yang mengambil bagian dalam kegiatan pariwisata. Pendapat di atas
dapat diakui kebenarannya. Namun demikian, secara tidak sadar telah meminggirkan
budaya lokal, dalam hal ini bahasa Bali.
Benturan antara budaya lokal dan global bersama berkembangnya pariwisata
memberi peluang terpuruknya budaya lokal dalam derasnya budaya global. Bagus
(1989: 106) mengatakan bahwa turisme dapat mengubah inti kebudayaan Bali,
pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan, dan hingga bentuk-bentuk sosial yang
telah terbukti mampu menopang integritas mayarakat Bali. Namun demikian,
pariwisata tetap dibutuhkan dalam perkembangan ke depan dengan meminimalisasi
dampak buruk dari pariwisata sehingga budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai
tidak terpinggirkan.
87
Pariwisata sebagai kegiatan global yang tumbuh dan berkembang di tengah-
tengah masyarakat Bali adalah bagian dari globalisasi ekonomi di mana kapitalisme
ada di dalamnya. Hal ini mengandung arti bahwa memahami pariwisata tidak dapat
dipisahkan dari kapitalisme (Prasiasa, 2011: 56). Berkaitan dengan hal itu, dampak
yang ditimbulkan oleh pariwisata yang diboncengi oleh kapitalisme adalah
dikembangkannya daerah-daerah pariwisata yang baru untuk meningkatkan
pertumbuhan yang berujung pada meningkatnya keuntungan.
Dikembangkannya daerah-daerah pariwisata dengan segala pendukungnya
seringkali tidak mempertimbangkan dampak sosial atau dampak terhadap tradisi dan
budaya lokal. Prasiasa (2011: 62) mengatakan bahwa pengembangan pariwisata yang
berorientasi pada upaya mengejar pertumbuhan dengan mengandalkan modal dari
kaum kapitalis dan menempatkan pariwisata dalam konteks kapitalisme akan banyak
dihadapkan pada apa yang dinamakan dominasi. Akibatnya, masuknya pariwisata
yang menekankan pertimbangan ekonomi menggusur segala sesuatu yang berbau
lokal termasuk budaya dan tradisi di dalamnya.
Interaksi antara masyarakat lokal dengan para wisatawan tanpa disadari telah
melahirkan perubahan-perubahan di berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk
di dalamnya berubahnya cara pandang masyarakat terhadap tradisi dan budaya.
Perubahan cara pandang terhadap tradisi seperti itu juga dialami oleh jemaat GKPB
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Menyitir pernyataan Baudrillard tentang
masyarakat konsumen (consumer society), dikatakan bahwa industri apapun dapat
menyebabkan terjadinya pergeseran dan keterputusan zaman yang mengakibatkan
88
munculnya totalitas sosial baru dengan berbagai pengorganisasian dan prinsip-
prinsipnya (Baudrillard, 1988: 145). Keterpinggirannya nyanyian rohani berbahasa
Bali di jemaat GKPB Marga Pakerti Padang Tawang, jika dilihat dari konsep di atas
dapat dikatakan bahwa ekonomi kapitalisme dengan pariwisata sebagai ujung
tombaknya mendorong keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali.
5.6. Heterogenitas Jemaat: Daerah Asal, Etnik, Budaya, dan Bahasa
Kemajuan teknologi, khususnya teknologi transportasi menyebabkan
mobilitas penduduk semakin lancar. Pada zaman sekarang, orang membutuhkan
waktu hanya dalam hitungan jam untuk pergi dari satu belahan dunia ke belahan
dunia lainnya. Kemajuan teknologi transportasi telah membuat jarak semakin pendek.
Selain kemajuan teknologi transportasi, kemajuan teknologi media dengan televisi
dan internet membuat orang dapat mengetahui satu peristiwa di belahan dunia yang
lain pada saat yang bersamaan. Dua kemajuan di atas telah membuat manusia tertarik
untuk bepergian ke satu daerah lain baik untuk berwisata maupun untuk menetap di
daerah yang baru.
Saat ini di beberapa daerah di Bali, dalam satu daerah tertentu masyarakat
tidak lagi hidup berdampingan hanya dengan sesama satu suku atau bahasa, tetapi
mereka berdampingan dengan orang-orang yang berasal dari suku dan bahasa
berbeda. Sejak tahun 2000-an, tumbuh dan berkembang rumah-rumah yang
ditempati oleh kaum pendatang dari luar negeri. Rumah-rumah itu lazim disebut vila.
Sampai tahun 2012, ada sekitar 20 vila yang ada di sekitar Banjar Padang Tawang.
89
Gambar 5.5. Vila yang Ada di Sekitar Banjar Padang Tawang(Dok. :Parwita, 2010)
Mereka yang tinggal di vila tersebut adalah orang-orang asing dari berbagai
negara. Vila tersebut mereka kontrak untuk jangka panjang, rata-rata 20 sampai 25
tahun. Mereka tinggal dan menetap untuk jangka waktu yang cukup panjang.
Biasanya mereka tinggal untuk tiga bulan dan akan melanjutkan pada bulan
berikutnya. Karena itu, dalam setahun mereka akan pergi dan pulang berulang-
ulang. Kehadiran mereka mau tidak mau juga menimbulkan perjumpaan dengan
masyarakat lokal di sekitarnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan dengan kehadiran vila-vila tersebut adalah
kehadiran kaum urban dari berbagai pelosok yang dipekerjakan di vila-vila tersebut.
Kebanyakan di antara mereka adalah anak-anak muda yang datang dari daerah
Indonesia bagian timur, seperti Nusa Tenggara Timur atau Barat (lihat Tabel 4.4).
Mereka rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan tidak mempunyai
kemampuan yang cukup dalam bidangnya. Minimnya kemampuan atau kompetensi
yang dimiliki menjadikan mereka bersedia mengambil pekerjaan serabutan. Mereka
adalah tenaga-tenaga kerja yang dibayar dengan murah.
90
Kehadiran orang asing dan kaum urban dari berbagai daerah mau tidak mau
juga menimbulkan interaksi budaya. Perjumpaan antarsuku dan bahasa yang berbeda
akan menimbulkan perjumpaan budaya. Perjumpaan budaya yang berbeda kerap kali
menimbulkan budaya hibrid, yaitu persilangan gaya hidup melalui penciptaan
berbagai bentuk hibriditas dan hibridisasi gaya hidup yang menghasilkan berbagai
gaya hidup hibrid. Hibridisasi, menurut Ihab Hassan (dalam Piliang, 2010: 242)
adalah proses penciptaan atau replikasi bentuk-bentuk muatan melalui perkawinan
silang, yang menghasilkan entitas campuran yang tidak lagi utuh, meskipun di
dalamnya masih tersisa sebagian identitas diri dari dua unsur yang dikawinsilangkan.
Hal seperti itu sering kali terjadi dalam lingkup perumahan-perumahan yang tumbuh
dan menjamur di berbagai daerah di Bali. Muhallim
(blogspot.com/2007/11/hibriditas-kosmopolitanisme) mengatakan bahwa
membiaknya hibrida budaya adalah merupakan konsekuensi nyata dari proses
globalisasi. Lebih lanjut, Muhallim mengatakan bahwa hibrida budaya bukan
sekedar konsekuensi globalisasi belaka, tetapi merupakan “mega proyek” di balik
imajinasi globalisasi. Artinya, globalisasi telah memfasilitasi pertukaran dan
penyebaran nilai-nilai budaya dan sekaligus mempercepat pembiakan percampuran
budaya melalui berbagai cara seperti lewat teknologi informasi, media massa, wisata,
mode, dan berbagai instrumen gaya hidup modern lainnya.
Hal di atas juga mempengaruhi kehidupan bergereja GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang. Kalau dibandingkan dengan tahun sebelum 1990-
an, anggota gereja hampir seratus persen dari suku Bali, tetapi dalam perjalanan
91
selanjutnya, keanggotaan gereja semakin heterogen. Pengunjung dan anggota gereja
tidak lagi dari suku Bali semata, tetapi telah bercampur dengan etnis, budaya, dan
bahasa lainnya. Kehadiran mereka sebagai anggota gereja mau tidak mau akan
mewarnai kehidupan gereja. Hal ini diungkapkan oleh seorang informan, I Gede
Trisna Putra dengan berkata demikian.
“GKPB Marga Pakerti Padang Tawang dekat dengan daerah pariwisata danjuga dekat dengan pusat kota Denpasar, di mana begitu banyak adapendatang-pendatang dari suku-suku lain. Mereka tidak hanya menetap dikantong-kantong perumahan di kota, tetapi juga di desa-desa yang ada disekitar kota seperti PadangTawang. Oleh karena itu semakin hari semakinbanyak pendatang tinggal di Banjar Padang Tawang dan banyak di antaramereka beragama Kristen. Mau tidak mau gereja harus memperhatikan danmelayani mereka” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
Ungkapan di atas memberikan gambaran bahwa pergerakan atau mobilitas penduduk
antarpulau semakin meningkat. Terlebih lagi Bali dan khususnya kota Denpasar dan
Kabupaten Badung menjadi daerah yang paling banyak menampung kaum urban.
Alasan bahwa banyak anggota jemaat yang berasal dari luar etnis Bali termasuk
orang-orang asing dari berbagai negara yang mengunjungi ibadah GKPB Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang diungkapkan oleh informan Nyoman Daud
Sunarka, seorang anggota majelis jemaat:
“Sekarang pengunjung ibadah gereja tidak hanya dari banjar Padang Tawangdan Babakan, tetapi banyak dari anak-anak NTT (Nusa Tenggara Timur)dari Batak yang tinggal di sekitar sini. Nah, bagaimana gereja akanmelayani mereka, tentu mereka tidak mengerti bahasa Bali, oleh karena itusaya setuju kalau ibadah gereja memakai bahasa Indonesia saja, toh kita jugamengerti bahasa Indonesia” (Wawancara, 30 Juli 2010)
Ungkapan di atas menggambarkan komposisi anggota jemaat yang dulunya
homogen mengalami perubahan menjadi heterogen. Berubahnya komposisi anggota
92
jemaat tentu saja menimbulkan pergeseran tradisi, cara pandang, dan cara hidup
umat. Appadurai dan Henners (dalam Abdullah, 2009: 43) menegaskan keberadaan
seseorang dalam lingkungan tertentu di satu pihak mengharuskan menyesuaikan diri
yang terus menerus untuk dapat menjadi bagian dari sistem yang lebih luas. Sejalan
dengan mobilitas manusia yang demikian padat, Appadurai menyebutkan bahwa
batas-batas wilayah (kebudayaan) tidak lagi menjadi penting karena suatu kelompok
tidak selalu terikat pada batas wilayah kebudayaan yang berbeda yang bahkan
cenderung berubah-ubah pada saat orang berpindah dari satu tempat ke tempat
lainnya. Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh perjumpaan etnik, budaya,
bahasa, dan tradisi yang sebelumnya homogen kemudian menjadi heterogen inilah
yang melatarbekangi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali.
5.7. Menurunnya Minat Jemaat Terhadap Nyanyain Rohani Berbahasa Bali
Memasuki tahun 1990-an, dengan masuknya nyanyian rohani populer
berbahasa Indonesia, terjadi perubahan menyangkut pemakaian nyanyian rohani
berbahasa Bali dan bahasa pengantar yang dipakai dalam ibadah. Nyanyian rohani
berbahasa Bali bukan lagi menjadi nyanyian rohani yang utama dalam ibadah. Dalam
satu bulan di mana ada empat kali ibadah minggu, nyanyian rohani berbahasa Bali
hanya dipakai satu kali yaitu pada minggu pertama. Pada minggu kedua sampai
keempat dan kelima, ibadah lebih banyak memakai nyanyian rohani berbahasa
Indonesia. Berikut penuturan informan I Wayan Gama umur 61 tahun dan seorang
mantan majelis jemaat :
“Nyanyian rohani berbahasa Bali sudah dipakai sejak tahun 1930-an, baikdalam ibadah umum di gereja, maupun dalam ibadah-ibadah rumah tangga.
93
Nyanyian rohani berbahasa Bali dan bahasa pengantar bahasa Bali dipakaisecara penuh dalam ibadah-ibadah setiap minggu. Namun kemudian, kira-kira mulai tahun 1980-an secara perlahan terus mengalami kemunduran danpuncaknya tahun 1990-an nyanyian rohani berbahasa Bali mulaiditinggalkan. Sekitar tahun 1980-an masih dipakai dua kali sebulan tetapisekarang hanya sekali saja itupun masih diselingi dengan bahasa dannyanyian rohani berbahasa Indonesia” (Wawancara, 27 Juli 2012)
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ada bentuk tindakan dan perlakuan
yang berubah terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali yang dimulai sejak tahun
1980-an, yaitu dengan meninggalkan atau tidak lagi memakai secara penuh. Pada
awalnya, nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai secara penuh dalam setiap ibadah
gereja, tetapi dalam perkembangan secara perlahan mengalami keterpinggiran.
Perlakuan dan tindakan seperti di atas juga terjadi dalam ibadah keluarga,
ibadah kategorial kaum bapak, kaum ibu, maupun ibadah kaum muda. Nyanyian
rohani hanya kadang-kadang dinyanyikan tergantung siapa yang memimpin ibadah.
Apabila yang memimpin ibadah suka dan bisa menyanyikan nyanyian rohani
berbahasa Bali, biasanya dari kalangan generasi tua, maka diselipkan satu atau dua
nyanyian rohani berbahasa Bali, sebaliknya jika tidak maka dapat dipastikan yang
dipakai adalah nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Berikut ini apa yang dikatakan
oleh Wayan Gama umur 61 tahun salah satu generasi tua jemaat GKPB Marga
Pakerti Padang Tawang :
“Yen tiang diminta jadi liturgos (liturgos adalah istilah yang diberikankepada orang yang ditunjuk untuk menyiapkan dan memimpin puji-pujiandalam ibadah keluarga) tiang nu demenan nganggen kidung pamuji (kidungpamuji adalah buku kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali) daripadanganggen kidung jemaat (kidung jemaat adalah buku kumpulan nyanyianrohani berbahasa Indonesia) ngujang krana keta, nu lebih ngresep kidungBali yen bandingan kading kidung ane lenan” (Terjemahan bahasa Indonesia“Kalau saya diminta jadi liturgos saya lebih senang menggunakan kidung
94
pamuji daripada menggunakan kidung jemaat, mengapa demikian, lebihmeresap nyanyian Bali jika dibandingkan dengan nyanyian yang lain”)(Wawancara, 27 Juli 2012)
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa kaum generasi tua masih menyukai nyanyian
rohani berbahasa Bali. Berbeda dengan kalangan generasi muda yang lebih memilih
nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
Menurunnya minat anggota jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali
dalam semua pelaksanaan ibadah juga diungkapkan oleh informan lain, seperti yang
diungkapkan oleh I Nyoman Ruja lahir 1947 dan mantan majelis jemaat, yang
mengatakan sebagai berikut.
“ Sekarang jemaat sudah jarang menyanyikan nyanyian rohani berbahasa Balidalam ibadah minggu atau ibadah keluarga. Jemaat engsap inget kadingkidung Bali (jemaat sudah lupa-lupa ingat dengan nyanyian rohaniberbahasa Bali). Harapan tiange lebih sering dan lebih banyak kidung Balidipakai dalam ibadah sekalipun dalam ibadah minggu yang memakaibahasa Indonesia, masukkan juga kidung Bali, sehingga dengan lebih seringdipakai, jemaat lebih ingat kidung Bali” (Wawancara, 9 Agustus 2012)
Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan I Ketut Sadrah sebagai berikut:
“Ke depan jemaat harus lebih banyak memberikan porsi kepada nyanyianrohani berbahasa Bali dalam ibadah-ibadah jemaat, jangan seperti yang terjadisekarang, nyanyian rohani berbahasa Bali hanya menjadi semacam selingandalam ibadah. Kita tidak dapat lepas dari latar belakang kita sebagai orangBali yang seharusnya mempertahankan bahasa dan juga nyanyian rohaniberbahasa Bali” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
Ungkapan di atas mempertegas keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali yang
sedang dihadapi oleh jemaat GKPB Marga Pakerti. Nyanyian rohani berbahasa Bali
dalam realitas ibadah GKPB Jemaat Marga di Pakerti Padang Tawang hanya sebagai
selingan. Artinya, nyanyian rohani berbahasa Bali hanya dipakai sewaktu-waktu dan
95
tidak secara rutin. Dengan kata lain, minat jemaat terhadap nyanyian rohani
berbahasa Bali telah mengalami penurunan.
Menurunnya minat anggota jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali
oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Padang Tawang tidak terlepas dari perubahan-
perubahan yang sedang terjadi dalam kehidupan umat. Pergeseran budaya dari
budaya lama kepada budaya dan tradisi yang baru, penguasaan bahasa Bali yang
cenderung semakin menurun di kalangan anak muda, anggapan bahwa bahasa Bali
sebagai sesuatu yang kuno dan tidak modern (Atmadja, 2010: 69) mendorong
anggota jemaat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih kepada
nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Fenomena inilah yang melatarbelakangi
keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang.
5.8. Kurangnya Usaha Menciptakan Nyanyian Rohani Berbahasa Bali yangBaru
Salah satu ciri jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang jika
dibandingkan dengan denominasi gereja yang ada di Bali lainnya adalah pemakaian
nyanyian rohani berbahasa Bali. Hal ini tidak terlepas dari upaya jemaat GKPB
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang melakukan kontekstualisasi sehingga agama
Kristen “tertanam” (embeded) dalam budaya Bali. Abdullah (2009: 107)
mengatakan bahwa agama mengalami kontekstualisasi dalam masyarakat setempat,
sehingga agama tidak hanya dipengaruhi oleh budaya setempat, sebaliknya budaya
setempat juga dipengaruhi oleh agama itu sendiri.
96
Dalam konteks di atas, bentuk dan usaha gereja melakukan kontekstualisasi
adalah menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali atau menerjemahkan nyanyian-
nyanyian rohani berbahasa Inggris, Jerman, dan Indonesia ke dalam bahasa Bali.
Usaha lain yang dilakukan GKPB dalam rangka kontekstualisasi adalah merekam
nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali hasil ciptaan yang baru dalam pita kaset
atau compact disk. Dengan cara demikian, diharapkan gereja dapat menyatu dengan
konteks Bali.
Usaha-usaha untuk menciptakan dan menerjemahkan nyanyian rohani ke
dalam bahasa Bali sudah dilakukan sejak awal agama Kristen berkembang di Bali.
Dalam rentang tahun 1940 sampai dengan 1980, tercatat ada dua buku nyanyian
rohani yang diterbitkan baik oleh GKPB maupun secara perseorangan. Nyanyian
rohani berbahasa Bali tersebut adalah Kidung Pamuji (Gambar 5.7).
Gambar 5.7. Buku Kidung Pamuji(Dok. :Parwita, 2012)
97
Kidung Pamuji adalah kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali hasil terjemahan
dari nyanyian rohani berbahasa asing seperti Jerman, Inggris, Latin, dan lainnya.
Nyanyian rohani yang kedua, yaitu nyanyian rohani berbahasa Bali Marga
Pakerti Gaguritan diciptakan oleh Pendeta Made R. Ayub pada Tahun 1964 (Gambar
5.8).
Gambar 5.8. Buku Marga Pakerti Gaguritan(Dok. :Parwita, 2012)
Diterbitkannya kedua buku di atas, (Gambar 5.7 ; 5.8), menunjukkan belum
ada usaha-usaha yang cukup untuk mengkontekstualisasikan agama Kristen dalam
budaya Bali, khususnya berkaitan dengan nyanyian rohani berbahasa Bali, seperti
yang diungkapkan oleh seorang informan I Gede Trisna Putra sebagai berikut:
“Apa yang saya saksikan dan rasakan selama ini berkaitan dengannyanyian rohani berbahasa Bali, tidak ada nyanyian-nyanyian yang baru,kalaupun hanya ada satu atau dua saja, misalnya karangan Pdt. Yohanes,itupun masih belum dipakai secara luas di GKPB entah apa yang menjadialasannya. Coba perhatikan nyanyian rohani berbahasa Indonesia, kitaseperti “dibanjiri”. Ada ribuan nyanyian rohani yang diciptakan dandikemas dalam kaset atau compact disk begitu bagus, dan bagi anak-anakmuda kita, nyanyian rohani itu enak dinyanyikan dan lebih menyentuh
98
kehidupan mereka, oleh karena itu ke depan gereja harus lebih mendorongseniman-seniman GKPB untuk menghasilkan nyanyian rohani yang baruyang lebih sesuai dengan konteks kekinian” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
Ungkapan di atas mengindikasikan bahwa tidak begitu banyak nyanyian
rohani berbahasa Bali yang diciptakan.
Memasuki tahun 1990-an, terbit dua buku nyanyian rohani berbahasa Bali.
Yang pertama, yaitu buku Tembang-Tembang Kaulan, diciptakan oleh Pendeta
Nyoman Yohanes, S,Th. Kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali ini terdiri atas 17
nyanyian (Gambar 5.9).
Gambar 5.9. Buku Tembang-Tembang Kaulan(Dok. :Parwita, 2012)
Kedua, yaitu buku Gita Suksma yang terbit tahun 1999. Buku Gita Suksma
merupakan kumpulan nyanyian dari 10 pencipta yaitu Nyoman Darsana, Putu
Widhiana, Pendeta Yatma Pramana, Pendeta Ketut Waspada, Pendeta Wayan Mastra,
Ketut Sudianta, Nengah Rata Artana, Pendeta Ketut Kastu Diyoga, Pendeta Nyoman
99
Yohanes, dan Pendeta Putu Widhiarsana. Gita Suksma berisi 50 nyanyian rohani
berbahasa Bali (Gambar 5.10).
Gambar 5.10. Buku Gita Suksma(Dok. :Parwita, 2012)
Setelah tahun 2000 tercatat hanya ada dua kaset nyanyian rohani berbahasa
Bali yang diterbitkan oleh jemaat GKPB Tirta Amerta di Desa Pelambingan dan
Divya Pradhana Bhakti GKPB (Gambar 5.11).
Gambar 5.11. Kaset Nyanyian Rohani Berbahasa Bali(Dok. :Parwita, 2012)
100
Kenyataan bahwa tidak ada cukup banyak nyanyian rohani berbahasa Bali
yang baru membuat jemaat beralih memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Di
samping itu, nyanyian rohani berbahasa Bali dirasakan tidak lagi menjawab
kerinduan dan kebutuhan umat dalam beribadah. Selo Sumarjan (dalam Soekamto,
2001: 342) mengatakan bahwa perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu
aspek yang sama, yaitu kedua-duanya bersangkut-paut dengan penerimaan cara-cara
baru atau suatu perbaikan dalam cara masyarakat memenuhi kebutuhannya. Dengan
demikian, kurangnya ciptaan nyanyian rohani berbahasa Bali yang baru berkaitan
erat dengan cara-cara jemaat untuk memilih sesuatu yang lebih baru daripada yang
lama. Untuk memenuhi kebutuhannya, jemaat mengabaikan menciptakan nyanyian
rohani berbahasa Bali yang baru dan memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia
yang dianggap dapat memenuhi kebutuhannya.
101
BAB VI
PROSES TERJADINYA KETERPINGGIRAN NYANYIAN ROHANIBERBAHASA BALI DALAM LITURGI GEREJA KRISTEN PROTESTAN
BALI JEMAAT MARGA PAKERTIDI BANJAR PADANG TAWANG
Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang terjadi dalam proses dan rentang waktu yang
cukup panjang. Pada awal perkembangan agama Kristen yaitu tahun 1930-an,
agama Kristen mulai mengadakan kontekstualisasi. Dengan melakukan
kontekstualisasi, GKPB mengadopsi budaya-budaya yang ada di sekitarnya. Salah
satu budaya yang diadopsi oleh GKPB adalah bahasa Bali. Bahasa Bali dipakai
dalam ibadah-ibadah gereja sebagai bahasa pengantar dan juga dipakai dalam
nyanyian rohani. Hal ini dilakukan dengan cara menciptakan nyanyian rohani
berbahasa Bali yang baru maupun dengan menerjemahkan nyanyian rohani dalam
bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, dan Jerman.
Dalam proses tersebut, nyanyian rohani berbahasa Bali dari tahun 1930 hingga
1960-an telah menjadi nyanyian rohani yang selalu dipakai dalam setiap ibadah
GKPB jemaat Marga Pakerti. Namun, seiring dengan perkembangan dan perubahan
jaman, pemakaian nyanyian rohani berbahasa Bali justru mengalami penurunan dan
bahkan menjadi nyanyian rohani yang terpinggirkan.
Dalam bab VI ini, akan dipaparkan proses keterpinggiran nyanyian rohani
berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang dengan
tahapan sebagai berikut : tahun 1960 hingga 1980an. Dalam masa tersebut,
nyanyian rohani berbahasa Bali mulai mengalami keterpinggiran. Dalam rentang
102
waktu tersebut, kehidupan gereja ditandai dengan beberapa hal yang penting yaitu
diterterbitkannya dan mulai dipakainya secara resmi liturgi berbahasa Indonesia tahun
1964 oleh GKPB. Tahun 1980 hingga 1990-an, nyanyian rohani mulai ditinggalkan
(terpinggirkan) dalam ibadah-ibadah umat. Masa tersebut ditandai dengan terbitnya
buku-buku nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan kemudian dipakai secara luas
oleh gereja-gereja di Indonesia termasuk GKPB Marga Pakerti di banjar Padang
Tawang. Masa 1990 hingga 2000-an adalah rentang waktu di mana nyanyian rohani
berbahasa Bali telah mengalami keterpinggiran.
6.1. Pemakaian Nyanyian Rohani Berbahasa Bali Tahun 1930 hingga 1960-an
Nyanyian rohani berbahasa Bali yang dipakai oleh GKPB jemaat Marga Pakerti
di Banjar padang Tawang sesungguhnya tidak terlepas dari usaha gereja untuk
melakukan kontekstualisasi. Ketika agama Kristen berkembang di Bali, agama
Kristen kental dengan budaya Eropanya. Hal itu disebabkan karena memang agama
Kristen dibawa oleh misionaris-misionaris dari Eropa. Setelah berkembang di Eropa,
agama Kristen dipengaruhi atau lebih tepatnya agama Kristen mengadopsi budaya-
budaya Eropa yang berkembang pada saat itu. Coe (1992: 14-15) mengatakan bahwa
pemribumian atau kontekstualisasi harus dilakukan manakala Injil bergerak dari satu
lahan budaya ke dalam budaya lainnya dan mesti diterjemahkan ulang, ditafsirkan
ulang, dan diungkapkan secara segar dalam budaya yang baru. Ketika agama Kristen
berkembang di Bali, agama Kristen mengadopsi budaya dan tradisi Bali untuk
mengungkapkan Injil secara segar dalam budaya yang baru.
103
Salah satu usaha kontekstualisasi yang dilakukan oleh GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang adalah mengadopsi bahasa Bali baik sebagai bahasa
pengantar maupun nyanyian rohani berbahasa Bali yang dipakai dalam peribadatan.
Salah satu nyanyian yang sudah dipakai sejak tahun 1930-an masa-masa awal
perkembangan GKPB adalah.
Ngutang weci sehing YesusNegen salib ngiring IdaPercaya ja depang subaMangda raga polih rahayu
Nyanyian lain yang sering dinyanyikan oleh jemaat pada masa awal perkembangan
gereja di Bali adalah nyanyian rohani bercampur bahasa Indonesia yang
dinyanyikan oleh I Ketoet Jahja tahun 1931 demikian.
Lihatlah Sang Hyang IsahPujilah Sang Hyang IsahSang Hyang kabentang di GolgotaPujilah Ida Sang Hyang Yesus
Dalam perjalanan selanjutnya, perkembangan nyanyian rohani berbahasa Bali
ditandai dengan terbitnya buku nyanyian rohani berbahasa Bali dengan judul Kidung
Pamuji. Buku Kidung Pamuji adalah nyanyian rohani yang berisi kumpulan nyanyian
rohani berbahasa Bali yang berasal dari terjemahan bahasa Indonesia, Inggris,
Belanda, dan Jerman. Nyanyian rohani berbahasa Bali tersebut di atas, menjadi
nyanyian rohani yang dipakai dalam setiap peribadatan umat, baik dalam ibadah
minggu maupun ibadah yang dilakukan di rumah tangga maupun dalam kelompok
lainnya. Wayan Gama seorang mantan majelis jemaat menuturkan demikian.
104
“Nyanyian rohani berbahasa Bali sudah dipakai sejak tahun 1930-an olehGKPB Jemaat Marga Pakerti. Nyanyian itu baik dipakai dalam ibadah-ibadahumum maupun ibadah keluarga. Nyanyian rohani berbahasa Bali sepertiSuryane Sampun Surup (salah satu judul nyanyian rohani berbahasa Bali dalamKidung Pamuji) adalah nyanyian rohani yang selalu dinyanyikan ketika soremenjelang petang, ketika warga jemaat sudah pulang dari sawah dan mauistirahat. Bukan hanya itu saja, pendeta yang memimpin ibadah minggu jugamemakai bahasa pengantar bahasa Bali. dan pada waktu itu belum banyakdikenal nyanyian rohani berbhasa Indonesia” (Wawancara, tanggal 27 Juli2012).
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa nyanyian rohani pada awal
perkembangan gereja dipakai secara penuh dalam peribadatan umat di GKPB jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Artinya, ibadah umum yang dilaksanakan
setiap hari minggu memakai secara penuh baik nyanyian rohani berbahasa Bali
maupun liturgi berbahasa Bali, tanpa diselingi atau disisipi nyanyian rohani
berbahasa Indonesia. Sebagai contoh, dalam satu kali ibadah umum jemaat, jemaat
menyanyikan enam buah nyanyian rohani, maka semua nyanyian rohani tersebut
adalah nyanyian rohani berbahasa Bali. Hal yang sama juga diungkapkan oleh I
Nyoman Ruja, lahir tahun 1947, termasuk salah seorang generasi pertama umat
kristen di GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang demikian.
“Tiang (saya) masih ingat bagaimana kidung berbahasa Bali dipakai dalamsetiap ibadah, jarang sekali, jemaat memakai kidung berbahasa Indonesia.Jarang jemaat yang tahu kidung berbahasa Indonesia dan saya kirabanyak jemaat ketika itu yang tidak bisa berbahasa Indonesia sehinggasetiap ibadah jemaat memakai kidung rohani Bali dan itu berlangsungkira-kira sampai tahun 1960-an setelah itu baru sedikit-demi sedikitnyanyian rohani berbahasa Indonesia dipakai dalam ibadah jemaat”(Wawancara, tanggal 9 Agustus 2012)
Dengan ungkapan di atas dapat dikatakan bahwa jemaat khususnya mereka yang
melalui masa tahun 1940 hingga 1950-an, merasakan dan menyaksikan bagaimana
105
nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai secara penuh dalam ibadah jemaat. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa usaha GKPB Marga Pakerti melakukan
kontekstualisasi berjalan dengan baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Coe (1992:
14-15) bahwa agama harus melakukan kontekstualisasi atau “pemribumian”
manakala agama bergerak dari satu budaya ke budaya yang lainnya. Pendapat Coe
ini terealisasi dalam perkembangan sejarah agama Kristen GKPB Marga Pakerti
Padang Tawang. Pendapat Coe di atas sejalan dengan apa yang dikatakan oleh
Abdullah (2009: 107) yang mengatakan bahwa agama mengalami kontekstualisasi
dalam masyarakat setempat; bukan hanya agama yang dipengaruhi oleh budaya
setempat, tetapi sebaliknya budaya setempat juga dipengaruhi oleh agama. Ketika
agama dipengaruhi oleh budaya lokal dan sebaliknya budaya lokal dipengaruhi oleh
agama, maka agama akan embedded dalam masyarakat lokal (Abdullah, 2009: 107).
Hal inilah yang dialami oleh nyanyian rohani berbahasa Bali dalam perkembangan
agama Kristen di Bali. Nyanyian rohani berbahasa Bali yang diadopsi dari budaya
Bali dengan segera dapat diterima dalam agama Kristen dan dipakai dalam ibadah-
ibadah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam masa tahun 1930 hingga
1960-an nyanyian rohani berbahasa Bali dapat diterima dengan baik dan dipakai
dalam setiap ibadah umat.
6.2. Pemakaian Nyanyian Rohani Berbahasa Bali Tahun 1960 hingga 1980-an:Nasionalisasi Nyanyian Rohani Bahasa Indonesia.
Bahasa memegang peran penting dalam hubungan antarmanusia dan antara
manusia dengan Tuhan. Dengan bahasa, manusia dapat saling berkomunikasi dan
saling memahami. Dalam kehidupan beragama yaitu hubungan manusia dengan
106
Tuhan, bahasa juga memiliki peran yang penting. Dengan bahasa, manusia
menyampaikan maksud dan keinginannya kepada Tuhan. Dengan bahasa juga, Tuhan
menyampaikan firman-Nya kepada manusia.
Menyadari hal di atas, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang sejak
awal perkembangannya memakai bahasa Bali dalam semua aspek kehidupan. Bahasa
Bali dipakai dalam komunikasi sehari-hari, dalam acara-acara resmi seperti
peminangan maupun dalam ibadah-ibadah gereja. Dalam ibadah, GKPB Marga
Pakerti Padang di Banjar Padang Tawang selain memakai liturgi bahasa Bali juga
memakai nyanyian rohani berbahasa Bali.
Seiring dengan perubahan jaman dan berjalannya waktu, nyanyian rohani
berbahasa Bali sedikit demi sedikit telah mengalami keterpinggiran. Gereja dalam
ibadah-ibadahnya lebih mengutamakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Ada
beberapa alasan yang diungkapkan oleh jemaat mengapa ibadah lebih mengutamakan
nyanyian rohani berbahasa Indonesia, yaitu anak-anak muda jemaat GKPB Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang banyak yang tidak dapat memahami bahasa Bali.
Seperti ungkapan informan Ketut Sadrah sebagai berikut.
“Bahasa Bali seperti barang langka sekarang. Anak-anak muda jarang yangmau memakai bahasa Bali, mungkin mereka malu dan gengsi kalau memakaibahasa Bali tetapi itulah realitas kita sekarang. Gereja seperti menghadapibuah simalakama, kalau gereja terus berjalan dan tidak memperhatikanperkembangan ini bagaimana anak-anak muda itu bisa berkembang dalamkerohaniannya. Dapat saja gereja terus memakai bahasa Bali tetapi sayatakut generasi muda akan menjadi anak-anak yang tidak mengalamipertumbuhan dalam kerohaniannya” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
107
Ungkapan yang sama diungkapkan oleh Nyoman Daud Sunarka demikian.
“Saya contohkan dengan anak saya, dia tidak mengerti bahasa Bali, otomatisketika ada ibadah keluarga saya memakai bahasa Indonesia dan memakainyanyian rohani berbahasa Indonesia supaya dia juga dapat mengerti apa yangdikatakan ketika ibadah. Jadi saya setuju kalau gereja memakai nyanyianrohani berbahasa Indonesia” ( Wawancara, 30 Juli 2012)
Ungkapan di atas menggambarkan realitas bahwa anak-anak muda anggota jemaat
banyak yang tidak lagi memahami bahasa Bali. Hal ini juga berimplikasi pada
pemilihan penggunaan nyanyian rohani berbahasa Indonesia dari pada nyanyian
rohani berbahasa Bali.
Ketidakpahaman anak-anak muda terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali
dan ‘banjirnya’ nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia seakan menjadi
kesempatan bagi anak-anak muda untuk beralih menggunakan nyanyian rohani
berbahasa Indonesia. Dari sifatnya, memang nyanyian rohani populer berbahasa
Indonesia lebih dinamis dan energik. Di samping itu, ada anggapan dari anggota
jemaat bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai nyanyian yang tidak mengikuti
jaman (kuno).
Nyanyian rohani berbahasa Bali tidak dapat mengungkapkan pergumulan dan
persoalan-persoalan anggota jemaat di masa kini. Dengan alasan tersebut, umat
meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian
rohani berbahasa Indonesia. Salah satu buku nyanyian rohani berbahasa Indonesia
yang terbit tahun 1974 ditunjukkan dalam gambar di bawah (Gambar 6.1)
108
Gambar 6.1. Buku Nyanyikanlah Kidung Baru, Terbit 1974(Dok. :Parwita, 2013)
Selain alasan di atas, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali juga
tidak terlepas dari usaha pemerintah dan gereja untuk menasionalisasikan bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa selayaknya dipahami
dan dipakai oleh semua orang Indonesia, termasuk di dalamnya anggota gereja.
Upaya memperbanyak nyanyian rohani berbahasa Indonesia secara tidak
langsung menjadi sebuah upaya gereja untuk menasionalisasikan bahasa Indonesia.
Namun demikian, proses nasionalisasi tidak selalu bermakna positif. Nasionalisasi,
termasuk di dalamnya nasionalisasi bahasa Indonesia menyebabkan pengabaian
terhadap keberadaan kebudayaan (nyanyian rohani berbahasa Bali) yang beragam
(Abdullah, 2009: 71).
Dalam perkembangan seperti di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali mulai
terpinggirkan. Dalam rentang waktu 1980 hingga 1990-an, nyanyian rohani
berbahasa Bali hanya dipakai satu kali dalam sebulan, yaitu dalam ibadah minggu
pertama. Di luar itu, ibadah dilayani dalam bahasa Indonesia dan nyanyian yang
109
dipakai adalah nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh
seorang informan Wayan Gama demikian.
“Kira-kira mulai tahun 1980-an, secara perlahan nyanyian rohani berbahasaBali terus mengalami kemunduran dan puncaknya tahun 1990-an nyanyianrohani berbahasa Bali mulai ditinggalkan. Sekitar tahun 1980-an, masihdipakai dua kali sebulan tetapi sekarang hanya sekali saja, itupun masihdiselingi dengan bahasa Indonesia dan nyanyian rohani berbahasa Indonesia”(Wawancara, 27 Juli 2012)
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa sejak tahun 1980-an jemaat secara perlahan
telah meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan
nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
Gambaran situasi di atas dapat disebut sebagai masa peralihan atau masa
transisi. Pada satu sisi, nyanyian rohani masih digunakan dalam liturgi tetapi pada
saat yang sama ada penolakan khususnya dari generasi muda dan nyanyian rohani
mulai ditinggalkan. Piliang (2010: 67) mengatakan bahwa dalam masa transisi akan
terjadi persaingan antara informasi keagamaan dengan budaya populer dalam menarik
perhatian dan mengendalikan pikiran setiap orang. Dalam skala tertentu, informasi
budaya populer cenderung memenangkan persaingan. Hal itu disebabkan karena
budaya populer lebih menampilkan ide atau gagasan yang lebih menyenangkan, lebih
menarik, lebih membebaskan, lebih progresif, dan lebih kreatif.
Dalam proses di atas, sejak tahun 1970-an secara perlahan tetapi pasti
nyanyian rohani berbahasa Bali mulai ditinggalkan dan jemaat beralih menggunakan
nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
110
Selain hal di atas, tahun 1964 GKPB juga menerbitkan liturgi berbahasa
Indonesia. Liturgi dalam peribadatan agama Kristen memegang peran yang penting.
Liturgi mengatur pelaksanaan ibadah, baik dalam urutan pelaksanaan, maupun apa
yang harus diucapkan oleh seorang pemimpin ibadah dan umat yang menjadi peserta
ibadah. Dalam liturgi, sudah dicantumkan secara lengkap hal-hal yang berkaitan
dengan ucapan pemimpin ibadah, tugas majelis, respon jemaat, dan hal-hal yang
dilakukan oleh setiap jemaat peserta ibadah, sehingga pelaksanaan ibadah berjalan
dengan lancar.
Salah satu contoh urut-urutan liturgi berbahasa Bali, yang dipakai pada
minggu pertama setiap bulan adalah seperti di bawah ini. Liturgi seperti di bawah ini
adalah liturgi baku yang sudah ditetapkan pemakaiannya oleh Sinode GKPB.
1. PacawisanMajelis : Nuntun pasamuan makidungPasamuan : Ngadeg saha makidung
2. PangengkabPandita : Nguncarang votum miwah salamPandita : Sameton pasamuan, Ida Sang Hyang Widhi
Wasa ledang rauh pabuat iraga. Sane mangkiniraga wenten ring ayun Idane. Ngiring ja iragangasorang dewek ring ayun Idane, lanngangken saha sasarengan inucap:
Pendeta/Pasamuan : Pitulungan iragane rauh saking Ida Sang HyangWidhi Wasa, sane ngawentenang akasa miwahpratiwi. Ida tetep setia ngantos selamin-laminipun.
Pandita : Sutrepti rahayu saking Ida Sang Hyang WidhiWasa: Sang Aji, Sang Putra, miwah Ida SangHyang Roh Suci pabuat semeton.
Pesamuan : Sutrepti rahayu taler pabuat sameton. Amin3. Sabda Pamahbah
Pandita : Ngawacen sabdaPasamuan : Nyaurin saha makidung
4. Kidung Mazmur
111
Pasamuan : Makidung5. Pangastawan Syukur Miwah Pangangken Dosa
Pandita : NgastawaPesamuan : Makidung
6. Orti PanugrahanPandita : Ngawacen orti panugrahanPasamuan : Ngadeg
7. Pituduh Urip AnyarPandita : Ngawacen pituduh urip anyarPasamuan : Makidung
8. Ngawacen Cakepan SuciPandita : NgastawaMajelis : Ngawacen ring sinalih tunggil kitabPandita : Darma WacanaPasamuan : Makidung
9. Pangangken Pangegan Rasuli10. Pangastawan Syafaat11. Aturan Pinyungsung
Pandita : Ngawacen cakepan suciPasamuan : MakidungMajelis : Ngastawa
12. PamuputPasamuan : MakidungPandita : Sameton Pasamuan, mawali ja sameton saha
rahayu, tur tampi ja mertan Ida Sang HyangWidhi wasa; Sih panugrahan Ida Sang HyangWidhi Wasa, samaliha patunggilan Ida SangHyang Yesus, Sang Hyang Roh Suci, dumadaknunggil ring semeton sareng sami.
Pasamuan : Haleluya amin.
Dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
1. PembukaanMajelis : Mengajak jemaat menaikan pujianJemaat : Menaikan nyanyian pembukaan
2. Votum dan SalamPendeta : Sidang jemaat, Tuhan Yesus berkenan hadir dalam
persekutuan kita. Sekarang kita berada di hadapan-Nya. Marilah kita merendahkan diri di hadapan Tuhandan mengaku dengan bersama-sam mengucapkan.
Pendeta/Jemaat : Pertolongan kita datangnya dari Tuhan Yangmenjadikan langit dan bumi. Ia tetap setia untukselama-lamanya.
112
Jemaat : Salam sejahtera bagi saudara juga. Amin3. Pembacaan Introitus
Pendeta : Membaca ayat mingguJemaat : Menaikan nyanyian sambutan
4. Nyanyian MazmurJemaat : Membaca mazmur
5. Doa Syukur dan Pengakuan DosaPendeta : Menaikan doa syukur dan pengakuan dosaJemaat : Menaikan nyanyian pengakuan dosa
6. Berita AnugerahPendeta : Menyampaikan berita anugerahJemaat : Berdiri
7. Petunjuk Hidup BaruPendeta : Membaca petunjuk hidup baruJemaat : Menaikan nyanyian sambutan
8. Pemberitaan FirmanPendeta : Menaikkan doaMajelis : Membaca AlkitabPendeta : Menyampaikan kotbahJemaat : Menyambut dengan menaikan pujian atau
melakukan saat teduh9. Pengakuan Iman (biasanya dipakai nyanyian rohani)10. Doa Syafaat11. Persembahan Syukur
Pendeta : Membaca satu ayat dari AlkitabJemaat : Menaikan pujian dan mengumpulkan persembahanMajelis : Menaikkan doa persembahan
12. Penutup IbadahJemaat : Nyanyian penutupPendeta : Jemaat sekalian, sekarang kembalilah dengan sejahtera,
terimalah berkat Tuhan. Anugerah dari Allah Bapa,persekutuan dengan Tuhan Yesus Kristus dan RohKudus kiranya menyertai saudara-saudara kini sampaiselama-lamanya.
Jemaat : Haleluya....... amin.
Pelaksanaan urut-urutan liturgi di atas dijelaskan sebagai berikut. Pada bagian
pecawisan (pembukaan), pendeta, majelis, dan beberapa orang yang ambil bagian
dalam ibadah melaksanakan arak-arakan. Seorang majelis yang berjalan paling depan
113
membawa sebuah lilin yang menyala sebagai simbol kehadiran Allah. Majelis kedua
membawa Alkitab, diikuti oleh pendeta dan majelis yang lainnya.
Sementara arak-arakan berjalan memasuki gedung gereja, seorang majelis
yang lain mengajak jemaat berdiri dan menaikkan nyanyian pembukaan. Setelah tiba
di depan altar, semua peserta arak-arakan berdiri menghadap ke altar dan pendeta
yang memimpin ibadah naik ke mimbar menyampaikan votum dan salam, selanjutnya
dan memimpin ibadah sampai akhir (Gambar 6.2).
Gambar 6.2. Pendeta I Made Dana, S.Th. MenyampaikanVotum dan Salam
(Dok. :GKPB Marga Pakerti, 1989)
Contoh liturgi di atas menunjukkan urut-urutan pelaksanaan ibadah. Setiap
peserta ibadah baik pendeta, majelis, dan jemaat yang mengikuti ibadah mengikuti
urut-urutan dalam liturgi tersebut dengan tertib (Gambar 6.3).
114
Gambar 6.3 Suasana Ibadah Minggu untuk Jemaat Dewasa(Dok. :Parwita, 2012)
Selain liturgi berbahasa Bali yang sudah dipakai oleh jemaat seperti di atas,
pada tahun 1964 juga telah selesai disusun liturgi berbahasa Indonesia dan pada tahun
yang sama ditetapkan pemakaiannya dalam ibadah-ibadah resmi di semua jemaat
GKPB. Liturgi ini kemudian direvisi kembali pada tahun 1992 (Gambar 6.4).
Gambar 6.4 Liturgi atau Tata Ibadah Berbahasa Indonesia(Dok. :Parwita, 2012)
115
Penyusunan liturgi berbahasa Indonesia ini tidak terlepas dari upaya jemaat
menjawab perubahan jaman. Dalam kehidupan jemaat yang semakin majemuk,
liturgi berbahasa Bali dirasa sangat ekslusif. Liturgi berbahasa Bali hanya dapat
dimengerti oleh jemaat yang berasal dari etnis Bali dan berbahasa Bali, sementara
anggota jemaat yang berasal dari etnis, bahasa lain tidak memahami bahasa Bali.
Seperti yang dituturkan oleh informan I Wayan Suarta sebagai berikut:
“Liturgi memegang peranan penting dalam ibadah. Liturgi selain mengaturjalannya ibadah, sesungguhnya menjadi ungkapan dan respon jemaatterhadap karya Tuhan, oleh karena itu liturgi juga harus dipahamai olehanggota jemaat yang memiliki bahasa yang berbeda. Bukan saja anggotajemaat dari etnis yang berbeda, kenyataan sekarang banyak anak-anak darianggota jemaat yang dari Bali tidak mengerti bahasa Bali. Menjawabperkembangan jaman yang demikian maka menyusun liturgi dalam bahasaIndonesia sudah menjadi keharusan jemaat, karena anggota jemaat bukansaja dari etnis Bali” (Wawancara, 29 Agustus 2012)
Pernyataan di atas mengungkapkan bahwa penyusunan liturgi dalam bahasa
Indonesia sudah menjadi kebutuhan yang mendesak mengingat perkembangan jemaat
yang sangat pesat.
Usaha jemaat untuk menyusun sebuah liturgi yang baru berbahasa Indonesia
sesungguhnya tidak terlepas dari usaha untuk menjawab dan mengantisipasi
perubahan-perubahan baik yang terjadi dengan cepat atau pun lambat. Dalam
kehidupan umat, setidaknya ada dua perubahan yang nampak, yaitu pergantian
generasi dari generasi tua kepada generasi muda dan komposisi anggota jemaat dari
yang dulunya homogen menjadi heterogen. Kedua perubahan itu juga akan
menimbulkan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda. Sebagai contoh, ketika jemaat
masih homogen, liturgi dan nyanyian rohani berbahasa Bali dapat dipahami oleh
116
semua jemaat yang mengikuti ibadah. Akan tetapi, ketika anggota jemaat menjadi
heterogen, maka dibutuhkan liturgi dan nyanyian rohani yang dapat dipahami oleh
semua umat yang mengikuti ibadah. Dalam hal ini, keputusan untuk menyusun
liturgi berbahasa Indonesia dan mengganti nyanyian rohani berbahasa Bali dengan
nyanyian rohani berbahasa Indonesia menjadi semacam simbol yang dapat dibaca
dan dipahami oleh etnik dan budaya yang berbeda. Abdullah (2009: 83) mengatakan
bahwa dalam lingkungan yang multietnis yang memiliki ekspresi etnisitas yang
berbeda-beda dengan asal-usul yang berbeda pasti memiliki suatu simbol universal
yang dapat dikode atau dibaca, paling tidak, oleh kelompok etnis tersebut.
6.4. Pemakaian Nyanyian Rohani Berbahasa Bali Tahun 1990 hingga 2012-an .
Sejak akhir tahun 1980an, Banjar Padang Tawang mengalami perubahan
yang cukup drastis baik dalam bidang sarana dan prasarana, ekonomi, maupun sosial
budaya. Dalam bidang sarana dan prasarana khususnya transportasi, perubahan
ditandai dengan perbaikan akses jalan yang melewati banjar Padang Tawang. Jalan
yang sebelumnya masih jalan tanah dan terkadang becek pada musim hujan, pada
akhir tahun 1980-an telah diaspal dan dapat dilalui oleh kendaraan bermotor (lihat
Gambar 5.1). Semakin baiknya sarana jalan mendorong anggota masyarakat
memiliki kendaraan roda dua maupun roda empat. Selain itu, perubahan juga
ditandai dengan masuknya sarana telekomunikasi seperti telepon, televisi, dan
internet. Perubahan-perubahan di atas juga mempengaruhi kehidupan ekonomi
masyarakat di Banjar Padang Tawang secara keseluruhan, termasuk di dalamnya
umat GKPB Jemaat Marga Pakerti.
117
Berubah dan berkembangnya kehidupan masyarakat, mau tidak mau juga
mengubah kehidupan sosial dan budaya umat GKPB Jemaat marga Pakerti Padang
Tawang. Dalam konteks di atas, termasuk pemakaian nyanyian rohani berbahasa Bali.
Dalam kondisi yang terus mengalami perubahan seperti di atas, nyanyian rohani
berbahasa Bali yang pada era sebelumnya telah embeded kini mulai ditinggalkan
oleh pemakainya dengan kata lain dapat dikatakan telah mengalami keterpinggiran.
Seorang informan I Ketut sadrah mengatakan demikian.
“Ada pengaruh yang sangat besar antara keadaan sebelum tahun 1970-andengan keadaan sekarang tahun 1990-an. Dulu keadaan tidak sepertisekarang, jalan belum diaspal jemaat belum banyak yang punya televisi,kendaraan hanya beberapa orang yang punya, tapi sekarang semua itulumbrah. Saya percaya hal ini mempengaruhi cara pandang jemaat terhadapsegala sesuatu, termasuk apa yang kita pakai di gereja. sekarang Gerejasudah dilengkapi dengan LCD, sound system yang bagus alat-alat musikband jadi wajar juga kemudian jemaat meninggalkan apa yang berbau kuno (Nyanyian rohani berbahasa Bali)” (Wawancara 8 Agustus 2012)
Hal yang sama juga dikatakan oleh informan Nyoman Ruja demikian.
“Kalau perkiraan saya tidak salah, nyanyian rohani berbahasa Bali mulaidigeser oleh nyanyian rohani berbahasa Indonesia sekitar tahun 1980-an.Awalnya nyanyian rohani berbahasa indonesia hanya dipakai sekali dalamsebulan pada waktu ibadah minggu, tetapi sekarang sudah terbalik, bahkanakhir-akhir ini hampir tidak pernah. Hal ini tergantung pendetanya. Kalaupendetanya bukan orang dari Bali, maka dapat dipastikan tidak ada bahasaBali” (wawancara, 27 Juli 2012)
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ditinggalkannya nyanyian rohani
berbahasa Bali oleh umat GKPB Marga Pakerti sudah mulai sejak tahun 1980-an dan
kemudian mencapai puncaknya memasuki tahun 1990-an hingga sekarang.
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang yang sebelumnya
menganut budaya agraris di mana sebagian besar penduduknya bertani, kini bergerak
118
ke arah budaya modern. Kehidupan sosial seperti itu menurut Touraine (Piliang,
2010: 1760) disebut sebagai masyarakat yang telah kehilangan kesatuannya, dan
kini tak lebih dari sebuah arus perubahan yang tak henti-hentinya. Dalam masyarakat
seperti itu, aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai dengan
nilai-nilai dan norma-norma sosial akan tetapi mengikuti strateginya masing-masing.
Dalam konteks itu, maka budaya tradisional yang diwakili nyanyian rohani
berbahasa Bali mengalami persaingan dengan budaya modern yang diwakili oleh
nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Seperti dikatakan oleh Piliang (2010: 67),
dalam kebudayaan, informasi keagamaan bersaing dengan informasi budaya populer
dalam menarik perhatian dan mengendalikan pikiran setiap orang. Dalam skala
tertentu, informasi budaya populer cenderung memenangkan persaingan, disebabkan
budaya populer lebih menampilkan ide dan gagasan yang lebih menyenangkan. Jika
pemahaman di atas dikaitkan dengan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali
dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti, dapat dikatakan bahwa keterpinggiran
terjadi oleh karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
Banjar Padang Tawang. Dalam proses perubahan-perubahan tersebut, nyanyian
rohani tidak dapat dipertahankan lagi sebagai nyanyian rohani yang dipakai dalam
liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti; dengan kata lain, nyanyian rohani berbahasa
Bali terpinggirkan.
119
BAB VII
IMPLIKASI KETERPINGGIRAN NYANYIAN ROHANI BERBAHASABALI DALAM LITURGI GEREJA KRISTEN PROTESTAN BALI JEMAAT
MARGA PAKERTI DI BANJAR PADANG TAWANG
Proses perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia di bawah
bayang-bayang globalisasi menimbulkan berbagai implikasi terhadap kehidupan.
Implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dapat diamati, yaitu
pelaksanaan liturgi yang tidak utuh, berkurangnya peran pendeta dalam pelaksanaan
ibadah, gereja terbuka bagi semua orang, beragamnya unsur budaya etnik dalam
liturgi gereja, dan terjadi kelompok etnik multikultural, berkurangnya nuansa budaya
Bali dalam liturgi, memperkuat persekutuan, dan penghayatan iman yang kontekstual.
7.1. Kurang Utuhnya Pelaksanaan Liturgi
Dalam sejarah perkembangan gereja, munculnya liturgi seperti yang dimiliki
oleh jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang telah melewati proses
panjang. Pada awalnya, ibadah gereja berjalan bebas dan tidak diatur dalam sebuah
liturgi. Setiap orang yang datang bebas untuk berdoa, menyanyi, dan membaca
Alkitab, sehingga terjadi kekacauan dalam pelaksanaan liturgi. Jemaat yang hadir
tidak dapat mengikuti ibadah dengan khusuk dan khidmat karena pada saat yang
bersamaan ada yang berdoa sementara yang lainnya menyanyikan pujian. Liturgi
atau yang sering disebut tata ibadah, mengatur dan menuntun jalannya ibadah
sehingga ibadah berjalan dengan teratur dan tertib. Contoh liturgi yang lengkap dan
baku seperti di bawah ini.
120
1. PembukaanMajelis : Mengajak jemaat menaikkan pujianJemaat : Menaikkan nyanyian pembukaan
2. Votum dan SalamPendeta : Sidang jemaat, Tuhan Yesus berkenan hadir dalam
persekutuan kita. Sekarang kita berada di hadapan-Nya. Marilah kita merendahkan diri di hadapan Tuhandan mengaku dengan bersama-sama mengucapkan.
Pendeta/Jemaat : Pertolongan kita datangnya dari Tuhan Yangmenjadikan langit dan bumi. Ia tetap setia untukselama-lamanya.
Jemaat : Salam sejahtera bagi saudara juga. Amin3. Pembacaan Introitus
Pendeta : Membaca ayat mingguJemaat : Menaikkan nyanyian sambutan
4. Nyanyian MazmurJemaat : Membaca Mazmur
5. Doa Syukur dan Pengakuan DosaPendeta : Menaikkan doa syukur dan pengakuan dosaJemaat : Menaikkan nyanyian pengakuan dosa
6. Berita AnugerahPendeta : Menyampaikan berita anugerahJemaat : Berdiri
7. Petunjuk Hidup BaruPendeta : Membaca petunjuk hidup baruJemaat : Menaikan nyanyian sambutan
8. Pemberitaan FirmanPendeta : Menaikkan doaMajelis : Membaca AlkitabPendeta : Menyampaikan kotbahJemaat : Menyambut dengan menaikan pujian atau
melakukan saat teduh9. Pengakuan Iman (biasanya dipakai nyanyian rohani)10. Doa Syafaat11. Persembahan Syukur
Pendeta : Membaca satu ayat dari AlkitabJemaat : Menaikan pujian dan mengumpulkan persembahanMajelis : Menaikkan doa persembahan
12. Penutup IbadahJemaat : Nyanyian penutupPendeta : Jemaat sekalian, sekarang kembalilah dengan sejahtera,
terimalah berkat Tuhan. Anugerah dari Allah Bapa,persekutuan dengan Tuhan Yesus Kristus dan Roh
121
Kudus kiranya menyertai saudara-saudara kini sampaiselama-lamanya.
Jemaat : Haleluya........., amin.
Semua pokok-pokok yang ada dalam liturgi dijalankan secara teratur dan
lengkap. Namun, dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia
atau Inggris, dan terpinggirkannya nyanyian rohani berbahasa Bali, mengubah
pelaksanaan liturgi di GKPB jemaat Marga Pakerti menjadi tidak utuh. Tidak
utuhnya pelaksanaan liturgi dapat dilihat dalam beberapa hal, yaitu dihapusnya
pembacaan Mazmur, dihapusnya penyampaian berita anugerah, dan pembacaan
petunjuk hidup baru oleh pendeta, dan pengakuan iman rasuli. Hal itu dilakukan
karena dianggap tidak relevan. Selain itu, dalam liturgi yang baku, nyanyian rohani
yang dinyanyikan dalam satu ibadah ada enam nyanyian rohani sedangkan dalam
liturgi bentuk barunya nyanyian rohani yang dipakai dalam keseluruhan ibadah
maksimal hanya empat. Dalam liturgi yang baku, masing-masing nyanyian rohani
dinyanyikan sekali, sedangkan dalam liturgi yang telah diubah, nyanyian rohani
dinyanyikan dengan cara berulang-ulang. Contoh liturgi yang tidak lengkap sebagai
berikut.
o Pembawa acara membuka ibadah dalam doao Nyanyian penyembahan (dinyanyikan berulang-ulang)o Doa pengakuan dosao Nyanyian menyambut firman Tuhano Pendeta berdoa, membaca Alkitab dan berkotbaho Nyanyian Sambutan (dinyanyikan berulang-ulang)o Nyanyian Syukur (dinyanyikan berulang-ulang)o Doa penutup
Contoh liturgi di atas menunjukan liturgi yang tidak utuh. Pelaksanaan liturgi
yang tidak utuh sebagaimana yang telah dibakukan mempengaruhi cara jemaat
122
beribadah dan suasana ibadah. Jemaat dalam mengikuti ibadah tidak lagi beribadah
dengan tenang dan khidmat tetapi lebih banyak berdiri dan bergerak mengikuti
irama nyanyian dan musik yang dimainkan. Seperti yang dituturkan oleh informan I
Wayan Gama mantan majelis jemaat:
“Dulu jika ibadah dilaksanakan memakai bahasa Bali, jemaat beribadahdengan tenang dan khidmat. Jemaat tidak bertepuk tangan, tidak ada yangberbicara sendiri-sendiri, semuanya sudah diatur tetapi sekarang ketikaibadah tidak lagi mengikuti pola yang baku (yang dimaksud liturgi yangbaku) saya merasa terganggu. Apa lagi kalau ada orang bertepuk tangan dantertawa, rasanya tidak cocok dengan suasana ibadah seperti itu. Saya rasa inidipengaruhi oleh gaya ibadah gereja-gereja “karismatik” yang sekarangbanyak berkembang di Bali ” (Wawancara, 27 Juli 2012).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa masuknya nyanyian rohani berbahasa
Indonesia dan terpinggirkannya nyanyian rohani berbahasa Bali berimplikasi pada
perasaan jemaat yang mengikuti ibadah. Implikasi yang dimaksud bisa berarti
menguatkan atau melemahkan penghayatan iman jemaat, bisa berarti jemaat
semakin khusuk dalam ibadah atau sebaliknya mengurangi kekhusukan ibadah.
Bagi generasi muda, perubahan seperti itu dianggap sebagai suatu yang bersifat
dinamis, seperti yang diungkapkan oleh Gede Trisna Putra demikian:
“Perubahan bentuk liturgi sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar. Liturgiyang kita pakai sampai sekarang ini sudah disusun sejak abad pertengahan,yaitu ketika gereja berkembang di negara-negara Eropa dan Amerika, tetapidunia terus berkembang dan sekarang sudah jauh berubah, gereja harusnyamenyesuaikan diri termasuk juga menyesuaikan liturginya. Bagaimanapunkonteks sekarang berbeda dengan abad pertengahan di mana dulu gerejaberkembang. Seharusnya liturgi bersifat dinamis, mengikuti perkembanganjaman” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
123
Ungkapan di atas condong melihat pelaksanaan liturgi yang tidak utuh sebagai
sesuatu yang wajar terjadi. Hal ini didasarkan pada perkembangan zaman dan
kebutuhan umat yang juga terus berubah dan berkembang.
Tindakan jemaat untuk melakukan penyesuaian terhadap pelaksanaan liturgi
di atas tidak lepas dari sebuah upaya adaptasi. Perubahan terhadap lingkungan baik
yang terjadi dengan cepat maupun lambat akan mempengaruhi penghuninya. Karena
itu, manusia akan berusaha melakukan adaptasi terhadap perubahan itu
(Soemarwoto, 1977: 48). Selanjutnya, Bennet (1976: 257) menyebutkan bahwa
adaptasi manusia tidak semata-mata ditentukan oleh keinginan, kebutuhan, dan
tujuannya, tetapi ditentukan pula oleh situasi lingkungan setempat. Dalam konsep
adaptasi di atas, lingkungan yang dimaksudkan adalah budaya modern dengan segala
aspeknya yang melanda kehidupan umat.
7.2. Berkurangnya Peran Pendeta Dalam Pelaksanaan Liturgi
Dalam liturgi yang sudah ditetapkan dan disahkan oleh Sinode GKPB,
pendeta memegang peran yang utama. Seorang pendeta akan memimpin ibadah dari
awal sampai akhir dan beberapa bagian tertentu dibantu oleh majelis jemaat. Oleh
karena itu, seorang pendeta harus menguasai nyanyian rohani yang dipakai dan
menghafalkan semua urutan-urutan liturgi. Artinya, seorang pendeta yang sedang
memimpin ibadah harus menguasai jalannya ibadah dan mempersiapkan secara
matang apa yang akan dikatakan. Pendeta harus dalam kondisi sehat, karena selama
memimpin ibadah harus berdiri dan berbicara selama lebih kurang 1,5 sampai 2 jam.
124
Dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia dan
dihilangkannya beberapa bagian liturgi, maka peranan pendeta dalam ibadah juga
semakin berkurang. Pendeta hanya berperan dalam pembacaan Alkitab dan
menyampaikan kotbah. Ibadah lebih banyak dipimpin dan diarahkan oleh pembawa
acara atau yang sering disebut master of ceremony (mc). Pembawa acaralah yang
menentukan apa yang harus dilakukan dan apa yang dikatakan ketika ibadah
dilaksanakan. Dengan kata lain, pembawa acaralah yang lebih dominan dalam
melaksanakan jalannya ibadah.
Berkurangnya peran pendeta dalam ibadah sangat erat berkaitan dengan
trand perkembangan gereja akhir-akhir ini. Gereja-gereja tersebut dalam ibadahnya
memakai nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia. Sesuai dengan catatan
Pembina Masyarakat Kristen (Pembimas) Propinsi Bali tahun 2010, ada sekitar 64
denominasi gereja yang ada di Bali; sebagain besar dari gereja tersebut beraliran
kharismatik. Aliran gereja kharismatik yaitu gereja-gereja baru yang memisahkan
diri dari gereja arus utama seperti protestan dan katolik. Dalam melaksanakan
ibadahnya, gereja-gereja kharismatik tidak berpatokan pada liturgi baku seperti yang
ada pada gereja-gereja arus utama, tetapi pelaksanaan ibadah diserahkan sepenuhnya
kepada pembawa acara. Pendeta hanya bertugas membaca Alkitab dan
menyampaikan kothbah. Trand seperti itulah yang berkembang akhir-akhir ini, yang
diikuti oleh gereja-gereja arus utama termasuk jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang.
125
Dalam buku Tata Gereja GKPB tahun 2006, Bab XIII, pasal 83 ayat 1,
dinyatakan bahwa, pendeta adalah jabatan gerejawi yang ditetapkan secara khusus
untuk melaksanakan tugas pelayanan firman, sakramen, pastoral, dan pelayanan-
pelayanan gerejawi lainnya. Isi tata gereja di atas dengan tegas telah mengatur tugas
dan wewenang seorang pendeta. Seorang pendeta selain bertugas dan
bertanggungjawab terhadap pembangunan iman jemaat juga bertanggung jawab
terhadap kegiatan ibadah. Artinya, selain mempersiapkan ibadah, pendeta juga diberi
wewenang untuk memimpin jalannya ibadah. Hal yang sama juga dipertegas kembali
dalam buku Panduan Bergereja (Departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB:
19-20) bahwa tugas dan wewenang pendeta adalah melaksanakan pelayanan firman,
sakramen dan melayankan kebaktian-kebaktian. Artinya, tugas untuk memimpin
sebuah ibadah diberikan kepada seorang pendeta bukan pembawa acara. Pembawa
acara dan bersama dengan majelis jemaat dapat membantu pada bagian-bagian
tertentu bukan mengambil-alih tugas yang sudah ditetapkan.
Berkurangnya peran pendeta dalam ibadah tentu saja berpengaruh juga
kepada kekhusukan jalannya ibadah dan berubahnya perasaan umat yang mengikuti
ibadah. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan Nengah Yakubus Wirasa
sebagai berikut.
“ Kalau ibadah minggu atau ibadah lainnya dipimpin oleh oyang yang bukanpendeta, saya merasa tidak pas, seperti yang sering terjadi kalau ibadahmemakai liturgi “lepas” ( liturgi yang tidak mengikuti seperti liturgi yangsudah disahkan). Ibadah dipimpin oleh seorang mc (master of ceremony)apalagi ia bukan seorang majelis jemaat, saya rasa kok tidak cocok,idealnya pendetalah yang memimpin ibadah” (Wanwancara, 26 Juli 2012)
126
Ungkapan di atas memberikan penegasan bahwa kalau ibadah-badah dipimpin oleh
orang awam atau bukan pendeta, ada rasa penolakan oleh jemaat yang mengikuti
ibadah, sekalipun umat tidak secara langsung mengungkapkan penolakannya.
Berkurangnya peran pendeta dalam ibadah umat tidak lepas dari upaya
penyesuaian yang dilakukan oleh jemaat untuk mencapai tujuan. Jemaat
menginginkan ibadah tetap dapat menarik bagi anak-anak muda anggota jemaat dan
ibadah dapat dinikmati oleh semua golongan yang mengikuti ibadah. Hal ini selaras
teori adaptasi Bennet ( 1976: 145) bahwa penyesuaian-penyesuaian yang dilakuan
oleh umat adalah sebuah adaptasi yang mengandung arti ganda, yaitu manusia
(anggota jemaat) menyesuaikan keinginannya atau kehidupannya dengan situasi atau
lingkungan yang berubah. Sebaliknya, manusia berusaha pula menyesuaikan
lingkungan dengan keinginan dan tujuannya. Dengan melakukan penyesuaian atau
adaptasi anggota jemaat GKPB Marga Pakerti berharap kehidupan umat khususnya
dalam ibadah dapat terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Ibadah
tetap dapat dikuti oleh semua golongan dan dapat meningkatkan kerohanian umat
khususnya generasi muda dalam perkembangan zaman yang semakin maju. Hal inilah
yang yang terjadi dalam kehidupan umat GKPB Marga Pakerti dalam menyikapi dan
menginterpretasi perubahan-perubahan zaman.
7.3. Semakin Terbukanya Gereja Bagi Semua Orang
Agama Kristen bukan milik etnis atau bangsa tertentu. Seperti agama-agama
yang lainnya, agama Kristen adalah milik penganut-penganutnya yang tidak dibatasi
oleh sekat-sekat suku, bahasa, dan bangsa. Artinya tidak ada satu suku atau bangsa
127
yang dapat mengklaim bahwa agama tertentu milik etnis atau bangsanya. Dengan
demikian, agama seharusnya bersifat terbuka bagi siapa saja yang percaya dan mau
memeluknya. Dalam hal ini, termasuk GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang.
Dalam perkembangan, ketika agama berkembang di satu etnis atau daerah
tertentu, seringkali agama itu diklaim menjadi milik etnis itu. Agama Kristen ketika
berkembang di Amerika atau Eropa sering diasosiasikan sebagi milik orang Eropa
atau Amerika, padahal seharusnya tidak demikian. Agama seharusnya bersifat
terbuka terhadap siapa pun. Demikian juga halnya dengan agama Kristen yang
berkembang di Bali. Agama Kristen bukan saja untuk orang-orang dari etnis Bali,
tetapi untuk semua orang yang tinggal di Bali.
Bali sebagai daerah pariwisata banyak “dibanjiri” oleh kaum urban dari
berbagai suku atau etnis yang ada di Indonesia, bahkan juga orang-orang asing dari
berbagai negara. Hal yang sama juga terjadi di Banjar Padang Tawang. Memasuki
tahun 1990-an, cukup banyak kaum urban yang tinggal dan menetap di Banjar
Padang Tawang. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang beragama Kristen.
Seorang informan Ketut Sadrah anggota GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang, umur 51 tahun, menyatakan :
“Anggota jemaat sekarang tidak saja orang-orang Padang Tawang (yangdimaksudkan adalah etnis Bali) sejak beberapa tahun belakangan inibanyak dari saudara-saudara kita dari jauh datang beribadah di sini. Kalaukita tetap kukuh memakai nyanyian rohani berbahasa Bali dalam ibadah,bagaimana mereka bisa mengerti, oleh karena itu pelayanan gerejaseharusnya memperhatikan mereka” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
128
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa anggota GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang tidak lagi dapat dikatakan homogen, tetapi seiring
dengan perjalanan waktu telah bercampur dengan etnis-etnis yang lain.
Berkembangnya keanggotaan gereja yang dulunya homogen dan sekarang
menjadi heterogen harus disikapi oleh lembaga gereja. Lembaga gereja sebagai
sebuah lembaga keagamaan tidak dapat menutup diri hanya melayani etnis Bali,
tetapi harus juga melayani atau merangkul dari etnis lain yang berbeda. Wayan
Suartha umur 52 tahun seorang anggota majelis jemaat, mengenai hal itu
menyatakan :
“Gereja seperti yang dikatakan dalam Alkitab, harus menjadi “terang” dan“garam” bagi dunia di sekitarnya. Untuk menjadi “terang” dan “garam”,gereja tidak dapat menutup diri hanya untuk orang-orang Bali, tetapigereja pada jaman sekarang harus terbuka juga melayani orang-oranglain yang berbeda latarbelakang suku dan bangsa. Apalagi melihatperkembangan ke depan, Bali akan didatangi oleh banyak orang dariberbagai etnis, bangsa, dan latarbelakang. Apakah gereja akanmengabaikan kehadiran mereka?” (Wawancara, 29 Agustus 2012).
Pernyataan di atas mengungkapkan bahwa perkembangan zaman dan karena
berbagai pengaruh, gereja sebagai sebuah lembaga agama dan juga lembaga sosial,
harus terbuka dalam pelayanannya. Gereja harus melayani mereka yang berasal dari
etnis yang berbeda.
Keterbukaan gereja akan menjadikan anggota-anggotanya dapat
memetik nilai-nilai positif yang ditimbulkan oleh keterbukaan. Secara sosial
kemasyarakatan, gereja akan dikenal oleh lingkungan sekitarnya, sehingga gereja
dapat berperan secara aktif dalam membangun kehidupan masyarakat sesuai dengan
visi dan misinya untuk menjadi “garam” dan “terang” bagi masyarakat.
129
“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakahia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidakmungkin tersembunyi” (Kitab Matius 5: 13-14)
Keberadaan gereja sebagai bagian dari masyarakat diumpamakan seperti garam dan
terang. Gereja harus berbaur dengan masyarakat sekitarnya dan dapat memberikan
tuntunan yang baik, sehingga bersama dengan masyarakat, gereja bertumbuh dalam
berbagai aspeknya.
7.4. Beragamnya Unsur Budaya Etnik dalam Liturgi Gereja
Tak pelak lagi, globalisasi telah membawa konsekuensi multidimensional
terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Peran media dan kemajuan
teknologi, pendidikan, dan ilmu pengetahuan memacu lebih cepat terjadinya
percampuran budaya. Fenomena seperti ini kemudian merujuk pada proses
inkulturasi budaya asing dengan budaya lokal yang sudah ada di masyarakat. Saling
mempengaruhi antarbudaya adalah suatu yang biasa terjadi dalam perjumpaan
antarmasyarakat.
Inkulturasi budaya yang terjadi, dalam hal ini dalam kehidupan GKPB
jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang memberikan dampak positif bagi
kehidupan anggotanya. Masuknya budaya asing telah membawa inovasi-inovasi
baru bagi kehidupan bergereja dan bermasyarakat di GKPB jemaat Marga Pakerti di
Banjar Padang Tawang. Sebagai contoh, masuknya nyanyian rohani populer baik
yang berbahasa Indonesia maupun Inggris menjadikan kehidupan ibadah GKPB
jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang semakin bergairah. Ibadah tidak
130
berjalan monoton tetapi penuh semangat. Hal ini terjadi oleh karena pelaksanaan
ibadah didukung dengan perangkat elektronik sound system dan teknologi media
dengan menggunakan LCD (Gambar 7.1) yang menampilkan gambar-gambar.
Selain itu, perangkat musik untuk mengiringi ibadah juga semakin beragam.
Penggunaan alat musik band, organ dan angklung bambu memberikan keragaman
yang dapat dipilih oleh jemaat.
Gambar 7.1. Layar LCD untuk Mendukung Ibadah(Dok. :Parwita, 2012)
Dengan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa dengan masuknya budaya
asing, yaitu budaya-budaya yang sebelumnya tidak dikenal oleh anggota jemaat,
selain memberikan keragaman terhadap budaya dengan terbentuknya budaya-budaya
baru, juga memberikan pilihan-pilihan kepada jemaat khususnya bagi anak-anak
muda jemaat yang memiliki selera dan gaya yang berbeda. Linton (dalam
Koentjaraningrat, 1990: 97) mengatakan bahwa dalam proses perubahan budaya di
mana di dalamnya terjadi akulturasi, ada unsur-unsur kebudayaan yang mudah
131
berubah bila diperhadapkan dengan pengaruh asing. Dengan demikian,
perkembangan yang terjadi dalam kehidupan jemaat dapat dikatakan sebagai suatu
hal yang wajar terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Gede Trisna Putra seorang
informan ketika ditanya pendapatnya mengenai fenomena di atas, mengatakan:.
“Anak-anak muda yang ada di GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawangsekarang berbeda dengan kita. Mereka secara pendidikan lebih tinggi dandalam kehidupan sehari-hari mereka banyak dipengaruhi oleh kehidupanmodern, mereka banyak bekerja dan berinteraksi di daerah pariwisatadengan orang-orang asing. Coba kita lihat dalam ibadah-ibadah, kalauminggu pertama mereka kebanyakan tidak hadir, karena minggu pertamakita memakai bahasa Bali. Hal ini harus kita sikapi, tidak dapat kita biarkan.Oleh karena itu beberapa tahun yang lalu saya mengusulkan supaya gerajamemakai band dan memasukkan nyanyian-nyanyian rohani populer.Supaya anak-anak kita juga mau dan betah mengikuti ibadah (Wawancara, 8Agustus 2012).
Apa yang dikatakan oleh informan di atas menegaskan bahwa kehadiran budaya-
budaya dari luar gereja tidak serta merta mendapat penolakan dan tidak serta merta
menimbulkan efek negatif. Masuknya budaya luar seringkali juga memperkaya
tradisi dan budaya lokal yang sudah ada. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali juga berdampak pada hilangnya budaya atau tradisi yang sudah ‘tertanam’
(embeded) dalam satu komunitas. Hilangnya satu budaya tidak terjadi begitu saja,
tanpa campur tangan masyarakat yang pedukung budaya tersebut. Masyarakat
pendukung mengambil satu keputusan apakah akan terus melestrarikan budaya
tersebut atau membuangnya. Hal itu merupakan sebuah pilihan yang dilakukan oleh
pendukung budaya. Apakah mereka akan tetap memakai budaya yang lama atau
memilih budaya baru, kedua-duanya memiliki konsekuensi bagi kehidupan mereka.
132
Ada berbagai alasan ketika satu budaya ditinggalkan oleh pendukungnya,
antara lain, budaya tersebut sudah tidak cocok dengan situasi dan keadaan zaman.
Artinya, budaya tersebut tidak lagi dapat menjawab atau memenuhi rasa nyaman
pendukungnya. Selo Sumarjan (dalam Soekamto, 2001:342) mengatakan bahwa
perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu kedua-
duanya bersangkut-paut dengan penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan
dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Seperti yang diungkapkan
oleh seorang informan Wayan Suartha seorang penatua GKPB jemaat Marga Pakerti
dengan berkata :
“Dulu memang nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai penuh dalam liturgipada hari minggu bahkan juga dalam ibadah keluarga. Tetapi nampaknyapengaruh televisi dan keadaan zaman sekarang yang tidak memungkinkanlagi, anak-anak lebih memilih nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia.Nampaknya mereka malu dan menganggap nyanyian rohani berbahasa Baliitu kuno dan tidak mengikuti jaman dan tidak memenuhi selera mereka”(Wawancara, 29 Agustus 2012)
Penuturan di atas hendak mengungkapkan bahwa pilihan anak-anak muda untuk
meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dipengaruhi oleh perasaan. Mereka
merasa nyanyian rohani berbahasa Bali identik dengan kuno dan ketinggalan zaman.
Sebagai sebuah budaya, nyanyian rohani berbahasa Bali mengandung nilai-
nilai luhur yang sudah terbukti mampu menjaga kehidupan umat. Nyanyian rohani
berbahasa Bali sesungguhnya mengandung ajaran-ajaran kebenaran yang diambil
dari Alkitab. Ajaran-ajarannya mengajak jemaat untuk tetap memiliki pengharapan
dan percaya kepada Tuhan. Artinya, nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali ketika
133
diresapi oleh jemaat sesungguhnya meneruskan dan menanamkan ajaran Kristiani
yang bersumber pada Alkitab.
Meneruskan dan mengajarkan ajaran-ajaran Kristiani yang bersumber pada
Alkitab sesungguhnya merupakan sebuah perintah yang harus ditaati oleh umat
untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Meneruskan dan mengajarkan ajaran-
ajaran Kristiani dalam kitab Injil dikatakan sebagai berikut:.
“Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini, haruslah engkauperhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepadaanak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu,apabila engkau sedang ada di dalam perjalanan, apabila engkau berbaring,dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannyasebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang didahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmudan pada pintu gerbangmu” (Kitab Ulangan 6:6-10)
Ungkapan di atas hendak memberikan penegasan kepada jemaat bahwa apa yang
menjadi tradisi dan mengandung nilai-nilai kebenaran tidak dapat ditinggalkan
begitu saja. Sebaliknya, jemaat mempunyai tanggung jawab untuk meneruskan
dengan mengajarkan kepada generasi berikutnya.
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa nyanyian rohani berbahasa
Bali sebagai sebuah budaya memiliki nilai-nilai kebenaran, tetapi dengan berbagai
macam pengaruh yang berkembang mulai terpinggirkan. GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang yang menjadi pendukung budaya tersebut tidak
meneruskan atau mewariskan budaya tersebut kepada generasi berikutnya. Pada sisi
yang lain, karena berbagai pengaruh, generasi muda juga tidak tertarik untuk
memakai budaya tersebut. Sebagai generasi muda, mereka memiliki alasan yang
134
kuat bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali itu tidak sesuai lagi dengan konteks
hidup mereka.
Sebagai generasi muda yang berbeda konteks hidupnya dengan orang tuanya,
mereka memiliki pilihan-pilihan yang dapat mereka pilih untuk mereka terima
sebagai budaya mereka sendiri. Mereka memilih budaya modern dalam hal ini
nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia, yang mereka anggap lebih cocok dan
pas dengan hidup mereka daripada memilih nyanyian rohani berbahasa Bali yang
sudah melekat dalam kehidupan GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang di masa yang lalu.
Persoalan memilih budaya modern dan meningggalkan tradisi nenek moyang
adalah sebuah pilihan yang sah-sah saja. Akan tetapi, pilihan yang mereka lakukan
juga memiliki konsekuensi punahnya budaya lokal. Seorang informan, Nengah
Yakobus Wirasa ketika ditanyai tentang keberadaan nyanyian rohani ke depan
memberikan jawaban sebagaiberikut.
“Jika diamati semakin hari bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Balisemakin hari semakin berkurang. Ada kemungkinan ke depan nyanyianrohani berbahasa Bali akan hilang atau tidak dikenal oleh anak-anak kita.Sekarang saja dipakai hanya sekali dalam sebulan, itupun masih dicampur-campur dengan bahasa Indonesia. Ke depan mungkin saja dihapus, apalagikalau suatu saat yang ditugaskan sebagai pendeta di jemaat ini adalahpendeta yang bukan dari etnis Bali” (Wawancara, 26 Juli 2012).
Pernyataan di atas mengungkapkan sebuah kekhawatiran bahwa dengan melihat
situasi sekarang, nyanyian rohani berbahasa Bali akan mengalami kepunahan atau
tidak dikenal oleh generasi muda yang akan datang. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh informan lainnya, Gede Trisna Putra yang berkata:
135
“Gereja harus berupaya lebih keras dan serius, supaya nyanyian rohaniberbahasa Bali sebagai warisan budaya tetap dapat diterima oleh anak-anak muda kita. Selain dengan tetap mempertahankan pemakaian bahasaBali pada minggu pertama setiap bulan, gereja juga dapat menyelipkan satunyanyian rohani berbahasa Bali setiap kali ibadah. Atau gereja dapatmendorong para seniman menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yangbaru yang sesuai dengan konteks anak-anak muda sekarang, dengan iramayang lebih nge-pop sehingga anak-anak muda kita bisa menerima danmerasakan makna nyanyian-nyanyian tersebut dan ke depan nyanyian rohaniberbahasa Bali tetap dikenal oleh generasi berikut” (Wawancara, 8 Agustus2012)
Wawancara di atas memberikan gambaran bahwa sekalipun anak-anak muda
memiliki pilihan-pilihan, usaha-usaha untuk melestarikan nyanyian rohani berbahasa
Bali harus terus diupayakan. Ada kekhawatiran bahwa jika anggota gereja tidak
melakukan satu upaya yang serius, maka nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai
warisan budaya cepat atau lambat akan mengalami kepunahan. Ditinggalkannya
nyanyian rohani berbahasa Bali mengindikasikan juga bahwa tradisi gereja yang
sudah tertanam dalam kehidupan gereja juga ditinggalkan.
7.5. Terjadinya Kelompok Sosial Multikultural
Masuknya nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan Inggris ke tengah-tengah
kehidupan GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang menimbulkan
perjumpaan antarbudaya yang berbeda. Anggota GKPB jemaat Marga Pakerti yang
sebelumnya belum banyak mengenal budaya luar dapat belajar dan mengetahui
budaya yang berbeda dengan budaya yang selama ini mereka anut. Perjumpaan
budaya ini sering disebut interaksi antarbudaya atau lebih dikenal dengan sebutan
komunikasi antarbudaya
136
Dalam kenyataan sosial, ketika budaya lokal bertemu dengan budaya luar
akan terjadi komunikasi antarbudaya. Alo Liliweri (2002: 43), sorang pakar
komunikasi antarbudaya mengatakan bahwa salah satu tuntutan globalisasi yang
semakin tidak terkendali seperti saat ini mendorong masyarakat untuk terjadinya
sebuah interaksi lintas budaya, lintas kelompok, serta lintas sektoral. Belum lagi
perubahan-perubahan global lainnya, yang semakin deras dan menjadi bukti nyata,
bahwa semua orang harus mengerti karakter komunikasi antarbudaya secara
mendalam.
Masuknya budaya luar ke tengah-tengah kehidupan GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang mengurangi terjadinya kesenjangan antaranggota
jemaat yang berbeda budaya dan latar belakang. Anggota jemaat yang berasal dari
luar etnis Bali dapat berinteraksi dan hidup bersama-sama dalam satu gereja.
Fenomena seperti ini terjadi dalam kehidupan keseharian anggota GKPB jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang seperti yang diungkapkan oleh seorang
informan Nyoman Rubin, umur 62 tahun dengan berkata :
“ Bagus sekali kalau kita sering memberi kesempatan kepada saudara-saudara kita yang dari Toraja, Sulawesi untuk tampil dalam ibadahminggu, seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu merekamempersembahkan pujian dengan diiringi pompang (pompang adalahalat musik tiup khas Toraja-Mamasa yang dibuat dari bambu denganberbagai ukuran dan dimainkan oleh 20 sampai 30 orang). Hal itumemberi variasi dalam beribadah dan yang lebih penting, wawasan barukepada jemaat pang sing kaden nak anen iraga gen ane paling luhung(supaya kita tidak berpikir bahwa apa yang kita miliki yang paling baik)”(Wawancara, 27 Juli 2012)
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa jemaat menerima dan dapat
berkomunikasi dengan anggota jemaat yang berbeda etnis. Hal seperti ini sangat
137
penting dalam kehidupan jemaat, yaitu untuk menghilangkan kecurigaan sehingga
warga jemaat dapat bertumbuh dalam iman dan kehidupan sosial secara umum.
7.6. Berkurangnya Nuansa Budaya Bali dalam Liturgi
Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang atau kelompok
karena orang atau kelompok itu merupakan anggota dari satu kelompok tertentu.
Sedyawati (2003: 3) mengungkapkan bahwa istilah identitas budaya dapat dipahami
sebagai sebuah himpunan ciri-ciri yang menandai suatu himpunan masa tertentu
yang seringkali disebut dengan kelompok etnik. Dalam konteks di atas, nyanyian
rohani berbahasa Bali dapat dikatakan sebagai ciri dan identitas GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang jika bandingkan gereja-gereja lain yang ada di Bali.
Sebagai sebuah identitas, nyanyian rohani dipakai oleh jemaat baik dalam ibadah
minggu maupun dalam ibadah-ibadah lainnya. Hal itu diungkapkan oleh seorang
informan yaitu Gede Trisna Putra salah seorang mantan majelis jemaat, dengan
berkata :
“Ketika GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang hidup danberkembang di antara gereja-gereja lain yang ada di Bali, maka yangmenjadi ciri GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang adalah bahasaBali dan nyanyian rohani berbahasa Balinya. Nyanyian rohani berbahasaBalilah yang membedakannya. Kalau sekarang bahasa Bali dan nyanyianrohani tidak dipakai lagi, maka GKPB tidak GKPB lagi (GKPBkepanjangan dari Gereja Kristen Bali, kata “Bali” menekankan padaidentitas etnik GKPB), GKPB sama saja seperti GKI (Gereja KristenIndonesi) atau GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat) yangtentu saja tidak memiliki identitas etnik. Itulah juga sebabnya GKPBhanya ada di Bali, berbeda dengan GPIB dan GKI yang ada di seluruhpelosok Indonesia” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Ketut Sadrah ketika ditanyakan pertanyaan
yang sama berkata :
138
“Kalau nyanyian rohani berbahasa Bali suatu saat tidak dipakai lagi dalamibadah-ibadah dan diganti sepenuhnya dengan nyanyian rohani bahasaIndonesia atau Inggris seperti yang sedang berkembang sekarang, laluapa yang menjadi ciri GKPB sebagai gereja yang sebagian besarumatnya adalah orang Bali. Saya rasa GKPB akan kehilangan identitaske-Balian-nya. Dan lebih jauh, GKPB tidak akan mengakar dalambudaya Bali. Kalau hal ini benar terjadi di masa yang kan datang sulitsaya membayangkan, karena selama ini GKPB sudah dikenal dengangereja yang sangat kontekstual dalam budaya Bali” (Wawancara, 8Agustus 2012 )
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali sudah
menjadi ciri dan identitas yang dikenal dan diketahui oleh kalangan gereja maupun
masyarakat umum lainnya. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali tentu
akan berakibat negatif terhadap ciri dan identitas GKPB jemaat Marga Pakerti di
Banjar Padang Tawang.
Sebagai sebuah agama yang berkembang dan hidup di Bali, GKPB jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang tidak dapat dilepaskan dari budaya dan
tradisi Bali yang sudah melekat dalam dirinya. Namun demikian, perkembangan
jaman yang ditandai dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia
mendorong jemaat melakukan adaptasi atau penyesuaian. Suparlan (1981: 9)
mengatakan bahwa adaptasi dapat dikatakan sebagai suatu proses untuk mengatasi
berbagai masalah yang ada dalam lingkungan fisik guna kelangsungan hidup.
Sehubungan dengan hal itu, maka adaptasi yang dilakukan oleh manusia berproses
dalam dimensi lingkungan yang amat luas. Manusia berhubungan dengan dunia
secara kritis. Mereka memahami data yang ada dilingkungannya. Mereka menyadari
temporalitasnya. Manusia tidak terkungkung dalam satu dimensi waktu yaitu,
139
kemarin atau pun hari ini, sehingga oleh kesadaran itu, manusia melakukan apa yang
disebut adaptasi (Freire, 1984: 3-4).
Dalam pengertian di atas, umat GKPB Jemaat Marga Pakerti melakukan
perubahan-perubahan dengan cara meninggalkan budaya dan tradisi yang dipandang
tidak cocok dengan situasi dan keadaan di masa kini, selanjutnya mengadopsi budaya
yang baru yang lebih sesuai dengan keadaan di masa kini.
7.7. Penghayatan Iman yang Kontekstual
Nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah sarana untuk
mengungkapkan iman, lahir dari konteks dan pengalaman hidup beriman orang-orang
Kristen. Namun demikian, nyanyian rohani berbahasa Bali hasil ciptaan para
pengarangnya, tidak dapat dilepaskan dari ajaran-ajaran firman Tuhan yang ada
dalam kitab suci. Ketika pengarang mengalami satu peristiwa dalam hidupnya, baik
itu berupa hambatan maupun kesulitan, mereka mengimani bahwa Tuhan tidak
meninggalkan mereka sendirian. Mereka mengimani bahwa dalam kesulitan dan
hambatan, Tuhan akan memberikan pertolongan. Hal itu diungkapkan oleh Gede
Trisna Putra mantan majelis jemaat, dengan berkata :
“Nyanyian rohani memang mempunyai konteks atau latar belakang darimasa lalu yaitu orang kristen generasi pertama. Mereka merespon dalamimannya, apa yang mereka rasakan, alami, dan yang mereka lihat. Hal ituseperti yang saya baca dalam sejarah gereja Bali. Sebagai orang Kristenyang baru beralih agama mereka mengalami banyak kesulitan, baiksecara ekonomi, sosial, maupun politik. Contohnya lagu sampunangajrih kakewuhan (Sebuah judul nyanyian rohani berbahasa Bali yangcukup sering dinyanyikan dalam ibadah minggu berbahasa Bali. Dalambahasa Indonesia artinya jangan menyerah dengan kesulitan). Pengakuanseperti itu sangat sesuai dengan firman Tuhan yang mengatakan “ Jangantakut Aku menyertai engkau” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
140
Sikap religius seperti di atas tentu saja tidak muncul begitu saja. Sikap
religius seperti itu tumbuh dan berkembang melalui pengalaman-pengalaman hidup
sehari-hari yang mereka alami di masa yang lalu. Dengan kata lain, Tuhan yang
tidak dapat dilihat dengan mata jasmani, diyakini ada berdasarkan pengalaman
hidup yang nyata setiap hari. Generasi tua GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang, yaitu mereka yang merasakan sulitnya kehidupan di masa lalu dan
banyaknya hambatan, dimaknai bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali bukan
sekedar nyanyian-nyanyian ungkapan kegembiraan semata, tetapi nyanyian rohani
berbahasa Bali yang lahir dari pergumulan seperti di atas, memiliki makna dan nilai-
nilai kebenaran. Nilai-nilai kebenaran yang disarikan dari ajaran Alkitab. Nilai-nilai
kebenaran yang dapat dipakai sebagai dasar dan landasan bagi jemaat dalam
menjalani hidup, menumbuhkan, dan memperkuat kerohanian.
Realitas yang terjadi sesuai dengan perkembangan waktu adalah
keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali. Keterpinggiran nyanyian rohani
berbahasa Bali tidak serta-merta dapat menjadi tanda menurunnya kerohanian umat.
Bagi generasi tua yaitu mereka yang nota bene adalah orang Bali dan menggunakan
bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari, ketika melakukan ibadah dengan
menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia merasa tidak dapat menikmati
ibadah. Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan I Nyoman Ruja, salah
satu anggota jemaat dari generasi pertama :
“Tidak dipakainya nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi, bagi sayasangat mempengaruhi kehidupan kerohanian saya. Seperti yang sayarasakan dalam setiap ibadah di gereja rasanya hambar tidak khusuk. Tidakada rasa suka cita dan ujung-ujungnya ibadah tidak menjadikan kerohanian
141
saya semakin bertumbuh dan kuat tetapi sebaliknya, kerohanian sayasemakin menurun dan mengalami kekosongan” (Wawancara, 2013)
Bagi generasi tua, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali bisa jadi memiliki
relevansi terhadap menurunnya kerohanian umat dalam menghayati ajaran agama
Kristen. Dengan memakai nyanyian rohani berbahasa Indonesia, kebenaran-
kebenaran iman yang dulu dirasakan dan ditemukan lewat nyanyian rohani
berbahasa Bali tidak dirasakan dan tidak ditemukan oleh umat. Pernyataan responden
di atas tentu saja tidak berlaku untuk semua anggota jemaat. Pemahaman bahwa
keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai menurunnya kerohanian
hanya dirasakan dan dimaknai oleh anggota jemaat yang sudah tua, yaitu mereka
yang memahami nyanyian berbahasa Bali.
Agama sebagai satu persekutuan hidup, baik dalam lingkup yang sempit atau
luas yang unsur konstruktif utamanya adalah nilai-nilai atau ajaran agama, tidak
dapat dilepaskan dari masyarakat (Hendropuspito, 1983: 9). Pernyataan di atas
mengandung arti bahwa ajaran agama tidak akan berkembang dan lestari kalau tidak
ada masyarakat pendukungnya. Pada sisi lain, masyarakat akan menjadi masyarakat
yang tidak terkontrol kalau ajaran-ajaran agama tidak memberikan nilai-nilai dan
patokan-patokan yang dapat diikuti. Kedua-duanya saling membutuhkan dan saling
melengkapi. Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali memiliki makna
dan nilai yang mendalam dalam kehidupan sosial jemaat GKPB Marga Pakerti di
Banjar Padang Tawang, yaitu menjaga persekutuan antarumat. Seperti yang
diungkapkan oleh Nengah Yakobus Wirasa dengan mengatakan sebagai berikut.
142
“Bagaimanapun perkembangan situasi sekarang ini, nyanyian rohaniberbahasa Bali yang sarat dengan nilai-nilai kebenaran terbukti dapatmenjaga kehidupan persekutuan jemaat. Tidak saja di masa lalu, sayapercaya pada masa kini juga, telah menjaga persekutuan hidup jemaatdalam menghadapi tantangan. Dalam pergaulan hidup dengan masyarakatkhususnya di Banjar Padang Tawang, jemaat tidak terpecah-pecah dan tidakterkotak-kotak” (Wawancara, 26 Juli 2012)
Ungkapan di atas memberikan penegasan bahwa nyayian rohani berbahasa Bali
memiliki makna yaitu menjaga hubungan antaranggota jemaat. Nyanyian rohani
berbahasa Bali dengan nilai-nilai kasih yang terkandung di dalamnya menjadi
patokan dan dasar yang kuat dalam interaksi sosial antarjemaat. Bagaimanapun
modern dan majunya kehidupan seseorang, budaya dan tradisi tidak dapat betul-betul
terpisahkan dari dirinya. Seseorang ada dan hidup seperti sekarang adalah hasil dari
budaya dan tradisi yang dijalaninya di masa lalu.
Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali menjadi ciri dan
identitas ke-Balian GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Dalam
perkembangan waktu kemudian, nyanyian rohani berbahasa Bali tidak dipakai lagi,
maka ke-Balian GKPB jemaat Marga Pakerti sebagai gereja yang berkembang di
Bali menjadi kabur. Sebagai mana yang dikatakan oleh informan I Wayan Suartha :
“Dalam kehidupan masyarakat multikultur sekarang ini, identitas dan ciri kitasebagai orang Kristen Bali akan nampak kalau ibadah-ibadah dan nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi masih dipertahankan. Identitaske Balian GKPB akan menjadi kuat kalau jemaat mau dan suka memakainyanyian rohani berbahasa Bali. Realitasnya sekarang hal itu tidak terjadi;jemaat lebih banyak memakai nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Ya..kita sama saja dengan gereja-gereja yang lain tidak lagi ada identitas yangkhas Bali” (Wawancara, 29 Agustus 2013).
Ungkapan Wayan Suartha di atas menggambarkan bahwa keterpinggiran nyanyian
rohani berbahasa Bali dimaknai sebagai kehilangan identitas ke-Balian gereja.
143
Memaknai keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai kehilangan
identitas ke-Balian tentu saja menjadi makna sempit dan terbatas pada umat yang
antiperubahan. Dalam realitasnya, identitas dapat dilihat dari berbagai segi.
Refleksi
Sejak berkembangnya agama Kristen di Bali, Nyanyian rohani berbahasa Bali
telah menjadi bagian dalam kehidupan ibadah umat. Sebagai sebuah sarana,
nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai untuk mengungkapkan syukur, menyatakan
pujian, menyatakan keagungan, dan mengungkapkan doa umat kepada Tuhan. Hal
ini, tidak terlepas dari usaha kontekstualisasi yang dilakukan oleh gereja. Sebagai
agama yang berkembang di Bali dan umat adalah orang Bali yang menggunakan
bahasa Bali, maka budaya Bali termasuk di dalamnya bahasa Bali, menjadi sarana
yang efektif untuk mengungkapkan penghayatan iman umat.
Dalam perkembangan dari tahun 1930-an sampai sekitar tahun 1980-an,
nyanyian rohani berbahasa Bali yang telah “tertanam” dalam budaya Bali, perlahan-
lahan mulai ditinggalkan oleh umat. Umat tidak lagi memakai nyanyian rohani
berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
Pengalihan ini tentu saja tidak lepas dari perkembangan jaman yang sangat pesat.
Kehidupan sosial yang berubah, perkembangan teknologi dan media, dan ekonomi
yang semakin meningkat, mendorong pengalihan itu semakin cepat. Bagi generasi tua
yang merasakan dan mengerti konteks nyanyian rohani berbahasa Bali, pengalihan
ini tentu saja menjadi persoalan. Mereka tidak dapat lagi merasakan sukacita ibadah
144
sebagaimana dulu ketika ibadah memakai nyanyian rohani berbahasa Bali.
Sebaliknya, anak-anak muda yang berbeda konteks hidup dengan generasi tua
menikmati ibadah dengan suka cita.
Dalam realitas dunia yang terus berubah, tentu saja tidak bijaksana kalau umat
terus-menerus berpaling ke masa lalu. Umat harus bersikap realistis melihat
perubahan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, realitas keterpinggiran
nyanyian rohani berbahasa Bali harus disikapi dan dilihat oleh umat bukan sebagai
kemunduran tetapi sebaliknya sebagai kemajuan. Umat seharusnya bersifat dinamis
terhadap situasi dan keadaan yang sedang terjadi. Dengan bersifat dinamis umat
dapat melihat keterpinggiran nyanyian rohani sebagai kesempatan untuk menghayati
iman Kristen dengan lebih kontekstual sehingga umat dapat menjawab tantangan
zaman.
Namun demikian, dengan alasan perkembangan zaman yang semakin maju
tidak, hal itu sertamerta membuat umat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa
Bali yang sarat dengan nilai-nilai ajaran Kristen. Sebaliknya, nyanyian rohani
berbahasa Bali tetap harus diajarkan dan disosisaliasikan kepada generasi muda,
supaya generasi muda juga mengerti pergumulan umat di masa lalu dan kemudian
dapat mengambil pelajaran. Selain itu, dengan tetap mengajarkan nyanyian rohani
berbahasa Bali generasi muda tidak melupakan budaya-budaya masa lalu sehingga
mereka tidak kehilangan jejak dan nyanyian rohani berbahasa Bali tidak mengalami
kepunahan.
145
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1. Simpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
Faktor-Faktor yang menyebabkan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, adalah
karena terjadinya perubahan sosial, lingkungan, meningkatnya pendidikan,
perkembangan ekonomi, media dan teknologi, heterogenitas jemaat, menurunnya
minat jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali, dan kurangnya usaha untuk
menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yang baru. Perubahan-perubahan di atas
terjadi tidak lepas dari meluasnya globalisasi. Globalisasi dengan segala bentuknya,
mengubah bukan saja tatanan masyarakat yang sudah mapan (budaya dan tradisi)
tetapi juga mengubah polapikir dan polatindak masyarakat.
Proses keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB
jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, yaitu tahun 1930 hingga 1960-an
masa-masa di mana GKPB melakukan usaha kontekstualisasi dengan mengadopsi
budaya Bali dan nyanyian rohani berbahasa Bali menjadi nyanyian utama dalam
liturgi. Tahun 1960 hingga 1980-an mulai terpinggirkannya nyanyian rohani
berbahasa Bali. Pada masa ini, ada usaha pemerintah untuk melakukan nasionalisasi
bahasa Indonesia, terbitnya nyanyian rohani berbahasa Indonesia, dan mulai
dipakainya liturgi berbahasa Indonesia. Tahun 1990 hingga 2012-an, nyanyian
rohani berbahasa Bali sudah terpinggirkan.
146
Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang mempunyai implikasi terhadap
pelaksanaan liturgi dan kerohanian umat. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali berimplikasi pada pelaksanaan liturgi yang tidak utuh, peran pendeta yang
semakin berkurang dalam pelaksanaan liturgi, Geraja semakin terbuka bagi semua
orang, berkurangnya unsur budaya Bali dalam liturgi, terjadinya kelompok sosial
multikultural, dan beragamnya unsur budaya dalam liturgi, dan penghayatan iman
yang kontekstual. Implikasi seperti di atas, dalam realitasnya adalah sebuah
penyesuaian-penyesuaian (adaptasi) yang dilakukan oleh umat. Untuk tetap dapat
eksis dalam zaman yang terus mengalami perubahan, umat dengan sadar melakukan
penyesuaian-penyesuaian.
8.2. Saran
Untuk mencegah punahnya budaya dan tradisi dalam hal ini nyanyian rohani
berbahasa Bali, gereja dan juga anggota jemaatnya dapat melakukan upaya-upaya
yang lebih serius, agar nyanyian rohani berbahasa Bali tetap dikenal oleh generasi
muda di kemudian hari.
Pertama, kepada institusi gereja dalam hal ini Gereja Kristen Protestan Bali.
Institusi gereja agar mendorong para pendeta bersama dengan majelis jemaat,
untuk tetap memakai nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi, baik dalam
ibadah minggu maupun dalam ibadah keluarga. Dengan tetap memakai nyanyian
rohani berbahasa Bali, diharapkan tumbuh rasa memiliki dan keinginan dari generasi
muda untuk mempelajari nyanyian rohani berbahasa Bali.
147
Institusi Gereja memberikan kesempatan dan dorongan kepada para seniman-
seniman gereja untuk menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yang sesuai
dengan konteks masa kini. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan lomba-lomba
menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali atau kontes nyanyian rohani berbahasa
Bali. Selanjutnya, yang lebih penting adalah tetap dipakainya hasil ciptaan mereka
dalam ibadah-ibadah gereja, sehingga nyanyian rohani berbahasa Bali semakin
dicintai dan dipahami.
Gereja membuat keputusan atau aturan yang lebih tegas dan ketat, supaya
jemaat-jemaat GKPB secara umum tetap memasukkan nyanyian rohani berbahasa
Bali dan menetapkan dalam satu kali sebulan memakai bahasa dan nyanyian rohani
berbahasa Bali. Dengan demikian, bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Bali
menjadi lebih dikenal dan dicintai.
Kedua, kepada anggota jemaat.
Keluarga-keluarga jemaat sebagai komponen terkecil dari gereja terus menerus
berupaya mentranmisikan budaya dan tradisi dalam hal ini nyanyian rohani berbahasa
Bali kepada anak-anak sebagai generasi penerus. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara tetap memakai dan mengajarkan bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Bali
dalam ibadah-ibadah keluarga. Dengan demikian, diharapkan anak-anak akan belajar
dan mau menerima budaya dan tradisi Bali. Keluarga-keluarga jemaat tetap
menanamkan rasa bangga khususnya terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali dan
umumnya pada bahasa Bali, sehingga nyanyian rohani berbahasa Bali tetap disukai
148
dan dicintai oleh generasi muda gereja. Bagaimanapun kelestarian budaya dan tradisi
juga merupakan tanggungjawab keluarga-keluarga jemaat.
149
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2009. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset.
Abineno, J.L.Ch. 1996. Unsur-Unsur Liturgia. Jakarta: Badan Penerbit Kristen.
Agger, B. 2003. Mazhab Frankfurt Karl Marx Cultural Studies Teori FeminisDerrida Post Modernitas Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan danImplikasinya (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.n
Anonim. 1960. Kidung Pamuji dan Mazmur Nyanyian Rohani. Semarang: SatyaWacana.
Anonim. 2000. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Anonim. 2011. Profil Desa Canggu. ____________
Anonim. 2010. Buku Induk Penduduk Banjar Padang Tawang.___________
Ardika, I Wayan. 2007. “Kebudayaan Lokal, Multikultural dan Politik Identitasdalam Refleksi Hubungan Antar Etnis, Antara Kearifan Lokal denganWarga Cina di Bali”, dalam Jurnal Lembaga Kebudayaan. UMM.Edisi Maret Tahun 2007.
Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, DanGlobalisasi. Yogyakarta: Lkis.
Ayub, Ketut Suyaga. 1999. Sejarah Gereja Bali Dalam Tahap Permulaan. Malang:YPII.
Ayub, Made R. 1964. Marga Pakerti “Geguritan”. Denpasar.
Bagus, I Gusti Ngurah. 1990. Akal dan Humor Rakyat Dalam Dongeng Bali.Singaraja : Balai Penelitian Bahasa.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Parktik. (terj. Tim Kunci CulturalStudies Center). Yogyakarta: Bentang
Baudrillard, J. 1988. The Ecstasy of Communication, New York: Semiotex
150
Beilharz, Peter. 2003. Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para FilosofTerkemuka (terj. Sigit Jatmiko). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bennett. 1976. The Ecological Transition Cultural Anthropology and HumanAdaptation. New York: Pergamon Press.
Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Coe, Shoki. 1992. “Kontekstualisasi Sebagai Jalan Menuju Pembaharuan” dalamDouglas Elwood. (ed). Teologi Kristen Asia,, Jakarta: BPK. GunungMulia.
Darmayuda, I Komang. 2006. “Dinamika Lagu Pop Bali Periode 1990-2005:Perspektif Kajian Budaya”, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar.
Davis, Kingsley. 1960. Humen Society. New York: The Macmillan Comper
Divya Pradana Bakti Biro Seni dan Komunikasi GKPB. 1990. Gita Suksma.Denpasar.
Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: GajahMada University Press.
Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan (terj. Alois A.Nugroho). Jakarta: PT. Gramedia.
Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Gereja Kristen Protestan Bali. 2002. Tata Gereja Tahun 2002. Denpasar.
Gereja Kristen Indonesia. 2005. Nyanyikanlah Kidung Baru. Jakarta: BPK GunungMulia.
Giddens, A. 2003. Masyarakat Post Tradisional. Yogyakarta: IRCiSoD
Gie, The Liang. 2006. Bahasa Estetika Postmodernisme. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada..
GKPB Marga Pakerti Padang Tawang. 2012. Laporan Pelaksanaan Program 2011dan Program 2012. Badung.
151
Hall, S. 1977. The Media Culture and The Idiological Effect, dalam J. Curran, M.Gurevilch dan J. Woollacott (ed). Mass Comunications and Society.London. Edwar Arnold.
Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius
Hoed, Benny. H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: KomunitasBambu.
Hunter, David. E dan Phillip Whitten. 1976. Encyclopedia of Antrophology. NewYork: Harper and Row Publisher.
Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. (terj. Landung Simatupang). Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset.
Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media, Cultural Studies, Identitas dan Politik:Antara Medern dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra
Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakrta: UI-Press.
Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:LkiS.
Mantra, Ida Bagus. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Merti, Ni Made. 2006. “Pemertahanan Bahasa Bali dalam Masyarakat Multikulturaldi Kota Denpasar”, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar.
Miles, Matthew. A Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI.Press.
Moleong, Lexy. J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja RosdaKarya.
Nawawi, H. 1992. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada UniversityPress.
Ningsing, Y. 2006. Sosiologi, Tentang Standar Isi. Jawa Tengah: Cermat
Nurmala, 2005. “Eksistensi Lagu Pop Minangkabau di Sumatera Barat: PerspektifKajian Budaya” Tesis, Universitas Udayana, Denpasar.
152
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-BatasKebudayaan. Bandung: Matahari.
Prasiasa, Dewa Putu Oka. 2011. Wacana Kontemporer Pariwisata. Jakarta: SalembaHumanika.
Puspitha, Tjatra. 2012.”Pulau Bali sebagai Tempat Pelayanan GKPB” dalamDinamika GKPB dalam Perjalanan Sejarah. Jakarta: PT BPK GunungMulia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Kajian Budaya dan Ilmu Sosial HumanioraPada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sangarimbun, Masri. 1989. Metodologi Penelitian Survai. Jakarta: LP.3ES.
Santoso, Listiyono, dkk. 2010. Epistemologi Kiri, Seri Pemikiran Tokoh.Yogyakarta : AR-RUZZ Media.
Sedyawati, E. 2006. Budaya Indonesia. Jakarta: Raja Gresindo Persada.
Sinode Am GKI. 2005. Nyanyikanlah Kidung Baru. Jkarta: BPK Gunung Mulia
Soekamto, S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soemarwoto, O. 1997. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:Jembatan.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.
Suarningsih. 2004. “Lagu Pop Bali Anak-anak: Perspektif Kajian Budaya” Tesis,Universitas Udayana, Denpasar.
Suparlan, P. 1981. “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Perspektif AntropologiBudaya” dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, No.2, Jilid IX.Jakarta: Fak. Sastra Universitas Indonesia.
Sztompka, P. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. (terj. Alimandan). Jakarta: Prenada.
Tan, Mely G. 1993. “Masalah Perencanaan Penelitian” dalam Koentjaraningrat (ed),Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
Wahyudi, Ibnu. (editor). 2004. Menyoal Sastra Marginal. Jakarta Selatan : WedantaWidya Sastra.
153
Waspada, I Ketut Siaga. 2012. “Penginjilan di Pulau Bali Hingga Lahirnya GerejaBali” dalam Dinamika GKPB dalam Perjalanan Sejarah. Jakarta: PTBPK Gunung Mulia.
Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat Perubahan Sikap, Prilaku Serta Sikapyang Tidak Berkebudayaan. Yogyakarta: Pinus Book Publiher.
Wijaya, Nyoman. 2003. Serat Salib Dalam Lintas Bali, Menapak Jejak PengalamanKeluarga GKPB (Gereja Kristen Protestan di Bali) 1931 – 2001.Denpasar: CV. Krinan.
Yamuger. 1984. Kidung jemaat. Jakarta: Yayasan Musik Gereja Indonesia.
Yohanes, I Nyoman. 1993. Tembang-Tembang Kaulan. Denpasar