KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

39
1 KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DALAM PERKARA NOMOR: 7/PUU-IX/2019 Kepada: Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di J a k a r t a Dengan Hormat, Yang bertandatangan dibawah ini: 1. Nama : Yasonna H. Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; 2. Nama : Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan; Dalam hal ini baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut PEMERINTAH). Perkenankanlah kami menyampaikan Keterangan Presiden baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan atas permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (selanjutnya disebut UU Penerbangan) [BUKTI PEMERINTAH – 1] terhadap Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) [BUKTI PEMERINTAH – 2] yang dimohonkan oleh Annabel Salihah, S,H.,M.Kn. untuk selanjutnya disebut sebagai PEMOHON, sesuai Registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-IX/2019 tanggal 18 Maret 2019 dengan perbaikan permohonan tanggal 25 Maret 2019. Selanjutnya perkenankanlah PEMERINTAH menyampaikan keterangan atas permohonan pengujian UU Penerbangan sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON Bahwa PEMOHON adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang merupakan istri dari Kevin Siahaan yang merupakan korban meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 Boeing 737 MAX 8 yang merasa hak konstitusionalnya secara spesifik dan aktual terlanggar atau

Transcript of KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

Page 1: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

1

KETERANGAN PRESIDEN

ATAS

PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

DALAM PERKARA NOMOR: 7/PUU-IX/2019

Kepada:

Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia

di

J a k a r t a

Dengan Hormat,

Yang bertandatangan dibawah ini:

1. Nama : Yasonna H. Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;

2. Nama : Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan;

Dalam hal ini baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk

dan atas nama Presiden Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut

PEMERINTAH). Perkenankanlah kami menyampaikan Keterangan Presiden

baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak

terpisahkan atas permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan

Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan (selanjutnya disebut UU Penerbangan) [BUKTI

PEMERINTAH – 1] terhadap Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) [BUKTI

PEMERINTAH – 2] yang dimohonkan oleh Annabel Salihah, S,H.,M.Kn.

untuk selanjutnya disebut sebagai PEMOHON, sesuai Registrasi di

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-IX/2019 tanggal 18 Maret

2019 dengan perbaikan permohonan tanggal 25 Maret 2019.

Selanjutnya perkenankanlah PEMERINTAH menyampaikan keterangan atas

permohonan pengujian UU Penerbangan sebagai berikut:

I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON

Bahwa PEMOHON adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang

merupakan istri dari Kevin Siahaan yang merupakan korban meninggal

dunia dalam kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 Boeing 737 MAX 8 yang

merasa hak konstitusionalnya secara spesifik dan aktual terlanggar atau

Page 2: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

2

setidak-tidaknya berpotensi terlanggar dengan keberadaan Pasal 359 ayat (1)

UU Penerbangan yang melarang hasil investigasi Komisi Nasional

Keselamatan Transportasi (KNKT) dijadikan sebagai alat bukti dalam proses

peradilan, dan Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan yang mengualifikasikan

sebagian hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

sebagai informasi rahasia

Bahwa menurut PEMOHON hasil investigasi KNKT sepanjang berkaitan

dengan kejadian dan kecelakaan penerbangan tidak dapat dikualifikasikan

sebagai informasi rahasia karena hak PEMOHON untuk mendapatkan

informasi berkaitan dengan kecelakaan penerbangan menjadi hilang. Di

samping itu PEMOHON menilai bahwa hasil investigasi KNKT merupakan

alat bukti kuat untuk membuktikan kesalahan pengangkut dalam peradilan

perdata yang sedang dijalani oleh PEMOHON, akan tetapi larangan hasil

investigasi untuk dapat dijadikan alat bukti di pengadilan mengakibatkan

terlanggarnya hak PEMOHON untuk membuktikan gugatannya dan untuk

menyampaikan informasi.

Bahwa menurut PEMOHON rumusan Pasal 359 ayat (1) dan (2) UU

Penerbangan menghalangi hak konstitusional PEMOHON untuk

memperoleh informasi yang berkaitan dengan kecelakaan penerbangan dan

menjadikannya sebagai alat bukti dalam proses peradilan. Sehingga

PEMOHON kesulitan dalam mencari informasi yang berkaitan dengan

kecelakaan pesawat bahkan terhadap informasi yang diumumkan tetap tidak

dapat disampaikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.

II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan yang dapat

mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945

adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya

suatu Undang-Undang, yaitu:

“PEMOHON adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam

undang-undang;

c. badan hukum publik dan privat, atau;

d. lembaga negara.”

Page 3: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

3

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud

dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945;

Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai

PEMOHON yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam

permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih

dahulu PEMOHON harus menjelaskan dan membuktikan:

a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana yang disebut

dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi

dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-

Undang yang diuji;

c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional PEMOHON sebagai

akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Bahwa selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-

III/2005 tanggal 31 Mei 2005 [BUKTI PEMERINTAH – 3], Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007

[BUKTI PEMERINTAH – 4], dan putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah

berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK [BUKTI

PEMERINTAH – 5] harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh

UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual,

atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat

dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan

berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi

terjadi.

Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh PEMOHON dalam perkara

pengujian undang-undang a quo, maka PEMOHON tidak memiliki

kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai PEMOHON.

III. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Terhadap kedudukan hukum (legal standing) yang dikemukakan

PEMOHON, PEMERINTAH memberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Tidak ada hak konstitusional PEMOHON yang dilanggar dengan

berlakunya ketentuan undang-undang a quo yang diuji.

Page 4: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

4

Perkara perdata yang sedang diproses oleh pemohon belum sampai pada

putusan hakim yang menyatakan pemohon kalah atau kekurangan alat

bukti. Pemerintah memandang bahwa pemohon hanya khawatir dan

baru menduga-duga terhadap suatu putusan yang belum pasti.

Sedangkan terkait terbukti atau tidaknya dalil gugatan atas peristiwa

yang disengketakan dalam perkara perdata pemohon akan bergantung

pada hasil pembuktian yang dilakukan para pihak di persidangan

2. Permohonan obscuur libel.

PEMOHON tidak mengkonstruksikan hak mana dan kerugian

konstitusional seperti apa yang telah dan/atau akan dialami oleh

PEMOHON dari pemberlakuan pasal yang diuji oleh PEMOHON,

sehingga tidak dapat diketahui kerugian yang spesifik, nyata, atau

potensial akan terjadi.

3. Hasil Investigasi KNKT bukan satu-satunya sarana untuk

membuktikan dalil gugatan PEMOHON di persidangan perdata.

PEMOHON dapat mengajukan alat bukti lain yang tidak dilarang

peraturan perundang-undangan. Artinya PEMOHON tidak dapat

membuktikan bahwa Undang-Undang a quo telah melanggar hak

konstitusionalnya dan tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal

verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang

yang dimohonkan pengujian, sehingga pandangan PEMERINTAH

terhadap Undang-Undang a quo tidak dapat dikatakan melanggar hak

konstitusional PEMOHON.

4. PEMOHON tidak mendalilkan kerugian apa yang akan pulih (legal

remedy).

PEMOHON tidak menjelaskan akibat hukum dari putusan MK terhadap

materi permohonan PEMOHON, sehingga dalam hal ini PEMOHON

tidak dapat mendeskripsikan keadaan seperti apa yang akan terjadi jika

MK mengabulkan permohonan PEMOHON dan pemulihan hak (legal

remedy) yang akan didapatkan atau dialami PEMOHON.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka PEMERINTAH berpendapat

bahwa adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana

menyatakan permohonan PEMOHON tidak dapat diterima (niet

ontvankelijk verklard).

Namun demikian, PEMERINTAH menyerahkan sepenuhnya kepada

Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah

PEMOHON memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak

dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang a quo, sebagaimana yang

ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun berdasarkan Putusan

MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007.

Page 5: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

5

IV. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG

DIMOHONKAN UNTUK DIUJI

PENDAHULUAN

Sebelum PEMERINTAH menegaskan hal yang diuraikan pada bagian ini

sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan keterangan terkait dengan

materi muatan yang dimohonkan untuk diuji, perkenankanlah

PEMERINTAH terlebih dahulu menerangkan Politik Hukum penggantian

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menjadi

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai berikut:

Keberadaan pesawat udara sebagai salah satu moda transportasi telah

mendorong perubahan besar di dunia. Penyelengaraan transportasi udara

merupakan bagian dari pelaksanaan tugas negara sebagai penyedia jasa

transportasi, baik sebagai “servicing function” maupun “promotion function”

yang melekat pada pertumbuhan ekonomi masyarakat pengguna jasa

transportasi udara. Pertumbuhan penumpang domestik pesawat udara di

Indonesia dari tahun 1999 hingga 2006 menunjukkan angka peningkatan

hingga 550. Pada tahun 1999 jumlah penumpang domestik yang diangkut

berkisar 6 juta orang, sementara pada tahun 2006 melonjak hingga 34 juta

orang(Jusman Syafii Djamal, From ST. Louis To Seulawah, Masa Depan

Transportasi udara dalam Zaman Yang Berubah, RoneBook, 2014, hlm.153)

[BUKTI PEMERINTAH – 6]. Hal ini diikuti dengan pembukaan rute baru

dan penambahan frekuensi penerbangan. Menilik peristiwa tersebut,

terdapat satu kepastian bahwasanya terjadi peningkatan atas penggunaan

pesawat di Indonesia.

Ditinjau dari segi ekonomi, mobilitas masyarakat yang tinggi terutama

dengan menggunakan pesawat udara memberikan sinyal positif bahwa

perekonomian berjalan dan berkembang dengan baik. Namun, berbeda

halnya jika ditinjau dari sisi keselamatan. Catatan KNKT di Indonesia dari

Tahun 1998 hingga Tahun 2009 memperlihatkan, terjadi 457 peristiwa

kejadian dan kecelakaan penerbangan. Sebanyak 282 kecelakaan di antaranya

menyebabkan pesawat hancur total atau menyebabkan penumpang

meninggal dunia. Kecelakaan pesawat terbang yang pernah terjadi di alami

hampir semua maskapai penerbangan.

Page 6: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

6

Bahkan pada tahun 2006, terjadi banyak kecelakaan yang berlangsung secara

berurutan dalam selang waktu yang pendek. Hilangnya pesawat Adam Air

yang tenggelam di palung laut sekitar Makassar, tenggelamnya kapal Ro-ro

Senopati dan anjloknya kereta api yang kemudian masuk ke sungai

merupakan kecelakaan menakutkan bagi pengguna wahana transportasi dan

menurunkan kredibilitas Indonesia di dunia Internasional.

Bencana kecelakaan transportasi yang telah merenggut banyak korban jiwa

dan harta benda masyarakat mengakibatkan pengguna jasa transportasi

kehilangan rasa aman dan takut berpergian di wilayah Indonesia. Rangkaian

peristiwa kecelakaan tersebut kemudian melahirkan larangan terbang ke

Eropa bagi maskapai Indonesia pada bulan Juli tahun 2007. Tamparan keras

bagi Indonesia di saat Uni Eropa melalui tim keselamatan penerbangannya

menjatuhkan sanksi kepada Indonesia yang mengacu pada rendahnya

kinerja dalam kurun waktu tahun-tahun sebelumnya terhadap tingkat

keselamatan penerbangan pesawat udara di Indonesia (Jeff Mason, Marcin

Grajewslo, “EU Bans All Indonesians Airlines from Its Airspace,

https://www.reuters.com/article/us-airlines-eu-blacklist/eu-bans-all-

indonesian-airlines-from-its-airspace-idUSBRU00577920070628).[BUKTI

PEMERINTAH – 7]

Sejak kejadian itu, pemerintah merekonstruksi kembali peraturan di bidang

penerbangan guna memperbaiki standar keamanan penerbangan di

Indonesia. Salah satu caranya adalah bekerjasama dengan Uni Eropa dan

otoritas penerbangan sipil Australia, yang juga menaruh concern yang sama

dengan Indonesia dalam hal peningkatan keselamatan penerbangan

maskapai. Di mana pemerintah melakukan safety audit terhadap Direktorat

Sertifikasi Kelaikan Udara (DSKU) pada tanggal 5-9 November 2007 yang

berkesimpulan pada kebijakan untuk memprioritaskan kerangka kerja

otoritas penerbangan di Indonesia pada empat unsur utama yang harus

dilakukan, yakni: re-organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara;

0

10

20

30

40

50

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

Grafik Perkembangan Jumlah Kecelakaan Transportasi Udara

Laporan KNKT

Inciden Accident Total

Page 7: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

7

peningkatan alokasi anggaran untuk bidang keselamatan; peningkatan

kualitas sumber daya manusia; dan peningkatan pelaksanaan pengawasan

keselamatan penerbangan.

Terdapat pula beberapa tahapan aksi program Roadmap to Zero Accident yang

dibuat Indonesia pada masa itu, yaitu [VIDE BUKTI PEMERINTAH – 6]:

Pertama, berdasarkan amanat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,

dilaksanakan perubahan terhadap Undang-Undang Penerbangan Tahun 1992

menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Melalui payung hukum undang-undang ini, langkah pembenahan sistem,

struktur dan mekanisme organisasi otoritas penerbangan sipil dilaksanakan.

Salah satu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam mewujudkan hal

ini adalah membuat investigasi teknis yang dilakukan oleh KNKT

bertujuan untuk menemukan penyebab sebenarnya dari suatu kecelakaan

agar tidak terjadi lagi pada penerbangan berikutnya, haruslah dipisahkan

dari tujuan untuk mencari kesalahan maupun pertanggungjawaban.

Kedua, atas amanah UU Penerbangan secara sistematis, bertahap, berjenjang,

dan berkesinambungan dilakukan peningkatan pengaturan keselamatan

penerbangan di Indonesia. Sebab, sejak terjadinya peristiwa 11 September di

Amerika Serikat, peraturan penerbangan tidak hanya mencakup isu

keselamatan, melainkan juga keamanan penerbangan. Untuk peningkatan

keselamatan penerbangan, revisi peraturan yang berhubungan dengan

peralatan canggih yang berkaitan dengan teknologi peringatan dini di dalam

pesawat terbang perlu dilakukan. Terdapat pula penambahan pengaturan

tentang proses sertifikasi bengkel perawatan pesawat terbang, pengujian

secara berkala tingkat kesehatan pilot dan co-pilot, jam kerja dan jam istirahat

awak kabin, serta training profesi pilot dan co-pilot. Demikian pula

profesionalisme dan mekanisme audit teknis maskapai penerbangan secara

berkala oleh inspektor otoritas penerbangan sipil. Termasuk persyaratan

yang lebih ketat terhadap tata cara pendirian dan operasi maskapai

penerbangan.

Ketiga, pengawasan otoritas penerbangan sipil Indonesia atas tata cara,

mekanisme organisasi, serta sistem manajemen keselamatan penerbangan

secara regular dan berjenjang perlu dijadikan mekanisme baku serta menjadi

bagian penting dari tupoksi otoritas penerbangan Indonesia. Dimana

Indonesia kini melakukan audit maskapai penerbangan secara berkala

sebagai salah satu mekanisme pengawasan terhadap moda transportasi

udara. Bahkan jika diperlukan, inspeksi mendadak di bandara oleh inspektur

keselamatan penerbangan yang memiliki otoritas dan keahlian dapat

Page 8: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

8

dilaksanakan secara berkala. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali potensi

dan benih kecelakaan yang kasatmata untuk tindakan pencegahan.

Keempat, dilakukan audit terhadap maskapai penerbangan secara berkala

serta proses surveillance melalui ramp inspection untuk menciptakan sistem

peringkat dan klasifikasi keselamatan penerbangan tiap maskapai

penerbangan yang beroperasi di Indonesia. Untuk memberikan standar

kualitas penerbangan, Departemen Perhubungan menetapkan tiga

kategorisasi maskapai di tanah air. Tingkat pertama adalah maskapai

penerbangan yang memenuhi semua kriteria keselamatan; kedua adalah

maskapai yang memiliki kelemahan dan temuan defisiensi yang berakibat

munculnya potensi dan benih kecelakaan jika tidak segera diperbaiki dan

ketiga adalah maskapai yang memiliki tingkat dan benih kecelakaan yang

secara sistematis tersembunyi dalam sistem tata kelola dan sistem perawatan

armada pesawat. Kategorisasi ini didukung pula oleh dunia internasional

guna mencegah terjadinya kecelakaan pesawat terbang dan memberikan

transparansi kepada masyarakat.

Langkah lain yang dilakukan dalam rangka mengurangi serta menghindari

kecelakaan transportasi udara adalah dengan menegakkan seluruh regulasi

keselamatan penerbangan. Sistem transportasi udara memerlukan overhaul

secara bertahap, sistematis, dan berkesinambungan untuk meningkatkan

kualitas keselamatan dengan mengubah paradigma investigasi kecelakaan

sebelumnya yang dapat diintervensi oleh kepentingan tertentu menjadi

investigasi yang memaksimalkan pencegahan kecelakaan pesawat yang

diiringi pula dengan cara-cara sebagai berikut [VIDE BUKTI PEMERINTAH

– 6]:

a. Cegah keterbatasan jumlah tenaga professional dan lakukan pelatihan

yang memadai

b. Cegah persaingan tidak sehat di antara maskapai penerbangan

c. Cegah proses perawatan pesawat yang tidak sempurna

d. Peningkatan kualitas sarana-prasarana kebandarudaraan.

Negara mengambil langkah-langkah yang optimal dan komprehensif dengan

memfokuskan seluruh kegiatan berkaitan dengan transportasi udara

termasuk investigasinya guna menemukan langkah pencegahan terhadap

kecelakaan keselamatan penerbangan. Peningkatan efektivitas peraturan

penerbangan merupakan salah satu upaya dalam mencapai tujuan

Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia, serta menciptakan sistem transportasi nasional

yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat,

menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta

Page 9: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

9

memerlukan jaminan kesalamatan dan keamanan yang optimal. Hingga

dikembangkanlah potensi dan peranannya yang efektif dan efisien, serta

membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis.

Selain itu, keuntungan paling besar dari terselesaikannya masalah mengenai

penurunan angka kecelakaan penerbangan serta peningkatan kualitas

pengoperasian pesawat udara adalah sustainability atau keberlanjutan dari

suatu maskapai penerbangan yang menjadi tujuan utama dalam penerapan

regulasi mengenai pelarangan penggunaan hasil investigasi sebagai alat

bukti di peradilan. Dengan harapan, pengusaha ataupun seluruh pihak

terlibat dalam pengoperasian pesawat udara dapat terfokus dalam

memperbaiki kualitas keselamatan dan keamanan penerbangan. Dilihat dari

penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa politik hukum pembentukan

UU Penerbangan yang baru adalah untuk meningkatkan kualitas

keselamatan dan keamanan penerbangan Indonesia.

Adapan terhadap materi yang dimohonkan, berikut keterangan yang dapat

PEMERINTAH jelaskan:

A. Tujuan Pelaksanaan Investigasi Kecelakaan atau Kejadian

Penerbangan adalah untuk Mencegah Terjadinya Kecelakaan Bukan

Mencari Pertanggungjawaban

1. Penerbangan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Penerbangan, adalah suatu

kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat

udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan,

keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang

dan fasilitas umum lainnya.

2. Pengaturan industri penerbangan di Indonesia dilandasi oleh

keanggotaan Indonesia sebagai salah satu negara anggota Organisasi

Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization,

disingkat ICAO). Keberadaan ICAO sendiri dilandasi oleh Pasal 47

Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional sehingga

ketentuan-ketentuan penerbangan internasional sebagaimana tercantum

dalam Konvensi Chicago 1944 beserta Annex (lampirannya), dokumen

teknis operasional serta konvensi-konvensi internasional terkait lainnya,

merupakan ketentuan yang harus ditaati sesuai dengan kepentingan

nasional dan kepentingan internasional.

3. Konstruksi dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengenai hukum

udara internasional nyatanya mengakui adanya kedaulatan negara. Di

mana dikatakan bahwa:

Page 10: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

10

“The Contracting States recognize that every state has complete and exclusive sovereignty over the air-space above its territory” Berdasarkan pasal tersebut, kita dapat melihat bahwa Konvensi Chicago

1944 mengakui kedaulatan yang utuh dan eksklusif atas ruang udara

yang dimiliki setiap negara di atas wilayahnya. Artinya, pengaturan

mengenai transportasi dibidang udara pada akhirnya dikembalikan

kepada kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing negara.

4. PEMERINTAH sebagai regulator dalam menjalankan kekuasaannya

membentuk peraturan perundang-undangan dalam bidang penerbangan

melandaskan kebijakannya kepada UUD 1945 dan instrumen hukum

internasional. Oleh sebab itu, PEMERINTAH akan menjabarkan seluruh

alasan mengenai ketentuan yang terdapat dalam industri penerbangan di

Indonesia yang telah disesuaikan dengan konstitusi negara Indonesia.

5. Keamanan serta kenyamanan moda transportasi udara sendiri telah

menjadi isu utama dalam menentukan sustainability dari usaha di bidang

pengangkutan. Kedua hal ini menjadi penting untuk memelihara

kepercayaan konsumen agar mereka tetap percaya dan menjadikan

pesawat udara sebagai pilihan pertama dalam melakukan perjalanan.

Karena, ketika terjadi kecelakaan pesawat udara akan tercipta brand image

yang buruk dari maskapai penerbangan dan pelanggan tidak mungkin

memilih maskapai penerbangan yang beroperasi seperti “flying coffin”

atau “peti mati terbang”. Hal ini lah yang menyebabkan bahwa

keamanan serta kenyamanan transportasi udara penting untuk

keberlangsungan usaha di bidang pengangkutan.

6. Undang-undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 sebagai pengganti

atas UU Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan sangat menjanjikan

terhadap pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena undang-

undang ini secara komprehensif mengatur pengadaan pesawat udara

sebagaimana diatur dalam Konvensi Cape Town 2001, berlakunya

Undang-Undang secara ekstra-teritorial, kedaulatan atas wilayah udara

Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan yang lebih dipertegas,

produksi pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara,

kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan

keamanan di dalam pesawat udara, asuransi pesawat udara,

indenpendensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan

majelis profesi penerbangan, dan lembaga penyelenggaraan pelayanan

umum yang sering disebut badan pelayan umum (BLU). Undang-

undang ini mengalami perubahan yang signifikan, sebab semula hanya

103 pasal dalam perkembangannya berubah menjadi 466 pasal (Dr. H. K.

Martono,S.H.,LL.M, “Menyikapi Lahirnya Undang-Undang Tentang

Penerbangan 2009 bagian I”, 2009, http://www.ilmuterbang.com/artikel-

Page 11: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

11

mainmenu-29/peraturan penerbanganmainmenu81/19-peraturan-

penerbangan-umum/167-undang-undang-penerbangan-17-des-2008).

[BUKTI PEMERINTAH – 8]

Perbaikan regulasi PEMERINTAH terkait penerbangan ini telah

memberikan dampak positif sedikit demi sedikit dalam dunia

penerbangan Indonesia, hal ini ditujukan oleh indeks penerbangan yang

membaik.

7. Pasal 3 UU A Quo menjelaskan tujuan penyelenggaraan penerbangan

sebagai berikut:

a. Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur,

selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan

menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat;

b. Memperlancar arus perpindahan orang dan/barang melalu udara

dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam

rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;

c. Membina jiwa kedirgantaraan;

d. Menjunjung kedaulatan negara;

e. Menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan

industri angkutan udara nasional;

f. Menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan

pembangunan nasional;

g. Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka

perwujudan Wawasan Nusantara;

h. Meningkatkan ketahanan nasional; dan

i. Mempererat hubungan antarbangsa.

8. Dalam Cetak Biru Transportasi Udara yang dikeluarkan oleh

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, ditetapkan bahwa peran

Page 12: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

12

pemerintah dalam industri penerbangan adalah sebagai fasilitator

untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dalam

menghadapi perkembangan ekonomi global. Selain itu, dikatakan

bahwa setelah transportasi udara telah menjadi kegiatan usaha yang

menguntungkan, maka negara berperan untuk menjadi regulator yang

bertugas menerbitkan berbagai aturan guna menjamin terlaksananya

pelaksanaan transportasi udara yang memenuhi standar keselamatan

penerbangan. Oleh karena itu, dalam aspek yang menyangkut

keamanan dan keselamatan penerbangan, penyelenggaraannya

merupakan tanggung jawab pemerintah. (Direktorat Jenderal

Perhubungan Udara, “Konsep Akhir Cetak Biru Transportasi Udara 2005

– 2024”, Departemen Perhubungan, 2005) [BUKTI PEMERINTAH - 9].

9. Kegiatan usaha di bidang transportasi udara tidak terlepas dari

kecelakaan moda transportasi. Article 5.1 Annex 13 To the Convention on

International Civil Aviation; Aircraft Accident and Incident Investigation

(Annex 13) [vide Bukti P-40] mengamanatkan bahwa setiap negara wajib

melembagakan lembaga investigasi dalam menghadapi suatu kecelakaan

dan bertanggung jawab untuk melakukan investigasi kecelakaan

penerbangan. [BUKTI PEMERINTAH - 10]

10. Merujuk pada Chapter 1 Annex 13 dari Konvensi Chicago 1944,

investigasi diartikan sebagai,

“A process conducted for the purpose of accident prevention which includes the gathering and analysis of information, the drawing of conclusions, including the determination of causes and, when appropriate, the making of safety recommendations.” Dari penjelasan di atas PEMERINTAH menyimpulkan bahwa investigasi

adalah suatu tindakan atau proses yang dilakukan oleh lembaga

investigasi khusus dalam menemukan penyebab terjadinya suatu

kecelakaan dengan tujuan mencegah terjadinya kecelakaan di masa yang

akan datang. Tindakan ini meliputi pula pengumpulan dan analisis

informasi, penarikan kesimpulan, menentukan penyebab kecelakaan

secara tepat, dan termasuk pula pemberian rekomendasi keselamatan.

11. Tujuan utama investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan merujuk

pada Pasal 3 UU A Quo adalah untuk keselamatan. Lebih lanjut secara

spesifik dinyatakan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peraturan Keselamatan

Penerbangan Sipil bagian 830 (Civil Aviation Safety Regulation Part 830)

tentang Prosedur Investigasi Kecelakaan dan Kejadian Serius Pesawat

Page 13: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

13

Udara Sipil, tepatnya pada Lampiran Sub Bagian 830.3 [BUKTI

PEMERINTAH - 11] adalah:

“Tujuan Investigasi kecelekaan atau kejadian serius adalah pencegahan

kecelakaan dan kejadian serius. Maksud dari investigasi tersebut tidak

untuk mencari kesalahan atau pertanggungjawaban”

12. Hal senada terdapat dalam Chapter 3 Annex 13 [BUKTI PEMERINTAH-

12] bahwa tujuan investigasi adalah:

“Chapter 3. 3.1. The sole objective of the investigation of an accident or incident shall be the prevention of accidents and incidents. It is not the purpose of this activity to apportion blame or liability.”

Bahwa menurut Annex 13 Chicago Convention 1944 tujuan utama

investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan adalah untuk

mencegah hal serupa terjadi di masa depan. Pemisahan tujuan investigasi

juga diungkapkan di bagian lain dari Annex 13 pada chapter 5:

“5.4.1. Recommendation.— Any judicial or administrative proceedings to apportion blame or liability should be separate from any investigation conducted under the provisions of this Annex.” Bagian ini mengatakan bahwa setiap proses pengadilan atau administrasi

untuk menyalahkan atau bertanggung jawab secara proporsional harus

terpisah dari investigasi yang dilakukan berdasarkan ketentuan ini.

Kemudian, pemisahan ini memunculkan dua jenis investigasi yaitu

investigasi teknis dan investigasi hukum. (Atip Latipulhayat, “The

Function and Purpose of Aircraft Accident Investigation According to

The International Air Law”, Mimbar Hukum Vol. 27. No. 2. 2015., hlm. 314)

[BUKTI PEMERINTAH - 13]. Investigasi teknis berorientasi pada

penelitian tentang penyebab kecelakaan dan tindakan untuk

mencegahnya, sementara investigasi hukum bertujuan untuk

menentukan siapa yang salah dan bertanggung jawab atas kecelakaan

itu.

13. Investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan memiliki banyak

tujuan tergantung pada jenis kecelakaan yang terjadi. Hendrick dan

Benner mengatakan tujuan investigasi harus mencerminkan tiga

karakteristik utama, yaitu: i) realistis, (ii) dilakukan dalam kerangka kerja

non-kausal yang menghasilkan deskripsi objektif dari peristiwa-peristiwa

yang mengarah pada kecelakaan, dan (iii) konsisten. [VIDE BUKTI

PEMERINTAH – 13]

14. UU Penerbangan Pasal 359 ayat (1) [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 1]

menyebutkan bahwa:

“hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses

peradilan”

Larangan penggunaan hasil investigasi KNKT dalam suatu proses

peradilan memiliki landasan yang jelas. Salah satunya adalah investigasi

Page 14: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

14

yang dilakukan oleh KNKT itu sendiri tidak bertujuan untuk mencari

pihak yang bersalah atau yang bertanggungjawab dalam suatu

kecelakaan dan kejadian penerbangan, sehingga hasil investigasi ini tidak

dapat dikualifikasikan ke dalam alat bukti yang dibutuhkan karena

penggunaannya itu sendiri dilarang oleh undang-undang.

15. Ketika hasil investigasi KNKT dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam

proses peradilan, maka investigasi yang awalnya bertujuan untuk

mencegah kejadian serupa terjadi di masa depan, kemungkinan besar

menjadi tidak objektif dan berkurang keorisinalitasannya karena

investigasi KNKT akan berubah orientasinya untuk mencari kesalahan

atau pihak yang harus bertanggung jawab atas kecelakaan penerbangan

tersebut. Selain itu, hasil investigasi ketika dijadikan sebagai alat bukti

dapat mendorong saksi-saksi atau pihak yang terlibat memberikan

keterangan yang tidak objektif karena takut dipersalahkan, dan juga

pihak lain seperti korban, keluarga korban, perusahaan pengangkutan

udara dan lain sebagainya dapat mengintervensi investigasi yang

dilakukan oleh KNKT untuk kepentingan pribadi mereka masing-

masing. Selanjutnya para ahli penerbangan berpendapat bahwa ketika

adanya campur tangan penyidik dalam penggunaan hasil investigasi

sebagai alat bukti dalam proses peradilan terdapat kekhawatiran bahwa

hasil investigasi yang awalnya objektif akan dipengaruhi oleh

kepentingan bisnis dan politik yang kemudian dijadikan dasar dalam

penuntutan pidana. [BUKTI PEMERINTAH - 14]

16. Keberadaan jaminan perlindungan bagi setiap orang yang dimintai

informasi terkait dengan suatu kecelakaan atau kejadian penerbangan

dalam tahap investigasi merupakan kebutuhan yang nyata bagi

objektifitas investigasi tersebut. Amerika pada tahun 2002, masih

memiliki paradigma bahwa suatu investigasi teknis kecelakaan

penerbangan dapat digunakan juga untuk menentukan kesalahan atau

pertanggungjawaban dari kecelakaan tersebut. Akhirnya, dalam

melakukan investigasi National Transportation Safety Board (NTSB /

lembaga yang bertugas melakukan investigasi) justru dibayang-bayangi

atau bahkan dikesampingkan oleh investigasi hukum yang dilakukan

oleh FBI (Federal Bureau of Investigation), FAA (Federal Aviation

Administration), the DOT’s Office of Inspector General, and/or the EPA’s

Criminal Enforcement Division. Hal ini berdampak kepada sulitnya

ditemukan hasil invesigasi yang objektif karena pihak-pihak yang terlibat

akan berusaha melindungi kepentingannya masing-masing dari jerat

hukum yang mungkin dilimpahkan kepadanya. (NTSB Bar Association,

Select Committee On Aviation Public Policy, “Aviation Proffesionals and

the Threat of Criminal Liability – How Do We Maximize Aviation

Page 15: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

15

Safety”, Journal of Air Law and Commerce, Vol.67, Issues 3, 2002, hlm. 910,

https://scholar.smu.edu/jalc/vol67/iss3/6) [VIDE BUKTI PEMERINTAH –

14]. Oleh sebab itu, jaminan perlindungan wajib diberikan bagi seluruh

pihak yang terlibat investigasi teknis berupa larangan penggunaan hasil

investigasi sebagai alat bukti di pengadilan.

17. Larangan hasil investigasi sebagai alat bukti dalam proses peradilan

seperti yang tertuang dalam UU Penerbangan Pasal 359 ayat (1)

dibutuhkan sebagai imunitas bagi pihak-pihak yang terlibat dalam

proses investigasi itu sendiri. Hal ini akan memudahkan KNKT sebagai

investigator untuk mendapatkan informasi yang akurat karena saksi

sebagai pihak yang mengalami suatu kecelakaan atau kejadian

penerbangan dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya

tanpa ada rasa takut karena investigasi tidak berfokus untuk mencari

orang yang bersalah sehingga secara tidak langsung saksi telah

dilindungi oleh undang-undang.

18. Contoh lainnya terkait kegagalan dalam pemisahan investigasi teknis dan

investigasi hukum diungkapkan oleh Neil Alexander Haywood

Campbell, Alan Leslie Stray, dan Michael Gordon Hill sebagai pejabat

Australian Transport Safety Bereau (ATSB) bahwa kasus serupa pernah

terjadi pula di Australia. Pada tanggal 12 Desember 1985, suatu tabrakan

helikopter yang fatal terjadi di Black Reef di Queensland. Menyusul

diserahkannya laporan investigasi The Bureau of Air Safety Investigation

(BASI/lembaga investigasi udara australia) kepada publik, surat

penggeledahan dan penyitaan dilakukan oleh anggota polisi dari

Kepolisian Negara Bagian Queensland terhadap manajer BASI pada

waktu itu di Brisbane. Diketahui bahwa Queensland Police pada waktu itu

sedang melakukan investigasi atas kecelakaan helikopter itu dan bahwa

surat geledah dan sita diterbitkan dalam hubungannya dengan

persidangan pidana. Dokumen-dokumen hasil investigasi dari BASI

diserahkan kepada Quenssland Police untuk memenuhi surat geledah dan

sita tersebut. Adanya dokumen ini menyebabkan Presiden Federasi Pilot

Pesawat Udara Australia mengeluarkan surat edaran kepada anggotanya

untuk tidak berbicara kepada personil BASI yang sedang melakukan

investigasi terhadap kecelakaan dan insiden pesawat-pesawat terbang

(Neil Alexander, Haywood Campbell, Alan Leslie Stray, dan Michael

Gordon Hill, Keterangan Saksi pada kasus Marwoto, Putusan Nomor

348/Pid.B/2008/PN.SLMN) [BUKTI PEMERINTAH - 15]. Hingga pada

akhirnya Australia mengundangkan Transportation Safety Investigation Act

(TSI Act) pada tahun 2003 yang salah satunya memberikan perlindungan

guna mencegah terjadinya situasi seperti ini di Australia. Ketentuan ini

menunjukkan pentingnya pemisahan investigasi teknik dan investigasi

Page 16: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

16

hukum. Secara objektif telah kita lihat bahwa industri transportasi akan

bereaksi dengan cara mengancam untuk menolak akses informasi apabila

pemisahaan ini dilanggar. Padahal, keterangan pilot sangat penting

untuk mengungkapkan penyebab kecelakaan dan kejadian penerbangan.

19. Kekhawatiran akan terjadinya kejadian seperti pada pembahasan

sebelumya diperkuat dengan tulisan Health and Safety Executive,

dikatakan bahwa suatu investigasi itu seharusnya ditujukan untuk

mengidentifikasi akar dari permasalahan tersebut. di mana investigasi itu

harus memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya kecelakaan di masa

yang akan datang, bukan mencari kesalahan. Mencari kesalahan dalam

investigasi teknis adalah suatu langkah yang kontraproduktif, karena

dalam pelaksanaannya orang akan menjadi defensif dan tidak mau

bekerja sama. (Health and Safety Executive, Investigating accident and

incident; a workbook for employers, unions, safety representatives and safety

professionals, http://www.hse.gov.uk/pubns/hsg245.pdf , hlm. 9) [BUKTI

PEMERINTAH - 16]. Istilah lain dari kekhawatiran ini adalah

criminalization terhadap pilot ataupun pihak terkait lainnya

menggunakan hasil investigasi teknis. Sehingga larangan hasil investigasi

teknis sebagai alat bukti dalam proses peradilan adalah untuk mencegah

adanya kriminalisasi ini terhadap pihak terkait yang sebenarnya tidak

bersalah. [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 13]

20. National Transportation Safety Board, Lembaga investigasi Amerika,

pada tahun 2000 membuat peryataan terkait dengan terhambatnya

investigasi teknis sebagai akibat dari berjalannnya investigasi hukum

yang mengintervensi pelaksanaan investigasi teknis. Bahkan dalam

beberapa investigasi, pengadilan memerintahkan untuk menangguhkan

NTSB dari pengujian instrument penting hingga akhirnya tidak bisa

mewawancarai operator transportasi sebagai akibat dari meningkatnya

kasus peradilan perdata maupun pidana. Sehingga penundaan yang

diakibatkan dari permintaan penuntutan ini telah membatasi kemampuan

lembaga investigasi untuk menentukan secara tepat dan cepat mengenai

kemungkinan penyebab kecelakaan serta rekomendasi keselamatannya.

Oleh sebab itu, untuk memastikan bahwa lembaga investigasi dapat

bertindak secara objekitf dan cepat dibutuhkan penegasan atas

kewenangan dari lembaga investigasi itu sendiri agar tidak dapat di

intervensi oleh lembaga lainnnya. [VIDE BUKTI PEMERINTAH – 14]

21. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa investigasi,

baik berdasarkan hukum nasional, hukum internasional, dan pendapat

ahli memiliki tujuan utama yaitu untuk mencegah kecelakaan dan

kejadian penerbangan terjadi kembali di masa yang akan datang.

Meskipun terdapat tujuan-tujuan lain guna dilaksanakannya investigasi,

Page 17: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

17

fokus utama investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan atau

investigasi teknis di Indonesia dilakukan oleh KNKT adalah keselamatan

penerbangan (Aviation Safety) dan keamanan penerbangan (Aviation

Security) bukan untuk mencari siapa yang bersalah atau yang

bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Karena sejatinya investigasi

teknis tidaklah sama dengan investigasi hukum (Penyidikan) yang

tujuannya memang untuk mencari pertanggungjawaban ketika

ditemukan indikasi tindak pidana dalam suatu kecelakaan dan kejadian

penerbangan. Untuk itu perlu ditekankan lagi bahwa terdapat

perbedaan yang fundamental terkait tujuan investigasi teknis dan

investigasi hukum khususnya dalam peristiwa kecelakaan dan

kejadian penerbangan sehingga kedua investigasi tersebut harus

dipisahkan.

22. Uni Eropa. Article 14 Regulation (EU) No. 996/2010 in Protection of Sensitive Safety Information [BUKTI PEMERINTAH- 17]. Dikatakan bahwa: “1. The following records shall not be made available or used for purposes other

than safety investigation.” (a) all statements taken from persons by the safety investigation authority in

the course of the safety investigation; (b) records revealing the identity of persons who have given evidence in the

context of the safety investigation; (c) information collected by the safety investigation authority which is of a

particularly sensitive and personal nature, including information concerning the health of individuals;

(d) material subsequently produced during the course of the investigation such as notes, drafts, opinions written by the investigators, opinions expressed in the analysis of information, including flight recorder information;

(e) information and evidence provided by investigators from other Member States or third countries in accordance with the international standards and recommended practices, where so requested by their safety investigation authority;

(f) drafts of preliminary or final reports or interim statements; (g) cockpit voice and image recordings and their transcripts, as well as voice

recordings inside air traffic control units, ensuring also that information not relevant to the safety investigation, particularly information with a bearing on personal privacy, shall be appropriately protected, without prejudice to paragraph 3.

Berdasarkan klausul tersebut, kita dapat menemukan bahwa mengenai

hasil investigasi, Uni Eropa menerapkan aturan yang didalamnya

melarang pembuatan hasil investigasi selain untuk tujuan keselamatan

itu sendiri baik dalam laporan awal maupun dalam laporan akhir

investigasi. Kemudian, laporan juga harus menyatakan bahwa satu-

satunya tujuan investigasi adalah keselamatan dan pencegahan

kecelakaan serta kejadian di masa depan tanpa menunjukkan kesalahan

atau tanggung jawab.

23. Amerika Serikat. U.S.C. Title 49 – Transportation § 1154 (b) (BUKTI

PEMERINTAH- 18) mengatakan:

(b) Reports.—No part of a report of the Board, related to an accident or an investigation of an accident, may be admitted into evidence or used in a civil action for damages resulting from a matter mentioned in the report.

Page 18: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

18

Regulasi Amerika Serikat telah melarang penggunaan seluruh hasil

investigasi untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses

peradilan untuk menjaga objektivitas dari investigasi tersebut, sekalipun

hasil investigasi memiliki keterkaitan langsung dengan kecelakaan

penerbangan.

B. Larangan Penggunaan Hasil Investigasi Kecelakaan dan Kejadian

Penerbangan untuk Dijadikan Alat Bukti di Pengadilan Telah Selaras

dengan UUD 1945.

23. Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan (UU Penerbangan) [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 1] tidak

terlepas dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai sesuai

staatsfundamentalnorm (Pancasila dan Pembukaan UUD 1945) dan

staatsgrundgesetz (Pasal-Pasal UUD 1945) [VIDE BUKTI

PEMERINTAH – 2] sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Dalam konsiderans menimbang, UU Penerbangan

menyatakan:

a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan

dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang

diftetapkan oleh Undang-Undang;

b. bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta

memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi

nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi,

pengembangan wilayah, mempererat hubungan antarbangsa, dan

memperkukuh kedaulatan negara;

c. bahwa penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi

nasional yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam

waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal,

manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan keselamatan

dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan potensi dan

peranannya yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya

pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis;

d. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan

internasional menuntut penyelenggaraan penerbangan yang sesuai

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran

serta swasta dan persaingan usaha, perlindungan konsumen,

ketentuan internasional yang disesuaikan dengan kepentingan

nasional, akuntabilitas penyelenggaraan negara, dan otonomi

daerah;

Page 19: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

19

e. bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang

Penerbangan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan

lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan penerbangan

saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk

Undang-Undang tentang Penerbangan.

24. Lebih jauh, dalam bagian mengingat UU Penerbangan yang memuat

sumber hukum dan dasar hukum, selain Pasal-Pasal UUD 1945 mengenai

kekuasaan dan kewenangan membentuk undang-undang (oleh Dewan

Perwakilan Rakyat bersama Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20

ayat (1) dan (2) UUD 1945) dan mengenai wilayah negara (dalam Pasal

25A UUD 1945, karena penerbangan berkaitan dengan lalu lintas di

wilayah udara suatu negara), UU Penerbangan juga melandaskan diri

pada Pasal 33 UUD 1945 mengenai Perekonomian Nasional dan

Kesejahteraan Sosial. Artinya, ada cita-cita besar agar dunia

penerbangan berkontribusi untuk mewujudkan ekonomi atas dasar

kekeluargaan, juga demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional. [BUKTI PEMERINTAH – 19]

25. Selain itu, perlu juga dilihat politik hukum yang mendasari pembentukan

UU Penerbangan ini. Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum

adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan

kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup

pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Sementara itu,

Soedarto mendefiniskan politik hukum sebagai kebijakan negara melalui

badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-

peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan

untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan

untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dan terakhir, T. M. Radhie

menyatakan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak

penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan

mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun (dalam Moh.

Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta:

Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-3, 2012, hlm. 13-14) [BUKTI

PEMERINTAH - 20].

26. Dilihat dari naskah akademik (misalnya dapat dilihat dari landasan

filosofis, sosiologis, dan yuridis), risalah sidang [BUKTI PEMERINTAH -

21], serta semua pasal dalam UU Penerbangan, politik hukum yang ada

dalam UU Penerbangan pada dasarnya adalah menjamin kualitas

keselamatan yang baik serta memaksimalkan peranan pemerintah

sebagai penguasa cabang produksi yang berkaitan dengan hajat hidup

Page 20: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

20

orang banyak (termasuk penerbangan) untuk mencapai kemakmuran

bagi masyarakat.

Penjelasan mengenai Pasal 33 UUD 1945

27. Pasal 33 UUD 1945 [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 2] selengkapnya

berbunyi:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam

undang-undang.

28. Bagir Manan mengatakan Pasal 33 UUD 1945 merupakan pesan moral

dan pesan budaya dalam konstitusi Republik Indonesia di bidang

kehidupan ekonomi. Pasal ini bukan sekedar memberikan petunjuk

tentang susunan perekonomian dan wewenang negara mengatur

kegiatan perekonomian, melainkan mencerminkan cita-cita, suatu

keyakinan yang dipegang teguh serta diperjuangkan secara konsisten

oleh para pimpinan pemerintahan (Bagir Manan, Pertumbuhan dan

Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju, 1995, hlm.

45).

29. Pesan konstitusional tersebut tampak jelas, bahwa yang dituju adalah

suatu sistem ekonomi tertentu, yang bukan ekonomi kapitalistik

(berdasar paham individualisme), namun suatu sistem ekonomi

berdasar kebersamaan dan berdasar atas asas kekeluargaan (Herman

Soewardi dalam Elli Ruslina, “Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar

dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia”, Jurnal Konstitusi,

Volume 9, Nomor 1, Maret 2012, hlm. 50) [BUKTI PEMERINTAH - 22].

Para penyusun UUD 1945 mempunyai kepercayaan, bahwa cita-cita

keadilan sosial dalam bidang ekonomi dapat mencapai kemakmuran

yang merata, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh

karena itu, dibentuklah oleh para perumus konstitusi dahulu dalam

Undang Undang Dasar 1945, Pasal 33 yang berada dalam Bab XIV

dengan judul “Kesejahteraan Sosial“. Maksudnya, Pasal 33 UUD 1945

adalah suatu sistem ekonomi yang pada cita-citanya bertujuan mencapai

kesejahteraan sosial. Pasal 33 UUD 1945 itu adalah sendi utama bagi

Page 21: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

21

politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia (Elli

Ruslina, “Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar dalam Pembangunan

Hukum Ekonomi Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 1,

Maret 2012, hlm. 50) [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 22].

30. Usaha bersama adalah suatu mutualism dan asas kekeluargaan adalah

brotherhood. Dalam konteks moralitas dan tuntunan agama mutualism

adalah ber-jemaah dan brotherhood atau asas kekeluargaan adalah ber-

ukhuwah. Itulah sebabnya, maka sesuai paham

kolektivisme/komunitarianisme yang berdasar mutualism dan brotherhood

ini, kepentingan masyarakat (societal-interest) ditempatkan sebagai yang

utama. Mengingat makna demokrasi ekonomi adalah pengutamaan

“...kemakmuran masyarakat bukan kemakmuran orang-seorang...”,

maka kemakmuran masyarakat dan kedudukan rakyat ditempatkan

dalam posisi “sentral-substansial”, dan tidak boleh direduksi menjadi

posisi “marginal-residual” (Sri-Edi Swasono, Tentang Demokrasi Ekonomi

Indonesia, Jakarta: Bappenas, 2008, hlm. 3).

31. Selain itu, Pasal 33 UUD 1945 dalam ayat (2) menyatakan bahwa,

“Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang mengusai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara...”. Perkataan “yang

penting bagi negara” dapat diinterpretasikan dengan tanggungjawab

negara, yaitu “...untuk melindungi bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”.

Secara singkat dikatakan bahwa “penting bagi negara” adalah cabang-

cabang produksi strategis. Interpretasi bahwa “dikuasai” oleh negara

tidak harus diartikan “dimiliki” oleh negara (artinya boleh dimiliki oleh

usaha swasta atau asing, namun pemerintah bertindak sebagai regulator)

hanya dapat diterima dalam konteks jiwa Pasal 33 Undang Undang

Dasar 1945. Maksudnya pemerintah benar-benar memegang kendali,

sehingga ayat (3) Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 terlaksana [VIDE

BUKTI PEMERINTAH- 2].

32. Mengenai ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada

negara untuk menguasai “...cabang-cabang produksi yang penting bagi

negara dan menguasai hajat hidup orang banyak...” tidaklah

dimaksudkan demi kekuasaan semata dari negara, tetapi mempunyai

maksud agar negara dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana

disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 tadi. Makna yang terkandung

dalam penguasaan negara tersebut dimaksudkan bahwa negara harus

menjadikan penguasaan terhadap cabang-cabang produksi yang

dikuasainya itu untuk memenuhi tiga hal yang menjadi kepentingan

masyarakat, yaitu: (1) ketersediaan yang cukup, (2) distribusi yang

Page 22: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

22

merata, dan (3) terjangkaunya harga bagi orang banyak [VIDE BUKTI

PEMERINTAH - 2]

33. Berdasarkan beberapa pengertian yang terkandung dalam Pasal 33 UUD

1945 sebagaimana diuraikan di atas, maka pasal tersebut mengandung

makna yang sangat esensial yaitu tercermin adanya demokrasi ekonomi.

Makna demokrasi ekonomi ada relevansinya dengan makna demokrasi

di Indonesia. Demokrasi dalam hal ini adalah demokrasi sosial,

berdasar kebersamaan (kolektiviteit), bukan demokrasi liberal berdasar

individualisme (bukan demokrasi Barat) [VIDE BUKTI PEMERINTAH -

21].

34. Sebagaimana diusulkan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, bahwa

demokrasi yang dikehendaki adalah permusyawaratan yang memberi

hidup, yakni politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan

kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang

kesejahteraan sosial. Kemudian menjelaskan yang dimaksud paham Ratu

Adil adalah social rechtvaardigheid (rakyat ingin sejahtera), rakyat yang

semula merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan

dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu

Adil. Oleh karena itu yang dikehendaki oleh rakyat adalah prinsip

sociale rechtvaardigheid, yaitu bukan saja persamaan politiek, tetapi

pun di atas lapangan ekonomi harus ada persamaan, artinya

kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya (Soekarno, Lahirnya Pantja-

Sila: Pidato Pertama tentang Pancasila, Blitar: Departemen Penerangan

Republik Indonesia, 2003, hlm. 22-23).

35. Demokrasi politik tidak cukup mewakili rakyat berdaulat. Demokrasi

politik harus dilengkapi demokrasi ekonomi, karena tanpa demokrasi

ekonomi, maka akan terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada satu

atau beberapa kelompok yang kemudian akan membentukkan

kekuasaan ekonomi yang dapat “membeli” atau “mengatur” kekuasaan

politik” [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 21].

36. Pihak-pihak yang berkontribusi dalam perekonomian Indonesia, baik

Badan Usaha Milik Negara, koperasi, atau swasta (Perseroan Terbatas,

Firma dan CV) dan sebagainya harus memiliki jiwa/semangat koperasi,

karena sesuai dengan pernyataan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945,

ayat (1) bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas

kekeluargaan [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 21].

37. Dalam Sidang BPUPKI dijelaskan bahwa: “...Perekonomian Indonesia

Merdeka akan berdasar kepada cita-cita tolong-menolong dan usaha

bersama yang akan diselenggarakan berangsur-angsur dengan

mengembangkan koperasi. Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar

yang menguasai hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang

menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah di bawah

pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan sosial. Apabila buruk

baiknya perusahaan itu serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja di

Page 23: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

23

dalamnya diputuskan oleh beberapa orang partikulir saja, yang

berpedoman dengan keuntungan semata-mata. Pemerintah harus

menjadi pengawas dan pengatur, dengan diawasi dan juga disertai

dengan kapital oleh Pemerintah adalah bangunan yang sebaik-baiknya

bagi perusahaan besar-besar. Semakin besar perusahaan dan semakin

banyak jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya kesana,

semakin besar mestinya pesertaan Pemerintah…” (RM.A.B. Kusuma,

Lahirnya Undang Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik,

Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2009, hlm. 436).

38. Maka dapat disimpulkan, cita-cita yang terletak dalam

staatsfundamentalnorm (Pancasila dan Pembukaan UUD 1945) dan

staatsgrundgesetz (UUD 1945, utamanya dalam Pasal 33 UUD 1945) adalah

mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dengan cara dapat

mencapai kemakmuran yang merata dan kesejahteraan sosial yang

sebaik-baiknya, termasuk untuk memenuhi tiga hal yang menjadi

kepentingan masyarakat, yaitu: (1) ketersediaan yang cukup, (2)

distribusi yang merata, dan (3) terjangkaunya harga bagi orang banyak.

Kaitan Pasal 359 ayat (1) UU Penerbangan dengan Pasal 33 UUD 1945

39. Pasal 359 ayat (1) UU Penerbangan yang berbunyi “Hasil investigasi

tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan” tidak

dapat terlepaskan dari keseluruhan pasal dalam UU Penerbangan yang

mempunyai tujuan sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33

UUD 1945 seperti yang telah dijelakan di atas.

40. Larangan hasil investigasi KNKT dijadikan sebagai alat bukti dalam

proses peradilan sebagai suatu pembatasan hak asasi manusia

(terhadap hak untuk menyampaikan informasi sesuai Pasal 28F UUD

1945) merupakan sesuatu yang sah (legitimate) dan penting untuk

menjamin kualitas keselamatan yang merupakan bagian dari keamanan,

yakni perlindungan terhadap keselamatan individu, kehidupan atau

integritas fisik mereka, maupun perlindungan atas property mereka. Ini

juga merupakan tanggung jawab negara sesuai Pembukaan UUD 1945,

yakni, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia.”

Tanpa adanya ketentuan perundang-undangan yang melarang

penggunaan hasil investigasi sebagai alat bukti dalam proses peradilan,

independensi investigator dari komite independen (di Indonesia

adalah KNKT) akan sulit untuk dijaga dan akan menyulitkan

tercapainya tujuan dari investigasi itu sendiri, yaitu keselamatan

(sebagai bagian dari keamanan yang merupakan salah satu tujuan

legitime untuk melakukan pembatasan HAM menurut Pasal 28J UUD

1945).

Page 24: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

24

Dengan berbagai tekanan yang ada (baik dari media, perwakilan korban,

dan lain sebagainya), ketika hasil investigasi dapat dijadikan alat bukti,

KNKT hanya akan berfokus pada siapa yang salah dan harus

bertanggung jawab saja sehingga mengabaikan untuk mencari

penyebab kecelakaan yang sebenarnya. Padahal, menemukan faktor

utama penyebab kecelakaan adalah sesuatu yang sangat penting untuk

mencegah kecelakaan melalui safety recommendation dari hasil

investigasi. Abainya KNKT akan penyebab utama dari kecelakaan justru

menjadi sesuatu hal yang mengerikan karena negara berarti

mengabaikan keselamatan penumpang pesawat di masa depan yang

sangat mungkin mengalami peristiwa serupa (kecelakaan dengan

penyebab yang sama) karena KNKT tidak fokus untuk mencegah

peristiwa yang sama terulang kembali (Chloe A. S. Challinor, “Accident

Investigators Are The Guardians of Public Safety: The Importance of

Safeguarding the Independence of Air Accident Investigations as

Illustrated by Recent Accidents”, Volume 42 Air and Space Law, Issue 1,

2017, hlm. 43) [BUKTI PEMERINTAH - 23]. Lebih jauh, faktor

keselamatan yang terabaikan akan menyebabkan terpuruknya dunia

penerbangan, utamanya dalam hal perekonomian.

41. Faktor keselamatan menjadi faktor paling penting dalam dunia

penerbangan yang dapat mempengaruhi citra suatu negara di mata

internasional dan maskapai di mata publik. Ketika suatu negara dan

maskapai dianggap tidak kompeten dalam menjamin keselamatan

penumpang, maka akan berpengaruh kepada jumlah penumpang yang

mau menggunakan jasa suatu maskapai (operator) serta berpengaruh

juga kepada jumlah orang yang mau memasuki suatu negara (karena

sulitnya mencari direct flight untuk menuju negara tersebut atau

karena kekhawatiran akan regulasi yang dibuat negara tersebut tidak

mendukung kualitas keselamatan).

42. Akibatnya bagi maskapai, karena minat penumpang yang rendah untuk

menggunakan jasa mereka, akan menyebabkan terjadinya kerugian yang

besar hingga terlilit utang karena permintaan tidak sesuai dengan

penawaran, padahal biaya operasional yang dikeluarkan maskapai untuk

melakukan perawatan terhadap pesawat, membiayai pegawai, dan lain

sebagainya juga sangat besar. Dampak paling parah dari hal tersebut

adalah menyebabkan maskapai menjadi mengalami kebangkrutan.

43. Contoh paling nyata dari hal ini adalah Adam Air yang dicabut izin

terbangnya (Aircraft Operator Certificate) pada tahun 2008 dan berhenti

beroperasi akibat tidak berhasil untuk memperbaiki kualitas keselamatan

pasca jatuhnya pesawat Adam Air KI 574 di perairan Majene saat terbang

menuju Manado, Sulawesi Utara pada 1 Januari 2007 dan menewaskan

102 orang (Sakina Rakhma Diah Setiawan, “6 Maskapai Ini Pernah Hiasi

Langit Indonesia, 2017,

Page 25: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

25

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/27/060200826/6-maskapai-ini-

pernah-hiasi-langit-indonesia?page=all) [BUKTI PEMERINTAH - 24].

Selain Adam Air, penghentian operasi perusahaan juga terjadi pada

Mandala Airlines yang mengalami pasang surut dalam bisnis, utamanya

pasca Mandala Airlines Boeing 737 RI 091 gagal mengudara saat take off

dari Bandara Polonia, Medan (pada tahun 2005) yang mengakibatkan

pesawat melewati pagar batas bandara, menabrak pemukiman

penduduk yang ada di sebelahnya, serta menyebabkan 100 orang

penumpang juga awak pesawat tewas, dan 41 korban jiwa dari kalangan

masyarakat sipil yang tertabrak. Akhirnya, pada 2014 maskapai ini

bangkrut akibat beban operasional yang tak sebanding dengan

pendapatan setelah sempat jatuh bangun pada 2006 dan 2011 (Luthfia

Ayu Azanella, “5 Tragedi Kecelakaan Pesawat di Indonesia yang

Timbulkan Banyak Korban”, 2018,

https://nasional.kompas.com/read/2018/10/30/08210001/5-tragedi-

kecelakaan-pesawat-di-indonesia-yang-timbulkan-banyak-

korban?page=all) [BUKTI PEMERINTAH - 25]. Dampaknya kepada

masyarakat akibat semakin banyaknya maskapai yang bangkrut dan

berhenti beroperasi adalah semakin sedikitnya pilihan maskapai yang

tersedia untuk memberikan jasa angkutan udara sehingga muncul

oligopoli seperti saat ini dan menyebabkan naiknya tarif angkutan udara

secara drastis (Caesar Akbar, “Faisal Basri: Ada Indikasi Oligopoli

Kenaikan Harga Tiket Pesawat, 2019,

https://bisnis.tempo.co/read/1165556/faisal-basri-ada-indikasi-oligopoli-

kenaikan-harga-tiket-pesawat/full&view=ok) [BUKTI PEMERINTAH -

26]. Hal ini tentu tidak sesuai dengan demokrasi ekonomi sesuai Pasal

33 UUD 1945 yang menginginkan kesejahteraan sosial dan

perekonomian yang efisiensi berkeadilan dengan terjangkaunya harga

bagi orang banyak. Dampaknya, yang memiliki akses untuk dapat

menggunakan transportasi udara hanyalah masyarakat kelas atas saja,

sementara mereka yang berada di kalangan menengah ke bawah sangat

sulit mengakses transportasi udara. Padahal, angkutan udara adalah

salah satu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai

hajat hidup orang banyak karena angkutan udara adalah transportasi

yang sangat cepat, dibutuhkan bagi mobilisasi di dunia yang sudah

dalam era globalisasi, dan keberadaannya belum tentu bisa tergantikan

dengan transportasi lainnya (utamanya untuk jarak yang sangat jauh dan

untuk rute yang sulit dicapai). Oleh karena itu, negara mempunyai

kewajiban untuk membuat peraturan perundang-undangan yang

memiliki dampak baik bagi kualitas keselamatan penerbangan agar

permasalahan-permasalahan perekonomian bagi dunia penerbangan

seperti di atas dapat diatasi, termasuk dengan membuat dan

mempertahankan ketentuan “larangan hasil investigasi untuk

Page 26: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

26

dijadikan sebagai alat dalam proses peradilan” dalam Pasal 359 ayat (1)

UU Penerbangan demi mencapai kualitas keselamatan yang lebih baik.

44. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, bahwa ini bukan hanya

berdampak kepada jatuh bangunnya maskapai, tapi juga berdampak

kepada citra negara sebagai regulator di mata internasional. Pada tahun

2007, seluruh maskapai Indonesia dilarang terbang dan masuk ke dalam

European Union Flight Safety List (daftar bagi maskapai yang masih

memiliki masalah soal keamanan penerbangannya) karena berbagai

kekurangan dalam pemenuhan aturan keselamatan penerbangan.

Indonesia sebagai regulator dianggap tidak cukup baik dalam membuat

regulasi-regulasi penerbangan yang baik untuk memenuhi kualitas

keselamatan penerbangan. Pencabutan larangan terbang bagi semua

maskapai Indonesia baru terjadi 9 tahun (2018) setelah UU Penerbangan

disahkan (2009). Artinya, ada kemajuan yang cukup baik pasca adanya

UU Penerbangan (termasuk dengan adanya Pasal 359 ayat (1) UU

Penerbangan) dengan semakin banyaknya jumlah maskapai yang

larangan terbangnya dicabut oleh Uni Eropa, yang awalnya hanya 7

maskapai (pada 2009) menjadi 62 maskapai dicabut larangan terbangnya

(pada 2018) dan dapat mengudara kembali ke Eropa (Shintaloka Pradita

Sicca, “Alasan Maskapai Indonesia Tak Lagi Dilarang Terbang di Uni

Eropa”, 2018, https://tirto.id/alasan-maskapai-indonesia-tak-lagi-

dilarang-terbang-di-uni-eropa-cMLh) [BUKTI PEMERINTAH - 27].

Dengan dicabutnya larangan tersebut, dari sisi bisnis, orang-orang dari

berbagai negara, khususnya Uni Eropa akan percaya dengan

penerbangan Indonesia. Maka bisnis penerbangan bakal tumbuh lebih

baik. Serta dari sisi layanan, bisa meningkatkan kualitas dari maskapai

dalam negeri serta meningkatkan kepercayaan Indonesia sebagai

regulator karena direct flight dari Eropa ke Indonesia juga dapat dibuka

dengan dicabutnya larangan terbang serta kemungkinan calon jumlah

penumpang yang mau memakai jasa penerbangan dari maskapai

Indonesia sehingga bermanfaat bagi masyarakat Indonesia pula karena

sektor pariwisata Indonesia juga dapat bertumbuh dengan baik

(Domianus Andreas, “Yang Terjadi Usai Eropa Cabut Larangan Terbang

Maskapai Indonesia”, 2018, https://tirto.id/yang-terjadi-usai-eropa-cabut-

larangan-terbang-maskapai-indonesia-cMo9) [BUKTI PEMERINTAH -

28]. Kembali sekali lagi, kualitas keselamatan menjadi faktor kunci bagi

dunia penerbangan dan bagi kesejahteraan sosial masyarakat

Indonesia sesuai Pasal 33 UUD 1945. Sesuai yang telah dijelaskan,

makna demokrasi ekonomi adalah kemakmuran masyarakat bukan

kemakmuran orang-seorang, maka kemakmuran masyarakat dan

kedudukan rakyat ditempatkan dalam posisi “sentral-substansial. Maka,

sekali lagi PEMERINTAH menegaskan pembatasan hak

menyampaikan informasi yang terkandung dalam Pasal 28F dengan

Page 27: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

27

adanya Pasal 359 ayat (1) UU Penerbangan telah sesuai dengan

kepentingan perlindungan akan keamanan dalam Pasal 28J UUD 1945

dan jangan sampai Pasal 359 ayat (1) UU Penerbangan dihapuskan agar

kepentingan masyarakat yang sangat besar akan safety, security, dan

welfare (dalam Pasal 33 UUD 1945) menjadi tidak terabaikan.

C. Larangan Penggunaan Hasil Investigasi Sebagai Alat Bukti di

Pengadilan Tidak Mempengaruhi Proses Pembuktian dalam Peradilan

Perdata.

45. Dalam Pengangkutan Udara kita mengenal terdapat 3 (tiga) konsep dasar

tanggung jawab hukum yakni Tanggung Jawab Hukum atas dasar

Kesalahan (Based on Fault Liability), Tanggung Jawab Praduga Bersalah

(Presumption of Liability), Tanggung jawab Hukum Tanpa Bersalah

(Liability Without Fault). Konsep tanggung jawab hukum yang utama

digunakan dalam UU Penerbangan adalah konsep tanggung jawab

hukum tanpa bersalah atau tanggung jawab mutlak (Absolute Liability

atau Strict Liability) khususnya dalam hal penumpang yang meninggal

dunia, cacat tetap atau luka-luka, yang berarti perusahaan penerbangan

bertanggungjawab mutlak terhadap kerugian yang timbul akibat

kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya barang dan/atau orang dari

pesawat udara, tanpa memerlukan adanya pembuktian lebih dahulu.

46. Latar Belakang lahirnya konsep tanggung jawab mutlak (strict liability)

merupakan representasi dari gugatan masyarakat lapisan bawah atas

ketidakadilan adanya Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-19 yang

hanya menguntungkan para industriawan tetapi memberikan dampak

negatif bagi mereka. Sehingga dalam gugatannya masyarakat lapisan

bawah menginginkan hukum harus menjamin perlindungan terhadap

masyarakat banyak. Hukum juga harus menjamin kehidupan ekonomi,

sosial, budaya maupun politik dalam masyarakat banyak, yang

kemudian lahir doktrin yang menggugat tanggung jawab para

industriawan. (Martono dan Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional

dan Nasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2016, hlm.18) [BUKTI

PEMERINTAH - 29]

47. Sebagai konsekuensi tanggung jawab mutlak, maka pengangkut selalu

harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita korban terlepas

dari ada atau tidaknya unsur kesalahan pada pihak pengangkut.

Sebagai kompensasi (imbalan) atas diberlakukannya prinsip strict

liability, tanggung jawab perusahaan penerbangan terbatas (limited)

sebesar jumlah kerugian yang ditetapkan dalam konvensi internasional

atau peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku. Akan tetapi,

apabila kerugian penumpang tersebut timbul karena tindakan sengaja

Page 28: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

28

(willful misconduct) atau kesalahan (blame) dari pengangkut atau orang

yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggungjawab atas kerugian

yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-

undang ini untuk membatasi besarnya ganti rugi yang menjadi tanggung

jawabnya, artinya tanggung jawab pengangkut tidak terbatas (unlimited

liability). Dalam hal penumpang pesawat udara yang menjadi korban

kecelakaan atas kesalahan pengangkut, maka ahli waris atau korban

dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti

rugi tambahan selain besarnya ganti yang ditetapkan.

48. Mengenai dalil PEMOHON yang menyatakan dengan adanya

pembatasan pada hasil investigasi kecelakaan dan kejadian

penerbangan berpotensi menyulitkan proses pembuktian dalam

peradilan perdata khususnya membuktikan kesalahan dari

pengangkut, PEMERINTAH berpendapat bahwa alat bukti yang dapat

diajukan dalam proses pembuktian perkara perdata sebagaimana diatur

dalam Pasal 164 HIR/ 284 RBg dan Pasal 1866 KUHPerdata yang

diantaranya tidak hanya meliputi pengajuan alat bukti surat saja

sebagaimana PEMOHON akan mengkualifikasikan hasil investigasi awal

kedalam alat bukti surat, namun masih terdapat alat bukti lainnya yang

dapat diajukan oleh PEMOHON, baik itu alat Bukti dengan saksi; Bukti

dengan Persangkaan; Bukti dengan Pengakuan; Bukti dengan Sumpah;

atau bahkan alat bukti lainnya yang sah menurut hukum. [BUKTI

PEMERINTAH – 30]

49. Dalam hal membuktikan suatu peristiwa, ada beberapa cara yang dapat

ditempuh. Seperti halnya Penggugat dapat mengajukan sepucuk surat

kepada hakim yang isinya menerangkan tentang adanya peristiwa

tertentu ketika peristiwa tersebut tidak dapat dihadapkan di muka

persidangan. Selain itu, masih ada kemungkinan untuk membuktikan

suatu peristiwa tertentu, yaitu apabila peristiwa “a” sukar

pembuktiannya, maka untuk membuktikan peristiwa itu dibuktikan

dengan peristiwa “b” yang masih memiliki korelasi dengan peristiwa

“a”. Dengan berhasilnya pembuktian peristiwa “b”, maka peristiwa “a”

dianggap terbukti. (Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata

Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2009, hal. 149) [ BUKTI PEMERINTAH-

31]. Pemerintah berpendapat bahwa sejatinya pada proses pembuktian

perkara perdata memang masih banyak alternatif lain untuk

membuktikan dalil gugatan Penggugat selain daripada berpaku kepada

hasil investigasi KNKT.

50. Dalam Permohonan, PEMOHON menyatakan bahwa dengan tidak dapat

dijadikannya hasil investigasi sebagai alat bukti maka akan menyulitkan

proses pembuktian unsur-unsur PMH dalam peradilan perdata terutama

Page 29: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

29

unsur kesalahan guna mendapat ganti rugi lebih dari yang ditetapkan

perundang-undangan. Padahal, PEMOHON dalam perkara perdatanya

belum sampai hingga tahap pembuktian. Sehingga, kata

“menyulitkan” dalam dalil PEMOHON tidak termasuk kerugian

potensial menurut penalaran yang wajar akan terjadi. PEMOHON

harus memahami bahwa penilaian terhadap alat bukti yang diajukan

ke persidangan adalah kewenangan hakim sehingga hasil investigasi

KNKT belum tentu memiliki kekuatan alat bukti yang sempurna, selain

itu hasil investigasi bukanlah satu satunya alat bukti yang dapat

membuktikan dalil gugatan PEMOHON.

51. Kita dapat mengambil contoh pada perkara Sigit Suciptoyono melawan

Singapore Airlines Limited. Dalam perkara tersebut Sigit Suciptoyono

menggugat Singapore Airlines untuk memberikan kompensasi tambahan

atas kerugian yang diderita akibat kesalahan atau kelalaian Pilot

Tergugat, yang menggunakan landasan pacu yang ditutup karena dalam

perbaikan untuk melakukan “take-off” di Bandara CKS, Taipei, Taiwan

dan mengakibatkan pesawat terjerembab, terbakar dan terpotong

menjadi tiga bagian hingga menyebabkan 82 orang, termasuk 4 orang

crews meninggal dunia. Kemudian, hakim dalam pertimbangan hukum

pada putusan majelis tingkat pertama maupun pada putusan banding

mengambil kesimpulan bahwa pilot telah melakukan willful misconduct

yang menyebabkan kecelakaan sehingga pembatasan tanggung jawab

sebagaimana diatur dalam Konvensi Warsawa menjadi tidak berlaku.

Dalam eksepsi, pihak Singapore Airlines pada tingkat kasasi dengan

nomor putusan No. 1517 K/Pdt/2009 menyatakan bahwa dalam Judex

Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian karena dalam

pertimbangan hukum pada putusan majelis tingkat pertama maupun

pada tingkat banding, bukti laporan media yang diajukan Sigit

Suciptoyono (Penggugat) yakni laporan media massa berupa petikan

berita harian “Straits Times” tanggal 20 September 2003 dan juga Laporan

Kantor Berita Prancis, Agence France Presse (AFP) tanggal 16 Agustus 2002

berulang kali disebutkan untuk mendukung dalil yang dikemukakan

Sigit Suciptoyono. Sedangkan alat bukti yang diajukan Singapore

Airlines Limited (Tergugat) yakni berupa laporan Aircraft Accident

Report No. ASC-AAR-02-04-001 yang dikeluarkan oleh Aviation Safety

Council dari Taiwan, Republic of China sama sekali tidak disebutkan

baik dalam pertimbangan hukum pada putusan majelis tingkat

pertama maupun pada putusan banding. Akan tetapi, Mahkamah

Agung menyatakan bahwa alasan eksepsi tersebut tidak dapat

dibenarkan karena Judex Facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan

dengan perbaikan putusan Pengadilan Negeri sudah tepat dan benar,

Page 30: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

30

serta tidak salah dalam menerapkan hukuman yang berlaku, dan kasasi

yang diajukan Singapore Airlines tersebut ditolak.

52. Terhadap kasus di atas PEMERINTAH berpendapat bahwa keberadaan

hasil investigasi yang dijadikan sebagai alat bukti tidak menjamin

seseorang akan mutlak dinyatakan menang dalam suatu proses

peradilan, yang kemudian harus mengesampingkan keberadaan alat

bukti lainnya yang secara tegas tidak dilarang oleh hukum.

53. Berdasarkan uraian diatas, PEMERINTAH berpendapat bahwa norma

yang terkandung dalam Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Penerbangan tidak mempengaruhi proses pembuktian dalam peradilan

perdata. Menilik kasus yang sudah dipaparkan di atas telah

membuktikan bahwa hasil investigasi bukan satu satunya informasi

yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dan juga tidak terkualifikasi

sebagai alat bukti sempurna dalam kecelakaan penerbangan. Oleh

karena itu Pemerintah menilai bahwa hasil investigasi sebagai alat bukti

dalam proses peradilan tidak memiliki pengaruh besar bagi pihak-

pihak yang berkepentingan untuk membuktikan dalilnya. Namun

sebaliknya, apabila hasil investigasi menjadi alat bukti akan

membahayakan kepentingan masyarakat umum yang lebih luas yakni

keselamatan dalam dunia penerbangan sesuai dengan Alinea ke-4

Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa “… untuk membentuk suatu

pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa

indonesia …” ketentuan saat ini telah tepat bahwa hasil investigasi tidak

dapat dijadikan alat bukti di persidangan adalah untuk melindungi

keselamatan bangsa Indonesia.

D. Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan tentang Dirahasiakannya Sebagian

Informasi dari Hasil Investigasi KNKT Memberikan Kejelasan

Rumusan dan Kepastian Hukum serta sesuai dengan UUD 1945.

54. Sebagai negara pihak Konvensi Chicago dan negara anggota ICAO,

Indonesia terikat dan wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan yang

ada dalam Konvensi Chicago beserta berbagai annex yang telah dibuat

oleh ICAO sebagai petunjuk teknis pelengkap Konvensi Chicago yang

dibuat pada tahun 1944 karena dunia penerbangan selalu mengalami

perkembangan teknologi secara cepat.

55. Salah satu annex pelengkap Konvensi Chicago adalah Annex 13 to the

Convention on International Civil Aviation yang membahas mengenai

“Aircraft Accident and Incident Investigation”. Dalam Annex 13 tersebut,

ICAO secara clear menyatakan bahwa: “OBJECTIVE OF THE INVESTIGATION 3.1 The sole objective of the investigation of an accident or incident shall be the prevention of accidents and incidents. It is not the purpose of this activity to apportion blame or liability.

Page 31: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

31

56. Lebih lanjut dalam dokumen ini, selaras dengan tujuan yang ada dalam Article 3.1, terdapat ketentuan mengenai “non-disclosure of records” atau “informasi yang tidak diungkapkan”, yang berbunyi: “Non-disclosure of records 5.12 The State conducting the investigation of an accident or incident shall not make the following records available for purposes other than accident or incident investigation, unless the appropriate authority for the administration of justice in that State determines that their disclosure outweighs the adverse domestik and international impact such action may have on that or any future investigations: a) all statements taken from persons by the investigation authorities in the

course of their investigation; b) all communications between persons having been involved in the operation

of the aircraft; c) medical or private information regarding persons involved in the accident or

incident; d) cockpit voice recordings and transcripts from such recordings; and e) opinions expressed in the analysis of information, including flight recorder

information. 5.12.1 These records shall be included in the final report or its appendices only when pertinent to the analysis of the accident or incident. Parts of the records not relevant to the analysis shall not be disclosed. Note 1.— Information contained in the records listed above, which includes information given voluntarily by persons interviewed during the investigation of an accident or incident, could be utilized inappropriately for subsequent disciplinary, civil, administrative and criminal proceedings. If such information is distributed, it may, in the future, no longer be openly disclosed to investigators. Lack of access to such information would impede the investigation process and seriously affect flight safety. Note 2.— Attachment E contains legal guidance for the protection of information from safety data collection and processing systems.”

57. Selanjutnya, Attachment E dari Annex 13 menyatakan sebagai berikut: “ATTACHMENT E. LEGAL GUIDANCE FOR THE PROTECTION OF INFORMATION FROM SAFETY DATA COLLECTION AND PROCESSING SYSTEMS 1. Introduction 1.1 The protection of safety information from inappropriate use is essential to ensure its continued availability, since the use of safety information for other than safety-related purposes may inhibit the future availability of such information, with an adverse effect on safety. This fact was recognized by the 35th Session of the ICAO Assembly, which noted that existing national laws and regulations in many States may not adequately address the manner in which safety information is protected from inappropriate use.

1.2 The guidance contained in this attachment is therefore aimed at assisting States enact national laws and regulations to protect information gathered from safety data collection and processing systems (SDCPS), while allowing for the proper administration of justice. The objective is to prevent the inappropriate use of information collected solely for the purpose of improving aviation safety. 1.3 Because of the different legal systems in States, the legal guidance must allow States the flexibility to draft their laws and regulations in accordance with their national policies and practices. 1.4 The guidance contained in this attachment, therefore, takes the form of a series of principles that have been distilled from examples of national laws and regulations provided by States. The concepts described in these principles could be adapted or modified to meet the particular needs of the State enacting laws and regulations to protect safety information.

Page 32: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

32

1.5 Throughout this attachment: a) safety information refers to information contained in SDCPS established for

the sole purpose of improving aviation safety, and qualified for protection under specified conditions in accordance with 3.1 below;

b) inappropriate use refers to the use of safety information for purposes different from the purposes for which it was collected, namely, use of the information for disciplinary, civil, administrative and criminal proceedings against operational personnel, and/or disclosure of the information to the public;

c) SDCPS refers to processing and reporting systems, databases, schemes for exchange of information, and recorded information and include: 1) records pertaining to accident and incident investigations, as described in

Annex 13, Chapter 5; 2) mandatory incident reporting systems, as described in Chapter 5, 5.1, of

this Annex; 3) voluntary incident reporting systems, as described in Chapter 5, 5.1, of

this Annex; and 4) self-disclosure reporting systems, including automatic data capture

systems, as described in Annex 6, Part I, Chapter 3, as well as manual data capture systems.

Note.— Information on safety data collection and processing systems can be found in the Safety Management Manual (SMM) (Doc 9859). 2. General principles 2.1 The sole purpose of protecting safety information from inappropriate use is to ensure its continued availability so that proper and timely preventive actions can be taken and aviation safety improved. 2.2 It is not the purpose of protecting safety information to interfere with the proper administration of justice in States. 2.3 National laws and regulations protecting safety information should ensure that a balance is struck between the need for the protection of safety information in order to improve aviation safety, and the need for the proper administration of justice. 2.4 National laws and regulations protecting safety information should prevent its inappropriate use. 2.5 Providing protection to qualified safety information under specified conditions is part of a State’s safety responsibilities. 3. Principles of protection 3.1 Safety information should qualify for protection from inappropriate use according to specified conditions that should include, but not necessarily be limited to, whether the collection of information was for explicit safety purposes and if the disclosure of the information would inhibit its continued availability 3.2 The protection should be specific for each SDCPS, based upon the nature of the safety information it contains. 3.3 A formal procedure should be established to provide protection to qualified safety information, in accordance with specified conditions. 3.4 Safety information should not be used in a way different from the purposes for which it was collected. 3.5 The use of safety information in disciplinary, civil, administrative and criminal proceedings should be carried out only under suitable safeguards provided by national law. 4. Principles of exception Exceptions to the protection of safety information should only be granted by national laws and regulations when:

Page 33: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

33

a) there is evidence that the occurrence was caused by an act considered, in accordance with the law, to be conduct with intent to cause damage, or conduct with knowledge that damage would probably result, equivalent to reckless conduct, gross negligence or wilful misconduct;

b) an appropriate authority considers that circumstances reasonably indicate that the occurrence may have been caused by conduct with intent to cause damage, or conduct with knowledge that damage would probably result, equivalent to reckless conduct, gross negligence or wilful misconduct; or

c) review by an appropriate authority determines that the release of the safety information is necessary for the proper administration of justice, and that its release outweighs the adverse domestik and international impact such release may have on the future availability of safety information.

5. Public disclosure 5.1 Subject to the principles of protection and exception outlined above, any person seeking disclosure of safety information should justify its release. 5.2 Formal criteria for disclosure of safety information should be established and should include, but not necessarily be limited to, the following: a) disclosure of the safety information is necessary to correct conditions that

compromise safety and/or to change policies and regulations; b) disclosure of the safety information does not inhibit its future availability in

order to improve safety; c) disclosure of relevant personal information included in the safety

information complies with applicable privacy laws; and d) disclosure of the safety information is made in a de-identified, summarized or

aggregate form. 6. Responsibility of the custodian of safety information Each SDCPS should have a designated custodian. It is the responsibility of the custodian of safety information to apply all possible protection regarding the disclosure of the information, unless: a) the custodian of the safety information has the consent of the originator of the

information for disclosure; or b) the custodian of the safety information is satisfied that the release of the safety

information is in accordance with the principles of exception. 7. Protection of recorded information Considering that ambient workplace recordings required by legislation, such as cockpit voice recorders (CVRs), may be perceived as constituting an invasion of privacy for operational personnel that other professions are not exposed to: a) subject to the principles of protection and exception above, national laws and

regulations should consider ambient workplace recordings required by legislation as privileged protected information, i.e. information deserving enhanced protection; and

b) national laws and regulations should provide specific measures of protection to such recordings as to their confidentiality and access by the public. Such specific measures of protection of workplace recordings required by legislation may include the issuance of orders of non-public disclosure.”

58. Kemudian, ketentuan non-disclosure of records di Annex 13 tersebut

diejawantahkan di Indonesia dalam UU Penerbangan, tepatnya pada

Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan yang berbunyi, “Hasil investigasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bukan digolongkan sebagai

informasi rahasia, dapat diumumkan kepada masyarakat.”

59. Penjelasan undang-undang dari pasal a quo menyatakan bahwa:

Yang dimaksud dengan “informasi rahasia (non disclosure of records)”,

antara lain:

a pernyataan dari orang-orang yang diperoleh dalam proses investigasi;

Page 34: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

34

b rekaman atau transkrip komunikasi antara orang-orang yang terlibat

di dalam pengoperasian pesawat udara;

c informasi mengenai kesehatan atau informasi pribadi dari orang-orang

terlibat dalam kecelakaan atau kejadian;

d rekaman suara di ruang kemudi (cockpit voice recorder) dan catatan kata

demi kata (transkrip) dari rekaman suara tersebut;

e rekaman dan transkrip dari pembicaraan petugas pelayanan lalu lintas

penerbangan (air traffic services); dan

f pendapat yang disampaikan dalam analisis informasi termasuk

rekaman informasi penerbangan (flight data recorder).

60. Menurut PEMOHON, pasal ini telah bertentangan dengan Pasal 28F

UUD 1945 karena menyebabkan terlanggarnya hak PEMOHON untuk

memperoleh informasi dari hasil investigasi KNKT. Selain itu, menurut

PEMOHON, pasal ini tidak memiliki rumusan yang jelas dan tidak

memberikan kepastian hukum. Alasannya karena apa yang menjadi

informasi rahasia tidak dicantumkan dalam batang tubuh dan hanya ada

dalam bagian penjelasan.

Jawaban Pemerintah terkait kejelasan rumusan dan kepastian hukum

61. Dalam konteks peraturan perundang-undangan, setiap produk hukum

memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik yang dimiliki peraturan

perundang-undangan adalah harus bersifat umum, abstrak, dan

berlaku terus-menerus (Maria Farida Indrati dalam Zaka Firma Aditya

dan M. Reza Winata, “Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-

undangan di Indonesia”, Jurnal Negara Hukum, Volume 9 Nomor 1, Juni

2018, hlm. 85) [BUKTI PEMERINTAH - 32]. Norma hukum umum

adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak

(addressatnya) atau dengan kata lain umum dan tidak tertentu. Umum di

sini dapat berarti bahwa suatu peraturan itu ditujukan untuk semua

orang atau semua warganegara. Norma hukum abstrak adalah suatu

norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada

batasnya dalam arti tidak konkret. Norma hukum abstrak ini

merumuskan suatu perbuatan itu secara abstrak, misalnya disebut

dengan kata: “…mencuri…”, “…membunuh…”, “…menebang

pohon….” Norma hukum yang berlaku terus-menerus (dauerhaftig)

adalah norma hukum yang berlakunya (mempunyai daya laku) tidak

dibatasi oleh waktu, jadi dapat berlaku kapan saja terus-menerus, sampai

peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan baru (Maria Farida

Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,

Yogyakarta: Kanisius, 2018, hlm. 26) [BUKTI PEMERINTAH - 33].

62. Oleh sebab itu, rumusan norma “hasil investigasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), yang bukan digolongkan sebagai informasi rahasia, dapat

diumumkan kepada masyarakat” pada dasarnya telah memenuhi

Page 35: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

35

karakteristik abstrak, umum, dan terus-menerus. Mengapa saat itu

pembentuk undang-undang membuat pasal tersebut dengan rumusan

demikian? Hal ini dikarenakan penyebab kecelakaan penerbangan pada

suatu peristiwa pasti berbeda dengan peristiwa lainnya. Bisa saja dalam

suatu peristiwa, kecelakaan penerbangan disebabkan oleh tindak pidana

terorisme, tapi pada peristiwa kecelakaan penerbangan yang lain justru

disebabkan oleh mesin pesawat. Dengan perbedaan penyebab

kecelakaan tersebut, maka informasi yang dicantumkan dalam laporan

akhir hasil investigasi dan informasi yang dirahasiakan tentu tidak

akan sama atau tidak akan persis sama pada setiap kecelakaan.

Peraturan perundang-undangan haruslah dibentuk dengan rumusan

abstrak dan umum seperti tadi agar bisa berlaku dalam semua konteks

sehingga peraturan perundang-undangan tersebut tidak usang oleh

zaman.

63. Kejelasan rumusan dan kepastian hukum sebenarnya telah ada dalam

jiwa pasal tersebut, yaitu berupa hasil investigasi yang bukan rahasia

pasti akan diumumkan kepada masyarakat. Terkait informasi mana

yang rahasia dan mana yang bukan, hal itu adalah kompetensi KNKT

sebagai pihak yang berwenang melaksanakan investigasi terhadap

kecelakaan dan kejadian penerbangan, karena sesuai annex 13,

informasi yang dapat diumumkan adalah segala informasi yang

berkaitan dengan kecelakaan, telah dianalisis, dan masuk ke dalam

laporan akhir hasil investigasi KNKT. Tentu, informasi mana yang

terkait dengan kecelakaan dan informasi yang tidak terkait kecelakaan,

hal tersebut tergantung penyebab kecelakaan yang terjadi dan akan

berbeda pada kecelakaan yang satu dengan yang lainnya. Misalnya,

dalam kecelakaan penerbangan yang disebabkan oleh penggunaan

narkotika oleh kru pesawat, informasi mengenai kesehatan kru pesawat

tersebut pasti dicantumkan dalam laporan akhir hasil investigasi, tapi

tentu jika kecelakaan penerbangan tersebut berkaitan dengan kerusakan

mesin, tidak ada kepentingan KNKT untuk mencantumkan informasi

kesehatan dalam laporan akhir hasil investigasi karena informasi tersebut

tidak berkaitan dengan kecelakaan dan tidak berguna pula berkaitan

safety recommendation yang diberikan KNKT dalam laporan akhir hasil

investigasi tersebut. Maka, menurut PEMERINTAH, ketentuan dalam

Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan telah sesuai dengan asas kejelasan

rumusan dan asas kepastian hukum.

64. Terkait dengan jenis-jenis informasi rahasia yang tercantum dalam

bagian Penjelasan Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan, PEMERINTAH

harus menegaskan bahwa itu hanyalah tafsir autentik dan bukan

merupakan norma yang mengikat. Namun, Penjelasan Pasal a quo

memang merujuk kepada Article 5.12 Annex 13 terkait non-disclosure of

records. Informasi tersebut memanglah rahasia dan tidak dapat dibuka ke

Page 36: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

36

publik, namun dalam artian dokumen yang belum diolah, seperti

misalnya dokumen informasi kesehatan, dokumen asli dari keseluruhan

rekaman suara (cockpit voice recorder), dan lain sebagainya. Informasi yang

dapat dibuka ke publik hanyalah analisis KNKT terhadap informasi-

informasi rahasia tadi yang berkaitan dengan kecelakaan dan telah

dimasukan ke dalam laporan akhir hasil investigasi. Dengan kata lain,

sesuai Annex 13, yang dapat diumumkan ke publik adalah sumber yang

bersifat sekunder, yaitu analisis KNKT dalam laporan akhir hasil

investigasi, bukan sumber primernya.

65. Dapat disimpulkan, terkait rumusan pasal, tidak ada permasalahan sama

sekali karena rumusan Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan memang

memiliki karakteristik abstrak dan umum agar bisa menyesuaikan

dengan setiap kecelakaan dan kejadian penerbangan yang terjadi. Pasal a

quo tidak bermasalah karena sesuai Annex 13 yang dapat diinformasikan

ke publik adalah informasi yang tidak rahasia, yaitu laporan akhir hasil

investigasi KNKT yang memuat analisis KNKT terhadap berbagai

informasi yang terkait dengan kecelakaan. Begitu pun dengan penjelasan

pasal a quo telah sesuai pula dengan Annex 13 yang memang menyatakan

informasi-informasi tersebut, yang masih belum diolah, belum dianalisis

KNKT, dan tidak masuk ke dalam laporan akhir hasil investigasi tidak

boleh diumumkan kepada masyarakat.

Jawaban terkait pelanggaran Pasal 359 ayat (2) terhadap Pasal 28F UUD

1945

66. Seperti yang telah dikatakan oleh Annex 13 di atas, bahwa informasi

kecelakaan dan kejadian penerbangan dikumpulkan hanya untuk

mencapai tujuan: pencegahan kecelakaan dan peningkatan kualitas

keselamatan. Karenanya, informasi ini harus dilindungi untuk

kepentingan-kepentingan di luar pencapaian tujuan yang telah

disebutkan tadi.

67. Di dalam Lampiran E Annex 13, dinyatakan: 5. Public disclosure 5.1 Subject to the principles of protection and exception outlined above, any person seeking disclosure of safety information should justify its release. 5.2 Formal criteria for disclosure of safety information should be established and should include, but not necessarily be limited to, the following: a) disclosure of the safety information is necessary to correct conditions that

compromise safety and/or to change policies and regulations; b) disclosure of the safety information does not inhibit its future availability in

order to improve safety; c) disclosure of relevant personal information included in the safety

information complies with applicable privacy laws; and d) disclosure of the safety information is made in a de-identified, summarized or

aggregate form. 68. Dari lampiran E Annex 13 tersebut, pengungkapan informasi dinyatakan

bertujuan untuk memperbaiki kondisi yang membahayakan keselamatan

dan jika seandainya berkaitan dengan privasi, maka harus relevan

Page 37: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

37

dengan tujuan keselamatan. Artinya, jika privasi atau informasi pribadi

tersebut tidak sesuai dengan tujuan keselamatan, maka seharusnya tidak

diungkapkan. Tentu, informasi pribadi yang relevan adalah informasi

yang terkait dengan kecelakaan karena bermanfaat bagi KNKT untuk

mempersiapkan safety recommendation atau rekomendasi keselamatan

demi pencegahan kecelakaan dan kejadian penerbangan di masa depan.

69. Seperti yang dijelaskan oleh Centre for Law and Democracy bersama

Indonesian Center for Enviromental Law, informasi yang bersifat privasi

memang tetap dapat dibatasi demi kepentingan publik yang lebih besar.

Namun, hal ini harus benar-benar proporsional bahwa informasi yang

diungkapkan memang hanyalah informasi yang berkaitan dengan

kepentingan publik saja (Dessy Eko Prayitno, dkk, Penafsiran atas

Pengecualian dalam Hak atas Informasi: Pengalaman di Indonesia dan Negara

Lain, Jakarta: Centre for Law and Democracy bersama Indonesian Center

for Enviromental Law, 2012, hlm. 66-67) [BUKTI PEMERINTAH - 34].

Artinya, negara harus tetap menjamin perlindungan kepada privasi

semua orang yang berada di wilayahnya jika memang tidak ada

kepentingan publik yang bersinggungan dengan privasi tersebut.

70. Dalam kecelakaan penerbangan, hal itu telah diakomodasi dengan Pasal

359 ayat (2) UU Penerbangan, bahwa publik dapat mengakses informasi

yang berkaitan dengan kepentingan publik, yaitu informasi terkait alasan

mengapa suatu kecelakaan dan kejadian penerbangan dapat terjadi di

dalam laporan hasil investigasi dari KNKT. Di luar informasi yang terkait

dengan kecelakaan penerbangan itu, seharusnya publik tidak dapat

mengakses informasi-informasi lainnya yang dikumpulkan KNKT karena

informasi tersebut tidak masuk domain publik.

71. Hal ini dikarenakan informasi pribadi atau privasi sangat penting dalam

negara demokrasi serta pembatasan yang tidak proporsional dan tidak

legitimate terhadapnya akan menyebabkan kehancuran terhadap

demokrasi itu sendiri. Secara definisi, privasi menurut Warren and

Braindes adalah Right to be left alone, sementara menurut Slyke and

Belanger adalah kemampuan seseorang untuk mengatur informasi

mengenai dirinya sendiri. Perlindungan privasi dikembangkan untuk

mengatur perilaku orang lain yang dapat mengganggu dalam berbagai

cara pada kehidupan seseorang. Privasi dalam konteks ini dapat

dipahami secara umum membatasi kemampuan orang lain untuk

mendapatkan, menyebarkan, atau menggunakan informasi tentang diri

sendiri (Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Menyeimbangkan Hak:

Tantangan Perlindungan Privasi dan Menjamin Akses Keterbukaan Informasi

dan Data di Indonesia, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, hlm.

3) [BUKTI PEMERINTAH - 35]. Sementara itu, menurut Komisi

Informasi India, “Dalam percakapan umum, ‘informasi pribadi’

umumnya digunakan untuk alamat, nama, pekerjaan, status fisik dan

Page 38: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

38

mental, termasuk status medis, misalnya, apakah seseorang menderita

penyakit seperti diabetes, tekanan darah, asma, TB, kanker, dll. Termasuk

juga status keuangan seseorang, seperti pendapatan atau aset dan

liabilitas dirinya atau anggota keluarga lain. Pernyataan ini juga dapat

digunakan untuk merujuk pada hobi seseorang seperti melukis, musik,

olahraga, dsb. Sebagian besar dari hal-hal yang disebutkan di atas

merupakan informasi pribadi seseorang dan orang tersebut mungkin

tidak suka untuk membaginya dengan orang asing. Dalam hal ini,

informasi tersebut dapat diperlakukan sebagai rahasia.” (Dessy Eko

Prayitno, dkk, Penafsiran atas Pengecualian dalam Hak atas Informasi:

Pengalaman di Indonesia dan Negara Lain, Jakarta: Centre for Law and

Democracy bersama Indonesian Center for Enviromental Law, 2012, hlm.

66-67) [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 34]. Oleh sebab itulah, akibat

ketidaknyaman atau ketidaksukaan seseorang untuk membaginya

dengan orang lain, maka Pasal 359 ayat (2) menyatakan terdapat

beberapa informasi yang dirahasiakan, sesuai Annex 13, yaitu yang tidak

berkaitan dengan kecelakaan demi menjaga privasi dari setiap orang

yang berada dalam pesawat yang mengalami kecelakaan.

72. Dapat disimpulkan, dengan adanya Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan,

PEMERINTAH telah mengakomodasi kepentingan publik untuk

mengetahui penyebab kecelakaan sekaligus menjaga informasi pribadi

tiap orang yang tidak berkaitan dengan kecelakaan. Maka, tidak ada

sama sekali pelanggaran terhadap hak memperoleh informasi yang

dilindungi dalam Pasal 28F UUD 1945. Pembatasan memperoleh

informasi yang tidak berkaitan dengan kecelakaan, semata-mata hanya

untuk melindungi tujuan lain yang sesuai dengan Pasal 28J UUD 1945,

yaitu hak dan kebebasan orang lain, yaitu privasi orang lain.

V. PETITUM

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah

memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik

Indonesia yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian

(constitusional review) ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

tentang Penerbangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1) menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal

standing);

2) menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-

tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat

diterima (niet onvankelijke verklaard);

3) menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;

Page 39: KETERANGAN PRESIDEN ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN …

39

4) menyatakan ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tidak bertentangan dengan

ketentuan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945; dan

5) menyatakan ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tetap mempunyai kekuatan hukum

mengikat.

Atau

Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang

seadil-adilnya (ex aequo et bono)

Atas perhatian Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik

Indonesia, kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 8 April 2019

Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia,

MENTERI

HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

MENTERI

PERHUBUNGAN,

………………………………...

………………………………...

YASONNA H. LAOLY BUDI KARYA SUMADI