Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemikiran Tentang · PDF filekajian disiplin ini. Sebagai...

24
Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 1 Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemikiran Tentang Asbâb Al-Nuzûl Kontemporer Akh. Fauzi Aseri (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari) M. Zainal Abidin Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari Wardani (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari) Al-Zarkasyi and al-Suyuthi have formulated branches of Alqur’an discourses and among them is asbab al- nuzul. They were aware that ‘ulum al-Qur’an’ covered a wide range of discussion, could not be limited, and thus opened the paradigm inside. Likewise, when al-Wahidi explained that asbab al nuzul was purely the case of history, it did not prevent the development of a new paradigm. From the perspective of continuity, change, and development, this study is significant to measure the extent of originality of new ideas offered in reform context in al-Qur’an discourses, specifically on asbab an-nuzul. The paradigms of Syahrur and Abu Zayd which are the focus of discussion in this study give a fresher and a more critical perspective in response to the existence of asbab an-nuzul. If Syahrur paradigm is stronger on the changing aspects, which is sometimes very radical in viewing asbab an-nuzul, then despite the criticism, Abu Zayd paradigm still embodies the spirit of continuity with the previous study and the changing of a new method of reading which he has proposed. Key words: asbab al-nuzul, continuity, change, contemporer Islamic paradigm Al-Zarkasyî dan al-Suyûthî telah merumuskan cabang-cabang bahasan dan di antaranya bahasan asbâb al- nuzûl, mereka tetap menyadari bahwa ‘ulûm al-Qur`ân memiliki cakupan sangat luas, tidak bisa dibatasi, dan karenanya membuka pemikiran di dalamnya. Begitu juga, ketika al-Wâ hidî menegaskan bahwa asbâb al- nuzûl adalah murni persoalan riwayat, hal itu tidak menghalangi perkembangan pemikiran baru. Dengan perspektif kesinambungan, perubahan, dan perkembangan, kajian ini signifikan untuk mengukur sejauh mana orisinalitas ide-ide baru yang ditawarkan dalam konteks pembaruan dalam ilmu-ilmu al-Qur`an, khususnya tentang Asbâb Al-Nuzûl. Pemikiran Syahrûr dan Abu Zayd yang menjadi fokus pembahasan dalam kajian ini memberikan perspektif yang lebih segar dan kritis dalam menyikapi keberadaan ilmu asbâb an-nuzul. Apabila Syahûr lebih kuat pada aspek perubahan yang terkadang sangat radikal dalam melihat Asbab Al- Nuzul, maka Abu Zayd meski dengan kritisme yang juga kental, ada tetap semangat kesinambungan dengan kajian terdahulu dan perubahan cara baca baru yang dia kemukakan. Kata kunci: asbân alnuzûl, kesinambungan, perubahan, pemikiran Islam kontemporer. Ulûm al-Qur‘ân, atau ilmu-ilmu yang digunakan untuk memahami ayat-ayat al- Qur‘an, sebenarnya adalah produk kesejarahan para ulama, karena meski memiliki dasar-dasarnya dari al-Qur‘an sendiri dan pratik penafsiran Nabi Muhammad, disiplin ini didesain oleh para ulama generasi awal, sehingga tumbuh dan berkembang seperti sekarang. Salah satu bukti dari kesejarahan tersebut adalah bahwa disiplin ilmu ini baru muncul beberapa abad pasca masa Nabi Muhammad.‘Alî bin Ibrâhîm ibn Sa’îd al- Hûfî (w. 330) disebut sebagai ulama pertama yang secara lengkap menulis di bidang ini dengan karyanya, al-Burhân fî ‘Ulûm al- Qur‘ân (30 jilid). Ada yang berpendapat bahwa yang pertama menulis di bidang ini adalah al- Hârits bin Asad al-Mu hâsibî (w. 243 dengan karyanya, Fahm al-Qur‘ân . 1 1 Hâzim Sa’îd Haidar, ‘Ulûm al-Qur`ân bayna al- Burhân wa al-Itqân: Dirâsah Muqâranah (Madinah: Dâr al-Zamân, 1420 H), h. 6. Karya al- Muhâsibî, Fahm al-Qur`ân, diterbitkan bersama karyanya, al-‘Aql dengan judul al-‘Aql wa Fahm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr dan Dâr al-Kindî,

Transcript of Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemikiran Tentang · PDF filekajian disiplin ini. Sebagai...

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 1

Kesinambungan dan Perubahan dalam PemikiranTentang Asbâb Al-Nuzûl Kontemporer

Akh. Fauzi Aseri (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari)M. Zainal Abidin Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN AntasariWardani (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari)

Al-Zarkasyi and al-Suyuthi have formulated branches of Alqur’an discourses and among them is asbab al-nuzul. They were aware that ‘ulum al-Qur’an’ covered a wide range of discussion, could not be limited, andthus opened the paradigm inside. Likewise, when al-Wahidi explained that asbab al nuzul was purely the caseof history, it did not prevent the development of a new paradigm. From the perspective of continuity, change,and development, this study is significant to measure the extent of originality of new ideas offered in reformcontext in al-Qur’an discourses, specifically on asbab an-nuzul. The paradigms of Syahrur and Abu Zaydwhich are the focus of discussion in this study give a fresher and a more critical perspective in response to theexistence of asbab an-nuzul. If Syahrur paradigm is stronger on the changing aspects, which is sometimes veryradical in viewing asbab an-nuzul, then despite the criticism, Abu Zayd paradigm still embodies the spirit ofcontinuity with the previous study and the changing of a new method of reading which he has proposed.

Key words: asbab al-nuzul, continuity, change, contemporer Islamic paradigm

Al-Zarkasyî dan al-Suyûthî telah merumuskan cabang-cabang bahasan dan di antaranya bahasan asbâb al-nuzûl, mereka tetap menyadari bahwa ‘ulûm al-Qur`ân memiliki cakupan sangat luas, tidak bisa dibatasi, dankarenanya membuka pemikiran di dalamnya. Begitu juga, ketika al-Wâhidî menegaskan bahwa asbâb al-nuzûl adalah murni persoalan riwayat, hal itu tidak menghalangi perkembangan pemikiran baru. Denganperspektif kesinambungan, perubahan, dan perkembangan, kajian ini signifikan untuk mengukur sejauh manaorisinalitas ide-ide baru yang ditawarkan dalam konteks pembaruan dalam ilmu-ilmu al-Qur`an, khususnyatentang Asbâb Al-Nuzûl. Pemikiran Syahrûr dan Abu Zayd yang menjadi fokus pembahasan dalam kajianini memberikan perspektif yang lebih segar dan kritis dalam menyikapi keberadaan ilmu asbâb an-nuzul.Apabila Syahûr lebih kuat pada aspek perubahan yang terkadang sangat radikal dalam melihat Asbab Al-Nuzul, maka Abu Zayd meski dengan kritisme yang juga kental, ada tetap semangat kesinambungan dengankajian terdahulu dan perubahan cara baca baru yang dia kemukakan.

Kata kunci: asbân alnuzûl, kesinambungan, perubahan, pemikiran Islam kontemporer.

Ulûm al-Qur‘ân, atau ilmu-ilmu yangdigunakan untuk memahami ayat-ayat al-Qur‘an, sebenarnya adalah produkkesejarahan para ulama, karena meskimemiliki dasar-dasarnya dari al-Qur‘ansendiri dan pratik penafsiran NabiMuhammad, disiplin ini didesain oleh paraulama generasi awal, sehingga tumbuh danberkembang seperti sekarang. Salah satubukti dari kesejarahan tersebut adalahbahwa disiplin ilmu ini baru munculbeberapa abad pasca masa NabiMuhammad.‘Alî bin Ibrâhîm ibn Sa’îd al-

Hûfî (w. 330) disebut sebagai ulama pertamayang secara lengkap menulis di bidang inidengan karyanya, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur‘ân (30 jilid). Ada yang berpendapatbahwa yang pertama menulis di bidang iniadalah al-Hârits bin Asad al-Muhâsibî (w.243 dengan karyanya, Fahm al-Qur‘ân.1

1 Hâzim Sa’îd Haidar, ‘Ulûm al-Qur`ân bayna al-Burhân wa al-Itqân: Dirâsah Muqâranah(Madinah: Dâr al-Zamân, 1420 H), h. 6. Karya al-Muhâsibî, Fahm al-Qur`ân, diterbitkan bersamakaryanya, al-‘Aql dengan judul al-‘Aql wa Fahmal-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr dan Dâr al-Kindî,

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 20142

Setelah itu Ibn al-Jawzî (w. 597H) menulisFunûnal-Afnân fi ‘Ajâ‘ib ‘Ulûm al-Qur‘ân,lalu al-Zarkasyî (w. 794 H) dengan al-Burhânfi ‘Ulûm al-Qur‘ân, al-Bulqînî (w. 824 H)dengan Mawâqi’ al-’Ulûm min Mawâqi’ al-Nujûm, dan al-Suyûthî (w. 911 H) denganal-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur‘ân dan al-Tahbîr fî‘Ilm al-Tafsîr.

Historisitas ‘ulûm al-Qur`ân juga bisadilihat bagaimana para ulama berbedapendapat dalam mengkategorisasikanpersoalan-persoalan yang menjadi objekkajian disiplin ini. Sebagai contoh, al-Zarkasyî dalam al-Burhân menghimpunsebanyak 47 persoalan.Setelah itu, al-Suyûthî menulis al-Itqân yang dimaksud-kannya sebagai pengantar karya tafsirnyayang monumental, Majma’ al-Bahrain waMathla’ al-Badrain2 dengan memuat 80 jenis(nau’, genre) persoalan.3 Namun, ia jugamenulis al-Tahbîr fî ‘Ilm al-Tafsîr denganmengembangkan 52 persoalan yangditawarkan oleh al-Bulqînî, tokoh yangdisebutnya sebagai peletak pertama disiplinini, dalam Mawâqi’ al-‘Ulûm menjadi102persoalan. Di sini, ia menambah 50persoalan, yang sebagian dianalogikannyadari persoalan musthalah al-hadîts, karenailmu tafsir, menurutnya, sama halnyadengan ilmu mushthalah al-hadîts.4

Perkembangan tersebut menunjukkanterjadinya ijtihâd para ulama dalammenyusun ‘ulûm al-Qur`ân, sekaligus

menunjukkan historisitas perkembangandisiplin ini.

Konsekuensi dari historisitas ‘ulûm al-Qur`ân adalah bahwa konstruksinyamerupakan hasil susunan ijtihâd para ulama,meski substansinya memiliki hubunganyang inherent dan tak terpisahkan denganal-Qur`an. Konsekuensi lain yang terpen-ting dari historisitas tersebut adalah bahwadisiplin ini akan tetap berkembang seiringdengan perkembangan pemikiran danzaman. Al-Zarkasyî pernah menggolongkanilmu ini sebagai ilmu yang tidak matang dantidak gosong (‘ilm lâ nadhija wa lâ`khta-raqa).5 Itu artinya, meski terkait denganriwayat-riwayat yang diidentikkan denganhanya dirujuk dan ditransmisikan, disiplinini masih terbuka bagi ide-ide baru.

Salah satu persoalan penting ‘ulûm al-Qur`ân adalah Asbâb Al-Nuzûl (sebab-sebabturunnya ayat al-Qur`an). Penulis pentingilmu ini, al-Wâhidî (w. 468 H),6 dalamkaryanya, Asbâb Al-Nuzûl, telah memberiperingatan bahwa persoalan Asbâb Al-Nuzûladalah murni persoalan riwayat:

“Tidak boleh (haram) mengatakanberkaitan dengan sebab-sebab turunnyaayat al-Qur`an, kecuali dengan riwayat dariorang-orang menyaksikan langsungperistiwa pewahyuan dan mengetahuisebab-sebab tersebut, meneliti ilmunya, dansungguh-sungguh dalam mencari.”

1982). Karya ini dimulai dengan pengantar tentangtanzîh dan akal, kemudian tujuh bagian bahasan,yaitu: (1) keutamaan al-Qur`an, (2) fiqh al-Qur`ân,(3) muhkam dan mutasyâbih, (4) penganuliran(naskh), (5) kritik terhadap Mu’tazilah, (6) ayat-ayat hukum yang teranulir dan yang menganulir,dan (7) tentang gaya bahasa (uslûb) al-Qur`an.

2 Al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâral-Fikr, t.th.), juz 1, h. 6.

3 Diriwayatkan bahwa al-Suyûthî menulis al-Itqânbertolak dari al-Burhân karya al-Zarkasyî.Lihat al-Itqân, juz 1, h. 5-6.Meski begitu, al-Itqân memuattambahan pembahasan yang tidak terdapatdalam al-Burhân. Lihat Haidar, ‘Ulûm al-Qur`ân baynaal-Burhân wa al-Itqân.

4 Lihat al-Suyûthî, al-Tahbîr fî ‘Ilm al-Tafsîr (Beirut: Dâral-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), h. 7-13.

5 Sebagaimana dikutip dalam Khâlid bin ‘Utsmânal-Sabt, Qawâ’id al-Tafsîr: Jam’an wa Dirâsatan(Mesir: Dâr Ibn ‘Affân, 1421 H), juz 1, h. 2.

6 Tentang al-Wâhidî dan peran pentingnya dalamaliran tafsir di Nisapur (Nisabur), lihat Walid A.Saleh, “The Last of the Nishapuri School of Tafsir:al-Wâhidî and His Significance in the History ofQuranic Exegesis”, dalam Journal of the AmericanOriental Society, vol. 126, no. 2 (2006), h. 1-21.

7 Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), h. 6.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 3

Meski Asbâb Al-Nuzûl dianggapsebagai murni persoalan riwayat, ternyatahal itu tidak menghalangi perkembangandisiplin ini, setidaknya mungkin karena duaalasan. Pertama, meski murni riwayat, tidakberarti bahwa dalam riwayat tidak adapersoalan sama sekali. Riwayat menghadapipersoalan validitas (kesahihan) riwayat.Kedua, persoalan akses terhadap riwayat. Al-Wâhidî mengklaim bahwa ia menulisnyakaryanya tersebut karena didorong banyak-nya riwayat yang tidak shahîh.8 Akan tetapi,keshahihan riwayat-riwayat Asbâb Al-Nuzûldalam karyanya tersebut kemudian jugadipersoalkan oleh penulis belakangan, al-Suyûthî, dalam Lubâb al-Nuqûl, terutama,misalnya, karena al-Wâhidî tidak merujukke kitab-kitab mu’tabar. Merujuk kesumber-sumber tersebut, menurut al-Suyûthî, lebih tepat daripada metode al-Wâhidî dengan menyebut riwayat tanpamengetahui mukharrij-nya. Di samping itu,sebagian riwayat yang dicantumkan oleh al-Wâhidî, menurut al-Suyûthî, adalahmaqthû’.9

Di samping persoalan riwayat, jugaakses setiap ulama terhadap ulama berbedakemampuannya. Ibn Jarîr al-Thabarî dalamtafsirnya, Jâmi’ al-Bayân, telah mengum-pulkan begitu banyak riwayat-riwayat tafsir(ahâdîts al-tafsîr, exegetical hadîths) yangtersebar dari abad-abad pertama, termasukriwayat Asbâb Al-Nuzûl , yang tidakdiketahui oleh para ulama lain.10

Di samping itu, para ulama berbedadalam kadar tertentu dalam mendefinisikanAsbâb Al-Nuzûl. Hal ini berpengaruh padariwayat atau kejadian historis apa yangseharusnya dimasukkan ke dalam kategoriAsbâb Al-Nuzûl. Al-Suyûthî, misalnya,mengkritik al-Wâhidî yang memasukkanpenyerangan Abrahah dari Yaman keMakkah yang terjadi sebelum turunnya al-Qur‘an sebagai sebab turunnya Sûrat al-Fîl.11

Ironisnya, kesalahan yang sama jugadilakukan oleh imam para mufassir, Ibn Jarîral-Thabarî, berkaitan dengan Asbab Al-Nuzûl Q.s. al-Baqarah: 114.12 Memang,sebagaimana dikatakan oleh Shubhî al-Shâlih, karya-karya ulama generasi awalbanyak menghadapi kritik tajam, sepertikritik al-Suyûthî terhadap al-Wâhidîtersebut.13

Persoalan-persoalan yang menggelayutiAsbâb Al-Nuzûl tersebut memicuperkembangan karya-karya di bidang ini.Sejak asbâb al-nuzûl pertama kali ditulis oleh‘Ikrimah (w. 107 H) dengan karyanya, Nuzûlal-Qur`ân, telah bermunculan karya-karyapenting, seperti disebutkan di atas, dankarya-karya lain, seperti Nuzûl al-Qur`ânkarya al-Hasan al-Bashrî (w. 110 H), al-Qishash wa al-Asbâb allatî Nazala minAjlihâ al-Qur`ân karya Abû Mutharrif al-Andalusî (w. 402 H), Asmâ` Man NazalaFîhim al-Qur`ân karya Ismâ’îl al-Naisâbûrîal-Dharîr (w. 430 H), Kitâb Asbâb Nuzûl al-Qur`ân karya Abû Ja’far al-Mazandarânî (w.588 H),Kitâb Asbâb al-Nuzûl karya Ibn al-Jawzî (w. 597 H), al-‘Ujâb fî Bayân al-Asbâbkarya Ibn Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 H),Asbâb Al-Nuzûl wa al-Qishash al-Furqâniyyah karya Muhammad bin As’adal-‘Irâqî (w. 667 H).14

8 Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, h. 6.9 Al-Suyûthî mengaku ada enam hal yang

membedakan karyanya, Lubâb al-Nuqûl, berbedadan lebih unggul daripada karya al-Wâhidî, AsbâbAl-Nuzûl. Lihat lebih lanjut al-Suyûthî, Lubâb al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 5-6.

1 0 Riwayat-riwayat Asbâb Al-Nuzûl yang ada dalamkitab Jâmi’ al-Bayân karya al-Thabarî telahdikompilasi, ditakhrîj, dan dikaji oleh HasanMuhammad ‘Alî dalam disertasinya di Universi-tas Umm al-Qurâ, Makkah, pada 1998 denganjudul “Asbâb al-Nuzûl al-Wâridah fî Jâmi’ al-Bayân lial-Imâm Ibn Jarîr al-Thabarî: Jam’an wa Takhrîjan waDirâsatan”.

1 1 Al-Suyûthî, Lubâb al-Nuqûl, h. 4.Lihat al-Wâhidî,Asbâb al-Nuzûl, h. 238-239.

1 2 Lihat kritik Shubhî al-Shâlih, dalam Mabâhits fî‘Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn,1988), h. 135-139.

1 3 Shubhî al-Shâlih, Mabâhits, h. 135-139.1 4 Lihat Bassâm al-Jamal, Asbâb al-Nuzûl (Beirut dan

al-Dâr al-Baidhâ‘/ Maroko: al-Markaz al-Tsaqâfîal-‘Arabî, al-Mu‘assasah al-‘Arabiyyah li al-Tahdîts

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 20144

Di era kontemporer, juga munculsejumlah karya dan pemikiran tentang asbâbal-nuzûl. Di antara karya-karya tersebutadalah Asbâb al-Nuzûl: Tahdîd Mafâhîm waRadd Syubuhât karya Muhammad SâlimAbû ‘Âshî,15Asbâb al-Nuzûl ‘an al-Shahâbahwa al-Mufassirîn karya ‘Abd al-Fattâh ‘Abdal-Ghanî al-Qâdhî,16 Asbâb Al-Nuzûl al-Qur`ânî karya Ghâzî ‘Inâyah,17al-Shahîh al-Musnad min Asbâb al-Nuzûl karya Abû ‘Abdal-Rahmân Muqbil bin Hâdî al-Wâdi’î,18

Ghâyat al-Ma`mûl fî al-Ta’lîqât ‘alâal-Shahîh al-Musnad min Asbâb al-Nuzûl karyaAbû ‘Abdillâh ‘Utsmân al-Sâlimî al-‘Atmî,19al-Muharrar fî Asbâb Al-Nuzûl (MinKhilâl al-Kutub al-Tis’ah): Dirâsat al-AsbâbRiwâyatan wa Dirâyatan karya Khâlid binSulaymân al-Muzaynî,20Asbâb al-Nuzûl waAtsaruhâ fî Bayân al-Nushûsh: DirâsahMuqâranah bayna Ushûl al-Tafsîr wa Ushûlal-Fiqh karya ‘Imâd al-Dîn Muhammad al-Rasyîd,21Tashîl al-Wushûl ilâ Ma’rifat Asbâbal-Nuzûl al-Jâmi’ bayna Riwâyât al-Thabarîwa al-Naisâbûrî wa Ibn al-Jawzî wa al-Qurthubî wa Ibn Katsîr wa al-Suyûthî karyaKhâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk,22 Asbâb Al-Nuzûl Asânîduhâ wa Atsaruhâ fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm karya Jumu’ah Sahl,23

Asbâb Al-Nuzûl al-Wâridah fî Jâmi’ al-Bayânli al-Imâm Ibn Jarîr al-Thabarî: Jam’an waTakhrîjan wa Dirâsatan karya Hasan

Muhammad ‘Alî,24 dan karya al-Shahîh minAsbâb al-Nuzûl karya ‘Ishâm bin ‘Abd al-Hamîd al-Humaidân.25

Di samping karya-karya kompilatif dananalitis, juga berkembang pemikiran yangmengkritik teori-teori klasik tentang asbâbal-nuzûl dan yang membangun teori baru.Di antara karya-karya yang memilikikecenderungan seperti itu adalah karya-karya yang ditulis oleh Fazlur Rahmandalam Islam and Modernity, Nashr HâmidAbû Zayd dalam Mafhûm al-Nash:Dirâsahfî ‘Ulûm al-Qur`ân, Muhammad Sa’îd al-‘Asymâwî dalam Ushûl al-Syarî’ah, danMuhammad Syahrûr dalam al-Kitâb wa al-Qur`ân:Qirâ`ah Mu’âshirah.

Sebagai produk kesejarahan paraulama, karya-karya tersebut tentu sajamerupakan hasil perkembangan sejarahyang memiliki akar-akarnya (historical roots),dan karena bersentuhan dengan berbagaikonteks sosio-historis dan karena alasanakademis, juga mengalami perubahan.Perkembangan karya-karya tersebutmenunjukkan dinamika dalam kajian asbâbal-nuzûl, tidak hanya dalam bentuk karya-karya kompilasi riwayat-riwayat yangsemakin beragam dan lengkap, melainkanjuga dalam bentuk pendekatan baru yangditawarkan. Perkembangan tersebutmemuat kesinambungan (continuity) daritradisi keilmuan yang sudah ada dan hinggabatas tertentu juga memuat unsurperubahan (change).

Penelitian ini mengambil kajian secarakhusus kepada dua orang pemikir kontem-porer yang cukup konsern berbicara secaraanalitik tentang ilmu-ilmu al-Qur’an danmemberikan komentar yang kritisterhadapnya, serta pada hal tertentumengambil jalan yang bersebarangandengan pendapat dari para pemikir-pemikirsebelumnya. Kedua pemikir tersebut yaitu

al-Fikrî, 2005), h. 89-95. Lihat Andrew Rippin, “TheExegetical Genre Asbâb al-Nuzûl: Bibliographicaland Terminological Survey”, dalam Bulletin of theSchool of Oriental and African Studies, Vol. 48, No. 1,h. 1-15.

1 5 Cairo: Dâr al-Bashâ‘ir, 2002.1 6 Cairo: Dâr al-Salâm, 2003.1 7 Beirut: Dâr al-Jîl, 1991.1 8 Shan’a/Yaman: Dâr al-Âtsâr, 2009.1 9 Shan’a/Yaman: Maktabat Shan’â‘ al-Atsariyyah,

t.th..2 0 Makkah: Dâr Ibn al-Jawzî, 1427 H.2 1 Damaskus: Dâr al-Syihâb, 1999. Karya ini semula

adalah disertasi doktor yang diujikan tahun 1419H di Universitas Damaskus.

2 2 Sebagaimana dikutip dalam al-Muzainî, al-Muharrar, juz 1, h. 43.

2 3 Makkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1982. Karyaini adalah disertasi doktor di Umm al-QurâMakkah tahun 1982.

2 4 Makkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1998. Karyaini adalah disertasi doktor di Umm al-QurâMakkah tahun 1998.

2 5 Makkah: Mu‘assasat al-Rayyân dan Dâr al-Dzakhâ‘ir, 1999.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 5

Muhammad Syahrur dan Nasr Hamid AbuZayd.

Atas dasar latar belakang masalahsebagaimana diuraikan, masalah dalam pe-nelitian ini dirumuskan sebagai berikut:(1)Apa saja unsur pokok-pokok pemikiranMuhammad Syahrûr dan Nasr Hamid AbuZayd terkait dengan asbâb al-nuzûl? (2) Apasaja unsur yang merupakan kesinambungan(continuitiy) dan perubahan (change) yangmenjadi karakteristik penulisan Asbâb Al-Nuzûl oleh Muhammad Syahrûr dan NasrHamid Abu Zayd?

Pembahasan Dinamika IntelektualPemikiran Arab Kontemporer

Dalam diskusi seputar pemikiran Arabpasca kebangkitan (‘ashr al-nahdhah),biasanya selalu dibedakan antara istilahmodern dan kontemporer. Istilah moderndan kontemporer merujuk kepada dua erayang tidak mempunyai penggalan pasti.Kontemporer adalah kekinian atau kini,sementara modern adalah kini yang sudahlewat tapi masih mempunyai citra modern.Karena tidak ada sifat permanen dalamkekontemporeran, modern yang telah lewatdari kekinian biasanya tidak lagi disebutkontemporer.

Istilah modern-kontemporer dalamhubungannya dengan pemikiran Arab,biasanya merujuk kepada pemikiran Arabmodern sejak masa kebangkitan, diawalidengan invasi Napoleon Bonaparte ke Mesirtahun 1798, kemudian dalam berdirinyanegeri-negeri independen dengan mengatas-namakan nasionalisme, dan sejak runtuh-nya kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul,sampai sekarang. Perbedaan yang jelasantara yang modern dengan yangkontemporer adalah bahwa yang pertamamerujuk kepada era modernisasi secaraumum, sedangkan kontemporer merujukkepada era sekarang atau yang berlaku kini.Oleh karenanya kontemporer bisa dikata-kan adalah kelanjutan dari modernitas danpada saat yang sama adalah modernitas itusendiri. Menurut Qustantine Zurayq

kontemporer terlahir dari modernitas (al-‘ashriyah walladat al-hadâtsah).26 Denganbahasa lain yang lebih lugas, bahwakontemporer merupakan ‘anak kandung’dari modernitas.

Secara umum, pemikiran Arabkontemporer tidak bisa dilepaskan dariberbagai pandangan sekitar tradisi danmodernitas,27 serta sikap dan posisi yangharus diambil terhadapnya.Tradisi atauturâts lazim dianggap sebagai kata kunci(keyword) dalam memasuki ranah diskursuspemikiran Arab kontemporer.Istilah inimerupakan produk asli wacana Arabkontemporer.Adapun modernitas atau al-hadâtsah, biasanya lebih ditujukan pada eramodern yang dilewati bangsa Arab sejakdua abad yang lalu.

Kebanyakan para pemikir Arab sendirimenganggap waktu kontemporer(mu’âshirah) bermula dari kekalahan Araboleh Israel tahun 1967, yang karenakekalahan itu, para pemikir Arab kemudianmencoba melakukan kritik diri dan refleksimendalam terhadap berbagai pemahamandan keyakinan yang mereka anut serta carapandang terhadap beberapa problema sosialbudaya yang dihadapinya. Langkah perta-ma yang dilakukan oleh para intelektualArab adalah menjelaskan sebab-sebabkekalahan (tafsîr al-azmah) tersebut. Diantara sebab yang paling signifikan adalah

2 6 Lihat Qustantine Zurayq, “al-Nahj al-‘AshriMuhtawah wa Huwiyyatuh Ijâbiyyatuh waSalbiyyatuh,” dalam al-Mustaqbal al-‘Arabi, No. 69,Nopember 1984, h. 105.

2 7 Sejauh menyangkut tradisi dan modernitas, adabeberapa idiomatik atau istilah yang biasadipergunakan para pemikir Arab kontemporer,yaitu: al-turâts wa al-hadâtsah (Mohammed ‘Abidal- Jâbirî); al-turâts wa al-tajdîd (Hassan Hanafi); al-ashlah wa al-hadâtsah (A.H. Jidah); al-turâts wa al-mu’âshirah (A.D. Umari); dan dalam bentuk yangtidak konsisten dipergunakan juga al-qadîm wa al-jadîd (Hassan Hanafi). Seluruh istilah yang disebutini memiliki arti arti tradisi dan modernitas denganseluas-luas makna.Akan tetapi istilah turâts tetaplebih populer digunakan, bahkan seolah menjadikata kunci dalam memasuki wacana pemikiranArab kontemporer.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 20146

masalah cara pandang orang Arab kepadabudaya sendiri dan kepada capaian moder-nitas.28 Karena itu, pertanyaan yang merekaajukan adalah; bagaimana seharusnya sikapbangsa Arab dalam menghadapi tantanganmodernitas dan tuntutan tradisi?

Berkenaan dengan pandangan-pandangan para pemikir Arab kontemporerterhadap tradisi dan modernitas serta sikapdan posisi yang mereka ambil, secara umumsetidaknya ada tiga tipologi besar pemikiranyang mewarnai dinamika pemikiran Arabkontemporer.29

Pertama, tipologi transformatik.Tipologi ini mewakili para pemikir Arabkontemporer yang secara radikal menga-jukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patriarkalkepada masyarakat rasional ilmiah. Merekamenolak cara pandang agama dan kecende-rungan mistis yang tidak berdasarkan nalarpraktis, serta menganggap agama dan tradisimasa lalu sudah tidak relevan lagi dengantuntutan zaman sekarang. Karena itu, harusditinggalkan. Para pemikir Arab sepertiThayyîb Tayzini, ‘Abdullâh Laroui, Mahdî‘Amîl, Fuâd Zakâriyya, Zâkî NadjîbMahmûd, ‘Adil Daher, dan QunstantineZurayq, memiliki kecenderungan sebagairepresentasi tipologi ini dalam karya-karyamereka.

Kedua, tipologi reformistik.Tipologi inimewakili kelompok pemikir Arab yangmenghendaki reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan lebihcocok dengan tuntutan zaman. Padakelompok ini ada dua kecenderungan lagi,yakni: (1). Para pemikir yang menggunakanpendekatan rekonstruktif, yaitu melihattradisi dengan perspektif pembangunankembali. Kecenderungan ini misalnya bisadilihat pada para pemikir seperti Hâsan

Hanafî, Muhammad Imârah, MuhammadAhmad Khalafallâh, Hâsan Sa’ad, danMuhammad Nuwayhi; (2). Para pemikiryang memiliki kecenderungan penggunaanmetode dekonstruktif. Para pemikirdekonstruktif umumnya dipengaruhi olehgerakan post-strukturalis Perancis danbeberapa tokoh post-modernisme lainnya,seperti Levi-Strauss, Lacan, Barthes, Fou-cault, Derrida, dan Gadamer. Pemikir gardadepan kelompok ini, yaitu MuhammadArkoun dan Muhammad ‘Abid al-Jâbirî.

Pada prinsipnya kedua kecenderungandari tipologi reformistik ini mempunyaitujuan dan cita-cita yang relatif sama, hanyasaja dalam aplikasinya, metodepenyampaian dan treatment of the problemmereka berbeda. Tradisi atau turâts bagikelompok reformistik ini tetap relevanuntuk era modern selama ia dibaca,diinterpretasi, dan dipahami dengan standarmodernitas.

Ketiga, tipologi ideal-totalistik. Ciriutama tipologi ini adalah sikap danpandangan idealis terhadap ajaran Islamyang bersifat totalistik. Kelompok ini sangatcommitted dengan aspek religius budaya Is-lam. Proyek peradaban yang hendakmereka garap adalah menghidupkankembali Islam sebagai agama, budaya, danperadaban. Mereka menolak unsur-unsurasing yang datang dari Barat, karena Islamsendiri sudah cukup, mencakup tatanansosial, politik, dan ekonomi. Para pemikiryang mempunyai kecenderungan berpikirideal-totalistik adalah para pemikir sepertiMuhammad Ghâzali, Sayyid Quthb, AnwarJundî, Muhammad Quthb, Sa’id Hawwâ,dan beberapa pemikir Muslim yangberorientasi pada gerakan politik Islam.

Ketiga tipologi yang dikemukakan diatas, serta tokoh-tokoh yang merupakanrepresentasi dari masing-masing tipologi itu,tidaklah bisa dilihat secara kaku, hitam diatas putih, karena adakalanya seorang tokohmemiliki kecenderungan pada lebih darisatu tipologi. Namun, secara umumkonstelasi pemikiran Arab kontemporer,bisa dijelaskan dalam bentuk tipologi ini.

2 8 Lihat A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi danWacana Pemikiran Arab Kontemporer,” dalamjurnal Paramadina, Vo. I, No. 1, Juli-Desember 1998,h. 60-62.

2 9 Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana, h. 63-65.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 7

Pemikiran Muhammad SyahrurSeputar Asbâb Al-NuzûlBiografi dan Kecenderungan PemikiranMuhammad Syahrur

Muhammad Syahrûr adalah satu darisekian tokoh intelektual Arab kontemporer,berkebangsaan Syria, yang sedikit banyakturut mewarnai dinamika pemikiran Arabkontemporer. Namun, cukup sulit untukmeletakkan posisi Syahrûr pada salah satudari ketiga tipologi kecenderunganpemikiran Arab kontemporer yang telahdikemukakan di atas. Kesulitan ini, karenapemikiran Syahrûr memiliki nuansakekhasan tersendiri.

Secara selintasan, Syahrûr nampaknyabisa dikategorikan pada posisi tipologi yangpertama, yaitu kelompok yang cenderungmenolak turâts. Hal ini bisa dilihat daripernyataan Syahrûr, bahwa denganpengecualian al-Tanzîl (al-Qur’ân), makasemua teks dan literatur agama adalah tidaklain daripada sebuah warisan, yang mewakilipemahaman manusia mengenai wahyuTuhan di dalam kondisi waktu dan tempatdari lahirnya pemahaman manusia tersebut.Kondisi waktu dan tempat ini jugabergantung kepada posisi dan cara daripengetahuan ilmiah. Dan warisan tradisionalmenurut Syahrûr tidak bisa dipercayauntuk bisa memberikan sebuah pemaha-man yang tepat mengenai pesan ketuhanan,setidak-tidaknya untuk sekarang ini. Olehkarenanya, umat Islam saat ini tidak perlumeminjam kacamata yang lain untukmelihat realitas sendiri atau untuk meme-cahkan permasalahan mereka sekarang.Tapi ini tidak berarti bahwa kaum Musliminharus merasa ‘malu’ karena sejarah danidentitas mereka sendiri.Apa yang menjadiwarisan para pendahulu adalah akar, sejarahdan identitas umat Islam.30

Meski demikian, apresiasi dia untukmelihat al-Tanzîl dalam perspektif

pengetahuan ilmiah modern, menyiratkanbahwa Syahrûr pun cocok pada tipologireformistik.31 Sedangkan semangat diauntuk kembali pada al-Tanzîl sebagaisumber inspirasi terkuat dalam aktivitaskeagamaan dan bermasyarakat, nampaknyabisa menempatkan dia pada kelompokideal-totalistik.32

Syahrûr sendiri memetakan kecende-rungan pandangan para pemikir Arabkontemporer dalam melihat turâts pada duakelompok utama, yaitu skripturalis-literalisdan sekularisme-modernisme. Pertama,kelompok skripturalis-literalis, yangmenurut Syahrûr, sangat ketat dan kakuberpegang pada warisan masa lalunya.Khazanah yang telah mereka warisi dari parapendahulunya dianggap memiliki tingkatkebenaran yang ‘absolut’. Oleh karenanya,menghadirkan masa lalu untuk menyelesai-kan problem saat ini, merupakan sesuatu

3 1 Syahrûr memandang bahwa pada dasarnya al-Qur’ân (al-Tanzîl) dan alam semesta ini memilikiposisi yang sejajar.Menurutnya, jika Tuhanmenciptakan alam semesta, maka kita harusmelihatnya pula dalam kitab suci. Artinya, kitabsuci ini adalah “kitab tertulis” yang diciptakan olehTuhan, dan alam semesta adalah “kitab terbuka”yang diciptakan oleh Tuhan juga. Jadi pesannyapun pasti sama. Lebih lanjut, apabila kedua kitabitu dari Tuhan, maka Tuhan bisa dilihat padakeduanya.Lebih lanjut, menurut Syahrûr, manusiatidak bisa mengabaikan elektronik dalamkehidupan, meskipun tidak didapati konsepelektron dalam Qur’an, dan ini harus dijadikansebagai bahan pertimbangan. Lihat MuhammadSyahrûr, “Kita Tidak Memerlukan Hadis”,wawancara dengan majalah Ummat, No. 4 Thn.IV, 3 Agustus 1998/9 Rabiul Akhir 1419 H.

3 2 Pemikiran ideal totalistik ini bisa dilihat daripandangan yang dikemukakan Syahrûr dalammelihat al-Tanzîl yang menurutnya, ditujukanuntuk seluruh umat manusia, dan bukan hanyauntuk bangsa Arab, dan memiliki kemampuanuntuk cocok dengan kebudayaan manusia yangmanapun, pada tingkatan apapun. Al-Tanzîl bagiSyahrûr adalah teks ketuhanan yang telahdiberikan kepada Muhammad, dan semua Mus-lim menurutnya berkewajiban untuk memahamiwarisan ini dan melaksanakan perintahnya,seolah-olah Muhammad baru meninggalkemarin.Lihat Muhammad Syahrûr, “The DivineText and Pluralism in Muslim Societies”, dalamwww.19.org.

3 0 Lihat Muhammad Syahrûr, “Teks Ketuhanan danPluralisme pada Masyarakat Muslim”penerjemah Mohamad Zaki Hussein, dalamwww.media.isnet.org.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 20148

yang niscaya dan hal yang sangat didam-bakan. Kedua, kelompok yang menyerukansekularisme dan modernitas, dan secaraapriori menolak warisan Islam.Pemimpinkelompok ini adalah kaum Marxis, Komu-nis, dan beberapa kelompok pengagumNasionalisme Arab.Dalam kenyataannya,kelompok ini gagal memenuhi janjinyauntuk menyediakan modernitas bagimasyarakatnya, mengingat ungkapSyahrûr, persoalan Arab saat ini bukanlahsekularisme atau modernitas, melainkandemokrasi.Dengan demokrasi diandaikantercipta ruang publik (public sphere) yangbebas bagi munculnya bursa gagasan dandengan demikian menghargai pluralitas.33

Syahrûr, dalam upayanya menengahidua kecenderungan di atas, menawarkansatu model lagi, sebagai kelompok ketiga,yaitu apa yang disebut sebagai upaya untukkembali kepada al-Tanzîl, yaitu teks aslidari wahyu Tuhan yang disampaikankepada Nabi. Kembali kepada al-Tanzîlmenurut Syahrûr adalah upaya membacakitab suci dengan perangkat epistemologiyang diturunkan dari teks suci.34

Berkenaan dengan kecenderunganpemikiran Arab kontemporer sekitar tradisi

dan modernitas, Syahrûr juga mempunyaipandangan tersendiri tentang dua halini.Kaitannya dengan turâts, Syahrûr lebihmemaknainya sebagai produk kesung-guhan manusia terdahulu dalam realitassejarahnya yang ditinggalkan untukmanusia kemudian (khalaf). Sedangkan al-mu’âshirah merupakan interaksi manusiadengan produk pemikiran kontemporeryang juga dihasilkan manusia.35 Dalam halini, umat Islam harus mampu mengadopsiperkembangan-perkembangan pengeta-huan kontemporer, sehingga mereka tidaklagi terjebak dalam pengulangan-pengula-ngan kembali pengetahuan masa lalu.36

Syahrûr mengatakan bahwa interpre-tasi generasi awal Islam tidak mengikatgenerasi sekarang, karena memanginterpretasi itu adalah produk manusia yangterikat ruang dan waktu. Adanya sakralisasidalam tradisi pemikiran masa lalu sangatlahtidak relevan, dan ini merupakan satukesalahan dalam memahami hakikat turâts,di samping adanya keengganan untukberinteraksi dengan pemikiran kontem-porer.

Berkenaan dengan turâts, menarikuntuk dikemukakan, apakah fenomena al-Kitâb termasuk turâts atau bukan?Syahrûrmelihat ini sebagai persoalan yang cukupdilematis. Seandainya dianggap sebagaiturâts, maka berarti al-Kitâb merupakankarya Muhammad dan hanya bersifatpartikular yang terikat dengan konteks Arabpada masa abad ketujuh serta beberapaabad sesudahnya. Dengan demikian, bisadipastikan tidak relevan lagi dengan situasidan kondisi manusia modern pada abad ke-20. Padahal sebagaimana dinyatakan dandiyakini oleh kaum Muslimin, bahwa al-Kitâb adalah wahyu dari Allah yang bersifat

3 3 Muhammad Syahrûr, “The Divine Text and Plu-ralism.

3 4 Secara garis besar bisa dikatakan dalam mengkajiayat-ayat al-Qur ’ân, Syahrûr menggunakanpendekatan filsafat bahasa, dalam arti bahwa diameneliti secara mendalam kata-kata kunci yangterdapat dalam ayat-ayat al-Qur ’ân yangberkaitan dengan setiap topik bahasan, baikmelalui pendekatan sintagmatis maupun paradig-matik. Pendekatan sintagmatis memandangmakna setiap kata pasti dipengaruhi oleh kata-kata sebelum dan sesudahnya yang terdapatdalam satu rangkaian ujaran.Dengan pendekatanini, suatu konsep terma keagamaan tertentu bisadideteksi dengan memahami kata-katadisekeliling terma tersebut.Adapun pendekatanparadigmatik memandang bahwa suatu konsepterma tertentu tidak bisa dipahami secarakomprehensif, kecuali apabila konsep tersebutdihubungkan dengan terma-terma lain, baik yangantonim maupun yang berdekatan maknanya.Lihat Sahiran Syamsuddin, “Book Review-1,”dalam Al Jami’ah, No. 62/XII/1998, h. 220-221.

3 5 Lihat Muhammad Syahrûr, 1990, al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âshirah, (Damaskus: al-AhâlyLithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’), h. 32.

3 6 Lihat Muhammad In’am Esha, “KonstruksiHistoris Metodologis Pemikiran MuhammadShahrur”, dalam jurnal Al-Huda, Vol. 2, No. 4, 2001,h. 128.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 9

universal dan akan senantiasa tetap relavanpada setiap perputaran waktu danperubahan tempat (shâlihun li kulli zamâninwa makânin).37

Al-Kitâb dengan demikian, menurutSyahrûr bukan termasuk pada kategoriturâts, dalam arti bahwa ia bukanlah hasilcipta rasa atau kejeniusan seorang manusiamelainkan diwahyukan dari Allah. Olehkarenanya, ada beberapa karakteristik yangsenantiasa melekat padanya, yaitu: (1).Terdapat dimensi kemutlakan di dalamnya,yakni dalam konteks isi, karena iaditurunkan oleh Zat yang Maha Mutlak; (2).Allah tidak punya kepentingan untukmengetahui atau memberi petunjuk diri-Nya, sehingga al-Kitâb lebih pada sebagaipetunjuk bagi manusia yang mengandungrelativisme pemahaman manusia; dan (3).Al-Kitâb harus disampaikan melalui bahasamanusia, sebab pemikiran manusia terikatdengan bahasa, walaupun pada faseberikutnya ternyata mengandung karakterkemutlakan ilahi dalam konteks isi dansekaligus relativitas manusia dalampemahaman isinya.38

Muhammad Syahrûr adalah seoranginsinyur yang dilahirkan di Damaskus, Syriapada tanggal 11 April 1938.39 Dia mengawali

karir intelektualnya pada pendidikan dasardan menengah di tanah kelahirannya,tepatnya di lembaga pendidikan Abdurrah-man al-Kawâkibi, Damaskus. Pendidikanmenengahnya dirampungkan pada tahun1957, dan segera setelah menuntaskan pen-didikan menengahnya, Syahrûr melanjut-kan studinya ke Moskow, Uni Soviet(sekarang Rusia) untuk mempelajari tekniksipil (handasah madaniyah) atas beasiswapemerintah setempat.40 Di negara inilah,Syahrûr mulai berkenalan dan kemudianmengagumi pemikiran Marxisme, sungguhpun ia tidak mendakwa sebagai penganutaliran tersebut. Namun demikian, sebagai-mana dikemukakannya pada Peter Clark,ia mengakui banyak berhutang budi padasosok Hegel dan Alfred North Whitehead.41

Gelar diploma dalam bidang teknik sipiltersebut, ia raih pada tahun 1964.

Setelah meraih gelar diploma, padatahun 1964, Syahrûr kembali ke Syria untukmengabdikan dirinya sebagai dosen padaFakultas Teknik di Universitas Damaskus.Pada tahun itu pula, Syahrûr kembalimelanjutkan studi ke Irlandia, tepatnya diUniversity College, Dublin dalam bidangyang sama. Pada tahun 1967, Syahrûrberhak untuk melakukan penelitian padaimperial College, London. Pada bulan Junitahun itu, terjadilah perang antara Inggrisdan Syria yang mengakibatkan renggangnyahubungan diplomatik antara dua negara

3 7 Lihat Syahrûr, 1990, op.cit., h. 35.3 8 Berdasarkan teori ini, Syahrûr memahami bahwa

al-Kitâb memiliki dimensi kemutlakan transendendan sekaligus dimensi kenisbian profan. Dimensikemutlakan transenden menjadikan al- Kitâbbersifat shâlihun li kulli zamânin wa makânin dan tidakberubah. Ia bersifat universal dan senantiasadipelihara oleh Allah sebagaimana disebut padaQ.S. 15: 9 dan 21: 107. Sedangkan dialektikapemaknaan dan penafsiran manusia setiap kurundan tempat tertentu terhadap al-Kitab merupakandimensi nisbi profannya. Lihat kembali Syahrûr,1990, al-Kitâb wa al-Qur’ân,ibid., h. 36; lihat jugaMuhammad In’am Esha, op.cit., hal. 129

3 9 Beberapa pengkaji Syahrûr ada yang secarakeliru dalam menuliskan bulan kelahiran Syahrûrpada Maret dan bukannya April. Ini misalnya bisadilihat pada Mashadin, “Rekonsepsi Muhkam danMutasyabbih: Telaah Kritis Pemikiran MuhammadSyahrûr,” Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAINSunan Kalijaga Yogyakarta, 2001, h. 36; Siti Rohah,“Pemikiran Muhammad Syahrûr tentang Ayat-

ayat Jender dalam al-Qur’ân,” Skripsi, FakultasUshuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001,h. 18; M. Aunul Abied Syah dan Hakim Taufik,“Tafsir Ayat-ayat Gender dalam al-Qur ’ân:Tinjauan Terhadap Pemikiran MuhammadSyahrûr dalam Bacaan Kontemporer,” dalam M.Aunul Abied Shah et al (ed.), 2001, Islam GardaDepan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah,(Bandung: Mizan), h. 237; Ahmad Fawaid Sjadzili,“M. Shahrur: Figur Fenomenal dari Syria,” dalamwww.islib.com.

4 0 Lihat Syahrûr, 1990, Al-Kitâb wa Al-Qur’ân, op.cit.,h. 823.

4 1 Peter Clark, “The Shahrur Phenomenon: a Lib-eral Islamic Voice from Syria”, dalam Islam andChristian-Muslim Relations, Vol. 7, No. 3, 1996, h.337.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 201410

tersebut, namun hal tersebut tidak meng-hambatnya untuk segera menyelesaikanstudinya. Terbukti ia segera berangkatkembali ke Dublin untuk menyelesaikanprogram master dan doktoralnya di bidangmekanika pertanahan (soil mechanics) danteknik bangunan (foundation engineering).Gelar doktornya diperoleh pada tahun 1972.Selanjutnya Syahrûr secara resmi menjadistaf pengajar di Universitas Damaskushingga sekarang.42

Di samping posisinya sebagai dosen,sebenarnya Syahrûr juga menjadi konsultanteknik. Pada tahun 1982-1983, ia dikirimpihak universitas untuk menjadi staf ahlipada al-Saud Consult, Saudi Arabia. Selainitu, bersama beberapa rekannya di Fakultas,Syahrûr membuka biro konsultan teknik(an engineering consultancy dâr al-istisyâratal-handasiyah) di Damaskus.

Meski disiplin utama keilmuannyapada bidang teknik, namun itu tidakmenghalanginya untuk mendalami disiplinyang lain semisal filsafat. Ini terjadi,terutama setelah pertemuannya denganJa’far Dek al-Bâb, rekan sealmamater diSyria dan teman seprofesi di UniversitasDamaskus. Kontaknya itu, telah memberiarti yang cukup berarti dalam pemikiran-nya, yang kemudian tertuang dalam karyamonumentalnya, yaitu al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qira’âh Mu’âshirah.

Sebagaimana diakuinya, buku tersebutdisusun selama kurang lebih dua puluhtahun, tepatnya mulai tahun 1970-1990.Dalam pengantar buku tersebut, Syahrûrmenjelaskan proses penyusunan bukutersebut, sekaligus sejauh mana pengaruhrekannya Ja’far Dek al-Bâb dalam peru-musan metodologi yang ia tawarkan dalambuku tersebut. Menurutnya ada tigatahapan yang dilaluinya dalam penyusunankaryanya tersebut, yakni:

Tahap pertama: 1970-1980. Masa inidiawali ketika ia berada di UniversitasDublin. Masa ini merupakan masa pengka-jian (murâja’ât) serta peletakan dasar awalmetodologi pemahaman al-Dzikr, al-Kitâb,al-Risâlah dan al-Nubuwwah dan sejumlahkata kunci lainnya.43

Tahap kedua: 1980-1986. Masa inimerupakan masa yang penting dalampembentukan “kesadaran linguistik”nyadalam pembacaan kitab suci. Pada masa iniia berjumpa dengan teman se almama-ternya, Ja’far Dek al-Bâb, yang menekuniilmu linguistik di Universitas Moskow.Melalui Dek al-Bâb itulah, Syahrûr banyakdiperkenalkan dengan pemikiran linguisArab semisal al-Farra’, Abû Alî al-Fârisi, IbnJinnî, serta al-Jurjâni. Melalui tokoh-tokohtersebut, Syahrûr memperoleh tesis tentangtidak adanya sinonimitas (‘adamu al-tarâduf) dalam bahasa.Sejak tahun 1984,Syahrûr mulai menulis pikiran-pikiranpenting yang diambil dari ayat-ayat yangtertuang dalam kitab suci. Melalui diskusibersama Dek al-Bâb, Syahrûr berhasilmengumpulkan hasil pikirannya yangmasih terpisah-pisah.44

Tahap ketiga: 1986-1990. Syahrûr mulaimengumpulkan hasil pemikirannya yangmasih berserakan. Hingga tahun 1987,Syahrûr telah berhasil merampungkanbagian pertama yang berisi gagasan-gagasandasarnya. Segera setelah itu, bersama Dekal-Bâb, Syahrûr menyusun “hukumdialektika umum” (qawânîn al-jadal al-‘âm)yang dibahas di bagian kedua bukutersebut.45

Pada tahun 1990, cetakan pertamabuku ini diterbitkan. Buku tersebut, untukpertama kali diterbitkan oleh al-Ahali Pub-lishing House, Damaskus dan mengalamisukses luar biasa dan dinilai sebagai salahsatu buku terlaris (bestseller) di Timur

4 3 Lihat Syahrûr, 1990, al-Kitâb wa al-Qur’ân,op.cit., h.46.

4 4 Ibid., h. 47.4 5 Ibid., h. 48.

4 2 Lihat Syahrûr, 1990, al-Kitâb wa al-Qur’ân,op.cit., hal.823; lihat juga Charles Kurzman (ed.), 1989, LiberalIslam: A Sourcebook, (New York-Oxford: OxfordUniversity Press), h. 139.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 11

Tengah. Terbukti, buku tersebut mengala-mi cetak ulang dari kurang lebih 20.000eksemplar buku yang telah terjual hanyauntuk kawasan Syria saja.Bahkan, versibajakan dan foto copy banyak beredar dibanyak negara semisal Lebanon, Yordania,Mesir, Jazirah Arab.46

Pada tahun 1994, al-Ahali PublishingHouse kembali menerbitkan karya keduaSyahrûr, yaitu “Dirâsât al-Islâmiyât al-Mu’âshirah fi al-Dawlah wa al-Mujtama’.”Buku ini secara spesifik menguraikan tema-tema sosial politik yang terkait denganpersoalan warga negara (civil) maupunnegara (state). Secara konsisten, Syahrûrmenguraikan tema-tema tersebut dengansenantiasa terikat pada tawaran rumusanteoritis sebagaimana termaktub dalam bukupertamanya.47

Pada tahun 1996, Syahrûr mengeluar-kan karyanya dengan tajuk “al-Islâm wa al-Imân: Manzhûmah al-Qiyâm,” denganpenerbit yang sama. Buku ini mencobamendekonstruksi konsep klasik mengenaipengertian dan pilar-pilar (arkân) Islam danIman. Tentunya, kajian-kajiannya diarahkanpada penelaahan terhadap ayat-ayat yangtermaktub dalam kitab suci dengansenantiasa ‘setia’ pada rumusan teoritis yangia bangun.48

Selain itu pada tahun 2000, denganpenerbit yang tetap sama, Syahrûrmelahirkan lagi karyanya yang berjudul“Nahwa Ushûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmy:Fiqh al-Mar’ah.” Sesuai dengan judul bukuini, secara spesifik Syahrûr mengangkattema-tema yang berhubungan denganperempuan, yaitu wasiat dan harta warisan,

poligami, mas kawin, dan busanaperempuan.49

Selain karyanya yang berbentuk buku,Syahrûr juga banyak menulis artikel yanglebih pendek di beberapa majalah danjurnal, seperti “Islam and the 1995 BeijingWorld Conference on Women,” dalam Ku-waiti Newspaper, yang kemudian diterbitkandalam buku Liberal Islam: a Sourcebook(1998); kemudian “The Devine Text and Plu-ralism in Muslim Societies,” dalam MuslimPolitic Report”, “Mitsâq al-‘Amal al-Islamy”(1999) yang juga diterbitkan oleh al-AhaliPublishing House. Dalam edisi BahasaInggris, buku tersebut diterjemah oleh DaleF. Eickelman dan Ismail S. Abu Shehadehdengan judul “Proposal For an Islamic Cov-enant” (2000). Selain itu, ia juga seringmempresentasikan pokok-pokok pikiran-nya tentang al-Qur’ân kaitannya denganmasalah-masalah sosial dan politik, sepertihak-hak wanita, pluralisme dalam banyakkonferensi internasional.50

Metodologi Pemikiran SyahrûrLatar pendidikan dalam bidang sains

yang dimiliki Syahrûr ternyata memilikipengaruh kuat, yang membuatnyasenantiasa mengedepankan sifat-sifatempiris, rasional, dan ilmiah. Secarasederhana bisa dijelaskan bahwa metodeyang digunakan Syahrûr adalah analisiskebahasaan (linguistic analysis) yangmencakup kata dalam sebuah teks danstruktur bahasa, yang disebutnya metodehistoris ilmiah studi bahasa (al-manhaj al-târikhy al-ilmy fi al-dirâsah al-lughawiyyah).Bahwa makna kata dicari dengan mengana-lisis kaitan atau relasi suatu kata dengan katalain yang berdekatan atau berlawanan. Kata

4 6 Peter Clark, op.cit.,hal. 337; lihat juga Dale F.Eickelman, “Islamic Liberalism Strikes Back,”dalam Middle East Studies Association Bulletin 27, 1Desemeber 1993, h. 163.

4 7 Lebih lanjut, lihat Muhammad Syahrûr, 1994,Dirâsât al-Islâmiyât al-Mu’âshirah fi al-Dawlah wa al-Mujtama’, (Damaskus: Al-Ahâly Lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî).

4 8 Lebih lanjut, lihat Muhammad Syahrûr, 1996, al-Islâm wa al-Imân: Manzhûmah al-Qiyâm, (Damaskus:Al-Ahâly Lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî).

4 9 Lebih lanjut, lihat Muhammad Syahrûr,2000,Nahwa Ushûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmy: Fiqhal-Mar’ah, (Damaskus: Al-Ahâly Lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî).

5 0 Lihat Sahirun Syamsuddin, “Konsep Wahyu Al-Qur’ân Dalam Perspektif M. Syahrûr,” dalamjurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’ân dan Hadis Vol. 1, No.1 Juli 2000, hal. 48.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 201412

tidak mempunyai sinonim (murâdif). Setiapkata memiliki kekhususan makna, bahkanbisa memiliki lebih dari satu makna. Penen-tuan makna yang tepat sangat bergantungpada konteks logis kata tersebut dalam suatukalimat (shiyâgh al-kalâm). Dengan katalain, makna kata senantiasa dipengaruhioleh hubungan secara linear dengan kata-kata yang ada di sekelilingnya.51

Dengan bahasa yang sedikit berbeda,bisa dikatakan bahwa Syahrûr dalammengkaji ayat-ayat al-Qur’ân menggunakanpendekatan filsafat bahasa,52 dalam artibahwa dia meneliti secara mendalam kata-kata kunci yang terdapat pada setiap topikbahasan, baik melalui pendekatanparadigmatik dan sintagmatis.53 Pendekatanparadigmatik memandang bahwa suatukonsep terma tertentu tidak bisa dipahamisecara komprehensif, kecuali apabila konseptersebut dihubungkan dengan konsepterma-terma lain, baik yang antonim(berlawanan) maupun yang berdekatanmaknanya.54 Sedangkan pendekatan sintag-

matis, yaitu memandang makna setiap katapasti dipengaruhi oleh kata-kata sebelumdan sesudahnya yang terdapat dalam saturangkaian ujaran.Dengan pendekatan ini,suatu konsep terma keagamaan tertentubisa dideteksi dengan memahami kata-katadisekeliling terma tersebut.55

Pemikiran Syahrûr tentang Asbâb anNuzûl

Syahrûr ketika berbicara seputar statusAsbâb An-Nuzûl banyak mengkaitkannyadengan persoalan nâsikh wa al-mansûkh.Menurutnya kedua ilmu ini dalam bidangkajian ilmu-ilmu Alquran saling bertaliandan status keberadaan keduanya pada situasiyang serupa, yakni pada situasi yangmendesak, karena ahli-ahli hadis tidaksepakat bahwa Rasulullah memberikanisyarat tentang kedua ilmu tersebut ataumemerintahkan untuk menyusun keduanyabaik secara eksplisit maupun implisit. BagiSyahrûr keberadaan kedua ilmu ini dalamilmu-ilmu Alquran penting untuk dikritisikarena meniscayakan konsekuensi tertentuyang ‘berbahaya’ terhadap status sakralitasAlquran itu sendiri.

Sebagai bahan untuk menganalisis sta-tus ilmu Asbâb Al Nuzûl, Syahrûr menyebutdua orang pemikir utama generasi awalyang berbicara secara khusus tentang ilmuini, yakni Imam Jalaluddin As-Suyûthî danImam Abu Hasan Ali Ibnu Ahmad al Wahidian-Naisaburi. Bagi Syahûr, meski adabanyak ulama salaf menulis dan menyusunkitab tentang asbâb an Nuzûl, tetapi hanyamerupakan bagian kecil dari kitab-kitabmereka, tidak seperti yang dilakukan olehdua pemikir yang telah disebutkan di atas.

5 1 Ibid., h. 196.5 2 Pendekatan kebahasaan yang dilakukannya ini

tercermin jelas pada seluruh bagianpembahasannya.Di antara pokok pemikiran yangberkenaan dengan pendekatannya, yaituusahanya untuk meluruskan persepsi umumtentang keistimewaan bahasa Arab denganmendasarkan pada metode bahasa Abû Alî al-Fârisi yang ditampilkan oleh ibn Jinnî dan Abd al-Qâhir al-Jurjâni.Berdasarkan kajiannya terhadapmetode bahasa (al-manhaj al-lughawi) dari ketigatokoh ini, Syahrûr menemukan adanya kekeliruanpersepsi umum yang menyatakan bahwakeistimewaan bahasa Arab terletak padakekayaan padanan kata (sinonim, tarâduf).Yangbenar, menurut Syahrûr, justeru sebaliknya, yaknisatu kata dalam bahasa ini memiliki kekayaanmakna. Lihat Amin Abdullah, “ParadigmaAlternatif,” dalam Ainurrofiq (ed), 2002, op.cit., h.131.

5 3 Lihat Sahiron Syamsuddin, “MetodeIntratekstualitas Muhammad Shahrur dalamPenafsiran al-Qur’an”, dalam Abdul Mustaqimdan Sahiron Syamsuddin (ed), 2002, Studi Al-Qur’anKontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana), h. 138.

5 4 Lihat Grant R. Orsbone, 1991, The HermeneuticalSpiral, (Illinois: Intervarsity Press), h. 84-87.Bandingkan dengan penjelasan pada Kamus BesarBahasa Indonesia, bahwa paradigmatis, yaitu

hubungan unsur-unsur bahasa di tingkat tertentudengan unsur-unsur lain di luar tingkat itu yangdapat dipertukarkan. Lihat Tim Penyusun KamusPusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka), h. 729.

5 5 Lihat juga Syamsudin, “Book Review Al Kitâb waal-Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âshirah”, dalam jurnal AlJami’ah, No. 62/XII/1998, h. 220-221.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 13

Mengutip pernyataan As-Suyûthî bahwakitab yang paling terkenal dalam bidangAsbâb Al-Nuzûl saat adalah kitab Al-Wahidi,sementara kitab yang ditulis oleh as-Suyûthîmemiliki kelebihan-kelebihan sebagai beri-kut: 1) ringkas, dan 2) mencakup banyak(riwayat Asbâb An Nuzûl). Kitab kata as-Suyûthi mencakup banyak tambahan atasapa yang telah disebutkan oleh Al-Wahidi.

Secara ringkas, Syahûr menyimpulkantentang argumentasi yang dibangun darikedua tokoh yang ditelaahnya tentang sta-tus keberadaan asbâb an Nuzûl sebagaimanapaparan dalam kitab yang mereka susunmelalui tiga bentuk pernyataan: 1) tidakmungkin memahami ayat-ayat Alqurankecuali dengan mengetahui sebab-sebabturunnya (al-Wahidi); 2) mengetahui AsbâbAn Nuzûl dapat membantu memahamiayat-ayat alqur’an (Ibnu Taimiyah); 3) Sabâban-Nuzûl bukanlah sebab dalam halturunnya ayat, tetapi ia hanyalah bentukpengambilan hukum berdasarkan ayat yangdimaksud (Az-Zarkasyi).

Syahrûr dengan mengutip pendapataz-Zarkasyi dalam kitabnya Al Burhân fiUlûmil Qur’an bahwa Imam Ali pernahmenyebut riwayat-riwayat Asbâb An Nuzûldengan nama Munâsabât an Nuzûl (hal-halyang terkait dengan penurunan wahyu ayat-ayat alqur’an) bukan dengan istilah AsbâbAn Nuzûl. Menurut Syahrûr perbedaanantara dua penamaan tersebut sangat jelasbagi orang-orang yang ahli dalam bidangAlquran. Bagi Syahrˆur, pendapat yangmengatakan adanya sebab-sebab turunnyaayat-ayat Alquran mengindikasikan secarajelas bahwa satu ayat tidaklah turun kecualidengan adanya sebab turunnya ayat yangdimaksud. Pandangan ini dikritiknyasebagai sikap yang tidak sopan terhadapAllah SWT dan terhadap maksud-maksudditurunkannya risalah-risalah yangmerupakan sebab-sebab Ilahi yang pertamadan terakhir bagi turunnya wahyu.

Syahrûr dengan mengacu padapernyataan Az-Zarkasyi, menyebutkanbahwa semua hadis tentang Asbâb An Nuzûlpada dasarnya kembali pada atau

bersumber dari salah satu sahabat atautabi’in. Menurutnya, tidak ditemukan daribacaan terhadap Asbâb An Nuzûl, satupernyataan langsung bahwa nabi telah me-ngatakan atau menetukan sebab diturun-kannya satu ayat. Meskipun demikiancerita-cerita yang bersumber dari sahabatdan tabi’in mendapatkan tempat di dalamkitab-kitab hadis dan tafsir yang ada ditangan kita saat ini.

Sumber Asbâb An Nuzûl yang berasaldari sahabat dan tabi’in sebenarnya bukantidak ada panduan dari Nabi. Mengutipperkataan Al Wahidi bahwa tidaklahdiperkenankan berbicara tentang sebab-sebab turunnya ayat kecuali berdasarkandengan riwayat dari orang-orang yangmenyaksikan turunnya sebuah ayat,mengerti tentang sebab-sebab turunnya,memahami ilmunya dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Ancaman apineraka bagi orang yang tidak mengerti ilmuini (tetapi ia berbicara tentangnya) terdapatdalam contoh tuntunan syara’. Dari Saidibnu Zubair dari Ibnu Abbas dia berkata:Rasulullah saw bersabda: “Berhatilah-hatilahdalam menyampaikan hadis kecuali apayang telah kamu ketahui. Sesungguhnyabarang siapa berdusta atas nama sayadengan sengaja, maka hendaknya ia bersiap-siap untuk bertempat tinggal di neraka.Barang siapa berdusta atas nama Alqur’an(berbicara tentang Alqur ’an tapa adapengetahuan tentangnya) maka bersiap-siaplah ia bertempat tinggal di neraka.

Ilmu Asbâb An Nuzûl sebagaimanadisebutkan di atas adalah saudara kembarilmu an nâsikh dan mansûkh, sehinggamasing-masing memiliki sebab dan latarbelakang kemunculan yang tidak jauhberbeda. Secara khusus terkait denganAsbâb An Nuzûl, Syahrûr menyebut bahwalatarbelakang ilmu ini antara lain:

Pertama, penanaman sifat adil dankemaksuman para sahabat. Ada anggapanbahwa apa yang para sahabat riwayatkantentang Asbâb An Nuzûl adalah sakral dansama sekali tidak boleh diragukan. Merekatelah menyusun judul tertentu tentang apa-

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 201414

apa yang diriwayatkannya itu dalam kitab-kitab hadis nabi yang disebut dengan AlMusnad yang berisi riwayat-riwayat lemah.Sebagai misal as-Suyûthî menyebutkanbahwa sebab diturunkan ayat: “Dihalalkanbagi kamu di malam bulan puasabercampur dengan isteri-isteri kamu” (QS.Al Baqarah: 187). Menurutnya sebabditurunkannya ayat itu adalah pada kasusUmar ibn Khtathab, yang pada suatu malamberbuka puasa, lalu tertidur dan ketikaterbangun dia melihat isterinya tidak me-ngenakan sarung sehingga Umar dikuasainafsu syahwat dan menyetubuhinya, dansesudah selesai ia merasa menyesal lalu iamandi, lalu shalat hingga waktu subuh.Kemudian pagi-pagi ia menceritakan padaRasulullah peristiwa tersebut. Rasulullahmerasa sedih dan berkata “Kau tidak pantasmelakukan itu wahai Umar”, lalu turunlahmalaikat Jibril membawakan ayat tersebutsebagai penghormatan terhadap Umar dankeringanan terhadap umat. Pernyataanyang dikemukakan oleh As Suyuthi yangmengkaitkan konteks ayat tersebut denganUmar dan bahwa Allah menggunakanlafadz jama’ sebagai penghormatan danpenghargaan kepadanya adalah bagian daripenanaman keutamaan Umar di atas parasahabat yang lain pada masa ketika perlom-baan saling mengutamakan kelompokmasing-masing berada pada puncaknya.

Kedua, mengunggulkan aliran dankelompok dan anggapan bahwa salah satusahabat lebih utama daripada yang lain.Dalam kitab-kitab tentang Asbâb An Nuzûltergambar pertentangan hebat antarberbagai aliran dan kelompok yang hinggasekarang tetap ada. Ada riwayat yangmendukung ahlu Sunnah sementara adajuga riwayat yang mendukung kaum Syiah.Demikian juga ada riwayat yang membe-rikan dalil penguat kepada kaum Zahiri danpada saat yang lain memberikan dalilkepada kaum Bathini. Terdapat juga riwayatyang membuktikan kebenaran klaimkebenaran kaum Mu’tazilah dan Khawarijsementara pada kesempatan yang lainterdapat riwayat yang membuktikan

kebenaran klaim kaum Jahmiyah, Murji’ahdan Asy’ariyah.

Menurut Syahrûr keberadaan AsbâbAn Nuzûl telah mencabut kemutlakan danuniversalitas ayat, hukum dan firman tuhandan menjadikannya terikat secara khususdengan sebab tertentu dan hanya terbataspada lingkup satu peristiwa historis. Masa-lah inilah yang memberikan kesempatankepada kaum muslimin untuk mensakral-kan sejarah dengan menyatakan bahwa teksAlquran dan periodisasi penyusunannyaadalah historis. Konsekuensinya merekamenolak konsep teks wahyu bagi seluruhruang dan waktu. Syahrur mendukungsikap bahwa ilmu Asbâb An Nuzûl dan ilmunâsikh wal mansûkh bukan bagian dari ilmu-ilmu Alqur’an tetapi ia hanyalah ilmu yangbersifat historis yang masuk dalam ilmu-ilmu Alqur’an.

Bagi Syahrûr, keberadaan Asbâb AnNuzûl (jika benar) hanya membantu untukmenjelaskan historisitas pemahaman danprosses interaksi manusia dengan ayat-ayatat tanzil pada wakatu ia diturunkan. Adapunia pada saat ini sama sekali tidak berke-pentingan dengan Asbâb An Nuzûl tersebutkarena substansi Alqur ’an memilikieksistensi pada dirinya, korpus tertutup dancukup dengan dirinya sendiri, sementarapemahaman terhadap teks Alquran bersifathistoris. Teks Alqur’an secara substansialadalah sakral, hidup dan selalu dalamkondisi berada, artinya bahwa teks Alqurantidak tunduk pada ketetapan (hukum)sejarah yang berada pada poros kondisiberproses, dan tidak tunduk pada ketetapankeberakhiran yang berada pada poroskondisi menjadi sebagaimana dianggap olehsebagian orang.

Pemikiran Nashr Hamid Abu ZaydTentang Asbab Al-Nuzul

Menurut Abû Zayd, ilmu asbâb al-nuzûl adalah penting, karena iamenceminkan hubungan dan “dialektika”antara teks (nash) dengan realitas, atau “dia-log” antara keduanya. Ia membandingkanantara teks sastra dengan teks suci. Dalam

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 15

perspektif sastra, teks berinteraksi denganrealitas yang bisa dipahami dari konsepseperti penyerupaan (tasybîh), sedangkandalam asbâb al-nuzûl, teks merespon realitasyang ada atau terjadi pada masyarakat Arabketika turunnya al-Qur`an, baik menguat-kan atau menolaknya.56

Pandangannya tentang dialektika teksdengan realitas tampak sangat terkaitdengan pandangannya tentang al-Qur‘ansebagai produk manusiawi, baik dalamterm “produk budaya”, “teks linguistik”,”teks historis”, dan “teks manusiawi”.57Ituartinya realitas memiliki peranan dalampembentukan teks. Dalam konteks ini,Asbâb Al-Nuzûl adalah salah satu buktiadanya muatan budaya tersebut dalamproses turunnya al-Qur‘an. Dialektika itulebih lanjut terwujud dalam graduasi(kebertahapan) turunnya wahyu. Al-Qur‘anditurunkan dalam kurun waktu lebih daridua puluh tahun. Dalam kurun waktu itu,setiap ayat, atau sekelompok ayat,diturunkan karena latar belakang spesifiktertentu. Menurutnya, hanya sedikit sekaliayat al-Qur‘an yang diturunkan murnitanpa sebab eksternal (ibtidâ‘), atau biasadikenal dengan ayat-ayat ibtidâ‘î.58

Pandangan ini berbeda dengan pandanganpara ulama umumnya yang menganggapbahwa hanya sedikit ayat-ayat yang turunkarena latar belakang historis (sababî), dansebagian besar ayat-ayat al-Qur‘an adalahibtidâ‘î.59

Menurut Abû Zayd, ilmu asbâb al-nuzûl sangat terkait dengan dua bahasanpenting. Pertama, dialektika antara tekswahyu dengan realitas sejarah masyarakatArab tidak berarti bahwa al-Qur‘an hanyamerespon kasus spesifik dan keberlakuanisi al-Qur‘an menjadi sempit, melainkanmelebar dan menembus batas-batas realitastersebut. Problematika ini memunculkandiskusi yang panjang di kalangan ulamatentang “yang umum” (‘âmm) dan “yangkhusus” (khâshsh), atau, dengan ungkapanlain, persoalan ini memuat isu universalitasdan partikularitas kandungan ayat, terutamaketika ayat yang turun karena sebab spesifikdituangkan dalam ungkapan umum.Kedua, meskipun dari segi “turunnya”(nuzûl), ayat al-Qur‘an secara historisberkaitan dengan sebab dan realitas yangmelatarbelakanginya, dari segi “pembacaan-nya” (tilâwah), yaitu urutan sesuai denganmushhaf, melampaui batas-batas historis itu,karena ayat-ayat al-Qur‘an memilikikoherensi dalam kandungannya.60 Olehkarena itu, Asbâb Al-Nuzûl, sebagaimanaditegaskannya, terkait dengan korelasiantarayat (munâsabah bayna al-âyât).Sebenarnya, tidak semua pakar ‘ulûm al-

5 6 Nashr Hâmid Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsahfî ‘Ulûm al-Qur`ân (Maroko, al-Dâr al-Baydhâ`, al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 2005), h. 97.

5 7 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‘an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd (Jakarta:Teraju, 2003), h. 71. Pandangannya tentanghistorisitas al-Qur‘an ini kemudian dikoreksinyadalam beberapa tulisan berbahasa Inggris.Iamengatakan, “historisitas al-Qur‘an sebagai tekstidak, dan seharusnya tidak, berarti bahwa iaadalah sebuah teks manusiawi”. Ichwan, Meretas,h. 73.

5 8 Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 97.5 9 Menurut penelitian Bassâm al-Jamal, ayat-ayat

sababî tidak lebih dari 14 % dari total keseluruhanayat al-Qur‘an. Jalâl al-Dîn al-Suyûthî dalam Lubâbal-Nuqûl, misalnya, mencantumkan hanya 13,74

% (857 ayat) dari total seluruh ayat al-Qur‘an (6236ayat). Meskipun begitu, para pakar kontemporersebagian berpendapat bahwa anggapan ulamaklasik tersebut tidak berdasar. Dalam kajiankontemporer, muncul pendapat bahwa semuaayat al-Qur‘an memiliki asbâb al-nuzûl. Di antarapakar kontemporer yang berpendapat demikianadalah Hasan Hanafî, Wahbah al-Zuhailî, dan al-Shâdiq Bal’îd. Lihat Bassâm al-Jamal, Asbâb al-Nuzûl (Maroko, al-Dâr al-Baydhâ‘: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 2005), h. 121-122. MuhammadSa’îd al-‘Asymâwî juga termasuk ulama yangberpendapat demikian. Lihat karyanya, Ushûl al-Syarî’ah (Cairo: Maktabah Madbûlî dan Beirut: DârIqra‘, 1983), h. 70, Memang, para ulama klasikbelum menggali riwayat-riwayat asbâb al-nuzûlsecara maksimal dari sejumlah kitab-kitab hadits.Lihat, misalnya, Khâlid bin Sulaymân al-Muzaynî,al-Muharrar fî Asbâb Nuzûl al-Qur‘ân (Min Khilâl al-Kutub al-Tis’ah): Dirâsat al-Asbâb Riwâyatan waDirâyatan (Makkah: Dâr Ibn al-Jauzî, 1427 H), 2volume.

6 0 Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 97.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 201416

Qur‘ân dan tafsir melihat hubungan antarakeduanya, karena mereka beranggapanbahwa asbâb al-nuzûl murni merupakanpersoalan riwayat, padahal peran analisismunâsabah mengandaikan penalaranterhadap korelasi antarayat dan kisahhistoris apa yang terkait di dalamnya. Iniartinya bahwa bagi Abû Zayd, Asbâb Al-Nuzûl tidak murni seluruhnya riwayat,melainkan bidang telaah rasional yangmengambil andil peran tertentu didalamnya. Pendapat ini sejalan denganpendapat beberapa pengkaji al-Qur‘anbahwa Asbâb Al-Nuzûl di samping harusdicermati secara kritis dengan mengujinyadengan konteks al-Qur‘an dan kontekskesejarahan, juga harus diinteraksikandengan penafsiran yang “adil” terhadapkonteks kesejarahan yang terkandungdalam susunan keserasian ayat.61

Bagi Abû Zayd, asbâb al-nuzûl adalahkonteks sosial yang ada pada teks (al-siyâqal-ijtimâ’î li al-nushûsh) yang bisa didekatitidak sekadar melalui riwayat di luar teks(konteks eksternal), melainkan juga melaluiketerangan yang bisa dianalisis dari dalamteks (konteks internal ayat).

Dalam ilmu semantik (‘ilm al-dilâlah),“konteks sosial” (al-siyâq al-ijtimâ’î, atau al-siyâq al-tsaqâfî) adalah konteks yang terkaitdengan makna sosial (social meaning) yangterkandung dalam sebuah ungkapan kataatau kalimat, dan terkait dengan kultur ataumasyarakat tertentu (makna kultural),seperti kata “akar” akan berbeda dipahamioleh ahli matematika dan ahli bahasa.62

Sedangkan, menurut Abû Zayd, kontekssosial adalah konteks kultural atau konteksbudaya yang menyertai turunnya teks wah-

yu, dan tentu memang juga menentukanmakna teks. Namun dalam pandangan AbûZayd, hal ini tidak semata terkait denganmakna, melainkan terkait juga denganformasi teks (marhalah al-takwîn). Dalamproses ini, budaya dan bahasa menjadisubjek, sedangkan teks menjadi objek. Ituartinya, budaya dan bahasa membentukteks.Dalam konteks seperti inilah, Asbâb Al-Nuzûl memegang peran sebagai pemberimuatan konteks sosial bagi teks. mengemu-kakan dua aspek dalam hubungan antarateks, budaya, dan realitas. Pada tahapselanjutnya, teks tidak lagi menjadi objek,melainkan menjadi subjek membentukbudaya dan bahasa (marhalah al-takawwun). Pada tahap awal, Abû Zaydmenyebut al-Qur`an sebagai “produkbudaya” (muntaj tsaqâfî), karena dibentukoleh budaya selama dua puluh tahun lebih,sedangkan pada tahap kedua, ia menyebutal-Qur`an sebagai “produser budaya”(muntij al-tsaqâfah).63 Interaksi subjek-objekantara teks dan budaya bisa dijelaskansebagai berikut:64

Budaya Teks Budaya

Dalam hermeneutika, Abû Zayd jugamenyebut istilah lain yang semakna, yaitu“konteks pewahyuan” (siyâq al-tanzîl).Konteks jenis ini adalah salah satu dari limajenis level konteks (mustawâ al-siyâq) yang,menurutnya, harus dipertimbangkan dalammemahami teks.65 Konteks pewahyuan

6 1 Lihat ‘Imrân Samîh Nazâl, al-Wahdah al-Târîkhiyyahli al-Suwar al-Qur`âniyyah (Aman: Dâr al-Qurrâ` danDamakus: Dâr Qutaybah, 2006), h. 75-96; MusthafâMuslim, Mabâhits fî al-Tafsîr al-Mawdhû’î(Damaskus: Dâr al-Qalam, 1997), h. 41; TaufikAdnan Amal, Tafsir Kontekstual al-Qur`an: SebuahKerangka Konseptual (Bandung: Mizan, 1994), h. 59.

6 2 Farîd ‘Iwadh Haydar, ‘Ilm al-Dilâlah: DirâsahNazhariyyah wa Tathbîqiyyah (Cairo: Maktabah al-Âdâb, 2005), h. 162.

6 3 Nur Ichwan, Meretas, h. 74.6 4 Nur Ichwan, Meretas, h. 74.6 5 Lima level konteks dimaksud adalah: (1) konteks

sosio-kultural yang terdiri dari aturan sosial dankultural, dengan semua konvensi, adat kebiasaan,dan tradisinya yang dituangkan dalam bahasateks, (2) konteks eksternal (konteks percakapan,siyâq al-takhâthub) yang dituangkan dalam strukturbahasa (bun-yah lughawiyyah) teks, (3) konteks in-ternal yang berkaitan dengan “ketidakintegralan”stuktur teks (karena perbedaan antara urutanmushhaf dengan urutan turun ayat) dankeragaman level wacana, (4) konteks linguistikyang berkaitan dengan elemen-elemenkebahasaan dalam suatu teks, melainkan juga“yang tak terkatakan” (al-maskût ‘anhu) dengan

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 17

adalah konteks percakapan (siyâq al-takhâthub) yang bisa diamati dalam bentukstruktur bahasa (bun-yah lughawiyyah).Konteks percakapan berkaitan hubunganantara pembicara atau pengirim pesan danpartner bicara atau penerima pesan padasatu sisi dan otoritas tafsir dan interpretasipada sisi lain. Konteks pewahyuan didasar-kan atas kenyataan bahwa al-Qur`anditurunkan secara berangsur-angsur selamadua puluh tahun lebih.66 Konteks pewah-yuan sebagai konteks yang dimunculkandalam hubungan pengirim dan penerimapesan tampaknya lebih luas dari sekadarAsbâb Al-Nuzûl yang berisi peristiwa yangterjadi atau pertanyaan yang diajukan.

Pandangan Abû Zayd bahwa Asbâb Al-Nuzûl tidak sekadar riwayat (sumbereksternal), melainkan juga analisis terhadapkonteks internal ayat, berbeda denganpandangan tradisional para ulama yangselama ini mengklaim (meski dalampraktiknya tidak berjalan sesuai denganklaim semula) bahwa Asbâb Al-Nuzûlidentik dengan riwayat. Al-Wâhidî (w. 468H), misalnya, menyatakan berikut:

Tidak halal (haram) mengatakan berkaitandengan sebab-sebab turunnya ayat al-

Qur‘an, kecuali dengan riwayat dari orang-orang menyaksikan langsung peristiwapewahyuan dan mengetahui sebab-sebabtersebut, meneliti ilmunya, dan sungguh-sungguh dalam mencari.

Sebagaimana tampak dari kutipan diatas, pendekatan yang diusulkan oleh AbûZayd dalam memahami Asbâb Al-Nuzûlmencakup dua hal.Pertama, sumber ekster-nal ayat, yaitu riwayat yang shahîh.Sebagaisumber eksternal, riwayat memang me-muat informasi tentang latar belakang turunayat.Hanya saja, Abû Zayd memandangriwayat Asbâb Al-Nuzûl tetap sebagaimasalah ijtihâdî, karena persoalan pentingyang dihadapi riwayat adalah persoalankeshahihan. Di antara riwayat-riwayattersebut, terkadang ada yang salingkontradiktif, sehingga perlu ditarjîh denganberbagai media, antara lain, kelogisan isiriwayat.Persoalan riwayat tersebut menjadimasalah utama, karena dalam faktanya,tegasnya, riwayat-riwayat tersebutberkembang tidak pada masa Sahabat NabiMuhammad, melainkan pada masa Tâbi’ûn.Pada masa Sahabat, kebutuhan akan riwayattersebut tidak mendesak, karena merekaadalah saksi langsung kejadian ataupertanyaan yang melatarbelakangi turunsuatu ayat. Kebutuhan tersebut dirasakanoleh generasi sesudahnya, yaitu generasiTâbi’ûn. Faktor lain adalah bahwa karenaseiring dengan berjalannya waktu ingatanSahabat berkaitan dengan Asbâb Al-Nuzûltidak selalu akurat, atau dalam membatasikejadian atau pertanyaan apa yang sesung-guhnya menjadi latar belakang turun ayat.Oleh karena itu, wajar kemudian IbnTaymiyah mengingatkan untuk membeda-kan secara jeli antara keterangan Sahabattentang Asbâb Al-Nuzûl dan keteranganmereka yang sebenarnya adalah penjelasanatau penafsiran terhadap kandunganayat.Karena ketidakjelasan ungkapanpenjelasan Sahabat, bisa terjadi dua orangSahabat meriwayatkan dua riwayat yangkontradiktif tentang latar belakang turun

melampaui kata-kata dan masuk ke dalamstruktur kultural teks, dan (5) konteks pembacaanyang merupakan upaya dekonstruksi kode (fakkal-syifrah), baik secara internal denganmengasumsikan bahwa ada “pembaca potensialimajinatif” (al-qâri` al-dhimnî al-mutakhayyal), yaituTuhan sebagai pengirim pesan, maupun secaraeksternal (penafsir). Lihat Nur Ichwan, Meretas, h.90-93.

6 6 Nur Ichwan, Meretas, h. 91. Menurut Abû Zayd,mengikuti teori komunikasi Roman Jakobson,proses pewahyuan melibatkan pembicara ataupengirim pesan (Tuhan), penerima pesan (NabiMuhammad), sebuah kode komunikasi (bahasa),dan sebuah canel/ perantara (Jibrîl). Nur Ichwan,Meretas, h. 69-70.

6 7 Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), h. 6.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 201418

suatu ayat.68"Pengetahuan tentang AsbâbAl-Nuzûl diperoleh oleh para Sahabatmelalui indikasi-indikasi yang dikelilingioleh problema-problema” (ma’rifah sababal-nuzûl amr yahshulu li al-shahâbah biqarâ‘in tahtaffu bi al-qadhâyâ), demikiandikemukakan oleh Abû Zayd sebagaimanadikutip dari pernyataan para ulamaterdahulu.69 Seorang Sahabat mungkin sajamengaitkan turunnya suatu ayat dengankejadian tertentu yang dipahaminya sebagailatar belakang turunnya ayat tersebut. Olehkarena itu, Abû Zayd tidak meyakinipengakuan Ibn Mas’ûd yang menyatakandirinya mengetahui dalam konteks siapadan di mana turunnya semua ayat al-Qur‘an,karena harus dibedakan antara “sebab”(sabab) dan “indikasi” (qarînah).70

Selama ini, dalam literatur ‘ulûm al-Qur`ân, riwayat-riwayat Asbâb Al-Nuzûldari kalangan Tâbi’ûn, seperti Mujâhid,‘Ikrimah, dan Sa’îd bin Jubair, yangmenerima riwayat dari para Sahabat bisaditerima, setingkat hadîts marfû’ jikaterbukti jalur riwayat tersebut bersambung.Patokan dalam menyeleksi riwayat tersebutadalah tingkat kredibilitas para rawi. Nah,menurut Abû Zayd, karena seleksi riwayattersebut terjadi pada masa Tâbi’ûn, yaitumasa di mana perselisihan politik danpemikiran, “ideologi” aliran politik dankeagamaan tertentu bisa menyusup dalammengunggulkan riwayat yang berasal dariseorang Tâbi’î tertentu dan menghambat

riwayat Tâbi’î yang lain.71 Kritiknyaterhadap mekanisme seleksi riwayat karenamuatan-muatan ideologi di dalamnyamenunjukkan bahwa Abû Zayd sangatselektif dalam menerima riwayat-riwayatAsbâb Al-Nuzûl, tapi tidak mencapai sepertiskeptisisme tokoh Islam, semisal FazlurRahman,72 yang memandang hanya sedikithadîts yang bisa dianggap shahîh, karenakritik kesejarahannya yang kuat. Abû Zaydmasih menerima riwayat sebagai sumbereksternal Asbâb Al-Nuzûl. Kehati-hatiannyadalam menerima riwayat tidak hanyadisebabkan oleh pandangannya tentanghistorisitas teks-teks keagamaan, baik al-Qur`an dan apalagi hadîts Nabi, melainkanlebih jauh juga disebabkan oleh kritikwacana yang diterapkannya. Wacana agama(al-khithâb al-dînî), baik al-Qur`an maupunteks keagamaan umumnya, tidak hanyadipahami karakter historisitasnya sepertiyang disebut dalam wacana, melainkandalam kajian modern terhadap teksdipahami dari yang tersembunyi (al-maskût‘anhu), bisa melalui ungkapan teks secara

6 8 Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 110.6 9 Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 111. Ungkapan

yang dikutip Abû Zayd di atas yang dikatakannyasebagai pernyataan ulama terdahulu bisa kitatemukan dalam Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Itqân fî‘Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz I, h.32. Pernyataan ini disebut di sini sebagaipernyataan ulama selain al-Wâhidî, karena dia-lah selama ini yang dikenal dengan ungkapannyabahwa asbâb al-nuzûl identik denganriwayat.Padahal persoalan riwayat menjadi rumit,sebagaimana dilihat oleh ulama lain, karenaperbedaan tafsiran Sahabat Nabi terhadap suatukejadian dan ungkapan mereka tidak selalu jelas.

7 0 Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 111.

7 1 Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 111.7 2 Rahman menunjukkan bahwa hadîts banyak yang

diragukan keshahihannya karena ideologi yangmenyusup, seperti hadîts yang dimunculkan olehsekte tertentu dalam kurun waktu belakangansesudah fase Nabi untuk mengecam sekte lain,yang disebutnya sebagai fenomena hadîts-pro-hadîts (hadîts yang digunakan untuk mendukunghadîts) dan hadîts-anti-hadîts (hadîts yangdigunakan menyerang hadîts lain). Lihat Rahman,Islamic Methodology in History (New Delhi: AdamPublishers & Distributors, 1994), h. 36. Dengankritik kesejarahannya yang kuat seperti itu,banyak hadîts yang dianggap sebagai tidakshahîh.Ini menyebabkan pembuktian melaluianalisis sanad dianggap tidak memadai lagi.Dikalangan sebagian orientalis, bahkan, sanaddianggap bisa dipalsukan, sehingga merekakemudian mencurahkan kritik terhadap isi (matn)dari perspektif kesejarahan, sosial, maupunpolitik. Lihat Fatma Kizil, “The Views ofOrientalists on the Hadith Literature: ACronological Analysis (1848-1950)”, dalamw w w . a c a d e m i a . e d u / 1 2 2 2 3 4 1 /the_views_of_orientalists_on_the_hadith_literature(23 Agustus 2013).

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 19

tersembunyi, atau melalui kontekseksternal, seperti ideologi.73

Kedua, sumber internal yang bisadianalisis dari makna ayat.Konteks internalayat bisa dipahami, baik melalui strukturkhususnya, maupun keterkaitan satubagian ayat dengan bagian-bagian lain dariteks umum. “Struktur khusus” teks yangia maksudkan adalah struktur bahasa teksyang dieskpresikan dalam menjelaskankondisi sosio-kultural, karena bisa jadikondisi tersebut tercermin dalam ungkapanbahasa yang digunakan dalam teks. Analisisinternal terhadap suatu bagian ayatmelibatkan analisis terhadap beberapabagian ayat secara umum.Oleh karena itu,menurut Abû Zayd, Asbâb Al-Nuzûl tidakbisa dipisahkan dari analisis korelasi(munâsabah) ayat dan surah. Alasannyaadalah bahwa meski ayat-ayat al-Qur`an darisegi “turun” (nuzûl) terkait secara parsialdengan berbagai konteks historis yangmasing-masing berbeda, dari segi“pembacaan” (tilâwah), yaitu urutan dalammushhaf, saling terkait sebagai suatukesatuan dan melampaui sekat-sekathistoris itu.74 Ketika berbicara tentang levelkonteks (mustawâ al-siyâq), sebagaimanadisinggung, hal ini disebut sebagai“ketidakintegralan” struktur teks dankeragaman level wacana. “Ketidakin-tegralan” tersebut maksudnya adalah karenamemang urutan ayat al-Qur`an dalammushhaf (tartîb al-tilâwah) memangberbeda dengan urutan turunnya (tartîb al-tanzîl).75 Namun, ketika ayat-ayat yangturun disusun dalam bentuk finalnya dalammushhaf, keterkaitan antarayat tersebutmemiliki dimensi kemukjizatan (i’jâz),karena susunan tersebut atas dasar petunjuk(tawqîfî), sehingga suatu ayat memilikikorelasi dengan ayat lain.76 Menurut Abû

Zayd, sebagaimana makna suatu ayat bisadipahami dari konteks eksternal, sepertikonteks sosio-kultural, begitu jugasebaliknya, konteks eksternal ayat bisadipahami dari konteks internal ayat.

PenutupSebagai bagian akhir dari tulisan ini

dapat disimpulkan sebagai berikut:Pertama, terkait dengan pandangan Syahûrdan Abu Zayd mengenai Asbâb An-Nuzûl.Menurut Syahûr Asbâb An-Nuzûl yangdipandang sebagai variabel penyebabturunnya sebuah wahyu dapat dianggapmelakukan intervensi terhadap nilaikeilahian dari al-Kitâb. Asbâb An-Nuzûllebih diposisikan sebagai alat bantu untukmelihat bagaimana interpretasi sebuah tekspada masa lampau, dan tidak berlaku untukmasa kini. Adapun latarbelakang Asbâb AnNuzûl menurut Syahrûr dikarenakan: (1)penanaman sifat adil dan kemaksuman parasahabat; (2) mengunggulkan aliran dankelompok dan anggapan bahwa salah satusahabat lebih utama daripada yang lain.Pemikiran Syahrûr tidak berada pada posisikelompok islamisis, tetapi bukan jugakelompok sekularis, ia menyatakanposisinya dengan istilah return to the text,

7 3 Abû Zayd, Naqd al-Khithâb al-Dînî (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 2007), h. 234-235.

7 4 Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 97-98.7 5 Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 159.7 6 Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 160. Para ulama

sepakat bahwa susunan ayat al-Qur‘an adalahberdasarkan petunjuk (tawqîfî) dari Nabi

Muhammad.Sedangkan, tentang susunan surah,terdapat tiga pendekatan yang berkembang dikalangan para ulama. Pertama, pendapatmayoritas ulama bahwa susunan surahberdasarkan ijtihad para sahabat beliau,dibuktikan antara lain dengan variasi mushhaf dikalangan sahabat. Kedua, pendapat bahwasusunan surah adalah tawqîfî, karena merekasepakat terhadap mushhaf ‘Utsmân.Ketiga,pendapat bahwa sebagian surah disusunberdasarkan petunjuk Nabi Muhammad,sedangkan sebagiannya disusun berdasarkanijtihad sahabat beliau. Lihat lebih lanjut ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur‘ân(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz I, h. 346-358. Badr al-Dîn al-Zarkasyî berpendapat bahwa susunansurah adalah tawqîfî, antara lain, terlihat darikorelasi akhir suatu surah dengan awal surahsesudahnya. Lihat Badr al-Dîn al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur‘ân, tahqîq Mushthafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ‘ (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001 M/ 1421 H),juz I, h. 329.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 201420

tetapi dengan pembacaan kontemporer.Sementara bagi Abû Zayd, ilmu Asbâb Al-Nuzûl sangat terkait dengan dua bahasanpenting; (1) dialektika antara teks wahyudengan realitas sejarah masyarakat Arabtidak berarti bahwa al-Qur‘an hanyamerespon kasus spesifik dan keberlakuanisi al-Qur‘an menjadi sempit, melainkanmelebar dan menembus batas-batas realitastersebut. Persoalan ini memuat isuuniversalitas dan partikularitas kandunganayat, terutama ketika ayat yang turunkarena sebab spesifik dituangkan dalamungkapan umum( 2) meskipun dari segi“turunnya” (nuzûl), ayat al-Qur‘an secarahistoris berkaitan dengan sebab dan realitasyang melatarbelakanginya, dari segi“pembacaannya” (tilâwah), yaitu urutansesuai dengan mushhaf, melampaui batas-batas historis itu, karena ayat-ayat al-Qur‘anmemiliki koherensi dalam kandungannya.Oleh karena itu, Asbâb Al-Nuzûl ,sebagaimana ditegaskannya, terkait dengankorelasi antarayat (munâsabah bayna al-âyât). Bagi Abû Zayd, Asbâb Al-Nuzûl tidakmurni seluruhnya riwayat, melainkanbidang telaah rasional yang mengambilandil peran tertentu di dalamnya.

Kedua, terkait dengan kesinambungandan perubahan pada pemikiran Syahrûr danAbû Zayd dapat disebutkan bahwa padaSyahrûr, Pandangan Syahrûr terkait denganwahyu dan al-Kitâb merupakan kesinam-bungan terhadap pendapat dari para ulamaterdahulu, hanya dia banyak melakukanpembacaan yang berbeda terhadap teks.Namun secara umum pandangannyatentang Asbâb An-Nuzûl banyak dalamkonteks perubahan, dalam artian dia lebihmenempatkannya sebagai model pemba-caan pada masa lampau terhadap al-kitâb,dan pada masa kini pembacaan menggu-nakan pendekatan yang berbeda, dantawaran Syahrûr yaitu dengan pendekatanlinguistik yang berbasis kepada realitasmanusia. Untuk Abû Zayd, kesinambunganpemikirannya dapat dilihat dari pemikiranMu’tazilah terutama melalui konsepMu’tazilah tentang keterciptaan al-Qur‘an

(khalq al-Qur‘ân) yang menjadi basispandangannya tentang historisitas al-Qur‘an. Dengan mengemas konsep tersebutdengan teori sastra, ia menjadi wakil neo-Mu’tazilah dalam konteks modernisasitekstualitas al-Qur‘an. Pemikiran Abû Zaydbahwa Asbâb Al-Nuzûl adalah “pemanu-siaan” al-Qur‘an memiliki akar daripandangan Mu’tazilah, meski pandanganMu’tazilah tersebut telah mengalamipenyesuaian. Adapun perubahan yang dialakukan, yaitu: (1) hakikat asbâb al-nuzûladalah hasil dialektika teks dengan realitas;(2) Asbâb Al-Nuzûl adalah konteks sosialteks; (3) sumber asbâb al-nuzûl bisadiperoleh tidak hanya dari riwayat (sumbereksternal, khârij al-nashsh), melainkankonteks historis dalam teks (sumber inter-nal, dâkhil al-nashsh); (4) metode sirkularitas(mudâwalah, diwâl). Menurut Abû Zayd,sumber internal dan eksternal dipertim-bangkan secara sirkular (bolak-balik),seperti gerak kumparan magnet pada alatelektronik seperti kipas angin, secara cepat.Sirkularitas itu tampaknya dimaksudkanoleh Abû Zayd agar kedua sumberdipertimbangkan secara akurat dan “adil”dalam pengertian seimbang, tidak satu arah(linear dari sumber internal ke eksternal,atau sebaliknya).

Referensi‘Asymâwî, Muhammad Sa’îd al-.1983.

Ushûl al-Syarî’ah. Cairo: MaktabahMadbûlî dan Beirut: Dâr Iqra`.

Abrahamov, Binyamin. 1998. Islamic Theol-ogy: Traditionalism and Rationalism.Edinburgh: Edinburgh UniversityPress.

Abû ‘Âshî, Muhammad Sâlim. 2002 M/1423 H. Asbâb al-Nuzûl: TahdîdMafâhîm wa Radd Syubuhât. Cairo:Dâr al-Bashâ`ir.

Abû Zayd, Nashr Hâmid.1998. “InquisitionTrial in Egypt”, dalam Recht van de Is-lam .

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 21

_____. 1996. Al-Ittijâh al-‘Aqlî fî al-Tafsîr:Dirâsah fî Qadhiyyah al-Majâz fî al-Qur`ân ‘ind al-Mu’tazilah. Al-Dâr al-Baidhâ`/ Suriah dan Beirut: al-Markazal-Tsaqâfî al-‘Arabî.

_____. 2000. Al-Khithâb wa al-Ta‘wîl. Al-Dâr al-Baydhâ‘: al-Markaz al-Tsaqâfîal-‘Arabî.

_____. 1995. Al-Tafkîr fî Zamân al-Takfîr:Dhidd al-Jahl wa al-Zayf wa al-Khurâfah. Cairo: Maktabat Madbûlî.

_____. 1996. Isykâliyyât al-Qirâ‘ah waÂliyyât al-Ta‘wîl. Al-Dâr al-Baydhâ‘:al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî.

_____. 2005. Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî‘Ulûm al-Qur`ân.Maroko, al-Dâr al-Baydhâ`, al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî.

_____. 2007. Naqd al-Khithâb al-Dînî. Beirut:al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî.

Ainurrofiq (ed.). 2002. Mazhab JogjaMenggagas Paradigma Ushul FiqhKontemporer. Yogyakarta: Ar Ruzz.

Amal, Taufik Adnan. 1994. Tafsir Kontekstualal-Qur‘an: Sebuah KerangkaKonseptual. Bandung: Mizan.

Asad, Muhammad. 1980. The Message of theQur‘ân.Gibraltar: Dâr al-Andalus.

Assyaukanie, A. Luthfi. 1998. “Tipologi danWacana Pemikiran ArabKontemporer.” dalam JurnalParamadina.Vol.I, No. 1.

Baltâjî, Muhammad. 2003. Manhaj ‘Umarbin al-Khaththâb fî al-Tasyrî’: DirâsahMustau’ibah li Fiqh ‘Umar waTanzhîmâtih, terj. Masturi Ilhamdengan judul Metodologi Ijtihad Umarbin al-Khaththâb. Jakarta: Khalifa.

Clark, Peter. 1996. “The Shahrur Phenom-enon: a Liberal Islamic Voice fromSyria.” dalam Islam and Christian-Muslim Relations. Vol. 7, No. 3.

Commins, David. 1986. “Religious Reform-ers and Arabists in Damascus 1885-

1914.” dalam International Journal ofMiddle East Studies.

Eickelman, Dale F. 1993. “Islamic Liberal-ism Strikes Back.” dalam Middle EastStudies Association Bulletin 27.

Esposito, John L. 1995. et al (eds.). The Ox-ford Encyclopedia of the Modern IslamicWorld, New York & Oxford: OxfordUniversity Press.

Hallaq, Wael B. 1997. A History of IslamicLegal Theories. Cambridge: Cam-bridge University Press.

Haydar, Farîd ‘Iwadh. 2005. ‘Ilm al-Dilâlah:Dirâsah Nazhariyyah waTathbîqiyyah. Cairo: Maktabah al-Âdâb.

Ibn ‘Âsyûr, Muhammad al-Thâhir. 1997. Al-Tahrîr wa al-Tanwîr. Tunis: DârSuhnûn.

Ibn al-‘Arabî, Abû Bakr. 2000. Al-‘Awâshimmin al-Qawâshim. Cairo: Maktabat al-Sunnah.

Ibn Katsîr. 1986. Tafsîr Ibn Katsîr. Beirut: Dâral-Fikr.

Iqbal, Sir Mohammad. 1994. The Reconstruc-tion of Religious Thought in Islam.edisiV. New Delhi: Kitab Bhavan.

Ismail, Achmad Syarqawi. 2003.Rekonstruksi Konsep WahyuMuhammad Syahrûr. Yogyakarta:elSAQ Press.

Jâbirî, Muhammad. 1986. ‘Âbid al-Nahnuwa al-Turâts: Qirâ`ah Mu’âshirah fîTurâtsinâ al-Falsafî. Beirut/ al-Dâr al-Baydhâ`: al-Markaz al-Tsaqâfi al-‘Arabî.

Jamal, Bassâm. 2005. al-.Asbâb Al-Nuzûl.Maroko, al-Dâr al-Baydhâ‘: al-Markazal-Tsaqâfî al-‘Arabî.

Kermani, Navid. 1996. “From Revelation toInterpretation: Nasr Hamid Abu Zaydand the Literary Study of the Qur`an”.Dalam Offenbarung alsKommunikation, Das Konzept wahy in

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 201422

Nasr Hamid Abu Zays ’Mafhum al-nass’. Frankfurt: Peter Lang.

Khalafallâh, Muhammad Ahmad. 1999. Al-Fann al-Qashashî fî al-Qur‘ân al-Karîm: Ma’a Syarh wa Ta’lîq Khalîl‘Abd al-Karîm. London, Beirut, Cairo:Sînâ li al-Nasyr dan al-Intisyâr al-‘Arabî.

Kurzman, Charles (ed.). 1989. Liberal Islam,A Sourcebook. New York-Oxford: Ox-ford University Press.

Muslim, Musthafâ. 1997. Mabâhits fî al-Tafsîr al-Mawdhû’î. Damaskus: Dâr al-Qalam.

Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsuddin(ed.) 2002. Studi al Qur’anKontemporer Wacana Baru BerbagaiMetodologi Tafsir. Yogyakarta: TiaraWacana.

Muzaynî, Khâlid bin Sulaymân. 1427 H. al-al-Muharrar fî Asbâb Nuzûl al-Qur‘ân(Min Khilâl al-Kutub al-Tis’ah): Dirâsatal-Asbâb Riwâyatan wa Dirâyatan.Makkah: Dâr Ibn al-Jauzî.

Nazâl, ‘Imrân Samîh. 2006. Al-Wahdah al-Târîkhiyyah li al-Suwar al-Qur`âniyyah. Aman: Dâr al-Qurrâ`dan Damakus: Dâr Qutaybah.

Nur Ichwan, Moch. 2003. MeretasKesarjanaan Kritis al-Qur‘an: TeoriHermeneutika Nasr Abu Zayd. Jakarta:Teraju.

Orsbone, Grant R. 1991. The HermeneuticalSpiral. Illinois: Intervarsity Press.

Qalyubi, Syihabuddin. 1997. Stilistika al-Qur’an. Jogjakarta: Titian Ilahi Press.

Qathân, Mannâ’ al-.Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân.ttp: tnp, tt.

Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity,Transformation of an Intellectual Tra-dition. Chicago: The University of Chi-cago.

_____.1994. Islamic Methodology in History.New Delhi: Adam Publishers & Dis-tributors.

Rahman, Yusuf. 2008. “The Qur`an in EgyptIII: Nasr Abû Zayd’s Literary Ap-proach”. Dalam Coming to Terms withthe Qur`ân, ed. Khaleel Mohammeddan Andrew Rippin. New Jersey: Is-lamic Publications International.

Rippin, Andrew. 1988. “The Function ofAsbâb al-Nuzûl in Quranic Exegesis”.Dalam Bulletin of the School of Orien-tal and African Studies (BSOAS), vol.51.

Saifuddin. 2011. Arus Tradisi Tadwin Hadisdan Historiografi Islam. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah.Jakarta: Lentera Hati, 2002.

_____. 2006. Wawasan al-Qur‘an. Bandung:Mizan.

Suyûthî, Jalâl al-Dîn. 1988. al-.Al-Tahbîr fî‘Ilm al-Tafsîr. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Sya’râwî, Muhammad Mutawallî al. Tafsîral-Sya’râwî. Khawâthir Fadhîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî Hawla al-Qur‘ân al-Karîm.Cairo: Akhbâr al-Yaum, t.th.

Syahrûr, Muhammad. 1990. Al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âshirah.Damaskus: al- Ahaly Lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî.

_____. 1998. “Kita Tidak MemerlukanHadis”, wawancara dengan majalahUmmat, No. 4 Thn. IV.

_____. 1996. Al-Islâm wa al-ImanManzhûmah al-Qiyâm. Damaskus: al-Ahaly Lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî.

_____. 1994. Dirâsât Islâmiyyah Mu’âshirahfi al-Dawlah wa al-Mujtamâ’.Damaskus: al-Ahaly Lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 23

_____. 2000. Nahwa Ushûl Jadîdah Li al-Fiqhal-Islâmy: Fiqh al-Mar’ah. Damaskus:al-Ahaly Lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî.

Syamsuddin, Sahirun. 2000. “KonsepWahyu Al Qur’an Dalam PerspektifM. Syahrûr.” dalam jurnal Studi Ilmu-ilmu al Qur’an dan Hadis Vol. 1, No. 1

Syawwâf, Mahâmî Munir MuhammadThâhir al. 1993. Tahâfut al Qirâ’ah alMu’âshirah. Cyprus: al-Syawwaf.

Wâhidî. 2006. alAsbâb al-Nuzûl. Beirut: Dâral-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Wardani. 2011. Ayat Pedang Versus AyatDamai: Menafsir Ulang Teori Naskhdalam al-Qur‘an. Jakarta:Kementerian Agama RI.

Zarkasyî, Badr al-Dîn. 2001. al-Al-Burhân fî‘Ulûm al-Qur`ân, tahqîq Mushthafâ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ`. Beirut: Dâr al-Fikr.

Zarqânî, ‘Abd al-‘Azhîm.al-Manâhil al-‘Irfânfî ‘Ulûm al-Qur`ân. Beirut: Dâr al-Fikr,t.th.

Zurayq, Qustantine. 1984. “al-Nahj al-‘AshriMuhtawah wa HuwiyyatuhIjâbiyyatuh wa Salbiyyatuh.” dalamal-Mustaqbal al-‘Arabi, No. 69.

Kesinambungan dan Perubahan

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 201424