Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit di Indonesia.pdf

download Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit di Indonesia.pdf

of 14

Transcript of Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit di Indonesia.pdf

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    89

    KESESUAIAN LAHAN UNTUK KELAPA SAWIT DI INDONESIA

    ANNY MULYANI1, FAHMUDDIN AGUS1 dan A. ABDURACHMAN2

    1Balai Penelitian Tanah 2Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor 16123

    ABSTRAK

    ANNY MULYANI, FAHMUDDIN AGUS dan A. ABDURACHMAN. 2003. Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit di Indonesia. Kelapa sawit sebagai salah satu komoditas penghasil devisa negara dari sektor pertanian, dalam 2 dekade terakhir ini menunjukkan perkembangan yang cukup pesat dibandingkan komoditas pertanian lainnya. Areal kelapa sawit meningkat dari 0,6 juta ha pada tahun 1986 menjadi 4,1 juta ha pada tahun 2002. Perkembangan luas tanam yang signifikan selama 2 dekade tersebut terutama terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan, meskipun Propinsi Sulsel, Sulteng, Sultra dan Papua juga cocok untuk pengembangan kelapa sawit. Luas total lahan yang sesuai dan tersedia untuk kelapa sawit menurut keadaan penggunaan lahan tahun 1989 di 9 propinsi (Riau, Sumut, Bengkulu, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulteng, Sulsel, dan Papua) adalah seluas 44,7 juta ha. Hanya saja, saat ini lahan-lahan yang sesuai tersebut sebagian besar telah digunakan untuk penggunaan komoditas pertanian lain dan untuk penggunaan non pertanian. Penentuan luas dan penyebaran lahan yang tersedia bagi pengembangan kelapa sawit di masa yang akan datang dapat dilakukan dengan menumpang tepatkan (overlay) antara peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan terbaru dan peta status lahan saat ini.Untuk jangka pendek, pengembangan kelapa sawit dapat diarahkan pada lahan-lahan terlantar yang saat ini berupa alang-alang/semak belukar yang cukup luas penyebarannya di Indonesia, yaitu sekitar 9,7 juta ha. Dari 7,5 juta ha lahan alang-alang yang terdapat di 13 propinsi (Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, Kaltim, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sultra, dan NTT), sebagian sudah diidentifikasi luas dan potensinya pada skala 1:50.000 pada tahun 1999/2000, seluas 1,08 juta ha sesuai dan tersedia untuk pengembangan pertanian termasuk kelapa sawit.

    Kata kunci: Kelapa sawit, peta kesesuaian lahan

    ABSTRACT

    ANNY MULYANI, FAHMUDDIN AGUS and A. ABDURACHMAN. 2003. Land Suitability for Oil Palm in Indonesia. Oil palm as one of the main agricultural commodity contributing to foreign exchange has developed rapidly in the last two decades relative to other agricultural commodities. Its area has increased from 0.6 million ha in 1986 to 4.1 million ha in 2002. The significant increase in the last two decades mainly occurred in Sumatra and Kalimantan, although part of South Sulawesi, Central Sulawesi, South-East Sulawesi, and Papua are also suitable for oil palm. The total area suitable and available for oil palm in 9 provinces (Riau, North Sumatera, Bengkulu, East Kalimantan, West Kalimantan, Central Kalimantan, South Sulawesi, South-east Sulawesi, and Papua ), based on land use map in 1989 is 44.7 million ha. Currently, part of the suitable lands have been used for other agricultural commodities as well as non agricultural uses. To obtain the area and distribution of available and suitable land, there is a need to overlay the most recent land use and land status maps with land suitability map. For the short run, development of oil palm area could be prioritized on about 9.7 million ha. From about 7.5 million ha grass land in 13 provinces (West Sumatera, Riau, Jambi, Bengkulu, South Sumatera, Lampung, West Java, East Kalimantan, South Kalimantan, West Kalimantan, Central Kalimantan, South-east Sulawesi, and NTT), a part of this area was identified at 1:50.000 scale in year 1999/2000, and about 1.08 million ha is suitable and available for oil palm as well as other agricultural commodities.

    Key words: Oil palm, land suitablity map

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    90

    PENDAHULUAN

    Peningkatan perolehan devisa dari sektor pertanian khususnya sub sektor perkebunan diharapkan dapat merupakan salah satu alternatif pemecahan permasalahan lesunya perekonomian nasional yang sedang melanda dewasa ini. Namun untuk memacu perolehan devisa dalam kondisi ini akan menghadapi keadaan yang lebih sulit. Globalisasi perdagangan yang merupakan implementasi dari kesepakatan perdagangan (GATT/WTO, AFTA, NAFTA) mengharuskan usaha pertanian mampu menghadapi persaingan yang semakin berat.

    Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis sebagai penghasil devisa negara utama dari sektor non migas. Beberapa komoditas perkebunan yang menunjukkan peningkatan ekspor yang cukup tajam adalah kakao dan mente, sedangkan komoditas yang dinilai masih memberikan sumbangan yang cukup tinggi bagi devisa di antaranya adalah karet, kopi, kakao, dan minyak sawit (SURYANA et al., 1998). Prospek kelapa sawit cukup menjanjikan seperti dilaporkan Oil Word (Lembaga penyedia jasa informasi dan perkiraan produksi minyak nabati), yang memproyeksikan produksi minyak sawit Indonesia akan menyalip Malaysia pada tahun 2010 (KOMPAS, 21 Mei 2003). Kelapa sawit sebagai salah satu komoditas perkebunan, perkembangannya cukup pesat dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya terutama terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Untuk seluruh Indonesia, pada tahun 1986 luas pertanaman kelapa sawit hanya sekitar 593.800 ha, sedangkan pada tahun 2002 menjadi 4.116.000 ha (DITJEN PERKEBUNAN, 2002).

    Pada tahun 1991/1992 Puslitbangtanak telah melakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk kelapa sawit di 9 propinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Papua, pada skala tinjau yaitu skala 1:250.000. Sedangkan pada tahun 2002, Puslitbangtanak telah menyusun Atlas Pewilayahan Komoditas Pertanian Indonesia pada skala eksplorasi (skala 1:1.000.000) yang memberikan gambaran umum tentang arahan pengembangan berbagai komoditas pertanian unggulan di masing-masing propinsi di Indonesia (PUSLITBANGTANAK, 2000).

    Makalah ini menyajikan informasi tentang kondisi tanah dan iklim, luas dan penyebaran lahan yang sesuai, peluang dan permasalahannya dalam pengembangan komoditas kelapa sawit di masa yang akan datang.

    KONDISI IKLIM DAN TANAH UNTUK KELAPA SAWIT

    Untuk dapat mencapai pertumbuhan yang optimum, kelapa sawit memerlukan persyaratan tumbuh tanaman, diantaranya adalah lahan berada pada dataran rendah dengan ketinggian tempat 1.500 mm/tahun)

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    91

    dengan masa hujan relatif panjang, sedangkan iklim kering mempunyai curah hujan relatif rendah ( 75 cm) dan berdrainase baik. Kelapa sawit dapat tumbuh pada lahan dengan tingkat kesuburan tanah yang bervariasi mulai dari lahan yang subur sampai lahan-lahan marginal. Hal ini dicirikan bahwa kelapa sawit dapat tumbuh pada lahan dengan pH masam sampai netral (>4,2-7,0) dan yang optimum pada pH 5,0-6,5. Kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, lereng dan bentuk wilayah berombak dan bergelombang tidak menjadi pembatas utama. Media perakaran yang optimal adalah lahan yang mempunyai tekstur halus (liat berpasir, liat, liat berdebu), agak halus (lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu), dan sedang (lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu), serta mempunyai kandungan bahan kasar tidak lebih dari 55% (DJAENUDIN et al., 2000).

    Kelapa sawit dapat tumbuh baik pada berbagai ordo tanah seperti Ultisols, Oxisols, Inceptisols, Alfisols, Mollisols bahkan pada tanah gambut (Histosols), asalkan persyaratan tumbuh lainnya seperti tersebut di atas terpenuhi. Kriteria kesesuaian lahan untuk kelapa sawit selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.

    Evaluasi dan kesesuaian lahan

    Puslitbangtanak pada tahun anggaran 1991/1992 telah melaksanakan kegiatan evaluasi kesesuaian lahan untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian baik tanaman pangan, hortikultura buah dan tanaman perkebunan. Untuk komoditas kelapa sawit telah dievaluasi di 9 propinsi yaitu Riau, Sumut, Bengkulu, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulteng, Sulsel, dan Papua (ABDURACHMAN et al., 1998). Penilaian dilakukan pada areal yang memungkinkan untuk dikembangkan baik secara monokultur maupun tumpang sari, ditinjau dari ketersediaan lahan, status lahan dan penggunaan lahan saat ini (present land use). Oleh karena itu, sebelum dilakukan penilaian maka lahan-lahan yang tidak memungkinkan dapat digunakan untuk pengembangan pertanian berdasarkan status lahan seperti hutan suaka alam/lindung dan kawasan khusus, dikeluarkan dan tidak dievaluasi, sedangkan lahan-lahan yang saat ini digunakan untuk penggunaan lain masih tetap dinilai/dievaluasi.

    Kelas kesesuaian lahan disusun dengan memperbandingkan (matching) antara karakteristik lahan/iklim pada masing-masing satuan peta dengan kriteria kesesuaian lahan (persyaratan tumbuh tanaman). Kelas kesesuaian lahan tersebut dibedakan menjadi tiga yaitu sesuai atau suitable (S), sesuai bersyarat atau conditionally suitable (CS), dan lahan yang tidak sesuai atau not suitable (N). Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk kelapa sawit dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu wilayah intensifikasi, ekstensifikasai dan diversifikasi.

    Wilayah intensifikasi (I), yaitu lahan yang sesuai dan saat ini telah digunakan untuk kelapa sawit, yang masalah utamanya adalah tingkat produktivitas rendah, sehingga untuk meningkatkan kemampuan produksinya perlu diberikan masukan (pemupukan dan pengelolaan lainnya).

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    92

    Tabel 1. Penyebaran lahan kering dataran rendah menurut rejim kelembaban tanah

    Lahan kering dataran rendah (ha) Propinsi Rejim kelembaban udik*) Rejim kelembaban ustik**)

    Aceh 2.121.900 - Sumut 4.126.300 - Sumbar 1.408.900 - Riau 4.196.400 - Jambi 2.588.200 - Sumsel 5.660.600 - Bengkulu 797.100 - Lampung 2.225.500 - DKI Jakarta 43.900 - Jabar 2.705.100 - Jateng 1.115.200 760.000 DI Yogyakarta 43.400 259.900 Jatim 568.700 2.348.800 Bali 125.800 105.200 NTB 133.200 604.400 NTT 130.400 2.164.400 Kalbar 8.001.800 - Kalteng 9.458.600 - Kalsel 1.873.300 - Kaltim 10.451.800 - Sulut 425.500 553.500 Sulteng 1.863.500 205.700 Sulsel 1.333.900 776.800 Sultra 1.107.200 679.800 Maluku 3.305.300 762.100 Irja 12.333.400 - Jumlah 78.144.900 9.220.600

    Sumber: HIDAYAT dan MULYANI (2002) *) Setara dengan kondisi iklim basah **) Setara dengan kondisi iklim kering

    Wilayah ekstensifikasi (E), yaitu lahan yang sesuai dan saat ini lahan tersebut belum dimanfaatkan (alang-alang, semak belukar, hutan konversi) sehingga dapat dicadangkan untuk pembukaan lahan baru.

    Wilayah Pengembangan Alternatif/Diversifikasi (D), yaitu lahan yang sesuai tetapi lahan tersebut telah digunakan untuk pengembangan komoditas lain. Hal ini dapat memberikan informasi bagi kemungkinan pengembangan komoditas tertentu sebagai alternatif, apabila kesesuaian lahan untuk tanaman alternatif tersebut jauh lebih baik.

    Dalam menentukan arahan pengembangan selain berdasarkan pada tingkat kesesuaian lahan, maka status penggunaan lahan saat ini juga dipertimbangkan. Apabila wilayah yang dievaluasi

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    93

    mempunyai penggunaan lahan sama dengan komoditas tanaman yang dinilai kesesuaiannya, misalnya evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit pada lahan yang berupa areal perkebunan kelapa sawit, maka arahan pengembangan ditujukan untuk 'intensifikasi'. Apabila lahan yang dievaluasi merupakan areal perkebunan salain kelapa sawit, misalnya wilayah areal pertanian lahan kering tanaman pangan (tegalan/ladang), maka arahan pengembangan ditujukan untuk 'diversifikasi' atau pengembangan alternatif. Apabila lahan yang dievaluasi masih berupa semak belukar, lahan tidur atau penggunaan lain yang belum dimanfaatkan secara baik atau areal hutan yang dapat dikonversi, maka arahan pengembangan ditujukan untuk 'ekstensifikasi' atau perluasan areal tanam baru. Lahan-lahan yang telah digunakan untuk kawasan pemukiman, perindustrian, hutan lindung, hutan yang tidak dapat dikonversi, cagar alam, pariwisata dan lain-lain tidak dievaluasi dan tidak diarahkan sebagai areal pengembangan suatu komoditas.

    Hasil penilaian kesesuaian lahan dan arahan pengembangan masing-masing komoditas disajikan dalam bentuk peta skala 1:250.000. Dalam legenda peta disajikan luasan areal pengembangan Intensifikasi, Ekstensifikasi, dan Diversifikasi. Selain itu disajikan pula data luasan menurut penggunaan lain termasuk kawasan hutan menurut TGHK yang tidak dapat dialih fungsikan (konversi). Salah satu contoh legenda disajikan pada Lampiran 2.

    Penilaian tingkat kesesuaian lahan dilakukan berdasarkan data dari satuan peta tanah atau satuan lahan. Setiap satuan peta atau satuan lahan yang dinilai, pada umumnya terdiri atas satu atau lebih satuan tanah yang sifat-sifatnya berbeda, sehingga hasil penilaian kesesuaian lahannya pun akan berbeda. Oleh karena itu, proporsi kesesuaian lahan pada setiap satuan peta digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan potensi lahan dari setiap satuan peta. Dalam satuan peta, lahan digolongkan menjadi tiga yaitu berpotensi tinggi, sedang, dan rendah tergantung dari proporsi tingkat kesesuaiannya. Data selengkapnya hasil penilaian kesesuaian lahan disajikan pada Lampiran 3.

    Luas lahan yang sesuai di masing-masing propinsi baik untuk areal intensifikasi, ekstensifikasi maupun diversifikasi terlihat pada Tabel 2. Areal intensifikasi seluas 762.400 ha menunjukkan bahwa lahan tersebut saat itu (tahun 1990) digunakan untuk kelapa sawit. Sedangkan lahan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit seluas 39 juta ha, pada saat itu lahan berupa alang-alang/semak-belukar atau wilayah hutan konversi. Luas lahan sebagai lahan alternatif seluas 4,9 juta ha, yang saat itu telah dimanfaatkan untuk penggunaan komoditas lain. Hanya saja, data-data tersebut diperoleh pada tahun 1991/1992 dari hasil tumpang tepat (overlay) antara peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan saat itu, dimana peta penggunaan lahan yang dipakai adalah terbitan tahun 1989 (BPN), sehingga luas areal yang sudah digunakan untuk berbagai pertanian sudah kurang akurat lagi dengan keadaan saat ini.

    Kemungkinan lain adalah lahan yang berpotensi tersebut saat ini telah digunakan juga oleh komoditas lain di luar tanaman kelapa sawit seperti karet, kopi, lada, kakao, atau penggunaan lain di luar pertanian. Sebagai gambaran, pada tahun 1989 luas lahan perkebunan kelapa sawit sekitar 793.500 ha dan pada tahun 2002 meningkat tajam menjadi 4.116.600 ha (DIRJEN PERKEBUNAN, 2002). Begitu juga untuk komoditas perkebunan lain seperti karet, kelapa, kopi, lada, dll, yang makin meningkat luasannya.

    Jika hanya berdasarkan hasil penilaian kesesuaian lahan untuk kelapa sawit, maka luas lahan yang sesuai di 9 propinsi tersebut seluas 44,7 juta ha (Tabel 2), masing-masing sesuai intensifikasi 0,7 juta ha, ekstensifikasi 39 juta ha, dan diversifikasi 4,9 juta ha. Sedangkan pada sampai tahun 2002, luas lahan perkebunan di 9 propinsi tersebut baru 2,6 juta ha, sehingga masih sangat luas lahan-lahan yang sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit. Hanya saja berapa luas lahan yang

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    94

    tersedia untuk pengembangan kelapa sawit saat ini sulit diperoleh, karena terbatasnya data/peta penggunaan lahan dan peta status lahan yang akurat dan berbentuk data spasial (peta).

    Selain 9 propinsi yang tercantum dalam Tabel 2 yang telah dinilai kesesuaian lahannya pada skala 1:250.000, berdasarkan Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan nasional pada skala 1:1.000.000 (PUSLITBANGTANAK, 2002), ternyata masih terdapat beberapa propinsi lain yang cocok untuk pengembangan sawit yaitu propinsi Aceh, Sumut, Jambi, Lampung, Bangka Belitung, Kalsel, dan Sultra. Berdasarkan atlas tersebut, lahan sesuai untuk pengembangan kelapa sawit di 7 propinsi tersebut seluas 6.713.858 ha.

    PELUANG PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT

    Peluang pengembangan

    Berdasarkan kelas kesesuaian lahannya, ternyata sangat luas lahan yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit yaitu sekitar 51,4 juta ha yang menyebar di 16 propinsi di Indonesia (berdasarkan 2 sumber data yang telah disebutkan di atas), sehingga peluang pengembangan kelapa sawit masih terbuka lebar di masa yang akan datang. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (PSE) telah melakukan analisis penawaran dan permintaan serta peluang pasar komoditas perkebunan (termasuk kelapa sawit). Hasil analisis tersebut adalah untuk memenuhi permintaan pasar pada tahun 2005, proyeksi luas areal kelapa sawit sebesar 14,97 juta ha (SURYANA et al., 1998), sementara luas lahan yang ada saat ini hanya seluas 4,1 juta (DITJEN PERKEBUNAN, 2002). Sehingga masih diperlukan lahan-lahan yang berpotensi untuk memenuhi peluang pasar tersebut.

    Tabel 2. Luas lahan yang sesuai untuk intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi tanaman kelapa sawit pada tahun 1991

    Intensifikasi Ekstensifikasi Diversifikasi Jumlah Luas Sawit - ha - Sumut 512.500 767.600 611.000 1.891.100 654.511 Riau 120.100 3.485.700 826.600 4.432.400 803.951 Bengkulu 28.400 452.800 327.200 808.400 78.799 Kalbar 60.000 5.938.700 445.400 6.444.100 411.261 Kalteng - 7.987.900 968.000 8.955.900 298.095 Kaltim 20.400 7.471.300 383.800 7.875.500 187.629 Sulteng - 575.400 172.800 748.200 43.032 Sulsel 17.500 410.300 219.600 647.400 72.133 Papua 3.500 11.918.800 964.000 12.886.300 57.392 Jumlah 762.400 39.008.500 4.918.400 44.689.300 2.606.803

    Sumber: PUSAT PENELITIAN TANAH dan AGROKLIMAT (1991 dan 1997), data diolah 1)Data luas kelapa sawit tahun 2002 (DITJEN PERKEBUNAN, 2002)

    Bahkan berdasarkan Harian Kompas (21 Mei 2003), proyeksi produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 2010 akan menjadi produsen terbesar dunia. Pada tahun 2003 hingga 2005 diperkirakan akan terjadi peningkatan luas lahan produktif perkebunan kelapa sawit sebesar 3,5%/tahun atau sekitar 117.000 ha/tahun. Oil word, salah satu lembaga penyedia jasa informasi dan perkiraan

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    95

    produksi minyak nabati memproyeksikan produksi minyak sawit Indonesia akan menyalip Malaysia pada tahun 2010 (Tabel 3). Kegiatan perluasan lahan diduga terjadi karena munculnya keyakinan investor bahwa pada periode tersebut permintaan minyak sawit dunia mengalami peningkatan. Peningkatan juga terjadi karena penggunaan bibit unggul yang memungkinkan produktivitas minyak sawit meningkat.

    Dengan begitu besarnya luas lahan yang sesuai untuk kelapa sawit, analisis proyeksi permintaan/penawaran luas areal cukup tinggi, serta pesatnya perluasan perkebunan kelapa sawit baik perkebunan rakyat maupun perkebunan swasta pada saat ini, telah mengindikasikan bahwa peluang pengembangan kelapa sawit cukup bagus dan menjanjikan di masa yang akan datang.

    Untuk dapat menghitung berapa lahan yang berpeluang untuk pengembangan/perluasan kelapa sawit, diperlukan peta penggunaan lahan yang terbaru (data spasial) yang jelas menunjukkan penyebaran perkebunan kelapa sawit. Hal ini belum tersedia di BPN sekalipun, yang ada adalah lahan perkebunan secara umum. Apabila ingin menampilkan berapa peluang produksi kelapa sawit ke depan, dapat saja kita berasumsi bahwa sekitar 20% dari lahan yang sesuai untuk ekstensifikasi (Tabel 2) tersedia untuk perluasan kelapa sawit. Jadi sekurang-kurangnya ada sekitar 20% dari 39 juta ha yaitu sekitar 7,8 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk ekstensifikasi kelapa sawit. Bila rata-rata produksi perkebunan rakyat 2,7 ton/ha, maka peluang peningkatan produksi kelapa sawit dari 7,8 juta ha lahan adalah sebesar 21 juta ton.

    Secara umum, luas lahan untuk pertanian yang ada saat ini yaitu seluas 64 juta ha, terluas untuk perkebunan (16,7 juta ha) belum dapat memenuhi kebutuhan produk pertanian nasional (terutama pangan) dan volume ekspor beberapa komoditas strategis penghasil devisa seperti kelapa sawit, karet, kopi, lada, dll. Lahan-lahan yang potensial untuk pengembangan pertanian tidak akan bertambah luasnya baik itu pada masa sekarang ataupun di masa yang akan datang, bahkan sebaliknya akan berkurang terus dengan semakin tingginya jumlah penduduk dan kebutuhan produk pertanian nasional. Persaingan pemanfaatan sumberdaya lahan yang potensial untuk pengembangan pertanian akan semakin meningkat dari tahun ke tahun mendatang. Persaingan tersebut tidak hanya akan terjadi antar sub sektor pertanian (tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman industri), maupun dengan sektor non pertanian (pengembangan pemukiman, industri, infrastruktur, dll). Pengembangan sektor non pertanian inipun sulit dihindari terutama di kota-kota yang sedang berkembang, seharusnya pengembangan kawasan diarahkan pada lahan-lahan yang tidak potensial untuk pertanian.

    Kesenjangan data kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk kelapa sawit

    Permasalahan dalam pengembangan kelapa sawit adalah permasalahan data luas dan penyebaran lahan yang berpotensi dan tersedia untuk perluasan areal tanam. Lahan yang disajikan pada Tabel 2 adalah lahan yang sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit, tetapi berapa luas lahan yang tersedia untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit dan dimana penyebarannya saat ini, kita belum bisa menjawabnya terutama bila menghendaki dalam bentuk peta spasial (peta ketersediaan lahan). Untuk mengetahui data luas dan penyebarannya perlu satu langkah lagi yang didukung oleh data penggunaan lahan saat ini (present land use) dan status lahan (lahan negara, masyarakat, atau tanah adat), dimana data tersebut umumnya sangat sulit diperoleh. Sehingga informasi data/peta kesesuaian lahan yang telah disusun ini belum lengkap apabila tidak ada dukungan data-data tersebut. Apabila data tersebut tersedia, kita dapat memperoleh luas lahan tersedia dan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit tersebut, yaitu

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    96

    dengan cara menumpang tepatkan (overlay) antara peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan serta peta status lahan terbaru.

    Tabel 3. Proyeksi produksi minyak sawit dunia (dalam ribuan ton)

    Negara 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015

    Malaysia Indonesia Nigeria Lainnya

    4.133 1.243 307

    1.215

    6.092 2.413 580

    1.858

    7.596 4.480 780

    2.256

    8.051 7.465 1.016 2.730

    9.901 9.891 1.297 3.154

    11.052 12.293 1.623 3.603

    11.595 14.438 1.995 4.067

    Total 6.898 10.943 15.112 19.262 24.243 28.571 32.095

    Sumber: KOMPAS (21 Mei 2003)

    Data/peta kesesuaian lahan pada skala 1:250.000 ini dapat digunakan untuk perencanaan pengembangan pertanian secara kasar pada tingkat propinsi atau regional. Sedangkan untuk operasional di lapangan pada luasan tertentu (untuk tingkat kecamatan/kabupaten) perlu ditindak lanjuti dengan karakterisasi lahan yang lebih detil.

    Upaya peningkatan produksi

    Melihat peluang yang begitu besar untuk pengembangan kelapa sawit tersebut sebagai salah satu komoditas penghasil devisa negara dari sektor non migas, maka perlu suatu upaya untuk dapat meningkatkan produksi sawit, baik dengan intensifikasi maupun dengan ekstensifikasi.

    Intensifikasi. Luas pertanaman kelapa sawit yang ada saat ini seluas 4,1 juta ha. Dari luas pertanaman tersebut, 1,22 juta ha merupakan perkebunan rakyat, 0,55 juta ha perkebunan negara, dan 2,35 juta ha perkebunan swasta. Dari luasan tersebut, tidak semua tanaman sudah dapat menghasilkan, dan ternyata produksi rata-rata ketiga macam perkebunan tersebut bervariasi, masing-masing 2,69 ton/ha untuk perkebunan rakyat, 4,59 ton/ha untuk perkebunan negara, dan 2,87 ton/ha untuk perkebunan swasta (DITJEN PERKEBUNAN, 2002). Dari data produksi yang lebih rendah di perkebunan rakyat dan swasta, mengindikasikan bahwa sebetulnya potensi produksi kelapa sawit dari perkebunan rakyat dan swasta tersebut masih dapat ditingkatkan dengan pengelolaan lahan yang optimal.

    Ekstensifikasi. Luas lahan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit sangat luas, hanya saja Puslitbangtanak belum bisa menyediakan data/peta lahan yang tersedia untuk perluasan kelapa sawit. Sebagai gambaran, dari data BPS (2002) terdapat lahan yang sementara tidak diusahakan (alang-alang dan semak belukar) atau lahan tidur seluas 9,7 juta ha. Luas lahan tidur yang telah diidentifikasi dan sesuai untuk pengembangan pertanian baik untuk tanaman pangan maupun perkebunan seluas 1,08 juta ha tersebar di 13 propinsi (MULYANI et al., 2000). Lahan-lahan tersebut saat ini berupa alang-alang dan semak belukar, hanya saja tidak semua wilayah diketahui status kepemilikan lahannya. Hasil identifikasi tersebut disajikan dalam peta skala 1:50.000, yang menyajikan luas dan penyebarannya, serta dapat digunakan untuk operasional di lapangan (tingkat Kecamatan/Kabupaten).

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    97

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Berdasarkan karakteristik tanah dan iklim serta persyaratan tumbuh tanaman, kelapa sawit mempunyai adaptabilitas yang tinggi di berbagai kondisi lahan. Hasil penilaian kesesuaian lahan menunjukkan bahwa kelapa sawit dapat dikembangkan di seluruh propinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulsel, Sulteng, Sultra, dan Papua. Hal ini memberikan petunjuk bahwa peluang pengembangan kelapa sawit di Indonesia masih cukup luas.

    Total lahan yang sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit, seluas 54,1 juta ha, namun lahan yang sesuai tersebut saat ini sebagian besar telah digunakan untuk komoditas pertanian lain (perkebunan, tegalan/ladang, dll) dan mungkin juga untuk aktivitas non pertanian.

    Untuk mengetahui berapa lahan yang masih tersedia untuk pengembangan kelapa sawit perlu melakukan overlay (tumpang tepat) antara peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan terbaru (present land use) serta peta status lahan saat ini.

    Data/peta kesesuaian lahan kelapa sawit yang tersedia saat ini adalah pada skala tinjau (1:250.000) yang berguna untuk perencanaan umum tingkat propinsi dan skala eksplorasi (1:1.000.000) untuk perencanaan pengembangan tingkat nasional. Apabila pengusaha/investor memerlukan data/peta yang lebih detil yang dapat digunakan untuk operasional di lapangan, maka perlu ditindaklanjuti dengan inventarisasi yang lebih detil (skala 1:50.000).

    DAFTAR PUSTAKA

    ABDURACHMAN, A., ANNY MULYANI dan G. KARMINI. 1998. Kesesuaian lahan untuk pengembangan beberapa tanaman perkebunan di Indonesia. Prosiding Pertemuan Komisi Penelitian Pertanian Bidang Perkebunan. Peremajaan Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Perkebunan: Kelapa, Kelapa sawit, Karet, Kopi, Kakao, Teh, Lada, Pala dan Jambu Mente. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Hlm 20-41.

    BADAN PUSAT STATISTIK. 2002. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

    DJAENUDIN, D., M. MARWAN, H. SUBAGYO, ANNY MULYANI dan N. SUHARTA. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

    DITJEN PERKEBUNAN. 2002. Statistik Perkebunan Kelapa Sawit 2002. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.

    HIDAYAT, A., HIKMATULLAH dan DJOKO SANTOSO. 2000. Potensi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran Rendah. Dalam: Buku Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hlm 197-226.

    HIDAYAT, A. dan ANNY MULYANI. 2002. Lahan Kering Untuk Pertanian. Dalam: Buku Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hlm 1-34.

    IRIANTO, G., H. SOSIAWAN dan S. KARAMA. 1998. Strategi pembangunan pertanian lahan kering untuk mengantisipasi persaingan global. Dalam: Prosiding Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Makalah Utama. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hlm 77-92.

    KOMPAS. 2003. Proyeksi Produksi Minyak Sawit Dunia. RI Produsen Terbesar Minyak Sawit Tahun 2010. Harian Kompas, 21 Mei 2003.

    MULYANI, A., SUKARMAN dan D. SUBARDJA. 2000. Evaluasi Ketersediaan Lahan Untuk Perluasan Areal Pertanian. Laporan Akhir Penelitian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    98

    PUSAT PENELITIAN TANAH dan AGROKLIMAT. 1991. Penilaian Potensi dan Tingkat Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Tanaman Kelapa Sawit di Propinsi Sumut, Riau, Bengkulu, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulteng, Sulsel dan Irian Jaya. Peta skala 1:250.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

    PUSAT PENELITIAN TANAH dan AGROKLIMAT. 1997. Statistik Sumberdaya Lahan/Tanah Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

    PUSLITBANGTANAK. 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

    PUSLITBANGTANAK. 2002. Atlas Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan Nasional skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

    SCHMIDT, F.A., and J.H.A. FERGUSON. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No. 42, Djawatan Meteorologi dan Geofisika, Kementrian Perhubungan, Jakarta.

    SURYANA, A., B. HUTABARAT dan S.H. SUSILOWATI. 1998. Penawaran dan permintaan serta peluang pasar komoditas tanaman industri dan perkebunan. Halaman 42-68. Dalam: Prosiding Pertemuan Komisi Penelitian Pertanian Bidang Perkebunan. Peremajaan Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Perkebunan: Kelapa, Kelapa sawit, Karet, Kopi, Kakao, The, Lada, Pala dan Jambu Mente. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan.

    SOIL SURVEY STAFF. 1999. Soil Taxonomy. A Basic System for Making and Interpreting Soil Surveys. Second Edition, 1999. USDA-SCS Agric. Handb. 436.

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    99

    Lampiran 1. Kriteria kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit

    Kelas kesesuaian lahan Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan S1 S2 S3 N Temperatur (tc) Temperatur rerata (C)

    2528

    2225 2832

    2022 3235

    35

    Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Kelembaban (%)

    17002500

    4 Ketersediaan oksigen (oa) Drainase

    Baik, agak baik

    Agak terhambat

    Terhambat, agak cepat

    Sangat

    terhambat, cepat Media perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) + dg sisipan/pengkayaan Kematangan

    h, ah, s

    100

    400 fibrik

    Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H20 C-organik

    >16 >20

    5,06,5 >0,8

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    100

    Lampiran 2. Arahan pengembangan untuk tanaman kelapa sawit di Propinsi Sumatera Utara

    Luas Simbol Uraian Usaha perbaikan Ha %

    Lahan intensifikasi (I) I1 Berpotensi baik Pemupukan, konservasi 406.400 5,95 I2 Berpotensi sedang Konservasi 83.100 1,22 I3 Berpotensi rendah Pemupukan, konservasi 23.000 0,34 Lahan ekstensifikasi (E) E1 Berpotensi baik Pemupukan, drainase 333.700 4,89 E2 Berpotensi sedang Pemupukan, drainase, konservasi 95.500 1,40 E3 Berpotensi rendah Pemupukan, konservasi, drainase 338.400 4,96 Lahan alternatif/diversifikasi (D) D1 Berpotensi baik Pemupukan, konservasi 482.700 7,07 D2 Berpotensi sedang Drainase, pemupukan, konservasi 69.300 1,03 D3 Berpotensi rendah Konservasi, pemupukan, drainase 59.000 0,86 Lahan tidak disarankan dan penggunaan lain N Tidak berpotensi 1.228.400 17,00 Penggunaan lain 3.749.300 54,93 Jumlah 6.826.000 100,00

    Sumber: PUSAT PENELITIAN TANAH DAN AGROKLIMAT (1997)

    Lampiran 3. Luas lahan yang sesuai untuk intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi kelapa sawit di 9 propinsi*)

    Propinsi I1 I2 I3 E1 E2 E3 D1 D2 D3 Total ----- ha ----- Sumsel 406400 83100 23000 333700 95500 338400 482700 69300 59000 1891100 Riau 118400 1300 400 973000 223400 2289300 564200 50100 212300 4432400 Bengkulu 26200 0 2200 409150 0 43650 279400 0 47800 808400 Kalbar 55000 2300 2700 3283400 292300 2363000 410800 34600 0 6444100 Kalteng 0 0 0 3197900 1249800 3540200 508100 156900 303000 8955900 Kaltim 20400 0 0 4221300 304900 2945100 280600 28800 74400 7875500 Sulteng 0 0 0 164400 135900 275100 34900 65600 72300 748200 Sulsel 15000 2500 0 196900 78200 135200 129000 60000 30600 647400 Papua 3500 0 0 5957000 588200 5373600 551400 33900 378700 12886300 644900 89200 28300 18736750 2968200 17303550 3241100 499200 1178100 44689300

    I = intensifikasi, E = ekstensifikasi, D = diversifikasi; 1 = potensi tinggi, 2 = potensi sedang, 3 = potensi rendah *) Berdasarkan data/peta penggunaan lahan tahun 1989

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    101

    DISKUSI

    Pertanyaan:

    1. Pada Pendahuluan alinea I terdapat kalimat yang tidak nyambung. Disarankan tambahan. Prospek kelapa sawit cukup menjanjikan seperti yang dilaporkan Oil word bahwa.dst. (ada kalimat penghubung).

    2. Alinea II sebaiknya ditaruh pada alinea pertama dan baru alinea I menyusul. Karena alinea kedua berisikan permasalahan yang lebih umum, dan baru masuk permasalahan yang lebih spesifik.

    3. Tabel 2, dicantumkan kesesuaian luas lahan tanaman kelapa sawit dan merupakan potensi, tetapi tidak dicantumkan luasan lahan yang telah dimanfaatkan untuk lahan kelapa sawit saat ini. Kalau dicantumkan dapat terlihat langsung peluang pengembangan kelapa sawit dari sisa luasan lahan yang sesuai dikurangi lahan yang telah tertanami. Apakah data luasan lahan tidak dapat diperoleh dari Dirjen perkebunan? Kalau ada sebaiknya dicantumkan sehingga prospek pengembangan lebih terlihat langsung.

    4. Menyambung poin 3, dalam peluang pengembangan belum dicantumkan peluang berdasarkan kesesuaian lahan potensial pengembangan kelapa sawit yang dikonversikan pada produksi per ha, sehingga diperoleh peluang pengembangan prediksi ke depan (luas lahan tersedia x produksi). Hal tersebut akan lebih menarik dalam mendukung peluang pengembangan berdasarkan daya dukung yang ada dan peluang peningkatan produksi kelapa sawit dan prospek produksi ke depan.

    5. Kami sering didatangi oleh para konsultan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan yang ingin berinvestasi di Bengkulu Selatan. Mereka antara lain sering menanyakan masalah-masalah apa yang perlu ditanggulangi segi lahan/tanah untuk kelapa sawit, dan dimana mereka bisa mengembangkan perkebunan perkebunan kelapa sawit. Dapatkah Puslitbangtanak memberikan informasi tentang masalah ini dan apakah mungkin Puslitbangtanak mengadakan survei di Bengkulu Selatan.

    6. Dalam melakukan kegiatan pewilayahan komoditas pertanian, sebaiknya Puslitbangtanak lebih memfokuskan pada wilayah-wilayah Kawasan Budidaya Pertanian, yang sudah ditetapkan oleh daerah masing-masing melalui Rencana Tata Ruang Wialyah nya, karena untuk pengembangan wilayah pertanian, Pemda tidak boleh keluar dari Wilayah Kawasan Budidaya Pertanian. Silahkan menghubungi Pemda setempat untuk mendapatkan peta RTRW tersebut.

    7. Bagaimana kami bisa mendapatkan data tanah daerah Jambi yang telah tersedia di Puslitbangtanak.

    Jawaban:

    1. Setuju, saran diterima dan akan diperbaiki dalam makalah.

    2. Setuju, saran diterima dan akan diperbaiki dalam makalah

    3. Di dalam makalah lengkap (Tabel 2) telah disebutkan bahwa lahan sesuai itu dibagi pada lahan intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi. Lahan sesuai intensifikasi berarti lahan tersebut sudah digunakan untuk kelapa sawit. Lahan sesuai ekstensifikasi berarti lahan tersebut berupa

  • Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

    102

    alang-alang/semak belukar atau hutan konversi, yang dapat diarahkan untuk perluasan kelapa sawit. Sedangkan lahan sesuai diversifikasi berarti lahan telah digunakan untuk penggunaan lain dan dapat didiversifikasi dengan menanam kelapa sawit. Hanya saja, kegiatan evaluasi lahan seperti ditampilkan pada Tabel 2 dilaksanakan pada tahun 1991 dan data penggunaan lahan yang digunakan adalah data tahun 1989. Data tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Dalam kurun waktu 14 tahun, perkembangan kelapa sawit cukup luas dari 793.500 pada tahun 1989 menjadi 4.116.000 pada tahun 2002. Belum lagi lahan yang sesuai tersebut dalam kurun waktu yang sama telah digunakan pula untuk pengembangan komoditas lain seperti karet, kopi, lada, kakao, dan tanaman pangan. Data yang tersedia di Ditjen Perkebunan adalah data tabular (tidak tahu penyebarannya dimana), sedangkan data yang tersedia di Puslitbangtanak merupakan data spasial (berbentuk peta yang jelas luas dan penyebarannya dimana). Kita bisa saja menghitung berapa lahan yang berpotensi untuk perluasan, hanya saja data tersebut kurang akurat karena perbedaan sumber data (data tabular dibandingkan dengan data spasial).

    4. Untuk dapat menghitung berapa lahan yang berpeluang untuk pengembangan/ perluasan, diperlukan peta penggunaan lahan yang terbaru (data spasial) yang jelas menunjukkan penyebaran perkebunan kelapa sawit. Hal ini belum tersedia di BPN sekalipun, yang ada adalah lahan perkebunan secara umum. Apabila ingin menampilkan berapa peluang produksi kelapa sawit ke depan, dapat saja kita berasumsi bahwa sekitar 20% dari lahan yang sesuai untuk ekstensifikasi (Tabel 2) tersedia untuk perluasan kelapa sawit. Jadi sekurang-kurangnya ada sekitar 20% dari 39 juta ha atau 7,8 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk ekstensifikasi kelapa sawit. Bila rata-rata produksi perkebunan rakyat 2,7 ton/ha, maka peluang peningkatan produksi kelapa sawit dari 7,8 juta ha lahan adalah sebesar 21 juta ton.

    5. Sampai saat ini data/peta tanah di Bengkulu Selatan baru terbatas pada Peta Tanah Tinjau dengan skala 1:250.000. Untuk tingkat kabupaten data tersebut kurang akurat karena terlalu umum, sedangkan untuk tingkat kabupaten diperlukan data/peta tanah minimal skala 1: 100.000 atau 1:50.000, dimana pada saat ini untuk Bengkulu Selatan belum tersedia di Puslitbangtanak. Oleh karena itu, disarankan Pemda setempat dapat membiayai untuk kegiatan pemetaan ini, dan Puslitbangtanak dapat membantu dari tenaga dan teknisnya. Kebijakan Puslitbangtanak saat ini adalah menyelesaikan pemetaan skala tinjau untuk seluruh Indonesia, sedangkan untuk pemetaan dengan skala yang lebih besar diserahkan kepada pemda setempat, sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah.

    6. Dalam melakukan kegiatan pewilayahan komoditas pertanian, Puslitbangtanak mengcover seluruh areal administrasi dari daerah yang dipetakan, dan kami mencari wilayah mana yang sesuai untuk pengembangan pertanian. Jadi untuk sementara ini kami tidak hanya bekerja pada Kawasan Budidaya Pertanian yang sudah ditetapkan oleh Pemda masing-masing melalui RTRW nya. Namun jika dikehendaki, untuk memperoleh data tersebut dapat dilakukan dengan mengoverlay/menumpangtepatkan peta kesesuaian lahan yang kami buat dengan peta RTRW yang dibuat Pemda. Untuk kegiatan ke depan, kami akan memperhatikan saran tersebut, sehingga hasil kami lebih mudah dimanfaatkan oleh Pemda.

    7. Dapat menghubungi Pelayanan Jasa Balai Penelitian Tanah-Puslitbangtanak, Jl. Juanda 98 Bogor, 16123. Tlp. 0251-323012, Fax. 0251-311256. Data yang tersedia saat ini adalah Peta Tanah Tinjau, Peta Kesesuaian Lahan untuk berbagai komoditas pertanian, serta Peta Pewilayahan Komoditas dan Ketersediaan lahan, semuanya tersedia pada skala 1:250.000.