Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

39
Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa dalam Cerpen Kecubung Pengasihan Karya Danarto oleh Anwar Efendi Fakultas Bahasa dan Seni UNY Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan maka filosofis yang terkandung dalamm cerpen “Kecubung Pengasihan” karya Danarto. Pembahasan difokuskan pada konsepsi dan filosifi kehidupan dalam pandangan masyarakat Jawa yang terdapat dalam cerpen “Kecubung Pengasihan”. Sumber data dalam penelitian ini adalah cerpen “Kecubung Pengasihan” karya Danarto. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pembacaan dan pencatatan. Selanjutnya data tersebut dianalisis dan dimakna sesuai dengan konteks dan dihubungkan dengan konsepsi kehidupan masyarakat Jawa. Melalui cerpen “Kecubung Pengasihan” secara jelas Danarto menggambarkan perjalanan hidp manusia dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Kesempurnaan hidup menurut pandangan masyarakat Jawa adalah upaya pencapaian penyatuan dengan Tuhan. Dalam cerpen ini, konsep atau pandangan pantheistik tampak jelas pada amanat, ajaran, dan perilaku tokoh. Perilaku hidup tokoh dalam menyikapi hubungannya dengan Tuhan, lingkungan, dan diri sendiri. Semua itu diarahkan pada satu tujuan hakiki yaitu perubahan wujud dari yang paling kasar (badan wadhag) menuju wujud yang paling halus (tan-ujud, adikodrati). A. Pendahuluan Membaca dan memahami karya sastra pada dasarnya adalah kegiatan memberi makna suatu teks. Teks (sastra) sebenarnya

Transcript of Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Page 1: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

dalam Cerpen Kecubung Pengasihan Karya Danarto

oleh Anwar Efendi

Fakultas Bahasa dan Seni UNY

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan maka filosofis yang terkandung dalamm cerpen “Kecubung Pengasihan” karya Danarto. Pembahasan difokuskan pada konsepsi dan filosifi kehidupan dalam pandangan masyarakat Jawa yang terdapat dalam cerpen “Kecubung Pengasihan”.

Sumber data dalam penelitian ini adalah cerpen “Kecubung Pengasihan” karya Danarto. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pembacaan dan pencatatan. Selanjutnya data tersebut dianalisis dan dimakna sesuai dengan konteks dan dihubungkan dengan konsepsi kehidupan masyarakat Jawa.

Melalui cerpen “Kecubung Pengasihan” secara jelas Danarto menggambarkan perjalanan hidp manusia dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Kesempurnaan hidup menurut pandangan masyarakat Jawa adalah upaya pencapaian penyatuan dengan Tuhan. Dalam cerpen ini, konsep atau pandangan pantheistik tampak jelas pada amanat, ajaran, dan perilaku tokoh. Perilaku hidup tokoh dalam menyikapi hubungannya dengan Tuhan, lingkungan, dan diri sendiri. Semua itu diarahkan pada satu tujuan hakiki yaitu perubahan wujud dari yang paling kasar (badan wadhag) menuju wujud yang paling halus (tan-ujud, adikodrati).

A. Pendahuluan

Membaca dan memahami karya sastra pada dasarnya adalah kegiatan memberi

makna suatu teks. Teks (sastra) sebenarnya merupakan suatu sistem kode yang terdiri ata

kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Teeuw mengatakan bahwa kalau ingin

memahami dan memberi makna suatu teks sastra, pembaca dituntut memiliki sejumlah

pengetahuan berkaitan dengan ketiga kode di atas.

Dalam kaitannnya dengan kegiatan pemaknaan karya sastra, pembaca harus sadar

bahwa yang dihadapi adalah teks, benda mati, sebagai barang ciptaan yang penuh rekaan.

Teks sastra sebagai hasil kreasi manusia, yaitu pengarang. Konsepsi dan pandangan serta

idealisme pengarang tentang kehidupan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi

Page 2: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

dalam memahami karya sastra, karena karya sastra merupakan hasil ekspresi

pengetahuan, pengalaman, dan perasaan pengarang.

Demikian pula halnya dalam memahami cerpen-cerpen Danarto. Sebagaimana

diketahui cerpen-cerpen Danarto banyak dipengaruhi paham mistik Jawa. Oleh karena

itu, untuk dapat memahami cerpen-cerpen tersebut pembaca perlu mempunyai

pengetahuan tentang mistik Jawa.

Di samping itu, pembaca perlu juga memahami karakteristik umum cerpen-cerpen

Danarto ditinjau dari sistem sastra. Karakteristik tersebut berkaitan dengan pelibatan dan

penghadiran logika atau nalar, emosi serta kaidah-kaidah sastra. Hal di atas sesuai dengan

pernyataan Damono pada kata pengantar dalam kumpulan cerpen Danarto yang berjudul

Godlob (1987: xvi).

Cerita Danarto telah mengejek genrenya sendiri. Ia telah berusaha menolak serangkaian konvensi berkaitan dengan struktur cerita pendek. Ia meledek kaidah-kaidah penciptaan tokoh, alur, latar, dan sebagainya. Dunia ciptaannya yang serba luar biasa telah berhasil memaksa kita merenungkan konsep kita selama ini tentang cerita pendek. Kita memang tidak akan mampu melibatkan diri dalam dunia, masalah, dan tokoh-tokoh yang diciptakan Danarto, semuanya itu terlalu luar biasa.

Senada dengan pernyataan Damono, Rampan (1982:269) menyatakan bahwa

cerpen-cerpen Danarto merupakan karya yang jauh dari logika. Untuk memahami cerpen-

cerpen Danarto sukar diterapkan logika tentang tokoh karena tokoh-tokoh yang

dihadirkan bukanlah tokoh berdarah berdaging, bukan tokoh fisik seperti manusia pada

umumnya. Dengan demikian, unsur tokoh harus dikembalikan kepada realitas sastra

sebagai realitas imajiner. Plot dalam cerpen Danarto juga tidak dapat dipahami dengan

menerapkan model plot konvensional.

Cerpen-cerpen Danarto penuh dadakan, tak ada awal akhir, atau semuanya berawal pada akhir atua berakhir di awal, atau pada tengahnya. Demikian juga dengan lokasi seting, bisa di mana-mana, tak di Timur tak di Barat, tak di Utara tak di Selatan.

Selanjutnya, melihat gejala yang ditampilkan dalam cerpen-cerpen Danarto,

Mangun Wijaya (1988:144) menyatakan bahwa cerpen-cerpen Danarto adalah paralel-

paralel religius. Cerita-cerita kiasan kaum kebatinan dengan dinamika dan imajinasi yang

Page 3: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

luar biasa, tradisioanl sekaligus kontemporer. Paduan abstrak dan konkret yang sekaligus

kontroversional.

Tulisan ini ingin mencoba memahami salah satu cerpen Danarto yang berjudul

Kecubung Pengasihan. Sebagaimana diuraikan di atas, salah satu karakteristik cerpen-

cerpen Danarto yaitu kandungan nilai mistik dan filosifi dunia kebatinan jawa. Oleh

karena itu, pengetahuan tentang nilai, pandangan, serta sikap hidup orang Jawa

digunakan sebagai salah satu cara memahami cerpen tersebut.

B. Kajian Teori

Dalam tradisi dan tindakannya, masyarakat Jawa selalu berpegang pada dua haj.

Pertama, pandangan dan filsafat hidup yang selalu bersandar pada makna religius dan

mistis. Kedua, sikap hidup yang etis dan menjunjung tinggi moral serta derajat

kehidupan. Pandangan hidupnya selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan

yang serba rohaniah dan magis. Hal itu tampak dalam perilaku penghormatan terhadap

arwah nenek moyang atau leluhur serta kekuatan-kekuatan yang tidak dapat ditangkap

panca indra.

Religi dalam kepercayaan (univers) Jawa meliputi hubungan dengan segala yang

rohaniah, seperti Tuhan, roh nenek moyang, dewa, dan makhluk halus. Sumber utama

kepercayaan religiusny berkenaan dengan kesadaran pada keberadaannya yang selalu

sadar diri, eling dan waspada. Kesadaran itu dilakukan dengan tetap memegang teguh

tradisi sesaji, sadranan, selamatan, dan kepercayaan baha segala sesuatu itu ada yang

menguasai (mbaureksa). Konsep etika masyarakat Jawa dilandasi oleh kepercayaan

religius. Dengan demikian orang Jawa selalu berusaha menjaga keselarasan diri dengan

lingkungn hidup, baik bersifat spirituial maupun material (Herusatoto, 1984:132).

Filsafat atua pandangan hidup orang Jawa lazim disebut dengan Ilmu Kejawen

atau Ilmu Kesempurnaan Jiwa. Ajaran tentang ilmu kesempurnaan jiwa merupakan ilmu

kebatinan yang dapat disejajarkan dengan tasawuf dalam pandangan Islam. Kejawen atau

ilmu kebatinan, yang juga sering disebut agama Jawa, sebenarnya bukanlah agama

(samawi), melainkan kepercayaan atau lebih tepat adalah filsafaf hidup dan pandangan

hidup. Filsafat Jawa terbentuk dari perkembangan kebudayaan Jawa sebagai akibat

pengaruh filsafat Hindu dan Islam (Herusatoto, 1984:72).

Page 4: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Filsafat Jawa mengenal beberapa ajaran atau konsep-konsep umum. Konsep-

konsep tersebut diuraikan sebagai berikut.

1. Konsep pantheistik (konsep kesatuan), yaitu manusia dan jagat raya merupakan

percikan zat Illahi, manifestasi Tuhan Yang Maha Kuasa. Itulah sebabnya di

dalam kebatinan Jawa rumusan tujuan hidup adalah bersatu dengan Tuhan,

manunggaling kawula gusti. Dalam tasawuf dikenal dengan istilah wahdlatul

wujud.

2. Konsep tentang manusia, keyakinan bahawa manusia terdiri atas dua segi yaitu

segi lahiriah dan batiniah. Segi lahir adalah badan wadhag sedangkan segi

batiniah adalah roh, sukma atau pribadi. Segi batiniah dianggap bagian yang

mempunyai asal usul dan tabiat Illahi dan merupakan kenyataan sejati.

3. Konsep tentang sikap hidup, yakni upaya mencapai penyatuan dengan Tuhan.

Manusia harus melakukan sikap hidup sebagai berikut:

a. Distansi.

Manusia mengambil jarak dengan dunia sekitarnya, baik aspek material

maupun spirituil. Distansi (jarak) sebagai suatu jalan sementara agar manusia

dapat menjadi sadar karena segala sesuatu yang terjadi di dunia ini

mengeruhkan kesadaran. Dalam kaitan ini, manusia harus mengembangkan

tiga sikap dasar, yaitu sikap rela, narima, dan sabar.

b. Konsentrasi (manekung)

Konsentrasi dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu tapa brata dan

pemudaran. Konsep tapa brata dalam hal ini tidak berarti mengasingkan diri

dari dunia ramai, melainkan melakukan tapa di tengah-tengah kehidupan

manusia. Tapa brata berarti mengendalikan nafsu: amarah, lawwamah, serta

menghindari perbuatan jahat. Selanjutnya, pemudaran yaitu terbebas dari

belenggu nafsu indrawi dan duniawi. Orang yang telah mencapai pemudaran

akan sampai pada keadaan hening-hening, mati sajroning urip. Dengan

demikian telah “menjadi Tuhan”, memperlihatkan sifat-sifat Tuhan, ngiribi

sifate Allah ( = di alam adikodrati).

Page 5: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

c. Representasi.

Upaya untuk mencapai keselarasan, memulihkan kembali kesatuan. Manusia

berdiri di pusat, yaitu sendirian dalam diri sendiri. Melakukan semua

kewajiban dalam memberikan sumbangan bagi keharmonisan sosial,

keselamatan dunia, amemayu hayuning bawana

Demikianlah uraian singkat dasar-dasar konsepsi kebatinan Jawa yang akan

digunakan sebagai sarana memahami cerpen “Kecubung Pengasihan” karya Danarto.

Mengingat sebagai orang Jawa, Danarto tidak hanya memahami mistik Islam, tetapi juga

memahami dan mendalami kebatinan Jawa. Kedua corak tersebut menyatu dalam karya-

karnya dan dipadukan dengan konsepsi pemikiran Barat sebagai representasi

modernisasi.

C. Cara Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini adalah cerpen “Kecubung Pengasihan” karya

Danarto novel Larung. Dengan demikian, data penelitian ini berupa data verbal yang

terdapat dalam cerpen yang dapat menjelaskan konsepsi dan filosofi kehidupan dalam

pandangan masyarakat Jawa. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pembacaan dan

pencatatan. Selanjutnya data tersebut dianalisis dan dimakna sesuai dengan konteks dan

dihubungkan dengan konsepsi kehidupan masyarakat Jawa.

D. Hasil dan Pembahasan

“Kecubung Pengasihan” merupakan cerpen keempat dalam kumpulan cerpen

Godlob. Cerpen tersebut berusaha mengungkapkan proses yang nyata tentang hakikat

penyatuan manusia dengan Tuhannya (Sundari, dkk, 1985:24).

Kata “kecubung” mengacu pada sejenis tumbuhan yang bijinya bisa

memabukkan. Selain itu, kata kecubung juga merujuk pada semacam batuan berwarna

ungu (lembayung) yang biasa dipakai sebagai hiasan. Orang Yunani menganggap batuan

ini dapat digunakan sebagai penawar racun. Menurut kepercayaan Jawa, kecubung adalah

sejenis batuan yang berkhasiat dan dapat menimbulkan daya tarik atau cinta kasih bagi

pemilik/pemakainya (aji pengasihan).

Page 6: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Cerpen “Kecubung Pengasihan” seperti juga cerpen-cerpen Danarto lainnya,

diawali dengan paparan tentang peristiwa yang umumnya berwarna gelap. Paparan

tentang keadaan kehidupan yang bervariasi, campur baur antara kebaikan dan keburukan,

kecantikan dan kenistaan. Kutipan cerpen di bawah ini mempertegas gambaran di atas.

“Taman bunga itu indah harum semerbak. Banyak orang beristirahat di sana. Orang-orang tua, laki-laki dan perempuan, anak-anak muda yang berpasangan dan sendirian, bocah-bocah cilik yang bermain kejar-kejaran atau tenang duduk-duduk di bangku. Para pensiunan, para pegawai, para buruh, para petani yang habis belanja ke kota dan mau pulang lagi ke desanya, para profesor dan kaum cerdik pandai, para mahasiwa, para seniman yang lusuh, para pedagang… Yah semuanya perlu duduk-duduk di taman itu. Tidak perlu menggagas apa yang mu diperbuat (hal. 51).

Suasana luar biasa yang membuka cerita tersebut tentu saja memaksa kita sebagai

pembaca membayangkan serangkaian peristwa yang akan terjadi luar biasa pula.

Kehadiran tokoh perempuan bunting di tengah-tengah peristiwa itu semakin menambah

”keistimewaan” cerpen ini. Sosok perempuan yang lebih dari sekadar manusia biasa,

manusia super yang tidak berdarag berdaging. Sebagaimana yang dinyatakan Damono,

Danarto sengaja menghadirkan paparan, yang umumnya berwarna gelap sebagai landasan

bagi kehadiran tokoh dan peristiwa-peristiwa dalam cerita. Paparan yang membuka cerita

sebagai alat untuk memukau pembaca agar terlena dan menerima apa saja yang

dikisahkan Danarto.

Dalam dialog awal, pengarang sudah memasukkan nilai ajaran kehidupan yang

mendasar, bahwa perjalanan hidup merupakan suatu proses yang selalu berubah. Waktu

senantiasa berputar dan berada dalam kebaruan. Segala hal dalam alam semesta terikat

bersama daur waktu yang akan terulang terus. Hal itu tersirat dalam kuitpan berikut.

“Ah, Cuma seperti biasanya saja. Cerita yang itu-itu juga. Hari ini di jalan aku tak menemui kejadian baru,” kata perempuan bunting itu.“Biarlah. Karena tiap hari itu selalu hari baru, maka biarpun ceritamu yang itu-itu juga, tetaplah ia baru,” kata Kamboja (hal. 53).

Masyarakat Jawa memandang waktu sebagai lingkaran yang berputar, tanpa awal

tanpa akhir (cakra manggilingan). Setiap peristiwa sebenarnya pernah terjadi sebelumnya

dan akan terjadi lagi pada masa berikutnya. Dengan demikian ada anggapan bahwa

sesuatu yang belum pernah terjadi, selama-lamanya juga tidak akan pernag terjadi.

Page 7: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Melalui tokoh perempuan bunting itulah Danarto menyadarkan kembali tentang

perilaku kehidupan berdasarkan pandangan hidup dan filsafat Jawa. Perempuan bunting

yang mulai mengambil jarak dengan lingkungan sekitarnya dengan sikap kesadaran

pribadi yang tinggi.

“Dini hari aku merasakan kesyahduan yang sangat. Hingga terasa olehku kolong jembatan itu adalah gereja-masjidku yang penuh ketentraman.“… hingga terasa olehku kolong jembatan itu adalah gereja-masjidku yang penuh harapan di masa depan. Walau tiang-tiangnya telah rapuh hingga aku selalu khawatir bila mulai tidur di bawahnya, ia merupakan rumah Tuhan yang kucintai dengan kekalnya (hal. 54).

Kesadaran religius berkenaan dengan kesadaran pada keberadaan manusia yang

selalu sadar diri, eling, dan waspada. Seperti kata Damono, Danarto lewat tokoh

perempuan bunting, tidak membicarakan dan “terjebak” pada agama tertentu untuk

menerangkan hakikat religius, yakni melalui ungkapkan “gereja-masjidku”. Justru yang

tampak adalah makna spiritual yang meliputi hubungan segala hal yang rohaniah dengan

wujud lahiriah. Itulah yang menjadi konsep dasar kehidupan manusia Jawa.

Perempuan itu telah menjalankan distansi (mengambil jarak) dengan baik. Dia

telah dapat mengambil jarak dengan dunia sekitarnya. Dia dengan rela menyerahkan diri

dan segalanya kepada-Nya. Narima, menerima dengan pasrah atas nasibnya, sabar

menghadapai kenyataan hidup. Kutipan di bawah ini memperjelas sikap tersebut.

“Aku hanya tersenyum saja sambil mengorek-ngorek sampah. Mereka tahu hanya orang gila yang makan kembang. Tapi biarlah. Itu tidak mengapa. Mereka tidak tahu. Hanya akkulah yang paling tahu mengenai diriku. Selama aku tak merugikan orang lain, aku berani mengatakan bahwa aku tidak gila” (hal. 55).

Setelah tidak mampu lagi untuk merebut sisa-sisa makanan di bak-bak sampah,

maka dia memutuskan untuk menjadikan kembang-kembang di taman itu sebagai

makanan sehari-hari. Hal itu dilakukan juga sebagai salah satu jalan untuk membuat jarak

(distansi) dengan lingkungan sekitarnya. Perilaku itu tentu saja menjadi bahan ejekan dan

cemoohan, tetapi dia tidak peduli dengan semua itu. Dia ikhlas hati menerima dan merasa

puas dengan nasibnya. Dengan kesabaran yang tinggi dia menjalani kehidupan di dunia.

Hanya orang yang rela dan narima yang dapat menumbuhkan sikap kesabaran.

Kehidupan duniawi pada dasarnya adalah kesengsaraan yang dalam konsep ajaran

Budhis disebut “samsara”, menuju kehidupan yang lebih kekal di alam “nirwana”.

Page 8: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Kehidupan nirwana dapat tercapai setelah kita mengalami kematian, terbebas dari

belenggu duniawi. Akan tetapi, karena keterbatasan manusia, maka kita tidak akan

pernah tahu apa yang akan terjadi setelah kematian. Apakah betul-betul terbebas dari

samsara dunia atua justru akan menemui kesengsaraan lagi. Tidak seorang makhluk pun

tahu kehidupan apa setelah kematian datang. Hal itulah yang secara tepat digambarkan

oleh Danarto dalam cerpen “Kecubung Pengasihan”, sebagaimana tampak pada kutipan

di bawah ini.

“O, kematian yang kurindukan. Mau dan reinkarnasi yang kerja sama, ayo mendekatlah! Cabut nyawaku!...“Ayo! Inilah aku. Aku kepanasan. Tolonglah aku, wahai Sang Maut! Air! Air! Air kematian yang sejuk! Bawalah kemari! Kemari!” Kata Mawar.“O, kadang-kadang kutemukan diriku adalah seorang pembunuh yang menipu,” … Kurayu kalian dengan segala bayangan kesenangan tentang kehidupan sehabis kematian … “Siapa yang btahu timbangan kita? Mana yang lebih berat? Dosa atau kebaikan? … Tidak seorang makhluk pun tahu tentang timbangannya (hal. 59)

Dalam pandangan masyarakat Jawa mengenal adanya bentuk reinkarnasi atau

penjelmaan sebagai kelahiran kembali manusia setelah mati dalam wujud lain. Lewat

cerpen ini Danarto memaparkan konsep reinkarnasi melaui dialog tokoh perempuan

bunting dengan bunga-bunga di taman.

“Reinkarnasi macam apa yang kalian bayangkan?“Itu tidak penting! Itu tidak penting! Reinkarnasi macam apa itu tidak penting! Apa-apa mau! Pokoknya, maut datang dulu!” teriak kembang-kembang itu.“Wahai, perempuan manis, bukankah kau pernah cerita bahwa Sidharta Gautama Budha sebelum mencapai Penerangan Yang Mulia, beliau telah hidup berulang-ulang lebih dari 530 kali. Sebanyak 42 kali terlahir sebagai orang yang dipuja-puja. Lalu 85 kali menjadi raja. Terus 24 kali menjadi pangeran. Kemudian 22 kali menjadi orang terpelajar. Lalu 2 kali menjadi maling. Lalu 1 kali menjadi penjudi. Kemudian berkali-kali menjadi singa, rusa, kuda, burung rajawali, banteng, ular, dan juga katak. Bukan main! Mungkin kita nanti jadi kerikil atau cacing atau manusia atau kembali menjadi kembang lagi, tapi lebih buruk: bungan bangkai… (hal 58).

Dalam Hindhu-Budha, ajaran reinkarnasi tidak terlepas dari masalah karma dan

dharma. Karma berkaitan dengan adanya hukum sebab akibat, sedangkan dharma adalah

kewajiban yang harus ditunaikan sesuai dengan kedudukan manusia. Dengan mengikuti

dharmanya secara tepat selama menjalani hidup akan mempengaruhi karma sehingga

kelak akan dilahirkan kembali dengan nasib kehidupan yang lebih baik.

Page 9: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Reinkarnasi diibaratkan menanggalkan seperangkat pakaian usang. Demikian juga

sukma (roh) meninggalkan badan usang dan mengenakan badan baru, menjalani

kelahiran kembali. Reinkarnasi, karma, dan darma menyatu pada kelahiran kembali dan

semuanya mengarah pada terserapnya hidup ke dalam roh alam semesta sebagai tujuan

akhir.

Dalam tahapan perkembangan manusia menuju persatuan dengan Tuhan, dengan

kesadaran penuh bahwa semua makhluk di dunia ini hidup, maka tokoh perempuan

bunting mulai melakukan konsentrasi. Mempertanyakan kembali tentang hakikat dirinya

dan juga makhluk-makhluk lain yang ada di dunia.

“Wahai, kembang-kembang yang jelita. Mengenal kalian seperti mengenal semesta. Suatu kebahagiaan…“Batu-batu menyanyi dan esoknya ia menjelma jadi tumbuhan. Ia lahir dalam dunia baru. Syahdu. Nafas baru, pemandangan baru.. dengan keperkasaan tanggung jawab dan aliran dahsyat nafsu, melompatlah jelmaan baru: Manusia! … O, perjalanan yang jauh dan pedih. Kita ini apa? Dari mana? Mau Ke mana? (hal. 57).

Kemanusiaan yang hakiki pada dasarnya terletak pada tiga pertanyaan dasar yaitu

dari manakah kita dilahirkan? Di manakah kita hidup ini? Dan mau ke manakah kita

pergi? Tiga pertanyaan itulah yang menjadi ajaran pokok dalam ajaran Uphasihad pada

paham Budhisme. Uphnisad dari kata “upa” yang berarti dekat dan “shad” yang berarti

duduk. Uphanisad adalah ajaran yang diturunkan oleh para bijak bestari kepada muri-

murid yang duduk di dekat mereka. Ajaran tentang hakikat manusia dan kemanusiaan,

hakikat hidup dan kehidupan.

Dengan kesadaran penuh bahwa hidup di dunia ini sebenarnya adalah “samsara”,

kesadaran akan dosa-dosa yang berakibat sanksi reinkarnasi, perempuan itu memutuskan

untuk tidak makan apa-apa. Dia hanya menghirup udara, memasuki tahap tapa brata. Ia

berusaha menginggalkan keinginan-keinginan jasmaniah.

“Aku sekarang telah melihat. Seolah-olah aku melihat segalanya. Kini aku sangsi. Ya, hari ini aku sangsi. O, betapa tidak enaknya hidup di dunia. Hingga aku kepingin juga mati. Sejak sekarang aku tidak akan mengganggu kalian,” kata perempuan itu (hal. 60).

Penderitaan hidupnya semakin memuncak dengan robohnya jembatan yang

merupakan tempat tinggal satu-satunya. Tempat tinggal yang menandai adanya hubungan

Page 10: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

dengan dunia ramai. Tetapi, jembatan itu kini telah roboh, dengan begitu putuslah

hubungannya dengan dunia ramai, dengan teman-temannya yang semua ikut terkubur

hidup-hidup.

“Wajahnya menyeringai dan air matanya meleleh. Ia hampir-hampir tidak percaya akan matanya. Jembatan itu benar-benar hancur lebur .. (hal 68).

Robohnya jembatan yang dianggap sebagai gereja-masjid tersebut juga

mengisyaratkan perjalanan kehidupan selanjutnya yang akan dialami. Kini tidak ada lagi

tempat untuk menangis, mengadu sepuas-puasnya kepada Tuhan tentang kesengsaraan.

Tempat untuk mencari dan mencitai Tuhan dan pasarah kepada-Nya.

Pada puncak penderitaannya, ia telah dapat melepaskan raga dari jiwanya. Ia telah

meninggalkan dalam material. Terlepas dari dunia inderawi dan rohnya serasa melayang

meninggalkan jasadnya ke dalam alam astral.

“Ia merasa seolah-olah melayang. Rohnya serasa melayang meninggalkan jasadnya ke alam astral. Ajaib! Ia merasa anggota-anggota badannya, tangannya, kaki-kakinya, bahkan seluruh tubuhnya rontok…perempuan itu merasa lebur jiwanya dan melayang-layang dalam angkasa hampa udara. Perasaan yang campur baur dan tak karuan antara sendu, haru, dan bahagia … (hal.71).

Perempuan itu telah usai memasuki tahap berikutnya, tahap pemudaran. Ia sudah

mulai masuk alam lain, berada dalam keadaan mati sajroning urip. Kutipan di bawah ini

merupakan gambaran kondisi tersebut.

“O, peristiwa yang cemerlang. Tuan-tuan sungguh mulia. Saya cinta kepada tuan-tuan. Cinta kasihku melebihi sebuah pinangan, tetapi maafkan perempuan bunting ini, ia sesungguhnya telah dipinang,” (hal. 73).

Di situlah perempuan itu berhasil mencapai tempat kediaman Tuhan dan berupaya

bersatu dengan Tuhan. Dia telah mencapai sifat-sifat Tuhan, ngiribi sifate Allah. Seluruh

sifatnya telah berkembang menjadi cinta kasih universal yang metafisik.

“Perjalananku ini tidak lain hendaknya bertemu dengan-Nya. Rindu dendamku sudah tidak bisa ditangguhkan lagi. Izinkan aku melanjutkan langkahku kepada-Nya. Inilah akhir masa rinduku yang lama. Tinggal sejengkal lagi. Tinggal sejengkal …. (hal. 73).

Akhirnya perempuan itu berhasil menyatu dengan Tuhan, manunggaling kawula

gusti, sebagai tujuan utama hidup. Hidup yang telah lengkap, yang didambakan oleh

Page 11: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

setiap insan. Ia telah berhasil mencapai kukusing angin, menemukan galihing kangkung,

dan sampai pada tujuan abadi dalam kehidupan yang kekal. Dia telah terbebas dari

kesengsaraan, terbebas dari tuntutan kelahiran kembali atua reinkarnasi.

“O, kematian, selamat berpisah. O, kesengsaraan, selamat tinggal denganmu. Pada perjalananku yang terakhir, engaku beban pedih, dapat juga akhirnya kutanggalkan dari pundakku …“O, pohon hayatku! O, permata cahayaku!” hati perempuan itu menyanyi, “Lihatlah! Aku lari ke haribaan-Mu! Aku memenuhi undangan-Mu! Sambutlah! (hal 74).

Dalam ajaran Buhdis, perempuan itu telah terlepas dari Tanha, terbebas dari

pengaruh hukum Patticasamupada dan Punarbhava. Menurut ajaran tasawuf, keadaan

perempuan itu telah sampai pada taraf ma’rifat. Bersatu dengan pengenalan terhadap

sifat-sifat Tuhan. Dalam pandangan wujudiyah berarti telah mencapai persatuan dengan

Tuhan. Tuhan amat dekat, seperti dekatnya kita dengan urat leher.

E. Penutup

Melalui cerpen “Kecubung Pengasihan”, secara jelas Danarto berusaha

menggambarkan perjalanan kehidupan manusia dalam usaha mencapai kesempurnaan

hidup. Kesempurnaan hidup menurut pandangan masyarakat Jawa adalah upaya

pencapaian penyatuan dengan Tuhan. Dalam cerpen ini, konsep atau pandangan

pantheistik tampak jelas pada amanat, ajaran, dan perilaku tokoh. Perilaku hidup tokoh

dalam menyikapi hubungannya dengan Tuhan, lingkungan, kehidupan, dan diri sendiri.

Semua itu diarahkan pada satu tujuan hakiki yaitu proses untuk bersatu dengan Tuhan.

Perjalanan yang berupa proses perubahan wujud dari yang paling kasar (badan wadhag)

menuju wujud yang paling halus (tanujud, adikodrati).

Page 12: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Daftar Pustaka

De Jonh, S. 1978. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Danarto. 1978. Godlob. Jakarta: PT. Temprint.

Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita

Hadiwijoyo, Harun. 1983. Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Hardjowirogo, Marbangun. 1984. Manusia Jawa. Jakarta: Inti Idayu Press.

Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Mulder, Neils. 1985. Pribadi dan Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Rampan, Korie Layun. 1982. Cerita Pendek Indonesia Mutakhir: Sebuah Pembicaraan. Yogyakarta: Nuc Cahaya.

Sundari, Siti dkk. 1985. Memahami Cerpen-cerpen Danarto. Jakarta: P3B Jakarta

Hamka. 1985. Renungan Tasawuf. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Widyadharma, Pandita S. 1983. Intisari Agama Budha. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Budhis Nalanda.

Anwar Efendi, lahir di Madiun 15 Juli 1968. Menyelesaikan S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP MALANG (sekarang UM) tahun 1993, dan S-2 Ilmu Komunikasi di Pascasarjana Unpad Bandung tahun 2001. Sejak tahun 1994 menjadi tenaga pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY. Karya Ilmiah yang dihasilkan antara lain: (1) Aspek-Aspek Inkonvensional dalam Novel-novel Putu Wijaya (2003), (2) Aspek Retorik Bahasa Iklan (2003), (3) Pengajaran Sastra Berdimensi Multikultural (2003), (4) Kebiasaan Bercerita sebagai Sarana Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anak (2004), (5) Simbol Waktu dalam Puisi Goenawan Moehamad (2005), dan (6) Alienasi Tokoh Utama dalam Novel POL Karya Putu Wijaya (2005).

Page 13: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Pokok Pandangan Mistik dalam Kumpulan Cerpen Adam Ma’rifat Karya Danarto

Sebagai sebuah karya sastra modern yang profetik, cerpen-cerpen Danarto menghadirkan

dunia-dunia rekaan yang sarat dengan pesan-pesan sufistik. T.H Sri Rahayu Prihatmi

menyebut dunia cerita Danarto ini sebagai sebuah fantasi, namun juga bukan sepenuhnya

fantasi. Maksudnya bahwa dunia cerita Danarto seringkali keluar dari logika, konvensi

dan indera sebagaimana dalam dunia nyata, melainkan sebagai sebuah dunia yang

sunyaruri dan tak mau dibatasi dengan ruang atau waktu. Tokoh-tokohnya juga bukan

tokoh yang 'men-darah daging' seperti halnya manusia lumrah dalam kehidupan nyata,

namun sebagai tokoh yang sulit teridentitaskan.

Namun demikian cerpen Danarto juga tidak sepenuhnya disebut sebagai fantasi karena

dunia cerita yang dihadirkan Danarto sesungguhnya benar ada dan mengacu pada realitas

dunia ini. Umpamanya:

Setelah upacara temu itu selesai kembali gamelan mendengungkan musiknya untuk

mengiring tujuh belas penari Bedoyo. Ayu-ayu, remaja putri yang membuahkan

semangat. Merekahkan suatu nilai yang gilang gemilang, yang ditebak bisa, tapi dipegang

jangan.

Diatas semuanya itu, guru tari mereka, eyang itu, memegang kemudi. Langit dan bumi

seperti di telapak tangannya. Ruang dan waktu seperti di sakunya. Matanya yang

memancarkan kendali dari segala jenis keluwesan itu, tak pernah lepas menerkam anak-

anak didiknya yang lemah gemulai. Menengadah dan miring. Lalu terbang mengitari

mempelai, itu yang bila dilihat dari hukum keseimbangan, mereka pasti sudah jatuh

terkapar di lantai.

Dalam cerpen "Bedoyo Robot Membelot" itu peristiwa temu pengantin dan pesta

pengantin itu sendiri adalah peristiwa-peristiwa konvensional, tetapi peristiwa

melayangnya tujuh belas penari bedoyo remaja itu merupakan peristiwa di luar konvensi

dan logika.

Demikian pula peristiwa dan tokoh yang merupakan paduan antara dunia nyata dan tidak

nyata itu terdapat hampir menyeluruh dalam setiap jaringan unsur-unsur cerita yang

lainnya juga. Dunia nyata seperti misalnya Sekolah Dasar dalam cerpen "Mereka Toh

Tidak Mungkin Menjaring Malaikat", daerah rumah kontrakan dalam cerpen "Megatruh",

Page 14: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Kotagede yang dipastikan berjarak lima kilometer arah selatan kota Yogyakarta dalam

cerpen "Lahirnya Sebuah Kota Suci", tempat pesta perkawinan dalam cerpen "Bedoyo

Robot Membelot", dan konser Jass George Benson dalam cerita pendek berjudul .

Adapun dunia tidak nyata di dalamnya seperti: malaikat Jibril bermain dengan anak-anak

dalam cerpen "Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat", bahtera dari aspal

terminal yang melaju dalam cerpen "Adam Ma'rifat", ruangan tukang jam yang dapat

membawa orang melihat kenyataan siapa dirinya dalam cerpen "Lahirnya Sebuah Kota

Suci", dan ruang rias yang sebenarnya tidak pernah ada dalam cerpen "Bedoyo Robot

Membelot".

Benturan dan ramuan dunia cerpen Danarto dimana yang tidak nyata dapat menyusup

masuk ke dalam yang nyata menyiratkan 'kemenyatuan' yang menurut Fudoli Zaini

disebut sebagai dunia 'dalam' dan dunia 'luar'. Keduanya merupakan jalinan kehidupan

ini. Sebagaimana yang dzahir dan yang batin (Huwa ad-dza>hiru wa al-ba>tinu). Tuhan

juga menjalin kehidupan di dalam apa saja yang nampak di dunia ini. Seperti yang

dinyatakan oleh Adam Ma'rifat : 'kau adalah aku yang nampak dan aku adalah engkau

yang tak tampak".

Membaca makna pesan yang terkandung dalam cerpen-cerpen Danarto itu kita akan

segera tahu bahwa pada hakikatnya Tuhan meng-Esa dalam keberagaman makhluknya.

Mereka yang tahu akan hal demikian maka ia telah mencapai suatu pengetahuan yang

paling tinggi ialah ma'rifat. Di dalam kumpulan cerpen Adam Ma’rifat tersirat bahwa

Tuhan adalah ruh semesta, Tuhan adalah proses dan juga segalanya. Ini dibuktikan dalam

cerpen berjudul "Adam Ma'rifat" :

…akulah ruh semesta yang meneteskan ilmu pengetahuan dalam otakmu, akulah proses,

bercerminlah kepadaku dan engkau tidak akan menemui yang lain kecuali aku,

terpampang wajahku senyata-nyatanya wajahmu, sebenarnya semuanya itu sebuah ujian,

semuanya toh akan menjadi aku akhirnya, semuanya adalah darahku, aku mengalir dalam

darahmu, aku bara darahmu,…

Kemudian tidak hanya cerpen Adam Ma'rifat, konsep tentang 'kesatuan' juga dapat

dipahami melalui cerpen berjudul "Lahirnya Sebuah Kota Suci", dimana di situ

ditunjukkan bahwa manusia akhirnya luluh (fana’) ke dalam Tuhan. Hamba atau ciptaan

Page 15: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

manunggal dengan Penciptanya. Sebuah konsep yang dalam istilah tasawuf juga disebut

wahdat al-wuju>d. Atau yang dalam pandangan Jawa dikenal dengan manunggaling

kawula-gusti. Di dalam cerpen itu disiratkan bagaimana pada akhirnya orang-orang itu

melihat kenyataan bahwa dirinya tak lain adalah Tuhan.

Lalu keheningan kembali menengok dirinya sendiri. Ia terkesiap. Ia melihat dirinya

sendiri. Ia melihat kitab-kitab suci dirinya sendiri. Ia kembali terkesiap. Aku telah

menulis kitab suci begitu banyak. Kitab-kitab suciku. Aku telah melahirkan bagitu

banyak nabi-nabi. Nabi-nabiku. Aku telah memahat malaikat-malaikat begitu banyak.

Malaikat-malaikatku. Aku telah menciptakan cermin-cermin begitu banyak. Cermin-

cerminku. Lalu aku pecahkan semua cermin itu, hingga aku bisa melihat diriku sendiri.

Dalam Serat Centhini, seperti yang dikutip Zoetmulder, manunggaling kawulo gusti

adalah tingkatan yang diperoleh ketika seseorang melepaskan diri dari segala ikatan, dan

memasuki tahap pelenyapan diri secara total. Dimana seseorang bisa memandang tanpa

tirai. Lepas dari ikatan indera mereka untuk mempersatukan diri dengan Tuhan.

Gagasan-gagasan mistik seperti ma'rifat, wahdat al-wuju>d, hulul, fana’ atau

manunggaling kawulo gusti merupakan bentuk mistik yang hadir sebagai jalinan antara

dunia nyata dan tidak nyata cerita-cerita Danarto dalam kumpulan cerpen Adam Ma'rifat.

Pandangan dunia ini menyiratkan ke-manunggal-an antara manusia dengan Tuhan – yang

melalui suatu 'proses' maka ia akan kembali dan bersatu antara keduanya.

Dalam spiritualitas Jawa, seperti pada Serat Wirid Hidayat Jati sebagaimana dikutip oleh

Simuh, proses tersebut tidak lepas dari konsepsi penciptaan di dalam ajaran "Martabat

Tujuh" yang bisa dirangkum sebagai berikut:

1. Sajaratul Yakin, yang disebut juga dengan hayyu (hidup), dan atma, yaitu inti terdalam

bagi manusia

2. Nur Muhammad atau yang disebut juga sebagai nur yang berada di luar hayyu

3. Mir'atul Haya'i atau yang disebut juga sebagai sirr atau rahsa, berada di luar nur

4. Ruh Idzafi atau nyawa yang disebut juga dengan sukma, yang berada di luar sirr

5. Kandil yang dipersamakan dengan nafsu, letaknya adalah di luar ruh

6. Dzarrah yang sering disebut sebagai budi, berada di luar ruh

7. Hijab, adalah martabat Insan Kamil yang sama dengan jasadi dan berada di luar budi.

Page 16: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Pada kutipan "…aku telah menulis kitab suci begitu banyak…" menunjukkan dengan

jelas bahwa orang-orang yang berada dalam lingkaran itu mencapai puncak kesadaran

mistik, sebuah esensi bahwa dirinya itu Tuhan. Unsur-unsur kemanusiaan dalam hal ini

telah lenyap (luluh / fana’) dan mencapai derajat kemenyatuan dengan Tuhan. Inilah

sebabnya Danarto menggunakan kata-kata "Lalu aku pecahkan semua cermin itu, hingga

aku bisa melihat diriku sendiri."

Cermin merupakan analogi bagi manusia, yang apabila ia ingin mengenal Tuhan maka ia

harus mengenali hakikat dirinya sendiri (man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu).

Melalui dirinya sendirilah ia dapat melihat 'wajah Tuhan'. Dan dipecahkannya cermin itu

berarti menggambarkan hilang (luluh)nya sifat-sifat kemanusiaan dan kemudian

tergantikan dengan sifat-sifat Ketuhanan, "…hingga aku bisa melihat diriku sendiri."

Untuk dapat mengenal hakikat diri, seseorang bisa memulainya dari bawah ke atas.

Istlahnya taraqi (mendaki), yakni dari tingkatan paling bawah dalam Martabat Tujuh, lalu

terus naik hingga sampai pada tingkatan tertinggi. Mula-mula ia mengenal dirinya

sebagai manusia secara jasmani. Kemudian naik, mengenal dirinya sebagai bangunan

sebuah jiwa dengan segala pernik-pernik di dalamnya. Selanjutnya naik lagi, mengenal

dirinya sebagai roh. Lalu ia mengenal dirinya sebagai satu kesatuan alam semesta yakni

Nur Muhammad. Hingga akhirnya ia mengenal diri sesungguhnya, ia lebur, lenyap dalam

Dzat Tuhan yang Nyata.

Namun dalam rangka menuju terbukanya tabir penyekat itu, selain mengetahui makna

hidup sejati secara taraqi, juga ditentukan oleh tingkat "penerimaan" dan "kepasrahan"

seseorang ke tingkat "kelepasan". Dalam cerpennya yang berjudul ”Megatruh”, Danarto

menggambarkan kepasrahan itu sebagaimana para tokohnya disedot oleh zat asam yang

mereka tak tahu kemana ia membawanya. Mereka larut dalam kehendak zat asam itu

hingga akhirnya sampai pada tingkat 'kasunyatan' tersebut.

Mendadak kami bertiga disedot zat asam dengan kecepatan tinggi entah dibawa kemana

lagi. Dalam keadaan yang melayang itu sempat batang pisang bersungut-sungut kepada

kadal. Sampailah kami di dalam ruangan yang mahabesar dengan suara kembang-kempis

yang dahsyat dalam hamparan terang-benderang yang mentakjubkan tanpa Utara,

Selatan, Barat dan Timur. "Tanda-tanda" berseliweran silang-selungkai di sisi-sisi kami,

ibarat pemantapan untuk tubuh-tubuh kami yang layang-melayang untuk bersahabat

Page 17: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

dengan tanda-tanda itu, tetapi zat asam terlalu sibuk menggoncang-goncangkan kami,

membenturkan pada dinding yang melentur seperti karet, meskipun harus kami akui

sebenarnya kami tidak melihat apa-apa kecuali gilang-gemilangnya cahaya yang

menghantarkan kehangatan.

"Megatruh" sendiri sebagai judul cerpen tersebut apabila ditelusuri dari makna kata dan

asal usulnya merupakan salah satu jenis tembang Jawa yang berarti 'Tembang Kematian'

(saat-saat duka). Dari kata pegat (bercerai) dan ruh (jiwa). Namun kematian disini bukan

pada kematian tubuh fisik yang dapat diobservasi, melainkan pada dua dimensi

"kelahiran" spiritual manusia. "Kebangkitan Kecil" yang merupakan otonomi wujud jiwa

seperti yang dialami oleh masing-masing orang, dan "Kebangkitan Besar" yang

merupakan pengalaman langsung yang jauh lebih matang dari semua wujud yang telah

ditentukan (baik psikis maupun material) seperti yang terpancar dari dasar.

Pandangan tentang kematian ini sebagaimana pernah ditegaskan oleh tokoh sufi dari

Jawa yang kontroversial, Syekh Siti Jenar. Ia memandang kehidupan di dunia sebagai

kematian yang singgah di dalam raganya. Inilah yang membuat manusia tersesat di dunia

di dalam neraka yang dahsyat. Jasad yang mengandung pancaindera, melihat dunia

terbentang, matahari menyusup di langit, melihat dunia serta memupuk kekayaan, tanpa

menyadari sebagai kematiannya di dunia.

Begitu pula tokoh-tokoh sufi semisal Al-Hallaj, Ibn 'Arabi, Bayazid Bustami, dan lain-

lainnya. Sehingga Al-Hallaj pun pernah mengemukakan pernyataannya ini: "Bunuhlah

aku, Saudara-saudaraku seiman! Karena dalam Kematian itulah hidupku. Hidupku adalah

kematian, dan kematian adalah hidupku".

Konsep 'kematian ego' sebagai bagian dari ajaran mistik yang ditunjukkan Danarto

diantaranya lewat cerpen ”Megatruh” ini menurut Rayani, adalah disebabkan akar alam

mistis yang telah menempa pengarangnya (Danarto) untuk menggelayut pada keriaan

janji alam seberang. Dan tokoh-tokoh dalam "Megatruh" itu memerankan keyakinan itu

dengan sempurna. Sehingga Danarto sendiri memerankan fungsi sebagai arus-arus dalam

menemukan kristal hakikat. Semacam pra-katarsih melihat 'Wajah Tuhan'. Dan satu-

satunya sikap adalah dengan membasuh pamrih darinya demi jalan lempang menuju

realisasi keyakinan itu sendiri.

Page 18: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

C. Kecenderungan Mistik Kumpulan Cerpen Adam Ma’rifat

Dari gambaran tersebut, maka dapat dilihat bagaimana kecenderungan mistik dalam

Kumpulan Cerpen Adam Ma'rifat. Sehingga setidak-tidaknya, hal itu bisa dikategorikan

dalam dua kerangka metode pendekatan. Pertama, pendekatan terhadap struktur jalinan

berpikir kefilsafatan. Dalam perspektif ini Danarto menyajikan rangkaian cerita yang

justru lebih menonjol adalah pesan-pesan sufistik yang berlatarkan Islam-Jawa; yang

menggumuli Islam dengan warna kebudayaannya sendiri. Namun kejawaannya berada

dalam setting 'Indonesia-Jakarta' yang multidimensional pertumbuhan sistem-sistem nilai

budayanya.

Kedua, pendekatan terhadap karakter penokohan, alur cerita, latar dan setting yang

dipakai dalam Adam Ma'rifat. Dalam perspektif ini tinjauannya lebih pada kerangka

teoritik pendekatan secara analisa sajian dan plot. Sehingga dalam hal ini terlihat dengan

jelas bagaimana Danarto, juga bermaksud untuk mempertemukan gagasan antara dunia

nyata dan tidak nyata. Atau memakai istilah yang dipakai Fudoli Zaini, sebagai dunia

"dalam" dan dunia "luar" untuk menunjukkan keterjalinan antara "yang nampak" dan

"yang tak nampak".

Kesatuan 'hakikat’ Wujud yang nampak dalam cerita-cerita Danarto merupakan

hubungan yang terjalin tanpa adanya distingsi. Seolah tak ada lagi jarak antara manusia

dengan Tuhan. Sehingga dengan tersebut-lah yang dinamakan dengan Union Mistik atau

Kesatuan Mistik. Sebagai proses terjadinya pengalaman kemenyatuan antara jiwa

manusia dengan realitas yang lebih tinggi, yaitu Tuhan, yang diperoleh tanpa melalui

perantara, dan yang terjadi secara langsung seperti gambaran penyatuan yang tertinggi

dari jiwa manusia.

Namun demikian, corak Union Mistik (Mistik Kesatuan) yang dimunculkan Danarto

dalam cerpen-cerpennya hanyalah bentuk penggambaran yang lebih jauh tentang

hubungan Tuhan dan makhluk. Oleh karena itu dalam memahami kecenderungan mistik

yang demikian, dalam cerpen Danarto, masih diperlukan adanya pemaknaan yang

sesungguhnya, yang berakar pada spektrum pemikiran Danarto sendiri.

Dalam pemikiran Danarto yang sesungguhnya, konsep Kesatuan Wujud dipahami

sebagai sebuah Kemenyatuan yang sifatnya adalah esensi (Kesatuan – esensi – Wujud).

Page 19: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Hal ini menunjukkan bahwa Danarto sebenarnya memiliki kecenderungan untuk

membedakan antara makhluk dengan Tuhan, yang oleh para penganut Transendentalis

Mistik atau Personal Mistik ditegaskan. Perbedaannya disini adalah jika para penganut

Transendentalis Mistik murni menganggap bahwa Tuhan dan makhluk itu berbeda secara

esensial, maka ’penyatuan’ dalam bentuk apapun tidaklah mungkin bisa terjadi. Adapun

Danarto, meski ia mengakui akan adanya dualitas itu, tapi keberbedaan itu dapat

dikembalikan pada taraf esensinya, karena Tuhan secara esensial juga menurunkan sifat-

sifatnya kepada barang ciptaannya sendiri.

Menurut Danarto, dalam Adam Ma’rifat, antara hamba dengan Tuhan itu ’manunggal’,

namun bukan dalam arti manunggal secara jasmaniah sebagaimana mereka yang

menyatakan benar-benar lebur (fana’) dalam arti menjadi diri Tuhan, akan tetapi

kemanunggalan itu hanya bersifat esensial dimana Tuhan menurunkan citra

Ketuhanannya pada semua makhluk, yang dalam suatu proses maka akan kembali pada

hakikat ke-Ilahiahanya itu. Implikasinya di sini adalah bahwa pengenalan yang sedalam-

dalamnya terhadap diri manusia akan membawanya kepada satu bentuk pengenalan juga

kepada Tuhan. Apabila pengenalan kepada Allah itu tercapai, maka itulah yang di

maksud dengan ma’rifat.

Kecenderungan pandangan wahdatul wujudnya cerpen Danarto adalah bahwa satu-

satunya yang ada (wujud atau exist) di alam semesta ini hanyalah Allah. Dalam hal ini,

yang lain – manusia, dunia, dan seluruh keberadaan fenomenal lainnya – tidak berada

secara terpisah dari - dan sebaliknya, sepenuhnya bergantung kepada – Allah. Dengan

kata lain, kesemuanya itu merupakan bagian dan partisipasi dalam wujud Allah. Jadi

perlu ditekankan bahwa pandangan ini tak menyamakan segala sesuatu (yang tampak

sebagai bukan Allah) itu dengan Allah. Atau, jika coba dirumuskan dengan menggunakan

pernyataan logis, tidak benar jika dianggap bahwa wahdatul wujud di sini berpendapat

bahwa manusia (juga setiap fenomenal lainnya) adalah Allah, dan Allah adalah manusia.

Pandangan ini oleh Haidar Bagir, lebih tepat disebut sebagai tauhid ekxixtensial (tauhid

wujudi) .

Begitu pula Danarto tidak menolak dengan adanya konsep emanasi sebagaimana yang

dikemukakan Ibn ’Arabi, yaitu teori tentang ke-imanen-an Tuhan dalam makhluknya.

Sebab menurutnya itu tidaklah bertentangan dengan apa yang ia yakini sebagai proses

Page 20: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

penciptaan. Emanasi sendiri dimaknai sebagai ’gerak lingkaran Tuhan’, dimana Tuhan

yang menjadi titik awalnya maka Ia pula yang menjadi titik akhirnya (Inna> lilla>hi wa

inna> ilaihi ra>jiu>n).

Fana’ atau leburnya diri ke dalam diri Tuhan sebagaimana yang terdapat dalam cerita

”Lahirnya Sebuah Kota Suci” di atas, bagi Danarto bukanlah dimaknai sebagai hilangnya

kesadaran, tetapi justru sebagai meningkatnya kesadaran. Sebab ’lebur’nya tersebut

bukan dalam arti lebur secara wujudiah-jasmaniah, melainkan pada taraf ke-esensial-an

tersebut. Maksudnya bahwa semua pikiran individu terpadu dalam memahami keagungan

Rabbul ’Alamin, semua perasaan luluh dalam mengalami kasih sayang ar-Rahman ar-

Rahim dan semua kemauannya tunduk dalam mengamalkan kemauan Maliki Yaumiddin.

Dalam hal ini kesadaran insaniah telah tergantikan dengan kesadaran Rabbaniah atau

yang disebut sebagai nilai-nilai Ketuhanan.

Armahedi Mahzar mengungkapkan tentang maksud meningkatnya kesadaran mistik ini

meliputi kedua dimensi integralitas, yaitu dimensi horisontal dan vertikal. Pertama, dalam

dimensi horisontal dia melampui kesadaran akan kesatupaduan umat manusia dan

mencapai kesadaran akan kesatupaduan alam semesta dimana dia merasa tubuh dan

hidupnya merupakan bagian integral dari kesatupaduan alam semesta. Dalam perkataan

lain, di dalam kesadan mistik, kesatupaduan obyektif alam semesta masuk sebagai

kesatupaduan subyektif. Inilah yang sering disebut dengan kesadaran kosmis.

Kedua dalam dimensi vertikal, artinya terdapat kesejajaran antara keempat tingkat

perwujudan kekuasaan Allah SWT dengan keempat tingkat kesadaran diri pribadi

manusia, alam nasut, alam jabarut, alam malakut, dan alam lahut. Peningkatan kesadaran

mistik ini bukan saja tubuh dirasakan lenyap dalam kesatupaduan hirarki horisontal

sistem-sistem konfigurasi materi yang di dalam tradisi tasawuf dikenal sebagai alam

nasut, tetapi juga hidup dan semua perilaku dari manusia lenyap dalam kesatupaduan

hirarki horisontal proses-proses transformasi energi yang dikenal dalam tradisi tasawuf

sebagai alam jabarut. Begitu pula semua pikiran, perasaan dan kemauannya larut dalam

kesatupaduan hirarki konfigurasi informasi semesta yang dikenal dalam tradisi tasawuf

sebagai alam malakut. Demikian juga semua nilai-nilai keyakinannya terintegrasi ke

dalam kesatupaduan hirarki sistem-sistem nilai transendental yang dikenal dalam tradisi

tasawuf sebagai alam lahut.

Page 21: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Kecenderungan mistik yang universal dalam alam pikiran cerpen Danarto juga

menggambarkan pola keadaan yang menurut T.H Sri Rahayu Prihatmi disebut 'kebenaran

mengalir' atau 'kebenaran melayang'. Kebenaran ini dimaksudkan sebagai kebenaran

yang berasal dari Tuhan di dalam bentuknya yang di luar batas logika, konvensi dan

indera. Tuhanlah yang membawa mereka ke daerah kebenaran mengalir itu, yang sifatnya

luwes dan tidak tercampuri oleh kebohongan logika, indera dan bahkan konvensi agama

yang penuh dengan ukuran-ukuran. Hal ini seperti yang terjadi pada kisah antara kadal,

batang pisang, tokoh 'aku' dan juga zat asam dalam cerpen Megatruh.

… Dalam keadaan yang melayang itu sempat batang pisang bersungut-sungut kepada

kadal. Sampailah kami di dalam ruangan yang mahabesar dengan suara kembang-kempis

yang dahsyat dalam hamparan terang-benderang yang mentakjubkan tanpa Utara,

Selatan, Barat dan Timur. "Tanda-tanda" berseliweran silang-selungkai di sisi-sisi kami,

ibarat pemantapan untuk tubuh-tubuh kami yang layang-melayang untuk bersahabat

dengan tanda-tanda itu, tetapi zat asam terlalu sibuk menggoncang-goncangkan kami,

membenturkan pada dinding yang melentur seperti karet, meskipun harus kami akui

sebenarnya kami tidak melihat apa-apa kecuali gilang-gemilangnya cahaya yang

menghantarkan kehangatan.

Hamparan terang bendera tanpa Utara, Selatan, Barat dan Timur adalah gambaran daerah

'kebenaran melayang' atau 'mengalir' yang berarti tanpa batas. Sifatnya luwes seperti

dinding karet yang membentur-bentur mereka. Adapun "tanda-tanda" yang berseliweran

adalah ukuran-ukuran yang pasti. Namun demikian di situ digambarkan betapa zat asam

– pembimbing tokoh-tokoh itu – lebih kuat membawa mereka ke daerah kebenaran

mengalir yang penuh dengan gilang-gemilang cahaya itu.

Aspek mistik yang ditunjukkan dalam cerpen Danarto, menurut Huijbers – sebagaimana

dikutip oleh Yoseph Yapi Taum, tidak terfokuskan pada Tuhan saja, melainkan lebih

merupakan ide-ide manusia tentang hidup manusia sendiri. Paham mistik sendiri tidak

terbatas pada agama-agama tertentu (meskipun banyak yang mengatakan bahwa paham

ini adalah produk dari agama-agama kuno), melainkan paham universal yang sifatnya

'mengalir' dalam berbagai agama dan pandangan teologis.

Page 22: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

'Kebenaran mengalir' dalam cerpen Danarto itu yang dilukiskannya sebagai hamparan

terang benderang tanpa Utara, Selatan, Barat dan Timur menunjukkan ketidakterbatasan

dalam sebuah ruangan maha besar; Tuhan. Semua adalah satu, adalah esa, adalah tunggal.

Dalam satu terkandung semua, dalam semua terkandung satu. Atau juga berarti manusia

dalam Tuhan, dan Tuhan dalam manusia. Kebenaran mengalir menunjukkan

'kemenyatuan' semua itu.

Menurut perspektif filsafat Eksistensialisme, paham ini mencakup pemahaman tentang

Eksistensi Metafisik. Beberapa persoalan mengenai hal tersebut diantaranya keber-Ada-

an, perasaan atau emosional, dimensi esoterik, dan kesadaran. Konsep-konsep tersebut

muncul, baik di dalam filsafat menjelaskan pendekatan terhadap konsep tentang

transendensi maupun jawaban radikal tentang hakikat Realitas yang tersembunyi.

Seorang tokoh eksistensialis Barat, Karl Jespers (1883-1969), menghubungkan konsep

'pencakupan' dan ’kesatuan’ ke dalam wujud Transendent. Menurut Jaspers, ada satu

yang 'mencakup'. Yang membuat dirinya sendiri, tetapi dari segala sesuatu yang berasal

dari-Nya dan merasakan-Nya.

'Kecakupan' itulah seperti halnya yang dilukiskan Danarto melalui sebuah pesawat

pengurai bernama SMPVTU dalam cerpen berjudul (gambar 'ngung cak' yang dibuat

diatas paranada). Sebuah alat dari 'laboratorium' musik milik Otto Weizenbergen, seorang

komposer Jerman yang mampu memperlihatkan jasad dan warna suara dari setiap adegan

dan kejadian yang direkam. Ringkik penari koor cak saat menarikan tarian Sang Hyang

Jaran, percakapan penonton, bunyi binatang, bunyi komputer, dan semua kejadian di

dalamnya nampaklah darah - daging dari suara yang dihasilkannya.

… secara jasadi kita bisa melihat darah dan daging musik. Perhatianku tak berpaling dari

layar kecil itu, seolah-olah aku juga sibuk seperti Otto yang selalu beroperasi dngan

tombol-tombol pengurai yang menjadikan jasad msuik itu tampak berpijar-pijar di layar,

kadang-kadang berupa jalur yang panjang dengan warna-warna biru, oranye, merah,

putih violet, … sementara dengusan komputer yang senyap tetap tertangkap telinga':

ngung ngung ngung ngung ngung ngung ngung ditingkah kur cak dengan irama pasang

surut yang amat kaya warna: cak cak cak cak cak cak cak…

Page 23: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Segala peristiwa seperti disatukan dalam pesawat pengurai itu. Baik yang dekat maupun

yang jauh. Juga peristiwa masa lalu dan masa kini. Bagaimana semua itu disatukan

ternyata tidak lepas dari kesatuan semangat modern dan semangat kuno : dengan setiap

kali mengarahkan pesawat pada bongkahan-bongkahan bara upacara maka dapat

disuguhkan masa lalu baik dalam maupun luar negeri, demikian pula peristiwa yang saat

itu sedang terjadi: bukan saja di tempat upacara, melainkan juga tempat-tempat di luar

negeri. Secara cepat terpampang berganti-ganti peristiwa dari satu negeri ke negeri yang

lain, seperti yang terbukti dalam kutipan berikut:

… Kejadian sering begitu cepat terpampang sehingga sukar ditebak, peristiwa apa itu.

Pesawat concorde yang tinggal landas. Kapal laut yang mengangkut para calon haji.

Sebuah pantai yang tenang. Balapan kuda. Orang-orang main tenis.

Ikan paus menyembur. (Persis filem iklan atau filem warta berita dunia yang sering saya

saksikan). Orang-orang melakukan gerak badan. Keramaian lalu lintas sebuah kota besar.

Pertunjukan sandiwara. Bara berpijar-pijar. Suasana padang perburuan. Bara berpijar-

pijar. Suasana festival filem Internasional. Kereta api bawah tanah. Paris. New York.

London. Tokyo. Jakarta. Calcutta. Orang-orang kelaparan. Roma. Los Angeles. Moskow.

Sidney. Ribuan orang berteriak gegap gempita. Warsawa. Madrid. Demonstrasi

pembangunan lapangan udara.

Digunakannya media di luar bahasa yaitu puisi-puisi konkrit dalam bentuk tipografi dan

media dari dunia musik yaitu paranada dan titinada, gambar/lukisan, semakin

memperkuat akan pandangan mengenai 'Kecakupan di dalam semua' tersebut.

Sudah dimaklumi bahwa alam beserta isinya merupakan perwujudan Tuhan sendiri,

segala yang ada di dunia ini baik benda konkrit maupun benda abstrak, sebenarnya

merupakan selimut Tuhan, yang tetap memancarkan siapa dia sesungguhnya, siapa

dirinya sebenarnya, yaitu Tuhan sendiri. Yang dalam kaitannya dengan proses penciptaan

menurut ajaran emanasi, semua sebenarnya telah tercakup dalam Tuhan. Dengan

demikian keragaman yang ada sekarang pada hakikatnya berasal dari sumber yang sama,

yaitu Tuhan. Dalam kutipan tersebut seolah dinyatakan : "dalam: warna suara, warna

jasad dan lain-lain; mereka juga merupakan pancaran Tuhan."

Page 24: Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa

Pandangan terhadap persoalan tersebut tidak menutup kemungkinan juga mendapat

pengaruh dari pemikiran-pemikiran para sufi besar, semisal al-Hallaj, Jalaluddin Rumi,

Ibn 'Arabi, termasuk juga al-Gazali yang telah dipadukannya melalui simbol-simbol

cerpennya. Terlepas dari itu, cerpen Danarto mengungkapkan sebagaimana pandangan

Ibn 'Arabi, bahwa manusia dan kosmos adalah serupa, bahwa masing-masing diciptakan

menurut mode yang berbeda (tafshil). Akibatnya, setiap nama dan masing-masing nama

Tuhan menampilkan panorama kemungkinan eksistensial yang sangat luas. Sebaliknya,

manusia menunjukkan sifat dan efek semua nama Tuhan tersebut relatif dengan mode

variatif ('Ijmal). Dan dalam kosmologi Jawa kemudian juga dikenal istilah "jagad cilik"

(mikrokosmos) dalam hal ini manusia sebagai pusat kosmis, sedangkan "jagad gede"

(makrokosmos) adalah alam raya. Dalam kultur Jawa, manusia berupaya

menyeimbangkan dan menyatukan kosmis tersebut mengingat pada asal kejadiannya

bahwa semua adalah berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan. Dan semua akan kembali

pada satu medan Qadim juga; Tuhan.

Fairuzabadi.2010. Pokok Pandangan Mistik dalam Kumpulan Cerpen Adam Ma’rifat Karya Danarto

http://fzabadi.blogspot.com/2010/10/pokok-pandangan-mistik-dalam-kumpulan.html