Keseimbangan Natrium Dan Hipertensi

download Keseimbangan Natrium Dan Hipertensi

of 27

Transcript of Keseimbangan Natrium Dan Hipertensi

REFERAT UJIAN

KESEIMBANGAN NATRIUM DALAM HIPERTENSI

Oleh : Esti Rahmawati Suryaningrum G0007064

Pembimbing:

Dr. dr. Bambang Purwanto, Sp. PD-KGH-FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah yang bisa menyebabkan berbagai komplikasi terhadap beberapa penyakit lain, bahkan penyebab timbulnya penyakit jantung, stroke, dan ginjal. Di seluruh dunia, hipertensi merupakan masalah yang besar dan serius. Di samping karena prevalensinya yang tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang, juga karena tingkat keganasannya yang tinggi berupa kecacatan permanen dan kematian mendadak. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2003 menunjukkan bahawa kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah mencapai 29.2% dari seluruh kematian di dunia atau 16.7 juta jiwa setiap tahun ( 7,2 juta PJK ; 5,5 juta penyakit serebrovaskuler; 4 juta hipertensi dan penyakit jantung lainnya). Dari jumlah kematian tersebut, 80% diantaranya terdapat dinegara miskin, menegah, dan Negara berkembang (Hariadi, Arsad Rahim Ali 2006). Data WHO tahun 2000 menunjukkan bahwa sekitar 972 juta (26,4%) penduduk dunia menderita hipertensi dan angka tersebut kemungkinan meningkat menjadi 29,2% pada tahun 2025. Dari 972 juta penderita hipertensi, 333 juta berada di negara maju sedangkan 639 juta sisanya berada di negara berkembang. Di Indonesia, pada tahun 2007, prevalensi hipertensi di daerah urban dan rural berkisar antara 17-21% (Yogiantoro, 2007). Hipertensi sebenarnya merupakan penyakit yang dapat dicegah bila faktor risiko dikendalikan. Salah satu faktor risiko yang saat ini banyak dibahas adalah jumlah konsumsi garam. Riskesdas 2007 melaporkan bahwa hampir seperempat (24,5 persen) penduduk Indonesia berusia di atas 10 tahun mengonsumsi makanan asin setiap hari, satu kali atau lebih. Oleh sebab itu, konsumsi garam di masyarakat Indonesia masih terbilang tinggi, yaitu 15 gram per-orang per-hari. Angka ini jauh dari batas maksimal yang dianjurkan, yaitu 6 gram atau sekitar 1 sendok teh perorang per-hari. Padahal, garam merupakan salah satu bahan yang harus dikurangi jika seseorang ingin terhindar dari hipertensi. Pada populasi

dengan asupan natrium lebih dari 6 gram per hari, tekanan darahnya meningkat lebih cepat dengan meningkatnya umur, serta kejadian hipertensi lebih sering ditemukan. Walaupun hubungan antara retriksi garam dan pencegahan hipertensi masih belum jelas, beberapa studi studi epidemiologi menunjukkan adanya kenaikan tekanan darah ketika asupan garam ditambah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI HIPERTENSI Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps,2005). Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus menerus sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah 110/90 mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi pembuluh darah perifer dan kardiak output (Wexler, 2002).

B. KLASIFIKASI HIPERTENSI 1. Berdasarkan penyebab a. Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup + 90% dari kasus hipertensi (Wibowo, 1999). b. Hipertensi sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi. (Sheps, 2005). 2. Berdasarkan bentuk hipertensi a. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) Adalah peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. b.Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi) Adalah peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol.

c.Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) Adalah peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut. (Gunawan, 2001).

Pada umumnya digunakan klasifikasi JNC 7 (The Seventh Report of The Joint Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure) dan ESH (European Society of Hypertension). Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7 Klasifikasi Tekanan Darah Normal Prehipertensi Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2 Tekanan Darah Sistolik (mmHg) < 120 120 139 140 159 160 Dan Atau Atau Atau Tekanan Darah Diastolik (mmHg) < 80 80 89 90 99 100 (Yogiantoro, 2006)

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah menurut ESH 2007 Kategori Optimal Normal Normal tinggi Hipertensi Derajat 1 (ringan) Derajat 2 (sedang) Derajat 3 (berat) Isolated systolic hypertension (Purwanto, 2009) 140 159 160 179 180 140 90 99 100 109 110 < 90 Sistolik (mmHg) < 120 120 129 130 139 Diastolik (mmHg) < 80 80 84 85 89

C. PREVALENSI Data WHO tahun 2000 menunjukkan bahwa sekitar 972 juta (26,4%) penduduk dunia menderita hipertensi dan angka kemungkinan meningkat menjadi 29,2% pada tahun 2025. Dari 972 juta penderita hipertensi, 333 juta berada di negara maju sedangkan 639 juta sisanya di negara berkembang. Pada tahun 2007, sekitar 50 juta penduduk Amerika Serikat menderita hipertensi dimana 95% diantaranya merupakan hipertensi esensial dan sisanya, 5%, merupakan hipertensi sekunder (Yogiantoro, 2007; Riaz, 2008). Prevalensi hipertensi di benua Amerika lebih rendah dibandingkan di benua Eropa, dimana prevalensi hipertensi di Amerika Serikat 20,3% dan Kanada 21,4% sedangkan di beberapa Negara Eropa seperti Swedia 38,4%, Italia 37,7%, Inggris 29,6%, Spanyol 40% dan Jerman 55,3%. Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi penyakit hipertensi telah mengalami peningkatan dari 96 per 1000 penduduk pada tahun 1995 menjadi 110 per 1000 penduduk pada tahun 2001 (surkenas 2001). Hal ini juga telah dilakukkan sebelumnya oleh Raflizar, dkk (2000) yang menyatakan di Indonesia pada umumnya prevalensi hipertensi berkisar antara 8,6%-10%. Tahun 2000, hipertensi menyumbang 12,8% dari seluruh kematian dan 4,4% dari semua kecacatan (disabilitas). Di Indonesia, pada tahun 2007, prevalensi hipertensi di daerah urban dan rural berkisar antara 17-21%. Data nasional menyebutkan bahwa terdapat 8 propinsi dengan kasus penderita hipertensi melebihi rata-rata nasional yaitu : Sulawesi Selatan (27%), Sumatera Barat (27%), Jawa Barat (26%), Jawa Timur (25%), Sumatera Utara 24%, Sumatera Selatan (24%), Riau (23%), dan Kalimantan timur (22%). Sedangkan dalam perbandingan kota, kasus hipertensi cenderung tinggi pada daerah urban seperti : Jabodetabek, Medan, Bandung, Surabaya, dan Makasar yang mencapai 30 34%. (Misbach, 2007; Yogiantoro, 2007; Zamhir, 2007). Jenis kelamin juga sangat erat kaitanya terhadap terjadinya hipertensi dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55 tahun, ketika seorang

wanita mengalami menopause. Perbandingan antara pria dan wanita, ternyata wanita lebih banyak menderita hipertensi. Dari laporan sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6% dari pria dan 11% pada wanita. Laporan dari Sumatra Barat menunjukan 18,6% pada pria dan 17,4% wanita. Di daerah perkotaan Semarang didapatkan 7,5% pada pria dan 10,9% pada wanita. Sedangkan di daerah perkotaan Jakarta didapatkan 14,6 pada pria dan 13,7% pada wanita (Gunawan, 2001). D. FAKTOR RESIKO Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat resiko hipertensi. Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah terjadinya hipertensi hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua memiliki riwayat hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena hipertensi (Astawan,2002). Garam dapur merupakan faktor yang sangat dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah jika asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadai melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah (Basha, 2004). Garam mengandung 40% sodium dan 60% klorida. Orang-orang peka sodium lebih mudah meningkat sodium, yang menimbulkan retensi cairan dan peningkatan tekanan darah (Sheps, 2000). Garam berhubungan erat dengan terjadinya tekanan darah tinggi gangguan pembuluh darah ini hampir tidak ditemui pada suku pedalaman yang asupan garamnya rendah. Jika asupan garam kurang dari 3 gram sehari prevalensi hipertensi presentasinya rendah, tetapi jika asupan garam 5-15 gram perhari, akan meningkat prevalensinya 15-20% (Wiryowidagdo, 2004). Garam mempunyai sifat menahan air. Mengkonsumsi garam lebih atau makan-

makanan yang diasinkan dengan sendirinya akan menaikan tekanan darah (Wijayakusuma, 2000). Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat diubah, adapun hubungan merokok dengan hipertensi adalah nikotin akan menyebabkan peningkatan tekanan darah karena nikotin akan diserap pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan diedarkan oleh pembuluh darah hingga ke otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas efinefrin (Adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Selain itu, karbon monoksida dalam asap rokok menggantikan oksigen dalam darah. Hal ini akan menagakibatkan tekana darah karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan tubuh (Astawan, 2002). Aktivitas sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi, dimana pada orang yang kuat aaktvitas akan cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tingi sehingga otot jantung akan harus bekerja lebih keras pada tiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Amir, 2002). Stress juga sangat erat merupakan masalah yang memicu terjadinya

hipertensi dimana hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Dunitz, 2001).

E. STRUKTUR ANATOMI DAN FISIOLOGI NEFRON Ginjal seorang dewasa memiliki ukuran panjang 11 cm, tebal 5 cm, dan berat 150 gram. Ginjal manusia memiliki bentuk seperti biji kacang dengan lekukan yang menghadap ke dalam disebut hilus. Hilus merupakan tempat masuk arteri dan saraf, juga keluarnya vena dan ureter. Ginjal diselubungi oleh jaringan ikat tipis yang disebut kapsula renal (kapsul ginjal). Pada lapisan tersebut menempel lapisan lemak yang berfungsi membantu menempelnya ginjal pada dinding rongga perut dan meredam benturan. Di atas ginjal terdapat kelenjar adrenal atau disebut juga kelenjar suprarenal. Jika sebuah ginjal dipotong membelah pada bagian tengah, maka dapat dibedakan menjadi bagian luar yang disebut korteks, dan bagian dalam yang disebut medula. Bagian korteks berwarna coklat tua sedangkan medulla coklat agak terang. Korteks ginjal tersusun atas nefron: dalam medula, tubulus koligens. Struktur yang berbeda morfologi, fisiologi dan asal embriologi dari nefron paling menyolok. Lobulus ginjal terdiri dari satu susunan medula (medulla ray) dengan jaringan korteks yang mengelilinginya. Tiap lobulus ginjal memiliki duktus koligens dan semua unit filtrasi ginjal bermuara kedalam duktus ini. Pada manusia dewasa lobus-lobus dan lobulus-lobulus ginjal tidak selalu terikat dengan nyata. Pada bagian medula terdapat bentukan seperti piramid yang disebut piramida renalis yang merupakan kumpulan saluran pengumpul air kemih yang bersatu membentuk pelvis renalis. Medula ginjal terdiri dari 10-18 struktur yang berbentuk kerucut (piramida renalis). Piramid medula yang dasar dan pinggir-pinggir berada pada zona korteks dan puncaknya menonjol yang disebut papila ginjal. Kaliks-kaliks bersatu membentuk pelvis ginjal yang merupakan bagian atas ureter yang melebar. Permukaan papila ginjal ditembus oleh 10-12 lubang-lubang muara duktus koligens membentuk area cribrosa (daerah kibrosa). Dasar piramid medula tersusun atas parallel 400-500 tubulus-tubulus panjang secara pararel (medullary rays), menembus korteks. Tiap medulla rays terdiri dari duktus

koligens yang lurus dikelilingi oleh banyak tubulus nefron sejajar yang merupakan unit filtrasi ginjal. Unit struktural dan fungsional dasar dari ginjal dalam pembentukan urine adalah nefron (nephron). Nefron dapat dibedakan menjadi nefron vaskuler dan nefron epitel. Nefron pembuluh yaitu arteriole aferen, glomerulus, arteriole eferen, dan kapiler peritubuler. Setiap ginjal terdiri atas 106 nefron, dimana tiap nefron terdiri atas badan malphigi dan tubulus. Badan malphigi terletak di korteks renalis dan terdiri atas glomerulus yang dikelilingi oleh Kapsula Bowman. Sedangkan sistem tubulus terdiri atas tubulus proksimal, ansa henle, tubulus distal, dan ductus collegentes.

Gambar 1. Anatomi Nefron (Sirbenagle, 2008; Purwanto, 2009)

Reabsorsi Natrium unik dan kompleks. Natrium (Na+) direabsorpsi sepanjang tubulus. Reabsorpsi natrium berperan penting dalam segmen-segmen yang berbeda. Reabsorpsi natrium pada segmen tubulus proksimal berperan dalam mereabsoprsi glukosa, asam amino, H2O dan Cl-serta urea. Reabsorpsi natrium dari pars asendens dari lengkung Henle, bersamaan dengan reabsorpsi Cl-, berperan dalam kemampuan ginjal dalam memproduksi urin yang bervariasi konsentrasi dan volumenya. Reabsorpsi natrium dalam tubulus

contortus distal dan duktus kolligentes berperan dalam mengontrol volume ECF. Natrium direabsorpsi sepanjang tubulus dengan pengecualian pars desendens dari lengkung Henle. Sepanjang segmen yang mereabospsi Natrium, terjadi reabsorpsi Natrium aktif yang melibatkan karier Na+-K+ ATPase yang terletak dalam membrane basolateral sel tubular. Reabsorpsi Natrium menyediakan energi untuk melakukan reabsorpsi substansi lain. Kanal Natrium pada lumen dan/atau karier transport yang membiarkan pergerakan dari Natrium dari lumen menuju ke dalam sel bervariasi tiap tubulus, tapi pergerakan Natrium menyebarangi membrane lumen selalu secara pasif. Misalnya pada tubulus contortus proksimal (TCP), Natrium menyebrangi dinding lumen lewat karier kotranspor yang secara bersamaan membawa Natrium dan nutrient organik seperti glukosa ke dalam sel. Pada duktus kolligentes, Natrium menyebrangi dinding lumen lewat kanal Natrium. Ketika Natrium masuk ke dalam sel melewati dinding lumen, ia direabsorpsi ke ruang lateral (cairan interstisial) oleh pompa Natrium-Kalium. Natrium kemudian berdifusi searah dengan gradient konsentrasi dari konsentrasi tinggi ke cairaninterstisial hingga akhirnya menuju ke kapiler darah. Pada tubulus proksimal dan lengkung Henle, sejumlah Na direabsorpsi tanpa memandang muatan Na+ atau dikenal sebagai Na+Load (jumlah total Na+ di dalam cairan tubuh, bukan kosentrasinya). Pada bagian distal, reabsorpsinya di bawah kendali hormonal, sehingga tidak terlalu banyak Na yang tereabsorpsi maupun hilang di urin. Na+ Load pada tubuh berdasarkan dari volume ECF (Extracelullar Fluid Cairan Ekstraseluler). Jika Na+ load di atasnormal dan osmotik dari ECF meningkat, kelebihan Na+ akan menahan kelebihan H2O sehingga volume ECF bertambah. Sebaliknya ketika Na+ load di bawah normal,sehingga mengurangi aktivitas osmotik ECF, H2O lebih sedikit yang berada padaECF sehingga volume ECF berkurang. Hal ini berkaitan dengan tekanan darah. Untuk itu, perlu adanya mekanisme yang mengaturnya.

Sekitar 99% natrium yang difiltrasi akan direbasorpsi kembali oleh tubulus ginjal, sedangkan 1% sisanya akan dieksresi. Reabsorpsi natrium terjadi di semua bagian tubulus dimana 67% terjadi di tubulus ginjal, reabsorpsi

25% direabsorpsi di ansa

henle, dan 8% di tubulus distal dan collegentes. Reabsorpsi di tubulus proksimal dan ansa henle adalah konstan dan tidak dipengaruhi oleh Na+ load (jumlah Na+ dalam cairan tubuh). Sedangkan reabsorpsi natrium di tubulus distal dan kolegentes berada dalam kontrol hormonal yaitu aldosteron, ADH, dan natrium peptide (Sherwood, 2007). Gambar 2. Reabsorbsi Natrium (Sirbenagle, 2008)

Gambar 3. Reabsorpsi natrium di tubulus proksimal (Sirbenagle, 2008)

Aktivasi SRAA (Renin-Angiotensin-Aldosterone System). Sel granular pada apparatus jukstaglomerular mensekresikan hormone enzim, renin. Renin menyebabkan reabsorpsi Na+. Karena ketika disekresikan ke darah, renin bekerja sebagia enzim yang mengaktifkan angiotensinogen menjadi

angiotensin I. Kemudiano leh Angiotensin-Converting Enzyme (ACE), akan diubah menjadi angiotensin II.Angiotensin II adalah rangsang penting untuk sekresi dari aldosteron dari korteks adrenal. RAAS berperan penting dalam peningkatan reabsorpsi Na+. Aldosteron meningkatkan reabsorpsi Na+ pada tubulus distal dan duktus kolligentes. Dilakukan dengan menambahkan kanal Na+ pada membrane lumen dan pembawa Na+-K+ ATPase ke membrane basolateral dari sel distal dan tubular. Semetara, angiotensin II merupakan konstriktor (penyempit) yang meningkatkan resistensi total. Ia juga menyebakan haus dan merangsang vasopressin (meningkatkan retensi H2O dari ginjal). Jika sebaliknya Na+ Load tinggi,volume ECF dan plasma serta tekanan darah arterial di atas normal, sekresi renin dihambat. Atrial Natriuretic Peptide ANP menghambat reabsorpsi Na+. Berkebalikan dengan RAAS, ANP ini meningkatkan natriresis dan juga dieresis, mengurangi volume plasma dan juga mempengaruhi sistem kardiovaskular dalam mengurangi tekanan darah. Kerja ANP adalah menghambat reabsorpsi Natrium pada bagian distal dari nephron, sehingga meningkatkan eksresi urin. ANP juga

meningkatkan GFR dengan meningkatkan tekanan darah kapiler, dan dengan merelaksasi sel mesangial glomerular akan meningkatkan Kf.

F. PATOGENESIS Studi epidemiologi menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat

mengonsumsi 100 mmol (2400 mg) hingga 225 mmol (5175 mg) sodium tiap hari. Masyarakat Indonesia rata-rata mengonsumsi 8000-12000 mg garam tiap harinya. Namun, beberapa masyarakat di daerah pegunungan seperti Papua Nugini, pedalaman hutan Brazil, dan daerah terpencil di Afrika mengonsumsi hanya 50 mmol (1150 mg) sodium per hari (Sadnella et al.,2007). Banyak penelitian yang mempelajari hubungan jumlah konsumsi garam tersebut dengan terjadinya hipertensi. Hollenberg et al pada tahun 2009 menyebutkan bahwa peningkatan konsumsi sodium hingga 350 mmol (8050 mg) per hari tidak memiliki efek terhadap peningkatan tekanan darah, tetapi konsumsi sodium melebihi 800 mmol (18400 mg) per hari berhubungan dengan peningkatan tekanan darah terutama pada subjek normotensive berkulit hitam. Pada subjek ras kulit putih, konsumsi sodium melebihi 1200 mmol (27600 mg) hanya memiliki sedikit efek pada peningkatan tekanan darah. Risiko peningkatan tekanan darah meningkat pada mereka dengan predisposisi genetik salt sensitivity. Pendapat tersebut didukung oleh DASH-sodium trial yang

menunjukkan efek penurunan tekanan darah pada penurunan jumlah konsumsi garam. Studi tersebut menunjukkan bahwa penurunan darah sistolik dua kali lebih rendah pada pengurangan konsumsi garam dari intermediate level ( 105 mmol/hari) menjadi low level (65 mmol/hari) dibanding dari high level ke intermediate level. Meta analisis dengan RCT yang dilakukan Midgley et al (2009) menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah melalui pembatasan jumlah konsumsi garam dipengaruhi banyak hal yang bersifat individualistik. Pada beberapa penelitian ternyata penurunan jumlah konsumsi garam yang banyak tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit efek pada penurunan

tekanan darah, tetapi pada beberapa individu lain, hal tersebut menyebabkan penurunan tekanan darah yang dramatis. Hollenberg and Franco (2009) menyebutkan bahwa garam memiliki pengaruh penting pada tekanan darah beberapa individu yaitu orang tua, penderita hipertensi yang disertai obesitas atau memiliki warna kulit hitam, individu dengan plasma renin rendah, DM, atau individu yang memiliki riwayat salt sensitivity pada keluarganya. Kopkan et al (2010) melakukan penelitian pada tikus untuk mengetahui pengaruh konsumsi garam jumlah tinggi terhadap peningkatan tekanan darah Penelitian tersebut menggunakan 2 jenis model tikus, yaitu model e-NOS KO (eNOS knockout) dan WT (wild type). Kedua jenis tikus tersebut sama-sama diberi diet tinggi sodium (NaCl 4%). Setelah 2 minggu, ternyata terjadi peningkatan tekanan darah pada tikus e-NOS KO tetapi tidak pada tikus model WT. Dan tekanan darah tersebut perlahan turun setelah tikus mendapat terapi O2- scavenger tempol atau apocynin, suatu inhibitor NADPH oksidase. Studi sebelumnya juga menunjukkan terjadinya penurunan tekanan darah yang perlahan tetapi signifikan pada beberapa hipertensive model yang diberi terapi antioksidan. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadinya hipertensi dengan salt-sensitive berhubungan dengan peningkatan aktivitas O2- yang diinduksi oleh konsumsi sodium dalam jumlah tinggi. Intake sodium yang tinggi pada tikus e-NOS KO meningkatkan pembentukan O2- oleh NADPH oksidase. Selain itu, juga terjadi penurunan jumlah superoksida dismutase sehingga jumlah O2- (superioksida) makin meningkat. Padahal anion superoksida secara langsung dapat menginaktifkan NO melalui sebuah reaksi cepat yang menghasilkan peroxynitrit. Akibatnya terjadi penurunan jumlah dan bioavailabilitas NO. Padahal NO berperan penting pada relaksasi sel otot polos, tetapi juga menghambat aktifasi, adhesi, dan agregasi platelet, serta pencegahan proliferasi sel otot polos vaskuler dan adhesi leukosit pada lapisan endotelium. Melalui respons produk dari lapisan sel endotel tersebut, seperti NO, maka endotel dapat menjalankan fungsi normalnya, untuk pengaturan berbagai aspek homeostasis vaskuler, termasuk

di antaranya tonus vaskuler, interaksi leukosit-pembuluh darah, pertumbuhan sel otot polos, dan proliferasi; serta hemostasis-fibrinolysis lokal; dan status redox (Lawrence, 2010; Kokan et al., 2010). Penurunan NO juga terjadi akibat hambatan produksinya oleh peroxynitrit. Peroxynitrit mampu mengoksidasi BH4 (tetrahydrobiopterin), suatu kofaktor dalam reaksi pembentukan NO dari L-arginin, sehingga jumlah BH4 menurun. Defisiensi BH4 atau L-arginin menyebabkan eNOS dalam keadaan unncoupled. Karena eNOS merupakan enzim utama dari cytochrome P-450 yang memiliki aktivitas NADPH oksidase, keadaan uncoupled tersebut justru menyebabkan eNOS memproduksi superoksida dan peroxynitrit. Kombinasi peningkatan ROS dan penurunan jumlah serta bioavailabilitas NO menyebabkan disfungsi endotel (Lawrence, 2010). Disfungsi endotel yang terjadi menyebabkan tekanan arteri meningkat dan aliran darah ke ginjal rendah. Akhirnya renin disekresi dan SRAA (sistem renin angiotensin aldosteron) teraktivasi. Padahal angiotensin II memiliki beberapa aktivitas yang merugikan. Angiotensin II dapat mengaktifkan NADPH oksidase sehingga terjadi produksi O2- dan degradasi NO yang berlebihan. Selain itu, angiotensin II menyebabkan peningkatan NF-KB dan MCP-1 melalui jalur oxidant dependent. NF-KB yang aktif menstimulasi makrofag untuk mengekspresikan sitokin proinflamasi seperti TNF-1, TGF1, IL-1, IL-6, dan IL-8. Stres oksidatif yang disebabkan angiotensin II juga menstimulasi gp91phox vaskuler, suatu NADPH pada membran sel yang mempromosi hipertrofi sel otot polos dan remodeling (Purwanto, 2009; Lawrence, 2010). Selain itu, kombinasi antara penurunan NO, peningkatan O2- dan aktivasi sistem RAA akan menurunkan GFR dan juga meningkatkan reabsorpsi oleh tubulus ginjal terutama pada tubulus distal (Gambar 5).

Gambar 5. Pengaruh ketidakseimbangan SRAA, NO, dan O2- pada ginjal (Kopkan et al.,2010)

G. Mekanisme Pengaturan Kadar Air Tubuh Pengaturan kadar air tubuh (osmoregulasi) melibatkan sel-sel

osmoreseptor dan baroreseptor yaitu sel-sel sensoris yang berperan memonitor perubahan konsentrasi ion natrium atau volume air (tekanan osmotik) darah. Sel-sel baroreseptor tersebut terletak didalam dinding sinus karotid dan berperan memberikan informasi ke tempat spesifik di otak (hipotalamus). Apabila tekanan osmose darah meningkat akan memacu sekresi hormon vasopresin atau ADH (antidiuretic hormone) dari hipofisa posterior yang berperan meningkatkan reabsorpsi air pada tubulus kolektivus ginjal, sebaliknya jika tekanan osmose darah menurun akan menekan sekresi ADH sehingga banyak kencing. ADH bekerja merangsang sel tubulus kolektivus ginjal untuk meningkatkan reabsorpsi air. Vasopresin juga menyebabkan kontriksi otot polos pembuluh darah sehingga mengakibatkan tekanan darah meningkat untuk kembali ke normal.

H. GEJALA DAN TANDA Crowin (2000) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial, penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi, ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat, nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain

yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Wiryowidagdo,2002).

I. PENEGAKAN DIAGNOSIS Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran. Diagnosis baru dapat ditetapkan setelah dua kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda kecuali terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala-gejala klinis. Penegakkan diagnosis hipertensi adalah dengan melakukan anamnese terhadap keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang (Mansjoer et al., 2000; Yogiantoro, 2007). Pada anamnesis, beberapa hal yang perlu ditanyakan antara lain riwayatpenyakit meliputi lama dan klasifikasi hipertensi, pola hidup, faktor-faktor risiko, riwayat penyakit kardiovaskular, gejala-gejala yang menyertai hipertensi, target organ yang rusak, dan obat-obatan yang sedang atau pernah digunakan.

Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah setelah pasien beristirahat 5 menit. Posisi pasien adalah duduk bersandar dengan kaki di lantai dan lengan setinggi jantung. Ukuran dan letak manset serta stetoskop harus benar. Ukuran manset standar untuk orang dewasa adalah panjang 12-13 cm dan lebar 35 cm. Penentuan sistolik dan diastolik dengan menggunakan Korotkoff fase I dan V. Pengukuran dilakukan dua kali dengan jeda 1-5 menit. Pengukuran tambahan dilakukan jika hasil kedua pengukuran sangat berbeda. Konfirmasi pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan pada kunjungan pertama dan jika didapatkan kenaikan tekanan darah. Selain itu, juga dilakukan pengukuran BMI, pemeriksaan target organ seperti jantung, abdomen, dan saraf (Yogiantoro, 2007). Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan antara lain tes darah rutin, glukosa darah (sebaiknya puasa), koleterol total serum, kolesterol LDL dan HDL serum, trigliserida serum (puasa), asam urat serum, kreatinin serum, kalium serum, Hb dan Hct, urinalisis, dan EKG (Yogiantoro, 2007).

J. PENATALAKSANAAN

Alogaritma Penatalaksanaan Hipertensi

(Yogiantoro, 2007)

Modifikasi Gaya Hidup Perawatan penderita hipertensi pada umumnya dilakukan oleh keluarga dengan memperhatikan pola hidup dan menjaga psikis dari anggota keluarga yang menderita hipertensi. Pengaturan pola hidup sehat sangat penting pada klien hipertensi guna untuk mengurangai efek buruk dari pada hipertensi. Adapun

cakupan pola hidup antara lain berhenti merokok, mengurangi kelebihan berat badan, menghindari alkohol, modifikasidiet. Dan yang mencakup psikis antara lain mengurangi sres, olahraga, dan istirahat (Amir, 2002 ). Merokok sangat besar peranannya meningkatkan tekanan darah, hal ini disebabkan oleh nikotin yag terdapat didalam rokok yang memicu hormon adrenalin yangmenyebabkan tekanan darah meningkat. Nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah didalam paru dan diedarkan keseluruh aliran darah lainnya sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan kerja jantung semakin meningkat untuk memompa darah keseluruh tubuh melalui pembuluh darah yang sempit. Dengan berhenti merokok tekanan darah akan turun secara perlahan, disamping itu jika masih merokok maka obat yang dikonsumsi tidak akan bekerja secar optimal dan dengan berhenti merokok efektifitas obat akan meningkat ( Santoso, 2001 ). Mengurangi berat badan juga menurunkan resiko diabetes, penyakit kardiovaskular, dan kanker .Secara umum, semakin berat tubuh semakin tinggi tekanan darah, jika menerapkan pola makan seimbang maka dapat mengurangi berat badan dan menurunkan tekanan darah dengan cara yang terkontrol. Alkohol dalam darah merangsang adrenalin dan hormonhormon lain yang membuat pembuluh darah menyempit atau menyebabkan penumpukan natrium dan air. Minum-minuman yang beralkohol menyebabkan kekurangan gizi yaitu yang berlebih juga dapat

penurunan kadar kalsium.Mengurangi

alkohol dapat menurunkan tekanan sistolik 10 mmhg dan diastolik 7 mmhg. Modifikasi diet atau pengaturan diet sangat penting pada klien hipertensi, tujuan utama dari pengaturan diet hipertensi adalah mengatur tentang makanan sehat yang dapat mengontrol tekanan darah tinggi dan mengurangi penyakiit kardiovaskuler. Secara garis besar, ada empat macam diet untuk menanggulangi atau minimal mempertahankan keadaan tekana darah , yakni : diet rendah garam , diet rendah kolestrol, lemak terbatas serta tinggi serat, dan rendah kalori bila kelebihan berat baadan (Astawan,2002). Diet rendah garam diberikan kepada pasien dengan edema atau asites serta hipertensi. Tujuan diet rendah garam adalah untuk menurunkan tekanan darah dan untuk mencegah edema dan penyakit

jantung (lemah jantung). Adapun yang disebut rendah garam bukan hanya membatasi konsumsi garam dapur tetapi mengkonsumsi makanan rendah sodium atau natrium (Na). Oleh karena itu yang sangat penting untuk diperhatikan dalam melakukan diet rendah garam adalah komposisi makanan yang harus mengandung cukup zat zat gizi, baik kalori, protein, mineral maupun vitamin dan rendah sodium dan natrium ( Gunawan, 2001). Sumber sodium antara lain makanan yang mengandung soda kue, baking powder, MSG (Mono Sodium Glutamat), pengawet makanan atau natrium benzoat (Biasanya terdapat didalam saos, kecap, selai, jelly), makanan yang dibuat dari mentega serta obat yang mengandung natrium (obat sakit kepala). Bagi penderita hipertensi, biasakan penggunaan obat dikonsultasikan dengan dokter terlebih dahulu (Hayens, 2003). Diet rendah kolestrol dan lemak terbatas. Di dalam tubuh terdapat tiga bagian lemak yaitu : kolestrol, trigeserida, dan pospolipid. Tubuh memperoleh kolestrol dari makanan sehari hari dan dari hasil sintesis dalam hati. Kolestrol dapat berbahaya jika dikonsumsi lebih banyak dari pada yang dibutuhkan oleh tubuh, peningkatan kolestrol dapat terjadi karena terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung kolestrol tinggi dan tubuh akan mengkonsumsi sekitar 25 50 % dari setiap makanan (Amir, 2002). Diet tinggi serat sangat penting pada penderita hipertensi, serat terdiri dari dua jenis yaitu serat kasar ( Crude fiber ) dan serat kasar banyak terdapat pada sayuran dan buah buahan, sedangkan serat makanan terdapat pada makanan karbohidrat yaitu : kentang, beras, singkong dan kacang hijau. Serat kasar dapat berfungsi mencegah penyakit tekanan darah tinggi karena serat kasar mampu mengikat kolestrol maupun asam empedu dan selanjutnya membuang bersama kotoran. Keadaan ini dapat dicapai jika makanan yang dikonsumsi mengandung serat kasar yang cukup tinggi (Mayo, 2005). Stres tidak menyebabkan hipertensi yang menetap, tetapi stress berat dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah yang nersifat sementara yang sangat tinggi. Jika periode stress sering terjadi maka akan mengalami kerusakan pada pembuluh darah, jantung dan ginjal sama halnya seperti yang menetap (Amir,2002).

Manfaat olah raga yang sering di sebut olah raga isotonik seperti jalan kaki, jogging, berenang dan bersepeda sangat mampu meredam hipertensi. Pada olah

raga isotonik mampu menyusutkan hormone noradrenalin dan hormon lain penyebab naiknya tekanan darah. Hindari olah raga Isometrik seperti angkat beban, karena justru dapat menaikkan tekanan darah (Mayer,1980). Istirahat merupakan suatu kesempatan untuk memperoleh energi sel dalam tubuh,istirahat dapat dilakukan dengan meluangkan waktu. Meluangkan waktu tidak berarti minta istirahat lebih banyak dari pada bekerja produktif samapai melebihi kepatuhan.Meluangkan waku istiraha itu perlu dilakukan secara rutin diantara ketegangan jam sibuk bekerja sehari hari. Bersantai juga bukan berarti

melakukan rekreasi yang melelahkan,tetapi yang dimaksudkan dengan istirahat adalah usaha untuk mengembalikan stamina tubuh dan mengembalikan keseimbangan hormon dan dalam tubuh (Amir,2002). Obat Anti Hipertensi Dikenal lima kelompok obat lini pertama (first line drug) yang digunakan untuk pengobatan awal hipertensi yaitu : diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (-blocker), penghambat angiotensin converting enzyme (ACE-

inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin-receptor blocker, ARB), dan antagonis kalsium. Diuretik Mekanisme kerja : Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menghancurkan garam yang tersimpan di alam tubuh. Pengaruhnya ada dua tahap yaitu : (1) Pengurangan dari volume darah total dan curah jantung; yang menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer; (2) Ketika curah jantung kembali ke ambang normal, resistensi pembuluh darah perifer juga berkurang. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Bumetanide, Furosemide, Hydrochlorothiazide, Triamterene, Amiloride, Chlorothiazide, Chlorthaldion. Penyekat Reseptor Beta Adrenergik (-Blocker) Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian -blocker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor 1, antara lain : (1) penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung; (2) hambatan sekresi renin di sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan

Angiotensin II; (3) efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroresptor, perubahan neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosentesis prostasiklin. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Propanolol, Metoprolol, Atenolol, Betaxolol, Bisoprolol, Pindolol, Acebutolol, Penbutolol, Labetalol. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor) Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama banyak digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Mekanisme kerja : secara langsung menghambat pembentukan Angiotensin II dan pada saat yang

bersamaan meningkatkan jumlah bradikinin. Hasilnya berupa vasokonstriksi yang berkurang, berkurangnya natrium dan retensi air, dan meningkatkan vasodilatasi (melalui bradikinin). Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Kaptopril, Enalapril, Benazepril, Fosinopril, Moexipril, Quianapril, Lisinopril. Penghambat Reseptor Angiotensin Mekanisme kerja : inhibitor kompetitif dari resptor Angiotensin II (tipe 1). Pengaruhnya lebih spesifik pada Angiotensin II dan mengurangi atau sama sekali tidak ada produksi ataupun metabolisme bradikinin. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Losartan, Valsartan, Candesartan, Irbesartan, Telmisartan, Eprosartan, Zolosartan. Antagonis Kalsium Mekanisme kerja : antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti efek takikardia dan vasokonstriksi, terutama bila menggunakan golongan obat dihidropirin (Nifedipine). Sedangkan Diltiazem dan Veparamil tidak menimbulkan takikardia karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Amlodipine, Diltiazem, Verapamil, Nifedipine. K. KOMPLIKASI Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan

tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan

kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin, 2000). Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat mensuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan (Corwin, 2000). Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik (Corwin, 2000). Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya ke jantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru,kaki dan jaringan lain sering disebut edema. Cairan didalam paru paru menyebabkan sesak napas,timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan edema (Amir, 2002). Ensefalopati dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neron-neron disekitarnya kolap dan terjadi koma serta kematian (Corwin, 2000).

DAFTAR PUSTAKA

Beswick RA, Dorrance AM, Leite R, Webb RC.207. NADH/NADPH oxidase and enhanced superoxide production in the mineralocorticoid hypertensive rat. Hypertension 38: 11071111. Franco V, Oparil S. 2006. Salt sensitivity, a determinant of blood pressure, cardiovascular disease and survival. J Am Coll Nutr 25, 3 Suppl: 247S 255S. Harrison CB, Drummond GR, Sobey CG, Selemidis S. 2010. Evidence that nitric oxide inhibits vascular inflammation and superoxide production via a p47-dependent mechanism in mice. Clin Exp Pharmacol Physiol 37: 429434, 2010. Herrera M, Silva G, Garvin JL. 2007. A high-salt diet dissociates NO synthase-3 expression and NO production by the thick ascending limb. Hypertension 47: 95101. Kopkan L, Huskov Z, Vanourkov Z, Thumov M, Skaroupkov P, Mal J, Kramer HJ, Dvork P, Cervenka L. 2010. Reduction of oxidative stress does not attenuate the development of angiotensin II-dependent hypertension in Ren-2 transgenic rats

Kopkan L, Majid DS. 2010. Enhanced superoxide activity modulates renal function in NO-deficient hypertensive rats. Hypertension 47: 568572. Kopkan L, Majid DS. 2009. Superoxide contributes to development of salt sensitivity and hypertension induced by nitric oxide deficiency. Hypertension 46: 10261031. Leonard AM, Chafe LL, Montani JP, Van Vliet BN. 2008. Increased salt sensitivity in endothelial nitric oxide synthase-knockout mice. Am J Hypertens 19: 12641269. Purwanto, Bambang. 2009. Pathogenesis, Etiology, and Management of Hypertension and Nefrotoxic Agents. Disampaikan pada Half Day Simposium: Renal Disease Induced by Nefrotoxic Agents. Surakarta.

Sherwood, Lauralee. 2007. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Alih bahasa: Brahm U. Pedit. Jakarta: EGC.

Yogiantoro, Mohammad. 2007. Hipertensi Esensial. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 610-14.

Lawrence GS. 2010. Implikasi Klinis Disfungsi Endotel dan Radikal Bebas. Makassar: FK UNHAS.