Kerusakan Citarum Merugikan Semua Pihak

download Kerusakan Citarum Merugikan Semua Pihak

of 21

Transcript of Kerusakan Citarum Merugikan Semua Pihak

CITARUM TERCEMAR DARI HULUdi Senin, April 25, 2011

Sungai Citarum, sumber air minum bagi 25 juta warga Jawa Barat dan DKI Jakarta serta pemasok tenaga listrik bagi Pulau Jawa dan Bali, kini tercemar logam berat. Pencemaran disertai pelumpuran dan pendangkalan yang hebat terus berlangsung tanpa ada penanganan serius. Akibatnya, hampir semua fungsi sungai yang sangat strategis bagi kepentingan nasional itu rusak berat. Percemaran dan sedimentasi terjadi mulai dari hulu sungai di Situ Cisanti di kaki Gunung Wayang, Bandung selatan, dan mengalir sepanjang 269 kilometer hingga muara sungai di Pantai Muara Merdeka, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jabar. Sebelum mengalir ke Laut Jawa, sungai terbesar dan terpanjang di Jabar ini digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Waduk Saguling (kapasitas 700-1.400 megawatt), WadukWaduk Cirata (1.008 MW), dan Waduk Jatiluhur (187 MW). Ketiga PLTA itu memasok listrik

untuk jaringan interkoneksi Pulau Jawa-Bali yang dihuni hampir separuh dari penduduk negeri ini. Air Citarum yang tercemar juga digunakan untuk perikanan dan irigasi di 420.000 hektar lahan pertanian di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, Purwakarta, serta lumbung padi nasional di Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu. Tingkat kerusakan Ekspedisi Sungai Citarum 2011 yang dilakukan Kompas dengan menyusuri sungai dari Situ Cisanti hingga Muara Gembong, pekan lalu, mencatat, perusakan sungai berlangsung sejak puluhan tahun lalu dan dibiarkan begitu saja melintasi alur sungai. Secara kasatmata, hanya 700 meter dari Situ Cisanti, air Citarum dijadikan tempat pembuangan limbah kotoran sapi. Padahal, air yang keluar dari tujuh mata air di hulu itu sangat bening. Setelah itu, aliran sungai ini melewati perkampungan padat Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, yang sebagian besar penduduknya merupakan petani sayur dan peternak sapi perah. Semua peternak sapi perah di desa ini membuang kotoran sapinya langsung ke sungai, ujar Agus Darajat, tokoh masyarakat yang juga Ketua Kertasari Bersatu. Hasil pemantauan kualitas air Perum Jasa Tirta II menyebutkan, air dari Outlet Cisanti sudah mengandung HS (hidrogen sulfida) dan chemical oxygen demand (COD) melebihi ambang baku mutu. Alih fungsi lahan Tokoh masyarakat hulu Citarum, Dede Jauhari, menilai kerusakan itu akibat alih fungsi lahan dari seharusnya kawasan hutan konservasi daerah penangkap air menjadi daerah pertanian semusim. Hampir semua pertanian sayur (wortel, kol, kentang, dan daun bawang) di hulu Citarum menggunakan pestisida dan pupuk kimia. Di sentra industri tekstil Kecamatan Majalaya, 20 km dari Kertasari, limbah industri berwarna pekat dengan bau menyengat serta temperatur dan keasaman tinggi langsung dibuang ke Citarum. Di Kecamatan Dayeuhkolot hingga Soreang, 40-60 km dari hulu, selain limbah industri, sampah domestik yang dibuang dari permukiman padat ke sungai juga memperparah pencemaran. Sampah dari Kota Bandung yang terbawa anak sungai pun turut menjadi bagian dari pencemaran Sungai Citarum. Di Cekungan Bandung ini, sejumlah anak sungai bermuara ke Citarum, yakni Sungai Cikijing, Citarik, Cikeruh, Cidurian, Cikapundung, Cisangkuy, Citepus, dan Cibeureum, yang dijadikan tempat pembuangan limbah dan sampah oleh semua pihak. Berdasarkan hasil evaluasi pemantauan kualitas air oleh Perum Jasa Tirta II, zat kimia Zn

(seng), Fe (logam), NH-N, NO-N (nitrogen), HS, Mn (mangan), biochemical oxygen demand (BOD), COD, dan oksigen terlarut melebihi baku mutu air. Sampah dari rumah tangga lebih mudah terurai bila dibandingkan dengan limbah industri yang membahayakan, ujar Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jabar Iwan Setiawan Wangsaatmadja. Pencemaran dan sedimentasi terus berlangsung ke tengah, sekitar Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, hingga ke muara di Laut Jawa. General Manager Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit Saguling Erry Wibowo membenarkan, air Citarum yang masuk ke Waduk Saguling sudah tercemar bahan kimia, terutama HS. Pencemaran berlangsung sejak waduk dioperasikan pada 1985 tanpa ada upaya pengendalian. Kami khawatir kasus minamata terjadi di Citarum karena hingga kini belum ada pengendalilan, ujar Erry. Hasil penelitian Pusat Lembaga Sumber Daya Alam Lingkungan Universitas Padjadjaran Bandung, Indonesia Power, Pembangkit JawaBali, dan Perum Jasa Tirta menunjukkan, air di ketiga waduk itu tak layak untuk air baku minum, budidaya perikanan, dan peternakan. Air minum Jakarta Dari Waduk Jatiluhur, air mengalir ke hilir melalui Bendung Curug yang membagi air ke irigasi Tarum Barat dan Tarum Timur. Tarum Barat mengalirkan air untuk bahan baku air minum 10 juta warga DKI Jakarta. Sebanyak 8.500 liter per detik air baku dikelola PT Aetra Air Jakarta dan 6.000 liter per detik air baku diolah PT Palyja. Di kawasan Muara Gembong, air Citarum berwarna coklat muda langsung masuk ke Laut Jawa. Menurut laporan Perum Jasa Tirta II, Desember 2010, air Citarum di Muara Gembong mengandung Fe, NO-N, dan HS lebih dari baku mutu. Tahun 2009 pernah semua ikan mati dan mengambang di Sungai citarum, ungkap Suryana (35), Sekretaris Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengaku, di balik perannya yang strategis, Citarum juga sering memicu banjir. Luas Daerah Aliran Sungai Citarum tercatat 6.614 km persegi dan dihuni 15,3 juta penduduk. Yang mengherankan, belum ada instansi yang menangani perusakan dan pencemaran Citarum. Selama Citarum masih berair, walaupun tercemar hebat, itu dianggap biasa, ujar Guru Besar Lingkungan Institut Teknologi Bandung Mubiar Purwasasmita.Sumber : Kompas, 25 April 2011

----------------------------

Kerusakan Citarum Merugikan Semua Pihak

Gambar : Limbah campuran, antara limbah pabrik tekstil dan rumah tangga mengalir ke Sungai Citarum di wilayah Majalaya, Bandung, Jawa Barat, Selasa (22/3/2011).

Kerusakan Sungai Citarum di Jawa Barat akibat pencemaran dan sedimentasi yang hebat telah merugikan semua pihak, baik pemerintah, pusat listrik tenaga air (PLTA), petani, pembudidaya ikan, maupun rakyat Indonesia. Dunia usaha juga rugi karena Citarum setiap musim hujan meluap menggenangi kawasan industri di Cekungan Bandung. Padahal investasi tesktil dan produk tekstil saja di daerah aliran Citarum mencapai sekitar Rp 80 triliun. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat Deddy Wijaya mengatakan, saat banjir Citarum melanda selama sebulan penuh, Maret 2010 silam, kerugian semua jenis industri di Kabupaten Bandung, Purwakarta, dan Karawang mencapai Rp 200 miliar. Kerugian dialami lebih dari 200 perusahaan.

Selain TPT, pabrik-pabrik yang berhenti operasi bergerak dalam bidang otomotif dan elektronik. Pemerintah kini harus meminjam dana untuk merehabilitasi Daerah Aliran Sungai Citarum sebesar Rp 35 triliun dalam Citarum Road Map atau Peta Rancangan Proyek Citarum yang dikoordinir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sementara Pemerintah Provinsi Jabar juga membuat perencanaan penanganan Citarum terpadu. Untuk membebaskan tanah di hulu Citarum saja perlu dana sekitar Rp 3,6 triliun. Sayangnya, program ini lebih mendahulukan hilir yakni perbaikan irigasi Tarum Barat, padahal persoalan besar Citarum berada di hulu, ungkap Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Jawa Barat Setiawan Wangsaatmadja. Staf ahli Gubernur Jawa Barat Dede Mariana menyebutkan, harus ada kesadaran baru dari semua pihak bahwa mengurus Sungai Citarum itu harus terintegrasi. Yakni sinergi dari hulu hingga hilir. Semuanya harus terbuka bila ada dana pinjaman atau utang luar negeri karena itu beban bagi rakyat Indonesia, ungkap Dede yang juga guru besar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung ini. Data dari Cita-Citarum, lembaga mitra Bappenas yang mengkordinir proyek itu menyebutkan, Citarum Road Map, meliputi 80 kegiatan yang dilaksanakan dalam kurun waktu 15 tahun (2010-2025) dengan biaya 3,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 35 triliun. Dana itu bersumber dari fasilitas pembiayaan bertahap Asian Development Bank (ADB), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan sumber pendanaan dari donor lainnya. Pendanaan pinjaman ini dilakukan secara bertahap sesui dengan perkembangan. Merusak turbin listrik General Manajer Indonesia Power unit bisnis pembangkit Saguling Erry Wibowo mengungkapkan, akibat pencemaran itu peralatan turbin menjadi cepat rusak akibat pengkaratan yang cepat. Kami harus

menggantinya

segera

karena

kalau

terlambat

menggganti

akan

mengganggu sistem operasi, ujarnya. PLTA Saguling memproduksi listrik 2.156 gigawatt per jam selama setahun. Tahun 2010, produksi Saguling melimpah hingga 4.000 GwH karena tingginya curah hujan. Saguling juga terhubung dalam sistem kelistrikan interkoneksi Jawa-Bali. Listrik sebesar 2.156 GwH bisa digantikan dengan menghabiskan 667.000 barel bahan bakar minyak. Kalau harga solar subsidi Rp 4.500/liter, maka nilainya Rp 351 triliun. Kotornya air Citarum juga telah menumbuhkan berbagai vektor penyakit. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPHLD) Jawa Barat mencatat, di Saguling ditemukan jenis vektor penyakir seperti nyamuk, moluska, cacing dan tikus. Jenis-jenis hewan itu dikenal sebagai pembawa penyakit seperti malaria, demam berdarah, cacing atmbang, dan tipus. Malah penelitian tahun 2005 vektor-vektor itu mempunyai

kemetakan/probabilitas tinggi sebagai sumber terjadinya out break pada manusia. Sedimentasi juga mengancam produksi listrik PLTA Cirata dan PLTA Ir H Djuanda karena usia waduk berkurang. Sementara pencemaran melambungkan ongkos perawatan PLTA karena meningkatkan laju korosi. Umur generator pendingin, misalnya, berkurang dari 5-7 tahun menjadi 2-3 tahun karena terkorosi. Padahal, PLTA Cirata memproduksi listrik rata-rata 1.428 gigawatthour (GWh) per tahun, sementara PLTA Ir H Djuanda 690 GWh per tahun. Bersama PLTA Saguling, keduanya menyumbang kebutuhan listrik pada interkoneksi Jawa-Bali. Merugikan petani Tingginya sedimentasi dan pencemaran limbah industri dan rumah tangga pada Sungai Citarum menyebabkan sekitar 100.000 hektar

sawah yang mendapat pengairan dari sungai itu tidak produktif. Kerusakan sungai itu mengakibatkan berkurangnya pasokan air irigasi, sehingga Jabar kehilangan potensi sekitar Rp 16 triliun per tahun. Staf Ahli Gubernur Jabar Anang Sudarna menjelaskan, Sungai Citarum mengairi sekitar 300.000 hektar sawah di Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Kota Bandung, Cimahi,Kabupaten Cianjur,Purwakarta,Karawang, Subang, dan Indramayu. Dari sekitar 100 ribu hektar saja, Anang menghitung, potensi

kerugiannya bisa mencapai Rp 16 triliun per tahun. Jika kondisi ini dibiarkan akan mengganggu ketersediaan pangan nasional, karena Jabar merupakan salah satu lumbung beras nasional. Buruknya kualitas air juga telah menghancurkan budi daya ikan keramba jaring terapung (KJA) di Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Ketua Pakan Aquakultur Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Denny D Indradjaja membenarkan, pasokan pakan ikan selama lima tahun terakhir terus turun ke waduk ini. Para pembudidaya ikan di Waduk Cirata, hilir Saguling, semula bisa menyerap 10.000 ton pakan ikan setiap bulannya. Secara perlahan terus turun dan tahun 2010 lalu sudah anjlok hingga 4-5 ton per bulan. Angka yang hampir sama juga terjadi di Waduk Jatiluhur, di hilir Cirata. Harga pakan ikan di tingkat pembudidaya berkisar Rp 5.000 per kg. Di waduk Cirata saja, investasi KJA mencapai Rp 2,5-3,5 triliun. Ini terhitung dari 50.000-70.000 KJA yang nilainya per KJA Rp 50 juta. Di Jatiluhur ada sekitar 17.000 KJA yang total investasinya Rp 850 miliar. Di wilayah hilir, air tawar Sungai Citarum diperlukan untuk mengurangi keasinan air tambak menjadi payau sehingga kondusif bagi tumbuhnya ikan bandeng. Akibat airnya tercemar kini puluhan ribu hektar di kawasan pesisir pantai utara Karawang dan Bekasi tak bisa ditanami udang windu. Di Desa Pantai Bahagia saja terdapat 3.000 hektar tambak, 1.000 hektar di antaranya rusak terkena abrasi. Areal tambak di kawasan muara Citarum terdapat di lima desa dalam Kecamatan

Muaragembong, Kabupaten Bekasi dan empat desa di Kecamatan Pakisjaya, Karawang. Di wilayah hilir Citarum terdapat sekitar 30.000 hektar tambak bandeng. Akibat pencemaran udang windu yang berpotensi menghasilkan Rp 20 juta per hektar/tiga bulan hilang. Berarti petambak kehilangan potensi dari tambak ini sekitar Rp 600 miliar atau Rp 2,4 triliun per tahun. Sumber : Kompas.com Citarum, Sungai Paling Tercemar di Bumi ?

Sungai Citarum di Jawa Barat yang menjadi sumber air bagi sekitar lima juta orang merupakan sungai paling tercemar di bumi ini. Demikian menurut pernyataan situs huffingtonpost.com, Selasa (31/8). Situs itu memasukan Citarum sebagai satu dari sembilan tempat paling tercemar polusi buatan manusia di seluruh dunia. Delapan tempat lainnya adalah Kota Los Angeles, Kota Linfen di China, Delta Niger di Nigeria, London, Kota Dzerzhinsk di Rusia, Kota Phoenix di AS, Kota La Oroya di Peru, dan Danau Karachay di Rusia. Situs tersebut tidak menyebutkan kriteria atau tolok ukur dalam memasukan tempat-tempat itu sebagai lokasi paling tercemar. Pengelola situs hanya menyatakan, "Saat populasi dunia melonjak hampir 7 miliar, kami di HuffPost Green memutuskan untuk melakukan sebuah tur virtual ke beberapa tempat di dunia yang paling tercemar." Menurut situs tersebut, Linfen merupakan kota paling tercemar di bumi. Dengan mengutip Mother Nature Network, huffingtonpost mengatakan,

jika seseorang menjemur pakaian di kota itu, pakaian tersebut akan berubah menjadi hitam sebelum benar-benar kering. Linfen terletak di sabuk batubara China. Jika menghabiskan waktu sehari di Linfen, itu setara dengan merokok tiga bungkus rokok. Tentang Los Angles (LA) huffingtonpost mengutip Asosiasi Paru-paru Amerika yang menyebut lapisan ozon di LA merupakan yang paling tercemar di Amerika Serikat. Tahun lalu, tingkat ozon rata-rata di Los Angeles merupakan yang terburuk dari semua kota di Amerika. Meski LA sangat terkenal, Air Resources Board setempat memperkirakan bahwa polusi udara telah menyebabkan kematian dini 9.200 orang per tahun di California. Masih menurut huffingtonpost, Delta Niger merupakan salah satu lokasi yang paling tercemar minyak di planet ini. Bayangkan, secara rata-rata ada 300 kasus tumpahan minyak per tahun di kawasan itu, atau sekitar satu tumpah per hari, dan menggelontor total 9 - 13 juta barrel minyak selama 50 tahun. Tumpahan itu telah mencemari lahan basah ketiga terbesar di planet ini. Karena pipa terus-menerus pecah dan keberadaan minyak itu mencemari, maka mangrove, sungai, dan satwa liar di Delta Niger pun hancur. Amerika Serikat mengimpor delapan persen minyaknya dari Nigeria, yang merupakan hampir separuh dari produksi tumpahan minyak negara itu. Nigeria merupakan pemasok minyak kelima terbesar ke Amerika Serikat. Shell telah menyatakan bahwa 90 persen dari tumpahan disebabkan oleh pencuri militan yang mengakses jaringan pipa. Sumber : Kompas.Com

----------------------------------BPLHD pada tahun 2008 menangani 480 laporan dari 65 kegiatan industri di Jawa Barat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 mengenai Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air bahwa

Pemerintah Provinsi mengkoordinasikan pengelolaan kualitas air dan melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas Kabupaten/Kota. Oleh karena itu dalam pengelolaan dan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas kab/kota diperlukan adanya koordinasi dengan kab/kota serta kerjasama dengan berbagai sektor terkait lainnya. Koordinasi dan Fasilitasi Pengendalian Pencemaran Air dengan kab/Kota serta stake holder terkait dilakukan untuk merumuskan suatu langkah/strategi dalam upaya pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air serta untuk mensosialisasikan kegiatan/program pengendalian pencemaran air yang sudah dan sedang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi maupun oleh Kab/kota, serta rencana program kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya. Pencemaran air sungai disebabkan oleh banyaknya air limbah yang masuk ke dalam sungai yang berasal dari berbagai sumber pencemaran yaitu dari limbah industri, domestik, rumah sakit, peternakan, pertanian dan sebagainya. Dalam rangka pengendalian pencemaran air sungai, diperlukan Pemantauan dan Evaluasi kualitas air sungai lintas di Jawa Barat dilaksanakan di 7 DAS yaitu Sungai Ciliwung, Cisadane, Citarum, Cileungsi/Kali Bekasi, Cilamaya, Cimanuk yang bertujuan untuk mengetahui status mutu kualitas air sungai tersebut. Untuk tahun anggaran 2009 dilakukan penambahan 5 (lima) titik pantau yaitu 2 (dua) titik pantau pada aliran sungai Cilamaya, 2 (dua) titik pantau pada aliran sungai Cimanuk dan 1 (satu) titik pantau pada aliran sungai Cileungsi/Kali Bekasi. Penambahan jumlah titik pantau ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan akurat mengenai kondisi air sungai tersebut. Sesuai dengan amanat PP 82 tahun 2001 bahwa Penetapan kelas air pada sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kota dapat diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi. Pada tahun 2006 BPLHD provinsi Jawa Barat telah menyusun naskah akademik Baku Mutu Air sungai Citarum dan pada tahun anggaran 2009 BPLHD Provinsi Jawa Barat melakukan kajian Naskah Akademik Kelas Air dan Baku Mutu Air Sungai Cilamaya, Cileungsi/Kali Bekasi dan Cimanuk. Berdasarkan hasil kajian tersebut pada tahun selanjutnya akan dibuat Perda Penetapan Kelas Air Sungai Cilamaya, Cileungsi/Kali Bekasi dan Cimanuk dan Perda Baku Mutu Air Sungai Citarum. Disamping itu juga diperlukan suatu Peraturan Gubernur mengenai koordinasi dan sinergitas/kesepakatan antara BPLHD provinsi Jawa Barat dan Kabupaten/Kota mengenai lokasi titik pantau pada DAS prioritas di Jawa Barat, sehingga pada tahun 2009 BPLHD Provinsi Jawa Barat memulai dengan menyusun rancangan peraturan Gubernur mengenai sinergitas pemantauan kualitas air sungai Citarum dan Cilamaya serta rancangan peraturan gubernur tentang baku mutu air limbah industri tekstil.

No

Kab/ Kota

Jlm Industri yang Melaporkan (Industri) Jan - Juni Juli- Des Total 5 14 8 4 5 5 1 1 10 4 2 2 2 2 65

Jlm Laporan Memenuhi BM (Laporan) Jan - Juni Juli- Des 17 49 26 8 16 17 0 0 40 5 2 1 12 1 11 64 22 10 23 17 2 0 40 11 2 1 9 3 Total 28 113 48 18 39 34 2 0 80 16 4 2 21 4 409

Jlm Laporan Tidak Memenuhi BM (Laporan) Jan - Juni 1 9 4 1 5 0 0 0 2 4 0 1 0 3 Juli- Des 1 19 3 3 2 1 0 1 2 4 2 0 0 3 Total 2 28 7 4 7 1 0 1 4 8 2 1 0 6 71

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Kab Karawang Kab Bekasi Kab Bandung Kab. Purwakarta Kab Sumedang Kab Subang Kab Bogor Kab Indramayu Kota Bandung Kota Cimahi Kota Bekasi Kota Majalengka

3 10 7 3 4 3 0 0 8 3 1 2 2 1

4 11 6 3 5 4 1 1 10 4 2 1 2 2

13 Kab Bandung Barat 14 Kota Depok Total

Hasil resume pemantauan self monitoring menunjukkan bahwa dari 480 laporan yang masuk, terdapat 71 laporan yang menggambarkan kondisi pengolahan yang tidak memenuhi baku mutu limbah cair. Hal ini merupakan kondisi yang memungkin adanya penanganan lebih lanjut melalui pembinaan.

------------------Sungai Citarum, yang merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat, mempunyai sejarah panjang dalam perkembangan peradaban bangsa ini. Citarum menjadi sumber kehidupan. Di tepian sungai inilah lahir salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara, Kerajaan Tarumanegara. Sungai ini juga dulu menjadi batas antara Kerajaan Galuh dan Sunda dan juga kemudian Kerajaan Cirebon dan Banten. Hingga saat ini pun Citarum masih memainkan peranan penting. Delapanpuluh persen (80%) kebutuhan air ledeng Jakarta berasal dari Citarum. Citarum juga menjadi sumber air untuk mengairi sawah-sawah yang memproduksi 5% beras negeri ini, sementara 20% output atau produksi industri Indonesia pun berasal dari daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Tidak itu saja, Citarum juga menjadi sumber air bagi pembangkit listrik Jatiluhur yang memasok jaringan listrik utnuk Jawabali. Dengan lebih dari 28 juta warga Indonesia bergantung kepadanya, Citarum diakui sebagai sungai strategis bagi negara ini. Namun ironisnya, berkebalikan dengan nilai historis dan signifikansi Citarum bagi bangsa Indonesia, saat ini Citarum sedang mengalami krisis. Air yang mengalir melalui Citarum telah tercemari oleh berbagai limbah, yang paling berbahaya adalah limbah kimia beracun dan berbahaya dari industri. Saat ini di daerah hulu Citarum, sekitar 500

pabrik berdiri dan hanya sekitar 20% saja yang mengolah limbah mereka, sementara sisanya membuang langsung limbah mereka secara tidak bertanggung jawab ke anak sungai Citarum atau ke Citarum secara langsung tanpa pengawasan dan tindakan dari pihak yang berwenang (pemerintah). Bahan kimia beracun dan berbahaya tidak dapat dikelola dengan baik oleh teknik end-of-pipe, termasuk fasilitas pengolahan air limbah biasa. Banyak diantara bahan kimia beracun dan berbahaya tersebut dapat membahayakan dalam waktu yang sangat panjang dan jauh dari sumber pencemarnya. Bahan kimia tersebut dapat menempuh jarak yang jauh dan dapat terakumulasi dalam rantai makanan dan pada akhirnya dapat meracuni sumber makanan kita. Aktivis Greenpeace telah menyaksikan secara langsung bagaimana pabrik-pabrik ini membuang limbahnya ke Citarum tanpa pengolahan apapun dan telah menyaksikan secara langsung bagaimana masyarakat yang bergantung kepada sungai terpaksa menggunakan air yang tercemar tersebut untuk keperluan mencuci, memasak, mandi bahkan minum. Kondisi Citarum merupakan potret parahnya pengelolaan badan-badan air permukaan di Indonesia. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh 30 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi pada tahun 2008 terhadap 35 sungai menunjukkan bahwa pada umumnya status mutu air sudah tercemar berat. Walaupun Indonesia memiliki sumber air permukaan sebanyak 6% dari seluruh sumber air permukaan dunia, dan 21% dari total sumber air di wilayah Asia Pasifik, namun masalah air bersih menjadi masalah yang terus menghantui masyarakat di Indonesia. Lebih dari 100 juta warga Indonesia tidak memiliki akses atas sumber air yang aman, dan lebih dari 70% warga Indonesia mengkonsumsi air yang terkontaminasi. Penyakit yang diakibatkan konsumsi air yang tidak bersih seperti diare, kolera, disentri, menjadi penyebab kematian balita kedua terbesar di Indonesia. Dan setiap tahunnya, 300 dari 1.000 orang Indonesia harus menderita berbagai penyakit akibat mengkonsumsi air yang tidak bersih dan aman. PBB mendeklarasikan bahwa hak atas air adalah hak asasi manusia, demikian pula Undang-Undang Dasar 1945. UUD 1945 juga mengaskan bahwa lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara/pemerintah. Greenpeace secara global melakukan kampanye untuk menyelamatkan badan-badan air dari pencemaran bahan kimia berbahaya dan beracun.

Kami menyerukan kepada pemerintah-pemerintah berbagai Negara di seluruh dunia untuk membuka informasi kepada publik tentang bahan kimia pencemar yang terkandung di dalam air sungai yang menjadi sumber kehidupan jutaan orang di dunia. Lebih lanjut Greenpeace juga mendorong untuk dihentikannya pemakaian bahan kimia berbahaya dan beracun dalam proses industri, dan mendorong industri menerapkan praktik produksi bersih. Citarum, dan berbagai sungai lain di Indonesia sedang berada dalam kondisi yang menyedihkan. Apakah kita hanya akan duduk berpangku tangan? http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/menghidupkan-kembalisungai-citarum/blog/34048 --------------Pencemaran Citarum di Fase Terberat SUNGAI Citarum semakin muram bahkan menangis meratapi keadaannya yang semakin parah. Sungai terpanjang di Jawa Barat ini merupakan sumber air minum bagi DKI Jakarta, Kab. Bekasi, Kab. Karawang, Kab. Purwakarta, Kab. Bandung, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Tetapi, fungsi yang pernah disandang Citarum kini berubah. Hampir di semua lokasi di Bantaran Sungai Citarum ditetapkan dengan status air tercemar berat. Dari empat skala pencemaran (A,B,C, dan D), status pencemaran sudah mencapai angka paling berat alias beracun. Pada penelitian yang kita lakukan di tahun 2007, status mutu air Citarum berada pada indeks pencemaran D, yaitu tercemar berat, tutur Setiawan Wangsaatmaja, Kepala Bidang Pengendalian Lingkungan Hidup, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD) Jabar. Hal tersebut tak dapat dimungkiri, secara fisik pun dapat dilihat kondisi Citarum yang tercemar. Dulunya jernih, ini mah karena ada limbah dari pabrik-pabrik di Majalaya, tutur Sam (25), penduduk Desa Mekarsari, Baleendah. Sungai yang mempunyai luas seluruhnya 6.080 km2 dan panjang sungai 269 km ini mempunyai kualitas air berkelas IV, yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pertamanan atau pengairan. Kalau sudah sampai kelas IV, ya jangan diminum. Air pada kelas IV hanya boleh dilakukan untuk pertamanan, ucap Setiawan. Dengan status tercemar berat dan kualitas air yang sangat rendah, Citarum tak dapat lagi berfungsi sebagai sumber mata air yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Dari segi kesehatan, cemaran logam berat dapat membahayakan kehidupan warga yang tinggal di sekitarnya. Dalam pengujian yang dilakukan BPLHD Jabar sebanyak tiga kali dalam setahun, ditemukan kandungan nitrit (NO2), timbal (Pb), klorin (Cl),

fosfat (PO4), seng (Zn), boron (B), tembaga (Cu), dan sulfat (SO4) yang melebihi ambang batas. Keracunan nitrit dapat mengakibatkan methemoglobinema atau penyakit baby blue yang rentan menyerang bayi berumur kurang dari empat bulan. Kalau kandungan logam berat, pasti berbahaya untuk makhluk hidup, bisa berakibat sangat fatal, lanjut Setiawan. Selain itu, ditemukan juga bakteri koli dalam jumlah besar. Keberadaan bakteri itu menunjukkan air telah tercemar kotoran makhluk hidup. Kandungan koli yang paling besar itu dapat menyebabkan sakit perut, tutur Atih Witartih, Kepala Subdinas Pengendalian Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kab. Bandung. Tingkat kerusakan Sungai Citarum sudah mencapai taraf sangat parah. Walaupun airnya masih berwarna cokelat, belum hitam, tetap saja air sungai itu tidak dapat dimanfaatkan oleh warga. Kita ini jangan jadi bangsa yang kagetan, padahal setiap tahun mengalami masalah yang sama. Jangan kaget kalau banjir lagi atau kekurangan air lagi, toh setiap tahun pasti mengalami hal yang sama. Pencemaran air sungai itu akibat ulah manusia, jadi jangan kaget kalau kebanjiran, kekeringan, dan terserang wabah penyakit, tutur Otto Soemarwoto, pakar ekologi Indonesia. Keadaan berbahaya itu pun tidak diindahkan warga walaupun peringatan selalu diberikan oleh pihak yang berwenang. Kita selalu menyosialisasikan bahaya Citarum kepada masyarakat, ucap Setiawan. Peringatan tersebut cenderung tidak digubris oleh masyarakat. Saya mah jaring ikan kaya gini udah dari kecil. Tidak pernah ada keluhan, sudah biasalah, ucap Opik (30), di tengah kesibukannya menjaring ikan. Tidak adanya keluhan dari warga membuat Dinas Kesehatan beranggapan bahwa Citarum baik-baik saja. Hingga sejauh ini belum pernah ada laporan mengenai adanya gangguan kesehatan dengan taraf parah yang diderita warga yang tinggal di sekitar Citarum, ungkap Budi Satrya, S.Km., staf di bagian tempat-tempat umum dan industri Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Barat. Citarum yang mempunyai potensi sebagai sumber irigasi bagi 300.000 ha tanah pertanian mulai tercemar pada tahun 1986, saat tumbuh banyak industri di sekitar bantaran Sungai Citarum. Adanya industri pasti ada turunannya, seperti adanya permukiman, apartemen, dan segala macam itu pun semua sebenarnya ikut menyumbang limbah di Sungai Citarum, tutur Setiawan. Tak hanya itu, perubahan tata guna lahan, erosi, sedimentasi, banjir, pemompaan pada air tanah yang berlebihan yang dilakukan oleh pabrik-pabrik juga menjadi satu mata rantai permasalahan Sungai Citarum. Pabrik dalam hal ini sangat berperan dalam mencemari air sungai, bahan kimia yang mereka pakai tidak pernah diketahui kadar idealnya seberapa banyak. Kebanyakan dari mereka, memakai bahan kimia yang berlebihan, tutur Otto.

Dari penelitian yang dilakukan BPLHD, logam berat yang di kandung oleh Citarum memang berasal dari pembuangan limbah oleh pabrikpabrik nakal, yang menidurkan IPAL (instalasi pengelolaan air limbah) mereka dan memilih membuang limbah langsung ke Citarum. Bukan tanpa alasan hal itu dilakukan oleh pabrik-pabrik. Pengolahan limbah mahal dan memerlukan banyak biaya. Kalau ada inspeksi, IPAL mereka hidupkan, kalau tidak, ya dimatikan. Biasanya, malam-malam mereka buang, ketika secara visual, orang tidak tahu, ucap Setiawan. Bagi pelaku-pelaku yang terbukti melanggar hukum lingkungan ini tentu saja akan diperkarakan secara hukum. Untuk sampai sebuah pidana dalam hukum lingkungan, itu sudah luar biasa. Karena itu kan perlu buktibukti, dan susah untuk mencari bukti-bukti tersebut, ujar Setiawan. Sebelum sampai pada tahap diajukan ke pengadilan, pabrik yang terbukti melanggar sebelumnya telah diberikan pengawasan dan pembinaan. Mekanisme pengajuan pelanggaran yang dilakukan oleh pabrik nakal akan dilakukan apabila PPLH (Pegawai Pengawas Lingkungan Hidup) yang mengawasi pabrik-pabrik tersebut menemukan bukti-bukti yang cukup. Kemudian dari hasil temuan, PPLH meminta PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) atau pihak kepolisian melakukan penagkapan terhadap pihak yang melakukan kejahatan lingkungan tersebut. TIdak semua pabrik melakukan hal tersebut. Salah satu pabrik yang benarbenar menerapkan IPAL-nya adalah PT Daliatex di Dayeuhkolot. Pabrik yang memproduksi kain jenis georgette ini telah mengelola sendiri limbah cair hasil proses produksinya sejak 1999 yang sebelumnya bergabung dengan IPAL terpadu di Cisirung. Demi alasan keefektifan, akhirnya kami memilih untuk mengelola sendiri, ungkap staf keselamatan lingkungan PT Daliatex, Rahmat. Jumlah industri di wilayah Kab. Bandung yang berpotensi mengeluarkan limbah 144 pabrik yang semuanya telah memiliki IPAL. Pabrik tersebut kebanyakan pabrik tekstil. Dari jumlah tersebut 27 pabrik di antaranya berada di Dayeuhkolot yang pengolahan limbahnya dilakukan IPAL Raksasa Cisirung. Sedangkan jumlah pabrik di wilayah Bandung Barat yang berpotensi mengeluarkan limbah 47 pabrik. Untuk mengantisipasi agar Sungai Citarum tidak tercemar berat, pemerintah mewajibkan kepada pemilik pabrik untuk mengirimkan laporannya pada waktu tertentu tentang kadar airnya setelah diproses. Laporan ini sifatnya wajib bagi pemilik pabrik yang harus dilaporkan 1 bulan sekali, kata Indra Martono, Plt. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung. Limbah yang mencemari sungai tersebut terdiri atas limbah industri dan limbah domestik seperti sampah. Dari hasil pemantauan di lapangan, justru yang terbesar adalah sampah yang memadati sungai tersebut. Volume sampah yang mencemari anak sungai tersebut sekitar 70%, kemudian industri 16%, pertanian 2 % dan sisanya adalah peternakan. Karena kondisinya seperti itu, pemerintah pun

memprioritaskan bagaimana menanggulangi agar volume sampah bisa ditekan. Sampah yang berupa fisik ini cukup berbahaya bagi keberadaan Sungai Citarum. Jika dibiarkan tentu lingkungan di sepanjang Sungai Citarum akan rusak yang akan berdampak kepada kehidupan penduduk. Jenis sampah yang dibuang masyarakat yaitu sampah organik seperti daun, kertas atau benda lain yang bisa cepat terurai. Namun, sampah nonorganik seperti plastik pun cukup mendominasi. Sampah nonorganik inilah yang bisa merusak lingkungan sungai karena sifatnya tidak cepat terurai seperti plastik pembungkus dan botol minuman. Banjir yang sering terjadi di beberapa wilayah Kabupaten Bandung, selain karena sedimentasi juga karena sampah nonorganik ini. Sampah itu menumpuk menjadikan aliran sungai menjadi terhambat. Sistem sanitasi yang buruk menjadi masalah lain yang ikut mendorong limbah citarum. Hal itu dilakukan tak hanya oleh penduduk sekitar Citarum tapi juga penduduk Kota Bandung, umumnya. Dalam pembangunan rumah seharusnya mempunyai IMB (izin mendirikan bangunan), yang salah syaratnya harus mempunyai septic tank (tempat pembuangan). Tapi pada kenyataannya tidak semua penduduk punya itu. Sampai kapan pun kita juga susah untuk menyelesaikan masalah ini, kata Setiawan. Tata ruang yang tidak jelas juga ikut memperburuk kondisi Citarum. Dulunya daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan sekarang sudah menjadi daerah bangunan. BPLHD mencatat penutupan lahan sebagai lahan permukiman dari tahun 1983 sampai tahun 2002, untuk daerah permukiman naik mencapai 233%, industri naik 868%, sedangkan lahan pertanian menurun 55%. Jika ingin menyelesaikan masalah Citarum, tidak Citarumnya saja, tetapi juga daerah tangkapan air sekitar Citarum. Hal itu juga memengaruhi, ungkap Setiawan. Tak hanya berbahaya untuk lingkungan sekitar dan masyarakat, pencemaran air Citarum juga memicu percepatan sedimentasi waduk. Meningkatnya sedimentasi secara kontinyu dan buruknya mutu air akibat berbagai polutan yang meracuni Citarum. Hal tersebut dapat mengancam kinerja PLTA Saguling yang menjadi andalan pasokan listrik interkoneksi Jawa-Bali. PLTA yang semula dirancang untuk hidup dan menyuplai persediaan energi listrik selama 59 tahun itu hanya akan mampu bertahan selama 45 tahun. Dengan kata lain sisa hidupnya tinggal 23 tahun saja. Bahkan, jika kondisi terus memburuk, waktu Saguling untuk tutup usia semakin dekat dan mendekatkan JawaMadura-Bali pada krisis energi listrik. Saat ini, laju sedimentasi yang mencapai angka 4,2 juta meter kubik per tahun telah melewati ambang batas yang ditetapkan dalam desain PLTA Saguling, yaitu kurang dari 4 juta meter kubik per tahun. Jadi pendangkalannya lebih cepat dari desain. Sedimentasi 2007 bisa jadi mencapai 84 atau 85 juta meter kubik, kata Djoni Santoso, Manajer Lingkungan PT Indonesia Power PLTA Saguling. Bagaimanapun juga Citarum sudah mengalami kondisi

yang kritis. Dibutuhkan integritas dan komitmen dari berbagai pihak yang ikut bertanggung jawab dalam menyembuhkan Citarum.Sumber : http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=9732

----------------Mengendalikan Polutan, Menyelamatkan Kehidupan Dua tahun yang lalu Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menggemparkan dunia saat membeberkan hasil investigasi mereka bahwa setiap delapan detik seorang anak meninggal dunia karena penyakit terkait air dan 80% penyakit di negara berkembang disebabkan karena kontaminasi air (data UNEP). Kemudian, sekitar dua juta ton limbah dibuang ke sungai dan danau setiap harinya, satu liter limbah dapat mencemari delapan liter air bersih, dan jika pencemaran air terus berlanjut, dunia akan kehilangan 18.000 km3 air bersih pada 2050 (UN World Water Development Report, 2009). Sungai Citarum yang menjadi sumber air minum bagi sedikitnya 25 juta jiwa ini pun tak luput dari fenomena pencemaran akibat berbagai jenis limbah yang dibuang secara serampangan di sepanjang daerah alirannya.Data yang tersaji dalam Citarum Fact Sheet per 22 Maret 2010 memaparkan bahwa polutan terbesar Sungai Citarum adalah limbah domestik rumah tangga. Porsi buangan bahan organik itu bisa mencapai 60 persen. Lainnya 30 persen limbah asal industri, sisanya berasal dari pertanian dan peternakan. Parameter polutan yang meningkat paling tajam di Sungai Citarum itu di antaranya bakteri coli asal tinja manusia. Padahal ketiadaan bakteri yang habitat aslinya dalam usus manusia ini merupakan salah satu parameter bagi kualitas air minum yang baik. Pada tahun 2008 dilaporkan bahwa 100 persen sampel air bersih di DKI Jakarta, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bogor terkontaminasi bakteri coliform dan coli tinja (KOMPAS.com, 2 September 2010). Bila bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum atau makanan maka akan menyebabkan diare. Berita yang sama juga menyebutkan bahwa kegemparan wabah diare yang dilaporkan terjadi di 16 provinsi pada tahun 2006 oleh World Bank ternyata juga disebabkan oleh air minum yang tercemar bakteri E-coli yang berasal dari tinja manusia dan hewan. Diare yang disebabkan oleh virus dan protozoa juga berasal dari air yang tercemar tinja. Polutan lain yang turut menyumbang kekeruhan air sungai Citarum adalah limbah industri yang umumnya berasal dari sentra-sentra industri berbagai skala di wilayah Majalaya, Banjaran, Rancaekek, Dayeuhkolot, Ujung Berung, Cimahi, dan Padalarang. Dari sini saja, Citarum harus menampung 280 ton limbah kimia anorganik setiap hari. Dua penelitian terpisah yang dilakukan di Waduk Cirata dan

Waduk Saguling yang merupakan dua bendungan pembangkit listrik tenaga air di badan sungai Citarum menunjukkan tingginya kandungan logam berat pada sampel air di sana. Hasil pengujian air oleh peneliti Universitas Padjadjaran Bandung dan mitranya pada tahun 2004 menunjukkan bahwa air Waduk Saguling mengandung logam merkuri (Hg) sebesar 0,236 ppm dari batas aman 0,002 ppm. Kondisi air di Waduk Cirata yang terletak sekitar tigapuluh lima kilometer dari Saguling pun tak kalah mengenaskan. Pengujian yang dilakukan oleh peneliti Institut Teknologi Bandung beserta mitranya pada sampel ikan mas dan nila yang diambil dari jaring apung penambak ikan di Cirata ternyata positif mengandung timbel (Pb) 0,6part per million (ppm), zinc/seng (Zn) 22,45 ppm, krom (Cr) 0,1 ppm, dan air raksa atau merkuri (Hg) 179,13 partikel per berat badan (ppb). Kontaminan logam berat yang terkandung dalam air sungai Citarum dan digunakan untuk mengairi sekitar 240,000 hektar area pertanian di sepanjang daerah alirannya akan terakumulasi dalam tubuh manusia yang mengkonsumsi produk pertanian maupun peternakan yang memanfaatkan air sungai Citarum untuk budidayanya. Lambat laun logam itu akan merusak ginjal dan memicu penyakit degeneratif lainnya. Solusi Kewenangan pengelolaan Citarum sebagai wilayah sungai lintas propinsi Banten-DKI Jakarta- Jawa Barat, berdasarkan Permen PU No.11A Tahun 2006, berada di tangan Pemerintah Pusat dan upaya mengembalikan Citarum pada kondisi optimalnya ditempuh dengan jalan mengadopsi konsep integrated water resource management (IWRM). IWRM merupakan proses yang mengutamakan fungsi koordinasi dan pengelolaan air,tanah dan sumber daya terkait guna memaksimalkan hasil secara ekonomis dan kesejahteraan sosial dalam pola yang tidak mengorbankan keberlangsungan ekosistem vital (Global Water Partnership-Technical Advisory Committee, 2000). Namun perlu diingat bahwa IWRM ini memiliki metode pendekatan bottom up, dimana partisipasi masyarakat pengguna Citarum merupakan kunci utama dalam upaya menyehatkan kembali sumber air minum dan lahan mata pencaharian yang vital tersebut. Langkah pertama, pemerintah daerah-daerah yang wilayahnya dilalui oleh aliran sungai Citarum secara serempak hendaknya melakukan crash program dengan mengalokasikan anggaran dari pos Pengeluaran Tak Terduga maupun dana khusus IWRM (alokasi pemerintah pusat plus sumbangan dari berbagai pihak) yang tersedia untuk kepentingan memberi insentif bagai warga masyarakat kurang mampu yang bermukim di sepanjang tepian mau pun bantaran sungai

untuk bekerja bakti setiap hari selama minimal tiga bulan berturut-turut tanpa jeda untuk mengangkat timbunan sampah yang memadati badan sungai. Koordinasikan secara baik untuk mengelola sampah yang terkumpul dari kegiatan padat karya tersebut agar bisa segera diangkut ke tempat-tempat pembuangan sampah akhir (TPA) yang ada di wilayah masing-masing dalam tempo secepat-cepatnya karena penumpukan sampah yang terlalu lama juga potensial mengundang wabah penyakit lainnya. (Penelitian menunjukkan bahwa permukaan air sungai harus terbuka dan dijaga kelancaran alirannya untuk mengurangi bakteri Escherichia Coli dan bakteri patogen lainnya secara signifikan, Journal Water and Health 04.06/2006). Langkah kedua, setelah crash program di atas mulai berjalan, undanglah organisasi-organisasi yang memiliki perhatian mendalam terhadap kondisi Citarum untuk ikut bekerja sama dalam kerangka kemitraan konstruktif dan berkesinambungan untuk mempercepat proses pemulihan sungai serta mengelola sumber air minum bagi puluhan juta jiwa tersebut. Perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan sungai Citarum untuk kegiatan bisnis hendaknya diwajibkan berpartisipasi aktif dalam pemeliharaan sungai Citarum dengan beban sanksi hukum bagi mereka yang tidak kooperatif. (Kontaminan merkuri berasal dari limbah industri plastik dan pakan ikan, sedangkan logam berat lainnya berasal dari limbah pabrik tekstil; PPSDAL-Unpad, 2004). Langkah ketiga, evaluasi teratur dan pengawasan melekat sebaiknya dilakukan secara terpadu melibatkan berbagai unsur yang berkepentingan dengan pemanfaatan sungai Citarum, yakni masyarakat pengguna, pemerintah, dan tim ahli lingkungan hidup yang berspesialisasi pada pengendalian kualitas air. Sebisa mungkin hasil evaluasi layak untuk segera diaplikasikan pada upaya pemulihan kondisi Citarum. Langkah keempat, sebagai kelanjutan dari crash program dan merupakan program jangka panjang dalam memaksimalkan fungsi Citarum sebagai sumber air minum maupun irigasi yang baik adalah penataan pemukiman kumuh yang memadati daerah hulu sampai ke hilir sungai yang memiliki daerah aliran seluas 6,614 km persegi itu. Selain itu prosedur teknis pembuangan limbah domestik maupun industri hendaknya diperbaiki serta diperketat dengan mekanisme yang membuat pengawasan terhadap pelanggaran prosedur dapat ditindaklanjuti secara efektif. Langkah kelima, pergantian pemegang kekuasaan pasca setiap pemilu hendaknya tidak memutus kesinambungan pemeliharaan kelestarian sungai Citarum karena selama sungai itu masih belum kering, ada hajat puluhan juta warga negara yang tergantung padanya. http://green.kompasiana.com