Keroncong Mengalir Jauhrepository.isi-ska.ac.id/4358/1/SoloPos 13 Oktober 2020.pdf · 2020. 10....

1
K ekhawatiran tentang keberlangsungan hidup musik keroncong muncul dalam ujian terbuka promosi doktor di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo yang saya jalani pada akhir September 2020 lalu. Dalam nada yang gusar seorang penguji bertanya tentang apa yang akan saya lakukan untuk tetap mempertahankan keroncong agar tak sampai punah? Saya kemukakan langkah-langkah teknis dan taktis. Pada ujungnya saya katakan dalam nada berkelakar, bahwa sebagaimana sastra Jawa, musik keroncong tak akan mati sebab memang tidak punya kuburan. Sebagaimana kehidupan seni tradisional yang lain seperti wayang orang, ketoprak, ludruk, yang mulai ditinggalkan penggemarnya, rupanya keroncong turut dimasukkan ke dalam gerbong kecemasan itu. Sebagai bukti, saat ini sudah sangat jarang terdengar ada orang yang mau nanggap grup musik keroncong asli yang menggunakan bas bethot segede kerbau itu. Yang lazim digunakan sebagai hiburan dalam acara-acara di kota atau di desa saat ini adalah keyboard, yang berpostur ringkas, praktis, dan hangabehi. Artinya, alat itu bisa mengantarkan berbagai genre musik mulai langgam Jawa, keroncong, stambul, campursari, pop, rock, dangdut, country, piano, jazz, bahkan gending karawitan Jawa, karena kandungan programnya yang lengkap dan makin canggih: diatonik dan pentatonik. Keroncong dalam wujud grup musik bisa saja mati atau setengah mati, tetapi musik keroncong akan tetap abadi, mengalir sampai jauh, seperti bunyi lirik langgam Bengawan Solo karya Gesang. Apa alasannya? Karena musik memiliki estetika bunyi (lihat: Machlis, 1977:4). Bukan hanya narasi lirik. Orang Jawa bisa saja tak paham lirik lagu Es Lilin yang berbahasa Sunda dan Butet yang berbahasa Batak, tetapi sentuhan melodi kedua lagu itu sanggup membangkitkan rasa indah di telinga orang Jawa. Didi Kempot dengan lagu Suket Teki atau Tatu sanggup menghipnotis ribuan penonton walaupun mereka dari berbagai suku bangsa yang tak semuanya mengerti bahasa Jawa. Bengawan Solo telah menjadi everlasting song, lagu yang sanggup melintasi segala zaman. Lagu yang diciptakan pada tahun 1940 itu telah menjadi ikon musik keroncong bersama penciptanya, Gesang. Itu pula yang diajarkan sebagai lagu daerah kepada anak-anak sekolah di seluruh penjuru Nusantara. Lagu ini dihafal dan dinyanyikan oleh orang yang tak mengerti seluk-beluk keroncong sekalipun. Lagu Pamitan yang diciptakan Gesang pada tahun 1970 dan Caping Gunung yang diciptakan pada tahun 1973 kenyataannya masih juga diperdengarkan setengah abad kemudian. Salah satu kunci keabadian keroncong adalah gaya musikal. Penyanyi Sruti Maruti pernah menyanyikan Caping Gunung dengan gaya musikal yang berbeda dari yang lazim dilakukan oleh seorang penyanyi keroncong asli, penyanyi campursari, atau pesinden karawitan. Hasilnya adalah estetika musik keroncong dengan sentuhan berbeda dan cita rasa baru. Itu pula yang dilakukan oleh Koko Thole dengan garapan arasemen-aransemen anyar yang mencoba menggarap lagu dari genre musik lain. Benteng Terakhir Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah esai, saya pernah mengusulkan agar Kota Solo dinobatkan sebagai kota keroncong. Menurut pandangan saya, Kota Solo adalah benteng terakhir untuk pelestarian musik keroncong. Jika di Kota Solo sudah tak ada satu pun grup musik keroncong, bolehlah keroncong dianggap punah. Kenyataannya, hingga kini pentas musik keroncong di Kota Solo masih ada di berbagai tempat dengan jadwal pentas yang rutin. Penggemar musik keroncong dari kota-kota lain yang kangen melihat pentas keroncong secara live bisa datang ke Kota Solo. Sebuah pengalaman pantas dicatat. Seorang penggemar keroncong yang datang jauh- jauh dari Kabupaten Madiun merasa kagum bukan kepalang tatkala melihat peristiwa unik pada pentas musik keroncong di Joglo Sriwedari (dulu sebelum joglo ini dibongkar untuk membangun masjid). Sewaktu sebuah grup musik utama yang pentas itu istirahat, ada jeda beberapa menit, seorang penonton bergegas naik ke panggung, mengajak penonton lain untuk memegang alat-alat musik (gitar, bas, celo, cak-cuk, biola, suling) yang tengah menganggur itu. Penunjukan personel yang terkesan sembarangan, juga penyanyinya, ternyata bisa menampilkan suguhan musik keroncong yang bagus, kompak, dan enak didengar. Tak kalah dengan pementas utama itu. Ini menandakan betapa warga Kota Solo banyak yang urat nadinya masih dialiri dengan darah keroncong yang segar. Secara akademis, dalam disertasi saya yang bertajuk Estetika Lirik Lagu Keroncong Karya Gesang Martohartono memang dituntut untuk mengemukakan rekomendasi keilmuan tentang strategi pengembangan atau pelestarian musik keroncong setelah kepeloporan Sang Maestro Gesang. Saya melihat betapa masih terbuka lebar medan penelitian musik keroncong. Saat ini di Indonesia hanya ada satu disertasi keroncong, yaitu milik Victor Ganap berjudul Krontjong Toegoe (terbitan Badan Penerbit Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 2011). Jika disertasi saya jadi diterbitkan sebagai buku akan menjadi buku kedua tentang keroncong yang berbasis disertasi. Dalam penelitian saya secara formal maupun informal yang memakan waktu hingga 12 tahun, saya mendapati hampir 10.000 lagu keroncong yang terdiri atas keroncong asli, stambul, langgam keroncong, langgam Jawa. Ambil contoh satu saja, Andjar Any. Pencipta lagu Yen ing Tawang Ana Lintang dan Nyidhamsari yang begitu populer ini telah menghasilkan 2.450 lagu (lihat: Any, 2001:68), padahal ada sederet nama lain pencipta lagu seperti Budiman B.J., Kelly Puspito, Mardjo Kahar, Abdulgani, Ismanto, Oetjin, S. Darmodjo, S. Dharmanto, dan seterusnya. Mereka adalah pencipta lagu keroncong yang produktif pada zamannya. Di manakah karya-karya mereka tersimpan? Adakah ahli waris yang mendokukentasikan setidaknya dalam bentuk manuskrip partitur? Ini jelas menjadi kegelisahan di sejarah perkeroncongan di Indonesia. Dari jumlah lagu keroncong yang begitu banyak belum ada 10% yang terdokumentasikan. Buku kumpulan lagu keroncong yang pernah laris semacam Irama Pusparagam dan Madah Pudjangga terbitan Liem Tiat Sien tahun 1950-an adalah buku-buku yang sangat langka dan tidak dilanjutkan oleh penerbit lain hingga sekarang. Hal itu sangat bisa dimaklumi sebab penerbitan buku- buku semacam itu jelas tak menjanjikan keuntungan secara bisnis. Adalah tugas pemerintah mengambil beban pendokumentasian lagu- lagu keroncong yang telah dihasilkan oleh para pekerja musik keroncong itu sebagai warisan sejarah seni musik di Indonesia. Literatur tentang dunia musik gampang didapat dari bangsa Barat karena mereka rajin mendokumentasikan semua musik. Sementara kita adalah bangsa yang abai alias cuek terhadap artefak warisan leluhur. Kiranya kita membutuhkan lebih banyak peneliti seni musik keroncong yang penuh kegairahan seperti Judith Bacher, Philip Yampolsky, Victor Ganap, Budiman B.J., dan Harmunah. Kita membutuhkan lebih banyak lagi pemikir musik cerdas seperti Aaron Coplan yang bisa melahirkan buku Music and Imagination (1952). Seperti Carl Dalhaus yang buku karya dia, Aestethics of Music (1982), laris menjadi rujukan para peneliti musik sedunia. Kita membutuhkan para pejuang dan pemikir musik keroncong yang penuh dedikasi tanpa henti. Itu jika tidak ingin bangsa ini kehilangan jati diri untuk kali kesekian. Semoga! Penerbit PT Aksara Solopos Sertiokat Dewan Pers No: 32/DP-Terveriokasi/K/II/2017 Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Rini Yustiningsih Redaktur Pelaksana: Danang Nur Ihsan, Syifaul Arifin Dewan Redaksi: Y. Bayu Widagdo, Hery Trianto, Anton Wahyu Prihartono Sekretaris Redaksi: Sri Handayani Redaktur: Abu Nadhif, Adib M Asfar, Ahmad Mufid Aryono, Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan Solopos dilengkapi identitas dan tidak diperbolehkan menerima pemberian dalam bentuk apapun. Redaksi menerima artikel dari penulis. Keroncong Mengalir Jauh NUWUN SEWU KAMUS ESPOS Ist Tito Setyo Budi Doktor Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Alokasi beasiswa ini berbasis prestasi mahasiswa yang berstatus warga program beasiswa harus sesuai nomenklaktur. Perubahan pengelolaan daripada angka rata-rata kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah yang sebesar ini bisa meliputi data keluarga miskin, siswa miskin, hingga mahasiswa Hal lain yang wajib ditekankan dalam alokasi beasiswa ini yakni soal perguruan tinggi dengan dukungan beasiswa dari pemerintah kabupaten. l Pembelajaran tatap muka di Boyolali menunggu jadi zona hijau. Jangan main-main dengan kesehatan dan keselamatan para siswa. l Naskah UU Cipta Kerja berubah dari 900-an halaman menjadi lebih dari 1.000 halaman. Aneh, setelah disahkan masih diubah. Diatonik: bertalian dengan tangga (skala) nada musik yang tiap oktafnya bernada delapan. Pentatonik: not yang terdiri atas lima nada (seperti pada gamelan). Contoh: Artinya, alat itu bisa mengantarkan berbagai genre musik mulai langgam Jawa, keroncong, stambul, campursari, pop, rock, dangdut, country, piano, jazz, bahkan gending karawitan Jawa, karena kandungan programnya yang lengkap dan makin canggih: diatonik dan pentatonic (Solopos, 13 Oktober 2020, hal. 2). Sumber: KBBI daring.

Transcript of Keroncong Mengalir Jauhrepository.isi-ska.ac.id/4358/1/SoloPos 13 Oktober 2020.pdf · 2020. 10....

Page 1: Keroncong Mengalir Jauhrepository.isi-ska.ac.id/4358/1/SoloPos 13 Oktober 2020.pdf · 2020. 10. 13. · keroncong yang bagus, kompak, dan enak didengar. Tak kalah dengan pementas

Kekhawatiran tentang keberlangsungan hidup musik keroncong muncul

dalam ujian terbuka promosi doktor di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo yang saya jalani pada akhir September 2020 lalu.

Dalam nada yang gusar seorang penguji bertanya tentang apa yang akan saya lakukan untuk tetap mempertahankan keroncong agar tak sampai punah? Saya kemukakan langkah-langkah teknis dan taktis.

Pada ujungnya saya katakan dalam nada berkelakar, bahwa sebagaimana sastra Jawa, musik keroncong tak akan mati sebab memang tidak punya kuburan. Sebagaimana kehidupan seni tradisional yang lain seperti wayang orang, ketoprak, ludruk, yang mulai ditinggalkan penggemarnya, rupanya keroncong turut dimasukkan ke dalam gerbong kecemasan itu.

Sebagai bukti, saat ini sudah sangat jarang terdengar ada orang yang mau nanggap grup musik keroncong asli yang menggunakan bas bethot segede kerbau itu. Yang lazim digunakan sebagai hiburan dalam acara-acara di kota atau di desa saat ini adalah keyboard, yang berpostur ringkas, praktis, dan hangabehi.

Artinya, alat itu bisa mengantarkan berbagai genre musik mulai langgam Jawa, keroncong, stambul, campursari, pop, rock, dangdut, country, piano, jazz, bahkan gending karawitan Jawa, karena kandungan programnya yang lengkap dan makin canggih: diatonik dan pentatonik.

Keroncong dalam wujud grup musik bisa saja mati atau setengah mati, tetapi musik keroncong akan tetap abadi, mengalir sampai jauh, seperti bunyi lirik langgam Bengawan Solo karya Gesang.

Apa alasannya? Karena musik memiliki estetika bunyi (lihat: Machlis, 1977:4). Bukan hanya narasi lirik.

Orang Jawa bisa saja tak paham lirik lagu Es Lilin yang berbahasa Sunda dan Butet yang berbahasa Batak, tetapi sentuhan melodi kedua lagu itu sanggup membangkitkan rasa indah di telinga orang Jawa. Didi Kempot dengan lagu Suket Teki atau Tatu sanggup menghipnotis ribuan penonton walaupun mereka dari berbagai suku bangsa yang tak semuanya mengerti bahasa Jawa.

Bengawan Solo telah menjadi everlasting song, lagu yang sanggup melintasi segala zaman. Lagu yang diciptakan pada tahun 1940 itu telah menjadi ikon musik keroncong bersama penciptanya, Gesang. Itu pula yang diajarkan sebagai lagu daerah kepada anak-anak sekolah di seluruh penjuru Nusantara.

Lagu ini dihafal dan dinyanyikan oleh orang yang tak mengerti seluk-beluk keroncong sekalipun. Lagu Pamitan yang diciptakan Gesang pada tahun 1970 dan Caping Gunung yang diciptakan pada tahun 1973 kenyataannya masih juga diperdengarkan setengah abad kemudian.

Salah satu kunci keabadian keroncong adalah gaya musikal. Penyanyi Sruti Maruti pernah menyanyikan Caping Gunung dengan gaya musikal yang berbeda dari yang lazim dilakukan oleh seorang penyanyi keroncong asli, penyanyi campursari, atau pesinden karawitan.

Hasilnya adalah estetika musik

keroncong dengan sentuhan berbeda dan cita rasa baru. Itu pula yang dilakukan oleh Koko Thole dengan garapan arasemen-aransemen anyar yang mencoba menggarap lagu dari genre musik lain.

Benteng TerakhirBeberapa waktu yang

lalu, dalam sebuah esai, saya pernah mengusulkan agar Kota Solo dinobatkan sebagai kota keroncong. Menurut pandangan saya, Kota Solo adalah benteng terakhir untuk pelestarian musik keroncong. Jika di Kota Solo sudah tak ada satu pun grup musik keroncong, bolehlah keroncong dianggap punah.

Kenyataannya, hingga kini pentas musik keroncong di Kota Solo masih ada di berbagai tempat dengan jadwal pentas yang rutin. Penggemar musik keroncong dari kota-kota lain yang kangen melihat pentas keroncong secara live bisa datang ke Kota Solo.

Sebuah pengalaman pantas dicatat. Seorang penggemar keroncong yang datang jauh-jauh dari Kabupaten Madiun merasa kagum bukan kepalang tatkala melihat peristiwa unik pada pentas musik keroncong di Joglo Sriwedari (dulu sebelum joglo ini dibongkar untuk membangun masjid).

Sewaktu sebuah grup musik utama yang pentas itu istirahat, ada jeda beberapa menit, seorang penonton bergegas naik ke panggung, mengajak penonton lain untuk memegang alat-alat musik (gitar, bas, celo, cak-cuk, biola, suling)

yang tengah menganggur itu.Penunjukan personel yang

terkesan sembarangan, juga penyanyinya, ternyata bisa menampilkan suguhan musik keroncong yang bagus, kompak, dan enak didengar. Tak kalah dengan pementas utama itu. Ini menandakan betapa warga Kota Solo banyak yang urat nadinya masih dialiri dengan darah keroncong yang segar.

Secara akademis, dalam disertasi saya yang bertajuk Estetika Lirik Lagu Keroncong Karya Gesang Martohartono memang dituntut untuk mengemukakan rekomendasi keilmuan tentang strategi pengembangan atau pelestarian musik keroncong setelah kepeloporan Sang Maestro Gesang.

Saya melihat betapa masih terbuka lebar medan penelitian musik keroncong. Saat ini di Indonesia hanya ada satu disertasi keroncong, yaitu milik Victor Ganap berjudul Krontjong Toegoe (terbitan Badan Penerbit Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 2011). Jika disertasi saya jadi diterbitkan sebagai buku akan menjadi buku kedua tentang keroncong yang berbasis disertasi.

Dalam penelitian saya secara formal maupun informal yang memakan waktu hingga 12 tahun, saya mendapati hampir 10.000 lagu keroncong yang terdiri atas keroncong asli, stambul, langgam keroncong, langgam Jawa.

Ambil contoh satu saja, Andjar Any. Pencipta lagu Yen ing Tawang Ana Lintang dan Nyidhamsari yang begitu populer ini telah menghasilkan 2.450 lagu (lihat: Any, 2001:68), padahal ada sederet nama lain pencipta lagu seperti Budiman B.J., Kelly Puspito, Mardjo Kahar, Abdulgani, Ismanto, Oetjin, S. Darmodjo, S. Dharmanto, dan seterusnya.

Mereka adalah pencipta lagu keroncong yang produktif pada zamannya. Di manakah karya-karya mereka

tersimpan? Adakah ahli waris yang mendokukentasikan setidaknya dalam bentuk manuskrip partitur? Ini jelas menjadi kegelisahan di sejarah perkeroncongan di Indonesia.

Dari jumlah lagu keroncong yang begitu banyak belum ada 10% yang terdokumentasikan. Buku kumpulan lagu keroncong yang pernah laris semacam Irama Pusparagam dan Madah Pudjangga terbitan Liem Tiat Sien tahun 1950-an adalah buku-buku yang sangat langka dan tidak dilanjutkan oleh penerbit lain hingga sekarang.

Hal itu sangat bisa dimaklumi sebab penerbitan buku-buku semacam itu jelas tak menjanjikan keuntungan secara bisnis. Adalah tugas pemerintah mengambil beban pendokumentasian lagu-lagu keroncong yang telah dihasilkan oleh para pekerja musik keroncong itu sebagai warisan sejarah seni musik di Indonesia.

Literatur tentang dunia musik gampang didapat dari bangsa Barat karena mereka rajin mendokumentasikan semua musik. Sementara kita adalah bangsa yang abai alias cuek terhadap artefak warisan leluhur. Kiranya kita membutuhkan lebih banyak peneliti seni musik keroncong yang penuh kegairahan seperti Judith Bacher, Philip Yampolsky, Victor Ganap, Budiman B.J., dan Harmunah.

Kita membutuhkan lebih banyak lagi pemikir musik cerdas seperti Aaron Coplan yang bisa melahirkan buku Music and Imagination (1952). Seperti Carl Dalhaus yang buku karya dia, Aestethics of Music (1982), laris menjadi rujukan para peneliti musik sedunia.

Kita membutuhkan para pejuang dan pemikir musik keroncong yang penuh dedikasi tanpa henti. Itu jika tidak ingin bangsa ini kehilangan jati diri untuk kali kesekian. Semoga!

2 SELASA PAHING, 13 OKTOBER 2020

Penerbit PT Aksara Solopos Serti kat Dewan Pers No: 32/DP-Terveri kasi/K/II/2017

Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Rini Yustiningsih

Redaktur Pelaksana: Danang Nur Ihsan, Syifaul Arifi n

Dewan Redaksi: Y. Bayu Widagdo, Hery Trianto, Anton Wahyu Prihartono

Sekretaris Redaksi: Sri Handayani

Redaktur: Abu Nadhif, Adib M Asfar, Ahmad Mufi d Aryono, Alvari Kunto Prabowo, Anik Sulistyawati, Astrid Prihatini Wisnu Dewi, Ayu Prawitasari, Burhan Aris Nugraha, Damar Sri Prakoso, Haryono Wahyudiyanto, Hijriyah Al Wakhidah, Ichwan Prasetyo, Ivan Indrakesuma, Kaled Hasby Ashshidiqy, Oriza Vilosa, Rahmat Wibisono, R. Bambang Aris S, Rohmah Ermawati, Suharsih, Tika Sekar Arum, Tri Wiharto

Staf Redaksi: Akhmad Ludiyanto, Arif Fajar S, Cahyadi Kurniawan, Chrisna Chanis Cara, Farida Trisnaningtyas, Ichsan Kholif Rahman, Ika Yuniati, Kurniawan, Mariyana Ricky P.D., Wahyu Prakoso; Boyolali dan Salatiga: Bayu Jatmiko Adi, Klaten: Ponco Suseno, Taufi q Sidik Prakoso; Karanganyar: Sri Sumi Handayani; Wonogiri: Rudi Hartono; Sragen: M. Khodiq Duhri, Tri Rahayu; Sukoharjo: Bony Eko Wicaksono, Indah Septiyaning W.; Semarang: Imam Yuda Saputra; Madiun: Abdul Jalil;

Fotografer: Nicolous Irawan Ika Paksi;

Asisten Manajer Lay Out: Andhi Susanto.

Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan Solopos dilengkapi identitas dan tidak diperbolehkan menerima pemberian dalam bentuk apapun.

Redaksi menerima artikel dari penulis. Artikel diketik dengan spasi ganda maksimal 6.000 karakter disertai riwayat hidup singkat tentang penulis, foto penulis, nomor rekening bank dan NPWP (jika ada). Artikel harus orisinal dan tidak dikirimkan ke media massa lain. Setiap artikel yang dimuat merupakan pendapat pribadi penulis. Artikel yang dimuat menjadi hak redaksi Solopos dan dapat diterbitkan di media lain yang tergabung dalam grup Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI). Apabila lebih dari dua pekan tulisan tak dimuat, penulis berhak mengirimkan ke media lain. Sekretariat redaksi tidak melayani pembayaran honor secara langsung. Honor penulis akan dikirim melalui transfer bank.

Presiden Direktur: Arif BudisusiloDirektur Bisnis: SuwarminDirektur Finansial & Administrasi: Annisa Nurul AiniGeneral Manajer Pemasaran: Wahyu WidodoManajer Iklan Koran: Susi Ashari—Manajer Pemasaran Digital: Yonantha Chandra Premana—Manajer Sirkulasi: Franky Simon—Manajer EO: Dewi Lestari — Manajer Solopos Institute: SholahuddinAlamat Redaksi/Perusahaan: Griya Solopos Jl. Adisucipto No. 190 Solo 57145 Telp (0271) 724811 (hunting), Faks Redaksi (0271) 724833, Faks Perusahaan (0271) 724850—Pengaduan Iklan dan Sirkulasi: (0271) 724811; —Iklan Perwakilan Jakarta: Suyanto (087770984454) dan Rayendra (085742173017), Wisma Bisnis Indonesia Lt. 5-8 Jl. K.H. Mas Mansyur No. 12A Karet Tengsin,Tanah Abang Jakarta Pusat 10220, Telp (021) 57901023 ext 536 Faks (021) 57901024—Perwakilan Semarang: Jl Sompok Baru No. 79 Semarang Telp (024) 8442852;— Rekening Bank: Bank BCA Cabang Singosaren 153-0194708, Bank BNI Cabang Slamet Riyadi No. Rek. AC 28035567 Atas nama PT. Aksara Solopos—Harga Langganan: Rp. 110.000/bulan + ongkos kirim—Tarif Iklan: Display Hitam Putih Rp 29.000/mm kolom, Berwarna Rp 52.000/mm kolom, Kolom Rp 15.000/mm kolom. Baris Rp 15.000 (minimal 2 baris), Keluarga Hitam Putih Rp 17.000/mm kolom, Berwarna Rp 24.000/mm kolom— E-mail iklan: [email protected]—E-mail: [email protected], [email protected]—Homepage: www.solopos.com —Percetakan: PT Solo Grafi ka Utama. Isi di luar tanggung jawab percetakan.

Keroncong Mengalir JauhNUWUN SEWU

KAMUS ESPOS

Ist

Tito Setyo Budi

Doktor Pengkajian SeniInstitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Program beasiswa untuk mahasiswa di Kabupaten Wonogiri mulai tahun depan akan diubah. Program yang digulirkan sejak 2016 dan dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Wonogiri itu pada tahun depan dialihkan ke Dinas Sosial Kabupaten Wonogiri.

Pada tahun 2016 hingga 2020 ada 926 mahasiswa yang tercakup program beasiswa ini dengan nilai total beasiswa sekitar Rp11 miliar. Dalam program ini setiap mahasiswa menerima beasiswa senilai Rp12 juta.

Alokasi beasiswa ini berbasis prestasi mahasiswa yang berstatus warga

Kabupaten Wonogiri. Pada 2021 alokasi beasiswa berdasarkan data keluarga miskin karena program beasiswa dikelola dan dilaksanakan Dinas Sosial.

Program dikemas berbeda karena harus sesuai tugas pokok dan fungsi dinas ini. Perubahan ini sebagai konsekuensi pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 90/2019 tentang Klasifi kasi Kodifi kasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah yang berlaku mulai 1 Januari 2020.

Berdasarkan regulasi itu program beasiswa harus sesuai nomenklaktur. Perubahan pengelolaan

ini tak perlu dipersoalkan. Justru ini harus dimanfaatkan untuk memberdayakan warga miskin. Pasti banyak warga miskin di Kabupaten Wonogiri yang tak sanggup membiayai anak ke bangku kuliah.

Temukanlah keluarga ini dan alihkan program beasiswa untuk mahasiswa berprestasi menjadi program untuk menguliahkan anak-anak dari keluarga miskin. Angka kemiskinan di Kabupaten Wonogiri pada 2019 sebesar 10,25% persen.

Angka ini lebih baik daripada angka rata-rata kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah yang sebesar

10,58%, namun masih lebih tinggi dibanding rata-rata nasional yang sebesar 9,22%. Program beasiswa ini akan efektif berbasis keluarga miskin kalau data keluarga miskin benar dan valid.

Biasanya terjadi perbedaan data keluarga miskin yang dikeluarkan beberapa instansi. Perbedaan data ini dikarenakan perbedaan parameter atau indikator miskin. Idealnya pemerintah daerah mempunyai data tunggal kemiskinan.

Bank data soal kemiskinan ini bisa meliputi data keluarga miskin, siswa miskin, hingga mahasiswa

miskin. Bank data ini menjadi basis data yang bisa dimanfaatkan oleh instansi manapun ketika menjalankan program yang bermuara pada pengentasan kemiskinan.

Basis data ini idealnya juga bisa diakses mulai tingkat pemerintah daerah, kecamatan, kelurahan, desa, hingga rukun tetangga, termasuk juga bisa diakses oleh publik. Surat keterangan miskin yang dikeluarkan instansi berwenang harus berdasarkan bank data warga miskin itu.

Hal lain yang wajib ditekankan dalam alokasi beasiswa ini yakni soal

prioritas mahasiswa berprestasi dari keluarga miskin. Prioritas ini sebaiknya diterapkan mengingat jumlah atau nilai beasiswa yang terbatas. Mahasiwa berprestasi dari keluarga miskin layak mendapatkan prioritas.

Secara umum, perubahan program ini harus benar-benar bermanfaat untuk mengatasi kemiskinan. Rumuskan perubahan program dengan cermat agar setidaknya program ini mendorong anak-anak dari keluarga miskin mau meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi dengan dukungan beasiswa dari pemerintah kabupaten.

Pengalihan Beasiswa untuk Warga Miskin

l Pembelajaran tatap muka di Boyolali menunggu jadi zona hijau.

— Jangan main-main dengan kesehatan dan keselamatan para siswa.

l Naskah UU Cipta Kerja berubah dari 900-an halaman menjadi lebih dari 1.000 halaman.

— Aneh, setelah disahkan masih diubah.

Diatonik: bertalian dengan tangga (skala) nada musik yang tiap oktafnya bernada delapan. Pentatonik: not yang terdiri atas lima nada (seperti pada gamelan). Contoh: Artinya, alat itu bisa mengantarkan berbagai genre musik mulai langgam Jawa, keroncong, stambul, campursari, pop, rock, dangdut, country, piano, jazz, bahkan gending karawitan Jawa, karena kandungan programnya yang lengkap dan makin canggih: diatonik dan pentatonic (Solopos, 13 Oktober 2020, hal. 2). Sumber: KBBI daring.