KERJA DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD...
-
Upload
nguyenthuy -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of KERJA DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD...
KERJA DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD IQBAL
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh
Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Oleh:
Siti Fatimah
1110033100050
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2017 M.
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
“KERJA DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD IQBAL”
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh
Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Oleh:
Siti Fatimah
NIM. 1110033100050
Dosen Pembimbing
Hanafi, MA
NIP. 19691216 199603 1 002
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2017 M.
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
‘ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
’ ’ ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
VOKAL PANJANG
Arab Indonesia Inggris
ā ā ٲ
ىٳ ī ī
وٲ ū ū
v
Abstrak
Siti Fatimah (1110033100050)
Kerja dalam Perspektif Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal adalah tokoh pembaru pemikiran Islam pada abad ke-20.
Sumbangsihnya terhadap pemikiran-pemikiran Islam masih sangat melekat dalam
benak para cendikiawan Muslim dan non-Muslim yang mengagumi pemikirannya.
Penilitan ini terfokus kepada pemikiran Muhammad Iqbal tentang Kerja. Penelitian
ini menggunakan metode kepustakaan (library research). Adapun metodologi skripsi
ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis.
Muhammad Iqbal memiliki pemikiran filsafat Ego atau disebut dengan filsafat
khudi. Melalui teori filsafat khudi (Ego), Muhammad Iqbal memunculkan pemikiran-
pemikiran lainnya, salah satunya adalah pandangannya tentang kerja. Kerja menurut
Muhammad Iqbal adalah untuk merealisasikan dirinya melalui sesuatu yang harus
dibentuk dan dibentuk kembali dengan kerja yang tidak pernah putus. Sesuatu yang
terus-menerus dibentuk itu adalah karya cipta dan ilmu pengetahuan, sedangkan kerja
yang tidak pernah putus adalah usaha dan kerja keras. Kerja adalah proses gerak
manusia dalam suatu kegiatan menuju kebaikan yang sempurna. Kerja tersebut harus
bersifat dinamis dan kreatif. Dengan kedinamisan, kerja manusia tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan jasmani saja, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan rohani.
Sementara kerja kreatif adalah kerja yang menjadikan manusia mampu menciptakan
karya cipta dan ilmu pengetahuan baru.
Kerja manusia adalah aktivitas ibadah, aktivitas yang seharusnya membuat
manusia semakin merasa dekat dan giat beribadah kepada Allah. Aktivitas kerja juga
seharusnya sebagai salah satu cara untuk bisa bersikap toleransi dengan manusia lain,
karena peran manusia adalah mencapai kesatuan generasi yang lebih baik dari
generasi sebelumya atau dalam level lebih tinggi mencapai kesempurnaan generasi
Insan Kamil (Manusia Sempurna).
Kata Kunci: Muhammad Iqbal, Kerja, Dinamis, Kreatif.
vi
UCAPAN SYUKUR DAN TERIMA KASIH
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Alḥamdulillāh segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tiada kata
mampu mengungkap rasa syukur kepada-Nya. Atas bimbingan dan kehendak-
Nya, akhirnya penulis sanggup dan mampu menyelesaikan penulisan skripsi
dengan judul KERJA DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD IQBAL.
Ṣalawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Nabi
Muhammad saw, pemberi nilai-nilai keislaman yang paling beradab diantara
zaman-zaman peradaban.
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk mendapatkan
gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis
sadari bahwa skripsi ini terselesaikan bukan dengan hasil jerih payah penulis
sendiri, melainkan adanya dorongan motivasi serta bantuan baik moril dan materil
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, patut kiranya penulis sampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan yaitu:
1. Jika langit dan bumi dibatasi oleh setinggi-tinggi dan seluas-luasnya, maka
ucapan terima kasih untuk kedua orangtuaku yaitu Abah H. Muhamad Sartim
dan Mimi Hj. Malikhah tiada terhingga. Berkat didikan, kasih sayang, serta
doa-doa tulus dari mereka, penulis mampu untuk menyelesaikan tugas ini.
2. Kepada Bapak Hanafi Arsyad, MA sebagai dosen pembimbing dalam
menulis skripsi ini. Terima kasih yang sedalam-dalamnya atas keluangan
waktu, kesabaran, serta keikhlasan dalam membimbing penulis. Semoga amal
vii
kebaikan Bapak selalu menjadi bekal keberkahan bagi setiap aktivitas dan
kesehatan Bapak.
3. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibu Dra. Tein Rohmatin, MA
dan Bapak Dr. Abdul Hakim Wahid, MA selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam. Mereka sebagai orang tua sekaligus rekan
kerja penulis di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam yang tidak pernah bosan
untuk selalu mendorong, menyemangati, dan mengingatkan dalam proses
penyelesaian tugas ini.
4. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Muhammad
Suryadinata, MA selaku Wadek Bidang Kemahasiswaan, yang selalu
mengingatkan untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA
yang telah bersedia meningatkan dan meminjamkan beberapa referensi pokok
untuk penyelesaian skripsi ini.
5. Terima kasih kepada Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin, Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.M. selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dosen-dosen beserta staf dan karyawan di lingkungan
Fakultas Ushuluddin. Mereka telah memberikan bantuan dan kemudahan
dalam bidang administrasi dikampus.
6. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Miftahussalam, S.Ag
selaku Kepala Sekolah SMP Plus dan SMK Mutiara Bangsa Kemiri, dan
kepada Ibu Sukaesih, S.Ag. Mereka sebagai orangtua kedua penulis selalu
mendoakan dengan tulus dan memberikan dorongan untuk penyelesaian tugas
ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Hery Ahmad,
viii
S.Kom.I, Bapak Mister Hadidi, S.Sy, Bapak Muhammad Nur, S.Pd.I, Ibu
Sultanah, Ibu Zulaichoh, S.Pd, beserta guru-guru, staf, karyawan, siswa-
siswi, dan alumni SMP Plus dan SMK Mutiara Bangsa Kemiri yang selalu
memberikan doa-doa terbaik bagi penulis.
7. Terima kasih yang tak terhingga untuk Aa Ali, adik-adikku Mumun, Endim,
Yusuf, Aam, Maswah, “dua comel” Saroh dan Robiah. Berkat doa tulus dan
semangat dari mereka, penulis mampu untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Terima kasih untuk sahabat-sahabat Kosan Kaffah, Huda Riyana Yasin,
Ilawati, Raisa Soraya, Linda Pratiwi, Tuti Aliyah dan Mba Mutmainah, yang
selalu menyemangati dikala semangat penulis terasa menurun.
9. Terima kasih untuk sahabat-sahabat AF 2010 Mba Syiroh, Abdus Syakur,
Bahrur Rosi, Tuti Maesaroh, Ruha, Sofi, Diana, Nina, Epin, Misbah, Bindan,
Ocho, Diah, dan sahabat-sahabat AF lainnya yang tidak mungkin disebutkan
satu persatu. Suatu keberuntungan bagi penulis dapat mengenal dan
menjadikan mereka sebagai sahabat terbaik.
10. Terima kasih yang sedalam-dalamnya untuk Ibu Zubaidah Said Jamhuri dan
Ibu Hasbullah yang pernah memberikan kesempatan tempat tinggal bagi
penulis ketika masih dalam masa perkuliahan. Bimbingan mereka untuk
menjadi perempuan mandiri adalah pengetahuan dan pengalaman yang tidak
bisa disampaikan hanya dengan kata-kata.
Semoga peran serta mereka mendapat balasan kebaikan, senantiasa diberi
keberkahan dan kebahagiaan dunia maupun akhirat, āmīn yā rabb al-„ālamīn.
Ciputat, 16 Oktober 2017
Siti Fatimah
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ....................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................. iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 7
E. Metode Penelitian ......................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 10
BAB II BIOGRAFI
A. Kehidupan dan Pendidikan ........................................................... 11
B. Karier ............................................................................................ 14
C. Tokoh-tokoh yang Berpengaruh ................................................... 20
D. Karya-karya .................................................................................. 23
BAB III KERJA DAN FILSAFAT A. Definisi Kerja ............................................................................... 28
B. Kerja dalam Ruang Lingkup Filsafat............................................ 30
C. Korelasi antara Kerja dengan Filsafat ......................................... 37
BAB IV KERJA MENURUT MUHAMMAD IQBAL
A. Dinamis ......................................................................................... 41
B. Kreatif ........................................................................................... 49
C. Ibadah ........................................................................................... 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 59
B. Saran-Saran .................................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muhammad Iqbal adalah tokoh yang dikenal sebagai pembaru pemikiran
Islam pada awal abad ke-20. Muhammad Iqbal terkenal dengan semangat
nasionalisme yang tinggi, selain itu Muhammad Iqbal juga merupakan
penyumbang utama ide dan perjuangan bagi pemisahan umat Muslim India dari
umat Hindu India dengan membentuk wilayah tersendiri.1
Selain sebagai seorang nasionalis, Muhammad Iqbal juga dikenal sebagai
penyair yang hebat dari Punjab.2 Syair-syairnya mampu menggetarkan semangat
perjuangan bagi mereka yang membacanya, syair-syair tersebut kemudian
dikumpulkan dan disatukan menjadi sebuah buku, seperti Asrar-i Khudi (Rahasia-
Rahasia Pribadi), Payam-i Masyriq (Pesan dari Timur), Javid Nama (Kitab
Keabadian), serta beberapa kumpulan puisi lainnya. Fazlur Rahman pun memuji
Muhammad Iqbal sebagai satu-satunya pengkaji filsafat yang murni dan menjadi
kebanggan dunia Islam, karena meskipun Muhammad Iqbal memperoleh
pengetahuan dari Timur dan Barat tetapi ia mampu untuk tidak terlalu menerima
pemikiran materialis Barat dan tidak dominan pada intuisi Timur.3
Salah satu pemikiran utama dan memang filsafatnya yaitu pandangan
tentang individualitas, diri pribadi, ego atau lebih sering disebut oleh Muhammad
1 A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Bandung: Mizan,
1993), h. 189. 2 A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 174.
3 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin
Mohammad (Bandung: Pustaka, 1985), h. 85.
2
Iqbal sebagai khudi.4 Pembahasan individualitas manusia ini kemudian dijelaskan
lebih lanjut dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Rekontruksi
Pemikiran Religius dalam Islam).5
Salah satu hal menarik dalam prosa tersebut adalah Muhammad Iqbal
menjadikan Tuhan sebagai co-worker (rekan kerja) dari manusia.6 Menurut
Muhammad Iqbal, manusia memiliki bagian cita-cita yang lebih dalam dari alam
sekitarnya, melalui segenap potensi yang ada pada dirinya manusia mampu untuk
hidup menyesuaikan diri dengan alam, bahkan manusia mampu untuk mengatur
dan memola alam sesuai kepentingan dan tujuannya sendiri.7 Namun hal tersebut
hanya bisa tercapai apabila manusia mau mengembangkan potensi tersebut.
Tujuan dari Muhammad Iqbal menjadikan Tuhan sebagai „rekan kerja‟
(co-worker) manusia adalah untuk membangkitkan kesadaran manusia bahwa
tidak ada sosok realitas begitu kuat dan begitu menginspirasi seperti ruh manusia.
Dalam ruh manusia terdapat aktivitas kreatif, bergerak maju, bangkit dari satu
keadaan kepada keadaan lain.8
Dengan menjadikan Tuhan sebagai “rekan kerja” manusia, tugas manusia
tidak sedikit, manusia harus turut serta aktif berpartisipasi dalam proses
penciptaan alam. Tuhan tidak pernah berhenti untuk menciptakan alam, dan dalam
proses penciptaan tersebut manusia dilibatkan oleh Tuhan, dalam istilah
Muhammad Iqbal, manusia sebagai co-worker adalah perpanjangan tangan dari
4 Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi (Rahasia-Rahasia Pribadi), terj. Bahrum Rangkuti
(Jakarta: Bulan Bintang, 1953), h. 18. 5 Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, terj. Hawasi dan Musa
Kazhim (Bandung: Mizan, 2016), h. 115. 6 Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 13.
7 Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 14.
8 Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 12.
3
Tuhan sehingga manusia menjadi subjek yang aktif dan kreatif.9 Ia harus mampu
menjadikan keberadaan alam sebagai objek dari kreativitas kerja manusia, karena
proses penciptaan alam tidak bisa berhenti begitu saja setelah diciptakan. Alam
harus terus dikembangkan oleh manusia dengan segenap potensi yang
dimilikinya.
Dalam hal ini Muhammad Iqbal menggunakan ayat 11 surat al-Ra„d untuk
menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi lebih dalam mengatur nasibnya,
“Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka
mengubah nasib mereka sendiri.”10
Namun apabila manusia berhenti untuk
berinisiatif dan tidak mau mengembangkan kekayaan batinnya, maka ruh di
dalamnya akan mengeras membatu dan merendahkan derajatnya sampai ke
tingkat benda mati.
Muhammad Iqbal sangat menekankan pentingnya aksi dibandingkan
hanya pemikiran yang tidak pernah terwujud nyata. Maka dari itu dalam
pengantar The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Muhammad Iqbal
menegaskan bahwa al-Qur‟an adalah sebuah kitab yang menekankan „perbuatan‟
(deed) daripada „pemikiran‟ (idea).11
Kerja manusia tidak diperuntukkan bagi
dirinya sendiri, kerja manusia untuk membangun alam. Seperti disebutkan oleh
Muhammad Iqbal dalam puisinya, Tuhan dan Manusia:12
“Tuhan
Kubentuk dunia ini dari lempung yang satu dan sama
9 Hawasi, Eksistensialisme Mohammad Iqbal (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2003), h.
24. 10
Q.S. Al-Ra„d [13]: 11 11
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. xxiii. 12
Muhammad Iqbal, Pesan dari Timur, terj. Abdul Hadi W.M. (Bandung: Mizan, 1985),
h. 66.
4
Kau bikin Iran, Ethiopia dan negeri Mongol
Dari tanah kau buat besi, murni tanpa campuran
Kau buat pedang, anak panah dan senjata
Kau bikin kapak, untuk menebang pohon yang Ku (Tuhan) tumbuhkan
Dan membuat sangkar untuk burung Ku (Tuhan) yang berkicau bebas
Manusia
Kau (Tuhan) mencipta malam, aku mencipta lampu yang meneranginya
Kau (Tuhan) buat lempung, ku bikin darinya cawan minuman
Kau (Tuhan) bikin hutan liar, gunung dan padang rumputan
Ku cipta kebun, taman, jalan-jalan dan padang gembala
Ku rubah racun berbisa jadi minuman segar
Akulah yang mencipta cermin cerlang dari pasir.”
Puisi analogi percakapan antara Tuhan dan manusia tersebut menjelaskan
bahwa apa yang telah Tuhan ciptakan di dunia ini tidak berhenti begitu saja, tugas
manusialah untuk melanjutkan peran penciptaan selanjutnya terhadap dunia. Oleh
karena itu, Tuhan dan manusia adalah “rekan kerja” paling baik dalam proses
penciptaan alam. Manusia sebagai pemberi nama, pemberi bentuk, dan pemberi
fungsi pada benda-benda alam.
Karena segala sesuatunya berasal dari Tuhan, maka seharusnya kerja
manusia adalah sebagai wujud ibadah kepada Tuhan dan pada setiap pekerjaan
yang manusia lakukan tidak bisa mengalihkan peran Tuhan. Kerja manusia tidak
diperuntukkan bagi dirinya saja, melainkan juga sebagai interpretasi dari
keberadaan Tuhan. Jika manusia menjadikan diri bekerja hanya untuk diri sendiri,
menurut Murtadha Muthahhari, semua gerak-gerik manusia sangat egois,
kesibukan dan aktivitasnya dilakukan hanya untuk dirinya.13
Mulai bangun dari
tidur sampai kembali ke tempat tidur, semua jerih payah yang manusia lakukan
hanya untuk kehidupan pribadinya saja, asal perut kenyang, badan tertutupi, dan
tersedia tempat tinggal untuk dirinya.
13
Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya: Studi Kritis atas Berbagai Pandangan
Filsafat, Irfan, dan Teori Sosial Modern (Insan Kamil), terj. Abdillah Hamid Ba‟abud (Jakarta:
Sadra Press, 2012), h. 190.
5
Pemikiran Muhammad Iqbal adalah salah satu bentuk keprihatinan yang
mendalam pada krisis Islam dalam masyarakat kontemporer, terutama pada
Muslim India.14
Muhammad Iqbal mengetahui kemunduran yang terjadi pada
umat Muslim India diakibatkan oleh pembatasan pemerintah India terhadap ruang
lingkup pendidikan, politik, dan pekerjaan bagi Muslim India saat itu. Dalam
bidang pendidikan Universitas Punjab seperti hanya dikhususkan menjadi
lembaga pendidikan Hindu, begitu pula dalam panggung politik yang dikuasi oleh
ahli-ahli hukum Hindu, sementara dalam lingkup pekerjaan umat Muslim India
hanya diperbolehkan untuk mengelola ladang mereka sendiri sedangkan kantor-
kantor umum dan lembaga-lembaga pemerintahan sangat sulit dimasuki oleh
seorang Muslim.15
Akibat dari pembatasan ruang gerak tersebut, secara perlahan membuat
Muslim India mengalami kemunduran, kemandegan pengetahuan, dan hal paling
terlihat jelas adalah minoritas Muslim India dan mayoritas Hindu satu sama lain
saling membenci dan bermusuhan.16
Konflik tersebut membuat pemikiran
Muhammad Iqbal semakin mengkristal, hingga muncullah ide bahwa umat Hindu
dan Muslim India harus terpisah, karena masing-masing harus bekerja demi masa
depan nasional mereka secara terpisah.17
Ide tersebut disampaikan oleh
Muhammad Iqbal pada sidang tahunan All India Muslim League pada tahun
1930.18
14
John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam, terj. Bakri Siregar (Jakarta: Rajawali,
1987), h. 214. 15
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 180. 16
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 181. 17
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 178. 18
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 182.
6
Kondisi Muslim India yang diperlemah dan menjadi minoritas masyarakat
diantara mayoritas umat Hindu dengan pemerintah kolonial Inggris, menjadikan
pemikiran dan pengetahuan Muslim India jalan di tempat. Sikap kelemahan akan
menunjukkan kepasifan, ketika sikap pasif telah melekat pada diri manusia,
hidupnya akan terus bergantung pada diri yang lain, akibatnya manusia akan
kehilangan kualitas diri dengan melenyapkan keunikannya.19
Sikap tersebut
menurut Muhammad Iqbal dianggap sebagai penyimpangan dari semangat Islam,
yaitu semangat gerakan yang dinamis dan evolusi yang kreatif.20
Robert D. Lee menyebutkan bahwa Muhammad Iqbal memandang dunia
sebagai produk usaha manusia,21
dengan kata lain dunia menjadi lahan kerja bagi
manusia dalam mewujudkan kreativitasnya terhadap alam. Muhammad Iqbal
menganalogikan dalam Javid Nama (Kitab Keabadian), dimana Bartari-Hari
sebagai filosof kuno India, menasehati Zinda-Rud sebagai diri Muhammad Iqbal:
“Dunia yang kau lihat ini bukanlah buatan Tuhan
Kaulah penyebab jentera pemintalmu berputar
Pun benang yang tergulung padanya
Tunduklah pada Hukum imbalan perbuatan
Karena dari perbuatan terlahir Neraka, Pembersihan Jiwa dan Surga.”22
Puisi tersebut menjelaskan bahwa semata-mata dunia bukanlah buatan
Tuhan, manusia diberikan peran kreatif untuk mengatur, memola, dan membuat
produk melalui kedinamisan yang ada dalam dirinya. Kegiatan kreatif tersebut
akan memperoleh imbalan dari kerja yang dilakukannya, jika melalui
19
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis
Arkoun, ter. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000), h. 73. 20
John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam, h. 215. 21
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis
Arkoun, h. 77. 22
Muhammad Iqbal, Javid Nama: Ziarah Abadi, terj. Dewi Candraningrum (Yogyakarta:
Fajar Pustaka, 2000), h. 84.
7
pekerjaannya manusia menjadi lebih jauh dari Tuhannya, maka imbalannya
adalah neraka. Tapi apabila kreativitas manusia digunakan untuk kebaikan, maka
akan sesuai dengan kebaikan yang telah manusia itu perbuat, bahkan dijanjikan
surga. Berdasarkan latar belakang tersebut kajian kerja dalam perpektif
Muhammad Iqbal sangat menarik bagi penulis, karena Muhammad Iqbal tidak
menjadikan kerja hanya sebagai aktivitas fisik saja, dibalik kerja manusia ada
peran Tuhan yang ingin menunjukkan keberadaannya dalam setiap aktivitas
manusia, termasuk dalam proses kerja manusia.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis membatasi dan memfokuskan
pada pokok persoalan apa dan bagaimana pandangan Muhammad Iqbal tentang
kerja. Jika Muhammad Iqbal memandang Tuhan sebagai co-worker “rekan kerja”
manusia, lalu kerja seperti apa yang diinginkan Tuhan ada pada manusia? Adapun
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bahwa Muhammad Iqbal sangat
lekat dengan pemikiran kedinamisan, daya kreatif dan perbuatan nyata (action)
dari manusia.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui latar belakang
pemikiran dan gagasan Muhammad Iqbal tentang kerja, selain itu penulisan ini
merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan perkuliahan di Strata Satu (S1)
Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat mengetahui makna
kerja manusia dan tidak terlepas dari peran Tuhan.
8
D. Tinjauan Pustaka
Penulis telah meninjau beberapa karya ilmiah berupa skripsi yang
membahas tentang pemikiran Muhammad Iqbal. Pertama, skripsi pada tahun
2003 yang berjudul Pandangan Muhammad Iqbal Tentang Ego ditulis oleh
Mursali, mahasiswa Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Secara garis besar skripsi ini fokus pada diri atau ego yang
menjadi faktor sentral dalam mengontrol kehidupan manusia.
Kedua, skripsi pada tahun 2007 yang berjudul Konsep Tuhan Menurut
Muhammad Iqbal ditulis oleh Jamaluddin Alafghani mahasiswa Aqidah Filsafat
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Inti dari skripsi ini adalah
tentang konsep Ego Mutlak atau Tuhan yang tidak hanya transenden tapi juga
immanen sebagai realitas yang ada disekitar manusia, tentunya menurut
Muhammad Iqbal.
Ketiga, skripsi pada tahun 2012 yang berjudul Mistisime Islam dalam
Perspektif Iqbal (Konsep Deskripstif, Filosofis dan Tasawuf) ditulis oleh Hifdi
Ridho mahasiswa Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Skripsi ini membahas konsep Khuda (Tuhan) yang termanifestasi dalam
diri (khudi) manusia, dimana manusia dapat menyerap sifat-sifat Tuhan tapi tidak
sampai menghilangkan realitas manusia itu sendiri sebagai makhluk karena
Pencipta berbeda jauh dengan ciptaan.
Keempat, skripsi pada tahun 2015 yang berjudul Kehendak Kreatif dalam
Pandangan Muhammad Iqbal ditulis oleh A. Rusliyanto mahasiswa Filsafat
Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
9
Yogyakarta. Skripsi ini memfokuskan pada kehendak kreatif manusia menuju
realisasi akan Khudi pada diri manusia.
Kelima, skripsi pada tahun 2016 yang berjudul Epistemologi Muhammad
Iqbal ditulis oleh Zaini Tafrikhan mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini menggarisbesarkan pada
cara memperoleh pengetahuan melalui intuisi, karena dengan intuisi manusia
mampu untuk mengenali diri, alam semesta dan Tuhan.
Keenam, tesis pada tahun 2016 yang ditulis oleh Zulkarnain berjudul
“Filsafat Khudi Mohammad Iqbal dan Relevansinya Terhadap Masalah Keindonesiaan
Kontemporer”, Pascasarjana UIN Sumatera Utara Medan. Tesis ini fokus pada
pembahasan relevansi filsafat khudi terhadap masalah etika dan budaya pada Indonesia.
Dari beberapa tinjauan pustaka tersebut, semua telah sama-sama
membahas tokoh Muhammad Iqbal, namun tentunya berbeda dalam fokus
pembahasan yang akan penulis kaji. Permasalahan yang akan penulis teliti adalah
apa dan bagaimana kerja dalam perspektif Muhammad Iqbal.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode kepustakaan
(library research) terhadap karya Muhammad Iqbal yaitu The Reconstruction of
Religious Thougt in Islam yang telah diterjemahkan oleh Hawasi dan Musa
Kazhim dengan judul Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, dan Asrar-i
Khudi yang juga telah diterjemahkan oleh Bahrum Rangkuti menjadi Asrar-i
Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, serta karya-karya lain yang relevan. Dalam hal
ini penulis menggunakan sumber-sumber pustaka sebagai rujukan utama dan
10
mengumpulkan buku-buku serta dokumen lain berupa buku-buku, jurnal, skripsi,
tesis, dan artikel dari internet yang berkaitan dengan penelitian ini.
Adapun metodologi skripsi ini menggunakan pendekatan deskriptif-
analitis yaitu pengumpulan dan pengolahan data dari berbagai sumber literatur
yang relevan dengan tema pembahasan dalam penulisan ini kemudian
menganalisanya.
Secara teknis, penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: CeQda UIN Syarif
Hidayatullah, 2007. Sedangkan pedoman transliterasi berasal dari Jurnal
Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin (HIPIUS). Volume 1, Nomor 1, Januari
Tahun 2011.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, pada bab pertama pendahuluan,
terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Kemudian bab dua membahas biografi Muhammad Iqbal, mulai dari sejarah
pendidikan, karier dan karya-karya dari Muhammad Iqbal. Selanjutnya bab tiga,
membahas tentang definisi kerja secara umum, kerja dalam ruang lingkup filsafat,
serta membahas korelasi antara kerja dan filsafat. Bab empat akan membahas inti
dari tema skripsi yakni Kerja dalam Perspektif Muhammad Iqbal. Dalam bab ini
akan dibahas kerja menurut Muhammad Iqbal, dalam pandangannya terhadap
kedinamisan, kreativitas, dan ibadah. Bab lima atau terakhir merupakan penutup
dari skripsi ini yang berisi tentang kesimpulan, dan saran-saran.
11
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD IQBAL
A. Kehidupan dan Pendidikan
Muhammad Iqbal lahir pada 9 November 1877 M.1 di Sialkot perbatasan
Punjab, Pakistan. Muhammad Iqbal terlahir dari rahim seorang ibu bernama Imam
Bibi yang terkenal sangat religius meskipun tidak pernah mendapatkan pendidikan
formal umum.2 Sedangkan ayahnya bernama Syaikh Nur Muhammad adalah
seorang sufi yang bekerja keras untuk keluarga dan agamanya.3 Nenek
moyangnya berasal dari kaum Brahmana di Lembah Kashmir dan telah memeluk
Islam dua ratus tahun yang lalu.4
Disebutkan dalam Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20 bahwa
keluarga Muhammad Iqbal dikenal sebagai keluarga yang religius, kereligiusan
inilah kelak mencetak Iqbal menjadi seorang sufi sekaligus pemikir.5 Dapat dilihat
dari cara Muhammad Iqbal memperoleh pendidikan pertamanya, yaitu pendidikan
yang lengkap dari kedua orangtuanya, berupa pengetahuan mengenai agama
Islam. Muhammad Iqbal juga mempelajari ilmu agama di maktab (madrasah)
untuk belajar al-Qur‟an.6 Begitu pula yang diberikan kepada ketiga saudara
1 A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Bandung: Mizan,
1993), h. 173. 2 Zaini Tafrikhan, “Epistemologi Muhammad Iqbal” (Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 15. 3 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 182.
4 Abul Hasan Ali Al-Husni An-Nadwi, Percikan Kegeniusan Muhammad Iqbal, terj.
Suyibno H.M. (Jakarta: Integrita Press, 1985), h. 13. 5 Herry Muhammad, dkk., Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20 (Jakarta:
Gema Insani, 2006), h. 237 6 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana 2010), h. 26.
12
perempuan dan saudara laki-laki Muhammad Iqbal.7 Muhammad Iqbal sangat
beruntung memiliki orang tua seperti Syaikh Nur Muhammad dan Imam Bibi,
mereka tidak pernah membatasi pendidikan anak-anaknya hanya pada ilmu
agama, tapi juga memberikan ruang bagi anak-anaknya untuk mempelajari ilmu-
ilmu lainnya dalam sekolah-sekolah formal.8
Muhammad Iqbal mendapatkan pendidikan dasar dan menengah di
Sialkot, Iqbal sangat beruntung memiliki seorang guru seperti Sayyid Mir Hasan
(1844-1929). Sayyid Mir Hasan adalah seorang terpelajar, ulama sekaligus sufi
yang dijuluki sebagai Shāms al-‘Ulamā.9 Ia adalah salah satu guru yang cukup
berpengaruh penting bagi pemikiran Muhammad Iqbal karena mengajarkan
esensi-esensi kebudayaan Islam dan sangat memahami betul bakat yang dimiliki
Muhammad Iqbal sejak muda.10
Atas saran dari Sayyid Mir Hasan, Muhammad
Iqbal terus mengembangkan bakatnya dalam bidang sastra. Sayyid Mir Hasan
berhasil menanamkan rasa cinta ilmu pengetahuan dan kesusastraan Islam, sampai
akhir hayat Muhammad Iqbal tidak pernah melupakan jasa baik gurunya itu.11
Pada tahun 1892 Muhammad Iqbal berhasil lulus dari sekolah menengah
dengan predikat pujian dan mendapatkan beasiswa dari Scotch Mission College.
Pada tahun 1893, Iqbal menjadi mahasiswa tingkat pertama yang kuliah pada
ilmu-ilmu humaniora di Scotch Mission College. Pada 1895 Iqbal berhasil
7 Javid Iqbal, dkk., Sisi Manusiawi Iqbal, terj. Nurul Agustin dan Ihsan Ali Fauzi
(Bandung: Mizan, 1992), h. 17-18. 8 Zulkarnain “Filsafat Khudi Mohammad Iqbal dan Relevansinya terhadap Masalah
Keindonesiaan Kontemporer (Tesis Pascasarjana UIN Sumatera Utara Medan, 2016), h. 20. 9 Abul Hasan Ali Al-Husni An-Nadwi, Percikan Kegeniusan Muhammad Iqbal, terj.
Suyibno H.M. (Jakarta: Integrita Press, 1985), h. 13. 10
Luce Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, terj. Djohan Effendi (Bandung:
Mizan, 1985), h. 13. 11
Abul Hasan Ali Al-Husni An-Nadwi, Percikan Kegeniusan Muhammad Iqbal, h. 13.
13
menyelesaikan tahun keduanya di Scotch Mission College, Sialkot.12
Karena
bakat yang ada pada dirinya, orang tua Muhammad Iqbal mendorongnya untuk
melanjutkan ke jenjang lebih tinggi yaitu Government College, sebuah lembaga
pendidikan terbaik di anak benua itu.13
Muhammad Iqbal menambah wawasan dalam ilmu pengetahuan kepada
Sir Thomas Arnold yang merupakan tokoh orientalis Inggris terkenal.14
Muhammad Iqbal berhasil meraih gelar B.A. dalam bidang bahasa Arab pada
1897 dan masternya pada tahun 1899.15
Pengaruh yang sangat kental dalam
perkembangan intelektual Muhammad Iqbal dipelopori oleh Sir Thomas Arnold,
ia merupakan guru Muhammad Iqbal yang terkenal sangat piawai dalam
memadukan pengetahuan luas tentang filsafat Barat dan pengertian mendalam atas
kebudayaan Islam dan kesusastraan Arab.16
Ia adalah pemberi dorongan paling
utama bagi Muhammad Iqbal untuk bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik
di Eropa.17
Pada tahun 1905, Muhammad Iqbal belajar di Lincoln‟s Inn untuk gelar
pengacara. Sementara di Universitas Cambridge, Muhammad Iqbal mendaftarkan
dirinya di tingkat sarjana muda dan belajar pada R.A. Nicholson, seorang spesialis
12
John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam, terj. Bakri Siregar (Jakarta: Rajawali,
1987), h. 214. 13
Javid Iqbal, dkk., Sisi Manusiawi Iqbal, terj. Nurul Agustin dan Ihsan Ali Fauzi
(Bandung: Mizan, 1992), h. 18. 14
John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 214. 15
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), h. 87. 16
Luce Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, terj. Djohan Effendi (Bandung:
Mizan, 1985), h. 14. 17
Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,
1996), h. 4-5.
14
dalam sufisme, dan John McTaggart seorang Neo-Hegelian.18
Ini adalah salah
satu hal yang tidak biasa, mengingat Muhammad Iqbal telah meraih gelar master
filsafat dari Universitas Punjab di Lahore, sekaligus sedang mempersiapkan
sebuah disertasi doktoral dalam bidang filsafat yang diajukan pada Universitas
Munich di Jerman. Disertasi tersebut berjudul The Development of Metaphysics in
Persia yang mampu Muhammad Iqbal pertahankan di hadapan Prof. F. Hommel
dan berhasil meraih gelar dictoris philosophiae gradum pada 4 November 1907.19
Bagi Muhammad Iqbal, kesempatannya berada di Eropa merupakan cara
terbaik untuk menimba ilmu sebaik mungkin. Hal ini Muhammad Iqbal buktikan
dengan sederet gelar yang berhasil diraihnya, mulai dari gelar doktor filsafat, gelar
sarjana muda tahun 1907 dari Universitas Cambridge dan dikukuhkan sebagai
pengacara hukum di Lincoln‟s Inn, London, pada Juli 1908.20
Kehidupan Muhammad Iqbal ketika berada di Eropa sangatlah
memberikan kesan dalam beberapa hal. Selama di Eropa Muhammad Iqbal
berhasil menguasai pemikiran Eropa secara mendalam, pemikiran teologi dari
Thomas Aquinas hingga filsafat Henri-Louis Bergson dan Nietzsche.21
Tidak
heran jika pemikiran Muhammad Iqbal nantinya terpengaruh oleh beberapa
pemikiran Barat, termasuk idenya tentang individualitas yang dinamis.22
Bagi
Muhammad Iqbal, masyarakat Eropa memiliki sikap nasionalisme yang sempit
dan bersifat egois, namun juga cukup terpengaruh dengan masyarakat Eropa yang
18
John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam, h. 214. 19
Javid Iqbal, dkk., Sisi Manusiawi Iqbal, h. 27-28. 20
Javid Iqbal, dkk., Sisi Manusiawi Iqbal, h. 46. 21
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis
Arkoun, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 1997), h. 70. 22
John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam, h. 215.
15
sangat dinamis dan tidak kunjung merasa cukup.23
Usai menyelesaikan studi di
Eropa, Muhammad Iqbal kembali ke kampung halamannya di Lahore pada tahun
1908.24
B. Karier
Berbagai jenjang karier pernah Muhammad Iqbal jajaki, bahkan
Muhammad Iqbal terkenal memiliki kecakapan luar biasa dalam beberapa bidang
sebagai penyair, penulis prosa, filosof, ahli bahasa, ahli hukum, politisi, dan
guru.25
Berbagai keahlian Muhammad Iqbal menunjukkan bahwa ia termasuk
sebagai seorang pekerja keras dalam bidang-bidang yang ia geluti, ia tidak pernah
merasa cukup dengan keahlian yang dimilikinya, ia merasa perlu untuk terus
mengembangkan potensi-potensi yang masih ada dalam dirinya.
Sebelum Muhammad Iqbal memutuskan untuk melanjutkan
pendidikannya di Eropa. Terhitung setelah meraih gelar M.A. dalam bidang
filsafat pada tahun 1899, Iqbal telah menjadi staf dosen di perguruan tinggi
Pemerintah (Government College), tetapi karier sastranya telah memenuhi ruang
kerjanya terlebih dahulu.26
Sebelum akhirnya Muhammad Iqbal memutuskan
untuk menerima saran Sir Thomas Arnold pergi melanjutkan studi ke Eropa.
Ketika di Eropa, Muhammad Iqbal memulai karir dengan ditunjuk sebagai
guru besar dalam bahasa Arab di Universitas London selama enam bulan, dan
23
Bahrum Rangkuti, “Selintas Riwayat Hidup Iqbal” dalam buku terjemahan Muhammad
Iqbal, Asrar-I Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi (Jakarta: Bulan Bintang, 1953), h. 108. 24
Bahrum Rangkuti, “Selintas Riwayat Hidup Iqbal,” h. 108. 25
Luce Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, terj. Djohan Effendi (Bandung:
Mizan, 1985), h. 15 26
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 174
16
diserahi jabatan sebagai ketua jurusan bidang Filsafat dan Kesusastraan Inggris. 27
Selama itu pula Muhammad Iqbal banyak mengadakan ceramah mengenai Islam
dan kebudayaan di London, yang kemudian dimuat dalam berbagai surat kabar
dan majalah berbahasa Inggris.28
Sekembalinya ke Lahore, Muhammad Iqbal memilih untuk mengajar di
Government College,29
lembaga pendidikan yang pernah menjadi almamaternya.
Ia memberikan pengajaran tentang filsafat, sastra Arab, dan Inggris. Namun hanya
setahun ia mengajar di lembaga pendidikan tersebut, hal ini disebabkan karena
Muhammad Iqbal merasa tidak bebas mengemukakan pemikiran dan kegelisahan
intelektualnya selama mengajar di Government College.30
Selain mengajar, Muhammad Iqbal pun bekerja sebagai advokat
(pengacara), namun kecintaannya kepada menulis prosa dan merangkai syair telah
membuatnya tidak tertarik lagi pada profesi hukum.31
Muhammad Iqbal selalu
menghadiri pertemuan-pertemuan tahunan yang diadakan oleh Arjuman Humayat-
i Islami (Perkumpulan Pembelaan Islam), pada acara tersebut Muhammad Iqbal
membacakan syair-syairnya, salah satunya adalah syair Shikwa (Ratap
Keluhan).32
Dari sini Muhammad Iqbal mulai tertarik pada Islam sebagai
organisasi sosial dan politik.33
27
Luce Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, h. 15. 28
Bahrum Rangkuti, “Selintas Riwayat Hidup Iqbal,” h. 108. 29
Bahrum Rangkuti, “Selintas Riwayat Hidup Iqbal,” h. 108. 30
Government College adalah salah satu lembaga pendidikan di Lahore yang dikuasai
oleh Pemerintahan Inggris, kala itu Inggris masih menjajah wilayah India. Muhammad Iqbal dan
Amin Husein Nasution, Politik Islam, h. 28. 31
Abul Hasan Ali Al-Husni An-Nadwi, Percikan Kegeniusan Muhammad Iqbal, h. 15. 32
Abul Hasan Ali Al-Husni An-Nadwi, Percikan Kegeniusan Muhammad Iqbal, h. 15. 33
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 175.
17
Pada tahun 1922 gelar kebangsawanan sir dianugerahkan kepada
Muhammad Iqbal oleh Raja George V, dan juga mendapatkan gelar allamah.34
Dalam kancah politik praktis, Muhammad Iqbal meniti karier sebagai Dewan
Legislatif Punjab untuk masa jabatan tahun 1926-1930. Pada tahun 1930, Iqbal
diangkat menjadi Presiden Dewan Legislatif yang sekaligus pada waktu itu juga
menjabat sebagai Presiden Liga Muslim. Untuk pertama kalinya di depan forum
terbuka, Muhammad Iqbal mengajukan tujuan nasional dari pendirian sebuah
Negara Islam di wilayah Timur Laut India.35
Di samping itu Muhammad Iqbal pernah menghadiri Konferensi Meja
Bundar sebanyak dua kali tahun 1931 dan 1932. Kemudian pada tahun 1933,
Iqbal terpilih sebagai Presiden Komite Kashmir dan pada tahun 1934 dipercaya
untuk memimpin Konferensi Muslim India. Dari banyaknya jabatan strategis yang
pernah dipegangnya, kiranya Muhammad Iqbal dapat dikatakan sebagai pemikir
yang ulung sekaligus politikus yang mahir.36
Ketertarikan Muhammad Iqbal terhadap politik adalah sebagai upaya
untuk menumbuhkan semangat umat Islam dalam mengatur hidupnya sendiri
terlepas dari dominasi Hindu India.37
Muhammad Iqbal prihatinan terhadap krisis
yang menimpa Islam dalam masyarakat kontemporer, terutama pada Muslim
India.38
Muhammad Iqbal bahkan melihat kemunduran yang terjadi pada umat
34
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis
Arkoun, h. 70. 35
Luce Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, h. 18. 36
Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf, h. 8-9. 37
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, h. 89. 38
John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam, terj. Bakri Siregar (Jakarta: Rajawali,
1987), h. 214.
18
Muslim India diakibatkan oleh pembatasan pemerintah India terhadap ruang
lingkup pendidikan, pekerjaan, dan politik bagi Muslim India saat itu. Dalam
bidang pendidikan Universitas Punjab seperti dikhususkan menjadi lembaga
pendidikan Hindu, begitu pula dalam panggung politik yang dikuasi oleh ahli-ahli
hukum Hindu, sementara dalam kantor-kantor umum dan lembaga-lembaga
pemerintahan sangat sulit dimasuki oleh seorang Muslim.39
Akibat dari pembatasan ruang gerak tersebut, secara perlahan membuat
Muslim India mengalami kemunduran, kemandegan pengetahuan, dan hal paling
terlihat jelas adalah minoritas Muslim India dan mayoritas Hindu satu sama lain
saling membenci dan bermusuhan.40
Konflik tersebut membuat pemikiran
Muhammad Iqbal semakin mengkristal, hingga muncullah ide bahwa umat Hindu
dan Muslim India harus terpisah, karena masing-masing harus bekerja demi masa
depan nasional mereka secara terpisah.41
Ide tersebut disampaikan oleh
Muhammad Iqbal pada sidang tahunan All India Muslim League pada tahun
1930.42
Bagi Muhammad Iqbal, umat Muslim India hanya dapat tetap hidup dan
bertahan di bumi India dengan memiliki pemerintahan sendiri yang terlepas dari
dominasi umat Hindu dalam berbagai aspek.43
Selain itu, Muhammad Iqbal
melihat bahwa umat Muslim India sangat terpaku pada pemahaman-pemahaman
konservatif ulama-ulama terdahulu tanpa pernah melakukan telaah ulang terhadap
39
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 180. 40
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 181. 41
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 178. 42
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 182. 43
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, h. 89.
19
hukum-hukum dan peraturan yang sudah usang, yaitu untuk tidak terlalu
mementingkan kehidupan duniawi karena bersifat sementara.44
Akibatnya
pemikiran umat Islam menjadi statis dan tidak ada perkembangan, padahal zaman
sudah semakin maju dan berkembang. Ulama-ulama konservatif adalah pihak
yang harus bertanggungjawab atas keadaan pemikiran umat Muslim India yang
hanya mementingkan masalah-masalah akhirat saja dan mengesampingkan
masalah duniawi.45
Padahal antara kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat
adalah dua sisi yang saling memiliki keterkaitan sangat erat, tidak bisa hanya
dengan mementingkan salah satunya saja.
Berdasarkan keadaan lingkungan sosial politik umat Islam di atas,
Muhammad Iqbal ingin menggerakkan kembali seluruh umat Muslim India dan di
seluruh dunia untuk bersikap dinamis dan kreatif dalam menghadapi hidup dan
menciptakan perubahan-perubahan di bawah tuntutan ajaran-ajaran al-Qur‟an.46
Hal tersebut dapat dimulai terlebih dahulu dari hal paling dasar dari setiap
individu yaitu dengan mengenali individualitas dirinya sebagai Muslim.
Dengan mulai mengenali dirinya sebagai individu, manusia mampu untuk
mengetahui fungsi penciptaanya di bumi sebagai khalifah (wakil) Tuhan, dan
mulai bangun dari tidur panjangnya melakukan pergerakan menuju
perkembangan, dalam tahap perkembangannya sebagai masyarakat, manusia
mampu untuk membuat peradaban baru dengan bersama-sama menggunakan
44
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, h. 91. 45
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, h. 92-93. 46
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, h. 93.
20
segenap potensi yang ada pada diri masyarakat. Muhammad Iqbal menginginkan
hal ini terjadi pada masyarakat Muslim India pada saat itu. Namun ternyata
tubuhnya tidak sanggup menyaksikan hal tersebut terlaksana, karena Muhammad
Iqbal telah dipanggil keharibaan Ilahi.
Muhammad Iqbal meninggal dunia pada usia 71 tahun, tepatnya pada
tanggal 20 April 1938.47
Jenazahnya dimakamkan keesokkan harinya di sebelah
kiri tangga menuju masjid Badsyahi, Lahore. Dengan iringan rakyat yang
berjumlah besar dari berbagai golongan, kematiannya diratapi dan memperoleh
ucapan bela sungkawa dari para pemimpin besar dan tokoh-tokoh ahli pikir. Hal
ini membuktikan bahwa kematiannya merupakan “kerugian” besar bagi kaum
Muslim India dan dunia Islam pada umumnya.48
C. Tokoh-tokoh yang Berpengaruh
1. Mir Hassan
Sayyid Mir Hassan (Shāms al-Ulamā) lahir pada tahun 1844 dan wafat
pada tahun 1929, adalah seorang sarjana Al-Qur‟an, Hadis, tasawuf, dan bahasa
Arab. Dia adalah seorang profesor bahasa Arab di Scotch Mission College di
Sialkot.49
Ia dianugerahi gelar Shāms al-‘Ulamā oleh British Crown. Dia adalah
salah satu guru yang terkenal dari Muhammad Iqbal.
Dia memiliki pengaruh cukup besar bagi Muhammad Iqbal. Sayyid Mir
Hassan adalah seorang sarjana dengan pengetahuan tentang beberapa bahasa
47
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi (Rahasia-Rahasia Pribadi), h. 110. 48
Javid Iqbal, dkk., Sisi Manusiawi Iqbal, h. 51. 49
Abul Hasan Ali Al-Husni An-Nadwi, Percikan Kegeniusan Muhammad Iqbal, h. 13.
21
Islam. Mir Hassan memberi pelatihan yang menyeluruh dalam tradisi sastra Islam
yang kaya dan sangat berpengaruh bagi Muhammad Iqbal.50
Mir Hassan adalah seorang staf pengajar pada sebuah fakultas di Sialkot
dan ia menggemari sastra Persia. Terkenal sebagai tokoh di kawasan itu dan
disegani. Hingga apabila ia datang, semuanya memberi jalan padanya. Dia
terkenal sebagai pengajar yang keras dalam bahasa Arab. Namun keluasan
ilmunya membuat ia disegani oleh para mahasiswa.51
Pada tahun 1922, ketika gubernur Inggris mengususlkan pemberian gelar
kebangsaan kepada Muhammad Iqbal atas prestasi sastra, Iqbal meminta agar Mir
Hassan harus diberikan gelar Shāms al-„Ulamā. Ketika gubernur mengatakan
bahwa Mir Hassan tidak menulis buku apapun, Iqbal menjawab bahwa dirinya
adalah buku yang telah dihasilkan Mir Hassan. Mir Hassan memberikan pengaruh
bagi terbentuknya pemikiran Muhammad Iqbal tentang intelektual dan
kesusastraan dunia Timur.
2. Thomas Arnold
Thomas Arnold lahir pada 19 April 1864, dididik di kota London oleh
seorang orientalis Inggris dan sejarawan seni Islam. Pada tahun 1888 ia bekerja
sebagai guru di MAO College, Aligarh. Pada tahun 1898, ia menerima jabatan
sebagai professor filsafat di Govement College Lahore dan kemudian menjadi
50
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi (Rahasia-Rahasia Pribadi), h. 107. 51
Zulkarnain “Filsafat Khudi Mohammad Iqbal dan Relevansinya terhadap Masalah
Keindonesiaan Kontemporer,” h. 39.
22
dekan fakultas oriental di Punjab University. Dari 1904-1909 bekerja di Kantor
India sebagai asisten pustakawan.52
Pada tahun 1909 ia diangkat menjadi penasehat pendidikan mahasiswa
India dan Inggris. Saat itulah ia berkenalan dengan Muhammad Iqbal. Dari 1917
ke 1920 ia bertindak sebagai penasehat sekretaris Negara untuk India. Ia adalah
profesor bahasa Arab dan studi Islam di sekolah studi oriental, University of
London, dari tahun 1921 ke tahun 1930. Arnold menjadi editor Inggris terlebih
dahulu untuk edisi pertama The Encyclopaedia of Islam. Dari Sir Thomas Arnold,
Muhammad Iqbal dikenalkan kepada kesusastraan dan pemikiran Barat.53
3. Jalāl al-Dīn Rūmī
Jalāl al-Dīn Rūmī lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada 30 September
1207 M. Jalāl al-Dīn Rūmī adalah tokoh sufi yang memiliki pemikiran evolusi.54
Manusia muncul sebagai hasil akhir dari proses evolusi panjang dan kompleks.
Meskipun manusia adalah tahap akhir dalam perkembangan ini, proses evolusi
tidak berakhir pada kematiannya, perubahan masih perlu dilakukan.
Sebagai wakil Tuhan, manusia diberi suatu amanat yang merupakan fungsi
manusia dalam penciptaanya. Pelaksanaannya merupakan tugas manusia yang
paling penting, karena demi kepentingan itulah manusia diciptakan. Hanya dengan
percaya akan Tuhan saja tidak cukup, manusia mesti “mengejawantah” baik untuk
52
Zulkarnain “Filsafat Khudi Mohammad Iqbal dan Relevansinya terhadap Masalah
Keindonesiaan Kontemporer,” h. 44. 53
Luce Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, h. 14. 54
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam
(Bandung: Mizan, 2003), h. 14.
23
Tuhannya maupun terhadap sesama.55
Puisi-puisi Jalāl al-Dīn Rūmī memberikan
pengaruh terhadap pemikiran Muhammad Iqbal tentang peran manusia di dunia
dalam pemikiran Islam.
Tidak hanya para nabi saja yang bisa menjadi manusia sempurna. Setiap
individu berpotensi menjadi manusia sempurna dalam keadaan spiritualnya yang
paling sempurna. Manusia harus mengupayakannya dengan sangat keras, dengan
mengembangkan semua sifat-sifat yang agung sehingga mencapai kemampuan
terjauh dalam ibadah terus-menerus kepada Tuhan.56
Dalam Asrar-i Khudi-nya, Muhammad Iqbal menyatakan bahwa Jalāl al-
Dīn Rūmī yang membangkitkan, mengingatkan, dan menyerunya untuk berjalan
pada jalan ini serta mengantarkannya pada makna dalam mencapai risalahnya.
Jalāl al-Dīn Rūmī mengalih tanahku jadi intan permata
Dihiasinya abuku dengan keindahan
Dan butir pasir ini berasal dari padang pasir
Agar diperolehnya sinar kemilau sang mentari
Akulah gelombang dan aku akan bermukim dalam lautnya
Agar kujadikan mutiara kemilau kepunyaanku.57
Pengaruh tokoh-tokoh tersebut sangat memberikan peran besar bagi
pemikiran Muhammad Iqbal terhadap perkembangan pemikiran filsafat, sastra,
dan intuisi yang harus dilakukan oleh seorang individu demi mencapai harapan
kebaradaan sebenarnya, yaitu menjadi khalifah (wakil) Tuhan di bumi.
D. Karya-karya
55
Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak Agama: Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabī, Rūmī,
dan al-Jīlī (Jakarta: Mizan Publika, 2011), h. 181. 56
Mulyadhi Kartanegara, Jalāl al-Dīn Rūmī Guru Sufi dan Penyair Agung (Jakarta:
Teraju, 2004), h. 15. 57
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi (Rahasia-Rahasia Pribadi), terj. Bahrum Rangkuti
(Jakarta: Bulan Bintang, 1953), h. 114.
24
Muhammad Iqbal terkenal sebagai penulis dan penyair paling produktif
semasa hidupnya, terbukti dengan beberapa buku hasil karya tulisnya. Muhammad
Iqbal menulis karya-karyanya dalam bahasa Urdu, bahasa Persia, dan bahasa
Inggris. Beberapa karya berbahasa Urdu telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dan bahasa lainnya seperti bahasa Indonesia. Inilah beberapa karya
Muhammad Iqbal yang terkenal:
a. Karya dalam bentuk puisi:
Asrar-I Khudi (Rahasia Diri) buku puisi ini terbit tahun 1915. Ini adalah
buku yang pertama kali terbit mengenai filsafat agama berbahasa Persia terbit
pada tahun 1915. Dalam buku ini ditegaskan ego dan penegasan dirinya serta
perjuangan hidup. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
R.A. Nicholson yang diterbitkan pada tahun 1920. Selain itu karya ini juga
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bahrum Rangkuti dengan judul
Rahasia-Rahasia Diri terbit pada tahun 1953 oleh penerbit Bulan Bintang,
Jakarta.
Rumuz-i-Bekhudi (Misteri Ketiadaan Diri) buku ini terbit pada 1918
berupa syair-syair failasuf berbahasa Persia. Tema-temanya adalah hubungan
antara individu, masyarakat dan umat manusia dalam sistem sosial menurut Islam.
Payam-i-Masyriq (Pesan dari Timur) terbit pada tahun 1923 berbahasa
Persia. Pesan di dalamnya adalah pandangan Muhammad Iqbal terhadap dunia
Timur bersikap dinamis, terus maju dan berkarya.
25
Bang-i-Dara (Lonceng Kafilah) terbit pada tahun 1924 berbahasa Urdu.
Buku ini menggambarkan perkembangan pandangan dan pemikiran serta puisi
Iqbal.
Zabur-i’Ajam (Mazmur Persia) buku ini terbit pada 1927 dalam bahasa
Persia.
Javid Nama (Kitab Keadilan) terbit pada tahun 1932 berbahasa Persia.
Buku ini sering dianggap sebagai magnum opus Muhammad Iqbal. Di dalamnya
Iqbal menunjukkan kematangan putisnya dan puncak kematangan kecerdasannya.
Pesan untuk putranya sekaligus ditunjukkan kepada generasi muda Muslim
umumnya. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dewi
Candraningrum dengan judul Javid Nama: Ziarah Abadi oleh penerbit Fajar
Pustaka Baru Yogyakarta 2000.
Musafir (Sang Pengembara) terbit pada tahun 1934 berbahasa Persia. Di
dalamnya berisikan kesan-kesan Iqbal setelah mengunjungi Afghanistan.
Bal-i-Jibril (Sayap Jibril) terbit pada tahun 1935 berbahasa Urdu. Karya
ini memuat karangan-karangan Urdu Iqbal yang ditulis sejak diterbitkannya Bang-
i-Dara.
Pas chi bayad kard ay aqwam-i Sharg? (Apa yang harus dilakukan wahai
masyarakat Timur?) terbit pada tahun 1936 berbahasa Persia. Di dalamnya
memuat penjelasan Iqbal tentang sosio-politik dan masalah-masalah dunia Timur
yang berasal dari pengaruh peradaban Barat.
26
Zarb-i-Kalim (Pukulan Tongkat Musa) terbit pada tahun 1936 berbahasa
Urdu. Karya ini membahas peradaban modern dan masalah-masalah yang
dihadapinya.
Armaghan-i-Hijaz (Buah Tangan dari Hijaz) terbit pada tahun 1938
berbahasa Urdu dan Persia. Karya ini terbit beberapa bulan setelah Iqbal wafat.
b. Karya dalam bentuk prosa:
‘Ilm al-Iqtishad, terbit pada tahun 1903 berbahasa Urdu. Karya ini adalah
sebuah risalah ekonomi yang ditulis atas anjuran gurunya, Thomas Arnold
The Development of Metaphysics in Persia: A Contribution to the History
of Muslim Philosophy, ini adalah tesis Iqbal untuk meraih gelar doktoral di
Universitas Munich pada tahun 1908. Buku ini memaparkan garis besar pemikiran
metafisika masyarakat Iran, mulai dari Zoroaster hingga Baha‟ullah. Karya ini
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Joebar Ayoeb dengan judul
Metafisika Perisa: Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat Islam terbit pada
tahun 1990 oleh penerbit Mizan, Bandung.
The Reconstruction of Religious Thought in Islam, terbit pada tahun 1930
berbahasa Inggris. Buku ini adalah kumpulan kuliah-kuliah atas undangan
Asosiasi Muslim Madras. Dalam buku ini terdapat enam bab pembahasan. Karya
ini merupakan karya failasuf Islam dalam kerangka pemikiran dan konsep-konsep
Barat. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Audah,
Taufiq Ismail, Gunawan Muhammad dengan judul Membangun Kembali Pikiran
Agama dalam Islam terbit pertama kali pada tahun 1982 oleh penerbit Tintamas,
Jakarta. Kemudian diterjemahkan ulang oleh Hawasi dan Musa Kazhim dengan
27
judul Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam terbit pada tahun 2016 oleh
penerbit Mizan, Bandung.
Speeches and Statements of Iqbal, terbit pada tahun 1944 berbahasa
Inggris. Berisikan berbagai persoalan politik yang dihadapi umat Islam.
28
BAB III
KERJA DAN FILSAFAT
A. Definisi Kerja
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan
manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun
hal-hal yang berkaitan dengan masalah jasmani dan rohani.1 Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia kerja memiliki beberapa pengertian: pertama, kerja
adalah kegiatan melakukan sesuatu, yang dilakukan (diperbuat); kedua, kerja
adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, mata pencaharian; ketiga,
perayaan yang berhubungan dengan perkawinan, khitanan atau pesta perjamuan,2
dan masih ada beberapa pengertian lain namun menurut hemat penulis kurang
sesuai dengan tema yang akan dibahas. Kerja dalam Kamus Sinonim Bahasa
Indonesia disamakan dengan karya dan usaha.3 Berarti kerja menuntut manusia
untuk menghasilkan atau menciptakan karya, dan kerja adalah bentuk usaha
mencipta karya.
Kerja adalah bagian sentral dalam kehidupan manusia, melalui pikiran dan
tubuhnya, manusia mengorganisir pekerjaan dengan membuat benda-benda yang
dapat membantu pekerjaannya, dan menentukan tujuan akhir dari kerjanya
tersebut.4 Keseharian hidup manusia sebagian besar diisi dengan kerja, karena
manusia harus melangsungkan hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
1 Ahmad Abrar, “Etos Kerja dalam Islam,” artikel diakses pada 3 Oktober 2017 dari
https://pintania.wordpress.com/etos-kerja-dalam-islam. 2 Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 428
3 Mohammad Ngafenan, Kamus Sinonim Bahasa Indonesia (Semarang: Dahara Prize,
1994), h. 87 4 Reza A.A Wattimena, Filsafat Manusia: Menjadi Manusia Otentik (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013), h. 86.
29
dasarnya, maka dari itu manusia harus bekerja. Jika pun manusia dapat
memperoleh segala kebutuhannya tanpa melalui bekerja, manusia pasti akan
merasa bosan dengan kehidupan yang dijalaninya, karena manusia telah diberikan
kelebihan lain oleh Tuhan dengan akalnya. Akal manusia tidak diciptakan untuk
memikirkan hal yang sama setiap harinya. Akal manusia diciptakan untuk berpikir
setiap hari, dengan pikirannya manusia mampu menggerakkan kemampuan
anggota tubuhnya melakukan aktivitas sehari-hari.
Kerja dan bekerja adalah dua hal yang berbeda. Pekerja adalah penghasil
kerja, dan kegiatan menghasilkan kerja itu disebut sebagai bekerja.5 Menurut
Franz Magnis Suseno, pekerjaan adalah segala kegiatan yang direncanakan,
dilaksanakan karena kita mau, dengan sungguh-sungguh mencapai suatu hasil,
baik itu berupa benda, karya, tenaga ataupun jasa.6 Kerja dan pekerjaan tentu tidak
akan dianggap ada apabila tidak menjadi sesuatu atau memperoleh hasil, hasil
tersebut bisa berupa benda, karya, tenaga dan jasa. Maka dari itu pekerjaan identik
dengan sebuah usaha manusia untuk menampilkan diri di hadapan diri yang lain
dengan hasil kerjanya.
Kerja dan pekerjaan dalam kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan,
karena keduanya merupakan satu kesatuan utuh yang harus ada pada diri manusia.
Kerja dimaknai sebagai perbuatan melakukan sesuatu, sementara pekerjaan adalah
kegiatan untuk memperoleh penghasilan.7 Terkadang pekerjaan dan profesi pun
dibedakan berdasarkan jenis kerja yang dilakukan. Profesi lebih pada pekerjaan
5 Reza A.A Wattimena, Filsafat Manusia: Menjadi Manusia Otentik, h. 89.
6 Franz Magnis Suseno, “Manusia dan Pekerjaannya: Berfilsafat Bersama Hegel dan
Marx” dalam Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens ed., Sekitar Manusia (Jakarta: Gramedia,
1978), h. 74. 7 Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 154.
30
yang memerlukan keahlian khusus, prosedur kerja yang lebih sistematis, dan lebih
rumit untuk menyelesaikan sesuatu. Pekerjaan dan profesi keduanya memiliki
tujuan yang sama yaitu memperoleh penghasilan berupa upah atau gaji dari setiap
kerja yang telah selesai. Bagaimanapun pekerjaan adalah kegiatan manusiawi
yang serius dan dilakukan karena terpaksa untuk memperoleh upah.8
Kerja yang dianggap ada adalah kerja yang menjadikan atau mewujudkan
pemikirannya menjadi ada. Maka dari itu, ide atau pemikiran memang penting
bagi setiap pekerjaan, tapi apalah gunanya ide atau pemikiran jika tidak pernah
mewujud dalam dunia.
B. Kerja dalam Ruang Lingkup Filsafat
Ilmu dalam ruang lingkup filsafat adalah pengetahuan untuk mempelajari
dan mengetahui secara mendetail segala yang ada, baik itu bersifat fisik maupun
metafisik. Namun dalam pemikiran Barat, keberadaan metafisik masih diragukan,
karena keberadaannya tidak dapat dibuktikan secara nyata melalui alat indera.
Barat lebih mengutamakan pengetahuan rasio dan fisik, selama pengetahuan
tersebut dapat terukur dan terbukti melalui alat inderawi dan diterima oleh rasio
(akal). Karena objek kajian pemikiran Barat hanya seputar hal fisik, maka
pemikiran mereka tentang kerja pun tidak jauh dari ruang lingkup fisik. Kerja
hanya dianggap sebagai proses pemenuhan kebutuhan manusia akan kehidupan,
kekayaan, kekuasaan dan status sosial dalam masyarakat.9 Alam semesta hanya
digunakan untuk kepentingan manusia, karena hanya manusia yang mampu
mengolah apa yang telah alam berikan.
8 Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 154.
9 Dr. Syamsuri, MA dalam Studium Generale “Filsafat Kerja Perspektif Islam dan Barat”,
29 September 2016.
31
Sejarah filsafat Barat menyebutkan bahwa pemikiran tentang kerja muncul
seiring dengan perkembangan yang cukup pesat dalam dunia industri.10
Kemudian
dibarengi pula dengan kemunculan pemikiran kerja dari beberapa tokoh filsafat
Barat seperti John Locke, Adam Smith, George Wilhelm Friedrich Hegel, dan
Karl Marx.
1. John Locke
John Locke, berkata bahwa kerja membuat manusia memilki alasan
natural akan hak milik. Apa yang dihasilkan oleh keringatnya itulah miliknya.11
Karena kerja, manusia memiliki dirinya dan segala yang diperlukan untuk
melanjutkan keberlangsungan hidupnya. Tapi bila manusia dengan kerjanya
makin menuai kesulitan dan kehancuran, mska didalamnya telah terjadi
perbudakan dan penindasan.12
Menurut Locke, tanda lenyapnya perbudakan ialah ketika kerja manusia
memungkinkan dirinya memilki hidupnya semakin baik. Ketika sistem dalam
masyarakat tidak memungkinkan manusia makin manusiawi dengan kerja yang
dilakukannya, sistem itu disebut sistem yang tidak adil.13
Kemungkinan mengenai betapa beratnya sebuah kerja memang tergantung
juga bagaimana yang bersangkutan memaknainya. Tetapi yang pasti, orang
menemukan dirinya makin manusiawi dalam kerja. Kerja bukanlah pembatas
10
Franz Magnis Suseno, “Manusia dan Pekerjaannya: Berfilsafat Bersama Hegel dan
Marx” dalam Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens ed., Sekitar Manusia (Jakarta: Gramedia,
1978), h. 73. 11
Franz Magnis Suseno, “Manusia dan Pekerjaannya: Berfilsafat Bersama Hegel dan
Marx” dalam Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens ed., Sekitar Manusia, h. 73. 12
Armada Riyanto CM., Menjadi Mencintai; Berfilsafat Teologis Sehari-hari
(Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 121. 13
Armada Riyanto CM., Menjadi Mencintai; Berfilsafat Teologis Sehari-hari, 123.
32
antara pekerja dan pemilik modal, justru kerja untuk membangun relasi
komunikatif antara pekerja dan pemilik modal, sistem sosialisasi modern ini
mempromosikan relasi-relasi yang lebih manusiawi di dalam kerja. 14
Kerja yang
adil adalah kerja yang memperhitungkan masa depan, kerja tidak hanya untuk
keperluan saat ini, tapi juga untuk kebutuhan masa depan yang layak dan
manusiawi.15
Kerja merupakan kegiatan fisik yang bersifat materi, kerja memerlukan
pikiran untuk berpikir logis dan sistematis untuk menyelesaikannya karena setiap
pekerjaan memiliki prinsip-prinsip dasar dan urutan yang logis, seimbang dan
rasional.16
Kerja memerlukan tenaga sebagai pengerak tubuh untuk meraih atau
mencapai keberlangsungan kerja, biasanya ini terdapat pada pekerja yang
menghasilkan barang materi atau produksi, tapi bukan tidak mungkin seorang
pemikir pun menggunakan tenaganya untuk menghasilkan sebuah hasil kerja
(karya). Kerja juga sangat membutuhkan pentingnya jiwa yang sehat sebagai
penggerak semangat diri dan penambah hasil kerja yang maksimal.
2. Adam Smith
Adam Smith menguniversalkan makna kerja bagi manusia. Ia
berpandangan bahwa seluruh kebudayaan merupakan hasil dari pekerjaan
manusia. Ia mengelompokkan dua jenis pekerjaan, yakni pekerjaan yang produktif
dan pekerjaan yang tidak produktif. Pekerjaan produktif ialah pekerjaan kaum
14
Armada Riyanto CM., Menjadi Mencintai; Berfilsafat Teologis Sehari-hari, h. 124. 15
Armada Riyanto CM., Menjadi Mencintai; Berfilsafat Teologis Sehari-hari, h. 124. 16
Armada Riyanto CM., Menjadi Mencintai; Berfilsafat Teologis Sehari-hari, h. 125.
33
tani, buruh, sedangkan pekerjaan yang tidak produktif adalah pekerjaan para
prajurit, politisi dan ahli hukum.17
Adam Smith menunjukkan tingkatan dalam menenetukan kerja.
Pertama, meningkatkan kerajinan pada setiap pekerja yang pada giliranya
memperbaiki kondisi hidup pekerja dan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Smith melihat bahwa pembagian kerja mendorong kemakmuran pribadi dan
bersama karena melalui kerja peningkatan produk dapat dicapai.18
Kedua,
Pembagian kerja menyebabkan penghematan waktu. Artinya, pembagian kerja
membuat seorang karyawan bekerja secara efisien. Ketiga, pembagian kerja
mendorong dan menimbulkan penemuan mesin-mesin baru yang mempermudah
sekaligus menghemat tenaga kerja. Smith menyatakan bahwa pembagian kerja
membuat pekerja memiliki kesempatan untuk memikirkan cara-cara baru dalam
meningkatkan produktivitasnya.19
3. George Wilhelm Friedrich Hegel
Hegel menempatkan pekerjaan sebagai keseluruhan konteks kegiatan
manusia.20
Ia menilai bahwa kerja merupakan sesuatu yang dinamis, berkembang
dan menjadi sarana bagi manusia untuk menyadari diri melalui taraf-taraf dialektis
yang semakin mendalam.21
Artinya, manusia menemukan diri apabila menyadari
sepenuhnya apa yang dikerjakanya. Sebuah fenomena lahir dari konsepsi batin,
17
Franz Magnis Suseno, “Manusia dan Pekerjaannya: Berfilsafat Bersama Hegel dan
Marx” dalam Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens ed., Sekitar Manusia, h. 73. 18
Diakses pada 8 Juni 2017 http://me-dailyjournal.blogspot.co.id/2014/10/manusia-dan-
etos-kerja.html 19
Diakses pada 8 Juni 2017 http://me-dailyjournal.blogspot.co.id/2014/10/manusia-dan-
etos-kerja.html 20
Franz Magnis Suseno, “Manusia dan Pekerjaannya: Berfilsafat Bersama Hegel dan
Marx” dalam Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens ed., Sekitar Manusia, h. 74. 21
Franz Magnis Suseno, “Manusia dan Pekerjaannya: Berfilsafat Bersama Hegel dan
Marx” dalam Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens ed., Sekitar Manusia, h. 74.
34
dengan cara ini penyair bekerja melalui bahan yang diberikan oleh perasaannya,
kemudian diproyeksikan menjadi citra tentang kemampuan yang terkonsep.22
Dengan menemukan dirinya, manusia semakin nyata.23
Jadi, kerja
memainkan peran utama terhadap pengungkapan kepribadian manusia. Melalui
kerja manusia merealisakian dirinya. Hegel menguraikan manusia merealisasikan
dirinya melalui keterkaitan subjek dan objek. Dalam perjumpaan dengan objek-
objek, manusia menyadari dirinya sebagai subyek. Bentuk kesadaran ini
diungkapkan oleh Hegel dalam dua hal.
Pertama, kesadaran akan keakuan manusia secara negasi. Artinya, ketika
melihat objek-objek manusia menyadari dirinya bukan sebagai objek, melainkan
sebagai subjek.24
Kedua, kesadaran bahwa tanpa objek, manusia tidak memiliki
kesadaran. Itu berarti, manusia hanya dapat sadar akan dirinya ketika berada di
tengah-tengah objek.25
Jadi struktur objek dan subjek merupakan struktur dasar
kesadaran diri manusia. Atas dasar itu maka dalam pemikiran Hegel pekerjaan
bagi manusia merupakan sebuah proses aktualisasi diri. Melalui pekerjaan,
manusia membuktikan dimensi-dimensinya yang mendasar sebagai makhluk
rohani dan makhluk transendental.26
4. Karl Marx
22
George Wilhelm Friedrich Hegel, Filsafat Sejarah, terj. Cuk Ananta Wijaya
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 2. 23
George Wilhelm Friedrich Hegel, Filsafat Sejarah, h. 13. 24
Franz Magnis Suseno, “Manusia dan Pekerjaannya: Berfilsafat Bersama Hegel dan
Marx” dalam Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens ed., Sekitar Manusia, h. 75. 25
Franz Magnis Suseno, “Manusia dan Pekerjaannya: Berfilsafat Bersama Hegel dan
Marx” dalam Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens ed., Sekitar Manusia, h. 76. 26
Franz Magnis Suseno, “Manusia dan Pekerjaannya: Berfilsafat Bersama Hegel dan
Marx” dalam Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens ed., Sekitar Manusia, h. 79.
35
Pandangan Hegel diatas memiliki arti penting bagi Karl Marx. Mengikuti
pandangan Hegel, Karl Marx juga menempatkan pekerjaan sebagai realisasi diri
melalu objektivasi.27
Ia mengakui bahwa pencapaian kenyataan manusia yang
sepenuhnya hanya bisa terjadi melalui pekerjaan.28
Dalam pekerjaannya manusia tidak hanya sadar secara intelektual,
melainkan dengan cara berkarya secara nyata, ia dapat memandang dirinya sendiri
dalam dunia yang diciptakannya.29
Bagi Marx, selain mengungkapkan dimensi
personal, kerja juga mengungkapkan dimensi sosial-historis. Hasil-hasil karya
manusia tidak saja dinikmatinya sendiri, melainkan juga dirasakan oleh orang
lain, bahkan oleh orang-orang dari zaman yang berbeda. Dengan demikian bagi
Marx kerja menjadi penghubung manusia dengan manusia yang lain, bahkan
manusia dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Hasil kerja manusia
menunjukkan sejarah peradaban kehidupan manusia pada zamannya.30
Berbeda dengan pemikiran Barat yang tidak memasukkan Tuhan dalam
kerja manusia, dalam pandangan Islam kerja tidak hanya untuk pemenuhan
kebutuhan fisik (jasmani) manusia, tapi juga berperan penting bagi pemenuhan
kebutuhan rohani (batin) seseorang. Jadi alam tidak sepenuhnya milik manusia,
alam hanyalah titipan bagi wakil Tuhan di dunia. Alam dititipkan pada manusia
untuk di jaga, di rawat, dan dilestarikan sumber daya yang terkandung di
27
Franz Magnis Suseno, “Manusia dan Pekerjaannya: Berfilsafat Bersama Hegel dan
Marx” dalam Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens ed., Sekitar Manusia, h. 83. 28
Reza A.A. Wattimena, Menjadi Manusia Otentik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h.
88. 29
Franz Magnis Suseno, “Manusia dan Pekerjaannya: Berfilsafat Bersama Hegel dan
Marx” dalam Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens ed., Sekitar Manusia, h. 83. 30
James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, terj. Mulyatno (Yogyakart: Kanisius,
2010), h. 208.
36
dalamnya, supaya tetap memenuhi eksistensi manusia saat ini dan di masa depan.
Jika alam tidak terawat dengan baik malah di rusak, alam pun akan “marah”
dengan cara yang tidak dapat manusia duga sebelumnya.31
Jalāl al-Dīn Rūmī sebagai seorang sufi menganjurkan untuk selalu bekerja,
berusaha, dan berjuang. Karena pada diri manusia selain memiliki badan, di
dalamnya terdapat kekuatan dan potensi. Allah menghendaki manusia untuk
menggunakannya dengan terus berusaha berjuang dalam kehidupan dan
menggunakan segenap potensinya. Kemudian hasilnya, kita percayakan kepada
Allah semata, karena pada hakikatnya usaha adalah manifestasi rasa syukur
kepada Allah.32
Bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh
dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan
atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan
dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik atau
dengan kata lain dapat juga kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu
memanusiakan dirinya.33
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik
kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Dengan pekerjaan manusia akan
memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu yang meliputi pemenuhan kebutuhan
fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial dan kebutuhan ego. Selain itu
kepuasan seseorang terhadap pekerjaan juga diperoleh melalui berbagai bentuk
31
Diakses pada 18 Oktober 2016 http://makalah-ibnu.blogspot.co.id/2014/05/pandangan-
islam-tentang-kerja.html 32
Abul Hasan al-Nadwi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 36. 33
Ali Sumanto Alkindi, Bekerja Sebagai Ibadah: Konsep Memberantas Kemiskinan,
Kebodohan dan Keterbelakangan Umat (Solo: CV Aneka, 1997), h. 43.
37
kepuasan yang dapat dinikmati diluar kerja, misalnya kepuasan sewaktu bekerja,
menikmati liburan, dan yang lebih mendasar lagi dapat menghidupi diri dan
keluarga.34
Selain itu, kerja adalah aktivitas yang mendapat dukungan sosial dan
individu itu sendiri. Dukungan sosial itu dapat berupa penghargaan masyarakat
terhadap aktivitas kerja yang ditekuni. Sedangkan dukungan individu dapat
berupa kebutuhan-kebutuhan yang melatarbelakangi aktivitas kerja. Seperti
kebutuhan untuk aktif, untuk berproduksi, berkreasi, untuk memperoleh
pengakuan dari orang lain, memperoleh prestise serta kebutuhan-kebutuhan
lainnya. Bekerja merupakan kegiatan pokok dari suatu aktivitas kemanusiaan
yang dapat dibagi menjadi sejumlah dimensi, yaitu dimensi Fisiologis. Dimensi
psikologis, dimensi ikatan sosial dan ikatan kelompok, dimensi ekonomi, dimensi
kekuasaan, serta dimensi kekuasaan ekonomi.35
Rezeki adalah urusan Allah, manusia hanya wajib berusaha sekuat tenaga
dan jangan sampai kita merasa angkuh setelah mendapatkan rezeki yang banyak,
karena meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, tanpa campur tangan Allah
tidak mungkin rezeki itu akan menghampiri kita.
C. Korelasi Kerja dengan Filsafat
Kerja memiliki dinamika dan dimensi yang melekat di dalam dirinya.
Dimensi pertama adalah dimensi fisik, manusia bukanlah mesin yang memiliki
ritme kerja berulang-ulang. Manusia memiliki cara kerja berbeda, jika ia
34
Ali Sumanto Alkindi, Bekerja Sebagai Ibadah: Konsep Memberantas Kemiskinan,
Kebodohan dan Keterbelakangan Umat, h. 45. 35
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h.
25.
38
melakukan pekerjaan yang berulang-ulang, maka yang muncul adalah rasa mudah
lelah, bosan dan akhirnya memilih untuk meninggalkan pekerjaanya.36
Dimensi
kedua adalah dimensi psikologis, dari dimensi ini kerja memiliki sudut pandang
berbeda. Seseorang yang bekerja akan dianggap eksistensinya dalam masyarakat,
dibandingkan seseorang yang tidak atau belum bekerja (pengangguran). Karena
seorang pekerja merupakan penggerak laju ekonomi, baik dalam lingkungan
internal seperti keluarga maupun eksternal dalam masyarakat.37
Keberadaan
manusia butuh pengakuan dalam masyarakat, dengan demikian pekerjaan
seseorang atau hasil kerja seseorang sangat butuh untuk dilihat atau diberikan
penghargaan.
Dimensi ketiga yaitu dimensi ekonomis kerja, ekonomi selalu menjadi
bagian dari kehidupan manusia. Maka dari itu manusia dapat disebut sebagai
makhluk ekonomi, karena berjalannya alur perekonomian karena manusia itu
sendiri.38
Manusia membuat produk, menawarkan, menjual dan untuk kebutuhan
ekonomis manusia lainnya. Semua saling berkaitan dan tidak dapat diputuskan.
Kerja pun bukan untuk pemenuhan kebutuhan hari ini, tapi juga untuk persiapan
di masa depan. Dimensi terakhir adalah dimensi kekuasaan kerja, manusia perlu
menjalin relasi kerja demi tercapainya kekuasaan atas hasil kerja yang dilakukan
terus-menerus.39
Kerja melekat pada setiap kegiatan yang diperbuat manusia, maka manusia
dalam masyarakat, manusia diakui dan diterima oleh masyarakat karena dia
36
Reza A.A. Wattimena, Menjadi Manusia Otentik, h. 90. 37
Reza A.A. Wattimena, Menjadi Manusia Otentik, h. 91. 38
Reza A.A. Wattimena, Menjadi Manusia Otentik, h. 94. 39
Reza A.A. Wattimena, Menjadi Manusia Otentik, h. 93.
39
bekerja atau memiliki pekerjaan. Kerja manusia memiliki nilai tersendiri bagi
keberlangsungan hidupnya, baik jasmani maupun rohani. Terkadang banyak
manusia yang memiliki pekerjaan atau profesi dan berpenghasilan baik tapi masih
merasakan kurang dalam kebahagiaan hidup. Tidak sedikit manusia yang bekerja
sederhana dan berpenghasilan kurang tapi mendapatkan kedamaian dan
kebahagiaan hidup.
Namun dalam Islam, kerja manusia harusnya menjadi ladang untuk
menanam nilai-nilai ibadah di dalamnya. Dengan menjadikan kerja sebagai ladang
ibadah, manusia akan terus semangat bekerja dengan harapan hasil dari kerja
tersebut tidak hanya untuk dinikmati pada saat ia hidup di dunia saja, hasil kerja
tersebut sebagai bentuk investasi meraih ketenangan dan ketenteraman di akhirat
kelak.40
Korelasi antara kerja dan filsafat dapat ditemukan dalam kedinamisan dan
kreativitas kerja. Karena kegiatan kerja manusia akan eksis dari hasil kerja yang
diperbuat oleh manusia. Kreativitas manusia menandakan bahwa ia ada untuk
menciptakan, merubah, menata, memola dan memperbaiki apa yang sudah
terdapat dalam alam menjadi sesuatu ide baru. Hal ini dapat terwujud nyata jika
manusia mau menggerakkan kedinamisan pikiran dan tenaganya dalam
aktivitasnya untuk berkreasi dalam alam. Karena itulah tujuan pekerjaan manusia
di bumi, yaitu sebagai perpanjangan ide dari kreativitas Tuhan tentang alam.
Bekerja bagi umat Islam tentu tidak hanya dilandasi oleh tujuan-tujuan
yang bersifat duniawi belaka. Lebih dari itu, bekerja adalah untuk beribadah.
40
Dr. Syamsuri, MA dalam Studium Generale “Filsafat Kerja Perspektif Islam dan
Barat”, 29 September 2016.
40
Bekerja akan memberikan hasil. Hasil inilah yang memungkinkan kita dapat
makan, berpakaian, tinggal di sebuah rumah, memberi nafkah keluarga, dan
menjalankan bentuk-bentuk ibadah lainnya secara baik.
“Bahwa Allah sangat mencintai orang-orang mukmin yang suka bekerja keras
dalam usaha mencari mata pencaharian”. (HR. Tabrani dan Bukhari)
“Dari „Aisyah (istri Rasulullah), Rasulullah Saw bersabda : “Seseorang bekerja
keras ia akan diampuni Allah”. (HR. Tabrani dan Bukhari)
Dua hadis tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah saw. menekan
pentingnya bekerja bagi umat Muslim, Rasulullah saw. sangat menyukai Muslim
yang bekerja dibandingkan orang yang bermalas-malasan, karena dengan kerja
keras seseorang tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan sendiri, tapi juga bisa
untuk memenuhi kebutuhan keluarga termasuk istri, anak-anak dan orang tua.
Islam menghargai semua itu sebagai sedekah, ibadah, dan amal saleh.41
Bila bekerja dianggap sebagai ibadah yang suci, maka demikian pula harta
benda yang dihasilkannya. Alat-alat pemuas kebutuhan dan sumber daya manusia,
melalui proses kerja adalah hak orang-orang yang memperolehnya dengan kerja
tersebut, dan harta benda itu dianggap sebagai sesuatu yang suci. Jaminan atas hak
milik perorangan, dengan fungsi sosial, melalui institusi zakat, shadaqah, dan
infaq, merupakan dorongan yang kuat untuk bekerja. Dasarnya adalah
penghargaan Islam terhadap upaya manusia.42
Oleh karena itu seharusnya kerja
manusia tidak menjadikan manusia menjadi semakin jauh kepada Tuhan, justru
dengan bekerja manusia memperoleh spirit baru dalam segala aktivitasnya, segala
pekerjaannya adalah sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan.
41
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, h. 25. 42
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam , h. 26.
41
BAB IV
KERJA MENURUT MUHAMMAD IQBAL
A. Dinamis
Pandangan kerja Muhammad Iqbal berasal dari latar belakang sosio-historis
yang terjadi pada masyarakat Muslim India saat itu, diantaranya yaitu, pertama,
terdapat gerakan Rasionalis yang bermula dari masa Abbasiyah, para ulama saat itu
menganggap gerakan ini sebagai suatu sumber perpecahan dan merupakan ancaman
berbahaya bagi stabilitas Islam, dan cara terbaik untuk terhindar dari hal tersebut
adalah dengan menggunakan hukum syariat yang mengikat kepada keputusan para
ulama konservatif.1 Kedua, berkembangnya asketisme sufistik yang bukan berasal
dari tradisi Islam, yaitu dengan menjadikan perbedaan mendalam terhadap
pengetahuan lahir dan batin yang menciptakan sikap ketidakpedulian pada semua hal
duniawi.2 Ketiga, runtuhnya Baghdad dianggap sebagai puncak trauma mendalam
bagi Islam, dan kekhawatiran ulama konservatif akan konflik dan perpecahan yang
nantinya akan terjadi di masa depan telah melarang segala macam pembaruan dalam
hukum syariat.3
Selain itu, terjadinya pembatasan pemerintah India terhadap ruang lingkup
pendidikan, politik, dan pekerjaan bagi Muslim India saat itu. Dalam bidang
pendidikan Universitas Punjab seperti hanya dikhususkan menjadi lembaga
1 Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, terj. Hawasi dan Musa
Kazhim (Bandung: Mizan, 2016), h. 192-193. 2 Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 193.
3 Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 194
42
pendidikan Hindu, begitu pula dalam ranah politik yang dikuasi oleh ahli-ahli hukum
Hindu, sementara dalam lingkup pekerjaan umat Muslim India hanya diperbolehkan
untuk mengelola ladang mereka sendiri sedangkan kantor-kantor umum dan lembaga-
lembaga pemerintahan sangat sulit dimasuki oleh seorang Muslim.4 Akibat dari
pembatasan ruang gerak tersebut, secara perlahan membuat Muslim India mengalami
kemunduran, dan kemandegan pengetahuan.5
Pembatasan wilayah kerja oleh pemerintah India pun menjadikan Muslim
India semakin terlena oleh dasar kehidupan asketis, yaitu mengasingkan diri dan
meninggalkan segala bentuk permasalahan duniawi dengan tidak bekerja,
menganggur, memiskinkan diri, dan hanya mementingkan permasalahan akhirat.6
Jika keterlenaan asketis dan keadaan tidak bekerja ini terus berlanjut, lantas
bagaimana seseorang memenuhi kebutuhan jasmaninya sehari-hari, dan dalam
lingkup lebih besar, bagaimana Islam dapat merebut kembali masa kejayaannya yang
pernah direnggut secara paksa dengan kehancuran Baghdad, sementara gerak dan
pikiran umat Muslim sendiri telah dibuat stagnan oleh para ulama konservatifnya.7
Inilah apa yang Muhammad Iqbal sebut sebagai pandangan statis yang usang.8
Padahal menurut Muhammad Iqbal, pada hakikatnya hidup manusia adalah
sebuah gerak dinamis, di dalamnya terdapat potensi-potensi tidak terbatas yang
4 A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 180.
5 A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 181.
6 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana 2010), h. 93. 7 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer, h. 92. 8 Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 189.
43
mampu untuk membuat perubahan-perubahan dalam gerak waktu yang terus
berlangsung.9 Kemajuan dan kemunduran peradaban manusia dapat terjadi dengan
usaha kerjanya. Maka dari itu Muhammad Iqbal mengambil ayat 11 dalam Qur‟an
surah Al-Ra‟d,10
sebagai rujukan atas semua kerja dan usaha manusia. Sebagaimana
yang Muhammad Iqbal katakan dalam puisinya Kasb-i halal:
Haruslah kau malu mewarisi intan berlian dari leluhurmu
Bagaimana mungkin ini memberi ni‟mat kepadamu dalam usaha memburunya.
…………
Nyalakanlah dari dalam abumu sendiri kilauan api tak kentara selama ini
Apakah gunanya beroleh sinar cemerlang orang lain?11
Puisi tersebut menjelaskan bahwa harusnya seseorang malu karena beroleh
kebaikan (intan berlian) dari warisan leluhur atau nenek-moyangnya, harusnya ia
berusaha sendiri untuk memperoleh nikmat yang lebih dibandingkan dengan hanya
memperoleh kebaikan dari orang lain, meskipun itu kebaikan yang dimiliki
leluhurnya.
Kasb-i halal berarti memperoleh cita dan pikiran semata oleh usaha dan
tenaga sendiri, bukan dengan cara mencuri, menipu atau selingkuh.12
Dijelaskan lagi
bahwa setiap sesuatu yang diperoleh bukan dari jerih payah dan pikiran sendiri
sangatlah melemahkan, sikap ini sudah keluar dari makna kasb-i halal.13
Namun saat
kasb-i halal telah dijadikan sebagai pedoman hidup, dengan sendirinya menjadikan
9 Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 6.
10 إن هللا اليغير مابقىم حتى يغيروا مابأنفسهم
“Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah
nasib mereka sendiri,” (QS. Al-Ra‟d: 11). 11
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, terj. Bahrum Rangkuti
(Jakarta: Bulan Bintang, 1953), h. 39. 12
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 39. 13
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 39.
44
seseorang tersebut untuk terus-menerus menyempurnakan pribadi, serta
pengaplikasiannya pada berbagai amal perbuatan dan pikiran adalah selaras dengan
kehendak Tuhan.14
Kerja menurut Muhammad Iqbal adalah tujuan akhir dari terbentuknya ego
(individualitas), yaitu bukan untuk melihat sesuatu, tapi untuk menjadi sesuatu.15
Tujuan ego (individu) sebenarnya adalah untuk merealisasikan dirinya melalui
sesuatu yang harus dibentuk dan dibentuk kembali dengan kerja yang tidak pernah
putus.16
Sesuatu yang terus-menerus dibentuk itu adalah karya cipta dan ilmu
pengetahuan, sedangkan kerja yang tidak pernah putus adalah usaha dan kerja keras
membanting tulang.17
Maka dalam syairnya dengan jelas Muhammad Iqbal sangat menolak terhadap
sikap yang memperlemah pribadi, Muhammad Iqbal lebih mendukung pribadi yang
berani dan senang berjuang untuk nasibnya sendiri, puisi tersebut yaitu:
Berdo‟alah kepada Tuhan supaya kau berani!
Berjuanglah dengan nasibmu!
Janganlah nodai kehormatan agama murni!
Dia yang menyapu kumal patung dari Ka‟bah suci
Bersabda. Tuhan mencintai si pencari nafkah sendiri.18
Oleh karena itu Muhammad Iqbal menjadikan Tuhan sebagai “rekan kerja”
(co-worker) manusia di dunia, selama manusia mau mengambil inisiatifnya dengan
mengembangkan kekayaan batinnya dan terus menggunakan dorongan cita-citanya
14
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 39. 15
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 255. 16
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 256. 17
Hawasi, Eksistensialisme Mohammad Iqbal (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2003), h.
41. 18
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 128.
45
untuk memajukan kehidupan.19
Dengan menjadikan Tuhan “rekan kerja” dari
manusia, tugas manusia sebenarnya tidak selesai setelah proses penciptaannya. Kerja
manusia tidak untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan sebagai bentuk
penyempurnaan pribadi melalui kerjanya yang dinamis dan kreatif.
Tuhan adalah yang mencipta terus-menerus dan dalam proses tersebut
manusia terlibat sebagai co-creator, sehingga manusia dengan daya dinamisnya,
menjadi subjek yang aktif dan kreatif bagi objek disekelilingnya.20
Di sinilah manusia
berperan sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
Tujuan ilmu dan seni bukanlah pengetahuan
Tujuan tamansari bukanlah putik dan kembang
Ilmu ialah alat bagi penjelmaan kehidupan
Ilmu ialah alat untuk mewujudkan pribadi
Ilmu dan seni ialah khadim bagi kehidupan21
Muhammad Iqbal memililiki pandangan bahwa ilmu dan seni adalah wujud
dari pribadi manusia. Ilmu dan seni merupakan hasil olah pikir manusia yang tercipta
dalam bentuk pengetahuan, teknologi dan karya. Ilmu dan seni adalah sesuatu yang
harus terus-menerus dibentuk sebagai wujud dari realisasi kerja manusia di bumi.
Bagi Muhammad Iqbal, kehidupan adalah proses yang terus maju ke depan
bergerak secara dinamis menuju perbaikan, dan esensi hidup ialah penciptaan terus-
menerus terhadap cita dan gairah-gairah baru terhadap alam.22
Maka dari itu
19
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 13. 20
Hawasi, Eksistensialisme Mohammad Iqbal, h. 24. 21
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 122. 22
Bahrum Rangkuti, “Pengantar Kepada Cita Iqbal” dalam buku terjemahan Muhammad
Iqbal, Asrar-I Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 26.
46
Muhammad Iqbal sangat tidak menyukai kelemahan pribadi, untuk itu pribadi harus
diperkuat oleh:23
1. Cinta kasih („isyq-o-muhabbat). Sikap cinta kasih ini memiliki tingkatan yang
lebih tinggi dari sekedar cinta kepada individu. Cinta ini ialah gerak maju menuju
citra ideal yang terbentuk untuk dirinya sendiri.24
Bentuk cinta ini adalah dengan
taat sepenuhnya pada ketentuan Tuhan, dengan cinta ini tiada ragu dalam diri
pribadi, sehingga sifat-sifat Tuhan meresap dalam diri pribadi. Wujud cinta ini
yaitu diapat terlihat dari keimanan, cita-cita, dan amal untuk mewujudkan Insan
Kamil (Manusia Sempurna).25
2. Faqr yaitu sikap tidak perduli terhadap apa yang telah disediakan oleh dunia ini,
oleh sebab memiliki cita-cita yang lebih agung. Cita-cita tersebut menjadikan
roh meninggalkan dan menanggalkan segala sesuatu yang dimilikinya secara
aktif untuk mencapai sesuatu yang lebih agung, dengan menanggalkan baju
duniawinya mencapai nilai rohani, namun tidak dengan meninggalkan dirinya
dari masyarakat justru dengan berbaurnya diri pada masyarakat, tersingkaplah
kebaikan-kebaikan Tuhan dalam diri.26
3. Keberanian, ialah sifat Muslim yang tidak ingin kehilangan iman dan
keyakinannya akan ukurannya sendiri pada nilai dan mata kehidupan.
Keberanian adalah sikap mencapai maksud dan merealisasikannya menjadi
23
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 27. 24
Luce Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, terj. Djohan Effendi (Bandung: Mizan,
1985), h. 30. 25
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 30. 26
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 34-36.
47
wujud tanpa rasa takut. Hialngnya keberanian adalah hilangnya cita-cita yang
tidak akan pernah tercapai.27
4. Toleransi adalah sikap saling menghormati dan tenggang rasa. Sikap ini
merupakan pemelihara individualitas diri dan diluar diri, yaitu menghormati diri
sendiri dan orang lain tanpa mencampurinya dengan urusan agama, selama masih
bisa saling hidup rukun.28
5. Hidup dengan usaha dan nafkah yang sah adalah bentuk untuk mencapai cita dan
harapan semata-mata dari usaha dan tenaga sendiri, tanpa meminta-minta.
Karena meminta-minta adalah sikap paling rendah yang tidak boleh ada pada diri
individu, ini adalah sikap yang melemahkan diri, menjadikan diri tidak mau
untuk mengembangkan potensinya, karena usahanya diperoleh dari meminta-
minta.29
6. Mengerjakan kerja kreatif dan asli adalah bentuk sempurnanya individualitas,
karena kerja kreatif akan menghasilkan karya asli hasil olah pikir. Akal manusia
mencerminkan ide-ide dan cita-cita terpendam Tuhan yang ingin diketahui oleh
manusia lainnya, karena manusia adalah ciptaan yang dapat mewujudkan hal
terpendam menjadi muncul nyata. Meski setiap kreatif manusia berbeda-beda,
tapi jika ia terus menggunakan segenap usahanya untuk mewujudkan kretivitas,
maka usahanya tidaklah disebut sebagai usaha yang sia-sia.30
27
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 37. 28
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 38. 29
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 39. 30
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 40.
48
Sifat-sifat di atas menunjukkan bahwa tiada daya yang mesti manusia pendam
dalam dirinya, justru segala daya potensi dan sudah menjadi sifat dasar bagi
penciptaan manusia, dapat membuktikan bahwa manusia adalah makhluk dinamis.
Dia harus terus berusaha mencapai kesempurnaan individualitas tahap demi tahap,
supaya tercapai dengan konkrit tujuan dari kerja manusia di dunia.
Dalam pembukaan Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, Muhammad
Iqbal menyatakan bahwa al-Qur‟an adalah sebuah kitab yang menekankan perbuatan
daripada pemikiran.31
Ide atau pemikiran memang penting, tapi menjadi tidak penting
jika ide dan pemikiran tersebut tidak pernah berwujud konkrit, itu hanya akan
menjadi sesuatu yang sia-sia dipikirkan dan menjadi, apa yang disebut, bualan belaka.
Bagi Muhammad Iqbal, walaupun pada mulanya kehidupan ruhani banyak
ditentukan oleh fisik, namun dalam perkembangan selanjutnya kehidupan ruhani
justru cenderung mengatasi kehidupan fisik.32
Peranan fisik seseorang sangat penting
dalam bekerja, namun dibalik peran fisik terdapat pula peran jiwa yang mengatur
keberlangsungan kegiatan fisik tersebut secara teratur hingga rasio manusia pun tidak
akan merasa terkejut dengan pekerjaan yang telah dikerjakannya. Tanpa disadari
terkadang seseorang merasa takjub dengan hasil kerjanya sendiri, ini menyatakan
bahwa ruhani menampakkan diri dalam kegiatan kehidupan alami, material, maupun
duniawi.33
31
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. xxiii. 32
K.G. Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, Terj. M.I. Soelaeman
(Bandung: Diponegoro, 1981), h. 65. 33
K.G. Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, h. 65.
49
Kerja adalah sesuatu yang bersifat dinamis, tanpa kedinamisan kerja tidak
akan terwujud dalam karya, kerja hanya akan menjadi sebuah pemikiran-pemikiran
yang tidak akan pernah mewujud. Kerjaan pikiranlah yang membuatnya terlihat statis
dengan menjadikannya deretan waktu yang berbeda-beda.34
Lebih lanjut dikatakan
bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan
tertentu (jasmani dan rohani) dan dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya
dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti
pengabdian dirinya kepada Tuhan.35
Paham dinamisme sebagaimana yang dikemukakan di atas itulah yang
ditonjolkan Iqbal sehingga ia mempunyai kedudukan penting dalam proses
pembaharuan di India. Dalam syair-syairnya ia mendorong umat Islam supaya
bergerak, menciptakan dunia baru dan jangan tinggal diam, karena menurutnya, itulah
intisari hidup.
B. Kreatif
Kreatif dan kreativitas memiliki makna sama yakni keaktifan akal pikiran
(rasio) untuk menciptakan sesuatu hal baru, berupa benda, tenaga, jasa, atau
sumbangan pikiran. Akal bukanlah benda atau produk sekali pakai, tapi akal ada
untuk berpikir, mencermati, mengamati, dan dalam tahap akhir menyelesaikan proses
menciptakan ide-ide baru. Khudi manusia merupakan pendamba kreativitas hakiki,
34
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 58. 35
Ahmad Abrar, “Etos Kerja dalam Islam,” artikel diakses pada 3 Oktober 2016 dari
https://pintania.wordpress.com/etos-kerja-dalam-islam.
50
maka dari itu manusia menyukai kreativitas baru. Dalam syairnya Muhammad Iqbal
menyatakan:
Bentuk kejadian ialah akibat khudi
Apa saja yang kau lihat ialah rahasia khudi
Bila khudi bangkit kepada kesadaran nyata
Dijelmakannya alam cita dan pikiran murni
Ratusan alam terlingkung dalam intisarinya
Menjelmakan dirimu melahirkan yang nafi-khudimu
Oleh khudi tersemailah di luasan dunia bibit kemauan nyata
Mulanya disangkanya dirinya lain dari dirinya
Dijelmakannya dari dirinya bentuk-bentuk yang lain
Agar memperkembang biak ni‟mat pertarungan
Dijatuhkanya tenaga lengannya
Agar disadarinya tenaganya sendiri
Tipuan pada dirinya sendiri ialah intisari kehidupan
Penaka kembang mawar
Khudi hidup oleh mandi dalam darahnya sendiri.36
Syair ini cukup jelas menerangkan bahwa alasan kejadian benda adalah akibat
khudi (pribadi), dengan kesadaran nyata (kreativitas) akan tercipta alam cita dan
pikiran murni. Dari diri khudi muncul dan terciptalah bentuk-bentuk lain dari alam.
Hanya saja cita dan pikiran murni ini dapat sempurna dengan terwujud melalui usaha
sekuat tenaga dari manusia itu sendiri. Kegagalan dalam usaha manusia memang
selalu ada, tetapi asalkan disempurnakan dengan segenap keinginan dan amal,
kegagalan bukanlah penghalang yang berarti.37
Dalam hal ini, Muhammad Iqbal
menjelaskan sifat-sifat yang dapat melemahkan pribadi (ego), yaitu:
36
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 118. 37
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 40.
51
1. Takut adalah sikap manusia dengan berbagai sifat yang bertautan dengannya
seperti keluh, kesah, gelisah, marah, cemburu, segan dan malu merupakan
penghalang bagi kemajuan dan perkembangan individu dan bangsa.38
2. Meminta-minta (suāl) adalah sikap yang memperoleh segala usaha dan karunia
bukan dengan usaha dan keringat sendiri. Dalam salah satu surat kepada putranya,
Javid, Muhammad Iqbal menulis:
Bina di kerajaan cinta tempatmu bersemayam
Ciptakan zaman baru, fajar nan malam kemilau
Tenunlah katamu, jika Tuhan melimpahi kau sahabat alam
Dari kesenyapan mawar dan teratai menghimbau
Janganlah pinta karunia di tukang gelas maghribi pintar
Bikin piala dan kendimu dari tanah lempungmu berpendar
Laguku penaka buah anggur di tnagkai pohonnya
Buat minumanmu merah mengalir dari kumpulannya
Jalan hidupku bagai faqir, tiada syahdu menggaya
Janganlah jual pribadimu seraya berpakaian peminta-minta.39
3. Perbudakan dapat melenyapkan semangat berusaha dari orang atau bangsa yang
dijajah. Perbudakan malah dapat merusak watak dan tabiat seseorang.40
4. Sombong adalah sikap yang tidak sehat, karena dapat menjadi pemisah dan
perusak hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Sikap sombong dapat
berbentuk membanggakan keturunan, golongan, dan Negara.41
Waktu adalah gerak kreatif,42
di dalamnya manusia bergerak menuju
perubahan-perubahan. Kerja manusia sangat berpengaruh pada gerak waktu tersebut.
Dengan usaha dan tenaganya, kerja manusia akan terwujud dalam bentuk baru, dan
38
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 41. 39
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 36. 40
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 43. 41
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 44. 42
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 6.
52
waktu adalah saksi dari sejarah peradaban manusia melalui benda-benda peninggalan
dari manusia terdahulu.43
Alam semesta bukanlah hanya berisi benda, ia adalah sebuah tindakan yang
terwujud dalam alam.44
Setiap hari Tuhan melaksanakan kerja yang baru.45
Ayat ini
menjelaskan bahwa tindakan Tuhan terwujud nyata dalam alam. Setiap harinya
Tuhan tidak pernah lelah untuk menciptakan kerja-kerja baru. Semua kerja ini adalah
kegiatan kreatif mandiri dari Pencipta (Tuhan).46
Muhammad Iqbal menyebutkan bahwa Allah sebagai co-worker, atau rekan
sekerja di muka bumi. Pandangan ini menuntut manusia untuk menyelesaikan
ciptaan-ciptaan yang belum selesai.47
Secara tidak langsung, Allah telah memberikan
kebebasan kepada manusia untuk ikut serta dalam proses kreatif penciptaan-Nya.
Muhammad Iqbal dalam syairnya menyebutkan ada sebuah percakapan
menarik antara Tuhan dan Manusia48
yang menunjukkan betapa manusia memiliki
kreativitas dalam mengolah dan memola alam supaya manusia bisa hidup
berdampingan dan menyesuaikan diri dengan alam.
“Tuhan
Kubentuk dunia ini dari lempung yang satu dan sama
Kau bikin Iran, Ethiopia dan negeri Mongol
Dari tanah ubuat besi, murni tanpa campuran
Kau buat pedang, anak panah dan senjata
Kau bikin kapak, untuk menebang pohon yang Ku tumbuhkan
43
K.G. Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, h. 80. 44
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 57. 45
(QS. Al-Rahmān: 29) ك يوم هو ف شأن
46 Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 56.
47 Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 150.
48 Muhammad Iqbal, Pesan dari Timur, terj. Abdul Hadi W.M. (Bandung: Mizan, 1985), h.
66.
53
Dan membuat sangkar untuk burung Ku yang berkicau bebas
Manusia
Kau mencipta malam, aku mencipta lampu yang meneranginya
Kau buat lempung, ku bikin darinya cawan minuman
Kau bikin hutan liar, gunung dan padang rumputan
Ku cipta kebun, taman, jalan-jalan dan padang gembala
Ku rubah racun berbisa jadi minuman segar
Akulah yang mencipta cermin cerlang dari pasir.”49
Syair tersebut menjelaskan bahwa alam tercipta untuk manusia sebagai lahan
untuk diolah, diperbaiki dan dirawat sebagai wujud dari usaha manusia menjadi
khalifah di bumi. Kreativitas manusia merupakan cerminan dari apa yang diinginkan
Tuhan mewujud dalam alam. Sehingga alam tidak diciptakan hanya sekali, tapi ia
bisa diolah kembali terus-menerus.
Bagi Muhammad Iqbal, penciptaan merupakan lawan dari pengulangan yang
merupakan sifat kegiatan mekanis, dan ilmu pengetahuan manusia, terutama
pemikiran Barat, ada untuk berupaya membentuk keseragaman pengalaman.50
Maka
dari itu terciptalah barang produksi yang terbentuk berulang-ulang untuk kepentingan
dan kebutuhan konsumsi manusia, mulai dari kebutuhan primer seperti sandang,
pangan, dan papan, sampai kepada kebutuhan sekunder yang sifatnya investasi atau
hanya untuk legalitas kepemilikan semata.
Secara dialektis manusia mampu menyelesaikan ciptaan Tuhan yang belum
selesai, dan dari semua makhluk Tuhan hanya manusia yang mampu berperan serta
49
Muhammad Iqbal, Pesan dari Timur, terj. Abdul Hadi W.M. (Bandung: Mizan, 1985), h.
66. 50
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 57.
54
dalam kehidupan kreatif Penciptanya.51
Tuhanlah yang menciptakan bahan bakunya,
sedangkan manusia yang mengelolanya menjadi barang-barang konsumtif.
Sebenarnya Muhammad Iqbal adalah pemikir yang menolak sikap
kapitalisme, karena kapitalisme merupakan bentuk halus perbudakan. Kaum kapitalis
menikmati hasil jerih payah dari kaum buruh yang bekerja keras. Seperti dalam
syairnya yang menceritakan perbincangan antara Comte dan buruh:52
Comte
Seluruh Manusia adalah bagian yang saling menjalin
Mereka adalah daun dan batang
Dari sebuah pohon besar
Jika otak manusia merupakan tempat duduk
Intelek dan jika kakinya
Terikat setia pada tanah
Karena mereka terantai
Oleh ketentuan alam yang tak terlelakkan
Seorang manusia memerintah, yang lain bekerja
Keduanya menuruti ketentuan itu
Seorang Mahmud tak dapat
Mengerjakan pekerjaan seorang ayaz
Tidakkah kau lihat, karena kerjalah
Antara kalian berbeda?
Hidup menjelma taman, dengan mawar dan duri keduanya
Kemudian dijawab oleh buruh, sebagai berikut:
Buruh
Kaum kapitalis yang tak punya urusan
Selain makan dan tidur, adalah beban di bumi ini
Yang tumbuh subur berkat mereka yang bekerja
Tidakkah kau tahu penganggur ini pencuri sejak lahir?
Kejahatan yang ia lakukan ingin kau maafkan
Seluruh hikmahmu telah membuatmu kebingungan.
C. Ibadah
51
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 84. 52
Muhammad Iqbal, Pesan dari Timur (Payam-i Mashriq), terj. Abdul Hadi W.M. (Bandung:
Pustaka Salman, 1985), h. 154-155.
55
Muhammad Iqbal berpendapat bahwa ketika manusia telah menjalani
kehidupan dengan aktif dan menggunakan kreativitasnya sebagai co-worker Tuhan,
segala perbuatan manusia secara otomatis merupakan cerminan dari Tuhan. Selain
itu, selama Tuhan yang menjadi dasar tertinggi dari segala segi kehidupan, termasuk
kerja, maka kesetiaan kepada Tuhan itulah pada hakikatnya berarti kesetiaan manusia
kepada cita-citanya sendiri.53
Muhammad Iqbal sangat menekankan pentingnya aksi dibandingkan hanya
pemikiran yang tidak pernah terwujud nyata. Maka dari itu dalam pengantar The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, Muhammad Iqbal menegaskan bahwa
al-Qur‟an adalah sebuah kitab yang menekankan „perbuatan‟ (deed) daripada
„pemikiran‟ (idea).54
Sudut pandang Ego yang mencakup di dalam-Nya pikiran dan
perbuatan, tindak mengetahui dan mencipta, ialah identik.55
Semuanya berfungsi
sebagai kesatuan-kesatuan ego.
Dalam kaitannya dengan kerja manusia, perbuatan sangat penting bagi
tercapainya cita-cita dan pengharapan terbesar akan perkembangan dari pemikiran-
pemikiran peradaban baru manusia. Jika hal tersebut diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari manusia, terutama dalam pekerjaan manusia, akan tercapailah maksud dan
tujuan dari Tuhan menciptakan manusia, yaitu khalifah Allah di bumi. Manusia tidak
hanya akan berpikir dan menghasilkan ide-ide yang tidak jelas wujudnya, tapi
eksistensi manusia akan terlihat nyata dalam pemikiran-pemikirannya yang dapat
53
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 191. 54
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. xxiii. 55
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 89.
56
turun dari dunia ide (hayal) menuju dunia riil (nyata). Pernyataan ini terungkap dalam
syairnya:
Lupakanlah dirimu kalau kau bijaksana
Kalau tak bisa kau nafi dalam dirimu, kau gila
Tutuplah matamu, telinga dan bibirmu
Agar citamu akan sampai ke langit tinggi
Tamasya dunia ini maya, maya semata:
Hai sang tolol,
Janganlah siksa dirimu dengan khayal semata!56
Dalam syair lain:
Diambilnya dari rohmu gairah kejadian
Dibuangnya dari tambangmu intan-permata kemilau
Dilukiskannya untung bagai cita kerugian
Setiap kepujian, katanya penuh noda
Diterjunkannya kau ke dalam samudera pikiran
Tapi kau menjadi lemah dalam perbuatan57
Sebagai filosof praktis, Muhammad Iqbal dalam filsafatnya tidak
menyodorkan suatu cita impian semata yang tidak bisa dipikirkan perwujudannya,
justru sebaliknya, memberi kita saran praktis untuk sikap hidup yang lebih tepat di
dunia.58
Tujuan pribadi manusia adalah untuk menjadi Insān al-Kamīl (Manusia
Sempurna),59
hal ini tidak terlepas pula dari kerja manusia. Untuk mencapai tujuan
tersebut manusia harus mampu melalui tiga tahap penyempurnannya, yaitu:60
1. Taat kepada Tuhan ini bisa dilakukan dimulai dengan taat pada hukum dan
ketentuan Tuhan. Kemudian diibaratkan dengan gambaran taat seorang unta yang
56
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 134. 57
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 140. 58
Luce Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, h. 36. 59
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 46. 60
Muhammad Iqbal, Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, h. 46.
57
bekerja keras membanting tulang, mengarungi padang pasir sambil membawa
penumpang dengan rasa selalu senang, khidmat, dan sabar.61
2. Menguasai diri sendiri, yang menjadikan kesadaran tertinggi dari keakuan, yaitu
kesadaran diri tentang Pribadi
3. Kekhalifahan Ilahi. Manusia yang telah sempurna kerohaniannya menjadi cermin
dari sifat Tuhan, sehingga sebagai orang suci dia menjadi khalifah (wakil) Tuhan
di muka bumi.62
Robert D. Lee menyebutkan bahwa Muhammad Iqbal memandang dunia
sebagai produk usaha manusia,63
dengan kata lain dunia menjadi lahan kerja bagi
manusia dalam mewujudkan kreativitasnya terhadap alam. Muhammad Iqbal
menganalogikan dalam Javid Nama (Kitab Keabadian), dimana Bartari-Hari sebagai
filosof kuno India, menasehati Zinda-Rud sebagai diri Muhammad Iqbal:
“Dunia yang kau lihat ini bukanlah buatan Tuhan
Kaulah penyebab jentera pemintalmu berputar
Pun benang yang tergulung padanya
Tunduklah pada Hukum imbalan perbuatan
Karena dari perbuatan terlahir Neraka, Pembersihan Jiwa dan Surga.”64
Puisi tersebut menggambarkan bahwa Tuhan telah mempercayakan dunia
kepada diri setiap manusia, kreativitas manusia yang dibarengi dengan aksi akan
menghasilkan perwujudan dari hasil kerja manusia. Apabila kreativitas manusia
digunakan untuk kebaikan, maka akan sesuai dengan kebaikan yang telah manusia itu
61
Hawasi, Eksistensialisme Mohammad Iqbal, h. 46. 62
Hawasi, Eksistensialisme Mohammad Iqbal, h. 47. 63
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis
Arkoun, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000), h. 77. 64
Muhammad Iqbal, Javid Nama: Ziarah Abadi, terj. Dewi Candraningrum (Yogyakarta:
Fajar Pustaka, 2000), h. 84.
58
perbuat, begitu pula sebaliknya. Tuhan telah mempercayakan dunia kepada manusia
untuk membentuknya menurut kehendaknya.65
Kerja manusia di dunia adalah bentuk perbuatan dari cerminan Tuhan yang
telah menciptakan alam. Kerja manusia tergantung dari perbuatan yang dapat
membuatnya hancur dengan keburukan perilaku atau mempersiapkan untuk kerja
selanjutnya untuk memperoleh tingkat yang lebih tinggi dengan dipercayakannya
derajat tertinggi sebagai manusia sempurna.66
Muhammad Iqbal menegaskan
penekanan al-Qur‟an kepada amal. Yakni, setelah segenap penghargaannya kepada
alam empiris, rasio, dan intuisi itu, akhirnya keberadaan seseorang dinilai dari
kualitas amalnya.67
Kerja manusia tidak hanya dapat dilihat dari aktivitas ibadah yang ia lakukan,
tapi lebih kepada cara untuk bisa bersikap toleransi dengan manusia lain, dan
melakukan kerja bersama-sama untuk mencapai kesatuan generasi yang lebih baik
dari generasi sebelumya atau dalam level lebih tinggi mencapai kesempurnaan
generasi Insān al-Kamīl (Manusia Sempurna).
65
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis
Arkoun, h. 77. 66
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, h. 138. 67
Haidar Bagir, Muhammad Iqbal dalam Pandangan Para Pemikir Syi’ah (Jakarta: Islamic
Center Jakarta, 2002), h. ix.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kerja manusia adalah cerminan dari apa yang diharapkan Tuhan terjadi
pada diri manusia, sementara sifat-sifat Tuhan selalu mencerminkan kebaikan.
Karena manusia adalah co-worker dan co-creator dari Tuhan, maka hasil kerja
manusia harus berdasarkan nilai-nilai kebaikan. Kebaikan yang diinginkan Tuhan
adalah terciptanya keseimbangan antara aksi dan kreasi.
Kerja menurut Muhammad Iqbal adalah untuk merealisasikan dirinya
melalui sesuatu yang harus dibentuk dan dibentuk kembali dengan kerja yang
tidak pernah putus. Sesuatu yang terus-menerus dibentuk itu adalah karya cipta
dan ilmu pengetahuan, sedangkan kerja yang tidak pernah putus adalah usaha dan
kerja keras.
Manusia tercipta tidak untuk bersikap acuh terhadap alam, diri manusia
telah diberikan daya kreatif untuk membentuk alam, maka kerja manusia untuk
alam adalah cerminan dari apa yang diinginkan Tuhan terjadi dalam alam. Kerja
manusia adalah wujud kebaikan dari sifat-sifat Tuhan.
Kerja manusia di dunia adalah bentuk perbuatan dari cerminan Tuhan
yang telah menciptakan alam. Kerja manusia tergantung dari perbuatan yang
dapat membuatnya hancur dengan keburukan perilaku atau mempersiapkan untuk
kerja selanjutnya untuk memperoleh tingkat yang lebih tinggi dengan
dipercayakannya derajat tertinggi sebagai manusia sempurna.
60
Kerja manusia tidak hanya dapat dilihat dari aktivitas ibadah yang ia
lakukan, tapi lebih kepada cara untuk bisa bersikap toleransi dengan manusia lain,
dan melakukan kerja bersama-sama untuk mencapai kesatuan generasi yang lebih
baik dari generasi sebelumya atau dalam level lebih tinggi mencapai
kesempurnaan generasi Insan Kamil (Manusia Sempurna).
Bagi penulis, Muhammad Iqbal ingin menunjukkan bahwa manusia dan
Tuhan adalah rekan kerja yang sangat baik demi tercapainya perkembangan dan
peradaban baru di dunia. Manusia sebagai pencipta kedua setelah Tuhan, harus
benar-benar menggunakan segenap kemampuannya untuk melindungi, menjaga,
merawat, serta melestarikan alam, demi tercapainya keberlangsungan kehidupan
manusia di masa depan yang masih terus berjalan, serta menjaga keberlangsungan
kehidupan alam beserta makhluk lain yang ada di dalamnya.
B. Saran
Sebagai orang yang mengerti akan pentingnya peran kerja bagi setiap
manusia, tidak seharusnya kita menganggap kerja sebagai hal yang sepele. Kerja
manusia harus lebih bermakna dalam setiap waktunya. Jikapun tidak bermakna
bagi diri kita, setidaknya kerja kita dapat memberikan makna bagi orang lain.
Karena kita sebagai orang-orang yang mengerti akan etika dan norma-
norma agama serta filsafat, setidaknya kita tahu bahwa kerja kita tidak boleh
hanya untuk kepentingan dan proses memenuhi kebutuhan yang sifatnya jasmani
saja. Tapi kerja kita juga harus bersifat pemenuhan kebutuhan rohani, termasuk
kehidupan dan investasi bagi kehidupan kita setelah mati, yaitu di akhirat kelak.
61
Penulis yakin bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu penulis terima segala kritikan dan saran yang sifatnya untuk memperbaiki
ataupun membangun pandangan dalam skripsi ini.
62
DAFTAR PUSTAKA
Ali, H.A. Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung:
Mizan, 1998.
Alkindi, Ali Sumanto. Bekerja Sebagai Ibadah: Konsep Memberantas
Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan Umat. Solo: CV Aneka,
1997.
An-Nadwi, Abul Hasan Ali Al-Husni. Percikan Kegeniusan Dr. Muhammad
Iqbal, terj. Suyibno Hz. M. t.k. Integrita Press, 1985.
Bagir, Haidar. Muhammad Iqbal dalam Pandangan Para Pemikir Syi’ah. Jakarta:
Islamic Center Jakarta, 2002.
Balai Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Garvey, James. 20 Karya Filsafat Terbesar, terj. Mulyatno. Yogyakart: Kanisius,
2010.
Iqbal, Muhammad. Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribadi, terj. Bahrum
Rangkuti. Jakarta: Bulan Bintang, 1953.
_____________. Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam (The
Reconstruction of Religius Thought in Islam), terj. Hawasi dan Musa
Kazhim. Bandung: Mizan, 2016.
_____________. Javid Nama: Ziarah Abadi, terj. Dewi Candraningrum.
Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000.
_____________. Pesan dari Timur (Payam-i Mashriq), terj. Abdul Hadi W.M.
Bandung: Mizan, 1985.
Iqbal, Javid. dkk. Sisi Manusiawi Iqbal. terj. Nurul Agustin dan Ihsan Ali Fauzi.
Bandung: Mizan, 1992.
Iqbal, Muhammad dan Nasution, Amin Husein. Pemikiran Politik Islam: dari
Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana 2010.
Khamaeni, Ali. Muhammad Iqbal dalam Pandangan Para Pemikir Syi’ah, terj.
Andi Haryadi. Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2002.
Lee, Robert D. Mencari Islam Autentik dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar
Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni. Bandung: Mizan, 2000.
63
Maitre, Luce Claude. Pengantar ke Pemikiran Iqbal, terj. Djohan Effendi.
Bandung: Mizan, 1985.
Muthahhari, Murtadha. Manusia Seutuhnya: Studi Kritis atas Berbagai
Pandangan Filsafat, Irfan, dan Teori Sosial Modern (Insan Kamil), terj.
Abdillah Hamid Ba’abud. Jakarta: Sadra Press, 2012.
Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan
Disertasi. Jakarta: CeQda UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang, 2011.
Ngafenan, Mohammad. Kamus Sinonim Bahasa Indonesia. Semarang: Dahara
Prize, 1994.
Rahman, Fazlur. Gelombang Perubahan dalam Islam, terj. Aam Fahmia, Jakarta:
RajaGrafindo, 2000.
_______. Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 2003.
Rusliyanto, A. “Kehendak Kreatif dalam Pandangan Muhammad Iqbal: Sebuah
Kritik Metafisika Ketuhanan.” Tesis. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2015.
Saiyidain, K.G. Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, terj. M.I.
Soelaeman. Bandung, Diponegoro
Suseno, Franz Magnis. “Manusia dan Pekerjaannya: Berfilsafat Bersama Hegel
dan Marx” dalam Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens ed., Sekitar
Manusia. Jakarta: Gramedia, 1978.
Syamsuri. Studium Generale “Kerja dalam Perspektif Filsafat”. 26 November
2016 di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tasmara, Toto. Membudayakan Etos Kerja Islam. Jakarta: Gema Insani Press,
2002.
Wattimena, Reza A.A. Filsafat Manusia: Menjadi Manusia Otentik. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013.
64
Zulkarnain, “Filsafat Khudi Mohammad Iqbal dan Relevansinya Terhadap
Masalah Keindonesiaan Kontemporer.” Tesis. Medan: Pascasarjana UIN
Sumatera Utara, 2016